FEBYANA DWI CAHYANTI 1313111333051 YUNITA DESI SANTOSO 1313111333054 SITI AISYAH ZANTA PRADANA 1313111333057 MARITA SELVIA 1313111333060 IKA WAHYU WIDYAH R. 1313111333063 FEBRINA RAMADHANI 1313111333066 SINTA PRADIKTA 1313111333069 YUNITA FAUZIAH 1313111333072 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 2014 Sub pokok bahasan 1. Anatomi dan fisiologi sistem pernapasan 2. Definisi ISPA, Difteri, dan Pertusis 3. Patofisiologis ISPA, Difteri, dan Pertusis 4. Manifestasi klinisISPA, Difteri, dan Pertusis 5. Pemeriksaan diagnnostik ISPA, Difteri, dan Pertusis 6. Penatalaksanaan ISPA, Difteri, dan Pertusis 7. Komplikasi ISPA, Difteri, dan Pertusis 8. Prognosis ISPA, Difteri, dan Pertusis 9. WOC dari ISPA, Difteri, dan Pertusis 10. Asuhan keperawatan pada pasien anak dengan kasus ISPA, Difteri, dan Pertusis Anatomi dan fisiologis sistem pernapasan Pernapasan atau sistem respirasi adalah suatu peristiwa tubuh kekurangan oksigen (O 2 ) kemudian oksigen yang berada di luar tubuh dihirup (inspirasi) melalui organ-organ pernapasan, dan pada keadaan tertentu bila tubuh kelebihan karbon dioksida(CO 2 ) maka tubuh akan berusaha untuk mengeluarkannya dari dalam tubuh dengan cara menghembuskan nafas (ekspirasi) Anatomi Sistem Pernapasan 1. Hidung 2. Faring 3. Laring 4. Trakea 5. Bronkus 6. Bronkiolus 7. Paru 8. Alveolus Anatomi sistem pernapasan penjabaran Hidung Tersusun dari tulang kartilago hialin dan jaringan fibroaerolar., berfunsi sebagai Menghangatkan, melembabkan, dan menyaring udara
Faring Faring adalah tabung muskular berukuran 12.5 cm. Terdiri dari nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Faring merupakan saluran bersama untuk udara dan makanan. Laring Laring adalah tabung pendek dan ditopang oleh sembilan kartilago, terdapat Epiglotis yang akan menutup pada saat menelan dan juga merupakan batas antara saluran napas atas dan napas bawah Trakea Trakea adalah tuba dengan panjang 10-12 cm yang terletak di anterior esofagus. Tersusun dari 16-20 cincin kartilago berbentuk C yang diikat bersama jaringan fibrosa Bronkus Bronkus merupakan percabangan dari trakea. Setiap bronkus primer bercabang membentuk bronkus sekunder dan tersier dengan diameter yang semakin mengecil dan menyempit Bronkioulus Merupakan jalan napas intralobular dengan diameter 5 mm, tidak memiliki tulang rawan maupun kelenjar di dalam mukosanya Paru Paru-paru adalah organ sistem pernapasan yang berada di dalam kantong yang dibentuk oleh pleura parietalis dan pleura viseralis. paru kanan terbagi menjadi 3 lobus dan paru kiri terbagi menjadi 2 lobus Alveolus Alveoulus adalah kantung udara berukuran sangat kecil. Merupakan akhir dari bronkioulus respiratorius sehingga memungkinkan pertukaran oksigen dan karbondioksida alveolus terdiri dari membran alveolar dan ruang interstitial 2. Fisiologi Sistem Pernapasan Fungsi utama paru adalah menyelenggarakan pengambilan oleh darah dan pembuangan karbon dioksida terdapat 4 tahap respirasi, yaitu (Lauralee Sherwood,2001):
1. Vetilasi Ventilasi adalah sirkulasi keluar masuknya udara atmosfer dan alveoli. Proses ini berlangsung di sistem pernapasan bagian atas.
2. Respirasi Eksternal Respirasi eksternal mengacu pada keseluruhan rangkaian kejadian yang terlibat dalam pertukaran oksigen dan karbondioksida antara lingkungan eksternal dan sel tubuh. Proses ini terjadi di sisem pernapasan.
3. Transpor gas Transpor gas adalah pengangkutan oksigen dan karbondioksida dalam darah dan jaringan tubuh. Proses ini terjadi di sistem sirkulasi
4. Respirasi internal Respirasi internal adalah pertukaran gas pada metabolisme eergi yang tejadi di dalam sel. Proses ini berlangsung di jaringan tubuh.
ISPA
(Infeksi Saluran Pernapasan Akut) DEFINISI ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang berlangsung selama 14 hari. Saluran pernapasan yang dimaksud adalah organ mulai dari hidung sampai alveoli paru beserta organ adneksanya seperti sinus, ruang telinga tengah dan pleura (Habeahan, 2009). ETIOLOGI ISPA Bakteri (genus Streptococcus, Haemophylus, Stafilococcus, Pneumococcus, Bordetella, dan Corynebakterium) Virus (Grup Mixovirus, Enterovirus, Adenovirus, Rhinovirus, Herpesvirus, Sitomegalovirus, virus Epstein-Barr) Jamur (Aspergillus sp, Candidia albicans, Blastomyces dermatitidis, Histoplasma capsulatum, Coccidioides immitis, Cryptococcus neoformans) inspirasi asap kendaraan bermotor, Bahan Bakar Minyak/BBM biasanya minyak tanah dan, cairan amonium pada saat lahir Depkes RI, 2004 Widoyono, 2007 http://www.kcom.edu/faculty/chamberlain/website/lectures/intraurt.htm. PATOFISIOLOGI Bakteri, Virus dan Jamur Masuk melalui partikel udara Melekat pada epitel sel hidung Masuk ke bronkus dan traktus respiratorius Menimbulkan gejala influenza seperti : pilek, demam, dan sakit kepala http://www.republika.co.id.2004 FAKTOR RESIKO FAKTOR LINGKUNGAN Pencemaran udara dalam rumah Ventilasi rumah Kepadatan hunian rumah FAKTOR INDIVIDU ANAK Usia anak Berat badan lahir Status gizi Status imunisasi FAKTOR PERILAKU praktek penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun oleh anggota keluarga lainnya Depkes RI, 2002 MANIFESTASI KLINIS Gejala koriza Gejala faringeal Gejala faringokonjungti val Gejala influenza Gejala herpangina Gejala obstruksi laringotrakeobron kitis akut Djojodibroto, 2009 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Pemeriksaan darah lengkap Hb, leukosit, hematokrit dan trombosit Fotothoraks Pada anak dengan dosis 0,093 0,404 mSv Sandra M Nettina, 2000 Helfi Yuliati & Dyah Dwi K, 2006 PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan pada ISPA tidak semuanya memerlukan pemberian antibiotik. Misalnya pada batuk dan demam, dapat diberikan perawatan di rumah dengan pemberian obat tradisional pada gejala batuk atau dengan pemberian parasetamol pada anak demam. Namun, pada penderita dengan gejala batuk pilek bila pada pemeriksaan tenggorokan didapat adanya bercak nanah (eksudat) disertai pembesaran kelenjar getah bening dileher, dianggap sebagai radang tenggorokan oleh kuman streptococcuss dan harus diberi antibiotik (penisilin) selama 10 hari. Tanda bahaya setiap bayi atau anak dengan tanda bahaya harus diberikan perawatan khusus untuk pemeriksaan selanjutnya.
Rasmaliah, 2005
Berdasarkan Buku Ajar Keperawatan pediatric, pentalaksanaan ISPA dikelompokkan menjadi (Donna L. Wong, et al., 2009):
Dirawat di rumah, tidak ada pengobatan spesifik dan vaksin yang efektif Antipiretik diberikan untuk demam Dekongestan secara topikal diberikan pada anak dan bayi diatas 6 bulan Tidak diindikasikan antibiotic 1. Nasofaringitis Feder dkk, 1999 dalam Wong dkk, 2009 2. Faringitis Untuk infeksi akibat Streptococcuss sp. Diberikan penisilin secara oral Antibiotic lain yang digunakan adalah eritromisin, azitromisin, klaritromisin, dan sefalosporin Kombinasi penisilin dengan rimfapin diberikan untuk menghilangkan streptokokus dan direkomendasikan untuk karier dan individu yang resisten terhadap penisilin Derkay, Darrow, LeFebvre, 1995 dalam Wong dkk, 2009 Dapat sembuh sendiri Tonsilektomi (pengangkatan tonsil palatin) diindikasikan hanya pada kasus streptokokus kambuhan yang tercatat; jika terdapat abses peritonsilar, atau pada kasus hipertrofi masif yang menyebabkan kesulitan bernapas atau makan Adenoidektomi (pengangkatan adenoid) dianjurkan untuk anak yang mengalami hipertrofi adenoid yang menyumbat pernapasan hidung 3. Tonsilitis Biasanya hanya memerlukan pengobatan simtomatik : asetominofen atau ibuprofen untuk demam, dekstrometorfan untuk batuk (jika perlu), dan cairan yang cukup untuk mempertahankan hidrasi Anak influenza tidak boleh menerima aspirin karena adanya kemungkinan hubungan dengan Sindrom Reye 4. Influenza Montville & White, 1998 dalam Wong, 2009 5. Otitis media Pemberian antibiotik oral (amoksisilin, amoksisilin klavulanat, sulfonamide, trimetoprim- sulfametoksazol, eritromisin-sulfisoksazol, azitromisin, klaritromisin, atau sefalosporin) 5-10 hari Antibiotic tersebut hanya diindikasikan pada anak yang mengalami: lebih dai tiga infeksi telinga dalam setahun, kultur pernapasan positif dan resiko tinggi mengalami infeksi bakteri karena immunosupresi, splenektomi, fibrosis kistik dan penyakit sel sabit KOMPLIKASI Semusitis paranosal Penutupan tuba eustacii Laryngitis Tracheitis Bronchitis Broncho pneumonia Berlanjut pada kematian karena sepsis Whaley & Wong, 2000 Hipoksemia Asidosis respiratorik Insufisiensi pernapasan sepsis Wilkinson J.M. & Nancy R.A., 2011 PROGNOSIS Penyakit tanpa komplikasi berlangsung 1-7 hari. Kematian terbanyak oleh karena infeksi bakteri sekunder. Bila panas menetap lebih dari 4 hari dan leukosit > 10.000/ul, biasanya didapatkan infeksi bakteri sekunder.
ASUHAN KEPERAWATAN ISPA 1. Pengkajian a. Identitas Pasien Nama
Usia Kebanyakan infeksi saluran pernapasan yang sering mengenai anak usia dibawah 3 tahun, terutama bayi kurang 1 tahun. anak usia muda akan lebih sering menderita ISPA daripada usia yang lebih lanjut (Anggana Rafika, 2009).
Jenis kelamin Angka kejadian ISPA sering terjadi pada usia kurang dari 2 tahun, dimana angka kejadian ISPA anak perempuan lebih tinggi dari anak laki-laki (Anggana Rafika, 2009).
Alamat Kepadatan hunian seperti luas ruang per-orang, jumlah anggota keluarga, dan masyarakat diduga merupakan factor risiko untuk ISPA. Penelitian oleh Koch et al (2003) membuktikan bahwa kepadatan hunian (crowded) mempengaruhi prevalensi ISPA berat.
b. Riwayat Kesehatan Keluhan utama Riwayat penyakit sekarang Riwayat penyakit dahulu Riwayat penyakit keluarga Riwayat sosial
c. Pengkajian fungsi pernapasan Frekuensi Cepat (takipnea), normal atau lambat untuk anak tertentu. Kedalaman Kedalaman normal, terlalu dangkal (hipopnea), terlalu dalam (hiperpnea); biasanya diukur dari amplitude ekskursi toraks dan abdomen. Kemudahan Tanpa upaya, dengan upaya (dispnea), ortopnea (kesulitan bernapas kecuali pada posisi tegak), berhubungan dengan rektraksi interkostal dan/ substernal (inspirasi tenggelam dari jaringan lunak berkaitan dengan kartilago dan tulang toraks) Pernaapsan sulit Kontinu, intermiten, memburuk, awitan tiba-tiba, pada saat istirahat atau beraktivitas, berkaitan dengan mengi atau mendengkur, berkaitan dengan nyeri. Irama Kedalaman dan frekuensi pernapasan bervariasi.
2. Pemeriksaan a. Inspeksi 1. Membran mukosa hidung faring tampak kemerahan 2. Tonsil tampak kemerahan dan edema 3. Tampak baluk tidak produktif. 4. Tidak ada jaringan parat pada leher. 5. Tidak tampak penggunaan otot- otot pernapasan tambahan 6. Pernapasan cuping hidung
b. Palpasi 1. Adanya demam 2. Teraba adanya pembesaran kelenjar limfe pada daerah leher / nyeri tekan pada nodus limfe servikalis. 3. Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar limfoid. c. Perkusi Suara paru normal.
d. Auskultasi Suara napas vasikuler / tidak terdengar ronchi pada kedua sisi paru
3. Analisis Data No . Sympton Etiologi Problem 1. DS: Klien mengeluh sesak nafas dan batuk berdahak DO: Auskultasi paru terdengar suara ronki Frekuensi napas klien meningkat (RR > 20 x/menit) Klien terlihat susah untuk bernafas / sesak nafas Sekret yang di keluarkan klien kental Posisi tidur klien semi fowler Produksi sekret yang berlebihan oleh sel goblet
Sekret mengental
Imobilisasi sekret pada jalan nafas
Akumulasi sekret pada jalan nafas
Penyumbatan jalan nafas Ketidakefektifan bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret 3. Analisis Data No . Sympton Etiologi Problem 2 DS: Klien mengeluh nyeri saat menelan minuman Klien mengeluh badannya panas Klien mengeluh badannya lemas dan lemah DO: Turgor kulit kering Suhu badan klien 37C Klien tampak lemas Minuman yang disediakan tidak dihabiskan oleh klien Suhu badan yang tinggi karena infeksi dan inflamasi Intake cairan yang kurang
dehidrasi Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya kebutuhan metabolic 3. Analisis Data No . Sympton Etiologi Problem 3 DS: Klien Mengeluh sulit untuk menelan dan nyeri saat menelan pada tenggorokannya DO: Klien terlihat merasa sakit dan meringis saat menelan makanan dan minuman Klien susah untuk makan Membran mukosa tonsil dan faring me-merah Inflamasi faring dan tonsil membran mukosa Faring dan tonsil memerah dan membengkak nyeri apabila terkena sentuhan
nyeri saat menelan makanan dan minuman nyeri akut Nyeri telan berhubungan denganinflamasi pada membran mukosa faring dan tonsil. 3. Analisis Data No . Sympton Etiologi Problem 4 DS: Klien mengeluh sulit untuk menelan dan sakit di tenggorokan kalau menelan Klien mengatakan tidak mau makan DO: Klien terlihat lemas dan lemah Berat badan klien turun 5 kg sejak dirawat di rumah sakit Klien terlihat tidak nafsu makan Klien selalu menolak makanan yang diberikan orang tuanya Lemak pada subcutan tipis Klien hanya menghabiskan tidak lebih dari setengah porsi diet bubur kasar dari rumah sakit membran mukosa Faring dan tonsil memerah dan membengkak nyeri apabila terkena sentuhan
nyeri saat menelan makanan dan minuman nafsu makan menurun nutrisi tidak terpenuhi Ketidakseimbangan nutrisi berhubungan dengan hilangnya nafsu makan sekunder akibat tingginya kebutuhan metabolik 3. Analisis Data No . Sympton Etiologi Problem 5 DS: Klien mengatakan badannya panas, pusing,lemas, dan sering batuk DO: Suhu badan klien 37C pada termometer Sputum berwarna putih kekuningan dan kental Saat batuk, klien tidak menutup mulutnya Leukosit jumlahnya meningkat adanya organisme infektif
inflamasi dan infeksi pada tubuh pasien hipertermia akibat ifeksi dan inflamasi Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya organisme infektif 4. Diagnosa Keperawatan ((NANDA dalam Judith M. Wilkinson dan Nancy R. Ahern, 2011) 1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi secret 2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya kebutuhan metabolik 3. Nyeri telan berhubungan dengan inflamasi pada membrane mukosa faring dan tonsil 4. Ketidakseimbangan nutrisi berhubungan dengan hilangnya nafsu makan 5. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya organism infektif
