Anda di halaman 1dari 19

Asma Bronkial pada Anak

Robert Tupan U. A (102012335)


Dian Yulita Sarapang (102013212)
Gerald Stefano Nugroho (102016004)
Karlina Handayani (102016010)
Lucy Filipini Marissa S (102016070)
Yanfrin Taslim (102016111)
Margaretha Gonizales S (102016135)
Sarah Claudia Yosephine S (102016204)
Raz Arissa Nabilah Binti Razali (102016266)

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jl. Arjuna Utara No. 06, Jakarta Barat, 11510, Indonesia
Email: Karlina.2016fk010@civitas.ukrida.ac.id

Pendahuluan

Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran napas yang berhubungan dengan
peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang, sesak napas dan
batuk terutama pada malam atau dini hari. Gejala ini berhubungan dengan luas inflamasi,
menyebabkan obstruksi saluran napas yang bervariasi derajatnya dan bersifat reversibel secara
spontan maupun dengan pengobatan. Asma merupakan penyakit familier, diturunkan secara
poligenik dan multifaktorial. Telah ditemukan hubungan antara asma dan lokus
histokompatibilitas (HLA) dan tanda genetik pada molekul imunoglobulin E (IgE). Serangan
asma dapat berupa sesak nafas ekspiratori yang paroksismal, berulang-ulang dengan mengi
(wheezing) dan batuk yang disebabkan oleh konstriksi atau spasme otot bronkus, inflamasi
mukosa bronkus dan produksi lendir kental yang berlebihan. Gejala ini sering memburuk selama
tidur. Serangan asma adalah suatu perburukan akut dari gejala tersebut dan pada kasus berat,
serangan bisa mengancam jiwa sebab onset sering tiba-tiba dan tanpa peringatan.1

1
Anamnesis

Anamnesis yang dilakukan untuk asma pada pasien anak, dapat berupa allo-anamnesis
dimana pertanyaan-pertanyaan seputar asma ditanyakan pada ibu atau orang yang merawat anak.
Beberapa pertanyaan yang dapat ditanyakan seputar kasus asma pada anak, antara lain, ialah:

 Tanyakan mengenai batuk dan mengi yang dialami anak. Apa yang menjadi
pemicunya dan kapan biasanya terjadi (siang ataukah malam)?
 Berapa banyak akut eksaserbasi yang sudah timbul sejauh ini? Seberapa hebat
serangan asma yang paling buruk pada anak?
 Apakah serangan asma sudah mengganggu kehidupan si anak? Apakah hal ini
sudah membatasi aktivitasnya? Apakah anak sampai tidak sekolah karena hal ini?
 Seberapa sering anak menggunakan pengobatan reliever untuk asma? Seberapa
efektif reliever yang anak gunakan?
 Apakah ada gejala atopik lain selain asma seperti hay-fever (rhinitis alergik) atau
eksema atau apakah ada riwayat atopik pada keluarga?
 Apakah ditemukan dahak pada anak, kekakuan dada, batuk malam hari atau batuk
saat melakukan olahraga, napas anak yang pendek?
 Tanyakan mengenai pola gejala yang anak alami, apakah bersifat kontinu atau
hilang-kambuh, malam atau siang hari, onset dan durasi gejala?
 Bagaimana keadaan lingkungan rumah? Apakah memiliki hewan peliharaan?
Apakah ada karpet di rumah?
 Berapa umur anak ketika gejala ditemukan pertama kali? Bagaimana progresi
gejala, apakah membaik atau justru memburuk?
 Apakah ada penggunaan kortikosteroid oral?

 Riwayat keluarga harus ditanyakan dengan baik, mencakup riwayat asma, alergi,
sinustitis, rhinitis, eksema, atau polip hidung.2

Pemeriksaan Fisik

Sesak Napas (Dispnea)

2
Merupakan keluhan subjektif yang timbul bila ada perasaan tidak nyaman
gangguan/kesulitan lainnya saat bernapas yang tidak sebanding dengan tingkat aktivitas.
Serangan sesak napas akut yang berat merupakan kedaruratan medis karena keadaanini
menunjukkan adanya tension pneumothorax, asma, atau gagal jantung kiri akut.3

Inspeksi

 Ada/tidaknya lesi pada dada seperti spider naevi, scar, pelebaran vena-venasuperfisial
akibat bendungan vena dan sebagainya. 
 Menentukan jenis napas seperti torakal (tumor abdomen, peritonitis),abdominal (PPOK
lanjut) dan kombinasi seperti torakoabdominal padawanita sehat dan pria sehat
abdominaltorakal. Perhatikan pasien apakahmenggunakan otot-otot bantu pernapasan,
kalau ada biasanya pada pasienRBC paru lanjut atau PPOK. Lihat apakah ada paru yang
tertinggal? Kalauada berarti ada gangguan di daerah paru yang tertinggal.
 Warna tubuh, lihat adakah perubahan warna kulit seperti sianosis.
 Bentuk toraks antara lain; pectus excavatum (dada dan tulang sternum cekungke dalam),
pectus carinatum (dada dan tulang sterum menonjol ke depan),barrel chest (diameter
anteroposterior membesar) sedangkan posteriorperhatikan apakah berbentuk kifosis atau
skoliosis. 
 Pola pernapasan pasien; normal (iramanya teratur silih berganti inspirasi atauekspirasi)
dan abnormal seperti takipnea (napas cepat dan dangkal),hiperventilasi (napas cepat dan
dalam), bradipnea (napas lambat) dansebagainya.

