Anda di halaman 1dari 12

Diagnosis dan Penatalaksanaan Abses Peritonsil

Stefanus Hendra Ria 102013067, Olivia Sarah Kadang 102016061, Ema F.S. Manalu
102012411, Daniel Raynaldi 102015140, Raymond Wangsa 102016151, Sancia N.L.
Banuang 102014169, Ayu C. Keintjem 102016018, Nindy Octaviani 102016145, Tiara
Namora Tarigan 102016249

D1

Mahasiswa fakultas kedokteran universitas kristen krida wacana

Jl. Arjuna Utara no.6 Jakarta 11510. Telepon : 021-5694 2061; Fax : 021-563 1731

Nindy.2016fk145@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak

Abses peritonsil atau di kenal dengan Quincy merupakan salah satu dari bentuk abses
pada leher. Abses peritonsil ini terbentuk di dalam ruangan potensial diantara fasia leher dala
sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorok dan
sekitarnya. Dalam beberapa kasus tonsilitis akut merupakan salah satu penyebab terjadinya
abses pada peritonsil. Abses yang tidak dapat ditangani dengan baik dapat menyebabkan
kompliksai yang berbahaya seperti obstruksi saluran napas, abses dapat pecah, terjadi asfiksi
pus dan nekrosis menghasilkan sepsis atau perdarahan. Apakah tonsilektomi harus dilakukan
pada saat terjadi abses atau dilakukan setelah infeksi tenang, masih belum terpecahan, tetapi
dengan pemberian antibiotik yang adekuat dan drainase abses merupakan penanganan yang
kebanyakan hasilnya baik, dalam beberapa hari terjadi penyembuhan.

Kata kunci : Abses peritonsil, Quincy, tonsilitis akut

Abstract

Peritonsillary abscess or known as Quincy is one of the forms of abscesses in the


neck. These peritonsillary abscesses form within the potential space between the neck fascia
as a result of spreading infection from various sources such as teeth, mouth, throat and
surroundings. In some cases acute tonsillitis is one of the causes of peritonsillary abscesses.
Abscesses that cannot be handled properly can cause dangerous complications such as
airway obstruction, abscesses can rupture, asphyxiation of pus and necrosis produce sepsis
or bleeding. Does tonsillectomy have to be done when an abscess occurs or is done after the

1
infection is calm, still not broken, but with adequate antibiotics and abscess drainage is a
treatment that mostly results are good, within a few days healing occurs.

Keywords: Peritonsillary abscess, Quincy, Acute tonsillitis

Pendahuluan

Abses peritonsil merupakan kumpulan dari suatu nanah yang terdapat pada jaringan
ikat longgar yaitu diantara fossa tonsilaris dan muskulus konstriktor faring superior. Penyakit
ini memiliki angka kejadian yang cukup tinggi dan dapat menimbulkan komplikasi yang
fatal, karena dapat menyebarluas ke beberapa organ seperti meluas ke daerah parafaring,
daerah intracranial dan bila abses tersebut pecah spontan bisa terjadi perdarahan serta terjadi
mediastinitis yang dapat menimbulkan kematian. Abses peritonsil adalah penyakit infeksi
yang sering terjadi biasanya pada bagian kepala dan leher dan merupakan gabungan dari
bakteri aerob dan anaerob di daerah peritonsil. Dari penyakit ini akan ditemukan pus yang
berlokasi di antara kapsul fibrosa tonsil palatine dan otot konstriktor faringeal superior.
Didaerah ini terdiri atas jaringan ikat longgar, dan infeksi dapat menjalar dengan cepat
sehingga membentuk cairan yang purulent. Inflamasi terjadi progresif dapat meluas secara
langsung ke arah palatum mole, dinding lateral faring, dan jarang kearah basis lidah. Abses
peritonsil ini dapat mengancam jiwa, sehingga diperlukan penanganan yang cepat dan tepat.

