Anda di halaman 1dari 22

1

Kegawatdaruratan Gagal Nafas Akut dan Asidosis


Respiratorik
B4
Gerrit Yefta Fanuel (102013447)
Un Gerry Namyu (102014032)
I Gede Agung Ramadana (102011364)
Dian Priscilla rantetoding (102014192)
Vina Cyrilla (102014214)
Shella Gustiawati Hidayat (102013430)
Harisma Minarti Maakh (102014021)
Ester Marcelia Anastasia Purba (102013236)
Kressa Stiffensi Sarapang (102017248)
Lisa Kristiana (102014014)
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara-Jakarta Barat-Indonesia

Pendahuluan
Pendahuluan
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan permasalahan kesehatan global
berdasarkan dari tingginya angka prevalensi, biaya perawatan kesehatan yang mahal, dan
angka kematiannya yang cukup tinggi.1 Sebuah penelitian di Ingggris melaporkan nilai
FEV1 yang rendah pada 10% pria dan 11% wanita berumur 16-65 tahun. Sama halnya
dengan penelitian di Manchester menemukan obstruksi aliran udara pernafasan yang
ireversibel pada 11% dewasa berumur > 45 tahun, di Amerika dilaporkan angka obstruksi
saluran pernafasan dengan FEV1< 80% nilai prediksi sebesar 6.8%, dengan 1.5%
diantaranya dengan FEV1 < 50% nilai prediksi dan 0.5% memiliki obstruksi yang lebih
berat (FEV1 < 35%nilai prediksi).1,2
Dari studi meta analisis terakhir dan survey epidemiologis diberbagai negara secara luas
yang mencangkup seluruh dunia dan menggunakan definisi spirometrik yang sudah baku,
menegaskan bahwa angka prevalensi PPOK masih sangat rendah dari perkiraan.2
Prognosis secara signifikan akan lebih buruk pada kasus yang disertai kegagalan respirasi
baik sesaat maupun kronis yang terjadi pada eksaserbasi akut . Angka survival khususnya
akan menurun ketika tanpa mendapatkan bantuan ventilator.3 Pasien seperti ini sepatutnya
mendapatkan perhatian khusus bukan hanya karena buruknya hasil akhir dan angka
2

survival namun juga dalam hal pilihan terapi. Pilihan ini dapat memperpanjang hidup dan
meningkatkan kemampuan kapasitas, gejala, dan kualitas hidup yag terkait dengan
kesehatan.
Gagal nafas adalah kejadian yang penting dan umum terjadi, yang sering dihubungkan
dengan eksaserbasi PPOK yang berat. Gagal nafas masih merupakan komplikasi penting
dari penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dan perawatan dengan rawat inap berkaitan
dengan eksaserbasi akut yang terjadi menjadi penanda prognostik yang buruk. Namun
demikian, kondisi komorbid lainnya, khususnya penyakit kardiovaskuler, menjadi
prediktor kematian yang kuat. Ketidak seimbangan antara ventilasi dan perfusi yang
signifikan dengan peningkatan relatif dari ruang rugi mencetuskan hiperkapnia dan
meningkatkan derajat asidosis Gagal nafas akut yang berkaitan dengan PPOK masih
merupakan kondisi medis yang emergensi yang dapat dikelola dengan efektif. Perhatian
lebih harus terfokus pada pencegahan keadaan tersebut dan mengidentifikasi faktor-faktor
yang dapat menyebabkan kekambuhan PPOK.4
Pemahaman fisiologis dasar gagal nafas pada PPOK sangatlah dibutuhkan dalam usaha
penanganan PPOK baik yang stabil maupun yang mengalami eksaserbasi akut, sehingga
mampu menurunkan angka kematian selama perawatan. Untuk itulah tinjauan
kepustakaan ini dibuat untuk dapat memberikan ulasan singkat dan jelas tentang gaal
nafas pada PPOK sehingga penangananan terhadap PPOK menjadi lebih baik.

Skenario Kasus
Pasien laki laki usia 70 tahun datang ke IGD dengan sesak nafas dan penurunan
kesadaran. Dari alloanamnesis didapatkan pasien mempunyai kebiasaan merokok satu
bungkus per hari selama kurang lebih dua puluh tahun.
Anamnesis
Anamnesis merupakan suatu sesi yang penting dalam kita mengetahui apa yang
sedang dirasakan oleh pasien, kita harus menanyakan dengan terperinci dari keluhan
terkait. Adapun anamnesis yang terkait dengan skenario adalah sebagai berikut:2
1. Identitas pasien, kita bisa menanyakan dari nama, alamat, tempat tanggal lahir yang
berhubungan dengan identitasnya bisa secara auto maupun alloanamnesis kalau
pasien tak mampu memberikan jawaban. Sesuai dengan skenario didapatkan seorang
3

laki-laki berusia 70 tahun.


