Anda di halaman 1dari 67

ASUHAN KEPERAWATAN TB PARU

KELOMPOK IV

Dosen Pengampu:
Ns. Dendy Kharisna, M.Kep.

Disusun:
Fadlun Apsari Putri (20301082)
Nadia Okviani (20301092)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKes PAYUNG NEGERI PEKANBARU
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah Swt, karena berkat rahmat-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang ‘‘Tuberkulosis Paru’’ yang referensinya berasal dari buku.
Tujuannya adalah guna mengetahui penjelasan tentang penyakit Tuberkulosis Paru dalam
dunia keperawatan. Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung
dalam pembuatan makalah ini, namun tentu saja makalah ini masih kurang sempurna. Untuk
itu kami sangat mengharapkan saran-saran positif supaya makalah ini menjadi lebih baik lagi.
Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca dan penulis khususnya.
Sekian dan terima kasih.

Pekanbaru, 26 September 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................

DAFTAR ISI .............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................

1. Latar belakang ..........................................................................................

1. Tujuan .....................................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................

1. Definisi ....................................................................................................

2.2 Etiologi ....................................................................................................

2.3 Manifestasi Klinik.......................................................................................

2.4 Patofisiologi dan WOC................................................................................

2.5 Komplikasi...................................................................................................

2.6 Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan...................................................

2.7 Pemeriksaan Penunjang/Diagnostik.............................................................

2.8 Asuhan Keperawatan....................................................................................


BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberculosis paru (TB paru) merupakan salah satu penyakit infeksi yang
prevalensinya paling tinggi di dunia. Berdasarkan laporan World Health Organitation
(WHO, 2012) sepertiga populasi dunia yaitu sekitar dua milyar penduduk terinfeksi
Mycobacterium Tuberculosis. Lebih dari 8 juta populasi terkena TB aktif setiap tahunnya
dan sekitar 2 juta meninggal. Lebih dari 90% kasus TB dan kematian berasal dari negara
berkembang salah satunya Indonesia (Depkes RI, 2012)

Menurut World Health Organization sejak tahun 2010 hingga Maret 2011, di
Indonesia tercatat 430.000 penderita TB paru dengan korban meninggal sejumlah 61.000.
Jumlah ini lebih kecil dibandingkan kejadian tahun 2009 yang mencapai 528.063
penderita TB paru dengan 91.369 orang meninggal (WHO Tuberculosis Profile, 2012).
Di Indonesia, tuberculosis merupakan masalah utama kesehatan masyarakat dengan
jumlah menempati urutan ke-3 terbanyak di dunia setelah Cina dan India, dengan jumlah
sekitar 10% dari total jumlah pasien tuberculosis di dunia. Diperkirakan terdapat 539.000
kasus baru dan kematian 101.000 orang setiap tahunnya. Jumlah kejadian TB paru di
Indonesia yang ditandai dengan adanya Basil Tahan Asam (BTA) positif pada pasien
adalah 110 per 100.000 2 penduduk (Riskesdas, 2013). Di Jawa Tengah angka penemuan
penderita TB paru dengan BTA positif tahun 2005 sebanyak 14.227 penderita, dengan
rata-rata kasus atau case detection rate (CDR) sebesar 40,09% meningkat menjadi 17.318
penderita dengan CDR 49,82% tahun 2006. Berdasarkan data terbaru di provinsi Jawa
Tengah sebesar 107/100.000 penduduk yang terdeteksi atau case detection rate (CDR) per
kabupaten capainnya dibawah rata-rata sebanyak 18 Kabupaten dengan angka terendah
berada di Kabupaten Boyolali (Riskesdas, 2013).

Data Dinas Kesehatan Kabupaten Kudus menyebutkan terjadi peningkatan kasus TB


paru di Kabupaten Kudus pada tahun 2013. Angka kejadian TB paru pada tahun 2013
sebesar 130/100.000 penduduk, dengan tambahan kasus baru sebesar 53,72% dan
persentase kasus tuberculosis yang dapat disembuhkan sebesar 89,3%. Puskesmas Jekulo
adalah salah satu puskesmas di Kabupaten Kudus mengalami peningkatan penderita TB
paru pada tahun 2012 angka CDR sebesar 55,1%, menjadi 60,9% pada tahun 2013 dan
tahun 2014 meningkat menjadi 72,94% (Dinkes Kudus, 2013). Tuberculosis adalah
penyakit infeksi yang disebabkan bakteri berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan
nama Mycobacterium tuberculosis (Hiswani, 2004). Penularan melalui perantara ludah
atau dahak penderita yang mengandung basil tuberculosis paru.

Pengobatan TB paru dapat dilaksanakan secara tuntas dengan kerjasama yang baik
antara penderita TB Paru 3 dan tenaga kesehatan atau lembaga kesehatan, sehingga
penyembuhan pasien dapat dilakukan secara maksimal (Aditama, 2006) Penanganan TB
paru oleh tenaga dan lembaga kesehatan dilakukan menggunakan metode Direct Observe
Treatment Shortcourse (DOTS) atau observasi langsung untuk penanganan jangka
pendek. DOTS terdiri dari lima hal, yaitu komitmen politik, pemeriksaan dahak di
laboratorium, pengobatan berkesinambungan yang harus disediakan oleh negara,
pengawasan minum obat dan pencatatan laporan (Resmiyati, 2011).

Pasien tuberculosis yang menjalani tahap pengobatan di Puskesmas Jekulo pada


bulan Agustus 2015 sebanyak 39 orang. Selama pengobatan terdapat pasien yang gagal
sebanyak 16,6% yang artinya dari 39 orang penderita TB paru, lima diantara penderita
tersebut, kembali berobat setelah lost to follow up atau berhenti berobat paling sedikit 2
bulan dengan pengobatan kategori 2 (kasus kambuh atau gagal dengan BTA positif) serta
hasil pemeriksaan dahak menunjukkan BTA positif.

Keberhasilan pengobatan tuberculosis tergantung pada pengetahuan pasien dan


dukungan dari keluarga. Tidak ada upaya dari diri sendiri atau motivasi dari keluarga yang
kurang memberikan dukungan untuk berobat secara tuntas akan mempengaruhi kepatuhan
pasien untuk mengkonsumsi obat. Apabila ini dibiarkan, dampak yang akan muncul jika
penderita berhenti minum obat adalah munculnya kuman tuberculosis yang resisten
terhadap obat, jika ini terus terjadi dan kuman tersebut terus menyebar pengendalian obat
tuberculosis akan 4 semakin sulit dilaksanakan dan meningkatnya angka kematian terus
bertambah akibat penyakit tuberculosis (Amin dan Bahar, 2007).

Dari survei dengan cara observasi dan wawancara dengan lima orang penderita TB
paru yang gagal di wilayah kerja Puskesmas Jekulo, empat dari lima orang penderita
mengatakan bahwa mereka tidak tahu tentang penyakit TB paru yang dideritanya,
penderita hanya mengatakan bahwa penyakitnya hanya batuk biasa dan biasanya langsung
sembuh sendiri. Selain itu penderita juga mengatakan tidak mengetahui tentang apa itu
TB paru, apa gejalanya, bagaimana penularanya dan bagaimana cara pengobatannya.
Penderita TB paru mengatakan tidak tahu upaya apa yang harus dilakukan untuk
menyembuhkan penyakitnya. Mereka juga tidak tahu jangka waktu pengobatanya oleh
karena itu mereka tidak disiplin dalam minum obat. Hal ini menunjukkan bahwa
pengetahuan tentang kepatuhan pengobatan penyakit TB paru masih sangat kurang. Hasil
observasi menunjukan bahwa masalah utama para penderita adalah kurangnya perilaku
hidup bersih antara lain rumah yang lembab, kurangnya pencahayaan pada siang hari dan
lingkungan rumah yang kotor.