Palpasi

 Palpasi statis dilakukan untuk pemeriksaan kelenjar getah bening (tempatpredileksi


tumbuh tumor), posisi mediastinum(menentukan trakea dan denyut apeks berada dalam
posisi normal), dan palpasi dengan jari kedaerah dada depan (untuk mengetahui ada
tumor, nyeri tekan padadinding dada, krepitasi akibat emfisema subkutis dan lain-lain).
Padapneumotorak ada pembengkakan dan krepitasi pada pada kulit tersebutsaat di
palpasi.
 Palpasi dinamisyaitu :

3
- Pemeriksaan ekspansi paru yang normal adalah kedua sisi dadaharus sama-sama
terangkat dan mengembang selama inspirasimaksimal.
- Pemeriksaan vokal fremitus, meletakkan kedua telapak tangan pada permukaan
dinding dada lalu minta pasien menyebutkan 77 atau 99 dan rasakan getarannya.
Dilaporkan sebagai normal,melemah(hidrotorak, atelektasis) dan
mengeras(pneumonia, TBCaktif).
Perkusi

Melakukan pengetukan pada dada dengan jari dan mendengarkan bunyiketukan yaitu:
sonor(paru normal), hipersonor (pneumotorak, emfisema, bulayang besar), redup (pneumonia,
efusi pleura sedang), pekak(tumor paru,efusipleura masif) dan timpani (lambung). Pengetukan
bergantian secara zig-zag(kanan-kiri).

Auskultasi

Bunyi pernapasan terdengar pada hampir seluruh lapangan paru. Bunyi pernapasan terdiri
dari fase inspirasi diikuti dengan fase ekspirasi. Ada 4 macam bunyi pernapasan abnormal, yaitu:

 Bunyi pernapasan trakeal, adalah bunyi yang sangat kasar, keras dan dengan nada tinggi
yang terdengar pada bagian trakea ekstratoraks.
 Bunyi pernapasan bronkial, adalah bunyi yang keras, dengan tinggi nada tinggi, seperti
udara mengalir melalui pipa. Komponen ekspirasinya lebih keras dan lebih lama
ketimbang komponen inspirasi.
 Bunyi pernapasan bronkovesikuler, adalah campuran bunyi bronkial dan bunyi vesikuler.
Komponen inspirasi dan ekspirasinya sama panjang.
 Bunyi pernapasan vesikuler, adalah bunyi lemah dengan tinggi nada rendah yang
terdengar diatas kebanyakan lapangan paru. Komponen inspirasinya jauh lebih panjang
ketimbang komponen ekspirasi, yang jauh lebih lemah dan seringkali tidak terdengar.4
Pemeriksaan Penunjang

Berdasarkan guideline National Asthma Education and Prevention Program, spirometri


masih menjadi pengukuran objektif dan penting untuk mendukung diagnosis asma. Hitung
eosinofil dan kadar IgE dapat berguna ketika dicurigai adanya faktor allergik. Tes provokasi

4
bornkial dapat dilakukan untuk mendiagnosis adanya bronchial hyperresponsiveness (BHR). Tes
ini terutama dilakukan pada laboratorium yang sudah terspesialisasi dengan personel yang sudah
terlatih untuk mendokumentasikan hiperresponsivitas jalur napas terhadap berbagai macam
substansi. Untuk lebih jelasnya, mari kita deskripsikan satu-persatu pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan:

 Uji faal paru merupakan pemeriksaan faal paru terutama sangat berguna untuk menilai
asma meliputi diagnosis dan pengelolaannya. Uji faal paru ini dapat dilakukan untuk
menentukan derajat obstruksi, menilai hasil provokasi bronkus, menilai hasil pengobatan,
dan mengikuti perjalanan penyakit. Pemeriksaan faal paru yang penting pada asmaialah
PEFR, FEV1, PVC, FEV1/PVC. Uji faal paru tidak selamanya mudah dilakukan,
pemeriksaan dapat sangat sulit untuk dilaksanakan pada anak usia di bawah 5-6 tahun.
Peak flow meter ialah salah satu yang paling sederhana, sedangkan spirometri dapat
memberikan data yang lebih lengkap. Volume kapasitas paksa atau FVC, aliran puncak
ekspirasi atau PEFR, dan rasio FEV1/FVC, dapat berkurang > 15% dari nilai normal.
Inflasi yang berlebihan dapat terlihat dengan meningginya isi total paru atau TLC, isi
kapasitasi residu fungsional, dan isi residu. Uji provokasi bronkus dilakukan bila
diagnosis masih diragukan, tujuannya ialah untuk menunjukkan adanya hiperreaktivitas
bronkus. Uji provokasi bronkus dapat dilakukan dengan histamin, melancholin, dan
beban lari. Hiperraktivitas positif apabila PEFR, FEV1 turun > 15% dari nilai sebelum uji
provokasi dan setelah diberi bronkodilator maka akan kembali normal. Bila PEFR dan
FEV1 sudah rendah dan setelah diberi bronkodilator naik > 15% berarti hiperreaktivitas
positif dan tidak perlu dilakukan uji provokasi. FEF 25-75 (berkurangnya forced
expiratory flow lebih dari 25-75% dari FVC) ialah indikator yang sensitif terhadap
obstruksi dan bisa menjadi satu-satunya abnormalitas pada anak dengan gejala yang
ringan. Pasien dengan asma kronik persisten dapat menunjukkan adanya hiperinflasi,
dengan adanya peningkatan TLC pada plethysmography. Peningkatan RV (residual
volume) dan FRC (functional residual capacity) dengan TLC yang normal menunjukkan
adanya air-trapping.
 Exercise challenge, Pada pasien dengan gejala asma yang diinduksi oleh olahraga, dapat
diberikan jenis pemeriksaan ini. Pasien yang cocok untuk pemeriksaan ini ialah pasien
yang biasanya berusia di atas 6 tahun, dengan prosedur pemeriksaan melibatkan
5
spirometri diikuti dengan treadmill atau bersepeda dan kemudian dilakukan monitoring
dari EKG dan saturasi oksihemoglobin. Pasien diharuskan bernapas pada udara yang
dingin dan kering selama olahraga untuk meningkatkan keberhasilan studi. Temuan
spirografik dan PEFR kemudian ditentukan secepatnya setelah pasien melakukan
exercise dan pada menit ke-3, menit ke-5, menit ke-10, menit ke-15, dan menit ke-20
setelah pengukuran pertama kali. Penurunan maksimal dari fungsi paru dihitung dengan
menggunakan nilai post-exercise yang terendah dan nilai pre-exercise yang tertinggi.
 Foto rontgen toraks dan CT scan, Pada pemeriksaan rontgen toraks dapat ditemukan
gambaran hiperinflasi pada serangan akut dan serangan kronik. Gambaran atelektasis
juga sering ditemukan. Foto ini dibuat untuk menyingkirkan adanya kemungkinan
penyakit lain pada anak. Foto perlu diulang bila ada indikasi anak menderita pneumonia
atau pneumothoraks. Foto ini dapat pula dibuat untuk membantu diagnosis dari
komplikasi asma yang memberi respon buruk terhadap terapi, seperti pada kejadian
pneumotoraks dan pneumomediastinum. Pertimbangkan untuk melakukan radiografi
sinus dan CT scan untuk menyingkirkan sinusitis.
 Pemeriksaan darah dan eosinofil, Pemeriksaan kadar eosinofil dalam darah, sekret hidung
dan dahak dapat menunjang diagnosis asma. Eosinofil dapat ditemukan pada darah tepi,
sekret hidung, dan sputum. Pada sputum dapat ditemukan kristal Charcot-Leyden dan
spiral Curshman. Bila ada infeksi mungkin akan didapatkan pula leukositosis PMN.
 Uji alergi, dilakukan untuk mengidentifikasi faktor alergik yang mungkin berperan dalam
menimbulkan asma. Ketika sudah ditemukan hasilnya (seperti tungau debu, kecoa,
serbuk sari,dsb) maka dapat segera dilakukan tindakan untuk menghindari alergen
spesifik untuk mengurangi gejala asmanya. Pemeriksaan yang dapat dilakukan ialah uji
kulit alergi yang dilakukan dengan cara goresan atau tusuk. Alergen yang digunakan
ialah alergen yang banyak ditemukan di daerah pasien. Kedua cara uji kulit alergi dapat
memberikan hasil positif palsu dalam persentasi kecil dan mempunya korelasi yang baik
dengan IgE yang beredar. Reaksi ini dapat ditekan dengan pemberian anti-histamin.
Selain uji kulit alergi, dapat pula dilakukan pemeriksaan IgE untuk memperkuat
diagnosis, walaupun diagnosis sudah dapat dibuat bila ditemukan adanya batuk malam
yang menetap dan cepat menghilang dengan bronkodilator. Uji alergi kulit berguna untuk
menunjukkan alergen yang potensial sebagai pencetus.2,5

6
Differential Diagnosis

Bronkitis akut dan kronik

Bronkitis pada anak dapat merupakan bagian dari penyakit saluran pernapasan lain namun
dapat pula berdiri sendiri sebagai penyakit tersendiri. Bronkitis dapat berupa bronkitis akut
maupun bronkitis kronis. Bronkitis kronis sendiri bukan merupakan bentuk berkelanjutan dari
bronkitis akut sehingga kedua jenis bronkitis ini sejatinya merupakan 2 jenis yang sepenuhnya
berbeda. Definisi untuk bronkitis kronis anak yang belum ada, menyulitkan berbagai macam
pihak dan menimbulkan kesimpang-siuran apakah bronkitis kronis benar ada atau hanya
merupakan bagian dari penyakit saluran pernapasan lain.

 Bronkitis akut pada anak biasanya bersamaan dengan trakeitis yang merupakan penyakit
infeksi saluran napas akut bawah yang sering dijumpai dengan penyebabnya terutama
virus. Gejala batuk ialah gejala yang sering ditemukan dan berhubungan dengan infeksi
saluran napas akut yang menunjukkan adanya peradangan yang meliputi juga laring,
trakea dan bronkus. Pada bronkitis akut anak, penyebab terseringnya ialah virus misalnya
Rhinovirus, RSV, Influenza virus, Adenovirus dan Coxsackie virus. Bronkitis akut jarang
disebabkan oleh bakteri pada anak-anak yang sehat dan biasanya ada riwayat infeksi
saluran pernapasan yang mendahuluinya. Infeksi bakteri sekunder dengan ditemukannya
bakteri jenis Streptococcus pneumoniae, Moraxella catarrhalis, atau Haemophilus
influenza dapat terjadi. Manifestasi klinis bronkitis akut: batuk yang sering, kering,
pendek, tidak produktif, dan timbul relatif bertahap, mulai 3-4 hari sesudah munculnya
rhinitis. Ketika penyakit bertambah buruk, penderita dapat terganggu oleh suara siulan
selama respirasi (mungkin ronki), nyeri dada terutama rasa sakit pada retrosternal, dan
kadang-kadang oleh napas pendek. Batuk paroksismal atau rasa mencekik dapat terjadi
disertai dengan muntah dikarenakan sekresi berlebihan. Dalam beberapa hari, batuk
menjadi produktif, dan sputum yang semula jernih berubah menjadi purulen. Sputum
yang mukoid kental sering tidak terlihat karena tertelan. Biasa dalam 5-10 hari, mukus
akan kembali menjadi encerdan batuk menghilang secara bertahap. Badan akan terasa
malaise disertai sakit yang masih dapat berlanjut sampai 1 minggu atau lebih. Mulanya,
anak tidak demam atau demam ringan dan ada tanda-tanda nasofaringitis, infeksi
konjungtiva dan rhinitis. Pada auskultasi akan terdengar suara pernapasan kasar, ronki

7
basah kasar dan halus, ronki yang dapat bernada tinggi, menyerupai mengi pada asma.
Batuk pada bronkitis akut dapat hilang setelah satu atau dua minggu. Mengi dapat terjadi
pada penderita bronkitis akut.5,6

 Bronkitis kronik dapat terjadi akibat inflamasi dan degenerasi saluran bronkial yang
terus-menerus dan diasosiasikan dengan infeksi yang aktif. Proses iritasi yang terus-
menerus pada saluran bronkial ini dapat terjadi akibat adanya penyakit paru lain,
dikarenakan asma (hipereaktivitas saluran napas), defisiensi imun, kelainan anatomi, bisa
pula dikarenakan polutan di udara yang berlebihan. Pada anak dengan bronkitis kronis
dapat ditemukan gambaran penebalan dinding bronkus, hipertrofi kelenjar mukosa,
hipetrofi sel goblet, epitel mengalami metaplasi skuamosa dan inflasi kronik. Pasien anak
dengan bronkitis kronis biasanya memiliki mukus yang lebih dari normal dikarenakan
produksi yang berlebihan atau bisa juga dikarenakan proses pembersihan atau clearance
yang berkurang. Oleh karena terkumpulnya mukus ini, maka seringkali pada pasien
bronkitis kronis bergejala sebagai batuk-batuk yang lama dan berulang dapat berlangsung
selama 1 bulan dengan batuk bersifat produktif dan dapat disertai dengan wheezing.
Bronkitis kronis harus dapat dibedakan dengan asma, dikarenakan kedua jenis penyakit
ini yang memiliki tampilan fisik kurang lebih mirip dan pada sekitar 74% anak yang
mengalami bronkitis kronis dapat ditemukan adanya mengi. Namun, perlu diingat bahwa
mengi bukanlah gejala yang spesifik untuk satu jenis penyakit dikarenakan mengi dapat
terjadi sebagai akibat dari penyempitan saluran napas. Manifestasi klinis bronkitis kronis:
utamanya ialah batuk baik dengan atau tanpa riak. Anak juga dapat mengeluh nyeri dada
dan secara khas, gejala-gejala ini akan memburuk di malam hari. Mengi juga dapat
timbul, dan tanda-tanda fisik kurang lebih serupa dengan bronkitis akut. Beberapa
penderita batuk mengeluarkan silinder-silinder mukoid besar, padat dan hipereosinofilik
dari jalan napasnya, menimbulkan istilah bronkitis plastik.5,6

Working Diagnosis

Asma bronkial

Asma bronkial adalah penyakit saluran nafas yang ditandai oleh serangan mendadak
dyspnea, batuk, serta mengi(bunyi patologis). Serangan asma ini dapat berlangsung singkat dan
8
ringan atau berat dan berlangsung selama berhari-hari. Penyakit ini dapat diklasifikasikan dalam
dua kelompok besar, yaitu asma alergik dan non alergik. Asma alergik adalah suatu penyakit
alergi seperti rhinitis, urtikaria, dan eczema. Pasien yang berusia muda umumnya cenderung
memiliki komponen alergi yang kuat yang biasanya didasari dengan adanya riwayat atopik pada
keluarga. Diferensiasi sel-T pada pasien penyakit ini memacu produksi berlebihan dari sel tipe
TH2 serta IgE dan respon imun yang didominasi eosinofil. Sedangkan asma non alergik tidak
memperlihatkan riwayat alergi. Pasien yang berusia tua umunya cenderung menderita penyakit
ini atau memiliki etiologi campuran. Biasanya adanya infeksi saluran nafas yang mencetus
aktifnya peran IgE. Asma alergik merupakan suatu penyakit yang paling sering ditemukan,
biasanya dicetus oleh debu serbuk sari dan makanan. Sedangkan asma non alergik biasanya ini
biasanya suatu penyakit berkelanjutan atau sekunder karena pernah diderita saat masih berusia
muda dan mengalami relaps atau lebih dipengaruhi oleh genetik.7
Penilaian derajat asma berdasarkan frekuensi:

 Asma episodik jarang umum terjadi pada anak berumur 3-6 tahun. Serangan umumnya
dicetuskan oleh infeksi virus saluran napas atas. Banyaknya serangan dapat sampai 3-4
kali dalam satu tahun. Lamanya serangan dapat sampai beberapa hari dan jarang
merupakan serangan yang berat. Gejala-gejala yang timbul lebih menonjol pada malam
hari. Mengi atau wheezing dapat berlangsung sekitar 3-4 hari, sedangkan batuk-batuknya
dapat berlangsung selama 10-14 hari. Manifestasi alergi lainnya misalnya eksim jarang
ditemukan pada kelompok ini. Waktu remisi berminggu-minggu sampai berbulan-bulan.
Golongan ini merupakan 70-75% dari populasi asma anak. Asma episodik jarang cukup
diobati dengan obat pereda (reliever) berupa bronkodilator α-agonis inhalasi kerja pendek
(short acting α-2 agonist, SABA).
 Asma episodik sering sekitar dua pertiga golongan ini, mendapat serangan pertama pada
umur sebelum 3 tahun. Mulanya, serangan berkaitan dengan adanya infeksi saluran napas
akut. Pada umur 5-6 tahun dapat terjadi serangan tanpa infeksi yang jelas. Biasanya,
golongan asma ini dikaitkan oleh orang tua sebagai asma yang timbul akibat perubahan
udara, alergen, aktivitas fisik dan stres. Banyaknya serangan sebanyak 3-4 kali dalam
waktu satu tahun dan tiap kali serangan bertahan mulai dari beberapa hari sampai
beberapa minggu. Frekuensi serangan tertinggi ditemukan pada kelompok usia 8-13
tahun. Umumnya, gejala paling buruk ialah mengi dan batuk yang terjadi pada malam
9
hari dan seringkali mengganggu tidur anak. Hay fever dapat ditemukan pada golongan
ini, begitu pula dengan eksim tetapi lebih jarang dibandingkan dengan anak dengan asma
kronik atau persisten. Golongan ini merupakan 20% populasi asma anak, dan pada
golongan ini jarang ditemukan gangguan pertumbuhan. Jika penggunaan β-agonis
inhalasi sudah lebih dari 3 kali perminggu, atau serangan sedang/berat terjadi lebih dari
sekali dalam sebulan, maka sudah ada indikasi untuk penggunaan anti-inflamasi sebagai
pengendali. Menurut revisi terakhir, steroid inhalasi dosis rendah dapat digunakan
sebagai anti-inflamasi untuk tahap pertama. Steroid inhalasi yang dapat digunakan ialah
budesonid dengan dosis rendah, yaitu setara 100-200 ug/hari untuk anak di bawah 12
tahun dan dosis 200-400 ug/hari untuk anak berusia di atas 12 tahun. Hal ini
diperuntukkan untuk jenis asma episodik sering.
 Asma kronik atau persisteen pada 25% golongan ini serangan pertama terjadi sebelum
usia 6 bulan dan sisanya sebelum umur 3 tahun. Lima puluh persen anak dapat ditemukan
mengi yang lama pada 2 tahun pertama dan pada 50% sisanya serangannya episodik.
Pada umur 5-6 tahun akan lebih jelas terjadinya obstruksi saluran napas yang persisten
dan hampir selalu ditemukan mengi setiap hari. Pada malam hari, anak sering terganggu
oleh mengi dan batuknya. Aktivitas fisik seringkali menyebabkan mengi. Dari waktu ke
waktu, terjadi serangan yang berat dan seringkali menyebabkan anak harus dirawat di
rumah sakit. Obstruksi jalur napas mencapai puncaknya pada umur 8-14 tahun. Pada usia
dewasa, sekitar 50% dari golongan ini tetap menderita asma persisten atau sering. Pada
pemeriksaan fisik jarang normal, ditemukan adanya pigeon chest, barrel chest, dan
adanya sulkus Harrison. Pada kelompok ini, dapat ditemukanya adanya gangguan
pertumbuhan pada anak. Anak seringkali tidak dapat melakukan aktivitas fisik, demikian
pula anak jadi jarang masuk sekolah sehingga anak mengalami penurunan prestasi.5,8

Manifestasi klinis umum asma wheezing, batuk, batuk pada malam hari atau dengan olahraga,
napas yang pendek, kekakuan dada dan produksi sputum. Wheezing atau mengi ialah bunyi
napas yang musikal, bernada tingi, dengan suara siulan yang dihasilkan oleh karena aliran udara
yang tidak lagi laminar melainkan turbulen. Dalam bentuk yang pling ringan, mengi hanya
didengar pada akhir ekspirasi. Seiring dengan meningkatnya keparahan, mengi dapat terus
berlangsung selama ekspirasi, dan pada episode asma yang parah, mengi dapat ada saat inspirasi.
Selama episode asma yang parah, mengi dapat hilang atau tidak ada dikarenakan keterbatasan

10
aliran udara yang parah dengan penyempitan jalur napas dan kelelahan dari otot-otot pernapasan.
Asma dapat pula timbul tanpa adanya mengi apabila obstruksi secara predominan melibatkan
jalur napas kecil, sehingga mengi tidak dibutuhkan sebagai petanda diagnostik. Lebih jauh,
mengi dapat pula dikaitkan dengan obstruksi jalur napas karena sebab lain seperti pada kistik
fibrosis dan gagal jantung. Batuk, dapat menjadi satu-satunya gejala pada asma, khususnya pada
kasus asma nokturnal atau asma yang dipengaruhi oleh kegiatan olahraga. Biasanya batuk
bersifat non-produktif dan non-paroksismal. Batuk dapat disertai dengan mengi. Anak dengan
asma nokturnal lebih sering mengalami batuk setelah tengah malam.2

Etiologi

Hingga saat ini, etiologi untuk asma masih belum jelas, dan pada sebagian besar kasus,
dikenali adanya beberapa pemicu asma. Walau begitu, diduga yang memegang peranan utama
ialah reaksi berlebihan dari trakea dan bronkus (hiperreaktivitas bronkus) yang menyebabkan
spasme pada bronkus. Penyebab asma yang bermacam-macam menyebabkan asma disebut
sebagai penyakit yang multifaktorial. Beberapa hal yang dapat menjadi etiologi asma, antara
lain:

 Infeksi saluran napas, paling umum terjadi ialah dikarenakan infeksi oleh virus, pada
beberapa pasien dapat pula disebabkan oleh jamur, bakteri atau parasit. Sebagian besar
bayi dan anak kecil yang mengalami mengi persisten dan asma memiliki kadar IgE yang
tinggi akibat produksinya dan respon imun berupa eosinofil di dalam saluran napasnya
akibat infeksi saluran napas atas oleh sebaba virus. Mereka juga memiliki respon terlalu
dini yang diperantarai oleh IgE terhadap alergen yang tersebar di udara.
 Alergen dan iritan, pada pasien asma, terhadap 2 tipe respon bronkokonstriktor terhadap
alergen yaitu respon dini dan respon lanjut. Respon dini berupa respon yang diperantarai
oleh IgE yang dilepas oleh sel mast di dalam menit-menit setelah pajanan dan
berlangsung selama 20-30 menit. Respon lanjut asma baru terjadi dalam 4-12 jam setelah
pajanan terhadap antigen dan berujung pada gejala yang lebih berat, umumnya bertahan
selama beberapa jam. Alergen dapat berupa makanan, tungau debu, alergen pada kecoa,
alergen pada ngengat, serbuk sari, dsb. Asap rokok, udara dingin, parfum, bau cat, -
hairspray dan polutan lain di udara dapat menyebabkan BHR dengan menginduksi
inflamasi.

11
 Hiperreaktivitas bronkus, pada pasien asma yang disebabkan oleh hiperreaktivitas
bronkus, diduga adanya hambatan sebagian sistem adrenergik, kurangnya enzim adenil
siklase, dan meningginya tonus sistem parasimpatis, menyebabkan mudahnya terjadi
kelebihan tonus parasimpatik bila ada rangsangan tertentu yang akan menimbulkan
spasme bronkus. Asma oleh karena hipereaktivitas bronkus tampaknya diturunkan secara
poligenik. Alergi atau atopi juga diturunkan secara genetik tapi hingga saat ini masih
belum dapat dipastikan bagaimana caranya.2,5