5. Intervensi N o Diagnosa Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil / Evaluasi Intervensi Rasionalisasi 1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas tidak efektif b.d akumulasi sekret Menunjukkan jalan nafas yang efektif, yang dibuktikan oleh pencegahan aspirasi; status pernafasan: kepatenan jalan napas; dan status pernapasan (NOC dalam Judith M. Wilkinson dan Nancy R. Ahern, 2011) ventilasi tidak terganggu (kemudaha n bernapas, frekuensi dan irama pernapasan , Pergerakan sputum keluar dari jalan napas, Pergerakan sumbatan keluar dari jalan napas) (NOC dalam Judith M. Wilkinson dan Nancy R. Ahern, 2011) Mandiri : 1.Manajemen jalan napas 1.Memfasilitasi kepatenan jalan udara. 2.Pengisapan secret dari jalan napas sesuai kebutuhan. 2. mengeluarkan secret dari jalan napas dengan memasukkan sebuah kateter pengisap ke dalam jalan napas oran dan trakea N o Diagnosa Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil / Evaluasi Intervensi Rasionalisasi 3.Atur posisi anak yang sesuai. 3.memfasilitasi ekspansi paru lebih baik dan memperbaiki pertukaran gas serta mencegah aspirasi sekresi 4.Pemantauan pernapasan anak 4.Mengumpulkan dan menganalisis data pasien untuk memastikan kepatenan jalan napas dan pertukaran gas yang adekuat N o Diagnosa Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil / Evaluasi Intervensi Rasionalisasi 5.Bantuan ventilasi 5.Meningkatkan pola napas spontan yang optimal, yang memaksimalkan pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam paru N o Diagnosa Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil / Evaluasi Intervensi Rasionalisasi Kolaborasi : Bantu mengawasi efek pengobatan nebulizer dan fisioterapi lain, mis. Spirometer insentif, IPPB, tiupan botol, perkusi, postural drainage. Lakukan tindakan diantara waktu makan dan batasi cairan bila mungkin. Berikan obat sesuai indikasi mukolitik, ekspektoran, bronchodilator, analgesic. Analgesic diberikan untuk memperbaiki batuk dengan menurunkan ketidaknyamanan tetapi harus digunakan secara hati-hati, karena dapat menurunkan upaya batuk atau menekan pernafasan. N o Diagnosa Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil / Evaluasi Intervensi Rasionalisasi 2. Kekurangan volume cairan b.d. tingginya kebutuhan metabolic (NANDA dalam Judith M. Wilkinson dan Nancy R. Ahern, 2011) Kekuranga n volume cairan akan teratasi 1.keseimbangan cairan, keseimbangan elektrolit dan asam- basa, hidrasi yang adekuat, dan status nutrisi: asupan makanan dan cairan yang adekuat. Observasi : tanda-tanda vital Pemantauan tanda vital yang teratur dapat menentukan perkembangan perawatan selanjutnya 2.Nadi : 60-100 denyut per menit Mandiri : 1.Manajemen asam-basa 1.meningkatkan keseimbangan asam-basa dan mencegah komplikasi akibat ketidakseimbangan asam-basa 3.Tekanan darah : 120/80 mmHg N o Diagnosa Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil / Evaluasi Intervensi Rasionalisasi 2.Manajemen elektrolit 2.meningkatkan keseimbangan elektrolit dan mencegah komplikasi akibat dari kadar elektrolit serum yang tidak normal atau yang tidak diharapakan. 3.Pemantauan elektrolit 3.mengumpulkan dan menganalisis data pasien untuk mengatur keseimbangan elektrolit N o Diagnosa Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil / Evaluasi Intervensi Rasionalisasi 4.Manajemen cairan 4. meningkatkan keseimbangan cairan dan mencegah komplikasi akibat kadar cairan yang abnormal atau tidak diharapkan. 5.Terapi Intravena (IV) 5. memberikan dan memantau cairan dan obat intravena Kolaborasi : Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat Untuk mengontrol infeksi dan menurunkan panas (NIC dalam Judith M. Wilkinson dan Nancy R. Ahern, 2011) N o Diagnosa Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil / Evaluasi Intervensi Rasionalisasi 3. Nyeri telan b.d. inflamasi pada membran mukosa faring dan tonsil. Memperlihatk an pengendalia n nyeri, yang dibuktikan oleh indicator sebagai berikut Nyeri berkuran g skala 1- 2 (NOC dalam Judith M. Wilkinson dan Nancy R. Ahern, 2011) Observasi : Teliti keluhan nyeri, catat intensitasnya (dengan skala 0- 10), faktor yang memperburuk atau meredakan nyeri, lokasi, lama, dan karakteristiknya Identifikasi karakteristik nyeri dan faktor yang berhubungan merupakan suatu hal yang amat penting untuk memilih intervensi yang cocok dan untuk mengevaluasi keefektifan dari terapi yang diberikan N o Diagnosa Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil / Evaluasi Intervensi Rasionalisasi Mandiri : 1.Berikan analgesik 1.menggunakan agen- agen farmakologi untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri 2.Manajemen medikasi 2.memfasilitasi penggunaan obat atau resep atau obat bebas secara aman dan efektif. 3.Manajemen nyeri 3. meringankan atau mengurangi nyeri sampai pada tingkat kenyamanan yang dapat diterima oleh pasien. N o Diagnosa Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil / Evaluasi Intervensi Rasionalisasi 4.Manajemen sedasi 4.memberikan sedatif, memantau respons pasien, dan memberikan dukungan fisiologis yang dibutuhkan selama prosedur diagnostic atau terapeutik Kolaborasi : Berikan obat sesuai indikasi Peningkatan sirkulasi pada daerah tenggorokan serta mengurangi nyeri tenggorokan. N o Diagnosa Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil / Evaluasi Intervensi Rasionalisasi Kortikosteroid digunakan untuk mencegah reaksi alergi atau menghambat pengeluaran histamin dalam inflamasi pernafasan. Analgesik untuk mengurangi nyeri (NIC dalam Judith M. Wilkinson dan Nancy R. Ahern, 2011) N o Diagnosa Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil / Evaluasi Intervensi Rasionalisasi 4. Ketidakseimb angan nutrisi b.d. hilangnya nafsu makan sekunder akibat tingginya kebutuhan metabolik Nutrisi kembali seimban g 1.Antropometri: berat badan, tinggi badan, lingkar lengan tidak turun (stabil) Mandiri : 1.Manajemen nutrisi 1. membantu dan menyediakan asupan makanan dan cairan dengan diet seimbang. rencana nutrisi 2.Biokimia: - Hb normal (laki-laki 13,5-18 g/dl dan perempuan 12-16 g/dl) 2.pemantauan nutrisi 2.mengumpulkan dan menganalisis data pasien untuk mencegah atau meminimalkan kurang gizi N o Diagnosa Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil / Evaluasi Intervensi Rasionalisasi 3.Clinis: - Tidak tampak kurus - Rambut tebal dan hitam 3.Manajemen berat badan 3.memfasilitasi pemeliharaan berat badan yang optimal dan lemak tubuh 4.Diet: - Makan habis satu porsi - Pola makan 3X/hari 5.Berikan health education pada ibu tentang Nutrisi : makanan yang bergizi yaitu 4 sehat 5 sempurna, hindarkan anak dari snack dan es, beri minum air putih yang banyak 5.Ibu dapat memberikan perawatan maksimal kepada anaknya. Makanan bergizi dan air putih yang banyak dapat membantu mengencerkan lendir dan dahak. N o Diagnosa Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil / Evaluasi Intervensi Rasionalisasi 5. Resiko tinggi infeksi b.d. adanya organism infektif Resiko tinggi infeksi b.d. adanya organism infektif 1.Pasien tidak menunjukkan tanda infeksi sekunder 1.Anak tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi Mandiri : 1.Pertahankan lingkungan aseptic, gunakan kateter pengisap steril dan cuci dengan baik N o Diagnosa Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil / Evaluasi Intervensi Rasionalisasi 2.Isolasi anak sesuai indikasi 2. Untuk mencegah penyebaran infeksi nosokommial
3.Beri antibiotic sesuai resep 3.Untuk mencegah atau mengobati infeksi 4.Beri diet bergizi sesuai kesukaan anak dan kemampuan mengonsumsi makanan 4.Untuk mendukung pertahanan tubuh alami N o Diagnosa Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil / Evaluasi Intervensi Rasionalisasi 5.Lakukan fisioterapi dada 5.untuk melancarkan pernapasan 6.jelaskan pada anak dan keluarga tentang manifestasi penyakit N o Diagnosa Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil / Evaluasi Intervensi Rasionalisasi 2.pasien tidak menyebark an infeksi ke orang lain 2.Orang lain tetap bebas dari infeksi (NOC dalam Judith M. Wilkinson dan Nancy R. Ahern, 2011) 1.Batasi pengunjung sesuai indikasi 1.Menurunkan potensi terpajan pada penyakit infeksius 2.Jaga keseimbangan antara istirahat dan aktifitas 2.Menurunkan konsumsi atau kebutuhan keseimbangan oksigen dan memperbaiki pertahanan klien terhadap infeksi, meningkatkan penyembuhan. N o Diagnosa Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil / Evaluasi Intervensi Rasionalisasi 3.Tutup mulut dan hidung jika hendak bersin. 3.Mencegah penyebaran patogen melalui cairan 4.Tingkatkan daya tahan tubuh, terutama anak dibawah usis 2 tahun, lansia, dan penderita penyakit kronis. Konsumsi vitamin C, A dan mineral seng atau antioksidan jika kondisi tubuh menurun atau asupan makanan berkurang 4.Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhada infeksi N o Diagnosa Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil / Evaluasi Intervensi Rasionalisasi Kolaborasi : Pemberian obat sesuai hasil kultur Dapat diberikan untuk organisme usus yang teridentifikasi dengan kultur dan sensitifitas atau diberikan secara profilaktik (NIC dalam Judith M. Wilkinson dan Nancy R. Ahern, 2011) 6. Evaluasi Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001). Evaluasi yang diharapkan pada pasien ISPA adalah : Suhu tubuh pasien dalam rentang normal antara 36 -37,5 C Klien dapat mencapai BB yang direncanakan mengarah kepada BB normal. Nyeri hilang atau terkontrol Tidak terjadi komplikasi pada klien
Latar Belakang Lebih dari 12 juta anak berusia kurang dari 5 tahun meninggal setiap tahun, sekitar 2 juta disebabkan oleh penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Serangan penyakit tersebut akibat status imunisasi dasar yang tidak lengkap pada sekitar 20% anak sebelum ulang tahun yang pertama (WHO dan UNICEF dalam Utomo, 2008). Berdasarkan estimasi global yang dilakukan WHO tahun 2007 pelaksanaan imunisasi dapat mencegah kurang lebih 25 juta kematian balita tiap tahun akibat penyakit difteri, tetanus, pertusis (batuk rejan) dan campak.
