Anda di halaman 1dari 11

ANALISIS

PELANGGARAN HAM DI PANIAI, PAPUA

Dosen pengampu : Nunung Rahmania, SH., MH.

DISUSUN OLEH:

SHELINA CHONERI (D1A022581)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MATARAM

2023
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hak Asasi Manusia (HAM) hakikatnya adalah hak kodrati yang secara dasar sudah ada dan

melekat pada setiap manusia sejak lahir. HAM memiliki kandungan yang telah diberikan dan

dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada setiap hambanya 1 . Maka dari itu tidak

diperkenankan kepada manusia lain untuk mengganggu dan mengambil hak yang sudah dimiliki

oleh seseorang. Namun, dalam pengaplikasiannya masih banyak terdapat kasus-kasus

pelanggaran HAM yang tidak terselesaikan baik kasus yang telah lampau maupun yang baru

terjadi akhir-akhir ini. Pelanggaran HAM masih saja menjadi hal yang paling sulit untuk

terselesaikan di negara Indonesia. Masa Kepemimpinan Presiden Jokowi masih belum terlihat

adanya peningkatan dalam penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu baik dengan proses

pengadilan maupun rekonsiliasi nasional2 . Sampai saat ini kasus pelanggaran HAM masih saja

terjadi di berbagai daerah dan tidak dapat diselesaikan serta masih saja selalu diabaikan oleh

pemerintah. Padahal jika diperhatikan telah ada aturan yang mengatur tentang pelanggaran HAM

yang ada di Indonesia. Pelanggaran HAM telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun

1999 (UU No. 39 Tahun 1999) tentang HAM. Pelanggaran HAM berat telah diatur proses

penyelesaiannya di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 (UU No.26 Tahun 2000)

tentang Pengadilan HAM. Tuntutan dari berbagai elemen masyarakat dalam menyelesaikan

pelanggaran HAM datang silih berganti. Tetapi sikap yang diberikan pemerintah masih dianggap

kurang tanggap dalam melihat berbagai kasus HAM yang masih terjadi di berbagai daerah. Janji

1
1 Aulia Rosa Nasution, 2018, “Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat Melalui Pengadilan Nasional Dan
Internasional Serta Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi”, Jurnal Mercatoria, 11(1): hlm. 90–126.
2
Syamsuddin Radjab, 2018, “Politik Hukum Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Di Era Pemerintahan Jokowi-JK”,
Jurnal Politik Profetik, 6(2): hlm. 151–172
yang telah diberikan oleh Presiden Jokowi dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di

Indonesia sampai sekarang masih belum ada bukti nyata terlihat dengan sulitnya penyelesaian

kasus pelanggaran HAM di dalam Kejaksaan Agung (Kejagung)

Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah meratifikasi

delapan instrumen tentang HAM di PBB dan atas hal ini mempunyai tugas dan wewenang untuk

bertanggung jawab dalam menghargai (to respect), memenuhi (to fulfill) dan melindungi (to

protect) bagi warga negara Indonesia3 . Sepatutnya Pemerintah memperhatikan dan memenuhi

hak dimiliki oleh seluruh waga negara Indonesia khususnya daerah Papua yang masih sering

terjadi pelanggaran HAM4 . Sesuai laporan yang diterbitkan oleh The International Coalition for

Papua (ICP) , Keadaan HAM di Papua mengalami kemunduran pada tahun 2013-2014 dibanding

tahun-tahun sebelumnya. Wilayah Papua yang berada di perbatasan paling Timur Indonesia

disinyalir sebagai salah satu penyebab susahnya penyelesaian pelanggaran HAM. Selain itu,

perbandingan kondisi masyarakat Papua dengan masyarakat Indonesia lainnya sangat terlihat

jelas ketimpangannya. Tak hanya itu, kasus pelanggaran HAM yang berkepanjangan dan konflik

yang belum ada penyelesaiannya terus melanda wilayah Papua. Salah satu kasus pelanggaran

