Anda di halaman 1dari 26

ASUHAN KEPERAWATAN AGREGAT GANGGUAN MENTAL DAN TERLANTAR

KEPERAWATAN KOMUNITAS II
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Komunitas II

Disusun Oleh :
1. A. Radhi Trio Anggoro (18.1408.S)
2. Ahmad Khodi Mayliyan (18.1412.S)
3. Ainur Rizqi (18.1414.S)
4. Ayu Sekartika (18.1425.S)
5. Eka Putri Nurazizah (18.1435.S)
6. Friskyla Dytha (18.1444.S)
7. Ika Ayu Lestari (18.1451.S)
8. Laelatul Afifah (18.1466.S)
9. Riski Amalia (18.1496.S)
10. Tisan Ilham Pribadi (18.1506.S)

PROGAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PEKAJANGAN PEKALONGAN
TAHUN AKADEMIK 2020 / 2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah memberikan
karunianya sehingga makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Agregat Gangguan
Mental Dan Terlantar” ini dapat diselesaikan.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan
Komunitas pada khususnya, dan untuk memberikan pengetahuan tentang Asuhan
Keperawatan Agregat Gangguan Mental Dan Terlantar.
Kami memohon maaf yang apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, karena
kesempurnaan itu hanyalah milik-Nya semata. Kami harap para permbaca berkenan kiranya
menyampaikan kritik, usul, dan saran kepada saya sehingga karya tulis yang sederhana ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca kelak.
Daftar Isi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang mempengaruhi kondisi
seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat (Kaakinen, Hanson, Birenbaum
dalam Stanhope & Lancaster, 2004). Pandera mengkategorikan faktor resiko kesehatan
antara lain genetik, usia, karakteristik biologi, kesehatan individu, gaya hidup dan
lingkungan. Jika seseorang dikatakan rawan apabila mereka berhadapan dengan
penyakit, bahaya, atau outcome negatif. Faktor pencetusnya berupa genetik, biologi atau
psikososial. Populasi rawan atau rentan merupakan kelompok-kelompok sosial yang
memiliki peningkatan risiko yang relatif atau rawan untuk menerima pelayanan
kesehatan. Kenyataan menunjukan bahwa Indonesia memiliki banyak peraturan
perundangundangan yang mengatur tentang Kelompok Rentan, tetapi tingkat
implementasinya sangat beragam. Sebagian undang-undang sangat lemah
pelaksanaannya, sehingga keberadaannya tidak memberi manfaat bagi masyarakat.
Disamping itu, terdapat peraturan perundang-undangan yang belum sepenuhnya
mengakomodasi berbagai hal yang berhubungan dengan kebutuhan bagi perlindungan
kelompok rentan. Keberadaan masyarakat kelompok rentan yang merupakan mayoritas
di negeri ini memerlukan tindakan aktif untuk melindungi hak-hak dan kepentingan-
kepentingan mereka melalui penegakan hukum dan tindakan legislasi lainnya. Hak asasi
orang-orang yang diposisikan sebagai masyarakat kelompok rentan belum terpenuhi
secara maksimal, sehingga membawa konsekuensi bagi kehidupan diri dan keluarganya,
serta secara tidak langsung juga mempunyai dampak bagi masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan diatas, maka rumusan masalah
nya sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan agregat gangguan mental ?
2. Apa yang dimaksud agregat terlantar ?
3. Bagaimana Asuhan keperawatan untuk agregat dalam komunitas populasi gangguan
mental dan terlantar?
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan agregat gangguan mental.
2. Mengetahui apa yang dimaksud dengan agregat terlantar.
3. Mengetahui asuhan keperawatan untuk agregat dalam komunitas populasi gangguan
mental dan terlantar.
BAB II
KONSEP TEORI