A. Tujuan
1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara pengetahuan penderita tuberculosis.

2. Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :

a. Pengetahuan penderita tuberculosis tentang dengan kepatuhan minum obat


tuberculosis.

b. Dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat tuberculosis.

c. Kepatuhan minum obat tuberculosis.

d. Hubungan pengetahuan penderita tuberculosis dengan kepatuhan minum obat


tuberculosis.

e. Hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat tuberculosis.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Definisi
Tuberculosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Kuman batang tahan aerobic dan tahan asam ini dapat merupakan
organisme patogen maupun saprofit (Silvia A Price, 2005). Tuberculosis (TB) adalah
penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru, dengan agen infeksius
utama Mycobacterium tuberculosis (Smeltzer & Bare, 2001). Tuberculosis paru
adalah penyakit infeksi pada paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis
yaitu suatu bakteri yang tahan asam (Suriadi, 2001). Dari beberapa pengertian diatas
dapat disimpulkan bahwa Tuberculosis Paru adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis suatu basil yang tahan asam yang
menyerang parenkim paru atau bagian lain dari tubuh manusia. Klasifikasi
Tuberculosis di Indonesia yang banyak dipakai berdasarkan kelainan klinis,
radiologist dan mikrobiologis :
1. Tuberkulosis paru
2. Bekas tuberculosis
3. Tuberkulosis paru tersangka yang terbagi dalam :
a. TB paru tersangka yang diobati ( sputum BTA negatif, tapi tanda – tanda lain
positif) TB paru tersangka yang tidak dapat diobati ( sputum BTA negatif dan
tanda – tanda lain meragukan )

B. Anatomi dan Fisiologi


Anatomi Sistem Penafasan

Paru adalah struktur elastik yang dibungkus dalam sangkar toraks, yang
merupakan suatu bilik udara kuat dengan dinding yang dapat menahan tekanan. Paru-
paru ada dua, merupakan alat pernafasan utama, paru-paru mengisi rongga dada,
terletak di sebelah kanan dan kiri dan di tengah dipisahkan oleh jantung beserta
pembuluh darah besarnya dan struktur lainnya yang terletak di dalam mediastinum.
Mediastinum adalah dinding yang membagi rongga toraks menjadi dua bagian.
Mediastinum terbentuk dari dua lapisan pleura. Semua struktur toraks kecuali paru-
paru terletak diantara kedua lapisan pleura. Bagian terluar paru-paru dilindungi oleh
membran halus dan licin yang disebut pleura yang juga meluas untuk membungkus
dinding interior toraks dan permukaan superior diafragma, sedangkan pleura viseralis
melapisi paru-paru. Antara kedua pleura ini terdapat ruang yang disebut spasium
pleura yang mengandung sejumlah kecil cairan yang melicinkan permukaan dan
memungkinkan keduanya bergeser dengan bebas selama ventilasi.
Setiap paru dibagi menjadi lobus-lobus. Paru kiri terdiri atas lobus atas dan
bawah. Sementara paru kanan mempunyai lobus atas, tengah dan bawah. Setiap lobus
lebih jauh dibagi lagi menjadi segmen yang dipisahkan oleh fisurel yang merupakan
perluasan pleura. Dalam setiap lobus paru terdapat beberapa divisi-divisi bronkus.
Pertama adalah bronkus lobaris (tiga pada paru kanan dan pada paru kiri). Bronkus
lobaris dibagi menjadi bronkus segmental (sepuluh pada paru kanan dan delapan pada
paru kiri). Bronkus segmental kemudian dibagi lagi menjadi bronkus sub segmental.
Bronkus ini dikelilingi oleh jaringan ikat yang memiliki arteri, limfotik dan syaraf.
Bronkus subsegmental membantu percabangan menjadi bronkiolus. Bronkiolus
membantu kelenjar submukosa yang memproduksi lendir yang membentuk selimut
tidak terputus untuk laposan bagian dalam jalan nafas. Bronkus dan bronkiolus juga
dilapisi sel-sel yang permukaannya dilapisi oleh silia dan berfungsi untuk
mengeluarkan lendir dan benda asing menjauhi paru-paru menuju laring. Bronkiolus
kemudian membentuk percabangan menjadi bronkiolus terminalis yang tidak
mempunyai kelenjar lendir dan silia. Bronkiolus terminalis kemudian menjadi
saluran transisional antara kalan udara konduksi dan jalan udara pertukaran gas.
Bronkiolus respiratori kemudian mengarah ke dalam duktus alveolus dan jakus
alveolar kemudian alveoli. Pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi di dalam
alveoli. Paru terbentuk oleh sekitar 300 juta alveoli. Terdapat tiga jenis sel-sel
alveolar, yaitu tipe I adalah sel membentuk dinding alveolar. Sel-sel alveolar tipe II
adalah sel-sel yang aktif secara metabolik, mensekresi sufraktan, suatu fostolipid
yang melapisi permukaan dalam dan mencegah alveolar agar tidak kolaps. Sel alveoli
tipe III adalah makrofag yang merupakan sel-sel fagosit besar yang memakan benda
asing, seperti lendir dan bakteri, bekerja sebagai mekanisme pertahanan yang penting
(Smeltzer & Bare, 2002).
2.2.Etiologi
Penyebab dari penyakit tuebrculosis paru adalah terinfeksinya paru oleh
micobacterium tuberculosis yang merupakan kuman berbentuk batang dengan ukuran
sampai 4 mycron dan bersifat anaerob. Sifat ini yang menunjukkan kuman lebih
menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya, sehingga paru-paru
merupakan tempat prediksi penyakit tuberculosis. Kuman ini juga terdiri dari asal
lemak (lipid) yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam dan lebih tahan
terhadap gangguan kimia dan fisik. Penyebaran mycobacterium tuberculosis yaitu
melalui droplet nukles, kemudian dihirup oleh manusia dan menginfeksi (Depkes RI,
2002).

2.3.Manifestasi klinik
Tanda dan gejala tuberculosis menurut Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam (2006)
dapat bermacam-macam antara lain :
1. Demam
Umumnya subfebris, kadang-kadang 40-410C, keadaan ini sangat dipengaruhi
oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberculosis
yang masuk.
2. Batuk
Terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk
membuang produk radang. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non produktif).
Keadaan setelah timbul peradangan menjadi produktif
(menghasilkan sputum atau dahak). Keadaan yang lanjut berupa batuk darah
haematoemesis karena terdapat pembuluh darah yang cepat. Kebanyakan batuk
darah pada TBC terjadi pada dinding bronkus.
3. Sesak nafas
Pada gejala awal atau penyakit ringan belum dirasakan sesak nafas. Sesak nafas
akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut dimana infiltrasinya sudah
setengah bagian paru-paru.
4. Nyeri dada
Gejala ini dapat ditemukan bila infiltrasi radang sudah sampai pada pleura,
sehingga menimbulkan pleuritis, akan tetapi, gejala ini akan jarang ditemukan.
5. Malaise
Penyakit TBC paru bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan anoreksia, berat badan makin menurun, sakit kepala, meriang, nyeri
otot dan keringat malam. Gejala semakin lama semakin berat dan hilang timbul
secara tidak teratur.

2.4.Patofisiologi dan WOC


Tempat masuk kuman mycobacterium adalah saluran pernafasan, infeksi
tuberculosis terjadi melalui (airborn) yaitu melalui instalasi dropet yang
mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi.
Basil tuberkel yang mempunyai permukaan alveolis biasanya diinstalasi sebagai
suatu basil yang cenderung tertahan di saluran hidung atau cabang besar bronkus dan
tidak menyebabkan penyakit.
Setelah berada dalam ruangan alveolus biasanya di bagian lobus atau paru-paru
atau bagian atas lobus bawah basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan,
leukosit polimortonuklear pada tempat tersebut dan memfagosit namun tidak
membunuh organisme tersebut. Setelah hari-hari pertama masa leukosit diganti oleh
makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala
pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga
tidak ada sisa yang tertinggal atau proses dapat juga berjalan terus dan bakteri terus
difagosit atau berkembang biak, dalam sel basil juga menyebar melalui gestasi
bening reginal. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan
sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh
limfosit, nekrosis bagian sentral lesi yang memberikan gambaran yang relatif padat
dan seperti keju-lesi nekrosis kaseora dan jaringan granulasi di sekitarnya terdiri dari
sel epiteloid dan fibrosis menimbulkan respon berbeda, jaringan granulasi menjadi
lebih fibrasi membentuk jaringan parut akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang
mengelilingi tuberkel.
Lesi primer paru-paru dinamakan fokus gholi dengan gabungan terserangnya
kelenjar getah bening regional dari lesi primer dinamakan komplet ghon dengan
mengalami pengapuran. Respon lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis adalah
pencairan dimana bahan cairan lepas ke dalam bronkus dengan menimbulkan kapiler
materi tuberkel yang dilepaskan dari dinding kavitis akan masuk ke dalam
percabangan keobronkial. Proses ini dapat terulang kembali di bagian lain dari paru-
paru atau basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah atau usus.
Kavitis untuk kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dengan
meninggalkan jaringan parut yang terdapat dekat dengan perbatasan bronkus rongga.
Bahan perkijaan dapat mengontrol sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran
penghubung, sehingga kavitasi penuh dengan bahan perkijuan dan lesi mirip dengan
lesi berkapsul yang terlepas. Keadaan ini dapat tidak menimbulkan gejala dalam
waktu lama dan membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi limpal
peradangan aktif.
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah.
Organisme atau lobus dari kelenjar betah bening akan mencapai aliran darah dalam
jumlah kecil, yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain.
Jenis penyebaran ini dikenal sebagai penyebaran limfo hematogen yang biasanya
sembuh sendiri, penyebaran ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh
darah sehingga banyak organisme masuk ke dalam sistem vaskuler dan tersebar ke
organ-organ tubuh (Price & Wilson 2005).

