Pendahuluan
Pendahuluan
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan permasalahan kesehatan global
berdasarkan dari tingginya angka prevalensi, biaya perawatan kesehatan yang mahal, dan
angka kematiannya yang cukup tinggi.1 Sebuah penelitian di Ingggris melaporkan nilai
FEV1 yang rendah pada 10% pria dan 11% wanita berumur 16-65 tahun. Sama halnya
dengan penelitian di Manchester menemukan obstruksi aliran udara pernafasan yang
ireversibel pada 11% dewasa berumur > 45 tahun, di Amerika dilaporkan angka obstruksi
saluran pernafasan dengan FEV1< 80% nilai prediksi sebesar 6.8%, dengan 1.5%
diantaranya dengan FEV1 < 50% nilai prediksi dan 0.5% memiliki obstruksi yang lebih
berat (FEV1 < 35%nilai prediksi).1,2
Dari studi meta analisis terakhir dan survey epidemiologis diberbagai negara secara luas
yang mencangkup seluruh dunia dan menggunakan definisi spirometrik yang sudah baku,
menegaskan bahwa angka prevalensi PPOK masih sangat rendah dari perkiraan.2
Prognosis secara signifikan akan lebih buruk pada kasus yang disertai kegagalan respirasi
baik sesaat maupun kronis yang terjadi pada eksaserbasi akut . Angka survival khususnya
akan menurun ketika tanpa mendapatkan bantuan ventilator.3 Pasien seperti ini sepatutnya
mendapatkan perhatian khusus bukan hanya karena buruknya hasil akhir dan angka
2
survival namun juga dalam hal pilihan terapi. Pilihan ini dapat memperpanjang hidup dan
meningkatkan kemampuan kapasitas, gejala, dan kualitas hidup yag terkait dengan
kesehatan.
Gagal nafas adalah kejadian yang penting dan umum terjadi, yang sering dihubungkan
dengan eksaserbasi PPOK yang berat. Gagal nafas masih merupakan komplikasi penting
dari penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dan perawatan dengan rawat inap berkaitan
dengan eksaserbasi akut yang terjadi menjadi penanda prognostik yang buruk. Namun
demikian, kondisi komorbid lainnya, khususnya penyakit kardiovaskuler, menjadi
prediktor kematian yang kuat. Ketidak seimbangan antara ventilasi dan perfusi yang
signifikan dengan peningkatan relatif dari ruang rugi mencetuskan hiperkapnia dan
meningkatkan derajat asidosis Gagal nafas akut yang berkaitan dengan PPOK masih
merupakan kondisi medis yang emergensi yang dapat dikelola dengan efektif. Perhatian
lebih harus terfokus pada pencegahan keadaan tersebut dan mengidentifikasi faktor-faktor
yang dapat menyebabkan kekambuhan PPOK.4
Pemahaman fisiologis dasar gagal nafas pada PPOK sangatlah dibutuhkan dalam usaha
penanganan PPOK baik yang stabil maupun yang mengalami eksaserbasi akut, sehingga
mampu menurunkan angka kematian selama perawatan. Untuk itulah tinjauan
kepustakaan ini dibuat untuk dapat memberikan ulasan singkat dan jelas tentang gaal
nafas pada PPOK sehingga penangananan terhadap PPOK menjadi lebih baik.
Skenario Kasus
Pasien laki laki usia 70 tahun datang ke IGD dengan sesak nafas dan penurunan
kesadaran. Dari alloanamnesis didapatkan pasien mempunyai kebiasaan merokok satu
bungkus per hari selama kurang lebih dua puluh tahun.