?
Difteri adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri corynebacerium diphteriae yang berasal dari membrane mukosa hidung dan nasofaring, kulit, dan lesi lain dari orang yang terinfeksi (Haryanto, 2006).
Ciri ciri bakteri corynebacerium diphteriae (Nursalam, 2005): Basil gram positif yang tidak membentuk spora. Mempunyai kemampuan positif untuk memproduksi exotoxin, baik secara invito atau invivo, dan dalam media telurit membentuk koloni tipe mitis, intermedus, dan grafis. Mempunyai kemampuan untuk membentuk toksin yang dipengaruhi oleh bacteriophage yang mengandung genetox.
Corynebacterium diphteriae kuman batang Gram-positif, tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60C, tahan dalam keadaan beku dan kering. Secara umum dikenal 3 tipe utama C. diphtheria yaitu tipe gravis, intermedius dan mitis C. diphteriae memiliki kemampuan memproduksi eksotoksin baik in vivo maipun in vitro. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekuk 62.000 dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B (karboksi- terminal). (Irawan dkk, 2010)
Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit saraf lengan dan tungkai: terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai Saraf Tenggorokan: kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin Kuman berkembang biak (Haryanto, 2006) Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin Kalenjar getah bening akan tampak membengkak dan mengandung toksin Toksin biasanya menyerang saraf tertentu (Ditjen P2PL Depkes,2003)
Manifestasi klinis penyakit difteri tergantung pada berbagai faktor dan bervariasi, seperti: imunitas pasien terhadap toksin difteri. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada sebelumnya.
Manifestasi Klinis menurut (Richard dan Robert,2000):
Nyeri tenggorokan. Demam. Disfagia. Serak. Malaise atau nyeri kepala.
Manifestasi Klinis menurut (Richard dan Robert,2000): Cenderung tercekik karena edema jaringan lunak dan penyumbatan lepasan epitel pernapasan tebal dan bekuan nikrotik. Komplikasi obstruktif lebih lanjut karena pembuatan saluran napas buatan dan pemotongan pseudomembran Komplikasi toksik sistemik
Manifestasi Klinis menurut (Richard dan Robert,2000): ulkus yang tidak menyembuh, superfisial, ektimik dengan membrane coklat keabu abuan. demartosis yang mendasari: luka goresan, luka bakar atau impetigo telah terkontaminasi sekunder. Nyeri Sakit Eritema eksudatkas hiperestesi local atau hipestesia tidak lazim Pada difteri HIDUNG menyerupai common cold (pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Secret hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian mukopunalen. Lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah septum nasi. (Irawan dkk, 2010)
Diagnosis difteria harus ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, oleh karena penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa pasien. Penentuan kuman difteria dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C. diphtheria degan pembiakan pada media loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenisitas secara in vivo (marmot) dan in vitro (tes Elek) Irawan dkk, 2010
Penatalaksanaan
imunisasi Imunisasi pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap difteria sampai 6 bulan dan suntikan antitoksin yang dapat bertahan selama 2-3 minggu. Imunisasi aktif diperoleh setelah menderita aktif yang nyata atau inapparent infection serta imunisasi toksoid difteria. Imunitas terhadap difteria dapat diukur dengan uji Shick dan uji Moloney. Irawan dkk, 2010)
PENGOBATAN
Untuk menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal mengeliminasi C, diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria Umum Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas sreta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier. Khusus 1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS). 2. Antibiotik. 3. Kortikosteroid Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS) Antioksidan harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian antioksidan pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%. Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilatik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam semprit. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Dosis ADS ditentukan secara epiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI seperti tertera pada tabel di atas.
Tabel Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian Difteria Hidung Difteria tonsil Difteria faring Difteria laring Kombinasi lokasi di atas Difteria + penyulit, bullneck Terlambat berobat (>72 jam), lokasi dimana saja 20.000 40.000 40.000 40.000 80.000 80.000 80.000- 120.000 80.000- 120.000 Intramuskular Intramuskuler atau intravena Intramuskular atau intravena Intramuskular atau intravena Intravena Intravena intravena Sumber Krugman, 2004 dengan modifikasi Antibiotik Antibiotik dilakukan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000 IU/kgBB/hari selama 10 hari, bila terdapat riwayat hipersensivitas penisilin diberikan eritromisin 40mg/kgBB/hari.
Kortikosteroid Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteria. Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai gejala: Obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck), Bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti. Prednison 2mg/kgBB/hari selama 2 minggu kemudian di turunkan dosisnya bertahap.
Tabel Pengobatan Terhadap Kontak Difteria Biakan Uji Shick Tindakan (-) (+) (+) (-) (-) (-) (+) (+) Bebas isolasi: anak telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria. Pengobatan karier: penisilin 100mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 1 minggu Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI Toksoid difteria (imunisasi aktif), sesuaikan dengan status imunisasi Pencegahan Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seorang anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi. Pencegahan secara khusus terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap, mempunyaai antibodi terhadap toksin difteria tetapi tidak mempunyai antibodi terhadap organismenya. Keadaan demikian memungkinkan seorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau menderita difteria ringan.
Komplikasi
Menurut Irawan dkk, 2010 penyulit dapat terjadi sebagai akibat inflamasi local atau akibat aktivitas eksotoksin, maka penyulit difteria dapat dikelompokkan dalam: Obstruksi jalan nafas tertutupnya jalan nafas oleh membrane difteria atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan servikal. Dampak toksin, Dampak toksin dapat bermanifestasi pada jantung berupa miokarditis yang dapat terjadi baik pada difteria ringan maupun berat dan biasanya terjadi pada pasien yang terlambat mendapatkan pengobatan antitoksin. terjadi pada minggu ke-2 tetapi bisa lebih dini pada minggu pertama atau lebih lambat pada minggu ke-6. Manifestasi miokarditis dapat berupa takikardia, suara jantung redup, terdengar bising jantung, atau aritmia. Bisa juga terjadi gagal jantung. Kelainan pemeriksaan elektrokardiogram dapat berupa elevasi segmen ST, perpanjangan interval PR, dan heart block. Infeksi sekunder bakteri setelah era penggunaan antibiotic secara luas.