2.5.Komplikasi
Menurut Suriadi (2006) kompliki dari TB Paru antara lain :
1. Meningitisas
2. Spondilitis
3. Pleuritis
4. Bronkopneumoni
5. Atelektasi

2.6 Penatalaksaan Medis dan Keperawatan


1. Pencegahan
a. Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat
dengan penderita tuberculosis paru BTA positif.
b. Mass chest X-ray, yaitu pemeriksaan missal terhadap kelompok – kelompok
populasi tertentu misalnya : karyawan rumah sakit, siswa – siswi pesantren.
c. Vaksinasi BCG
d. Kemofolaksis dengan menggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6 – 12 bulan
dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang masih
sedikit.
e. Komunikasi, informasi, dan edukasi tentang penyakit tuberculosis kepada
masyarakat.
2. Pengobatan
Tuberkulosis paru diobati terutama dengan agen kemoterapi ( agen
antituberkulosis) selama periode 6 sampai 12 bulan. Lima medikasi garis depan
digunakan adalah Isoniasid ( INH ), Rifampisin ( RIF ), Streptomisin ( SM ),
Etambutol ( EMB ), dan Pirazinamid ( PZA ). Kapremiosin, kanamisin,
etionamid, natrium para-aminosilat, amikasin, dan siklisin merupakan obat –
obat baris kedua (Smeltzer & Bare, 2001).

2.6.Pemeriksaan Medis dan Keperawatan


Pemeriksaan penunjang pada pasien tuberculosis paru yaitu:
a. Kultur sputum: positif untuk mycobacterium tuberculosis pada tahap akhir
penyakit.
b. Ziehl-Neelsen (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan cairan darah)
positif untuk basil asam cepat.
c. Tes kulit (mantoux, potongan vollmer): reaksi positif (area indurasi 10 mm atau
lebih besar, terjadi 48-72 jam setelah injeksi intra dermal antigen) menunjukkan
infeksi masa lalu dan adanya antibodi tetapi tidak secara berarti menunjukkan
penyakit aktif.
d. Elisa/Wostern Blot: dapat menyatakan adanya HIV.
e. Foto thorak: dapat menunjukkan infiltrasi lesi awal pada area paru atas simpangan
kalsium lesi sembuh primer atau effuse cairan.
f. Histologi atau kultur jaringan paru: positif untuk mycobacterium tuberculosis,
g. Biopsi jarum pada jaringan paru: positif untuk granulana Tb, adanya sel raksasa
menunjukkan nekrosis,
h. Nektrolit: dapat tidak normal tergantung pada lokasi dan beratnya infeksi.
i. GDA: dapat normal tergantung lokasi, berat dan kerusakan sisa pada paru.
j. Pemeriksaan fungsi paru: penurunan kapasitas vital, peningkatan ruang mati,
peningkatan rasio udara dan kapasitas paru total dan penurunan saturasi oksigen
sekunder terhadap infiltrasi parenkim/fibrosis, kehilangan jaringan paru dan
penyakit pleural (TB paru kronis luas)

2.7.Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
Pengkajian tergantung pada tahap penyakit dan derajat yang terkena
1. Aktivitas atau istirahat
Gejala : kelelahan umum dan kelemahan, mimpi buruk, nafas pendek
karena kerja, kesulitan tidur pada malam hari, menggigil atau berkeringat.
Tanda : takikardia. takipnea/dispnea pada kerja, kelelahan otot, nyeri dan
sesak (tahap lanjut).
2. Integritas EGO Gejala : adanya faktor stress lama, masalah keuangan
rumah, perasaan tidak berdaya/tidak ada harapan. Populasi budaya/etnik,
missal orang Amerika asli atau imigran dari Asia Tenggara/benua lain.
Tanda : menyangkal (khususnya selama tahap dini) ansietas ketakutan,
mudah terangsang.
3. Makanan/cairan Gejala : kehilangan nafsu makan. tidak dapat mencerna
penurunan berat badan. Tanda : turgor kulit buruk, kering/kulit bersisik,
kehilangan otot/hilang lemak subkutan.
4. Nyeri atau kenyamanan
Gejala : nyeri dada meningkat karena batuk berulang.
Tanda : berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, gelisah.
5. Pernafasan
Gejala : batuk produktif atau tidak produktif, nafas pendek, riwayat
tuberculosis terpajan pada individu terinfeksi.
Tanda : peningkatan frekuensi pernafasan (penyakit luas atau fibrosis
parenkim paru pleura) pengembangan pernafasan tidak simetri (effuse
pleura) perkusi pekak dan penurunan fremitus (cairan pleural atau
penebalan pleural bunyi nafas menurun/tidak ada secara bilateral atau
unilateral efusi pleural/pneumotorak) bunyi nafas tubuler dan bisikan
pectoral di atas lesi luas, krekels tercabut di atas aspek paru selama
inspirasi cepat setelah batuk pendek (krekes posttussic) karakteristik
sputum: hijau, puluren, muloid kuning atau bercak darah deviasi trakeal
(penyebaran bronkogenik).
6. Keamanan
Gejala : adanya kondisi penekanan imun. contoh: AIDS, kanker. Tes 111V
positif. Tanda : demam rendah atau sedikit panas akut.
7. Interaksi sosial Gejala : perasaan isolasi/penolakan karena penyakit
menular, perubahan bisa dalam tanggungjawab/perubahan kapasitas fisik
untuk melaksanakan peran.
8. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang pada pasien tuberculosis
paru yaitu:
a. Kultur sputum: positif untuk mycobacterium tuberculosis pada tahap akhir
penyakit.
b. Ziehl-Neelsen (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan cairan
darah) positif untuk basil asam cepat.
c. Tes kulit (mantoux, potongan vollmer): reaksi positif (area indurasi 10 mm
atau lebih besar, terjadi 48-72 jam setelah injeksi intra dermal antigen)
menunjukkan infeksi masa lalu dan adanya antibodi tetapi tidak secara berarti
menunjukkan penyakit aktif.
d. Elisa/Wostern Blot: dapat menyatakan adanya HIV.
e. Foto thorak: dapat menunjukkan infiltrasi lesi awal pada area paru atas
simpangan kalsium lesi sembuh primer atau effuse cairan.
f. Histologi atau kultur jaringan paru: positif untuk mycobacterium
tuberculosis,
g. Biopsi jarum pada jaringan paru: positif untuk granulana Tb, adanya sel
raksasa menunjukkan nekrosis,
h. Nektrolit: dapat tidak normal tergantung pada lokasi dan beratnya infeksi.
i. GDA: dapat normal tergantung lokasi, berat dan kerusakan sisa pada paru.
j. Pemeriksaan fungsi paru: penurunan kapasitas vital, peningkatan ruang
mati, peningkatan rasio udara dan kapasitas paru total dan penurunan saturasi
oksigen sekunder terhadap infiltrasi parenkim/fibrosis, kehilangan jaringan
paru dan penyakit pleural (TB paru kronis luas)

B. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental,
kelemahan upaya batuk buruk
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi mukopurulen dan
kekurangan upaya batuk
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan efek
paru. Kerusakan membran di alveolar, kapiler, sekret kevtal dan tebal
4. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses peradangan
5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual,
muntah, anoreksia.
6. Gangguan pada istirahat tidur berhubungan dengan sesak nafas dan batuk
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan dan inadekuat
oksigenasi untuk aktivitas
8. Kurang pengetahuan mengenai kondisi aturan tindakan dan pencegahan
berhubungan dengan jalan interpretasi inibrasi, keterbatasan kognitif
9. Resiko tinggi infeksi terhadap penyebaran berhubungan dengan pertahan
primer adekuat, kerusakan jaringan penakanan proses inflamasi, malnutrisi.