HAM yang sampai saat ini belum selesai di Papua adalah kasus yang terjadi di Paniai. Kasus

pelanggaran HAM di Paniai yang terjadi pada bulan Desember Tahun 2014, diawali dengan

teguran dari sekelompok pemuda kepada anggota TNI yang sedang mengendarai mobil tanpa

menyalakan lampu menjadi awal permasalahan adanya perkelahian dan berlanjut ke

penganiayaan terhadap kelompok pemuda tersebut. Melihat hal ini keesokan harinya masyarakat

melaksanakan aksi damai dengan melakukan tarian adat menyusul kasus penganiayaan yang

dilakukan oleh aparat TNI di hari sebelumnya. Tarian yang diadakan oleh masyarakat ini
3
Yulia Puspita Sari, 2021, “Pelanggaran HAM Pada Peristiwa Penyiksaan Yang Berujung Pada Terbunuhnya Dua
Warga Sipil Di Papua Oleh Anggota TNI”, Jurnal Hukum dan Dinamika Masyarakat 19(1): hlm. 53–60
4
Yordan Gunawan, 2021, Hukum Internasional: Sebuah Pendekatan Modern, Yogyakarta, LP3M UMY, hlm. 17
menyulut emosi dari aparat penegak hukum yang menjaga aksi damai yang dilakukan oleh

masyarakat. Tembakan yang dilepaskan oleh aparat mengakibatkan 4 korban meninggal dunia

dan 10 korban di rawat di rumah sakit umum Paniai 5 . Dari hal ini ada empat unsur pelanggaran

HAM yang terjadi dalam kasus ini yaitu hak untuk hidup, hak untuk bebas, hak dari seorang

anak dan hak untuk perempuan.

Komnas HAM berpendapat bahwa pelaku pelanggaran HAM di Paniai berasal dari

aparat TNI yang dalam hal ini adanya keterlibatan dari pejabat tinggi TNI sehingga terjadi kasus

penembakan dalam aksi damai tersebut6 . Panglima TNI yang menjabat pada saat itu mengatakan

hal ini sama sekali tidak benar, merupakan hal yang tidak diduga akan terjadi di lapangan dan

telah dilimpahkan penyelesaiannya kepada Kejagung dengan bukti-bukti awal yang telah

diberikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Pada tanggal 11 Februari

2020, kasus pelanggaran HAM di Paniai ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat oleh

Komnas HAM yang sampai saat ini belum ada bentuk penyelesaiannya . Pelanggaran HAM

berat merupakan kewenangan dari Kejagung untuk menindaklanjuti penyelesaian kasus ini dan

melakukan investigasi lanjutan untuk menemukan permasalahan yang jelas terhadap kasus

pelanggaran HAM ini dan akan dilanjutkan ke tahap penuntutan. Tetapi penyelesaian kasus ini

sampai sekarang belum menemukan titik terang dan sampai hari ini berkas kasus pelanggaran

HAM berat di Paniai selalu dikembalikan oleh Kejagung dengan alasan belum memenuhi syarat

formil dan materiil. Pelanggaran HAM di Paniai yang telah ditetapkan oleh Komnas HAM

sebagai pelanggaran HAM berat menjadi kewenangan dari Kejagung dalam melaksanakan

5
Alfian Kartono, "Kronologi Bentrok Warga Dengan Aparat Di Paniai, Papua". diakses dari:
https://regional.kompas.com/read/2014/12/09/16440691/Kronologi.Bentrok.Warga.dengan.Aparat.di.Pa
niai.Papua. Diakses pada 26 November 2021 pukul 18.33 WIB
6
Muhammad Irham, “Kasus ‘Pelanggaran HAM Berat’ Di Paniai, Papua: Keluarga Korban Tuntut Keadilan, Eks
Pejabat TNI Klaim Tak Ada Perintah Dari Atas”. diakses dari: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-51547801.
Diakses pada 29 November 2021 pukul 02.43 WIB
penuntutan perkara hal ini sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Peraturan

Perundang-undangan yang berlaku7 . Akhirnya pada tanggal 3 Desember 2021, Kejagung telah

mengeluarkan surat perintah penyidikan untuk menindaklanjuti kasus pelanggaran HAM berat

yang terjadi di Paniai. Dengan keluarnya surat perintah ini diharapkan adanya kejelasan

penyelesaian kasus ini. Presiden yang merupakan posisi tertinggi dalam negara ini wajib selalu

memberikan perhatian khusus terhadap kasus ini. Aparat penegak hukum yang berwenang sudah

sepatutnya tidak mengesampingkan kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi di Paniai Papua,

karena Papua merupakan daerah yang masuk dalam wilayah Indonesia.

PEMBAHASAN

1. Asal Usul Kasus Pelanggaran HAM di Paniai, Papua

Kasus pelanggaran HAM di Papua bukan merupakan kasus baru, kasus ini dimulai pada 7

Desember 2014. Peristiwa awal dari kasus ini berasal dari sekelompok pemuda yang menegur

anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang membawa mobil dan tidak menyalakan lampu.