Prognosis
Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotic lebih baik daripada sebelumnya. Keadaan demikian telah terjadi di Negara Negara lain. Di Indonesia pada daerah kantong yang belum terjamah imunisasi masih dijumpai kasus difteria berat dengan prognosis buruk. Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena (1)obstruksi jalan nafas mendadak akibat oleh terlepasnya membrane difteria, (2) adanya miokarditis dan gagal jantung, dan (3) paralisis diafragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus. Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap (Irawan dkk, 2010) ASUHAN KEPERAWATAN DIFTERI PENGKAJIAN IDENTITAS RIWAYAT KESEHATAN -RIWAYAT KESEHATAN SEKARANG -RIWAYAT KESEHATAN DAHULU -RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA PEMERIKSAAN FISIK PEMERIKSAAN PENUNJANG POLA AKTIVITAS ANALISA DATA No Sympton Etiologi Problem 1. DS: Klien mengeluh sesak nafas dan batuk berdahak DO: Auskultasi paru terdengar suara ronki Frekuensi napas klien meningkat (RR > 20 x/menit) Klien terlihat susah untuk bernafas / sesak nafas Sekret yang di keluarkan klien kental Posisi tidur klien semi fowler Massa di broncus
Hipersekresi mukus/sekret oleh sel goblet untuk menghilangkan massa
Sekret mengental dan tertahan pada da jalan nafas
Imobilisasi sekret pada jalan nafas
Akumulasi sekret pada jalan nafas
Penyumbatan jalan nafas Ketidakefektifan bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret No Sympton Etiologi Problem 2 DS: - DO: Klien terserang virus Corynebacterium diphtheriae Semua manifestasi klinis difteri pernapasan terdapat pada klien anak virus Corynebacterium diphtheriae berkembang biak pada saluran napas
mengeluarkan toxin exotoxin
Penularan infeksi terjadi Resiko penyebarluasan. Infeksi berhubungan. Dengan organisme virulen. No Sympton Etiologi Problem 3 DS: Klien mengeluh badannya panas Klien mengeluh badannya lemas dan lemah DO: Turgor kulit kering Suhu badan klien 38.9C Klien tampak lemas Minuman yang disediakan tidak dihabiskan oleh klien Suhu badan yang tinggi karena infeksi dan inflamasi dari penyakit
Intake cairan menurun
Tidak seimbangnya intake dan output cairan dalam tubuh
dehidrasi Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan proses penyakit (metabolisme meningkat, intake cairan menurun) No Sympton Etiologi Problem 4 DS: Klien mengeluh sulit untuk menelan dan sakit di tenggorokan kalau menelan Klien mengatakan tidak mau makan DO: Klien terlihat lemas dan lemah Berat badan klien turun 10 kg sejak dirawat di rumah sakit Klien terlihat tidak nafsu makan Klien selalu menolak makanan yang diberikan orang tuanya Lemak pada subcutan tipis Klien hanya menghabiskam tidak lebih dari setengah porsi diet bubur kasar dari rumah sakit Toxin difteri menyerang ke saraf di tenggorokan
Susah untuk menelan
nyeri saat menelan makanan dan minuman
nafsu makan menurun
nafsu tidak terpenuhi Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang kurang RENCANA KEPERAWATAN Diagnosa Keperawatan Kriteria/evaluasi Intervensi Rasional Tidak efektif bersihan jalan napas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas. Anak akan menunjukan tanda-tanda jalan napas efektif
1. Kaji status pernapasan, observasi irama dan bunyi pernapasan
2. Atur posisi kepala dengan posisi ekstensi
3. Suction jalan napas jika terjadi sumbatan
Dengan mengkaji kita dapat mengetahui sejauh mana perubahan kondisi pernapasan anak. Dengan posisi kepala ekstensi akan memperluas dan memperlebar jalan napas.
Suction akan menghisap keluar sumbatan sehingga jalan napas akan efektif.
Intervensi Rasional 4. Berikan oksigen sebelum dan setelah dilakukan suction
5. Lakukan fisioterapi dada
6. Persiapkan anak untuk dilakukan trakeostomi Agar supply oksigen terpenuhi untuk pasien.
Dengan dilakukannya fisioterapi pada dada, akan mencegah penumpukan sekret dan mobilisasi sekret yang tertahan.
Dengan trakeostomi, ventilasi udara pada anak akan lebih baik .
Diagnosa Keperawatan Kriteria/evalua si Intervensi Rasional Resiko penyebarluasan . Infeksi berhubungan. Dengan organisme virulen. Penyebarluasa n infeksi tidak terjadi 1. Tempatkan anak pada ruangan khusus.
2. Pertahankan isolasi yang ketat di rumah sakit.
3. Gunakan posedur perlindungan infeksi jika melakukan kontak dengan anak.
4. Kolaborasi dengan dokter sehubungan dengan pemberian antibiotik Akan mengurangi penyebaran infeksi pada individu lain. Dengan mempertahankan isolasi yang ketat akan menurunkan resiko penyebaran infeksi. Dengan perlindungan infeksi jika akan melakukan kontak dengan anak maka, perawat/dokter tidak akan tertular dengan infeksi yang diderita anak.
Pemberian antibiotik akan mengurangi infeksi yang terjadi pada anak. Diagnosa Keperawatan Kriteria/evalua si Intervensi Rasional Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan proses penyakit (metabolisme meningkat, intake cairan menurun) Anak akan mempertahank an keseimbangan cairan
1. Memonitor intake output secara tepat, pertahankan intake cairan dan elektrolit yang tepat.
2. Kaji adanya tanda tanda dehidrasi (membrane mukosa kering, turgor, kulit kurang, produksi urin menurun, frekuensi denyut jantung dan pernapasan meningkat, tekanan darah menurun, fontanel cekung).
3. Kolaborasi untuk pemberian cairan parenteral jika pemberian cairan melalui oral tidak memungkinkan Dengan memonitor intake dan output anak maka, kita bisa memperhatikan keseimbangan intake dan output secara tepat. Dengan mengkaji, perawat akan tahu sejauh mana perubahan yang terjadi pada anak.
Untuk menambah intake cairan pada anak, agar tercapai keseimbangan intake dan output. Diagnosa Keperawatan Kriteria/evalu asi Intervensi Rasional Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang kurang Anak menunjukkan tanda tanda kesembuhan nutrisi terpenuhi 1. Kaji ketidakmampuan anak untuk makan.
2. Memasang NGT untuk memenuhi kebutuhan nutrisi untuk anak.
3. Kolaborasi untuk pemberian nutrisi perenteral.
4. Menilai indikator terpenuhinya kebutuhan nutrisi (berat badan, lingkar lengan, membrane mukosa) yang adekuat. Dengan mengkaji perawat akan tahu seberapa jauh perubahan kondisi anak.
Dengan pemasangan NGT akan memenuhi kebutuhan nutrisi anak dan mencapai keseimbangan yang bagus.
Untuk menambah intake cairan pada anak, agar tercapai keseimbangan intake dan output.
Dengan menilai indicator tersebut, perawat akan mengerti apakah kebutuhan nutrisi pasien anak terpenuhi atau tidak. EVALUASI EVALUASI BERDASARKAN PADA KRITERIA HASIL. JIKA KRITERIA HASIL YANG DIINGINKAN BAIK, MAKA EVALUASI PUN JUGA BAIK. PERTUSIS Pertusis atau batuk rejan atau batuk 100 hari merupakan salah satu penyakit menular saluran pernapasan yang sudah diketahui adanya sejak tahun 1500-an. Penyebab tersering dari pertusis adalah bakteri Bordetella pertussis. (Sarah S. Long,2000)
Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif. Penyakit ini ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodik dan paroksismal disertai nada yang meninggi, karena pasien berupaya keras untuk menarik napas sehingga pada akhir batuk sering disertai bunyi yang khas (Soedarmo,2010). Penyebab pertusis adalah bordetella pertusis, perlu dibedakan dengan sindrom pertusis yang disebabkan oleh ordetella parapertusis dan adenovirus. Bordetella pertusis termasuk kokobasilus, gram negative, kecil, ovoid, ukuran panjang 0,5 1 m dan diameter 0,2 0,3 m, tidak bergerak, tidak berspora. Hemolisis (sarah, 2000).
