Anda di halaman 1dari 3

MATINYA NALURI KEMANUSIAAN DI TENGAH

MENINGKATNYA KEMISKINAN

Oleh : Lestari

(Muslimah Kendari)

Tingginya angka kemiskinan memberikan sebuah kesan yang amat sangat berharga
pada negara yang notabenenya kaya akan sumber daya alam dan tambang juga hasil laut yang
melimpah ruah ternyata tak juga mengentaskan dan mencukupi kebutuhan rakyat. Bahkan
yang ada sebaliknya.

Maka tak heran, dilansir dari CNN Indonesia (30/9/2022), Indonesia masuk dalam
100 negara paling miskin di Dunia. Hal ini diukur dari Gross National Income (GNI) atau
pendapatan nasional perbruto.

Sementara itu, mengutip gfmag.com, Indonesia menjadi negara paling miskin nomor
91 di dunia pada 2022. Sebelumnya, Bank Dunia (World Bank) mengubah batas garis
kemiskinan. Hal ini membuat 13 juta warga indonesia yang sebelumnya masuk golongan
menengah bawah menjadi jatuh miskin.

Namun di waktu yang bersamaan pula, di tengah banyaknya rakyat yang terhimpit
hidupnya, segelintir orang berkompetisi membeli mobil mewah dengan harga yang fantastis
mulai dari RP 5,9 M hingga puluhan miliar. Meski mahal dan baru diluncurkan, namun stok
yang tersedia di Tanah air nyaris habis.

Kapitalis-Sekulerisme Biang Kemiskinan dan Kesenjangan

Padahal, nominal yang sedemikian banyak jika terdistribusi merata pada setiap rakyat,
maka ini sedikit banyak sudah membantu perekonomian negara. Ada yang terbantu karena
akhirnya menemukan modal usaha, ada yang bisa memenuhi kebutuhan makan sehingga
memiliki kesempatan bekerja atau bahkan dengan begitu akan bisa menyambung kembali asa
anak-anak bangsa yang kurang lebih 56,8 persen putus sekolah, dan lain sebagainya.

Akan tetapi nampaknya kita tak bisa berharap banyak. Karena pada hakikatnya
kekayaan itu hanya berputar pada sekelompok orang. Dikarenakan paradigma pengaturan
yang digunakan sistem saat ini menghendaki hal tersebut. Misalnya, dalam sistem kapitalis –
sekulerisme, pilar kepemilikannya tidak jelas. Yang terpenting adalah siapa bermodal, dia
yang berkuasa. Maka sekalipun itu aset negara atau milik negara itu sendiri, jika sudah
dikelola dan jatuh di tangan para cukong maka selamanya menjadi milik mereka. Alhasil,
keuntungan yang sebesar-besarnya hanya dinikmati oleh orang-orang dikalangan mereka
saja.

Belum lagi dengan karakter individu yang hidup di bawah naungan sistem kapitalis
sekuler ini, ada sifat individualis, hedonis dan apatis yang sudah mengkontaminasi pemikiran
umat pada umumnya. Sehingga sifat-sifat inilah yang melahirkan sikap atau tindakan yang
seolah-olah ia hanya mementingkan diri sendiri, menganggap kesenangan dan kenikmatan
materi sebagai tujuan hingga acuh tak acuh terhadap problem yang menimpa sekitarnya.
Outputnya, manusia seperti ini cenderung sibuk dengan pemikirannya sendiri namun minim
simpati dan loyalitas kepada sesama yang mengakibatkan matinya naluri kemanusiaan.

Tsumma Naudzubillah. Semoga kita terhindar dari rawannya pemikiran individualis,


hedonis, dan apatis di zaman yang semakin iromis. Sebab, kesenjangan perekonomian juga
bukan masalah individu – masyarakat saja, namun lagi-lagi asas yang mengatur negeri ini
sangat buruk dalam mengelola tatanan kehidupan.

