KELOMPOK IV
Dosen Pengampu:
Ns. Dendy Kharisna, M.Kep.
Disusun:
Fadlun Apsari Putri (20301082)
Nadia Okviani (20301092)
Puji dan syukur kehadirat Allah Swt, karena berkat rahmat-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang ‘‘Tuberkulosis Paru’’ yang referensinya berasal dari buku.
Tujuannya adalah guna mengetahui penjelasan tentang penyakit Tuberkulosis Paru dalam
dunia keperawatan. Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung
dalam pembuatan makalah ini, namun tentu saja makalah ini masih kurang sempurna. Untuk
itu kami sangat mengharapkan saran-saran positif supaya makalah ini menjadi lebih baik lagi.
Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca dan penulis khususnya.
Sekian dan terima kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
1. Tujuan .....................................................................................................
1. Definisi ....................................................................................................
2.5 Komplikasi...................................................................................................
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberculosis paru (TB paru) merupakan salah satu penyakit infeksi yang
prevalensinya paling tinggi di dunia. Berdasarkan laporan World Health Organitation
(WHO, 2012) sepertiga populasi dunia yaitu sekitar dua milyar penduduk terinfeksi
Mycobacterium Tuberculosis. Lebih dari 8 juta populasi terkena TB aktif setiap tahunnya
dan sekitar 2 juta meninggal. Lebih dari 90% kasus TB dan kematian berasal dari negara
berkembang salah satunya Indonesia (Depkes RI, 2012)
Menurut World Health Organization sejak tahun 2010 hingga Maret 2011, di
Indonesia tercatat 430.000 penderita TB paru dengan korban meninggal sejumlah 61.000.
Jumlah ini lebih kecil dibandingkan kejadian tahun 2009 yang mencapai 528.063
penderita TB paru dengan 91.369 orang meninggal (WHO Tuberculosis Profile, 2012).
Di Indonesia, tuberculosis merupakan masalah utama kesehatan masyarakat dengan
jumlah menempati urutan ke-3 terbanyak di dunia setelah Cina dan India, dengan jumlah
sekitar 10% dari total jumlah pasien tuberculosis di dunia. Diperkirakan terdapat 539.000
kasus baru dan kematian 101.000 orang setiap tahunnya. Jumlah kejadian TB paru di
Indonesia yang ditandai dengan adanya Basil Tahan Asam (BTA) positif pada pasien
adalah 110 per 100.000 2 penduduk (Riskesdas, 2013). Di Jawa Tengah angka penemuan
penderita TB paru dengan BTA positif tahun 2005 sebanyak 14.227 penderita, dengan
rata-rata kasus atau case detection rate (CDR) sebesar 40,09% meningkat menjadi 17.318
penderita dengan CDR 49,82% tahun 2006. Berdasarkan data terbaru di provinsi Jawa
Tengah sebesar 107/100.000 penduduk yang terdeteksi atau case detection rate (CDR) per
kabupaten capainnya dibawah rata-rata sebanyak 18 Kabupaten dengan angka terendah
berada di Kabupaten Boyolali (Riskesdas, 2013).
Pengobatan TB paru dapat dilaksanakan secara tuntas dengan kerjasama yang baik
antara penderita TB Paru 3 dan tenaga kesehatan atau lembaga kesehatan, sehingga
penyembuhan pasien dapat dilakukan secara maksimal (Aditama, 2006) Penanganan TB
paru oleh tenaga dan lembaga kesehatan dilakukan menggunakan metode Direct Observe
Treatment Shortcourse (DOTS) atau observasi langsung untuk penanganan jangka
pendek. DOTS terdiri dari lima hal, yaitu komitmen politik, pemeriksaan dahak di
laboratorium, pengobatan berkesinambungan yang harus disediakan oleh negara,
pengawasan minum obat dan pencatatan laporan (Resmiyati, 2011).
Dari survei dengan cara observasi dan wawancara dengan lima orang penderita TB
paru yang gagal di wilayah kerja Puskesmas Jekulo, empat dari lima orang penderita
mengatakan bahwa mereka tidak tahu tentang penyakit TB paru yang dideritanya,
penderita hanya mengatakan bahwa penyakitnya hanya batuk biasa dan biasanya langsung
sembuh sendiri. Selain itu penderita juga mengatakan tidak mengetahui tentang apa itu
TB paru, apa gejalanya, bagaimana penularanya dan bagaimana cara pengobatannya.
Penderita TB paru mengatakan tidak tahu upaya apa yang harus dilakukan untuk
menyembuhkan penyakitnya. Mereka juga tidak tahu jangka waktu pengobatanya oleh
karena itu mereka tidak disiplin dalam minum obat. Hal ini menunjukkan bahwa
pengetahuan tentang kepatuhan pengobatan penyakit TB paru masih sangat kurang. Hasil
observasi menunjukan bahwa masalah utama para penderita adalah kurangnya perilaku
hidup bersih antara lain rumah yang lembab, kurangnya pencahayaan pada siang hari dan
lingkungan rumah yang kotor.
A. Tujuan
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Definisi
Tuberculosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Kuman batang tahan aerobic dan tahan asam ini dapat merupakan
organisme patogen maupun saprofit (Silvia A Price, 2005). Tuberculosis (TB) adalah
penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru, dengan agen infeksius
utama Mycobacterium tuberculosis (Smeltzer & Bare, 2001). Tuberculosis paru
adalah penyakit infeksi pada paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis
yaitu suatu bakteri yang tahan asam (Suriadi, 2001). Dari beberapa pengertian diatas
dapat disimpulkan bahwa Tuberculosis Paru adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis suatu basil yang tahan asam yang
menyerang parenkim paru atau bagian lain dari tubuh manusia. Klasifikasi
Tuberculosis di Indonesia yang banyak dipakai berdasarkan kelainan klinis,
radiologist dan mikrobiologis :
1. Tuberkulosis paru
2. Bekas tuberculosis
3. Tuberkulosis paru tersangka yang terbagi dalam :
a. TB paru tersangka yang diobati ( sputum BTA negatif, tapi tanda – tanda lain
positif) TB paru tersangka yang tidak dapat diobati ( sputum BTA negatif dan
tanda – tanda lain meragukan )
Paru adalah struktur elastik yang dibungkus dalam sangkar toraks, yang
merupakan suatu bilik udara kuat dengan dinding yang dapat menahan tekanan. Paru-
paru ada dua, merupakan alat pernafasan utama, paru-paru mengisi rongga dada,
terletak di sebelah kanan dan kiri dan di tengah dipisahkan oleh jantung beserta
pembuluh darah besarnya dan struktur lainnya yang terletak di dalam mediastinum.
Mediastinum adalah dinding yang membagi rongga toraks menjadi dua bagian.
Mediastinum terbentuk dari dua lapisan pleura. Semua struktur toraks kecuali paru-
paru terletak diantara kedua lapisan pleura. Bagian terluar paru-paru dilindungi oleh
membran halus dan licin yang disebut pleura yang juga meluas untuk membungkus
dinding interior toraks dan permukaan superior diafragma, sedangkan pleura viseralis
melapisi paru-paru. Antara kedua pleura ini terdapat ruang yang disebut spasium
pleura yang mengandung sejumlah kecil cairan yang melicinkan permukaan dan
memungkinkan keduanya bergeser dengan bebas selama ventilasi.
Setiap paru dibagi menjadi lobus-lobus. Paru kiri terdiri atas lobus atas dan
bawah. Sementara paru kanan mempunyai lobus atas, tengah dan bawah. Setiap lobus
lebih jauh dibagi lagi menjadi segmen yang dipisahkan oleh fisurel yang merupakan
perluasan pleura. Dalam setiap lobus paru terdapat beberapa divisi-divisi bronkus.
Pertama adalah bronkus lobaris (tiga pada paru kanan dan pada paru kiri). Bronkus
lobaris dibagi menjadi bronkus segmental (sepuluh pada paru kanan dan delapan pada
paru kiri). Bronkus segmental kemudian dibagi lagi menjadi bronkus sub segmental.
Bronkus ini dikelilingi oleh jaringan ikat yang memiliki arteri, limfotik dan syaraf.
Bronkus subsegmental membantu percabangan menjadi bronkiolus. Bronkiolus
membantu kelenjar submukosa yang memproduksi lendir yang membentuk selimut
tidak terputus untuk laposan bagian dalam jalan nafas. Bronkus dan bronkiolus juga
dilapisi sel-sel yang permukaannya dilapisi oleh silia dan berfungsi untuk
mengeluarkan lendir dan benda asing menjauhi paru-paru menuju laring. Bronkiolus
kemudian membentuk percabangan menjadi bronkiolus terminalis yang tidak
mempunyai kelenjar lendir dan silia. Bronkiolus terminalis kemudian menjadi
saluran transisional antara kalan udara konduksi dan jalan udara pertukaran gas.
Bronkiolus respiratori kemudian mengarah ke dalam duktus alveolus dan jakus
alveolar kemudian alveoli. Pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi di dalam
alveoli. Paru terbentuk oleh sekitar 300 juta alveoli. Terdapat tiga jenis sel-sel
alveolar, yaitu tipe I adalah sel membentuk dinding alveolar. Sel-sel alveolar tipe II
adalah sel-sel yang aktif secara metabolik, mensekresi sufraktan, suatu fostolipid
yang melapisi permukaan dalam dan mencegah alveolar agar tidak kolaps. Sel alveoli
tipe III adalah makrofag yang merupakan sel-sel fagosit besar yang memakan benda
asing, seperti lendir dan bakteri, bekerja sebagai mekanisme pertahanan yang penting
(Smeltzer & Bare, 2002).
