Anda di halaman 1dari 30

5

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Sepsis
a. Definisi

Sepsis adalah sindrom respon sistemik terhadap inflamasi


(systemic inflamatory respon syndrome) yang dibuktikan dengan
adanya infeksi pada organ tertentu berdasarkan hasil biakan positif di
tempat tersebut atau dengan suspek infeksi secara klinis (Wheeler,
2004).
Kriteria diagnosis untuk sepsis adalah infeksi (dugaan atau
terdokumentasi) dengan diikuti beberapa kondisi dari variabel umum,
inflamasi, hemodinamik, disfungsi organ, dan perfusi jaringan.
Variabel umum meliputi: demam (> 38.3°C), hipotermia (suhu inti <
36°C), nadi > 90/menit atau lebih dari 2 SD diatas nilai normal sesuai
umur, takipnea, perubahan status mental, edema signifikan/balans
cairan positif (> 20 mL/kg dalam 24 jam, hiperglikemia (glukosa
plasma > 140 mg/dL atau 7.7 mmol/L) tanpa diabetes (Dellinger et al.,
2013).
Variabel inflamasi untuk sepsis meliputi: leukositos
(>12,000/μL), leukopenia (<4000/μL), angka leukosit normal dengan
sel imatur lebih dari 10%, C-reactive protein plasma lebih dari 2 SD di
atas nilai normal, prokalsitonin plasma lebih dari 2 SD diatas nilai
normal (Dellinger et al,. 2013).
Variabel hemodinamik meliputi: hipotensi arterial SBP < 90
mmHg, MAP < 70 mmHg, atau SBP menurun > 40 mmHg pada
dewasa atau kurang dari 2 SD dibawah nilai normal sesuai umur
(Dellinger et al., 2013).
Variabel disfungsi organ terdiri dari hipoksemia arterial
(Pao2/Fio2 < 300), oliguria akut (produksi urin < 0.5 mL/kg/jam
selama setidaknya 2 jam walaupun sudah dilakukan resusitasi cairan