A. Agregat Gangguan Mental


a. Definisi Gangguan Mental
Istilah gangguan mental (mental disorder) atau gangguan jiwa merupakan istilah
resmi yang digunakan dalam PPDGJ (Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan
Jiwa). Definisi gangguan mental (mental disorder) dalam PPDGJ II yang merujuk
pada DSM-III adalah : “Gangguan mental (mental disorder) atau gangguan jiwa
adalah sindrom atau pola perilaku, atau psikologik seseorang, yang secara klinik
cukup bermakna, dan secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress)
atau hendaya (impairment/disability) di adalm satu atau lebih fungsi yang penting dari
manusia. Sebagai tambahan, disimpulkan bahwa disfungsi itu adalah disfungsi dalam
segi perilaku, psikologik, atau biologik, dan gangguan itu tidak semata-mata terletak
di dalam hubungan orang dengan masyarakat”. (Maslim, tth:7). Dari penjelasan di
atas, kemudian dirumuskan bahwa di dalam konsep gangguan mental (mental
disorder) terdapat butir-butir sebagai berikut :
1) Adanya gejala klinis yang bermakna berupa: Sindrom atau pola perilaku, Sindrom
atau pola psikologik
2) Gejala klinis tersebut menimbulkan “penderitaan” (distress), antara lain berupa:
rasa nyeri, tidak nyaman, tidak tentram, terganggu, disfungsi organ tubuh, dll.
3) Gejala klinis tersebut menimbulkan “disabilitas” (disability) dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan
kelangsungan hidup (mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, dll). (Maslim,
tth:7).
Secara lebih luas gangguan mental (mental disorder) juga dapat didefinisikan
sebagai bentuk penyakit, gangguan, dan kekacauan fungsi mental atau kesehatan
mental, disebabkan oleh kegagalan mekanisme adaptasi dari fungsi- fungsi
kejiwaan/mental terhadap stimuli ekstern dan ketegangan-ketegangan; sehingga
muncul gangguan fungsional atau struktural dari satu bagian, satu orang, atau sistem
kejiwaan/mental (Kartono, 2000:80). Pendapat yang sejalan juga dikemukakan
Chaplin (1981) (dalam Kartono, 2000:80), yaitu:
“Gangguan mental (mental disorder) ialah sebarang bentuk ketidakmampuan
menyesuaikan diri yang serius sifatnya terhadap tuntutan dan kondisi lingkungan yang
mengakibatkan ketidakmampuan tertentu. Sumber gangguan/kekacauannya bisa
bersifat psikogenis atau organis, mencakup kasus- kasus reaksi psikopatis dan reaksi-
reaksi neurotis yang gawat”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gangguan mental (mental disorder)
adalah ketidakmampuan seseorang atau tidak berfungsinya segala potensi baik secara
fisik maupun phsikis yang menyebabkan terjadinya gangguan dalam jiwanya.
b. Macam – Macam Gangguan Mental
Dalam menjelaskan macam-macam gangguan mental (mental disorder), penulis
merujuk pada PPDGJ III (dalam Rusdi Maslim, tth:10), yang digolongkan sebagai
berikut :
1) Gangguan mental organik dan simtomatik
Gangguan mental organik adalah gangguan mental yang berkaitan dengan penyakit
atau gangguan sistematik atau otak yang dapat di diagnosis secara tersendiri.
Sedangkan gangguan simtomatik adalah gangguan yang diakibatkan oleh pengaruh
otak akibat sekunder dari penyakit atau gangguan sistematik diluar otak
(extracerebral).
2) Gangguan mental dan perilaku akibat zat psikoaktif.
Gangguan yang disebabkan karena penggunaan satu atau lebih zat psikoaktif
(dengan atau tidak menggunakan resep dokter).
3) Gangguan skizofrenia dan gangguan waham.
Gangguan skizofrenia adalah gangguan yang pada umumnya ditandai oleh
penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta
oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted).” Sedangkan
gangguan waham adalah gejala ganguan jiwa di mana jalan pikirannya tidak benar
dan penderita itu tidak mau di koreksi bahwa hal itu tidak betul; suatu jalan pikiran
yang tidak beralasan. (Sudarsono, 1993:272).
4) Gangguan suasana perasaan (mood/afektif).
Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) adalah perubahan suasana perasaan
(mood) atau afek, biasanya kearah depresi (dengan atau tanpa anxietas yang
menyertainya), atau kearah elasi (suasana perasaan yang meningkat).
5) Gangguan neurotik, somatoform dan gangguan stres.
Gangguan neurotik, somatoform dan gangguan stes merupakan satu kesatuan dari
gangguan jiwa yang disebabkan oleh faktor psikologis.
6) Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik.
Gangguan mental yang biasanya ditandai dengan mengurangi berat badan dengan
segaja, dipacu dan atau dipertahankan oleh penderita
7) Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa
Suatu kondisi klinis yang bermakna dan pola perilaku yang cenderung menetap,
dan merupakan ekspresi dari pola hidup yang khas dari seseorang dan cara-cara
berhubungan dengan diri-sendiri maupun orang.
8) Retardasi mental
Retardasi mental adalah keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak
lengkap, terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa
perkembangan sehingga berpengaruh pada tingkat keceradsan secara menyeluruh
9) Gangguan perkembangan psikologis.
Gangguan yang disebabkan kelambatan perkembangan fungsifungsi yang
berhubungan erat dengan kematangan biologis dari susunan saraf pusat, dan
berlangsung secara terus menerus tanpa adanya remisi dan kekambuhan yang khas.
Yang dimaksud “yang khas” ialah hendayanya berkurang secara progresif dengan
bertambahnya usia anak (walaupun defisit yang lebih ringan sering menetap
sampai masa dewasa)
10) Gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanak - kanak.
Gangguan yang dicirikan dengan berkurangnya perhatian dan aktivitas berlebihan.
Berkurangnya perhatian ialah dihentikannya terlalu dini tugas atau suatu kegiatan
sebelum tuntas/selesai. Aktivitas berlebihan (hiperaktifitas) ialah bentuk
kegelisahan yang berlebihan, khususnya dalam situasi yang menuntut keadaan
