BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Sepsis
a. Definisi
5
6
yang adekuat), kreatinin meningkat > 0.5 mg/dL atau 44.2 μmol/L,
abnormalitas koagulasi (INR > 1.5 atau aPTT > 60 detik), ileus (tidak
adanya bunyi peristaltik usus), trombositopenia (platelet< 100,000/μL),
hiperbilirubinemia (plasma bilirubin total > 4 mg/dL atau 70 μmol/L).
Selanjutnya variabel perfusi jaringan meliputi: hiperlaktatemia (> 1
mmol/L) dan menurunnya capillary refill atau adanya bercak-bercak
(mottling) (Dellinger et al., 2013).
Sepsis berat adalah sepsis-induced hypotension atau adanya
disfungsi organ yang ditandai oleh beberapa hal diantaranya hipotensi,
laktat diatas batas atas nilai normal, produksi urin < 0.5 mL/kg/jam
selama lebih dari 2 jam walaupun sudah mendapat resusitasi cairan
yang adekuat, injury paru akut dengan Pao2/Fio2 < 250 tanpa adanya
pneumonia sebagai sumber infeksi, injury paru akut dengan Pao2/Fio2
< 200 dengan adanya pneumonia sebagai sumber infeksi, kreatinin >
2.0 mg/dL (176.8 μmol/L), bilirubin > 2 mg/dL (34.2 μmol/L), platelet
< 100,000/μL, koagulopati (INR > 1.5) (Dellinger et al., 2013).
b. Etiologi
Penyebab sepsis terbesar adalah bakteri gram negatif (60-70%)
yang menghasilkan berbagai produk yang menstimulasi sel imun. Sel
tersebut akan terpacu mengeluarkan mediator inflamasi. Produk yang
berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS
atau endotoksin glikoprotein kompleks merupakan kompleks utama
membran terluar dari bakteri gram negatif (Hermawan dan Arifin,
2008).
Selain disebabkan oleh endotoksin dapat pula disebabkana oleh
eksotoksin, jamur, virus, dan parasit yang berperan sebagai
superantigen. (Hermawan dan Arifin, 2008).
c. Patogenesis
Patogenesis sepsis sangat kompleks akibat dari interaksi antara
produk bakteri yang berupa toksin (Hermawan, 2011).
Inflamasi sesungguhnya merupakan upaya tubuh menghilangkan
dan eradikasi organisme penyebab, aktifasi respon inflamasi sistemik
pada sepsis dibutuhkan tubuh sebagai pertahanan tubuh terhadap
infeksi, berbagai jalur inflamasi diaktifkan dengan tujuan untuk
invasi bakteri. Mekanisme ini termasuk pengeluaran sitokin, aktifasi
netrofil, monosit, makrofag dan perubahan sel endotel serta aktifasi
sistem komplemen, koagulasi, fibrinolysis, dan sistem kontak.
Pengeluaran tissue damaging proteinase, radikal eikosanoid, oksigen
dan nitrogen juga merupakan mekanisme pertahanan tubuh (Cinel dan
Dellinger, 2007).
Untuk menghalangi masuknya mikroorganisme infeksius,
sistem imum alamiah mengembangkan berbagai reseptor yang disebut
Pathogen Associated Moleculear Pattern/PAMPs sehingga mampu
membedakan struktur molekul sel dan non self (Cinel dan Dellinger,
2007).
Toll Like Receptor dilibatkan dalam pertahanan pejamu
terhadap infeksi patogen berfungsi sebagai sensor utama dari
produk mikroba dan mengaktifkan jalur sinyal yang akan ekspesi gen
imun proinflamasi (Rudiger et al., 2008; Van et al., 2003).