5
6

yang adekuat), kreatinin meningkat > 0.5 mg/dL atau 44.2 μmol/L,
abnormalitas koagulasi (INR > 1.5 atau aPTT > 60 detik), ileus (tidak
adanya bunyi peristaltik usus), trombositopenia (platelet< 100,000/μL),
hiperbilirubinemia (plasma bilirubin total > 4 mg/dL atau 70 μmol/L).
Selanjutnya variabel perfusi jaringan meliputi: hiperlaktatemia (> 1
mmol/L) dan menurunnya capillary refill atau adanya bercak-bercak
(mottling) (Dellinger et al., 2013).
Sepsis berat adalah sepsis-induced hypotension atau adanya
disfungsi organ yang ditandai oleh beberapa hal diantaranya hipotensi,
laktat diatas batas atas nilai normal, produksi urin < 0.5 mL/kg/jam
selama lebih dari 2 jam walaupun sudah mendapat resusitasi cairan
yang adekuat, injury paru akut dengan Pao2/Fio2 < 250 tanpa adanya
pneumonia sebagai sumber infeksi, injury paru akut dengan Pao2/Fio2
< 200 dengan adanya pneumonia sebagai sumber infeksi, kreatinin >
2.0 mg/dL (176.8 μmol/L), bilirubin > 2 mg/dL (34.2 μmol/L), platelet
< 100,000/μL, koagulopati (INR > 1.5) (Dellinger et al., 2013).
b. Etiologi
Penyebab sepsis terbesar adalah bakteri gram negatif (60-70%)
yang menghasilkan berbagai produk yang menstimulasi sel imun. Sel
tersebut akan terpacu mengeluarkan mediator inflamasi. Produk yang
berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS
atau endotoksin glikoprotein kompleks merupakan kompleks utama
membran terluar dari bakteri gram negatif (Hermawan dan Arifin,
2008).
Selain disebabkan oleh endotoksin dapat pula disebabkana oleh
eksotoksin, jamur, virus, dan parasit yang berperan sebagai
superantigen. (Hermawan dan Arifin, 2008).
c. Patogenesis
Patogenesis sepsis sangat kompleks akibat dari interaksi antara
produk bakteri yang berupa toksin (Hermawan, 2011).
Inflamasi sesungguhnya merupakan upaya tubuh menghilangkan
dan eradikasi organisme penyebab, aktifasi respon inflamasi sistemik
pada sepsis dibutuhkan tubuh sebagai pertahanan tubuh terhadap
infeksi, berbagai jalur inflamasi diaktifkan dengan tujuan untuk
invasi bakteri. Mekanisme ini termasuk pengeluaran sitokin, aktifasi
netrofil, monosit, makrofag dan perubahan sel endotel serta aktifasi
sistem komplemen, koagulasi, fibrinolysis, dan sistem kontak.
Pengeluaran tissue damaging proteinase, radikal eikosanoid, oksigen
dan nitrogen juga merupakan mekanisme pertahanan tubuh (Cinel dan
Dellinger, 2007).
Untuk menghalangi masuknya mikroorganisme infeksius,
sistem imum alamiah mengembangkan berbagai reseptor yang disebut
Pathogen Associated Moleculear Pattern/PAMPs sehingga mampu
membedakan struktur molekul sel dan non self (Cinel dan Dellinger,
2007).
Toll Like Receptor dilibatkan dalam pertahanan pejamu
terhadap infeksi patogen berfungsi sebagai sensor utama dari
produk mikroba dan mengaktifkan jalur sinyal yang akan ekspesi gen
imun proinflamasi (Rudiger et al., 2008; Van et al., 2003).
Penanda dari luar yang berasal dari mediator akan diikat oleh
CD11b yang merupakan reseptor pada permukaan sel, yang
selanjutnya akan memacu proses reaksi kinase intra seluler melalui
TLR, sebagian dari aktifasi awal ini akan meningkatkan regulasi
ekspresi CD11b/CD18 pada permukaan sel. Inflamasi sendiri akan
menyebabkan stress oksidasi intraselluler yang dapat menyebabakan
perubahan potensial membran mitokondria. Stress oksidatif akan
mengaktifkan Nuclear factor kappa beta (NF kB) melalui pemecahan
fosoforilasi dari inhibitory sub unit I Kb, Ikb yang telah didegradasi
melalui proses fosforilasi dan ubiquinasi akan menyisakan produk
aktif bebas P50-p65 dimer yang akan berpindah ke inti sel dimana
melalui ikatan dalam reseptor pada inti sel akan meningkatkan
sintesis mRNA untuk gen gen spesifik yang akan mengkode sintesis
mediator pro infllamasi (seperti TNF-α, IL-1β, IL-8, iNOS, COX2 ).
Sitokin yang paling menonjol adalah tumor necrosis factor alpha
(TNF-α), interleukin-1 (IL), dan IL-6. Berbagai penelitian telah
menunjukkan bahwa dalam menanggapi sepsis, sistem kekebalan
tubuh memulai kaskade sitokin yang ditandai dengan produksi
berurutan TNF-α, IL-1, IL-6 (Pinsky, 2004 ).
Endotoksin gram negatif dapat secara langsung dengan LPS
dan bersama sama dengan antibodi dalam serum darah membentuk
LBP, kemudian akan bereaksi dengan makrofag melalui TLR-4
dengan perantaraan CD 14 selanjutnya melalui sinyal transmembran
makrofag akan mengekspresikan berbagai imunomodulator
(Hermawan, 2011).
Eksotoksin gram positif akan bertindak sebagai superantigen
bakteri yang akan menstimulasi limfosit T tanpa melalui makrofag
ataupun monosit sebagai antigen presenting cell (APC) terlebih
dahulu, superantigen akan mengaktifkan hingga 20% limfosit tubuh
dan dapat menstimulasi berbagai jenis mediator pro inflamasi
termasuk IL-2, IFN, coloni stimulating factor (CFS) yang akan
menstimulasi makrofag yang akan mengeluarkan IL-1, IL-6, TNF-α
dan juga beberapa enzim termasuk kolagenase dan elastase yang
dapat merusak jaringan ikat, molekul prokoagulan yang dapat
menyebabkan koagulasi lokal melalui jalur ekstrinsik dan aktifator
plasminogen dan GM-CSM akan mengaktifkan netrofil dan
komponen C3, C3a dan C5a. Netrofil akan beradhesi dengan sel
sasaran yaitu endotel pembuluh darah, disertai gumpalan darah akibat
endapan fibrin maka fungsi pembuluh darah akan terganggu
(Hermawan dan Arifin, 2008).
d. Jalur sinyal transduksi TLR
Meskipun protein TLR dapat mengenali baik gram positif
dan negatif, LPS lebih sering digunakan untuk menstimuli ketika
melakukan uji jalur sinyal trasduksi untuk TLR 2 dan TLR 4,
ikatan antara TLR dengan produk mikroba mengawali aktifasi jalur
sinyal trasduksi intraselluler yang multiple. Diantara jalur yang
telah terkarakterisasi adalah aktifasi NF kB, TLRs seperti kebanyakan
bentuk homodimer yang akan mengawali perubahan konformasi
dalam modul Toll/IL-1R sitoplasma dengan perekrutan adapter
yang lebih dikenal dengan MyDD88. MyDD88 berisi domain ujung
C yang berikatan dengan dengan TLR melalui modul Toll/IL-IR
sitoplasma dan bagian ujung N yang disebut modul death domain.
modul death domain dari MyDD88 merekrut receptor associated
kinase IL-1 pada komplek reseptor. Receptor associated kinase IL-1
pada komplek reseptor kemudian akan mengalami auto fosforilasi dan
disosiasi dari komplek reseptor dan merekrut reseptor TNF-α yang
dihubungkan dengan faktor 6 yang pada akhirnya akan mengaktifkan
ke arah muara kinase, NF kB yang menginduksi kinase akhirnya
mengaktifasi komplek kinase penghambat kb yang secara langsung
mengawali fosforilasi IkB pada traslokasi nukleus dari Nf kB dan
memulai transkripsi gen, aktifasi disregulasi dari Nf KB oleh bakteri
atupun produk bakteri akan mengawali terjadinya produksi mediator
pro inflamasi yang berlebihan yang akan mengakibatkan kerusakan
jaringan, kegagalan organ dan kematian yang bisa terlihat pada sepsis
akibat bakteri yang berlebihan (Hermawan dan Arifin, 2008).
e. Manifestasi Klinis
Gejala klinis sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya didahului
oleh tanda- tanda nonspesifik, meliputi demam, menggigil, dan gejala
konstitutif seperti lelah, malaise, gelisah, atau kebingungan. Gejala
tersebut tidak khusus untuk infeksi dan dapat dijumpai pada banyak
kondisi inflamasi non-infeksius. Tempat infeksi yang paling sering:
paru, traktus digestivus, traktus urinarius, kulit, jaringan lunak, dan
saraf pusat. Gejala sepsis tersebut akan menjadi lebih berat pada
penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama,
dan pasien dengan granulositopenia. Yang sering diikuti gejala
Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) sampai dengan
terjadinya syok septik. Tanda-tanda MODS dengan terjadinya
komplikasi: sindrom distres pernapasan pada dewasa, koagulasi
intravaskuler, gagal ginjal akut, perdarahan usus, disfungsi sistem saraf
pusat, gagal jantung, kematian (Hermawan dan Arifin, 2008)
2. Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α)
a. Definisi
TNF-α adalah protein 17kDa yang awalnya ditemukan
sebagai molekul terkait dengan nekrosis pada tumor tikus. TNF-α
merupakan faktor proinflamasi penting yang memberikan
kontribusi untuk berbagai patologi. Pemberian sistemik TNF-α
