HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI.................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................................. 1
B. Tujuan............................................................................................................... 2
C. Ruang Lingkup................................................................................................. 3
D. Batasan Operasional......................................................................................... 3
E. Landasan Hukum.............................................................................................. 3
BAB II STANDAR KETENAGAAN
A. Kualifikasi sumber daya manusia..................................................................... 4
B. Pengaturan jaga................................................................................................. 6
C. Distribusi ketenagaan........................................................................................ 6
BAB III STANDAR FASILITAS
A. Denah ruang..................................................................................................... 7
B. Standar fasilitas................................................................................................. 7
BAB IV TATA LAKSANA PELAYANAN
A. Kriteria Masuk dan Keluar................... 12
B. Persiapan Penerimaan Pasien............... 13
C. Asuhan Pasien Koma............................ 17
D. Asuhan Pasien Dengan Ventilator........ 26
BAB V LOGISTIK
BAB VI KESELAMATAN PASIEN
A. Definisi.................................................................................................... 34
B. Tujuan..................................................................................................... 34
C. Standar Pasien Safety.............................................................................. 34
BAB VII KESELAMATAN KERJA
A. Pengertian......................................................................................................... 35
B. Tujuan............................................................................................................... 35
C. Tatalaksana Keselamatan Kerja........................................................................ 35
BAB VIII PENGENDALIAN MUTU
BAB IX PENUTUP
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Instalasi Ruang Rawat Intensif (IRRI) adalah suatu bagian dari rumah sakit
yang perlu dikembangkan (instalasi dibawah bagian pelayanan medis), dengan staf
yang khusus dan perlengkapan yang khusus yang ditujukan untuk observasi,
perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit, cidera atau penyulit-
penyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa dengan
prognosis dubia. IRRI menyediakan kemampuan dan sarana, prasarana serta
peralatan khusus untuk menunjang fungsi-fungsi vital dengan menggunakan
keterampilan staf medik, perawat dan staf lain yang berpengalaman dalam
pengelolaan keadaan-keaadaan tersebut.
1
Pada saat ini, IRRI modern tidak terbatas menangani pasien pasca bedah atau
ventilasi mekanis saja, namun telah menjadi cabang ilmu sendiri yaitu intensive
care medicine.
B. Tujuan Pedoman
a. Tujuan Umum
2
D. Batasan Operasional
E. Landasan Hukum
Dasar hukum yang digunakan dalam penyusunan pedoman ini adalah sebagai
berikut :
1. KMK No. 129//MENKES/SK/II/2008 Tentang Standar Pelayanan Minimal RS
2. PMK No. 1438/MENKES/PER/IX/2010 Tentang Standar Pelayanan Kedokteran
3. Kepmenkes RI No 004/Menkes/SK/I/2003 Tentang Kebijakan Dan Strategi
Desentralisasi Bidang Kesehatan.
4. Undang-Undang No.44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.
5. Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
3
BAB II
STANDAR KETENAGAAN
B. Tenaga Medis
Seorang dokter penanggung jawab IRRI adalah seorang dokter yang memenuhi
standar kompetensi berikut :
1. Terdidik dan bersertifikat sebagai seorang spesialis anastesiologi melalui
program pelatihan dan pendidikan yang diakui oleh perhimpunan profesi yang
terkait.
2. Menunjang kualitas pelayanan IRRI dan menggunakan sumber daya IRRI secara
efesien
3. Mendarmabaktikan lebih dari 50% waktu profesinya dalam pelayanan IRRI
4. Bersedia berpartisipasi dalam suatu unit yang memberikan pelayanan 24
jam/hari, 7 hari/minggu
5. Mampu melakukan prosedur critical care, antara lain :
4
6. Melaksanakan dua peran utama :
a. Pengelolaan pasien
b. Manajemen Unit.
Dokter dokter penanggung jawab IRRI berpartisipasi aktif dalam
aktivitas-aktivitas manajemen unit yang diperlukan untuk memberi
pelayanan-pelayanan IRRI yang efisien, tepat waktu dan konsisten. Aktivitas-
aktivitas tersebut meliputi antara lain :
1) Triage, alokasi tempat tidur dan rencana pengeluaran pasien
2) Supervisi terhadap pelaksanaan kebijakan-kebijakan unit
3) Partisipasi pada kegiatan-kegiatan perbaikan kualitas yang berkelanjutan
termasuk supervisi koleksi data.
4) Berinteraksi seperlunya dengan bagian-bagian lain untuk menjamin
kelancaran pelayanan di IRRI
5) Mempertahankan pendidikan berkelanjutan tentang critical care medicine :
7. Selalu mengikuti perkembangan mutakhir dengan membaca literature kedokteran
8. Berpartisipasi dalam program-program pendidikan dokter berkelanjutan
9. Menguasai standar-standar untuk unit critical care. Ada dan bersedia untuk
berpartisipasi pada perbaikan kualitas interdisipliner.
5
C. Tenaga Keperawatan
IRRI harus memiliki jumlah perawat yang cukup dan sebagaian besar terlatih.
(diganti) menjadi : jumlah perawat di IRRI ditentukan berdasarkan jumlah tempat
tidur dan ketersediaan ventilasi mekanik. Perbandingan perawat : pasien 1:1,
sedangkan perbandingan perawat : pasien yang tidak menggunakan ventilasi
mekanik adalah 1:2.
