Anda di halaman 1dari 16

Kor Pulmonal Kronik et causa PPOK

Maria Fransiska
102011189
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna No. 6, Jakarta 11510
e mail: marea.fransischa@hotmail.com

Pendahuluan
Gangguan sesak nafas sering merupakan keluhan mengapa seseorang datang berobat ke
dokter. Dispnea adalah keluahan yang sering memerlukan penanganan darurat tetapi
intensitas dan tingkatannya dapat berupa rasa tidak nyaman di dada yang bisa membaik
sendiri: yang membutuhkan bantuan napas yang serius (severe air hunger) sampai yang fatal.
Keluhan awal dari sesak nafas akut mungkin disebabkan adannya gangguan fisiologis akut
seperti serangan asma bronkial, emboli paru, pneumotoraks atau infark miokard. Serangan
berkepanjangan selama berjam-jam hingga berhari-hari lebih sering karena eksaserbasi
penyakit paru yang kronik atau perkembangan proses sedikit demi sedikit seperti efusi pleura
atau gagal jantung kongestif. Gejala yang sering menyertai sesak napas adalah a). Nyeri dada
yang kemungkinan disebabkan oleh emboli paru, infark miokard atau penyakit pleura; b).
Batuk yang disertai sesak, khususnya sputum purulen mungkin disebabkan oleh infeksi napas
atau proses radang kronik; c). Demam dan menggigil mendukung adanya suatu infeksi; d).
Hemoptisis mengisyaratkan ruptur kapiler/vaskuler. Pada pasien yag mengalami keluhan
sesak napas harus dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
teliti untuk mengetahui penyebab dari sesak napas tersebut.
Pada makalah ini akan membahas tentang penyakit kor pulmonal kronik yang disebabkan
oleh penyakit paru obstruksi kronik yang juga menimbulkan gejala sesak napas dengan
ilustrasi kasus seorang laki-laki 50 tahun datang dengan keluhan utama sesak napas yang
semakin memberat sejak 5 hari yag lalu. Awalnya pasien merasakan sesak napas sejak 1
tahun yang lalu. Sesak napas terutama dirasakan saat beraktivitas berat, berkurang saat
istirahat dan idak dipengaruhi posisi. Pasien juga mengeluhkan batuk kadang-kadang sejak 3
bulan yang lalu dan memberat sejak 1 minggu yag lalu. Tidak didapatkan keluhan demam
dan nyeri dada. Semoga makalah ini dapat menjadi referensi baru bagi pembaca.

Kor pulmonal adalah hipertrofi/dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal yang
disebabkan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh darah paru yang tidak berhubungan
dengan kelainan jantung kiri. Untuk menetapkan adanya kor pulmonal secara klinis pada
pasien gagal napas diperlukan tanda pada pemeriksaan fisik yaitu edema. Penyakit paru
obstruksi kronik (PPOK) merupakan penyebab utama insufisiensi respirasi kronik dan kor
pulmonal.
Anamnesis
Seorang dokter harus melakukan wawancara yang seksama terhadap pasiennya atau keluarga
dekatnya mengenai masalah yang menyebabkan pasien mendatangi pusat pelayanan
kesehatan. Wawancara yang baik seringkali sudah dapat mengarahkan masalah pasien ke
diagnosis penyakit tertentu. Wawancara terhadap pasien disebut anamnesis. Anamnesis dapat
langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) atau terhadap keluarganya atau
pengantarnya (alo-anamnesis). Identitas. Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atau
tanggal lahir, jenis kelamin, nama orang tua atau suami isteri atau penanggung jawab, alamat,
pendidikan, pekerjaan, suku bangsa dan agama.1
Keluhan Utama. Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa
pasien pergi ke dokter atau mencari pertolongan. Dalam menuliskan keluhan utama harus
disertai dengan indikator waktu, berapa lama pasien mengalami hal tersebut. Contoh: sesak
napas yang semakin memberat sejak 5 hari yang lalu.1
Riwayat Penyakit Sekarang.Keluhan awal akut mungkin disebabkan adanya gangguan
fisiologis akut seperti serangan asma bronkial, emboli paru, pneumotoraks atau infark
miokard. Serangan berkepanjangan selama berjam-jam hingga berhari-hari seperti pada kasus
lebih sering akibat eksaserbasi penyakit paru yang kronik atau perkembangan proses sedikit
demi sedikit seperti pada efusi pleura atau gagal jantung kongestif. Hal-hal yang perlu
ditanyakan pada pasien dengan sesak napas adalah sebagai berikut:1,2
Sudah berapa lama Anda menderita sesak napas ?
Apakah sesak napas itu terjadi secara tiba-tiba ?
Apakah sesak napas terjadi secara terus menerus ?
Apakah sesak napasnya terjadi pada waktu tertentu ?(misal : saat berolahraga,
berisitirahat, berbaring lurus, duduk?)
Apa yang membuat sesak napasnya memburuk ?Apa yang meredakannya ?
Apakah sesak napasnya disertai dengan wheezing? Demam? Batuk ?
2

Apakah Anda merokok ? Jika ya, Berapa banyak? Sudah berapa lama?
Apakah Anda pernah terpapar dengan asbes? Bahan alergen lain seperti debu,
asap, bahan kimia?
Apakah Anda pernah berhubungan dengan penderita tuberkulosis?
Apakah

Anda

pernah

memakan

obat

yang

dapat

menyebabkan

reaksi

hipersensitivitas yang menyebabkan sesak?


Riwayat penyakit dahulu. Perlu ditanyakan apakah pasien pernah diduga menderita PPOK.
Riwayat keluarga. Pada kasus sesak napas, riwayat keluarga yang perlu ditanyakan adalah
mengenai riwayat alergi terhadap pajanan benda asing.
Riwayat sosial. Bagaimana riwayat pekerjaan pasien ? Bagaimana tingkat disabilitas pasien ?
Bagaimana toleransi olahraga pasien ?
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama yang harus dilakukan adalah menilai keadaan umum pasien. Penilaian
kesadaran kualitatif dilakukan dengan melakukan pengamatan status kesadaran (kualitatif).
Inspeksi ekspresi wajah pasien juga harus dilakukan untuk melihat apakah cuping hidung
mengembang atau pasien bernapas dengan bibir dikerutkan? Cuping hidung mengembang
adalah gerakan lubang hidung keluar selama inhalas. Ini dijumpai pada setiap keadaan yang
menyebabkan meningkatnya kerja pernapasan. Apakah ada tanda-tanda pernapasan yang
dapat didengar seperti stridor dan wheezing? Ini berkaitan dengan obstruksi aliran udara.2
Pemeriksaan tanda vital merupakan suatu cara untuk mendeteksi adanya perubahan sistem
tubuh. Tanda vital meliputi: suhu tubuh, denyut nadi, frekuensi pernapasan, dan tekanan
darah. Pada kasus diilustrasikan hasil pemeriksaan TTV adalah : 1). Tekanan darah 110/80
mmHg; 2). Nadi 88x/menit; 3). Frekuensi pernapasan 28x/menit; 4). Suhu: afebris.
Inspeksi konfigurasi dada. Berbagai macam keadaan dapat mengganggu ventilasi yang
memadai, dan konfigurasi dada mungkin menunjukkan penyakit paru. Hasil pemeriksaan
fisik inspeksi didapatkan bentuk dada pasien seperti tong atau barrel chest. Peningkatan
diameter antero-posterior (AP) dijumpai pada PPOK tingkat lanjut. Diameter AP cenderung
mendekati diameter lateral, sehingga terbentuk dada berbentuk seperti tong atau barrel chest.
Iga-iga kehilangan sudut 45odan menjadi lebih horizontal.2
Palpasi nyeri tekan. Semua daerah dada harus diperiksa untuk mengerahui adanya daerahdaerah nyeri tekan. Palpasi yang digabung dengan inspeksi semakin memperkuat dan
memperkokoh data dasar kumulatif ada atau tidaknya komplikasi dari PPOK. Suhu, turgor,
dan kelembapan kulit juga perlu dievaluasi. Bila ditemukan adanya edema, derajat edema
3

diberi nilai +1 sampai +4 bergantung pada dalamnya indentasi yan tertinggal sewaktu jari
mempalpasi daerah edema (+1 menunjukkan depresi ringan yang cepat menghilang; +4
menunjukkan depresi dalam yang menghilag lambat). Fremitus taktil vokal. Batas normal
fremitus yang luas sangat tergantung pada habitus dan perkembangan otot. Pada orang yang
sangat gemuk, getaran tidak dapat dengan mudah teraba karena dinding dada akan
menghambat hantarannya. Pada orang sangat kurus, tiap bunyi sangat halus tampaknya
mencapai jari yang meraba dada. Umumnya penurunan fremitus ditemukan dengan halangan
hantaran gelombang bunyi. Cairan atau udara intrapleura khususnya merupakan halangan
kuat. Sebaliknya konsolidasi paru memperkuat hantaran, sehingga gambaran klasik
pneumonia yang lengkap ialah peningkatan fremitus taktil vokal bersama dengan bunyi
akustiknya, bunyi napas bronkial. Jika disertai dengan obstruksi bronkus atau efusi pleura,
fremitus dan intensitas bunyi napas menurun dan dapat berobliterasi. Jika ada alasan untuk
mencurigai adannya pembesaran hati, palpasilah organ hati dengan cara pasien menarik
napas, tangan kiri menyokong pinggang da tangan kanan menekan dalam-dalam di awah
arcus costae.2,3
Perkusi. Hipersonor pada perkusi paling sering dijumpai pada hiperinflasi paru, baik pada
pasein asma maupun pada pasien dengan PPOK dengan atau tanpa bula. Perkusi memastikan
dan memperjelas banyak penemuan pada palpasi. Perkusi pekak berpindah menunjukkan
adanya asites.2
Auskltasi harus dilakukan untuuk mendengarkan suara paru dan jantung. Suara ronki adalah
kelainan paru yang paling sering dijumpai pada auskultasi. Merupakan bunyi diskontinu
singkat yang meletup-letup yang terdengar pada inspirasi. Ronki mencerminkan letusan
mendadak jalan napas kecil yang sebelumnya tertutup. Ronki kasar bagian basal ditemukan
beberapa pada orang normal, khususnya pada orang yang berumur. Namun, ronki pada pasien
yang sebelumnya tidak ada atau yang memilikinya pada lokasi yang baru, berarti tidak
normal. Atelektasis, fibrosis, peradangan, edema paru, granuloma, bronkospasme, emfisema
dan tumor semuanya dapat menimbulkan hal itu. Wheezing; mengi yang terdengar pada
auskultasi menunjukkan penurunan aliran udara yang nyata. Bunyinya berfrekuensi tinggi,
getaran kontinu kolom udara dan atau jalan napas, biasanya terdeteksi pada banyak tempat
secara stimultan. Mengi mempunyai kualitas musikal dan kontinu. Ketika mengi menghilang
pada serangkaian auskultasi, satu atau dua skenario dapat diterapkan. Terapi dapat berupa
menghilangkan obstruksi jalan napas. Pada kasus tersebut, dispnea akan berkurang, frekuensi
pernapasan akan berkurang, mengi akan menghilang dan bunyi napas akan lebih mudah
4