Anamnesis
Anamnesis merupakan suatu sesi yang penting dalam kita mengetahui apa yang
sedang dirasakan oleh pasien, kita harus menanyakan dengan terperinci dari keluhan
terkait. Adapun anamnesis yang terkait dengan skenario adalah sebagai berikut:2
1. Identitas pasien, kita bisa menanyakan dari nama, alamat, tempat tanggal lahir yang
berhubungan dengan identitasnya bisa secara auto maupun alloanamnesis kalau
pasien tak mampu memberikan jawaban. Sesuai dengan skenario didapatkan seorang
3
Pemeriksaan Fisik
1. Kesadaran dan Keadaan umum. Dalam memeriksakan tingkat kesadaran kita bisa
menggunakan Glasgow Coma Scale, scale ini juga berfungsi untuk kita memonitor
dari perkembangan si pasien itu.3
Table 1. Glasgow Coma Scale (GCS)
4
Pada keadaan umum kita bisa melihat pasien ini dari tingkat kesakitannya nampak
sakit ringan, sedang atau berat. Penderita umumnya sangat gelisah dan sesak. Kesadaran
bervariasi dari sedikit berubah sampai koma.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium3,4,5
1. Analisis gas darah
Gejala klinis gagal napas sangat bervariasi dan tidak spesifik. Jika gejala
klinis gagal napas sudah terjadi maka analisis gas darah harus dilakukan untuk
memastikan diagnosis, membedakan gagal napas akut atau kronik. Hal ini penting
untuk menilai berat-ringannya gagal napas dan mempermudahkan pemberian
terapi. Analisa gas darah dilakukan untuk patokan terapi oksigen dan penilaian
obyektif dari berat-ringan gagal nafas. Indikator klinis yang paling sensitif untuk
peningkatan kesulitan respirasi ialah peningkatan laju pernafasan. Sedangkan
kapasitas vital paru baik digunakan menilai gangguan respirasi akibat
neuromuskular, misalnya pada sindroma Guillain-Barre, dimana kapasitas vital
berkurang sejalan dengan peningkatan kelemahan. Interpretasi hasil analisis gas
6
3. Capnography
Alat yang dapat digunakan untuk menganalisa konsentrasi kadar karbon
dioksida darah secara kontinu. Penggunaannya antara lain untuk konfirmasi
intubasi trakeal, mendeteksi malfungsi aparatus serta gangguan fungsi paru.
4. Pemeriksaan apus darah untuk mendeteksi anemia yang menunjukkan terjadinya
hipoksia jaringan. Adanya polisitemia menunjukkan gagal napas kronik.
5. Pemeriksaan kimia untuk menilai fungsi hati dan ginjal, karena hasil
pemeriksaan yang abnormal dapat menjadi petunjuk sebab-sebab terjadinya
gagal napas. Abnormalitas elektrolit seperti kalium, magnesium dan fosfat dapat
memperberat gejala gagal napas.
6. Pemeriksaan kadar kreatinin serum daan troponin I dapat membedakan infark
miokard dengan gagal napas, Kadar kreatinin serum yang meningkat dengan
kadar troponin I yang normal menunjukkan terjadinya miositis yang dapat
menyebabkan gagal napas.
7. Pada pasien dengan gagal napas hiperkapni kronik, kadar TSH serum perlu
diperiksa untuk membedakan dengan hipotiroid, yang dapat menyebabkan gagal
napas reversibel.
7
Working Diagnosis
Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan
8
oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida (PaCO2) dan pH yang
adekuat disebabkan oleh masalah ventilasi difusi atau perfusi.
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru-
paru tidak dapat memelihara laju komsumsi oksigen dan pembentukan karbon dioksida
dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg
(Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg
(hiperkapnia).
KLASIFIKASI.6
1. Klasifikasi gagal napas berdasarkan hasil analisa gas darah :
a. Gagal napas hiperkapneu
Hasil analisa gas darah pada gagal napas hiperkapneu menunjukkkan kadar
PCO2 arteri (PaCO2) yang tinggi, yaitu PaCO2>50mmHg. Hal ini
disebabkan karena kadar CO2 meningkat dalam ruang alveolus, O2 yang
tersisih di alveolar dan PaO2 arterial menurun. Oleh karena itu biasanya
diperoleh hiperkapneu dan hipoksemia secara bersama-sama, kecuali udara
inspirasi diberi tambahan oksigen. Sedangkan nilai pH tergantung pada
level dari bikarbonat dan juga lamanya kondisi hiperkapneu.
b. Gagal napas hipoksemia
Pada gagal napas hipoksemia, nilai PO2 arterial yang rendah tetapi nilai
PaCO2 normal atau rendah. Kadar PaCO2 tersebut yang membedakannya
dengan gagal napas hiperkapneu, yang masalah utamanya pada
hipoventilasi alveolar. Gagal napas hipoksemia lebih sering dijumpai
daripada gagal napas hiperkapneu.
