Anda di halaman 1dari 39

JOURNAL READING

Forensic Investigation of a Rape, Sodomy and Murder Case

Dosen Penguji :

dr. Bianti Hastuti Machroes, MH., Sp.FM

Residen Pembimbing :

dr. Marlion Anthonius E.L.

Disusun oleh:

Widi Hadi Siswanto


Regia Anadhia Pinastika
Nailul Hikmah
Tiga Putu Rona
Amania Mutiara Bahar
Rima Putri Widjiastuti

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN


FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DOKTER KARIADI SEMARANG
PERIODE 13 JANUARI 2020 – 8 FEBRUARI 2020
LEMBAR PENGESAHAN

JOURNAL READING

Forensic Investigation of a Rape, Sodomy and Murder Case

Disusun Oleh :

Widi Hadi Siswanto


Regia Anadhia Pinastika
Nailul Hikmah
Tiga Putu Rona
Amania Mutiara Bahar
Rima Putri Widjiastuti

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan


Klinik di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUP
Dokter Kariadi Semarang

Telah disetujui dan dipresentasikan


Semarang, Januari 2020

Dosen Penguji :

dr. Bianti Hastuti Machroes, MH., Sp.FM


KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
penyayang, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan Journal Reading yang berjudul Forensic Investigation of a Rape,
Sodomy and Murder Case. Journal reading ini dibuat untuk memenuhi salah satu
syarat Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal RSUP Dokter Kariadi Semarang.
Penulis mendapatkan banyak bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai
pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih
kepada dr. Bianti Hastuti Machroes, MH., Sp.FM selaku dokter pembimbing dan
dr. Marlion Anthonius E.L. selaku dokter residen pembimbing, serta seluruh teman
kepaniteraan klinik Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUP
Dokter Kariadi Semarang atas kerjasamanya selama penyusunan Journal reading
ini.
Penulis mengharapkan tanggapan, kritik, dan saran. Semoga Journal
reading ini dapat bermanfaat baik bagi penulis, pembaca, dan semua pihak yang
berkepentingan.

Semarang, 27 Januari 2020

Penulis
BAB I
TERJEMAHAN JURNAL

INVESTIGASI FORENSIK DARI KASUS PEMERKOSAAN, SODOMI


DAN PEMBUNUHAN
HK Pratihari, SK Chakraborty dan Sabyasachi Nath

Abstrak
Terdapat peningkatan yang mengkhawatirkan dari kasus kejahatan seksual yang
berbeda di dunia, tidak terkecuali untuk India. Kasus kejahatan seksual dengan
pemerkosaan, sodomi dan kasus pembunuhan yang dilakukan secara bersamaan
relatif sedikit dan cenderung jarang dilaporkan. Statistik pada jenis kejahatan
tersebut tidak terdapat di dalam literatur maupun penelitian ilmiah, namun saat ini,
jenis kejahatan seperti itu mulai sering dilaporkan atas berbagai alasan. Dalam satu
kasus, seorang gadis berusia 16 tahun, secara rutin sering mengikuti bimbingan
belajar privat yang terletak di dekat desa tempat ia tinggal. Hingga pada suatu hari,
setelah bimbingan belajarnya selesai, gadis tersebut tidak kunjung pulang ke
rumahnya, sehingga dilakukan pencarian hingga larut malam. Tidak terdapat
petunjuk apapun mengenai dimana gadis tersebut berada. Selanjutnya, sebuah FIR
(First Information Report) telah diajukan di kantor kepolisian setempat. Pada hari
berikutnya, dilaporkan bahwa terdapat mayat perempuan setengah telanjang yang
terbaring di hutan sekitar. Mayat diidentifikasi sebagai gadis yang hilang tersebut
oleh para kerabatnya. Tim forensik dan petugas investigasi bersama-sama
mengunjungi tempat kejadian untuk mengumpulkan berbagai bukti fisik yang
untuk analisis forensik. Selain itu, pemerkosaan dan sodomi diikuti dengan
pencekikan pada kasus ini adalah kejadian paling langka dan profil kriminal pelaku
juga telah dibahas terkait dengan analisis psikologis dan psikiatris dari pelaku
seksual dalam kejahatan keji tersebut.

Kata Kunci : Pemerkosaan dan pembunuhan; FIR (Laporan Informasi Pertama);


Bukti fisik; Profil penjahat; Evaluasi forensik; Laporan post-mortem; Analisis
psikiatri

4
Pendahuluan
Di seluruh dunia, dalam segala situasi, wanita dinilai lebih rentan
dibandingkan dengan laki-laki, baik dalam kehidupan publik maupun pribadi.
Mengingat adanya berbagai kekerasan seperti pemerkosaan, pemerkosaan disertai
pembunuhan, prostitusi paksaan, feminisida, lantas beberapa prakarsa telah
diterapkan, dan penegakan hukum turut lebih diketatkan terkait keselamatan
wanita. Saat ini, hal tersebut telah menjadi misi nasional.
Sesuai dengan National Crime Records Bureau (NCRB), MHA, Govt. of
India melaporkan bahwa pada tahun 2011, diketahui bahwa setiap 20 menit,
setidaknya terdapat 1 wanita yang diperkosa di India. Itu artinya, angka ini betul-
betul mengkhawatirkan, namun keyakinan dalam kejahatan terhadap perempuan di
India dilaporkan yaitu sebesar 18.9% pada tahun 2015, sesuai laporan Indian
Express. Rendahnya angka kepercayaan ini dinilai disebabkan oleh berbagai
alasan:
1) Rendahnya kualitas investigasi
2) Masyarakat yang didominasi oleh laki-laki
3) Tidak tersedianya saksi potensial
4) Faktor sosial, dll.
Untuk menyelidiki kasus pemerkosaan dan pembunuhan, tim forensik dan
investigasi perlu menganalisis reka adegan kriminal secepatnya setelah kejadian
dan mengumpulkan bukti-bukti yang ada untuk menganalisis hubungan antara
korban, latar kejadian dan orang-orang yang dicurigai menjadi tersangka untuk
investigasi yang berhasil.
Hal tersebut antara lain :
a) Evaluasi yang benar serta manajemen timely crime scene
b) Foto/sketsa dari TKP, serta segala luka yang terekam pada tubuh dan
bagian pribadi
c) Telpon seluler dari korban dan orang yang dicurigai sebagai tersangka
untuk menganalisis rekaman telpon
d) Jenis dari alat pencekikan seperti sabuk, kawat, selendang (dupatta, baju
panjang yang digunakan

5
e) Bekas pencekikan pada leher korban untuk difoto dengan kamera yang
diperbesar
f) Observasi/rekaman pada gejala post pencekikan pada korban pemerkosaan
g) Kumpulan bukti biologis (vaginal/anal/oral swab) oleh petugas kesehatan
menggunakan sexual assault evidence collection kit (SAECK)
h) Kondom yang digunakan selama tindak kejahatan (bila ada) dan di-swab
secara terpisah dari permukaan dalam/luar
i) Pakaian atau benda apapun yang digunakan korban serta kondisinya
j) Otopsi pada korban oleh tim ahli medikolegal
k) Posisi alas kaki dari korban dan tersangka pada lokasi kejadian
l) Jejak kaki/sepatu pada lokasi kejadian untuk pemeriksaan dan
perbandingan
m) Tanah/serbuk pada tubuh atau pakaian
n) Riwayat keluarga korban dan lainnya untuk membantu investigasi
o) Post analisis dari lokasi kejadian perkara dan profil kriminal.
p) Bercak darah pada tanah
q) Tanda penyeretan pada lokasi kejadian
r) Rambut dari korban perkosaan/suspek pada lokasi kejadian
s) Potongan kuku dari korban perkosaan untuk pemeriksaan dari
darah/kulit/jaringan
t) Viscera/urin korban untuk analisis obat
u) Permohonan sampel biologi yang berbeda, rambut dari suspek untuk
pemeriksaan/penyocokkan.

