Nathalie Luhukay
102018034
Abstrak
Kata Kunci:
Abstract
Keywords:
Pendahuluan
Pada akhir tahun 2019 di Wuhan, Cina, muncul pneumonia virus yang belum diketahui
penyebabnya. Awalnya jumlah pasien teridentifikasi belum terlalu banyak tetapi sebagian besar
mengalami kerusakan paru yang berat. World Health Organization (WHO) memberi nama pneumonia ini
dengan corona-virus disease 2019 (COVID-19). Studi menjelaskan bahwa sebagian besar pasien
terinfeksi COVID-19 kritis mengalami disfungsi organ, dimana 67% diantaranya dengan Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS). ARDS yang dipicu oleh pneumonia COVID19 biasa disebut
sebagai CARDS. Pasien pasien COVID-19 yang mengalami ARDS mempunyai tingkat kematian 50% -
94%. Luaran pasien ARDS yang disebabkan oleh COVID-19 lebih buruk daripada pasien ARDS yang
disebabkan oleh penyakit lain. Data sampai bulan November 2020 di Intensive Care Unit (ICU) COVID-
19 RSUD dr Saiful Anwar Malang dan RSU Karsa Husada Batu mempunyai angka mortalitas antara 47%
(190 pasien) sampai 81,7% (82 pasien). CARDS mempunyai manifestasi klinis dan radiologis yang
beragam. Hal ini membuat beberapa perbedaan pada tatalaksana CARDS terutama terkait manajemen
ventilasi mekanik.1
Pada awalnya, ARDS juga dikenal dengan nama shock lung, Da Nan lung (dari perang Vietnam),
sindrom stiff-lung, acute lung injury, non-cardiogenic pulmonary edema, adult respiratory distress
syndrome, atau leaky capillary pulmonary edema, dengan gambaran morfologi berupa kerusakan alveoli
inflamatorik yang difus. ARDS didefinisakan oleh Kriteria Berlin dengan gagal napas hipoksemik akut
dengan penyebab tertentu (seperti infeksi virus pernapasan) disertai munculnya infiltrat bilateral pada foto
thoraks/CT scan. ARDS yang disebabkan oleh pneumonia COVID-19 biasa disebut sebagai CARDS. 1
Anamnesis
Anamnesis merupakan suatu teknik pemeriksaan yang dilakukan melalui suatu percakapan antara
seorang dokter dengan pasiennya secara langsung atau dengan orang lain yang mengetahui tentang
kondisi pasien, untuk mendapatkan data pasien beserta permasalahan medisnya. Tujuannya, selain untuk
menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding, anamnesis juga berguna untuk menyusun
pengobatan pada penderita. Pada anamnesis hal-hal yang perlu kita tanyakan pada pasien antara lain:
identitas pasien, keluhan utama yang diderita pasien, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu,
riwayat pengobatan, riwayat penyakit keluarga, riwayat pribadi dan sosial. 2
Berdasarkan skenario ditemukan bahwa pasien adalah seorang laki-laki berusia 45 tahun dan
sedang di rawat di bangsal isolasi Covid-19. Pasien dirawat sejak 3 hari yang lalu dan didapati lemas,
tidak mau makan serta tampak kerja nafas (work of breathing) yang memberat. Pasien memiliki riwayat
batuk dan keluhan tersebut memberat setelah 5 hari. Selain itu, pasien memiliki riwayat paparan dengan
rekan kerja yang terkonfirmasi Covid-19 pada 7 hari sebelum masuk rumah sakit. Dalam 2 hari terakhir,
nafsu makan pasien menjadi berkurang, sesak semakin bertambah dan tidak membaik walau sudah
beristirahat.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang sangat penting untuk memperkuat temuan-temuan
dalam anamnesis yang tujuannya untuk menegakkan diagnosis yang pasti. Pemeriksaan fisik antara lain:
keadaan umum, kesadaran, TTV, head to toe hingga pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi dan juga
auskultasi.2
Dari hasil pemeriksaan fisik, ditemukan kesadaran pasien berdasarkan skoring GCS 12 E3M5V4.
