DISUSUN OLEH:
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2023
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak Asasi Manusia (HAM) hakikatnya adalah hak kodrati yang secara dasar sudah ada dan
melekat pada setiap manusia sejak lahir. HAM memiliki kandungan yang telah diberikan dan
dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada setiap hambanya 1 . Maka dari itu tidak
diperkenankan kepada manusia lain untuk mengganggu dan mengambil hak yang sudah dimiliki
pelanggaran HAM yang tidak terselesaikan baik kasus yang telah lampau maupun yang baru
terjadi akhir-akhir ini. Pelanggaran HAM masih saja menjadi hal yang paling sulit untuk
terselesaikan di negara Indonesia. Masa Kepemimpinan Presiden Jokowi masih belum terlihat
adanya peningkatan dalam penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu baik dengan proses
pengadilan maupun rekonsiliasi nasional2 . Sampai saat ini kasus pelanggaran HAM masih saja
terjadi di berbagai daerah dan tidak dapat diselesaikan serta masih saja selalu diabaikan oleh
pemerintah. Padahal jika diperhatikan telah ada aturan yang mengatur tentang pelanggaran HAM
yang ada di Indonesia. Pelanggaran HAM telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 (UU No. 39 Tahun 1999) tentang HAM. Pelanggaran HAM berat telah diatur proses
penyelesaiannya di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 (UU No.26 Tahun 2000)
tentang Pengadilan HAM. Tuntutan dari berbagai elemen masyarakat dalam menyelesaikan
pelanggaran HAM datang silih berganti. Tetapi sikap yang diberikan pemerintah masih dianggap
kurang tanggap dalam melihat berbagai kasus HAM yang masih terjadi di berbagai daerah. Janji
1
1 Aulia Rosa Nasution, 2018, “Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat Melalui Pengadilan Nasional Dan
Internasional Serta Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi”, Jurnal Mercatoria, 11(1): hlm. 90–126.
2
Syamsuddin Radjab, 2018, “Politik Hukum Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Di Era Pemerintahan Jokowi-JK”,
Jurnal Politik Profetik, 6(2): hlm. 151–172
yang telah diberikan oleh Presiden Jokowi dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di
Indonesia sampai sekarang masih belum ada bukti nyata terlihat dengan sulitnya penyelesaian
delapan instrumen tentang HAM di PBB dan atas hal ini mempunyai tugas dan wewenang untuk
bertanggung jawab dalam menghargai (to respect), memenuhi (to fulfill) dan melindungi (to
protect) bagi warga negara Indonesia3 . Sepatutnya Pemerintah memperhatikan dan memenuhi
hak dimiliki oleh seluruh waga negara Indonesia khususnya daerah Papua yang masih sering
terjadi pelanggaran HAM4 . Sesuai laporan yang diterbitkan oleh The International Coalition for
Papua (ICP) , Keadaan HAM di Papua mengalami kemunduran pada tahun 2013-2014 dibanding
tahun-tahun sebelumnya. Wilayah Papua yang berada di perbatasan paling Timur Indonesia
disinyalir sebagai salah satu penyebab susahnya penyelesaian pelanggaran HAM. Selain itu,
perbandingan kondisi masyarakat Papua dengan masyarakat Indonesia lainnya sangat terlihat
jelas ketimpangannya. Tak hanya itu, kasus pelanggaran HAM yang berkepanjangan dan konflik
yang belum ada penyelesaiannya terus melanda wilayah Papua. Salah satu kasus pelanggaran
HAM yang sampai saat ini belum selesai di Papua adalah kasus yang terjadi di Paniai. Kasus
pelanggaran HAM di Paniai yang terjadi pada bulan Desember Tahun 2014, diawali dengan
teguran dari sekelompok pemuda kepada anggota TNI yang sedang mengendarai mobil tanpa
penganiayaan terhadap kelompok pemuda tersebut. Melihat hal ini keesokan harinya masyarakat
melaksanakan aksi damai dengan melakukan tarian adat menyusul kasus penganiayaan yang
dilakukan oleh aparat TNI di hari sebelumnya. Tarian yang diadakan oleh masyarakat ini
3
Yulia Puspita Sari, 2021, “Pelanggaran HAM Pada Peristiwa Penyiksaan Yang Berujung Pada Terbunuhnya Dua
Warga Sipil Di Papua Oleh Anggota TNI”, Jurnal Hukum dan Dinamika Masyarakat 19(1): hlm. 53–60
4