Penanda dari luar yang berasal dari mediator akan diikat oleh
CD11b yang merupakan reseptor pada permukaan sel, yang
selanjutnya akan memacu proses reaksi kinase intra seluler melalui
TLR, sebagian dari aktifasi awal ini akan meningkatkan regulasi
ekspresi CD11b/CD18 pada permukaan sel. Inflamasi sendiri akan
menyebabkan stress oksidasi intraselluler yang dapat menyebabakan
perubahan potensial membran mitokondria. Stress oksidatif akan
mengaktifkan Nuclear factor kappa beta (NF kB) melalui pemecahan
fosoforilasi dari inhibitory sub unit I Kb, Ikb yang telah didegradasi
melalui proses fosforilasi dan ubiquinasi akan menyisakan produk
aktif bebas P50-p65 dimer yang akan berpindah ke inti sel dimana
melalui ikatan dalam reseptor pada inti sel akan meningkatkan
sintesis mRNA untuk gen gen spesifik yang akan mengkode sintesis
mediator pro infllamasi (seperti TNF-α, IL-1β, IL-8, iNOS, COX2 ).
Sitokin yang paling menonjol adalah tumor necrosis factor alpha
(TNF-α), interleukin-1 (IL), dan IL-6. Berbagai penelitian telah
menunjukkan bahwa dalam menanggapi sepsis, sistem kekebalan
tubuh memulai kaskade sitokin yang ditandai dengan produksi
berurutan TNF-α, IL-1, IL-6 (Pinsky, 2004 ).
Endotoksin gram negatif dapat secara langsung dengan LPS
dan bersama sama dengan antibodi dalam serum darah membentuk
LBP, kemudian akan bereaksi dengan makrofag melalui TLR-4
dengan perantaraan CD 14 selanjutnya melalui sinyal transmembran
makrofag akan mengekspresikan berbagai imunomodulator
(Hermawan, 2011).
Eksotoksin gram positif akan bertindak sebagai superantigen
bakteri yang akan menstimulasi limfosit T tanpa melalui makrofag
ataupun monosit sebagai antigen presenting cell (APC) terlebih
dahulu, superantigen akan mengaktifkan hingga 20% limfosit tubuh
dan dapat menstimulasi berbagai jenis mediator pro inflamasi
termasuk IL-2, IFN, coloni stimulating factor (CFS) yang akan
menstimulasi makrofag yang akan mengeluarkan IL-1, IL-6, TNF-α
dan juga beberapa enzim termasuk kolagenase dan elastase yang
dapat merusak jaringan ikat, molekul prokoagulan yang dapat
menyebabkan koagulasi lokal melalui jalur ekstrinsik dan aktifator
plasminogen dan GM-CSM akan mengaktifkan netrofil dan
komponen C3, C3a dan C5a. Netrofil akan beradhesi dengan sel
sasaran yaitu endotel pembuluh darah, disertai gumpalan darah akibat
endapan fibrin maka fungsi pembuluh darah akan terganggu
(Hermawan dan Arifin, 2008).
d. Jalur sinyal transduksi TLR
Meskipun protein TLR dapat mengenali baik gram positif
dan negatif, LPS lebih sering digunakan untuk menstimuli ketika
melakukan uji jalur sinyal trasduksi untuk TLR 2 dan TLR 4,
ikatan antara TLR dengan produk mikroba mengawali aktifasi jalur
sinyal trasduksi intraselluler yang multiple. Diantara jalur yang
telah terkarakterisasi adalah aktifasi NF kB, TLRs seperti kebanyakan
bentuk homodimer yang akan mengawali perubahan konformasi
dalam modul Toll/IL-1R sitoplasma dengan perekrutan adapter
yang lebih dikenal dengan MyDD88. MyDD88 berisi domain ujung
C yang berikatan dengan dengan TLR melalui modul Toll/IL-IR
sitoplasma dan bagian ujung N yang disebut modul death domain.
modul death domain dari MyDD88 merekrut receptor associated
kinase IL-1 pada komplek reseptor. Receptor associated kinase IL-1
pada komplek reseptor kemudian akan mengalami auto fosforilasi dan
disosiasi dari komplek reseptor dan merekrut reseptor TNF-α yang
dihubungkan dengan faktor 6 yang pada akhirnya akan mengaktifkan
ke arah muara kinase, NF kB yang menginduksi kinase akhirnya
mengaktifasi komplek kinase penghambat kb yang secara langsung
mengawali fosforilasi IkB pada traslokasi nukleus dari Nf kB dan
memulai transkripsi gen, aktifasi disregulasi dari Nf KB oleh bakteri
atupun produk bakteri akan mengawali terjadinya produksi mediator
pro inflamasi yang berlebihan yang akan mengakibatkan kerusakan
jaringan, kegagalan organ dan kematian yang bisa terlihat pada sepsis
akibat bakteri yang berlebihan (Hermawan dan Arifin, 2008).