Pada pemeriksaan tanda-tanda vital ditemukan tekanan darah 90/50 mmHg, denyut jantung 122x/menit,
frekuensi nafas 30-35x/menit, suhu 38,6oC, saturasi oksigen 92% dengan room air. Selanjutnya dilakukan
pemeriksaan thorax ditemukan pada pemeriksaan inspeksi terdapat usaha nafas yang bertambah pola
nafas abdominal dengan tanda-tanda retraksi suprasternal dan nafas cuping hidung. Palpasi tidak
ditemukan kelainan. Perkusi ditemukan sonor pada seluruh lapang paru. Auskultasi terdengar ronkhi
basah halus pada basal paru.
Pemeriksaan Penunjang
Hitung darah lengkap (CBC)
Hitung darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan anemia, yang dapat berkontribusi terhadap
hipoksia jaringan, sedangkan polisitemia mungkin menunjukkan kegagalan pernafasan
hipoksemia kronis.3
Analisa Gas Darah
Analisis gas darah arteri harus dilakukan untuk memastikan diagnosis dan untuk membantu
dalam perbedaan antara bentuk akut dan kronis. Ini membantu menilai keparahan kegagalan
pernapasan dan membantu dalam penanganan.3
Foto Rontgen atau CT Scan
Modalitas pencitraan utama yang menjadi pilihan adalah foto toraks dan Computed Tomography
Scan (CT- scan) toraks. Pada foto toraks dapat ditemukan gambaran seperti opasifikasi ground-
glass, infiltrat, penebalan peribronkial, konsolidasi fokal, efusi pleura, dan atelectasis. 3
EKG
Elektrokardiografi (EKG) harus dilakukan untuk mengevaluasi kemungkinan penyebab
kardiovaskular sebagai kegagalan pernafasan, tetapi juga dapat mendeteksi disritmia akibat
hipoksemia berat atau asidosis.3
Tes Fungsi Ginjal dan Hati
Kelainan fungsi ginjal dan hati mungkin juga memberikan petunjuk etiologi kegagalan
pernafasan atau mengingatkan dokter untuk komplikasi yang terkait dengan kegagalan
pernafasan.3
Tingkat serum TSH
Tingkat serum thyroid- stimulating hormone (TSH) harus diukur untuk mengevaluasi
kemungkinan hipotiroidisme, yang berpotensi menyebabkan kegagalan pernapasan. 3
Berdasarkan skenario dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan AGD PH: 7,234, PO2: 68 mmHg,
PCO2: 50-3 MAC, HCO3: 17,4, SO2: 89%, Hb: 12, Ht: 48, Leukosit: 7500 dan Trombosit: 567.000
Selanjutnya, dilakukan monitoring pada pasien berdasarkan dengan nilai EWS antara lain: 5,6
1. Nilai EWS 0:
Frekuensi Monitoring: 3x sehari atau 1x/shift atau tiap 4 jam untuk pasien pasca perawatan
intensive
Respon klinik:
o Lanjutkan monitoring EWS rutin;
o Jika pada re-asesmen ditemukan skor >0, ikuti petunjuk respon klinis skor rendah
2. Nilai EWS 1-4 (Skor Rendah):
Frekuensi Monitoring: Tiap 4 jam
Respon Klinik:
Hubungi dokter jaga
Dokter jaga verifikasi kondisi pasien dalam waktu >1 jam setelah dilaporkan
Dokter jaga memutuskan frekuensi monitoring ditambah atau eskalasi ke Dokter
Penanggung Jawab Pasien (Dokter Spesialis)
Jika pada re-asesmen ditemukan skor <1 selama 4 jam observasi, lanjutkan observasi
sesuai petunjuk respon klinik skor 0
Sebaliknya, jika ditemukan skor >2 setelah 2 jam observasi lakukan re-asesmen dan
tingkatkan frekuensi observasi, lanjutkan observasi sesuai petunjuk skor medium