Yordan Gunawan, 2021, Hukum Internasional: Sebuah Pendekatan Modern, Yogyakarta, LP3M UMY, hlm. 17
menyulut emosi dari aparat penegak hukum yang menjaga aksi damai yang dilakukan oleh
masyarakat. Tembakan yang dilepaskan oleh aparat mengakibatkan 4 korban meninggal dunia
dan 10 korban di rawat di rumah sakit umum Paniai 5 . Dari hal ini ada empat unsur pelanggaran
HAM yang terjadi dalam kasus ini yaitu hak untuk hidup, hak untuk bebas, hak dari seorang
Komnas HAM berpendapat bahwa pelaku pelanggaran HAM di Paniai berasal dari
aparat TNI yang dalam hal ini adanya keterlibatan dari pejabat tinggi TNI sehingga terjadi kasus
penembakan dalam aksi damai tersebut6 . Panglima TNI yang menjabat pada saat itu mengatakan
hal ini sama sekali tidak benar, merupakan hal yang tidak diduga akan terjadi di lapangan dan
telah dilimpahkan penyelesaiannya kepada Kejagung dengan bukti-bukti awal yang telah
diberikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Pada tanggal 11 Februari
2020, kasus pelanggaran HAM di Paniai ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat oleh
Komnas HAM yang sampai saat ini belum ada bentuk penyelesaiannya . Pelanggaran HAM
berat merupakan kewenangan dari Kejagung untuk menindaklanjuti penyelesaian kasus ini dan
melakukan investigasi lanjutan untuk menemukan permasalahan yang jelas terhadap kasus
pelanggaran HAM ini dan akan dilanjutkan ke tahap penuntutan. Tetapi penyelesaian kasus ini
sampai sekarang belum menemukan titik terang dan sampai hari ini berkas kasus pelanggaran
HAM berat di Paniai selalu dikembalikan oleh Kejagung dengan alasan belum memenuhi syarat
formil dan materiil. Pelanggaran HAM di Paniai yang telah ditetapkan oleh Komnas HAM
sebagai pelanggaran HAM berat menjadi kewenangan dari Kejagung dalam melaksanakan
5
Alfian Kartono, "Kronologi Bentrok Warga Dengan Aparat Di Paniai, Papua". diakses dari:
https://regional.kompas.com/read/2014/12/09/16440691/Kronologi.Bentrok.Warga.dengan.Aparat.di.Pa
niai.Papua. Diakses pada 26 November 2021 pukul 18.33 WIB
6
Muhammad Irham, “Kasus ‘Pelanggaran HAM Berat’ Di Paniai, Papua: Keluarga Korban Tuntut Keadilan, Eks
Pejabat TNI Klaim Tak Ada Perintah Dari Atas”. diakses dari: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-51547801.
Diakses pada 29 November 2021 pukul 02.43 WIB
penuntutan perkara hal ini sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku7 . Akhirnya pada tanggal 3 Desember 2021, Kejagung telah
mengeluarkan surat perintah penyidikan untuk menindaklanjuti kasus pelanggaran HAM berat
yang terjadi di Paniai. Dengan keluarnya surat perintah ini diharapkan adanya kejelasan
penyelesaian kasus ini. Presiden yang merupakan posisi tertinggi dalam negara ini wajib selalu
memberikan perhatian khusus terhadap kasus ini. Aparat penegak hukum yang berwenang sudah
sepatutnya tidak mengesampingkan kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi di Paniai Papua,
PEMBAHASAN
Kasus pelanggaran HAM di Papua bukan merupakan kasus baru, kasus ini dimulai pada 7
Desember 2014. Peristiwa awal dari kasus ini berasal dari sekelompok pemuda yang menegur
anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang membawa mobil dan tidak menyalakan lampu.
Namun, teguran tersebut pada akhirnya berakibat pada pertengkaran yang menyebabkan
penganiayaan terhadap tiga remaja laki-laki yang dilakukan oleh aparat militer. Kemudian, pada
tanggal 8 Desember 2014 di Distrik Enarotali, Kabupaten Paniai, rombongan masyarakat lpakiye
mendatangi Polres Enarotali dan Koramil untuk melakukan protes dan meminta penjelasan atas
tarian adat di halaman Polres dan Koramil. Tarian tersebut dilakukan sebagai bentuk pernyataan
sikap terhadap penyiksaan dan pelecehan yang dilakukan oleh aparat pada hari sebelumnya.
7
Lihat Pasal 23 ayat(1) UU RI No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM
Aparat pun membubarkan aksi yang dilakukan oleh masyarakat tersebut dengan melakukan
penembakan. Penembakan ini terjadi setelah aksi damai yang dilakukan oleh masyarakat.