e. Manifestasi Klinis
Gejala klinis sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya didahului
oleh tanda- tanda nonspesifik, meliputi demam, menggigil, dan gejala
konstitutif seperti lelah, malaise, gelisah, atau kebingungan. Gejala
tersebut tidak khusus untuk infeksi dan dapat dijumpai pada banyak
kondisi inflamasi non-infeksius. Tempat infeksi yang paling sering:
paru, traktus digestivus, traktus urinarius, kulit, jaringan lunak, dan
saraf pusat. Gejala sepsis tersebut akan menjadi lebih berat pada
penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama,
dan pasien dengan granulositopenia. Yang sering diikuti gejala
Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) sampai dengan
terjadinya syok septik. Tanda-tanda MODS dengan terjadinya
komplikasi: sindrom distres pernapasan pada dewasa, koagulasi
intravaskuler, gagal ginjal akut, perdarahan usus, disfungsi sistem saraf
pusat, gagal jantung, kematian (Hermawan dan Arifin, 2008)
2. Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α)
a. Definisi
TNF-α adalah protein 17kDa yang awalnya ditemukan
sebagai molekul terkait dengan nekrosis pada tumor tikus. TNF-α
merupakan faktor proinflamasi penting yang memberikan
kontribusi untuk berbagai patologi. Pemberian sistemik TNF-α
menghasilkan manifestasi yang sangat mirip dengan sepsis
termasuk hipotensi, asidosis metabolik, infiltrasi paru difus,
perdarahan paru dan gastrointestinal, nekrosis tubular dan kematian
(Durum dan Muegge, 2003).
TNF-α adalah sitokin proinflamasi utama, dan
pemberiannya menghasilkan efek endotoksemia dan bakteremia.
Kadar TNF-α yang tinggi dalam sirkulasi berhubungan dengan
kondisi sepsis yang buruk (Baudouin, 2008).
Pada penderita infeksi oleh parasit ditemukan bahan
yang dinamakan cahectin sebagai penyebab kekurusan yang
berlebihan (kakeksi). Dua jenis mediator tersebut ternyata
termasuk golongan sitokin yang kemudian dinamakan tumor
nekrosis (TNF) (Subowo, 2009).
Semula TNF diidentifikasi sebagai mediator untuk nekrosis
tumor yang terdapat dalam serum hewan percobaan yang diberi
lipopolisacharida (LPS). LPS konsentrasi tinggi menyebabkan
kerusakan jaringan, DIC, syok, dan kematian, dan terbukti bahwa
TNF merupakan salah satu mediator penting pada proses itu. Ada 2
bentuk TNF, yaitu TNF-α dan TNF-β. TNF-α diproduksi oleh
berbagai jenis sel T, sel B, Natural killer (NK), astrosit dan
Kupfer. Pembentukan terjadi sebagai respon terhadap rangsangan
bakteri, virus dan sitokin granulocyte macrofag stimulating factor
(GM-CSF, IL-1, IL-2, IFN gama), kompleks imun, komponen-
komplemen C5a dan reactive oxygenintermediates (ROI).