2.2.Etiologi
Penyebab dari penyakit tuebrculosis paru adalah terinfeksinya paru oleh
micobacterium tuberculosis yang merupakan kuman berbentuk batang dengan ukuran
sampai 4 mycron dan bersifat anaerob. Sifat ini yang menunjukkan kuman lebih
menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya, sehingga paru-paru
merupakan tempat prediksi penyakit tuberculosis. Kuman ini juga terdiri dari asal
lemak (lipid) yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam dan lebih tahan
terhadap gangguan kimia dan fisik. Penyebaran mycobacterium tuberculosis yaitu
melalui droplet nukles, kemudian dihirup oleh manusia dan menginfeksi (Depkes RI,
2002).
2.3.Manifestasi klinik
Tanda dan gejala tuberculosis menurut Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam (2006)
dapat bermacam-macam antara lain :
1. Demam
Umumnya subfebris, kadang-kadang 40-410C, keadaan ini sangat dipengaruhi
oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberculosis
yang masuk.
2. Batuk
Terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk
membuang produk radang. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non produktif).
Keadaan setelah timbul peradangan menjadi produktif
(menghasilkan sputum atau dahak). Keadaan yang lanjut berupa batuk darah
haematoemesis karena terdapat pembuluh darah yang cepat. Kebanyakan batuk
darah pada TBC terjadi pada dinding bronkus.
3. Sesak nafas
Pada gejala awal atau penyakit ringan belum dirasakan sesak nafas. Sesak nafas
akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut dimana infiltrasinya sudah
setengah bagian paru-paru.
4. Nyeri dada
Gejala ini dapat ditemukan bila infiltrasi radang sudah sampai pada pleura,
sehingga menimbulkan pleuritis, akan tetapi, gejala ini akan jarang ditemukan.
5. Malaise
Penyakit TBC paru bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan anoreksia, berat badan makin menurun, sakit kepala, meriang, nyeri
otot dan keringat malam. Gejala semakin lama semakin berat dan hilang timbul
secara tidak teratur.
2.5.Komplikasi
Menurut Suriadi (2006) kompliki dari TB Paru antara lain :
1. Meningitisas
2. Spondilitis
3. Pleuritis
4. Bronkopneumoni
5. Atelektasi
2.7.Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
Pengkajian tergantung pada tahap penyakit dan derajat yang terkena
1. Aktivitas atau istirahat
Gejala : kelelahan umum dan kelemahan, mimpi buruk, nafas pendek
karena kerja, kesulitan tidur pada malam hari, menggigil atau berkeringat.
Tanda : takikardia. takipnea/dispnea pada kerja, kelelahan otot, nyeri dan
sesak (tahap lanjut).
2. Integritas EGO Gejala : adanya faktor stress lama, masalah keuangan
rumah, perasaan tidak berdaya/tidak ada harapan. Populasi budaya/etnik,
missal orang Amerika asli atau imigran dari Asia Tenggara/benua lain.
Tanda : menyangkal (khususnya selama tahap dini) ansietas ketakutan,
mudah terangsang.
3. Makanan/cairan Gejala : kehilangan nafsu makan. tidak dapat mencerna
penurunan berat badan. Tanda : turgor kulit buruk, kering/kulit bersisik,
kehilangan otot/hilang lemak subkutan.
4. Nyeri atau kenyamanan
Gejala : nyeri dada meningkat karena batuk berulang.
Tanda : berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, gelisah.
5. Pernafasan
Gejala : batuk produktif atau tidak produktif, nafas pendek, riwayat
tuberculosis terpajan pada individu terinfeksi.
Tanda : peningkatan frekuensi pernafasan (penyakit luas atau fibrosis
parenkim paru pleura) pengembangan pernafasan tidak simetri (effuse
pleura) perkusi pekak dan penurunan fremitus (cairan pleural atau
penebalan pleural bunyi nafas menurun/tidak ada secara bilateral atau
unilateral efusi pleural/pneumotorak) bunyi nafas tubuler dan bisikan
pectoral di atas lesi luas, krekels tercabut di atas aspek paru selama
inspirasi cepat setelah batuk pendek (krekes posttussic) karakteristik
sputum: hijau, puluren, muloid kuning atau bercak darah deviasi trakeal
(penyebaran bronkogenik).
6. Keamanan
Gejala : adanya kondisi penekanan imun. contoh: AIDS, kanker. Tes 111V
positif. Tanda : demam rendah atau sedikit panas akut.
7. Interaksi sosial Gejala : perasaan isolasi/penolakan karena penyakit
menular, perubahan bisa dalam tanggungjawab/perubahan kapasitas fisik
untuk melaksanakan peran.
8. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang pada pasien tuberculosis
paru yaitu:
a. Kultur sputum: positif untuk mycobacterium tuberculosis pada tahap akhir
penyakit.
b. Ziehl-Neelsen (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan cairan
darah) positif untuk basil asam cepat.
c. Tes kulit (mantoux, potongan vollmer): reaksi positif (area indurasi 10 mm
atau lebih besar, terjadi 48-72 jam setelah injeksi intra dermal antigen)
menunjukkan infeksi masa lalu dan adanya antibodi tetapi tidak secara berarti
menunjukkan penyakit aktif.
d. Elisa/Wostern Blot: dapat menyatakan adanya HIV.
e. Foto thorak: dapat menunjukkan infiltrasi lesi awal pada area paru atas
simpangan kalsium lesi sembuh primer atau effuse cairan.
f. Histologi atau kultur jaringan paru: positif untuk mycobacterium
tuberculosis,
g. Biopsi jarum pada jaringan paru: positif untuk granulana Tb, adanya sel
raksasa menunjukkan nekrosis,
h. Nektrolit: dapat tidak normal tergantung pada lokasi dan beratnya infeksi.
i. GDA: dapat normal tergantung lokasi, berat dan kerusakan sisa pada paru.
j. Pemeriksaan fungsi paru: penurunan kapasitas vital, peningkatan ruang
mati, peningkatan rasio udara dan kapasitas paru total dan penurunan saturasi
oksigen sekunder terhadap infiltrasi parenkim/fibrosis, kehilangan jaringan
paru dan penyakit pleural (TB paru kronis luas)
B. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental,
kelemahan upaya batuk buruk
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi mukopurulen dan
kekurangan upaya batuk
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan efek
paru. Kerusakan membran di alveolar, kapiler, sekret kevtal dan tebal
4. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses peradangan
5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual,
muntah, anoreksia.
6. Gangguan pada istirahat tidur berhubungan dengan sesak nafas dan batuk
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan dan inadekuat
oksigenasi untuk aktivitas
8. Kurang pengetahuan mengenai kondisi aturan tindakan dan pencegahan
berhubungan dengan jalan interpretasi inibrasi, keterbatasan kognitif
9. Resiko tinggi infeksi terhadap penyebaran berhubungan dengan pertahan
primer adekuat, kerusakan jaringan penakanan proses inflamasi, malnutrisi.
C. Intervensi Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental,
kelemahan upaya batuk buruk
a. Tujuan : bersihan jalan nafas efektif
b. KH : pasien dapat mempertahankan jalan nafas dan mengeluarkan sekret
tanpa bantuan
c. Intervensi
1) Kaji fungsi pernafasan contoh bunyi nafas, kecepatan, irama, dan kelemahan
dan penggunaan otot bantu. Rasional : Peningkatan bunyi nafas dapat
menunjukkan atelektasis, ronchi, mengi menunjukkan akumulasi
sekret/ketidakmampuan untuk membersihkan jalan nafas yang dapat
menimbulkan penggunaan otot akseseri pernafasan dan peningkatan kerja
pernafasan.
2) Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukosa batuk efektif, catat karakter,
jumlah sputum, adanya hemoptisis Rasional : Pengeluaran sulit bila sekret sangat
tebal sputum berdarah kental/darah cerah (misal efek infeksi, atau tidak kuatnya
hidrasi).
3) Berikan klien posisi semi atau fowler tinggi
Rasional : Posisi membantu memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan
upaya pernafasan.
c. Intervensi
1) Kaji kualitas dan kedalaman pernafasan penggunaan otot aksesoris, catat
setiap perubahan
Rasional : Kecepatan biasanya meningkat, dispnea terjadi peningkatan kerja
nafas, kedalaman pernafasan dan bervariasi tergantung derajat gagal nafas.
2) Kaji kualitas sputum, warna, bau dan konsistensi
Rasional : Adanya sputum yang tebal, kental, berdarah dan purulen diduga terjadi
sebagai masalah sekunder.
3) Baringkan klien untuk mengoptimalkan pernafasan (semi fowler)
Rasional : Posisi duduk memungkinkan ekspansi paru maksimal upaya batuk
untuk memobilisasi dan membuang sekret.
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan efek
paru, kerusakan membran alveolar, kapiler, sekret kental dan tebal
a. Tujuan : tidak ada tanda-tanda dispnea
b. KH : melaporkan tidak adanya penurunan dispnea, menunjukkan perbaikan
ventilasi dan O2 jaringan adekuat dengan AGP dalam rentang normal, bebes dari
gejala, distres pernafasan.
