Anda di halaman 1dari 3

Menjual Urat Malu demi Memenuhi Tuntutan Hedonisme

Serba-serbi online masa kini, iya begitulah keadaannya. Segala hal yang bisa menjadikannya viral
terkenal lalu mendatangkan cuan bukan lagi hal yang asing di zaman ini, bahkan hingga meminta
uang alias mengemis secara online mencari simpati dan belas kasihan orang makin marak terjadi.
Sebetulnya bukan hal baru mengemis online ini, hanya saja semakin berjalannya waktu semakin
banyak dan berlebihan alias ekstrem yang menjadikannya terkenal. Tidak tanggung-tanggung hingga
menjual harga dirinya semua demi konten demi adsense demi cuan, fokus kepada cuan alias materi
semata. Menghalalkan segala cara demi cuan adalah bukan hal baru di era kapitalisme-sekulerisme,
kerusakan demi kerusakan kian menjadi tanpa mendapatkan simpati dari sang pemegang tanggung
jawab yaitu pemerintah.

Bukan hanya menjual harga diri, namun demi cuan dengan jalan viral sampai tega melakukan
tindakan yang tidak pantas kepada orang yang seharusnya kita jaga, orang yang seharusnya kita
hormati. Jika dalam dunia offline masa dulu mungkin hingga masa kini ada eksploitasi anak-anak
untuk mengemis di jalanan di lampu merah, maka masa sekarang semakin parah. Seolah dunia
terbalik, anak-anak yang mengeksploitasi orang tua bahkan manula untuk mengemis. Waaaahhh
rasanya sangat sulit dipercaya, mau heran tapi ini kapitalis, dimana setiap orang dituntut hedon.
Alhasil segala cara dilakukan supaya dapat terpenuhi dan dapat berbangga diri karena memiliki
kehidupan yang “wah”. Salah satu penyebab hausnya masyarakat akan kehidupan hedon adalah
adanya tayangan kehidupan-kehidupan mewah para selebritis yang membuat “ngiler” orang-orang
yang belum pernah merasakan hidup enak dan ingin merasakan bagaimana menjadi seperti mereka,
tanpa mereka sadari fakta bahwa selebritis juga bekerja keras bahkan beberapa ada yang pulang
larut malam untuk syuting, bukan mengemis apalagi melakukan kejahatan demi mendapatkan cuan
dan memenuhi tuntutan hedonisme. Seharusnya pemerintah bisa lebih menyaring segala hal yang
bisa dilihat oleh masyarakat melalui media sosial ataupun televisi, akibat terburuknya adalah tindak
pembunuhan demi mendapat cuan. Na’udzubillah

Sebetulnya bagus lagi lebih meminimalisir adanya aplikasi-aplikasi media sosial seperti yang pernah
terjadi beberapa tahun silam. Negara memblokir masuknya suatu aplikasi yang trend pada masa itu
membawa bahaya bagi penggunanya karena adanya tantangan atau challenges yang dalam
beberapa kasus mencelakai pengguna, namun karena takut akan kekuasaan negara pemilik aplikasi
maka pemerintah membuka situs aplikasi yang sempat diblokir di negeri ini. Sementara di negara
lain sampai saat ini aplikasi tersebut dilarang masuk bahkan beberapa negara memblokir situsnya
sehingga tidak terbaca di negaranya. Apalagi kalau bukan karena cuan? Semua mata menjadi buta
saat telinga mendengar kata cuan, hmmmmm seperti magic, seolah kita sedang di hipnotis oleh
kehidupan hedon yang terlihat ‘wah’ dan keren itu segalanya, pengakuan manusia menjadi tujuan
utama kehidupan.

Jika kita telusuri permasalahan utamanya ada pada sistem bebas, terlalu mendewasakan kebebasan.
Lebih parahnya lagi, sebetulnya jika netizen tidak memberikan panggung kepada hal-hal yang
unfaedah seperti sedikit-sedikit di viralkan masuk tv dapat duit, hmmmm..... minimnya edukasi pasal
penggunaan sosial media membuat masyarakat menggunakan dengan sebebas-bebasnya. Kita
berangan seandainya kebebasan ini tidak ada, melainkan semua kembali kepada peraturan yang
tidak bebas, peraturan yang mengatur seluruh umat manusia tanpa kecuali tanpa berpihak kepada
salah satu, yaitu peraturan dari Allah Azza wa Jalla. Pasti akan sangat tenang kehidupan ini,
pengemis-pengemis macam begitu tidak ada tidak meresahkan tidak mengganggu. Masyarakat tidak
akan mengemis jika kebutuhan pokoknya terpenuhi dan hedonisme akan sirna jika kapitalis tidak
ada, didalam Islam tujuan hidup bukan tentang materialistis berbeda dengan kapitalis yang
pandangan hidupnya selalu tentang profit. Akan selalu dibahas bagaimana sistem islam bekerja
mensejahterakan rakyat, salah satu yang penting adalah pembagian harta kepemilikan. Sebetulnya
ini masalah utama karena kebebasan kepemilikan harta inilah menjadi sebab si miskin semakin
miskin dan si kaya semakin kaya, keadilah tidak pernah tercapai karena keadilan di sistem kapitalis
ini adalah keadilan sosial dimana keadilan hanya untuk kalangan tertentu. Salah satu contoh sistem
islam yang bisa kita review lagi adalah masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, dimana kita ketahui
bahwa pada masanya, tidak ada orang miskin bahkan uang zakat diberikan kepada negara lain
karena rakyatnya tidak ada yang masuk dalam daftar penerima zakat. Hebat bukan? Saking tidak ada
yang miskin, itu adalah peran pemerintah dalam menjalankan sistem islam dengan sebenarnya.