terdengar pada kedua paru dan pada jalan napas besar, mencerminkan perbaikan pertukaran
udara. Pada keadaan berlawanan, pergerakan udara telah sedemikian terganggu sehingga
mengi menghilang karena penurunan aliran darah. Pasien tersebut tampak sesak, biasanya
menetap seperti itu dan dapat mempunyai warna kulit yang pucat.Apabila ditemukan adanya
komplikasi PPOK kor pulmonal kronik, auskultasi akan terdengar normal atau tedapat
bising.2
Diagnosis
Dari pemeriksaan fisik dapat mencerminkan penyakit paru yang mendasari terjadinya kor
pulmonal seperti hipertensi pulmonal, hipertropi ventrikel kanan, dan kegagalan ventrikel
kanan. Peningkatan diameter dada, sesak yang tampak dengan retraksi dinding dada, distensi
vena leher dan sianosis dapat terlihat.Pada auskultasi, lapangan paru dapat terdengar
wheezing maupun ronkhi. Suara jantung dua yang terpisah dapat terdengar pada tahap awal.
Bising ejeksi sistolik diatas areaarteri pulmonalis dapat terdengar pada tahap penyakit yang
lebih lanjut bersamaan denganbising regugirtasi pulmonal diastolic.Pada perkusi, suara
hipersonor dapat menjadi tanda PPOK yang mendasari timbulnya kor pulmonal, asites dapat
timbul pada kasus yang berat.4,5
Pendekatan umum untuk mendiagnosa kor pulmonal dan untuk menyelidiki etiologinya
dimulai dengan pemeriksaan laboratorium rutin, radiografi dada dan elektrokardiografi.
Echocardiografi juga memberikan informasi yang penting tentang penyakit dan etiologinya.
Kateterisasi jantung kanan adalah pemeriksaan yang paling akurat untuk mengkonfirmasi
diagnosis kor pulmonale dan penyakit yang mendasarinya. Pada pasien dengan kor
pulmonale kronis, rontgen dada dapat menunjukkan pembesaran pembuluh darah paru
sentral. Hipertensi pulmonal harus dicurigai jika diameter pembuluh arteri pulmonalis kanan
lebih dari 16 mm dan arteri pulmonalis kiri lebih dari 18 mm. Pembesaran ventrikel kanan
menyebabkan peningkatan diameter transversal dari bayangan jantung ke kanan pada
proyeksi posteroanterior dan mengisi ruang udara restrosternal pada proyeksi lateral. Pada
pemeriksaan dengan elektrokardiograph, tampak adanya hipertropi ventrikel kanan.4
Dalam mendiagnosa kor pumonal, penting untukmempertimbangkan penyakit tromboemboli
dan hipertensi pulmonal sebagai etiologi. Diagnosis banding lain untuk kor pulmonal kronik
antara lain :
1. Kor pulmonal akut akibat adanya emboli pada pembuluh darah paru
Emboli paru adalah peristiwa infark jaringan paru akibat tersumbatnya pembuluh
darah arteri pulmonalis oleh peristiwa emboli. Penyebab utama dari suatu emboli paru
adalah tromboemboli vena, namun demikian penyebab lain dapat berupa emboli
udara, emboli lemak, cairan amnion, fragmen tumor dan sepsis. Diagosis suatu emboli
5

paru dapat ditegakkan dari penilaian gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang
berupa foto toraks, pencitraan ventilasi-perfusi, CT angiografi toraks dengan kontras,
angiografi paru dan ekokardiografi trantorakal. Dispneu merupakan gejala yang
paling sering muncul dan takipneu adalah tanda emboli paru yang paling khas. Pada
umumya, dispneu berat, sinkop atau sianosis merupakan tanda emboli yang
mengancam jiwa. Nyeri pleuritik menunjukkan bahwa emboli paru kecil dan terletak
di arteri pulmonalis distal, berdekatan dengan garis pleura.6
2. Gagal jantung kongestif
Gagal jantung adalah sindrom klinis yang ditandai dengan sesak napas dan fatik (saat
istiahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur dan fungsi jantung.
Gagal jantung dianggap seebagai remodelling progresif akibat beban/penyakit pada
miokard. Gagal jantung kiri terjadi akibat kelemahan ventrikel kiri yang akan
meningkatkan tekanan vena pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak napas
dan ortopneu. Gagal jantung kanan terjadi jika kelainannya melemahkan ventrikel
kanan seperti pada hipertensi pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru kronik
sehingga terjadi kongesti vena sistemik. Jadi gagal jantung kanan bisa mejadi suatu
bentuk komplikas dari tejadinya kor pulmonal. Diagnosis gagal jantung dibuat
berdasarkan

anamnesis,

pemeriksaan

fisik,

elektrokardiiograi/foto

toraks,

ekokardografi Doppler dan kateterisasi. Kriteria Framingham dapat pula dipakai


untuk diagnosis gagal jantung kongestif.7
Tabel 1. Kriteria Framingham diagnosis gagal jantung kongestif7
Kriteria Mayor
Paroksisimal nokturna dispneu
Distensi vena leher
Ronki paru
Kardiomegali
Edema paru akut
Gallop S3
Peninggian tekanan vena jugulais
Refluks hepaojugular