2. Klasifikasi gagal napas berdasarkan lama terjadinya :
a. Gagal napas akut
Gagal napas akut terjadi dalam hitungan menit hingga jam, yang ditandai
dengan perubahan hasil analisa gas darah yang mengancam jiwa. Terjadi
peningkatan kadar PaCO2. Gagal napas akut timbul pada pasien yang keadaan
parunya normal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit
timbul.
9
Etiologi
Penyebab gagal napas biasanya tidak berdiri sendiri melainkan merupakan kombinasi
10
Gejala Klinis
1. Tanda
a. Gagal nafas total
11
PATOFISIOLOGI .7
Gagal nafas dapat disebabkan oleh kelainan intrapulmoner maupun
ekstrapulmoner. Kelainan intrapulmoner meliputi kelainan pada saluran nafas bawah,
sirkulasi pulmoner, jaringan interstitial dan daerah kapiler alveolar. Sedangkan
ekstrapulmoner berupa kelainan pada pusat nafas, neuromuskular, pleura maupun saluran
nafas atas.
Pemahaman mengenai patofisiologi gagal nafas merupakan hal yang sangat penting
di dalam hal penatalaksanaannya nanti. Secara umum terdapat 4 dasar mekanisme
gangguan pertukaran gas pada sistem respirasi, yaitu:
1. Hipoventilasi
2. Right to left shunting of blood
3. Gangguan difusi
4. Ventilation/perfusion mismatch, V/Q mismatch
12
Penderita dengan gagal nafas tipe hipoksik dapat dibagi ke dalam: gangguan
pulmoner non spesifik akut (ARDS), penyakit paru spesifik akut, dan penyakit paru
progresif kronik.
1. Gangguan pulmoner non spesifik akut
Kelainan ini sering disebut ARDS (acute respiratory distress syndrome). Beberapa
nama lain yang dipergunakan yaitu shock lung, wet lung, white lung syndrome.
ARDS dapat terjadi pada penderita dengan penyakit paru atau paru yang normal.
Paling sering terjadi mengikuti pneumonia, trauma, aspirasi cairan lambung,
overload cairan, syok, pintasan kardiopulmoner, overdosis narkotik, inhalasi asap
beracun atau kelebihan oksigen.
Berbagai penyebab dari ARDS :
a. syok karena berbagai sebab
b. infeksi: sepsis gram negative, pneumonia viral, pneumonia bacterial.
c. trauma : emboli lemak, cedera kepala, kontusio paru.
d. aspirasi cairan : cairan lambung, tenggelam, cairan hidrokarbon
e. overdosis obat : heroin, metadon, propoxyphene, barbiturat.
f. inhalasi toksin, oksigen dengan konsentrasi, asap, bahan kimia korosif (NO2,
Cl2, NH3, Fosgen)
g. kelainan hematologik : koagulasi intravaskuler, transfusi masif, post
cardiopulmonary by pass
h. gangguan metabolik : pankreatitis, uremia
i. peningkatan intrakranial, eklampsia
14
Letak kelainan pada sindrom ini adalah pada membran alveolar kapiler, kerusakan
pada membran alveolar kapiler, kerusakan pada membran ini akan mengakibatkan
terjadinya gangguan pengambilan oksigen dengan akibatnya terjadinya hipoksemia.
Kelainan terutama berupa peningkatan permeabilitas membran tersebut sehingga terjadi
kebocoran cairan yang mula-mula mengisi jaringan interstitial antara endotelium kapiler
dan epithelium alveolar, kemudian proses berlanjut dengan pengisian cairan di ruang
alveoli.