Namun, teguran tersebut pada akhirnya berakibat pada pertengkaran yang menyebabkan

penganiayaan terhadap tiga remaja laki-laki yang dilakukan oleh aparat militer. Kemudian, pada

tanggal 8 Desember 2014 di Distrik Enarotali, Kabupaten Paniai, rombongan masyarakat lpakiye

mendatangi Polres Enarotali dan Koramil untuk melakukan protes dan meminta penjelasan atas

kejadian yang terjadi di tanggal 7 Desember 2014.

Dalam aksinya tersebut, masyarakat melakukan unjuk rasa dengan mempersembahkan

tarian adat di halaman Polres dan Koramil. Tarian tersebut dilakukan sebagai bentuk pernyataan

sikap terhadap penyiksaan dan pelecehan yang dilakukan oleh aparat pada hari sebelumnya.

7
Lihat Pasal 23 ayat(1) UU RI No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM
Aparat pun membubarkan aksi yang dilakukan oleh masyarakat tersebut dengan melakukan

penembakan. Penembakan ini terjadi setelah aksi damai yang dilakukan oleh masyarakat.

Peristiwa penembakan penduduk asli Papua oleh polisi dan aparat militer menyebabkan 4 orang

tewas akibat luka tusuk dan peluru panas. Terdapat 21 orang yang juga terkena luka akibat

penganiayaan. Salah satu korban yang paling muda adalah seorang anak yang berusia 8 tahun

yang mendapatkan luka tembakan di tangan.

Setelah peristiwa yang terjadi di Paniai, pada tanggal 7 Januari 2015 Komnas HAM

kemudian membentuk Tim Penyelidikan Fakta (TPF). Tugas dari TPF ini adalah untuk

memberikan rekomendasi kepada pemerintah. Kemudian, di tahun yang sama pada tanggal 18

sampai 20 Februari, Manager Nasution selaku ketua TPF bertemu dengan para saksi mata dan

korban. Hasil dari pertemuan tersebut kemudian disampaikan kepada media bahwa terdapat

indikasi pelanggaran terhadap empat unsur HAM. Adapun unsur tersebut adalah hak bebas dari

penganiayaan, hak perempuan, hak hidup, dan hak anak.

Komnas HAM pun melakukan penyelidikan dan mengumpulkan bukti selama kurang

lebih lima tahun, mulai dari tahun 2015 hingga tahun 2020. Berdasarkan hasil penyelidikan yang

dilakukan oleh Tim Ad hoc penyelidikan pelanggaran HAM berat, maka dikeluarkanlah

keputusan paripurna. Secara aklamasi diptuskan bahwa pelanggaran HAM yang dilakukan

tersebut merupakan kasus pelanggaran HAM berat. M. Choirul Anam selaku ketua Tim ad hoc

mengatakan bahwa peristiwa Paniai tersebut memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan karena

adanya tindakan pembunuhan dan penganiayaan8 . Komnas HAM juga mengatakan bahwa

pelaku yang diduga bertanggungjawab dalam kasus pelanggaran HAM berat ini adalah Kodam

XVII/Cenderawasih dan komando lapangan di Enarotali, Paniai. Selain itu, ditemukan juga bukti
8
Imam Sukamto, 2020, https://nasional.tempo.co/read/1307953/komnas-ham-tetapkan-kasus-paniaisebagai-
pelanggaran-ham-berat/full&view=ok. Diakses pada tanggal 23 Desember 2021 pada pukul 18.35 WIB.
bahwa pihak kepolisian melakukan pelanggaran, namun tidak masuk dalam kerangka

pelanggaran HAM berat. Adapun keputusan ini didapatkan dari hasil pemeriksaan saksi sejumlah

26 orang, pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara (TKP), pemeriksaan sejumlah dokumen,

diskusi dengan para ahli, dan dari berbagai sumber informasi lainnya.

2. Penyelesaian yang Saat Ini dilakukan

Komnas HAM selaku lembaga yang berwenang untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus

ini telah mengumpulkan bukti dengan melalui berbagai prosedur hukum untuk terus

menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Paniai, Papua. Berdasarkan keterangan

pers Nomor 023/Humas/KH/VI/20209 yang dikeluarkan oleh Komnas HAM yang menjelaskan

bahwa pada tanggal 20 Mei 2020 berkas penyelidikan projusticia peristiwa Paniai dikembalikan.

Pengembalian berkas tersebut bukan untuk pertama kalinya, sebelumnya Komnas HAM juga

telah menerima pengembalian berkas dari Jaksa Agung pada tanggal 19 Maret 2020.