D. Distribusi Ketenagaan
KUALIFIKASI
NAMA JML
FORMAL & FUNGSI
JABATAN SDM
INFORMAL
Ka. Instalasi Spesialis Managerial 1
IRRI anastesiologi
Pelatihan ACLS
dan ATLS
Ka. Ruangan D3 keperawatan Managerial 1
IRRI Pelatihan ICU
dasar, Pelatihan
BTCLS dan
Pelatihan
manajemen
bangsal
Penanggung D3 keperawatan Melakukan Administrasi 4
jawab shift ( masa kerja 2 – 3 keperawatan & bertanggung
tahun ) jawab terhadap kelancaran
Pelatihan BTCLS tugas dalam shift
Perawat D3 keperawatan Melakukan tindakan-tindakan 4
Pelaksana keperawatan sesuai SPO
6
Jam dinas:
1. Dinas Pagi : 07.00-14.00
2. Dinas Siang : 14.00-21.00
3. Dinas Malam : 21.00-07.00
4. Dokter spesialis Anestesiologi siap 24 jam menangani kasus kegawatan IRRI
5. Dokter umum jaga siap 24 jam menangani kasus kegawatan IRRI
6. Tenaga perawat siap 24 jam melayani kasus IRRI (terjadwal)
7
BAB III
STANDAR FASILITAS
A. Denah Ruang
R. TRANSIT
BED
1
BED
2
NURSE
R. ISOLASI K. DOKTER
STATION
B. Standar Fasilitas
1. Standar Fasilitas Peralatan IRRI
Jumlah Yg
No Jenis Kelengkapan Standar IRI Primer
Dimiliki
1 Ventilasi mekanik Sederhana 1
2 Alat hisap Ada 2
Alat ventilasi manual dan
3 Ada 2
alat penunjang jalan napas
4 Peralatan monitor
Non invasive
1) Tekanan darah Ada 3
2) EKG dan Laju
Ada 1
Jantung
3) Saturasi oksigen Ada 1
5 Suhu/Termometer Ada 2
Defibrilator dan alat pacu
6 Ada 1
jantung
7 Peralatan drain thoraks Ada -
8
Pompa infus dan pompa
8 Ada 3/3
syringe
9 Tempat tidur khusus Ada 1
10 Oksigen sentral Ada 3
11 Emergency trolly Ada 1
(Airway, laringoscop, ambu
12 Ada 1
bag, O2, adrenalin, dll )
RATIO RSU
NO NAMA BARANG
PASIEN : ALAT PURI ASIH
1. Tensi meter 2 / ruangan 2
2. Stetoskop 2 / ruangan Lebih dari 2
3. Timbangan berat 1 / ruangan 1
badan/tinggi
4. Tabung oksigen + flowmeter 2 / ruangan 1
5. Suction 2 / ruangan 2
7. Gunting verband 2 / ruangan 1
8. Korentang dan tempat 2 / ruangan 1
9. Bak instrument besar 2 / ruangan Tidak ada
10. Bak instrument sedang 2 / ruangan Tidak ada
11. Bak instrument kecil 2 / ruangan 1
12. Bengkok 2 / ruangan Lebih dari 2
13. Pispot 1:½ 1/pasien
14. Urinal 1:½ 1/pasien
15 Set angkat jahitan 1:½ Tidak ada
16 Set debridement 5/Ruangan Tidak ada
17 Termometer digital 1/Ruangan 1
18 Standar infuse 1:1 1:1
19 Masker O2 2 / Ruangan 1/pasien
20 Nasal kateter 2 / Ruangan 1/pasien
21 Reflek hamer 1 / Ruangan 1
22 Ambubag 1 / Ruangan 2
10
BAB IV
Pada keadaan sarana dan prasarana IRRI yang terbatas pada suatu Rumah
Sakit, diperlukan mekanisme untuk membuat prioritas apabila kebutuhan atau
permintaan akan pelayanan IRRI lebih tinggi dari kemampuan pelayanan yang
dapat diberikan. Kepala IRRI bertanggung jawab atas kesesuaian indikasi
perawatan pasien di IRRI. Bila kebutuhan pasien masuk IRRI melebihi tempat tidur
yang tersedia, kepala IRRI menetukan kondisi berdasarkan prioritas kondisi medik,
pasien mana yang akan dirawat di IRRI.
1. Kriteria Masuk
PRIORITAS 1
Pasien sakit kritis, kondisi tidak stabil yang memerlukan terapi intensif dan
monitoring yang tidak bisa dilakukan di ruang rawat inap yang lain
Pasien yang memerlukan bantuan ventilator, obat vasoactive kontinue,
terapi tidak terbatas.
ARDS, Syok, hemodinamik tidak stabil
PRIORITAS 2
Pasien yang memerlukan monitoring ketat dan berpotensi memerlukan
Chronic comorbid disease eksaserbasi akut yang berat secara medis atau
bedah
11
PRIORITAS 3
PRIORITAS 4
1) Cardiac System
Syok kardiogenik
Aritmia kompleks
Hipertensi urgensi
Gagal jantung
12
2) Pulmonary System
Massive hemoptysis
Gangguan neurologi
Status epilepticus
Mati batang otak atau potensi terjadi mati batang otak yang akan
melakukan donasi organ
Vasospasm
Gangguan pencernaan
13
Fulminant hepatic failure
Pankreatitis akut
Perforasi eshopageal
4) Endocrine
Koma hiperosmolar
5) Surgical
Monitoring hemodinamik
14
3. Pasien terminal dengan permintaan keluarga.
4. Financial problem.
1. Monitoring Pasien
15
Pencatatan menggunakan status khusus IRRI yang meliputi pencatatan
lengkap terhadap diagnosis yang menyebabkan dirawat di IRRI, data tanda vital,
pemantauan fungsi organ khusus (jantung, paru, ginjal dan sebagainya) secara
berkala, jenis dan jumlah asupan nutrisi dan cairan, catatan pemberian obat serta
jumlah cairan tubuh yang keluar dari pasien.