yang relatif tenang.
Berkaitan dengan pemaparan di atas, Sutardjo A. Wiramihardja (2004:15-16),
mengungkapkan bahwa gangguan mental (mental disorder) memiliki rentang yang
lebar, dari yang ringan sampai yang berat. Secara ringkas dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
1) Gangguan emosional (emotional distubance) merupakan integrasi kepribadian yang
tidak adekuat (memenuhi syarat) dan distress personal. Istilah ini lebih sering
digunakan untuk perilaku maladaptif pada anak-anak.
2) Psikopatologi (psychopathology), diartikan sama atau sebagai kata lain dari
perilaku abnormal, psikologi abnormal atau gangguan mental.
3) Sakit mental (mental illenes), digunakan sebagai kata lain dari gangguan mental,
namun penggunaannya saat ini terbatas pada gangguan yang berhubungan dengan
patologi otak atau disorganisasi kepribadian yang berat.
4) Gangguan mental (mental disorder) semula digunakan untuk nama gangguan-
gangguan yang berhubungan dengan patologi otak, tetapi saat ini jarang digunakan.
Nama inipun sering digunakan sebagai istilah yng umum untuk setiap gangguan
dan kelainan.
5) Ganguan prilaku (behavior disorder), digunakan secara khusus untuk gangguan
yang berasal dari kegagalan belajar, baik gagal mempelajari kompetensi yang
dibutuhkan ataupun gagal dalam mempelajari pola penanggulangan masalah yang
maladaptif.
6) Gila (insanity), merupakan istilah hukum yang mengidentifikasikan bahwa
individu secara mental tidak mampu untuk mengelolah masalah- masalahnya atau
melihat konsekuensikonsekuensi dari tindakannya. Istilah ini menunjuk pada
gangguan mental yang serius terutama penggunaan istilah yang bersangkutan
dengan pantas tidaknya seseorang yang melakukan tindak pidana di hukum atau
tidak.
c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya Gangguan Mental
Untuk mendapatkan jawaban mengenai faktor faktor-faktor yang mempengaruhi
timbulnya gangguan mental (mental disorder), maka yang perlu ditelusuri pertama
kali adalah faktor dominan yang dapat mempengaruhi kepribadian seseorang. Dalam
hal ini, penulis merujuk pada pendapat Kartini Kartono (1982:81), yang membagi
faktor dominan yang mempengaruhi timbulnya gangguan mental (mental disorder) ke
dalam dua faktor, yaitu :
1) Faktor Organis (somatic), misalnya terdapat kerusakan pada otak dan proses
dementia.
2) Faktor-faktor psikis dan struktur kepribadiannya, reaksi neuritis dan reaksi psikotis
pribadi yang terbelah, pribadi psikopatis, dan lain-lain. Kecemasan, kesedihan,
kesakitan hati, depresi, dan rendah diri bisa menyebabkan orang sakit secara psikis,
yaitu yang mengakibatkan ketidakseimbangan mental dan desintegrasi
kepribadiannya. Maka sruktur kepribadian dan pemasakan dari pengalaman-
pengalaman dengan cara yang keliru bisa membuat orang terganggu psikisnya.
Terutama sekali apabila beban psikis ternyata jauh lebih berat dan melampaui
kesanggupan memikul beban tersebut.
3) Faktor-faktor lingkungan (milieu) atau faktor-faktor sosial. Usaha pembangunan
dan modernisasi, arus urbanisasi dan industialisasi menyebabkan problem yang
dihadapi masyarakat modern menjadi sangat kompleks. Sehingga usaha
penyesuaian diri terhadap perubahan-perubahan sosial dan arus moderenisasi
menjadi sangat sulit. Banyak orang mengalami frustasi, konflik bathin dan konflik
terbuka dengan orang lain, serta menderita macam-macam gangguan psikis
d. Pencegahan Gangguan Mental
Tujuan utama pencegahan gangguan mental adalah membimbing mental yang sakit
agar menjadi sehat mental danmenjaga mental yang sehat agar tetap sehat. Namun
sebelumnya akan penulis paparkan terlebih dahulu tentang pengertian pencegahan
gangguan mental. Banyak para ahli yang memberikan metode upaya pencegahan
mulai dari faktor yang mempengaruhi sampai akibat yang ditimbulkan. Pada dasarnya
upaya pencegahan ialah didasarkan pada prinsip-prinsip kesehatan mental. Prinsip-
prinsip yang dimaksud adalah :
a) Gambaran dan sikap baik terhadap diri-sendiri
Orang yang memiliki kemampuan mnyesuaikan diri, baik dengan diri sendiri
maupun hubungan dengan orang lain, hubungan dengan alam lingkungan, serta
hubungan dengan Tuhan. Hal ini dapat diperoleh dengan cara penerimaan diri,
keyakinan diri dan kepercayaan kepada diri-sendiri
b) Keterpaduan atau integrasi diri
Berarti adanya keseimbangan antara kekuatan-kekuatan jiwa dalam diri, kesatuan
pandangan (falsafah dalam hidup) dan kesanggupan mengatasi ketegangan emosi
(stres)
c) Pewujudan diri (aktualisasi diri)
d) Merupakan sebuah proses pematangan diri dapat berarti sebagai kemampuan
mempengaruhi potensi jiwa dan memiliki gambaran dan sikap yang baik terhadap
diri-sendiri serta meningkatkan motivasi dan semangat hidup. Oleh karena itu, agar
terhindar dari gangguan mental, maka sedapat mungkin mengaktualisasikan diri
dan memenuhi kebutuhan dengan baik dan memuaskan (Kartono, 1986:231).
Dengan demikian upaya pencegahan dapat berhasil apabila manusia dapat
berpotensi untuk menjadikan dirinya sebagai yang terbaik dan tidak hanya pasrah
pada kemampuan dasar manusia seperti menggembangkan bakat dan sebagainya.
e) Kemampuan menerima orang lain
f) Melakukan aktivitas sosial dan menyesuaikan diri dengan lingkunagn tempat
tinggal. Lingkungan di samping sebagai faktor penyebab timbulnya gangguan
mental, juga memiliki peran penting dalam usaha mencegah timbulnya gangguan
mental. Sebab bagi individu yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, dapat menyebabkan timbulnya kecemasan dan kesulitan dalam
mengahadapi tuntutan dan persoalan yang dapat terjadi setiap hari. (Syukur,
2000:13). Dalam ungkapan kata lain disebtkan bahwa mereka yang tidak
mempunyai ikatan status di masyarakat dan mereka yang tidak mempunyai fungsi
atau peran dalam masyarakat lebih mudah mengalami gangguan kejiwaan.
(Hawari, 1999:11). Sebagai upaya pencegahannya manusia sedapat mungkin
menghindarinya, yaitu dengan melakukan aktivitas sosial dalam masyarakat, dan
lain sebagainya.
g) Agama dan falsafah hidup.
h) Dalam hal ini agama berfungsi sebagai therapy bagi jiwa yang gelisah dan
terganggu. Selain itu agama juga berperan sebagai alat pencegah (preventif)
terhadap kemungkinan gangguan mental dan merupakan faktor pembinaan
(konstruktif) bagi kesehatan mental. (Daradjat, 1975:80). Dengan keyakinan
beragama, berarti seseorang telah hidup dekat dengan Tuhan serta tekun
menjalankan agama. Pada akhirnya akan terwujud kesehatan mental secara utuh.
Sedangkan falsafah hidup merupakan wujud dari kumpulan prinsip atau nilai-nilai.
Sehingga setiap orang berusaha sesuai dengan ketentuannya. Dengan demikian
apabila seseorang memiliki falsafah hidup, maka akan dapat menghadapi
tantangannya dengan mudah.
i) Pengawasan diri
Agar dapat terhindar dari gangguan mental, maka sedapat mukin melindungi diri
dari dorongan dan keinginan atau berbuat maksiat dengan mengawasi diri kita.
Secara umum orang yang wajar adalah orang yang mampu mengendalikan
keinginannya dan mampu menunda sebagian dari pemenuhan kebutuhannya, serta
bersedia meninggalkan kelezatankelezatan dengan segera, demi untuk mencapai
keuntungan (pahala) yang lebih lama sifatnya serta lebih kekal. Manfaat lain dari
pengawasan diri adalah menghindarkan seseorang dari perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan norma dan adat yang berlaku. Berdasarkan pada eksplorasi di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa pencegahan gangguan mental dimaksudkan
untuk mewujudkan kesehatan mental didasarkan pada kemauan dan kemampuan
setiap pribadi untuk merubah dari masalah yang buruk agar menjadi baik.
B. Agregat Terlantar ( Tunawisma / Gelandangan )
a. Definisi
Homeless atau tunawisma menggambarkan seseorang yang tidak memiliki
tempat tinggal secara tetap maupun yang hanya sengaja dibuat untuk tidur.
Tunawisma biasanya di golongkan ke dalam golongan masyarakat rendah dan tidak
memiliki keluarga.
Masyarakat yang menjadi tunawisma bisa dari semua lapisan masyarakat seperti
orang miskin, anak-anak, masyarakat yang tidak memiliki keterampilan, petani, ibu
rumah tangga, pekerja sosial, tenaga kesehatan profesional serta ilmuwan. Beberapa
dari mereka menjadi tunawisma karena kemiskinan atau kegagalan sistem pendukung
keluarga mereka. Selain itu alasan lain menjadi tunawisma adalah kehilangan
pekerjaan, ditinggal oleh keluarga, kekerasan dalam rumah tangga, pecandu alkohol,
atau cacat. Walaupun begitu apapun penyebabnya, tunawisma lebih rentan terhadap
masalah kesehatan dan akses ke pelayanan perawatan kesehatan berkurang.
b. Faktor Penyebab Munculnya Tunawisma / Gelandangan
1. Kemiskinan
Kemiskinan merupakan faktor dominan yang menyebabkan banyaknya
gelandangan, pengemis dan anak jalanan. Kemiskinan dapat memaksa seseorang
menjadi gelandangan karena tidak memiliki tempat tinggal yang layak, serta
menjadikan mengemis sebagai pekerjaan. Ketidakmampuan seseorang untuk
mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarga membuatnya dalam garis
kemiskinan. Penghasilan yang tidak menentu berbanding terbalik dengan
pengeluaran membuat seseorang rela menjadi tunawisma untuk tetap bertahan
hidup.Selain itu anak dari keluarga miskin menghadapi risiko yang lebih besar
untuk menjadi anak jalanan karena kondisi kemiskinan yang menyebabkan
mereka kerap kali kurang terlindung.
2. Rendah Tingginya Pendidikan
Rendahnya pendidikan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan seseorang.
Pendidikan sangat berpengaruh terhadap persaingan didunia kerja. Seseorang
dengan pendidikan rendah akan sangat sulit mendapatkan sebuah pekerjaan yang
layak. Sedangkan mereka juga memerlukan biaya untuk mencukupi semua
kebutuhan hidupnya. Pada umumnya tingkat pendidikan gelandangan dan
pengemis relatif rendah sehingga menjadi kendala bagi mereka untuk
memperoleh pekerjaan yang layak.
3. Keluarga
Keluarga adalah tempat seseorang mendapatkan kasih sayang dan perlindungan
yang lebih daripada lingkungan lain. Namun, hubungan keluarga yang tidak
harmonis atau anak dengan keluarga broken home membuat mereka merasa
kurang perhatian,kemyamanan dan ketenangan sehingga mereka cenderung
mencari kebebasan, belas kasih dan ketenangan dari orang lain.
4. Umur
Umur yang semakin rentan serta kemampuan fisik yang menurun, membuat
seseorang lebih sulit mendapatkan pekerjaan. Hal ini menyebabkan mereka sulit
untuk memenuhi kebutuhannya. Menjadi tunawisma merupakan alternatif
terakhir mereka untuk bertahan hidup.
5. Cacat Fisik
Kondisi fisik yang tidak sempurna membuat seseorang sulit mendapatkan
pekerjaan. Kebanyakan seserang yang memiliki cacat fisik memilih menjadi
tunawisma untuk dapat bertahan hidup. Menurut Kolle (Riskawati dan Syani
( 2012 )) kondisi kesejahteraan seseorang dapat diukur melalui kondisi fisiknya
seperti kesehatan.
6. Rendah nya Keterampilan
Ketrampilan sangatlah penting dalam kehidupan,dengan ketrampilan seseorang
dapat memiliki asset produksi. Namun, ketrampilan perlu digali salah satunya
melalui pendidikan serta membutuhkan modal pendukung untuk dikembangkan.
Hal inilah yang menjadi penghambat seseorang dalam mengembangkan
ketrampilan yang dimilki. Ketidakberdayaan inilah yang membuat seseorang
memilih menjadi tunawisma untuk bertahan hidup. Pada umumnya gelandangan
dan pengemis tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan tuntutan pasar
kerja.
7. Masalah Sosial Budaya
Ada beberapa faktor sosial budaya yang menagkibatkan seseorang menjadi
gelandangan dan pengemis. Antara lain :
a. Rendahnya harga diri.