Alasan berkas tersebut dikembalikan karena masih belum memenuhi syarat formil dan

syarat materil. Adapun langkah-langkah yang telah dilakukan Komnas HAM adalah dengan

melakukan penyelidikan kasus Paniai tersebut. Komnas HAM memeriksa 26 orang saksi,

melakukan pemeriksaan di tempat kejadian perkara, memeriksa dokumen yang mendukung

penyelesaian kasus ini, juga telah melakukan diskusi dengan beberapa ahli. Saksi penting dari

penyelidikan tersebut diantaranya adalah Menkopolhukam, beberapa perwira POLRI, dan

petugas keamanan di Papua dan Paniai. Namun, pihak TNI selaku sumber informasi dari kasus

tersebut tidak mengindahkan panggilan dari pihak Komnas HAM untuk memberikan keterangan.

Tidak hanya itu, Komnas HAM juga telah mengumpulkan bukti uji forensik senjata api, baik itu

9
Komnas HAM, (2020), “Kesempatan Presiden Menepati Janji Keadilan Kasus Paniai”. Jakarta Pusat
mengenai prosedur penggunaan senjata maupun prosedur uji forensik. Karena telah ditetapkan sebagai

kasus pelanggaran HAM berat maka dari itu pihak yang kemudian berwenang untuk menyelesaikan kasus

ini ialah Kejaksaan Agun. Hal ini sesuai dengan hasil yang telah diperoleh Komnas HAM dalam tahap

penyelidikan. Pada tahap ini Komnas HAM membentuk tim yang bertujuan mengumpulkan bukti-bukti

awal yang akan dijadikan bahan sebagai bahan dari Komnas HAM untuk selanjutnya diserahkan oleh tim

penyidik Kejagung untuk melakukan penyidikan. Setelah beberapa kali Komnas HAM mengajukan

berkas hasil penyelidikan, pada tanggal 3 Desember 2021 Kejaksaan Agung mengeluarkan surat perintah

penyidikan10 . Berdasarkan surat tersebut dibentuklah tim penyidik untuk melakukan pengusutan

terhadap kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Pania, Papua. Adapun tim tersebut terdiri dari

22 orang Jaksa senior, mereka bertugas untuk mencari dan mengumpulkan bukti-bukti lanjutan

dari kasus Paniai tersebut. Hal ini dilakukan karena bukti-bukti yang telah dikumpulkan oleh

Komnas HAM sebelumnya belum cukup untuk memperkuat dugaan pelanggaran HAM berat

yang dilakukan agar pelakunya dapat segera ditemukan. Dengan belum terselesaikannya kasus-

kasus pelanggaran HAM berat yang ada di Indonesia membuat prinsip yang telah termaktum

dalam Pasal 1 ayat (3) bahwa Indonesia sebagai negara hukum, tidak teramalkan secara

keseluruhan untuk rakyat19. Perlindungan HAM yang telah runtut diatur dalam peraturan

Perundang-undangan masih terasa sangat jauh untuk dikatakan berjalan dengan baik. Keadilan

yang dijanjikan oleh negara hanya menjadi aturan diatas kertas yang pengamalannya belum

berjalan secara maksimal.

3. Faktor Yang Menghambat Penyelesaian Kasus HAM Berat Di Paniai

Berdasarkan penjelasan pada poin-poin diatas, terdapat beberapa faktor yang

menghambat penyelesaian kasus HAM berat di Paniai, antara lain: Komunikasi yang kurang

10
Eva Safitri, 2021, https:// news.detik.com/berita/d-5839771/kejagung-bentuk-tim-penyidik-pelanggaranham-
berat-di-paniai-papua. Diakses pada tanggal 23 Desember 2021 pukul 19.52 WIB.
terbangun antara Komnas HAM dan Kejagung menjadi hal yang pelu diperhatikan, sebab hal ini

membuat adanya ketidakselarasan dalam menangani kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi

di Paniai. Maka dari itu perlunya komunikasi diantara kedua lembaga tersebut sebagaimana yang

tertuang pada UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM11 .

Lembaga yang berwenang dalam penyelesaian kasus HAM berat sudah sewajarnya

memperhatikan segala aturan yang telah dibuat dan mengembangkan hal tersebut, agar tuntutan

dari keluarga korban dapat terpenuhi dan segala permasalahan yang terjadi terkait HAM serta

menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat.