C. Intervensi Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental,
kelemahan upaya batuk buruk
a. Tujuan : bersihan jalan nafas efektif
b. KH : pasien dapat mempertahankan jalan nafas dan mengeluarkan sekret
tanpa bantuan
c. Intervensi
1) Kaji fungsi pernafasan contoh bunyi nafas, kecepatan, irama, dan kelemahan
dan penggunaan otot bantu. Rasional : Peningkatan bunyi nafas dapat
menunjukkan atelektasis, ronchi, mengi menunjukkan akumulasi
sekret/ketidakmampuan untuk membersihkan jalan nafas yang dapat
menimbulkan penggunaan otot akseseri pernafasan dan peningkatan kerja
pernafasan.
2) Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukosa batuk efektif, catat karakter,
jumlah sputum, adanya hemoptisis Rasional : Pengeluaran sulit bila sekret sangat
tebal sputum berdarah kental/darah cerah (misal efek infeksi, atau tidak kuatnya
hidrasi).
3) Berikan klien posisi semi atau fowler tinggi
Rasional : Posisi membantu memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan
upaya pernafasan.

K. Fokus Intervensi dan Rasional


4) Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, penghisapan sesuai keperluan Rasional
: Mencegah obstruksi respirasi, penghisapan dapat diperlukan bila pasien tidak
mampu mengeluarkan sekret.
5) Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 m/hari kecuali kontra indikasi
Rasional : Pemasukan tinggi cairan membantu untuk mengencerkan sekret,
membantu untuk mudah dikeluarkan.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi mukopurulen dan
kekurangan upaya batuk
a. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan pola nafas kembali aktif
b. KH : dispnea berkurang, frekuensi, irama dan kedalaman dan pernafasan
normal

c. Intervensi
1) Kaji kualitas dan kedalaman pernafasan penggunaan otot aksesoris, catat
setiap perubahan
Rasional : Kecepatan biasanya meningkat, dispnea terjadi peningkatan kerja
nafas, kedalaman pernafasan dan bervariasi tergantung derajat gagal nafas.
2) Kaji kualitas sputum, warna, bau dan konsistensi
Rasional : Adanya sputum yang tebal, kental, berdarah dan purulen diduga terjadi
sebagai masalah sekunder.
3) Baringkan klien untuk mengoptimalkan pernafasan (semi fowler)
Rasional : Posisi duduk memungkinkan ekspansi paru maksimal upaya batuk
untuk memobilisasi dan membuang sekret.
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan efek
paru, kerusakan membran alveolar, kapiler, sekret kental dan tebal
a. Tujuan : tidak ada tanda-tanda dispnea
b. KH : melaporkan tidak adanya penurunan dispnea, menunjukkan perbaikan
ventilasi dan O2 jaringan adekuat dengan AGP dalam rentang normal, bebes dari
gejala, distres pernafasan.

c. Intervensi dan rasional


1) Kaji dispnea, takipnea, tidak normal atau menurunnya bunyi nafas,
peningkatan upaya pernafasan, terbatasnya ekspansi dinding dada dan
kelemahan.
Rasional : TB paru menyebabkan efek luas pada paru dari bagian kecil
bronkopneumonia sampai inflamasi difus luas nekrosis effure pleural untuk
fibrosis luas.
2) Evaluasi tingkat kesadaran, catat sianosis dan perubahan pada warna kulit,
termasuk membran mukosa dan kuku Rasional : Akumulasi sekret/pengaruh
jalan nafas dapat mengganggu O2 organ vital dan jaringan.
3) Tunjukkan/dorong bernafas dengan bibir selama endikasi, khususnya untuk
pasien dengan fibrosis atau kerusakan parenkim Rasional : Membuat tahanan
melawan udara luar untuk mencegah kolaps atau penyempitan jalan nafas,
sehingga membantu menyebarkan udara melalui paru dan menghilangkan atau
menurunkan nafas pendek. 4) Tingkatkan tirah baring / batasi aktivitas dan bantu
aktivitas pasien sesuai keperluan Rasional : Menurunkan konsumsi
oksigen/kebutuhan selama periode penurunan pernafasan dapat menurunkan
beratnya gejala.
5) Kolaborasi medis dengan pemeriksaan ACP dan pemberian oksigen Rasional
: Mencegah pengeringan membran mukosa, membantu pengenceran sekret.
4. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses peradangan
a. Tujuan : Suhu tubuh kembali normal
b. Kriteria hasil : Suhu tubuh dalam rentang normal (360 C - 370C)

c. Intervensi dan rasional :


1) Pantau suhu tubuh Rasional : Sebagai indikator untk mengetahui status
hipertermi
2) Anjurkan untuk mempertahanan masukan cairan adekuat untuk mencegah
dehidrasi Rasional : Dalam kondisi demam terjadi peningkatan evaporasi yang
memicu timbulnya dehidrasi
3) Berikan kompres hangat pada lipatan ketiak dan femur Rasional :
Menghambat pusat simpatis dan hipotalamus sehingga terjadi vasodilatasi kulit
dengan merangsang kelenjar keringat untuk mengurangi panas tubuh melalui
penguapan
4) Anjurkan pasin untuk memakai pakaian yang menyerap keringat Rasional :
Kondisi kulityang mengalami lembab memicu timbulnya pertumbuhan jamur.
Juga akan mngurangi kenyamanan pasien.
5) Kolaborasi pemberian antipiretik Rasional : Mengurangi panas dengan
farmakologis
5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kelemahan, anoreksia, ketidakcukupan nutrisi
a. Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi (tidak terjadi perubahan nutrisi)
b. Kriteria hasil : pasien menunjukkan peningkatan berat badan dan melakukan
perilaku atau perubahan pola hidup.

c. Intervensi dan rasional:


1). Catat status nutrisi pasien dari penerimaan, catat turgor kulit, berat badan dan
derajat kekurangannya berat badan, riwayat mual atau muntah, diare. Rasional :
berguna dalam mendefinisikan derajat/luasnya masalah dan pilihan intervensi
yang tepat
2). Pastikan pada diet biasa pasien yang disukai atau tidak disukai. Rasional :
membantu dalam mengidentifikasi kebutuhan pertimbangan keinginan individu
dapat memperbaiki masukan diet.
3). Selidiki anoreksia, mual dan muntah dan catat kemungkinan hubungan
dengan obat, awasi frekuensi, volume konsistensi feces. Rasional : Dapat
mempengaruhi pilihan diet dan mengidentifikasi area pemecahan masalah untuk
meningkatkan pemasukan atau penggunaan nutrien.
4). Dorong dan berikan periode istirahat sering. Rasional : Membantu
menghemat energi khususnya bila kebutuhan meningkat saat demam.
5). Berikan perawatan rnulut sebelum dan sesudah tindakan pernafasan. Rasional
: Menurunkan rasa tidak enak karena sisa sputum atau obat untuk pengobatan
respirasi yang merangsang pusat muntah.
6). Dorong makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein. Rasional :
Masukan nutrisi tanpa kelemahan yang tidak perlu atau kebutuhan energi dari
makan makanan banyak dari menurunkan iritasi gaster.
7). Kolaborasi, rujuk ke ahli diet untuk menentukan komposisi diet. Rasional :
bantuan dalam perencanaan diet dengan nutrisi adekuat untuk kebutuhan
metabolik dan diet.
6. Gangguan pola istirahat tidur berhubungan dengan sesak nafas dan batuk.
a. Tujuan : agar pola tidur terpenuhi.
b. Kriteria hasil : pasien dapat istirahat tidur tanpa terbangun.
c. Intervensi dan rasional:
1). Diskusikan perbedaan individual dalam kebutuhan tidur berdasarkan hal usia,
tingkat aktivitas, gaya hidup tingkat stress. Rasional : rekomendasi yang umum
untuk tidur 8 jam tiap malam nyatanya tidak mempunyai fungsi dasar ilmiah
individu yang dapat rileks dan istirahat dengan mudah memerlukan sedikit tidur
untuk merasa segar kembali dengan bertambahnya usia, waktu tidur. Total secara
umum menurun, khususnya tidur tahap IV dan waktu tahap meningkat.
2). Tingkatkan relaksasi, berikan lingkungan yang gelap dan terang, berikan
kesempatan untuk memilih penggunaan bantal, linen dan selimut, berikan ritual
waktu tidur yang menyenangkan bila perlu pastikan ventilasi ruangan baik, tutup
pintu ruangan bila klien menginginkan. Rasional : tidur akan sulit dicapai sampai
tercapai relaksasi, lingkungan rumah sakit dapat mengganggu relaksasi.
7. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan keletihan dan inadekuat
oksigen untuk aktivitas.
a. Tujuan : agar aktivitas kembali efektif.
b. Kriteria hasil : pasien mampu melakukan aktifitas secara mandiri dan tidak
kelelahan setelah beraktivitas.
c. Intervensi dan rasional:
1). Jelaskan aktivitas dan faktor yang meningkatkan kebutuhan oksigen seperti
merokok. suhu sangat ekstrim, berat badan kelebihan, stress. Rasional : merokok,
suhu ekstrim dan stress menyebabkan vasokastriksi yang meningkatkan beban
kerja jantung dan kebutuhan oksigen, berat badan berlebihan, meningkatkan
tahapan perifer yang juga meningkatkan beban kerja jantung.
2). Secara bertahap tingkatan aktivitas harian klien sesuai peningkatan toleransi.
Rasional : mempertahankan pernafasan lambat, sedang dan latihan yang diawasi
memperbaiki kekuatan otot asesori dan fungsi pernafasan.
3). Memberikan dukungan emosional dan semangat Rasional : rasa takut
terhadap kesulitan bernafas dapat menghambat peningkatan aktivitas.
4). Setelah aktivitas kaji respon abnormal untuk meningkatkan aktivitas.
Rasional : intoleransi aktivitas dapat dikaji dengan mengevaluasi jantung
sirkulasi dan status pernafasan setelah beraktivitas.
8. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, aturan tindakan
dan pencegahan berhubungan dengan salah satu interprestasi informasi,
keterbatasan kognitif, tidak lengkap informasi yang ada.
a. Tujuan : pengetahuan pasien bertambah tentang penyakit tuberkulosis paru.
b. Kriteria hasil : pasien menyatakan mengerti tentang penyakit tuberkulosis
paru.
c. Intervensi dan rasional:
1). Kaji kemampuan pasien untuk belajar Rasional : belajar tergantung pada
emosi dari kesiapan fisik dan ditingkatkan pada tahapan individu.
2). Berikan instruksi dan informasi tertulis pada pasien untuk rujukan contoh:
jadwal obat. Rasional : informasi tertulis menentukan hambatan pasien untuk
mengingat sejumlah besar informasi pengulangan menguatkan belajar.
3). Jelaskan dosis obat, frekuensi pemberian, kerja yang diharapkan dan alasan
pengobatan lama, dikaji potensial interaksi dengan obat atau subtansi lain.
Rasional : meningkatkan kerjasama dalam program pengobatan dan mencegah
penghentian obat sesuai perbaikan kondisi pasien..
4). Dorong untuk tidak merokok. Rasional : meskipun merokok tidak
merangsang berulangnya TBC tetapi meningkatkan disfungsi pernafasan.
5). Kaji bagaimana yang ditularkan kepada orang lain Rasional : pengetahuan
dapat menurunkan resiko penularan atau reaktivitas ulang juga komperkasi
sehubungan dengan reaktivitas.
9. Resiko tinggi infeksi terhadap penyebaran atau aktivitas ulang berhubungan
dengan pertahanan primer tidak adekuat, kerusakan jaringan, penekanan proses
inflamasi, mal nutrisi.
a. Tujuan : tidak terjadi infeksi terhadap penyebaran.
b. Kriteria hasil : pasien mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau
menurunkan resiko penyebaran infeksi, melakukan perubahan pola hidup.
c. Intervensi dan rasional:
1). Kaji patologi penyakit dan potensial penyebaran infeksi ' melalui droplet
udara selama batuk, bersin, meludah, bicara, tertawa. Rasional : membantu
pasien menyadari/menerima perlunya mematuhi program pengobatan untuk
mencegah pengaktifan berulang atau komplikasi serta membantu pasien atau
orang terdekat untuk mengambil langkah untuk mencegah infeksi ke orang lain.
2). Identifikasi orang lain yang beresiko, missal: anggota keluarga, sahabat
karib/teman. Rasional : orang-orang yang terpejan ini perlu program terapi obat
untuk mencegah penyebaran/terjadinya infeksi.
3). Kaji tindakan kontrol infeksi sementara, missal: masker atau isolasi
pernafasan. Rasional: dapat membantu menurunkan rasa terisolasi pasien dan
membuang stigma sosial sehubungan dengan penyakit menular.
4). Anjurkan pasien untuk batuk/bersin dan mengeluarkan pada tisu dan
menghindari meludah. Kaji pembuangan tisu sekali pakai dan teknik mencuci
tangan yang tepat, dorong untuk mengulangi demonstrasi. Rasional : perilaku
yang diperlukan untuk mencegah penyebaran
5). Tekanan pentingnya tidak menghentikan terapi obat. Rasional : periode
singkat berakhir 2-3 hari setelah kemoterapi awal, tetapi pada adanya rongga atau
penyakit luas, sedang resiko penyebaran infeksi dapat berlanjut sampai 3 bulan.
6). Dorong memilih mencerna makanan seimbang, berikan makan sering,
makanan kecil pada jumlah, makanan besar yang tepat. Rasional : adanya
anoreksia (mal nutrisi sebelumnya, merendahkan tahapan terhadap proses infeksi
dan mengganggu penyembuhan, makanan kecil dapat meningkatkan pemasukan
semua.

BAB III
MCP KASUS
A. Analisa Kasus
Data fokus Etiologi Masalah Keperawatan
Ds: ps mengatakan sesak Hambatan upaya nafas Gangguan pola nafas
nafas
Do:
- Penggunaan otot
bantu nafas
- Pengembangan dada
tidak asimetris
- Perkusi dada
terdapat dullnes
- Frekuensi nafas 32x
Ds: ps mengatakan batuk Terdapat secret Bersihan jalan nafas tidak
berdahak berwarna kuning, efektif
kadang kemerahaan
Do:
- Batuk berwarna
kuning pekat,
disertai bercak
merah
- Suara nafas
terdengar ronchi
Ds: ps mengatakan susah Gangguan tidur Gangguan pola tidur
tidur karena batuk makin
kuat pada malam hari

Do:
- Ps tampak lemas
- Ps tampak
kesusahan tidur
Ds: Anoreksia Gangguan pemenuhan
- ps tidak nafsu nutrisi
makan
- Ps merasa baju yg
dikenakan terasa
longgar
Do:
- Ps tampak tidak
nafsu makan
- Ps tampak
mengalami
penurunan berat
badan
Ds: ps mengatakan demam Proses penyakit Hipertermi
yg hilang timbul
Do:
- S: 37,5
- Ps tampak demam
pada saat malam
hari

B. Diagnosa keperawatan
1. Gangguan pola nafas b.d hambatan upaya nafas
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d penumpukan secret
3. Gangguan pola tidur b.d gangguan tidur
4. Gangguan pemenuhan nutrisi b.d anoreksia
5. Hipertermi b.d proses penyakit