menghasilkan manifestasi yang sangat mirip dengan sepsis
termasuk hipotensi, asidosis metabolik, infiltrasi paru difus,
perdarahan paru dan gastrointestinal, nekrosis tubular dan kematian
(Durum dan Muegge, 2003).
TNF-α adalah sitokin proinflamasi utama, dan
pemberiannya menghasilkan efek endotoksemia dan bakteremia.
Kadar TNF-α yang tinggi dalam sirkulasi berhubungan dengan
kondisi sepsis yang buruk (Baudouin, 2008).
Pada penderita infeksi oleh parasit ditemukan bahan
yang dinamakan cahectin sebagai penyebab kekurusan yang
berlebihan (kakeksi). Dua jenis mediator tersebut ternyata
termasuk golongan sitokin yang kemudian dinamakan tumor
nekrosis (TNF) (Subowo, 2009).
Semula TNF diidentifikasi sebagai mediator untuk nekrosis
tumor yang terdapat dalam serum hewan percobaan yang diberi
lipopolisacharida (LPS). LPS konsentrasi tinggi menyebabkan
kerusakan jaringan, DIC, syok, dan kematian, dan terbukti bahwa
TNF merupakan salah satu mediator penting pada proses itu. Ada 2
bentuk TNF, yaitu TNF-α dan TNF-β. TNF-α diproduksi oleh
berbagai jenis sel T, sel B, Natural killer (NK), astrosit dan
Kupfer. Pembentukan terjadi sebagai respon terhadap rangsangan
bakteri, virus dan sitokin granulocyte macrofag stimulating factor
(GM-CSF, IL-1, IL-2, IFN gama), kompleks imun, komponen-
komplemen C5a dan reactive oxygenintermediates (ROI).
Sebaliknya TNF-β disekresi oleh sel T dan sel B teraktivasi; ia
dapat berada pada permukaan sel bila terikat pada protein
transmembran LT-β. Kedua protein termasuk keluarga protein
yang di antaranya terdapat Cluster of diffrentiation antigen 40L
(CD40L), Cluster of diffrentiation antigen 30L (CD30L) dan
Cluster of diffrentiation antigen 29L (CD29L). Lokasi TNF-α,
TNF-β dan LT-β pada region Major histocompatibility complex
(MHC) kromosom 6 dan 17 menimbulkan dugaan bahwa molekul
itu bertanggung jawab atas beberapa efek yang berhubungan
dengan MHC (Abbas et al, 2005; Simhan et al., 2003). Akhir-akhir
ini terungkap TNF-α dan TNF-β sebagai limfotoksin karena
mempunyai efek sitotoksik, dihasilkan oleh limfosit TH1, sebagian
oleh limfosit TH2 dan sel T sitotoksik. Sebaliknya TNF-β disekresi
oleh sel T dan sel T teraktivasi. TNF-α dapat dihasilkan oleh
beberapa sel, terutama makrofag akibat adanya suatu stresor
ataupun infeksi. Pada saat ini beberapa studi melaporkan bahwa
akan terjadi peningkatan terhadap produksi TNF-α pada beberapa
penyakit atau stresor, namun belum ditemukan nilai cut off point
(Durum et al., 2003).
TNF-α dahulu dikenal dengan berbagai nama, yaitu
cachetin, necrosin, sitotoksin makrofag atau faktor sitotoksik.
Bersama-sama dengan interferron (IFN) gama, TNF-α bersifat
sitotoksin bagi banyak jenis sel tumor. TNF-α terbukti juga
merupakan modulator respon imun kuat yang memperantarai
induksi molekul adhesi, sitokin lain dan aktivasi netrofil.
Disamping berfungsi meningkatkan ekspresi molekul adhesi yang
memudahkan leukosit melekat pada permukaan endotel, dan
merangsang sel fagosit mononuclear untuk mensekresi chemokine,
serta mengaktivasi leukosit, TNF yang diproduksi dalam jangka
panjang dengan konsentrasi rendah dapat mengakibatkan tissue
remodeling. TNF dapat berfungsi sebagai faktor angiogenesis dan
membentuk pembuluh darah baru, dan dapat berfungsi sebagai
faktor pertumbuhan fibroblast yang mengakibatkan pembentukan
jaringan ikat. Bila produksi TNF tetap berlanjut, jaringan-jaringan
tersebut dapat merupakan jaringan limfoid baru dimana berkumpul
limfosit B dan limfosit T (Zaretsky et al., 2004; Abbas et al., 2010)
Sekresi TNF-α yang berlebih akan merusak sel endotel,
menyebabkan oklusi pembuluh darah, mengurangi aliran darah
regional, dan meningkatkan permeabilitas endothelium. Aktivasi
TNF-α dimediasi oleh sistem kekebalan tubuh yang dapat
mengakibatkan sekresi zat vasoaktif oleh karena cedera endotel
dan menyebabkan permeabilitas vaskular dan koagulasi
intravaskular. TNF-α merupakan sitokin proinflamasi (Roudsari
et
al., 2009)
TNF-α pertama muncul sebagai respon utama terhadap
regulasi adhesi molekul vascular, mengaktifkan neutrofil dan
merangsang monosit untuk mensekresi IL-1dan IL-6. TNF-α
mengaktifkan sistem koagulasi, menekan stem cell sumsum tulang,
depresi miokard, hipotensi dan DIC. IL-6 bekerja pada hepatosit
untuk meningkatkan akut fase reaktan dan β-cells growth factor,
mempromosikan pembentukan antibodi dan release. Konsentrasi
TNF-α dan IL-6 sebagai indikator awal sepsis dan korelasinya
dengan hasil telah dipelajari pada orang dewasa (Roudsari et al.,
2009).
TNF terutama dihasilkan oleh sel makrofag dan sel-sel
jenis lainnya dengan berbagai aktivitas biologi pada sel-sel
sasaran yang termasuk sistem imun maupun bukan. Sejumlah
jenis sel baru dapat menghasilkan TNF setelah mendapatkan
rangsangan yang cocok misalnya dari limfosit dan sel NK
(Coppack, 2001; Skoog et al., 2001; Sukhanov et al., 2007).
Sangat menarik terungkapnya jejaring pengawasan induksi dan
efek dari TNF. Misalnya IL-1 menginduksi produksi TNF dan
sebaliknya TNF menginduksi produksi IL-1 oleh makrofag,
produksi IFN-β1 dan IFN-β2 oleh fibroblast dan produksi GM-
CSF oleh berbagai jenis sel (Roudsari et al., 2009).
Gen untuk TNF terdapat pada bagian lengan pendek
kromosom 6 yang diduga di dekat atau di dalam komplek MHC.
Molekul TNF manusia memiliki homologi sebesar 80% dengan
TNF mencit atau kelinci serta 28% dengan limfotoksin yang
mempunyai mekanisme kerja dan reseptor yang sama dengan
TNF disebut sebagai TNF-β. Beberapa efek TNF dengan
manifestasi dapat dijabarkan sebagai:
a) Efek TNF sebagai sitotoksik
Efek dari beberapa jenis tumor yang mengalami degradasi dan
nekrosis yang disertai pendarahan. Mekanisme kematian sel tumor in
vivo oleh TNF belum jelas, tetapi yang jelas bahwa kematian sel tumor
akan dipercepat jika terdapat hambatan sintesis protein dalam sel tumor.
Tetapi mekanisme kematian sel tumor secara in vivo bukan pengaruh
langsung TNF karena terjadi nekrosis jaringan tumor akibat
gangguan vaskuler. Terdapat bukti bahwa sel makrofag teraktifkan
dapat membunuh sel-sel junior, sedangkan TNF merupakan produk
sel makrofag (Abbas et al., 2010).
b) Efek TNF pada inflamasi
Pada saat kini TNF dianggap sebagai mediator utama dalam
inflamasi. Pada penelitian dekade terakhir ini menunjukkan TNF
diperoleh dalam bentuk murni secara biokimiawi ternyata bertanggung
jawab kepada aktifitas "cahectin" yang umumnya bekerja pada
penderita yang mengalami infeksi parasit. Mekanisme pada beberapa
kejadian inflamasi setempat diramalkan berdasarkan pengamatan
dalam percobaan in vitro. Misal sel netrofil yang bereaksi dengan TNF
meningkatkan pengikatannya dengan sel endotel, letupan respiratori
dan degranulasinya. Pola kerusakan jaringan inflamasi mirip dengan
kerusakan IL-1 (Abbas et al., 2010).
c) Efek TNF pada hematopoitic
Aktifitas dalam bentuk penghambatan koloni biakan granuiosit-
monosit, eritrosit dan koloni sel multi-potensial pada jaringan
sumsum tulang manusia, tetapi sebaliknya progenitor dalam
jaringan sumsum tulang pada percobaan in vivo (Abbas et al., 2010).
d) Efek TNF pada imunologi
Tumor nekrosis factor mempunyai aktivitas perangsangan yang
multiple terhadap limfosit T teraktifkan, misalnya respon
proliferative limfosit T terhadap antigen, peningkatan reseptor untuk IL-
2 dan induksi produksi IFN-γ. Demikian juga imunitas spesifik terhadap
tumor ditingkatkan oleh TNF. TNF dapat meningkatkan ekspresi antigen
MHC kelas I pada fibroblast dan sel endotel (Abbas et al., 2010).
Semula TNF-α diidentifikasi sebagai mediator untuk nekrosis tumor
yang dalam serum hewan yang diberi lipopolisakarida (LPS). LPS
konsentrasi tinggi menyebabkan kerusakan jaringan, DIC (Disseminated
intravascular coagulation), dan kematian (Roudsari et al. 2009).
3. Deksmedetomidin
Deksmedetomidin merupakan dextro-rotary S-enantiomer dari
medetomidin yang secara kimia digambarkan sebagai (+)-4-(S)-[ 1-(2,3-
dimethylphenyl) ethyl ]-1H-Imidazole monohydrochloride (Lirola, 2006).
Deksmedetomidin adalah agonis reseptor α-2 adrenergik yang
sangat selektif dengan perbandingan selektifitas antara α 1 : α-2 = 1:1600.
(Lirola, 2006).
Gambar 2.1. Struktur kimia deksmedetomidin (Lirola, 2006).