Rendahnya harga diri kepada sekelompok orang, mengakibatkan mereka tidak
memiliki rasa malu untk meminta-minta. Dalam hal ini, harga diri bukanlah
sesuatu yang berharga bagi mereka. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya
tunawisma yang berusia produktif.
b. Sikap pasrah pada nasib.
Mereka manggap bahwa kemiskinan adalah kondisi mereka sebagai
gelandangan dan pengemis adalah nasib, sehingga tidak ada kemauan untuk
melakuan perubahan.
c. Kebebasan dan kesenangan hidup mengelandang.
8. Faktor Lingkungan
Menjadi gelandangan dan pengemis dapat disebabkan oleh faktor lingkungan
yang mendukungnya. Contohnya saja jika bulan ramadhan banyak sekali ibu-ibu
rumah tangga yang bekerja sebagai pengemis. Momen ini digunakan mereka
mencari uang untuk membantu suaminya mencari nafkah. Tentu hal ini akan
mempengaruhinya untuk melakukan pekerjaan yang sama, terlebih lagi melihat
penghasilan yang didapatkan lumayan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
9. Letak Geografis
Kondisi wilayah yang tidak dapat diharapkan potensi alamnya membuat
masyarakat yang tinggal di daerah tersebut mengalami kemiskinan dan membuat
masyarakat harus meninggalkan tempat tersebut untuk mencari peruntungan lain.
Akan tetapi, keputusannya untuk pindah ke kota lebih memperburuk keadaan.
Tidak adanya potensi yang alam sedia untuk diolah membuat masyarakat tersebut
semakin masuk dalam garis kemiskinan, dan membuatnya menjadi gelandangan.
Oleh karena itu ia lebih memilih menjadi pengemis sehingga kebutuhan hidupnya
sedikit terpeuhi dengan uang hasil meminta-minta.
10. Lemahnya Penanganan Masalah Orang Terlantar (Gelandangan / Pengemis)
Penanganan masalah gelandangan dan pengemis yang dilakukan oleh pemerintah
hanya setengah hati. Selama ini penanganan yang telah nyata dilakukan adalah
razia, rehabilitasi dalam panti sosial, kemudian setelah itu dipulangkan ketempat
asalnya. Pada kenyataannnnya, penanganan ini tidak menimbulkan efek jera bagi
mereka sehingga suatu saat mereka akan kembali lagi menjadi gelandangan dan
pengemis. pada proses penanganan hal yang dilakukan adalah setelah dirazia
mereka dibawa kepanti sosial untuk mendapat binaan, bagi yang sakit dan yang
berusia renta akan tetap tinggal di panti sosial sedangkan yang lainnya akan
dipulangkan. Proses ini dirasakan terlalu mudah dan enak bagi gelandangan dan
pengemis sehingga ia tidak perlu takut apabila terjaring razia lagi. hal inilah yang
membuat mereka terus mengulang kegiatan yang sama yakni menjadi
gelandangan dan pengemis.
c. Faktor Perilaku Dan Psikososial Yang Menyebabkan Masalah Kesehatan Pada
Tunawisma / Gelandangan
1. Kemiskinan, antara lain mengakibatkan:
a) Makanan yang tidak cukup atau makanan yang kurang gizi
b) Persediaan air yang kurang, sanitasi yang jelek dan perumahan yang tidak
layak.
c) Tidak mendapatkan pelayanan yang baik.
2. Gender
Adalah peran masing-masing pria dan wanita berdasarkan jenis kelamin menurut
budaya yang berbeda-beda. Gender sebagai suatu kontruksi sosial mempengaruhi
tingkat kesehatan, dan karena peran jender berbeda dalam konteks cross cultural
berarti tingkat kesehatan wanita juga berbeda-beda.
3. Pendidikan yang rendah
Kemiskinan mempengaruhi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan.
Kesempatan untuk sekolah tidak sama untuk semua tetapi tergantung dari
kemampuan membiayai. Dalam situasi kesulitan biaya biasanya anak laki-laki
lebih diutamakan karena laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama dalam
keluarga. Dalam hal ini bukan indikator kemiskinan saja yang berpengaruh tetapi
juga jender berpengaruh pula terhadap pendidikan. Tingkat pendidikan ini
mempengaruhi tingkat kesehatan. Orang yang berpendidikan biasanya mempunyai
pengertian yang lebih besar terhadap masalah-masalah kesehatan dan
pencegahannya. Minimal dengan mempunyai pendidikan yang memadai seseorang
dapat mencari liang, merawat diri sendiri, dan ikut serta dalam mengambil
keputusan dalam keluarga dan masyarakat.
4. Kawin muda
Di negara berkembang termasuk Indonesia kawin muda pada wanita masih banyak
terjadi (biasanya di bawah usia 18 tahun). Hal ini banyak kebudayaan yang
menganggap kalau belum menikah di usia tertentu dianggap tidak laku. Ada juga
karena faktor kemiskinan, orang tua cepat-cepat mengawinkan anaknya agar lepas
tanggung jawabnya dan diserahkan anak wanita tersebut kepada suaminya. Ini
berarti wanita muda hamil mempunyai resiko tinggi pada saat persalinan. Di
samping itu resiko tingkat kematian dua kali lebih besar dari wanita yang menikah
di usia 20 tahunan. Dampak lain, mereka putus sekolah, pada akhirnya akan
bergantung kepada suami baik dalam ekonomi dan pengambilan keputusan.
5. Seks bebas
Dari perilaku seksual usia dini Anak jalanan perempuan, yang mulai seks bebas
yaitu anak-anak jalanan dengan usia dibawah 14 tahun dan ada yang melakukan
dengan saudaranya sendiri. Hal ini menyebabkan anak jalanan rentan terhadap
penyakit kelamin misalnya HIV atau AIDS.
6. Penggunaan Drugs
Anak jalanan perempuan rela melakukan hal apapun ( merampas, mencuri,
membeli, hubungan seks) yang penting bisa mendapatkan uang untuk membeli
minuman keras, pil dan zat aditif lainnya. Mereka menggunakan itu karena ingin
menumbuhkan keberanian saat melakukan kegiatan di jalanan. (P. Agus. A., 2015)
7. Eksploitasi Seksual Keberadaan anak jalanan perempuan yang tinggal dijalanan
sangat rentan terhadap eksploitasi khususnya eksploitasi seksual seperti pelecehan,
penganiyaan secara seksual, pemerkosaan, penjerumusan anak dalam prostitusi dan
adanya indikasi perdagangan anak keluar daerah khususnya Riau dan Batam.
d. Masalah Kesehatan Tunawisma / Gelandangan
1. Gangguan Fisik
Pada umumnya tunawisma akan mengalami gangguan fisik seperti :