BAB III
MCP KASUS
A. Analisa Kasus
Data fokus Etiologi Masalah Keperawatan
Ds: ps mengatakan sesak Hambatan upaya nafas Gangguan pola nafas
nafas
Do:
- Penggunaan otot
bantu nafas
- Pengembangan dada
tidak asimetris
- Perkusi dada
terdapat dullnes
- Frekuensi nafas 32x
Ds: ps mengatakan batuk Terdapat secret Bersihan jalan nafas tidak
berdahak berwarna kuning, efektif
kadang kemerahaan
Do:
- Batuk berwarna
kuning pekat,
disertai bercak
merah
- Suara nafas
terdengar ronchi
Ds: ps mengatakan susah Gangguan tidur Gangguan pola tidur
tidur karena batuk makin
kuat pada malam hari
Do:
- Ps tampak lemas
- Ps tampak
kesusahan tidur
Ds: Anoreksia Gangguan pemenuhan
- ps tidak nafsu nutrisi
makan
- Ps merasa baju yg
dikenakan terasa
longgar
Do:
- Ps tampak tidak
nafsu makan
- Ps tampak
mengalami
penurunan berat
badan
Ds: ps mengatakan demam Proses penyakit Hipertermi
yg hilang timbul
Do:
- S: 37,5
- Ps tampak demam
pada saat malam
hari
B. Diagnosa keperawatan
1. Gangguan pola nafas b.d hambatan upaya nafas
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d penumpukan secret
3. Gangguan pola tidur b.d gangguan tidur
4. Gangguan pemenuhan nutrisi b.d anoreksia
5. Hipertermi b.d proses penyakit
C. Intervensi keperawatan
Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
keperawatan
Gangguan pola nafas Tujuan: PEMANTAUAN RESPIRASI
b.d hambatan upaya Setelah dilakukan (I.01014)
nafas tindakan keperawatan
selama 3x24 jam Observasi
diharapkan inspirasi dan - Monitor frekuensi, irama,
ekspirasi membaik kedalaman, dan upaya napas
Kriteria Hasil: - Monitor pola napas (seperti
- Tidak bradipnea, takipnea,
terdapatnya hiperventilasi, Kussmaul ,
dispnea Cheyne-Stokes, Biot, ataksik
- Tidak - Monitor kemampuan batuk
terdapatnya efektif
penggunaan otot - Pantau adanya produksi
nafas sputum
- Frekuensi nafas - Monitor adanya sumbatan
membaik jalan napas
- Palpasi kesimetrisan ekspansi
paru
- Auskultasi bunyi napas
- Pantau saturasi oksigen
- Pantau nilai AGD
- Pantau hasil x-ray toraks
Terapeutik
- Atur interval waktu
Pemantauan respirasi sesuai
kondisi pasien
- Dokumentasikan hasil
Pemantauan
Pendidikan
- Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
- Informasikan hasil
Pemantauan, jika perlu
Bersihan jalan nafas Tujuan: Manajemen Jalan Nafas (I. 01011)
tidak efektif b.d Setelah dilakukan
penumpukan secret tindakan keperawatan Observasi
selama 3x24 jam - Monitor pola napas
diharapkan oksigenasi (frekuensi, kedalaman, usaha
membaik, batuk napas)
berkurang - Monitor bunyi napas
Kriteria hasil: tambahan (mis. Gurgling,
- Batuk efektif mengi, weezing, ronkhi
berkurang kering)
- Produksi sputum - Monitor sputum (jumlah,
berkurang warna, aroma)
- Tidak Terapeutik
terdapatnya - Pertahankan kepatenan jalan
sianosis napas dengan head-tilt dan
chin-lift (jaw-thrust jika
curiga trauma cervical)
- Posisikan semi-Fowler atau
Fowler
- Berikan minum hangat
- Lakukan fisioterapi dada, jika
perlu
- Lakukan penghisapan lendir
kurang dari 15 detik
- Lakukan hiperoksigenasi
sebelum
- Penghisapan endotrakeal
- Keluarkan sumbatan benda
padat dengan forsepMcGill
- Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
- Anjurkan asupan cairan 2000
ml/hari, jika tidak
kontraindikasi.
- Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu.
Gangguan pola tidur Tujuan Dukungan tidur
b.d Gangguan tidur Setelah dilakukan Observasi
tindakan keperawatan - Identifikasi pola aktivitas dan
selama 3x24 jam tidur
diharapkan pola tidur - Identifikasi faktor penganggu
membaik tidur
Kriteria hasil: - Identifikasi penggunaan obat
- Pola tidur tidur
membaik Terapeutik
- Tidak ada - Modifikasi lingkungan
gangguan pola - Batasi waktu tidur siang jika
tidur perlu
- Jam tidur - Fasilitasi menghilangkan
membaik stress sebelum tidur
- Sesuaikan jadwal pengunaan
obat
Edukasi
- Jelaskan pentingnya tidur
selama sakit
- Anjurkan menepati kebiasaan
waktu tidur
Gangguan pemenuhan Tujuan: 1. MANAJEMEN
nutrisi b.d anoreksia Setelah dilakukan NUTRISI (I. 03119)
tindakan keperawatan 1. Observasi
selama 3x24 jam o Identifikasi
Edukasi
Kolaborasi
1. Jurnal 1
Judul jurnal: potensi penularan tuberculosis paru pada Anggota keluarga penderita
Hasil penelitian: Seluruh responden terduga TBC paru memiliki intensitas kontak
dengan penderita TBC paru BTA positif setiap harinya lebih dari 8 jam. Sebanyak 3 orang
terduga TBC paru memiliki intensitas kontak 12 jam/hari, sedangkan 2 orang lagi
memiliki intensitas kontak masing-masing 11 jam/hari dan 10 jam/hari. Hal ini karena
terduga TBC paru melakukan kegiatan sehari-hari secara bersama-sama dengan penderita
TBC paru. Diantaranya ada terduga TBC paru yang masih berusia 2 tahun yang selalu
tidur sekamar dengan penderita TBC paru. Ditemukan juga terduga TBC paru yang
berusia dewasa akhir masih masak bersama penderita (ibunya) karena memiliki usaha
catering. Terduga TBC paru yang menginjak usia lansia akhir masih tidur, makan dan
berinteraksi bersama suaminya sebagai penderita TBC paru BTA positif. Semakin sering
kontak dengan penderita TBC paru BTA positif semakin besar peluang terpapar M.
tuberkulosis karena kuman TBC mudah menyebar melalui udara pada orang yang berada
di sekitar penderita terutama pada anak-anak [16] dan kontak penderita BTA positif
kemungkinan lebih efektif daripada kontak penderita BTA negatif [17]. Ada hubungan
intensitas kontak dengan keberadaan tersangka tuberkulosis paru
2. Jurnal 2
Judul jurnal: faktor faktor yang berhubungan dengan tuberkolosis paru relaps pada
pasien di rumah sakit khusus paru provinsi sumatera selatan pada tahun 2015-2016.
Metode penelitian: Desain penelitian ini adalah desktiftif analitik dengan menggunakan
rancangan Cross Sectional. Rancangan Cross Sectional adalah rancangan penelitian
dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat bersamaan atau sekali waktu
(Hidayat,2007). Penelitian ini akan dilaksanakan dibagian Instalasi Rekam Medik Rumah
Sakit Khusus Paru Provinsi Sumatera Selatan pada bulan Agustus 2015 s/d Agustus 2016.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh data penderita TB Paru Relaps yang berobat
di Poliklinik Paru Rumah Sakit Khusus Paru Provinsi Sumatera Selatan. Sampel dalam
penelitian ini adalah seluruh data penderita TB Paru Relaps yang berobat di Poliklinik
Paru Rumah Sakit Khusus Paru Provinsi Sumatera Selatan dari bulan Agustus 2015
sampai dengan bulan Agustus 2016, dimana besar sampel adalah sama dengan jumlah
TB Relaps (total sampling).
Hasil penelitian: Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 1 hasil anlisis statistik
hubungan antara usia dengan kejadian TB Paru Relaps diperoleh bahwa ada sebanyak 34
responden (64,2%) usia 15-55 tahun yang mengalami kejadian TB paru Relaps,
sedangkan pada usia ? 55 tahun ada sebanyak 10 responden (83,3%) yang mengalami
kejadian TB Paru Relaps. Hasil analisis diperoleh nilai p value = 0,309, CI= 0,54-14,1,
OR= 2,79. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan
kejadian TB Paru Relaps. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa tidak ada hubungan
antara usia dengan kejadian TB Paru Relaps. Hal ini bisa diartikan bahwa Seseorang yang
terinfeksi TB Paru Relaps bukan karena dipengaruhi oleh tingkat aktifitas pekerjaan yang
tinggi tetapi dapat juga dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal seperti: kelembapan
rumah, keadaan ventilasi rumah, keadaan jendela rumah, serta pencahayaan alami yang
masuk ke dalam rumah (Sitepu, 2009). Dari hasil analisis statistik hubungan antara
riwayat merokok dengan kejadian TB Paru
3. Jurnal 3:
Judul jurnal: faktor faktor yang berhubungan dengan penyakit Tuberkulosis paru di
wilayah kerja puskesmas Serang kota pada tahun 2019
Metode penelitian: Studi observasional dengan jenis desain case control dilaksanakan
di wilayah kerja Puskesmas Serang Kota pada bulan April-Mei tahun 2019. 23Kelompok
kasus adalah penderita yang terdiagnosis disertai hasil uji laboratorium BTA+ dan
bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Serang kota pada bulan Oktober tahun
2018 sampai dengan Maret tahun 2019 yakni berjumlah 37 kasus. Jumlah kontrol diambil
sama dengan jumlah kasus. Pengambilan sampel untuk kelompok kasus dan kontrol
diambil secara acak dengan memenuhi kriteria inklusi. Variabel penelitian ini adalah
kepadatan hunian, jenis lantai, suhu, riwayat kontak dan kebiasaan merokok.