Patofisiologi ARDS dapat dibagi menjadi 4 tahapan, yaitu: 1) pada tahap ini mulai
terjadi kerusakan membran alveolar kapiler yang menimbulkan kebocoran cairan di
jaringan interstitial, 2) karena kebocoran cairan berlanjut, paru menjadi lebih kaku dan
compliance (kelenturan) paru menurun, penurunan ini akan mengakibatkan terjadi
penurunan ventilasi dan perbandingan ventilasi-perfusi menurun sehingga terjadilah
hipoksemia arterial, 3) akhirnya masuk dan mengisi ruang alveoli, ventilasi sama sekali
tidak terjadi, perbandingan ventilasi-perfusi menjadi nol, maka terjadilah shunt atau
pintasan, lebih banyak ruang alveoli yang terisi, lebih berat pintasan intrapulmoner yang
terjadi, dan tekanan oksigen arterial menjadi semakin menurun, 4) terjadi penutupan
ruang jalan napas terminalis dengan akibat terjadi atelektasis, penurunan volume paru dan
akan memperberat penurunan tekanan oksigen arterial. Tekanan CO2 arterial tetap rendah
disebabkan karena terjadi kompensasi berupa takipnea.
2. Penyakit paru spesifik akut
Termasuk dalam penyakit ini adalah pneumonia, edema paru dan atelektasis.
Gangguan fisiologis utama pada penyakit ini adalah pengisian alveoli (alveolar filling)
dengan akibat perbadingan V/Q menjadi nol. Pada pneumonia alveoli terisi material
peradangan, sedangkan pada edema terisi cairan transudat, dan pada kasus atelektasis
tidak terjadinya ventilasi di unit respirasi distal karena terjadinya kolaps jalan nafas.
3. Penyakit paru progresif kronik
Kelainan yang termasuk dalam kategori ini adalah fibrosis interstitial dan karsinoma
limfangitik. Keduanya jarang didapatkan pada anak-anak.
Gagal nafas tipe II adalah kegagalan tubuh untuk mengeluarkan CO2, pada
umumnya disebabkan oleh kegagalan ventilasi yang ditandai dengan retensi CO 2
(peningkatan PaCO2 atau hiperkapnea) disertai dengan penurunan pH yang abnormal dan
penurunan PaO2 atau hipoksemia.
Kegagalan ventilasi biasanya disebabkan oleh hipoventilasi karena kelainan
ekstrapulmoner. Hiperkapnik yang terjadi karena kelainan extrapulmoner dapat
disebabkan karena 1) penekanan dorongan pernapasan sentral atau 2) gangguan pada
respon ventilasi.
Penyakit-penyakit atau kedaan penyebab kegagalan ventilasi :
Ekstrapulmoner
overdosis sedatif atau opiat Paralisis diafragma
stroke serebrovaskular Distrofi muskuler
koma Gangguan keseimbangan elektrolit (K,Ca,Mg,PO4)
Pulmoner
asma bronkial
PPOK
fibrosis kistik
penyakit paru interstitisl
atelektasis
16
konsolidasi
fibrosis
edema paru
Penanganan.8
1) Penatalaksanaan dan Pengobatan Spesifik:
Pengobatan spesifik ditujukan pada etiologinya, sehingga untuk masing-masing
keadaan berbeda-beda. Pada kasus-kasus emergency dan akut pengobatan spesifik
dilakukan di tempat kejadian atau di unit gawat darurat. Kasus-kasus kronik, biasa nya
kasus-kasus acute on chronic yang berkembang menjadi gagal nafas akut. Penyebab
terbanyak dari gagal nafas akut pada kasus-kasus yang kronik adalah pada eksaserbasi
akut dan Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM atau COPD).
Penanggulangannya antara lain:
1. Terapi oksigen: Diperlukan apabila PaO2 kurang dari 45 mmHg atau saturasinya
kurang dari 75%. Pemberian O2 harus diusahakan jangan menyebabkan
peningkatan PaCO2. Tujuan ini dapat dicapai dengan menggunakan venturi type
mask sehingga kadar oksigen yang diberikan dapat lebih akurat. Pemberian O2
tidak boleh terlalu tinggi dan harus secara kontinu karena pemberian intermiten
akan membahayakan.
2. Antibiotik. Kuman penyebab infeksi terbanyak pada kasus ini adalah
Haemophilus influensa.