Kebebasan inilah sebetulnya yang menjadi sumber utama permasalahan, bebas akses internet
semua kalangan tanpa filter. Sayangnya masyarakat dituntut harus mampu memfilter sendiri, lalu
bagaimana dengan anak-anak yang akalnya belum berfungsi sempurna? Ujung-ujungnya
menyalahkan orangtua yang kurang memperhatikan, iya betul memang ada kesalahan dari orangtua,
namun kita harus bisa menerima fakta bahwa kesalahan utama ada pada sistem kebebasan itulah,
sehebat dan sebaik apapun orangtua memantau nyatanya pun banyak orangtua yang kalah ilmu dari
anak-anaknya. Segala solusi haruslah mengakar pada permasalahan utama atau akar masalah, yaitu
pembatasan bukan kebebasan.

Mengemis, muliakah ia? Padahal setiap manusia sudah Allah berikan akal dan potensi dalam diri
setiap individu. Akalnya bisa ia gunakan untuk berpikir dan potensi bisa ia gunakan untuk berusaha,
keduanya sangat bersinergi untuk mendapatkan sesuatu seperti cuan guna memenuhi kebutuhan
materialnya. Sedang akal yang sehat akan digunakan sesuai dengan jalur yang telah Allah tentukan,
halal-haram menjadi tolok ukur ia berusaha dengan potensi yang telah Allah tanamkan dalam diri
untuk menempuh jalan yang halal dan menjauhi jalan yang haram. Namun sangat disayangkan, pada
jaman modern seperti sekarang justru semakin banyak orang malas. Enggan untuk menggunakan
akal serta potensi dalam dirinya, selagi ada peluang akan diambil tidak peduli apakah itu baik atau
tidak, sebab kaum rebahan selalu mendamba kekayaan tanpa harus kerja keras apalagi keluar
keringat. Belum lagi, kemalasan dan angan-angan itu didukung oleh kebebasan, daripada uang orang
kaya diberikan cuma-cuma untuk pengemis hedon, akan lebih baik digunakan untuk membantu
pemerintah yang kekurangan, misalnya membangun sarana pendidikan atau kesehatan yang
memadai yang lebih baik yang bisa dijangkau oleh semua kalangan dengan fasilitas yang sama,
malah justru bisa membantu orang yang benar-benar membutuhkan, bukan orang yang haus akan
hedon namun malas.

Mengemis alias meminta-minta itu sungguh apa tidak malu? Dimana urat malunya? Oiya lupa, jaman
modern semua bisa dijual untuk dapat cuan, termasuk rasa malu. Padahal meminta-minta justru
menurunkan martabat manusia, bagaimana dalam Islam? Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, ia
berkata: “ Nabi ‫ ﷺ‬bersabda, “Sebagian orang selalu meminta-minta hingga ketika sampai di hari
kiamat, tidak ada sedikit pun daging di wajahnya” [HR. Al-Bukhari dan Imam Muslim]. Riwayat lain
menyebutkan bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: “Barangsiapa meminta-minta, sedang ia
mempunyai kecukupan, maka sungguh hanyalah memperbanyak bara api di jahannam. Para sahabat
bertanya: Berapakah jumlah kecukupan yang menyebabkan ia tidak pantas meminta-minta?
Rasulullah ‫ ﷺ‬menjawab: Sekedar untuk dapat makan pagi dan makan sore” [HR. Abu Dawud].

Tuntutan hidup hedon di masa kapitalis ini semakin hari semakin kuat magnetnya, mengemis
menggunakan media sosial alias mengemis secara online dapat uang kemudian uang digunakan
untuk membeli barang-barang mewah sebagai koleksi, hmmm sungguh tidak habis pikir kok ada
manusia begitu ya? Kasusnya bukan hanya satu, namun sangat banyak bahkan baru-baru ini sempat
trending ada perumahan mewah yang penghuninya adalah bekerja sebagai pengemis-pengemis
lampu merah hingga pengemis online, rumahnya lebih mewah dari karyawan-karyawan swasta pada
umumnya. Dosen saya pernah melakukan penelitian tentang pendapatan pengemis-pengemis lampu
merah, saat di kalkulasi sungguh menggiurkan memang bahkan pendapatan satu bulan jika di rata-
rata dari hariannya, pendapatan mereka lebih besar dari gaji dosen setiap bulannya. Pantas saja
manusia-manusia malas dan berhasrat hidup mewah rela memotong urat malunya demi cuan dan
memenuhi tuntutan hidup hedon di era kapitalis ini, ditambah lagi kemudahan mengemis tanpa
berpanas-panasan dibawah terik matahari, cukup modal gadget dan kuota. Meresahkan bukan?
Dimana peran negara? Kok bisa hal seperti ini merajalela, sibuk apa sih negara sampai rakyat-
rakyatnya menjadi pengemis? Semiskin itukah negeri yang disebut surga dunia ini???

_syiria.s_

Anda mungkin juga menyukai