Saat ini banyak sejumlah kasus berderet tentang pendidikan di negari kita, salah
satunya banyak anak muda yang putus sekolah, dikarenakan mahalnya biaya
pendidikan. Tujuan penulis menulis artikel ini adalah, untuk mengetahui apa saja
yang menyebabkan rendah nya pendidikan di Negara kita yaitu Negara Indonesia.
Dan cara mengatasinya
Saat itu, pihak kampus UNY menyatakan berduka cita, sementara kemendikbud
menegaskan UKT harus disesuaikan dengan pendapatan orang tua. Namun, pada
faktanya yang terjadi sungguh berbeda. Bahkan jika kita menilik data, hasil survey
menunjukkan, 97% mahasiswa UNY keberatan dengan UKT. Bahkan
Kemendikbud mengungkap, per September 2020 angka putus kuliah hampir
mencapai 50% mayoritas disebabkan karena tak mampu membayar UKT
(kompas.com).
Ini disebabkan oleh sistem kapitalisme liberal yang hari ini diterapkan. Dalam
kapitalisme, pendidikan adalah salah satu komoditas dagang yang bisa
menghasilkan keuntungan. Hal ini tercantum di GATS (General Agreement on
Trade in Service) yang dicanangkan WTO pada 1994, yang meliberalisasi 12
sektor jasa termasuk pendidikan, kesehatan, transportasi, dan lainnya. Maka tak
heran, yang ekonominya baik saja yang mampu mengenyam pendidikan
berkualitas baik. Sedangkan rakyat kecil yang tidak punya penghasilan begitu
sulit bahkan nyaris tak mampu menjangkau pendidikan berkualitas baik.
Indonesia sebagai salah satu negara yang meratifikasi perjanjian umum tentang
perdagangan jasa tersebut, akhirnyya memberlakukan UU no.12 tahun 2012, di
mana perguruan tinggi harus berbadan hukum dan mandiri, termasuk dalam aspek
keuangan. Kebijakan ini diikuti dengan Permendikti no 55 tahun 2013 tentang
biaya kuliah tunggal dan UKT. Oleh karenanya, UKT mulai tak bisa ditolerir oleh
para kalangan masyarakat bawah. Dari situ mulai memakan korban. Gara-gara
UKT mahal, jutaan pemuda tak bisa melanjutkan kuliah. Gara-gara UKT, ratusan
ribu lainnya terpaksa putus kuliah di tengah jalan. Bahkan nahasnya, UKT bukan
hanya memupuskan cita-cita pemuda, tapi juga merenggut nyawa sebagaimana
yang terjadi pada NRFA.
Ditambah lagi dengan banyaknya kasus bunuh diri pada pelajar seperti yang telah
terjadi pada seorang siswi SMA di Semarang ditemukan tewas bunuh diri usai
dinyatakan usai dinyatakan tidak lulus ujian masuk UGM. Kemudian di waktu
yang berdekatan seorang Mahasiswa di Kalimantan Timur juga ditemukan tewas
bunuh diri lantaran putus asa belum juga lulus setelah berkulaih selama 7 tahun.
Ini persis sekelumit contoh dari puluhan atau bahkan ratusan kasus bunuh diri
pertahun akibat beratnya beban tuntutan yang dirasakan pelajar kita dalam dunia
kapitalis dewasa ini.
Mahalnya biaya pendidikan tidak lepas dari paradigma sistem bobrok yang
menegasikan peran negara. Akibatnya, dengan biaya kuliah di perguruan tinggi
swasta yang selangit, para pelajar tidak punya pilihan selain mengejar kuota
masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Itu pun hanya terbatas di jalur penerimaan
khusus undangan atau tes tulis, karena jalur penerimaan mandiri di PTN pun
biayanya mulai tidak realistis.
Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam. Islam memandang bahwa pendidikan
adalah kebutuhan dasar bagi rakyatnya. Maka pendidikan di dalam Islam
diberikan secara gratis oleh negara. Dan untuk pembiayaannya akan diperoleh dari
hasil pengelolaan kepemilikan umum seperti hasil sumber daya alam dan
kepemilikan negara seperti fa’i dan kharaj. Untuk itu, negara juga wajib
memastikan bahwa pelayanan pendidikan telah sampai kepada masyarakat secara
merata baik miskin ataupun kaya, baik Muslim atau non-Muslim.
Tinta sejarah Islam pun menorehkan kejayaan yang luar biasa ketika kota Cordova
dan Baghdad menjadi pusat pendidikan, para raja Eropa tidak segan-segan
mengirim putra putri mereka untuk belajar di universitas-universitas terbaik
seperti Al-Mustansiriyah, Al-Azhar, Nizamiyah, dan masih banyak lagi. Namun,
indikator keberhasilan pendidikan bukanlah dilihat dari seberapa banyak pelajar
asing yang masuk menjadi pelajar dalam negeri, melainkan dari output pelajar
yang terbina dengan akidah Islam yang kukuh. Hal ini bisa dilihat dari seberapa
besar peran seorang pemuda terikat pada aturan Allah sebagai konsekuensi
keimananannya.
Dengan kata lain, output pendidikan dalam Islam adalah memiliki kepribadian
Islam yakni pola pikir dan pola sikapnya berstandar kepada Islam saja. Selain itu,
ia memiliki tsaqofah Islam yang mumpuni dan menguasi keterampilan dalam
kehidupan.
Jadi, jika kita menghendaki hal tersebut benar-benar teralisasi dalam kehidupan
saat ini, maka seyogianya kita mengambil syariat Islam secara menyeluruh dan
mengaplikasikannya dalam setiap lini kehidupan. Wallahu’alam.