Anda di halaman 1dari 13

Penatalaksanaan Pasien Gagal Nafas Akut et causa Covid-19

Nathalie Luhukay
102018034

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Krida Wacana


Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510
e-mail: nathalie.2018fk034@civitas.ukroda.ac.id

Abstrak
Kata Kunci:
Abstract
Keywords:
Pendahuluan
Pada akhir tahun 2019 di Wuhan, Cina, muncul pneumonia virus yang belum diketahui
penyebabnya. Awalnya jumlah pasien teridentifikasi belum terlalu banyak tetapi sebagian besar
mengalami kerusakan paru yang berat. World Health Organization (WHO) memberi nama pneumonia ini
dengan corona-virus disease 2019 (COVID-19). Studi menjelaskan bahwa sebagian besar pasien
terinfeksi COVID-19 kritis mengalami disfungsi organ, dimana 67% diantaranya dengan Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS). ARDS yang dipicu oleh pneumonia COVID19 biasa disebut
sebagai CARDS. Pasien pasien COVID-19 yang mengalami ARDS mempunyai tingkat kematian 50% -
94%. Luaran pasien ARDS yang disebabkan oleh COVID-19 lebih buruk daripada pasien ARDS yang
disebabkan oleh penyakit lain. Data sampai bulan November 2020 di Intensive Care Unit (ICU) COVID-
19 RSUD dr Saiful Anwar Malang dan RSU Karsa Husada Batu mempunyai angka mortalitas antara 47%
(190 pasien) sampai 81,7% (82 pasien). CARDS mempunyai manifestasi klinis dan radiologis yang
beragam. Hal ini membuat beberapa perbedaan pada tatalaksana CARDS terutama terkait manajemen
ventilasi mekanik.1 
Pada awalnya, ARDS juga dikenal dengan nama shock lung, Da Nan lung (dari perang Vietnam),
sindrom stiff-lung, acute lung injury, non-cardiogenic pulmonary edema, adult respiratory distress
syndrome, atau leaky capillary pulmonary edema, dengan gambaran morfologi berupa kerusakan alveoli
inflamatorik yang difus. ARDS didefinisakan oleh Kriteria Berlin dengan gagal napas hipoksemik akut
dengan penyebab tertentu (seperti infeksi virus pernapasan) disertai munculnya infiltrat bilateral pada foto
thoraks/CT scan. ARDS yang disebabkan oleh pneumonia COVID-19 biasa disebut sebagai CARDS. 1

Anamnesis
Anamnesis merupakan suatu teknik pemeriksaan yang dilakukan melalui suatu percakapan antara
seorang dokter dengan pasiennya secara langsung atau dengan orang lain yang mengetahui tentang
kondisi pasien, untuk mendapatkan data pasien beserta permasalahan medisnya. Tujuannya, selain untuk
menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding, anamnesis juga berguna untuk menyusun
pengobatan pada penderita. Pada anamnesis hal-hal yang perlu kita tanyakan pada pasien antara lain:
identitas pasien, keluhan utama yang diderita pasien, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu,
riwayat pengobatan, riwayat penyakit keluarga, riwayat pribadi dan sosial. 2
Berdasarkan skenario ditemukan bahwa pasien adalah seorang laki-laki berusia 45 tahun dan
sedang di rawat di bangsal isolasi Covid-19. Pasien dirawat sejak 3 hari yang lalu dan didapati lemas,
tidak mau makan serta tampak kerja nafas (work of breathing) yang memberat. Pasien memiliki riwayat
batuk dan keluhan tersebut memberat setelah 5 hari. Selain itu, pasien memiliki riwayat paparan dengan
rekan kerja yang terkonfirmasi Covid-19 pada 7 hari sebelum masuk rumah sakit. Dalam 2 hari terakhir,
nafsu makan pasien menjadi berkurang, sesak semakin bertambah dan tidak membaik walau sudah
beristirahat. 
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang sangat penting untuk memperkuat temuan-temuan
dalam anamnesis yang tujuannya untuk menegakkan diagnosis yang pasti. Pemeriksaan fisik antara lain:
keadaan umum, kesadaran, TTV, head to toe hingga pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi dan juga
auskultasi.2
Dari hasil pemeriksaan fisik, ditemukan kesadaran pasien berdasarkan skoring GCS 12 E3M5V4.
Pada pemeriksaan tanda-tanda vital ditemukan tekanan darah 90/50 mmHg, denyut jantung 122x/menit,
frekuensi nafas 30-35x/menit, suhu 38,6oC, saturasi oksigen 92% dengan room air. Selanjutnya dilakukan
pemeriksaan thorax ditemukan pada pemeriksaan inspeksi terdapat usaha nafas yang bertambah pola
nafas abdominal dengan tanda-tanda retraksi suprasternal dan nafas cuping hidung. Palpasi tidak
ditemukan kelainan. Perkusi ditemukan sonor pada seluruh lapang paru. Auskultasi terdengar ronkhi
basah halus pada basal paru.

Pemeriksaan Penunjang
 Hitung darah lengkap (CBC)
Hitung darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan anemia, yang dapat berkontribusi terhadap
hipoksia jaringan, sedangkan polisitemia mungkin menunjukkan kegagalan pernafasan
hipoksemia kronis.3
 Analisa Gas Darah
Analisis gas darah arteri harus dilakukan untuk memastikan diagnosis dan untuk membantu
dalam perbedaan antara bentuk akut dan kronis. Ini membantu menilai keparahan kegagalan
pernapasan dan membantu dalam penanganan.3
 Foto Rontgen atau CT Scan 
Modalitas pencitraan utama yang menjadi pilihan adalah foto toraks dan Computed Tomography
Scan (CT- scan) toraks. Pada foto toraks dapat ditemukan gambaran seperti opasifikasi ground-
glass, infiltrat, penebalan peribronkial, konsolidasi fokal, efusi pleura, dan atelectasis. 3 
 EKG
Elektrokardiografi (EKG) harus dilakukan untuk mengevaluasi kemungkinan penyebab
kardiovaskular sebagai kegagalan pernafasan, tetapi juga dapat mendeteksi disritmia akibat
hipoksemia berat atau asidosis.3
 Tes Fungsi Ginjal dan Hati
Kelainan fungsi ginjal dan hati mungkin juga memberikan petunjuk etiologi kegagalan
pernafasan atau mengingatkan dokter untuk komplikasi yang terkait dengan kegagalan
pernafasan.3
 Tingkat serum TSH 
Tingkat serum thyroid- stimulating hormone (TSH) harus diukur untuk mengevaluasi
kemungkinan hipotiroidisme, yang berpotensi menyebabkan kegagalan pernapasan. 3
Berdasarkan skenario dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan AGD PH: 7,234, PO2: 68 mmHg,
PCO2: 50-3 MAC, HCO3: 17,4, SO2: 89%, Hb: 12, Ht: 48, Leukosit: 7500 dan Trombosit: 567.000

National Early Warning System (NEWS)


EWS merupakan sebuah sistem skoring fisiologi yang bertujuan untuk melacak dan menemukan
pasien yang mengalami perburukan kondisi dengan menilai dan menganalisis tanda-tanda vital dalam
parameter fisiologis sesuai dengan hasil skoring. Sistem penilaian EWS ini menggunakan konsep
pendekatan proaktif untuk meningkatkan keselamatan pasien dan hasil klinis pasien yang lebih baik.
Skoring EWS lebih berfokus kepada mendeteksi kegawatan sebelum hal tersebut terjadi. Menurut Royal
College of Physicians EWS dapat digunakan sebagai instrumen untuk mengetahui kondisi klinis pasien
dan memantau perburukan fisiologis sehingga dapat dilakukan respon klinis tepat waktu dan kompeten.
Penilaian EWS terdiri atas 7 parameter antara lain: pernafasan, saturasi oksigen, tekanan darah sistolik,
nadi, tingkat kesadaran, suhu dan tambahan skor 2 jika pasien menggunakan alat bantu nafas. Hasil dari
tiap parameter akan dikonversikan dalam bentuk angka, dimana makin tinggi nilainya maka makin
abnormal keadaan pasien sehingga menjadi indikasi untuk dilakukan tindakan pertolongan sesegera
mungkin. Format penilaian EWS dilakukan berdasarkan pengamatan status fisiologi pasien. Pengamatan
ini dilakukan oleh perawat dan dokter.
Sistem skoring EWS ini dapat digunakan untuk mengasesmen penyakit akut, mendeteksi
penurunan klinis dan menginisiasi respon klinis yang tepat waktu dan sesuai. EWS dapat
diimplementasikan untuk pengkajian prehospital pada kondisi akut oleh first responder seperti pelayanan
ambulans, pelayanan kesehatan primer, puskesmas yang bertujuan untuk mengoptimalkan komunikasi
kondisi pasien sebelum diterima rumah sakit tujuan. Parameter fisiologis yang dinilai sesuai dengan. 5,6

Gambar 1. Parameter Fisiologis NEWS

Selanjutnya, dilakukan monitoring pada pasien berdasarkan dengan nilai EWS antara lain: 5,6
1. Nilai EWS 0: 
 Frekuensi Monitoring: 3x sehari atau 1x/shift atau tiap 4 jam untuk pasien pasca perawatan
intensive
 Respon klinik: 
o Lanjutkan monitoring EWS rutin;
o Jika pada re-asesmen ditemukan skor >0, ikuti petunjuk respon klinis skor rendah
2. Nilai EWS 1-4 (Skor Rendah):
 Frekuensi Monitoring: Tiap 4 jam
 Respon Klinik: 
 Hubungi dokter jaga
 Dokter jaga verifikasi kondisi pasien dalam waktu >1 jam setelah dilaporkan
 Dokter jaga memutuskan frekuensi monitoring ditambah atau eskalasi ke Dokter
Penanggung Jawab Pasien (Dokter Spesialis)
 Jika pada re-asesmen ditemukan skor <1 selama 4 jam observasi, lanjutkan observasi
sesuai petunjuk respon klinik skor 0
 Sebaliknya, jika ditemukan skor >2 setelah 2 jam observasi lakukan re-asesmen dan
tingkatkan frekuensi observasi, lanjutkan observasi sesuai petunjuk skor medium
3. Nilai EWS 3 di salah satu parameter dan atau nilai EWS 5-6 (Skor Medium):
 Frekuensi Monitoring: Terus menerus tiap 1 jam sampai kondisi membaik
 Respon Klinik: 
o Hubungi dokter jaga
o Dokter jaga melakukan verifikasi dalam 30 menit sejak dilaporkan, melakukan
pemeriksaan dan penangan pasien
o Jika pada re-asesmen ditemukan skor <5 selama 4 jam observasi, lanjutkan observasi
sesuai petunjuk respon klinis skor rendah
o Sebaliknya, jika ditemukan skor >6 setelah 1 jam observasi maka lakukan re-asesmen,
tingkatkan frekuensi observasi tiap 30 menit dan lanjutkan observasi sesuai petunjuk skor
tinggi
4. Nilai EWS ≥ 7 (Skor Tinggi):
 Frekuensi Monitoring: Continuous monitoring dan penanganan dalam 30 menit
 Respon Klinik:
 Hubungi dokter jaga
 Dokter jaga melakukan verifikasi, pemeriksaan dan penanganan pasien dalam waktu <15
menit sejak aktivasi EWS
 Dokter jaga lapor ke Dokter Penanggung-Jawab Pasien. Apabila >3x tidak dapat
dihubungi, kontrak Dokter Spesialis yang sama bidangnya
 Dokter jaga menginformasikan kepada keluarga tentang kondisi pasien dan kemungkinan
pindah rawat ruang intensif
 Monitor secara kontinu dengan alat monitor portable (jika tersedia)
 Jika dalam waktu 30 menit sejak penanganan dan konsultasi dengan Dokter Penanggung-
Jawab Pasien terjadi perburukan pasien, maka Dokter Jaga atas izin DPJP
mengkonsultasikan kepada intensivist dan rekomendasi untuk rawat di ruang Intensif
(ICU)
 Jika terjadi Cardiac Arrest, lakukan penanganan sesuai algoritma code blue
 Jika respon pasien membaik, dan skor <7 setelah 4 jam observasi secara terus menerus,
kembali ikuti petunjuk respon klinis medium
 Jika skor tetap >7, DPJP dan keluarga setuju rawat ruang intensif
 Pasien dipindahkan ke ruang intensif

Gambar 2. Standar Operasional Prosedur Early Warning System (EWS)


Selain itu, adapun sistem skoring EWS pada masa pandemi Covid-19 dimana terdapat
penambahan parameter usia yakni ≥ 65 tahun dijadikan sebagai faktor risiko independen. Selanjutnya,
pasien dibagi menjadi 4 kategori risiko berdasarkan skor EWS yakni rendah, median, tinggi dan luar
biasa.5,6

Gambar 3. Parameter dan Respon di masa pandemi Covid-19

SOFA dan qSOFA 


Pada tahun 2016, SCCM/ESICM mengevaluasi kriteria identifikasi pasien sepsis, dengan
membandingkan kriteria tradisional SIRS dengan metode lain, yaitu Sequential Organ Failure
Assessment (SOFA) scoring. Berdasarkan analisis direkomendasikan SOFA score untuk menilai derajat
disfungsi organ pada pasien sepsis.6
Disfungsi organ dapat diidentifikasi sebagai perubahan akut skor total SOFA (Sequential (Sepsis-
related) Organ Failure Assessment) ≥2 sebagai konsekuensi dari adanya infeksi. Skor SOFA meliputi 6
fungsi organ, yaitu respirasi, koagulasi, hepar, kardiovaskular, sistem saraf pusat, dan ginjal dipilih
berdasarkan telaah literatur, masing-masing memiliki nilai 0 (fungsi normal) sampai 4 (sangat abnormal)
yang memberikan kemungkinan nilai dari 0 sampai 24. Skoring SOFA tidak hanya dinilai pada satu saat
saja, namun dapat dinilai berkala dengan melihat peningkatan atau penurunan skornya. Variabel
parameter penilaian dikatakan ideal untuk menggambarkan disfungsi atau kegagalan organ. 6
Menurut panduan Surviving Sepsis Campaign (SSC) 2017, identifikasi sepsis segera tanpa menunggu
hasil pemeriksaan darah dapat menggunakan skoring qSOFA. Sistem skoring ini merupakan modifikasi
Sequential (Sepsis-related) Organ Failure Assessment (SOFA). qSOFA hanya terdapat tiga komponen
penilaian yang masing-masing bernilai satu. Skor qSOFA ≥2 mengindikasikan terdapat disfungsi organ.
Skor qSOFA direkomendasikan untuk identifikasi pasien berisiko tinggi mengalami perburukan dan
memprediksi lama pasien dirawat baik di ICU atau non-ICU. Pasien diasumsikan berisiko tinggi
mengalami perburukan jika terdapat dua atau lebih dari 3 kriteria klinis. Untuk mendeteksi
kecenderungan sepsis dapat dilakukan uji qSOFA yang dilanjutkan dengan SOFA. 6