Laporan Kasus
Gadis berusia 16 tahun yang masih duduk di bangku sekolah ini tinggal bersama
kedua orang tuanya di sebuah desa. Untuk meningkatkan kemampuan
akademiknya, gadis ini mengikuti kegiatan bimbingan belajar, dan ia diajar oleh
guru yang tinggal di desa yang sangat dekat dengan tempat gadis ini tinggal. Suatu
hari, ketika kelas sudah selesai, gadis tersebut tidak kunjung tiba di rumahnya dan
kemudian dilakukan pencarian hingga larut malam. Tidak ada yang mengetahui
dimana gadis tersebut berada. Selanjutnya, sebuah FIR (First Information Report)

6
telah diajukan di kantor kepolisian setempat. Pada hari berikutnya, dilaporkan
bahwa terdapat mayat wanita setengah telanjang yang terbaring di hutan sekitar,
tercekik oleh dupatta/selendang pada lehernya. Mayat tersebut teridentifikasi
sebagai gadis yang hilang oleh kerabatnya. Adanya jejas pada bagian pribadi seperti
anus dan pencekikan menggunakan selendang yang ia gunakan dan gejala
postmortem dari pencekikan, mensugestikan bahwa kasus ini merupakan jenis
kekerasan seksual dan pembunuhan.

Observasi
Posisi/jejas pada mayat dalam insiden pemerkosaan-pembunuhan dan bahan
pengikat yang digunakan ditunjukkan pada gambar 1-6.

Gambar 1 : korban pemerkosaan setengah telanjang yang terbaring di TKP

7
Gambar 2 : korban dengan perdarahan, bibir bengkak dan wajah bengkak

Gambar 3 : pakaian dalam dan celana panjang, serta sepasang sepatu yang terletak 2 meter dari
jenazah

Gambar 4 : celana dalam dan celana menunjukkan penarikan yang dipaksa

8
Gambar 5 : perdarahan dari bagian pribadi

Gambar 6 : alat pencekikan : selendang/dupatta yang dikenakan oleh korban

Bukti Forensik di TKP


Petunjuk yang ditemukan di TKP antara lain :
1) Jenazah terbaring dalam posisi setengah telanjang di sebuah tempat yang
sepi dan diikat dengan dupatta/selendang panjang di lehernya
2) Pakaian dalam dan celana dalam tampak ditarik keluar secara paksa
3) Terjadi perdarahan dari lubang vagina dan dubur; tanah di bawah mayat
tersebut ternoda darah; adanya tanda tinja yang keluar dari anus
4) Adanya kontusio multipel, abrasi dan luka laserasi pada bagian tubuh yang
berbeda, dan menunjukkan noda lumpur di kedua lutut
5) Wajah bengkak, kedua mata tertutup, bibir tampak bengkak
6) Sepasang alas kaki ditemukan tergeletak di tempat

9
7) Swab vagina/anal/oral diawetkan untuk analisis forensik agar sesuai
dengan tersangka
8) Beberapa jejak kaki yang tumpeng tindih tampak pada tanah yang basah
karena air hujan, namun tidak sesuai untuk pemeriksaan/perbandingan
9) TKP tidak menunjukkan tanda bekas pertengkaran yang memperkirakan
bahwa ia diserang oleh lebih dari satu tersangka.

Temuan Otopsi
Eksternal : Jenazah adalah seorang perempuan berusia sekitar 16 tahun, tinggi
badan 157 cm, berat badan 47 kg. Selendang berwarna merah muda/dupatta diikat
di lehernya, bagian ikatan terdalam memiliki satu simpul erat di sisi kanan leher.
Kedua mata jenazah tertutup, mulut setengah terbuka, lidah tergigit, kuku sianosis.
Wajah tampak bengkak, noda darah terdapat pada dahi, hidung, bibir dan perineum.
Lubang anus tampak hilang elastisitasnya, serta terdapat adanya dilatasi; tampak
feses di sekitar anus. Terdapat bekas ikatan yang kering, keras dan berwarna
kecokelatan yang mengelilingi leher, terutama pada bagian depan setinggi kartilago
tiroid.
Luka : Terdapat luka robek berukuran 1.3 cm x 0.5 cm dengan dasar tulang pada
bagian kiri kepala, luka lecet berukuran 1.2 x 0.6 cm pada dahi, di garis tengah
kepala, sebuah luka memar berukuran 1.3 cm x 0.4 cm pada kelopak atas mata kiri,
2 luka memar berukuran 2 x 1.7 cm pada bagian kanan bibir atas dan 3.1 x 1.3 cm
pada bagian kiri bibir atas, satu luka memar berukuran 4 x 3.2 cm pada bagian kiri
bibir bawah, 2 luka memar berukuran 1.7 x 1.5 cm pada pipi kanan dan 4 x 2.5 cm
pada pipi kiri.
Internal : Pada diseksi, jaringan subkutan yang terdapat di bawah bekas ikatan
tampak ekimosis dengan memar otot. Tulang hyoid, kartilago tiroid, kartilago
laring dan trakea tampak intak. Fraktur depresi berukuran 4 x 1 cm tampak pada
sisi kiri tulang frontal. 2 luka memar berukuran 10 x 8 cm dan 3 x 1.5 cm tampak
pada dada bagian atas dan sisi luar lengan kanan atas. Kedua paru, hepar, kandung
empedu, duktus biliaris, limpa, kedua ginjal, ureter tampak bengkak. Kavitas uterus
tampak kosong, luka memar multipel tampak pada batas dalam dari labia minor

10
dengan robekan pada selaput dara. Tidak terdapat adanya abnormalitas lain pada
bagian tubuh lain.

Hasil Studi Otopsi


Penyebab kematian adalah asfiksia akibat pembekapan dan pencekikan. Luka pada
tubuh merupakan luka antemortem, pada waktu yang baru saja terjadi sebelum
kematian.
Bukti forensik :
I. Analisis toksikologi dari viscera dan cairan tubuh telah mengeliminasi
kecurigaan adanya racun maupun obat-obatan pada kasus ini.
II. Profil DNA dari swab vagina sedang diperiksa untuk merekam data dan
kemudian dicocokan dengan terdakwa setelah ditangkap.

Kesimpulan
Analisis pos TKP, beberapa luka pada korban dan bagian pribadi (vagina/anus) dan
perlakuan seks yang tidak wajar (sodomi) pada korban pemerkosaan diikuti dengan
pembunuhan, sangatlah keji dan merupakan kejadian paling langka yang pernah
dilaporkan. Sulit untuk memahami situasi apa yang akan terjadi setelah pemerkosa
tersebut melakukan kejahatan untuk memenuhi kepuasannya dengan membunuh
gadis tersebut. Mungkin saja terdapat rasa marah, rasa terlalu cinta yang akhirnya
menimbulkan kekejaman, dan juga rasa takut terhadap hukuman yang ditentukan
berdasarkan KUHP India dan POCSO (Perlindungan Anak dari Pelanggaran
Seksual). Selanjutnya, terdakwa akan merasa takut untuk dilaporkan oleh korban
jika masih hidup. Modus operandi dari kejahatan ini diduga akibat adanya perasan
emosi secara tiba-tiba dan perasaan untuk melakukan kekerasan dari terdakwa yang
mengakibatkan pembunuhan dengan alat pencekik berupa dupatta/selendang yang
dimiliki korban. Namun, dalam kasus tersebut, terdakwa diharuskan untuk
diperiksa secara psikiatris untuk mengetahui lebih banyak tentang perilaku kriminal
yang pernah mereka lakukan.

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyelidikan dan Penyidikan


2.1.1 Penyelidikan
Pengertian penyelidikan sebagaimana yang tercantum dalam kitab
Undang-Undang Hukum acara pidana (KUHAP) BAB 1 ketentuan
umum pasal 1 butir (5) yang berbunyi :
“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari
dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana
guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini” 1
Dari penjelasan di atas, penyelidikan merupakan cara atau tindakan
pertama yang dilakukan oleh aparat penegak hokum sebelum adanya
sidik atau penyidikan. Tujuannya adalah untuk meneliti sejauh mana
kebenaran sebuah informasi berupa laporan atau aduan ataupun
kejadian langsung yang tertangkap basah langsung oleh aparat agar
dapat memperkuat secara hukum penindakan selanjutnya. Karena aparat
tidak dapat menangkap, menahan, menggeledah, menyita, memeriksa
surat, memanggil dan menyerahkan berkas kepada penuntut umum
jikalau bukti pemulaan atau bukti yang cukup saja belum dilakukan di
awal. Hal ini dapat menjadi kesalahan dalam menangkap pelaku jika
aparat tidak menguji dahulu informasi yang ada sehingga tidak
merendahkan harkat dan martabat manusia.2
Dalam buku M. Yahya Harahap SH, yang berjudul “Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP” beliau menyatakan bahwa
sebelum KUHAP berlaku “opsporningh” atau dalam istilah inggris
disebut “investigation” merupakan kata yang digunakan untuk
menandakan penyelidikan. Barangkali penyelidikan dapat kita samakan
dengan tindakan pengusutan (opsporing). Yang dimaksud tindakan
pengusutan adalah usaha mencari dan menemukan jejak berupa
keterangan dan bukti-bukti sebuah peristiwa yang diduga sebuah

