Anda di halaman 1dari 41

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Tn.A dengan nyeri akut”.
Laporan ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas stase Keperawatan Gerontik dalam
Program Studi Pendidikan Ners Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Santo Borromeus.
Dalam penyusunan laporan ini penulis mengalami berbagai kendala namun berkat dorongan
dan semangat, dukungan serta bantuan dari berbagai pihak maka penulis dapat menyelesaikan
laporan ini. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Ns. Elizabeth Ari Setyarini.S.Kep.,M.Kes.AIFO, selaku Ketua STIKes Santo Borromeus
dan Dosen Koordinator Keperawatan Gerontik Program Studi Pendidikan Ners STIKes
Santo Borromeus dan sebagai Dosen Supervisor.
2. Ferdinan Sihombing, S.Kep., Ners, M.Kep, selaku Kepala Program Studi Pendidikan Ners
STIKes Santo Borromeus.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan laporan ini. Semoga laporan ini bermanfaat bagi kita semua.

Bandung, Desember 2021

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah kesehatan di Indonesia yang kita hadapi saat ini diantaranya yaitu
masih adanya penyakit menular, dan semakin meningkatnya penyakit tidak
menular. Dari data kesehatan yang dimiliki Indonesia, beberapa penyakit tidak
menular nyatanya menduduki tataran atas penyakit yang banyak di derita oleh
masyarakat. Salah satu penyakit tidak menular yang sekarang ini banyak di derita
oleh masyarakat adalah penyakit sendi (Riskesdes, 2013).
Angka kejadian rematik pada tahun 2016 yang dilaporkan oleh organisasi
kesehatan dunia WHO adalah mencapai 20% dari penduduk dunia yang telah
terserang rematik, dimana 5-10% adalah mereka yang 5-20 tahun dan 20% adalah
mereka yang berusia 55 tahun (Wiyono, 2014).
Berdasarkan hasil penelitian terakhir dari Zeng QY et al 2014, prevalensi
nyeri rematik di Indonesia mencapai 25.6-35.8%. Dari data yang didapati ini, bisa
dikatakan bahwa, negara Indonesia mempunyai prevalensi nyeri rematik yang
cukup tinggi dimana keadaan seperti ini dapat menurunkan produktivitas negara
akibat keterbasan fungsi fisik penderita yang mengefek pada kualitas hidupnya
(Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian RI, 2013).
Rheumatoid Arthritis merupakan penyakit inflamasi non-bakterial yang
bersifat sistemik, progresif, cenderung kronik dan mengenai sendi serta jaringan
ikat sendi secara simetris (Chairuddin, 2013). Masalah yang disebabkan oleh
penyakit Rheumatoid Arthritis tidak hanya berupa keterbatasan yang tampak jelas
pada mobilitas dan aktivitas hidup sehari-hari tetapi juga efek sistemik yang tidak
jelas yang dapat menimbulkan kegagalan organ. Rheumatoid Arthritis dapat
mengakibatkan masalah seperti rasa nyeri, keadaan mudah lelah, perubahan citra
diri serta gangguan tidur. Dengan demikian hal yang paling buruk pada penderita
Rheumatoid Arthritis adalah pengaruh negatifnya terhadap kualitas hidup.
Dampak dari keadaan ini dapat mengancam jiwa penderitanya,
menimbulkan gangguan kenyamanan, dan masalah yang disebabkan oleh penyakit
rematik tidak hanya berupa keterbatasan yang tampak jelas pada mobilitas hingga
terjadi hal yang paling ditakuti yaitu menimbulkan kecacatan seperti kelumpuhan
dan gangguan aktivitas hidup sehari-hari tetapi juga efek sistemik yang tidak jelas
dapat menimbulkan kegagalan organ dan kematian atau mengakibatkan masalah
seperti perubahan citra diri serta resiko tinggi terjadi cedera, keadaan mudah lelah,
dan rasa nyeri (Kisworo, 2012).
Dalam ilmu penyakit dalam Harrison edisi 18, insidensi dan prevalensi RA
bervariasi berdasarkan lokasi geografis dan berbagai grup etnik yang berkaitan
dengan susunan genetik. Prevalensi tertinggi dilaporkan pada masyarakat asli
Amerika, Yakima, Pima, dan suku-suku Chippewa di Amerika Utara sebesar 7%.
Namun prevalensi RA di dunia relatif konstan yaitu berkisar antara 0,5-1%
(Suarjana,2009). Estimasi prevalensi RA untuk negara dengan pendapatan rendah
dan menengah berdasarkan meta-analisis adalah di Asia Tenggara sebesar 0,4%,
Mediterania Timur sebesar 0,37%, Eropa sebesar 0,62%, dan Amerika sebesar
1,25%. Prevalensi pada laki-laki lebih rendah yaitu 0,16% dibandingkan wanita
yaitu 0,75% dan dinyatakan signifikan secara statistik. Sekitar 2,6 juta laki-laki
dan 12,21 juta wanita menderita RA pada tahun 2000 kemudian
meningkatmenjadi 3,16 juta laki-laki dan 14,87 juta wanita yang menderita RA
pada tahun 2010 (Rudan dkk, 2015).
Walaupun penyebab RA masih belum diketahui secara pasti, namun banyak
faktor risiko yang dapat meningkatkan angka kejadian RA. Diantaranya adalah
faktor genetik, usia lanjut, jenis kelamin perempuan, faktor sosial ekonomi, faktor
hormonal, etnis, dan faktor lingkungan seperti merokok, infeksi, faktor diet,
polutan, dan urbanisasi (Tobon et al,2009).
Telah diketahui bahwa RA adalah penyakit kronik dan fluktuatif sehingga
apabila tidak dilakukan penanganan yang tepat dan cepat akan menyebabkan
kerusakan sendi yang progresif, deformitas, disabilitas, dan kematian. Menurut
Fuch dan Edward, hanya 15% pasien RA yang memperoleh pengobatan secara
medis yang mengalami remisi atau berfungsi normal setelah 10 tahun sejak awal
onset dan hanya 17% dengan tanpa disabilitas. Prognosis RA sendiri dievaluasi
dari berbagai parameter seperti level remisi, status fungsional, dan derajat
kerusakan sendi (Sumariyono,2010).
Masyarakat usia dewasa yang berusia diantara 25 hingga 60 tahun masih
merupakan masa-masa produktif di kehidupannya. Tanggung jawab secara fisik,
biologis, ekonomi dan sosial sangat dibutuhkan dan berkaitan erat dengan status
kesehatannya saat ini. Banyak penyakit degeneratif yang onsetnya dimulai sejak
usia pertengahan menyebabkan produktifitas masyarakat menurun dan masa
lansia di kemudian hari menjadi kurang berkualitas. Salah satu penyakit tersebut
adalah RA dimana proses patologi imunologinya terjadi beberapa tahun sebelum
muncul gejala klinis. Walaupun angka kejadian RA banyak terjadi pada lansia
namun tidak menutup kemungkinan proses patologi telah terjadi seiring
peningkatan usia dan adanya berbagai faktor risiko yang saling berkaitan.
Banyak upaya yang dapat dilakukan guna mencegah terjadinya RA dan
memberikan pengobatan secara cepat dan tepat bagi yang telah terdiagnosis salah
satunya dengan melakukan deteksi dini pada masyarakat usia dewasa. Ada banyak
alat ukur dan kriteria yang dapat digunakan dalam mendiagnosis RA. Diantaranya
adalah berdasarkan kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang
direvisi tahun 1987 dan kriteria ACR (American College of Rheumatology) yang
direvisi tahun 2010.
1.2 Tujuan Penulisan
1. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian
2. Mahasiswa mampu menegakkan diagnosa keperawatan
3. Mahasiswa mampu membuat intervensi / rencana asuhan keperawatan
4. Mahasiswa mampu melakukan implementasi keperawatan
5. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi keperawatan
1.3 Metode Penulisan
Metode penulisan laporan kasus dengan nyeri akut ini dimulai dari melakukukan
pengkajian pada Tn.A dan membuat pengelompkan data, kemudian mencari dasar
materi/pustaka terkait hasil pengkajian tersebut untuk penyusunan laporan
pendahuan dan asuhan keperawatan.pada klien dengan nyeri akut.
1.4 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada laporan kasus ini terdiri dari bab I-V . Bab I berisi
tentang latar belakang yang mencakup prevalensi kejadian serta pentingnya asuhan
keperawatan bagi pasien dengan penyakit Rheumatoid Arthritis. Bab II berisi tentang
tinjauan teoritis yaitu konsep medis penyakit Rheumatoid Arthritis dan konsep asuhan
keperawatan. Bab III berisi tentang rencana asuhan keperawatan berdasarkan kasus yang
diberikan oleh dosen. Bab IV berisi pembahasan yang menjelaskan perbandingan antara
teori dengan temuan pada kasus. Bab V berisi tentang simpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Lansia


2.1.1 Pengertian
Lansia Menurut World Health Organisation (WHO), lansia adalah
seseorang yang telah memasuki usia 60 tahun keatas. Lansia merupakan
kelompok umur pada manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari fase
kehidupannya. Kelompok yang dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu
proses yang disebut Aging Process atau proses penuaan (Fatmah, 2010).
Menua adalah proses menghilangnya secara perlahan aktifitas
jaringan untuk memperbaiki atu mengganti diri dan mempertahankan strukrur
dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas dan
memperbaiki kerusakan yang dide rita (Darmojo,2010).
Proses penuaan adalah siklus kehidupan yang ditandai dengan
tahapan-tahapan menurunnya berbagai fungsi organ tubuh, yang ditandai
dengan semakin rentannya tubuh terhadap berbagai serangan penyakit yang
dapat menyebabkan kematian misalnya pada sistem kardiovaskuler dan
pembuluh darah, pernafasan, pencernaan, endokrin dan lain sebagainya.
Hal tersebut disebabkan seiring meningkatnya usia sehingga terjadi
perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ.
Perubahan tersebut pada umumnya mengaruh pada kemunduran kesehatan
fisik dan psikis yang pada akhirnya akan berpengaruh pada ekonomi dan
sosiallansia. Sehingga secara umum akan berpengaruh pada activity of daily
living (Fatmah, 2010).
2.1.2 Batasan-Batasan Lanjut Usia
Batasan umur menurut organisasi WHO ada 4 tahap lansia meliputi :
usia pertengahan (Middle age )= kelompok usia 45-59 tahun, usia lanjut
(Elderly)= antara 60-74 tahun, usia lanjut tua (Old)= antara 75-90 tahun, dan
usia sangat tua (Very Old)=diatas 90 tahun. Di indonesia batasan mengenai
lansia adalah 60 tahun ke atas, terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 1998 tentang kesejahtereraan lanjut usia pada Bab 1 pasal 1 ayat 2
.Menurut undang-undang tersebut diatas lanjut adalah seseorang yang
mencapai usia 60 tahun ke atas, baik pria maupun wanita (Kurhariyadi,2011).
2.1.3 Perubahan yang terjadi pada lansia
A. Perubahan fisik seperti perubahan sel, sistem pernafasan, sistem
pendengaran,sistem penglihatan, sistem kardiovaskuler, sistem respirasi,
sistem pencernaan, sistem endokrin, sistem integument, dan
muskuloskeletal.
B. Perubahan mental dipengaruhi beberapa faktor berawal dari perubahan
fisik, kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan (hereditas), dan
lingkungan. Biasanya lansia akan menunjukkan perubahan mental pada
memori (kenangan) dimana kenangan jangka panjang lebih dominan
dibandingkan kenangan jangka pendek. Intelegensi akan menurun dengan
bertambahnya usia seseorang. Beberapa perubahan seperti perkataan
verbal, berkurangnya penampilan, persepsi dan keterampilan serta
perubahan daya imajinasi.
C. Perubahan psikososial seperti pensiun maka lansia akan mengalami
berbagai kehilangan yaitu kehilangan finansial, kehilangan status,
kehilangan teman atau relasi, dan kehilangan pekerjaan , merasakan atau
sadar akan kematian (sense of awareness of mortality), kehilangan
pasangan, berpisah dari anak dan cucu, perubahan dalam cara hidup yaitu
memasuki rumah perawatan, dan penyakit kronis dan ketidakmampuan.

Melihat proses penuaan dan perubahan yang terjadi pada lansia maka
dapat mempengaruhi pengetahuan dan memori lansia. Lansia akan
mengalami perubahan kognitif, afektif, dan psikomotor (Christensen, 2006).
Perubahan kognitif yang terjadi pada lansia dapat dilihat dari penurunan
intelektual terutama pada tugas yang membutuhkan kecepatan dan tugas
yang memerlukan memori jangka pendek serta terjadi perubahan pada daya
fikir akibat dari penurunan sistem tubuh, perubahan emosi, dan perubahan
menilai sesuatu terhadap suatu objek tetentu merupakan penurunan fungsi
afektif. Sedangkan penurunan psikomotor dapat dilihat dari keterbatasan
lansia menganalisa informasi, mengambil keputusan, serta melakukan suatu
tindakan (Nugroho, 2010).
2.1.4 Kebutuhan Dasar Lansia
Kebutuhan lanjut usia adalah kebutuhan manusia pada umumnya, yaitu
kebutuhan makan, perlindungan makan, perlindungan perawatan, kesehatan
dan kebutuhan sosial dalam mengadakan hubungan dengan orang lai,
hubungan antar pribadi dengan keluarga, teman-teman sebaya dan hubungan
dengan organisasi-organisasi sosial, dengan penjelasan sebagai berikut:
A Kebutuhan utama, yaitu:
1. Kebutuhan fisiologis/biologis seperti, makanan yang bergizi, seksual,
pakaian, perumahan/tempat beribadah.
2. Kebutuhan ekonomi berupa penghasilan yang memadai.
3. Kebutuhan kesehatan fisik, mental, perawatan pengobatan.
4. Kebutuhan psikologis, berupa kasih sayang adanya tanggapan dari
orang lain, ketentraman, merasa berguna, memiliki jati diri, serta
status yang jelas.
5. Kebutuhan sosial, berupa peranan dalam hubungan-hubungan dengan
orang lain, hubungan pribadi dalam keluarga, teman-teman dengan
organisasi-organisasi sosial
B Kebutuhan sekunder, yaitu:
1. Kebutuhan dalam melakukan aktivitas.
2. Kebutuhan dalam mengisi waktu luang/rekreasi.
3. Kebutuhan yang bersifat politis, yaitu meliputi status, perlindungan
hukum, partisipasi dan keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan
kemasyarakatan dan negara atau pemerintah.
4. Kebutuhan yang bersifat kegamaan/spiritual, seperti memahami akan
makna keberadaan diri sendiri di dunia dan memahami hal-hal yang
tidak diketahui/diluar kehidupan termasuk kematian.
2.2 Konsep Penyakit
2.2.1 Definisi Rheumatoid Arthritis
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang
etiologinya belum diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang
simetris dan pada beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan
ekstraartikular. Perjalanan penyakit RA ada 3 macam yaitu
monosiklik, polisiklik dan progresif. Sebagian besar kasus
perjalananya kronik kematian dini (Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2014).
Kata arthritis berasal dari bahasa Yunani, “arthon” yang berarti
sendi, dan “itis” yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis
berarti radang pada sendi. Sedangkan Rheumatoid Arthritis adalah
suatu penyakit autoimun dimana persendian (tangan dan kaki)
mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan
seringkali menyebabkan kerusakan pada bagian dalam sendi (Febriana,
2015).
Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan
banyak mengenai penduduk pada usia produktif sehingga memberi
dampak sosial dan ekonomi yang besar. Diagnosis dini sering
menghadapai kendala karena pada masa dini sering belum didapatkan
gambaran karakteristik yang baru akan berkembang sejalan dengan
waktu dimana sering sudah terlambat untuk memulai pengobatan yang
adekuat (Febriana, 2015).
2.2.2 Etiologi Rheumatoid Arthritis
Penyebab rematik hingga saat ini masih belum terungkap, Namun beberapa
resiko untuk timbulnya rematik diantara lain adalah:
A. Umur Dari semua faktor resiko timbulnya rematik, faktor ketuaan adalah
yang terkuat. Prevalensi dan beratnya rematik semakin meningkat dengan
bertambahnya umur. Rematik terjadi pada usia lanjut.
B. Jenis kelamin Wanita lebih sering terkena rematik pada lutut dan pria
lebih sering terkena pada paha, pergelangan tangan dan leher.
C. Genetik Faktor herediter juga berperan timbulnya rematik miaslnya pada
seorang ibu dari seorang wanita dengan rematik pada sendi-sendi inter
falang distal terdapat dua kali lebih sering rematik pada sendi tersebut.
Anaknya perempuan cenderung mempunyai tiga kali lebih sering dari
pada ibuknya.
D. Suku Prevalensi dan pola terkenanya sendi pada rematik nampakya
terdapat perbedaan diantara masing-masing suku bangsa, misalnya
rematik paha lebih jarang diantara orang berkulit hitam dengan orang
berkulit putih dan usia dari pada kaukasia. Rematik lebih sering dijumpai
pada orang-orang asli amerika dari pada orang berkulit putih. Hal ini
mungkin berkaitan dengan perbedaan cara hidup maupun perbedaan pada
frekuensi kelainanan kongenital dan pertumbuhan.
E. Kegemukan (Obesitas) Berat badan berlebihan berkaitan dengan
meningkatnya resiko untuk timbulnya rematik pada pria dan wanita.
Karena menahan beban berat badan sehinga mengangu sendi.

2.2.3 Manifestasi Klinis


A. Nyeri pada anggota gerak.
B. Kelemahan otot.
C. Peradangan dan bengkak pada sendi.
D. Kekakuan sendi.
E. Kejang dan kontraksi pada otot.
F. Gangguan fungsi.
G. Sendi berbunyi (Krepitasi)
H. Sendi goyah.
I. Timbulnya perubahan bentuk (Deformitas).
J. Timbulnya benjolan nodul (Soumya,2011).
2.2.4 Faktor Risiko Rheumatoid Arthritis
Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan kasus RA
dibedakan menjadi dua yaitu faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi:
A. Tidak Dapat Dimodifikasi
1. Faktor genetik
Faktor genetik berperan 50% hingga 60% dalam perkembangan
RA. Gen yang berkaitan kuat adalah HLA-DRB1. Selain itu
juga ada gen tirosin fosfatase PTPN 22 di kromosom 1.
Perbedaan substansial pada faktor genetik RA terdapat diantara
populasi Eropa dan Asia. HLA- DRB1 terdapat di seluruh
populasi penelitian, sedangkan polimorfisme PTPN22
teridentifikasi di populasi Eropa dan jarang pada populasi Asia.
Selain itu ada kaitannya juga antara riwayat dalam keluarga
dengan kejadian RA pada keturunan selanjutnya.
2. Usia
RA biasanya timbul antara usia 40 sampai 60 tahun. Namun
dapat terjadi pada dewasa tua dan anak-anak. Dari semua faktor
risiko timbulnya RA, faktor ketuaan adalah yang terkuat.
Prevalensi dan beratnya RA semakin meningkat dengan
bertambahnya usia. RA hampir tidak pernah pada anak-anak,
jarang pada usia dibawah 40 tahun dan sering pada usia diatas
60 tahun.
3. Jenis kelamin
RA jauh lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki
dengan rasio 3:1. Meskipun mekanisme yang terkait jenis
kelamin masih belum jelas. Perbedaan pada hormon seks
kemungkinan memiliki pengaruh.
B. Dapat Dimodifikasi
1. Gaya hidup
1. Status sosial ekonomi
Penelitian di Inggris dan Norwegia menyatakan tidak
terdapat kaitan antara faktor sosial ekonomi dengan RA,
berbeda dengan penelitian di Swedia yang menyatakan
terdapat kaitan antara tingkat pendidikan dan perbedaan
paparan saat bekerja dengan risiko RA.
2. Merokok
Sejumlah studi cohort dan case-control menunjukkan
bahwa rokok tembakau berhubungan dengan peningkatan
risiko RA. Merokok berhubungan dengan produksi dari
rheumatoid factor(RF) yang akan berkembang setelah 10
hingga 20 tahun. Merokok juga berhubungan dengan gen
ACPA-positif RA dimana perokok menjadi 10 hingga 40
kali lebih tinggi dibandingkan bukan perokok. Penelitian
pada perokok pasif masih belum terjawab namun
kemungkinan peningkatan risiko tetap ada.
3. Diet
Banyaknya isu terkait faktor risiko RA salah satunya adalah
makanan yang mempengaruhi perjalanan RA. Dalam
penelitian Pattison dkk, isu mengenai faktor diet ini masih
banyak ketidakpastian dan jangkauan yang terlalu lebar
mengenai jenis makanannya. Penelitian tersebut
menyebutkan daging merah dapat meningkatkan risiko RA
sedangkan buah-buahan dan minyak ikan memproteksi
kejadian RA. Selain itu penelitian lain menyebutkan
konsumsi kopi juga sebagai faktor risiko namun masih
belum jelas bagaimana hubungannya.
4. Infeksi
Banyaknya penelitian mengaitkan adanya infeksi Epstein
Barr virus (EBV) karena virus tersebut sering ditemukan
dalam jaringan synovial pada pasien RA. Selain itu juga
adanya parvovirus B19, Mycoplasma pneumoniae, Proteus,
Bartonella, dan Chlamydia juga memingkatkan risiko RA.
5. Pekerjaan
Jenis pekerjaan yang meningkatkan risiko RA adalah
petani, pertambangan, dan yang terpapar dengan banyak zat
kimia namun risiko pekerjaan tertinggi terdapat pada orang
yang bekerja dengan paparan silica.
2. Faktor hormonal
Hanya faktor reproduksi yang meningkatkan risiko RA yaitu
pada perempuan dengan sindrom polikistik ovari, siklus
menstruasi ireguler, dan menarche usia sangat muda.
3. Bentuk tubuh
Risiko RA meningkat pada obesitas atau yang memiliki Indeks
Massa Tubuh (IMT) lebih dari 30.
2.2.5 Etiopatogenesis dan Patofisiologi Rheumatoid Arthritis
Penyebab pasti masih belum diketahui secara pasti dimana
merupakan penyakit autoimun yang dicetuskan faktor luar (infeksi,
cuaca) dan faktor dalam (usia, jenis kelamin, keturunan, dan
psikologis). Diperkirakan infeksi virus dan bakteri sebagai pencetus
awal RA. Sering faktor cuaca yang lembab dan daerah dingin
diperkirakan ikut sebagai faktor pencetus.
Patogenesis terjadinya proses autoimun, yang melalui reaksi
imun komplek dan reaksi imunitas selular. Tidak jelas antigen apa
sebagai pencetus awal, mungkin infeksi virus. Terjadi pembentukan
faktor rematoid, suatu antibodi terhadap antibodi abnormal, sehingga
terjadi reaksi imun komplek (autoimun).
Proses autoimun dalam patogenesis RA masih belum tuntas
diketahui, dan teorinya masih berkembang terus. Dikatakan terjadi
berbagai peran yang saling terkait, antara lain peran genetik, infeksi,
autoantibodi serta peran imunitas selular, humoral, peran sitokin, dan
berbagai mediator keradangan. Semua peran ini, satu sam lainnya
saling terkait dan pada akhirmya menyebabkan keradangan pada
sinovium dan kerusakan sendi disekitarnya atau mungkin organ
lainnya. Sitokin merupakan local protein mediator yang dapat
menyebabkan pertumbuhan, diferensiasi dan aktivitas sel, dalam
proses keradangan. Berbagai sitokin berperan dalam proses
keradangan yaitu TNF α, IL-1, yang terutama dihasilkan oleh monosit
atau makrofag menyebabkan stimulasi dari sel mesenzim seperti sel
fibroblast sinovium, osteoklas, kondrosit serta merangsang
pengeluaran enzim penghancur jaringan, enzim matrix
metalloproteases (MMPs) (Putra dkk,2013).

Gambar 1. Peranan Imun Adaptif dan Innate dalam Patogenesis RA

Proses keradangan karena proses autoimun pada RA,


ditunjukkan dari pemeriksaan laboratorium dengan adanya RF
(Rheumatoid Factor) dan anti-CCP dalam darah. RF adalah antibodi
terhadap komponen Fc dari IgG. Jadi terdapat pembentukan antibodi
terhadap antibodi dirinya sendiri, akibat paparan antigen luar,
kemungkinan virus atau bakteri. RF didapatkan pada 75 sampai 80%
penderita RA, yang dikatakan sebagai seropositive. Anti-CCP
didapatkan pada hampir 2/3 kasus dengan spesifisitasnya yang tinggi
(95%) dan terutama terdapat pada stadium awal penyakit. Pada saat ini
RF dan anti-CCP merupakan sarana diagnostik penting RA dan
mencerminkan progresifitas penyakit (Putra dkk, 2013).
Sel B, sel T, dan sitokin pro inflamasi berperan penting dalam
patofisiologi RA. Hal ini terjadi karena hasil diferensiasi dari sel T
merangsang pembentukan IL-17, yaitu sitokin yang merangsang
terjadinya sinovitis. Sinovitis adalah peradangan pada membran
sinovial, jaringan yang melapisi dan melindungi sendi. Sedangkan sel
B berperan melalui pembentukan antibodi, mengikat patogen,
kemudian menghancurkannya. Kerusakan sendi diawali dengan reaksi
inflamasi dan pembentukan pembuluh darah baru pada membran
sinovial. Kejadian tersebut menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu
jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang berproliferasi,
mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Pannus tersebut dapat
mendestruksi tulang, melalui enzim yang dibentuk oleh sinoviosit dan
kondrosit yang menyerang kartilago. Di samping proses lokal
tersebut, dapat juga terjadi proses sistemik. Salah satu reaksi sistemik
yang terjadi ialah pembentukan protein fase akut (CRP), anemia
akibat penyakit kronis, penyakit jantung, osteoporosis serta mampu
mempengaruhi hypothalamic-pituitary- adrenalaxis, sehingga
menyebabkan kelelahan dan depresi (Choy, 2012).
Gambar 2. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis

Pada keadaan awal terjadi kerusakan mikrovaskular, edema


pada jaringan di bawah sinovium, poliferasi ringan dari sinovial,
infiltrasi PMN, dan penyumbatan pembuluh darah oleh sel radang dan
trombus. Pada RA yang secara klinis sudah jelas, secara makros akan
terlihat sinovium sangat edema dan menonjol ke ruang sendi dengan
pembentukan vili. Secara mikros terlihat hiperplasia dan hipertropi sel
sinovia dan terlihat kumpulan residual bodies. Terlihat perubahan
pembuluh darah fokal atau segmental berupa distensi vena,
penyumbatan kapiler, daerah trombosis dan pendarahan perivaskuler.
Pada RA kronis terjadi kerusakan menyeluruh dari tulang rawan,
ligamen, tendon dan tulang. Kerusakan ini akibat dua efek yaitu
kehancuran oleh cairan sendi yang mengandung zat penghancur dan
akibat jaringan granulasi serta dipercepat karena adanya Pannus
(Putra dkk,2013).
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang Rheumatoid Arthritis
A. Laboratorium
1. Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive
Protein (CRP) meningkat
2. Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF positif namun
RF negatif tidak menyingkirkan diagnosis
3. Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Biasanya digunakan
dalam diagnosis dini dan penanganan RA dengan spesifisitas 95-98%
dan sensitivitas 70% namun hubungan antara anti CCP terhadap
beratnya penyakit tidak konsisten
B. Radiologis
Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak, penyempitan ruang
sendi, demineralisasi “juxta articular”, osteoporosis, erosi tulang, atau
subluksasi sendi.
2.2.7 Diagnosis
Terdapat beberapa kesulitan dalam mendeteksi dini penyakit
RA. Hal ini disebabkan oleh onset yang tidak bisa diketahui secara
pasti dan hasil pemeriksaan fisik juga dapat berbeda-beda tergantung
pada pemeriksa. Meskipun demikian, penelitian sebelumnya telah
menunjukkan bahwa alat ukur diagnosis RA dengan ARA (American
Rheumatism Association) yang direvisi tahun 1987 memiliki
sensitivitas 91%. Hasil laboratorium yang digunakan dalam
mendiagnosis RA ditemukan kurang sensitif dan spesifik. Sebagai
contoh, IGM Rheumatoid Factor memiliki spesifisitas 90% dan
sensitivitas hanya 54%. (Bresnihan, 2002)
Berikut adalah kriteria ARA (American Rheumatism
Association) yang dapat digunakan dalam mendiagnosis RA:
1. Kaku pagi hari pada sendi dan sekitarnya, sekurang-
kurangnya selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal.
2. Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) pada
3 daerah sendi atau lebih secara bersamaan.
3. Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi
satu pembengkakan persendian tangan yaitu PIP (proximal
interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal), atau
pergelangan tangan.
4. Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua
belah sisi misalnya PIP
(proximal interphalangeal), MCP
(metacarpophalangeal), atau MTP (metatarsophalangeal).
5. Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan
tulang atau permukaan ekstensor atau daerah juksta artikuler.
6. Rheumatoid Factor serum positif
7. Perubahan gambaran radiologis yang khas pada RA pada
sendi tangan atau pergelangan tangan yaitu erosi atau
dekalsifikasi tulang pada sendi yang terlibat
Diagnosa RA, jika sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7
kriteria di atas dan kriteria 1 sampai 4 harus ditemukan minimal 6
minggu. Selain kriteria diatas, dapat pula digunakan kriteria diagnosis
RA berdasarkan skor dari American College of Rheumatology
(ACR/Eular) 2010. Jika skor ≥6, maka pasien pasti menderita RA.
Sebaliknya jika skor <6 pasien mungkin memenuhi kriteria RA secara
prospektif (gejala kumulatif) maupun retrospektif (data dari keempat
domain didapatkan dari riwayat penyakit) (Putra dkk, 2013).
Distribusi Sendi (0-5) Sko
r
1 sendi besar 0
2-10 sendi besar 1
1-3 sendi kecil (sendi besar tidak 2
diperhitungkan)
4-10 sendi kecil (sendi besar tidak 3
diperhitungkan)
>10 sendi kecil 5

Serologi (0-3)
RF negatif DAN ACPA negatif 0
Positif rendah RF ATAU positif rendah ACPA 2
Positif tinggi RF ATAU positif tinggi ACPA 3

Durasi Gejala (0-1)


<6 minggu 0

≥6 minggu 1
Acute Phase Reactant (0-1)

CRP normal DAN LED normal 0

CRP abnormal ATAU LED abnormal 1


2.2.8 Tatalaksana
A. Pencegahan
Etiologi untuk penyakit RA ini belum diketahui secara pasti, namun berdasarkan
penelitian-penelitian sebelumnya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk
menekan faktor risiko:
1. Membiasakan berjemur di bawah sinar matahari pagi untuk
mengurangi risiko peradangan oleh RA. Oleh penelitian
Nurses Health Study AS yang menggunakan 1.314 wanita
penderita RA didapatkan mengalami perbaikan klinis setelah
rutin berjemur di bawah sinar UV-B.
2. Melakukan peregangan setiap pagi untuk memperkuat otot
sendi. Gerakan-gerakan yang dapat dilakukan antara lain,
jongkok-bangun, menarik kaki ke belakang pantat, ataupun
gerakan untuk melatih otot lainnya. Bila mungkin, aerobik
juga dapat dilakukan atau senam taichi.
3. Menjaga berat badan. Jika orang semakin gemuk, lutut akan
bekerja lebih berat untuk menyangga tubuh. Mengontrol berat
badan dengan diet makanan dan olahraga dapat mengurang
risiko terjadinya radang pada sendi.
4. Mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti almond, kacang
polong, jeruk, bayam, buncis, sarden, yoghurt, dan susu skim.
Selain itu vitamin A,C, D, E juga sebagai antioksidan yang
mampu mencegah inflamasi akibat radikal bebas.
5. Memenuhi kebutuhan air tubuh. Cairan synovial atau cairan
pelumas pada sendi juga terdiri dari air. Dengan demikian
diharapkan mengkonsumsi air dalam jumlah yang cukup dapat
memaksimalkan sisem bantalan sendi yang melumasi antar
sendi, sehingga gesekan bisa terhindarkan. Konsumsi air yang
disrankan adalah 8 gelas setiap hari. (Candra, 2013)
6. Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, ditemukan
bahwa merokok merupakan faktor risiko terjadinya RA.
Sehingga salah satu upaya pencegahan RA yang bisa
dilakukan masyarakat ialah tidak menjadi perokok akif
maupun pasif. (Febriana, 2015).
B. Penanganan
Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi,
rehabilitasi dan pembedahan bila diperlukan, serta edukasi kepada
pasien dan keluarga. Tujuan pengobatan adalah menghilangkan
inflamasi, mencegah deformitas, mengembalikan fungsi sendi, dan
mencegah destruksi jaringan lebih lanjut (Kapita Selekta,2014).
1. NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug)
Diberikan sejak awal untuk menangani nyeri sendi akibat
inflamasi. NSAID yang dapat diberikan atara lain: aspirin,
ibuprofen, naproksen, piroksikam, dikofenak, dan sebagainya.
Namun NSAID tidak melindungi kerusakan tulang rawan
sendi dan tulang dari proses destruksi.
2. DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug)
Digunakan untuk melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari
proses destruksi oleh Rheumatoid Arthritis (Putra dkk,2013).

3. Kortikosteroid
Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison 5-
7,5mg/hari sebagai “bridge” terapi untuk mengurangi keluhan
pasien sambil menunggu efek DMARDs yang baru muncul
setelah 4-16 minggu.
4. Rehabilitasi
Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien. Caranya dapat dengan mengistirahatkan sendi yang
terlibat melalui pemakaian tongkat, pemasangan bidai, latihan,
dan sebagainya. Setelah nyeri berkurang, dapat mulai
dilakukan fisioterapi.
5. Pembedahan
Jika segala pengobatan di atas tidak memberikan hasil yang
diharapkan, maka dapat dipertimbangkan pembedahan yang
bersifat ortopedi, contohnya sinovektomi, arthrodesis, total hip
replacement, dan sebagainya. (Kapita Selekta, 2014)
Tabel 1. DMARD untuk terapi RA
OBAT ONSET DOSIS Keterangan

Sulfasalazin 1-2 bulan 1x500mg/hari/io Digunakan


ditingkatkan setiap sebagai lini
minggu hingga pertama
4x500mg/
hari
Metotreksat 1-2 bulan Dosis awal 7,5-10 mg/ Diberikan pada kasus lanjut
minggu/IV dan berat. Efek samping:
atau peroral 12,5- rentan infeksi, intoleransiGIT,
17,5mg/minggu dalam gangguan fungsi hati dan
8-12 minggu hematologik

Hidroksiklor 2-4 bulan 400 Efek samping: penurunan


okuin mg/hari tajam penglihatan, mual,
diare, anemia
hemolitik
Asatioprin 2-3 bulan 50-150 Efek samping:
mg/hari gangguan
hati, gejala GIT,
peningkatan TFH
D- 3-6 bulan 250- Efek samping:
penisilamin 750mg/ha stomatitis,
ri proteinuria, rash

C. Diagnosis Banding Rheumatoid Arthritis


RA harus dibedakan dengan sejumlah penyakit lainnya seperti
artropati reaktif yang berhubungan dengan infeksi,
spondiloartropati seronegatif dan penyakit jaringan ikat lainnya
seperti Lupus Eritematosus Sistemik (LES), yang mungkin
mempunyai gejala menyerupai RA. Adanya kelainan endokrin juga
harus disingkirkan. Artritis gout jarang bersama-sama dengan RA,
bila dicurigai ada artritis gout maka pemeriksaan cairan sendi perlu
dilakukan. Selain itu, osteoartritis juga memiliki kemiripan gejala
dengan RA.
D. Prognosis Rheumatoid Arthritis
Perjalanan penyakit dari RA ini bervariasi dan juga ditentukan
dari ketaatan pasien untuk berobat dalam jangka waktu yang lama.
Lima puluh hingga tujuh puluh lima persen penderita ditemukan
mengalami remisi dalam dua tahun. Selebihnya dengan prognosis
yang lebih buruk. Kejadian mortalitas juga meningkat 10-15 tahun
lebih awal dibandingkan mereka yang tidak mengalami RA.
Khususnya pada penderita RA dengan manifestasi yang berat,
kematian dapat disebabkan oleh infeksi, penyakit jantung, gagal
nafas, gagal ginjal, dan gangguan saluran cerna. Sekitar 40%
pasien RA mengalami hendaya dalam 10 tahun ke depanya.
Penggunaan DMARD kurang dari 12 minggu setelah gejala awal
menunjukkan hasil remisi yang lebih baik (Kapita Selekta, 2014).
Indikator prognostik buruk berupa banyak sendi yang terserang,
LED dan CRP tinggi, RF (+) tinggi dan anti CCP (+), erosi sendi
pada awal penyakit dan sosial ekonomi rendah.
2.3 Konsep Asuhan Keperawatan
3.3.1. Pengkajian
Pengkajian pasien meliputi: nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, status
perkawinan, dx. Penyakit. tergantung pada keparahan dan keterlibatan organ-organ
lainnya ( misalnya mata, jantung, paru-paru, ginjal ), tahapan misalnya eksaserbasi
akut atau remisi dan keberadaaan bersama bentukbentuk rematik lainnya.
A. Aktivitas/istirahat
Gejala : Nyeri sendi karena gerakan, nyeri tekan, memburuk dengan stres pada
sendi; kekakuan pada pagi hari, biasanya terjadi bilateral dan simetris. Limitasi
fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup, waktu senggang, pekerjaan,
keletihan. Tanda : Malaise, keterbatasan rentang gerak; atrofi otot, kulit,
kontraktor/ kelaianan pada sendi.
B. Kardiovaskuler
Gejala : Fenomena Raynaud jari tangan/ kaki ( mis: pucat intermitten, sianosis,
kemudian kemerahan pada jari sebelum warna kembali normal).
C. Integritas ego
Gejala : Faktor-faktor stres akut / kronis: mis; finansial, pekerjaan,
ketidakmampuan, faktor-faktor hubungan. Keputusan dan ketidakberdayaan
(situasi ketidakmampuan) Ancaman pada konsep diri, citra tubuh, identitas
pribadi (misalnya ketergantungan pada orang lain).
D. Makanan/cairan
Gejala ; Ketidakmampuan untuk menghasilkan/ mengkonsumsi makanan/ cairan
adekuat: mual, anoreksia Kesulitan untuk mengunyah Tanda : Penurunan berat
badan, kekeringan pada membran mukosa.
E. Hygiene
Gejala : Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas perawatan pribadi.
Ketergantungan
F. Neurosensori
Gejala : Kebas, semutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada jari
tangan.Gejala : Pembengkakan sendi simetris
G. Nyeri/ kenyamanan
Gejala : Fase akut dari nyeri (mungkin tidak disertai oleh pembengkakan
jaringan lunak pada sendi).
H. Keamanan
Gejala : Kulit mengkilat, tegang, nodul subkutan, Lesi kulit, ulkus kaki.
Kesulitan dalam ringan dalam menangani tugas/ pemeliharaan rumah tangga.
Demam ringan menetap Kekeringan pada mata dan membran mukosa.
I. Interaksi sosial
Gejala : Kerusakan interaksi sosial dengan keluarga/ orang lain; perubahan
peran; isolasi

3.3.2. Diagnosa Keperawatan


A. Nyeri akut/kronis berhubungkan dengan : agen pencedera; distensi jaringan oleh
akumulasi cairan/ proses inflamasi, destruksi sendi.
B. Kerusakan Mobilitas Fisik berhubungan dengan: Deformitas skeletal Nyeri,
ketidaknyamanan, Intoleransi aktivitas, penurunan kekuatan otot.
C. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar), mengenai penyakit, prognosis dan
kebutuhan pengobatan berhubungan kurangnya pemahaman/
mengingat,kesalahan interpretasi informasi
3.3.3. Intervensi Keprawatan
Intervensi keperawatan adalah segala bentuk treatmen yang dikerjakan oleh perawat
didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai tujuan luasan
yang diharapkan (Tim Pokja SIKI, DPP PPNI, 2018). Intervensi yang diberikan
berdasarkan diagnosa adalah sebagai berikut :
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
Nyeri akut/kronis Tujuan : setelah dilakukan tind Manajemen nyeri
berhubungkan dengan : akan keperawatan diharapkan 1. Identifikasi lokasi, karakteristik nyeri, durasi, frekuens
agen pencedera; tingkat nyeri menurun. i, intensitas nyeri
distensi jaringan oleh Kriteria hasil : Tingkat nyeri 2. Identifikasi skala nyeri
akumulasi cairan/ 1. Pasien mengatakan nyeri b 3. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperinga
proses inflamasi, erkurang dari skala 7 menj n nyeri
destruksi sendi. adi 2 4. Berikan terapi non farmakologis untuk mengurangi ra
2. Pasien menunjukkan ekspr sa nyeri
esi wajah tenang 5. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mi
3. Pasien dapat beristirahat d s: suhu ruangan, pencahayaan,kebisingan) 4.6 Anjurka
engan nyaman n memonitor nyeri secara mandiri
Kerusakan Mobilitas Setelah dilakukan intervensi Mobilitas fisik
Fisik berhubungan keperawatan selama 3x24 jam 1. Identifikasi kemampuan klien dalam mobilisasi
dengan: Deformitas maka kemampuan dalam 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan 
skeletal Nyeri, gerak fisik cukup meningkat 3. Monitor kondisi umum selama melakukan pergerakan
ketidaknyamanan, dengan kriteria hasil : 4. Ajarkan klien dalam melakukan latihan ROM (rentang
Intoleransi aktivitas, 1. Keluhan berat tubuh gerak)
penurunan kekuatan sebelah kanan cukup 5. Lakukan latihan aktif pasif
otot. menurun (5) 6. Berikan relaksasi otot progresif
2. Kekuatan motoric sebelah 7. Libatkan keluarga dalam memenuhi kebutuhan ADL
kanan meningkat (5) klien seperti mandi, toileting dan berpakaian

Kurang pengetahuan Setelah dilakukan tindakan Edukasi diet


(kebutuhan belajar), keperawatan selama dalam 1. Terapeutik
mengenai penyakit, perawatan tingkat a Persiapkan media yang akan digunakan untuk
prognosis dan pengetahuan klien bertambah memberi edukasi
kebutuhan pengobatan dengan kriteria hasil :  b Jadwalkan waktu yang tepat untuk memberikan
berhubungan Tingkat pengetahuan Pendidikan kesehatan
kurangnya 1. Kemampuan 2. Edukasi
pemahaman/ menjelaskan tengetahuan a. Jelaskan tujuan kepatuhan diet terhadap
mengingat,kesalahan tentang asam urat kesehatan
interpretasi informasi meningkat (5) b. Informasikan makanan yang diperbolehkan dan di
2. Perilaku sesuai larang
dengan pengetahuan c. Anjurkan mengganti bahan makanan sesuai diet
meningkat (5) yang diprogramkan

3.3.4. Implementasi keperawatan


Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawa
t untuk membantu pasien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus keseh
atan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. Proses pelaksan
aan implementasi harus berpusat kepada kebutuhan pasien, faktor-faktor lain yang m
empengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi implementasi keperawatan, dan kegiat
an komunikasi (Dinarti & Muryanti, 2017)
3.3.5. Evaluasi keperawatan
Evaluasi merupakan langkah akhir dari proses keperawatan. Evaluasi adalah kegiata
n yang disengaja dan terus menerus dengan melibatkan pasien, perawat dan anggota
tim kesehatan lainnya (Padila, 2012). Menurut Setiadi (2012) dalam buku Konsep &
penulisan Asuhan Keperawatan, Tahap evaluasi adalah perbandingan yang sistemati
s dan terencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilak
ukan dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan pasien, keluarga, dan tenag
a kesehatan lainnya. Terdapat 2 jenis evaluasi :
A. Evaluasi formatif (proses)
Evaluasi formatif berfokus pada aktifitas proses keperawatan dan hasil tindakan
keperawatan. Evaluasi ini dilakukan segera setelah perawat mengimplementasika
n rencana keperawatan guna menilai keefektifan tindakan keperawatan yang tela
h dilaksanakan. Evaluasi ini meliputi 4 komponen yang dikenal dengan istilah S
OAP, yakni subjektif (data keluhan pasien), objektif (data hasil pemeriksaan), an
alisis data (perbandingan data dengan teori), dan perencanaan.
B. Evaluasi sumiatif (hasil)
Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah semua aktifitas proses k
eperawatan selesai dilakukan. Evaluasi sumatif ini bertujuan menilai dan memon
itor kualitas asuhan keperawatan yang telah diberikan. Metode yang dapat digun
akan pada evaluasi jenis ini adalah melakukan wawancara pada akhir pelayanan,
menanyakan respon pasien dan keluarga terkai pelayanan keperawatan, mengada
kan pertemuan pada akhir layanan.
Ada tiga kemungkinan hasil evaluasi dalam pencapaian tujuan keperawatan, yaitu :
1. Tujuan tercapai/masalah teratasi
2. Tujuan tercapai sebagian/masalah teratasi sebagian
3. Tujuan tidak tercapai/masalah belum teratasi
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN
A. Identitas Klien
Nama : Tn.A
Umur : 59 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku : Jawa
Agama : Muslim
Pendidikan : SLTA
Status Perkawinan : Kawin
Tanggal Pengkajian : 7 Desember 2021
Alamat : Titimplik dalam, Kel. Sadang Serang, Kec. Coblong,
Kota Bandung
B. Riwayat Kesehatan Klien:
1. Keluhan utama; Nyeri sendi
2. Keluhan yg menyertai: Pusing, dan jari-jari terasa kram
Riwayat kesehatan sekarang: Keluarga mengatakan nyeri dada yang dialami klien saat
aktivitas dan membaik saat istirahat, namun terkadang saat istirahat juga terasa nyeri.
Nyeri seperti kram, nyeri menjalar ke kaki dan punggung, skala nyeri 7/10, nyeri
mengganggu aktivitas sehari-hari. Klien juga mengatakan pernah jatuh saat naik tangga.

Tn.A mengatakan tidak mengerti tentang penyakit rematik, makanan patangan dan cara
pengobatan untuk rematik. Tn.A juga mengatakan penyakit ini sudah terjadi sejak 4
tahun yang lalu dialami klien. Tn.A bertanya tentang rematik, makanan pantangan dan
cara pengobatan rematik
3. Riwayat kesehatan masa lalu: Keluarga (An.Y) mengatakan bahwa klien memiliki
riwayat penyakit kolesterol, hipertensi, dan asam lambung. Keluarga mengatakan klien
pernah masuk rumah sakit karena hipertensi pada tahun 2017.
Tn.A bertanya tentang rematik, makanan pantangan dan cara pengobatan rematik
4. Riwayat kesehatan keluarga:
N Nama (Inisial) Umur Hubungan Dengan Klien Kondisi Kesehatan (Sehat/Sakit)
o
1 Tn. Y 29 Tahun Anak Sehat
2 Nn. Y 27 Tahun Anak Sehat
5. Genogram
Keterangan:
: Laki-laki

: Perempuan
: Garis keturunan
: Tinggal dalam satu rumah
: Meninggal
: Anggota keluarga sakit/pasien (Tn.A)

C. Pengkajian Fisik
1. Keadaan umum: Pasien tampak sakit ringan, aktivitas mandiri
2. Pengukuran fisiologis (TTV): TD; 160/90 mmHg, S; 36,20C, N; 78x/mnt, RR; 21x/mnt
3. Sistem pernapasan
Inspeksi : Bentuk hidung simetris, tidak tampak pernafasan cuping hidung, tidak
batuk, tidak ada secret, bentuk dan pergerakan dada simetris, tidak ada
retraksi dinding dada, irama pernapasan regular.
Perkusi : terdengar bunyi pekak, tidak ada pembesaran paru.
Palpasi : tidak ada nyeri pada daerah sinus, taktil fremitus normal.
Auskultasi : tidak ada bunyi napas tambahan, vesicular disemua lapang paru, tidak ada
vocal resonans
4. Sistem cardiovaskuler:
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat, tidak ada clubbing finger, tidak sianosis.
Perkusi : terdengar bunyi pekak, batas atas jantung ICS II kanan dan kiri, bawah:
ICS V kiri linea medial midklavikula, kiri: ICS II linea parasternalis,
kanan: ICS III-IV linea parasternalis kanan.
Palpasi : ictus cordis tidak teraba, CRT: < 2 detik.
Auskultasi : Bunyi jantung I terdengar bunyi “lup” di ICS linea sternalis kiri, bunyi
jantung II: terdengar bunyi “dup” di ICS II linea sternalis kanan dan kiri, HR: 78x/mnt.
5. Sistem gastrointestinal
Inspeksi : bibir lembab, tidak ada stomatitis, lidah bersih, tidak ada gingivitis, tidak
ada inflamasi di tonsil, tidak ada karies gigi, abdomen datar, tidak ada
spider nevi, tidak ada distensi abdomen, tidak ada hemoroid.
Perkusi : terdengar bunyi timpani
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, masa atau benjolan
Auskultasi : bising usus 6x/mnt
6. Sistem perkemihan
Inspeksi : tidak ada distensi pada region hipogastria
Perkusi : tidak ada nyeri ketuk daerah costo vertebral angel
Palpasi : tidak ada nyeri tekan pada region hipogastria
7. Sistem integument
Inspeksi : Warna kulit sawo matang, rambut putih beruban, distribusi merata, tidak
ada benjolan atau luka, tidak ada petekie atau ekimosis.
Palpasi : turgor kulit mengkilap keriput, lembab.
8. Sistem genitoreproduksi
Inspeksi : tidak ada lesi, tidak ada edema.
Palpasi : tidak ada kelainan
9. Sistem musculoskeletal
Inspeksi : Bentuk kepala bulat, gerakan kepala baik, lutut dan kaki tampak
bengkak, tidak ada atrofi, rentang gerak baik, Pasien tampak meringis
dengan sering memegang lututnya. Skala kekuatan otot 5 5
3 3
Palpasi : nyeri tekan dengan skala nyeri 7 dari skala nyeri 10
10. Sistem endokrin
Inspeksi : bentuk tubuh normal, tidak gigantisme, tidak ada pembesaran kelenjar
tiroid.
Palpasi : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid.

D. Pengkajian Sosial dan Spiritual


1. Psikososial
a. Kemampuan sosialisasi klien pada saat sekarang:
Klien mengakatan masih bersosialisai dengan baik Bersama warga sekitar walaupun
hanya bercerita dengan warga ketika mereka datang membeli sesuatu di warung
karena masil sulit untuk berjalan.
b. Sikap klien pada orang lain:
Klien mengatakan selalu bersikap baik dengan warga sekitar.
c. Harapan-harapan klien dalam melakukan sosialisasi:
Klien mengatakan ia berharap dapat tetap diterima di lingkungan masyarakat saat
berkumpul walaupun sekarang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah untuk
menjaga warung.
d. Kendala yang dihadapi klien dalam bersosialisasi:
Klien mengatakan saat ini tidak ada kendala saat bersosialisasi dengan warga sekitar,
hanya saja tidak dapat pergi untuk berkumpul bersama di tempat lain misalnya di
masjid.
e. Kepuasan klien dalam sosialisasi:
Klien mengatakan ia merasa senang di terima di lingkungan sekitar.
2. Emosional
Identifikasi masalah emosional klien:
Pertanyaan tahap 1
a. Apakah klien mengalami sukar tidur ? tidak
b. Apakah klien sering gelisah ? tidak
c. Apakah klien sering murung atau menangis sendiri ? kadang-kadang
d. Apakah klien sering was-was atau kuatir ? ya
Lanjutkan ke pertanyaan tahap 2 jika lebih dari atau sama dengan 1 jawaban ‘ya’
Pertanyaan tahap 2
1. Keluhan lebih dari 3 bulan atau lebih dari 1x dalam sebulan ? tidak
2. Ada masalah / banyak pikiran ? ya
3. Adanya gangguan /masalah dengan keluarga lain ? tidak
4. Menggunakan obat tidur/penenang atas anjuran dokter ? tidak
5. Cenderung mengurung diri ? tidak
Bila lebih dari satu atau sama dengan 1 jawaban ‘ya’ masalah emosional klien (+)
3. Spiritual
a. Kegiatan agama yang ditekuni klien
Klien mengatakan ia melakukan sholat, namun sudah setahun lebih tidak ke masjid
b. Konsep/keyakinan klien tentang kematian
Klien mengatakan kematian merupakan kehendak dari Yang Maha Kuasa
c. Harapann-harapan klien tentang spiritual
Klien mengatakan mengharapkan Allah tetap memberikan umur panjang dan kesehatan
yang baik bagi klien

E. Pengkajian Fungsional Klien


1. KATZ Indeks
a. Mandiri dalam makan, kontinen (BAK,BAB), menggunakan pakaian, pergi ke
toilet, berpindah dan mandi
b. Mandiri semuanya kecuali salah satu saja dari fungsi diatas
c. Mandiri kecuali mandi dan satu lagi fungsi yang lain
d. Mandiri kecuali mandi, berpakaian dan satu fungsi lain
e. Mandiri kecuali mandi, berpakaian, ke toilet dan satu fungsi lain
f. Mandiri kecuali mandi, berpakaian, ke toilet, berpindah dan satu fungsi lain
g. Ketergantungan semua fungsi diatas
2. Modifikasi dari Barthel Indeks
Dengan
No Kriteria Mandiri Keterangan
Bantuan
Frekuensi: 3 x sehari
Jumlah: 1 porsi (kadang habis,
1 Makan
kadang ½)
10 Jenis: nasi dan lauk
Frekuensi: 5-7 x sehari
2 Minum 10 Jumlah: 5-7 gelas
Jenis: air, kopi
Dengan sedikit bantuan
Berpindah dari kursi roda ke tempat
3 10 (memegang kursi atau tempat
tidur, sebaliknya
tidur)
4 Personal hygiene (cuci muka, 5 Frekuensi: 2 x sehari
menyisir rambut, menggosok gigi)
Keluar masuk toilet (membuka
5 10 Mandiri
pakaian, Menyeka tubuh, menyiram)
6 Mandi 15 Frekuensi: 2 x sehari

Jalan dipermukaan datar 10 Mandiri


7
Dengan bantuan (pegang
8 Naik turun tangga 5
pembatas tangga)
9 Mengenakan pakaian 10 Mandiri
Frekuensi: 1-2 x sehari
10 Kontrol bowel (BAB) 10
Konsistensi: padat/cair
11 Kontrol bladder (BAK) 10 Frekuensi:
12 Olahraga / Latihan 5 Dengan bantuan
13 Rekreasi/pemanfaatan waktu luang 10 Menonton TV, menjaga warung
TOTAL 120 Mandiri

Keterangan :
Nilai 130 : Mandiri
Nilai 60 – 125 : Ketergantungan sebagian
Nilai 55 : Ketergantungan total
TERMASUK KATEGOR: Ketergantungan Sebagian
F. Pengkajian Status Mental
1. Identifikasi tingkat kerusakan intelektual dengan menggunakan Short Portabel
Mental Status Questioner (SPSMQ)
Ben Sala Pertanyaan
a
r
√ Tanggal berapa
hari ini?
Tidak tahu
√ Hari apa sekarang?
Rabu
√ Apa nama tempat
ini? Titimplik
√ Dimana alamat
anda?
Bandung
√ Berapa umur anda?
59 Tahun
√ Kapan anda lahir? 24 Agustus 1962
√ Siapa presiden Indonesia sekarang? Jokowi
√ Siapa presiden Indonesia sebelumnya? SBY
√ Siapa nama ibu anda? Yati Sarwiyah
√ Kurangi 3 dari 20
& tetap
pengurangan 3
dari setiap
angka baru,
semua secara
berurutan 17 –
14 – 11
Jumlah Benar 9, Salah 1

Total Skor:
1. Salah 0-3: fungsi intelektual utuh
2. Salah 4-5: kerusakan intelektual ringan
3. Salah 6-8: kerusakan intelektual sedang
4. Salah 9-10: kerusakan intelektual berat
TERMASUK KATEGORI: Fungsi Intelektual Utuh
2. Identifikasi aspek kognitif dari fungsi mental dengan menggunakan Mini Mental Status
Exam) MMSE
No. Aspek Kognitif Nilai Mhs
Nilai Klien Kriteria
Menyebutkan dengan benar :
1) Tahun: Tidak tahu
2) Musim: Hujan
1 Orientasi 5 1
3) Tanggal: Tidak tahu
4) Hari: Tidak tahu
5) Bulan: Tidak tahu
Menyebutkan dengan benar
1) Negara Indonesia
2) Propinsi Jawa Barat
Orientasi 5 5 3) Kota Bandung
4) Rumah
5) Alamat: Titimplik
Sebutkan nama 5 objek selama 1 detik
kemudian klien mengulangi nama obyek
tersebut
2 Registrasi 5 5 1) Pulpen
2) Meja
3) Kursi
4) Gallon
5) Buku
Minta klien untuk memulai dari
angka 100 kemudian dikurangi 7
sampai 5 tahap :
1)
Perhatian & Kalkulasi 1
2)
3)
4)
5)
Minta klien untuk menyebutkan atau
mengulang kelima (5) objek pada no.2
1) Pulpen
Mengingat 5 Meja
2)
Kursi
3)
Gallon
4)
Buku
5)
Tunjukkan pada klien suatu benda (2 objek)
tanyakan namanya!
1) TV
2) Kulkas
Minta klien untuk mengulang kata berikut:
“Tak ada, jika dan tetapi
5 Bahasa 9 9 3) Tak ada, jika dan tetapi
Minta klien untuk mengikuti perintah
berikut:
4) Ambil kertas di tangan anda
5) Lipat dua
6) Taruh di lantai

Perintahkan pada klien untuk hal berikut (bila


aktifitas sesuai perintah nilai 1)
7) Tutup mata anda
Perintahkan pada klien menilai satu kalimat dan
menyalin gambar:
8) Tulis satu kalimat
9) Menyalin gambar

Total Nilai: 26

Interpretasi hasil :
a. Nilai lebih dari 25 = aspek kognitif dan fungsi mental baik
b. Nilai 18-22 = kerusakan aspek fungsi mental ringan
c. Nilai kurang dari 17 = terdapat kerusakan aspek fungsi mental berat
TERMASUK KATEGORI: Aspek Kognitif Dan Fungsi Mental Baik
G. Pengkajian Keseimbangan untuk Lansia
Komponen
utama Dalam Langkah-langkah Kriteria
bergerak Nilai
A. Perubahan
posisi / Tidak bangun dari tempat tidur dengan satu gerakan, tetapi
1. Bangun dari kursi 1
gerakan mendorong tubuhnya ke atas dengan tangan atau bergerak
keseimbangan ke depan kursi terlebih dahulu, tidak stabil
2. Duduk ke kursi Menjatuhkan diri ke kursi, tidak duduk ditengah kursi 0
Pemeriksa Mendorong (perlahan-lahan sebanyak 3x). klien
3. Menahan dorongan
menggerakkan kaki, memegang objek untuk dukungan, 0
pada
kaki tidak menyentuh sisi-sisinya
Mata ditutup (Keterangan : kursi yang keras tanpa lengan) 0
4. Bangun dari kursiKriteria sama dengan criteria mata terbuka 1
5. Duduk ke kursi Kriteria sama dengan criteria mata terbuka 1
6. Menahan pada dorongan sternum
Kriteria sama dengan criteria mata terbuka 0
7. Perputaran leher Menggerakkan memegang objek untuk dukungan, kaki tidak
dengan bahu fleksi menyentuh sisi-sisinya, keluhan vertigo, pusing atau 0
max, sementara keadaan tidak stabil
Tidak mampu untuk menggapai sesuatu berdiri pada ujung-
8.Gerakan menggapai
ujung jari kaki tidak stabil, memegang sesuatu untuk 0
sesuatu dukungan
Tidak mampu membungkuk untuk mengambil objek-objek
9. Membungkuk kecil dari lantai, memegang objek untuk bisa berdiri, 0
memerlukan usaha-usaha multiple untuk bangun
B. Gaya 10. Minta klien untuk
berjalan untuk berjalan ke tempatRagu-ragu, tersandung, memegang objek untuk dukungan 1
bergerak yang ditentukan
Kaki tidak naik dari lantai secara konsisten
11. Ketinggian Langkah
(menggeser/menyeret kaki), mengangkat kaki terlalu 1
kaki (saat berjalan) tinggi (>50cm)
Setelah melangkah awal, Langkah menjadi tidak konsisten,
12. Kontinuitas
memulai mengangkat satu kaki, sementara yang lain 1
Langkah kaki menyentuh tanah (diobservasi dari samping klien)
13. Kesimetrisan Tidak berjalan pada garis lurus, bergelombang dari sisi ke sisi
0
Langkah (diobservasi dari samping klien)
14. Penyimpangan jalur Tidak berjalan pada garis lurus, bergelombang dari sisi ke sisi
0
saat berjalan (diobservasi dari samping klien)
Berhenti sebelum berbalik, jalan sempoyongan, bergoyang,
15. Berbalik 1
memegang obyek untuk dukungan
Jumlah total: 7
a. 0-5 resiko jatuh ringan
Intervensi hasil b. 6-10 resiko jatuh sedang
c. 11-15 resiko jatuh berat

TERMASUK KATEGORI: Resiko Jatuh Sedang

G. Pengelompokan Data

Data Subyektif Data Obyektif


1. Pasien mengeluh nyeri sendi 1. Keadaan umum: Pasien tampak sakit
2. Pasien juga mengatakan sering merasa pusing, dan jari-jari ringan, aktivitas mandiri
terasa kram 2. Pengukuran fisiologis (TTV): TD;
3. Keluarga mengatakan nyeri yang dialami klien saat aktivitas 160/90 mmHg, S; 36,20C, N;
dan membaik saat istirahat, namun terkadang saat istirahat 78x/mnt, RR; 21x/mnt
juga terasa nyeri. Nyeri seperti kram, nyeri menjalar ke kaki 3. Pasien tampak meringis dengan
dan punggung, skala nyeri 7/10, nyeri mengganggu aktivitas sering memegang lututnya, lutut
sehari-hari. dan kaki tampak bengkak,
4. Riwayat kesehatan masa lalu: Keluarga (An.Y) mengatakan 4. Pada pengkajian fungsional tubuh
bahwa klien memiliki riwayat penyakit kolesterol, hipertensi, klien berdasarkan penilaian
dan asam lambung. Keluarga mengatakan klien pernah Modifikasi dari Barthel Indeks
masuk rumah sakit karena hipertensi pada tahun 2017. didapatkan hasil pasien termasuk
5. Nyeri tekan dengan skala nyeri 7 dari skala nyeri 10 dalam kategori ketergantungan
6. Klien mengatakan terkadang murung atau menangis sendiri sebagian dengan nilai hasil
karena beban pikiran di masa lalu, saat mencoba membangun pemeriksaan adalah 120
komunikasi klien masih sulit mengungkapkan kejadian 5. Pada pemeriksaan keseimbangan
tersebut lansia, pasien juga masuk dalam
7. Tn.A mengatakan tidak mengerti tentang penyakit rematik, kategori resiko jatuh sedang degan
makanan patangan dan cara pengobatan untuk rematik nilai hasil pemeriksaan adalah 7
8. Tn.A mengatakan penyakit ini sudah terjadi sejak 4 tahun 6. Tn.A bertanya tentang rematik,
yang lalu dialami klien. makanan pantangan dan cara
9. Klien juga mengatakan pernah jatuh saat naik tangga. pengobatan rematik
3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN
A. Analisa Data (SDKI)
Data (DO)/DS) Etiologi Masalah
Data Subyektif:
1. Pasien mengeluh nyeri sendi
2. Pasien juga mengatakan sering merasa
pusing, dan jari-jari terasa kram
3. Keluarga mengatakan nyeri yang dialami
klien saat aktivitas dan membaik saat
istirahat, namun terkadang saat istirahat
Proses menua
juga terasa nyeri. Nyeri seperti kram,
nyeri menjalar ke kaki dan punggung,
Perubahan hormonal
skala nyeri 7/10, nyeri mengganggu
aktivitas sehari-hari.
Proses Inflamasi
4. Nyeri tekan dengan skala nyeri 7 dari
skala nyeri 10 Nyeri akut
Permukaan tulang dan sendi tidak
Data Obyektif:
lagi licin
1. Keadaan umum: Pasien tampak sakit
ringan. Pasien tampak meringis dengan
Tulang Mengalami gesekan
sering memegang lututnya, lutut dan kaki
tampak bengkak,
Nyeri
2. Pengukuran (TTV): TD; 160/90 mmHg, S;
36,20C, N; 78x/mnt, RR; 21x/mnt
3. Pada pengkajian fungsional tubuh klien
berdasarkan penilaian Modifikasi dari
Barthel Indeks didapatkan hasil pasien
termasuk dalam kategori ketergantungan
sebagian dengan nilai 120
Data Subyektif
1. Tn.A mengatakan tidak mengerti tentang Proses menua
penyakit rematik, makanan patangan dan
cara pengobatan untuk rematik Penurunan daya ingat
2. Tn.A mengatakan penyakit ini sudah
Deficit pengetahuan
terjadi sejak 4 tahun yang lalu dialami Kurang terpapar informasi
klien.
Data Obyektif Kurang pengetahuan tentang
1. Tn.A bertanya tentang rematik, makanan rematik
pantangan dan cara pengobatan rematik
Data Subyektif
Proses menua
1. Klien mengatakan pernah jatuh saat naik
tangga
Kesulitan berjalan karena Nyeri
Data Obyektif:
1. Pada pemeriksaan keseimbangan lansia, Resiko jatuh
Riwayat jatuh
pasien juga masuk dalam kategori resiko
jatuh sedang degan nilai hasil
Resiko jatuh
pemeriksaan adalah 7

B. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis di buktikan dengan pasien
mengeluh nyeri dengan skali 7 dari skala nyeri 10
2. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi dibuktikan dengan
pasien menanyakan tentang pantangan makan/diet untuk rematiknya
3. Resiko jatuh berhubungan dengan riwayat jatuh dibuktikan dengan riwayat jatuh dan
gangguan keseimbangan
3.3 INTERVENSI
No Diagnosa kepeperawatan Tujuan Intervensi Rasional
1 Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri 1. Mengetahui keadaan umum klien
keperawatan selama dalam 1. Obsevasi 2. Untuk memberikan tindakann keperawatan
dengan agen pencedera perawatan pasien mampu a. Observasi TTV dalam pengurangan nyeri
menurunkan rasa nyeri dengan b. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
fisiologis di buktikan
kriteria hasil; frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
3. Untuk menilai nyeri menurun atau
dengan pasien mengeluh Tingkat nyeri c. Identifikasi skala nyeril meningkat
1. Kemampuan menuntaskan d. Identifikasi faktor yang memperberat dan 4. Untuk memberikan tindakan dalam
nyeri dengan skali 7 dari engurangan rasa nyeri saat nyeri terasa
aktifitas meningkat (5) memperingan nyeri
skala nyeri 10 2. Meringis menurun(5) 2. Terapeutik berat
3. Frekuensi nadi membaik (5) a. Berikan teknik nonfarmakologis untuk 5. Untuk mengurang rasa nyeri
4. Tekanan darah membaik(5) mengurangi rasa nyeri 6. Untuk memberikan rasa nyaman dan aman
b. Fasilitasi istirahat tidur kepada pasien
3. Edukasi 7. Untuk memberikan pengetahuan kepada
a. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu pasien guna pasien dapat mengerti dan
nyeri memhami penyakit yang ia rasakan dan
b. Jelaskan strategi meredakan nyeri alami
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian analgetik
8. Untuk memberikan edukasi agar pasien
secara mandiri dapat menurunkan rasa
nyeri
9. Untuk mengurangi rasa nyeri
2 Defisit pengetahuan Setelah dilakukan tindakan Edukasi diet
keperawatan selama dalam 3. Observasi
berhubungan dengan perawatan tingkat pengetahuan a. Identifikasi kemampuan pasien dan 1. mengetahui tingkat kesiapan pasien
klien bertambah dengan kriteria keluarga menerima informasi dan keluarga dalam menerima informasi
kurang terpapar informasi
hasil :  4. Terapeutik
dibuktikan dengan pasien Tingkat pengetahuan c Persiapkan media yang akan 2. Bantuan media akan mempermudah
3. Kemampuan digunakan untuk memberi edukasi klien untuk mengingat materi edukasi
menanyakan tentang
menjelaskan tengetahuan d Jadwalkan waktu yang tepat untuk 3. Memilih waktu yang sesuai agar
pantangan makan/diet tentang asam urat meningkat memberikan Pendidikan kesehatan pasien dan keluarga dapat mengikuti
(5) e Beri kesempatan klien dan keluarga dengan baik
untuk rematiknya
4. Perilaku sesuai dengan untuk bertanya  4. Mengetahui sejauh mana pemahaman
pengetahuan meningkat (5) 5. Edukasi klien
5. Pertanyaan tentang d. Jelaskan tujuan kepatuhan diet
masalah yang dihadapi terhadap kesehatan
menurun (5) e. Informasikan makanan yang 5. Dengan memahami tujuan diet akan
diperbolehkan dan di larang memotivasi kepatuhan
f. Anjurkan mengganti bahan makanan 6. Meningkatkan pengetahuan pasien
sesuai diet yang diprogramkan tentang diet yang sesuai
7. Meningkatkan pengetahuan pasien
tentang diet yang sesuai
3 Resiko jatuh berhubungan Setelah dilakukan tindakan Pencegahan jatuh 1. Mengetahui factor resiko jatuh dan cara
1. Observasi menurunkan risiko jatuh.
dengan Riwayat jatuh keperawatan selama dalam a. Identifikasi factor resiko jatuh 2. Mengetahui resiko jatuh dan cara
b. Identifikasi resiko jatuh menurunkan risiko jatuh
dibuktikan dengan perawatan pasien mampu
c. Identifikasi factor lingkungan yang 3. Untuk mengetahui riwayat jatuh klien.
Riwayat jatuh dan menurunkan resiko jatuh dengan meningkatkan resiko jatuh
d. Monitor kemampuan berpindah dari 4. Mengetahui factor dan penyebab resiko
gangguan keseimbangan kriteria hasil; jatuh
tempat tidur ke kursi
Keseimbangan 2. Edukasi
a. Anjurkan menggunakan alas kaki 5. Alas kaki yang tidak licin mengurangi
1. Kemampuan bangkit dari resiko jatuh
yang tidak licin
posisi duduk meningkat (5) b. Anjurkan berkonsentrasi untuk 6. Mengurangi resiko jatuh
menjaga keseimbangan tubuh
2. Keseimbangan saat berjalan c. Anjurkan mel;ebarkan jarak kedua 7. Keseimbangan yang bai mengurangi resiko
meningkat (5) kaki untuk meningkatkan jatuh
keseimbangan saat berdiri
DAFTAR PUSTAKA

Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, Funovits, Felson T, Bingham III CO et al. (2010).
Rematoid Arthritis Classification Criteria An American College of
Rheumatology/European League Against Rheumatism Collaborative Initiative.
Arthritis Rheum, vol.62, pp.2569 – 81
Bresnihan B. (2002). Rheumatoid Arthritis: Principles of Early Treatment. The Journal of
Rheumatology, vol.29, no.66, pp.9-12
Candra K. (2013). Teknik Pemeriksaan Genu Pada Kasus Osteoarthritis Dengan Pasien
Non Koperatif. Academia Edu
Choy E. (2012). Understanding The Dynamics: Pathway Involved In The Pathogenesis
Of Rheumatoid Arthritis. Oxford University Press on behalf of the British Society
for Rheumatology, vol. 51, pp.3-11
Febriana (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid Arthritis Ankle
Billateral Di RSUD Saras Husada Purworejo. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Kapita Selekta Kedokteran/editor. Chris Tanto, et al. Ed.4.(2014). Jakarta: Media
Aesculapius, pp 835-839
McInnes, I.B., Schett, G. (2011). The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. N Engl J
Med, vol. 365, pp. 2205-19
Nainggolan,Olwin. (2009). Prevalensi dan Determinan Penyakit Rematik di Indonesia.
Maj Kedokt Indon, vol.59, no.12, pp.588-594
Pradana,S.Y. (2012). Sensitifitas Dan Spesifisitas Kriteria ACR 1987 dan ACR/EULAR
2010 pada Penderita Artritis Reumatoid di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro
Putra,T.R., Suega,K., Artana,I.G.N.B. (2013). Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Penyakit Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/RSUP Sanglah
Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan Pengelolaan
Artritis Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. ISBN
Rudan, I., et al. (2015). Prevalence Of Rheumatoid Arthritis In Low– And Middle–
Income Countries: A Systematic Review And Analysis. Journal of Global Health,
vol.5
Suarjana, I.N. (2009). Artritis Reumatoid. dalam Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I.,
Simadibrata, M., Setiati, S. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V,
FKUI, Jakarta, pp.2495-508
Sumariyono, H.I. (2010). Predictor Of Joint Damage In Rheumatoid Arthritis.
Indonesian Journal of Rheumatology, vol.03, no.02, pp. 15-20
Suyasa, I.G.P.D., Krisnandari, A.A.I.W., Onajiati NWU. (2013). Keluhan- Keluhan
Lanjut Usia Yang Datang Ke Pengobatan Gratis Di Salah Satu Wilayah Pedesaan
di Bali. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bali, pp.42-48
Tobon, G.J., Youinou, P., Saraux, A. (2009). The Environment, Geo- Epidemiology, and
Autoimmune Disease: Rheumatoid Arthritis, Elsevier,
doi:10.1016/j.autrev.2009.11.019

Anda mungkin juga menyukai