C. Intervensi keperawatan
Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
keperawatan
Gangguan pola nafas Tujuan: PEMANTAUAN RESPIRASI
b.d hambatan upaya Setelah dilakukan (I.01014)
nafas tindakan keperawatan
selama 3x24 jam Observasi
diharapkan inspirasi dan - Monitor frekuensi, irama,
ekspirasi membaik kedalaman, dan upaya napas
Kriteria Hasil: - Monitor pola napas (seperti
- Tidak bradipnea, takipnea,
terdapatnya hiperventilasi, Kussmaul ,
dispnea Cheyne-Stokes, Biot, ataksik
- Tidak - Monitor kemampuan batuk
terdapatnya efektif
penggunaan otot - Pantau adanya produksi
nafas sputum
- Frekuensi nafas - Monitor adanya sumbatan
membaik jalan napas
- Palpasi kesimetrisan ekspansi
paru
- Auskultasi bunyi napas
- Pantau saturasi oksigen
- Pantau nilai AGD
- Pantau hasil x-ray toraks
Terapeutik
- Atur interval waktu
Pemantauan respirasi sesuai
kondisi pasien
- Dokumentasikan hasil
Pemantauan
Pendidikan
- Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
- Informasikan hasil
Pemantauan, jika perlu
Bersihan jalan nafas Tujuan: Manajemen Jalan Nafas (I. 01011)
tidak efektif b.d Setelah dilakukan
penumpukan secret tindakan keperawatan Observasi
selama 3x24 jam - Monitor pola napas
diharapkan oksigenasi (frekuensi, kedalaman, usaha
membaik, batuk napas)
berkurang - Monitor bunyi napas
Kriteria hasil: tambahan (mis. Gurgling,
- Batuk efektif mengi, weezing, ronkhi
berkurang kering)
- Produksi sputum - Monitor sputum (jumlah,
berkurang warna, aroma)
- Tidak Terapeutik
terdapatnya - Pertahankan kepatenan jalan
sianosis napas dengan head-tilt dan
chin-lift (jaw-thrust jika
curiga trauma cervical)
- Posisikan semi-Fowler atau
Fowler
- Berikan minum hangat
- Lakukan fisioterapi dada, jika
perlu
- Lakukan penghisapan lendir
kurang dari 15 detik
- Lakukan hiperoksigenasi
sebelum
- Penghisapan endotrakeal
- Keluarkan sumbatan benda
padat dengan forsepMcGill
- Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
- Anjurkan asupan cairan 2000
ml/hari, jika tidak
kontraindikasi.
- Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu.
Gangguan pola tidur Tujuan Dukungan tidur
b.d Gangguan tidur Setelah dilakukan Observasi
tindakan keperawatan - Identifikasi pola aktivitas dan
selama 3x24 jam tidur
diharapkan pola tidur - Identifikasi faktor penganggu
membaik tidur
Kriteria hasil: - Identifikasi penggunaan obat
- Pola tidur tidur
membaik Terapeutik
- Tidak ada - Modifikasi lingkungan
gangguan pola - Batasi waktu tidur siang jika
tidur perlu
- Jam tidur - Fasilitasi menghilangkan
membaik stress sebelum tidur
- Sesuaikan jadwal pengunaan
obat
Edukasi
- Jelaskan pentingnya tidur
selama sakit
- Anjurkan menepati kebiasaan
waktu tidur
Gangguan pemenuhan Tujuan: 1. MANAJEMEN
nutrisi b.d anoreksia Setelah dilakukan NUTRISI (I. 03119)
tindakan keperawatan 1. Observasi
selama 3x24 jam o Identifikasi

diharapkan manajemen status nutrisi


o Identifikasi
nutrisi membaik alergi dan
Kriteria hasil: intoleransi
makanan
- Porsi makan
o Identifikasi
membaik makanan
- Berat badan naik yang disukai
o Identifikasi
kebutuhan
- Nafsu makan kalori dan
membaik jenis nutrient
o Identifikasi
perlunya
penggunaan
selang
nasogastrik
o Monitor
asupan
makanan
o Monitor berat
badan
o Monitor hasil
pemeriksaan
laboratorium
2. Terapeutik
o Lakukan oral
hygiene
sebelum
makan, jika
perlu
o Fasilitasi
menentukan
pedoman diet
(mis.
Piramida
makanan)
o Sajikan
makanan
secara
menarik dan
suhu yang
sesuai
o Berikan
makan tinggi
serat untuk
mencegah
konstipasi
o Berikan
makanan
tinggi kalori
dan tinggi
protein
o Berikan
suplemen
makanan, jika
perlu
o Hentikan
pemberian
makan
melalui
selang
nasigastrik
jika asupan
oral dapat
ditoleransi
3. Edukasi
o Anjurkan
posisi duduk,
jika mampu
o Ajarkan diet
yang
diprogramkan
4. Kolaborasi
o Kolaborasi
pemberian
medikasi
sebelum
makan (mis.
Pereda nyeri,
antiemetik),
jika perlu
o Kolaborasi
dengan ahli
gizi untuk
menentukan
jumlah kalori
dan jenis
nutrient yang
dibutuhkan,
jika perlu

Hipertermi b.d proses Tujuan: MANAJEMEN


penyakit Setelah dilakukan HIPERTERMIA (I.15506)
tindakan keperawatan
selama 1 x 24 jam
Observasi
diharapkan temperatur
suhu membaik - Identifkasi penyebab
Kriteria hasil: hipertermi
- Tidak Mengigil - Monitor kadar elektrolit
- Monitor haluaran urine
- Keringat pada
malam hari Terapeutik
berkurang
- Sediakan lingkungan
yang dingin
- Longgarkan atau
lepaskan pakaian
- Basahi dan kipasi
permukaan tubuh
- Berikan cairan oral
- Ganti linen setiap hari
atau lebih sering jika
mengalami
hiperhidrosis (keringat
berlebih)
- Lakukan pendinginan
eksternal (mis. selimut
hipotermia atau
kompres dingin pada
dahi, leher, dada,
abdomen,aksila)
- Hindari pemberian
antipiretik atau aspirin
- Batasi oksigen, jika
perlu

Edukasi

- Anjurkan tirah baring

Kolaborasi

- Kolaborasi cairan dan


elektrolit intravena, jika
perlu
BAB IV
ANALISA JURNAL

1. Jurnal 1
Judul jurnal: potensi penularan tuberculosis paru pada Anggota keluarga penderita

Metode penelitian: Penelitian observasional analitik menggunakan pendekatan cross-


sectional. Sampel penelitian yaitu seluruh penderita TBC paru BTA positif di Wilayah
Kerja Puskesmas Tlogosari Wetan, yang didiagnosa pada bulan Januari-Maret 2019 yang
berjumlah 35 orang.

Hasil penelitian: Seluruh responden terduga TBC paru memiliki intensitas kontak
dengan penderita TBC paru BTA positif setiap harinya lebih dari 8 jam. Sebanyak 3 orang
terduga TBC paru memiliki intensitas kontak 12 jam/hari, sedangkan 2 orang lagi
memiliki intensitas kontak masing-masing 11 jam/hari dan 10 jam/hari. Hal ini karena
terduga TBC paru melakukan kegiatan sehari-hari secara bersama-sama dengan penderita
TBC paru. Diantaranya ada terduga TBC paru yang masih berusia 2 tahun yang selalu
tidur sekamar dengan penderita TBC paru. Ditemukan juga terduga TBC paru yang
berusia dewasa akhir masih masak bersama penderita (ibunya) karena memiliki usaha
catering. Terduga TBC paru yang menginjak usia lansia akhir masih tidur, makan dan
berinteraksi bersama suaminya sebagai penderita TBC paru BTA positif. Semakin sering
kontak dengan penderita TBC paru BTA positif semakin besar peluang terpapar M.
tuberkulosis karena kuman TBC mudah menyebar melalui udara pada orang yang berada
di sekitar penderita terutama pada anak-anak [16] dan kontak penderita BTA positif
kemungkinan lebih efektif daripada kontak penderita BTA negatif [17]. Ada hubungan
intensitas kontak dengan keberadaan tersangka tuberkulosis paru

2. Jurnal 2

Judul jurnal: faktor faktor yang berhubungan dengan tuberkolosis paru relaps pada
pasien di rumah sakit khusus paru provinsi sumatera selatan pada tahun 2015-2016.

Metode penelitian: Desain penelitian ini adalah desktiftif analitik dengan menggunakan
rancangan Cross Sectional. Rancangan Cross Sectional adalah rancangan penelitian
dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat bersamaan atau sekali waktu
(Hidayat,2007). Penelitian ini akan dilaksanakan dibagian Instalasi Rekam Medik Rumah
Sakit Khusus Paru Provinsi Sumatera Selatan pada bulan Agustus 2015 s/d Agustus 2016.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh data penderita TB Paru Relaps yang berobat
di Poliklinik Paru Rumah Sakit Khusus Paru Provinsi Sumatera Selatan. Sampel dalam
penelitian ini adalah seluruh data penderita TB Paru Relaps yang berobat di Poliklinik
Paru Rumah Sakit Khusus Paru Provinsi Sumatera Selatan dari bulan Agustus 2015
sampai dengan bulan Agustus 2016, dimana besar sampel adalah sama dengan jumlah
TB Relaps (total sampling).

