Anda di halaman 1dari 6

Perjalanan Nurani dan Hati Putih Dr.

 Zul
Perjalanan kami selama tujuh jam, sepanjang 7 Kilo Meter, di Desa Marente,
Dusun Matemega, Kecamatan Alas Kabupaten Sunbawa Barat, belum ada apa-
apanya dibandingkan dengan masyarakat yang hampir setiap hari melalui jalan
itu”–Dr. Zulkieflimansyah (Gubernur NTB) .

Mencari pemimpin autentik yang memiliki hati ditengah disparitas politik


demokrasi yang kebablasan dan tanpa rule model filsafat yang jelas bukan saja
kesempatan yang langka. Melainkan mengoyak nalar dan batin rakyat.
Rakyat dalam demokrasi dikangkangi cukung (oligarki) selalu menjadi korban
kegilaan. Kegilaan ‘anak bangsa’ yang memimpin berpadu dengan kepongahan
pengusaha yang mendanai pemilu/pilkada. Demikian untuk watak pemimpin
yang otak dan perasaanya digelapkan aliran uang cukong, dengan jaminan
lisensi penguasaan lahan dan tambang.

Oligarki telah memasung ‘kedirian’ demokrasi yang menghendaki terwujudnya


partisipasi (keterlibatan) rakyat disatu sisi dan pemerintahan responsif disisi
lainnya. Oligarki juga lah yang membuat pemimpin buta mata: buta hati
membangun negeri ini. Hingga tugas pemimpin bukan lagi menggusur
kemiskinan, melainkan menggusur orang-orang miskin. Secara umum bukan
negara Indonesia dan daerah yang dibangun, melainkan menbangun di
Indonesia dan daerah.

Peranan oligarki itu telah diakui negara, melalui Menkopolhukam. Merujuk data
KPK Menkopolhukam mengeluarkan pernyataan sikap, 72 persen pilkada
didanai cukong.
Oligarki telah membuat migrasi KKN dari Pemerintah Pusat ke Daerah dengan
mendompleng otonomi daerah. Migrasi KKN itu tidak membuat pusat lepas
dari korupsi. Melainkan membuat KKN diserentakkan, mengikuti logika
Pilkada Serentak. Data KPK membebekan: KKN masih tinggi kualitas dan
kuantitasnya di Pemerintah Pusat. Sedang para pimpinan kepala daerah sudah
banyak sekali yang mengenakan baju orange.

Hingga para pemimpin negeri bukan berlomba-lomba menghasilkan kebijakan,


regulasi, political will dan legacy politik yang baik untuk rakyat. Melainkan
menjelma seperti segerombolan bandit mengikuti cara kerja robot-robot mesin
itu. Namun, ditengah disparitas sistem politik, selalu ada cahaya diujung
terowongan, meminjam slogan edukatif Gubernur NTB, Dr. Zul.

Barangkali cahaya diujung terowongan ini yang menjaga nalar, nafas, perasaan
Dr. Zul dalam melayani rakyat. “Bercengkerama dan berhibungan intim dalam
bhatin rakyatnya.” Tanpa beban oligarki. Tanpa bermaksud melebaikan dan
memberikan pujian buta peta, Dr. Zul salah satu pemimpin negeri ini yang
memiliki hati putih. Hati yang jernih dan sensitif terhadap masalah-masalah
yang sedang berkabut didaerah ini.

Menyambangi pelosok desa-desa rutin dilakukan, disetiap momentum


kunjungan kerja. Akun facebook dan halaman pribadinya membeberkan itu.
Demikian kesaksian rakyat, mengutarakan itu. Beliau pemimpin yang sigap dan
cekatan. Kecerdasan dengan pengalamannya yang sangat gemilang telah banyak
memberi program-program yang gemilang dan menyulut dialetika (diskursus).
Ini tradisi ‘awal’ demokrasi yang meredup diera distrupsi teknologi. Padahal
dialetika (percakapan) dalam bahasa Rocky Gerung ‘kehangatan’ berwarga-
negara itu wajib hidup, agar energi pemimpin dan rakyat bisa terhimpun.
Sebagai modal pembangunan.

