Anda di halaman 1dari 2

"Tuanku ya Rakyat, Gubernur cuma Mandat".

Dulu saya pernah membaca kalimat ini, tapi dimana, entah, lupakan saja. Namun secara pribadi saya
sangat setuju dengan kalimat diatas. Dalam benak saya, pastilah orang yang menuliskan kalimat ini,
bahkan menjadikannya jargon akan sangat berpihak kepada rakyat, bahasa jawanya "Merakyat", peduli
dengan wong cilik dan mendengar aspirasi masyarakat. Karena memang entah Gubernur, Bupati,
Walikota, Kepala Desa, atau bahkan presiden hakikatnya adalah pelayan rakyat. Pelayan artinya
melayani, dan itu mandat yang kapanpun bisa dicabut oleh tuannya.

Semakin kesini, tuan yang memberi mandat dirasa semakin tidak diurus, bahkan terkesan diacuhkan dan
dikesampingkan. Tak jarang sang tuan dibikin takut dan was-was akan keadaan rumah mereka.
Kapanpun bisa terjadi, rumah ataupun tanah tuan dirampas. Dalam sistem demokrasi, pemegang
kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Namun hal demikian itu dirasa hanya berhenti dalam
Narasi-narasi saja.

Kasus penolakan warga terhadap tambang batu andesit yang ada di desa Wadas. Direspon dengan
dikerahkan ribuan aparat yang masuk mengunakan mobil, jalan kaki, dan membawa senjata lengkap.
Demikian pula dengan Demontrasi Menolak Tambang di Parigi Moutong, Sulawesi tengah,
mengakibatkan Satu orang Tewas Tertembak dan 59 warga diamankan.

Teringat kisah Umar bin Abdul Aziz dahulu yang menolak mandat, karena sadar betapa berat tanggung
jawab yang harus diembannya ketika menjadi pemimpin. Ia pun meminta kepada masyarakat
bermusyawarah kembali untuk menentukan Pemimpin selain dirinya. Umar bin Abdul Aziz berkata,
"Sungguh, aku telah melepaskan baiat yang ada di pundak kalian untukku. Selanjutnya pilihlah dari
kalangan kalian sendiri seorang untuk menjadi pemimpin yang kalian ridhoi."

Seorang pemimpin tidak hanya bertanggung jawab kepada masyarakat yang dipimpinnya saja, ia juga
bertanggung jawab kepada Allah atas segala kebijakan yang diambilnya. Namun demikian, wajib bagi
kita mendoakan kebaikan dan menasihati mereka agar senantiasa menjalankan pemerintahan dengan
adil dan takut kepada Allah. Imam Ahmad bin Hanbal berkata: "seandainya aku diberikan satu doa yang
mustajab maka aku akan mendoakan (kebaikan) bagi para penguasa".

Dalam menjalankan pemerintahan, seorang pemimpin haruslah mempertimbangkan kemaslahatan


semua rakyatnya, bukan hanya untuk golongan tertentu atau bahkan kepentingan segelintir orang.
Maka tidaklah benar seorang pemimpin dikatakan petugas partai, karena partai hanyalah sebuah sarat
kendaraan politik untuk mendaftar calon. Setelah ia menjadi pemimpin maka dia menjadi pemimpin
untuk seluruh rakyat yang dipimpinnya.

Seorang pemimpin juga tidak boleh menyalah gunakan wewenang kebijakan yang dimilikinya untuk
memperkaya diri, siap menjadi pemimpin artinya siap menderita untuk kemakmuran dan kesejahteraan
seluruh rakyat. Sebagaimana dicontohkan Umar bin Abdul Aziz ketika menerima anaknya yang tiba-tiba
datang ke kantor. Ketika tahu bahwa sang anak ingin membicarakan masalah keluarga, Umar
memadamkan lampu yang ia gunakan, keduanya pun berbincang dalam kegelapan.

Mungkin hari ini tidak harus sebersih itu, namun kisah-kisah inspiratif seperti itu haruslah diajarkan dan
diketahui para pejabat agar tidak dengan mudah menyalah gunakan fasilitas negara untuk kepentingan
pribadi. Apalagi fasilitas yang cukup banyak menguras kantong negara. Bangsa ini membutuhkan
restorasi dengan para pemimpin yang jujur dan adil.

Dalam bukunya Mencintai Bangsa dan Negara Pegangan dalam Hidup Berbangsa dan Bernegara di
Indonesia (2008), Ary Ginanjar mengatakan, "demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua
warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup
mereka. Maka dari itu sistem demokrasi berbeda dengan oligarki.

Dalam pemerintahan oligarki, kekuasaan dipegang oleh beberapa orang. Dan jika hal itu terjadi akan
sangat berbahaya. Oligarki akan menyetir atau mengatur wakil rakyat untuk semakin menindas rakyat,
upah buruh ditekan semakin murah, mengeksploitasi sumber daya alam. Akhirnya kesenjangan akan
semakin lebar, orang yang kaya akan semakin kaya, orang yang miskin akan semakin sengsara. Harta
kekayaan hanya berputar dalam lingkaran orang-orang yang kaya saja, dan mereka akan semakin
menumpuk kekayaan.

Berbeda dengan masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Ia membuat kebijakan yang dapat melindungi
rakyat kecil. Pada masanya orang-orang kaya membayar zakat sehingga kemakmuran benar-benar
terwujud. Konon, saat itu sulit menemukan para penerima zakat lantaran kemakmuran begitu merata.

Oleh : Naufal Abdul Afif (Ketua Umum IMM UIKA 2018-2020)

Anda mungkin juga menyukai