Bordetella merupakan kokobasili gram-negatif yang sangat kecil yang tumbuh secara aerobic pada agar arah tepung atau media sintetik keseluruhan dengan faktor pertumbuhan nikotinamid, asam amino untuk energy, dan arang untuk menyerap bahan-bahan berbahaya. B.Pertussis mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein virulen utama. B.Pertussis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak darinya dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Sitotoksin trachea, adenilat siklase diterima secara dominan menyebabkan cedera epitel local yang menghasilkan gejala-gejala pernapasan dan mempermudah penyerapan TP. TP terbukti mempunyai banyak aktivitas biologis), beberapa darinya merupakan manifestasi sistemik penyakit (behrman,kliegman. Nelson arvin. 2000).
MASA INKUBASI PERTUSIS 6-20 HARI, RATA-RATA 7 HARI, SEDANGKAN PERJALANAN PENYAKIT INI BERLANGSUNG ANTARA 6-8 MINGGU ATAU LEBIH. PERJALANAN KLINIS PENYAKIT INI DAPAT BERLANGSUNG DALAM 3 STADIUM, YAITU
STADIUM KATARALIS (PRODORMAL, PREPAROKSISMAL) MENYERUPAI GEJALA ISPA : RINORE DENGAN LENDER CAIR, JERNIH, TERDAPAT INJEKSI KONJUNGTIVA, LAKRIMASI, BATUK RINGAN IRITATIF KERING DAN INTERMITEN, PANAS TIDAK BEGITU TINGGI, DAN DROPLET SANGAT INFEKSIUS
STADIUM AKUT PROKSIMAL (PAROKSISMAL,SPASMODIC) FREKUENSI DAN DERAJAT BATUK BERTAMBAH, KHAS TERDAPAT PENGULANGAN 5 SAMPAI 10 KALI BATUK KUAT SELAMA EKSPIRASI YANG DIIKUTI OLEH USAHA INSPIRASI MASIF YANG MENDADAK DAN MENIMBULKAN BUNYI MELENGKING AKIBAT UDARA YANG DIHISAP MELALUI GLOTIS YANG MENYEMPIT. STADIUM KONVALESENS STADIUM PENYEMBUHAN DITANDAI DENGAN BERHENTINYA BUNYI MELENGKING DAN MUNTAH DENGAN PUNCAK SERANGAN PAROKSISMAL YANG BERANGSUR-ANGSUR MENURUN. BATUK BIASANYA MASIH MENETAP UNTUK BEBERAPA WAKTU DAN AKAN MENGHILANG SEKITAR 2 SAMPAI 3 MINGGU. (SOEDARMO,2010)
DIAGNOSIS DITEGAKKAN BERDASARKAN ANAMNESIS , PEMERIKSAAN FISIK DAN PEMERIKSAAN LABORATORIUM. PADA ANAMNESIS DITANYAKAN ADAKAH RIWAYAT KONTAK DENGAN PASIEN PERTUSIS, ADAKAH SERANGAN KHAS YAITU PAROKSISMAL DAN BUNYI MELENGKING YANG JELAS. PERLU PULA DITANYAKAN MENGENAI RIWAYAT IMUNISASI. GEJALA KLINIS YANG DIDAPAT PADA PEMERIKSAAN FISIK TERGANTUNG DARI STADIUM SAAT PASIEN DIPERIKSA. PADA PEMERIKSSAN LABORATORIUM DIDAPATKAN LEUKOSITOSIS 20.000 50.000 DENGAN LIMFOSITOSIS ABSOLUT KHAS PADA AKHIR STADIUM KATARAL DANSELAMA STADIUM PAROKSISMAL. PADA BAYI JUMLAH LEUKOSIT TIDAK MENOLONG UNTUK DIAGNOSIS,
TERAPI SUPORTIF TERUTAMA UNTUK MENGHINDARI FAKTOR YANG MENIMBULKAN SERANGAN BATUK, MENGATUR HIDRASI DAN NUTRISI. OKSIGEN HENDAKNYA DIBERIKAN PADA DISTRESS PERNAPASAN YANG AKUT DAN KRONIK. PERLU PENGHISAPAN LENDIR TERUTAMA PADA BAYI DENGAN PNEUMONIA DAN DISTRES PERNAPASAN. CARA TERBAIK UNTUK MENGONTROL PENYAKIT INI ADALAH DENGAN IMUNISASI. PENCEGAHAN DAPAT DILAKUKAN MELALUI IMUNISASI PASIF DAN AKTIF (SOEDARMO,2010).
KOMPLIKASI PERTUSIS UTAMA ADALAH APNEA, INFEKSI SEKUNDER (SEPERTI OTITIS MEDIA DAN PNEUMONIA), DAN SEKUELE FISIK BATUK KUAT. KENAIKAN TEKANAN INTRATORAKS DAN INTRA- ABDOMEN SELAMA BATUK DAPAT MENYEBABKAN PERDARAHAN KONJUNGTIVA DAN SCLERA (RICHARD E. BEHRMAN, 1999).
PROGNOSIS TERGANTUNG USIA, ANAK YANG LEBIH TUA MEMPUNYAI PROGNOSIS YANG LEBIH BAIK. PADA BAYI RESIKO KEMTAIAN (0,5 1 %) DISEBABKAN ENSELOPATI. PADA OBSERVASI JANGKA PANJANG, APNEU ATAU KEJANG AKAN MENYEBABKAN GANGGUAN INTELEKTUAL DIKEMUDIAN HARI (IRAWAN DKK, 2008).
ASUHAN KEPERAWATAN PERTUSIS 1. Pengkajian 1. Identitas 2. Riwayat Kesehatan - Riwayat Kesehatan Sekarang - Perhatikan tanda-tanda atau gejala klinis dari pertusis - Riwayat Kesehatan Dahulu - Bersangkutan dari etiologi (pernah atau tidak terkena pertusis) atau gejala-gejala pertusis yang masih akut - Riwayat Kesehatan Keluarga - Mengkaji apakah anggota keluarga ada yang mengidap penyakit pertusis Continue. 3. Pemeriksaan Fisik Respirasi - Riwayat gejala flu berlangsung 1 sampai 2 hari - Tanda dan gejala kesukaran pernapasan - Dispnea - Retraksi - Sianosis - Batuk yang menyalak - Suara yang keras saat inspirasi. Kardiovaskuler - Takikardia Neurologis - Gangguan tingkat kesadaran -Gelisah - Sakit kepala - Kebingungan - Gangguan tidur
Continue Gastrointestinal - Kesulitan makan Integumen - Meningkatnya suhu tubuh (biasanya kurang dari 39 o C), bergantung pada metode yang digunakan untuk pengukuran suhu tubuh) Psikososial - Kecemasan
3. ANALISA DATA No Sympton Etiologi Problem 1 DS: Klien mengeluh sesak nafas dan batuk berdahak Klien mengeluh terkadang batuknya keluar dahak terkadang tidak Klien mengeluh nyeri pada dadanya DO: Auskultasi paru terdengar suara ronki Frekuensi napas klien meningkat (RR > 20 x/menit) Klien terlihat susah untuk bernafas / sesak nafas Klien memperlihatkan ekspresi wajah nyeri setelah dia batuk Sekret yang di keluarkan klien kental berwarna putih kekuningan Posisi tidur klien semi fowler Toksin pertusis menyebar pada saluran pernapasan atas
edema pada saluran pernapasan atas
Hipersekresi mukus/sekret oleh sel gobletpada saluran napas atas
Sekret mengental dan tertahan pada jalan nafas
Imobilisasi sekret pada jalan nafas
Akumulasi sekret pada jalan nafas
penyempitan jalan nafas Pola pernapasaan tidak efektif yang berhubungan dengan edema saluran pernapasaan bagian atas dan lendir yang kental 2 DS: Klien mengatakan badannya lemas dan lemah Klien mengeluh badannya panas Klien mengeluh mual dan pengen muntah DO: Turgor kulit menurun dan kering Suhu badan klien meningkat hingga 37 C Klien tampak lemas dan lemah Dalam 1 hari klien sudah 3 x muntah Minuman yang disediakan tidak dihabiskan oleh klien output cairan yang berlebihan karena muntah
Suhu badan yang tinggi karena infeksi dan inflamasi
Intake cairan yang kurang
Resiko dehidrasi Risiko deficit volume cairan yang berhubungan dengan menurunnya asupan cairan melalui oral. 3 DS: Klien mengeluh susah bernapas dan sesak Klien mengatakan ingin pulang dan tidak mau di rumah sakit DO: Klien menunjukkan usaha utuk bernapas lebih Klien menunjukkan tanda-tanda ketakutan berada di rumah sakit Klien menunjukkan wajah yang cemas dan gelisah ketika sedang di periksa Klien susah untuk bernapas /sesak
tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan rawat inap rumah sakit
timbul kecemasan dan kegelisahan pada klien
klien tidak merasa nyaman berada di ruang rawat inap rumah sakit Kecemasan (anak) yang berhubungan dengan kesukaran pernapasan dan rawat inap di rumah sakit. 4 DS: Orang tua pasien mengatakan tidak mengetahui kondisi yang terjadi pada anaknya Orang tua pasien mengatakan kurang pengetahuan tentang penyakit yang diderita pada anaknya Orang tua pasien mengatakan cemas dengan keadaan anaknya yang sekarang DO: Orang tua pasien menunjukkan wajah yang gelisah dan cemas Orang tua pasien meminta penjelasan tentang kondisi anaknya sekarang Kurangnya pengetahuan tentang penyakit yang diderita anak
Orang tua pasien merasa gelisah dan cemas dengan kondisi anaknya Kecemasan (orang tua) yang berhubungan dengan ketakutan dan kurangnya pengetahuan tentang kondisi anaknya.