Kesenjangan ini terjadi akibat adanya ketidakadilan dan ketidakseimbangan dalam


distribusi pendapatan dan kekayaan. Dan ketidakseimbangan distribusi pendapatan
merupakan sumber konflik individu maupun sosial. Bahwa kemiskinan yang diderita oleh
masyarakat tidak sepenuhnya tergantung pada hasil produksi, tetapi juga tergantung pada
distribusi pendapatan yang tepat. Jika distribusi kekayaan tidak tepat maka sebagian besar
kekayaan akan masuk ke kantong para kapitalis, sehingga akibatnya banyak masyarakat yang
menderita kemiskinan dan kelebihan kekayaan negara tidak mereka nikmati.

Paradigma Pengaturan Islam Atasi Kemiskinan dan Kesenjangan

Berbeda dengan agama lain, Islam sebagai ideologi serta agama rahmatan lil’alamin
memiliki solusi untuk meminimalkan kesenjangan yang terjadi antara yang miskin dan yang
kaya melalui kemampuan negara bertanggung jawab terhadap mekanisme distribusi dengan
mengedepankan kepentingan umum daripada kepentigan kelompok atau golongan. Negara
senantiasa selalu memastikan sektor publik yang digunakan untuk kemaslahatan umat jangan
sampai jatuh ke tangan orang lain yang mempunyai visi kepentingan kelompok atau golongan
dan pribadi. Negara juga hadir dalam memastikan terpenuhinya kebutuhan minimal seluruh
rakyatnya.

Dalam Islam juga ada persaudaraan universal (ukhuwah islamiyah) yang kemudian
menimbulkan persamaan sosial yang satu di atas pemikiran, perasaan dan peraturan yang
sama. Umat Islam di lingkup kehidupan ini akan senantiasa saling berkasih sayang dan tolong
menolong baik antar sesama umat muslim maupun non muslim. Sehingga apapun yang
terjadi bagi saudaranya maka yang lainnya ikut merasakan.

Berbeda juga dengan sistem kapitalis yang mengakui adanya kebebasan individu
mengumpulkan dan menghasilkan kekayaan dengan kemampuan yang dimilki serta tidak ada
batasan untuk memanfaatkan dan membagi harta yang dimilikinya, Islam tidak mengajarkan
yang dianut kapitalis. Islam membangun filosofi dan sistemnya berdasarkan asas keadilan
dan kebebasan. Islam menghendaki agar harta benar-benar terdistribusi dengan adil dan
merata: “....supaya harta itu tidak beredar di antara orang-orang kaya saja di antara
kamu....”(Q.s. al-Hasyr [59]:7)

Sehingga tidak heran ketika Islam diterapkan pada sebuah negara, maka negeri
tersebut pasti akan aman dan sejahtera. Umar bin Abdul Aziz, misalnya. Beliau terkenal
sebagai pemimpin yang bertanggung jawab dan sangat mengutamakan kehidupan rakyat.
Kebijakan ekonominya mampu mengentaskan kemiskinan. Oleh karena itu saking
makmurnya, tidak ada seorang miskin pun yang membutuhkan subsidi atau zakat pada
pemerintahan Umar bin Abdul Aziz.

Sungguh, kita pasti merindukan hadirnya kembali sosok pemimpin yang semacam ini,
bukan? yang peduli betul dengan rakyat, tidak membebani apalagi menzalimi rakyat. Namun
begitu naif jika kita mengharapkan sosok pemimpin itu akan hadir di tengah carut marutnya
sistem kapitalis yang hingga kini masih eksis menjarah aset milik rakyat hanya untuk dimilik
beberapa orang yang berkuasa.

Karena sejatinya pemimpin Islam akan hadir dalam naungan negara Islam. Dan tiada
negara Islam tanpa diterapkannya syariat secara total dalam ranah individu, masyarakat dan
negara. Maka, menjadi sangat penting memperjuangkan kembali tegaknya agama Allah di
muka bumi ini. Wallahu’alam[]

Anda mungkin juga menyukai