3. Nilai EWS 3 di salah satu parameter dan atau nilai EWS 5-6 (Skor Medium):
Frekuensi Monitoring: Terus menerus tiap 1 jam sampai kondisi membaik
Respon Klinik:
o Hubungi dokter jaga
o Dokter jaga melakukan verifikasi dalam 30 menit sejak dilaporkan, melakukan
pemeriksaan dan penangan pasien
o Jika pada re-asesmen ditemukan skor <5 selama 4 jam observasi, lanjutkan observasi
sesuai petunjuk respon klinis skor rendah
o Sebaliknya, jika ditemukan skor >6 setelah 1 jam observasi maka lakukan re-asesmen,
tingkatkan frekuensi observasi tiap 30 menit dan lanjutkan observasi sesuai petunjuk skor
tinggi
4. Nilai EWS ≥ 7 (Skor Tinggi):
Frekuensi Monitoring: Continuous monitoring dan penanganan dalam 30 menit
Respon Klinik:
Hubungi dokter jaga
Dokter jaga melakukan verifikasi, pemeriksaan dan penanganan pasien dalam waktu <15
menit sejak aktivasi EWS
Dokter jaga lapor ke Dokter Penanggung-Jawab Pasien. Apabila >3x tidak dapat
dihubungi, kontrak Dokter Spesialis yang sama bidangnya
Dokter jaga menginformasikan kepada keluarga tentang kondisi pasien dan kemungkinan
pindah rawat ruang intensif
Monitor secara kontinu dengan alat monitor portable (jika tersedia)
Jika dalam waktu 30 menit sejak penanganan dan konsultasi dengan Dokter Penanggung-
Jawab Pasien terjadi perburukan pasien, maka Dokter Jaga atas izin DPJP
mengkonsultasikan kepada intensivist dan rekomendasi untuk rawat di ruang Intensif
(ICU)
Jika terjadi Cardiac Arrest, lakukan penanganan sesuai algoritma code blue
Jika respon pasien membaik, dan skor <7 setelah 4 jam observasi secara terus menerus,
kembali ikuti petunjuk respon klinis medium
Jika skor tetap >7, DPJP dan keluarga setuju rawat ruang intensif
Pasien dipindahkan ke ruang intensif
Kriteria Qsofa
Gambar 4. Kriteria Score Qsofa.
Gagal Nafas
Gagal nafas adalah ketidakmampuan alat pernafasan untuk mempertahankan oksigenasi didalam
darah dengan atau tanpa penumpukan CO2. Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal
nafas kronik dimana masing-masing mempunyai pengertian yang berbeda. Gagal nafas akut adalah gagal
nafas yang timbul pada pasien yang memiliki struktural dan fungsional paru yang normal sebelum awitan
penyakit muncul. Sedangkan gagal nafas kronis adalah gagal nafas yang terjadi pada pasien dengan
penyakit paru kronis seperti bronkitis kronis,emfisema. Pasien mengalami toleransi terhadap hipoksia dan
hiperkapnia yang memburuk secara bertahap.2
Berdasarkan pada pemeriksaan AGD, gagal nafas dapat dibagi menjadi 3 tipe: (1). Tipe I
merupakan kegagalan oksigenasi atau hypoxaemia arteri ditandai dengan tekanan parsial O2 arteri yang
rendah. (2). Tipe II yaitu kegagalan ventilasi atau hypercapnia ditandai dengan peningkatan tekanan
parsial CO2 arteri yang abnormal (PaCO2 > 46 mm Hg), dan diikuti secara simultan dengan turunnya
PAO2 dan PaO2, oleh karena itu perbedaan PAO2 - PaO2. (3) Tipe III adalah gabungan antara kegagalan
oksigenasi dan ventilasi ditandai masih tetap tidak berubah dengan hipoksemia dan hiperkarbia
penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2.7
Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) atau Gagal nafas akut merupakan tantangan karena