Sebaliknya TNF-β disekresi oleh sel T dan sel B teraktivasi; ia
dapat berada pada permukaan sel bila terikat pada protein
transmembran LT-β. Kedua protein termasuk keluarga protein
yang di antaranya terdapat Cluster of diffrentiation antigen 40L
(CD40L), Cluster of diffrentiation antigen 30L (CD30L) dan
Cluster of diffrentiation antigen 29L (CD29L). Lokasi TNF-α,
TNF-β dan LT-β pada region Major histocompatibility complex
(MHC) kromosom 6 dan 17 menimbulkan dugaan bahwa molekul
itu bertanggung jawab atas beberapa efek yang berhubungan
dengan MHC (Abbas et al, 2005; Simhan et al., 2003). Akhir-akhir
ini terungkap TNF-α dan TNF-β sebagai limfotoksin karena
mempunyai efek sitotoksik, dihasilkan oleh limfosit TH1, sebagian
oleh limfosit TH2 dan sel T sitotoksik. Sebaliknya TNF-β disekresi
oleh sel T dan sel T teraktivasi. TNF-α dapat dihasilkan oleh
beberapa sel, terutama makrofag akibat adanya suatu stresor
ataupun infeksi. Pada saat ini beberapa studi melaporkan bahwa
akan terjadi peningkatan terhadap produksi TNF-α pada beberapa
penyakit atau stresor, namun belum ditemukan nilai cut off point
(Durum et al., 2003).
TNF-α dahulu dikenal dengan berbagai nama, yaitu
cachetin, necrosin, sitotoksin makrofag atau faktor sitotoksik.
Bersama-sama dengan interferron (IFN) gama, TNF-α bersifat
sitotoksin bagi banyak jenis sel tumor. TNF-α terbukti juga
merupakan modulator respon imun kuat yang memperantarai
induksi molekul adhesi, sitokin lain dan aktivasi netrofil.
Disamping berfungsi meningkatkan ekspresi molekul adhesi yang
memudahkan leukosit melekat pada permukaan endotel, dan
merangsang sel fagosit mononuclear untuk mensekresi chemokine,
serta mengaktivasi leukosit, TNF yang diproduksi dalam jangka
panjang dengan konsentrasi rendah dapat mengakibatkan tissue
remodeling. TNF dapat berfungsi sebagai faktor angiogenesis dan
membentuk pembuluh darah baru, dan dapat berfungsi sebagai
faktor pertumbuhan fibroblast yang mengakibatkan pembentukan
jaringan ikat. Bila produksi TNF tetap berlanjut, jaringan-jaringan
tersebut dapat merupakan jaringan limfoid baru dimana berkumpul
limfosit B dan limfosit T (Zaretsky et al., 2004; Abbas et al., 2010)
Sekresi TNF-α yang berlebih akan merusak sel endotel,
menyebabkan oklusi pembuluh darah, mengurangi aliran darah
regional, dan meningkatkan permeabilitas endothelium. Aktivasi
TNF-α dimediasi oleh sistem kekebalan tubuh yang dapat
mengakibatkan sekresi zat vasoaktif oleh karena cedera endotel
dan menyebabkan permeabilitas vaskular dan koagulasi
intravaskular. TNF-α merupakan sitokin proinflamasi (Roudsari
et
al., 2009)
TNF-α pertama muncul sebagai respon utama terhadap
regulasi adhesi molekul vascular, mengaktifkan neutrofil dan
merangsang monosit untuk mensekresi IL-1dan IL-6. TNF-α
mengaktifkan sistem koagulasi, menekan stem cell sumsum tulang,
depresi miokard, hipotensi dan DIC. IL-6 bekerja pada hepatosit
untuk meningkatkan akut fase reaktan dan β-cells growth factor,
mempromosikan pembentukan antibodi dan release. Konsentrasi
TNF-α dan IL-6 sebagai indikator awal sepsis dan korelasinya
dengan hasil telah dipelajari pada orang dewasa (Roudsari et al.,
2009).
TNF terutama dihasilkan oleh sel makrofag dan sel-sel
jenis lainnya dengan berbagai aktivitas biologi pada sel-sel
sasaran yang termasuk sistem imun maupun bukan. Sejumlah
jenis sel baru dapat menghasilkan TNF setelah mendapatkan
rangsangan yang cocok misalnya dari limfosit dan sel NK
(Coppack, 2001; Skoog et al., 2001; Sukhanov et al., 2007).
Sangat menarik terungkapnya jejaring pengawasan induksi dan
efek dari TNF. Misalnya IL-1 menginduksi produksi TNF dan
sebaliknya TNF menginduksi produksi IL-1 oleh makrofag,
produksi IFN-β1 dan IFN-β2 oleh fibroblast dan produksi GM-
CSF oleh berbagai jenis sel (Roudsari et al., 2009).