Deksmedetomidine memiliki afinitas yang lebih tinggi untuk


reseptor α-2 dibandingkan dengan klonidine. Deksmedetomidine lebih
selektif untuk reseptor α-2 (spesifisitas rasio α-2:α1 adalah 200: 1 untuk
klonidin dan 1600: 1 untuk deksmedetomidine) ( Morgan et al.,2013).
Sejak laporan pertama dari klonidine, adrenoreseptor agonis α-2,
indikasi untuk kelas obat ini terus berkembang. Pada bulan Desember
1999, deksmedetomidine disetujui sebagai agen terbaru di grup ini dan
diperkenalkan ke dalam praktek klinis sebagai obat penenang jangka
pendek (< 24 jam) . Adrenoreseptor agonis α-2 memiliki beberapa hal
yang menguntungkan selama periode perioperative: menurunkan simpatik
tone, menurunkan respon neuroendokrin dan hemodinamik terhadap
anestesi dan pembedahan, mengurangi kebutuhan anestesi dan opioid,
menyebabkan sedasi dan analgesia serta memungkinkan fungsi
psikomotorik dipertahankan dengan baik dan membuat pasien merasa
nyaman . Efek samping terdiri dari ringan sampai depresi kardiovaskular
moderat, dengan sedikit penurunan tekanan darah dan denyut jantung
(Gertler et al., 2001).
a. Fisiologi adrenoseptor α-2
Deksmedetomidin menyebabkan penurunan tekanan darah dan denyut
jantung, analgesia dan efek sedatif. Klasifikasi reseptor α-2 berdasarkan
anatomi sangat kompleks. Reseptor α-2 dibagi ke dalam 3 subtipe:
 Subtipe A, ditemukan pada sistem saraf pusat, bertanggung
jawab terhadap efek sedative, analgesia dan simpatolitik. Subtipe A
merupakan inhibitor terhadap saluran kalsium pada lokus ceruleus
batang otak.
 Subtipe B, ditemukan pada pembuluh darah perifer, bertanggung
jawab terhadap respons hipertensif sesaat melalui mekanisme
efektor yang sama dengan subtipe A (Kaymak et al., 2008).
 Subtipe C, ditemukan pada sistem saraf pusat, bertanggung jawab
terhadap efek ansiolitik (Yazbek dan Aouad, 2006).
Dipercaya bahwa aktivasi reseptor adrenergik baik α ataupun β
menghasilkan efek rangsang dalam beberapa jaringan dan efek
penghambatan jaringan lain. Subclass dari adrenoseptor α ditemukan
untuk mengatur pelepasan neurotransmitter, maka dapat disimpulkan
bahwa reseptor ini terletak di presynaptik . Namun, klasifikasi reseptor
berdasarkan lokasi anatomi saja bermasalah, karena α-2 reseptors juga
telah ditemukan di postsynaptik dan extrasinaptik. α-2 reseptor presinaptik
mungkin mempunyai efek klinis terbesar, karena mereka mengatur
pelepasan norepinefrin dan adenosin trifosfat melalui mekanisme umpan
balik negatif (Gertler et al., 2001).

Gambar 2.2. Fisiologi dari reseptor α-2 agonis (et al., 2001)
Adrenergik α-2 memediasi efeknya dengan mengaktifkan protein
yang mengikat guanin nukleotida (protein G). Protein G yangteraktivasi
memodulasi aktivitas seluler dengan sinyal second messenger atau oleh
aktivitas saluran ion modulasi (Gertler et al., 2001).
Second messenger, ketika diaktifkan, menyebabkan penghambatan
adenilat siklase yang menghasilkan penurunan pembentukan adenosin
monofosfat 3,5-siklik (cAMP). Spesifik kinase cAMP-
dependent
memodifikasi aktivitas protein target dengan mengendalikan fosforilasi .
Modulasi aktivitas saluran ion menyebabkan hyperpolarisasi dari
membran sel. Efluks kalium melalui hyperpolarisasi saluran membran
yang tereksitasi dan menyediakan sarana yang efektif untuk menekan
perangsangan neuron. Stimulasi adrenoceptor α-2 juga menekan
masuknya kalsium ke terminal saraf, yang mungkin bertanggung jawab
terjadinya penghambatan pada sekresi neurotransmitter. Dari sudut
pandang anesthesiologist, hyperpolarisasi saraf merupakan elemen kunci
dalam mekanisme kerja agonis adrenoreseptor α-2 (Gertler et al., 2001).
b. Farmakokinetik
Deksmedetomidin dapat diberikan secara intravena (iv),
intramuskular (im) dan transdermal. Dekmedetomidin memiliki fase
distribusi yang cepat dengan waktu paruh 6-9 menit. Selama fase
eliminasi, waktu paruh kira-kira 2-3 jam (Lirola, 2006).
Parameter farmakokinetik deksmedetomidin yang diberikan melalui
intravena yaitu:
a) Fase distribusi cepat dengan waktu paruh distribusi (t1/2) ± 6 menit,
dengan onset klinis 10-15 menit sejak mulai pemberian, dengan
durasi selama 30-60 menit.
b) Waktu paruh eliminasi akhir ± 2 jam.
c) Volume distribusi steady state (Vss) ± 118L.
d) Pembersihan ± 89 L/jam
Deksmedetomidin dimetabolisme dalam hati, dan ada tiga jenis awal
metabolisme reaksi, yaitu konjugasi, metilasi, oksidasi (Miller, 2015)
Deksmedetomidin merupakan inhibitor sitokrom mikrosomal P-450
yang memediasi proses oksidasi. Deksmedetomidin tidak mempengaruhi
sintesis, penyimpanan dan metabolisme neurotransmitter dan tidak
memblokade reseptor sehingga efek hemodinamik dapat diatasi dengan
pemberian obat vasoaktif atau antagonis α-2 spesifik (atipamezol).
Atipamezol bereaksi dengan meningkatkan pengembalian norepineprin
sentral, dan memiliki durasi aksi 2 jam (Bajwa, 2013).
c. Farmakodinamik
Deksmedetomidin bertindak secara selektif dalam eksitasi reseptor
α-2 adrenergik dibandingkan dengan klonidin. Dalam penelitian
didapatkan bahwa deksmedetomidin memiliki 8 kali lebih spesifik untuk
reseptor α-2 adrenergik dibanding klonidin. Deksmedetomidin
menyebabkan inhibisi dari aliran simpatik pusat yang berlebihan dan hal
ini menyebabkan hambatan dalam pelepasan norepinefrin yang
menyebabkan bradikardi dan hipotensi. Hal ini juga mengurangi
transduksi sinyal rasa sakit dengan menarik reseptor membran presinaps,
dan dengan demikian memiliki efek sedasi dan menghilangkan kecemasan
(Gertler et al, 2001).
Pada penelitian yang dilakukan Shi pada tahun 2012 disimpulkan
bahwa deksmedetomidin menghambat reaksi inflamasi sistemik yang
disebabkan oleh lipopolisakarida (LPS). Penggunaan deksmedetomidin
dapat menyebabkan penurunan kadar TNF-α, IL-1β, IL-6 dan faktor
inflamasi lainnya. Hal ini memberikan dugaan bahwa deksmedetomidin
berperan sebagai anti inflamasi.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Elbert, tentang respon
autonom, kardiovaskuler, dan sedasi akibat konsentrasi plasma
deksmedetomidin, disimpulkan bahwa konsentrasi plasma yang rendah
akan menghasilkan efek sedasi, analgesi ringan, penurunan tekanan darah
dan denyut jantung yang signifikan, tanpa disertai perubahan pada tekanan
vena sentral atau tekan arteri pulmonal. Respon yang berlawanan terjadi
pada konsentrasi plasma yang tinggi (Basar et al., 2008).
d. Mekanisme aksi
Mekanisme aksi deksmedetomidin adalah unik dan berbeda dari
agen-agent yang saat ini digunakan sebagai agen obat penenang,
termasuk klonidine. Aktivasi dari reseptor di sumsum otak dan tulang
belakang menghambat perangsangan neuron, menyebabkan hipotensi,
bradikardia, sedasi, dan analgesia. Tanggapan terhadap aktivasi dari
reseptor di tempat lain termasuk penurunan sekresi air liur, dan
penurunan motilitas usus pada saluran pencernaan, kontraksi otot polos
pembuluh darah, penghambatan pelepasan renin, peningkatan filtrasi
glomerulus, dan peningkatan sekresi natrium dan air di ginjal, penurunan
tekanan intraokular, dan penurunan pelepasan insulin dari pankreas
(Gertler et al., 2001).