keberagaman definisi dan kesulitan mendiagnosis ARDS. Insidensi ARDS dilaporkan berkisar antara 75
per 100.000 penduduk sampai serendah 1.5 per 100.000 penduduk. Sepsis, aspirasi cairan atau isi
lambung, serta transfusi multiple (>15 unit/24 jam) berhubungan dengan risiko tinggi terhadap ARDS.4
Sebagian besar kasus ARDS berhubungan dengan sepsis terkait paru (pulmonary sepsis) sebanyak 46%
atau sepsis bukan karena paru sebanyak 33%. Faktor risiko antara lain keadaan yang menyebabkan
kelainan langsung pada paru seperti pneumonia, trauma inhalasi, kontusio pulmonum, maupun keadaan
yang menyebabkan kelainan tidak langsung pada paru seperti sepsis bukan karena paru, luka bakar,
transfusion-related acute lung injury, alkoholisme kronik, dan riwayat pajanan terhadap asap secara aktif
maupun pasif pada kasus trauma. Faktor risiko untuk anak sedikit berbeda dari dewasa, karena didapatkan
keadaan yang terkait usia, seperti infeksi respiratory synctitial virus dan tenggelam. Pada ARDS yang
mengisi alveoli adalah cairan eksudat. Barier alveolar-kapiler mengalami peningkatan permeabilitas,
sehingga cairan yang mengandung protein masuk ke dalam alveoli. Adanya cairan pada alveoli
menyebabkan penurunan komplians sistem pernapasan, right-to-left shunting, dan hipoksemia. 8
Tahapan patologi ARDS secara klasik digambarkan dalam 3 tahapan yang berurutan dan tumpang
tindih. Pada tahapan pertama, yaitu fase eksudatif dari jejas paru, temuan patologis disebut sebagai
diffuse alveolar damage. Terdapat membran hialin yang melapisi dinding alveolar dan cairan edema yang
mengandung protein di ruang alveoler, terjadi pula gangguan pada epitel dan infiltrasi neutrofil pada
interstitial dan alveoli. Area hemorrhage dan makrofag dapat ditemukan di alveoli. Fase yang berlangsung
5- 7 hari ini diikuti oleh yang disebut sebagai fase proliferatif pada beberapa pasien. Pada titik ini,
membran hialin telah mengalami organisasi dan fibrosis. Obliterasi kapiler pulmonal dan deposisi
kolagen pada interstitial dan alveolar dapat diamati bersamaan dengan penurunan jumlah neutrofil dan
derajat edema paru. Fasecproliferatif ini diikuti oleh fase fibrosis yang tampak pada gambaran radiologis
pada ARDS persisten (lebih dari 2 minggu). Awalnya jejas langsung maupun tidak langsung pada paru
diduga menyebabkan proliferasi mediator inflamasi pada mikrosirkulasi paru. Neutrofil ini mengaktifkan
dan bermigrasi dalam jumlah besar melewati endotel pembuluh darah dan permukaan epitel alveolar,
melepaskan protease, sitokin, dan reactive oxygen species (ROS). Migrasi dan pelepasan mediator ini
mengarah kepada permeabilitas vaskuler yang patologis, timbulnya jarak pada barier sel epitel alveolar
serta nekrosis sel alveolar tipe I dan II. Hal ini sebaliknya menyebabkan edema paru, pembentukan
membran hialin, dan kehilangan surfaktan yang menurunkan komplians paru dan membuat pertukaran gas
sulit terjadi. Selanjutnya terjadi infiltrasi fibroblas yang mengarah pada deposisi kolagen, fibrosis, dan
akhirnya perburukan penyakit.
Pada fase penyembuhan terjadi berbagai hal secara bersamaan. Sitokin antiinflamasi
menginaktivasi neutrofil yang teraktivasi yang akan mengalami apoptosis dan fagositosis. Sel alveolar
tipe II berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel alveolar tipe I, memperbaiki integritas dari pelapis
epitelial dan membuat gradien osmotik yang menarik cairan keluar dari alveoli ke dalam mikrosirkulasi
dan sistem limfatik paru. Secara simultan sel alveolar dan makrofag menghilangkan bahan protein dari
alveoli sehingga paru dapat pulih.8
1. Pemeriksaan pH
Serum pH menggambarkan keseimbangan asam basa dalam tubuh. Sumber ion hidrogen dalam
tubuh meliputi asam volatil dan campuran asam seperti asam laktat dan asam keto. Implikasi Klinik: (a).
Umumnya nilai pH akan menurun dalam keadaan asidemia peningkatan pembentukan asam. (b)
Umumnya nilai pH meningkat dalam keadaan alkalemia kehilangan asam. Didapatkan nilai pH dari hasil
pemeriksaan AGD yaitu 7,234 yang berarti menggambarkan kondisi asidemia. 9
6. Base Ekses
Base excess/deficit (BE/D) adalah cara praktis untuk mengetahui berapa besar kelainan asam-basa
metabolik, yaitu dengan melakukan titrasi invitro pada sediaan darah dengan asam/basa kuat untuk
mengembalikan pH menjadi normal (pH 7.4) dengan syarat faktor respiratorik ditiadakan (PCO2 contoh
darah dibuat 40 mmHg dan suhu 37oC).9
Nilai – (negative) : asidosis
Nilai + (positif) : alkalosis
Didapatkan nilai BE dari hasil pemeriksaan AGD yaitu -3 mEq/L) yang berarti menggambarkan kondisi
asidosis.
2. Menyiapkan troli atau set alat intubasi endotrakeal COVID-19. Pasien yang sakit kritis seringkali
harus diintubasi ditempat dibanding di ICU. Di ICU, intubasi endotrakeal biasanya dilakukan di satu
ruangan. Siapkan troli intubasi endotrakeal atau set alat yang dapat diambil ke dekat pasien dan
didekontaminasi setelah digunakan.12
3. Mempersiapkan strategi (rencana utama atau rencana cadangan) dan perlu mengadakan briefing tim
sebelum tindakan.12
4. Melibatkan sejumlah kecil tenaga yang diperlukan. Sebanyak 3 orang tenaga yang diperlukan: 1
intubator, 1 asisten dan 1 orang yang memberikan obat dan mengawasi monitor. Petugas lain (runner)
harus mengawasi dari luar dan harus dapat membantu dengan cepat jika diperlukan. 12
5. Gunakan APD yang benar dan sesuai. Dalam situasi emergensi termasuk henti jantung, APD harus
digunakan dan di cek seluruhnya sebelum melakukan tatalaksana jalan napas dan petugas tidak boleh