Anamnesis

Anamnesis adalah wawancara terhadap pasien. Wawancara yang baik seringkali dapat
mengarahkan masalah pasien ke diagnosis penyakit tertentu. Anamnesis dapat langsung
dilakukan terhadap pasien (auto anamnesis) atau terhadap keluarganya atau pengantarnya
(allo anamnesis) bila keadaan pasien tidak memungkinkan untuk diwawancarai, misalnya
keadaan gawat darurat, afasia akibat strok dan lain sebagainya. Sebelum melakukan
anamnesis, perkenalkan diri dulu kepada pasien, dan tanyakan nama pasien juga secara baik.
Selain melakukan wawancara (verbal), pada anamnesis juga harus diperhatikan sikap non
verbal yang secara tidak sadar ditunjukkan oleh pasien.1

Anamnesis yang baik terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang,
riwayat penyakit dahulu, riwayat obstetri dan ginekologi (khusus wanita), riwayat penyakit
keluarga, anamnesis berdasarkan sistem organ dan anamnesis pribadi (meliputi , keadaan
sosial ekonomi, budaya, kebiasaan, obat-obatan, dan lingkungan). Identitas meliputi nama
lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, nama orang tua atau suami atau istri

2
atau penangungjawab, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, agama. Keluhan utama
adalah keluhan yang dirasakan oleh pasien sehingga membawa pasien pergi ke dokter atau
mencari pertolongan. Keluhan utama ditelurusi untuk menentukan penyebab.

Hal yang penting ditanyakan pada pasien adalah awitan sakit (onset of the disease),
riwayat perjalanan penyakit dan kejadian selama penyakit berlangsung, faktor yang
memengaruhi penyakit (menjadikan lebih berat atau buruk, lebih baik atau berkurang), faktor
genetik atau penyakit di keluarga sedarah dan faktor predisposisi (seperti diabetes atau
riwayat penyakit di masa lampau, misalnya alergi atau riwayat penyakit keluarga yang
berhubungan dengan penyakit sekarang), riwayat penggunaan obat tertentu untuk penyakit
yang dideritanya maupun untuk penyakit lain, dan pengaruh obat tersebut. Anamnesis tidak
perlu lebih terinci, tetapi dapat dilakukan lebih terarah pada diagnosis kerja atau diagnosis
banding setelah dan sewaktu inspeksi.1,2

Pada kasus ini didapatkan hasil anamnesis, yaitu pasien laki-laki berusia 20 tahun datang
dengan keluhan nyeri menelan sejak 1 minggu yang lalu, di lokasi nyeri pada tenggorokan
sisi kiri dan memberat sejak 2 hari yang lalu, sakit menjalar ke kanan dan disertai demam.
Didapatkan juga trisus dan timbul bengkak pada leher bagian kiri.

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, terlebih dahulu dilakukan penentuan keadaan umum,


kesadaran dan tanda-tanda vital (suhu, tekanan darah, frekuensi nadi dan frekuensi
pernafasan). Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik jantung yang meliputi inspeksi, palpasi,
perkusi dan auskultasi. Keadaan umum dikaitkan dapat menunjukan tingkat kesadaran baik
(tidak ada kelainan/ gangguan kesadaran) maka pasien dalam keadaan umum baik. Keadaan
umum tampak sakit (bisa ringan, sedang, atau berat). Tingkat kesadaran secara kualitatif
dapat dibagi menjadi kompos mentis, apatis, somnolen, stupor, dan koma. Kompos mentis
berarti keadaan seseorang sadar penuh dan dapat menjawab pertanyaan tentang dirinya dan
lingkungannya. Apatis berarti keadaan seseorang tidak peduli, acuh tak acuh dan segan
berhubungan dengan orang lain dan lingkungannya.

Somnolen berarti seseorang dalam keadaan mengantuk dan cenderung tertidur, masih
dapat dibangunkan dengan rangsangan dan mampu memberikan jawaban secara verbal,
namun mudah tertidur kembali. Sopor/stupor berarti kesadaran hilang, hanya berbaring
dengan mata tertutup, tidak menunjukkan reaksi bila dibangunkan, kecuali dengan rangsang

3
nyeri. Koma berarti kesadaran hilang, tidak memberikan reaksi walaupun dengan semua
rangsangan (verbal, taktil, dan nyeri) dari luar. Karakteristik koma adalah tidak adanya
arousal dan awareness terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Pada pasien koma terlihat
mata tertutup, tidak berbicara, dan tidak ada pergerakan sebagai respons terhadap rangsangan
auditori, taktil, dan nyeri.3

