Anda di halaman 1dari 29

Kotze (dalam Hikmat, 2004:6) menyatakan bahwa masyarakat miskin memiliki kemampuan yang

relatif baik untuk memperoleh sumber melalui kesempatan yang ada. Kendatipun bantuan luar
kadang-kadang digunakan, tetapi tidak begitu saja dapat dipastikan sehingga masyarakat bergantung
pada dukungan dari luar. Pendekatan pemberdayaan ini dianggap tidak berhasil karena tidak ada
masyarakat yang dapat hidup dan berkembang bila terisolasi dari kelompok masyarakat lainnya.
Pengisolasian ini menimbulkan sikap pasif, bahkan keadaan menjadi semakin miskin.

Selanjutnya Supriatna (1997:90) menyatakan bahwa kemiskinan adalah situasi yang serba terbatas
yang terjadi bukan atas kehendak orang yang bersangkutan. Suatu penduduk dikatakan miskin bila
ditandai oleh rendahnya tingkat pendidikan, produktivitas kerja, pendapatan, kesehatan dan gizi serta
kesejahteraan hidupnya, yang menunjukkan lingkaran ketidakberdayaan. Kemiskinan bisa
disebabkan oleh terbatasnya sumber daya manusia yang ada, baik lewat jalur pendidikan formal
maupun nonformal yang pada akhirnya menimbulkan konsekuensi terhadap rendahnya pendidikan
informal.

Lebih lanjut Emil Salim (dalam Supriatna, 1997: 82) mengemukakan lima karakteristik penduduk
miskin. Kelima karakterisktik penduduk miskin tersebut adalah: 1) Tidak memiliki faktor produksi
sendiri, 2) Tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan
sendiri, 3) Tingkat pendidikan pada umumnya rendah, 4) Banyak di antara mereka yang tidak
mempunyai fasilitas, dan 5) Di antara mereka berusia relatif muda dan tidak mempunyai
keterampilan atau pendidikan yang memadai.

Bank Dunia (1990) dalam laporannya di hadapan anggota PBB bertitel "Poverty and Human
Development' mengatakan bahwa: "The case for human developemnt is not only or even primarily
an economic one. Less hunger, fewer child death, and better change of primary education are
almost universally accepted as important ends in themselves" (pembangunan manusia tidak hanya
diutamakan pada aspek ekonomi, tapi yang lebih penting ialah mengutamakan aspek pendidikan
secara universal bagi kepentingan diri orang miskin guna meningkatkan kehidupan sosial
ekonominya).

Booth dan Me Cawley (Dalam Moeljarto T., 1993) menyatakan bahwa "di banyak negara memang
terjadi kenaikan tingkat kesejahteraan masyarakat yang diukur dari pendapatan perkapitanya, tetapi
itu hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil masyarakatnya, sedangkan sebagian besar masyarakat
miskin kurang memperoleh manfaat apa-apa, bahkan sangat dirugikan".
Untuk memecahkan masalah ini, perlu kebijaksanaan yang tepat dengan mengidentifikasi golongan
masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan berikut karakteristiknya lebih dulu. Umumnya,
suatu keadaan disebut miskin bila ditandai oleh kekurangan atau tidak mampu memenuhi tingkat
kebutuhan dasar manusia.

Kemiskinan tersebut meliputi tidak terpenuhinya kebutuhan dasar yang mencakup aspek primer dan
sekunder. Aspek primer berupa miskinnya aset pengetahuan dan keterampilan, sedangkan aspek
sekunder berupa miskinnya jaringan sosial, sumber-sumber keuangan, dan informal, seperti
kekurangan gizi, air, perumahan, perawatan kesehatan yang kurang baik dan pendidikan yang relatif
rendah.

Kriteria lain yang digunakan untuk mengukur kemiskinan penduduk menurut Zulkifli Husin (dalam
Supriatna, 1997:83) adalah dengan menggunakan Rasio Kebutuhan Fisik Minimum (RKFM).
Apabila diasumsikan kebutuhan fisik minimum sesuai dengan kondisi yang dihadapi sekarang ini,
maka untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum empat sehat lima sempurma adalah sebesar Rp
2.500,00 perkapita perhari, dapatditentukan besarnya kebutuhan fisik minimum per bulan. Dengan
nilai tersebut dapat dihitung nilai kebutuhan fisik minimum per bulan sebesar Rp 2.500,00 X 30 hari
= Rp 75.000,00, dan per tahun sebesar Rp 2.500,00 X 365 hari = Rp 912.500,00.

Apabila nilai kebutuhan fisik minimum per kapita per tahun dijadi-kan sebagai pembagi, maka akan
diperoleh Rasio Kebutuhan Fisik Minimum (R-KFM). Dari hasil perhitungan tersebut, dapat
dikategorikan apakah penduduk tersebut miskin atau tidak. Apabila nilai R-KFM yang diperoleh
sama dengan satu, berarti penduduk tersebut dikategorikan sebagai miskin, karena tingkat
pendapatannya setingkat dengan tingkat

subsisten (subsistence level). Artinya, pendapatan yang diperoleh orang tersebut hanya cukup untuk
mempertahankan hidup. R-KFM diformulasikan sebagai berikut:

a. miskin sekali, apabila R-KFM 0,75

b. miskin apabila, R-KFM 0,76 -1,00

c. nyaris miskin, apabila R-KFM 1,01 -1,50

d. nyaris kaya apabila, R-KFM 1,51 - 2,00

(Zulkifli Husin (dalam Supriatna, 1997:83)


Kelompok penduduk miskin yang berada di masyarakat pedesaan dan perkotaan, umumnya
berprofesi sebagai buruh tani, petani gurem, pedagang kecil, nelayan, pengrajin kecil, buruh,
pedagang kaki lima, pedagang asongan, pemulung, gelandangan dan pengemis (gepeng), dan
pengangguran. Kelompok miskin ini akan menimbulkan problema yang terus berlanjut bagi
kemiskinan kultural dan struktural, bila tidak ditangani secara serius, terutama untuk generasi
berikutnya. Pada umumnya, penduduk yang tergolong miskin adalah "golongan residual", yakni
kelompok masyarakat yang belum tersentuh oleh berbagai kebijakan pemerintah yang
terkonsentrasikan secara khusus, seperti melalui IDT, namun secara umum sudah melalui PKT,
Program Bimas, Program Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan, NKKBS, KUD, PKK
didesa.dsb. Golongan ini termasuk sulit disentuh, karena kualitas sumber daya yang rendah sehingga
kurang memanfaatkan fasilitas, termasuk faktor-faktor produksi. Mereka juga kurang memiliki
kemampuan, tingkat pendidikan yang rendah, pelatihan yang sangat minimal, termasuk
memanfaatkan pemberian bantuan bagi kebutuhan dasar manusia, dan perlindungan hukum atau
perundang-undangan yang tidak kurang memihak mereka.

Kriteria lain tentang pendudukan miskin berkenaan dengan implementasi Program Pengembangan
Kecamatan (PPK) menurut versi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), bahwa
untuk menentukan penduduk miskin paling tidak memenuhi 6 (enam) kriteria sebagai berikut:

1. Rumah layak huni: a) milik sendiri dan b) bukan milik sendiri.

2. Akses air bersih dan sanitasi

3. Pendapatan/dikonversi dengan pengeluaran

4. Kepemilikan aset

5. Frekuensi makan (lebih dari 2 kali sehari) dan kualitas gizi makanan

6. Dalam setahun dapat membeli minimal 1 stel pakaian baru.

Dari 6 (enam) variabel/kriteria tersebut jika mendapat skor 3 atau lebih maka keluarga tersebut
dikategorikan miskin.

Oleh karena itu, komitmen dan konsistensi pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi
(economic growth) dengan cara-cara yang adil tanpa mengecualikan masyarakat miskin akan
meningkatkan keterpaduan sosial dengan politik yang didasari oleh hak-hak asasi manusia,
nondiskriminasi, dan memberikan perlindungan kepada mereka yang kurang beruntung merupakan
hakikat paradigma pembangunan sosial.

Sebab-sebab Terjadinya Kemiskinan dan Karakteristiknya

1. Terjadinya Kemiskinan

Tidak sedikit penjelasan mengenai sebab-sebab kemiskinan. Kemiskinan massal yang terjadi di
banyak negara yang baru saja merdeka setelah Perang Dunia II memfokuskan pada keterbelakangan
dari perekonomian negara tersebut sebagai akar masalahnya (Hardiman dan Midgley, dalam
Kuncoro, 1997:131).

Penduduk negara tersebut miskin menurut Kuncoro (1997:131) karena menggantungkan diri pada
sektor pertanian yang subsistem, metode produksi yang tradisional, yang seringkali dibarengi
dengan sikap apatis terhadap lingkungan.

Sharp, et.al (dalam Kuncoro, 1997:131) mencoba mengidentifikasi penyebab kemiskinan dipandang
dari sisi ekonomi. Pertama, secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola
kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin
hanya memiliki sumberdaya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan
muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya manusia yang
rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas
sumberdaya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya
diskriminasi, atau karena keturunan. Ketiga, kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam
modal.

Ketiga penyebab kemiskinan ini bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of
poverty) menurut Nurkse (dalam Kuncoro, 1997:132): adanya keterbelakangan, ketidaksempumaan
pasar, dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktifitas. Rendahnya produktivitasnya
mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan
berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi berakibat pada
keterbelakangan, dan seterusnya.

Negara berkembang sampai kini masih saja memiliki ciri-ciri terutama sulitnya mengelola pasar
dalam negerinya menjadi pasar persaingan yang lebih sempurna. Ketika mereka tidak dapat
mengelola pembangunan ekonomi, maka kecenderungan kekurangan kapital dapat terjadi, diikuti
dengan rendahnya produktivitas, turunnya pendapatan riil, rendahnya tabungan, dan investasi
mengalami penurunan sehingga melingkarulang menuju keadaan kurangnya modal. Demikian
seterusnya, berputar. Oleh karena itu, setiap usaha memerangi kemiskinan seharusnya diarahkan
untuk memotong lingkaran dan perangkap kemiskinan ini.

Soetrisno (1990:2-3), menguraikan bahwa munculnya kemiskinan berkaitan dengan budaya yang
hidup dalam masyarakat, ketidakadilan dalam pemilikan faktor produksi dan penggunaan model
pendekatan pembangunan yang dianut oleh suatu negara.

Sementara itu Robert Chambers (1983:149) menegaskan bahwa faktor penyebab terjadinya
kemiskinan adalah:

Lilitan kemiskinan hilangnya hak atau. kekayaan yang sukar untuk kembali, mungkin disebabkan
desakan kebutuhan yang melampaui ambang batas kekuatannya, misalnya pengeluaran yang sudah
diperhitungkan sebelumnya, namun jumlahnya sangat besar, atau tiba-tiba dihadapkan pada krisis
yang hebat. Lazimnya kebutuhan yang mendorong sesorang yang terlilit kemiskinan, berkaitan
dengan lima hal; kewajiban adat; musibah; ketidak mampuan fisik, pengeluaran tidak produktif dan
pemerasan

Dan uraian tersebut diatas menunjukkan bahwa faktor penyebab terjadinya kemiskinan adalah
adanya faktor internal berupa kebutuhan yang segera harus terpenuhi namun tidak memiliki
kemampuan yang cukup dalam beaisaha mengelola sumber daya yang dimiliki (keterampilan tidak
memadai, tingkat pendidikan yang minim dan lain-lain). Faktor ekstemal berupa bencana alam
seperti halnya krisis ekonomi ini, serta tidak adanya pemihakan berupa kebijakan yang memberikan
kesempatan dan peluang bagi masyarakat miskin.

Meskipun banyak pendapat yang dikemukakan oleh para ahli sehubungan dengan sebab-sebab
terjadinya kemiskinan, paling tidak ada dua macam teori yang lazim dipergunakan untuk
menjelaskan akar kemiskinan yaitu teori marginalisasi dan teori ketergantungan (Usman,1993:23-
27). Dalam teori marginalisasi, kemiskinan dianggap sebagai akibat dari tabiat apatis, fatalisme,
tergantung, rendah diri, pemboros dan konsumtif serta kurang berjiwa wiraswasta.

2. Karakteristik Kemiskinan

Masyarakat miskin sesuai karakteristiknya menurut Kartasasmita (1993:4), umumnya lemah dalam
kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya pada kegiatan ekonomi, sehingga semakin tertinggal
jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi lebih tinggi.
Sementara itu Soemardjan (dalam Sumodingrat 1999:81), mendeskripsikan berabagai cara
pengukuran kemiskinan dengan standar yang berbeda-beda, dengan tetap memperhatikan dua
kategori tingkat kemiskinan, sebagai berikut:

Pertama, kemiskinan absolut adalah suatu kondisi dimana tingkat pendapatan seseorang tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan pedidikan;
Kedua, kemiskinan relatif adalah penghitungan kemisikinan berdasarkan proporsi distribusi
pendapatan dalam suatu daerah. Kemiskinan jenis ini dikatakan relatif kerena berkaitan dengan
distribusi pendapatan antar lapisan sosial.

Chamber (1983:109) mengemukakan lima karakteristik sebagai ketidak beruntungan


(disadventages) yang melingkupi orang miskin atau keluarga miskin antara lain: (a) poverty, (b)
physical weakness, (c) isolation, (d) powerlessness.

Moeljarto (1995:98) mengemukakan tentang Poverty Profile sebagaimana berikut: Masalah


kemiskinan bukan saja masalah welfare akan tetapi mengandung enam buah alasan antara lain : (a)
Masalah kemiskinan adalah masalah kerentanan. (b) Kemiskinan berarti tertutupnya akses kepada
berbagai peluang kerja karena hubungan produksi dalam masyarakat tidak memberi peluang kepada
mereka untuk berpartisipasi dalam

proses produksi. (c) Masalah ketidakpercayaan, perasaan impotensi, emosional dan sosial dalam
menghadapi elit desa dan para birokrat yang menentukan keputusan menyangkut dirinya tanpa
memberi kesempatan untuk mengaktualisasikan diri, sehingga membuatnya tidak berdaya. (d)
Kemiskinan juga berarti menghabiskan sebagian besar penghasilannya untuk konsumsi pangan
dalam kualitas dan kuantitas terbatas. (e) Tingginya rasio ketergantungan, karena jumlah keluarga
yang besar. (f) Adanya kemiskinan yang diwariskan secara terus menerus.

Selanjutnya Supriatna (1997:82) mengemukakan lima karakteristik penduduk miskin, antara lain:

1. Tidak memiliki faktor produksi sendiri.

2. Tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri.

3. Tingkat pendidikan pada umunya rendah.

4. Banyak diantara mereka tidak mempunyai fasilitas .

5. Diantara mereka berusia relatif muda dan tidak mempunyai keterampilan atau pendidikan yang
memadai.
Pemahaman terhadap karakteristik kemiskinan dimaksudkan agar dapat pula mengetahui strategi
program yang bagaimana yang relevan dengan upaya penanggulangan kemiskinan tersebut.

Strategi Penanggulangan Kemiskinan

Pendekatan pembangunan yang berpusat pada rakyat sangat relevan sebagai paradigma kebijakan
desentralisasi dalam penanganan masalah sosial termasuk masalah kemiskinan. Pendekatan ini
menyadari tentang betapa pentingnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan
kekuatan internal melalui kesanggupan untuk melakukan kontrol internal atas sumber daya materi
dan nonmaterial.

Korten (dalam Hikmat, 2004:15-16) menyatakan bahwa ada tiga dasar untuk melakukan perubahan-
perubahan struktural dan normatif dalam pembangunan yang berpusat pada rakyat:

1. Memusatkan pemikiran dan tindakan kebijakan pemerintah pada penciptaan keadaan-keadaan


yang mendorong dan mendukung usaha-usaha rakyat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka
sendiri, dan untuk memecahkan masalah-masalah mereka sendiri di tingkat individual, keluarga, dan
komunitas.

2. Mengembangkan struktur-struktur dan proses organisasi-organisasi yang berfungsi menurut


kaidah-kaidah sistem organisasi.

3. Mengembangkan sistem-sistem produksi-konsumsi yang diorganisasi secara teritorial yang


berlandaskan pada kaidah-kaidah pemilikan dan pengendalian lokal.

Kendati demikian, model pembangunan yang berpusat kepada rakyat lebih menekankan pada
pemberdayaan (empowerment). Model ini memandang inisiatif-kreatif rakyat sebagai sumber daya
pembangun-an yang paling utama dan memandang kesejahteraan material-spiritual rakyat sebagai
tujuan yang harus dicapai oleh proses pembangunan. Kajian strategis pemberdayaan masyarakat,
baik ekonomi, sosial, budaya maupun politik menjadi penting sebagai input untuk reformulasi
pembangunan yang berpusat pada rakyat. Reformulasi ini memberikan peluang yang sangat besar
bagi masyarakat untuk membangun secara partisipatif. Dalam pembangunan partisipatif,
pemberdayaan merupakan salah satu strategi yang dianggap tepat jika faktor-faktor determinan
dikondisikan sedemikian rupa sehingga esensi pemberdayaan tidak terdistorsi.

Kondisi tersebut mencerminkan perlu adanya pergeseran peran pemerintah yang bersifat mendesak
dari peran sebagai penyelenggara pelayanan sosial menjadi fasilitator, mediator, koordinator,
pendidik, mobilisator, sistem pendukung, dan peran-peran lainnya yang lebih mengarah pada
pelayanan tidak langsung. Adapun peran organisasi lokal, organisasi sosial, LSM dan kelompok
masyarakat lainnya lebih dipacu sebagai agen pelaksana perubahan dan pelaksana pelayanan sosial
kepada kelompok rentan atau masyarakat pada umumnya. Dalam posisi sedemikian, permasalahan
sosial ditangani oleh masyarakat atas fasilitasi pemerintah.

Berkenaan dengan strategi pemberdayaan, Mark G. Hanna dan Buddy Robinson (dalam Hikmat,
2004:19) mengemukan bahwa ada tiga strategi utama pemberdayaan dalam praktek perubahan
sosial, yaitu tradisional, direct action (aksi langsung), dan transformasi. 1) Strategi tradisional,
menyarankan agar mengetahui dan memilih kepentingan terbaik secara bebas dalam berbagai
keadaan, 2) Strategi direct-action, membutuhkan dominasi kepentingan yang dihormati oleh semua
pihak yang terlibat, dipandang dari sudut perubahan yang mungkin terjadi, dan 3) Strategi
transformatif, menunjukkan bahwa pendidikan massa dalam jangka panjang dibutuhkan sebelum
pengiden-tifikasian kepentingan diri sendiri.

Setiap strategi terdiri atas teori, konsep, dan keahlian yang melekat erat pada masing-masing strategi
yang kemudian dirinci ke dalam delapan teori khusus, sepuluh konsep, dan dua belas keahlian.
Semua tanda yang ada di dalam matriks itu memberikan informasi yang cukup untuk menjamin
terciptanya hubungan yang harmonis antara satu dan lainnya. Penggunaan matriks tersebut akan
memberikan klarifikasi terhadap bagian-bagian penting dalam praktek perubahan sosial bagi orang-
orang yang terlibat. Pada tahap awal, para praktisi akan bekerja dengan baik melalui sosialisasi diri
mereka terhadap tiga komponen dasar teori, konsep, dan keahlian sebagaimana usaha untuk
memahami kategori ketiganya. Berdasarkan hal ini, perbandingan dari ketiga perbedaan metode
perubahan sosial tersebut dapat dibuat.

Dengan demikian menurut Hikmat (2004:80) bahwa proses pembangunan masyarakat hendaknya
diasumsikan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

a) Arah pertumbuhan masyarakat selalu bertumpu pada semakin membesarnya partisipasi dalam
struktur sosial.

b) Terjadinya berbagai kondisi ketidakpuasan yang dirasakan oleh warga masyarakat dewasa ini
harus dijadikan sebagai titik tolak bagi program pembangunan masyarakat.

c) Ketidakpuasan yang dirasakan dan dialami oleh warga masyarakat harus disalurkan kedalam
perencanaan dan tindakan pemecahan masalah bersama.
d) Pelaksanaan program-program pembangunan masyarakat harus mengikutsertakan pemimpin-
pemimpin yang diidentifikasikan dan diterima oleh berbagai kelompok sosial utama dalam
masyarakat.

e) Organisasi pelaksana program pembangunan masyarakat harus mengembangkan jalur komunikasi


yang efektif-efisien dalam berbagai kelompok sosial utama masyarakat, serta memperkuat
kemampuan kelompok itu untuk saling bekerjasama melaksanakan prosedur kerja yang luwes-
fleksibel, tanpa merusak pola pengambilan keputusan (decision making) secara teratur.

f) Penentuan program pembangunan masyarakat harus bertumpu pada keputusan bersama warga
masyarakat itu sendiri, dengan memperhatikan kecepatan langkah masyarakat dan melibatkan warga
masyarakat secara penuh dalam proses perencanan pembangunan.

Mengapa pula pembangunan masyarakat dipandang sangat penting, Hikmat (2004:81)


mengemukakan pertimbangan-pertimbangannya sebagai berikut:

1. Masyarakat yang sehat merupkan produk dari masyarakat yang aktif.

2. Proses perencanaan yang berasal dan diinginkan oleh masyarakat adalah lebih baik dibandingkan
dengan perencanaan yang berasalh dari penguasa.

3. Proses partisipasi dalam pembangunan masyarakat merupakan pencegahan berbagai sikap masa
bodoh dari individu-individu dalam masyarakat.

4. Proses pemberdayaan yang kuat dalam upaya-upaya kemasyarakatan merupakan dasar kekuatan
bagi masyarakat.

Relevansinya dengan upaya penanggulangan kemiskinan, memang diakui bahwa secara nasional
telah dilaksanakan melalui program jaring pengaman sosial QPS) atau social safety net (SSN) dan
program kompensasi (CP) yang dipadu dengan Program Penanggulangan Kemiskinan atau Poverty
Allevation (PA). Pada prinsipnya, program JPS bertujuan untuk membantu penduduk miskin agar
tidak menjadi semakin miskin dan terpuruk, serta agar dapat Mdup layak (Haryono, 1998; Justika,
1998). Sebagai inovasi sosial, JPS sudah mulai diterapkan pada awal 1880-an ketika pemerintaah
Otto von Bismark di Jernian dan David Loyd George di Inggris melembagakan sistem perlindungan
dan jaminan sosial (social security). Untuk selanjutnya, program ini diikuti oleh Amerika Serikat
yang mulai diluncurkan pada 1935, Eropa Timur yang diluncurkan pada 1980-an (Justika, 1998).
Adapun JPS masuk ke Indonesia termasuk ke dalam paket program strategi penyesuaian struktural
atau Structure Adjusment Programme (SAP) yang disodorkan oleh lembaga internasional seperti
International Monetary fund (IMF) dan the World Bank berbarengan dengan pinjaman yang akan
dikucurkan (Yulfita, 1998).

Sementara itu, Program Kompensasi (Compensatory Programme) bersifat jangka pendek dan
bertujuan untuk menolong penduduk yang secara langsung terkena dampak kebijakan penyesuaian
struktural ekonomi (economic structural adjusment). Kebijakan yang berlangsung secara bersamaan
ini juga menrmbulkan ekses bagi para pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (Haryono,
1998). Adapun program penanggulangan kemiskinan merupakan program intervensi pembangunan
jangka panjang yang dilakukan secara berkesinambungan oleh pemerintah dan masyarakat.

Upaya lain untuk menanggulangi masalah kemiskinan adalah partisipasi aktif seluruh masyarakat
melalui sebuah gerakan yang massif. Gerakan ini dilakukan untuk menghilangkan kesan bahwa
upaya penanggulangan kemiskinan “hanya” merupakan tanggung jawab pemerintah. Partisipasi aktif
masyarakat juga menunjukkan bahwa mereka memiliki empati yang dalam yang dibangun dari
prinsip silih asih, silih asuh dfan silih asah. Kepedulian pemerintah dalam penanggulangan
kemiskinan dapat dilihat melalui program Gerakan Terpadu Penanggulangan Kemiskinan (Gerdu
Taskin) yang dicanangkan pemerintah sejak 1998. Gerdu Taskin merupakan upaya penanggulangan
kemiskinan yang terpadu dan menyeluruh yang dilakukan pemerintah, kalangan swasta, lembaga
swadaya masyarakat (NGO), dan organisasi rnasyarakat, masyarakat luas, serta keluarga miskin itu
sendiri. Sebagai upaya konkrit kearah itulah maka sejak tahun 1998/1999 diimplementasikan
kebijakan Program Pengembangan Kecamatan (PPK), dan Program Penanggulangan Kemiskinan
Perkotaan (P2KP) selanjutnya apa yang disebut dengan Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM-PPK atau PNPM-P2KP) yang secara substantif menggugah partisipasi aktif
masyarakat dalam ikutserta dalam gerakan penanggulangan kemiskinan.

Sehubungan dengan peran pemerintah dalam setiap program pembangunan yang bersentuhan
dengan kepentingan publik itu, Sumodiningrat (1999:202) menegaskan bahwa: Program
pemberdayaan masyarakat dirancang oleh pemerintah untuk memecahkan tiga masalah utama
pembangunan yakni pengangguran, ketimpangan, dan pengentasan kemiskinan. Upaya pengentasan
kemiskinan yang dianjurkan menurut

kebijaksanaan pemberdayaan masyarakat tak lain adalah kebijaksanaan memberi ruang gerak,
fasilitas publik dan kesempatan-kesempatan yang kondusif bagi maraknya kemampuan dan
kemungkinan kelompok masyarakat miskin untuk mengatasi masalah mereka sendiri dan tidak
untuk justru menekan dan mendesak mereka ke pinggir-pinggir atau ke posisi-posisi ketergantungan
Sementara itu Rondinelli, (1990:91) mengemukakan ada tiga strategi dasar program yang bertujuan
untuk membantu penduduk miskin yakni:

1. Bantuan disalurkan ke tempat dimana mayoritas orang miskin hidup, melalui program
pembangunan desa terpadu atau proyek produksi pelayanan yang berorientasi pada penduduk desa.

2. Bantuan dipusatkan untuk mengatasi cacat standar kehidupan orang-orang miskin melalui
program kebutuhan dasar manusia.

3. Bantuan dipusatkan pada kelompok yang mempunyai ciri sosio ekonomi yang sama yang
mendorong atau mempertahankan mereka untuk terus berkubang di dalam lingkaran kemiskinan
melalui proyek yang dirancang bagi masyarakat tertentu.

Sumber:
Yulianto Kadji. 2013. KEMISKINAN DAN KONSEP TEORITISNYA. UNG Repository.
http://repository.ung.ac.id/hasilriset/show/1/318/kemiskinan-dan-konsep-teoritisnya.html . diaskes
pada 22 April 2020.
Pengertian Kemiskinan

Kemiskinan adalah suatu kondisi ketidakmampuan secara ekonomi untuk memenuhi standar hidup
rata-rata masyarakat di suatu daerah. Kondisi ketidakmampuan ini ditandai dengan rendahnya
kemampuan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan pokok baik berupa pangan, sandang, maupun
papan. Kemampuan pendapatan yang rendah ini juga akan berdampak berkurangnya kemampuan
untuk memenuhi standar hidup rata-rata seperti standar kesehatan masyarakat dan standar
pendidikan. Kondisi masyarakat yang disebut miskin dapat diketahui berdasarkan kemampuan
pendapatan dalam memenuhi standar hidup (Nugroho, 1995). Pada prinsipnya, standar hidup di
suatu masyarakat tidak sekedar tercukupinya kebutuhan akan pangan, akan tetapi juga tercukupinya
kebutuhan akan kesehatan maupun pendidikan. Tempat tinggal ataupun pemukiman yang layak
merupakan salah satu dari standar hidup atau standar kesejahteraan masyarakat di suatu daerah.
Berdasarkan kondisi ini, suatu masyarakat disebut miskin apabila memiliki pendapatan jauh lebih
rendah dari rata-rata pendapatan sehingga tidak banyak memiliki kesempatan untuk mensejahterakan
dirinya (Suryawati, 2004). Pengertian kemiskinan yang saat ini populer dijadikan studi
pembangunan adalah kemiskinan yang seringkali dijumpai di negara-negara berkembang dan
negara-negara dunia ketiga. Persoalan kemiskinan masyarakat di negara-negara ini tidak hanya
sekedar bentuk ketidakmampuan pendapatan, akan tetapi telah meluas pada bentuk
ketidakberdayaan secara sosial maupun politik (Suryawati, 2004). Kemiskinan juga dianggap
sebagai bentuk permasalahan pembangunan yang diakibatkan adanya dampak negatif dari
pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang sehingga memperlebar kesenjangan pendapatan antar
masyarakat maupun kesenjangan pendapatan antar daerah (inter region income gap) (Harahap,
2006). Studi pembangunan saat ini tidak hanya memfokuskan kajiannya pada faktor-faktor yang
menyebabkan kemiskinan, akan tetapi juga mulai mengindintifikasikan segala aspek yang dapat
menjadikan miskin.

Definisi Kemiskinan Secara Umum

Definisi mengenai kemiskinan dibentuk berdasarkan identifikasi dan pengukuran terhadap


sekelompok masyarakat/golongan yang selanjutnya disebut miskin (Nugroho, 1995). Pada
umumnya, setiap negara termasuk Indonesia memiliki sendiri definisi seseorang atau suatu
masyarakat dikategorikan miskin. Hal ini dikarenakan kondisi yang disebut miskin bersifat relatif
untuk setiap negara misalnya kondisi perekonomian, standar kesejahteraan, dan kondisi sosial.
Setiap definisi ditentukan menurut kriteria atau ukuran-ukuran berdasarkan kondisi tertentu, yaitu
pendapatan rata-rata, daya beli atau kemampuan konsumsi rata-rata, status kependidikan, dan
kondisi kesehatan. Secara umum, kemiskinan diartikan sebagai kondisi ketidakmampuan pendapatan
dalam mencukupi kebutuhan pokok sehingga kurang mampu untuk menjamin kelangsungan hidup
(Suryawati, 2004: 122). Kemampuan pendapatan untuk mencukupi kebutuhan pokok berdasarkan
standar harga tertentu adalah rendah sehingga kurang menjamin terpenuhinya standar kualitas hidup
pada umumnya. Berdasarkan pengertian ini, maka kemiskinan secara umum didefinisikan sebagai
suatu kondisi ketidakmampuan pendapatan dalam memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan
lainnya yang dapat menjamin terpenuhinya standar kualitas hidup. Berdasarkan Undang-Undang No.
Tahun 2004, kemiskinan adalah kondisi sosial ekonomi seseorang atau sekelompok orang yang tidak
terpenuhinya hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang
bermartabat. Kebutuhan dasar yang menjadi hak seseorang atau sekelompok orang meliputi
kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber
daya alam, lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak
untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan kehidupan sosial dan politik. Laporan Bidang
Kesejahteraan Rakyat yang dikeluarkan oleh Kementrian Bidang Kesejahteraan (Kesra) tahun 2004
menerangkan pula bahwa kondisi yang disebut miskin ini juga berlaku pada mereka yang bekerja
akan tetapi pendapatannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokok/dasar. Definisi
kemiskinan kemudian dikaji kembali dan diperluas berdasarkan permasalahan-permasalahan
kemiskinan dan faktor-faktor yang selanjutnya menyebabkan menjadi miskin. Definisi kemiskinan
yang dikemukakan oleh Chambers adalah definisi yang saat ini mendapatkan perhatian dalam setiap
program pengentasan kemiskinan di berbagai negara-negara berkembang dan dunia ketiga.
Pandangan yang dikemukakan dalam definisi kemiskinan dari Chambers menerangkan bahwa
kemiskinan adalah suatu kesatuan konsep (integrated concept) yang memiliki lima dimensi, yaitu:

1) Kemiskinan (Proper)

Permasalahan kemiskinan seperti halnya pada pandangan semula adalah kondisi ketidakmampuan
pendapatan untuk mencukupi kebutuhankebutuhan pokok. Konsep atau pandangan ini berlaku tidak
hanya pada kelompok yang tidak memiliki pendapatan, akan tetapi dapat berlaku pula pada
kelompok yang telah memiliki pendapatan.

2) Ketidakberdayaan (Powerless)

Pada umumnya, rendahnya kemampuan pendapatan akan berdampak pada kekuatan sosial (social
power) dari seseorang atau sekelompok orang terutama dalam memperoleh keadilan ataupun
persamaan hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
3) Kerentanan menghadapi situasi darurat (State of emergency)

Seseorang atau sekelompok orang yang disebut miskin tidak memiliki atau kemampuan untuk
menghadapi situasi yang tidak terduga di mana situasi ini membutuhkan alokasi pendapatan untuk
menyelesaikannya. Misalnya, situasi rentan berupa bencana alam, kondisi kesehatan yang

membutuhkan biaya pengobatan yang relatif mahal, dan situasi-situasi darurat lainnya yang
membutuhkan kemampuan pendapatan yang dapat mencukupinya. Kondisi dalam kemiskinan
dianggap tidak mampu untuk menghadapi situasi ini.

4) Ketergantungan (dependency)

Keterbatasan kemampuan pendapatan ataupun kekuatan sosial dari seseorang atau sekelompok
orang yang disebut miskin tadi menyebabkan tingkat ketergantungan terhadap pihak lain adalah
sangat tinggi. Mereka tidak memiliki kemampuan atau kekuatan untuk menciptakan solusi atau
penyelesaian masalah terutama yang berkaitan dengan penciptaan pendapatan baru. Bantuan pihak
lain sangat diperlukan untuk mengatasi persoalan-persoalan terutama yang berkaitan dengan
kebutuhan akan sumber pendapatan.

5) Keterasingan (Isolation)

Dimensi keterasingan seperti yang dimaksudkan oleh Chambers adalah faktor lokasi yang
menyebabkan seseorang atau sekelompok orang menjadi miskin. Pada umumnya, masyarakat yang
disebut miskin ini berada pada daerah yang jauh dari pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Hal ini
dikarenakan sebagian besar fasilitas kesejahteraan lebih banyak terkonsentrasi di pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi seperti di perkotaan atau kota-kota besar. Masyarakat yang tinggal di daerah
terpencil atau sulit dijangkau oleh fasilitas-fasilitas kesejahteraan relatif memiliki taraf hidup yang
rendah sehingga kondisi ini menjadi penyebab adanya kemiskinan.

Skema Terbentuknya Perangkap Kemiskinan

Skema terbentuknya kemiskinan yang didasarkan pada konsep yang dikemukakan oleh Chambers
menerangkan bagaimana kondisi yang disebut miskin di sebagian besar negara-negara berkembang
dan dunia ketiga adalah kondisi yang disebut memiskinkan. Kondisi yang sebagian besar ditemukan
bahwa kemiskinan selalu diukur/diketahui berdasarkan rendahnya kemampuan pendapatan dalam
memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok berupa pangan, kesehatan, perumahan atau pemukiman, dan
pendidikan. Rendahnya kemampuan pendapatan diartikan pula sebagai rendahnya daya beli atau
kemampuan untuk mengkonsumsi.
Kemampuan pendapatan yang relatif terbatas atau rendah menyebabkan daya beli seseorang atau
sekelompok orang terutama untuk memenuhi kebutuhan pokok menjadi rendah (Nugroho, 1995:
17). Konsumsi ini terutama ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan gizi dan kesehatan standar.
Akibatnya, kemampuan untuk mencapai standar kesejahteraan menjadi rendah seperti:

1) Ketersediaan pangan tidak sesuai atau tidak mencukupi standar gizi yang disyaratkan sehingga
beresiko mengalami mal gizi atau kondisi gizi rendah yang selanjutnya sangat rentan terhadap resiko
penyaki menular.

2) Kesehatan relatif kurang terjamin sehingga rentan terhadap serangan penyakit dan kemampuan
untuk menutupi penyakit juga relatif terbatas sehingga sangat rentan terhadap resiko kematian

3) Perumahan atau pemukiman yang kurang/tidak layak huni sebagai akibat keterbatasan pendapatan
untuk memiliki/mendapatkan lahan untuk tempat tinggal atau mendapatkan tempat tinggal yang
layak. Kondisi ini akan berdampak mengganggu kesehatan.

4) Taraf pendidikan yang rendah. Kondisi ini disebabkan karena keterbatasan pendapatan untuk
mendapatkan pendidikan yang diinginkan atau sesuai dengan standar pendidikan.

Kondisi-kondisi akibat keterbatasan atau rendahnya pendapatan di atas menyebabkan terbentuknya


status kesehatan masyarakat yang dikatakan rendah (morbiditas) atau berada dalam kondisi gizi
rendah. Kondisi seperti ini sangat rentan terhadap serangan penyakit dan kekurangan gizi yang
selanjutnya disertai tingginya tingkat kematian (mortalitas). Angka mortalitas yang tinggi dan
keadaan kesehatan masyarakat yang rendah akan berdampak pada partisipasi sosial yang rendah,
ketidakhadiran yang semakin tinggi, kecerdasan yang rendah, dan ketrampilan yang relatif rendah.

Berikut ini adalah penjelasan mengenai masing-masing keadaan yang disebabkan oleh adanya
mortalitas maupun morbiditas yang tinggi.

1) Tingkat Partisipasi Sosial Yang Rendah

Kondisi kesehatan maupun gizi yang rendah menyebabkan ketahanan fisik atau modal fisik yang
diperlukan untuk partisipasi sosial menjadi rendah. Hal ini dikarenakan kesehatan yang terganggu
tidak dapat menunjang partisipasi secara penuh baik di lingkungan kemasyarakatan maupun di
lingkungan kerja. Sebagian besar golongan masyarakat miskin relative jarang terlibat secara aktif
dalam aktivitas sosial.

2) Absensi Meningkat
Faktor kualitas kesehatan yang rendah tidak mendukung adanya aspek kehadiran dalam aktivitas
kemasyarakatan baik di lingkungan sosial, pendidikan, maupun pekerjaan. Akibatnya,
ketidakhadiran atau absensi dalam segala aktivitas menjadi semakin meningkat sehingga tidak
memiliki kesempatan untuk berperan secara aktif dalam lingkungan sosial tersebut.

3) Tingkat Kecerdasan Yang Rendah

Faktor gizi buruk ataupun kualitas kesehatan yang rendah akan berdampak pada menurunnya
kualitas intelektual. Seperti diketahui bahwa kinerja otak manusia yang diperlukan untuk
menyelesaikan suatu masalah memerlukan gizi yang memadai atau ideal. Kekurangan gizi termasuk
faktor yang paling utama terhadap adanya penurunan kualitas intelektual.

4) Ketrampilan Yang Rendah

Pada prinsipnya, ketrampilan merupakan salah satu bentuk dari adanya kreativitas. Aktivitas ini
harus ditunjang dengan kondisi kesehatan yang mencukupi dan tentunya adalah kualitas intelektual
yang memadai. Masyarakat yang mengalami kekurangan gizi ataupun rentan terhadap gangguan
kesehatan relatif sulit untuk mengembangkan ketrampilannya. Hal ini dikarenakan dukungan
kesehatan untuk menjunjang pengembangan kreativitas kerja relatif rendah sehingga tidak memiliki
banyak kesempatan untuk meningkatkan kualitas ketrampilannya.

Bentuk dan Jenis Kemiskinan

Dimensi kemiskinan yang dikemukakan oleh Chambers memberikan penjelasan mengenai bentuk
persoalan dalam kemiskinan dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kondisi yang disebut
memiskinkan. Konsep kemiskinan tersebut memperluas pandangan ilmu sosial terhadap kemiskinan
yang tidak hanya sekedar kondisi ketidakmampuan pendapatan dalam memenuhi
kebutuhankebutuhan pokok, akan tetapi juga kondisi ketidakberdayaan sebagai akibat rendahnya
kualitas kesehatan dan pendidikan, rendahnya perlakuan hukum, kerentanan terhadap tindak
kejahatan (kriminal), resiko mendapatkan perlakuan negatif secara politik, dan terutama
ketidakberdayaan dalam meningkatkan kualitas kesejahteraannya sendiri.

Berdasarkan kondisi kemiskinan yang dipandang sebagai bentuk permasalahan multidimensional,


kemiskinan memiliki 4 bentuk. Adapun keempat bentuk kemiskinan tersebut adalah (Suryawati,
2004):

1) Kemiskinan Absolut
Kemiskinan absolut adalah suatu kondisi di mana pendapatan seseorang atau sekelompok orang
berada di bawah garis kemiskinan sehingga kurang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan standar
untuk pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk meningkatkan
kualitas hidup. Garis kemiskinan diartikan sebagai pengeluaran rata-rata atau konsumsi rata-rata
untuk kebutuhan pokok berkaitan dengan pemenuhan standar kesejahteraan. Bentuk kemiskinan
absolut ini paling banyak dipakai sebagai konsep untuk menentukan atau mendefinisikan kriteria
seseorang atau sekelompok orang yang disebut miskin.

2) Kemiskinan Relatif

Kemiskinan relatif diartikan sebagai bentuk kemiskinan yang terjadi karena adanya pengaruh
kebijakan pembangunan yang belum menjangkau ke seluruh lapisan masyarakat sehingga
menyebabkan adanya ketimpangan pendapatan atau ketimpangan standar kesejahteraan.
Daerahdaerah yang belum terjangkau oleh program-program pembangunan seperti ini umumnya
dikenal dengan istilah daerah tertinggal.

3) Kemiskinan Kultural

Kemiskinan kultural adalah bentuk kemiskinan yang terjadi sebagai akibat adanya sikap dan
kebiasaan seseorang atau masyarakat yang umumnya berasal dari budaya atau adat istiadat yang
relatif tidak mau untuk memperbaiki taraf hidup dengan tata cara moderen. Kebiasaan seperti ini
dapat berupa sikap malas, pemboros atau tidak pernah hemat, kurang kreatif, dan relatif pula
bergantung pada pihak lain.

4) Kemiskinan Struktural

Kemiskinan struktural adalah bentuk kemiskinan yang disebabkan karena rendahnya akses terhadap
sumber daya yang pada umumnya terjadi pada suatu tatanan sosial budaya ataupun sosial politik
yang kurang mendukung adanya pembebasan kemiskinan. Bentuk kemiskinan seperti ini juga
terkadang memiliki unsur diskriminatif.

Bentuk kemiskinan struktural adalah bentuk kemiskinan yang paling banyak mendapatkan perhatian
di bidang ilmu sosial terutama di kalangan negaranegara pemberi bantuan/pinjaman seperti Bank
Dunia, IMF, dan Bank Pembangunan Asia. Bentuk kemiskinan struktural juga dianggap paling
banyak menimbulkan adanya ketiga bentuk kemiskinan yang telah disebutkan sebelumnya (Jarnasy,
2004: 8-9). Setelah dikenal bentuk kemiskinan, dikenal pula dengan jenis kemiskinan berdasarkan
sifatnya. Adapun jenis kemiskinan berdasarkan sifatnya adalah:
1) Kemiskinan Alamiah

Kemiskinan alamiah adalah kemiskinan yang terbentuk sebagai akibat adanya kelangkaan sumber
daya alam dan minimnya atau ketiadaan pra sarana umum (jalan raya, listrik, dan air bersih), dan
keadaan tanah yang kurang subur. Daerah-daerah dengan karakteristik tersebut pada umumnya
adalah daerah yang belum terjangkau oleh kebijakan pembangunan sehingga menjadi daerah
tertinggal.

2) Kemiskinan Buatan

Kemiskinan buatan adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh sistem moderenisasi atau
pembangunan yang menyebabkan masyarakat tidak memiliki banyak kesempatan untuk menguasai
sumber daya, sarana, dan fasilitas ekonomi secara merata. Kemiskinan seperti ini adalah dampak
negatif dari pelaksanaan konsep pembangunan (developmentalism) yang umumnya dijalankan di
negara-negara sedang berkembang. Sasaran untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi tinggi
mengakibatkan tidak meratanya pembagian hasil-hasil pembangunan di mana sektor industry
misalnya lebih menikmati tingkat keuntungan dibandingkan mereka yang bekerja di sektor
pertanian.

Kedua jenis kemiskinan di atas seringkali masih dikaitkan dengan konsep pembangunan yang sejak
lama telah dijalankan di negara-negara sedang berkembang pada dekade 1970an dan 1980an
(Jarnasy, 2004: 8). Persoalan kemiskinan dan pembahasan mengenai penyebab kemiskinan hingga
saat ini masih menjadi perdebatan baik di lingkungan akademik maupun pada tingkat penyusun
kebijakan pembangunan (Suryawati, 2004: 123). Salah satu perdebatan tersebut adalah menetapkan
definisi terhadap seseorang atau sekelompok orang yang disebut miskin. Pada umumnya, identifikasi
kemiskinan hanya dilakukan pada indikator-indikator yang relatif terukur seperti pendapatan per
kapita dan pengeluaran/konsumsi rata-rata. Ciri-ciri kemiskinan yang hingga saat ini masih dipakai
untuk menentukan kondisi miskin adalah:

1) Tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, peralatan kerja, dan ketrampilan
yang memadai.

2) Tingkat pendidikan yang relatif rendah

3) Bekerja dalam lingkup kecil dan modal kecil atau disebut juga bekerja di lingkungan sektor
informal sehingga mereka ini terkadang disebut juga setengah menganggur
4) Berada di kawasan pedesaan atau di kawasan yang jauh dari pusat-pusat pertumbuhan regional
atau berada pada kawasan tertentu di perkotaan (slum area)

5) Memiliki kesempatan yang relatif rendah dalam memperoleh bahan kebutuhan pokok yang
mencukupi termasuk dalam mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan sesuai dengan
standar kesejahteraan

pada umumnya. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa ciri-ciri kemiskinan di atas tidak
memiliki sifat mutlak (absolut) untuk dijadikan kebenaran universal terutama dalam menerangkan
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kemiskinan ataupun terbentuknya kemiskinan. Sifat-sifat
kemiskinan di atas hanya merupakan temuan lapangan yang paling banyak diidentifikasikan atau
diukur.

Indikator-Indikator Mengenai Kemiskinan

Pengukuran mengenai kemiskinan yang selama ini banyak dipergunakan didasarkan pada ukuran
atas rata-rata pendapatan dan rata-rata pengeluaran masyarakat dalam suatu daerah. Perluasan
pengukuran dengan menyertakan pandangan mengenai dimensi permasalahan dalam kemiskinan
mengukur banyaknya individu dalam sekelompok masyarakat yang mendapatkan pelayanan atau
fasilitas untuk kesehatan dan pendidikan. Beberapa perluasan pengukuran lainnya adalah
menyertakan dimensi sosial politik sebagai referensi untuk menerangkan terbentuknya kemiskinan.
Keseluruhan hasil pengukuran ini selanjutnya dikatakan sebagai indikator-indikator kemiskinan
yang digolongkan sebagai indikator-indikator sosial dalam pembangunan. Adapun mengenai
beberapa indikator-indikator kemiskinan akan diuraikan pada sub sub bab berikut ini.

Indikator Kemiskinan Berdasarkan Dimensi Ekonomi

Berdasarkan sudut pandang ekonomi, kemiskinan adalah bentuk ketidakmampuan dari pendapatan
seseorang maupun sekelompok orang untuk mencukupi kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar.
Dimensi ekonomi dari kemiskinan diartikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan
atau dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan seseorang baik secara finansial maupun
jenis kekayaan lainnya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
(Suryawati, 2004: 123). Dari pengertian ini, dimensi ekonomi untuk kemiskinan memiliki dua aspek,
yaitu aspek pendapatan dan aspek konsumsi atau pengeluaran. Aspek pendapatan yang dapat
dijadikan sebagai indikator kemiskinan adalah pendapatan per kapita, sedangkan untuk aspek
konsumsi yang dapat digunakan sebagai indikator kemiskinan adalah garis kemiskinan.
1) Pendapatan Per Kapita

Pendapatan per kapita menyatakan besarnya rata-rata pendapatan masyarakat di suatu daerah selama
kurun waktu 1 tahun. Besarnya pendapatan per kapita (income per capita) dihitung dari besarnya
output dibagi oleh jumlah penduduk di suatu daerah untuk kurun waktu 1 tahun (Todaro, 1997: 437).
Indikator pendapatan per kapita menerangkan terbentuknya pemerataan pendapatan yang merupakan
salah satu indikasi terbentuknya kondisi yang disebut miskin. Pendapatan per kapita dapat

dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Todaro, 1997: 437-438):

t Per Kapita t Y = Y Pop

di mana:

YPer Kapita = Pendapatan per kapita

Yt = Pendapatan pada tahun t

Popt = Jumlah penduduk pada tahun t.

Variabel pendapatan dapat dinyatakan sebagai Produk Domestik Bruto (PDB), Pendapatan Nasional,
atau Produk Domestik Regional Bruto, sedangkan jumlah penduduk menyatakan banyaknya
penduduk pada periode t di suatu daerah yang diukur pendapatan per kapitanya.

2) Garis Kemiskinan

Garis kemiskinan merupakan salah satu indikator kemiskinan yang menyatakan rata-rata
pengeluaran makanan dan non-makanan per kapita pada kelompok referensi (reference population)
yang telah ditetapkan (BPS, 2004). Kelompok referensi ini didefinisikan sebagai penduduk kelas
marjinal, yaitu mereka yang hidupnya dikategorikan berada sedikit di atas garis kemiskinan.
Berdasarkan definisi dari BPS, garis kemiskinan dapat diartikan sebagai batas konsumsi minimum
dari kelompok masyarakat marjinal yang berada pada referensi pendapatan sedikit lebih besar
daripada pendapatan terendah. Pada prinsipnya, indikator garis kemiskinan mengukur kemampuan
pendapatan dalam memenuhi kebutuhan pokok/dasar atau mengukur daya beli minimum masyarakat
di suatu daerah. Konsumsi yang dimaksudkan dalam garis kemiskinan ini meliputi konsumsi untuk
sandang, pangan, perumahan, kesehatan, dan pendidikan (Suryawati, 2004: 123).

Indikator Kemiskinan Berdasarkan Dimensi Peran Pemerintah


Pemerintah sebagai regulator sekaligus dinamisator dalam suatu perekonomian merupakan salah
satu pihak yang memiliki peran sentral dalam upaya untuk menanggulangi permasalahan
kemiskinan. Di Indonesia, pelaksanaan penanggulangan permasalahan kemiskinan dikoordinasikan
oleh Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan yang bekerja sama dengan Departemen
Kesehatan dan Departemen Sosial. Program penanggulangan masalah kemiskinan ini dibiayai
melalui Anggaran Pembangunan dan Belanja Nasional (APBN) melalui pos pengeluaran untuk
Program Pembangunan. Prinsip yang digunakan untuk program ini bahwa penanggulangan
kemiskinan dilakukan melalui upaya untuk meningkatkan pembangunan di bidang sumber daya
manusia dan pemenuhan sarana maupun pra sarana fisik. Kedua bentuk pelaksanaan dalam APBN
ini disebut juga investasi pemerintah untuk sumber daya manusia dan investasi pemerintah di bidang
fisik. Adapun pos pengeluaran pembangunan untuk investasi sumber daya manusia maupun
investasi fisik dapat dilihat pada

Indikator Kemiskinan Berdasarkan Dimensi Kesehatan

Dari berbagai data kemiskinan yang dihimpun menyebutkan adanya keterkaitan antara kemiskinan
dan kualitas kesehatan masyarakat. Rendahnya kemampuan pendapatan dalam
mencukupi/memenuhi kebutuhan pokok menyebabkan keterbatasan kemampuan untuk menjangkau
atau memperoleh standar kesehatan yang ideal/layak baik dalam bentuk gizi maupun pelayanan
kesehatan yang memadai. Dampak dari kondisi seperti ini adalah tingginya resiko terhadap kondisi
kekurangan gizi dan kerentanan atau resiko terserang penyakit menular. Kelompok masyarakat yang
disebut miskin juga memiliki keterbatasan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan/pengobatan
yang memadai sehingga akan menyebabkan resiko kematian yang tinggi. Indikator pelayanan air
bersih atau air minum merupakan salah satu persyaratan terpenuhinya standar hidup yang ideal di
suatu daerah. Ketersediaan air bersih akan mendukung masyarakat untuk mewujudkan standar hidup
sehat yang layak. Dalam hal ini, ketersediaan air bersih akan mengurangi resiko terserang penyakit
yang diakibatkan kondisi sanitasi air yang buruk. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka terdapat
keterkaitan/hubungan antara ketersediaan pelayanan air bersih dan jumlah penduduk miskin di suatu
daerah. Pada sisi permasalahan lain, ketersediaan air bersih sangat ditentukan oleh kemampuan
pembangunan pra sarana air bersih dalam menjangkau lingkungan atau pemukiman masyarakat.
Masyarakat yang kurang terjangkau oleh pelayanan air bersih/minum relatif lebih rendah kualitas
kesehatannya dibandingkan masyarakat yang telah mendapatkan pelayanan air bersih.

Sumber:
Peningkatan kesejahteraan masyarakat merupakan salah satu agenda kebijakan pembangunan yang
terus menerus dilakukan oleh pemerintah. Salah satu strategi kebijakan yang ditempuh oleh
pemerintah adalah percepatan penurunan angka kemiskinan. Kemiskinan merupakan tantangan
terbesar yang selalu dihadapi oleh berbagai bangsa dari zaman ke zaman. Hingga kini, kemiskinan
masih menjadi masalah serius di negara-negara berkembang, bahkan juga di negara maju. Di
Indonesia, kemiskinan diterjemahkan sebagai kondisi seseorang atau masyarakat yang tidak
memiliki kemampuan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Untuk mempercepat penurunan angka kemiskinan, pemerintah telah mengalokasikan anggaran


kemiskinan untuk pengentasan kemiskinan setiap tahunnya di dalam alokasi belanja negara. Dalam
kurun waktu tahun 2012-2018, anggaran pengentasan kemiskinan dalam APBN mengalami
peningkatan dari tahun-tahun (Gambar 1). Dalam kurun waktu tersebut, pemerintah telah
menggelontorkan anggaran pengentasan kemiskinan sebesar Rp1.239,9 triliun, dengan pertumbuhan
rata-rata per tahunnya sebesar 20,61 persen.

Besarnya nilai dan pertumbuhan tahunan anggaran pengentasan kemiskinan tersebut diharapkan
memberikan dampak yang besar dan signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di
Indonesia. Artinya, keberhasilan kebijakan anggaran pengentasan kemiskinan ini sangat ditentukan
pada dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan tersebut terhadap peningkatan kesejahteraan
masyarakat.

Salah satu ukuran yang dapat dijadikan sebagai indikator peningkatan kesejahteraan masyarakat
adalah persentase penduduk miskin atau angka kemiskinan yang rutin dirilis oleh Badan Pusat
Statistik (BPS). Dalam kurun waktu tahun 2012-2018, persentase penduduk miskin terus mengalami
penurunan dari tahun ke tahun, dengan rata-rata penurunan sebesar 3,06 persen per tahunnya. Pada
tahun 2012, persentasenya mencapai 11,66 persen dan menurun cukup signifikan pada tahun 2018
menjadi 9,66 persen. Capaian penurunan persentase penduduk miskin ini dapat dijadikan gambaran
bahwa terjadi tren peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia yang cukup signifikan dari tahun
ke tahun. Capaian ini juga dapat dijadikan parameter bahwa anggaran pengentasan kemiskinan yang
begitu besar berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Namun, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah apakah tren peningkatan
kesejahteraan masyarakat Indonesia yang cukup signifikan tersebut benar-benar sebuah realitas dan
trennya sejalan dengan parameter kesejahteraan lainnya.

Global Hunger Index (GHI): Proksi Alternatif Tingkat Kesejahteraan Masyarakat


Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menunjukkan tingkat kesejahteraan sebuah negara
adalah Global Hunger Index (GHI) atau Indeks Kelaparan Global yang dikembangkan oleh
International Food Policy Research Institute (IFPRI). GHI merupakan alat yang dirancang untuk
mengukur dan melacak kelaparan secara komprehensif di tingkat global, regional, dan nasional yang
dapat dimanfaatkan sebagai instrumen untuk melihat capaian tingkat indeks kelaparan antar negara.
Kondisi kelaparan ini menggambarkan akan rendahnya kapasitas produksi pangan dan rendahnya
kemampuan memanfaatkan institusi, lingkungan, dan sumber daya alam dalam menciptakan kualitas
hidup secara keseluruhan. Dalam perhitungannya, GHI merupakan indeks komposit dari 4 (empat)
komponen, yakni: 1) prevalensi kekurangan gizi; 2) proporsi anak di bawah usia lima tahun yang
menderita wasting; 3) proporsi anak di bawah usia lima tahun yang menderita stunting; dan 4)
tingkat kematian anak di bawah usia lima tahun. Dilihat dari komponen pembentuk, perbaikan
capaian indeks GHI yang diperoleh oleh sebuah negara sebenarnya menunjukkan bahwa adanya
perbaikan ketercukupan gizi, berkurangnya proporsi penduduk yang menderita wasting dan stunting,
serta menurunnya angka kematian anak. Dengan kata lain, capaian perbaikan tersebut dapat juga
dimaknai sebagai perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang sejahtera berarti
masyarakat yang kebutuhan gizinya tercukupi, fisiknya bertumbuh sehat dan normal, serta semakin
menjauh dari resiko kematian.

Dalam kurun waktu tahun 2015-2018, capaian GHI Indonesia tidak mengalami perbaikan yang
menggembirakan atau bahkan mengalami stagnasi (Gambar 2). Nilai GHI Indonesia relatif tidak
mengalami perbaikan yang signifikan, yakni dari 22,1 di tahun 2015 menjadi 21,9 di tahun 2018

atau masih stagnan di atas 20. Menurut Skala Keparahan GHI1, capaian Indonesia yang masih
stagnan berada di atas 20 menunjukkan tingkat kelaparan Indonesia tidak jauh berubah yang masih
tetap berada pada level serius dari berbagai aspek yang mencerminkan kekurangan gizi akut,
pengerdilan anak, kekurangan gizi kronis, atau kematian anak, yang mencerminkan tingkat
kelaparan dan gizi anak-anak, serta tantangan ekstrim lainnya yang dihadapi populasi. Capaian yang
relatif tidak mengalami perbaikan dalam empat tahun terakhir ini juga dapat diartikan bahwa
peningkatan kesejahteraan masyarakat sebenarnya juga tidak mengalami perbaikan yang signifikan.

Kondisi kelaparan Indonesia saat ini relatif lebih buruk jika dibandingkan dengan negara-negara
Asia Tenggara. Nilai GHI Thailand dan Malaysia jauh lebih baik dibanding Indonesia, yakni sebesar
10,4 dan 13,3. Indonesia hanya lebih baik dari Kamboja sebesar 23,7 dan Laos sebesar 25,3.
Perbandingan capaian ini menunjukkan bahwa kesejahteraan masyarakat Indonesia masih tertinggal
dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia. Kondisi ini menjadi pekerjaan rumah yang harus cepat
diselesaikan oleh pemerintah. Mengatasi kelaparan dan memperbaiki kondisi kelaparan di Indonesia
harus menjadi salah satu perhatian utama pemerintah dalam konteks mendorong peningkatan
kesejahteraan masyarakat Indonesia di masa-masa mendatang.

Indikasi Kelaparan di Indonesia

Permasalahan kelaparan merupakan hal yang kompleks karena berhubungan dengan persoalan
kekurangan kalori pada manusia. The Food and Agriculture Organization of the United Nations
(FAO) (2017) mendefinisikan kelaparan sebagai kondisi kekurangan makanan atau kekurangan gizi,
karena konsumsi kalori yang terlalu sedikit untuk menyediakan jumlah minimum energi makanan
yang diperlukan setiap individu untuk menjalani kehidupan yang sehat dan produktif, mengingat
jenis kelamin orang tersebut, usia, tinggi badan, dan tingkat aktivitas fisik. Kenyataannya, Indonesia
belum bisa disebut sebagai negara makmur yang jauh dari kelaparan akibat kurang gizi. Selain itu,
salah satu ancaman serius dan ditakuti oleh umat manusia di muka bumi ini adalah terjadinya
kelangkaan akan kecukupanpada tahun 2010 menjadi 13,5 persen di tahun 2018.