12
tindakan pidana. Akan tetapi pada masa HIR, pengertian pengusutan
(opsporningh) atau penyidikan selalu dipergunakan secara kacau. Tidak
jelas batasan-batasan fungsi pengusutan dengan penyidikan. Sehingga
sering menimbulkan ketidak tegasan dari segi pengertian dan tindakan1
Tuntutan hukum dan tanggung jawab moral yang demikian
sekaligus menjadi peringatan bagi aparat penyidik untuk bertindak hati-
hati, sebab kurangnya ketidak hati-hatian dalam penyelidikan bias
membawa akibat yang fatal pada tingkatan penyidikan, penangkapan,
dan penahanan yang mereka lakukan ke muka sidang peradilan.
Sedangkan sebagaimana yang trdapat dalam KUHAP,
terdakwa/tersangka behak menuntut ganti rugi rehabilitasi atas tindakan
penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan yang
berlawanan dengan hokum. Kalau begitu sangatlah beralasan untuk
tidak melanjutkan suatu penyidikan kepada tingkat penyelidikan, jika
fakta dan bukti belum memadahi di tangan penyidik. Apabila terjadi hal
tersebut di atas, alangkah baiknya kegiatan tersebut dihentikan atau
masih dapat dibatasi pada usaha-usaha mencari dan menemukan
kelengkapan fakta, keterangan dan barang bukti agar memadahi untuk
melanjutkan penyidikan.2.
2.1.2 Penyidikan
Penyidikan merupakan tindakan preventif setelah dilakukanya
penyelidikan dan dari laporan penyelidik diputuskan untuk ditindak
lanjutkan.2 Sebagaimana KUHAP menjelaskan dalam BAB 1 ketentuan
Umum pasal 1 butir 2 yang berbunyi: “Penyidikan adalah serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dakam
undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan
guna menemukan tersangkanya.”1
Berdasarkan bunyi pasal di atas, menurut R.Wiyono, S.H, dalam
bukunya Pengadilan Hak Asasi Manusia Di Indonesia untuk memahami
perbedaan mencolok antara penyelidikan dengan penyidikan jika dalam
penyelidikan arahnya untuk menentukan ada atau tidaknya peristiwa

13
yang diduga merupakan perbuatan pidana. Sedangkan dalam
penyidikan arahnya untuk menentukan siapa tersangka yang dapat
diduga melakukan perbuatan pidana tersebut.2
Maka dari itu, tentulah tugas aparat hukum selanjutnya ialah
menentukan kepastian perbuatan seseorang merupakan perbuatan
pidana berdasarkan undang-undang pidana dengan cara memperoleh
bukti-bukti kuat bahwa pelaku benar-benar melakukanya. Dengan
dimulainya penyidikan ditandai secara formal prosedural dikeluarkanya
surat perintah oleh pejabat yang berwenang di instansi penyidik
sekaligus diterimanya laporan atau pengaduan ataupun informasi
tentang telah terjadinya perbuatan pidana di lapangan.2

2.2 Tempat Kejadian Perkara (TKP)


2.2.1 Pengertian TKP
Apabila telah terjadi suatu tindak pidana maka dengan segera
petugas yang berwenang menangani suatu tindak pidana, berkewajiban
untuk melakukan pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP), yaitu
tempat dimana tersangka dan atau korban dan atau barang-barang bukti
yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut dapat ditemukan.3
Pengertian tempat kejadian perkara dalam petunjuk lapangan
No.Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang pedoman administrasi penyidikan
tindak pidana. Penanganan Tempat Kejadian Perkara terbagi menjadi
2 (dua) :4
a. Tempat dimana suatu tindak pidana dilakukan/terjadi atau akibat
yang ditimbulkan olehnya.
b. Tempat-tempat lain yang berhubungan dengan tindak pidana
tersebut dimana barang-barang bukti, tersangka, atau korban
ditemukan.
Pengertian lain dari TKP adalah tempat ditemukannya benda bukti
dan/atau tempat terjadinya peristiwa kejahatan atau yang diduga
kejahatan menurut suatu kesaksian.5
2.2.2 Pentingnya Penetapan TKP

14
Untuk menuntut seseorang ke pengadilan karena melakukan suatu
tindak pidana, maka harus mengetahui secara pasti dimana tempat
terjadinya tindak pidana itu (locus delicti). Hal ini diperlukan untuk
menetapkan kewenangan Pengadilan Negeri manakah yang berhak
dalam memeriksa suatu perkara tindak pidana (kompetensi relatif). 6
Adapun teori untuk menetapkan locus delicti, yaitu:6
a. Teori perbuatan materiil (perbuatan jasmaniah) adalah penentuan
tempat terjadinya tindak pidana ditentukan oleh perbuatan badan
dari pelaku yang dilakukan untuk mewujudkan tindak pidana itu.
b. Teori instrumen (alat) adalah penentuan tempat terjadinya tindak
pidana berdasarkan dimana bekerjanya alat yang digunakan oleh
pembuat. Alat dalam hal ini dapat berupa benda atau orang yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan.
c. Teori akibat adalah penentuan tempat terjadinya tindak pidana
berdasarkan dari akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana.
Berkaitan dengan penuntutan, penentuan locus delicti dalam
membuat surat dakwaan dalam proses penuntutan mempunyai
peranan yang sangat penting. Dalam surat dakwaan yang dibuat
oleh jaksa penuntut umum harus memenuhi syarat formil dan
syarat materiil sesuai dengan ketentuan Pasal 143 Ayat (2)
KUHAP.
Syarat formil berisikan mengenai identitas pelaku, sedangkan
syarat materiil berisikan uraian secara cermat, jelas, dan lengkap
mengenai tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa dengan
menyebut waktu dan tempat dimana tindak pidana itu dilakukan.
Apabila dalam penyebutan tempat dalam surat dakwaan tidak tepat
dengan keterangan yang diberikan oleh terdakwa, maka hal
tersebut dapat digunakan terdakwa untuk melakukan pembelaan
dengan mengungkapkan apa yang dinamakan dengan
alibi.(Sutarto, 1991:73-75) Alibi ini haruslah dibuktikan dengan
bukti-bukti yang dapat meyakinkan hakim. Apabila hakim dapat
membenarkan alibi tersebut, maka terdakwa akan dibebaskan.

15
Untuk dapat membuktikan ini, ia harus dapat mengetahui di mana
dan kapan menurut surat dakwaan tersebut perbuatan ini
dilakukan.7
Melihat penjelasan di atas maka terlihat betapa pentingnya
penentuan tempat kejadian perkara dari proses penyidikan,
penuntutan, dan penentuan Pengadilan Negeri manakah yang
berhak untuk mengadili.
2.2.3 Dasar Hukum TKP
Adapun kegiatan-kegiatan dalam pengolahan TKP itu meliputi
(Pasal 24 huruf a Perkapolri 14/2012) Tentang tentang manajemen
penyidikan tindak pidana:8
a. Mencari dan mengumpulkan keterangan, petunjuk, barang bukti,
identitas tersangka, dan saksi/korban untuk kepentingan
penyelidikan selanjutnya;
b. Mencari hubungan antara saksi/korban, tersangka, dan barang
bukti; dan
c. Memperoleh gambaran modus operandi tindak pidana yang terjadi;

Ketentuan lain yang mengatur tentang Pengolahan TKP adalah


Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 2010 Tentang Manajemen Penyidikan Oleh Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (“Perkapolri 6/2010”) Dari peraturan ini diketahui bahwa
pihak yang berwenang melakukan pengolahan TKP bukan hanya Polri
melainkan juga Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).9
Dalam rangka pengolahan TKP, tindakan yang dilakukan oleh
PPNS sebagai berikut [Pasal 20 ayat (1) Perkapolri 6/2010]:
a. Mencari keterangan, petunjuk, barang bukti serta identitas
tersangka dan korban maupun saksi untuk kepentingan
penyelidikan selanjutnya; dan
b. Pencarian, pengambilan, pengumpulan, dan pengamanan barang
bukti, yang dilakukan dengan metode tertentu atau bantuan teknis

16
penyidikan seperti laboratorium forensik, identifikasi, kedokteran
forensik, dan bidang ahli lainnya. 9
Selanjutnya dalam Pasal 20 ayat (2) Perkapolri 6/2010 dikatakan
bahwa tindakan yang dilakukan oleh PPNS dalam pengolahan TKP
dituangkan dalam berita acara pemeriksaan di TKP.9

2.2.4 Jenis-jenis TKP 10


Berdasarkan kejadian :
1. Tempat kejadian Perkara Primer adalah tempat terjadinya
kejahatan. 10
2. Tempat kejadian Perkara Sekunder adalah hal yang terkait
dengan kejahatan tetapi tidak di mana kejahatan yang
sebenarnya terjadi, dimana bukti tambahan dapat ditemukan. 10
Berdasarkan skala :
1. TKP makroskopis: Kemungkinan terdiri dari banyak TKP. 10
2. TKP mikroskopis: Lebih fokus pada jenis bukti fisik spesifik
yang ditemukan di TKP makroskopis. 10
Berdasarkan kondisinya :
1. TKP Terorganisir
adalah tempat di mana tindakan yang dilakukan telah
direncanakan dengan cermat oleh individu. kejahatan
terorganisir dilakukan oleh orang-orang yang dapat
membedakan antara benar dan salah, mereka adalah individu
yang mungkin telah ditarik dari kegiatan sosial, mereka
membawa senjata mereka sendiri ke TKP dan mengambilnya
setelah mereka menggunakannya, membuang tubuh jauh dari
pemandangan, tanpa meninggalkan sidik jari atau jejak yang
dapat kembali ke sana. 10
2. TKP Tidak Terorganisir
Adalah tempat tindak kejahatan biasanya kacau balau dimana
pelaku adalah individu yang biasanya hidup sendiri dan telah
menarik diri dari masyarakat, mereka tidak memiliki hubungan

17
interpersonal yang menunjukkan tanda-tanda penurunan
mental dan kemungkinan besar mengalami pelecehan fisik atau
seksual ketika tumbuh dewasa. 10
Berdasarkan lokasinya :
1. Indoor
TKP indoor/dalam ruangan memiliki kemungkinan kontaminasi
yang jauh lebih rendah karena kurangnya paparan. Kontaminasi
di sini biasanya berasal dari faktor orang. 11
2. TKP outdor/di luar ruangan adalah yang paling sulit diselidiki.
Paparan unsur-unsur seperti hujan, angin, atau panas, serta
aktivitas hewan, mencemari TKP dan mengarah pada
penghancuran bukti. Selain itu, sangat sulit untuk memproses
TKP di malam hari saat di luar ruangan. Hal ini dapat
menyebabkan hilangnya dan kehancuran bukti, oleh karena itu
jika memungkinkan, paling baik melestarikan tempat kejadian
kejahatan untuk pemrosesan pada siang hari. 11
3. CONVEYANCE
TKP ini didefinisikan sebagai kejahatan yang dilakukan
dengan menggunakan alat transportasi contoh, pencurian
kendaraan, perampokan. 11

2.2.5 Tindakan Pertama di TKP


Tindakan pertama di TKP (tempat kejadian perkara), yaitu tindakan
penyidik/penyidik pembantu TKP untuk:12
a. Memberikan perlindungan dan pertolongan pertama dalam hal
situasi tempat kejadian tindak pidana masih membahayakan
keamanan terhadap korban maupun masyarakat disekitarnya,
dalam hal korban luka berat, dalam hal korban dalam keadaan
kritis, dalam hal korban mati.
b. Segera menutup dan mengamankan TKP dengan membuat batas di
TKP dengan tali atau alat lain, memerintahkan orang yang berada
di TKP pada saat terjadi tindak pidana untuk tidak meninggalkan

18
TKP, melarang setiap orang yang tidak berkepentingan masuk ke
TKP, berusaha menangkap pelaku yang diperkirakan masih berada
di TKP, minta partisipasi warga untuk mengamankan kerumunan
massa, dan tidak menambah atau mengurangi barang bukti yang
ada di TKP.
c. Koordinasi dengan berbagai tim seperti kesatuan polri terdekat
atau PAMAPTA dengan mempergunakan alat komunikasi yang
ada tanpa mengabaikan segala sesuatu yang telah dikerjakan.12
2.2.6 Prinsip- prinsip olah TKP 13
Pengolahan di tempat kejadian perkara (crime scene processing)
adalah tindakan atau kegiatan-kegiatan setelah dilakukannya tindakan
pertama di TKP yang dilakukan untuk mencari, mengumpulkan,
menganalisa, mengevaluasi petunjuk-petunjuk, keterangan dan bukti
serta identitas tersangka menurut teori “segi tiga” guna memberi arah
terhadap penyidikan selanjutnya.
Pada dasarnya tindakan-tindakan yang dilakukan oleh penyidik
dalam penyidikan di TKP meliputi:
a. Securing the scene (mengamankan TKP)
Mengamankan TKP merupakan tugas dari polisi. Keamanan semua
individu pada area prioritas pertama. Menjaga barang bukti
merupakan prioritas kedua. Hal ini berarti petugas kepolisian harus
melindungi area dimana kejahatan telah terjadi, membatasi semua
orang yang tidak mempunyai wewenang untuk masuk ke area
tersebut.
b. Separating The witness (memisahkan saksi mata)
Memisahkan para saksi mata merupakan prioritas berikutnya. Saksi
mata tidak diperbolehkan untuk saling bicara satu sama lain.
Kejadian yang diutarakan oleh para saksi akan dibandingkan satu
sama lain. Pemisahan ini dilakukan untuk mencegah terbentuknya
kerja sama antar saksimata untuk membuat sebuah cerita.
Pertanyaan berikut merupakan pertanyaan yang serin ditanyakan :
1. Kapan kejadiannya terjadi ?

19
2. Siapa korbannya?
3. Apakah bisa pelaku kejahatannya diidentifikasi?
4. Apa yang anda lihat terjadi?
5. Dimana anda ketika anda melihat tempat kejadian?
c. Scanning the scene
Dilakukan untuk menetukan daerah mana yang harus difoto. Dapat
juga ditentukan TKP primer dan TKP sekunder tergantung dari hasil
pemerintahan. Sebagai contoh : perampokan pada sebuah toko dapat
menjadi TKP Primer dan rumah tersangka menjadi TKP sekunder.
Pembunuhan dapat terjadi pada satu TKP (TKP primer) sementara
mayat dapat ditemukan pada TKP yang lain (TKP sekunder)
d. Seeing the scene (melihat TKP)
Penyidik TKP perlu melihat TKP secara langsung. Foto
keseluruhan area dan foto dari jarak dekat dengan atau tanpa skala
harus diambil. Benda mati juga harus dimasukkan ke dalam foto
sebagai titik referensi. Pemandangan harus diambil dari beberapa
sudut dan jarak. Foto jarak dekat terhadap barang bukti dan tubuh
korban sebaiknya diambil.
e. Sketching the scene (membuat sketsa TKP)
Buat sketsa kasar terhadap TKP, tandai posisi tubuh korban (jika
ada) dan barang bukti yang lain. Semua barang bukti sebaiknya
diukur dari 2 tanda yang tidak bias digerakkan. Pada sketsa, arah
utara harus ditandai dan pada gambar diberikan skala perbandingan.
Objek yang terdapat pada TKP harus tergambar pada sketsa.
f. Searching for evidence (mencari barang bukti)
Tergantung dari jumlah penyidik, TKP dapat diperiksa secara spiral,
grid, linear, atau quadrant. Bila penyidik hanya sendiri, biasanya
digunakan pola spiral, grid, linear. Bila terdapat satu grup penyidik,
dapat digunakan pola linear atau quadrant. Pola-pola tersebut
tersusun secara sistematis, memastikan tidak ada area yang tidak
tersisir. Sumber cahaya mungkin diperlukan untuk mencari rambut
dan serat. Cara pengambilan barang bukti lebih dianjurkan

20
menggunkaan pinset karena cara tersebut menghindari terambilnya
bahan tambahan.
g. Securing and collecting evidence (mengamankan dan
mengumpulkan barang bukti)
Semua barang bukti perlu dikemas, disegel, dan diberikan identitas.
Terdapat tehnik penyimpanan khusu untuk barang bukti, seperti
berikut: cairan disimpan dalam wadah kedap udara dan tidak
mudah hancur. Barang bukti biologis yang lembab disimpan dalam
wadah yang berpori supaya barang bukti bisa kering. Mengurangi
risiko munculnya jamur, setelah barag bukti bias kering, dapat
dibungkus dengan menggunakan kertas yang kemudian akan
diletakkan dalam wadah kertas atau plastic lainnya. Kemudian
disegel menggunakan pita perekat dan diberikan label dengan tanda
tangan pengumpulnya. Pembungkus barang bukti harus mencakup
hal-hal berikut:

1. Nomor kasus
2. Nomor barang bukti
3. Deskripsi barang bukti
4. Nama tersangka
5. Nama korban
6. Waktu dan tanggal pengambilan
7. Tanda tangan orang yang menerima bukti
8. Tanda tangan dari saksi yang melihat proses pengambilan.

2.2.7 Peran Dokter Forensik Di TKP


Bantuan dokter dalam menangani korban di Tempat Kejadian
Korban (TKP) sangatlah krusial, yang mana tidak hanya
ditujukan untuk korban mati saja, melainkan untuk korban hidup
juga. Bila pihak penyidik mendapat laporan bahwa suatu tindak
pidana yang mengakibatkan kematian korban telah terjadi, maka
pihak penyidik dapat meminta/memerintahkan dokter untuk

21
melakukan pemeriksaan di TKP tersebut. Ahli medis sangatlah
krusial dalam investigasi. Dimulai dari pemeriksaan tubuh dan
pengumpulan bukti pada TKP. Kunci utamanya adalah untuk
menyediakan bukti objektif mengenai penyebab, waktu dan motif
kematian untuk peradilan nantinya.14
Pada kasus pembunuhan, atau diduga pembunuhan, atau
kasus lainnya, ahli medikolegal harus datang ke TKP sebelum
tubuh korban dipindahkan. Dokter forensik sebaiknya selalu siap
untuk mendampingi polisi di TKP. Pada beberapa kasus,
investigasi TKP dinilai lebih penting dibandingkan dengan
otopsi. Investigasi yang terarah dan komplit akan menciptakan
diagnosis yang tepat dari penyebab dan motif pembunuhan
dibandingkan otopsi.14 Apabila dokter menerima permintaan,
maka ia harus mencatat:
a) Tanggal dan jam dokter menerima permintaan bantuan
b) Cara permintaan bantuan tersebut (lisan/tertulis)
c) Nama penyidik yang meminta bantuan
d) Alamat TKP dan macam tempatnya14

2.2.8 Dasar hukum bantuan dokter di TKP


Bantuan dokter dalam menangani korban di Tempat Kejadian
perkara (TKP) yang mana tidak hanya ditujukan untuk korban
mati saja, melainkan untuk korban hidup juga. Bila pihak
penyidik mendapat laporan bahwa suatu tindak pidana yang
mengakibatkan kematian korban telah terjadi, maka pihak
penyidik dapat meminta/memerintahkan dokter untuk melakukan
pemeriksaan di TKP. Sebagaimana tercantum di pasal 133
KUHAP yang berbunyi : 15
1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani
seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga
karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang

22
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dana tau ahli lainnya.
2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan
dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat
dan atau pemeriksaan bedah mayat
3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan
penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label
yang memuat identitas mayat, dilakukan dengan diberi cap
jabatan yang diletakkan pada ibu jari kaki atau tubuh lainbadan
mayat. Setiap dokter yang diminta pendapatnya sebagi ahli
kedokteran dalam persidangan wajib memberikan keterangan
ahli demi keadilan, sebagaimana tercantum dalam pasal 179
KUHAP yang berbunyi :16
1) Setiap dokter yang diminta pendapatnya sebagai ahli
dokter
kedokteran kehakiman atau atau ahli lainnya wajib
memberikan keterangan ahli demi keadilan.
2) Semua ketentuan tersebut diatas untuk saksi berlaku juga
bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan
ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janti
akan memberikan keterangan yang yang sebaik-baiknya dan
sebenar-benarnya menurut pengetahuan dalam bidang
keahlian.
Apabila dokter menolak maka ia dikenakan hukuman
berdasarkan pada kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
pasal 224, yang berbunyi :17
Barangsiapa yang dipanggil menurut Undang-Undang
menjadi saksi ahli atau juru Bahasa dengan sengaja atau tidak
menjalankan suatu kewajiban menurut undang-undang yang harus
dijalankan dalam kedudukan tersebut diatas:
1) Dalam perkara pidana, dihukum dengan hukuman penjara

23
selama-lamnya 9 bulan
2) Dalam perkara lain, dihukum dengan hukuman penjara selama-
lamanya 6 bulan.
2.2.9 Peralatan Investigasi yang dibutuhkan di TKP
Seorang ahli forensik harus selalu memiliki peralatan yang
lengkap untuk memeriksa TKP, di antaranya: 5
a) Apron waterproof dan sarung tangan karet
b) Alat tulis (pulpen, pensil, spidol)
c) Disposable jumpsuit, pelindung rambut, pelindung wajah,
d) Thermometer, syringe dan needle, alcohol swabs
e) Set peralatan otopsi dan diseksi
f) Cutting needles dan twine untuk penutupan tubuh
g) Swabs dan container untuk darah dan cairan tubuh
h) Tabung formalin untuk sampel histologi
i) Tas plastik, amplop, kertas
j) Printed body charts untuk merekam luka eksternal
k) Mini tape recorder
l) Jas hujan, payung
m) Kamera, biasanya 35 mm single lens reflex dengan electronic
Flash

2.2.10 Tindakan yang Dikerjakan Dokter di TKP


Jenazah korban adalah hal yang paling penting untuk bukti
potensial pada TKP. Ahli forensik harus berfokus pada kondisi
tubuh di TKP. Langkah-langkah yang dilakukan antara lain:5
a) Persiapan : permintaan tertulis atau tidak, catat tanggal
permintaan, siapa peminta, lokasi dimana, dan alat pemeriksa
TKP
b) Menentukan apakah korban masih hidup atau telah mati, bila
masih hidup upaya terutama ditujukan untuk menolong jiwa
korban terlebih dahulu.

24
c) Bila korban telah mati, tentukan perkiraan saat kematian, dari
penurunan suhu, lebab mayat, kaku mayat, dan perubahan post
mortem lainnya
d) Menentukan identitas atau jati diri korban baik secara visual,
pakaian, perhiasan, dokumen, dokumen medis dan dari gigi,
pemeriksaan serologi, sidik jari
e) Menentukan jenis luka dan jenis kekerasan yang dapat
memberikan informasi perihal alat atau senjata yang dipakai serta
perkiraan proses terjadinya kejahatan
f) Membuat sketsa keadaan di TKP secara sederhana dan dapat
memberikan gambaran posisi korban yang terdapat di TKP
g) Mencari, mengumpulkan dan menyelamatkan barang-barang
bukti (trace evidence) yang ada kaitannya dengan korban, bagi
kepentingan pemeriksaan selanjutnya16

2.3 Pembuktian
2.3.1 Pengertian Pembuktian
Pembuktian merupakan hal yang sangat prinsipil dalam suatu
perkara, apakah itu perkara perdata, pidana, perkara dalam bidang
kewenangan administratif pemerintahan, sengketa pajak, dan lain-lain.
Baik yang diselesaikan melalui lembaga peradilan maupun melalui
lembaga non litigasi seperti arbitrase, mediasi, rekonsiliasi, dan lain-lain.
Hukum pembuktian adalah sebagian dari hukum acara pidana yang
mengatur mengenai macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum,
sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara
mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima,
menolak, dan menilai suatu pembuktian.3
Dalam proses pembuktian perkara pidana yang diatur dalam
KUHAP, pengakuan tidak melenyapkan kewajiban pembuktian.
Menurut Pasal 189 Ayat 4 KUHAP keterangan terdakwa saja tidak cukup
untuk membuktikan bahwa terdakwa tersebut bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan, kecuali disertai dengan alat bukti yang lain.

25
Dalam Pasal 189 Ayat 4 KUHAP, pengakuan bukan merupakan alat
bukti yang sempurna atau bukan volledig bewijs kracht, tapi juga bukan
merupakan alat bukti yang menentukan atau bukan beslissende bewijs
kracht. Oleh karena itu jaksa penuntut umum dan persidangan tetap
mempunyai kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa.dengan
alat bukti yang lain.18
2.3.2 Alat Bukti pada Proses Pembuktian
Menurut Lilik Mulyadi kata “bukti” berarti suatu peristiwa yang
cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu peristiwa tersebut. Secara
terminologi dalam hukum pidana bukti adalah hal yang dapat
menunjukan kebenaran, yang diajukan oleh penuntut umum, atau
terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. Kata
bukti sering digabungkan dengan istilah/kata lain seperti: barang bukti
dan alat bukti.
Barang bukti merupakan benda yang untuk sementara oleh
pejabat yang berwenang diambil alih dan atau disimpan di bawah
penguasaannya, karena diduga terkait dalam suatu tindak pidana. Tujuan
penguasaan sementara benda tersebut adalah untuk kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan pembuktian di sidang pengadilan.
Meskipun barang bukti mempunyai peranan yang sangat penting
dalam proses pidana, namun jika kita perhatikan tidak ada peraturan
perundang-undangan yang memberikan definisi tentang barang bukti.
Akan tetapi bila dihubungkan dengan pasal-pasal yang ada kaitannya
dengan barang bukti maka secara tersirat akan dipahami apa sebenarnya
barang bukti itu.
Pengertian alat bukti juga tidak diatur dalam KUHAP, yang diatur
hanyalah macam-macamnya. sehingga bentuk maupun sifatnya alat bukti
telah ditentukan secara limitatif. Akan tetapi barang bukti ataupun alat
bukti keduanya sama-sama dipergunakan pada waktu pembuktian di
persidangan, yang membedakan antara alat bukti dan barang bukti
adalah:2

26
a. Alat bukti merupakan bukti yang sah dalam persidangan, sedangkan
barang bukti tidak.
b. Kehadiran alat bukti mutlak harus ada dalam persidangan, sedangkan
barang bukti tidak.
c. Barang bukti merupakan sebuah benda atau barang, sedangkan alat
bukti tidak selalu berupa benda atau barang.
Sebagaimana yang telah diatur pada Pasal 184 Ayat (1) KUHAP,
alat-alat bukti yang sah dalam persidangan, yaitu:18
1) Keterangan saksi.
Pengertian keterangan saksi menurut KUHAP adalah salah satu alat
bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi
mengenai suatu peristiwa yang didengar, dilihat sendiri, dan dia
alami sendiri oleh saksi dan dengan menyebutkan alasan dari
pengetahuannya tersebut. Keterangan saksi tidak boleh berupa
pendapat atau hasil rekaan saksi, ataupun keterangan dari orang lain
(KUHAP pasal 185).
Ketentuan keterangan saksi diatur dalam pasal 168, 170, 171 dan
185 KUHAP. Dalam pasal-pasal tersebut mengatur ketentuan
keterangan saksi siapa-siapa yang berhak, tidak berhak, atau
berkompeten menjadi saksi pada suatu tindak pidana. Keterangan
saksi dianggap sah apabila diajukan oleh sedikitnya dua orang saksi.
Bila berasal dari satu orang saja, harus didukung oleh alat bukti sah
lain. Keterangan saksi juga harus diberikan oleh orang yang
berkompeten, yaitu orang yang mampu secara hukum. Orang
disebut berkompeten apabila tidak di bawah umur dan tidak di
dalam pengampuan, misal sakit jiwa.
2) Keterangan ahli.
Perngertian umum keterangan ahli, sesuai dengan pasal 1 butir 28
KUHAP adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlakukan untuk
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan.

27
Pasal 186 KUHAP menjelaskan bahwa: keterangan ahli dapat
diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau jaksa
penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan
dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu menerima jabatan atau
pekerjaan. Jika hal tersebut diberikan pada waktu pemeriksaan oleh
tim penyidik atau jaksa penuntut umum, maka pada pemeriksaan di
sidang, diminta keterangan dan dicatat dalam berita acara
pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan sebelum mengucapkan
sumpah janji di depan hakim.
3) Surat.
Pasal 187 memuat ketentuan tentang surat sebagaimana tersebutkan
pada pasal 184 hurup c, surat dibuat atas sumpah jabatan atau
dikuatkan dengan sumpah. Surat dapat berupa :
a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya,
yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang
didengar, dilihat, atau dialami sendiri, disertai dengan alasan
yang jelas dan tegas tetang keterangannya itu.
b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat yang menangani
hal yang termasuk dalam tatalaksana yang menjadi tanggung
jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian suatu hal
atau suatu keadaan.
c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya yang diminta secara resmi dari
padanya.
d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya
dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Yang dimaksudkan surat menurut penjelasan diatas adalah
surat yang dibuat oleh pejabat-pejabat resmi yang berbentuk
berita acara, akte, surat keterangan ataupun surat yang lain yang
mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang diadili.

28
4) Petunjuk.
Petunjuk menurut KUHAP adalah perbuatan, kejadian atau keadaan,
yang karena persuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
Petunjuk dapat berupa fotografi, foto kopi, kaset rekaman, rekaman
vidio, atau barang bukti lainnya yang diketemukan di tempat kejadian
perkara (TKP). Barang bukti tersebut dapat digunakan sebagai
rekonstruksi kasus atau penelusuran identitas pelaku.
5) Keterangan terdakwa.
Alat yang paling terakhir menurut KUHAP adalah keterangan terdakwa,
merupakan keterangan dari terdakwa tentang apa yang dilakukan,
diketahui sendiri, atau dialami sendiri oleh terdakwa.
2.3.3 Bukti Fisik dalam Ilmu Forensik
Bukti dapat dibagi menjadi dua kategori . yaitu kesaksian berupa kata
atau pernyataan yang diucapkan oleh korban atau saksi dan fisik berupa bukti
nyata seperti rambut, serat, sidik jari, dan bahan biologis.
Konsep yang dikenal sebagai ‘Pertukaran Locard Prinsip’ menyatakan
bahwa setiapseorang memasuki sesuatu lingkungan, sesuatu hal atau bukti
akan ditinggalkan atau dihilangkan di wilayah itu. Prinsip ini kadang-kadang
dinyatakan sebagai ‘setiap kontak meninggalkan jejak’ dan berlaku untuk
menyelidiki antar individu maupun antar individu dengan lingkungan fisik.
Oleh karena itu peneliti penegak hukum dianjurkan untuk selalu beranggapan
bahwa pasti terdapat bukti fisik disetiap adegan. Jumlah dan sifat bukti yang
dibuat akan sangat bergantung pada keadaan kejahatan.
Sering kali, bukti menceritakan sebuah cerita dan membantu penyidik
menciptakan TKP dan menetapkan urutan kejadian. Bukti fisik dapat
menguatkan laporan dari korban, saksii danatau tersangka. Jika dianalisis dan
diinterpretasikan dengan benar, bukti fisik lebih dapat diandalkan daripada
bukti kesaksian. Presepsi individu dan ingatan tentang apa yang terjadi bisa
tidka lengkap atau tidak akurat. Bukti fisik adalah tujuan dari pemeriksaan
dan ketika didokumentasikan, dikumpulkan, dan diawetkan dengan baik

29
mungkin menjadi satu-satunya cra pengumpulan bukti yang paling handal
dalam hal menempatkan atau mengubungkan seseorang TKP. Karena itu
bukti fisikdapat dikatakan sebagai ‘saksi bisu’.
2.3.4 Macam-Macam Bukti Fisik
Bukti fisik yang diketemukan di TKP dapat dikelompokkan menjadi 4
yaitu:20
a. Bukti transient. Bukti ini sesuai dengan sifatnya hanya sementara dan akan
dengan mudah hilang atau berubah. Sebagai contoh adalah: buah-buahan,
suhu, imprints dan indentation (tanda-tanda yang ditimbulkan akibat
tekanan, seperti tanda jejak sepatu, atau tapak ban mobil pada kasus
kecelakaan bermotor), tanda-tanda seperti lembam mayat, jejak bibir di
puntung rokok, bercak darah di pakaian yang akan dicuci, dll. Bukti seperti
ini diketemukan oleh penyidik di TKP, dan harus segera dicatat dan
didokumentasikan.
b. Bukti pola, seperti percikan bercak darah, pola pecahan kaca atau gelas,
pola kebakaran, pola posisi furnitur, trayektori proyektil, dan posisi mayat,
dll.
c. Bukti kondisional, seperti derajat kekakuan mayat, distribusi lembam
mayat, apakah pintu terkunci, apakah lampu menyala, ketebalan dan arah
geraknya asap.
d. Bukti yang dipindahkan (transfer), yang merupakan bukti fisik yang paling
klasik. Bukti transfer terjadi karena kontak antara orang-orang atau benda-
benda, atau antar orang dengan benda.
2.3.5 Penyelidikan Bukti Fisik di TKP
Barang bukti fisik tidak selalu terlihat dengan mata telanjang dan dapat
dengan mudah terabaikan. Pendekatan disiplin untuk pengumpulan dan
pelestarian bukti sangat penting. Satu pengecualian mungkin jika integritas
bukti yang berisiko, dan dalam situasi seperti itu adalah penting bahwa
keputusan yang cepat dibuat untuk mencegah degradasi dan atau kerugian.
Sangat penting bahwa penyidik memperoleh informasi sebanyak munkin
mengenai keadaan kejahatan sebelum memasuki TKP. Laporan dari saksi,
korban atau responden pertama dapat memberikan pemahaman yang lebih