Peristiwa penembakan penduduk asli Papua oleh polisi dan aparat militer menyebabkan 4 orang
tewas akibat luka tusuk dan peluru panas. Terdapat 21 orang yang juga terkena luka akibat
penganiayaan. Salah satu korban yang paling muda adalah seorang anak yang berusia 8 tahun
Setelah peristiwa yang terjadi di Paniai, pada tanggal 7 Januari 2015 Komnas HAM
kemudian membentuk Tim Penyelidikan Fakta (TPF). Tugas dari TPF ini adalah untuk
memberikan rekomendasi kepada pemerintah. Kemudian, di tahun yang sama pada tanggal 18
sampai 20 Februari, Manager Nasution selaku ketua TPF bertemu dengan para saksi mata dan
korban. Hasil dari pertemuan tersebut kemudian disampaikan kepada media bahwa terdapat
indikasi pelanggaran terhadap empat unsur HAM. Adapun unsur tersebut adalah hak bebas dari
Komnas HAM pun melakukan penyelidikan dan mengumpulkan bukti selama kurang
lebih lima tahun, mulai dari tahun 2015 hingga tahun 2020. Berdasarkan hasil penyelidikan yang
dilakukan oleh Tim Ad hoc penyelidikan pelanggaran HAM berat, maka dikeluarkanlah
keputusan paripurna. Secara aklamasi diptuskan bahwa pelanggaran HAM yang dilakukan
tersebut merupakan kasus pelanggaran HAM berat. M. Choirul Anam selaku ketua Tim ad hoc
mengatakan bahwa peristiwa Paniai tersebut memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan karena
adanya tindakan pembunuhan dan penganiayaan8 . Komnas HAM juga mengatakan bahwa
pelaku yang diduga bertanggungjawab dalam kasus pelanggaran HAM berat ini adalah Kodam
XVII/Cenderawasih dan komando lapangan di Enarotali, Paniai. Selain itu, ditemukan juga bukti
8
Imam Sukamto, 2020, https://nasional.tempo.co/read/1307953/komnas-ham-tetapkan-kasus-paniaisebagai-
pelanggaran-ham-berat/full&view=ok. Diakses pada tanggal 23 Desember 2021 pada pukul 18.35 WIB.
bahwa pihak kepolisian melakukan pelanggaran, namun tidak masuk dalam kerangka
pelanggaran HAM berat. Adapun keputusan ini didapatkan dari hasil pemeriksaan saksi sejumlah
diskusi dengan para ahli, dan dari berbagai sumber informasi lainnya.
Komnas HAM selaku lembaga yang berwenang untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus
ini telah mengumpulkan bukti dengan melalui berbagai prosedur hukum untuk terus
menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Paniai, Papua. Berdasarkan keterangan
pers Nomor 023/Humas/KH/VI/20209 yang dikeluarkan oleh Komnas HAM yang menjelaskan
bahwa pada tanggal 20 Mei 2020 berkas penyelidikan projusticia peristiwa Paniai dikembalikan.
Pengembalian berkas tersebut bukan untuk pertama kalinya, sebelumnya Komnas HAM juga
telah menerima pengembalian berkas dari Jaksa Agung pada tanggal 19 Maret 2020.
Alasan berkas tersebut dikembalikan karena masih belum memenuhi syarat formil dan
syarat materil. Adapun langkah-langkah yang telah dilakukan Komnas HAM adalah dengan
melakukan penyelidikan kasus Paniai tersebut. Komnas HAM memeriksa 26 orang saksi,
penyelesaian kasus ini, juga telah melakukan diskusi dengan beberapa ahli. Saksi penting dari
petugas keamanan di Papua dan Paniai. Namun, pihak TNI selaku sumber informasi dari kasus
tersebut tidak mengindahkan panggilan dari pihak Komnas HAM untuk memberikan keterangan.
Tidak hanya itu, Komnas HAM juga telah mengumpulkan bukti uji forensik senjata api, baik itu
9
Komnas HAM, (2020), “Kesempatan Presiden Menepati Janji Keadilan Kasus Paniai”. Jakarta Pusat
mengenai prosedur penggunaan senjata maupun prosedur uji forensik. Karena telah ditetapkan sebagai
kasus pelanggaran HAM berat maka dari itu pihak yang kemudian berwenang untuk menyelesaikan kasus
ini ialah Kejaksaan Agun. Hal ini sesuai dengan hasil yang telah diperoleh Komnas HAM dalam tahap
penyelidikan. Pada tahap ini Komnas HAM membentuk tim yang bertujuan mengumpulkan bukti-bukti
awal yang akan dijadikan bahan sebagai bahan dari Komnas HAM untuk selanjutnya diserahkan oleh tim
penyidik Kejagung untuk melakukan penyidikan. Setelah beberapa kali Komnas HAM mengajukan
berkas hasil penyelidikan, pada tanggal 3 Desember 2021 Kejaksaan Agung mengeluarkan surat perintah
penyidikan10 . Berdasarkan surat tersebut dibentuklah tim penyidik untuk melakukan pengusutan
terhadap kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Pania, Papua. Adapun tim tersebut terdiri dari
22 orang Jaksa senior, mereka bertugas untuk mencari dan mengumpulkan bukti-bukti lanjutan
dari kasus Paniai tersebut. Hal ini dilakukan karena bukti-bukti yang telah dikumpulkan oleh
Komnas HAM sebelumnya belum cukup untuk memperkuat dugaan pelanggaran HAM berat
yang dilakukan agar pelakunya dapat segera ditemukan. Dengan belum terselesaikannya kasus-
kasus pelanggaran HAM berat yang ada di Indonesia membuat prinsip yang telah termaktum
dalam Pasal 1 ayat (3) bahwa Indonesia sebagai negara hukum, tidak teramalkan secara
keseluruhan untuk rakyat19. Perlindungan HAM yang telah runtut diatur dalam peraturan
Perundang-undangan masih terasa sangat jauh untuk dikatakan berjalan dengan baik. Keadilan
yang dijanjikan oleh negara hanya menjadi aturan diatas kertas yang pengamalannya belum
menghambat penyelesaian kasus HAM berat di Paniai, antara lain: Komunikasi yang kurang
10
Eva Safitri, 2021, https:// news.detik.com/berita/d-5839771/kejagung-bentuk-tim-penyidik-pelanggaranham-
berat-di-paniai-papua. Diakses pada tanggal 23 Desember 2021 pukul 19.52 WIB.
terbangun antara Komnas HAM dan Kejagung menjadi hal yang pelu diperhatikan, sebab hal ini
membuat adanya ketidakselarasan dalam menangani kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi
di Paniai. Maka dari itu perlunya komunikasi diantara kedua lembaga tersebut sebagaimana yang
Lembaga yang berwenang dalam penyelesaian kasus HAM berat sudah sewajarnya
memperhatikan segala aturan yang telah dibuat dan mengembangkan hal tersebut, agar tuntutan
dari keluarga korban dapat terpenuhi dan segala permasalahan yang terjadi terkait HAM serta
Kurangnya bukti awal yang dimiliki oleh Komnas HAM membuat Kejagung
mempertimbangkan laporan yang telah dibuat. Padahal jika dikaji lebih dalam bukti yang
diberikan setelah proses penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM sudah sesuai dengan
prosedur yang ada pada peraturan yang ada. Adanya suatu kepentingan demi menjaga nama baik
salah satu instansi menyebabkan terhambatnya proses penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas
HAM. Janji Pemerintah dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Paniai
PENUTUP
a. Kesimpulan
Kasus pelanggaran HAM di Paniai yang telah ditetapkan oleh Komnas HAM sebagai
11
Nurrahman Aji Utomo, 2019, “Dekonstruksi Kewenangan Investigatif Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang
Berat”, Jurnal Konstitusi, 16(4):hlm. 810–833
salah satu pelanggaran HAM berat kini mulai menemukan titik terang. Selama kurang lebih lima
tahun Komnas HAM melakukan proses penyelidikan, dan setelah berkali-kali mengajukan bukti
kepada Kejagung, akhirnya pada tanggal 3 Desember 2021 Kejaksaan Agung mengeluarkan
surat perintah penyidikan. Hingga saat ini, proses penyelesaian pelanggaran HAM berat di
Paniai, Papua masih bergulir. Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi kasus penyelesaian
pelanggaran HAM di Paniai Papua yakni kurangnya komunikasi antara Komnas HAM dan
Kejagung, lembaga yang berwenang tidak menjalankan tupoksi secara maksimal. Tidak hanya
itu, masih kurangnya bukti awal dari Komnas HAM untuk mengajukan kasus ke Kejagung,
adanya kepentingan khusus untuk menjaga nama instansi, dan Janji pemerintah yang belum
b. Saran
kesejahteraan kepada seluruh rakyatnya sesuai dengan amanat yang tertulis dalam Undang-
Undang Dasar 1945 agar kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dapat terbangun kembali.
Selain itu, Pentingnya kejelasan penyelesaian HAM berat di Paniai, Papua oleh aparat penegak
hukum menjadi tujuan terciptanya negara yang damai dan tentram bagi seluruh rakyat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Ramadhan, F. dkk. (2020). Penataan Ulang Kewenangan Penyidikan dan Penuntutan dalam
Penegakan Hukum Pelanggaran HAM Berat. Veritas et Justitia, 6(1), hlm. 172-212.
Hawaari, A. T. (2020). Awal Mula Kasus Pelanggaran HAM Berat di Paniai Papua. Diakses
pada 26 November 2021 pukul 20.52 WIB dari Nasional.tempo.co:
https://nasional.tempo.co/read/1308202/awal-mula-kasus-pelanggaran-hamberat-di-paniai-
papua/full&view=Ok Irham, M. (2020).
Kasus 'Pelanggaran HAM Berat' di Paniai, Papua:Keluarga Korban Tuntut Keadilan, Eks
Pejabat TNI Klaim Tak Ada Perintah dari Atas. Diakses pada 29 November 2021 pukul 02.43
WIB dari Bbc.com: