Anda di halaman 1dari 4

DEPRESI AKIBAT MAHALNYA BIAYA PENDIDIKAN

Pendidikan merupakan kebutuhan primer masyarakat yang harus dijamin


pemenuhannya oleh negara secara langsung. Negara akan memastikan seluruh
rakyat mendapatkan pelayanan tersebut. Tidak mengenal miskin atau kaya, pintar
atau tidak. Semuanya dilayani dan diberi kemudahan akses. Namun sayangnya
hari ini wajah pendidikan kita tidak demikian.

Saat ini banyak sejumlah kasus berderet tentang pendidikan di negari kita, salah
satunya banyak anak muda yang putus sekolah, dikarenakan mahalnya biaya
pendidikan. Tujuan penulis menulis artikel ini adalah, untuk mengetahui apa saja
yang menyebabkan rendah nya pendidikan di Negara kita yaitu Negara Indonesia.
Dan cara mengatasinya

Pendidikan adalah hal penting dalam kehidupan. Karena dengan seseorang


mengenyam pendidikan akan mempengaruhi karakter berpikir dan juga
mempengaruhi kualitas generasi suatu bangsa.

Fakta Pendidikan Buruk, Masa Depan Pelajar Suram

Pendidikan adalah salah satu upaya untuk menanggulangi kebodohan dan


kemiskinan yang terjadi di negara kita. Sudah kita ketahui bahwa Indonesia
merupakan Negara yang mempunyai tingkat kelahiran yang tinggi, dimana
generasi muda adalah harapan untuk mengembangkan negara ini dan harapnya
mereka juga dalam meraih pendidikan setinggi-tingnya, seperti kata Bapak Neslon
Mandela “pendidikan adalah senjata paling mematikan di dunia karena dengan
pendidikan kita dapat mengubah dunia”.

Namun kondisi pendidikan hari ini, banyak masyarakat yang mengeluhkan


dengan mahalnya biaya pendidikan khususnya perguruan tinggi (PT), sehingga
menyebabkan tidak semua anak-anak bisa melanjutkan studinya, sampai ketingkat
perguruan tinggi. Adapun siswa yang mempunyai semangat tinggi untuk
menuntut ilmu keperguruan tinggi namun berujung terkendala dengan biaya yang
akhirnya menyebabkan mahasiswa stress dan depresi.

Sebagaimana yang baru-baru ini terjadi di sebuah Universitas Negeri Yogyakarta


(UNY), seorang mahasiswa bernama Nur Riska Fitri Aningsih (NRFA) yang
meninggal dunia akibat hipertensi berat yang diduga stress karena memikirkan
biaya UKT (Uang Kuliah Tunggal). Inilah potret buram dunia pendidikan,
generasi saat ini berada di tengah tekanan hidup yang sulit, ditambah dengan
sulitnya mengakses layanan pendidikan yang membuat para pelajar depresi.
Diketahui NRFA hanyalah seorang anak penjual sayur yang masih belia namun
dibebankan UKT sebesar Rp 3,14 juta per semester. Nominal tersebut amat
memberatkan. Dia pun harus bolak balik ke rektorat demi mengurus administrasi
meminta keringanan UKT, namun terkendala birokrasi yang berbelit. Karena
kekurangan biaya hidup untuk membayar angkutan saja dia tidak punya. Sehingga
sehari-hari dia berangkat ke kampus dengan berjalan kaki. Sungguh malang,
ditengah perjuangannya itulah NRFA jatuh sakit. Pembuluh darah di otaknya
pecah, hingga menyebabkan tubuhnya lumpuh dan makin melemah hingga
akhirnya meninggal dunia pada 9 Maret 2022.

Saat itu, pihak kampus UNY menyatakan berduka cita, sementara kemendikbud
menegaskan UKT harus disesuaikan dengan pendapatan orang tua. Namun, pada
faktanya yang terjadi sungguh berbeda. Bahkan jika kita menilik data, hasil survey
menunjukkan, 97% mahasiswa UNY keberatan dengan UKT. Bahkan
Kemendikbud mengungkap, per September 2020 angka putus kuliah hampir
mencapai 50% mayoritas disebabkan karena tak mampu membayar UKT
(kompas.com).

Ini disebabkan oleh sistem kapitalisme liberal yang hari ini diterapkan. Dalam
kapitalisme, pendidikan adalah salah satu komoditas dagang yang bisa
menghasilkan keuntungan. Hal ini tercantum di GATS (General Agreement on
Trade in Service) yang dicanangkan WTO pada 1994, yang meliberalisasi 12
sektor jasa termasuk pendidikan, kesehatan, transportasi, dan lainnya. Maka tak
heran, yang ekonominya baik saja yang mampu mengenyam pendidikan
berkualitas baik. Sedangkan rakyat kecil yang tidak punya penghasilan begitu
sulit bahkan nyaris tak mampu menjangkau pendidikan berkualitas baik.

Indonesia sebagai salah satu negara yang meratifikasi perjanjian umum tentang
perdagangan jasa tersebut, akhirnyya memberlakukan UU no.12 tahun 2012, di
mana perguruan tinggi harus berbadan hukum dan mandiri, termasuk dalam aspek
keuangan. Kebijakan ini diikuti dengan Permendikti no 55 tahun 2013 tentang
biaya kuliah tunggal dan UKT. Oleh karenanya, UKT mulai tak bisa ditolerir oleh
para kalangan masyarakat bawah. Dari situ mulai memakan korban. Gara-gara
UKT mahal, jutaan pemuda tak bisa melanjutkan kuliah. Gara-gara UKT, ratusan
ribu lainnya terpaksa putus kuliah di tengah jalan. Bahkan nahasnya, UKT bukan
hanya memupuskan cita-cita pemuda, tapi juga merenggut nyawa sebagaimana
yang terjadi pada NRFA.