Saya tidak menulis dalam upaya-upaya menelisik jejak-jajak pikiran dan


program yang melampui zaman yang dicanangkan dan sudah diterapkan itu.
Ada ahlinya yang lebih kredibel mengurai secara akademis-intelektual.
Saya hanya ingin menulis, suatu episode pelik, dalam jejak pemimpin yang
semakin langka, bahkan hampir punah. Tentang ‘merasa’, ‘terhimpun’,
‘membersamai’, dan berhubungan intim dengan rakyat ditengah disparitas,
hingga absurditas demokrasi kita. Tentang betapa butuhnya rakyat akan
hadirnya pemimpin yang menyerap aspirasi rakyat dari rakyat, bukan dari ‘calo’
dan makelar birokrasi yang berbelit-berbelit yang berkesan, memangkas aspirasi
rakyat itu sendiri.

Fokus membenahi NTB setelah Gempa, pendemik, mulai ‘Gemilang’ (2 Tahun)


memimpin NTB hingga hari ini tidak membuat Dr. Zul lupa akan
tanggungjawab sebagai pelayan. Menyambangi rakyat seperti ritual baru Dr.
Zul. Ini dua contoh, yang menurut penulis bukti autentik Hati Putih pemimpin
NTB ini.

Bercumbu Rayu Bersama Rakyat Bima.

Suatu waktu, beliau dalam kunjungan kerja, menyambangi dua kecamatan


diujung barat, Kabupaten Bima. Memboyong puluhan kepala OPD, menyerap
aspirasi secara langsung, tanpa sekat, beratapkan langit, berlantaikan terpal yang
menyelimuti batu-batu kerikil perjumpaan dengan warga Soromandi
berlangsung khidmat. Seperti biasa ada pikiran besar yang beliau bawa. Pikiran
yang bukan saja jarang terdengar, melainkan tak bisa diucapkan para pemimpin
di Kabupaten Bima.

Perjumpaan dengan rakyat tidak berhenti di Soromandi. Bersama puluhan


kepala OPD, berangkatlah Dr. Zul di Kecamatan Donggo. Disana beliau
bercengkrama dengan warga. Kepala OPD diminta untuk tidur dirumah-rumah
warga untuk menyerap aspirasinya secara langsung. Beliau sendiri jadi ‘marbot
masjid’. Sebelum paginya menjadi khotib Sholat Idul Adha di Lapangan Sepak
Bola Desa Doridungga.

“Industrialisasi kemiri,” begitu salah satu pikiran besar dari sisi lain kunker di
Kecamatan Donggo. Itulah buah strategi Dr. Zul membawa puluhan OPD itu.
Kepala Dinas Perindustrian yang menyerap aspirasi dan tidur bersama dirumah
rakyat setidak-tidaknya mengobati
lima tahun bima ramah, yang bukan saja abai melainkan tidak punya pikiran
semacam itu.

Kunker itu masih membekas dalam nalar dan perasaan masyarakat Donggo dan
Soromandi.

7 KM Perjalanan Nurani di Sumbawa

Senin, 26 Oktober 2020 Dr. Zul mengunjungi Desa Rarak Ronges, Kecamatan
Brang Rea Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) dan Desa Marente, Kecamatan
Alas Kabupaten Sumbawa. Dr. Zul dan rombongan itu menempuh perjalanan
darat. Ditengah-tengah perjalananan ada ‘kenaehan’ saat berada dibadan kapal
verry. Dr. Zul tidak menempati ruangan VIP hanya karena ruang itu di isi ibu-
ibu dan anaknya. Beliau bahkan tidak terlihat sebagai ‘Gubernur’ dikala duduk
bersama para penumpang lainnya. Padahal Gubernur, orang terpenting di NTB
ini.

