Anda di halaman 1dari 5

PERAN GANDA NELAYAN PEREMPUAN DALAM RUMAH TANGGA

NELAYAN DI TENGAH FENOMENA PERUBAHAN IKLIM

Subtema: Hak Nelayan Perempuan dalam Pusaran Perubahan Iklim dan


COVID-19

Pernahkah kita membayangkan pengaruh hubungan antara perubahan


iklim dan keadaan rumah tangga nelayan? Nyatanya hal tersebut memiliki
hubungan sebab-akibat yang signifikan. Nelayan perempuan kerap menjadi pihak
yang berperan dominan mengingat perubahan iklim tidak hanya berdampak pada
lingkungan, tetapi berbagai sektor kehidupan termasuk kehidupan rumah tangga.
Berdasarkan laporan KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) dan
Climat Justice (2011) menyatakan bahwa pada saat terjadi perubahan iklim,
dampak yang ditimbulkan mengakibatkan isteri atau nelayan perempuan akan
menanggung beban ganda bahkan kemungkinan menjadi korban. Hal ini terjadi
mengingat perubahan iklim mengakibatkan perubahan cuaca ekstrim yang
menyebabkan penurunan hasil tangkapan dan penurunan penghasilan nelayan.
Oleh karena itu, tak sedikit perempuan nelayan diharuskan melakukan pekerjaan
tambahan untuk menopang perekonomian keluarga. Salah satunya dengan
berperan ganda mengerjakan kewajiban untuk mengurus pekerjaan rumah tangga
sekaligus ikut serta bekerja membantu perekonomian rumah tangga. Justru peran
nelayan perempuan dalam rantai ekonomi perikanan terlihat dari mulai proses pra-
produksi hingga pemasaran. Mengingat nelayan perempuan menduduki posisi
42% sebagai pekerja di sektor perikanan dan kelautan. Terlebih pada konteks
apabila telah terjadi ketimpangan relasi gender yang cukup besar, maka perubahan
iklim akan dirasakan perbedaan dampaknya antara nelayan laki-laki dan
perempuan. Tak hanya akibat adanya perubahan iklim yang kian masif, pandemi
COVID-19 pun menjadi penyebab utama munculnya peran ganda nelayan
perempuan yang nyata terjadi.
Namun, pada realitanya peran ganda nelayan perempuan ini tidak disertai
dengan hak yang didapat nelayan perempuan tersebut. Seperti dalam ketentuan
yang berlaku di Indonesia pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak
Garam (UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. Walaupun sejatinya dalam
ketentuan tersebut telah diatur terkait hak-hak nelayan, namun belum diatur secara
rigid terkait hak nelayan perempuan yang wajib dilindungi. Sebab, definisi
nelayan cenderung dimaknai sebagai penangkap ikan, sedangkan perempuan
sebagai pembersih ikan untuk dikonsumsi atau dijual di pasar. Selain itu, dalam
ketentuan Pasal 45 UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan tersebut, peran
nelayan perempuan belum dilibatkan keberadaannya, karena status nelayan
perempuan pada umumnya hanya diposisikan sebagai ibu rumah tangga. Padahal
seharusnya, jika melihat ke arah yang lebih luas lagi antara laki-laki dan
perempuan memiliki potensi yang sama untuk berkontribusi pada pembangunan
nasional khususnya di sektor perikanan dan kelautan. Hal ini jelas
mengindikasikan adanya ketimpangan gender oleh pemerintah dengan tidak
memperhatikan perlindungan yang sama pula bagi nelayan perempuan. Jika
menilik pada tahun 2019, terdapat kasus perjuangan sejumlah 31 nelayan
perempuan asal Kabupaten Demak untuk mendapatkan kartu asuransi nelayan.
Kartu asuransi nelayan terkait merupakan salah satu fasilitas yang diberikan
Negara kepada nelayan-nelayan di Indonesia guna mendapatkan santunan
kematian, santunan kecelakaan, serta biaya pengobatan. Namun, kartu asuransi
nelayan tidak bisa didapatkan apabila didalam KTP (Kartu Tanda Penduduk) tidak
tertera pekerjaan sebagai nelayan. Mengingat kolom pekerjaan di KTP nelayan
perempuan tertera sebagai ibu rumah tangga. Untuk itu, 31 nelayan perempuan
tersebut harus melewati berbagai perjuangan selama 2 tahun hingga akhirnya
mendapatkan kartu asuransi nelayan di akhir tahun 2019. Proses pengubahan
status di KTP tersebut terhambat karena proses konsultasi dengan pemerintah
daerah dan provinsi yang masih memiliki persepsi konvensional bahwa profesi
nelayan hanyalah profesi yang ditujukan pada laki-laki. Persepsi itulah yang terus
membuat perempuan menjadi tertinggal dibandingkan laki-laki.
Selain itu, peran ganda nelayan perempuan dalam rumah tangga tidak
hanya menambah beban perempuan, tetapi pula menyebabkan potensi perempuan
menjadi korban kekerasan. Pusat Data dan Informasi KIARA (2020) mencatat
bahwa terdapat sejumlah dampak yang disebabkan oleh pandemi COVID-19 yang
dialami nelayan perempuan dan keluarganya. Pertama, adanya ketidakmampuan
untuk memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga akibat semakin naiknya harga
kebutuhan pokok. Kedua, tingginya angka kekerasan yang dialami oleh
perempuan nelayan. Ketiga, kurangnya perlindungan dan pemberdayaan bagi
keluarga nelayan di tengah pandemi COVID-19 oleh pemerintah. Hal tersebut
tidak hanya terjadi di suatu wilayah saja, namun mengglobal mengingat besarnya
jumlah penduduk di Indonesia yang bekerja sebagai nelayan. Keadaan ini bertolak
belakang dengan hak asasi dan perlindungan yang seharusnya didapatkan oleh
nelayan perempuan. Pada ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia, dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum. Secara normatif, ketentuan tersebut tak
terbatas pada laki-laki saja, melainkan perempuan pula.
Berdasarkan uraian diatas, nelayan perempuan kerap menjadi pihak yang
dirugikan di tengah perubahan iklim dan COVID-19. Kerugian tersebut terletak
pada kewajibannya sebagai ibu rumah tangga sekaligus pencari nafkah untuk
membantu kepala keluarga. Menyadari pentingnya peran nelayan perempuan bagi
rumah tangga nelayan, diperlukan perhatian lebih dari pemerintah baik
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah guna menerapkan kebijakan
perubahan iklim dengan mengintegrasikan persepektif gender dalam
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan evaluasi. Selain itu, diperlukan
kebijakan khusus perlindungan nelayan perempuan dalam menjalankan peran
gandanya seperti pendampingan psikologis disertai pendekatan emosional. Hal ini
menjadi penting sebab di tengah ketidakpastian dan kesulitan ekonomi, kekerasan
dalam rumah tangga kerap menjadi akhir dari permasalahan keluarga.
Implementasi tersebut dimaksudkan agar nelayan perempuan tidak mengalami
kerentanan akibat perubahan iklim sekaligus akibat kebijakan perubahan iklim
yang dibuat pemerintah.