Hasil penelitian: Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 1 hasil anlisis statistik
hubungan antara usia dengan kejadian TB Paru Relaps diperoleh bahwa ada sebanyak 34
responden (64,2%) usia 15-55 tahun yang mengalami kejadian TB paru Relaps,
sedangkan pada usia ? 55 tahun ada sebanyak 10 responden (83,3%) yang mengalami
kejadian TB Paru Relaps. Hasil analisis diperoleh nilai p value = 0,309, CI= 0,54-14,1,
OR= 2,79. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan
kejadian TB Paru Relaps. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa tidak ada hubungan
antara usia dengan kejadian TB Paru Relaps. Hal ini bisa diartikan bahwa Seseorang yang
terinfeksi TB Paru Relaps bukan karena dipengaruhi oleh tingkat aktifitas pekerjaan yang
tinggi tetapi dapat juga dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal seperti: kelembapan
rumah, keadaan ventilasi rumah, keadaan jendela rumah, serta pencahayaan alami yang
masuk ke dalam rumah (Sitepu, 2009). Dari hasil analisis statistik hubungan antara
riwayat merokok dengan kejadian TB Paru

3. Jurnal 3:
Judul jurnal: faktor faktor yang berhubungan dengan penyakit Tuberkulosis paru di
wilayah kerja puskesmas Serang kota pada tahun 2019
Metode penelitian: Studi observasional dengan jenis desain case control dilaksanakan
di wilayah kerja Puskesmas Serang Kota pada bulan April-Mei tahun 2019. 23Kelompok
kasus adalah penderita yang terdiagnosis disertai hasil uji laboratorium BTA+ dan
bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Serang kota pada bulan Oktober tahun
2018 sampai dengan Maret tahun 2019 yakni berjumlah 37 kasus. Jumlah kontrol diambil
sama dengan jumlah kasus. Pengambilan sampel untuk kelompok kasus dan kontrol
diambil secara acak dengan memenuhi kriteria inklusi. Variabel penelitian ini adalah
kepadatan hunian, jenis lantai, suhu, riwayat kontak dan kebiasaan merokok.
Pengumpulan data primer diperoleh dari survei, observasi dan pengukuran terhadap
rumah responden dan data sekunder dari penulusuran buku-buku, karya ilmiah, penelitian
terdahulu, laporan dari Dinas Kesehatan Kota Serang dan Puskesmas Serang Kota tahun
2018-2019. Alat penelitian yang digunakan adalah kuesioner, meteran untuk mengukur
kepadatan hunian, lembar observasi dan thermometer untuk mengukur jenis lantai dan
suhu. Analisis data meliputi analisis univariat dan bivariat. Analisis univariat yaitu secara
deskriptif dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi. Analisis bivariat yaitu secara
analitik untuk mengetahui hubungan antara dua variabel dengan uji chi square.
Hasil penelitian: Proporsi kepadatan hunian kamar tidak memenuhi syarat kesehatan
lebih tinggi pada kelompok kasus dibandingkan kelompok control. Begitu pula pada jenis
lantai rumah, suhu, dan riwayat kontak serumah. Namun berbeda pada kebiasaan
merokok proporsinya lebih tinggi pada kelompok control dibandingkan kasus. Terdapat
hubungan antara kepadatan hunian dan riwayat kontak serumah dengan kejadian penyakit
tuberkulosis paru di Wilayah Kerja Puskemas Serang Kota tahun 2019. Sedangkan jenis
lantai, suhu, dan kebiasaan merokok tidak ada hubungan yang signifikan dengan kejadian
penyakit tuberkulosis paru di Wilayah Kerja Puskemas Serang Kota tahun 2019
JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT INDONESIA
(The Indonesian Journal of Public Health)
https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/jkmi, jkmi@unimus.ac.id
Volume 15, Nomor 1, Mei 2020

Original Article Open Access

Potensi Penularan Tuberculosis Paru pada Anggota Keluarga Penderita

Tri Dewi Kristini1,2✉, Rana Hamidah1


1
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Semarang
2
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah

Info Artikel Abstrak


Diterima 2 April 2020 Latar Belakang: Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang disebabkan
Disetujui 9 April 2020 Mycobacterium tuberculosis. Penularan terjadi ketika penderita TBC paru BTA
Diterbitkan 28 Mei 2020 positif batuk atau bersin dan tanpa disengaja penderita menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk percikan dahak. Seorang penderita tuberkulosis paru BTA positif dapat
menginfeksi 10-15 orang di sekitarnya. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
Kata Kunci: distribusi terduga dan kasus baru TBC paru di sekitar tempat tinggal penderita TBC
Mycobacterium Tuberculosis paru BTA positif. Metode: Jenis penelitian observasional analitik dengan pendekatan
Tuberkulosis Paru cross sectional. Populasi penelitian sebanyak 70 orang adalah seluruh anggota
keluarga dari 35 penderita TBC paru BTA positif yang didiagnosa pada bulan
Kontak Erat
Januari-Maret 2019 dan sedang menjalani pengobatan di wilayah kerja puskesmas
Tlogosari Wetan. Sampel penelitian ditetapkan secara toral sampling. Hasil:
e-ISSN: Intensitas kontak responden dengan penderita lebih dari 8 jam/hari sebanyak 71,4%.
2613-9219 Seluruh responden memiliki tingkat kepadatan hunian yang baik, artinya hunian tidak
dalam kategori padat. Responden yang merokok hanya 14,4%. Ventilasi kamar
Akreditasi Nasional: sebanyak 97,1% telah memenuhi standar kesehatan. status gizi hanya menemukan
Sinta 4 1,4% responden yang masuk kategori kurus. Simpulan: Dari 70 anggota keluarga
penderita TBC paru BTA positif ditemukan 5 orang terduga TBC paru. Diantara 5
orang terduga TBC paru tidak didapatkan kasus baru TBC paru.

Abstract
Keywords: Background: Pulmonary tuberculosis is an infectious disease caused by
Mycobacterium Tuberculosis Mycobacterium tuberculosis. Transmission occurs when a positive smear pulmonary
Pulmonary Tuberculosis TB patient coughs or sneezes and the patient accidentally spreads germs into the air in
the form of sputum splashes. A patient with positive smear pulmonary tuberculosis
Close Contact
can infect 10-15 people around him. This study aims to determine the distribution of
suspected and new cases of pulmonary TB around the residence of patients with
✉ positive smear pulmonary TB. Method: This was an observational analytic study
Coresponding author: with a cross-sectional approach. The study population of 70 people was all family
dewi_kristini@yahoo.com members of 35 patients with positive smear pulmonary tuberculosis who were
diagnosed in January-March 2019 and were undergoing treatment in the work area of
the Tlogosari Wetan Primary Health Care. The research sample was determined by
toral sampling. Results: The intensity of respondents' contact with patients more than
8 hours/day was 71.4%. All respondents have a good level of occupancy, meaning
that occupancy is not in the dense category. Only 14.4% of respondents smoke. Room
ventilation as much as 97.1% have met health standards. nutritional status only found
1.4% of respondents were categorized as thin. Conclusion: From 70 family members
of positive smear pulmonary TB patients found 5 people suspected of pulmonary TB.
Among the 5 people suspected of pulmonary TB no new cases of pulmonary TB were
found.