Gambar 2.3. Mekanisme Aksi dari reseptor α-2 agonis (Gertler et al., 2001)
Secara umum, aktivasi presinaptik α-2 adrenoseptor yang
menghambat pelepasan norepinefrin, akan mengakhiri penyebaran sinyal
rasa sakit. Aktivasi postsinaptik dari adrenoseptor α-2 dalam sistem saraf
pusat (SSP) menghambat aktivitas simpatik dan dengan demikian dapat
menurunkan tekanan darah dan denyut jantung. Gabungan efek ini dapat
menghasilkan analgesia, sedasi, dan anxiolysis. Deksmedetomidine
menggabungkan semua efek ini, sehingga menghindari beberapa efek
samping dari terapi dengan multiagen (Gertler et al., 2001).
Mekanisme aksi terjadinya analgesik α-2 agonis belum
sepenuhnya dijelaskan . Sejumlah tempat, baik supraspinal dan spinal ,
memodulasi transmisi sinyal nosiseptif dalam SSP. Bahkan di perifer
adrenoreseptor α-2 dapat memediasi antinoisepsi, obat-obatan dapat
bekerja di daerah ini untuk mengurangi transmisi nosiseptif yang
menyebabkan analgesia. Aktivasi dari G1protein-kanal kalium
meyebabkan hyperpolarisasi membran, terjadi penurunan laju
perangsangan dari sel yang tereksitasi dalam SSP . Hal ini dianggap
sebagai mekanisme yang signifikan dari penghambatan adrenoreseptor
agonis α-2. Mekanisme yang nyata dari adrenoseptor α-2 adalah
mengurangi jumlah kalsium ke dalam sel, sehingga menghambat
pelepasan neurotransmitter. Efek ini melibatkan peraturan langsung
kalsium masuk melalui tipe N voltage calsium gated channel dan
independen cAMP serta fosforilasi protein. Hal ini dimediasi oleh protein
G. Ini 2 mekanisme yang sangat berbeda dalam menyebabkan analgesia.
(Gertler et al., 2001).

Gambar 2.4 Efek immunomodulator dari deksmedetomidin (Carlos et al., 2014)


Reseptor adrenergik α-2 banyak ditemukan pada sistem saraf pusat,
dengan konsentrasi tertinggi didapatkan pada lokus ceruleus, nuklei
noradrenergik predominan di batang otak dan merupakan modulator
penting dari tingkat kewaspadaan. Aktifasi presinaps reseptor subtipe α-2
di lokus ceruleus akan menyebabkan penghambatan pelepasan
norepinefrin dan menghasilkan efek sedative dan hipnotik. Lokus ceruleus
merupakan asal dari jalur descenden noradrenergik medulospinal yang
diketahui sebagai modulator neurotransmisi nosiseptif. Stimulasi pada area
ini akan menghentikan sinyal nyeri dan menghasilkan analgesi (Basar,
2008).
Penelitian pada tahun 2013 dengan menukur ekspresi dari TLR4
dan MyD88 yang dilakukan dengan western blotting . Aktivasi NF -kB
pada jaringan paru-paru tikus dinilai dengan western blotting dan
imunohistokimia (Wu et al., 2013).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekspresi TLR4/MyD88
dan aktivasi NF-kB secara signifikan diregulasi pada jaringan paru-paru
tikus sepsis. Deksmedetomidin dengan dosis 10 dan 20 mcg/kg bisa
mengurangi peningkatan ekspresi TLR4/MyD88 dan aktifasi NF-kB pada
tikus paru-paru yang sepsis. TLR4 berperan penting sebagai upstream
sensor untuk LPS dari patogen dan mikroorganisme yang dapat
memediasi aktifasi NF-kB lewat jalur dependent MyD88 (Wu et al.,
2013).
NF-kB dapat meningkatkan produksi IL-6 dan TNF-α,
kemungkinan deksmedetomidin mengurangi produksi sitokin ini dan
melemahkan inflamasi pada paru dengan menekan jalur sinyal
TLR4/MyD88/NF-κB di paru-paru pada tikus sepsis polimikroba yang
disebabkan oleh CLP. Hal ini menunjukan bahwa hambatan/pelemahan
pada sinyal TLR4/MyD88/NF-κB kemungkinan menjadi mekanisme di
mana deksmedetomidin dapat menekan respon inflamasi di paru tikus
sepsis yang disebabkan oleh CLP (Wu et al., 2013).
4. Klonidin
a. Farmakologi
Klonidin merupakan agonis adrenergik α-2 parsial selektif yang
bekerja secara sentral. Klonidin adalah senyawa imidazole dengan susunan
molekul C9H9Cl2N3. Rumus bangun ditunjukkan sesuai gambar 1.2.
Klonidin merupakan prototip agonis adrenoseptor α-2 dengan
perbandingan α-2: α-1 sebesar 200:11. Obat ini dilisensikan sebagai obat
antihipertensi, migren, analgesi, sedasi, dan ansiolitis. Semua khasiat
klonidin ini ditambah kemampuannya untuk mempertahankan stabilitas
hemodinamik selama periode perioperative menjadikan klonidin sebagai
obat yang sangat berguna dibidang anestesi dan perawatan intensif (Miller,
2015).

Gambar 2.5. Rumus Bangun Klonidin (Miller, 2015)