2. Keluhan utama, kita bisa langsung menanyakan apa yang dikeluhkan? Didapatkan
pasien mengalami sesak nafas dan penurunan kesadaran.
3. Riwayat penyakit sekarang, dari keluhan utama ini kita akan lebih memperinci apa
penyebab dari keluhan yang terkait seperti, sejak kapan sesak nafas? Sudah berapa
lama? Bagaimana keadaan pasien sebelum maupun sesudah keluhan ini? Karena hal
apa keluhan ini? Apakah sebelumnya sudah ada penanganan dari sesak nafasnya? Apa
ada keluhan lain selain sesak nafas ini?
4. Riwayat penyakit dahulu, kita tanyakan penyakit dahulu yang mungkin berkaitan
dengan sistem pernafasannya. Apa ada riwayat memiliki gangguan pernafasan?
Asthma? Alergi terhadap sesuatu?
5. Riwayat keluarga, disini riwayat keluarga juga sangat penting karena ditakutkan
penyakit keturunan. Di keluarga adakah yang memiliki riwayat gangguan pernafasan?
6. Riwayat sosial, tanyakan apakah pasien ada riwayat merokok, bagaimana suasana di
lingkungan rumah apakah rumahnya berdempetan? Padat penduduk? Dekat dengan
pabrik yang menghasilkan polusi asap, jalan raya? Kebersian rumah dari debu atau
kotoran? Hygiene perorangan? Didapatkan pasien merupakan perokok aktif sudah 20
tahun.

Pemeriksaan Fisik
1. Kesadaran dan Keadaan umum. Dalam memeriksakan tingkat kesadaran kita bisa
menggunakan Glasgow Coma Scale, scale ini juga berfungsi untuk kita memonitor
dari perkembangan si pasien itu.3
Table 1. Glasgow Coma Scale (GCS)
4

Pada keadaan umum kita bisa melihat pasien ini dari tingkat kesakitannya nampak
sakit ringan, sedang atau berat. Penderita umumnya sangat gelisah dan sesak. Kesadaran
bervariasi dari sedikit berubah sampai koma.

2. Tanda-tanda vital. Pemeriksaan ini meliputi penilaian suhu, tekanan darah,


pernafasan dan nadi. Ini dilakukan wajib pada awal pemeriksaan
3. Pemeriksaan head to toe ini hanya yang pentingnya saja, jika keadaan sudah stabil
bisa dilanjutkan dengan periksa yang lebih lengkap.
a. Inspeksi, kita lihat keadaan pasien dari warna kulitnya apakah tampak sianosis
karena sesak nafas? Lihat juga dalam usaha pernafasannya nampak susah atau
biasa? Bagaimana pola pernafasannya? Jangan lupa juga kita melihat keadaan
menyeluruh dari pasien takut ada gangguan yang lain. Pada tipe hiperkapnik,
penderita mengalami sakit kepala, kebingungan, mengantuk, tertidur sampai
koma. Kadang-kadang didapatkan gangguan penglihatan terutama pada asidosis
berat, juga dapat terjadi tremor. Pada tipe hipoksik tampak sianosis dibibir dan
jari-jari. Pada sistem pernafasan, biasanya didapatkan frekuensi nafas menurun,
normal atau meningkat. Pernafasan mungkin sukar atau tenang sehingga pola
pernafasan perlu diamati dengan baik, misalnya nafas cepat dan dangkal
5

menandakan depresi pernafasan. Takipnea menunjukan adanya hipokalsemia.


b. Palpasi, kita meraba pada bagian toraksnya simetris atau tidak, dan dalam
melakukan pernafasan apakah mengalami retraksi atau tidak. Fremitus suara juga
dicek ini tergolong pemeriksaan yang cukup mudah, dimana fremitus akan
meninggi pada pneumonia dan akan berkurang pada atelektasis, efusi pleura dan
obstruksi jalan nafas.
c. Perkusi, suara perkusi paru normal adalah sonor. Bunyi tidak normal dapat
berupa hipersonor atau timpani karena ada masa udara di pleura, pekak/redup
karena konsolidasi paru.
d. Auskultasi, untuk menilai suara nafas dasar dan suara nafas tambahan. Dilakukan
pada seluruh lapang dada dan punggung. Suara nafas normal adalah vesicular dan
pada asma terjadi nafas vesicular dengan ekspirasi memanjang. Pada thoraks
ditemukan gejala-gejala adanya mumur, irama gallop, disertai dengan ronki
menunjukkan adanya gagal jantung. Bising mengi yang keras menunjukkan
adanya asma berat, ronki basah disertai dengan demam ditemukan pada kasus
infeksi pulmoner.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium3,4,5
1. Analisis gas darah
Gejala klinis gagal napas sangat bervariasi dan tidak spesifik. Jika gejala
klinis gagal napas sudah terjadi maka analisis gas darah harus dilakukan untuk
memastikan diagnosis, membedakan gagal napas akut atau kronik. Hal ini penting
untuk menilai berat-ringannya gagal napas dan mempermudahkan pemberian
terapi. Analisa gas darah dilakukan untuk patokan terapi oksigen dan penilaian
obyektif dari berat-ringan gagal nafas. Indikator klinis yang paling sensitif untuk
peningkatan kesulitan respirasi ialah peningkatan laju pernafasan. Sedangkan
kapasitas vital paru baik digunakan menilai gangguan respirasi akibat
neuromuskular, misalnya pada sindroma Guillain-Barre, dimana kapasitas vital
berkurang sejalan dengan peningkatan kelemahan. Interpretasi hasil analisis gas
6

darah meliputi 2 bagian, yaitu gangguan keseimbangan asam-basa dan perubahan


oksigenasi jaringan.
2. Pulse oximetry
Alat ini mengukur perubahan cahaya yang ditransmisikan melalui aliran
darah arteri yang berdenyut. Informasi yang didapatkan berupa saturasi oksigen
yang kontinyu dan non-invasif yang dapat diletakkan baik di lobus bawah telinga
atau jari tangan maupun kaki. Hasil pada keadaan perfusi perifer yang kecil, tidak
akurat. Hubungan antara saturasi oksigen dan tekanan oksigen dapat dilihat pada
kurva disosiasi oksihemoglobin. Nilai kritisnya adalah 90%, dibawah level itu
maka penurunan tekanan oksigen akan lebih menurunkan saturasi oksigen.