No Gangguan fisik akut Gangguan fisik kronik


1. ISPA (infeks sistem pernfasan Kecanduan alkohol dan zat lain
atas)
2. Trauma-cedera ringan hingga Hipertensi
berat
3. Penyakit kulit Gangguan pencernaan
4. TBC Gangguan sistem saraf tepi
5. Terserng kutu dan tungau Masalah gigi
6. Gizi buruk/ kekurangan gizi Diabetes melitus
7. - HIV/AIDS

2. Masalah Kesehatan pada Tunawisma Anak – Anak


Selain masalah kesehatan fisik, masalah lain juga banyak timbul seperti :
1) Kegelisahan
2) Tidak mendapatkan/tidak lengkap untuk imunisasi
3) Masalah bahasa dan berbicara
4) Penyakit pernafasan atas dan asma
5) Infeksi telinga
6) Gangguan pencernaan/mata
7) Trauma
8) Terserang kutu rambut
3. Masalah Kesehatan yang Berhubungan dengan Kehamilan
1) Perawatan pre-natal yang kurang baik
2) Kurang nutrisi
3) Komplikasi kehamilan
4. Masalah Kesehatan Mental
1) Skizofrenia
2) Gangguan bipolar
3) Depresi
4) Gangguan kecemasan dan kepribadian antisosial
5) Kepribadian yang kacau
e. Peran Perawat di Area Homeless
1) Perawat sebagai pemberi perawatan
Para tunawisma biasanya banyak mengalami kurang perhatian dari orang tua dan
lingkungan. Alhasil banyak masalah yang terjadi pada tunawisma baik dari segi
kesehatan fisik, psikologis dan sosial. Peran perawat disini adalah memberikan
asuhan keperawatan kepada mereka yang mengalami masalah kesehatan secara
holistik atau menyeluruh.
2) Perawat sebagai pendidik
Salah satu faktor penyebab dari tunawisma adalah rendahnya pendidikan mereka
yang membuat mereka menjadi miskin. Oleh karena itu, perawat menjelaskan
kepada mereka informasi seputar kesehatan dan menanamkan gaya hidup sehat.
Diharapkan para tunawisma tersebut dapat merubah perilaku mereka untuk
mencapai tingkat kesehatan yang maksimal.
3) Perawat sebagai pengamat kesehatan (monitoring)
Perawat memonitoring perubahan-perubahan yang terjadi pada tunawisma.
Bentuk monitoring dapat berupa observasi, kunjungan rumah, pertemuan atau
pengumpulan data.
4) Perawat sebagai panutan (role model)
Perawat dapat memberikan contoh yang baik dalam bidang kesehatan kepada
masyarakat tunawisma tatacara hidup sehat yang dapat ditiru dan dicontoh oleh
mereka.
5) Perawat sebagai komunikator
Peran sebagai komunikator merupakan pusat dari seluruh peran perawat yang
lain. Perawat memberikan perawatan yang efektif, memberikan pembuatan
keputusan antara individu dan keluarga, memberikan perlindungan bagi para
tunawisma dari ancaman terhadap kesehatan dan kehidupannya. Semua itu
dilakukan dengan komunikasi yang jelas agar kualitas kehidupan mereka
terpenuhi.
6) Perawat sebagai rehabilitator
Rehabilitasi merupakan proses dimana individu kembali ke tingkat fungsi
maksimal setelah sakit, kecelakaan atau kejadian yang menimbulkan
ketidakberdayaan lainnya. Seringkali tunawisma mengalami gangguan fisik dan
emosi yang mengubah kehidupan mereka dan perawat membantu mereka untuk
beradaptasi semaksimal mungkin dengan keadaan tersebut.
f. Level Pencegahan Homeless
1) Pencegahan Primer
Tujuan dalam pencegahan primer adalah menjaga tunawisma agar tetap berada di
rumah. Langkah untuk pencegahan primer yaitu:
a) Bantuan finansial
Memberikan pelayanan publik untuk mencegah terjadinya bantuan publik,
mengetahui tersedianya dana, dan mengajukan permohonan untuk
mendapatkan bantuan bagi tunawisma yang membutuhkan.
b) Bantuan hukum
Membantu tunawisma untuk berkonsultasi secara hukum agar tidak
terjadinya pengusiran.
c) Saran finansial
Menyediakan program konseling keuangan secara gratis
kepada tunawisma.
d) Program relokasi
Memberikan dana yang dibutuhkan bagi tunawisma untuk membayar rumah
dan kebutuhan dasar.
2) Pencegahan Sekunder
Memfokuskan pada populasi tunawisma dengan mendaftar segala kebutuhan serta
pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, para tunawisma sulit mengakses khususnya
system pelayanan kesehatan karena mereka tidak memiliki tempat atau alamat
yang tetap, sehingga dengan tujuan mengeluarkan populasi tersebut dari kondisi
tersebut dan mengatasi dampak yang timbul akibat menjadi tunawisma. Langkah
untuk pencegahan sekunder ialah :
a) Membutuhkan rumah tradisional tanpa dipungut biaya yang rendah dan
menimbulkan persoalan umum bagi populasi tunawisma adalah mereka
menjalani medikasi dan regimen terapi.
b) Obat – obatan yang dapat disimpan dengan mudah
c) Mengikuti dan mempelajari makanan yang disediakan
ditempat penampungan agar tunawisma tetap mendapatkan asupan makanan
sesuai yang ada di tempat penampungan tersebut.
d) Memberikan vitamin kepada tunawisma untuk mengompensasi defisit nutrisi
e) Memahami dan memfasilitasi bahwa para tunawisma selalu melakukan
usaha terbaik untuk mengikuti program terapi
f) Mengidentifikasi faktor – faktor yang menghambat para tunawisma agar tetap
mendapatkan pelayanan kesehatan
3) Pencegahan Tersier (Rehabilitasi)
Pencegahan tersier adalah pencegahan untuk mengurangi ketidakmampuan dan
mengadakan rehabilitasi (Budiarto,2003). Langkah pencegahan tersier pada
tunawisma antara lain:
a) Bimbingan mental
Bimbingan mental ini dilakukan secara intensif oleh pihak dinas sosial kepada
para PMKS. Bagian ini merupakan bagian yang sangat penting guna
menumbuhkan rasa percaya diri serta spiritualitas para gelandangan dan
pengemis. Karena pada dasarnya mereka memiliki semangat dan rasa percaya
diri yang selama ini tersimpan jauh di dalam dirinya. Selain itu mereka juga
mempunyai potensi yang cukup besar, hanya saja belum memiliki penyaluran
atau sarana penghantar dalam memanfaatkan potensi-potensi tersebut. Pada
saat pertama kali para gelandangan dan pengemis (gepeng) yang tercakup
dalam razia, keadaan mereka sangat memprihatinkan, ada yang memasang
muka memelas ada juga yang dengan santainya mengikuti semua proses dalam
therapy ini, dalam therapy individu dilakukan pengecekan terhadap semua
gelandangan dan pengemis (gepeng) satu persatu secara psikis.