b. Penggunaan di bidang anestesi


Agonis α-2 adrenergik (klonidin dan deksmedetomidine) menghasilkan
sedasi, menurunkan kebutuhan obat anestesi dan meningkakan stabilitas
hemodinamik perioperatif (kestabilan tekanan darah dan frekuensi nadi
terhadap stimulasi bedah) dan stabilitas simpatoadrenal (Kimibayashi dan
Maze, 2000). Sebagai tambahan, reseptor α-2 didalam korda spinalis
memodulasi jalur nyeri yang menghasilkan analgesia. Penggunaan klonidin
secara rutin sebagai adjuvan anestesia dan untuk memenuhi kebutuhan sedasi
postoperatif tanpa depresi pernafasan, telah dibatasi karena waktu paruh yang
panjang mencapai 6-10 jam. Deksmedetomidine mempunyai waktu paruh
hanya 2-3 jam dan lebih poten daripada klonidin (Morgan, 2013).
1) Analgesi
Klonidin tanpa bahan pengawet yang diberikan ke dalam rongga
epidural atau subarachnoid (150-450 mcg) menghasilkan analgesia yang dose-
dependent, tidak seperti opioid, tidak menyebabkan depresi pernafasan, gatal-
gatal, mual dan muntah, atau perlambatan pengosongan lambung. Retensi
urin, yang merupakan komplikasi umum dari opioid epidural, jarang
ditemukan ketika diberikan klonidin epidural untuk analgesi post operatif.
Klonidin menghasilkan analgesia diperkirakan melalui mekanisme aktivasi
reseptor α-2 postsinaps di substansia gelatinosa dari korda spinalis. Klonidin
dan morfin, ketika digunakan secara bersamaan sebagai analgesia neuroaxial,
tidak menghasilkan toleransi silang (Milne et al., 2011). Hipotensi, sedasi, dan
mulut kering dapat terjadi pada penggunaan klonidin neuroaksial untuk
menghasilkan analgesia. Penambahan klonidin sebesar 1 mcg/kg terhadap
lidokain yang digunakan untuk anestesi regional intravena total akan
meningkatkan analgesia pasca operasi. (Reuben et al., 1999). Penggunaan
klonidin regional intravena sebesar 1 mcg/kg terbukti efektif dalam
mengurangi nyeri yang difasilitasi oleh sistem saraf simpatis. (Reuben et al.,
1999).
2) Medikasi pre anestesi
Pemberian medikasi klonidin per oral (5 mcg/kg) dapat menumpulkan
refeleks takikardi yang berkaitan dengan laringoskopi direk untuk intubasi
trakea, menurunkan ketidakstabilan tekanan darah dan frekuensi nadi,
menurunkan konsentrasi katekolamin plasma, dan menurunkan secara
dramatis kebutuhan zat anestetik inhalasi (MAC) dan obat yang diberikan
intravena. Dosis klonidin yang sama dapat meningkatkan analgesia pasca
operasi yang dihasilkan oleh morfin dan tetrakain intratekal tanpa
meningkatkan intensitas efek samping dari morfin (Aantaa et al., 1997).
Aktivasi sistem saraf simpatis yang dihasilkan oleh pemberian
desfluran dan ketamin dapat ditumpulkan oleh klonidin (Taittonen et al.,
1998). Sebagai contoh, premedikasi klonidin oral 5 mcg/kg yang diberikan 90
menit sebelum induksi anestesi akan menstabilkan peningkatan tekanan darah
dan frekuensi nadi yang secara normal mengikuti pemberian ketamin 1 m/kg
i.v (Doak dan Duke, 1993). Itu telah diobservasi bahwa medikasi konidin oral
sebelum anestesi meningkatkan respons tekanan efedrin intravena (Goyagi et
al., 1998). Respon peningkatan ini penting pada pemberian dosis efedrin
untuk mengatasi hipotensi yang berkaitan dengan pemberian klonidin selama
periode perioperatif. Fakta bahwa efek yang paling jelas dari klonidin terlihat
pada penurunan aktivitas sistem saraf simpatis mendahului kemungkinan
peningkatan respon kardiovaskular terhadap hipotensi. Namun, didapatkan
bukti bahwa konsentrasi katekolamin plasma dapat meningkat sebagai respon
terhadap hipotensi meskipun sudah diberikan klonidin sebelumnya (Stoelting,
2011).

3) Memperpanjang Efek Anestesia Regional


Penambahan klonidin sebesar 75 sampai 150 mcg dalam larutan
yang mengandung tetrakain atau bupivakain yang diberikan dalam ruang
subaraknoid dapat memperpanjang waktu blokade saraf sensorik dan
motorik yang dihasilkan oleh anestetik lokal. Klonidin sebesar 150 mcg
yang ditambahkan ke dalam bupivakain intratekal adalah dosis yang
disarankan untuk memperpanjang efek anestetik dan analgesi tanpa
menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan (Strebel et al., 2004).
Kebutuhan pemberian cairan dan dan penurunan tekanan darah diastolik
kemungkinan lebih besar terjadi pada pasien yang mendapat larutan
anestetik lokal yang mengandung klonidin. Efek bradikardi pada janin
membatasi penggunaan klonidin subaraknoid dalam kebidanan (Eisenach
dan Dewan, 1990). Klonidin oral sebesar 150-200 mcg yang diberikan 1-
1,5 jam sebelum anestesi spinal dengan tetrakain atau lidokain
menghasilkan pemanjangan anestesi sensorik yang jelas (Liu et al., 1995;
Ota et al., 1994). Pada laporan yang lain, klonidin oral sebesar 200 mcg
dapat memperpendek onset dari tetrakain untuk memblokade sensorik dan
memperpanjang waktu blokade sensorik dan motorik (Singh et al., 1994).
Namun, premedikasi klonidin meningkatkan risiko bradikardi dan
hipotensi yang bermakna secara klinis. Mekanisme tentang bagaimana
klonidin oral dapat memperpanjang anestesi spinal belum dapat ditentukan
(Liu et al., 1995). Penambahan 0,5mcg/kg klonidin ke dalam larutan yang
mengandung mepivacain 1% dapat memperpanjang durasi blok pleksus
brakialis yang diberikan lewat aksila (Singelyn et al., 1996).
4) Perlindungan terhadap Iskemia Miokard Perioperatif
Klonidin menurunkan iskemia miokard, infark miokard dan
mortalitas yang terjadi pada bedah kardiovaskular. Penurunan mortalitas
secara keseluruhan berkaitan dengan klonidin yang bersifat superior yang
didapatkan dari hasil observasi terhadap pasien yang mendapat beta bloker
(Nishina et al., 2002; Goldmann, 2003). Klonidin yang diberikan pada
pasien dengan risiko penyakit arteri koroner sebesar 0,2 mg per oral atau
transdermal sore hari sebelum operasi atau pada pagi harinya dan
dilanjutkan sampai 4 hari sesudah operasi dapat menurunkan kejadian
inkemia miokard perioperatif dengan efek hemodinamik yang minimal
Klonidin menurunkan kejadian mortalitas post opertif sampai dengan 2
tahun (Wallace et al., 2004).
c. Efek terhadap sistem imun
Sistem saraf simpatis memiliki peranan penting dalam pengaturan
berbagai aktivitas tubuh untuk mempertahankan fisiologi hemoistasis,
termasuk modulasi respon imun terhadap respon internal maupun eksternal.
Inervasi serabut saraf simpatis ditemukan di organ limfoid primer (timus dan
sumsum tulang) dan sekunder (di limfa dan nodus limfatikus). Pengeluaran
neurotransmiter dari axon terminal seperti dopamin, epinefrin dan
norepinefrin, mengatur respon imun melalui ikatan terhadap reseptor pada
permukaan sel imun, menghasilkan peningkatan maupun penekanan imunitas
tergantung dari karakteristik stimulator dan durasinya (Cheng, 2006).
Penemuan adrenoseptor agonist dan antagonis spesifik telah membuka
kesempatan untuk menyelidiki peran sistem saraf simpatis dalam pengaturan
fisiologi hemostasis termasuk imunitas. Klonidin, sebuah agonis α-2-
adrenergik yang selektif, bekerja baik pada sistem saraf pusat maupun perifer.
Berdasarkan karakteristik farmakologinya, klonidin telah digunakan secara
klinis untuk mengelola hipertensi, kelainan hiperatif/attention deficit, dan
digunakan sebagai analgesik. Sebagai tambahan, klonidin juga dilaporkan
menghasilkan efek fisiologis yang bervariasi. Klonidin dilaporkan
meningkatkan imunitas dan menurunkan inflamasi pada manusia dan tikus
dengan regulasi langsung dari fungsi sel imun dan organ, serta secara tidak
langsung mempengaruhi sistem respon terhadap stres seperti aksis adrenal-
hipothalamicputiutary (Cheng, 2006).
5. Metode Induksi Sepsis
Induksi sepsis pada hewan coba dapat dilakukan dengan berbagai cara,
di antaranya adalah dengan Cecal inoculum, Cecal Ligation and Pucture, serta
pemberian Lipopolisakarida (Dorland, 2002).
a. Cecal Inoculum
Infeksi intrabdomen merupakan salah satu sumber terjadinya sepsis.
Inoculum merupakan bahan yang dipakai dalam inokulasi. Inokulasi
adalah pemasukan mikroorganisme, bahan inefektif, serum dan substansi
lain ke dalam jaringan organisme hidup atau media biakan. Cecum adalah
bagian pertama dari usus besar, membentuk kantong yang secara distal
melebar ke ileum dan proksimal kearah kolon, serta melepaskan apendiks
vermiformis (Dorland, 2002).
Metode cecal inoculum adalah suatu model yang mampu
menggambarkan dengan baik keadaan sepsis yang mirip dengan keadaan
klinis peritonitis yang disebabkan polimikroba tanpa pembedahan. Infeksi
tersebut akan menghasilkan respon inflamasi peritoneum terhadap
organisme polimkroba yang berasal dari saluran pencernaan. Peritonitis
secara klinis dimulai dari adanya kerusakan organ abdomen, seperti
perforasi intestinal akut yang akan berkembang menjadi sepsis dan akan
mengakibatkan tingginya morbiditas dan mortalitas baik pada hewan coba
maupun pasien (Remick et al.,2002)
Model Sepsis yang dibuat dari cecal inoculum diperoleh dari isi
cecal mencit donor yang dimasukkan ke dalam kavitas peritoneal. Model
inoculum akan menggambarkan strain Escheriacia coli (E. coli) yang
bercampur dengan material cecal yang lain untuk meniru peritonitis pada
manusia, sehingga mampu menjadi gold standard untuk penelitian sepsis
tanpa pembedahan (Edwin et al., 2003; Brahmbhatt et al., 2005)
Hasil penelitian injeksi cecal inoculum memperlihatkan tanda-
tanda piloerection, periocular discharge, tampak lesu, penurunan nafsu
makan dan minum, serta diare. Terlihat infeksi yang berlebihan, kerusakan
yang hebat, dan perlengketan di sejumlah organ termasuk hepar, lien,
ginjal. Pada hari ketiga induksi sepsis dengan cecal inoculum terdapat
peningkatan nilai netrofil yang nyata dibandingkan tikus tanpa perlakuan
(Sini, 2015). Penelitian lain memperlihatkan tingkat kematian sebesar
100% selama 7 hari perlakuan (Diding et al., 2008) dan peningkatan
jumlah neurofil dalam sirkulasi (Taneja et al., 2004).
Penelitian kali ini, akan menggunakan induksi cecal inoculum yang
merupakan modifikasi dari metode yang diperkenalkan oleh Brahmanhatt
et al., (2005). Cecal inoculum (cecal inoculum) dibuat dengan
mensuspensikan 50 mg material dari cecal yang masih baru pada 1,25ml
Dextrose Water (D5W). Material cecal diperoleh dari mencit donor yang
sehat, yang dikorbankan dengan dislokasi servikal. Cecal inoculum dibuat
baru setiap hari. Pada tikus diinjeksikan cecal inoculum 200
mg/kg/hari/intraperitoneal (i.p) (Ren et al., 2002).
b. Cecal Ligation and Puncture
Selain cecal inoculum (i.c), metode poly microbial sepsis induced
by Cecal Ligation and Puncture (CLP) dapat juga digunakan untuk
mengiduksi sepsis. Ligasi adalah aplikasi pengikat. Pucture merupakan
perbuatan menusuk dengan benda atau alat yang tajam, atau dapat
diartikan sebagai luka yang ditimbulkan oleh penusukan tersebut
(Dorland, 2002).
CLP pada hewan mencit telah menjadi model paling banyak
digunakan untuk penelitian sepsis dan sampai saat ini dianggap sebagai
gold standard untuk penelitian sepsis dengan pembedahan (Remick et al.,
2000; Rittirsch et al., 2008). Setelah dikembangkan selama kurang lebih
30 tahun yang lalu, model CLP dianggap menjadi model yang realistis
unttuk sepsis pomikrobial dalam penelitian untuk mempelajari mekanisme
terjadinya sepsis dalam penelitian untuk mempelajari mekanisme
terjadinya sepsis (Remick et al., 2000; Rittirsch et al., 2008). Secara
singkat, CLP menampilkan ligase di bawah katup ileocecal setelah midline
laparotomy, diikuti dengan pungsi jarum pada cecum. Karena cecum
merupakan sumber endigen kontaminasi bakterii, maka perforasi pada
cecum akan menyebabkan peritonitis bacterial, yang diikuti oleh terjadinya
translokasi bakteri enteric ke dalam kompartemen darah. Pada awal sepsis,
terjadi bakteremia yang memicu aktivasi respon inflamasi sistemik, syok
septik, MOF dan pada akhirnya kematian. Ketika CLP digunakan pada
hewan mencit, menunjukkan pola penyakit dengan gejala khas sepsis atau
syok septik, seperti hipotersmia, takikardi, dan takipnea (Rittirsch et al.,
2008)
Sejumlah mencit jantan dengan berat badan berkisar 120-150 g,
dianestesi per i.p dengan Nembutal (65 mg/kg) dan ditempatkan di bawah
cahaya lampu. Setelah anestesi bekerja, dinding abdomen mencit diijeksi
sepanjang midline dengan diameter 2 cm. Cari cecum, dan keluarkan dari
kavitas abdomen. Bagian distal cecum diikat dengan benang sutera ukuran
5-0, kemudian cecum yang telah diligasi ditusuk dua kali dengan jarum
gauge ukuran 28 dan ditekan dengan lembut menggunakan aplikator
sampai sedikit material cecal ke luar. Setelah itu, cecum dimasukkan
kembali ke dalam peritoneum. Bekas insisi dijahit menggunakan benang
sutera ukuran 5-0 untuk lapisan otot dan surgical staples (9 mm) untuk
kulit. Berat badan mencit dimonitoring secara rutin setiap hari sampai
akhir eksperimen (Fu et al., 2006)
c. Lipopolisakarida (LPS)
Lipopolisakarida adalak kompleks lipid dan polisakarida, serta
merupakan komponen mayor dinding sel bakteri gram negatif. LPS
merupakan endotoksin dan antigen grup spesifik yang penting (antigen O).
Molekul LPS terdiri dari tiga bagian, yaitu (1) Lipid A, suatu glikolipid
yang bertangung jawab terhadap aktivitas endotoksik, yang terkait secara
kovalen pada rantai heteropolisakarida yang mempunyai dua bagian; (2)
inti polisakarida yang konstann dalam strain terkait, dan (3) rantai spesifik-
O yang sangat bervariasi. LPS dari E. coli sangat sering menggunakan
mitogen sel B (activator poliklonal) dalam laboratorium imunologi
(Dorland, 2002). LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks, dinatakan
sebagai penyebab sepsis terbanyak. Struktur lipid A dalam LPS
bertanggung jawab terhadap reaksi inflamasi jaringan, demam, dan syok.
LPS dapat langsung mengaktifkan system imun seluler dan humoral, yang
dapat menimbulkan septicemia (Hermawan dan Arifin, 2008).
LPS merupakan factor patogenik utama pada sepsis gram negatif,
yang ditandai dengan syok, koagulopati, dan disfungsi multiorgan. Respon
terhadap paparan LPS sistemik menyebabkan meningkatnya produksi
sitokin proinflamasi seperti TNF-α, NFκB, IL-1, IL-8 sebagai media
pertahanan tubuh terhadap benda asing yang memiliki dampak positif dan
negatif. Produksi sitokin proinflamasi dan induksi mediator seluler yang
lebih distal, Platelet Activation Factor (PAF), dan prostaglandin
menyebabkan hipotensi, perfusi organ inadekuat, dan kematian sel yang
berhubungan dengan MODS. Status proinflamasi ini didefinisikan sebagai
SIRS (Brooks et al., 2003).
Produk yang berperan penting terhadap sepsis terutama kandungan
lipid A dalam LPS tersebut. Dalam aliran daral, LPS akan terikat pada
protein yang bersirkulasi kemudian beriteraksi dengan reseptor makrofag,
limfodit, dan monosit serta sel lain pada system retikuloendiotelial. Hal ini
akan mengakibatkan pelepasan sitokin dan pengaktiifan jalur komplemen
dan koagulasi. Runtutan peristiwa tersebut dapat diamati secarra klinis
sebagai demam, leukopenia, hipoglikemia, hipotensi, syok, koagulasi
intravaskuler hingga kematiian karena disfungsi organ (Brooks et al.,
2003).
Kemampuan LPS dalam menyebabkan sepsis dapat dimanfaatkan
untuk menginduksi sepsis pada percobaan. Caranya, LPS dari bakteri gram
negatif (E. coli paling sering digunakan), diinjeksikan secara
intraperitoneal ke mencit dengan dosis 15 mg/kg, kemudian survival dari
hewan cba dimonitor dengan enteral 12 jam selama tujuh hari (Fu et al.,
2006)
B. PENELITIAN YANG RELEVAN
Penelitian yang dilakukan di Departemen Anestesi Rumah Sakit
Universitas Heidelberg Jerman pada tikus sepsis dengan injeksi
lipopolisakarida (LPS) intravena dengan pemberian preemptive
deksmedetomidin dengan dosis 40 mcg/kg dan klonidin 5 mcg/kg secara nyata
dapat menurunkan tingkat kematian. Pemberian klonidin preemptive juga
menurunkan konsentrasi mediator pro inflamasi TNF-α, IL-6, dan IL1β (Hofer
et al., 2009).
Penelitian pada mencit sepsis yang diinduksi dengan cara CLP (Cecal
Ligation and Puncture) kemudian diberikan deksmedetomidin dan klonidin
menunjukkan penurunan beberapa kadar sitokin proinflamasi (Schmidt et al.,
2009).
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Gu pada mencit untuk
membuktikan peran deksmedetomidin dalam cytoprotection ginjal selama
periode iskemik. Penelitian tersebut membuktikan bahwa deksmedetomidin
mampu memberikan perlindungan terhadap ginjal dengan pengaruh pada
protein B1 (HMGB-1) dan toll-like receptor 4 (TLR4) sehingga mencegah
peningkatan TNF-α yang di ekspresikan di sel-sel tubular ginjal, hasil
akhirnya meningkatkan angka bertahan hidup pada mencit yang menjalani
nefrektomi (Gu et al. 2011)
Penelitian Sezer terhadap tikus sepsis yang diinduksi dengan LPS juga
memberikan bukti bahwa pemberian deksmedetomidin mampu menurunkan
kerusakan liver karena sepsis, syok, dan penyakit lain yang berhubungan
dengan inflamasi sistemik. Parameter pada penelitian tersebut adalah
kemampuan deksmedetomidin dalam mencegah peningkatan TNF-α pada
pemeriksaan histopatologi hepar (Sezer et al. 2010).
Penelitian pada tikus yang dilakukan Sugita tahun 2003 di bagian
Anestesi, Nippon Medical School juga menyebutkan peran deksmedetomidin
sebagai antiinflamasi yang dapat memperbaiki fungsi renal akibat ischemia
reperfusion injury (Sugita et al. 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Nader et al. di Department Anestesi
dan Patologi Suny Buffalo, New York membuktikan bahwa klonidin
menurunkan kadar TNF-α dalam plasma dan cairan cerebrospinal selama
periode perioperatif sedangkan penelitian di Kanada tahun 2012 yang
dilakukan Kang et al. membuktikan deksmedetomidin juga menurunkan kadar
TNF-α plasma selama peride perioperatif (Nader et al. 2001; Kang et al.
2013).
Penelitian pada tikus sepsis yang dilakukan operasi CLP (Cecal
Ligation and Puncture) yang diberikan deksmedetomidin dengan dosis 5
mcg/kg(dosis rendah), 10 mcg/kg (dosis sedang), 20 mcg/kg (dosis tinggi)
memberikan kesimpulan bahwa pada dosis 10 mcg/kg dan 20 mcg/kg dapat
menghambat ekspresi NF-κB pada jaringan paru sehingga menurunkan
mortalitas dan menurunkan inflamasi pada jaringan paru tikus sepsis tersebut.
NF-κB merupakan faktor transkripsi protein yang berfungsi untuk
meningkatkan transkripsi berbagai gen, termasuk sitokin pro inflamasi TNF-α
(Wu et al. 2013).
C. KERANGKA TEORI
Cecal inoculum