3. Capnography
Alat yang dapat digunakan untuk menganalisa konsentrasi kadar karbon
dioksida darah secara kontinu. Penggunaannya antara lain untuk konfirmasi
intubasi trakeal, mendeteksi malfungsi aparatus serta gangguan fungsi paru.
4. Pemeriksaan apus darah untuk mendeteksi anemia yang menunjukkan terjadinya
hipoksia jaringan. Adanya polisitemia menunjukkan gagal napas kronik.
5. Pemeriksaan kimia untuk menilai fungsi hati dan ginjal, karena hasil
pemeriksaan yang abnormal dapat menjadi petunjuk sebab-sebab terjadinya
gagal napas. Abnormalitas elektrolit seperti kalium, magnesium dan fosfat dapat
memperberat gejala gagal napas.
6. Pemeriksaan kadar kreatinin serum daan troponin I dapat membedakan infark
miokard dengan gagal napas, Kadar kreatinin serum yang meningkat dengan
kadar troponin I yang normal menunjukkan terjadinya miositis yang dapat
menyebabkan gagal napas.
7. Pada pasien dengan gagal napas hiperkapni kronik, kadar TSH serum perlu
diperiksa untuk membedakan dengan hipotiroid, yang dapat menyebabkan gagal
napas reversibel.
7

8. Pemeriksaan laboratorium untuk menilai status nutrisi adalah pengukuran kadar


albumin serum, prealbumin, transferin, total iron-binding protein, keseimbangan
nitrogen, indeks kreatinin dan jumlah limfosit total.
Pemeriksaaan Radiologi
 Radiografi dada.
o Penting dilakukan untuk membedakan penyebab terjadinya gagal napas
tetapi kadang sulit untuk membedakan edema pulmoiner kardiogenik dan
nonkardiogenik.
 Ekokardiografi .
o Tidak dilakukan secara rutin pada pasien gagal napas, hanya dilakukan
pada pasien dengan dugaan gagal napas akut karena penyakit jantung.
o Adanya dilatasi ventrikel kiri, pergerakan dinding dada yang abnormal
atau regurgitasi mitral berat menunjukkan edema pulmoner kardiogenik.
o Ukuran jantung yang normal, fungsi sistolik dan diastolic yang normal
pada pasien dengan edema pulmoner menunjukkan sindrom distress
pernapasan akut.
o Ekokardiografi menilai fungsi ventrikel kanan dan tekanan arteri pulmoner
dengan tepat untuk pasien dengan gagal napas hiperkapni kronik.
 Pulmonary Function Tests (PFTs), dilakukan pada gagal napas kronik
o Nilai forced expiratory volume in one second (FEV 1) dan forced vital
capacity (FVC) yang normal menunjukkan adanya gangguan di pusat
kontrol napas.
o Penurunan rasio FEV1 dan FVC menunjukkan obstruksi jalan napas,
penurunan nilai FEV1 dan FVC serta rasio keduanya yang tetap
menunjukkan penyakit paru restriktif.
o Gagal napas karena obstruksi jalan napas tidak terjadi jika nilai FEV1 lebih
dari 1 L dan gagal napas karena penyakit paru restriktif tidak terjadi bila
nilai FVC lebih dari 1 L.

Working Diagnosis
Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan
8

oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida (PaCO2) dan pH yang
adekuat disebabkan oleh masalah ventilasi difusi atau perfusi.
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru-
paru tidak dapat memelihara laju komsumsi oksigen dan pembentukan karbon dioksida
dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg
(Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg
(hiperkapnia).

KLASIFIKASI.6
1. Klasifikasi gagal napas berdasarkan hasil analisa gas darah :
a. Gagal napas hiperkapneu
Hasil analisa gas darah pada gagal napas hiperkapneu menunjukkkan kadar
PCO2 arteri (PaCO2) yang tinggi, yaitu PaCO2>50mmHg. Hal ini
disebabkan karena kadar CO2 meningkat dalam ruang alveolus, O2 yang
tersisih di alveolar dan PaO2 arterial menurun. Oleh karena itu biasanya
diperoleh hiperkapneu dan hipoksemia secara bersama-sama, kecuali udara
inspirasi diberi tambahan oksigen. Sedangkan nilai pH tergantung pada
level dari bikarbonat dan juga lamanya kondisi hiperkapneu.
b. Gagal napas hipoksemia
Pada gagal napas hipoksemia, nilai PO2 arterial yang rendah tetapi nilai
PaCO2 normal atau rendah. Kadar PaCO2 tersebut yang membedakannya
dengan gagal napas hiperkapneu, yang masalah utamanya pada
hipoventilasi alveolar. Gagal napas hipoksemia lebih sering dijumpai
daripada gagal napas hiperkapneu.
2. Klasifikasi gagal napas berdasarkan lama terjadinya :
a. Gagal napas akut
Gagal napas akut terjadi dalam hitungan menit hingga jam, yang ditandai
dengan perubahan hasil analisa gas darah yang mengancam jiwa. Terjadi
peningkatan kadar PaCO2. Gagal napas akut timbul pada pasien yang keadaan
parunya normal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit
timbul.
9