Epidemiologi

Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur pasien,
status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan. Pada masa kanak-kanak ditemukan
prevalensi anak laki berbanding anak perempuan 2:1, tetapi menjelang dewasa perbandingan
tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak daripada laki-
laki. Umumnya prevalensi asma anak lebih tinggi dari dewasa, tetapi adapula yang melaporkan
prevalensi dewasa lebih tinggi dari anak. Angka ini juga berbeda-beda antara satu kota dengan
kota yang lain di negara yang sama. Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5-7%.9

Patofisiologi

Serangan asma akut terutama disebabkan oleh obstruksi jalan napas secara luas yang
merupakan kombinasi dari beberapa kejadian, yaitu spasme otot polos bronkus, edem mukosa
karena sumbatan mukus dan inflamasi saluran napas. Sumbatan jalan napas ini terjadi tidak
merata di seluruh paru. Atelektasis segmental maupun sub-segmental dapat dijumpai. Obstruksi
jalan napas ini selanjutnya menyebabkan tahanan jalan napas meningkat, berkurangnya
expiratory flow rates,air-trapping¸ dan distensi paru yang berlebihan atau disebut pula
hiperinflasi akibat kemampuan paru-paru untuk mengeluarkan udara yang kian berkurang.
Perubahan tahanan jalan napas yang tidak merata ini akan menyebabkan tidak berpadu-padannya
ventilasi dengan perfusi (ventilation-perfusion mismatch).
Hiperinflasi paru akan menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga akan terjadi
peningkatan kerja pernapasan. Hiperinflasi ini sekaligus merupakan suatu mekanisme
kompensasi terhadap obstruksi jalan napas, tapi kompensasi ini hanya terbatas ketika tidal
volume mencapai volume of pulmonary dead space, maka hasilnya akan terjadi hipoventilasi

12
alveolar. Peningkatan tekanan intrapulmonal yang diperlukan untuk ekspirasi melalui saluran
napas yang menyempit, dapat makin mempersempit atau menyebabkan penutupan dini saluran
napas sehingga menyebabkan risiko terjadinya pneumotoraks. Peningkatan tekanan intratorakal
dapat pula mempengaruhi arus balik vena dan mengurangi curah jantung yang selanjutnya akan
bermanifestasi sebagai pulsus paradoksus. Ventilasi dan perfusi yang tidak saling padu-padan,
hipoventilasi alveolar, dan peningkatan kerja napas akan menyebabkan adanya perubahan pada
gas darah. Pada awal serangan, untuk mengkompensasi keadaan hipoksia, maka anak akan
mengalami hiperventilasi sehingga kadar PCO2 akan turun dan dijumpai alkalosis respiratorik.
Selanjutnya pada obstruksi jalan napas yang berat akan terjadi kelelahan otot-otot pernapasan
dan hipoventilasi alveolar yang berakibat terjadinya hiperkapnia dan asidosis respiratorik.
Karena itu ketika dijumpai adanya peningkatan kadar PCO 2 walaupun nilai naiknya masih dalam
rentang normal, harus dicurigai sebagai tanda kelelahan dan ancaman gagal napas. Selain itu,
dapat pula terjadi asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan dan produksi laktat oleh otot polos
napas dan masukan kalori yang kurang. Keadaan hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan
vasokonstriksi pulmonal sebagai respons adaptif terhadap ventilasi-perfusi yang tidak padu
padan namun jarang terjadi komplikasi cor pulmonale. Hipoksia dan vasokonstriksi ini dapat
merusak sel alveolar sehingga produksi surfaktan akan berkurang atau bahkan tidak ada,
sehingga meningkatkan kecenderungan terjadinya atelektasis.2,10

Tatalaksana

Untuk anak, mencegah pertumbuhan terhambat dan menyediakan pengobatan


farmakologis yang optimal dengan tanpa efek samping atau efek samping seminimal mungkin
ialah hal penting. Goal untuk terapi jangka panjang ialah untuk mencegah eksaserbasi akut.
Pasien harus menghindari pajanan terhadap allergen dan iritan di lingkungan yang dicurigai.
Dalam tatalaksana dikenal ada 2 jenis obat asma, yaitu obat asma sebagai pereda atau reliever
dan obat asma sebagai pengendali atau controller. Obat pereda atau pelega ialah obat yang
digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul, dan apabila gejala
sudah reda maka obat ini tidak digunakan lagi. Lain halnya dengan jenis obat pengendali yang
sering disebut sebagai obat pencegah atau profilaksis yang digunakan untuk mengatasi masalah
dasar asma yaitu inflamasi respiratorik kronik. Obat ini perlu diberikan terus-menerus untuk
jangka waktu yang lama.5

13
Farmakologi

 Bronkodilator, Beta2-Agonis Obat-obatan jenis ini digunakan untuk menangani


bronkospasme pada episode akut asma dan untuk mencegah bronkospasme pada asma
yang diinduksi oleh kegiatan fisik atau asma nokturnal. Beberapa studi menunjukkan
bahwa SABA, seperti albuterol dapat memberikan efek samping seperti penurunan peak
flow dan peningkatan risiko eksaserbasi. Obat jenis, seperti:
- Albuterol sulfat (Ventolin HFA), Beta2-agonis ini merupakan sediaan obat yang
umum digunakan sebagai bronkodilator yang tersedia dalam berbagai bentuk, seperti
cairan untuk nebulisasi, MDI, dan sediaan oral solution. Obat ini merupakan obat
yang paling sering digunakan untuk terapi penyelamat untuk gejala asma akut. Pada
sediaan inhaler, anak > 4 tahun dosis sama seperti dewasa, sebaiknya 1-2 inhalasi per
oral (200 µg) tiap 4-6 jam, pada sediaan nebulizer untuk anak < 2 tahun dosis 0,2-0,6
mg/kg/hari dibagi tiap 4-6 jam, untuk anak usia 2-12 tahun >15 kg, dosis 0,63-2,5 mg
3/sehari atau 2x/sehari.
- Long-acting beta2-agonists atau LABA, Jenis obat-obat ini merupakan jenis
bronkodilator dengan masa kerja yang lama dan tidak digunakan untuk perawatan
bronkospasme yang berlangsung akut. Obat-obatan kelompok ini terutama digunakan
sebagai terapi preventif untuk asma nokturnal dan asma yang diinduksi oleh aktivitas
fisik. Obat-obat LABA tidak dianjurkan untuk terapi lini pertama untuk asma, dan
baru digunakan apabila obat-obatan lain tidak dapat mengendalikan asma. Salah satu
obat kelompok ini ialah:
- Salmeterol (Serevent Diskus), Obat kelompok LABA ini digunakan secara primer
untuk menangani gejala asma nokturnal dan asma yang diinduksi oleh olahraga. Obat
ini tidak punya aktivitas anti-inflamasi dan tidak diindikasikan untuk episode
bronkospasme akut. Dapat digunakan sebagai obat tambahan di samping
kortikosteroid inhalasi untuk mengurangi efek samping potensiakl kortikosteroid.
Penggunaan obat dengan DPI Diskus (Dry Powder Inhaler). Perlu diperhatikan
bahwa obat ini dapat meningkatkan kematian akibat asma, oleh karena itu obat ini
hanya digunakan sebagai terapi tambahan, apabila pengendalian asma sudah tercapai
maka LABA harus segara diberhentikan penggunaannya.

14
- Methylxantine, Obat-obatan kelompok ini digunakan untuk kendali jangka panjang
asma dan mencegah gejala asma, terutama gejala malam hari. Jenis obat ini ialah
- Teofilin (Theo-24, Theochron), tersedia dalam 2 bentuk, yaitu bentuk short-acting
dan bentuk long-acting. Penggunaan obat ini mengharuskan penderita untuk
memonitor konsentrasi obat dalam serum, oleh karena itu obat ini tidak digunakan
terlalu sering. Teofilin standard, dosis 5-6 mg/kgBB tiap 6 jam per oral, dosis
maksimal 200 mg, teofilin slow-release atau TSR, dosis 8-10 mg/kgBB tiap 12 jam
per oral, dosis maksimal 500 mg.
- Kortikosteroid inhalasi, Steroid ialah agen anti-inflamasi yang paling poten. Bentuk
inhalasi aktif secara topikal, absorpsinya buruk dan lebih jarang menimbulkan efek
samping. Sediaan obat ini terutama digunakan untuk pengendalian jangka panjang
gejala dan untuk menekan proses inflamasi. Bentuk inhalasi mengurangi penggunaan
bentuk sistemik. Steroid inhalasi menghalangi respon lanjut dari asma terhadap
alergen, mengurangi hiperresponsivitas jalur napas, menghambat produksi sitokin dan
aktivasi migrasi sel yang menyebabkan inflamasi. Salah satu contohnya ialah:
Budesonid inhalasi (Pulmicort Flexhaler) Bentuk aerosol 2-4 semprotan (100-200 µg)
3-4 kali sehari
- Kortikosteroid sistemik, Obat-obatan kelompok ini hanya digunakan jangka pendek
sekitar 3-10 hari untuk mengontrol asma akut yang tidak dapat terkontrol. Obat
kelompok ini juga digunakan untuk pencegahan jangka panjang gejala pada asma
persisten yang parah. Selain itu, tujuan diberikan obat ini ialah untuk menekan, dan
mengontrol proses inflamasi. Salah satu contohnya, ialah: Prednison (Deltason,
Orason) Oral: 1-2 mg/kgBB/hari 3-4 kali sehari
- Antibodi monoclonal, Agen ini akan berikatan secara selektif pada IgE di permukaan
sel mast dan basofil. Contohnya ialah: Omalizumab (Xolair) Omalizumab ialah
antibodi monoklonal IgG rekombinan dari turunan DNA yang akan berikatan secara
selektif dengan IgE manusia di permukaan sel mast dan basofil. Bertujuan untuk
mengurangi pelepasan mediator yang merupakan penyebab respon alergik. Agen ini
diberikan untuk asma persisten sedang hingga parah yang gejalanya tidak dapat
dikontrol dengan steroid inhalasi

15
- Obat antikolinergik, Obat ini dapat ditambahkan bersamaan dengan beta2-agonis
untuk perawatan akut eksaserbasi asma. Salah satu contohnya ialah: Ipratropium
bromida (Atrovent) Secara kimia berkaitan dengan atropin, protropium memiliki
bagian antisekretori yang berfungsi untuk menghambat sekresi kelenjar serosa dan
seromukosa yang membatasi mukosa hidung. Menurut beberapa peneliti, pemberian
anti-kolinergik bersama dengan beta2-agonis memberikan hasil yang cukup baik,
terdapat perbedaan yang bermakna dalam hal jumlah pasien yang dirawat,
peningkatan fungsi paru, dan perbaikan klinis pada pasien yang diberikan beta2-
agonis bersamaan dengan anti-kolinergik. Namun penggunaan ini hanya terbatas pada
serangan yang berat saja. Terdapat sediaan MDI, yang menyemprotkan 17mcg/tiap
semprot. Cairan untuk inhalasi mengandung 500 mcg/2,5 mL.2,5,10

Non-farmakologi

Tatalaksana non-farmakologi pada penderita asma tidak jauh berbeda dengan tindakan
preventif asma, tatalaksana ditekankan pada edukasi, edukasi pasien terutama ditujukan kepada
pasien dan orang tua pasien untuk mengetahui cara-cara penggunaan obat-obatan asma. Selain
itu diberikan edukasi pula pada orang tua pasien untuk segera mengetahui tanda-tanda awal anak
akan mengalami serangan asma dan pemberian bronkodilator yang cepat dan tepat ketika
serangan terjadi. Selain memberika edukasi, penting pula untuk mengendalikan faktor
lingkungan sekitar dan kondisi yang dapat menjadi ko-morbiditas asma. Pajanan lingkungan dan
iritan memainkan peranan besar dalam gejala eksaserbasi. Oleh karena itu, uji alergi dibutuhkan
untuk mengetahui anak mengalami alergi terhadap jenis alergen apa dengan demikian dapat
dilakukan pencegahan. Terakhir, memperbaiki kondisi ko-morbiditas pada anak dapat
memperbaiki prognosis, kondisi-kondisi itu antara lain bronkopulmoner aspergillosis, GERD,
obesitas, rhinitis, sinusitis, depresi, stres, kadar vitamin D yang rendah. Hal-hal berikut apabila
terjadi sebaiknya segera dikonsultasikan pada praktisi kesehatan/dokter dan jangan lupa untuk
melakukan follow-up secara teratur untuk assessment asma anak.2