5 DS:- DO: Klien tidak menunujukkan peningkatan pemulihan yang signifikan Orang tua klien tidak mengetahui secara pasti bagaimana merawat anaknya di rumah Kurangnya pengetahuan tentang perawatan dirumah
Klien tidak menunujukkan pemulihan yang signifikan Defisit pengetahuan tentang perawatan di rumah. 4. DIAGNOSIS KEPERAWATAN DIAGNOSIS KEPERAWATAN I POLA PERNAPASAAN TIDAK EFEKTIF YANG BERHUBUNGAN DENGAN EDEMA SALURAN PERNAPASAAN BAGIAN ATAS DAN LENDIR YANG KENTAL HASIL YANG DIHARAPKAN ANAK AKAN MEMPERTAHANKAN SALURAN NAPAS BEBAS GANGGUAN, YANG DITANDAI OLEH TIDAK ADANYA KESUKARAN PERNAPASAAN.
Intervensi Rasional 1. Kaji status pernapasan anak sesering mungkin, atau kaji secara terus-menerus tanda dan gejala peningkatan kesukaraan pernapasan dan obstruksi pernapasan, termasuk peningkatan frekuensi pernapasan, stridor, retraksi, hidung kembang- kempis, ekspirasi yang memanjang, sianosis kebingungan, kegelisahan, penurunan bunyi napas, takikardia, dan batuk yang menyalak. 1. Tanda dan gejala gangguan pernapasan dapat mengindikasikan obstruksi yang lebih buruk. Peningkatan frekuensi napas yang cepat disertai peningkatan frekuensi jantung dapat merupakan tanda awal hipoksia. 2. Berikan udara yang lembap, sejuk dengan menggunakan tenda lembap, alat humidifikasi, atau masker wajah. 2. Uap yang lembap dapat mengencerkan lendir. 3. Berikan oksigen, jika diperlukan. 3. Pemberian oksigen dpat disarankan untuk mengurangi hipoksia dan kegelisahan. Oleh karena penggunaan oksigen dapat menutupi tanda awal hipoksia yang sebenarnya, dan peningkatan obstruksi, yang perlahan-lahan akan membawa pada keadaan hiperkapnia, penggunaan oksigen hanya diindikasikan untuk menangani hipoksia yang nyata 4. Berikan aerosol epinefrin rosemik, jika perlu; perhatikan tanda-tanda obstruksi pantulan. 4. Epinefrin rasemik mengurangi pembengkakan dari mukosa subglotis. Karena efek pengobatan biasanya singkat, hal ini mengakibatkan obstruksi pantulan. 5. Jika anak dapat menolerensi, letakkan pada posisi Fowler tinggi. 5. Posisi ini meningkatkan kapasitas paru dengan cara mengurangi tekanan diafragma terhadap paru. DIAGNOSIS KEPERAWATAN II RISIKO DEFICIT VOLUME CAIRAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN MENURUNNYA ASUPAN CAIRAN MELALUI ORAL. HASIL YANG DIHARAPKAN ANAK AKAN MEMPERTAHANKAN KESEIMBANGAN CAIRAN YANG DITANDAI OLEH TURGOR KULIT YANG BAIK, DAN HALUARAN URINE 1 SAMPAI 2 ML/KG/JAM.
Intervensi Rasional 1. Kaji kemampuan anak dalam menoleransi cairan (menelan, tercekik, atau batuk). 1. Kemampuan anak untuk menoleransi cairan dipengaruhi oleh perasaan kurang nyaman pada tenggorokan, meningkatnya frekuensi pernapasan, atau muntah. 2. Berikan dan pantau cairan infuse, sesuai saran. 2. Cairan per infuse dapat diberikan untuk mengurangi aktivitas fisik yang berhubungan dengan pemberian makanan per oral. Jika anak mengalami kesukaran pernapasan yang berat, pemberian cairan per oral merupakan hal yang kontradikasi sebab berisiko terjadi aspirasi dan muntah. 3. Pantau asupan dan haluaran cairan pada anak dengan teliti. 3. Pemantauan memungkinkan deteksi dini dari tanda awal dehidrasi, seperti penurunan haluaran urine. 4. Kaji tanda-tanda dehidrasi pada anak, termasuk turgor kulit buruk, mukosa membrane kering, ubun-ubun cekung, dan mata cekung. 4. Asupan cairan pada anak perlu disesuaikan jika tanda dehidrasi tampak. DIAGNOSIS KEPERAWATAN III KECEMASAN (ANAK) YANG BERHUBUNGAN DENGAN KESUKARAN PERNAPASAN DAN RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT. HASIL YANG DIHARAPKAN ANAK AKAN BERKURANG KECEMASAANNYA YANG DITANDAI OLEH PERIODE TIDUR YANG CUKUP, DAN STATUS PERNAPASAN YANG STABIL.
Intervensi Rasional 1. Biarkan anak untuk mengambil posisi yang membuat nyaman selama terapi yang menggunakan pelembapan udara atau oksigen. Contohnya, letakkan anak berbaring ditempat tidur dengan posisi miring atau bagian kepala tempat tidur ditinggikan. 1. Anak harus dibuat senyaman dan seaman mungkin untuk mengurangi kecemasan selama terapi, sebab ketidak nyamanan dapat meningkatkan frekuensi pernapasan anak dan menyebabkan stridor. Anak dapat lebih menoleransi penggunaan tenda lembap atau alat pelembap yang menyejukkan (cool mist), lebih baik daripada melalui masker wajah. 1. Tunda semua pemeriksaan dan prosedur yang tidak mendesak, hingga status pernapasan anak membaik. 1. Tingkat kecemasan anak mungkin sudah meningkat, disebabkan oleh meningkatnya kesukaran pernapasan; test dan prosedur yang belum pernah dapat akan menambah masalah. 1. Anjurkan orangtua untuk menemani anak. 1. Keberadaan orangtua dapat membantu mengurangi kecemasan, dengan demikian menolong menstabilkan frekuensi pernapasan anak. 1. Berikan benda yang sudah dikenal dengan baik oleh anak, seperti boneka dan selimut pada anak, untuk mempertahankan anak agar tetap dalam tenda lembap atau Croupette. Hindari permainan yang menimbulkan percikan api jika anak menggunakan oksigen. 1. Benda yang sudah dikenal dengan baik oleh anak, akan memberikan perasaan yang aman dan membantu mengurangi kecemasan yang berhubungan dengan lingkungan yang baru dan asing bagi anak. 1. Ciptakan ketenangan dan suasana tenang. 1. Ketenangan dan suasana yang tenang membantu mengurangi kecemasan dan meningkatkan pernapasan normal. DIAGNOSIS KEPERAWATAN IV KECEMASAN (ORANG TUA) YANG BERHUBUNGAN DENGAN KETAKUTAN DAN KURANGNYA PENGETAHUAN TENTANG KONDISI ANAKNYA. HASIL YANG DIHARAPKAN ORANG TUA AKAN MENGEKSPRESIKAN BAHWA KECEMASAN BERKURANG, DAN PEMAHAMAN YANG MENINGKATKAN TENTANG KONDISI ANAKNYA, SERTA KATAKUTAN YANG BERKURANG TERHADAP PROSEDUR.