Pengumpulan data primer diperoleh dari survei, observasi dan pengukuran terhadap
rumah responden dan data sekunder dari penulusuran buku-buku, karya ilmiah, penelitian
terdahulu, laporan dari Dinas Kesehatan Kota Serang dan Puskesmas Serang Kota tahun
2018-2019. Alat penelitian yang digunakan adalah kuesioner, meteran untuk mengukur
kepadatan hunian, lembar observasi dan thermometer untuk mengukur jenis lantai dan
suhu. Analisis data meliputi analisis univariat dan bivariat. Analisis univariat yaitu secara
deskriptif dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi. Analisis bivariat yaitu secara
analitik untuk mengetahui hubungan antara dua variabel dengan uji chi square.
Hasil penelitian: Proporsi kepadatan hunian kamar tidak memenuhi syarat kesehatan
lebih tinggi pada kelompok kasus dibandingkan kelompok control. Begitu pula pada jenis
lantai rumah, suhu, dan riwayat kontak serumah. Namun berbeda pada kebiasaan
merokok proporsinya lebih tinggi pada kelompok control dibandingkan kasus. Terdapat
hubungan antara kepadatan hunian dan riwayat kontak serumah dengan kejadian penyakit
tuberkulosis paru di Wilayah Kerja Puskemas Serang Kota tahun 2019. Sedangkan jenis
lantai, suhu, dan kebiasaan merokok tidak ada hubungan yang signifikan dengan kejadian
penyakit tuberkulosis paru di Wilayah Kerja Puskemas Serang Kota tahun 2019
JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT INDONESIA
(The Indonesian Journal of Public Health)
https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/jkmi, jkmi@unimus.ac.id
Volume 15, Nomor 1, Mei 2020
Abstract
Keywords: Background: Pulmonary tuberculosis is an infectious disease caused by
Mycobacterium Tuberculosis Mycobacterium tuberculosis. Transmission occurs when a positive smear pulmonary
Pulmonary Tuberculosis TB patient coughs or sneezes and the patient accidentally spreads germs into the air in
the form of sputum splashes. A patient with positive smear pulmonary tuberculosis
Close Contact
can infect 10-15 people around him. This study aims to determine the distribution of
suspected and new cases of pulmonary TB around the residence of patients with
✉ positive smear pulmonary TB. Method: This was an observational analytic study
Coresponding author: with a cross-sectional approach. The study population of 70 people was all family
dewi_kristini@yahoo.com members of 35 patients with positive smear pulmonary tuberculosis who were
diagnosed in January-March 2019 and were undergoing treatment in the work area of
the Tlogosari Wetan Primary Health Care. The research sample was determined by
toral sampling. Results: The intensity of respondents' contact with patients more than
8 hours/day was 71.4%. All respondents have a good level of occupancy, meaning
that occupancy is not in the dense category. Only 14.4% of respondents smoke. Room
ventilation as much as 97.1% have met health standards. nutritional status only found
1.4% of respondents were categorized as thin. Conclusion: From 70 family members
of positive smear pulmonary TB patients found 5 people suspected of pulmonary TB.
Among the 5 people suspected of pulmonary TB no new cases of pulmonary TB were
found.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia, Volume 15, Nomor 1, Halaman 24-28, 2020 | 24
Pendahuluan tertular TBC paru [11]. Faktor risiko terduga TBC paru
Tuberkulosis paru yang sering dikenal dengan adalah orang yang menetap satu atap rumah dengan
TBC paru disebabkan bakteri Mycobacterium penderita TBC paru BTA positif [4], pendidikan [9],
tuberculosis (M. tuberculosis) dan termasuk penyakit merokok [8]-[9], lingkungan fisik rumah [9], daya
menular [1]. TBC paru mudah menginfeksi pengidap tahan tubuh, perilaku penderita TBC paru BTA positif
HIV AIDS [2], orang dengan status gizi buruk dan yaitu kebiasaan membuang dahak sembarangan dan
dipengaruhi oleh daya tahan tubuh seseorang [3]. tidak menutup mulut ketika batuk atau bersin,
Penularan TBC paru terjadi ketika penderita TBC paru kepadatan hunian yaitu perbandingan antara luas
BTA positif bicara, bersin atau batuk dan secara tidak rumah dengan jumlah anggota keluarga [12].
langsung penderita mengeluarkan percikan dahak di Lamanya waktu kontak atau intensitas kontak
udara dan terdapat ±3000 percikan dahak yang dengan penderita TBC paru dapat menyebabkan
mengandung kuman [4]. seseorang terpapar M. tuberculosis [4], sehingga harus
Kuman TBC paru menyebar kepada orang lain dapat mengendalikan penularan M. tuberculosis
melalui transmisi atau aliran udara (droplet dahak melalui deteksi kasus dan pengobatan pasien TBC paru
pasien TBC paru BTA positif) ketika penderita batuk [13], dengan memutus rantai infeksi. Penularan M.
atau bersin [3], [4]. TBC paru dapat menyebabkan tuberculosis harus dihentikan untuk mencegah adanya
kematian apabila tidak mengkonsumsi obat secara terduga TBC paru dan kasus baru TBC [14].
teratur hingga 6 bulan. Selain berdampak pada individu Penemuan kasus TBC paru secara aktif lebih
juga berdampak pada keluarga penderita, yaitu dampak efektif dilakukan pada populasi yang berisiko tinggi,
psikologis berupa kecemasan, penurunan dukungan seperti yang dilakukan di Kamboja dengan melihat
dan kepercayaan diri yang rendah [5]. penderita TBC paru yang kontak serumah dan kontak
TBC paru masih menjadi masalah kesehatan tetangga [15]. Akan tetapi dengan adanya kasus TBC
global [6]. WHO tahun 2017 melaporkan terdapat 1,3 paru yang tinggi, penemuan kasus aktif sering tidak
juta kematian yang diakibatkan TBC paru dan terdapat dilaksanakan dan mengakibatkan penundaan lama
300.000 kematian diakibatkan TBC paru dengan HIV. dalam diagnosis dan pengobatan [14].
Indonesia merupakan negara dengan peringkat ketiga Angka penemuan semua kasus TBC (Case
setelah India dan Cina dalam kasus TBC paru [7], Detection Rate) sejak bulan Januari hingga Desember
ditunjukkan dari dua per tiga jumlah kasus TBC di tahun 2018 di Kota Semarang sebanyak 4.252 kasus.
dunia diduduki delapan negara, diantaranya India 27%, Puskesmas Tlogosari Wetan menduduki peringkat
Cina 9%, Indonesia 8%, Filipina 6%, Pakistan 5%, pertama sebagai fasilitas pelayanan kesehatan
Nigeria dan Bangladesh masing-masing 4% dan Afrika (Puskesmas) dengan angka temuan kasus TBC paru
Selatan 3% [7]. Prevalensi TBC paru di Indonesia BTA positif tertinggi, yaitu sebanyak 66 kasus.
terbagi menjadi tiga wilayah, diantaranya Sumatera Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi
33%, Jawa dan Bali 23%, dan Indonesia bagian timur kejadian kasus baru TBC paru pada anggota keluarga
44% [8]. penderita TBC paru BTA positif.
TBC paru termasuk penyakit yang paling
banyak menyerang usia produktif (15-49 tahun) [7]-[9] Metode
Penderita TBC BTA positif dapat menularkan TBC Penelitian observasional analitik menggunakan
pada segala kelompok usia. Tahun 2017 di kota pendekatan cross-sectional. Sampel penelitian yaitu
Semarang terdapat penderita TBC semua tipe, pada seluruh penderita TBC paru BTA positif di Wilayah
kelompok usia bayi dan anak 24%, pada kelompok usia Kerja Puskesmas Tlogosari Wetan, yang didiagnosa
15-44 tahun adalah 40% dan pada kelompok usia lebih pada bulan Januari-Maret 2019 yang berjumlah 35
dari 55 tahun adalah 22% [10]. Presentase TBC paru orang. Dimana pada bulan Januari 2019 terdapat 8
semua tipe pada orang berjenis kelamin laki-laki lebih orang, bulan Februari 2019 terdapat 15 orang dan
besar daripada orang berjenis kelamin perempuan bulan Maret 2019 terdapat 12 orang. Penderita tinggal
dikarenakan laki-laki kurang memperhatikan di Wilayah Kerja Puskesmas Tlogosari Wetan Kota
pemeliharaan kesehatan diri sendiri serta laki-laki Semarang yang terbagi dalam 8 kelurahan, diantaranya
sering kontak dengan faktor risiko dibandingkan Tlogosari Wetan, Plamongan Sari, Palebon, Penggaron
dengan perempuan [9]-[10]. Kidul, Pedurungan Lor, Pedurungan Kidul,
Laki-laki lebih banyak memiliki kebiasaan Pedurungan Tengah dan Tlogomulyo. Sampel
merokok dan konsumsi alkohol, kebiasaan tersebut penelitian ditetapkan dengan total sampling dari
dapat menurunkan imunitas tubuh dan akan mudah seluruh anggota keluarga penderita, sebanyak 70 orang.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia, Volume 15, Nomor 1, Halaman 24-28, 2020 | 25
Hasil Responden paling banyak memiliki pekerjaan
wiraswasta, dengan prosentase masing sebesar 20% .
Tabel 1. Hasil Observasi Variabel Tertinggi berikutnya bekerja sebagai pegawai swasta
dengan prosentase 14,3% dan kelompok.
Frekuensi Persentase Pengamatan gejala klinis yang muncul adalah
Variabel
(f) (%)
adanya batuk berdahak selama lebih dari dua minggu
Jenis Kelamin
Laki-Laki 37 52,9 ditemukan pada 5 responden. Gejala lain diantaranya
Perempuan 33 47,1 nafsu makan turun, berat badan berkurang dan badan
Kategori Umur
Anak-Anak (< 11 th) 16 22,9 terasa lemas masing-masing ditemukan pada seorang
Remaja Awal (12-16 th) 6 8,6 responden. Ke-5 orang responden dengan keluhan
Remaja Akhir (17-25 th) 11 15,7
Dewasa Awal (26-35 th) 7 10,0
batuk berdahak lebih dari 2 minggu menjadi responden
Dewasa Akhir (36-45 th) 11 15,7 terduga mengalami TBC paru. Hubungan kelima
Lansia Awal (46-55 th) 11 15,7 responden terduga TBC paru dengan penderita adalah
Lansia Akhir (56-65 th) 7 10,0
Manula (> 65 th) 1 1,4 sebagai anak (2 orang), istri (1 orang), ayah (1 orang)
Tingkat Pendidikan dan mertua (1 orang).
Tidak sekolah/Belum Tamat SD 16 22,9
Tamat SD 5 7,1 Berdasarkan tes cepat molekuler (TCM)
Tamat SMP 13 18,6 diketahui 4 orang dewasa terduga TBC paru
Tamat SMA 26 37,1
Tamat Perguruan Tinggi 10 14,3
dinyatakan negatif seluruhnya. Terduga TBC paru pada
Jenis Pekerjaan anak berusia 2 tahun dilakukan sistim skoring TB anak
Swasta 10 14,3 [15] dikarenakan dahak anak tidak dapat keluar
Wiraswasta 15 21,5
PNS/TNI/POLRI 6 8,6 sehingga tidak dapat dilakukan TCM dan dari sistim
Sopir 2 2,8 skoring TB anak didapatkan hasil negatif. Artinya dari
Pensiunan 2 2,8
Tidak bekerja 35 50,0 70 responden tidak ditemukan adanya kasus baru
Gejala Klinis Terlihat tuberkulosis paru.
Batuk lama dan berdahak ≥ 2 minggu 5 7,1
Intensitas kontak merupakan banyaknya waktu
Batuk bercampur darah 0 0,0
Sesak nafas 0 0,0 berinteraksi penderita TBC paru BTA positif dengan
Nyeri dada 0 0,0 responden yang berada di sekitarnya (keluarga dan
Nafsu makan menurun 1 1,4
Berat Badan turun 1 1,4 tetangga) dalam sehari-hari. Lama interaksi dapat
Badan terasa lemas 1 1,4 dilihat dari menghabiskan waktu dengan penderita
Demam/meriang yang berkepanjangan 0 0,0
Berkeringat malam hari tanpa aktivitas 0 0,0 berupa menonton TV bersama, masak bersama,
Terduga TB Paru mengerjakan tugas rumah bersama, bercakap-cakap
Ada 5 7,1
bersama dengan waktu yang lama tanpa menggunakan
Tidak Ada 65 92,9
Intensitas Kontak masker, makan dan tidur bersama dalam satu ruangan
Berisiko (≥ 8jam/hr) 50 71,4 yang lebih dari 8 jam/hari.
Tidak Berisiko (< 8jam/hr) 20 28,6
Kepadatan Hunian Anggota keluarga dengan intensitas kontak
Padat (< 9m2/org) 0 0,0 kategori berisiko sebesar 71,4%. Seluruh responden
Tidak Padat (≥ 9m2/org) 70 100,0
Kebiasaan Merokok
dari anggota keluarga tinggal dengan kondisi tidak
Perokok Berat (≥ 15 batang) 0 0,0 padat hunian (< 9m2/orang). Sebanyak 7 orang
Perokok Sedang (5-14 batang) 7 10,0 responden dari kelompok keluarga merupakan perokok
Perokok Ringan (1-4 batang) 1 1,4
Tidak Merokok 62 88,6 sedang yang menghabiskan 5-14 batang rokok setiap
Ventilasi Kamar hari, dan seorang perokok ringan yang menghabiskan
Memenuhi Syarat Kesehatan 68 97,1
Tidak Memenuhi Syarat kesehatan 2 2,9 1-4 batang rokok/hari. Responden anggota keluarga
Status Gizi memiliki ventilasi kamar yang memenuhi syarat
Kurus (IMT < 18,5) 1 1,4 kesehatan (lubang ventilasi ≥ 10% luas lantai kamar)
Normal (IMT 18,5-24,9) 60 85,7
Gemuk (IMT ≥ 25) 9 12,9 sebesar 97,1%. Terdapat satu orang responden anggota
keluarga yang memiliki status gizi kurus (IMT < 18,5).
Responden berjenis kelamin laki-laki sebanyak
52,9% dan perempuan sebanyak 47,1%. Kelompok Pembahasan
umur terbanyak terdapat pada kelompok anak-anak Seluruh responden terduga TBC paru memiliki
(22,9%) sebanyak 16 orang (22,9%). Kategori tidak intensitas kontak dengan penderita TBC paru BTA
sekolah merupakan anak-anak usia 1 tahun hingga 11 positif setiap harinya lebih dari 8 jam. Sebanyak 3
tahun yang belum sekolah atau belum tamat SD. orang terduga TBC paru memiliki intensitas kontak 12
Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia, Volume 15, Nomor 1, Halaman 24-28, 2020 | 26
jam/hari, sedangkan 2 orang lagi memiliki intensitas dalam tubuh manusia dan sewaktu-waktu mampu
kontak masing-masing 11 jam/hari dan 10 jam/hari. menjadi TBC aktif [19]. Maka diperlukan
Hal ini karena terduga TBC paru melakukan kegiatan kewaspadaan dari responden yang terduga TBC paru.
sehari-hari secara bersama-sama dengan penderita TBC Sebanyak 5 orang responden yang terduga TBC
paru. Diantaranya ada terduga TBC paru yang masih paru memiliki ventilasi kamar yang memenuhi syarat
berusia 2 tahun yang selalu tidur sekamar dengan kesehatan yaitu lubang ventilasi kamar ≥ 10% luas
penderita TBC paru. Ditemukan juga terduga TBC lantai. Akan tetapi, masih ditemukan kesadaran yang
paru yang berusia dewasa akhir masih masak bersama kurang dari responden dalam hal ventilasi yang jarang
penderita (ibunya) karena memiliki usaha catering. dibuka dan masih ada ventilasi yang tertutup sehingga
Terduga TBC paru yang menginjak usia lansia ventilasi tidak berfungsi dengan semestinya. Ventilasi
akhir masih tidur, makan dan berinteraksi bersama responden yang jarang dibuka dan tertutup akan
suaminya sebagai penderita TBC paru BTA positif. menyebabkan udara di dalam ruangan tidak dapat
Semakin sering kontak dengan penderita TBC paru tertukar dan tidak ada cahaya matahari yang masuk,
BTA positif semakin besar peluang terpapar M. kuman M. tuberculosis tidak mampu bertahan lama
tuberkulosis karena kuman TBC mudah menyebar jika terkena cahaya matahari langsung [20].
melalui udara pada orang yang berada di sekitar Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian
penderita terutama pada anak-anak [16] dan kontak yang dilakukan sebelumnya di wilayah kerja
penderita BTA positif kemungkinan lebih efektif Puskesmas Panjang, Lampung pada tahun 2018
daripada kontak penderita BTA negatif [17]. Ada menyatakan bahwa faktor lingkungan fisik rumah
hubungan intensitas kontak dengan keberadaan (ventilasi) berhubungan dengan kejadian tuberkulosis
tersangka tuberkulosis paru [16]. paru [21]. Terdapat 4 orang terduga TBC paru yang
Lima terduga TBC paru tidak ada yang tinggal memiliki status gizi normal dan 1 orang terduga TBC
di keluarga yang memiliki kepadatan hunian dengan paru memiliki status gizi kurus. Terduga TBC paru
kategori padat, hal ini karena jumlah penghuni rumah dengan status gizi kurus dimungkinkan karena terduga
atau anggota keluarga yang tinggal satu atap berkisar TBC paru sudah memasuki fase lansia akhir dan tidak
antara 2 orang hingga 6 orang dengan luas rumah yang memiliki gigi yang sempurna sehingga terjadi
berkecukupan sehingga kepadatan hunian ≥ 9m2/orang. ketidakseimbangan energi positif dan mengalami
Beberapa terduga TBC paru berasal dari keluarga yang penurunan berat badan [22].
kepadatan huniannya tidak padat mengalami kepadatan Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
hunian ketika hari libur panjang, yang mana banyak dilakukan di Palembang tahun 2011, Sumatera Selatan
sanak saudara yang menginap di rumah terduga TBC menyatakan variabel yang berpengaruh terhadap
paru. kejadian TBC paru adalah status gizi yang buruk
Penularan TBC paru berhubungan dengan (<18,4) [23]. Status gizi merupakan faktor yang
kondisi rumah dengan kategori padat dan terdapat menentukan tuberkulosis di Banyumas terutama pada
penderita TBC paru BTA positif [4], karena sumber anak-anak karena kerentanan sistem kekebalan tubuh
penularan TBC paru adalah penderita TBC paru BTA mereka terhadap infeksi TBC paru. Peran orang tua
positif. Sehingga tidak semua rumah yang memiliki sangat dibutuhkan untuk mempertahankan status gizi
kategori padat hunian selalu berisiko terkena TBC paru anak-anak [24].
apabila di dalam rumah tersebut tidak terdapat
penderita TBC paru BTA positif. Kemungkinan dapat Kesimpulan
juga terjadi penularan TBC paru pada keluarga yang Dari 70 responden anggota keluarga penderita
tidak padat hunian ataupun padat hunian jika di dalam TBC paru BTA positif ditemukan 5 orang terduga TBC
rumah tersebut terdapat penderita TBC paru BTA paru yang 100% tinggal satu rumah dengan penderita,
positif [11], [12], [15], [17], [18]. namun diantara 5 orang terduga TBC paru tersebut
Hasil penelitian di lapangan didapatkan data tidak didapatkan kasus baru TBC paru. Pengelolaan
dari 5 orang terduga TBC paru 80% bukan perokok, penderita dengan baik akan menjaga setiap anggota
hanya seorang diantaranya memiliki kebiasaan keluarga dari risiko tertular walaupun sebenarnya
merokok dengan kategori perokok ringan. Hal ini risiko itu sangat memungkinkan terjadi.
mungkin tidak terjadinya penularan TBC paru karena
responden yang terduga TBC paru merupakan perokok Daftar Pustaka
ringan. Kemungkinan yang lain juga terjadi karena [1] Vidyastari YS, Cahyo K, Riyanti E. Faktor –
infeksi TBC laten, yaitu tidurnya M. tuberkulosis Faktor Yang Mempengaruhi Pencapaian Target
Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia, Volume 15, Nomor 1, Halaman 24-28, 2020 | 27
Cdr (Case Detection Rate) Oleh Koordinator [14] Yuen CM, Amanullah F, Dharmadhikari A, et
P2tb Dalam Penemuan Kasus di Puskesmas al. Turning off the tap : Stopping Tuberculosis
Kota Semarang. Kesehat Masy. 2019;7(1). Transmission Through Active Case Finding
[2] Indonesia DJ. Pengendalian Penyakit Dan And Prompt Effective Treatment. Lancet.
Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan 2015;386(10010):2334-2343.
Republik. Buku Saku Kader Program [15] Morishita F, Eang MT, Nishikiori N, Yadav R.
Penanggulangan Tb.; 2009. Increased Case Notification through Active
[3] Dinas Kesehatan Jawa Tengah. Profil Kesehatan Case Finding of Tuberculosis among Household
Provinsi Jawa Tengah. Vol 3511351.; 2016. and Neighbourhood Contacts in Cambodia.
[4] Kementerian Kesehatan RI. ditjen Penyakit Dan 2016:1-15. doi:10.1371/journal.pone.0150405
PenyehatanLingkungan. Pedoman Nasional [16] Herawati D, Sayono, Handoyo W. Distribusi
Pengendalian Tuberkulosis. 2011. Tersangka Tuberkulosis Paru Pada Keluarga
[5] Astuti S. Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Penderita Tuberkulosis Paru BTA Positif. 2018.
Sikap Masyarakat Terhadap Upaya Pencegahan http://repository.unimus.ac.id.
Penyakit Tuberkulosis di RW 04 Kelurahan [17] Anggraeni DE, Rahayu SR. Gejala Klinis
Lagoa Jakarta Utara Tahun 2013. 2013;1. Tuberkulosis Pada Keluarga Penderita
[6] Guno TH, Putra BA, Kamelia T, Makmun D. Tuberkulosis BTA Positif. Higeia2.
Diagnostic and Therapeutic Approach in 2018;2(1):91-101.
Intestinal Tuberculosis. 2016;17(2). [18] Bigogo G, Cain K, Nyole D, et al. Tuberculosis
[7] World Helath Organization. Global Case Finding Using Population- Based Disease
Tuberculosis Report.; 2018. Surveillance Platforms In Urban And Rural
[8] Sugiarti S, Ramadhian MR, Carolia N. Vitamin Kenya. 2018:1-12.
D sebagai Suplemen dalam Terapi Tuberkulosis [19] Hidayat R, Bahar H, Ismail CS. Skrining dan
Paru. 2018;7(11):198-202. Studi Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis Paru
[9] Nurjana MA. Faktor Risiko Terjadinya Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A
Tuberculosis Paru Usia Produktif ( 15-49 Tahun Kendari Tahun 2017. JIMKESMAS. 2017;2(6).
) Di Indonesia.Media Litbangkes. [20] Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri
2015;25(3):163-170. Kesehatan RI nomor 67 tahun 2016. 2017;(122).
[10] Dinas Kesehatan KotaSemarang. Profil [21] Perdana AA, Putra YS. Hubungan Faktor
Kesehatan Kota Semarang 2017.; 2017. Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian TB
www.dinkes.semarangkota.go.id. Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Panjang,
[11] Dotulong JFJ, Sapulete MR, Kandou GD. Lampung. 2018;9(April).
Hubungan Faktor Risiko Umur, Jenis Kelamin [22] Schwenk A, Hodgson L, Wright A, et al.
Dan Kepadatan Hunian Dengan Kejadian Nutrient Partitioning During Treatment Of
Penyakit Tb Paru Di Desa Wori Kecamatan Tuberculosis : Gain In Body Fat Mass But Not
Wori.Kedokt Komunitas dan Trop. In Protein Mass. 2004;(5):1006-1012.
2015;III(2):57-65. [23] Unita H, Haryoto V. Tuberkulosis Paru di
[12] Wulandari AA, Nurjazuli, Adi MS. Faktor Palembang, Sumatera Selatan. Kesehat Masy
Risiko dan Potensi Penularan Tuberkulosis Paru Nas. 2011;5(72).
di Kabupaten Kendal , Jawa Tengah. [24] Zuraida ZF, Pramatama S, Wijayanti M. Risk
2015;14(1):7-13. Factors Associated With Childhood
[13] Shalsabila M, Cahyo SK, Indraswari R. Tuberculosis : A Case Control Study In
Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Endemic Tuberculosis Area. 2018;5(11):4702-
Pencapaian Target CDR Oleh Kader TB 4706.
’Aisyiyah Dalam Penemuan Kasus TB di Kota
Semarang. 2018;6(4).
Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia, Volume 15, Nomor 1, Halaman 24-28, 2020 | 28
Herawati Jaya, Devi MediartiFaktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tuberkulosis Paru Relaps
pada Pasien di Rumah Sakit Khusus Paru Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2015-2016
ABSTRAK
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobakterium tuberculosis. Sedangkan tuberkulosis paru Relaps adalah penderita
Tuberkulosis Paru yang dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap kemudian dating
kembali berobat dengan hasil pemeriksaan batuk berdahak Basil Tahan Asam positif. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui factor resiko tuberculosis paru Relapsdi Rumah Sakit
Khusus Paru Provinsi Sumatera Selatan tahun 2016. Penelitian ini menggunakan pendekatan
Cross Sectional. Populasi dalam penelitian ini meliputi populasi kasus yaitu penderita TB
paru yang mengalami kekambuhan dan populasi kontrol yaitu penderita TB paru yang sudah
dinyatakan sembuh. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh data penderita TB Paru
Relaps yang berobat di Poliklinik Paru Rumah Sakit Khusus Paru Provinsi Sumatera Selatan
(total sampling) tahun 2015-2016.Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat dengan
menggunakan uji chi square.Hasil penelitian dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara
usia dengan kejadian TB paru Relaps(p:0,309; CI: 0,54-14,1; OR: 2,79), tidak ada hubungan
antara jenis kelamin dengan kejadianTBparuRelaps(p:0,909;CI:0,308-2,82;OR:0,933), ada
hubungan antara pendidikan dengan kejadian TB paru Relaps(p:0,017; CI: 1,2-14,6; OR: 4,2),
tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan kejadian TB paru Relaps(p:0,401; CI: 0,18-1,97;
OR: 0,6), ada hubungan antara riwayat merokok dengan kejadian TB paru Relaps
(p:0,045;CI:1,0-10,3;OR:3,2), tidak ada hubungan antara dengan kejadian TB paru Relaps
(p:0,309;CI:0,54-14,1;OR:2,79).