b) Bimbingan kesehatan
Sebelum pihak dinas kesehatan melakukan bimbingan kesehatan, terlebih
dahulu para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) diberikan
fasilitas penanganan kesehatan yaitu pemeriksaan kesehatan bagi mereka yang
sedang sakit. Kemudian kegiatan bimbingan kesehatan dimulai dengan
penyadaran tentang pentingnya kesehatan badan atau jasmani. Mulai dari hal
kecil seperti pentingnya mandi, gosok gigi dan memakai pakaian bersih.
Melihat selama ini kehidupan di jalanan yang sangat keras dan serba tidak
sehat, para gelandangan dan pengemis (gepeng) tentu masih merasa kesulitan
untuk menerapkan gaya hidup sehat sehingga apa yang diperoleh dalam
bimbingan kesehatan tidak diterapkan sepenuhnya dalam kehidupan mereka.
c) Bimbingan ketertiban
Bimbingan ketertiban ini diisi oleh Satpol PP yang dilakukan 1 bulan sekali,
dengan tujuan memberikan pengarahan tentang tata tertib lalu lintas, serta
peraturan di jalan raya, sehingga para gelandangan dan pengemis tidak lagi
berkeliaran dijalan raya, karena keberadaan mereka di jalanan sangat
mengganggu keamanan serta ketertiban lalu lintas. Dalam proses bimbingan
ketertiban ini biasanya pihak dinas sosial mendatangkan narasumber dari
Satpol PP atau pihak kepolisian setempat. Menurut pengamatan peneliti pada
saat pertama mengikuti wejangan dari pak polisi para gelandangan dan
pengemis (gepeng) terlihat sangat antusias. Mungkin mereka takut berhadapan
dengan polisi, karena pada dasarnya para gelandangan dan pengemis (gepeng)
dijalanan sangat berhati-hati terhadap polisi, takut ditangkap dan kemudian
dipenjarakan.
d) Bimbingan keagamaan
Bimbingan keagamaan dilakukan secara intensif oleh pihak dinas sosial, guna
untuk menguatkan kembali spiritualitas para gelandangan dan pengemis.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
a. Pengkajian Inti
Identifikasi terkait lamanya kelompok rentan ( gangguan mental dan terlantar ) mulai
ada, sejarah berdiriya komunitas tersebut (jika komunitas berdiri secara formal),
tujuan dan misi yang ingin dicapai. Komunitas gangguan mental : populasi gangguan
mental di RSJ ; Komunitas kelompok terlantar : populasi di dinas sosial.
a. Demografi
Identifikasi terkait jumlah laki – laki dan perempuan, usia, termasuk populasi yang
homogen atau heterogen
b. Etnic
Indikator peredaan kelompok etnic, perbedaan budaya atau kebiasaan, ide maupun
gagasan.
c. Nilai dan Kepercayaan
Identifikasi adanya tempat – tempat ibadah, keyakinan populasi renta terhadap
adanya Tuhan dan Kepercayaan kepada agama tentang kondisi yang menimpa
dirinya.
b. Pengkajian Sub System
a. Lingkungan Fisik
Bagaimana kualitas udara, flora fauna, perumahan, batas wilayah, ruang terbuka,
area hijau, keindahan alam, air dan iklimnya. Kemudian bisa dilanjutkan dengan
identifikasi pemetaan daerah, apakah termasuk wilayah luas atau sempit.
b. Pelayanan Kesehatan dan Sosial
Dengan mengamati keberadaan klinik, rumah sakit, kantor – kantor praktisi
kesehata, puskesmas, IGD, rumah perawatan, fasilitas pelayanan sosial, pelayanan
kesehatan mental, apakah terdapat sumber daya di luar komunitas tetapi digunakan
oleh masyarakat. Fakta – fakta kondisi akut atau kronis di komunitas, tempat –
tempat perlindungan, adanya pengobatan tradisional atau herbal.
c. Ekonomi
Dengan mengamati adanya pabrik industri, toko, tempat – tempat bekerja, dimana
biasa nya orag berbelanjang, apakah ada makanan khusus yang dikonsumsi, atau
apakah rata – rata mayoritas dalam populasitersebut tidak bekerja / tidak
beraktivitas.
d. Transportasi dan Keamanan
Mengidentifikasi bagaimana anggota populasi biasa berkeliling wilayah, apa tipe
transportasi umum yang biasa digunakan, apakah ada trotoar atau area sepeda,
apakah ada daerah khusus untuk distabilitas, apakah masyarakat merasa aman,
layanan keamanan apa yang tersedia, apakah ada pemadam kebakaran, kepolisian
atau sanitasi lingkungan dalam komunitas kelompok rentan (gangguan mental dan
populasi terlantar).
e. Politik dan Pemerintahan
Dengan mengamati apakah ada aktivitas politik seperti poster atau pertemuan
tertentu, mengamati apakah ada keterlibatan masyarakat dalam membuat
keputusan, mengamati jenis wilayah komunitas, apakah termasuk kota,
kabupatenm kecamatan, atau lainnya. Apakah kebijakan – kebijakan yang diambil
pemerintah menguntngkan untuk populasi rentang (gangguan mental dan terlantar).
f. Komunikasi
Mengamati adanya area yang biasanya digunakan masyarakat untuk berkumpul,
jenis koran yang digunakan oleh komunitas, apakah masyarakat punya televisi atau
radio, apa yang biasa mereka lihat melalui TV atau yang mereka dengar dari radio,
apakah ada komunikasi formal atau informal di masyarakat.
g. Edukasi
Dengan mengamati keberadaan sekolah didaerah tersebut, bagaimana keadaan
sekolah (dapat diakses oleh kelompok cacat mental atau populasi terlantar)
bagaimana reputasinya, apakah ada papan pengumuman, apakah papan tersebut
difungsikan, apakah ada kegiatan ekstrakulikuler, apakah ada layanan kesehatan
sekolah, apakah ada perawat sekolah.
h. Rekreasi
Mengamati dimana anak – anak biasa bermain, apakah ada tempat – tempat
rekreasi di wilayah tersebut dan siapa yang biasanya datang ke tempat tersebut,
fasilitas apa saja yang tampak di tempat rekreasi itu. Adanya tempat rekreasi
khusus untuk penyandang dissabilitas.
c. Persepsi Dalam Komunitas
a. Persepsi Penduduk
Mendengarkan bagaimana perasaan anggota komunitas tentang komunitas nya, apa
yang mereka identifikasi dari komunitasnya, apa kekuatan dan apa masalah yang
ada (pada kelompok populasi rentan).
Pada populasi gangguan mental identifikasi perasaan care giver dalam merawat
individu atau kelompok gangguan mental.
b. Persepsi Perawat
Dengan menuliskan pernyataan umum tentang kesehatan di komunitas, apa
kekuatan nya dan apa masalah yang ditemukan.
B. Analisa Data

