Anda di halaman 1dari 2

Kasus Dugaan Pemerkosaan Terhadap Disibilitas, Dihentikan Polisi, Berbagai Elemen

Masyarakat “Gedor” Polda NTB

Keputusan Polres Kota Bima menghentikan penyelidikan kasus dugaan pemerkosaan yang
dialami NU, Anak disabilitas asal Desa Rite Kec. Ambalawi berbuntut panjang. Melalui Surat
Nomor: B/931/X/RES.1.4/2021/Reskrim tertanggal 1 Oktober 2021, penyidik kasus tersebut
beralasan bahwa, NU bukanlah anak dibuktikan akta kelahiran, tidak terpenuhinya unsur
kekerasan atau ancaman kekerasan dalam Pasal 285 KUHP dan tidak adanya saksi yang
melihat secara langsung, sehingga kasus itu tidak dapat dinaikan pada tahap penyidikan.
Menanggapi itu berbagai lapisan masyarakat, menggedor Polda NTB, Kamis, (4/11).

Direktur Lembaga Pengembangan Wilayah (LPW) NTB, Taufan, SH. MH menyayangkan


Keputusan Polres Bima Kota.
“Polisi mengabaikan fakta lain, bahwa NU merupakan anak yang dibuktikan dengan Ijasah.
Polisi mengabaikan fakta bahwa NU adalah disabilitas. Termasuk Polisi mengabaikan fakta
bahwa NU kini tengah hamil 9 Bulan. Keputusan tersebut mencerminkan polisi gagal paham
menegakan hukum dan memahami disabilitas yang berkesan melindungi pelaku dan
merugikan korban,” tegasnya.
Lebih lanjut Taufan menjelaskan, bahwa dalam menangani kasus itu, Polisi berkesan tidak
memperhatikan bahwa korban adalah disabilitas.
“Polisi berkilah NU tidak mempunyai cacat mental, hingga berkesan Polisi tak bisa
membedakan disabilitas dan cacat mental. Satu sisi Polisi tidak menguji mental korban
dengan baik. Merujuk UU No. 8 Tahun 2016 yang dimaksud dengan disabikitas adalah setiap
orang yang mengalami keterbatasan fisik, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu yang
lama yang berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk
berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan
hak. Imbasnya, hak korban sebagai disabitas yang berhadapan dengan hukum diabaikan,”
terangnya.
Menurut Dosen Hukum yang mengajar diberbagai kampus ini, Polisi juga menerapkan satu
pasal tunggal yakni pasal 285 KUHP hingga menurut polisi unsur pasal tersebut tidak
terpenuhi yakni unsur pemaksaan, kekerasan atau ancaman kekerasan yang didukung tidak
adanya saksi yang melihat langsung.
“Untuk jalannya saja korban tidak normal. Keberterimaan terhadap, pemaksaan, kekerasan
atau ancaman kekerasan yang korbannya disabilitas, tidak sama dengan anak yang normal.
Polisi mesti mengembangkan bukti lain, termasuk mengembangkan keterangan pelaku,
keterangan korban, keterangan ahli dan bukti petunjuk. Untuk pemeriksaan korban saja, itu
tidak didampingi,” tegasnya.
Oleh karenanya dia mendesak Kapolda NTB melalui Kasubdit IV PPA Diskrimum Polda
NTB untuk mengambil alih penanganan kasus untuk mewujudkan keadilan untuk korban dan
keluarga. “Tentu, Bapak Kapolda harus mengevaluasi Kapolres Kota Bima,” ujarnya.
Hal yang sama disampaikan Indra Pradipta dari Yayasan Askara Disabilitas Berkarya.
Menurutnya kasus yang dialami NU menggores nuraninya.
“Kita mohon pada Polda NTB Untuk menuntaskan kasus tersebut. Sungguh, kasus itu
menyakiti nurani kami,” Imbuhnya.
Sementara Kepala Subdit IV PPA Diskrimum Polda NTB menyatakan bahwa kemarin Polda
NTB telah melakukan gelar perkara kasus tersebut.
“Pembedahan kami lakukan bukan semata-mata karena desakan publik, melaikan karena
fungsi komunikasi dan koordinasi untuk menuntun sesuai kapasitas dan kewenangan yang
ada di Polres Kota Bima,” ujarnya.
Dia menambahkan bahwa ada peluang besar kasus itu kembali ditangani, dengan
memaksimalkan penyelidikan dan penyidikan kasus. Kami tidak akan berkutat pada
keterangan saksi melainkan harus melibatkan tenaga ahli dan penelitian dokumen.
Terimakasih atas partisipasi bapak ibu, ini wujud kecintaan kepada Polda NTB,” pungkasnya.

Sebagai informasi, berbagai elemen masyarakat yang hadir adalah: LPW NTB, Yayasan
Aksara Disabilitas Berkarya, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Solidaritas
Anti Kekerasan Seksual-NTB, Ikatan Mahasiswa Bima Mataram (IMBI), Genopsis, HMDM,
Verstehen Institute dan Fasis NTB.

Anda mungkin juga menyukai