Pelaporan pelayanan IRRI terdiri dari jenis indikasi pasien masuk serta
jumlahnya, system skor prognosis, penggunaan alat bantu (ventilasi
mekanis, hemodialisis, dan sebagainya), lama rawat dan keluaran (hidup atau
meninggal) dari IRRI.
16
Apakah ada riwayat trauma, pemakaian obat-obatan, atau terpapar oleh
toksin?
Lakukan deskripsi pasien dengan cepat mengenai riwayat penyakit sekarang
dan dahulu baik medis maupun neurologis.
Adakah orang yang dapat di tanyakan tentang keadaan pasien sebelumnya?
Kerabat, teman, personil ambulance, atau orang lain yang terakhir kali kontak
dan mengetahui keadaan pasien sebaiknya kita suruh tunggu untuk
menanyakan keadaan pasien sebelum kejadian.
Setelah keadaan umum pasien kita dapatkan langkah selanjutnya adalah
memberikan terapi emergensi dan melakukan pemeriksaan penunjang yang
diperlukan, antara lain :
1. Konsultasi ke anestesiologis bila diperlukan intubasi atau lakukan intubasi
bila telah mendapat pelatihan dari Advance Trauma Life Support (ATLS)
ataupun Advance Cardiac Life Support (ACLS).
2. Pasang jalur intrravena (iv line)
3. Lakukan pemeriksaan kadar gula sewaktu dengan glucose stick. Hal ini
harus dilakukan secepatnya, karena hipoglikemia merupakan kasus yang
dapat ditangani secara cepat sebagai penyebab stupor atau koma yang
dapat disertai keadaan lain seperti sepsis, henti jantung, atau trauma)
4. Lakukan pemeriksaan darah antara lain :
Kimia darah ( glukosa darah sewaktu, elektrolit, BUN/ureum, kreatinin)
Hitung darah lengkap
Analisa gas darah
Kalsium dan magnesium
Protrombin time (PT)/ partial thromboplastin time (PTT)
5. Bila etiologi dari koma tidak jelas lakukan pemeriksaan skrining
toksikologi, tes fungsi tiroid, fungsi hepar, kortisol serum, dan kadar
ammonia.
6. Lakukan pemasangan folley catheter
7. Lakukan pemeriksaan urinalisa, elektrokardiogram (EKG) dan rontgen
thoraks.
8. Berikan terapi emergensi. Hal ini dapat diberikan ’dilapangan’ atau bila
etiologi dari penyebab koma tidak jelas. Diantaranya :
17
Thiamin 100 mg iv ( dimana pemberian tiamin dapat mengembalikan
pasien dari koma yang disebakan karena defisiensi thiamin akut
(Wernicke ensefalopati). Harus diberikan sebelum pemberian dekstrose
karena hiperglikemi dapat menyebabkan konsumsi thiamin yang
berlebihan dan memperburuk keadaan pasien.
50 % dekstrose 50 ml (1 ampul) iv
Naloxone (Narcan) 0.4 – 0.8 mg iv, pada keadaan koma yang
disebabkan intoksikasi opiat. Dosis dapat diberikan sampai 10 mg.
Flumazenil (Romazicon) 0.2 – 1.0 mg iv, diberikan pada pasien yang
koma dicurigai karena intoksikasi benzodiazepin. Dosis dapat diberikan
hingga 3 mg dan jangan diberikan bila telah terjadi kejang pada pasien,
karena flumazenil ini dapat menimbulkan kejang.
2. Etiologi Koma
Secara umum stupor dan koma dapat disebabkan menjadi tiga kategori besar :
a) Kelainan struktur intrakranial (33 %)
Kebanyakan kasus ditegakkan melalui pemeriksaan imajing otak
(computed tomography [CT] or magnetic resonance imaging [MRI] atau
melalui lumbal punksi [LP].
b) Kelainan metabolik atau keracunan (66%)
Dikonfirmasi melalui pemeriksaan darah, tapi tidak selalu positif.
c) Kelainan psikiatris (1%)
Stupor atau koma disebabkan oleh penyakit mempengaruhi kedua hemisfer
otak atau batang otak. Lesi unilateral dari satu hemisfer tidak menyebabkan stupor
atau koma kecuali massa tersebut besar hingga menekan hemisfer kontralateral
atau batang otak. Koma yang disebabkan kelainan fokal di batang otak terjadi
karena terganggunya reticular activating system. Kelainan metabolik dapat
menyebabkan gangguan kesadaran karena efek yang luas terhadap formasio
retikularis dan korteks serebral.
Tiga penyebab koma yang dapat cepat menyebabkan kematian dan dapat
ditangani antara lain :
1. Herniasi dan penekanan batang otak : space ocupying lession yang
menyebabkan koma merupakan keadaan emergensi bedah saraf.
18
2. Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) : peningkatan TIK dapat
menyebabkan gangguan perfusi otak dan global hypoxic-ischemic injury.
3. Meningitis atau encephalitis : kematian akibat meningitis bakterialis atau
herpes encephalitis dapat dicegah dengan terapi secepatnya.