Kondisi ini justru dikhawatirkan akan menurunkan kualitas sumber daya manusia di masa
mendatang. Kenyataannya, gizi merupakan investasi sumber daya manusia yang sangat penting yang
dapat berpengaruh pada kecerdasan anak. Karena keberhasilan pembangunan suatu bangsa lebih
ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas. Perkembangan kecerdasan
anak dapat terganggu oleh kondisi lingkungan atau fisik yang kurang mendukung, seperti
kekurangan gizi dan stimulasi dari lingkungan. Dampak jangka panjangnya kekurangan gizi yang
berat mengakibatkan ukuran lingkar kepala yang lebih kecil dan menjadikan kemampuan kognitif
yang lebih rendah.

Sumber: Buletin APBN. 2019. Mereview Kondisi Kelaparan Indonesia. Pusat Kajian Anggaran
Badan Keahlian DPR RI. Vol. IV, Edisi 12, Juli 2019.
https://berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/public-file/buletin-apbn-public-85.pdf. diaskes
pada 22 April 2020.
KELAPARAN DAN KEMISKINAN ISU GLOBAL | HUNGER AND POVERTY AS
GLOBAL ISSUES

Saat ini kemiskinan dan kelaparan menjadi isu dunia. Penanganan yang
terfokus pada akar Masalah sangat dibutuhkan dalam pengentasannya.
Namun dapat dilihat bahwa belum ada metode yang handal untuk terus
mengurai dari kemiskinan. Berikut ini adalah bagaimana kemiskinan dan
kelaparan kian terjal terjadi secara struktural. Mengakhiri kelaparan dan
kemiskinan dunia membutuhkan lebih dari sekedar welas asih dan lebih
daripada pembangunan berkelanjutan. Hal ini juga menuntut keadilan demi
tercapainya kesejahteraan sosial dan kemiskinan struktural.

Kemiskinan, harga pangan dan kelaparan tidak dapat dipisahkan.


Kemiskinan menyebabkan kelaparan. Tidak semua orang miskin lapar, tapi
hampir semua orang lapar itu miskin. Jutaan orang hidup dengan kelaparan
dan kekurangan gizi karena mereka tidak mampu untuk membeli makanan
yang cukup, tidak mampu membeli makanan bergizi atau tidak mampu
membeli persediaan pertanian yang mereka butuhkan untuk menumbuhkan
makanan yang cukup baik. Kelaparan bisa dilihat sebagai dimensi
kemiskinan ekstrim. Hal ini sering disebut manifestasi kemiskinan yang
paling parah dan kritis.

Diperkirakan seseorang meninggal karena kelaparan atau penyebab


kelaparan setiap sepuluh detik, Sayangnya, anak-anak yang paling sering
meninggal. Namun ada banyak makanan di dunia untuk semua orang.
Masalahnya adalah orang lapar terjebak dalam kemiskinan parah. Mereka
kekurangan uang untuk membeli cukup makanan untuk memberi makan
diri mereka sendiri. Karena kekurangan gizi, mereka menjadi lebih lemah
dan sering sakit. Hal ini membuat mereka semakin kurang mampu bekerja,
yang kemudian membuat mereka semakin miskin dan lapar.

Penyebab utama kelaparan lainnya adalah bencana alam dan perubahan


iklim. Badai dan kekeringan - keduanya meningkat - merusak tanaman dan
menyebabkan kekurangan pangan secara besar-besaran. Seringkali, negara-
negara paling miskin adalah negara yang paling tidak siap menghadapi
bencana ini, dan gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim
berasal dari negara-negara terkaya.

Dari hutang yang luar biasa dengan represi perempuan terhadap perang dan
konflik, isu keadilan sosial terkait langsung dengan kemiskinan dan
kelaparan. Bahkan komplikasi yang berhubungan dengan bencana alam
seperti kelaparan seringkali memiliki ketidakadilan yang tersembunyi di
bawah permukaan, seperti monopoli lahan atau praktik pertanian yang
tidak adil.

Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan meningkatkan
investasi asing di bidang pertanian. Dengan membangun infrastruktur yang
memadai, menanami lahan dengan benar, mengelola penggunaan air dan
memastikan fasilitas penyimpanan digunakan secara efektif, dampak
bencana alam dapat ditangani dengan lebih mudah.

Sayangnya, sebagian besar negara miskin kekurangan sumber daya dan


pengetahuan untuk menopang sektor pertanian mereka sendiri. Namun,
investasi asing di sektor pertanian negara-negara berkembang akan
membantu mereka untuk mandiri.

Pola makan yang tidak mencukupi untuk menjalani kehidupan normal dan
juga tidak memadai dari sudut pandang nutrisi tidak hanya mempengaruhi
mereka yang hidup dalam kondisi kemiskinan ekstrim, tetapi juga sektor
dan kelompok yang lebih luas yang tinggal di wilayah atau wilayah tertentu
di masing-masing negara.

Tentu masih banyak lagi yang bisa dan perlu dilakukan untuk memperbaiki
ketahanan pangan di negara kita sendiri dan di seluruh dunia. Tapi sebelum
kita bisa melakukan apa saja, pertama kita perlu setidaknya membahas
masalah ini. Bukan tidak adil untuk menyebut keheningan media arus
utama mengenai masalah ini sebagai faktor kontribusi terhadap kelaparan
jutaan orang, baik di dalam negeri bmaupun di luar negeri.

Maka untuk itu Pemerintah Indonesia melalui Millenium Development


Goals (MDGs) terdiri dari delapan tujuan yang muncul dari Konferensi
Tingkat Tinggi Milenium 2000 para pemimpin dunia di New York. MDGs
menyediakan serangkaian sasaran yang terukur untuk memerangi
kemiskinan, kelaparan, buta huruf, penyakit, diskriminasi terhadap
perempuan, dan kerusakan lingkungan - kerangka kerja akuntabilitas yang
harus dilakukan oleh semua negara, termasuk Indonesia.

Penurunan pengentasan kemiskinan di Indonesia sebagian besar


disebabkan oleh kemerosotan permintaan komoditas, yang telah menjadi
faktor utama pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Faktor-faktor termasuk
perdagangan, perluasan investasi tetap dan konsumsi domestik telah
melambat, menyebabkan tingkat pertumbuhan dan pengurangan
kemiskinan yang lebih rendah.

Tantangan lain untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia adalah


perlambatan penciptaan lapangan kerja karena jeda saat ini dalam
pertumbuhan ekonomi. Sekitar 1,7 juta pemuda mencari pekerjaan setiap
tahun. Beberapa tidak akan dapat menemukan pekerjaan karena keadaan
ekonomi saat ini.
Menanggapi isu-isu yang dihadapi Indonesia akan membutuhkan perhatian
yang besar dari pemerintah dan juga mitra pembangunan internasional dan
sektor swasta sampai Indonesia dapat sepenuhnya mendukung dirinya
secara ekonomi. Pembangunan dan infrastruktur juga membutuhkan
dukungan penuh bagi masyarakat miskin untuk memastikan jalan keluar
yang pasti dari kesulitan saat ini, yaitu kemiskinan yang semakin melebar.

Untuk itu, apa yang mestinya dilakukan oleh Pemerintah Indonesia yaitu
Melalui kombinasi antara produksi pertanian dalam negeri dan impor
pangan, Indonesia saat ini mempertahankan tingkat persediaan pangan
yang memadai untuk memberi makan penduduknya. Karena inefisiensi
dalam sistem distribusi dan kemiskinan yang terus-menerus, tingkat
kerawanan pangan yang rendah di Indonesia, terutama di kalangan
penduduk pedesaan.

Menanggapi kekhawatiran tentang gangguan pasokan, Indonesia mestinya


menerapkan kebijakan swasembada pangan--minimal untuk memenuhi
kebutuhan dalam negerinya. Rencana ambisius tersebut adalah latihan
nasionalisme ekonomi dan bukan kesepakatan upaya untuk memastikan
aksesibilitas, keterjangkauan dan ketersediaan pasokan pangan dalam
jangka panjang. Kekurangan produksi saat ini, investasi yang tidak
memadai dalam pembangunan pertanian dan inflasi. Permasalahan lainnya
adalah keamanan air yang merupakan tantangan nasional. Indonesia
menerima curah hujan tingkat tinggi, namun pengelolaan air yang buruk
dan infrastruktur yang berumur dan tidak efisien berarti bahwa hanya
setengah dari populasi yang memiliki akses ke sumber air yang lebih baik.
Pendanaan utama pemerintah untuk pembangunan infrastruktur diperlukan
agar Indonesia dapat memperoleh pasokan air yang berkelanjutan untuk
kesejahteraan masyarakat.

Pada akhirnya, peran pemerintah serta dukungan masyarakat untuk terus


mengubah kemiskinan menjadi suatu perubahan yang berdampak akan
sangat bermanfaat sekali apabila ini dilakukan secara berkelanjutan.
Semoga Indonesia terbebas dari kemiskinan dan kelaparan. Semoga!

Anda mungkin juga menyukai