LPS

MD2

deksmedetomidin TLR 4
klondin

deksmedetomidin MyD88

IRAKs
makrofag
TRAF 6

IKK

deksmedetomidin Nf-kβ klondin

TNF-α ↑↑

sepsis

Keterangan:

: meningkat
: dihambat oleh
: tidak diteliti
: diteliti
IRAKs : IL-1R-associated kinases (IRAKs)
LPS : Lipopolisakarida
MyD88 : myeloid differentiation primary-response protein 88
NF- κB : Nuclear Factor Kappa beta
TNF-α : Tumor Necrosis Factor- alpha
TLR : Toll Like Receptors

TAK1 : Transforming growth factor (TGF)-activated

kinase TRAF6 : TNF-receptor-associated factor 6


IKK : IKB kinase
Gambar 2.6. Kerangka Teori

D. KERANGKA KONSEP

Cecal
inoculu
m
sepsis

dekmedetomidinkontrolklonidin

TLR 4 TLR 4 TLR 4

MyD88 MyD88 MyD88

Ekspresi NF κB Ekspresi NF Ekspresi NF κB


↑ κB↑↑↑ ↑↑

Kadar TNF-α ↑ bila Kadar TNF-α ↑↑


dibandingkan dengan Kadar TNF-α ↑↑↑ bila dibandingkan
kelompok kontrol dengan kelompok
kontrol
Keterangan
:
: meningkat sedikit
: menghambat
: mempengaruhi : meningkat sedang

: tidak diteliti : meningkat banyak

: diteliti

Gambar 2.7. Kerangka konsep

E. HIPOTESIS

1. Ada pengaruh deksmedetomidin terhadap kadar serum TNF-α pada


tikus wistar dengan sepsis polimikrobial
2. Ada pengaruh klonidin terhadap kadar serum TNF-α pada tikus
wistar dengan sepsis polimikrobial.
3. Deksmedetomidin lebih kuat dibandingkan klonidin dalam
menurunkan kadar serum TNF-α pada tikus wistar dengan sepsis
polimikrobial.

Anda mungkin juga menyukai