C. Penentuan Prioritas Masalah


Langkah awal dalam melakukan perencanaan adalah memprioritas kan diagnosa
keperawatan. Menggunakan urutan dari semua diagnosis keperawatan yang telah
ditemukan. Tujua priorotas masalah untuk mengetahui diagnosis keperawatan komunitas
yang mana akan diselesaikan terlebih dahulu dengan masyarakat.

D. Perencanaan
a. Perlu adanya keterlibatan masyarakat dalam merumuskan perencanaan.
b. Perencanaan disususn menyesuaikan dengan sumber daya yang terkait.
c. Perencanaan disusun bersama dengan masyarakat.
d. Penanggung jawab progam adalah dari perawat komunitas dan masyarakat.
e. Perencanaan dimaksudkan untuk memberdayakan masyarakat.

E. Implementasi
Implementasi pada keperawatan komunitas berfokus pada upaya promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif.

F. Evaluasi
a. Evaluasi struktr difokuskan pada kelengkapan tata dara atau keadaan sekeliling tempat
pelayanan keperawatan diberikan.
b. Evaluasi proses berfokus pada penampilan kerja perawat dan apakah perawat dalam
memberikan pelayanan keperawatan merasa cocok tanda tekanan dan sesuai
wewenang.
c. Evaluasi hasil berfokus pada respons dan fungsi klien.
BAB IV
PENUTUP
Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai