Anda di halaman 1dari 30

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Teori Proses Penuaan

Proses penuaan merupakan proses alami yang akan terjadi pada semua

orang. Pada umumnya, orang tidak pernah mempertanyakan mengapa kita

menjadi tua, sakit dan akhirnya meninggal. Namun perkembangan Ilmu

Kedokteran saat ini, telah membawa konsep baru tentang penuaan, dimana

penuaan diperlakukan sebagai suatu penyakit yang dapat diobati bahkan dapat

dicegah, sehingga usia harapan hidup menjadi lebih panjang dengan kualitas

hidup yang lebih baik. Ilmu ini dikenal dengan Anti Aging Medicine (AAM)

(Goldman dan Klatz, 2007; Pangkahila, 2011). Usia manusia dibedakan menjadi

usia kronologis, sesuai dengan tahun kelahiran dan usia biologis, yang sesuai

dengan fungsi organ tubuh. Mencegah proses penuaan dapat membuat usia

biologis lebih muda daripada usia kronologis sehingga dapat terlihat usia dan

kualitas hidup seseorang tampak lebih muda daripada usia sebenarnya

(Pangkahila, 2011).

Penuaan merupakan suatu proses penurunan fungsi biologis yang tidak

dapat dihindari, dimana cepat lambatnya penurunan tergantung dari beberapa

faktor, ada faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang dapat

mempercepat penuaan adalah radikal bebas, penurunan hormon, proses

glikosilasi, proses metilasi, apoptosis, penurunan sistem imunitas, dan faktor

6
7

genetik. Sedangkan faktor eksternal seperti gaya hidup yang tidak sehat, diet yang

tidak sehat, kebiasaan yang kurang baik, polusi lingkungan, stress, dan

kemiskinan (Pangkahila, 2011).

Banyak teori tentang proses penuaan, tetapi dari semua teori tersebut, pada

dasarnya dikelompokan dalam teori “pakai dan rusak” (wear and tear theory) dan

teori program. Teori “pakai dan rusak” meliputi kerusakan DNA, glikosilasi, dan

radikal bebas. Teori program meliputi teori replikasi sel, proses imun, dan teori

hormon (Pangkahila, 2011; Goldman dan Klatz, 2007).

1. Teori pakai dan rusak (wear and tear theory)

Teori ini diperkenalkan oleh Dr.August Weismann (1882), seorang ahli

biologi yang berasal dari Jerman. Menurut teori ini bahwa tubuh dan sel menjadi

cepat rusak karena terlalu sering digunakan dan disalahgunakan. Organ-organ

tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit dan organ lain dapat menurun fungsinya

karena adanya toksin dalam makanan dan lingkungan yang ada di sekitar kita,

konsumsi lemak, gula, kafein, alkohol, dan nikotin yang berlebihan, dapat pula

disebabkan oleh sinar ultraviolet, stress fisik, dan emosional. Kerusakan yang

dapat ditimbulkan, bukan saja pada organ tapi juga pada tingkat sel (Pangkahila,

2011).

Kendati seseorang tidak pernah minum alkohol maupun merokok, hanya

mengkonsumsi makanan alami dan menggunakan organ tubuh secara biasa, pada

akhirnya tetap akan terjadi kerusakan. Penyalahgunaan organ tubuh dapat

mempercepat kerusakan organ, sehingga dapat mempercepat penuaan atau dapat


8

membuat fungsi organ menurun, serta membuat seseorang menderita sakit

(Pangkahila, 2011).

Pada usia muda, sistem pemeliharaan dan perbaikan tubuh mampu

melakukan kompensasi terhadap pemakaian dan kerusakan organ normal serta

berlebihan. Pada usia tua, tubuh kehilangan kemampuan untuk memperbaiki

kerusakan karena penyebab apapun. Oleh karena itu, banyak orang tua yang sakit

bahkan meninggal karena penyakit tertentu, yang pada masa mudanya dapat

ditolak. Teori ini, meyakini bahwa pemberian suplemen yang tepat dan

pengobatan yang tepat waktu dapat mencegah dan membantu mengembalikan

proses penuaan. Cara kerjanya dengan merangsang tubuh untuk melakukan

perbaikan dan mempertahankan fungsi organ dan sel tubuh (Pangkahila, 2011).

2. Teori Neuroendokrin

Teori ini dikembangkan oleh Vladimir Wilman, PhD, yang

mengembangkan teori wear and tear yang mengutamakan peranan hormon bagi

fungsi organ tubuh. Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan

oleh hipotalamus, sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk

suatu poros dengan hipofisis dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan

hormonnya (Pangkahila, 2011).

Pada usia muda, berbagai hormon bekerja dengan baik dalam

mengendalikan fungsi organ tubuh. Oleh karena itu, pada usia muda fungsi

berbagai organ tubuh sangat optimal, seperti kemampuan bereaksi terhadap panas

dan dingin, kemampuan motorik, fungsi seksual, dan fungsi memori. Makin
9

bertambah usia, jumlah hormon makin berkurang sehingga fungsi organ juga akan

menurun dan menimbulkan banyak keluhan seperti menjadi tidak tahan terhadap

suhu dingin, gerakan menjadi lambat, masa otot berkurang, lemak tubuh

meningkat, daya ingat menurun, fungsi seksual menurun. Kerja hormon saling

berkaitan satu sama lain, oleh karena itu, berkurangnya produksi hormon tertentu

dapat mempengaruhi produksi hormon yang lain (Pangkahila, 2011).

3. Teori Kontrol Genetik

Teori ini menganggap bahwa di dalam tubuh manusia terdapat jam

biologik. Peristiwa ini dimulai dari proses konsepsi sampai kematian dalam suatu

model yang terprogram. Walaupun manusia memiliki sistem jam biologik

(biological clock), variasi antar manusia sangatlah besar, dipengaruhi oleh

bagaimana cara manusia tumbuh dan hidup (nature versus nuture). Peristiwa ini

terprogram mulai dari sel embrio, janin, masa bayi, dan anak-anak, remaja,

dewasa, menjadi tua, dan akhirnya meninggal (Ishikawa, 2000).

Pada ujung kromosom terdapat struktur khusus yang disebut telomere.

Secara biokimia, telomere terdiri dari hexanucleotide. Pada setiap pembelahan

sel, telomere akan memendek. Pada saat pembelahan sel berlangsung dan

telomere telah terpakai semua, maka pembelahan sel akan berhenti dan peristiwa

inilah yang disebut dengan kematian. Oleh karena itu, telomere sering dikenal

sebagai jam biologik (biologic clock) (Ishikawa, 2000).

Menurut Hayflick (1998) dalam Pangkahila (2011) menyatakan bahwa

mekanisme pemendekan telomere tersebut yang menentukan rentang usia


10

organisme sendiri. Pada penelitian diketahui bahwa setiap sel mempunyai

kapasitas yang terbatas untuk melakukan pembelahan sel. Contohnya: pada sel

dewasa membelah lebih sedikit dibandingkan dengan sel janin. Perkecualian pada

sel ganas, terjadi pembelahan sel yang tidak terbatas .

4. Teori Radikal Bebas

Teori ini mulai menjadi perhatian, sejak antioksidan diyakini dapat

menghambat kerusakan sel akibat radikal bebas. Radikal bebas adalah suatu

molekul yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas

dihasilkan selama terjadi metabolisme seluler normal, seperti radikal superoksida,

radikal hidroksil, purin, dan pirimidin (Goldmann dan Klatz, 2007).

Radikal bebas mempunyai sifat reaktivitas tinggi, karena memiliki

kecenderungan menarik elektron lain dan dapat mengubah suatu molekul menjadi

suatu radikal bebas oleh karena hilang atau bertambahnya satu elektron pada

molekul lain. Radikal bebas akan merusak molekul yang elektronnya ditarik

sehingga dapat menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel dan akhirnya

kematian sel. Molekul utama dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas adalah

DNA, sehingga terjadi mutasi DNA, cleavage of DNA, dan agregasi biomolekul

melalui cross-linking reaction (Goldmann dan Klatz, 2007).

Makin bertambahnya usia akan terjadi akumulasi kerusakan sel akibat

radikal bebas memegang peranan penting, sehingga mengganggu metabolisme sel,

merangsang mutasi sel, dan akhirnya mengakibatkan terjadinya kanker, serta

membawa kematian. Selain itu, radikal bebas juga mengakibatkan kerusakan


11

kolagen dan elastin yang merupakan suatu protein untuk melindungi kulit agar

tetap lembab, elastis, dan halus. Wajah adalah bagian yang paling mudah dilihat,

dimana akibat radikal bebas akan timbul kerutan pada wajah (Goldmann dan

Klatz, 2007).

2.1.2 Gejala Klinis Penuaan

Proses penuaan dimulai dengan menurunnya bahkan terhentinya fungsi

berbagai organ tubuh. Akibat menurunnya fungsi tersebut, maka muncul berbagai

tanda dan gejala proses penuaan, yang pada dasarnya dibagi dalam dua bagian

yaitu (Pangkahila, 2011):

1. Tanda fisik, seperti masa otot berkurang, lemak meningkat, kulit berkerut, daya

ingat berkurang, fungsi seksual, dan reproduksi terganggu, kemampuan kerja

menurun, sakit tulang.

2. Tanda psikis, seperti gairah hidup menurun, sulit tidur, mudah cemas, mudah

tersinggung, merasa tidak berarti lagi.

Proses penuaan tidak terjadi begitu saja dengan langsung menampakkan

perubahan fisik dan psikis, antara lain seperti di atas. Proses penuaan berlangsung

dalam 3 tahap sebagai berikut (Pangkahila, 2011):

1. Tahap subklinik (usia 25-35 tahun)

Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai menurun,

yaitu hormon testosteron, growth hormone, dan hormon estrogen. Pembentukan

radikal bebas yang dapat merusak sel dan DNA, mulai mempengaruhi tubuh.
12

Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar, sehingga pada tahap ini orang

merasa dan tampak normal, tidak mengalami gejala dan tanda penuaan. Pada

rentang usia ini dianggap usia muda dan normal, padahal sebenarnya sudah mulai

terjadi proses penuaan (Pangkahila, 2011).

2. Tahap Transisi (usia 35-45 tahun)

Selama tahap ini level hormon menurun hingga 25 persen. Massa otot

berkurang sebanyak satu kilogram setiap beberapa tahun, akibatnya kekuatan dan

tenaga terasa hilang, sedangkan komposisi lemak terus bertambah. Keadaan ini

sering menyebabkan resistensi insulin, meningkatnya resiko jantung, dan

pembuluh darah, serta obesitas. Pada tahap ini gejala mulai muncul, yaitu

penglihatan dan pendengaran menurun, rambut putih mulai tumbuh, elastisitas

dan pigmentasi kulit menurun, dorongan seksual menurun. Pada tahap ini orang

merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua. Kerusakan akibat radikal bebas

mulai merusak ekspresi genetik, yang dapat menghasilkan penyakit, seperti

kanker, arthritis (radang sendi), berkurangnya memori, penyakit jantung koroner,

dan diabetes (Pangkahila, 2011).

3. Tahap klinik (usia lebih dari 45 tahun)

Pada tahap ini, penurunan kadar hormon terus menurun yang meliputi

DHEA, melatonin, growth hormone, testosteron, estrogen, dan hormon tiroid.

Penurunan bahkan hilangnya kemampuan penyerapan bahan makanan, vitamin,

dan mineral juga terjadi. Densitas tulang menurun, massa otot berkurang sekitar
13

satu kilogram setiap tiga tahun, yang mengakibatkan ketidakmampuan membakar

kalori, meningkatnya lemak tubuh, dan berat badan. Penyakit kronis menjadi lebih

nyata, sistem organ tubuh mulai mengalami kegagalan. Ketidakmampuan menjadi

faktor utama sehingga mengganggu keharmonisan banyak pasangan (Pangkahila,

2011).

Dengan melihat ketiga tahap ini, ternyata proses penuaan tidak selalu

harus dinyatakan dengan gejala atau keluhan. Ini menunjukkan bahwa orang yang

tidak mengalami gejala atau keluhan, bukan berarti tidak mengalami proses

penuaan. Lebih jauh, hal ini dapat menjadi pegangan bahwa untuk mengatasi

proses penuaan jangan menunggu sampai muncul gejala atau keluhan yang nyata

(Pangkahila, 2011).

2.2 Aktivitas Fisik

Efektivitas Aktivitas fisik untuk mencapai hasil maksimum sesuai sasaran

yang ditetapkan serta tidak menimbulkan dampak negatif perlu dilakukan secara

terencana dan dengan menerapkan tipe dan takaran yang tepat, sebab sesuai

konsep hormesis bahwa dosis rendah mempunyai efek merangsang sementara

dosis tinggi bersifat toksik (Son et al., 2008).

Prinsip aktivitas fisik yang seimbang adalah aktivitas fisik berdasarkan

kaidah fisiologi olahraga meliputi persiapan/pemanasan, latihan inti, dan

pendinginan. Persiapan atau pemanasan dilakukan setiap kali sebelum melakukan

aktivitas fisik sampai denyut jantung meningkat sekitar 30x/menit sesudah itu

baru boleh melakukan aktivitas inti dan setelah melakukan latihan inti perlu
14

dilakukan pendinginan dengan berjalan sampai denyut jantung mendekati normal.

Aktivitas inti harus berpedoman pada Frequency, Intensity, Time and Type (FITT)

(Pangkahila dan Siswanto, 2015).

1. Frekuensi

Frekuensi adalah banyaknya aktivitas fisik atau olahraga perminggu,

minimal 3 - 4 kali perminggu dengan waktu istirahat tidak lebih dari 2

hari.

2. Intensitas

Artinya berat ringannya melakukan aktivitas fisik yang diukur dengan

kemampuan tubuh (kapasitas fisik), harus cukup tinggi sehingga

menaikkan denyut jantung sekitar 72%-87% dari denyut nadi

maksimal dan tidak boleh melebihi denyut nadi maksimal (220-umur).

3. Time (waktu)

Artinya lamanya melakukan aktivitas fisik atau olahraga, minimal

sekitar 30 menit sampai 60 menit dan setiap latihan terdiri dari tiga

fase, yaitu fase pemanasan dan peregangan, fase latihan dan fase

pendinginan. Lamanya latihan : 1) Fase peregangan dan pemanasan 15

menit ; 2) Fase Latihan 35 menit; 3) Fase pendinginan 10 menit.

4. Tipe

Artinya tipe aktivitas fisik atau macam olahraga yang dilakukan

selama melakukan aktivitas, Tipe latihan sesuai dengan kondisi tubuh

masing masing individu.


15

Hasil latihan berlebih dalam peningkatan produksi ROS dan RNS yang

dapat menyebabkan oksidasi lipid, DNA, dan protein dalam darah dan sel lainnya.

Peningkatan produksi ROS dan RNS oleh otot rangka selama latihan, beberapa

studi telah meneliti jaringan dominan bertanggung jawab untuk produksi oksidan

yang diinduksi oleh latihan fisik. Namun, itu layak bahwa jaringan lain seperti

jantung, paru-paru atau sel darah putih dapat berkontribusi secara signifikan

terhadap total produksi ROS dan RNS selama latihan. Mitokondria telah dianggap

sebagai sumber utama intraseluler ROS di serat otot dan bahwa 2-5% dari total

oksigen yang dikonsumsi oleh mitokondria dapat mengalami reduksi satu elektron

untuk menghasilkan superoksida. tetapi, bukti terbaru menunjukkan bahwa hanya

sekitar 0,15% dari oksigen mitokondria dimanfaatkan diubah menjadi

superoksida. Selanjutnya, mitokondria menghasilkan lebih banyak ROS di saat

respirasi basal dibandingkan dengan keadaan aktif respirasi. Oleh karena itu,

tampak bahwa mitokondria tidak satu satunya sebagai sumber produksi radikal

bebas dalam kontrak otot rangka. Selain produksi mitokondria dari ROS, sel-sel

otot mengandung banyak tempat yang mampu menghasilkan ROS. Misalnya,

NAD (P) enzim H oxidase terkait dengan retikulum sarkoplasma yang juga

melepaskan superoksida ke ruang intraseluler. Selain NAD (P) oksidase H, ada

plasma lainnya sistem redoks membran yang mampu mentransfer elektron dari

intraseluler reduktan ke akseptor elektron ekstraseluler. Misalnya, NADH

eksternal protein oksidase dapat mengurangi tiol protein dan oksigen in vivo

(Kavazis dan Scott, 2013).


16

Fosfolipase A 2 adalah enzim lain yang menghasilkan ROS. Secara

khusus, fosfolipase Sebuah fosfolipid 2 memotong membran untuk melepaskan

asam arakidonat yang merupakan substrat untuk sistem enzim ROS-pembangkit

seperti lipoxygenases . Juga, aktivasi fosfolipase A 2 dapat menstimulasi NAD (P)

H oksidase dan peningkatan fosfolipase A 2 aktivitas telah dilaporkan untuk

merangsang pembentukan ROS di mitokondria dan sitosol otot (Gong et al., 2006

Selanjutnya, banyak studi menunjukkan xantin oksidase juga dapat

memicu produksi superoksida di otot rangka. Meskipun otot rangka tikus

mengandung kadar yang signifikan dari xantin oksidase, sel otot rangka manusia

memiliki jumlah rendah xanthine dehidrogenase atau oksidase. Jelas, penelitian

tambahan diperlukan untuk menentukan peran yang xantin oksidase bermain di

produksi ROS latihan-induced pada manusia (Kavazis & Scott, 2013).

Oksidan utama yang berada di bawah kategori RNS adalah oksida nitrat

dihasilkan oleh NOS. otot rangka biasanya mengungkapkan neuronal NOS dan

endotel NOS. Neuron NOS sangat dinyatakan dalam cepat-kedutan serat otot.

Sebaliknya, endotel NOS terlokalisasi mitokondria otot. Inducible NOS juga

dinyatakan dalam otot rangka pada beberapa kondisi peradangan, tetapi tidak

bermain peran yang signifikan dalam otot yang normal. Dalam hal ini, nitrat

oksida yang dihasilkan terus-menerus oleh otot rangka dan produksi ini meningkat

saat kontraksi. Yang penting, data menunjukkan bahwa neuron NOS adalah

sumber utama dari oksida nitrat dilepaskan dari otot rangka selama kontraksi otot

(Kavazis dan Scott, 2013).


17

NFκB (nuclear factor kappa-light-chain-enhancer of activated B cells)

merupakan kunci factor transkripsi yang mengatur respon imun seluler untuk

infeksi dan stres oksidatif yang lebih tinggi melalui koordinasi respon pro

inflamasi. Menyerupai Nrf2, NFkB diasingkan didalam sitosol melalui inhibitor

protein IkBα (NFkB inhibitor-alpha). Pelepasan NFkB membutuhkan fosforilisasi

IkB melalui cytosolic protein IKK (IkB kinase); IKKβ dikode oleh IKBKB.

Target modifikasi IkBα ini untuk degradasi proteasomal demikian pelepasan

NFkB untuk translokasi nuclear. Jika upaya mediasi NFkB untuk mengembalikan

homeostasis gagal dan stress oksidatif meningkat pada level ekstrim, apoptosis

dimediasi AP-1 terpicu.

Gambar 2.1

Perbedaan respon seluler terhadap stress oksidatif (Stefanson dan Bakovic, 2014)

Menariknya, IKKβ mengandung motif ETGE, oleh karena itu dapat mengikat

Keap1 dan ditargetkan untuk ubiquitination. Mengurangi kolam IKKβ melalui

ikatan Keap1 mengurangi degradasi IκBα dan mungkin mekanisme yang sulit
18

dipahami aktivasi Nrf2 diketahui menghambat aktivasi NFkB (Stefanson dan

Bakovic, 2014).

Ketika Nrf2 dilepaskan oleh pemicu oksidatif, ada peningkatan di kolam

intraselular terikat Keap1 tersedia untuk menangkap lebih intraseluler IKKβ,

sehingga menghambat ekspresi target gen NFkB. Alkilasi dari Keap1 oleh

phytochemical elektrofilik adalah reversibel; elektrofil dilepaskan ketika

lingkungan oksidatif kembali ke homeostasis dan konformasi ikatan Nrf2 dari

Keap1 dipulihkan. Melampaui batas tertentu dalam status oksidasi intraseluler,

Nrf2 dapat memicu produksi ROS. sebenarnya stres oksidatif yang diinduksi

ROS, oksidasi tiol (Cys-SH, 2-) menjadi asam sulfenic (Cys-SOH, 0) adalah

mudah reversibel, namun jika asam sulfenic selanjutnya teroksidasi menjadi

sulfinat (Cys-SO2H, 2+) atau sulfonat (Cys-SO3H, 4 +) asam, reaksi yang tidak

reversibel, berpotensi meninggalkan Keap1 dapat kembali ke konformasi protein-

binding. Ini akan diharapkan untuk membatalkan penghambatan Keap1 dari IKKβ

memungkinkan untuk peningkatan aktivasi NFkB. NFkB telah diketahui

menghambat Nrf2, dan jadi ini mungkin menjadi titik transisi di mana stres

oksidatif menjadi inflamasi (Stefanson dan Bakovic, 2014).


19

Gambar 2.2

Keap1 sebagai faktor koordinasi antara aktivasi Nrf2 dan penghambatan NFkB

(Stefanson dan Bakovic, 2014)

2.3 Stres Oksidatif

Stress oksidatif terjadi ketika produksi radikal bebas melebihi kemampuan

sistem untuk meneetralisir dan menghilangkan mereka (Rahman et al, 2012).

Radikal bebas berperan penting didalam kehidupan sel dan kematian. Ini

merupakan electron yang tidak stabil/ berpasangan di orbit terluar dan dapat

menjadi sangat reaktif. Reactive oxygen spesies (ROS) yang dihasilkan dari

molekul oksigen/ nitrogen melalui electron transport chainI (ETC), cytochrome

P450, dan fungsi selular dan subselular lain. Mereka mempengaruhi proses

metabolism dan selular yang menguntungkan dan juga sebagai peran kunci dalam

kondisi patologis dari tubuh. Secara normal terjadi keseimbangan melalui sistem

antioksidan endogen. Ketidakseimbangan dalam status redox dapat berkembang

menjadi oksidatif stress selular. Jika antioksidan endogen gagal mengatasi


20

produksi metabolic reaktif, maka antioksidan eksogen dapat diperlukan untuk

menyeimbangkan status redox (Noori, 2012).

2.3.1 Reactive Oxygen Species (ROS)

Radikal bebas adalah molekul atau fragmen molekul dengan satu atau

lebih elektron yang tidak berpasangan pada kulit valensi. Radikal bebas sangat

tidak stabil dan sangat reaktif karena mereka cenderung untuk menangkap

elektron Inmolecules lainnya (Oksidasi). umur hidup mereka sangat pendek (dari

milidetik untuk nanodetik. Radikal bebas diproduksi oleh transfer elektron yang

membutuhkan masukan energi tinggi. Ketika bereaksi dengan radikal atau

molekul lain, radikal bebas bisa membentuk radikal baru. Di antara radikal bebas,

spesies oksigen reaktif (ROS) yang berasal dari oksigen. ROS berisi radikal bebas

dan bentuk reaktif oksigen. ROS terlibat dalam fenomena fisiologis penting

seperti imunitas atau stres oksidatif kelompok radikal bebas lain ada, seperti

spesies reaktif nitrogen (RNS) dan spesies belerang reaktif (RSS). Spesies ini

dapat dibentuk oleh reaksi dengan ROS atau dapat meningkatkan produksi ROS

(Finaud et al., 2006).

2.3.2 Pembentukan ROS

a. Pembentukan ROS Terprogram

aktivasi polymorphonuclear neutrofil (PMN) penting untuk imunitas. Oksidative

brust, migrasi sel, dan degranulasi adalah beberapa respon fungsional utama yang

memungkinkan PMN untuk fungsi imunitas. Ini respon fungsional dapat dipicu

oleh reseptor yang mengenali peptida bakteri, mediator inflamasi. Menanggapi


21

rangsangan, komponen ini cepat berkumpul di membran sel dan enzim menjadi

aktif, yang memungkinkan untuk mengkatalisasi reduksi NADPH-dependent dari

O2 untuk membentuk anion superoksida (O2.) Dan spesies oksigen reaktif (ROS)

yang berasal dari ini radikal, termasuk hidrogen peroksida (H2O2), radikal

hidroksil (OH.), dan asam hipoklorit (HClO). Proses ini disebut oksidative brust.

(Chen dan junger, 2012) klasifikasi dan efek utama radikal bebas dapat dilihat di

table 2.1

Tabel 2.1

Klasifikasi dan efek utama radikal bebas (Finaud et al., 2006)

Radikal bebas kontraksi Waktu Efek utama


paruh
Reactive oxygen ROS
spesies O2•- 10-5 detik Oksidasi dan
Ion superoksida peroksidasi lipid,
protein oksidasi,
kerusakan DNA

Ozone O3 Stabil
1
Oksigen singlet O2 1 µ detik
Radikal hidroksil OH•- 10-6 detik
Hydrogen peroksida H2O2 Stabil
Asam hipoclorus HOCL Stabil
Radikal alloxil RO• 10-6 detik
Radikal peroksil ROO• 7 detik
Radikal hidroperoxil ROOH•
Reaktive nitrogen RNS peroksidasi lipid,
species protein oksidasi,
Nitrit oksida NO• kerusakan DNA

Nitrit dioksida NO2• 1-10


Peroxi nitrit ONOO•- detik peroksidasi lipid,
Reaktif Sulfur RSS protein oksidasi,
Spesies RS• 0,06-1 kerusakan DNA
Radikal thyil detik
22

b. Pembentukan ROS Tidak Terprogram

1. Pembentukan ROS Selama Metabolism Oksigen

secara umum melalui metabolism oksigen yang terjadi di dalam

mitokondria, dihubungkan dengan produksi ROS. Fosforillisasi oksidatif

menghasilkan pembentukan adenosis triphosphate (ATP). Substrat oksidasi terjadi

pada siklus kreb dan rantai transport electron dengan oksigen sebagai penerima

electron. Didalam rantai respirasi 95-99% konsumsi oksigen di reduksi ke dalam

air (H2O) melalui reduksi tetravalent dikatalis oleh coenzim Q (CoQ).


CoQ
- +
O2 + 4e + 4H  2H2O

Namun, 1-5% dari O2 akan menjadi O2•-. Pembentukan ROS adalah proposional

untuk aktivitas rantai respirasi, namun kemudian tidak selalu proposional terhadap

VO2. Tempat masuk utama ROS telah terlokalisir di rantai respirasi komplek I

dan complex III (Finaud et al., 2006).

Gambar 2.3

Lokasi pembentukan ROS di dalam rantai transport electron mitokondria(Finaud

et al., 2006)
23

Distribusi dan kuantitas produksi ROS didalam komplek berubah

ubah sesuai kebutuhan ATP, VO2, temperature pusat danparameter lain yang

bervariasi dengan latihan fisik. Di dalam komplek I dan III, direduksi

coenzyme Q10 (CoQH2) berkontribusi untuk pembentukan ROS. CoQ dapat

bertransformasi kedalam generator superoxide ketika ubismiquinone anion,

timbul dari satu oksidasi electron ubiquinol, menjadi dapat menerima proton.

CoQH2 + O2  CoQH• + O2•-

CoQH• + O2  CoQ + H+ + O2•-

Ada aksi sinergis dari CoQH2 dan citokrom b566 dalam komplek III. Namun

hipotesis ini masih kontroversial karena CoQ, dalam bentuk pengurangan

yang dapat bertindak sebagai antioksidant. Baru – baru ini ditampilkan bahwa

ROS tidak secara spontan dikeluarkan dari mitokondria, namun tampak ketika

membrane potensial mitokondria mencapai maksimum (State IV). Fakta ini

dikonfirmasi oleh penelitian lain. Situs deviasi single electron untuk dioxigen

terlihat menjadi ubiquinol berinteraksi dengan rieske iron sulphur protein dn

low potensial cytochrome b dari komplek III. Penelitian lain menghubungkan

bahwa sekitar 50% dari peningkatan produksi O2•- dari reduksi nicotinamide-

adenin dinucleotide (NADH)-dehydrogenase di dalam komplek I, Antara

komponen mercurial-sensitive dan retonone-sensitive, terbanyak seperti fungsi

nonhaeme iron-sulphur. Hipotesis ini masih kontroversial. Lokasi yang

memungkinkan dari pembentukan ROS di dalam rantai respirasi mitokondria

(Finaud et al., 2006).


24

Asumsi bahwa mitokondria adalah sumber intraseluler utama dari

ROS secara esensial berdasarkan pada percobaan in vitro dengan isolasi

mitokondria. Artefak karena persiapan prosedur atau pengukuran inadekuat

dari ROS dapat menyebabkan kesalahan metodologi. Uji in vivo memberikan

bukti langsung bahwa mitokondria (di otot jantung) memproduksi ROS

selama latihan. Jadi keduanya uji in vitro dan in vivo cenderung menegaskan

bahwa rantai respirasi mitokondrial tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya

sumber utama ROS saat istirahat dan selama latihan di saat otot bekerja,

namun juga di jaringan seperti hati, ginjal dan non-working muscles yang

mengalami iskemia selama latihan fisik. Diwaktu yang sama, mitokondria

sangat rentan terhadap ROS-induced oxidative damage pada lipid, protein dan

DNA hingga DNA mitokondria menginduksi perubahan polypeptide di dalam

komplek respirasi, dengan konsekuensi penurunan transfer electron, membawa

produksi lebih lanjut dari ROS. Dengan demikian sirkulus viciosus dari stress

oksidatif dan penurunan energy didirikan. Namun latihan tidak taampak untuk

modifikasi pengeluaran ROS dari mitokondria meskipun demikian , ada

kurangnya pengetahuan tentang mekanisme yang tepat tentang mekanisme

produksi ROS di dalam mitokondria (Finaud et al., 2006).

2. Pembentukan ROS Selama Reperfusi Iskemia

Sumber utama kedua ROS adalah fenomena reperfusi iskemia, yang

terjadi setelah intervensi pembedahan, setelah syok atau selama latihan fisik.

Selama latihan anareobik atau lengkap, aliran darah membawa area aktif seperti

otot skelet ketika jaringan lain berada dalam situasi hipoksia. Setelah latihan,
25

jaringan menerima jumlah besar oksigen. Fenomena ini didiskribsikan sebagai

reperfusi iskemia. Xanthine dehydrogenase (XDH) merupakan peran penting

dalam pembentukan asam urat dari degradasi purin (ATP, adenosine diphospgate,

dan adenosine monophosphate). Didalam jaringan hipoksia, XDH dapat dirubah

didalam xanthine oxidase (XO). Selama reperfusi, O2•- dapat dibentuk melalui

reaksi katalisasi oleh XO Antara oksigen, hypoxanthine dan xanthine. Meskipun

demikian , peran XO di otot didiskusikan karena ada sedikit jumlah XO di

dalamnya. Alternative lain penjelasan tampak mungkin untuk menjelaskan

peningkatan produksi dari radikal bebas selama reperfusi iskemia. Beberapa studi

menunjukkan bahwa resperfusi iskemia meningkatkan produksi radikal bebas

mitokondria. Studi lain menunjukkan bahwa infiltrasi fagosit, katekolamin,

myoglobin danmethmyoglobin auto-oxidation mengambil bagian dari produksi

radikal bebas selama reperfusi iskemia (Finaud et al., 2006).

3. Pembentukan ROS selama oksidasi hemoglobin dan myoglobin

oksidasi hemoglobin dapat menyebabkan pembentukan ROS. Di dalam

tubuh manusia, 3% dari total hemoglobin di transformasi melalui auto oksidasi.

Reaksi ini, yang meningkat selama latihan, memproduksi methaemoglobin dan

O2•-. Myoglobin dapat juga di oksidasi melalui auto-oksidasi atau radikal bebas

selama reperfusi iskemia dengan produksi H2O2. Myoglobin dapat kemudian

berinteraksi dengan H2O2 dan produksi radikal lain seperti ferryl radikal atau

radikal peroxyl (Finaud et al., 2006).

2.4 Antioksidan
26

Di alam terdapat berbagai antioksidan yang berbeda dalam komposisi, sifat fisik

dan kimia, mekanisme dan target lokasi. Beberapa kategori utama dapat

digambarkan sebagai berikut: Antioksidan enzimatik meliputi Superoksida

dismutase (SOD), Katalase (CAT), glutathione peroxidase (GPx) adalah enzim

yang hadir bertindak sebagai antioksidan dengan mengubah reaktif spesies

oksigen dan nitrogen reaktif spesies ke dalam senyawa stabil. senyawa dengan

berat molekul tinggi Ini termasuk protein seperti albumin, transferin, seruplasmin.

Mereka membatasi produksi logam katalis radikal bebas. senyawa dengan berat

molekul rendah Ini dapat dibagi lagi menjadi dua kategori yaitu antioksidan larut

lipid dan antioksidan larut air. Tokoferol, quinines, bilirubin dan beberapa

polifenol merupakan antioksidan larut lemak. asam askorbat, asam urat

dan beberapa polifenol merupakan antioksidan larut air. Mineral seperti selenium,

tembaga, mangan, seng. Vitamin, Vitamin A, C dan E adalah antioksidan populer,

yang memainkan penting berperan dalam mencegah kerusakan peroksidasi dalam

sistem biologi (Gupta dan Sharma, 2006).

2.4.1 Antioksidant Enzimatik

1. Superoksida Dismutase

SOD adalah pertahanan utama atas radikal superoksida dan pertahanan

pertama melawan stress oksidatif. SOD menggambarkan kelompok enzim yang

mengkatalis dismutase
SODO2•- dan formasi H2O2.

2O2•- + 2 H+  H2O2 + O2

Di dalam semua sel, saat istirahat, bagian utama mitokondria memproduksi O2•-

yang direduksi oleh SOD mitokondria dan bagian lain yang membaur ke dalam
27

sitosol. Di dalam sel otot, 65-85% aktifitas SOD dilakukan di sitosol. Berbagai

bentuk SOD berada di tubuh.

Tabel 2.2

Lokasi dan aksi enzim (Finaud et al., 2006)

Antioksidan Cofactor Lokasi seluler Target

Mn-SOD Mangan Mitokondria Anion superoksida

Peroksinitrit

Cu-Zn-SOD Tembaga Sitosol – mitokondria Anion superoksida

Zinc Peroksinitrit

CAT Besi Peroksisom, sitosol Hidrogen peroksida

GPX Selenium mitokondria Hidrogen peroksida

Sitosol dan mitokondria Peroksinitrit

Magnesium adalah cofactor dari bentuk Mn-SOD, yang berada di mitokondria

sebaik tembaga dan zinc, yang merupakan cofactor dari Cu-Zn-SOD, yang ada di

sitosol (Finaud et al., 2006).

Rerata kadar SOD pada jaringan tikus terbanyak berada di hati dengan

kadar 1700 ± 100 U/g, kemudian pada kelenjar adrenal 804 ± 90 U/g, ginjal 750 ±

80 U/g, jantung 372 ± 30 U/g, paru – paru 267 ± 40 U/g, otak 145 ± 20 U/g,

pancreas 140 ± 20 U/g. (Nandi and Chatterjee, 1988)

2. Catalase

CAT berada didalam setiap sel khususnya di dalam peroxysomes, struktur

sel yang menggunakan oksigen untuk detokfikasi subtansi racun dan

memproduksi H2O2. Catalase mengubah H2O2 kedalam air dan oksigen


CAT
28

2 H2O  2 H2O + O2

Catalase dapat juga menggunakan H2O2 untuk detokfikasi beberapa subtansi racun

melaluoi reaksi peroksidasi. Reaksi ini membutuhkan substrat seperti phenol,

alcohol (ethanol; A) atau asam


CAT
formic.

H2O2 + H2A (substrat)  2 H2O + A

(Finaud et al., 2006)

3. Glutation Peroksida

keberadaan GPX di dalam sitosol sel dan mitokondria memiliki

kemampuan untuk mengubah H2O2 menjadi air. Reaksi ini menggunakan GSH

dan dirubah menjadi glutathione teroksidasi (GSSG).


GPX
H2O2 + 2 GSH  GSSG + 2 H2O

GPX dan CAT memiliki aksi sama pada H2O2, namun GPX lebih efisien dengan

konsentrasi ROS tinggi dan CAT memiliki aksi penting dengan konsentrasi H2O2

lebih rendah (Finaud et al., 2006).

2.5 Floret Pisang Raja (Musa x Paradisiaca)

Pisang adalah buah tropis yang familiar yang berasal dari barat daya

pasifik, tanaman pisang tersebar ke india sekitar 600 SM dan kemudian tersebar

keseluruh daerah tropis. Pisang mungkin merupakan tanaman budidaya tertua.

Tersebar merata di kepulauan pasifik dan pantai barat pasifik setidaknya 200 –

300SM.

Klasifikasi taksonomi

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta
29

kelas : Liliopsida

Ordo : Zingiberales

Famili : Musaceae

Genus : Musa

Spesies : Musa x paradisiaca

(Valmayor et al., 2000)

floret

Gambar 2.4

Floret pisang (Musa x Paradisiaca) (NTBG, 2016)

2.5.1 Aktivitas antioksidan floret pisang raja

Analisis fitokimia telah dilakukan terhadap beberapa bagian dari pohon

pisang, namun bunga pisang (floret) memiliki kadar phenolic yang lebih tinggi

dibandingkan, batang, daun dan kelopak jantung pisang (bract). (Mahmood et al.,
30

2011) Dari uji yang dilakukan di unit laboratorium Fakultas Pertanian Universitas

Udayana, skrining fitokimia bunga (floret) pisang raja, flavonoid 499,37

mg/100g quercetin equivalent, kadar total fenol 658,40 mg/100g gallic acid

equivalent, tannin 476,09 mg/100g tannic acid equivalent, saponin 132,98

mg/100g quarcetin equivalent, kapasitas antioksidan 815,99 mg/L gallic acid

equivalent antioxidant capacity. (Lampiran 2, halaman 59)

2.6 Mekanisme aksi gen penyandi antioksidan

Berbagai macam senyawa kimia baik alami maupun sintetis dapat

bertindak sebagai inducer terhadap ekspresi gen penyandi antioksidan (Tkachev et

al., 2011). Salah satu inducer tersebut adalah golongan fenol. Senyawa fenol

merupakan kelompok zat kimia yang ditemukan sangat luas pada tanaman.

Senyawa ini telah dieksploitasi secara intensif karena berbagai fungsi biologis

seperti antimutagenik, antikarsinogenik, antipenuaan, dan juga antioksidan

(Kosem et al., 2007). Inducer lainya adalah ROS seperti H2O2. Dalam kondisi

normal, ROS dihasilkan sebagai produk samping dari metabolisme aerobik untuk

membentuk ATP dalam mitokondria. Dalam reaksi tersebut dibutuhkan oksigen di

mana oksigen akan bereaksi dengan hidrogen untuk membentuk air, tetapi

sejumlah kecil oksigen dapat berubah menjadi radikal bebas.(Tkachev et al.,

2011).

Dalam kondisi normal, Nrf2 terikat pada Keap1 dan terdapat dalam

sitoplasma bersama protein aktin sitoskeleton (Mann et al., 2007). Sebaliknya,

dalam kondisi terpapar oleh senyawa yang bertindak sebagai inducer, maka

inducer bereaksi dengan sistein pada Keap1 mengakibatkan pelepasan Nrf2 dari
31

Keap1. Nrf2 kemudian mengalami translokasi menuju nukleus dan berikatan

dengan ARE (antioxidant respon element) (Son et al., 2008). Antioxidant Respone

Element menengahi aktivasi transkripsi gen-gen seperti HO-1, glutamylcysteine

synthethase, Trx-1, GST dan NQO-1, juga enzim antioksidan seperti SOD dan

catalase yang terlibat dalam meredam ROS. Dalam kondisi basal Nrf2 terikat pada

Keap1 dan terdapat dalam sitoplasma bersama protein aktin sitoskeleton (Mann et

al., 2007). Sebaliknya, dalam kondisi terpapar oleh senyawa yang bertindak

sebagai inducer, maka inducer bereaksi dengan sistein pada Keap1

mengakibatkan pelepasan Nrf2 dari Keap1. Nrf2 kemudian mengalami translokasi

menuju nukleus dan berikatan dengan ARE bersama protein sMaf untuk

mengaktivasi ekspresi gen-gen sitoprotektif. Mekanisme ini didukung fakta

bahwa inducer sulforaphane dan bis(2-hydroxybenzylidene) acetone dengan

konsentrasi tertentu dapat menyebabkan terjadinya disosiasi Keap1–Neh2 complex

(Baird et al., 2011).

Gambar 2.5.

Jaras fitokimia - Nrf-2 – ARE – enzim antioksidan (Saw et al., 2011)


32

Pada manusia, Nrf2 merupakan suatu protein yang terdiri atas 605 asam

amino dengan berat molekul 67,8 kDa, sedangkan pada tikus terdiri atas 597 asam

amino dengan berat molekul 66,9 kDa (Tkachev et al., 2011). Protein Nrf2 terdiri

atas enam domain fungsional yaitu; Nrf2-epichlorohydrin (ECH) homology (Neh;

Neh1,Neh2, Neh3, Neh4, Neh5, dan Neh6). Domain Neh1 berisi bZIP DNA

binding yang akan berlekatan dengan ARE untuk membentuk sebuah heterodimer

bersama protein lain seperti Maf dan Jun protein. Domain Neh2 menjadi bagian

yang akan berlekatan dengan inhibitornya yang ada di sitoplasma yaitu Keap1.

Domain Neh3 terikat pada chromo-ATPase/helicase DNA binding protein yang

berfungsi sebagai co-activator transkripsional untuk meningkatkan transkripsi

gen-gen yang tergantung pada ARE. Domain Neh4 dan Neh5 bertindak secara

sinergi untuk mengikat co-activator transkripsi yang lain. Umpan balik negatif

Nrf2 dilakukan oleh Neh6 (Baird et al., 2011; Tkachev et al., 2011).

2.7. Hewan Coba : Mencit (Mus musculus)

Hewan coba yang digunakan adalah mencit (Mus musculus) yang

dipelihara. Mencit merupakan hewan laboraorium yang sering digunakan

dalam berbagai macam penelitian karena telah diketahui sifat-sifatnya,

mudah dipelihara, cepat berkembang biak, mudah ditangani, memiliki gen

homolog dengan manusia, karakter anatomi dan fisiologi telah diketahui

secara baik (Hubrecht and Kirkwood, 2010).

Taksonomi Mencit adalah sebagai berikut (Schwiebert, 2007) :


33

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Class : Mammalia

Order : Rodentia

Family : Muridae

Genus : Mus

Spesies : Mus musculus

Gambar 2.6

Mencit (Mus musculus) (Schwiebert, 2007)

Mencit merupakan salah satu hewan laboratorium yang paling digemari

oleh peneliti. Dengan keunggulan-keunggulan diatas, mencit tergolong

hewan untuk pengujian bioassay. Pengujian dibidang farmakologi terutama

untuk uji toksisitas obat umumnya menggunakan hewan coba mencit atau

tikus putih (Schwiebert, 2007).


34

Tabel 2.3

Data Biologis Mencit

Jenis Data Nilai

Panjang tubuh lahir 2,2 cm

Berat badan lahir 1-2 g

Berat badan dewasa : Jantan 20-30 g

Betina 18-35 g

Jumlah anak 7

Masa kebuntingan 20 hari

Masas hidup 1-3 tahun

Suhu tubuh 36,5 – 38 ° C

Denyut Nadi 310-840 kali/menit

Frekuensi nafas 80-230 kali/menit

Volume darah 1,5 – 2,5 ml

Metabolic rate 56,76 mL/hrO2

Basal metabolic rate 0,27 Watts

( Hubrecht dan Kirkwood, 2010; AnAge, 2014)

Untuk mencit yang dipelihara di laboratorium, makanan dan minuman

diberikan secara ad libitum, dan pencahayaan ruangan diatur sehingga 12

jam terang dan 12 jam gelap. Mencit umumnya sensitif terhadap cahaya,

maka intensitas cahaya laboratorium sebaiknya tidak melebihi 50 lux

(Hubrecht and Kirkwood, 2010). Kondisi optimal mencit di laboratorium


35

antara lain sebagai berikut (Krinke, 2000; Ngatidjan, 2006; Hubrecht and

Kirkwood, 2010) :

a. Kandang mencit harus cukup kuat, tidak mudah rusak, mudah

dibersihkan, mudah di bongkar pasang, hewan tidak mudah lepas, harus

tahan gigitan dan hewan tampak jelas dari luar. Alas tempat tidur harus

mudah menyerap air pada umumnya dipakai sekam padi atau serbuk

gergaji.

b. Menciptakan suasana lingkungan yang stabil dan sesuai dengan keperluan

fisiologis tikus (suhu sekitar 20-22oC).

c. Transportasi jarak jauh sebaiknya dihindari karena dapat menimbulkan

stres pada tikus.

Anda mungkin juga menyukai