b. Gagal napas kronik


Gagal napas kronik terjadi dalam beberapa hari. Biasanya terjadi pada
pasien dengan penyakit paru kronik, seperti bronkhitis kronik dan
emfisema. Pasien akan mengalami toleransi terhadap hipoksia dan
hiperkapneu yang memburuk secara bertahap.
3. Klasifikasi gagal napas berdasarkan penyebab organ :
a. Kardiak
Gagal napas dapat terjadi karena penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2
akibat menjauhnya jarak difusi akibat oedema paru. Oedema paru ini terjadi
akibat kegagalan jantung untuk melakukan fungsinya sehingga terjadi
peningkatan perpindahan aliran dari vaskuler ke interstisial dan alveoli
paru. Terdapat beberapa penyakit kardiovaskuler yang mendorong
terjadinya disfungsi miokard dan peningkatan left ventricel end diastolic
volume (LVEDV) dan left ventricel end diastolic pressure (LVEDP) yang
menyebabkan mekanisme backward-forward failure. Penyakit yang
menyebabkan disfungsi miokard :
1) Infark miokard
2) Kardiomiopati
3) Miokarditis
4) Penyakit yang menyebabkan peningkatan LVEDV dan LVEDP :
5) Meningkatkan beban tekanan : aorta stenosis, hipertensi, dan coartasio
aorta
6) Meningkatkan beban volume : mitral insufisiensi, aorta insufisiensi
7) Hambatan pengisian ventrikel : mitral stenosis dan trikuspid insufisiensi.
b. Non cardiac
Terjadi gangguan di bagian saluran pernapasan atas dan bawah maupun di
pusat pernapasan, serta proses difusi. Hal ini dapat disebabkan oleh
obstruksi, emfisema, atelektasis, pneumothorak, dan ARDS

Etiologi
Penyebab gagal napas biasanya tidak berdiri sendiri melainkan merupakan kombinasi
10

dari beberapa keadaan, dimana penyebeb utamanya adalah :


1. Gangguan ventilasi
Gangguan ventilasi disebabkan oleh kelainan intrapulmonal maupun ekstrapulmonal.
Kelainan intrapulmonal meliputi kelainan pada saluran napas bawah, sirkulasi
pulmonal, jaringan, dan daerah kapiler alveolar. Kelainan ekstrapulmonal disebabkan
oleh obstruksi akut maupun obstruksi kronik. Obstruksi akut disebabkan oleh fleksi
leher pada pasien tidak sadar, spasme larink, atau oedema larink, epiglotis akut, dan
tumor pada trakhea. Obstruksi kronik, misalnya pada emfisema, bronkhitis kronik,
asma, COPD, cystic fibrosis, bronkhiektasis terutama yang disertai dengan sepsis.
2. Gangguan neuromuscular
Terjadi pada polio, guillaine bare syndrome, miastenia gravis, cedera spinal, fraktur
servikal, keracunan obat seperti narkotik atau sedatif, dan gangguan metabolik
seperti alkalosis metabolik kronik yang ditandai dengan depresi saraf pernapasan.
3. Gangguan/depresi pusat pernapasan
Terjadi pada penggunaan narkotik atau barbiturat, obat anastesi, trauma, infark otak,
hipoksia berat pada susunan saraf pusat.
4. Gangguan pada sistem saraf perifer, otot respiratori, dan dinding dada
Kelainan ini menyebabkan ketidakmampuan untuk mempertahankan minute volume
(mempengaruhi jumlah karbondioksida), yang sering terjadi pada guillain bare
syndrome, distropi muskular, miastenia gravis, kiposkoliosis, dan obesitas.
5. Gangguan difusi alveoli kapiler
Gangguan difusi alveoli kapiler sering menyebabkan gagal napas hipoksemia, seperti
pada oedema paru (kardiak atau nonkardiak), ARDS, fibrosis paru, emfisema, emboli
lemak, pneumonia, tumor paru, aspirasi, perdarahan masif pulmonal.
6. Gangguan kesetimbangan ventilasi perfusi (V/Q Missmatch)
Peningkatan deadspace, seperti pada tromboemboli, emfisema, dan bronkhiektasis.

Gejala Klinis
1. Tanda
a. Gagal nafas total
11

1) Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat


didengar/dirasakan.
2) Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikuladan sela iga
serta tidak ada pengembangan dada pada inspirasi
3) Adanya kesulitasn inflasi parudalam usaha memberikan ventilasi buatan
b. Gagal nafas parsial
1) Terdengar suara nafas tambahan gurgling, snoring, dan wheezing.
2) Adanya retraksi dada
2. Gejala
a. Hiperkapnia, terjadi penurunan kesadaran (peningkatan PCO2)
b. Hipoksemia, terjadi takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis (PO2
menurun)

PATOFISIOLOGI .7
Gagal nafas dapat disebabkan oleh kelainan intrapulmoner maupun
ekstrapulmoner. Kelainan intrapulmoner meliputi kelainan pada saluran nafas bawah,
sirkulasi pulmoner, jaringan interstitial dan daerah kapiler alveolar. Sedangkan
ekstrapulmoner berupa kelainan pada pusat nafas, neuromuskular, pleura maupun saluran
nafas atas.
Pemahaman mengenai patofisiologi gagal nafas merupakan hal yang sangat penting
di dalam hal penatalaksanaannya nanti. Secara umum terdapat 4 dasar mekanisme
gangguan pertukaran gas pada sistem respirasi, yaitu:
1. Hipoventilasi
2. Right to left shunting of blood
3. Gangguan difusi
4. Ventilation/perfusion mismatch, V/Q mismatch
12

Gambar 1 V/Q normal


Gambar 2 Unit pirau, tidak ada ventilasi tetapi perfusi normal, sehingga
perfusi terbuang sia-sia (V/Q=0)

Dari keempat mekanisme di atas, kelainan extrapulmoner menyebabkan


hipoventilasi sedangkan kelainan intrapulmoner dapat meliputi seluruh mekanisme
tersebut.
Sesuai patofisiologinya gagal nafas dapat dibedakan dalam 2 bentuk yaitu
hipoksemik atau kegagalan oksigenasi dan hiperkapnik atau kegagalan ventilasi.