Ditambah lagi dengan banyaknya kasus bunuh diri pada pelajar seperti yang telah
terjadi pada seorang siswi SMA di Semarang ditemukan tewas bunuh diri usai
dinyatakan usai dinyatakan tidak lulus ujian masuk UGM. Kemudian di waktu
yang berdekatan seorang Mahasiswa di Kalimantan Timur juga ditemukan tewas
bunuh diri lantaran putus asa belum juga lulus setelah berkulaih selama 7 tahun.
Ini persis sekelumit contoh dari puluhan atau bahkan ratusan kasus bunuh diri
pertahun akibat beratnya beban tuntutan yang dirasakan pelajar kita dalam dunia
kapitalis dewasa ini.

Banyak hal menjadi motif seorang pelajar mengakhiri hidupnya.


Ketidakberdayaan menjadi kondisi hidup dengan situasi ekonomi yang serba sulit
atau terbatasnya kesempatan bersekolah lagi-lagi akibat kapitalisasi pendidikan
adalah sekian hal yang menjadi penyebab utama. Banyaknya kasus bunuh diri
dikalangan pelajar adalah bukti kuat bahwa pendidikan sekuler gagal membangun
kepribadian kuat pada pelajar. Sistem kehidupan sekuler membangun masyarakat
kering keimanan, yang penuh tekanan hidup, dan sulit memenuhi kebutuhan
dasarnya seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan.

Ditambah dengan penetrasi pemikiran sekuler yang memisahkan agama dari


kehidupan, membuat pemuda yang notabene membutuhkan agama sebagai
pegangan hidup, menjadi gamang dan tersesat. Sistem hidup saat ini membuat
generasi kita bingung menjalani kehidupan. Mereka tidak memahami hakikat
tujuan hidup seorang insan. Remajanya pun mudah silau akan tampilan fisik atau
pencapaian karier dan finansial sesuai standar kapitalis.

Mahalnya biaya pendidikan tidak lepas dari paradigma sistem bobrok yang
menegasikan peran negara. Akibatnya, dengan biaya kuliah di perguruan tinggi
swasta yang selangit, para pelajar tidak punya pilihan selain mengejar kuota
masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Itu pun hanya terbatas di jalur penerimaan
khusus undangan atau tes tulis, karena jalur penerimaan mandiri di PTN pun
biayanya mulai tidak realistis.

Pendidikan Generasi Unggul hanya Dengan Sistem Islam

Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam. Islam memandang bahwa pendidikan
adalah kebutuhan dasar bagi rakyatnya. Maka pendidikan di dalam Islam
diberikan secara gratis oleh negara. Dan untuk pembiayaannya akan diperoleh dari
hasil pengelolaan kepemilikan umum seperti hasil sumber daya alam dan
kepemilikan negara seperti fa’i dan kharaj. Untuk itu, negara juga wajib
memastikan bahwa pelayanan pendidikan telah sampai kepada masyarakat secara
merata baik miskin ataupun kaya, baik Muslim atau non-Muslim.

Tinta sejarah Islam pun menorehkan kejayaan yang luar biasa ketika kota Cordova
dan Baghdad menjadi pusat pendidikan, para raja Eropa tidak segan-segan
mengirim putra putri mereka untuk belajar di universitas-universitas terbaik
seperti Al-Mustansiriyah, Al-Azhar, Nizamiyah, dan masih banyak lagi. Namun,
indikator keberhasilan pendidikan bukanlah dilihat dari seberapa banyak pelajar
asing yang masuk menjadi pelajar dalam negeri, melainkan dari output pelajar
yang terbina dengan akidah Islam yang kukuh. Hal ini bisa dilihat dari seberapa
besar peran seorang pemuda terikat pada aturan Allah sebagai konsekuensi
keimananannya.

Dengan kata lain, output pendidikan dalam Islam adalah memiliki kepribadian
Islam yakni pola pikir dan pola sikapnya berstandar kepada Islam saja. Selain itu,
ia memiliki tsaqofah Islam yang mumpuni dan menguasi keterampilan dalam
kehidupan.

Output pendidikan dalam Islam diarahkan untuk bisa memberikan manfaat


sebesar-besarnya bagi umat, menjadi generasi penakluk Roma, dan pengisi
peradaban mulia nan gemilang yang akan menjadi negara adidaya selanjutnya.
Inilah faktor dan indikator penting keberhasilan sebuah pendidikan dalam sebuah
sistem negara.

Demikianlah pengaturan pendidikan dalam sistem Islam (Khilafah). Negara tidak


hanya mengambil peran pasif dan menyerahkan pada swasta, namun negara
berperan aktif dan senantiasa meningkatkan muutu pendidikan agar tercipta
generasi yang lebih baik.Alhasil, akses layanan pendidikan mudah, kemajuan
masyarakat pun bukan hal sulit. Bukan hanya Indonesia emas saja yang terwujud,
dunia pun akan gemilang dibuatnya.

Jadi, jika kita menghendaki hal tersebut benar-benar teralisasi dalam kehidupan
saat ini, maka seyogianya kita mengambil syariat Islam secara menyeluruh dan
mengaplikasikannya dalam setiap lini kehidupan. Wallahu’alam.

Anda mungkin juga menyukai