Penyebab koma seringkali dapat ditentukan melalui anamnesis perjalanan
penyakit melalui keluarga, teman, personel ambulan, atau orang lain yang terakhir
kontak dengan pasien dengan menanyakan :
1. Kejadian terakhir
2. Riwayat medis pasien
3. Riwayat psikiatrik
4. Obat-obatan
5. Penyalah gunaan obat-obatan atau alkohol
Dengan atau tanpa anamnesis, petunjuk penyebab koma dapat juga
ditegakkan melalui pemeriksaan fisik :
1. Tanda vital : hipertensi yang berat dapat disebabkan oleh lesi intrakranial
dengan peningkatan TIK atau ensefalopati karena hipertensi.
2. Kulit : tanda eksternal dari trauma, neddle track, rash, cherry redness
( keracunan CO), atau kuning
3. Nafas : alkohol, aseton, atau fetor hepaticus dapat menjadi petunjuk
4. Kepala : tanda fraktur, hematoma, dan laserasi
5. THT : otorea atau rhinorea CSF, hemotimpanum terjadi karena robeknya
duramater pada fraktur tengkorak, tanda gigitan pada lidah menandakan
serangan kejang.
6. Leher (jangan manipulasi bila ada kecurigaan fraktur dari cervival spine) :
kekakuan disebabkan oleh meningitis atau perdarahan subarakhnoid.
7. Pemeriksaan neurologis : untuk menentukan dalamnya koma dan lokalisasi
dari penyebab koma.
3. Pemeriksaan Neurologis
a) Status generalis : terbukannya kelopak mata dan rahang yang lemas
menandakan dalamya koma. Deviasi dari kepala dan gaze menandakan suatu
lesi hemisfer ipsilateral yang luas. Myoklonus ( menandakan suatu proses
metabolik), twitching otot yang ritmik (indikasi dari kejang), tetani.
19
b) Tingkat kesadaran : dapat ditentukan melalui skala koma Glasgow untuk
memudahkan kita untuk mencatat perkembangan pasien. Untuk lebih
mudahnya gangguan kesadaran pada pasien dapat dideskripsikan berdasarkan
letargi, stupor, dan koma.
c) Pernafasan : pola pernafasan yang abnormal dapat membantu kita menentukan
lokalisasi dari koma. Diantaranya :
Cheyne-Stokes : lesi bihemisfer atau ensefalopati merabolik
Central neurogenic hiperventilation : CNS limfoma atau kerusakan batang
otak karena herniasi tentorial
Apneustic breathing : kerusakan pons
Cluster breathing : kerusakan pons dan cerebelar
Ataxic breathing : kerusakan pusat pernafasarn medular (lesi di fosa
posterior)
d) Lapang pandang : dapat diperiksa dengan melakukan refleks ancam terhadap
mata sehingga berkedip. Kehilangan refleks ancam pada salah satu sisi mata
menandakan terjadinya suatu hemianopia.
e) Funduskopi : edema papil terjadi pada peningkatan TIK setelah lebih dari 12
jam dan jarang terjadi secara akut. Tidak adanya suatu edema papil
menyingkirkan adanya peningkatan TIK. Pulsasi spontan dari vena sulit
diidentifikasikan, tetapi bila kita temukan menandakan TIK yang normal.
Perdarahan subhialoid yang berbentuk seperti globul bercak darah pada
permukaan retina biasanya berhubungan dengan terjadinya suatu perdarahan
subarakhnoid.
f) Pupil : pastikan bentuk, ukuran, dan reaksi pupil terhadap rangsang cahaya.
Simetris dan reaktif terhadap rangsang cahaya menandakan midbrain
dalam keadaan intak. Pupil yang reaktif tanpa disertai respon dari kornea
dan okulosefalik menandakan suatu keadaan koma yang disebabkan
kelainan metabolik.
Midposition (2-5 mm) terfiksir atau pupil ireguler menandakan suatu lesi
fokal di midbrain.
Pupil pinpoint yang reaktif menandakan kerusakan pada tingkat pons.
Intoksikasi dari opiat dan kholinergik (pilokarpin) juga dapat menyebabkan
pupil seperti ini.
20
Pupil anisokor dan terfiksir terjadi pada kompresi terhadap CN III pada
herniasi unkus. Ptosis dan exodeviasi juga terlihat pada kejadian tersebut.
Pupil terfiksir dan dilatasi menandakan suatu herniasi sentral, iskemia
hipoksia global, keracunan barbiturat, scopolamine, atau gluthethimide.
g) Pergerakan bola mata (gaze):
Perhatikan posisi saat istirahat :
Deviasi gaze menjauhi sisi yang hemiparesis menandakan suatu lesi
hemisper kontralateral dari sisi yang hemiparesis
Deviasi gaze ke arah sisi yang hemiparesis menunjukkan:
1. lesi di pons kontralateral hemiparesis
2. lesi di thalamus kontralateral dari hemiparesis
3. aktivitas kejang pada hemisfer kontralateral dari hemiparesis
Deviasi mata kearah bawah menandakan suatu lesi di tectum dari midbrain,
disertai dengan gangguan reaktifitas pupil dan nistagmus refrakter dikenal
sebagai sindroma parinoud
h) Slow roving eye movement yang dapat konjugasi atau diskonjugae tidak
menunjukkan lokalisasi lesi yang berarti, berhubungan dengan disfungsi
hemisfer bilateral dan aktifnya refleks okulosefalik
i) Occular bobbing, yaitu terdapat reaksi cepat dari pergerakan bola mata ke arah
bawah yang kembali ke posisi semula dengan lambat menunjukkan kerusakan
bilateral dari pusat gaze horisontal pada pons.
j) Saccadic eye movement tidak terlihat pada pasien koma dan menunjukkan
suatu psikogenik unresponsive.
k) Fase tonik tanpa disertai respons fase cepat dari nistagmus menandakan koma
disebabkan disfungsi bihemisfer
l) Paresis konjugae dari gaze menandakan lesi unilateral hemisfer atau pons
m)Kelemahan mata asimetris menandakan lesi pada batang otak
n) Refleks okulovestibular negatif menandakan koma yang dalam yang
mendepresi fungsi batang otak.
o) Perintah verbal : normal
p) Rangsang nyeri : dengan menggosokkan kepalan tangan pemeriksa pada
sternum dan penekanan pada nailbed dengan menggunakan handel dari
hammer.