3. Bronkhodilator. Walaupun beberapa bronchioli mengalami kerusakan yang
ireversibel tetapi bronkhodilatasi di tempat yang masih reversi- bel akan sangat
membantu. Biasanya diberikan aminophyllin.
4. Pemberian steroid dapat dipertimbangkan walaupun beberapa ahli masih
meragukan efektivitasnya.
5. Bantuan nafas/ventilasi biasanya diberikan untuk mencegah CO2narkosis,
pemberian terapi O2 yang tidak dibatasi, dan bila cara-cara konservatif tidak
berhasil.
Harus dilakukan segera untuk mengatasi gejala-gejala yang timbul pada kasus gawat
paru untuk mencegah gagal nafas akut. Sedangkan pada kasus gagal nafas akut sebaiknya
berikan terapi untuk mencegah agar pasien tidak jatuh ke dalam keadaan yang lebih
buruk, sambil menunggu pengobatan spesifik sesuai dengan etiologi penyakitnya.
Pengobatan non spesifik meliputi:
– Mengatasi hipoksemia : terapi oksigen
– Mengatasi hiperkarbia : terapi ventilasi
a) Terapi Oksigen
Pada keadaan PaO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan
PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal nafas dan penyakit kronik yang
menjadi akut kembali (dimana pasien sudah terbiasa dengan keadaan hiperkarbia
sehingga pusat pernafasan tidak terangsang lagi oleh hypercarbic drive melainkan
terhadap hypoxemic drive), maka kenaikan PaO2 yang terlalu cepat dapat menyebabkan
apnoe. Terapi yang terbaik adalah dengan meningkatkan konsentrasi fraksi inspirasi
oksigen (FiO2 dan menurunkan kebutuhan O2 dengan bantuan ventilasi. Apabila
penderita akan dibiarkan bernafas spontan, O2 diberikan melalui nasal catheter.
Hubungan antara besarnya aliran udara dengan konsentrasi O2 inspirasi (tabel):
02 (l/mt) Konsentrasi O2 = (%)
Kateter nasal 2-6 30 - 50
Sungkup muka 4 - 12 35 - 65
Sungkup muka tipe vent in 4-8 24, 28, 35, 40
Ventilator Bervariasi Sesuai
Inkubator 3-8 30 - 40
aritmi jantung dan sebagainya. Penurunan PaCO2 harus bertahap tidak lebih dari 4
mmHg/jam. Upaya untuk memperbaiki ventilasi antara lain:
1. Membebaskan jalan nafas
Obstruksi jalan nafas bagian atas karena lidah yang jatuh dapat diatasi dengan
hiperekstensi kepala, apabila belum meno- long lakukan triple airway
manuevre. Apabila terjadi obstruksi karena benda asing atau edema laning
lakukan cricothyrotomy atau tracheostomy. Mungkin juga diperlukan
pemasangan pipa endotrakheal.
2. Ventilasi bantu
Pada keadaan darurat bantuan nafas dapat dilakukan secara mulut ke mulut atau
mulut ke hidung. Apabila sarana tersedia dapat dilakukan dengan menggunakan
ambubag atau dengan alat IPPB, yang memberikan ventilasi berdasarkan
tekanan negatif yang ditimbulkan waktu pasien inspirasi (pada keadaan ini
pasien masih sadar dan bernafas spontan).
3. Ventilasi kendali
Pasien harus dipasangi pipa endotrakheal yang dihubungkan dengan ventilator.
Ventilasi pasien sepenuhnya dikendalikan oleh ventilator. Bantuan ventilasi
diperlukan biasanya berdasarkan kriteria:
– Rasio PaO2/FiO2 < 200 (kadar FiO2 40% tetapi PaO2 80 mmHg)
– Penurunan compliance paru sampai 50%
– Frekuensi respirasi > 30-40 kali/menit
– Volume ventilasi semenit pada keadaan istirahat 10 ltr/ menit.