Agustus 2016, dimana besar sampel Square dan hasilnya disajikan dalam
adalah sama dengan jumlah TB Relaps bentuk table.Hubungan antara 2 variabel
(total sampling). bebas dan variabel terikat penghitungan
Data yang dikumpulkan Confidence Interval (CI) digunakan p<
sebelumnya diperoleh dari pencatatan 0.05.
petugas RSK.Paru Prov.Sumatera Selatan
yang terdapat dalam kartu status penderita HASIL DAN PEMBAHASAN
TB Paru Relaps.Kemudian dicatat dan HASIL
Analisa Univariat
ditabulasi. Data yang diperoleh diolah Dari penelitian yang dilakukan di
dengan menggunakan Program SPSS RS. Khusus Paru Sumatera Selatan
(Statistical Product Service kemudian didapatkan hasil sebagai berikut:
dianalisa dengan menggunakan uji Chi-
Analisa Univariat
Distribusi Frekuensi Karakteristik Pasien TB Paru di RSK. Paru Prov. Sumsel
Analisa Bivariat
Tabel1. Hubungan usia dengan kejadian TB Paru Relaps
Sitoli- toli dengan Desain Case Series Domen, S, 2003. Karateristik Penderita
yang memperoleh hasil bahwa ada TB Paruyang Berobat Dengan
perbedaan proporsi kepatuhan berobat Menggunakan Strategi DOTS dan
berdasarkan hasil akhir pengobatan. Hal Keberhasilannya di Puskesmas
ini dapat disimpulkan bahwa pada Perawatan Pangkalan Brandan
Kabupaten Langkat tahun2000-
umumnya penderita TB Paru yang
2002.Skripsi FK MUSU Medan.
sembuh adalah penderita yang patuh
dalam mengikuti panduan obat yang Departemen Kesehatan RI,
diberikan dalam waktu yang lama (6-8 2009.Pedoman Nasional
Bulan ). Penanggulangan Tuber-kulosis
Kesembuhan atau keberhasilan, Paru, Jakarta, Depkes RI.
pengobatan TB Paru Relaps ditentukan
Eisner M. 2008. Biology and
oleh beberapa faktor terutama faktor
Mechanisms for Tobacco-
prilaku kepatuhan dalam minum attributable Respiratory Diseases,
obat dan dukungan dari orang-orang including TB, Bacterial Pnemonia
sekitar, Apabila berhenti minum obat and other Respiratory
sebelum waktunya, penyakit yang sudah Diseases.The International Journal
menghilang dapat timbul kembali, of Tuberculosis and Lung
Disease.Volume12.
kambuh dan kemungkinan bakteri akan
resisten terhadap jenis obat tersebut. Gea, B, 2005. Karateristik Penderita TB
Paru di Puskesmas Gunung Sitoli
DAFTAR PUSTAKA periode 2000-2004.Skripsi FKM
USU Medan.
Aulia Aziza, 2009. Aplikasi Metode Life
Table untuk Mengetahui Tingkat Hidayat.A.A.A. 2007.Metode Penelitian
Kekambuhan Pada Pasien Keperawatan dan Tekhnik Analisa
Tuberkulosis Paru di Poli DOTS Data. Jakarta: Salemba Medika N
RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Tahun 2008-2009. Skripsi, Imelda, 2009. Pengaruh Karakteristik
Universitas Airlangga. Individu, Faktor Pelayanan
Kesehatan dan Faktor Peran
Aditama, T.Y., 2002. Tuberkulosis Pengawas Menelan Obat Terhadap
Diagnosis, Terapi, dan Masalahnya. Tingkat Kepatuhan Penderita TB
Edisi ke-4. Jakarta: Yayasan Paru dalam Pengobatan di
Penerbit Ikatan Dokter Indonesia: Puskesmas Pekan Labuhan Kota
Medan Tahun 2009. Skripsi,
131
Universitas Sumatera Utara.
Aditama, TY. 2005. Tuberkulosis Paru:
Keputusan Menteri Kesehatan republic
Masalah dan penanggulangannya. Indonesia Nomor
Penerbit Universitas Indonesia, 364/MENKES/SK/V/2009.
Jakarta. Pedoman Penanggulangan
Tuberkulosis. Jakarta:2009.
Departemen Kesehatan RI, 2006.
Pedoman Nasional Penanggulangan Lawrence, 2002, Diagnosis dan Terapi
Tuberkulosis Paru, Edisi 2. Cetakan Kedokteran (Penyakit Dalam),
Pertama. Jakarta. Salemba Medika, Jakarta.
Abstrak
Latar Belakang: Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Serang Kota merupakan kasus tertinggi pada
tahun 2018. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
penyakit TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Serang Kota tahun 2019.
Metode: Desain penelitian yang digunakan adalah case control. Populasi penelitian ini sebagai kasus adalah
pasien TB Paru dan populasi kontrol adalah orang yang bukan penderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas.
Sampel pada penelitian ini berjumlah 74 responden terdiri dari 37 kasus dan 37 kontrol. Instrumen yang
digunakan adalah kuesioner, lembar observasi, meteran dan thermometer. Data dianalisis secara univariat dan
bivariat dengan uji chi square.
Hasil: Hasil penelitian didapatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian (Pv=0,018
dan OR=4,364), dan riwayat kontak serumah (Pv=0,011) dengan kejadian TB Paru, sedangkan tidak ada
hubungan antara jenis lantai (Pv=0,115), suhu (Pv=0,778), dan kebiasaan merokok (Pv=0,416) dengan
kejadian TB Paru.
Kesimpulan: disarankan bagi masyarakat lebih meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat untuk mencegah
penyakit TB Paru. Bagi petugas kesehatan perlu ditingkatkan upaya penjaringan penemuan suspek maupun
skrining TB.
Kata kunci: Tuberkulosis Paru, Kepadatan Hunian, Riwayat Kontak
Abstract
Background: Pulmonary tuberculosis in Serang City Public Health Center was the highest case in 2018. This
study aims to determine the factors associated with the incidence of pulmonary TB in the working area of Serang
City Public Health Center in 2019.
Method: This study used a case control design. The study population as a case is a pulmonary TB patient and
the control population is a person who is not a sufferer of pulmonary TB in the working area of Public Health
Center. The sample in this study amounted to 74 respondents consisting of 37 cases and 37 controls. The
instruments used were questionnaire, observation sheet, roll meter and thermometer. Data were analyzed
univariable and bivariable with chi square test.
Result: The results showed that there was a significant relationship between occupancy density (P=0,018 and
OR=4,364), and home contact history (P=0,011) and pulmonary TB events, whereas there was no relationship
between floor type (P=0,115), temperature (P=0,778), and smoking habits (P=0,416) with pulmonary TB
events.
Conclusion: The advice given to the community further enhances clean and healthy living behavior to prevent
pulmonary TB disease. Health workers need to be increased efforts to screen suspicion discovery and TB
screening.
Keywords: Pulmonary tuberculosis, Occupancy Density, Contact History
Alamat korespondensi:
Puji Eka Mathofani
Universitas Faletehan
Email: pujimathofani@gmail.com
Berdasarkan hasil uji statistik dengan Hasil analisis tabel silang antara kepadatan
menggunakan uji chi square diperoleh nilai hunian dengan kejadian penyakit tuberkulosis
P=0,416 maka dapat disimpulkan secara statistik paru diperoleh pada kelompok kasus lebih
pada α 5% tidak ada hubungan yang signifikan banyak responden yang memiliki kepadatan
antara kebiasaan merokok dengan kejadian hunian tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu
penyakit tuberkulosis paru di Wilayah Kerja sebesar 86,5% dibandingkan pada kelompok
Puskesmas Serang Kota tahun 2019. kontrol yaitu sebesar 59,5%.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil Hasil analisis tabel silang antara jenis
penelitian berjudul Hubungan Faktor lantai dengan kejadian penyakit tuberkulosis
Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian TB paru diperoleh pada kelompok kasus responden
Paru dimana pada kelompok kasus kepadatan yang memiliki jenis lantai tidak memenuhi
hunian yang tidak memenuhi syarat kesehatan syarat sedikit lebih banyak yaitu sebesar 10,8%
lebih besar yaitu 64% dibandingkan kelompok dibandingkan pada kelompok kontrol yaitu
kontrol sebesar 14%. Diperoleh nilai P=0,000 sebesar 0%. Berdasarkan analisis bivariat
yang artinya ada hubungan antara kepadatan dengan menggunakan uji chi square dipreoleh
hunian dengan kejadian TB Paru dengan nilai nilai P=0,115 maka tidak ada hubungan yang
OR sebesar 10,92 yang menunjukan bahwa signifikan antara jenis lantai dengan kejadian
responden yang memiliki kepadatan hunian penyakit tuberkulosis paru di Wilayah Kerja
tidak memenuhi syarat kesehatan berisiko 10,92 Puskesmas Serang Kota Tahun 2019.
kali lebih besar dibandingkan dengan responden
yang memiliki kepadatan hunian memenuhi Penelitian ini sejalan dengan hasil
syarat kesehatan.8 Hasil penelitian di wilayah penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas
kerja Puskesmas Kertapati Palembang Kasemen Kota Serang yang menyatakan bahwa
menyatakan bahwa ada hubungan antara tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis
kepadatan hunian dengan kejadian penyakit lantai dengan kejadian penyakit tuberkulosis
tuberkulosis paru (P=0,002).15 Sama halnya paru (P=0,437).18
penelitian di wilayah kerja Puskesmas Tikala
Baru Kota Manado yang menyatakan bahwa ada Namun, hasil penelitian ini tidak sejalan
dengan hasil penelitian Mawardi dkk yang
hubungan antara kepadatan hunian dengan
kejadian penyakit (P=0,049).16 menyatakan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara jenis lantai dengan kejadian
Dari hasil kunjungan lapangan yang penyakit tuberkulosis paru (P=0,015). Sama
dilakukan melalui wawancara dan pengukuran halnya dengan hasil penelitian Oktavia dkk
pada luas kamar tidur dan jumlah penghuni dengan judul Analisis Faktor Risiko Kejadian
diketahui hampir sebagian responden memiliki TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Kertapati
kepadatan hunian kamar tidak memenuhi syarat Palembang yang menyatakan bahwa ada
sebesar 73% dibandingkan dengan jumlah hubungan antara jenis lantai dengan kejadian
responden yang kepadatan hunian kamarnya penyakit tuberkulosis paru (P=0,001).9
memenuhi syarat sebesar 27%. Berdasarkan
Berdasarkan hasil analisis bahwa jenis
hasil observasi sebagian besar responden kasus
lantai menunjukkan tidak ada hubungan dengan
kamar tidurnya tidak terpisah dengan anggota
keluarganya yang sehat bahkan ada responden kejadian penyakit tuberkulosis paru.