Suhu tubuh merupakan satu indikasi dari keadaan metabolik seseorang; ukuran
penyediaan informasi mengenai keadaan basal metabolik, ada tidaknya infeksi dan respon
metabolik terhadap latihan. Normal suhu tubuh dewasa adalah 98.6oF (37oC), tetapi dapat
juga berkisar 96.5oF (35, 8oC) sampai 99.4oF (37.4oC). Fever atau pyrexia adalah temperatur
yang melebihi 100oF (37.7oC). Hyperpirexia mengacu pada kenaikan suhu yang ekstrim
(diatas 106.4oF atau 41.1oC). Hypotermia mengacu pada abnormalitas suhu yang rendah
(dibawah 95oF atau 35oC). Suhu normal infant adalah 98.2 oF. Suhu normal anak adalah
98.6oF. Suhu normal adolescent adalah 98.6oF.

Tekanan darah atau blood pressure adalah suatu pengukuran untuk mengukur
ketahanan dari aliran darah. Arterial blood pressure diukur dengan menentukan systolic
pressure dan diastolic pressure.4 Klasifikasi tekanan darah untuk orang dewasa (umur ≥18
tahun): Normal systolic blood pressure < 120 mmHg dan diastolic blood pressure < 80
mmHg. Prehipertensi systolic blood pressure 120-139 mmHg atau diastolic blood pressure
80-89 mmHg. Stage 1 hipertensi systolic blood pressure 140-159 mmHg atau diastolic blood
pressure 90-99 mmHg. Stage 2 hipertensi systolic blood pressure ≥160 mmHg atau diastolic
blood pressure ≥ 100 mmHg.5

Frekuensi nadi atau heart rate (HR), normalnya pada orang dewasa 70 beats per
minute (bpm). Kisarannya (60-100 bpm). Bradycardia bila denyut nadi dibawah 60 bpm.
Takikardi bila denyut nadi diatas 100 bpm. Normal HR infant adalah 120 bpm (range= 70-
170). Normal HR anak adalah 125 bpm (range= 75-140). Normal HR adolescent adalah 85
bpm (range= 50-100). Frekuensi pernafasan atau respiratory rate (RR) saat istirahat pada
dewasa 12-18 breaths per minute. Pada infant adalah 30-50 breaths per minute. Pada anak
adalah 20-40 breaths per minute. Pada adolescent adalah 15-22 breaths per minute.4

Pada kasus didapatkan pemeriksaan fisik, yaitu suhu 38˚C, tenggorokan sulit di buka
dan trisus 2 jari, palatum mole membengkak kearah kiri dan menonjol ke depan. Tonsil kiri
terjadi pembesaran T2, tonsil kanan normal dan ada nyeri menjalar ke telinga kiri.

4
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menunjang kepastian dalam menentukan


diagnosis dari sebuah penyakit. Tindakan aspirasi di daerah yang paling lunak menggunakan
jarum atau dapat dilakukan tindakan punksi untuk menegakan diagnosis yang akurat.
Pemeriksaan penunjang gold standard pada kasus abses peritonsil adalah aspirasi jarum
untuk melihat pus. Cara usap tenggorok tidak dapat menentukan jenis bakteri yang
terkandung dalam abses atau pus. Untuk menentukan jenis bakteri harus dilakukan tindakan
aspirasi pus kemudian dilakukan kultur bakteri. Pemeriksaan laboratorium seperti darah
lengkap dapat dilakukan. Fungsi lain dari pemeriksaan penunjang adalah untuk menentukan
terapi yang akan dilakukan pada pasien tersebut, seperti pemeriksaan radiologi. Pada
pemeriksaan CT scan tonsil dapat terlihat daerah hipodens yang menandakan terdapat cairan
pada daerah tonsil yang terkena dan terlihat pembesaran yang asimetris pada tonsil.6

Anatomi
Faring dibagi menjadi nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Nasofaring
merupakan bagian dari faring yang terletak di atas palatum mole, orofaring yaitu bagian yang
terletak di antara palatum molle dan tulang hyoid, sedangkan laringofaring bagian dari faring
yang meluas dari tulang hyoid sampai ke batas bawah kartilago krikoid. Orofaring terbuka ke
rongga mulut pada pilar anterior faring. Palatum mole (vellum palati) terdiri atas serat otot
yang ditunjang oleh jaringan fibrosa yang dilapisi oleh mukosa. Penonjolan di median
membaginya menjadi dua bagian. Bentuk seperti kerucut yang terletak di sentral disebut
uvula.6

Gambar 1. Ruang Peritonsil.6

5
Tonsil palatina adalah sepasang organ limfoid yang terletak di antara lipatan
palatoglosal (pilar anterior) dan lipatan palatofaringeus (pilar posterior) disebut fosa tonsilaris
(Gambar 1). Dikelilingi oleh kapsul tipis yang memisahkan tonsil dari otot konstriktor
faringeus superior dan otot konstriktor faringeus bagian tengah. Pilar anterior dan posterior
membentuk bagian depan dan belakang ruangan peritonsil. Bagian atas ruangan ini
berhubungan dengan torus tubarius, di bagian bawah dibatasi oleh sinus piriformis. Ruangan
peritonsil diisi oleh jairngan ikat longgar, infeksi yang berat dapat dengan cepat membentuk
pus. Inflamasi dan proses supuratif dapat meluas dan mengenai palatum mole, dinding lateral
faring, dan kadang ke basis lidah.6,7 Fossa tonsiller memiliki banyak jaringan limfa yang
mengarah ke ruang parapharyngeal dan kelenjar getah bening serviks atas.
Diagnosis Kerja

Abses leher dalam terbentuk dari infeksi yang bersumber dari berbagai sumber,
seperti gigi, mulut, tenggorokan, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Abses leher dalam
terbentuk di dalam ruang antara fasia leher. Abses peritonsil atau Quinsy adalah infeksi yang
umum terjadi pada bagian kepala dan leher. Pada abses peritonsil ditemukan kumpulan pus
berlokasi pada kapsul fibrosa tonsil paratina dan otot konstriktor faringeal superior. Infeksi
dapat menjalar dapat dengan cepat karena daerah yang terkena abses terdiri atas jaringan ikat
longgar sehingga akan terbentuk cairan yang purulen. Ruangan peritonsil dapat terinfeksi
oleh bakteri Streptococcus sp. Abses peritonsil merupakan penyakit yang mengancam jiwa
jika abses pecah dan mengenai mediastinum sehingga menjadi mediastinin sebagai bentuk
komplikasi terburuk.6

Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari kasus ini adalah tonsilitis akut dan jenis jenis abses leher
dalam, seperti abses retrofaring, abses parafaring, abses submandibular, dan angina ludovici.
Abses retrofaring adalah terbentuknya abses pada ruang retrofaring. Tonsilitis adalah
peradangan pada kedua tonsil palatina (kanan dan kiri) sehingga tonsil menjadi lebih besar
dan dapat menutup jalan nafas. tonsilitis dapat menyerang semua kalangan usia tanpa adanya
perbedaan kelamin, tetapi cenderung lebih sering menyerang anak anak. Tonsilitis akut terdiri
dari dua jenis tergantung dari penyebab, yaitu tonsilitis viral dan tonsilitis bakteri. Tonsilitis
viral sering disebabkan oleh virus Epstein barr, dengan gejala seperti rhintis simplek yang
disertai dengan rasa nyeri pada tenggorokan. Pada tonsilitis bakteri dapat disebabkan oleh
Pneumococcus, Streptococcus viridan dan Streptococcus pyogenes. Gejala yang timbul

6
cenderung lebih berat bila dibandingkan dengan tonsilitis viral. Gejala yang timbul adalah
demam tinggi, nyeri menelan, nyeri pada sendi, tidak nafsu makan, dan rasa nyeri pada teinga
(otalgia).8

Abses retrofaring banyak ditemukan pada anak usia 5 tahun ke bawah tetapi
penelitian di Taiwan menunjukan terdapat 50 anak dengan usia >12 tahun mememiliki
infeksi leher dalam dengan proporsi sembilan anak dengan abses retrofaring, 17 anak dengan
abses parafaring, 21 anak dengan abses peritonsil dan 3 anak dengan jenis lain.9 Etiologi
terjadinya abses retrofaring adalah infeksi saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis
retrofaring. Trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau
tindakan medis, seperti adenoidektomi, intubasi endotrakea dan endoskopi. Gejala yang
dirasakan biasanya nyeri dan sulit menelan. Pada anak kecil biasanya rasa nyeri
menyebabkan anak kecil menangis terus atau rewel dan tidak mau makan ataupun minum.
Terdapat demam, leher kaku, dan nyeri, dapat timbul sesak napas karena sumbatan jalan
napas, terutama di hipofaring. Bisa terjadi juga perubahan suara dan timbul stridor.