Terapi mula-mula adalah intubasi,berikan O2 dengan kadar 60%. Trakeostomi
dilakukan untuk mengganti pipa endotrakheal, bila penderita perlu diventilasi lebih dari
34 minggu. Monitoring yang perlu di1akukan. Pemeriksaan analisis gas darah setiap 15
menit pada saat baru masuk ventilator sampai kembali ke nilai normal, setelah itu
pemeriksaan analisis gas darah dilakukan setiap 6 jam.
19
seperti halnya teknik ventilasi invasif. NPPV telah digunakan secara meningkat untuk
eksaserbasi PPOK dan mungkin diindikasikan pada pasien eksaserbasi PPOK. NPPV
berhubungan dengan menurunnya angka kematian, angka intubasi yang rendah, lama
rawat yang lebih pendek, dan perbaikan pH, pCO, dan laju respirasi.
Ventilasi Invasif
Ventilasi mekanik invasif mengacu pada proses penghantaran bantuan ventilasi
sebagian maupun penuh melalui pipa endotrakeal atau pipa trakeostomi. Ventilasi
memiliki dua sasaran terapi, yaitu memperbaiki pertukaran gas dan menurunkan usaha
pernafasan. Aplikasi tekanan positif pada sistem pernafasan dapat memperbaiki
kesesuaian ventilasi - perpusi dan menurunkan intrapulmonary shunting, yang keduanya
dapat mengobati hipoksia dan mengurangi hiperkapnia. Intubasi harus dipertimbangkan
pada pasien yang mengalami : kegagalan dengan NPPV ( perburukan nilai gas darah
arteri dan atau pH dalam 1-2 jam, rendahnya perbaikan gas darah arteri dan atau pH
setelah 4 jam), asidosis berat (pH< 7.25) dan hiperkapnia (PaCO2 > 8 kPa atau > 60
mmHg), hipiksemia yang mengancam nyawa ( tekanan oksigen arteri / fraksi oksigen
inspirasi < 26.6 kPa atau < 200 mmHg), takipneau ( pernafasan > 35 x/menit), dengan
hemodinamik yang tidak stabil, mengalami henti kardiopulmoner, atau bukan sebagai
kandidat NPPV. Pada sebuah studi retrospektif , 54% dari 138 pasien dengan gagal nafas
hiperkapnik membutuhkan intubasi, dengan rata-rata dalam 8 jam setelah timbulnya
gejala.
maka dapat timbul hipertensi pulmoner, hal ini akan lebih memperberat keadaan
hipoksemi. Adanya penyakit ginjal dan infeksi paru akan memperburuk prognosis.
Terkadang transplantasi paru diperlukan.
Kesimpulan
Gagal napas merupakan ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mempertahankan
suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan
kebutuhan normal. Gagal napas diklasifikasikan menjadi gagal napas hipoksemia, dan
gagal napas hiperkapnia. Gagal napas hipoksemia ditandai dengan PaO 2 < 60 mmHg
dengan PaCO2 normal atau rendah. Gagal napas hiperkapnia, ditandai dengan PaCO 2 > 45
mmHg. Penyebab gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan
neuromuscular, dinding thoraks dan diafragma, paru, serta sistem kardiovaskuler.
Penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut yang utama adalah membuat oksigenasi
arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying
disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut.
Daftar Pustaka
1. Halbert RJ, Natoli JL, Gano A, et al. Global burden of COPD: systematic review
and meta-analysis .Eur Respir J,2006, 28:523–32.
2. Buist AS, McBurnie MA, Vollmer WM, et al.. International variation in the
prevalence of COPD (the BOLD Study): a population-based prevalence study.
Lancet, 2007.370:741–50.
3. Ai-Ping C, Lee KH, Lim TK,. In-hospital and 5-year mortality of patients treated
in the ICU for acute exacerbation of COPD: a retrospective study. Chest, 2005.
128:518–24.
4. Seemungal T, Harper-Owen R, Bhowmik A, et al. Respiratory viruses, symptoms,
and inflammatory markers in acute exacerbations and stable chronic obstructive
pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 2001; 164: 1618–1623.
5. Kaynar, Ata Murat; Sharma, Sat. (2010). Respiratory Failure. Diakses pada
tanggal 18 November 2017 dari http://emedicine.medscape.com/article/167981-
overview
22