Komplikasi

Bila serangan asma terus berlanjut dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka
akan terjadi emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks yaitu bentuk toraks yang

16
membungkuk ke depan dan memanjang. Pada foto rontgen toraks maka akan terlihat diafragam
yang letaknya rendah, gambaran jantung yang menyempit, corakan pada hilus kanan dan kiri
bertambah. Pada penderita asma kronik dan berat dapat terjadi bentuk dada burung dara dan
tampak sulkus Harrison.
Produksi sekret yang banyak dan kental pada penderita asma akan menyumbat salah satu
bronkus dan apabila sumbatan cukup hebat dapat menyebabkan atelektasis sesuai lobus segmen
yang sesuai. Mediastinum akan tertarik ke arah atelektasis. Bila atelektasi terus berlangsung,
maka akan berlanjut menjadi bronkiektasis dan apabila ada infeksi maka akan menjadi
bronkopneumonia. Serangan asma yang terus-menerus dan tidak dapat tertolong dengan obat-
obatan biasa disebut sebagai status asmatikus. Bila tidak mendapatkan pertolongan yang adekuat,
maka akan berujung pada kematian, gagal napas, dan gagal jantung.5

Preventif

 Menghindari faktor-faktor pencetus

Salah satu faktor pencetus potensial yang dapat memicu serangan asma apda anak ialah
debu rumah dikarenakan debu rumah yang terdiri atas sejumlah besar komposisi alergen
(mis: serpihan/rontokan kulit, bulu kita atau bulu hewan peliharaan, tungau debu rumah,
sisa-sisa serangga yang sudah mati, debu dari asap rokok atau tembakau dan abunya,
jamur, bakteri, dsb). Memang tidak mudah menghindari faktor debu rumah ini namun
dapat dilakukan usaha seperti memasukkan kasur tempat tidur anak ke dalam kantong
vinil sehingga debu tidak dapat keluar dari bawah kasur, demikian pula bantal anak juga
dimasukkan ke dalam kantong vinil. Selain itu, perlu juga dilakukan pencucian tirai dan
selimut sekurang-kurangnya 2 minggu, sprei dan sarung bantal sering dicuci, lemari serta
rak dan laci dibersihkan dengan lap basah dan hanya digunakan untuk menyimpan
pakaian yang sering dicuci. Hindarkan asap dan binatang peliharaan supaya jangan
sampai masuk ke kamar tidur anak.

 Penggunaan obat dengan alur tatalaksana yang tepat


 Anggota keluarga yang sedang mengalami flu sebisa mungkin dijauhkan dari anak yang
mengalami asma

17
 Menghindari anak mengalami perubahan suhu dan cuaca yang mendadak, lebih-lebih
perubahan ke arah dingin

 Mengatur pola olahraga/aktivitas fisik anak, olahraga tidak dilarang namun perlu diatur
sedemikian rupa sesuai batas toleransi anak, bila anak mulai batuk-batuk setelah
melakukan olahraga, anak diistirahatkan dahulu, diberi minum air dan bila batuk reda
baru dilanjutkan kembali. Apabila anak perlu menghirup aerosol terlebih dahulu, berikan
sebelum melakukan olahraga.5

Prognosis

Prognosis jangka panjang asma anak pada umumnya baik. Sebagian besar asma anak
hilang atau berkurang dengan bertambahnya umur. Sekitar 50% asma episodik jarang sudah
menghilang pada umur 10-14 tahun dan hanya 15% yang menjadi asma kronik pada umur 21
tahun. 20% asma episodik sudah tidak timbul pada masa akil-baliq, 60% tetap sebagai asma
episodik sering dan sisanya sebagai asma episodik jarang. Hanya 5% dari asma kronik/persisten
yang dapat menghilang pada umur 21 tahun, 20% menjadi asma episodik sering, hampir 60%
tetap sebagai asma kronik/persisten dan sisanya menjadi asma episodik jarang. Secara
keseluruhan dapat dikatakan 70-80% asma anak bila diikuti sampai dengan umur 21 tahun
asmanya sudah menghilang.1

Simpulan

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan dapat
disimpulkan bahwa anak laki-laki tersebut menderita asma bronkial

Daftar Pustaka

1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Ilmu kesehatan anak. Edisi ke-3. Jakarta:
Infomedika; 2007. h. 1203-1228.
2. Sharma GD. Pediatric asthma. Medscape 2013 Apr 9. Diakses pada tanggal 11 Juli 2018.
Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/1000997-overview
3. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: EGC; 2009. h. 83-8.
4. Sloane E. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: EGC; 2004.h.266-77.

18
5. Hassan R, Alatas H, penyunting. Buku kuliah ilmu kesehatan anak. Vol 3. Jakarta:
Indomedika;2007.h.1197-1225.
6. Wahab AS, editor edisi bahasa indonesia. Ilmu kesehatan anak nelson. Ed ke-15, vol 2.
Jakarta: EGC;2004.h.1483-4.
7. Carolan PL, Pediatric bronchitis. Medscape 2012 Oct 3. Diakses pada tanggal 11 Juli
2018. Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/1001332-overview
8. Algoritma asma bronkial pada anak. Ethical digest 2011 Mar;85:70-2.
9. Sudoyo, AW dkk. Buku ajar llmu penyakit dalam. Jakarta: Penerbit: Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2006.h.245-50.
10. Supriyatno B. Tatalaksana serangan asma pada anak. In: Trihono PP, Syarif DR, Hegar
B, et al, penyunting. Hot topics in pediatrics II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;2003.h.
262-72.

19

Anda mungkin juga menyukai