1. Kegagalan Oksigenasi (Gagal Nafas Tipe I/Hipoksemik)7


Gagal nafas tipe I adalah kegagalan paru untuk mengoksigenasi darah, ditandai
dengan PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau menurun. Gagal nafas tipe I ini terjadi
pada kelainan pulmoner dan tidak disebabkan oleh kelainan ekstrapulmoner. Mekanisme
terjadinya hipoksemia terutama terjadi akibat :
- Gangguan ventilasi/perfusi (V/Q mismatch), terjadi bila darah mengalir ke bagian
paru yang ventilasinya buruk atau rendah. Keadaan ini paling sering. Contohnya
13

adalah posisi (terlentang di tempat tidur), ARDS, atelektasis, pneumonia, emboli


paru, displasia bronkopulmonal.
- Gangguan difusi yang disebabkan oleh penebalan membran alveolar atau
pembentukan cairan interstitial pada sambungan alveolar-kapiler. Contohnya
adalah edema paru, ARDS, pneumonia interstitial.
- Pirau intrapulmonal yang terjadi bila aliran darah melalui area paru-paru yang
tidak pernah mengalami ventilasi. Contohnya adalah malvormasi arterio-vena
paru, malvormasi adenomatoid kongenital.

Penderita dengan gagal nafas tipe hipoksik dapat dibagi ke dalam: gangguan
pulmoner non spesifik akut (ARDS), penyakit paru spesifik akut, dan penyakit paru
progresif kronik.
1. Gangguan pulmoner non spesifik akut
Kelainan ini sering disebut ARDS (acute respiratory distress syndrome). Beberapa
nama lain yang dipergunakan yaitu shock lung, wet lung, white lung syndrome.
ARDS dapat terjadi pada penderita dengan penyakit paru atau paru yang normal.
Paling sering terjadi mengikuti pneumonia, trauma, aspirasi cairan lambung,
overload cairan, syok, pintasan kardiopulmoner, overdosis narkotik, inhalasi asap
beracun atau kelebihan oksigen.
Berbagai penyebab dari ARDS :
a. syok karena berbagai sebab
b. infeksi: sepsis gram negative, pneumonia viral, pneumonia bacterial.
c. trauma : emboli lemak, cedera kepala, kontusio paru.
d. aspirasi cairan : cairan lambung, tenggelam, cairan hidrokarbon
e. overdosis obat : heroin, metadon, propoxyphene, barbiturat.
f. inhalasi toksin, oksigen dengan konsentrasi, asap, bahan kimia korosif (NO2,
Cl2, NH3, Fosgen)
g. kelainan hematologik : koagulasi intravaskuler, transfusi masif, post
cardiopulmonary by pass
h. gangguan metabolik : pankreatitis, uremia
i. peningkatan intrakranial, eklampsia
14

Letak kelainan pada sindrom ini adalah pada membran alveolar kapiler, kerusakan
pada membran alveolar kapiler, kerusakan pada membran ini akan mengakibatkan
terjadinya gangguan pengambilan oksigen dengan akibatnya terjadinya hipoksemia.
Kelainan terutama berupa peningkatan permeabilitas membran tersebut sehingga terjadi
kebocoran cairan yang mula-mula mengisi jaringan interstitial antara endotelium kapiler
dan epithelium alveolar, kemudian proses berlanjut dengan pengisian cairan di ruang
alveoli.
Patofisiologi ARDS dapat dibagi menjadi 4 tahapan, yaitu: 1) pada tahap ini mulai
terjadi kerusakan membran alveolar kapiler yang menimbulkan kebocoran cairan di
jaringan interstitial, 2) karena kebocoran cairan berlanjut, paru menjadi lebih kaku dan
compliance (kelenturan) paru menurun, penurunan ini akan mengakibatkan terjadi
penurunan ventilasi dan perbandingan ventilasi-perfusi menurun sehingga terjadilah
hipoksemia arterial, 3) akhirnya masuk dan mengisi ruang alveoli, ventilasi sama sekali
tidak terjadi, perbandingan ventilasi-perfusi menjadi nol, maka terjadilah shunt atau
pintasan, lebih banyak ruang alveoli yang terisi, lebih berat pintasan intrapulmoner yang
terjadi, dan tekanan oksigen arterial menjadi semakin menurun, 4) terjadi penutupan
ruang jalan napas terminalis dengan akibat terjadi atelektasis, penurunan volume paru dan
akan memperberat penurunan tekanan oksigen arterial. Tekanan CO2 arterial tetap rendah
disebabkan karena terjadi kompensasi berupa takipnea.
2. Penyakit paru spesifik akut
Termasuk dalam penyakit ini adalah pneumonia, edema paru dan atelektasis.
Gangguan fisiologis utama pada penyakit ini adalah pengisian alveoli (alveolar filling)
dengan akibat perbadingan V/Q menjadi nol. Pada pneumonia alveoli terisi material
peradangan, sedangkan pada edema terisi cairan transudat, dan pada kasus atelektasis
tidak terjadinya ventilasi di unit respirasi distal karena terjadinya kolaps jalan nafas.
3. Penyakit paru progresif kronik
Kelainan yang termasuk dalam kategori ini adalah fibrosis interstitial dan karsinoma
limfangitik. Keduanya jarang didapatkan pada anak-anak.