21
1. Refleks okulosefalik (doll’s eye), respons yang intak terjadi pergerakan
bola mata berlawanan dari arah pemutaran kepala. Bila tidak terjadi refleks
ini menunjukkan disfungsi dari bilateral hemisfer serebri dan gangguan
integritas dari struktur batang otak, yang sering terlihat pada koma
metabolik.
2. Refleks okulovestibular (kalori dingin), respons yang normal terdiri dari
deviasi tonik ke arah rangsangan air dingin yang dimasukkan ke lubang
telinga dan terjadi nistagmus cepat ke arah kontralateral.
a) Refleks kornea : menandakan intaknya batang otak setinggi CN
5( aferen) dan CN 7 (eferen)
b) Refleks muntah : dapat dilakukan dengan memanipulasi endotrakheal
tube.
c) Respons motorik :merupakan indikator terbaik dalam menentukan dalam
dan beratnya keadaan koma. Yang diperhatikan yaitu :
Pergerakan spontan : lihat adanya suatu asimetri
Tonus otot : peningkatan tonus otot bilateral pada ekstremitas bawah
merupakan tanda penting terjadinya suatu herniasi serebri.
Induksi pergerakan melalui :
1) Respon sensoris : respons asimetris dari stimulasi menandakan
suatu lateralisasi defisit sensoris.
2) Refleks :
b Refleks tendon dalam : bila asimetris menunjukkan lateralisasi
defisit motoris yang disebabkan lesi struktural
b Refleks plantar : respon bilateral Babinski’s menunjukkan coma
akibat struktural atau metabolik.
4. Pemeriksaan Penunjang
Karena pentingnya penentuan diagnosis yang cepat pada etiologi pasien
dengan koma karena dapat mengancam nyawa, maka pemeriksaan penunjang
harus segera dilakukan dalam membantu penegakkan diagnosis, yaitu antara lain :
a. CT atau MRI scan Kepala : pemberian kontras diberikan apabila kita
curigai terdapat tumor atau abses. Dan mintakan print out dari bone
window pada kejadian trauma kepala
22
b. Punksi Lumbal : dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
meningitis, encephalitis, atau perdarahan subarachnoid bila diagnosis
tidak dapat ditegakkan melalui CT atau MRI kepala.
c. EEG : bisa saja diperlukan pada kasus serangan epileptik tanpa status
kejang, keadaan post ictal, koma metabolik bila diagnosis tidak
ditegakkan melalui pemeriksaan CT dan LP.
Keadaa pseudokoma harus kita curigai bila semua pemeriksaan diagnostik
telah kita lakukan dan masih tidak dapat menegakkan diagnosis penyebab dari
koma tersebut. Diantaranya yaitu :
1. Koma psikogenik
2. Locked in syndrome : kerusakan pons bilateral
3. Mutism akinetik : kerusakan pada frontal dan thalamus
5. Manajemen Pasien dengan Koma
a. Penanganan emergensi dekompresi pada lesi desak ruang (space occupying
lesions / SOL ) dapat menyelamatkan nyawa pasien.
b. Bila terjadi suatu peningkatan TIK, berikut adalah penanganan pertamanya:
1) Elevasi kepala
2) Intubasi dan hiperventilasi
3) Sedasi jika terjadi agitasi yang berat ( midazolam 1 – 2 mg iv )
4) Diuresis osmotik dengan manitol 20% 1 g/kg BB iv
5) Dexametason 10 mg iv tiap 6 jam pada kasus edema serebri oleh tumor
atau abses setelah terapi ini monitor ICP harus dipasang.
c. Kasus encephalitis yang dicurigai oleh infeksi virus herpes dapat diberikan
acyclovir 10 mg/kg iv tiap 8 jam
d. Kasus meningitis lakukan terapi secara empiris. Lindungi pasien dengan
ceftriaxon 2×1 g iv dan ampicillin 4×1 g iv sambil menunggu hasil kultur
6. Terapi Umum
a. Proteksi jalan nafas : adekuat oksigenasi dan ventilasi
b. Hidrasi intravena : gunakan normal saline pada pasien dengan edema serebri
atau peningkatan TIK
c. Nutrisi : lakukan pemberian asupan nutrisi via enteral dengan nasoduodenal
tube, hindari penggunaan naso gastrik tube karena adanya ancaman aspirasi
dan refluks
23
d. Kulit : hindari dekubitus dengan miring kanan dan kiri tiap 1 hingga 2 jam, dan
gunakan matras yang dapat dikembangkan dengan angin dan pelindung tumit
e. Mata : hindari abrasi kornea dengan penggunaan lubrikan atau tutup mata
dengan plester
f. Perawatan bowel : hindari konstipasi dengan pelunak feses (docusate sodium
100 mg 3×1 ) dan pemberian ranitidin 50 mg iv tiap 8 jam untuk menghindari
stress ulcer akibat pemberian steroid dan intubasi
g. Perawatan bladder : indwelling cateter urin dan intermiten kateter tiap 6 jam
h. Mobilitas joint : latihan pasif ROM untuk menghindari kontraktur
i. Profilaksis deep vein trombosis (DVT) : pemberian 5000 iu sc tiap 12 jam,
penggunaan stoking kompresi pneumatik, atau kedua-duanya
7. Prognosis
Prognosis pasien tergantung dari penyebab utama penyakit dibanding dari
dalamnya suatu koma. Koma yang disebabkan karena metabolik dan intoksikasi
obat lebih baik prognosisnya dibanding koma yang disebabkan oleh kelainan
struktur intrakranial.