Kriteria Minor
Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dispneu deffort
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Takikadia (>120/menit)

3. Perikarditis
Perikarditis adalah peradangan perikard parietalis, viseralis atau keduanya. Salah satu
reaksi radang pada perikarditis akut adalah penumpukan cairan (eksudasi) di dalam
rongga perikard yang disebut dengan efusi parikad. Efek hemodinamik efusi perikard
ditentukan oleh jumlah dan kecepatan pembentukan cairan perikard. Efusi yang
banyak atau timbul cepat akan menghambat pengisian ventrikel, penurunan volume
akhir diastolik sehingga curah jantung sekuncup dan semenit berkurang.
6

Kompensasinya adalah takikardia, tetapi pada tahap berat atau kritis akan
menyebabkan gangguan sirkulasi dengan penurunan tekanan darah serta gangguan
perfusi organ dengan segala akibatnya yang disebut tamponad jantung. Keluhan
paling sering adalah sakit/nyeri dada yang tajam, retrosternal atau sebelah kiri.
Bertambah sakit bila bernapas karena nyeri pleuritik di atas atau karena efusi perikad.
Pemeriksaan fisik didapatkan friction rub presistolik, sistolik atau diastolik. Keadaan
umum penderita dengan tamponad nampak lebih buruk/berat. Tekanan darah turun,
peninggian tekanan vena jugularis, takikardia, nadi lemah dengan tekana nadi kecil,
bunyi jantung yang lemah, serta napas yang cepat. Pelebaran area pekak prekordial,
pulsus paradoksus juga dapat ditemukan. Elektrokardiografi pada perikarditis akan
menunjukkan elevasi segmen ST. Gelombang T umumnya ke atas, tetapi bila ada
miokarditis ke bawah (inversi). Foto jantung normal atau membesar (bila ada efusi
perikard). Cairan yang masih sedikit akan sukar sekali dilihat. Sekurang-kurangnya
100 cc cairan dalam kavum pleura harus ada untuk dapat dilihat pada pemeriksaan
radiologik. Foto paru dapat normal atau menunujukkan patogi (misal bila
penyebabnya tumor paru, TBC dan lain-lain). Pemeriksaan laboratorium yang
dianjurkan : leukosit, ureum, kreatinin, enzim jantung, mikrobiologis, parasitologis,
serologis, virologis, patologis dan imunologis untuk mencari penyebab peradangan.7
Pemeriksaan Penunjang
1. Elektrokardiogram
Kelainan EKG pada kor pulmonal menggambarkan hipertrofi ventrikel kanan,
Ventrikel kanan yang meregang, atau penyakit paru yang mendasarinya. Perubahan
elektrokardiografi yang mungkin ditemukan adalah:
Axis dengan deviasi ke kanan
Rasio R / S di V1 >13.
Rasio R / S di V6 < 14.
Gambaran P-pulmonale (peningkatan gelombang P di lead II,III, dan aVF)
Gambaran S1 Q3 pola T3 dan tidak lengkap (atau lengkap) RBBB, terutama
jika disebabkanemboli paru.
tegangan rendah QRS karena PPOK dengan hiperinflasi
2. Gambaran radiologi
Pada pasien yang menderita PPOK, penting dilakukan pemeriksaan berkala untuk
melihat

kemungkinan

terjadinya

perubahan-perubahan

pada

jantung

yang

menunjukkan kor pulmonal. Pada kelainan kor pulmonal yang pertama kali
diperhatikan adalah menetapkan kelainan yang terdapat pada paru-paru. Kelainan
7

pada paru ini, bila diberi pengobatan yang adekuat dan dapat sembuh, gejala dari kor
pulmonal dapat dicegah. Proyeksi yang penting adalah PA dan lateral dengan barium
esophagus. Di samping akan tampak kelainan pada paru, tampak jantung membesar
ke kiri dengan apex yang masih terdapat di atas diafragma, karena adanya hipertrofi
ventrikel kanan. Bagian hilus dan sentral dari arteri pulmonalis Nampak melebar
sedangkan pada bagian perifer Nampak menyempit. Radiolusensi dari paru
bertambah, lebih-lebih pada emphysema paru. Atrium kiri dan ventrikel kiri tidak
membesar. Aorta nampak seperti biasadan vena pulmonalis tidak tampak.9
3. Ekokardiogram
Ekokardiogram dua dimensi biasanya menunjukkan tanda-tanda peningkatan tekanan
di ventrikel kanan. Peningkatan ketebalan dinding ventrikel kanan dengan gerakan
paradoks septum interventrikular selama sistol terjadi. Pada stadium lanjut, dilatasi
ventrikel kanan terjadi dan septum menunjukkan diastolik abnormal yang
menyeluruh. Dalam kasus yang ekstrim, pada spetrum dapat terlihat ke dalam rongga
ventrikel kiri selama diastol mengakibatkan volume diastolik menurun dari ventrikel
kiri dan penurunan output dari ventrikel kiri.
4. Doppler echocardiography sekarang digunakan untuk memperkirakan tekanan arteri
paru, menilai insufisiensi trikuspid yang fungsional pada hipertensi pulmonal.
Doppler echocardiography dianggap paling dapat diandalkan
5. Scanning paru dengan menilai ventilasi/perfusi (V/Q), angiografi paru, dan CT scan
thoraks dapat diindikasikan untuk mendiagnosis tromboemboli paru sebagai etiologi
yang mendasari kor pulmonal.
6. Ultrafast, EKG-gated CT scanning telah dievaluasi untuk mempelajari fungsi
ventrikel kanan,memperkirakan ejeksi ventrikel kanan fraksi (RVEF), dan
memperkirakan ketebalan dinding ventrikel kanan.
7. Magnetic Resonance Imaging (MRI) jantung merupakan modalitas yang dapat
memberikan informasi berharga tentang massa/ketebalan ventrikel kanan, septum dan
fungsi ventrikel.
8. Ventriculography Radionuklida dapat menentukan RVEF noninvasif
Epidemiologi
Meskipun prevalensi PPOK di Amerika Serikat terdapat sekitar 15 juta, prevalensi yang tepat
dari kor pulmonal sulit untuk ditentukan karena tidak terjadi pada semua kasus PPOK,
pemeriksaan fisik tidak sensitif untuk mendeteksi adanya hipertensi pulmonal. Kor pulmonal
mempunyai insidensi sekitar 6-7 % dari seluruh kasus penyakit jantung dewasa di Amerika
Serikat, dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) karenabronchitis kronis dan
emfisema menjadi penyebab lebih dari 50% kasus kor pulmonal. Sebaliknya, kor pulmonal
8