2. Kegagalan Ventilasi (Gagal Nafas Tipe II/Hiperkapnik)7


15

Gagal nafas tipe II adalah kegagalan tubuh untuk mengeluarkan CO2, pada
umumnya disebabkan oleh kegagalan ventilasi yang ditandai dengan retensi CO 2
(peningkatan PaCO2 atau hiperkapnea) disertai dengan penurunan pH yang abnormal dan
penurunan PaO2 atau hipoksemia.
Kegagalan ventilasi biasanya disebabkan oleh hipoventilasi karena kelainan
ekstrapulmoner. Hiperkapnik yang terjadi karena kelainan extrapulmoner dapat
disebabkan karena 1) penekanan dorongan pernapasan sentral atau 2) gangguan pada
respon ventilasi.
Penyakit-penyakit atau kedaan penyebab kegagalan ventilasi :
Ekstrapulmoner
 overdosis sedatif atau opiat  Paralisis diafragma
 stroke serebrovaskular  Distrofi muskuler
 koma  Gangguan keseimbangan elektrolit (K,Ca,Mg,PO4)

 hipotiroid  Neurotoksin (botulisme, difteria, tetanus)


 kerusakan primer pusat nafas  Obesitas
 trauma dada (flail chest)  Distensi abdominal
 cedera medula spinalis  Deformitas dinding dada
 miastenia gravis  Nyeri dada yang hebat
 poliomielitis  Efusi pleura
 amiotropik lateral sklerosis  Obstruksi trakea
 Penyakit Guillain Barre  Epiglotitis
 Sklerosis multipel  Hipertrofi tonsiler dan adenoid
 Peripheral sleep apnea

Pulmoner
 asma bronkial
 PPOK
 fibrosis kistik
 penyakit paru interstitisl
 atelektasis
16

 konsolidasi
 fibrosis
 edema paru

Penanganan.8
1) Penatalaksanaan dan Pengobatan Spesifik:
Pengobatan spesifik ditujukan pada etiologinya, sehingga untuk masing-masing
keadaan berbeda-beda. Pada kasus-kasus emergency dan akut pengobatan spesifik
dilakukan di tempat kejadian atau di unit gawat darurat. Kasus-kasus kronik, biasa nya
kasus-kasus acute on chronic yang berkembang menjadi gagal nafas akut. Penyebab
terbanyak dari gagal nafas akut pada kasus-kasus yang kronik adalah pada eksaserbasi
akut dan Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM atau COPD).
Penanggulangannya antara lain:
1. Terapi oksigen: Diperlukan apabila PaO2 kurang dari 45 mmHg atau saturasinya
kurang dari 75%. Pemberian O2 harus diusahakan jangan menyebabkan
peningkatan PaCO2. Tujuan ini dapat dicapai dengan menggunakan venturi type
mask sehingga kadar oksigen yang diberikan dapat lebih akurat. Pemberian O2
tidak boleh terlalu tinggi dan harus secara kontinu karena pemberian intermiten
akan membahayakan.
2. Antibiotik. Kuman penyebab infeksi terbanyak pada kasus ini adalah
Haemophilus influensa.
3. Bronkhodilator. Walaupun beberapa bronchioli mengalami kerusakan yang
ireversibel tetapi bronkhodilatasi di tempat yang masih reversi- bel akan sangat
membantu. Biasanya diberikan aminophyllin.
4. Pemberian steroid dapat dipertimbangkan walaupun beberapa ahli masih
meragukan efektivitasnya.
5. Bantuan nafas/ventilasi biasanya diberikan untuk mencegah CO2narkosis,
pemberian terapi O2 yang tidak dibatasi, dan bila cara-cara konservatif tidak
berhasil.

2) Penatalaksanaan dan Pengobatan Non Spesifik


17

Harus dilakukan segera untuk mengatasi gejala-gejala yang timbul pada kasus gawat
paru untuk mencegah gagal nafas akut. Sedangkan pada kasus gagal nafas akut sebaiknya
berikan terapi untuk mencegah agar pasien tidak jatuh ke dalam keadaan yang lebih
buruk, sambil menunggu pengobatan spesifik sesuai dengan etiologi penyakitnya.
Pengobatan non spesifik meliputi:
– Mengatasi hipoksemia : terapi oksigen
– Mengatasi hiperkarbia : terapi ventilasi
a) Terapi Oksigen
Pada keadaan PaO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan
PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal nafas dan penyakit kronik yang
menjadi akut kembali (dimana pasien sudah terbiasa dengan keadaan hiperkarbia
sehingga pusat pernafasan tidak terangsang lagi oleh hypercarbic drive melainkan
terhadap hypoxemic drive), maka kenaikan PaO2 yang terlalu cepat dapat menyebabkan
apnoe. Terapi yang terbaik adalah dengan meningkatkan konsentrasi fraksi inspirasi
oksigen (FiO2 dan menurunkan kebutuhan O2 dengan bantuan ventilasi. Apabila
penderita akan dibiarkan bernafas spontan, O2 diberikan melalui nasal catheter.
Hubungan antara besarnya aliran udara dengan konsentrasi O2 inspirasi (tabel):
02 (l/mt) Konsentrasi O2 = (%)
Kateter nasal 2-6 30 - 50
Sungkup muka 4 - 12 35 - 65
Sungkup muka tipe vent in 4-8 24, 28, 35, 40
Ventilator Bervariasi Sesuai
Inkubator 3-8 30 - 40