Kurangnya bukti awal yang dimiliki oleh Komnas HAM membuat Kejagung

mempertimbangkan laporan yang telah dibuat. Padahal jika dikaji lebih dalam bukti yang

diberikan setelah proses penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM sudah sesuai dengan

prosedur yang ada pada peraturan yang ada. Adanya suatu kepentingan demi menjaga nama baik

salah satu instansi menyebabkan terhambatnya proses penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas

HAM. Janji Pemerintah dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Paniai

yang belum menemukan titik terang.

PENUTUP

a. Kesimpulan

Kasus pelanggaran HAM di Paniai yang telah ditetapkan oleh Komnas HAM sebagai
11
Nurrahman Aji Utomo, 2019, “Dekonstruksi Kewenangan Investigatif Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang
Berat”, Jurnal Konstitusi, 16(4):hlm. 810–833
salah satu pelanggaran HAM berat kini mulai menemukan titik terang. Selama kurang lebih lima

tahun Komnas HAM melakukan proses penyelidikan, dan setelah berkali-kali mengajukan bukti

kepada Kejagung, akhirnya pada tanggal 3 Desember 2021 Kejaksaan Agung mengeluarkan

surat perintah penyidikan. Hingga saat ini, proses penyelesaian pelanggaran HAM berat di

Paniai, Papua masih bergulir. Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi kasus penyelesaian

pelanggaran HAM di Paniai Papua yakni kurangnya komunikasi antara Komnas HAM dan

Kejagung, lembaga yang berwenang tidak menjalankan tupoksi secara maksimal. Tidak hanya

itu, masih kurangnya bukti awal dari Komnas HAM untuk mengajukan kasus ke Kejagung,

adanya kepentingan khusus untuk menjaga nama instansi, dan Janji pemerintah yang belum

menemui titik terang.

b. Saran

Presiden sebagai pemangku jabatan tertinggi dalam negara wajib memberikan

kesejahteraan kepada seluruh rakyatnya sesuai dengan amanat yang tertulis dalam Undang-

Undang Dasar 1945 agar kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dapat terbangun kembali.

Selain itu, Pentingnya kejelasan penyelesaian HAM berat di Paniai, Papua oleh aparat penegak

hukum menjadi tujuan terciptanya negara yang damai dan tentram bagi seluruh rakyat Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Gunawan Y, 2021, Hukum Internasional: Sebuah Pendekatan Modern, Yogyakarta: LP3M


UMY.

Nasution, A. R. (2018). Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat Melalui Pengadilan


Nasional dan Internasional serta Komisi Kebenaran dan Rwkinsiliasi. Jurnal Mercatoria, 11(1),
hlm. 90-126.

Natsif, F. A. (2016). Perspektif Keadilan Transisional Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi


Manusia Berat. Jurisprudentie, 3(2), hlm. 83-97.

Ramadhan, F. dkk. (2020). Penataan Ulang Kewenangan Penyidikan dan Penuntutan dalam
Penegakan Hukum Pelanggaran HAM Berat. Veritas et Justitia, 6(1), hlm. 172-212.

Utomo, N. A. (2019). Dekonstruksi Kewenangan Investigatif dalam Pelanggaran Hak Asasi


Manusia yang Berat. Jurnal Konstitusi, 16(4), 810-833

Utomo, N. A. (2019). Dekonstruksi Kewenangan Investigatif dalam Pelanggaran Hak Asasi


Manusia yang Berat. Jurnal Konstitusi, 16(4), 810-833

Hawaari, A. T. (2020). Awal Mula Kasus Pelanggaran HAM Berat di Paniai Papua. Diakses
pada 26 November 2021 pukul 20.52 WIB dari Nasional.tempo.co:
https://nasional.tempo.co/read/1308202/awal-mula-kasus-pelanggaran-hamberat-di-paniai-
papua/full&view=Ok Irham, M. (2020).

Kasus 'Pelanggaran HAM Berat' di Paniai, Papua:Keluarga Korban Tuntut Keadilan, Eks
Pejabat TNI Klaim Tak Ada Perintah dari Atas. Diakses pada 29 November 2021 pukul 02.43
WIB dari Bbc.com:

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-51547801 Kartono, A. (2014). Kronologi Bentrok


Warga Dengan Aparat di Paniai, Papua. Diakses pada 26 November 2021 pukul 18.33 WIB dari
Kompas.com: https://regional.kompas.com/read/2014/12/09/16440691/Kronologi.Bentrok.War
ga.dengan.Aparat.di.Paniai.Papua

Anda mungkin juga menyukai