akut biasanya menjadi kelainan sekunder akibat adanya emboli paru masif. Tromboemboli
paru akut adalah penyebab paling sering dari kor pulmonal akut yang mengancam jiwa pada
orang dewasa. Terdapat sekitar 50.000 angka kematian di Amerika Serikat dalam setahun
akibat emboli paru dan sekitar setengahnya terjadi dalam satu jam pertama akibat gagal
jantung kanan. Secara global, insidensi cor pulmonal bervariasi antar tiap negara, tergantung
pada prevalensi merokok, polusi udara, dan faktor resiko lain untuk penyakit paru-paru yang
bervariasi.4
Etiologi
Penyakit-penyakit yang menyebabkan kor pulmonal adalah penyakit yang secara primer
meyerang pembuluh darah paru, seperti emboli paru berulang dan penyakit yang
mengganggu aliran darah paru akibat penyakit pernapasan obstruktif atau restrikrtif. PPOK
terutama jenis bronkitis, merupakan penyebab tersering kor pulmonal. Penyakit-penyakit
pernapasan restriktif yang menyebabkan kor pulmonal dapat berupa penyakit-penyakit
intrinsik seperti fibrosis paru difus dan kelainan ekstrinsik, seperti obesitas yang ekstrim,
kifoskoliosis, atau gangguan neuromuskular berat yang melibatkan otot-otot pernapasan.
Akhirnya, penyakit vaskular paru yang mengakibatkan obstruksi terhadap aliran darah dan
kor pulmonal cukup jarang terjadi dan biasanya merupakan akibat dari emboli paru berulang.
Apapun penyakit awalnya, sebelum timbul kor pulmonal biasanya terjadi peningkatan
resistensi vaskular paru dan hipertensi pulmonal. Hipetensi pulmonal pada akhirnya
meningkatkan beban kerja ventrikel kanan, sehingga mengakibatkan hipetrofi dan keudian
gagal jatung. Titik kritis dari rangkaian kejadian ini nampaknya terletak pada peningkatan
resistensi vaskular paru pada arteri dan arteriola kecil.10
Dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan resistensi vaskular paru adalah: 1)
vasokontriksihipoksik pembuluh darah paru-paru dan; 2) obstruksi dan/ atau obliterasi
jaringan vaskular paru-paru. Mekanisme yang pertama tampaknya paling penting dalam
patogenesis kor pulmonal. Hipoksemia, hiperkapniadan asidosis yag merupakan ciri khas dari
PPOK bronkitis lanjut adalah contoh yang paling baik untuk menjelaskan bagaimana kedua
mekanisme ini terjadi. Hipoksia alveolar (jaringan) memberikan rangsangan yang kuat
terhadap vasokontriksi pulmonal bukan hipoksemia. Selain itu, hipoksia alveolar kronik
memudahkan terjadinya hipertrofi otot polos arteriol paru, sehigga timbul respons yang lebih
kuat terap hipoksia akut. Asidosis hiperkapnia dan hipoksemia bekerja secara sinergistik
dalam menimbulkan vasokontriksi. Viskositas (kekentalan) darah yang meningkat akibat
polisitemia dan peningkatan curah jantung yang dirangsang oleh hipoksia kronik dan
hiperkapnia, juga ikut meningkatkan tekanan arteri paru.10

Mekanisme kedua yang turut meningkatkan resistensi vaskuler dan tekanan arteri paru adalah
bentuk anatomisnya. Emfisema ditandai dengan kerusakan bertahap struktur alveolar dengan
pembentukan bula dan obliterasi total kapiler-kapiler di sekitarnya. Hilangnya pembuluh
darah secara permanen menybeabkan berkurangnya jaringan vaskular. Selain itu, pada
penyakit PPOK, pembuluh darah paru juga tertekan dari luar karena efek mekanik volume
paru yang besar. Tetapi, peranan obstruksi dan obliterasi anatomik terhadap jaringan vaskular
dperkirakan tidak sepenting vasokonriksi hipoksik dalam patogenesis kor pulmonal. Kira-kira
dua pertigasampai tiga perempat dari jaringan vaskular harus mengalami obstruksi atau rusak
sebelum terjadi peningkatan tekanan arteri paru yang bermakna. Asidosis repiratorik kronik
terjadi pada beberapa penyakit pernapasan dan penyakit obstruktif sebagai akibat hipovenilasi
alveolar umum atau akibat kelainan V/Q. Setiap penyakit paru yang mempegaruhi pertukaran
gas, mekanisme ventilasi atau jaringan vaskular paru dapat mengakibatkan kor pulmonal.10
Patofisiologi
Kor pulmonal kronik adalah perubahan struktur dan fungsi dari ventrikel kanan jantung
sebagai akibat dari gangguan paru kronis. Perubahan yang terjadi berupa hipertrofiventrikel
kanan atau dilatasi atau keduanya sebagai akibat dari adanya hipertensi pulmoner.Dilatasi
adalah peregangan dari ventrikel, sebagai hasil cepat dari peningkatan tekanan pada tempat
yang elastis. Hipertrofi ventrikel adalah respon adaptif dari peningkatan tekanandalam jangka
waktu lama. Setiap sel otot berkembang membesar dan mengalami perubahanmorfologis
yang khas agar dapat mencukupi peningkatan kekuatan kontraksi yang diperlukanuntuk
menggerakkan darah melawan tahanan yang lebih besar.Untuk dapat diklasifikasikan sebagai
kor pulmonal kronik penyebab utama harus berasal dari sistempernafasan. Dua penyebab
utama terjadinya perubahan vaskuler adalah adanya kerusakan jaringan (misalnya penyakit,
jejas hipoksia, bahan kimia dan lain-lain), dan vasokonstriksiparu hipoksia kronis. Dilatasi
ventrikel kanan atau hipertrofi dalam kor pulmonal kronik adalah efek kompensasi langsung
darivasokonstriksi

pulmoner

kronis

dan

hipertensi

arteri

pulmoner

yang

menyebabkanpeningkatan kerja dan beban ventrikel kanan. Saat ventrikel kanan tidak
dapatmengkompensasi dilatasi dan hipertrofi yang terjadi, maka terjadilah gagal jantung
kanan.10
Hipertensi pulmoner didefinisikan sebagai rata-rata tekanan arteri pulmoner yang > 20mmHg
saat istirahat, atau 30 mmHg dengan latihan. Peningkatan tekanan arteri pulmonerdan
resistensi pembuluh darah pulmoner dapat berkembang pada kelainan parenkim, jalannafas
atau pembuluh darah pulmoner dan hasilnya adalah kontrol yang abnormal dariventilasi.Ada
beberapa mekanisme penyebab terjadinya hipertensi pulmonal dan kor pulmonal kronik:10
10

1. Vasokonstriksi pulmonal
Vasokonstriksi pulmonal pada saat terjadinya hipoksia pada arteri kecil dan
arteriolmerupakan mekanisme pertahanan diri yang muncul secara akut untuk
mempertahankanperfusi-ventilasi lokal. Vasokonstriksi pulmoner lokal muncul pada
daerah yang mengalamihipoksia dan menyebabkan penghentian aliran darah ke area
hipoksik dan mengarahkannyake daerah yang mempunyai ventilasi yang adekuat,
sehingga meningkatkan fungsi perfusi-ventilasi dari paru secara keseluruhan.
Meskipun

berguna

namun

pada

vasokonstriksi

kronisdapat

menyebabkan

penyempitan arteri pulmoner. Hipoksia kronis menginduksimuskularisasi dari arteri


pulmoner, dengan otot polos berproliferasi secara longitudinaldiantara tunika intima
dari arteri pulmoner kecil. Sehingga menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler
pulmoner dan menyebabkan terjadinya hipertensi pulmoner.
2. Perubahan anatomis dari vaskularisasi
Oklusi atau penyempitan arteri pulmoner yang berukuran sedang sampai besar adalah
dasardari terjadinya peningkatan resistensi vaskuler pulmoner pada beberapa
gangguan misalnyapenekanan mediastinum atau hilus oleh tumor metastatik atau
fibrosis, arteritis nonspesifik,tumor paru primer, penyakit tromboemboli kronis dari
pembuluh utama, dan infeksi(tuberkulosis atau histoplasmosis)
3. Peningkatan viskositas darah
4. Idiopatik atau hipertensi pulmonal primer
Keempat kelainan ini akan menyebabkan timbulnya hipertensi pulmonal (perjalanan lambat).
Dalam jangka panjang akan mengakibatkan hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan dan
kemudian akan berlanjut menjadi gagal jantung kanan.
Ventrikel kanan memiliki dinding yang lebih tipis dibandingkan ventrikel kiri yanglebih
memiliki fungsi sebagai pompa volume dibandingkan pompa tekanan. Ventrikel kanan
memiliki fungsi yang lebih baik dalam preload dibandingkan dengan afterload.
Denganadanya peningkatan afterload, ventrikel kanan akan meningkatkan tekanan sistolik
untuk menjaga gradient. Pada titik tertentu, peningkatan tekanan arteri pulmonal lebih
lanjutmenyebabkan dilatasi ventrikel kanan yang signifikan. Adanya penurunan output
ventrikel kanan dengan penurunan diastolik ventrikel kiri menyebabkan penurunan output
ventrikel kiri. Penurunan output ventrikel kiri menyebabkanpenurunan tekanan darah di aorta
dan menyebakan menurunnya aliran darah pada arterikoronaria termasuk arteri koronaria
kanan yang menyuplai darah ke dinding ventrikel kanan.Hal ini menjadi suatu lingkaran
setan antara penurunan output ventrikel kiri dan ventrikelkanan.
Gejala Klinis
11

Gejala kor pulmonal kronik muncul secara bertahap dalam jangka waktu lama. Pada pasien
dengan PPOK, gejala dapat tertutupi oleh adanya hiperinflasi dari paru. Kebanyakan pasien
awalnya memiliki gejala sesak nafas, yang semakin memberat ketika terjadi gagal jantung
kanan. Nyeri dada mungkin muncul dan sulit dibedakan dengan angina pectoris. Nyeri dada
terjadi karena iskemik ventrikel kanan. Beberapa gejala neurologis juga dapat timbul akibat
menurunnya curah jantung dan hipoksemia. Pada pasien dengan PPOK berat sering terjadi
orthopneu yang berhubungan dengan efek dari hiperinflasi paru pada venous return jantung
kanan. Pada tahap lanjut, dapat terjadi kongestif hepar sekunder karena kegagalan ventrikel
kanan menyebabkan anoreksia, rasa tidak nyaman pada perut kanan atas, serta kekuningan.
Peningkatan tekanan arteri pulmonalis dapat menyebabkan peningkatan tekanan vena perifer
dan tekanan kapiler. Dengan adanya peningkatan gradient tekanan hidrostatik mengakibatkan
terjadinya transudasi cairan yang terakumulasi menjadi edema perifer. Penurunan laju filtrasi
glomerulus (GFR) dan filtrasi natrium karena hipoksemia memainkan peran penting dalam
edema perifer pada pasien dengan kor pulmonal dengan peningkatan tekanan atrium kanan.
Gelombang sistolik pada parasternal kiri dapat menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel
kanan, dan bising regurgutasi tricuspid dapat menunjukkan adanya dilatasi ventrikel kanan
terdapat abnormalitas dinding dada, misalnya barrelchest. Terdapat ronkhi dan wheezing pada
paru.11
Tata Laksana
Terapi medis untuk kor pulmonal kronis umumnya difokuskan pada pengobatanpenyakit paru
yang mendasari dan meningkatkan oksigenasi serta fungsi ventrikel kanandengan
meningkatkan kontraktilitas ventrikel kanan dan mengurangi vasokonstriksipulmonal. Tujuan
pengobatan kor pulmonal pada PPOK ditinjau dari aspek jantung sama dengan pengobatan
kor pulmonal pada umumnya untuk: 1) Mengoptimalkan efisiensi pertukaran gas; 2)
Menurunkan hipertensi pulmonal; 3) Meningkatkan kelangsungan hidup; 4) Pengobatan
penyakit dasar dan komplikasinya.7
Pengobatan kor pulmonal dari aspek jantung bertujuan untuk menurunkan hiperensi
pulmonal, pengobatan gagal jantung kanan dan meningkatkan kelangsungan hidup. Untuk
tujuan tersebut pengobatan yang dapat dilaksanakan diiawali dengan menghentikan merokok
serta tatalaksana lanjut adalah sebagai berikut:7
1. Terapi oksigen
Mekanisme bagaimana terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup belum
diketahui. Ditemukan 2 hipotesis: 1) Terapi oksigen menguragi vasokontriksi dan
menurunkan resistensi vaskular paru yang kemudian meningkatkan isi sekuncup
12

ventrikel kanan; 2) Terapi oksigen meningkatkan kadar oksigen arteri dan


meningkatkan hantaran oksigen ke jantung, otak dan organ vital. Pemakaian oksigen
secara kontinyu selama 12 jam (National Institute of Health/NIH, Amerika); 15 jam
(British Medical Research Council/ MRC) dan 24 jam (NIH) meningkatkan
kelangsungan hidup dibandingkan dengan pasien tanpa terapi oksigen. Indikasi terapi
oksigen (di rumah) adalah: a) PaO2 < 55 mmHg atau SaO2 < 88%; b) PaO2 55-59
mmHg disertai salah satu dari: (b.1) Edema disebabkan gagal jantung kanan; (b.2) P
pulmonal ada EKG; (b.3) Ertrositosis hematokrit > 56%.
2. Vasodilator
Vasodilator (nitrat, hidralazin, antagonis kalsium, agonis alfa adregenik, inhibitor
ACE, dan prostaglandin) sampai saat ini belum direkomendasikan pemakaiaannya
secara rutin. Rubin menemukan pedoman untuk menggunakan vasodilator bila
didapatkan 4 respons hemodinamik sebagai berikut: a) resistensi vaskular paru
diturunkan minimal 20%; b) curah jantung meningkat atau tidak berubah; c) tekanan
arteri pulmonal menurunkan atau tidak berubah; d) tekanan darah sistemik tidak
berubah secara signifikan. Kemudian harus dievaluasi setelah 4 atau 5 bulan untuk
menilai apakah keuntungan hemodinamik di atas masih menetap atau tidak.
Pemakaian sildenafil untuk melebarkan pembuluh darah paru pada Primary
Pulmonarry Hypertetion, sedang ditunggu hassil penelitian untuk kor pulmonal
lengkap.
3. Digitalis
Digitalis hanya digunakan pada pasien kor pulmonal dengan disertai gagal jantung
kiri. Digitalis tidak terbukti meningkatkan fungsi ventrikel kanan pada kor pulmonal
dengan fungsi ventrikel kiri normal, hanya pada pasien kor pulmonal dengan ventrikel
kiri yang menurunkan digoksin bisa meningkatkan fungsi ventrikel kanan. Di
samping itu pengobatan dengan digitalis menunjukkan peningkatan terjadinya aritmia.
4. Deuretika
Diuretika diberikan bila ada gagal jantung kanan. Pemberian deuretika yang
berlebihan dapat menimbulkan alkalosis metabolik yang bisa memicu peningkatan
hiperkapnia. Di samping itu dengan terapi diuretik dapat terjadi kekurangan cairan
yang mengakibatkan preload ventrikel kanan dan curah jantung menurun.
5. Flebotomi
Tindakan flebotomi pada pasien kor pulmonal dengan hematokrit yang tinggi untuk
menurunkan hematokrit sampai dengan nilai 59% hanya merupakan terapi tambahan
pada pasein kor pulmonal dengan gagal jantung kanan akut.
6. Antikoagulan