Dikarenakan pada observasi yang dilakukan
kasus yang tidak memiliki kamar, hal tersebut
hanya dengan melihat jenis lantainya saja tanpa
disebabkan karena keterbatasan lahan.
Berdasarkan hasil analisis menunjukan bahwa memerhatikan kebersihannya. Meskipun
lantainya terbuat dari yang kedap air namun
kepadatan hunian ada hubungan dengan
kebersihan lantainya tidak terjaga maka lantai
kejadian penyakit tuberkulosis paru. Hal ini
menjadi lembab dan menjadi media yang baik
dapat dilihat dari data sebagian besar luas kamar
untuk berkembangbiaknya bakteri. Faktor
tidur responden dan jumlah penghuni tidak
lainnya juga yang mempengaruhi kejadian
memenuhi syarat karena kurang dari 8 m2/orang.
penyakit tuberkulosis seperti tidak adanya
6 Jurnal Ilmiah Kesehatan Masyarakat Volume 12 Edisi 1, 2020
Berdasarkan hasil analisis bahwa suhu
ventilasi atau ventilasi yang tidak memenuhi menunjukkan tidak ada hubungan dengan
syarat dan jendela tidak pernah dibuka. Faktor kejadian penyakit tuberkulosis paru. Hasil
tersebut menyebabkan kelembaban dan pengukuran ini dapat dipengaruhi oleh suhu
pencahayaan yang kurang, karena tidak ada udara luar. Selain itu, juga dipengaruhi
jalan masuk untuk pertukaran udara dan sinar kelembaban rumah, jendela yang tidak dibuka
matahari langsung yang berfungsi sebagai dan ventilasi yang tertutup kaca. Berdasarkan
pencahayaan alami maupun membunuh bakteri teori suhu ruangan tergantung dari suhu udara
secara langsung. luar, pergerakan udara, kelembaban udara, dan
suhu benda di sekitarnya. Keterbatasan dalam
penelitian ini adalah tidak dilakukan pengukuran
suhu udara luar dan pergerakan udara. Penyebab
Hubungan Antara Suhu Dengan Kejadian
hasil penelitian tidak berhubungan dapat
Penyakit Tuberkulosis Paru di Wilayah disebakan karena faktor lain, seperti
Kerja Puskesmas Serang Kota Tahun 2019 kelembaban, pencahayaan, luas ventilasi, dan
Suhu ruangan sangat dipengaruhi oleh keberadaan jendela.
suhu udara luar, pergerakan udara, kelembaban
udara, dan suhu benda-benda yang ada di
sekitarnya. Keberadaan suhu sangat berperan Hubungan Antara Riwayat Kontak Serumah
pada pertumbuhan basil Mycobacterium Dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis
tuberculosis, dimana laju pertumbuhan basil Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Serang
tersebut ditentukan berdasarkan suhu udara yang Kota Tahun 2019
berada di sekitarnya.11
Dalam etiologi penyakit tuberkulosis,
Hasil analisis tabel silang antara suhu bakteri mycobacterium tuberculosis Sumber
dengan kejadian penyakit tuberkulosis paru penular adalah penderita TB BTA positif. Pada
diperoleh pada kelompok kasus responden yang saat batuk atau bersin menyebarkan bakteri
memiliki suhu tidak memenuhi syarat lebih melalui udara dalam bentuk droplet. Droplet
banyak yaitu 81,1% dibandingkan pada yang mengandung bakteri dapat bertahan pada
kelompok kontrol yaitu 75,7%. Berdasarkan suhu kamar dalam beberapa jam. Seseorang
analisis bivariat dengan menggunakan uji chi dapat terinfeksi bakteri TB apabila droplet
square diperoleh nilai P=0,778 maka tidak ada tersebut terhirup ke dalam saluran napas.20
hubungan yang signifikan antara suhu dengan
kejadian penyakit tubekulosis paru di Wilayah Hasil analisis tabel silang antara riwayat
Kerja Puskesmas Serang Kota Tahun 2019. Dan kontak serumah dengan kejadian penyakit
dari hasil analisis diperoleh nilai OR=1,376 tuberkulosis paru diperoleh pada kelompok
yang artinya responden yang memiliki suhu kasus sedikit lebih banyak responden yang ada
tidak memenuhi syarat kesehatan berisiko 1 kali riwayat kontak serumah sebesar 18,9%
lebih besar terkena penyakit tuberkulosis paru dibandingkan pada kelompok kontrol yaitu 0%.
dibandingkan dengan responden yang memiliki
suhu memenuhi syarat kesehatan. Hasil Berdasarkan analisis bivariat dengan
penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian menggunakan uji chi square diperoleh nilai
Susanti dengan judul Hubungan Antara Kondisi P=0,011 maka ada hubungan yang signifikan
Fisik Rumah Dan Perilaku Dengan Kejadian antara riwayat kontak serumah dengan kejadian
Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas penyakit tubekulosis paru di Wilayah Kerja
Sangkrah Kota Surakarta yang menyatakan tidak Puskesmas Serang Kota Tahun 2019.
ada hubungan antara suhu dengan kejadian
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil
penyakit tuberkulosis paru (P=0,212).19
penelitian Amalaguswan, dkk (2017) dengan
Namun penelitian ini tidak sejalan judul Analisis Faktor Risiko Kejadian Penyakit
dengan hasil penelitian Prihartanti, dkk dengan Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Puuwatu Kota
judul Hubungan Lingkungan Fisik Rumah Kendari yang menyatakan bahwa ada hubungan
Dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja yang signifikan antara riwayat kontak serumah
Puskesmas Mirit Kabupaten Kebumen yang dengan kejadian penyakit tuberkulosis paru
menyatakan bahwa ada hubungan antara jenis (P=0,000). Dan diperoleh hasil OR sebesar
lantai dengan kejadian penyakit tuberkulosis 9,333 artinya responden yang ada riwayat
paru (P=0,003).11 kontak serumah berisiko 9 kali lebih besar
terkena penyakit tuberkulosis paru dibandingkan
Jurnal Ilmiah Kesehatan Masyarakat Vol. 12 Edisi 1, 2020
7
Penelitian ini tidak sejalan dengan hasil
dengan responden yang tidak ada riwayat penelitian Banu dkk dengan judul Faktor Risiko
kontak serumah.12 Kejadian TB Paru di Puskesmas Hutarakyat
Sidikalang yang menyatakan ada hubungan yang
Dari hasil kunjungan lapangan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan
dilakukan melalui wawancara langsung dengan
kejadian penyakit tuberkulosis paru (p=0,001)13.
responden diperoleh sebanyak 7 responden ada
kontak dengan penderita TB Paru positif yang Berdasarkan hasil analisis bahwa
tinggal dalam satu rumah yang masih dalam kebiasaan merokok menunjukkan tidak ada
pengobatan atau kurun waktu 6 bulan terakhir. hubungan dengan kejadian penyakit tuberkulosis
Keberadaan kontak serumah mempengaruhi paru. Dari hasil lapangan diperoleh sebagian
proses penularan kepada anggota keluarga yang besar responden memiliki kebiasaan merokok
lain. Pada umumnya penularan terjadi dalam sebesar 75,7%. Pada kelompok kasus diketahui
ruangan dimana droplet (percikan dahak) ada lebih banyak responden yang menderita TB Paru
dalam waktu yang lama. Bakteri yang ada dalam dengan jenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 22
droplet dapat bertahan beberapa jam dalam (59,5%) responden dibandingkan dengan jenis
kondisi gelap dan lembab. Anggota keluarga kelamin perempuan sebanyak 15 (40,5%). Dari
dapat terinfeksi jika terus-menerus menghirup 22 responden laki-laki diketahui sebanyak 18
droplet yang kemudian masuk ke dalam saluran (81,8%) responden memiliki kebiasaan
pernapasan. Dikarenakan penderita TB paru merokok. Hal ini sesuai menurut survei
lebih lama dan sering melakukan kontak kepada prevalensi tuberkulosis pada laki-laki 3 kali
anggota keluarga sehingga risiko penularan lebih tinggi dibandingkan pada perempuan.
penyakit lebih besar. Dengan demikian adanya Walaupun merokok bukan merupakan faktor
riwayat kontak serumah menjadi pemicu yang berhubungan dengan kejadian penyakit TB
terjadinya penularan bakteri mycobacterium Paru namun sebagai faktor pemicu. Penyakit
tuberkulosis pada anggota keluarga yang tinggal lain seperti HIV/AIDS juga merupakan faktor
dalam serumah. pemungkin terjadinya penyakit TB Paru karena
status imun menjadi lemah sehingga mudah
untuk terkena penyakit lainnya. Penemuan kasus
Hubungan Antara Kebiasaan Merokok TB tidak selalu terdiagnosa di awal, beberapa
Dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis ada yang terlebih dulu diketahui penyakit lain
Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Serang seperti HIV/AIDS dan kemudian barulah TB
Kota Tahun 2019 Paru.
19. Susanti, L. I. (2016). Hubungan Antara 23. Puskesmas Serang Kota. (2019).
Kondisi Fisik Rumah Dan Perilaku Laporan Register Bulanan Penderita TB
Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Paru. Serang.
Wilayah Kerja Puskesmas Sangkrah
Kota Surakarta Tahun 2016. Publikasi
Ilmiah, 1-14.