Gen untuk TNF terdapat pada bagian lengan pendek
kromosom 6 yang diduga di dekat atau di dalam komplek MHC.
Molekul TNF manusia memiliki homologi sebesar 80% dengan
TNF mencit atau kelinci serta 28% dengan limfotoksin yang
mempunyai mekanisme kerja dan reseptor yang sama dengan
TNF disebut sebagai TNF-β. Beberapa efek TNF dengan
manifestasi dapat dijabarkan sebagai:
a) Efek TNF sebagai sitotoksik
Efek dari beberapa jenis tumor yang mengalami degradasi dan
nekrosis yang disertai pendarahan. Mekanisme kematian sel tumor in
vivo oleh TNF belum jelas, tetapi yang jelas bahwa kematian sel tumor
akan dipercepat jika terdapat hambatan sintesis protein dalam sel tumor.
Tetapi mekanisme kematian sel tumor secara in vivo bukan pengaruh
langsung TNF karena terjadi nekrosis jaringan tumor akibat
gangguan vaskuler. Terdapat bukti bahwa sel makrofag teraktifkan
dapat membunuh sel-sel junior, sedangkan TNF merupakan produk
sel makrofag (Abbas et al., 2010).
b) Efek TNF pada inflamasi
Pada saat kini TNF dianggap sebagai mediator utama dalam
inflamasi. Pada penelitian dekade terakhir ini menunjukkan TNF
diperoleh dalam bentuk murni secara biokimiawi ternyata bertanggung
jawab kepada aktifitas "cahectin" yang umumnya bekerja pada
penderita yang mengalami infeksi parasit. Mekanisme pada beberapa
kejadian inflamasi setempat diramalkan berdasarkan pengamatan
dalam percobaan in vitro. Misal sel netrofil yang bereaksi dengan TNF
meningkatkan pengikatannya dengan sel endotel, letupan respiratori
dan degranulasinya. Pola kerusakan jaringan inflamasi mirip dengan
kerusakan IL-1 (Abbas et al., 2010).
c) Efek TNF pada hematopoitic
Aktifitas dalam bentuk penghambatan koloni biakan granuiosit-
monosit, eritrosit dan koloni sel multi-potensial pada jaringan
sumsum tulang manusia, tetapi sebaliknya progenitor dalam
jaringan sumsum tulang pada percobaan in vivo (Abbas et al., 2010).
d) Efek TNF pada imunologi
Tumor nekrosis factor mempunyai aktivitas perangsangan yang
multiple terhadap limfosit T teraktifkan, misalnya respon
proliferative limfosit T terhadap antigen, peningkatan reseptor untuk IL-
2 dan induksi produksi IFN-γ. Demikian juga imunitas spesifik terhadap
tumor ditingkatkan oleh TNF. TNF dapat meningkatkan ekspresi antigen
MHC kelas I pada fibroblast dan sel endotel (Abbas et al., 2010).
Semula TNF-α diidentifikasi sebagai mediator untuk nekrosis tumor
yang dalam serum hewan yang diberi lipopolisakarida (LPS). LPS
konsentrasi tinggi menyebabkan kerusakan jaringan, DIC (Disseminated
intravascular coagulation), dan kematian (Roudsari et al. 2009).
3. Deksmedetomidin
Deksmedetomidin merupakan dextro-rotary S-enantiomer dari
medetomidin yang secara kimia digambarkan sebagai (+)-4-(S)-[ 1-(2,3-
dimethylphenyl) ethyl ]-1H-Imidazole monohydrochloride (Lirola, 2006).
Deksmedetomidin adalah agonis reseptor α-2 adrenergik yang
sangat selektif dengan perbandingan selektifitas antara α 1 : α-2 = 1:1600.
(Lirola, 2006).
Gambar 2.1. Struktur kimia deksmedetomidin (Lirola, 2006).
Gambar 2.2. Fisiologi dari reseptor α-2 agonis (et al., 2001)
Adrenergik α-2 memediasi efeknya dengan mengaktifkan protein
yang mengikat guanin nukleotida (protein G). Protein G yangteraktivasi
memodulasi aktivitas seluler dengan sinyal second messenger atau oleh
aktivitas saluran ion modulasi (Gertler et al., 2001).
Second messenger, ketika diaktifkan, menyebabkan penghambatan
adenilat siklase yang menghasilkan penurunan pembentukan adenosin
monofosfat 3,5-siklik (cAMP). Spesifik kinase cAMP-
dependent
memodifikasi aktivitas protein target dengan mengendalikan fosforilasi .
Modulasi aktivitas saluran ion menyebabkan hyperpolarisasi dari
membran sel. Efluks kalium melalui hyperpolarisasi saluran membran
yang tereksitasi dan menyediakan sarana yang efektif untuk menekan
perangsangan neuron. Stimulasi adrenoceptor α-2 juga menekan
masuknya kalsium ke terminal saraf, yang mungkin bertanggung jawab
terjadinya penghambatan pada sekresi neurotransmitter. Dari sudut
pandang anesthesiologist, hyperpolarisasi saraf merupakan elemen kunci
dalam mekanisme kerja agonis adrenoreseptor α-2 (Gertler et al., 2001).
b. Farmakokinetik
Deksmedetomidin dapat diberikan secara intravena (iv),
intramuskular (im) dan transdermal. Dekmedetomidin memiliki fase
distribusi yang cepat dengan waktu paruh 6-9 menit. Selama fase
eliminasi, waktu paruh kira-kira 2-3 jam (Lirola, 2006).
Parameter farmakokinetik deksmedetomidin yang diberikan melalui
intravena yaitu:
a) Fase distribusi cepat dengan waktu paruh distribusi (t1/2) ± 6 menit,
dengan onset klinis 10-15 menit sejak mulai pemberian, dengan
durasi selama 30-60 menit.
b) Waktu paruh eliminasi akhir ± 2 jam.
c) Volume distribusi steady state (Vss) ± 118L.
d) Pembersihan ± 89 L/jam
Deksmedetomidin dimetabolisme dalam hati, dan ada tiga jenis awal
metabolisme reaksi, yaitu konjugasi, metilasi, oksidasi (Miller, 2015)
Deksmedetomidin merupakan inhibitor sitokrom mikrosomal P-450
yang memediasi proses oksidasi. Deksmedetomidin tidak mempengaruhi
sintesis, penyimpanan dan metabolisme neurotransmitter dan tidak
memblokade reseptor sehingga efek hemodinamik dapat diatasi dengan
pemberian obat vasoaktif atau antagonis α-2 spesifik (atipamezol).
Atipamezol bereaksi dengan meningkatkan pengembalian norepineprin
sentral, dan memiliki durasi aksi 2 jam (Bajwa, 2013).
c. Farmakodinamik
Deksmedetomidin bertindak secara selektif dalam eksitasi reseptor
α-2 adrenergik dibandingkan dengan klonidin. Dalam penelitian
didapatkan bahwa deksmedetomidin memiliki 8 kali lebih spesifik untuk
reseptor α-2 adrenergik dibanding klonidin. Deksmedetomidin
menyebabkan inhibisi dari aliran simpatik pusat yang berlebihan dan hal
ini menyebabkan hambatan dalam pelepasan norepinefrin yang
menyebabkan bradikardi dan hipotensi. Hal ini juga mengurangi
transduksi sinyal rasa sakit dengan menarik reseptor membran presinaps,
dan dengan demikian memiliki efek sedasi dan menghilangkan kecemasan
(Gertler et al, 2001).