30
luas. Penyelidik dapat mengembangkan pendekatan untuk adegan
berdasarkan informasi ini dan sifat kejahatan.21
Misalnya di tempat perampokan, perhatian bisa fokus pada titik masuk.
Fragmen dari kayu, logam, atau pecahan kaca dapat ditemukan, bersama sidik
jari, darah dan serat dari pakian ketika pelaku memaksa masuk.
Dalam kasus kekerasan seksual perhatian dapat diarahkan pada pakaian
dan pribadi korban serta tersangka. Seorang penyidik mungkin menemukan
cairan tubuh, noda, pakaian robek, sidik jari, serat, rambut, dan bahan lainnya,
jejak di daerah di mana serangan terjadi. Bukti potensial seperti air liur, bekas
gigitan, air mani, rambut, jaringan kulit di bawah kuku jari, dan bahan lainnya
dapat ditemukan pada korban. Bukti ditransfer seperti kosmetik, cairan
vagina, rambut dari korban, dan darah juga dapat ditemukan pada tersangka.22
Setelah bukti potensial ditangani dan didokumentasikan, langkah
berikutnya adalah untuk mengumpulkan dan mengemas barang bukti dengan
cara mencegah kehilangan, kontaminasi, dan perubahan yang merusak. Bukti
biologis membutuhkan perawatan untuk mencegah dari kontaminasi silang
baik oleh penyidik maupun spesimen biologi lainnya di lokasi kejadian. Jenis
peralatan yang digunakan dalam mencegah kontaminasi silang antara lain
adalah :
a. Tyvek kertas putih tubuh setelan
b. Topeng kertas yang mencakup hidung dan mulut
c. Pelindung mata
d. Sarung tangan berbahan lateks atau nitril
e. Pelindung lengan
f. Sepatu
g. Penutup kepala atau net rambut
Penyelidik harus memprioritaskan urutan bukti yang dikumpulkan. Bukti
biologis, bahan jejak, dan bukti yang bersifat rapuh harus dikumpulkan
terlebih dahulu.
Dari TKP bukti fisik tersebut dibawa ke laboratorium forensik, semua
bukti harus diinventariskan dan di jamin untuk menjaga integritas. Hal ini

31
penting untuk menunjukan bahwa bukti yang diperkenalkan di pengadilan
adalah bukti yang sama yang dikumpulkan di TKP.
Bahan-bahan yang dikumpulkan dikemas oleh anggota tim. Kemasan
bukti yang tepat meliputi:
a. Kemasan yang sesuai dan diberi label pada setiap item
b. Setiap kemasan disegel dengan benar dan ditandai
c. Informasi yang benar dan konsisten direkam pada label dan dan
dokumentasi prosedural
Bukti diserahkan kepada penyidik untuk diserahkan ke bagian properti
dan bukti pada suatu departemen. Umumnya pengiriman ke laboratorium
forensik mengguanakan sistem barcode untuk menjamin keamanannya.
Setelah analisis selesai, barang bukti ada yang dikirim kembali ke suatu
lambaga dan didokumentasikan. Lapran penegak hukum, dokumentasi,
laporan analisi di simpandalam bentuk berkas perkara.22
2.3.6 Teknik Pengumpulan Bukti Fisik
Metode pengumpulan bukti berbeda tergantung pada jenis bukti dan substrat
yang ditemukan. Akan lebih baik apabila mengumpulkan bukti di tempat
asalnya. Penyelidik harus berkonsultasi dengan laboratorium forensik lokal
dan mengacu pada departemen prosedur operasi standar terhadap
pengumpulan bukti biologis.
1) Darah dan cairan tubuh lainnya
 Metode serap basah. Dengan menggunakan kasa steril atau benang
yang dibasahi dengan air suling steril. Dengan cara mengusapkan
kasa yangg telah dibasahi pada noda hingga noda terserap pada ujung
kasa, kemudian dibiarkan mengering. Akan lebih baik apabila
pengusapan dilakukan dua kali dengan menggunakan kasa kering
pada pengusapan kedua untuk memastikan sampel terambil secara
menyeluruh.
 Dengan metode scraping. Dengan menggunakan silet atau pisau
bedah yang bersih. Dengan cara menggores sampel dan disimpan
pada selembar kertas bersihyang dapat dilipat atau sejenisnya.

32
 Dengan menggunakan tape. Untuk noda darah kering pada
permukaan yang tidak dapat menyerap. Dengan cara memindahkan
noda pada sisi perekat pita.
2) Rambut dan serat
 Pada beberapa pemeriksaan rambut dan serat dapat dilihat dengan
mata telanjang. Dengan menggunakan pinset bersih dan kertas jeja,
sampel dapat dilipat dam disimpan dalam amplop kertas atau
kemasan lain yang sesuai.
 Dengan metode tape lifting, kaset air atau metanol larut untuk
pengumpulan jejak rambut dan serat. Dengan memberikannya pada
lokasi sampel yang dicurigai dihapus atau dikemas.
 Dengan menggunakan vakum yang telah diberikan saringan, dengan
menggunakan alat pada lokasi sampel, kemudian disimpan pada
kertas jejak bersih. Metode ini sangat jarang digunakan karena rentan
terhadap resiko terkontaminasi silang jika alat tidak dibersihkan
dengan baik.
3) Pengemasan dan penyimpanan
Bukti biologis harus dikeringkan sebelum dikemas untuk meminimalkan
degradasi. Kemasan yang paling sering digunakan adalah kertas, dan
menggunakankemasn plastik apabila sampel benar-benar kering. Pada
sampel cair harus didokumentasikan terlebih dahulu dan ditempatkan
pada gelas steril atau plastik dan didinginkan sesegera mungkin.
4) Dokumentasi
Cara dokumentasi yang sering digunakan di TKP adalah fotografi.
Fotografer harus dapat bersaksi bahwa foto itu adalah representasi yang
benar dan akurat dari aegan pada saat foto itu diambil. Sketsa foto
mungkin tidak selalu menggambarkan hubungan spesial antara objek,
sketsa digunakan untuk melengkapi foto. Sketsa dapat lebih mudah
menggambarkan keseluruhan kejadian dan hubungan antara objek.
Penyidik biasanya membuat sketsa kasar di TKP yang berisii semua
informasi yang diperlukan untuk penyidik menyelesaikan sketsa secara
keseluruhan.23

33
BAB III
JURNAL PEMBANDING

3.1 Jurnal Asli


3.1.1. Kelebihan
a. Melampirkan foto sketsa di TKP dengan lengkap
b. Bukti forensik telah dilakukan analisa toksikologi untuk
mengeliminasi kematian akibat keracunan
c. Telah dilakukan pemeriksaan analisis sperma dengan teknik swab
vagina dan swab oral

3.1.2. Kekurangan
a. Tidak terdapat analisa hubungan antara korban dan pelaku
b. Modus operandi belum diterangkan pada jurnal tersebut
c. Investigasi TKP dilakukan di luar ruangan pada malam hari dengan
kondisi hujan sehingga merusak alat bukti