Daftar Pustaka

Jurnal
Marni, S., & Ar-Rachman, D. S. Peran Istri Nelayan Terhadap Ekonomi Keluarga.
Rodenberg, B., “Climate Change Adaptation from A Gender Perspective; A
Cross-cuting Analysis of Development Policy Instrument,” DIE Research
Project Climate Change and Development, Deutsches Institut fur
Entwicklung spolitik dan German Development Institute, 2009, h. 10.
Laporan KIARA, 2011, dalam Saragih, M., “Perempuan Membaca Iklim”,
Jakarta: Majalah Perempuan Bergerak, Edisi II, April - Juni 2012, h. 5-6.
Lihat juga laporan Climate Justice, “Perempuan dan Jejak Perubahan
Iklim”, edisi Januari 2011. Jakarta: Forum Masyarakat Sipil untuk
Keadilan, h. 9. Lihat juga pengalaman di negara lain sebagaimana
ditunjukan oleh Kevon Kerr dalam Dunn, L., (ed), “Gender, Climate
Change and Disaster Risk Management,” Working Paper SeriesNumber
7, Institute of Gender and Development Studies Mona Unit, The
University of the West Indies dan Friedrich Ebert Stiftung Jamaica and
the Eastern Caribbean, 2013, h. 46.

Internet
Mongabay, ‘Presiden Himbau Masyarakat Makan Ikan di Tengah Pandemi
COVID-19’, https://www.mongabay.co.id/2020/04/22/presiden-himbau-
masyarakat-makan-ikan-di-tengah-pandemi-covid-19-apakah-tepat/
diakses pada 14 Juni 2021.
Lucentezza Napitupulu dan Smita Tanaya (WRI), ’3 Alasan Kenapa Perempuan
Nelayan Memainkan Peran Penting untuk Pemulihan Ekonomi yang
inklusif’, https://wri-indonesia.org/id/blog/3-alasan-kenapa-perempuan-
nelayan-memainkan-peran-penting-untuk-pemulihan-ekonomi-yang-
inklusif diakses pada 15 Juni 2021.
Jeannette Cwienk, ‘ Dampak Perubahan Iklim terhadap Perempuan;,
https://www.dw.com/id/dampak-perubahan-iklim-terhadap-perempuan/a-
52466076 diakses pada 15 Juni 2021.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan
Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

Anda mungkin juga menyukai