Kriteria Qsofa
Gambar 4. Kriteria Score Qsofa.
Gagal Nafas
Gagal nafas adalah ketidakmampuan alat pernafasan untuk mempertahankan oksigenasi didalam
darah dengan atau tanpa penumpukan CO2. Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal
nafas kronik dimana masing-masing mempunyai pengertian yang berbeda. Gagal nafas akut adalah gagal
nafas yang timbul pada pasien yang memiliki struktural dan fungsional paru yang normal sebelum awitan
penyakit muncul. Sedangkan gagal nafas kronis adalah gagal nafas yang terjadi pada pasien dengan
penyakit paru kronis seperti bronkitis kronis,emfisema. Pasien mengalami toleransi terhadap hipoksia dan
hiperkapnia yang memburuk secara bertahap.2
Berdasarkan pada pemeriksaan AGD, gagal nafas dapat dibagi menjadi 3 tipe: (1). Tipe I
merupakan kegagalan oksigenasi atau hypoxaemia arteri ditandai dengan tekanan parsial O2 arteri yang
rendah. (2). Tipe II yaitu kegagalan ventilasi atau hypercapnia ditandai dengan peningkatan tekanan
parsial CO2 arteri yang abnormal (PaCO2 > 46 mm Hg), dan diikuti secara simultan dengan turunnya
PAO2 dan PaO2, oleh karena itu perbedaan PAO2 - PaO2. (3) Tipe III adalah gabungan antara kegagalan
oksigenasi dan ventilasi ditandai masih tetap tidak berubah dengan hipoksemia dan hiperkarbia
penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2.7
Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) atau Gagal nafas akut merupakan tantangan karena
keberagaman definisi dan kesulitan mendiagnosis ARDS. Insidensi ARDS dilaporkan berkisar antara 75
per 100.000 penduduk sampai serendah 1.5 per 100.000 penduduk. Sepsis, aspirasi cairan atau isi
lambung, serta transfusi multiple (>15 unit/24 jam) berhubungan dengan risiko tinggi terhadap ARDS.4
Sebagian besar kasus ARDS berhubungan dengan sepsis terkait paru (pulmonary sepsis) sebanyak 46%
atau sepsis bukan karena paru sebanyak 33%. Faktor risiko antara lain keadaan yang menyebabkan
kelainan langsung pada paru seperti pneumonia, trauma inhalasi, kontusio pulmonum, maupun keadaan
yang menyebabkan kelainan tidak langsung pada paru seperti sepsis bukan karena paru, luka bakar,
transfusion-related acute lung injury, alkoholisme kronik, dan riwayat pajanan terhadap asap secara aktif
maupun pasif pada kasus trauma. Faktor risiko untuk anak sedikit berbeda dari dewasa, karena didapatkan
keadaan yang terkait usia, seperti infeksi respiratory synctitial virus dan tenggelam. Pada ARDS yang
mengisi alveoli adalah cairan eksudat. Barier alveolar-kapiler mengalami peningkatan permeabilitas,
sehingga cairan yang mengandung protein masuk ke dalam alveoli. Adanya cairan pada alveoli
menyebabkan penurunan komplians sistem pernapasan, right-to-left shunting, dan hipoksemia. 8
Tahapan patologi ARDS secara klasik digambarkan dalam 3 tahapan yang berurutan dan tumpang
tindih. Pada tahapan pertama, yaitu fase eksudatif dari jejas paru, temuan patologis disebut sebagai
diffuse alveolar damage. Terdapat membran hialin yang melapisi dinding alveolar dan cairan edema yang
mengandung protein di ruang alveoler, terjadi pula gangguan pada epitel dan infiltrasi neutrofil pada
interstitial dan alveoli. Area hemorrhage dan makrofag dapat ditemukan di alveoli. Fase yang berlangsung
5- 7 hari ini diikuti oleh yang disebut sebagai fase proliferatif pada beberapa pasien. Pada titik ini,
membran hialin telah mengalami organisasi dan fibrosis. Obliterasi kapiler pulmonal dan deposisi
kolagen pada interstitial dan alveolar dapat diamati bersamaan dengan penurunan jumlah neutrofil dan
derajat edema paru. Fasecproliferatif ini diikuti oleh fase fibrosis yang tampak pada gambaran radiologis
pada ARDS persisten (lebih dari 2 minggu). Awalnya jejas langsung maupun tidak langsung pada paru
diduga menyebabkan proliferasi mediator inflamasi pada mikrosirkulasi paru. Neutrofil ini mengaktifkan
dan bermigrasi dalam jumlah besar melewati endotel pembuluh darah dan permukaan epitel alveolar,
melepaskan protease, sitokin, dan reactive oxygen species (ROS). Migrasi dan pelepasan mediator ini
mengarah kepada permeabilitas vaskuler yang patologis, timbulnya jarak pada barier sel epitel alveolar
serta nekrosis sel alveolar tipe I dan II. Hal ini sebaliknya menyebabkan edema paru, pembentukan
membran hialin, dan kehilangan surfaktan yang menurunkan komplians paru dan membuat pertukaran gas
sulit terjadi. Selanjutnya terjadi infiltrasi fibroblas yang mengarah pada deposisi kolagen, fibrosis, dan
akhirnya perburukan penyakit.
Pada fase penyembuhan terjadi berbagai hal secara bersamaan. Sitokin antiinflamasi
menginaktivasi neutrofil yang teraktivasi yang akan mengalami apoptosis dan fagositosis. Sel alveolar
tipe II berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel alveolar tipe I, memperbaiki integritas dari pelapis
epitelial dan membuat gradien osmotik yang menarik cairan keluar dari alveoli ke dalam mikrosirkulasi
dan sistem limfatik paru. Secara simultan sel alveolar dan makrofag menghilangkan bahan protein dari
alveoli sehingga paru dapat pulih.8

Interpretasi Analisa Gas Darah


Analisa gas darah (AGD) adalah prosedur pemeriksaan medis yang bertujuan untuk mengukur jumlah
oksigen dan karbon dioksida dalam darah. AGD juga dapat digunakan untuk menentukan tingkat
keasaman atau pH darah.9

Tabel 1. Interpretasi Analisa Gas Darah Berdasarkan Skenario.


  Nilai Normal Hasil AGD

pH 7, 35-7, 45  7,234 (asidosis)

PaCO2 35-45 mmHg 50 mmHg (naik – asidosis respiratorik)

PaO2 80-100 mmHg 68 mmHg (turun – hipoksemia berat)

HCO3 20-26 mEq/L 17,4 mEq/L (turun – asidosis metabolik)

Total CO2 21-27 mmol/L -

Base Ekses (-)2,5 – (+)2,5 mEq/L -3 mEq/L (turun – asidosis)

Saturasi O2 95 % atau lebih 89%

1. Pemeriksaan pH 
Serum pH menggambarkan keseimbangan asam basa dalam tubuh. Sumber ion hidrogen dalam
tubuh meliputi asam volatil dan campuran asam seperti asam laktat dan asam keto. Implikasi Klinik: (a).
Umumnya nilai pH akan menurun dalam keadaan asidemia peningkatan pembentukan asam. (b)
Umumnya nilai pH meningkat dalam keadaan alkalemia kehilangan asam. Didapatkan nilai pH dari hasil
pemeriksaan AGD yaitu 7,234 yang berarti menggambarkan kondisi asidemia. 9

2. Tekanan Parsial Karbon Dioksida (PaCO2)

Gambar 5. Interpretasi Tekanan PaCO2 dan HCO3-


PaCO2 menggambarkan tekanan yang dihasilkan oleh CO2 kyang terlarut dalam plasma. Dapat
digunakan untuk menetukan efektifitas ventilasi dan keadaan asam basa dalam darah.
 Asidosis respiratorik : >45 mmHg (pH turun) 
 Alkalosis respiratorik : <35 mmHg (pH naik)
Implikasi Klinik: 
a) Penurunan nilai PaCO2 dapat terjadi pada hipoksia, anxiety/ nervousness dan emboli paru. Nilai
kurang dari 20 mmHg perlu mendapatkan perhatian khusus.
b) Peningkatan nilai PaCO2 dapat terjadi pada gangguan paru atau penurunan fungsi pusat pernafasan.
Nilai PaCO2 > 60 mmHg perlu mendapat perhatian khusus. 
c) Umumnya peningkatan PaCO2 dapat terjadi pada hipoventilasi sedangkan penurunan nilai
menunjukkan hiperventilasi. 
d) Biasanya penurunan 1 mEq HCO3 akan menurunkan tekanan PaCO2 sebesar 1.3 mmHg. 
Didapatkan nilai PaCO2 dari hasil pemeriksaan AGD yaitu 50 mmHg yang berarti menggambarkan
kondisi asidosis respiratorik.9
3. Karbon Dioksida, (CO2) 
Dalam plasma normal, 95% dari total CO2 terdapat sebagai ion bikarbonat, 5% sebagai larutan gas
CO2 terlarut dan asam karbonat. Kandungan CO2 plasma terutama adalah bikarbonat, suatu larutan yang
bersifat basa dan diatur oleh ginjal. Gas CO2 yang larut ini terutama bersifat asam dan diatur oleh
paruparu. Oleh karena itu nilai CO2 plasma menunjukkan konsentrasi bikarbonat. Kandungan CO2
plasma terutama adalah bikarbonat, suatu larutan yang bersifat basa dan diatur oleh ginjal. Gas CO2
yang larut ini terutama yang bersifat asam dan diatur oleh paru-paru. oleh karena itu nilai CO2 plasma
menunjukkan konsentrasi bikarbonat.
Implikasi Klinik: 
a) Peningkatan kadar CO2 dapat terjadi pada muntah yang parah, emfisema, dan aldosteronisme 
b) Penurunan kadar CO2 dapat terjadi pada gagal ginjal akut, diabetik asidosis dan hiperventilasi 
c) Peningkatan    dan      penurunan       dapat   terjadi pada    penggunaan nitrofurantoin.9
Tidak ada data yang didapatkan dari nilai Total CO2 dari hasil pemeriksaan AGD.
4. Tekanan Parsial Oksigen, (PaO2)
PaO2 adalah ukuran tekanan parsial yang dihasilkan oleh sejumlah oksigen yang terlarut dalam
plasma. Nilai ini menunjukkan kemampuan paru-paru dalam menyediakan oksigen bagi darah. 
 Hipoksemia ringan : 70 - 80 mmHg 
 Hipoksemia sedang : 60 - 70 mmHg 
 Hipoksemia berat : <60 mmHg
Implikasi Klinik: 
a) Penurunan nilai PaO2 dapat terjadi pada penyakit paru obstruksi kronik, PPOK, penyakit obstruksi
paru, anemia, hipoventilasi akibat gangguan fisik atau neoromuskular dan gangguan fungsi jantung.
Nilai PaO2 kurang dari 40 mmHg perlu mendapatkan perhatian khusus. 
b) Peningkatan nilai PaO2 dapat terjadi pada peningkatan penghantaran O2 oleh alat bantu, contohnya
nasal prongs, alat ventilasi mekanik hiperventilasi dan polisitemia, peningkatan sel darah merah dan
daya angkut oksigen.9 
Didapatkan nilai PaO2 dari hasil pemeriksaan AGD yaitu 68 mmHg yang berarti menggambarkan kondisi
hipoksemia berat.
5. HCO3
Ion bikarbonat dapat dipakai sebagai penafsir asidosis/alkalosis metabolik. Bila kadar ion
bikarbonat menurun dari normal menandakan asidosis dan bila kadar ion bikarbonat meningkat adalah
alkalosis. 
Didapatkan nilai BE dari hasil pemeriksaan AGD yaitu 17,4 mEq/L yang berarti menggambarkan
kondisi asidosis metabolis.9

6. Base Ekses
Base excess/deficit (BE/D) adalah cara praktis untuk mengetahui berapa besar kelainan asam-basa
metabolik, yaitu dengan melakukan titrasi invitro pada sediaan darah dengan asam/basa kuat untuk
mengembalikan pH menjadi normal (pH 7.4) dengan syarat faktor respiratorik ditiadakan (PCO2 contoh
darah dibuat 40 mmHg dan suhu 37oC).9
 Nilai – (negative) : asidosis
 Nilai + (positif) : alkalosis
Didapatkan nilai BE dari hasil pemeriksaan AGD yaitu -3 mEq/L) yang berarti menggambarkan kondisi
asidosis.

7. Saturasi Oksigen, (SaO2). 


Jumlah oksigen yang diangkut oleh hemoglobin, ditulis sebagai persentasi total oksigen yang terikat
pada hemoglobin. Nilai Normal   : 95 - 99 % O2 
Implikasi Klinik: 
1. Saturasi oksigen digunakan untuk mengevaluasi kadar oksigenasi hemoglobin dan kecakupan
oksigen pada jaringan 
2. Tekanan parsial oksigen yang terlarut di plasma menggambarkan jumlah oksigen yang terikat pada
hemoglobin sebagai ion bikarbonat.9 
Didapatkan nilai SaO2 dari hasil pemeriksaan AGD yaitu 98%.
       
Pada skenario ini dari hasil pemeriksaan Analisa Gas Darah didapatkan data yang menunjukan
adanya penurunan pH, kenaikan PaCO2, penurunan HCO3, dan penurunan BE, maka dapat
diinterpretasikan sebagai gabungan asidosis resporatorik dan asisdosis metabolik dengan hipoksemia
berat.

Tatalaksana Terapi Oksigen


Terapi oksigen merupakan suatu intervensi medis dengan cara memberikan konsentrasi oksigen
lebih tinggi dibandingkan dengan oksigen yang terdapat di udara bebas untuk mengoreksi atau mencegah
hipoksemia. Pada keadaan PaO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan PaO2
sampai normal. Berlainan dengan gagal nafas dari penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien
sudah terbiasa dengan keadaan hiperkarbia sehingga pusat pernafasan tidak terangsang oleh hipercarbia
drive melainkan terhadap hypoxemia drive. Akibatnya kenaikan PaO2 yang terlalu cepat, pasien dapat
menjadi apnea.10
Pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien benar-benar membutuhkan oksigen.
Indikasi untuk pemberian oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan harus diatur dalam jumlah yang
tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan menghindari toksisitas. 11
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada pasien-pasien dengan
keadaan hipoksemia akut. Oksigen harus segera diberikan dengan adekuat karena jika tidak diberikan
akan menimbulkan cacat tetap dan kematian. Pada kondisi seperti ini oksigen harus diberikan dengan
FiO2 60-100% dalam waktu pendek dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen diberikan
dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan meminimalisasi efek samping. 10
Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam, yaitu sistem arus rendah dan sistem arus
tinggi. Kateter nasal kanul merupakan alat dengan sistem arus rendah yang digunakan secara luas. Nasal
kanul arus rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-6 L/mnt, dengan FiO2 antara 0,24-
0,44 (24 %-44%). Aliran yang lebih tinggi tidak meningkatkan FiO2 secara bermakna diatas 44% dan
dapat mengakibatkan mukosa membran menjadi kering. Alat oksigen arus tinggi diantaranya ventury
mask dan reservoir nebulizer blenders. Pasien dengan PPOK dan gagal napas tipe hipoksemia, bernapas
dengan mask ini mengurangi resiko retensi CO2 dan memperbaiki hipoksemia. Sistem arus tinggi ini
dapat mengirimkan sampai 40 L/mnt oksigen melalui mask, yang umumnya cukup untuk total kebutuhan
respirasi. Dua indikasi klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus tinggi ini adalah pasien yang
memerlukan pengendalian FiO2 dan pasien hipoksia dengan ventilasi abnormal. 10,11
Tatalaksana Jalan Nafas
Tatalaksana jalan nafas pada pasien Covid-19 memiliki 3 prinsip utama yakni safe, accurate dan swift
dimana keamanan sangatlah penting bagi petugas dan pasien sehingga penggunaan APD harus secara
hati-hati dan tepat untuk mencegah kontaminasi. Akurasi sangat penting dan petugas kesehatan tidak
boleh menggunakan teknik yang tidak valid, tidak familiar dan pengulangan teknik saat tatalaksana jalan
napas mengingat tindakan ini berisiko tinggi menyebabkan terjadinya aerosol. Selanjutnya, harus
dilakukan dengan cepat namun tidak terburu-buru dan tidak terlambat. 12
Pada pasien yang suspek atau terkonfirmasi Covid-19 tatalaksana jalan napas pada kasus emergensi
dan non emergensi memiliki prinsip yang sama.
1. Persiapan
1. Persiapan institusi (peralatan untuk tatalaksana rutin dan jika terjadi kesulitan; jumlah staf terlatih
yang mencukupi, ketersediaan checklist intubasi endotrakeal, APD dan lain-lain) harus dilakukan
dengan baik sebelum melakukan tindakan tatalaksana jalan napas. Jika belum ada, sangat
direkomendasikan untuk menyiapkan secepatnya.12
2. Tim dan Perseorangan harus mengetahui persiapan institusi dan skill yang diperlukan, bagaimana
menggunakan APD dengan benar dan mengevaluasi jalan napas pasien untuk menilai ada
tidaknya kesulitan intubasi dan mempersiapkan tindakan jalan napas yang akan dilakukan.
Konsep MACOCHA (Mallampati, Obstructive sleep apnoea, C-spine movement, mouth opening,
coma, hipoksemia, non anaesthetist intubator) tidak diterima secara luas, tapi konsep ini valid dan
direkomendasikan.12

Gambar 4. Skor MACOCHA untuk prediksi jalan nafas sulit

2. Menyiapkan troli atau set alat intubasi endotrakeal COVID-19. Pasien yang sakit kritis seringkali
harus diintubasi ditempat dibanding di ICU. Di ICU, intubasi endotrakeal biasanya dilakukan di satu
ruangan. Siapkan troli intubasi endotrakeal atau set alat yang dapat diambil ke dekat pasien dan
didekontaminasi setelah digunakan.12 
3. Mempersiapkan strategi (rencana utama atau rencana cadangan) dan perlu mengadakan briefing tim
sebelum tindakan.12 
4. Melibatkan sejumlah kecil tenaga yang diperlukan. Sebanyak 3 orang tenaga yang diperlukan: 1
intubator, 1 asisten dan 1 orang yang memberikan obat dan mengawasi monitor. Petugas lain (runner)
harus mengawasi dari luar dan harus dapat membantu dengan cepat jika diperlukan. 12 
5. Gunakan APD yang benar dan sesuai. Dalam situasi emergensi termasuk henti jantung, APD harus
digunakan dan di cek seluruhnya sebelum melakukan tatalaksana jalan napas dan petugas tidak boleh
membuat dirinya terpapar risiko apapun.12 
6. Hindari prosedur yang menimbulkan aerosol. Jika terdapat alternatif tindakan yang cocok, gunakan.
Jika tindakan yang menimbulkan aerosol dilakukan, kamar yang digunakan dianggap sudah
terkontaminasi. Gunakan APD dan ruangan harus dibersihkan dalam 20 menit. 12 
7. Fokus pada ketepatan waktu dan kepercayaan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan keberhasilan pada
saat pertama kali intubasi. Jangan terburu-buru, tetapi melakukan setiap usaha sebaik-baiknya yang
dapat dilakukan. Usaha yang berkali-kali meningkatkan risiko kontaminasi kepada petugas lainnya
dan kepada pasien.12
8. Gunakan Teknik yang berhasil baik untuk semua pasien,termasuk jika terjadi kesulitan intubasi. 12 

Jika pelatihan dan peralatan tersedia, sebaiknya meliputi: 12


1. Penggunaan a kit clump mat
2. Videolaryngoscope untuk intubasi endotrakeal. 
3. Gunakan 2 orang 2 tangan untuk memegang face mask ventilasi dengan  VE-grip. 
4. Siapkan SGA generasi kedua untuk rescue airway (misal: i-gel, Ambu, Aura Gain, LMA proseal,
LMA Protector) 
5. Petugas paling sesuai adalah yang harus melakukan tindakan jalan napas. 
6. Jangan gunakan teknik yang tidak familier atau tidak terlatih. 
7. Pastikan semua alat jalan napas yang diperlukan ada di ruangan sebelum melakukan tindakan
intubasi endotrakeal.
a) Monitor termasuk capnograph.
b) Suction yang berfungsi baik.
c) Ventilator yang sudah diatur. 
d) Akses intravena yang baik dan lancar. 
1. Gunakan checklist intubasi sebagai alat bantu dan harus dicek sebelum memasuki kamar pasien
sebagai bagian dari persiapan. 
2. Gunakan alat bantu kognitif jika terjadi kesulitan. Kesulitan intubasi akan menyebabkan
kegagalan untuk melakukan tindakan secara optimal. Alat bantu kognitif akan membantu tim
tetap fokus dan mempercepat pilihan tindakan melalui algoritma. Terdapat dua algoritma yang
diambil dari panduan Difficult Airway Society (DAS) 2018 untuk intubasi endotrakeal pada
pasien sakit kritis yang sudah direduksi ruang lingkupnya untuk mengakomodasi kondisi
sekarang dan memberikan keputusan dan tindakan yang tepat dan cepat.
3. Gunakan bahasa yang jelas dan closed loop communication 

Analisis Kasus
Pasien laki-laki berusia 45 tahun telah terkonfirmasi COVID-19 akibat terpapar rekan kerja dan
sudah dirawat di rumah sakit selama 3 hari. Saat diantar ke rumah sakit, pasien masih dapat berjalan
sendiri namun kondisi pasien memburuk sejak 2 hari yang lalu. Nafsu makan pasien berkurang dan sesak
semakin bertambah dan tidak membaik saat istirahat. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan
skor GCS 12 dengan E3M5V4 pasien dalam keadaan apatis. Tanda-tanda vital seperti tekanan darah
90/50 mmHg, denyut nadi jantung 122x/menit, frekuensi nafas 30-35x/menit, suhu 38,6 oC, saturasi
oksigen 92% dengan room air. Dari data tanda-tanda vital yang didapatkan, nilai EWS dihitung
menggunakan klasifikasi pada pasien COVID-19 adalah 14. Dan nilai qSOFA pasien ini adalah 3 yang
menandakan adanya sepsis. Dari hasil pemeriksaan fisik thorax ditemukan pada pemeriksaan inspeksi
terdapat usaha napas yang bertambah, pola napas abdominal dengan tanda-tanda retraksi suprasternal dan
napas cuping hidung yang menandakan adanya gagal napas. Ditemukan sonor pada seluruh lapang paru
menandakan paru normal atau bronkitis.. Hasil pemeriksaan auskultasi terdengar ronkhi basah halus pada
basal paru yang merupakan tanda dari pneumonia.
Pasien menunjukkan adanya tanda-tanda gagal napas akut atau disebut dengan Acute Respiratory
Distress syndrome (ARDS) dilihat dari penurunan tekanan darah, takipneu (frekuensi napas melebihi
batas normal) dengan usaha napas bertambah disertai dengan retraksi suprasternal yang menandakan
paru-paru berusaha untuk menyerap oksigen sebanyak mungkin dan terakhir ditandai dengan napas
cuping hidung. Gejala ARDS ditegakkan dengan hasil analisa gas darah pasien yang menandakan adanya
asidosis respiratorik dan metabolik dengan hipoksemia berat. ARDS yang terjadi pada pasien dapat
disebabkan oleh COVID-19 yang menimbulkan komplikasi. Tatalaksana yang dapat dilakukan pada
pasien ini adalah dengan terapi pemberian oksigen menggunakan venturi mask dan reservoir nebulizer
blenders dikarenakan pasien sudah dalam keadaan hipoksemia berat dan akut. Petugas yang menangani
tatalaksana jalan napas harus menggunakan APD dan mempersiapkan peralatan intubasi apabila
pemberian oksigen dengan venturi mask tidak berhasil. 
Nilai EWS total pasien adalah 14 dimana termasuk dalam kriteria tinggi sehingga perlu
monitoring tanda vital pasien secara kontinyu dan penanganan dalam waktu kurang 15 menit setelah nilai
EWS terkonfirmasi. Segera dikonsultasikan dengan DPJP dan apabila dokter DPJP tidak menjawab
panggilan lebih dari 3 kali segera menghubungi kontak dokter spesialis yang sama bidangnya.
Mengkonfirmasi keluarga pasien untuk kemungkinan admisi pasien dalam ICU. Apabila dalam waktu 30
menit kondisi pasien tidak membaik atau mengalami perburukan, atas persetujuan DPJP rekomendasikan
untuk rawat di ruang intensif (ICU). Apabila pasien mengalami henti jantung, lakukan tindakan sesuai
algoritma code blue. Apabila kondisi pasien membaik setelah 4 jam diobservasi terus menerus dengan
nilai EWS <7 maka ikuti respon klinis medium. Namun apabila pasien mengalami perburukan dengan
nilai EWS>7 setelah diobservasi dan dilakukan tindakan, maka apabila DPJP dan keluarga setuju untuk
perawatan ruang intensif (ICU) pasien akan dipindahkan ke ruang intensif. 
Nilai qSOFA pasien yang lebih dari 2 menandakan adanya sepsis sehingga harus dilakukan
tatalaksana sepsis. Pasien dengan COVID-19 dapat mengalami komplikasi sepsis dan menimbulkan
ARDS. Maka tatalaksana pada pasien ini adalah mengukur kadar laktat agar dapat segera dilakukan
tindakan resusitasi menggunakan cairan kristaloid dan koloid dan memberikan antibiotik spektrum luas
sambil menunggu hasil kultur darah. 

Tatalaksana Sepsis
 Pengukuran Kadar Laktat
Peningkatan kadar laktat dapat menunjukkan beberapa kondisi di antaranya hipoksia
jaringan, peningkatan glikolisis aerobik yang disebabkan peningkatan stimulasi beta adrenergik
atau pada beberapa kasus lain. Peningkatan kadar laktat >2mmol/L harus diukur pada kondisi 2-4
jam awal dan dilakukan tindakan resusitasi segera. 6
 Kultur Darah
Pengambilan kultur darah dilakukan segera, hal tersebut berguna untuk meningkatkan
optimalisasi pemberian antibiotik dan identifikasi patogen. Kultur darah sebaiknya dalam 2
preparat terutama untuk kuman aerobik dan anaerobik. Pengujian kultur juga dapat
menyingkirkan penyebab sepsis, apabila infeksi patogen tidak ditemukan maka pemberian
antibiotik dapat dihentikan.6
 Antibiotik Spektrum Luas
Pemberian antibiotik spektrum luas sangat direkomendasikan pada manajemen awal.
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan bakteri empirik yang ditemukan. 6
 Cairan Intravena
Pemberian cairan merupakan terapi awal resusitasi pasien sepsis, atau sepsis dengan
hipotensi dan peningkatan serum laktat. Cairan resusitasi adalah 30 ml/kgBB cairan kristaloid;
tidak ada perbedaan manfaat antara koloid dan kristaloid. 6

Kesimpulan
Daftar Pustaka
1. Fatoni AZ, Rakhmatullah R. Acute respiratory distress syndrome (ARDS) pada pneumonia
covid-19. Journal of Anaesthesia and Pain. 2021: 2(1); 11-24. 
2. Gleadle J. Pengambilan anamnesis. Dalam: At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik.
Jakarta: Penerbit Erlangga. 2007. H.1-17.
3. Kaynar AM, Michael R P. Respiratory failure. Medscape. 2020: 2(1): 1-7.
4. Kyriacos, U. Jelsma, J. Jordan, S. (2011). Monitoring Vital Signs Using Early Warning
Scoring Systems: A Review of The Literature. Journal of Nursing Management 19, 311-330.
5. Royal College of Physicians. (2017). National Early Warning Score (NEWS) 2: Standardising
the assessment of acute-illness severity in the NHS. London: RCP
6. Millizia A. Penatalaksanaan sepsis. Jurnal Kedoktern Nanggore Medika. 2019
September;2(3):28-37.
7. Phuong V, Kharasch VS. Respiratory Failure. Pediatr Rev. 2014: 35; 476–86
8. Bakhtiar A, Maranatha RA. Acute respiratory syndrome. Jurnal Respirasi. 2018: 4(2); 51-60.
9. Sukinem N, Skep G. Interpretasi Analisa Gas Darah. Ministry Of Health Department Kariadi
Hospital Of Semarang Central Jawa, Indonesia: 2013.
10. Nemaa PK. Respiratory failure. Indian Journal of Anaesthesia, 47(5): 360-6. 2003.
11. Avva U, Lata JM, Kiel J. Airway Management. Jacksonville: University of Florida College of
Medicine; 2021
12. Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesi dan Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN). Penanganan
Pasien Kritis Covid-19. Makassar, April 2020. 38-64.

Anda mungkin juga menyukai