3.2 Jurnal Pembanding

Jurnal Utama Jurnal Pembanding


Perbedaan 1. penyebab kematian adalah 1. penyebab kematian adalah
asfiksia akibat pembekapan asfiksia akibat pencekikan
dan pencekikan dengan manual
dupatta atau selendang yang
dimiliki korban 2. pelaku pemerkosaan
dilakukan oleh sekelompok
2. pelaku pemerkosaan orang dan tidak direncanakan
dilakukan oleh individu dan
sudah direncanakan
Persamaan 1. laporan kasus mengenai pemerkosaan
2. penyebab kematian akibat asfiksia

34
Jurnal pembanding
Gang Rape and Murder – A case Report
ABSTRAK
Pendahuluan
Di seluruh dunia dalam semua situasi kehidupan, wanita bergerak rentan
daripada pria dalam perkosaan kehidupan publik dan pribadi, pembunuhan,
pembunuhan bayi, pornografi, pelacuran paksa dll. Sesuai literatur yang
tersedia, angka pasti tentang pemerkosaan yang diikuti dengan pembunuhan
tidak tersedia karena kasus-kasus seperti itu sangat terbatas. Dalam satu kasus,
seorang gadis muda meninggalkan rumah menerima telepon di ponselnya.
Karena dia tidak pulang sampai larut malam, orang tua mencari tetapi tidak bisa
melacak. Selanjutnya, laporan yang hilang diajukan di kantor polisi setempat.
Pada jam pagi di hari berikutnya, mayat gadis yang hilang ditemukan terbaring
di ladang yang terisolasi. Tim investigasi dan forensik mengunjungi tempat
kejahatan yang tidak terganggu. Pengamatan bukti forensik, dinamika TKP,
studi viktimologi dan otopsi dapat menjadikan kasus tersebut sebagai perkosaan
dan pembunuhan geng. Analisis pos profil kriminal dan perincian lainnya telah
dibahas dalam tulisan ini.
Di seluruh dunia wanita itu rentan bergerak daripada pria dalam kegiatan
sehari-hari, kehidupan sosial / keluarga dan di tempat kerja. Dalam siklus hidup,
perempuan menjadi sasaran kekerasan yang berbeda-beda yang ditunjukkan
pada Gambar 1 [1-3]. Statistik menunjukkan kekerasan terhadap perempuan
dan rasa tidak hormat sangat meningkat karena berbagai faktor sosial, ekonomi
dan lainnya seperti kurangnya pendidikan, kemiskinan, dominasi laki-laki,
pelecehan di tempat kerja, perselingkuhan, dan lain-lain [4]. Sesuai dengan
National Crime Records Bureau (NCRB), MHA, Govt. dari India, 34.651 kasus
pemerkosaan dilaporkan pada tahun 2015. Kejahatan lebih lanjut terhadap
perempuan di negara ini telah meningkat selama lima tahun terakhir dari 9,4%
di tahun 2011 menjadi 10,7% selama tahun 2015 [5]. Tetapi tidak ada angka
pasti tentang pemerkosaan yang diikuti dengan pembunuhan dalam catatan
karena kejahatan keji ini sangat sedikit dan jarang dilaporkan. Terlihat dalam
kasus-kasus kejahatan seperti itu, seringkali tekanan emosional dari pemerkosa

35
(seorang individu / atau geng) ditemukan agresif dan kejam yang
mengakibatkan pembunuhan korban setelah melakukan pemerkosaan. Profil
kriminal seperti itu diperhatikan untuk menghapus bukti (identitas) sehingga
pemerkosa tidak ditangkap oleh polisi.
untuk menyelidiki kasus-kasus pembunuhan pemerkosaan, tim investigasi
dan forensik perlu menganalisis tempat kejadian perkara dan mengumpulkan
bukti-bukti lain tentang masalah-masalah berikut untuk penuntutan yang efektif
.
a. Evaluasi TKP yang tidak terganggu
b. Catat deskripsi akurat tentang kondisi tubuh (korban)
c. Foto / sketsa tempat kejadian dan korban kejahatan
d. Pengumpulan ponsel untuk analisis catatan panggilan
e. Pengumpulan bukti biologis dan petunjuk memberatkan lainnya untuk
mengaitkan keterlibatan
f. Otopsi korban
g. Kemungkinan tersangka terkait dengan kejahatan
h. Pengumpulan cairan tubuh tersangka untuk menghubungkan bukti forensik
i. Pemeriksaan sidik jari pada kulit tubuh jika terjadi strangulasi manual / dan
bahan strangulasi
j. Cari sidik jari / kaki / sepatu di tempat kejahatan
k. Tanah / serbuk sari pada pakaian yang dikenakan untuk pemeriksaan /
perbandingan l. Latar belakang keluarga korban m. Post analisis profil
kriminal dan TKP, dll.
Hasil Studi Otopsi
Penyebab kematian adalah asfiksia akibat pencekikan manual yang
bersifat pembunuhan. Diskusi Dalam sebagian besar kasus perkosaan-
pembunuhan geng, kekerasan dan agresi ditemukan mengarah pada kematian
korban. Dalam kasus ini, gadis korban meninggalkan rumah mendapatkan
telepon di ponselnya dengan keyakinan sederhana untuk bertemu dengan teman
lelaki itu, tetapi secara tak terduga dihadapkan dengan pemerkosaan geng yang
diikuti dengan pembunuhan. Jenis kejahatan keji seperti ini sangat jarang. Lebih
lanjut, profil kriminal mengungkapkan bahwa para pemerkosa tidak

36
direncanakan untuk membunuh gadis itu, tetapi untuk menghapus bukti
pembunuhan dengan pencekikan sehingga mereka tidak ditangkap oleh polisi
selama penyelidikan. Tidak ada saksi kejahatan ini kecuali bukti fisik dan
digital. Analisis kritis terhadap TKP, temuan forensik, catatan ponsel, dan
laporan otopsi memberikan terobosan pada kasus ini dan memakukan para
pelaku dalam kasus pembunuhan pemerkosaan oleh geng ini.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. M. Yahya harahap, pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP, Jakarta,


Pustaka kartini cetakan ke-2, 1998, hal 99
2. H.Hamrat Hamid, dan Harun M.Husein, pembahasan permasalahan KUHAP
bidang penyidikan, Jakarta: sinar grafika,1992,hal 18
3. Afiah, R.N. 1998. Barang Bukti Dalam Proses Pidana. Jakarta: Sinar Grafika
4. S.Kep Polri No. Pol : S.Kep/1205/IX/2000 tentang Himpunan Bujuklak dan
Bujukmin Proses Penyidikan Tindak Pidana
5. Dhingra (2017) Importance of Medicolegal Experts at Scene of Crime Related to
Death. Journal of Forensic Sciences and Criminal Investigation Vol-6 Issue 1 –
November 2017.
6. Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana,
Bandung: Mandar Maju, 2003
7. Sutarto, Suryono. 1991.Hukum Acara Pidana. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
8. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia nomor 14 tahun 2012 tentang
manajemen penyidikan tindak pidana.
9. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010
Tentang Manajemen Penyidikan Oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
10. Wagner SA (2009) Death Scene Investigation – A Field Guide, Florida, USA.
11. Types of Crime Scene Information Page. www.all-about-forensic-science.com.
Diakses pada 25-01-2019.
12. Sudarto. 1990, Hukum Pidana 1, Semarang: Yayasan Soedarto. Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro.
13. S.P, Garg, Karuna Jindwani, Keshav Singh, Vidya Garg. Role of Medical Doctor
at Scene of Crime, J Indian Acad Forensik Med. Jan-March 2013: 35:234-238
14. Ilmu Kedokteran Forensik, Bagian Kedokteran Forensik Fakulatas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
15. Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 133 tentang Bantuan
Dokter di TKP

38
16. Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 179 tentang
Kewajiban Memberikan Keterangan Ahli
17. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 224 tentang penolakan
pemberian keterangan ahli
18. Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 184 tentang alat-alat
bukti yang sah dalam persidangan.
19. Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 187 tentang definisi
surat untuk alat bukti yang sah
20. Demirci S, Dogan KH. Death Science Investigation from the viewpoint of forensic
medicine expert. Selcuk University;2012:6:1-20
21. Lee HC, Pagliaro EM. Forensic Evidence and Crime Scene Investigation. J
Forensic Investigation. 2013;1(2): 5.
22. Prahlow J (2010) Forensic Pathology for Police Death Investigators, Attorneys and
Forensic Scientists. New Jersey, USA.
23. U.S Department of Justice (2013). Crime Scene Investigation : A Guide for Law
Enforcement.

39

Anda mungkin juga menyukai