Keanehan terus berlanjut, saat mengunjungi Desa Marenge, Dusun Matemega


Sumbawa. Setelah rombongan itu berjumpa, menyerap, dan tidur semalaman di
sebuah masjid di Desa Rara Ronges KSB. Dusun Matemega, Desa Marenge
acapkali disebut negeri diatas awan. Dengan kekayaan sumber daya alam yang
melimpah, namun tak tersentuh pembangunan.

Gubernur dan rombongan orang-orang penting itu ‘terpeleset’ ditengah-tengah


hutan, menempuh perjalanan kaki sejauh 7 Kilometer, memakan waktu 7 jam,
dijalan yang penuh lumpur, terjal, licin, bebatuan, menyusuri beberapa sungai
dan gunung, menajaki jembatan bambu, hingga beberapa kali terpeleset,
menurut saya perjalanan nurani (batin). Hanya karena tertanam keikhlasan, dan
kecintaan terhadap rakyat, yang menjadi energi pembimbing tubuh untuk sigap
mengarungi hutan belantara itu.
“Pembangunan harus merata. Berdosa kita sebagai pemimpin jika tidak
membantu masyarakat yang mengalami kesusahan,” tegas Dr. Zul setelah
bercengkarama dan menyerap aspirasi masyarakat diatas awan itu.

Masyarakat diatas awan itu episode pelik kehidupan mayarakat yang teralienasi
(terasingkan) dari pembangunan. Bagaimana kita bayangkan, ada kehidupan
manusia, yang tidak tersentuh infrastruktur dasar pembangunan setelah 75 tahun
republik ini merdeka?

Beruntungnya, rombongan Dr. Zul bisa menyerap langsung aspirasi rakyat dari
rakyatnya langsung. Puluhan aspirasi masyarakat yang salah satunya, tentang
listrik akan diupayakan maksimal, menyala 24 Jam tahun 2021. Bagaimana
dengan infrastruktur dasar lainya, dinegeri yang kaya sumber daya alam itu?
Tentu kita harapkan dituntaskan. Bukan saja disana, tapi diseluruh NTB.
Infrastruktur dasar harus terlayani dengan baik. Sebaik-baiknya.

Kepempinan zaman teknologi, harus melampui kerja-kerja birokrasi yang rumit.


Dr. Zul benar-benar memahami ini. Menerapkannya dengan sangat baik.
Netizen bahkan bisa berinteraksi jarak jauh, menyampaikan keluh kesan. Saya
menyaksikan bagaimana efektifitas itu, tatkala suatu waktu mengomentari status
facebooknya. Melaporkan tentang kawan, yang terlilit keragaman penyakit,
yang tak tersentuh pelayanan baik, hanya karena kondisi ekonomi lemah.

Gubernur menanggapi dan memerintahkan istansi terkait: Dinsos dan Dikes


NTB terjun tangan. Tanpa muluk-muluk dalam waktu tak kurang 2 Jam, Sapri
nama kawan mendapatkan pelayanan yang baik. Sayang, barangkali karena
terlambat mendapakan pelayanan yang cepat dari penyakit-penyakit yang lama,
beberapa hari setelahnya meninggal. Semoga menjadi catatan amal. Hal yang
sama, beberapa netizen yang melaporkan kasus yng sama, miskin yang sakit
dibantu Gubernur. Menurut saya ini jejak kepemimpinan yang langka.
Kedepannya, semoga akan menumpuk pemimpin yang memiliki hati putih,
yang ikhlas berjumpa rakyat, yang hadir membawa pesan-pesan keadilan, dan
memotong mata rantai birokrasi yang rumit. Hanya dengan cara itu, optimisme
berbangsa dan bernegara bisa menyemarakan optimisme.

Mataram 27 Oktober 2020

Anda mungkin juga menyukai