membuat dirinya terpapar risiko apapun.12
6. Hindari prosedur yang menimbulkan aerosol. Jika terdapat alternatif tindakan yang cocok, gunakan.
Jika tindakan yang menimbulkan aerosol dilakukan, kamar yang digunakan dianggap sudah
terkontaminasi. Gunakan APD dan ruangan harus dibersihkan dalam 20 menit. 12
7. Fokus pada ketepatan waktu dan kepercayaan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan keberhasilan pada
saat pertama kali intubasi. Jangan terburu-buru, tetapi melakukan setiap usaha sebaik-baiknya yang
dapat dilakukan. Usaha yang berkali-kali meningkatkan risiko kontaminasi kepada petugas lainnya
dan kepada pasien.12
8. Gunakan Teknik yang berhasil baik untuk semua pasien,termasuk jika terjadi kesulitan intubasi. 12
Analisis Kasus
Pasien laki-laki berusia 45 tahun telah terkonfirmasi COVID-19 akibat terpapar rekan kerja dan
sudah dirawat di rumah sakit selama 3 hari. Saat diantar ke rumah sakit, pasien masih dapat berjalan
sendiri namun kondisi pasien memburuk sejak 2 hari yang lalu. Nafsu makan pasien berkurang dan sesak
semakin bertambah dan tidak membaik saat istirahat. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan
skor GCS 12 dengan E3M5V4 pasien dalam keadaan apatis. Tanda-tanda vital seperti tekanan darah
90/50 mmHg, denyut nadi jantung 122x/menit, frekuensi nafas 30-35x/menit, suhu 38,6 oC, saturasi
oksigen 92% dengan room air. Dari data tanda-tanda vital yang didapatkan, nilai EWS dihitung
menggunakan klasifikasi pada pasien COVID-19 adalah 14. Dan nilai qSOFA pasien ini adalah 3 yang
menandakan adanya sepsis. Dari hasil pemeriksaan fisik thorax ditemukan pada pemeriksaan inspeksi
terdapat usaha napas yang bertambah, pola napas abdominal dengan tanda-tanda retraksi suprasternal dan
napas cuping hidung yang menandakan adanya gagal napas. Ditemukan sonor pada seluruh lapang paru
menandakan paru normal atau bronkitis.. Hasil pemeriksaan auskultasi terdengar ronkhi basah halus pada
basal paru yang merupakan tanda dari pneumonia.
Pasien menunjukkan adanya tanda-tanda gagal napas akut atau disebut dengan Acute Respiratory
Distress syndrome (ARDS) dilihat dari penurunan tekanan darah, takipneu (frekuensi napas melebihi
batas normal) dengan usaha napas bertambah disertai dengan retraksi suprasternal yang menandakan
paru-paru berusaha untuk menyerap oksigen sebanyak mungkin dan terakhir ditandai dengan napas
cuping hidung. Gejala ARDS ditegakkan dengan hasil analisa gas darah pasien yang menandakan adanya
asidosis respiratorik dan metabolik dengan hipoksemia berat. ARDS yang terjadi pada pasien dapat
disebabkan oleh COVID-19 yang menimbulkan komplikasi. Tatalaksana yang dapat dilakukan pada
pasien ini adalah dengan terapi pemberian oksigen menggunakan venturi mask dan reservoir nebulizer
blenders dikarenakan pasien sudah dalam keadaan hipoksemia berat dan akut. Petugas yang menangani
tatalaksana jalan napas harus menggunakan APD dan mempersiapkan peralatan intubasi apabila
pemberian oksigen dengan venturi mask tidak berhasil.
Nilai EWS total pasien adalah 14 dimana termasuk dalam kriteria tinggi sehingga perlu
monitoring tanda vital pasien secara kontinyu dan penanganan dalam waktu kurang 15 menit setelah nilai
EWS terkonfirmasi. Segera dikonsultasikan dengan DPJP dan apabila dokter DPJP tidak menjawab
panggilan lebih dari 3 kali segera menghubungi kontak dokter spesialis yang sama bidangnya.
Mengkonfirmasi keluarga pasien untuk kemungkinan admisi pasien dalam ICU. Apabila dalam waktu 30
menit kondisi pasien tidak membaik atau mengalami perburukan, atas persetujuan DPJP rekomendasikan
untuk rawat di ruang intensif (ICU). Apabila pasien mengalami henti jantung, lakukan tindakan sesuai
algoritma code blue. Apabila kondisi pasien membaik setelah 4 jam diobservasi terus menerus dengan
nilai EWS <7 maka ikuti respon klinis medium. Namun apabila pasien mengalami perburukan dengan
nilai EWS>7 setelah diobservasi dan dilakukan tindakan, maka apabila DPJP dan keluarga setuju untuk
perawatan ruang intensif (ICU) pasien akan dipindahkan ke ruang intensif.