Pada penelitian yang dilakukan Shi pada tahun 2012 disimpulkan
bahwa deksmedetomidin menghambat reaksi inflamasi sistemik yang
disebabkan oleh lipopolisakarida (LPS). Penggunaan deksmedetomidin
dapat menyebabkan penurunan kadar TNF-α, IL-1β, IL-6 dan faktor
inflamasi lainnya. Hal ini memberikan dugaan bahwa deksmedetomidin
berperan sebagai anti inflamasi.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Elbert, tentang respon
autonom, kardiovaskuler, dan sedasi akibat konsentrasi plasma
deksmedetomidin, disimpulkan bahwa konsentrasi plasma yang rendah
akan menghasilkan efek sedasi, analgesi ringan, penurunan tekanan darah
dan denyut jantung yang signifikan, tanpa disertai perubahan pada tekanan
vena sentral atau tekan arteri pulmonal. Respon yang berlawanan terjadi
pada konsentrasi plasma yang tinggi (Basar et al., 2008).
d. Mekanisme aksi
Mekanisme aksi deksmedetomidin adalah unik dan berbeda dari
agen-agent yang saat ini digunakan sebagai agen obat penenang,
termasuk klonidine. Aktivasi dari reseptor di sumsum otak dan tulang
belakang menghambat perangsangan neuron, menyebabkan hipotensi,
bradikardia, sedasi, dan analgesia. Tanggapan terhadap aktivasi dari
reseptor di tempat lain termasuk penurunan sekresi air liur, dan
penurunan motilitas usus pada saluran pencernaan, kontraksi otot polos
pembuluh darah, penghambatan pelepasan renin, peningkatan filtrasi
glomerulus, dan peningkatan sekresi natrium dan air di ginjal, penurunan
tekanan intraokular, dan penurunan pelepasan insulin dari pankreas
(Gertler et al., 2001).
Gambar 2.3. Mekanisme Aksi dari reseptor α-2 agonis (Gertler et al., 2001)
Secara umum, aktivasi presinaptik α-2 adrenoseptor yang
menghambat pelepasan norepinefrin, akan mengakhiri penyebaran sinyal
rasa sakit. Aktivasi postsinaptik dari adrenoseptor α-2 dalam sistem saraf
pusat (SSP) menghambat aktivitas simpatik dan dengan demikian dapat
menurunkan tekanan darah dan denyut jantung. Gabungan efek ini dapat
menghasilkan analgesia, sedasi, dan anxiolysis. Deksmedetomidine
menggabungkan semua efek ini, sehingga menghindari beberapa efek
samping dari terapi dengan multiagen (Gertler et al., 2001).
Mekanisme aksi terjadinya analgesik α-2 agonis belum
sepenuhnya dijelaskan . Sejumlah tempat, baik supraspinal dan spinal ,
memodulasi transmisi sinyal nosiseptif dalam SSP. Bahkan di perifer
adrenoreseptor α-2 dapat memediasi antinoisepsi, obat-obatan dapat
bekerja di daerah ini untuk mengurangi transmisi nosiseptif yang
menyebabkan analgesia. Aktivasi dari G1protein-kanal kalium
meyebabkan hyperpolarisasi membran, terjadi penurunan laju
perangsangan dari sel yang tereksitasi dalam SSP . Hal ini dianggap
sebagai mekanisme yang signifikan dari penghambatan adrenoreseptor
agonis α-2. Mekanisme yang nyata dari adrenoseptor α-2 adalah
mengurangi jumlah kalsium ke dalam sel, sehingga menghambat
pelepasan neurotransmitter. Efek ini melibatkan peraturan langsung
kalsium masuk melalui tipe N voltage calsium gated channel dan
independen cAMP serta fosforilasi protein. Hal ini dimediasi oleh protein
G. Ini 2 mekanisme yang sangat berbeda dalam menyebabkan analgesia.
(Gertler et al., 2001).
LPS
MD2
deksmedetomidin TLR 4
klondin
deksmedetomidin MyD88
IRAKs
makrofag
TRAF 6
IKK
TNF-α ↑↑
sepsis
Keterangan:
: meningkat
: dihambat oleh
: tidak diteliti
: diteliti
IRAKs : IL-1R-associated kinases (IRAKs)
LPS : Lipopolisakarida
MyD88 : myeloid differentiation primary-response protein 88
NF- κB : Nuclear Factor Kappa beta
TNF-α : Tumor Necrosis Factor- alpha
TLR : Toll Like Receptors
D. KERANGKA KONSEP
Cecal
inoculu
m
sepsis
dekmedetomidinkontrolklonidin
: diteliti
E. HIPOTESIS