Intervensi Rasional 1. Kaji pemahaman orang tua tentang kondisi anaknya dan pengobatannya sehubungan dengan kemungkinan reaksi ketakutan, karena melihat anaknya ketika mengalami kesukaran pernapasan. 1. Melalui pengkajian semacam ini, memungkinkan anda mengembangkan rencana pendidikan untuk membantu orang tua memahami kondisi anak dan pengobatan, akan mengurangi ketakutannya. 2. Jelaskan pada orang tua semua prosedur, pengobatan dan peralatan. 2. Penjelasan yang diberikan sebelumnya dan selama dirumah sakit akan memberikan pengetahuan dan membantu menyelesaikan kesalahpahaman, mengurangi kecemasan ortu. 3. Berikan dukungan emosional pada orang tua, selama anak dirawat inap di rumah sakit. 3. Dukungan dari sisi emosional akan membantu orang tua menyesuaikan diri dengan krisis yang berasal dari hospitalisasi. DIAGNOSIS KEPERAWATAN V DEFISIT PENGETAHUAN TENTANG PERAWATAN DI RUMAH. HASIL YANG DIHARAPKAN ORANG TUA AKAN MENGEKSPRESIKAN PEMAHAMANNYA SEHUBUNGAN DENGAN INTRUKSI PERAWATAN DIRUMAH. Intervensi Rasional 1. Ajarkan orang tua bagaimana dan kapan memberikan obat; termasuk informasi tentang dosis dan reaksinya. 1. Pehaman program pengobatan akan membantu orang tua mematuhi keseluruhan terapi anak. Mengetahui efek samping dari pengobatan, memungkinkan orang tua akan meminta pertolongan pada dokter bila memungkinkan. 2. Jelaskan pada orang tua tanda dan gejala kesukaran pernapasan dan infeksi, termasuk demam, dispnea, takipnea, sputum yang kekuning-kuningan atau kehijauan dan mengi. 2. Mengetahui bagaimana mengenal tanda dan gejala memungkinkan orang tua mencari pertolongan pada dokter, bila diperlukan 3. Jelaskan pentingnya istirahat yang cukup bagi anak. 3. Setelah infeksi, anak memerlukan masa istirahat yang sering untuk meningkatkan penyembuhan, dan mencegah kekambuhan. 4. Ajarkan tentang pentingnya hidrasi dan nutrisi yang cukup. Jelaskan bahwa anak membutuhkan minum2 sampai 8-oz (240mL) gelas cairan per hari (bergantung pada keadaan ginjal dan kardiovaskular anak) dan mengkonsumsi makanan tinggi kalori. 4. Pemberian cairan akan membantu mengencerkan lendir. Diet tinggi kalori mengganti kalori yang dihabiskan untuk melawan penyakit. 5. Ajarkan tentang pentingnya memberikan lingkungan yang dilembapkan dengan menggunakan pelembap yang dingin. 5. Pelembapan udara membantu mengencerkan lendir. Pelembapan udara dingin dari nebulizer lebih aman daripada udara hangat yang kelur dari alat penguap (vaporiter), karena tindakan ini dapat menyebabkan luka bakar dan pembentukan jamur. 6. Jika anak mengalami serangan selama musim dingin, sarankan orang tua memakaikan selimut hangat atau jaket pada anak, dan bawa ia keluar. 6. Udara dingin akan mengurangi pembengkakan dan batuk menyerupai-rejan. 5. EVALUASI EVALUASI ADDALAH STADIUM PADA PROSES KEPERAWATAN DIMANA TARAF KEBERHASILAN DALAM PENCAPAIAN TUJUAN KEPERAWATAN DINILAI DAN KEBUTUHAN UNTUK MEMODIFIKASI TUJUAN ATAU INTERVENSI KEPERAWATAN DITETAPKAN (BROOKER, 2001).EVALUASI YANG DIHARAPKAN PADA PASIEN : -KEBERSIHAN SALURAN PERNAPASAN DAN POLA PERNAPASAN YANG NORMAL -TERPENUHINYA VOLUME CAIRAN -KESEIMBANGAN CAIRAN YANG DITANDAI TURGOR KULIT YANG BAIK -TERPENUHINYA KEBUTUHAN TIDUR YANG BAIK DENGAN BERKURANGNYA KECEMASAAN SAAT TIDUR -PENGETAHUAN TENTANG PERAWATAN DIRUMAH
DAFTAR PUSTAKA ISPA Agustama., 2005. Kajian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita. Universitas Sumatera Utara. Available from : http://library.usu.ac.id/index.php?option=com_journal_review. [Accessed 31 April 2014] Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2004. Riset Operasional Intensifikasi Pemberantasan Penyakit Menular. Indonesia : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia Available from : http:// www.litbang.depkes.go.id/download/ICDC/RO-ICDC.pdf. [accessed 31 April 2014]. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002. Pedoman pemberantasan dan penatalaksanaan ISPA. Direktoral Jendral Kesehatan Masyarakat, Direktorat Promosi Kesehatan. Rasmaliah., 2004. Infeksi Saluran Akut (ISPA) dan penanggulangan. Universitas Sumatera Utara. Available from : http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-rasmaliah9.pdf. [Accessed 31 April 2014]. Sloane Ethel. 2003. Anatomi Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC Suhandayani, I., 2007. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan ISPA. Universitas Negeri Semarang. Available from : http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/cgi-bin/library. [Accessed 31 April 2014]. Syaifuddin. 2011. Anatomi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika Wong, Donna L. et al. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Volume 2. Jakarta: EGC Yuliati, Helfi. Kusumawati, Dyah Dwi. 2006. Terimaan Dosis Radiasi Foto Thorak oleh Pasien Anak. BATAN. Available fom : http://digilib.batan.go.id/e-prosiding/File- Prosiding/Kesehatan/PTKMR_2006/pros.pert.ilm.ptkmr-des-272006/Helfi-Y-dkk-155.pdf [Accessed 2 Juni 2014]. Daftar pustaka Difteri Arif Muttaqin. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dgn Gangguan Sistem Pernapasan. Salemba Medika. Deterding RR. Essentials of diagnosis and typical features Diphtheria.In : Hay WW, Leswin MJ, Sondheimer JM, eds. Current diagnosis and therapy in pediatric. 18th ed. United State of America : Library of congress press ; 2007.p. 1176 8 Mortimer E, Wharton M. Diphtheria toxoid. In: Vaccine ed Plotkins S, Ornstein, editors. Vaccines. 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders Co.; 1999. p. 140-3. P2MPLP. Laporan hasil penyelidikan KLB Difteri di Kp Bunisari, Desa Balegede, Kecamatan Naringgul Kabupaten Cianjur; 2003. Richard E, Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson vol.2. Jakarta: EGC Sing A, Heesemann J. Imported diphtheria Germany, 2005. Available from : http://www.cdc.gov/ncidod/EID/vol 11no02/05.html. diakses pada tanggal 31 mei 2014 pukul 20.50 WIB Sumarmo, dkk. 2008. Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi 2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Bag. IKA FK UI: Jakarta Tim Dosen keperawatan respirasi I: laily Hidayati, S.Kep., Ns., M.Kep, Ninuk Dian Kurniawati S.Kep., Ns., MANP, Kristiawati, S.Kp., Sp.Kep.An., M.Kep. 2014. Modul praktikum laboratorium mata ajar keperawatan respirasi I. Surabaya: Program Studi Pendidikan Ners Universitas Airlangga. WHO. 2008. Global Imunization Coverage, dalam http://www/who/int/imunization_monitoring/data/en/.com diakses pada tanggal 31 mei 2014 pukul 20.40 WIB
DAFTAR PUSTAKA PERTUSIS Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2012. Buku Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. http://www.depkes.go.id/downloads/PROFIL_KES_PROVINSI_2012/13_ Profil_Kes.Prov.JawaTengah_2012.pdf diakses pada 2 Juni 2014. Nelson E Waldo , Behrman E Richard, Kliegman Robert, Arvin M Ann. 2000. Nelson Textbook Of Pediatric. Edisi 15, volume 2, cetakan I. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC News Health. 2008. Pertusis (Batuk Rejan).http:www.mhcs.heatlh.nws.gov.au.pdf. diakses pada 2 Juni 2014 Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol. 2. Jakarta : EGC Soedarmo, SSP., Garna, H., Hadinegoro SRS., Satari HI. 2010. Pertusis.Dalam: Buku Ajar Infeksi dan Peiatri Tropis Edisi 2. Jakarta: Balai penerbit IDAI Terimakasih...........