Nilai qSOFA pasien yang lebih dari 2 menandakan adanya sepsis sehingga harus dilakukan
tatalaksana sepsis. Pasien dengan COVID-19 dapat mengalami komplikasi sepsis dan menimbulkan
ARDS. Maka tatalaksana pada pasien ini adalah mengukur kadar laktat agar dapat segera dilakukan
tindakan resusitasi menggunakan cairan kristaloid dan koloid dan memberikan antibiotik spektrum luas
sambil menunggu hasil kultur darah.
Tatalaksana Sepsis
Pengukuran Kadar Laktat
Peningkatan kadar laktat dapat menunjukkan beberapa kondisi di antaranya hipoksia
jaringan, peningkatan glikolisis aerobik yang disebabkan peningkatan stimulasi beta adrenergik
atau pada beberapa kasus lain. Peningkatan kadar laktat >2mmol/L harus diukur pada kondisi 2-4
jam awal dan dilakukan tindakan resusitasi segera. 6
Kultur Darah
Pengambilan kultur darah dilakukan segera, hal tersebut berguna untuk meningkatkan
optimalisasi pemberian antibiotik dan identifikasi patogen. Kultur darah sebaiknya dalam 2
preparat terutama untuk kuman aerobik dan anaerobik. Pengujian kultur juga dapat
menyingkirkan penyebab sepsis, apabila infeksi patogen tidak ditemukan maka pemberian
antibiotik dapat dihentikan.6
Antibiotik Spektrum Luas
Pemberian antibiotik spektrum luas sangat direkomendasikan pada manajemen awal.
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan bakteri empirik yang ditemukan. 6
Cairan Intravena
Pemberian cairan merupakan terapi awal resusitasi pasien sepsis, atau sepsis dengan
hipotensi dan peningkatan serum laktat. Cairan resusitasi adalah 30 ml/kgBB cairan kristaloid;
tidak ada perbedaan manfaat antara koloid dan kristaloid. 6
Kesimpulan
Daftar Pustaka
1. Fatoni AZ, Rakhmatullah R. Acute respiratory distress syndrome (ARDS) pada pneumonia
covid-19. Journal of Anaesthesia and Pain. 2021: 2(1); 11-24.
2. Gleadle J. Pengambilan anamnesis. Dalam: At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik.
Jakarta: Penerbit Erlangga. 2007. H.1-17.
3. Kaynar AM, Michael R P. Respiratory failure. Medscape. 2020: 2(1): 1-7.
4. Kyriacos, U. Jelsma, J. Jordan, S. (2011). Monitoring Vital Signs Using Early Warning
Scoring Systems: A Review of The Literature. Journal of Nursing Management 19, 311-330.
5. Royal College of Physicians. (2017). National Early Warning Score (NEWS) 2: Standardising
the assessment of acute-illness severity in the NHS. London: RCP
6. Millizia A. Penatalaksanaan sepsis. Jurnal Kedoktern Nanggore Medika. 2019
September;2(3):28-37.
7. Phuong V, Kharasch VS. Respiratory Failure. Pediatr Rev. 2014: 35; 476–86
8. Bakhtiar A, Maranatha RA. Acute respiratory syndrome. Jurnal Respirasi. 2018: 4(2); 51-60.
9. Sukinem N, Skep G. Interpretasi Analisa Gas Darah. Ministry Of Health Department Kariadi
Hospital Of Semarang Central Jawa, Indonesia: 2013.
10. Nemaa PK. Respiratory failure. Indian Journal of Anaesthesia, 47(5): 360-6. 2003.
11. Avva U, Lata JM, Kiel J. Airway Management. Jacksonville: University of Florida College of
Medicine; 2021
12. Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesi dan Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN). Penanganan
Pasien Kritis Covid-19. Makassar, April 2020. 38-64.