24
ventilasi, dua kategori umum adalah ventilator tekanan negatif dan tekanan
positif.
a. Ventilator Tekanan Negatif
Ventilator tekanan negatif mengeluarkan tekanan negatif pada dada
eksternal. Dengan mengurangi tekanan intratoraks selama inspirasi
memungkinkan udara mengalir ke dalam paru-paru sehingga memenuhi
volumenya. Ventilator jenis ini digunakan terutama pada gagal nafas
kronik yang berhubungn dengan kondisi neurovaskular seperti
poliomyelitis, distrofi muscular, sklerosisi lateral amiotrifik dan miastenia
gravis. Penggunaan tidak sesuai untuk pasien yang tidak stabil atau pasien
yang kondisinya membutuhkan perubahan ventilasi sering.
b. Ventilator Tekanan Positif
Ventilator tekanan positif menggembungkan paru-paru dengan
mengeluarkan tekanan positif pada jalan nafas dengan demikian mendorong
alveoli untuk mengembang selama inspirasi. Pada ventilator jenis ini
diperlukan intubasi endotrakeal atau trakeostomi. Ventilator ini secara luas
digunakan pada klien dengan penyakit paru primer. Terdapat tiga jenis
ventilator tekanan positif yaitu tekanan bersiklus, waktu bersiklus dan volume
bersiklus. Ventilator tekanan bersiklus adalah ventilator tekanan positif yang
mengakhiri inspirasi ketika tekanan preset telah tercapai. Dengan kata lain
siklus ventilator hidup mengantarkan aliran udara sampai tekanan tertentu
yang telah ditetapkan seluruhnya tercapai, dan kemudian siklus mati.
Ventilator tekanan bersiklus dimaksudkan hanya untuk jangka waktu pendek
di ruang pemulihan. Ventilator waktu bersiklus adalah ventilator mengakhiri
atau mengendalikan inspirasi setelah waktu ditentukan. Volume udara yang
diterima klien diatur oleh kepanjangan inspirasi dan frekuensi aliran udara
Ventilator ini digunakan pada neonates dan bayi. Ventilator volume bersiklus
yaitu ventilator yang mengalirkan volume udara pada setiap inspirasi yang
telah ditentukan. Jika volume preset telah dikirimkan pada klien , siklus
ventilator mati dan ekshalasi terjadi secara pasif. Ventilator volume bersiklus
sejauh ini adalah ventilator tekanan positif yang paling banyak digunakan.
Gambaran ventilasi mekanik yang ideal adalah :
25
1) Sederhana, mudah dan murah
2) Dapat memberikan volume tidak kurang 1500cc dengan frekuensi
nafas hingga 60X/menit dan dapat diatur ratio I/E.
3) Dapat digunakan dan cocok digunakan dengan berbagai alat
penunjang pernafasan yang lain.
4) Dapat dirangkai dengan PEEP.
5) Dapat memonitor tekanan, volume inhalasi, volume ekshalasi, volume
tidal, frekuensi nafas, dan konsentrasi oksigen inhalasi
6) Mempunyai fasilitas untuk humidifikasi serta penambahan obat
didalamnya.
7) Mempunyai fasilitas untuk SIMV, CPAP, Pressure Support
8) Mudah membersihkan dan mensterilkannya.
3. Asuhan Keperawatan
Pada pasien dengan ventilasi mekanik membutuhkan teknik dan keterampilan
interpersonal yang unik, antara lain :
a. Meningkatkan pertukaran gas
Tujuan menyeluruh ventilasi mekanik adalah untuk mengoptimalkan
pertukaran gas dengan mempertahankan ventilasi alveolar dan pengiriman
oksigen. Perubahan dalam pertukaran gas dapat dikarenakan penyakit yang
mendasari atau factor mekanis yang berhubungan dengan penyesuaian dari
mesin dengan pasien. Tim perawatan kesehatan, termasuk perawat , dokter,
dan ahli terapi pernafasan , secara kontinu mengkaji pasien terhadap
pertukaran gas yang adekuat , tanda dan gejala hipoksia, dan respon terhadap
tindakan . Pertukaran gas yang tidak adekuat dapat berhubungan dengan
faktor-faktor yang sangat beragam; tingkat kesadaran, atelektasis, kelebihan
cairan, nyeri insisi, atau penyakit primer seperti pneumonia. Pengisapan jalan
nafas bawah disertai fisioterapi dada ( perkusi,fibrasi ) adalah strategi lain
untuk membersihkan jalan nafas dari kelebihan sekresi karena cukup bukti
tentang kerusakan intima pohon Trakeobronkial. Intervensi keperawatan yang
penting pada klien yang mendapat ventilasi mekanik yaitu auskultasi paru dan
interpretasi gas darah arteri. Perawat sering menjadi orang pertama yang
mengetahui perubahan dalam temuan pengkajian fisik atau kecenderungan
26
signifikan dalam gas darah yang menandakan terjadinya masalah
( pneumotoraks, perubahan letak selang, emboli pulmonal ).