b) Atasi Hiperkarbia perbaiki ventilasi


Memperbaiki ventilasi dan tahap yang paling sederhana sampai pemberian ventilasi
buatan. Hiperkarbia yang berat dan akut akan mengakibatkan gangguan pH darah atau
asidosis; hal ini harus diatasi segera dengan memperbaiki ventilasi. Pada kasus-kasus
acute on chronic yang sudah terbiasa hiperkarbi, hindani penurunan PaCO2 yang terlalu
rendah karena akan menyebabkan alkalosis sehingga dapat menyebabkan hipokalemi,
18

aritmi jantung dan sebagainya. Penurunan PaCO2 harus bertahap tidak lebih dari 4
mmHg/jam. Upaya untuk memperbaiki ventilasi antara lain:
1. Membebaskan jalan nafas
Obstruksi jalan nafas bagian atas karena lidah yang jatuh dapat diatasi dengan
hiperekstensi kepala, apabila belum meno- long lakukan triple airway
manuevre. Apabila terjadi obstruksi karena benda asing atau edema laning
lakukan cricothyrotomy atau tracheostomy. Mungkin juga diperlukan
pemasangan pipa endotrakheal.
2. Ventilasi bantu
Pada keadaan darurat bantuan nafas dapat dilakukan secara mulut ke mulut atau
mulut ke hidung. Apabila sarana tersedia dapat dilakukan dengan menggunakan
ambubag atau dengan alat IPPB, yang memberikan ventilasi berdasarkan
tekanan negatif yang ditimbulkan waktu pasien inspirasi (pada keadaan ini
pasien masih sadar dan bernafas spontan).

3. Ventilasi kendali
Pasien harus dipasangi pipa endotrakheal yang dihubungkan dengan ventilator.
Ventilasi pasien sepenuhnya dikendalikan oleh ventilator. Bantuan ventilasi
diperlukan biasanya berdasarkan kriteria:
– Rasio PaO2/FiO2 < 200 (kadar FiO2 40% tetapi PaO2 80 mmHg)
– Penurunan compliance paru sampai 50%
– Frekuensi respirasi > 30-40 kali/menit
– Volume ventilasi semenit pada keadaan istirahat 10 ltr/ menit.
Terapi mula-mula adalah intubasi,berikan O2 dengan kadar 60%. Trakeostomi
dilakukan untuk mengganti pipa endotrakheal, bila penderita perlu diventilasi lebih dari
34 minggu. Monitoring yang perlu di1akukan. Pemeriksaan analisis gas darah setiap 15
menit pada saat baru masuk ventilator sampai kembali ke nilai normal, setelah itu
pemeriksaan analisis gas darah dilakukan setiap 6 jam.
19

Untuk mempertahankan curah jantung sebaiknya hematokrit dipertahankan 30%,


berikan cairan secara adekuat oleh karena penurunan aliran darah akan memperburuk
permeabilitas mikrovaskuler di paru-paru dan merangsang timbulnya mediator yang
toksik. Tetapi terlalu banyak cairan (over load) pun akan menimbulkan edema paru
hidrostatik.
Foto thoraks harus dilakukan setiap hari, udara inspirasi harus dilembabkan atau
humidifikasi yang cukup, dan kadang-kadang diperlukan mukoliti. Pasien harus diubah-
ubah posisinya secara bertahap setiap 2 jam dan nasotracheal suction setiap 2 jam.
Lakukan usaha-usaha untuk mengeluarkan sekret dan menepuk dada/punggung
(tappotage). Perhatikan gizi dan latihan nafas untuk menjaga kekuatan otot-otot
pernafasan.
Setelah ekstubasi sebaiknya penderita tetap diobservasi untuk kemungkinan
gangguan nafas pasca ekstubasi.

Ventilasi Non Invasif (NIV)


Sekitar setengah dari pasien yang mengalami gagal nafas hiperkapnik
( eksaserbasi PPOK) berespon dengan baik terhadap pengobatan medis, setengah dari
mereka mengalami perbaikan dalam 24 jam dan 92% dalam 72 jam. Oleh karena itu
setengah dari pasien membutuhkan salah satu tipe bantuan ventilasi. NIV dapat
digunakan di ICU, di ruang perawatan biasa, atau di ruang gawat darurat. Berbagai
penelitian secara kontrol randomisasi menemukan kefektifan NIV ditempat-tempat
tersebut, dengan terbanyak pada pasien PPOK yang mengalami eksaserbasi akut,
mengalami peningkatan laju pernafasan, dan pH < 7.35 dengan PaCO2 > 6 kPa.
Diantara teknik ventilasi non invasif, ventilasi tekanan positif non invasif (NPPV)
melalui nasal atau sungkup wajah atau helem sementara menjadi pilihan dalam
pengobatan gagal nafas hiperkapnik pada eksaserbasi PPOK. Namun demikian, vevtilasi
tekanan negatif ( dengan paru-paru besi) tampaknya juga efektif dalam rangka
menghindari intubasi endotrakeal dan menurunkan resiko kematian. Lebih jauh, bantuan
dengan teknik continuous positive airway pressure (CPAP) yang sebelumnya bukan
merupakan teknik ventilasi telah terbukti efektif dan berguna pada gagal nafas akut pada
pasien dengan PPOK (dial). Ketika digunakan dengan tepat, NPPV menghasilkan
keuntungan fisiologis yang sama ( memperbaiki pertukaran gas dan menurunkan WOB)
20

seperti halnya teknik ventilasi invasif. NPPV telah digunakan secara meningkat untuk
eksaserbasi PPOK dan mungkin diindikasikan pada pasien eksaserbasi PPOK. NPPV
berhubungan dengan menurunnya angka kematian, angka intubasi yang rendah, lama
rawat yang lebih pendek, dan perbaikan pH, pCO, dan laju respirasi.