Abses parafaring adalah abses yang menyerang rongga parafaring, pada penelitian di
Taiwan menunjukan terdapat 50 anak dengan usia >12 tahun mememiliki infeksi leher dalam
dengan proporsi sembilan anak dengan abses retrofaring, 17 anak dengan abses parafaring, 21
anak dengan abses peritonsil dan 3 anak dengan jenis lain. Etiologi terjadinya abses
parafaring adalah akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia,
dan dengan proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung,
sinus para-nasal, mastoid, dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk
terjadinya abses ruang parafaring. Dan juga infeksi secara dari ruang peritonsil, retrofaring
atau submandibula. Gejala dan tanda yang utama adalah trismus, indurasi atau
pembengkakan di sekitar angulus mandibular, demam tinggi dan pembengkakan dinding
lateral faring, sehingga menonjol ke arah medial.8,9

Abses submandibula dapat terbentuk pada ruang submandibula sebagai kelanjutan


infeksi dari daerah kepala leher. Abses submandibula lebih sering ditemukan pada kelompok
usia 21-30 tahun (masa produktif). Etiologi terjadinya abses submandibula adalah infeksi
yang berasal dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur, atau kelenjar limfa submandibular.
Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain. Tetapi 70-85% disebabkan
oleh infeksi gigi. Kuman yang menyebabkannya bisa kuman aerob dan anaerob. Gejala yang
muncul adalah demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah mandibular dan atau

7
di bawah lidah, mungkin berfluktuasi. Pada pembengkakan yang terjadi dibawah lidah dapat
membuat lidah terangkat sehingga menutup jalan nafas. Trismus sering ditemukan.8

Angina ludwig adalah infeksi yang terjadi pada ruang submandibula dengan tanda
khas berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula tetapi tidak terbentuk abses,
sehingga pada teraba keras pada perabaan submandibula. Kondisi yang memperberat
terjadinya angina ludwig adalah diabetes melitus, lupus eritematosa sistemik dan
dermatomitosis. Umumnya menyerang pasien berusia 20-60 tahun. Laki laki lebih sering
terkena dibandingkan dengan perempuan dengan perbandingan 3:1. Sumber infeksi yang
menyebabkan terjadinya angina ludovici seringkali berasal dari gigi atau dasar mulut, oleh
kuman aerob dan anaerob. Tandanya terdapat nyeri tenggorok dan leher, disertai
pembengkakan di daerah submandibula yang tampak hiperemis dan keras seperti kayu saat
perabaan pada kanan dan kiri. Dasar mulut bisa membengkak, dapat mendorong lidah ke atas
belakang, sehingga menimbulkan sesak napas, karena sumbatan jalan napas.8

Epidemiologi

Secara internasional kasus abses peritonsil dilaporkan tinggi karena kekambuhan dan
resisten antibiotik. Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering
terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang
menurun sistem imunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang
signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan
perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan multipel penggunaan
antibiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya
abses peritonsiler. Di Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000
orang per tahun, dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun.7

Etiologi

Proses terjadinya abses peritonsil merupakan komplikasi dari infeksi yang menyerang
rongga mulut, seperti tonsilitis akut, infeksi dari kelenjar mukus weber yang terletak pada
kutub atas dari tonsil, penyakit periodontal kronis dan merokok. Tingginya kejadian abses
peritonsil dengan riwayat tonsilitis akut sebelumnya, menjadikan tonsilitis akut sebagai faktor
penyebab tertinggi. Tindakan kultur menunjukan bahwa streptococcus beta-hemolitik grup A
adalah bakteri yang paling sering ditemukan, diikuti dengan bateri Staphylococcus dan

8
Pneumococcus. Pada beberapa kasus ditemukan bakteri aerob dan anaerob dalam satu
abses.10

Patofisiologi

Abses peritonsil dapat terbentuk dengan atau tanpa adanya riwayat tonsilitis akut.
Perjalanan penyakit abses peritonsil dengan riwayat tonsilitis akut adalah hasil perkembangan
tonsilitis menjadi selulitis sehingga terbentuk abses atau pus pada rongga kapsul tonsil.
Perjalanan penyakit abses peritonsil tanpa adanya tonsilitis akut disebabkan oleh terjadi
infeksi pada kelenjar weber yang terletak diatas kapsul tonsil walaupun telah dilakukan
tindakan tonsilektomi kelenjar weber tetap ada. Kelenjar weber ini berfungsi untuk
menghasilkan air liur ke permukaan krita tonsil. Sehingga kelenjar weber dapat menjadi
sumber infeksi walaupun sudah dilakukan tonsilektomi. Bagian superior dan lateral dari fossa
tonsilaris tersusun dari jaringan ikat longgar sehingga potensi untuk terbentuknya infiltrat
meningkat dan tampak pembengkakan dari palatum mole. Abses peritonsil terdiri dari dua
stadium, yaitu infiltrat dan supurasi. Pada stadium infiltrat terjadi pembengkakan dan
permukaan tampak hiperemis atau terlihat lebih merah dari daerah sekitarnya. Ketika
memasuki stadium supurasi daerah yang peritonsil yang sebelumnya membengkak menjadi
lebih lunak dan berwarna kekuningan.

Pada temuan pemeriksaan fisik akan didapatkan peritonsil yang membengkak


sehingga mendorong uvula ke arah kontra lateral atau kearah daerah yang sehat. Bila proses
berlanjut dapat menimbulkan iritasi pada m. Pterigoid interna sehingga akan timbul gejala
trismus atau sulit membuka mulut.6,7

Gejala Klinis

Gejala yang pertama timbul dari abses peritonsil adalah rasa nyeri atau rasa tidak enak
pada tenggorokan. Gejala lain akan timbul seiring dengan pertumbuhan abses pada peritonsil.
Gejala timbul dalam waktu 2-5 hari setelah pertumbuhan abses. Terdapat pembengkakan
peritonsil pada satu sisi sehingga uvula terdorong ke arah sisi yang sehat. Sebagai respon
tubuh terhadap infeksi maka kelenjar limfa pada leher akan membesar. Selama
perkembangan abses akan ditemui gejala, yaitu demam, trismus, nyeri pada telinga pada sisi
yang timbul abses, hipersaliva, dan pembengkakan pada submandibula dengan adanya nyeri
tekan.7

9
Tatalaksana

Penatalaksanaan harus segera dilakukan dan adekuat,untuk mencegah obstruksi


pernafasan dan mencegah meluasnya abses ke ruang parafaring, mediastinum dan basis
kranii. Pemberian obat antipiretik dan analgesik berguna untuk menurun demam yang
muncul. Pada stadium infiltrasi dapat diberikan antibiotik klindamisin dan penisilin.
Pemberian klindamisin sangat direkomendasikan karena antibiotik berspektrum luas untuk
bateri aerob dan anaerob. Pemberian antibiotik oral dapat diberikan kepada pasien yang
masih dapat menelan dengan baik. Klindamisin tablet 500 mg 3x1 selama 7-10 hari. jika
pasien tidak dapat menelan dengan baik karena abses terlalu besar maka bisa diberikan
penisilin melalui intravena atau dengan tindakan insisi untuk mengeluarkan pus. Daerah
untuk memulai prosedur insisi adalah daerah yang lunak dan paling menonjol.7,8

Tonsilektomi merupakan indikasi untuk pasein yang menderita abses peritonsilaris


berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. tonsilektomi dilakukan 2-3
minggu setelah infeksi tenang atau setelah dilakukan drainase abses. Tonsilektomi yang
dilakukan bersama dengan drainase abses disebut tonsilektomi “a’ chaud”, bila dilakukan 3-4
hari setelah drainase abses di sebut “a’tiede”, dan bila dilakukan 4-6 minggu sesudah drainase
abses disebut “a’froid”.8
Komplikasi

Abses dapat pecah secara spontan yang mengakibatkan terjadinya perdarahan, aspirasi
paru atau pyemia, penjalaran infeksi abses ke daerah parafaring sehingga terjadi abses
parafaring, penjalaran ke daerah intracranial dapat mengakibatkan trombus sinus kavernosus,
meningitis dan abses otak. Pada keadaan ini jika tidak ditanganin dengan baik dapat
meninggalkan gejala sisa neurologis yang fatal. Komplikasi lain yang mungkin timbul adalah
endocarditis, nefritis, dan peritonitis juga pernah ditemukan.6

Prognosis

Pada kasus abses leher dalam memiliki prognosis yang baik jika infeksi belum turun
sampai ke mediastinum, terutama bila pasien dapat dengan cepat terdiagnosis dan diberikan
pengobatan. Jika abses leher dalam disebabkan oleh infeksi pada gigi, tindakan pencabutan
gigi dinilai sangat membantu kesembuhan abses. Selama menentukan tindakan pencabutan
dan menunggu persiapan tindakan, pengobatan tetap dilakukan. Jika selama 24 – 48 jam

10
pengobatan medikamentosa tidak memberikan hasil yang baik dan dinilai gagal, perlu
dilakukan tindakan operasi untuk mencegah terjadinya komplikasi.10

Kesimpulan

Abses peritonsil adalah kumpulan abses atau pus yang berada di kapsul dari tonsil,
abses yang terbentuk merupakan hasil dari infeksi bakteri aerob dan anaerob. Jenis bakteri
dapat diketahui jika dilakukan pemeriksaan penunjang inspirasi pus dan dikirim ke
laboratorium untuk di kultur. Temuan fisik yang tampak terlihat seperti tonsilitis tetapi pada
abses peritonsil hanya menyerang satu tonsil tidak keduanya. Diagnosis banding yang
diambil memiliki gejala yang hampir sama dan disebabkan oleh abses tetapi menyerang
daerah yang berbeda. Penatalaksanaan abses peritonsil dengan menggunakan antibiotik
setelah dilakukan kultur tetapi klindamisin dapat diberikan bila tidak menunggu hasil kultur.
Kemudian dilakukan insisi pada daerah yang lebih lunak dan menonjol. Prognosis dari abses
peritonsil baik bila abses tidak pecah. Jika pecah maka meningkatkan resiko terjadi
komplikasi pada mediastinum.

Daftar Pustaka

1. Wenas, Nelly Tendean. Waleleng, B.J. Abses hati piogenik. Dalam: Sudoyo, Aru W.
Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati, Siti. Buku ajar
ilmu penyakit dalam jilid I edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Hal 460-1.

2. Bickley, Lynn S. Buku saku pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan bates. Ed 5.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC: 2008. Hal.64-7.

3. Aprilia M, Wreksoatmodjo BR. Pemeriksaan neurologis pada kesadaran menurun.


CDK. 2015; 223(42)10: 781.
4. Dutton M. Physical therapist assistant exam review guide. Sudbury: World
Headquariers Jones & Bartlett Learning; 2012. h. 23-5.
5. Bell K, Twigg J, Olin BR. Hypertension: the silent killer: update jnc-8 guideline
recomendations. Albama Pharmacy Association; 2015. h. 2-7.

6. Marbun EM. Diagnosis, Tata Laksana dan Komplikasi Abses Peritonsil. J.


Kedokteran Mediatek. 2016;22(60):42-7

11
7. Gosselin BJ et al. Peritonsiller Abcess. 2018 Nov 28 (diakses pada 26 Maret 2019).
Available from: emedicine.medscape.com/article/194863-overview.
8. Soepardi EA dkk. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan
keher. Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2017. h.202-6
9. Kahn JH. Retropharyngeal Abcess. 2018 Oct 05. (diakses pada 26 Maret 2019).
Available from: emedicine.medscape.com/article/764421-overview#a4
10. Gupta G. McDowell RH. Peritonsillar Abscess. 2018 Nov 14. (diakses pada 26 Maret
2019). Available from: www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519520/

12

Anda mungkin juga menyukai