13

Pemberian antikoagulan pada kor pulmonal didasarkann atas kemungkinan terjadinya


tromboemboli akibat perbesaran dan disfungsi ventrikel kanan dan adanya faktor
imobilisasi pada pasein.
Di samping terapi di atas, pasien kor pulmonal pada PPOK harus mendapat terapi standar
untuk PPOK, komplikasi dan penyakit penyerta.
Prognosis
Prognosis kor pulmonal bergantung pada patologi yang mendasarinya. Perkembangan kor
pulmonal sebagai hasil dari penyakit paru primer biasanya mempunyai prognosis yang lebih
buruk. Sebagai contoh, pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang
berkembang menjadi kor pulmonal memiliki kesempatan 30% untuk bertahan hidup 5 tahun,
namun apakah kor pulmonal memiliki nilai prognostik yang independen atau hanya
mencerminkan tingkat keparahan yang mendasari PPOK tersebut atau penyakit paru lainnya
masih belum jelas. Prognosis pada kasus akut karena emboli paru berat ataupun sindrom
gangguan pernapasan akut belum pernah terbukti bergantung pada ada atau tidaknya kor
pulmonal, namun dalam satu penelitian menunjukkan bahwa padakasus emboli paru, kor
pulmonal dapat menjadi prediktor kematian di rumah sakit. Parapeneliti telah mengumpulkan
data demografi, komorbiditas, dan data manifestasi klinis pada582 pasien rawat inap pada
unit gawat darurat maupun unit perawatan intensif dandidiagnosa menderita emboli paru.
Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa pada pasien emboli paru dengan hemodinamik
yang stabil faktor-faktor berikut dapat menjadi prediktor independen kematian di rumah sakit,
yaitu:7

Usia yang lebih tua dari 65 tahun


Istirahat total selama lebih dari 72 jam
Menderita kor pulmonal kronis
Sinus takikardia
Takipneu

Kesimpulan
Kor pulmonal didefinisikan sebagai perubahan dalam struktur dan fungsi dari ventrikel kanan
yang disebabkan oleh adanya gangguan primer dari sistem pernapasan. Hipertensi pulmonal
merupakan faktor penghubung tersering antara disfungsi paru-paru dan jantung dalam kor
pulmonal. Terapi oksigen dapat meningkatkan hemodinamik paru, kinerja ventrikel dan
kelangsungan hidup pada pasien PPOK hipoksia dengan kor pulmonal. Beta-2 agonis dan
teofilin memiliki fungsi sebagai bronkodilator dan mempunyai efek yang menguntungkan
14

pada kinerja ventrikel kanan dan hemodinamik sirkulasi paru. Vasodilator dapat
dipertimbangkan bila terapi konvensional seperti oksigen dan bronkodilator telah gagal untuk
membalikkanatau menghentikan perkembangan hipertensi arteri pulmonalis. Namun,
vasodilator dapat menghasilkan hipotensi sistemik sehingga menyebabkan kekacauan
pertukaran gas dan dapat kembali terjadi vasokonstriksi pulmonal hipoksia.
Daftar Pustaka
1. Setiyohadi B, Supartondo. Anamnesis. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta:
Interna Publishing; 2009. h.25-8.
2. Swartz MH. Buku ajar diagnostik fisik. Jakarta: EGC; 2009. h.161-5.
3. Burnside, John W. Physical diagnosis. Jakarta: EGC; 2007.226-37.
4. Sovari AA. Cor pulmonale: Overview of cor pulmonale management. Medscape. 2011.
Availabe at htttp://emedicine.medscape.com/article/154062-overview#showall.
5. Fedullo PF et all. Chronic thromboembolic pulmonary hypertention. Medscape. 2001;
345 (20): 1465-1472. Availabe at http://www.medscape.com/medline/absract/11794196
6. Goldhaber SZ. Pulmonary embolism. Dalam: Zipes, Libby, Bonow, et all. A textbook of
cardiovascular medicine. Edisi ke-7. Philadelphia: Elsevier saunders; 2005.h.1789-96.
7. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia; 2009.h1842-4.
8. Pakpahan HA. Elektrokardioagrafi ilustratif. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia;
2012. 51-7.
9. Purwohudoyo SS. Pemeriksaan kelainan-kelainan kardiovaskular dengan radiografi
polos. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia; 2009.h 111-2.
10. Price SA, Wilson LMW. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta:
EGC; 2006.h. 820-2.
11. Fedullo PF et all. Chronic thromboembolic pulmonary hypertention. Medscape. 2001;
345

(20):

1465-1472.

Availbale

at

http://www.medscape.com/medline/absract/11794196.

15

16

Anda mungkin juga menyukai