Ventilasi Invasif
Ventilasi mekanik invasif mengacu pada proses penghantaran bantuan ventilasi
sebagian maupun penuh melalui pipa endotrakeal atau pipa trakeostomi. Ventilasi
memiliki dua sasaran terapi, yaitu memperbaiki pertukaran gas dan menurunkan usaha
pernafasan. Aplikasi tekanan positif pada sistem pernafasan dapat memperbaiki
kesesuaian ventilasi - perpusi dan menurunkan intrapulmonary shunting, yang keduanya
dapat mengobati hipoksia dan mengurangi hiperkapnia. Intubasi harus dipertimbangkan
pada pasien yang mengalami : kegagalan dengan NPPV ( perburukan nilai gas darah
arteri dan atau pH dalam 1-2 jam, rendahnya perbaikan gas darah arteri dan atau pH
setelah 4 jam), asidosis berat (pH< 7.25) dan hiperkapnia (PaCO2 > 8 kPa atau > 60
mmHg), hipiksemia yang mengancam nyawa ( tekanan oksigen arteri / fraksi oksigen
inspirasi < 26.6 kPa atau < 200 mmHg), takipneau ( pernafasan > 35 x/menit), dengan
hemodinamik yang tidak stabil, mengalami henti kardiopulmoner, atau bukan sebagai
kandidat NPPV. Pada sebuah studi retrospektif , 54% dari 138 pasien dengan gagal nafas
hiperkapnik membutuhkan intubasi, dengan rata-rata dalam 8 jam setelah timbulnya
gejala.

Komplikasi dan Prognosis Gagal Nafas


Gagal nafas merupakan suatu kondisi kegawatan yang dapat mengancam jiwa.
Komplikasi gagal nafas dapat mempengaruhi organ-organ vital terutama otak dan
jaringan karena tidak adekuatnya oksigenasi. Oleh karena itu penanganan yang cepat dan
tepat pada kegawatan nafas sangat diperlukan.
Prognosis dari gagal nafas sangat ditentukan oleh faktor penyebab gagal nafas, penyakit
primer, berat dan lamanya gagal nafas, kecepatan penanganan, serta komplikasi yang
terjadi. Hasil akhir pada pasien gagal napas sangat tergantung dari etiologi/penyakit yang
mendasarinya, serta penanganan yang cepat dan adekuat. Jika penyakit tersebut diterapi
dengan benar maka hasilnya akan baik. Jika gagal napas berkembang dengan perlahan
21

maka dapat timbul hipertensi pulmoner, hal ini akan lebih memperberat keadaan
hipoksemi. Adanya penyakit ginjal dan infeksi paru akan memperburuk prognosis.
Terkadang transplantasi paru diperlukan.

Kesimpulan
Gagal napas merupakan ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mempertahankan
suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan
kebutuhan normal. Gagal napas diklasifikasikan menjadi gagal napas hipoksemia, dan
gagal napas hiperkapnia. Gagal napas hipoksemia ditandai dengan PaO 2 < 60 mmHg
dengan PaCO2 normal atau rendah. Gagal napas hiperkapnia, ditandai dengan PaCO 2 > 45
mmHg. Penyebab gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan
neuromuscular, dinding thoraks dan diafragma, paru, serta sistem kardiovaskuler.
Penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut yang utama adalah membuat oksigenasi
arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying
disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut.

Daftar Pustaka
1. Halbert RJ, Natoli JL, Gano A, et al. Global burden of COPD: systematic review
and meta-analysis .Eur Respir J,2006, 28:523–32.
2. Buist AS, McBurnie MA, Vollmer WM, et al.. International variation in the
prevalence of COPD (the BOLD Study): a population-based prevalence study.
Lancet, 2007.370:741–50.
3. Ai-Ping C, Lee KH, Lim TK,. In-hospital and 5-year mortality of patients treated
in the ICU for acute exacerbation of COPD: a retrospective study. Chest, 2005.
128:518–24.
4. Seemungal T, Harper-Owen R, Bhowmik A, et al. Respiratory viruses, symptoms,
and inflammatory markers in acute exacerbations and stable chronic obstructive
pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 2001; 164: 1618–1623.
5. Kaynar, Ata Murat; Sharma, Sat. (2010). Respiratory Failure. Diakses pada
tanggal 18 November 2017 dari http://emedicine.medscape.com/article/167981-
overview
22

6. Michael A. Gripi, Respiratory failure : An Overview. Fishman’s Pulmonary


Diseases and Disorders.The McGraw-Hill Companies, Inc.2008.
7. Amin, Zulfikli, dan Johanes Purwato. Gagal Nafas Akut. Dalam : Aru W. Sudoyo
(ed.) .Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta : Interna Publishing. 2009.
pp. 219-226.
8. Dennis LK, Eugene B, Fauci A, Hauser S. Harrison's Principles of Internal
Medicine McGraw-Hill Professional; 16 ed 2004

Anda mungkin juga menyukai