b. Penatalaksanaan jalan nafas
Ventilasi tekanan positif kontinu meningkatkan pembentukan sekresi
apapun kondisi pasien yang mendasari. Perawat harus mengidentifikasi
adanya sekresi dengan auskultasi paru sedikitnya 2-4 jam. Tindakan
membersihakan jalan nafas termasuk pengisapan, fisioterapi dada, perubahan
posisi yang sering, dan peningkatan mobilitas secepat mungkin. Humidifikasi
dengan cara ventilator dipertahankan untuk membantu pengenceran sekresi
sehingga sekresi lebih mudah dikeluarkan. Bronkodilator baik intravena
maupun inhalasi, diberikan sesuai dengan resep untuk mendilatasi bronkiolus.
c. Mencegah trauma dan infeksi
Penatalaksanaan jalan nafas harus mencakup pemeliharaan selang
endotrakea atau trakeostomi. Selang ventilator diposisikan sedemikian rupa
sehingga hanya sedikit kemungkinan tertarik atau penyimpangan selang
dalam trakea. Perawatan trakeostomi dilakukan sedikitnya setiap 8 jam jika
diindikasikan karena peningkatan resiko infeksi. Higiene oral sering
dilakukan karena rongga oral merupakan sumber utama kontaminasi paru-
paru pada pasien yang diintubasi pada pasien lemah. Adanya selang
nasogastrik dan penggunaan antasida pada pasien dengan ventilasi mekanik
juga telah mempredisposisikan pasien pada pneumonia nosokomial akibat
aspirasi. Pasien juga diposisikan dengan kepala dinaikkan lebih tinggi dari
perut sedapat mungkin untuk mengurangi potensial aspirasi isi lambung.
d. Peningkatan mobilitas optimal
Mobilitas pasien terbatas karena dihubungkan dengan ventilator.
Mobilitas dan aktivitas otot sangat bermanfaat karena menstimuli pernafasan
dan memperbaiki mental. Latihan rentang gerak pasif/aktif dilakukan tiap 8
jam untuk mencegah atrofi otot, kontraktur dan statis vena.
e. Meningkatkan komunikasi optimal
Metode komunikasi alternatif harus dikembangkan untuk pasien dengan
ventilasi mekanik. Bila keterbatasan pasien diketahui, perawat menggunakan
pendekatan komunikasi; membaca gerak bibir, menggunakan kertas dan
pensil,bahasa gerak tubuh, papan komunikasi, papan pengumuman. Ahli
27
terapi bahasa dapat membantu dalam menentuka metode yang paling sesuai
untuk pasien.
f. Meningkatkan kemampuan koping.
Dengan memberikan dorongan pada klien untuk mengungkapkan
perasaan mengenai ventilator, kondisi pasien dan lingkungan secara umum
sangat bermanfaat. Memberikan penjelasan prosedur setiap kali dilakukan
untuk mengurangi ansietas dan membiasakan klien dengan rutinitas rumah
sakit. Klien mungkin menjadi menarik diri atau depresi selama ventilasi
mekanik terutama jika berkepanjangan akibatnya perawat harus
menginformasikan tentang kemajuannya pada klien, bila memungkinkan
pengalihan perhatian seperti menonton TV, bermain musik atau berjalan-jalan
jika sesuai dan memungkinkan dilakukan. Teknik penurunan stress (pijatan
punggung, tindakan relaksasi) membantu melepaskan ketegangan dan
memampukan klien untuk menghadapi ansietas dan ketakutan akan kondisi
dan ketergantungan pada ventilator
4. Evaluasi
Hasil yang diharapkan dari asuhan keperawatan yang diberikan antara lain :
a. Menunjukkan pertukaran gas, kadar gas darah arteri, tekanan arteri
pulmonal dan tanda-tanda vital yang adekuat.
b. Menunjukkan ventilasi yang adekuat dengan akumulasi lendir yang
minimal.
c. Bebas dari cedera atau infeksi yang dibuktikan dengan suhu tubuh dan
jumlah sel darah putih.
d. Dapat aktif dalam keterbatasan kemampuan.
e. Berkomunikasi secara efektif melalui pesan tertulis, gerak tubuh atau alat
komunikasi lainnya.
f. Dapat mengatasi masalah secara efektif.
5. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Diagnostik yang perlu dilakukan pada klien dengan ventilasi
mekanik yaitu :
a. Pemeriksaan fungsi paru
b. Analisa gas darah arteri
c. Kapasitas vital paru
28
d. Kapasitas vital kuat
e. Volume tidal
f. Ventilasi semenit
g. Tekanan inspirasi
h. Volume ekspirasi kuat
i. Aliran-volume
j. X ray dada
k. Status nutrisi / elektrolit.
6. Penyapihan dari ventilasi mekanik
Kriteria dari penyapihan ventilasi mekanik :
a. Tes penyapihan
1) Kapasitas vital 10-15 cc / kg
2) Volume tidal 4-5 cc / kg
3) Ventilasi menit 6-10 l
4) Frekuensi permenit < 20 permenit
b. Pengaturan ventilator
1) FiO2 < 50%
2) Tekanan ekspirasi akhir positif (PEEP) : 0
c. Gas darah arteri
1) PaCO2 normal
2) PaO2 60-70 mmHg
3) PH normal dengan semua keseimbangan elektrolit diperbaiki
d. Selang Endotrakeal
1) Posisi diatas karina pada foto Rontgen
2) Ukuran : diameter 8.5 mm
e. Nutrisi
1) Kalori perhari 2000-2500 kalori
2) Waktu : 1 jam sebelum makan
f. Jalan nafas
1) Sekresi: antibiotik bila terjadi perubahan warna, penghisapan (suctioning)
2) Bronkospasme : kontrol dengan Beta Adrenergik, Tiofilin atau Steroid
3) Posisi : duduk, semi fowler
g. Obat-obatan
29
1) Agen sedative : dihentikan lebih dari 24 jam
2) Agen paralise : dihentikan lebih dari 24 jam
h. Emosi
Persiapan psikologis terhadap penyapihan
i. Fisik
Stabil, istirahat terpenuhi
30
BAB V
LOGISTIK
31
BAB VI
KESELAMATAN PASIEN
A. Definisi
Keselamatan pasien (patient safety) rumah sakit adalah suatu system dimana
rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman.
B. Tujuan
1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit.
2. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat.
3. Menurunnya kejadian tidak diharapakan (KTD) di RS.
4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan
kejadian tidak diharapkan.
C. Standar Patient Safety
Standar keselamatan pasien (patient safety) untuk pelayanan IRRI adalah :
1. Ketepatan identitas.
a. Target 100%. Label identitas tidak tepat apabila : Tidak terpasang, salah
pasang, salah penulisan nama, salah penulisan gelar (Tn/Ny/An), salah jenis
kelamin, salah alamat.
b. Target 100%. Terpasang gelang identitas pasien rawat inap: Pasien yang
masuk ke rawat inap terpasang gelang identitas pasien.
2. Komunikasi SBAR.
a. Target 100%. Konsul ke dokter via telpon menggunakan metode SBAR
3. Medikasi.
a. Ketepatan pemberian obat.
Target 100%. Yang dimaksud tidak tepat apabila : salah obat, salah dosis, salah
jenis, salah rute pemberian, salah identitas pada etiket, salah pasien.
b. Ketepatan Transfusi.
Target 100%. Yang dimaksud tidak tepat apabila : salah identitas pada
permintaan, salah tulis jenis produk darah, salah pasien
4. Pasien jatuh :
Target 100%.Tidak ada kejadian pasien jatuh di IRRI.
5. Resiko Infeksi
Target 100%.Tidak ada kejadian resiko infeksi di IRRI.
32
BAB VII
KESELAMATAN KERJA
A. Pengertian.
B. Tujuan.
1. Terciptanya budaya keselamatan kerja di RS.
2. Mencegah dan mengurangi kecelakaan.
3. Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan
proses kerjanya.
4. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahaya
kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.
Setiap petugas medis maupun non medis menjalankan prinsip pencegahan infeksi,
yaitu :
1. Menganggap bahwa pasien maupun dirinya sendiri dapat menularkan infeksi.
2. Menggunakan alat pelindung (sarung tangan, kacamata, sepatu boot/alas kaki
tertutup, celemek, masker dll) terutama bila terdapat kontak dengan spesimen
pasien yaitu: urin, darah, muntah, sekret, dll.
3. Melakukan perasat yang aman bagi petugas maupun pasien, sesuai prosedur yang
ada, misal: memasang kateter, menyuntik, menjahit luka, memasang infus, dll .
4. Mencuci tangan dengan sabun antiseptik sebelum dan sesudah menangani pasien.
5. Terdapat tempat sampah infeksius dan non infeksius.
6. Mengelola alat dengan mengindahkan prinsip sterilitas yaitu :
a. Dekontaminasi dengan larutan klorin
b. Pencucian dengan sabun
c. Pengeringan
33
7. Menggunakan baju kerja yang bersih.
34
BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU
36
Penanggung jawab
Kepala IRRI
pengumpul data
Definisi Infeksi nosokomial adalah infeksi yang dialami oleh pasien yang
Operasional diperoleh selama dirawat di rumahsakit yang meliputi dekubitus,
phlebitis, sepsis, dan infeksi luka operasi
Frekuensi Tiap bulan
Pengumpulan Data
Periode Analisa Tiap tiga bulan
Numerator Jumlah pasien rawat inap yang terkena infeksi nosokomial dalam
satu bulan
Denominator Jumlah pasien rawat inap dalam satu bulan
Sumber data Survei, laporan infeksi nosokomial
Standar ≤9%
Penanggung jawab Kepala IRRI
pengumpul data
37
Numerator Jumlah pasien yang kembali ke perawatan intensif dengan kasus
yang sama < 72 jam dalam 1 bulan
Denominator Jumlah seluruh pasien yang dirawat di ruang intensif dalam 1 bulan
Sumber data Rekam medis
Standar ≤3 %
Penanggung 1. Komite Medis
jawab 2. Komite Mutu dan KPRS
38
BAB IX
PENUTUP
Pedoman pelayanan IRRI di RSU Puri Asih ini diharapkan dapat menjadi
panduan bagi seluruh petugas pemberi layanan yang menyelenggarakan pelayanan pada
pasien IRRI. Berdasarkan klasifikasi sumber daya,sarana, prasarana dan peralatan
pelayanan IRRI di RSU Puri Asih dapat dikategorikan sebagai IRRI primer.
Oleh karena itu, rumah sakit diharapkan akan terus mengembangkan pelayanan
sesuai dengan ketentuan pedoman standar IRRI sesuai dengan situasi dan kondisi yang
kondusif bagi setiap program pengembangan layanan IRRI di RSU Puri Asih.
Sedangkan untuk kelancaran setiap pelaksanaan pelayanan di IRRI perlu adanya
penjabaran dari pedoman pelayanan dengan penyusunan prosedur tetap di unit layanan
IRRI sehingga hambatan dalam menjalankan pelaksanaan pelayanan bisa diminimalis
39
40