© 2020 Program Studi S-1 Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Semarang

Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia, Volume 15, Nomor 1, Halaman 24-28, 2020 | 24
Pendahuluan tertular TBC paru [11]. Faktor risiko terduga TBC paru
Tuberkulosis paru yang sering dikenal dengan adalah orang yang menetap satu atap rumah dengan
TBC paru disebabkan bakteri Mycobacterium penderita TBC paru BTA positif [4], pendidikan [9],
tuberculosis (M. tuberculosis) dan termasuk penyakit merokok [8]-[9], lingkungan fisik rumah [9], daya
menular [1]. TBC paru mudah menginfeksi pengidap tahan tubuh, perilaku penderita TBC paru BTA positif
HIV AIDS [2], orang dengan status gizi buruk dan yaitu kebiasaan membuang dahak sembarangan dan
dipengaruhi oleh daya tahan tubuh seseorang [3]. tidak menutup mulut ketika batuk atau bersin,
Penularan TBC paru terjadi ketika penderita TBC paru kepadatan hunian yaitu perbandingan antara luas
BTA positif bicara, bersin atau batuk dan secara tidak rumah dengan jumlah anggota keluarga [12].
langsung penderita mengeluarkan percikan dahak di Lamanya waktu kontak atau intensitas kontak
udara dan terdapat ±3000 percikan dahak yang dengan penderita TBC paru dapat menyebabkan
mengandung kuman [4]. seseorang terpapar M. tuberculosis [4], sehingga harus
Kuman TBC paru menyebar kepada orang lain dapat mengendalikan penularan M. tuberculosis
melalui transmisi atau aliran udara (droplet dahak melalui deteksi kasus dan pengobatan pasien TBC paru
pasien TBC paru BTA positif) ketika penderita batuk [13], dengan memutus rantai infeksi. Penularan M.
atau bersin [3], [4]. TBC paru dapat menyebabkan tuberculosis harus dihentikan untuk mencegah adanya
kematian apabila tidak mengkonsumsi obat secara terduga TBC paru dan kasus baru TBC [14].
teratur hingga 6 bulan. Selain berdampak pada individu Penemuan kasus TBC paru secara aktif lebih
juga berdampak pada keluarga penderita, yaitu dampak efektif dilakukan pada populasi yang berisiko tinggi,
psikologis berupa kecemasan, penurunan dukungan seperti yang dilakukan di Kamboja dengan melihat
dan kepercayaan diri yang rendah [5]. penderita TBC paru yang kontak serumah dan kontak
TBC paru masih menjadi masalah kesehatan tetangga [15]. Akan tetapi dengan adanya kasus TBC
global [6]. WHO tahun 2017 melaporkan terdapat 1,3 paru yang tinggi, penemuan kasus aktif sering tidak
juta kematian yang diakibatkan TBC paru dan terdapat dilaksanakan dan mengakibatkan penundaan lama
300.000 kematian diakibatkan TBC paru dengan HIV. dalam diagnosis dan pengobatan [14].
Indonesia merupakan negara dengan peringkat ketiga Angka penemuan semua kasus TBC (Case
setelah India dan Cina dalam kasus TBC paru [7], Detection Rate) sejak bulan Januari hingga Desember
ditunjukkan dari dua per tiga jumlah kasus TBC di tahun 2018 di Kota Semarang sebanyak 4.252 kasus.
dunia diduduki delapan negara, diantaranya India 27%, Puskesmas Tlogosari Wetan menduduki peringkat
Cina 9%, Indonesia 8%, Filipina 6%, Pakistan 5%, pertama sebagai fasilitas pelayanan kesehatan
Nigeria dan Bangladesh masing-masing 4% dan Afrika (Puskesmas) dengan angka temuan kasus TBC paru
Selatan 3% [7]. Prevalensi TBC paru di Indonesia BTA positif tertinggi, yaitu sebanyak 66 kasus.
terbagi menjadi tiga wilayah, diantaranya Sumatera Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi
33%, Jawa dan Bali 23%, dan Indonesia bagian timur kejadian kasus baru TBC paru pada anggota keluarga
44% [8]. penderita TBC paru BTA positif.
TBC paru termasuk penyakit yang paling
banyak menyerang usia produktif (15-49 tahun) [7]-[9] Metode
Penderita TBC BTA positif dapat menularkan TBC Penelitian observasional analitik menggunakan
pada segala kelompok usia. Tahun 2017 di kota pendekatan cross-sectional. Sampel penelitian yaitu
Semarang terdapat penderita TBC semua tipe, pada seluruh penderita TBC paru BTA positif di Wilayah
kelompok usia bayi dan anak 24%, pada kelompok usia Kerja Puskesmas Tlogosari Wetan, yang didiagnosa
15-44 tahun adalah 40% dan pada kelompok usia lebih pada bulan Januari-Maret 2019 yang berjumlah 35
dari 55 tahun adalah 22% [10]. Presentase TBC paru orang. Dimana pada bulan Januari 2019 terdapat 8
semua tipe pada orang berjenis kelamin laki-laki lebih orang, bulan Februari 2019 terdapat 15 orang dan
besar daripada orang berjenis kelamin perempuan bulan Maret 2019 terdapat 12 orang. Penderita tinggal
dikarenakan laki-laki kurang memperhatikan di Wilayah Kerja Puskesmas Tlogosari Wetan Kota
pemeliharaan kesehatan diri sendiri serta laki-laki Semarang yang terbagi dalam 8 kelurahan, diantaranya
sering kontak dengan faktor risiko dibandingkan Tlogosari Wetan, Plamongan Sari, Palebon, Penggaron
dengan perempuan [9]-[10]. Kidul, Pedurungan Lor, Pedurungan Kidul,
Laki-laki lebih banyak memiliki kebiasaan Pedurungan Tengah dan Tlogomulyo. Sampel
merokok dan konsumsi alkohol, kebiasaan tersebut penelitian ditetapkan dengan total sampling dari
dapat menurunkan imunitas tubuh dan akan mudah seluruh anggota keluarga penderita, sebanyak 70 orang.

Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia, Volume 15, Nomor 1, Halaman 24-28, 2020 | 25
Hasil Responden paling banyak memiliki pekerjaan
wiraswasta, dengan prosentase masing sebesar 20% .
Tabel 1. Hasil Observasi Variabel Tertinggi berikutnya bekerja sebagai pegawai swasta
dengan prosentase 14,3% dan kelompok.
Frekuensi Persentase Pengamatan gejala klinis yang muncul adalah
Variabel
(f) (%)
adanya batuk berdahak selama lebih dari dua minggu
Jenis Kelamin
Laki-Laki 37 52,9 ditemukan pada 5 responden. Gejala lain diantaranya
Perempuan 33 47,1 nafsu makan turun, berat badan berkurang dan badan
Kategori Umur
Anak-Anak (< 11 th) 16 22,9 terasa lemas masing-masing ditemukan pada seorang
Remaja Awal (12-16 th) 6 8,6 responden. Ke-5 orang responden dengan keluhan
Remaja Akhir (17-25 th) 11 15,7
Dewasa Awal (26-35 th) 7 10,0
batuk berdahak lebih dari 2 minggu menjadi responden
Dewasa Akhir (36-45 th) 11 15,7 terduga mengalami TBC paru. Hubungan kelima
Lansia Awal (46-55 th) 11 15,7 responden terduga TBC paru dengan penderita adalah
Lansia Akhir (56-65 th) 7 10,0
Manula (> 65 th) 1 1,4 sebagai anak (2 orang), istri (1 orang), ayah (1 orang)
Tingkat Pendidikan dan mertua (1 orang).
Tidak sekolah/Belum Tamat SD 16 22,9
Tamat SD 5 7,1 Berdasarkan tes cepat molekuler (TCM)
Tamat SMP 13 18,6 diketahui 4 orang dewasa terduga TBC paru
Tamat SMA 26 37,1
Tamat Perguruan Tinggi 10 14,3
dinyatakan negatif seluruhnya. Terduga TBC paru pada
Jenis Pekerjaan anak berusia 2 tahun dilakukan sistim skoring TB anak
Swasta 10 14,3 [15] dikarenakan dahak anak tidak dapat keluar
Wiraswasta 15 21,5
PNS/TNI/POLRI 6 8,6 sehingga tidak dapat dilakukan TCM dan dari sistim
Sopir 2 2,8 skoring TB anak didapatkan hasil negatif. Artinya dari
Pensiunan 2 2,8
Tidak bekerja 35 50,0 70 responden tidak ditemukan adanya kasus baru
Gejala Klinis Terlihat tuberkulosis paru.
Batuk lama dan berdahak ≥ 2 minggu 5 7,1
Intensitas kontak merupakan banyaknya waktu
Batuk bercampur darah 0 0,0
Sesak nafas 0 0,0 berinteraksi penderita TBC paru BTA positif dengan
Nyeri dada 0 0,0 responden yang berada di sekitarnya (keluarga dan
Nafsu makan menurun 1 1,4
Berat Badan turun 1 1,4 tetangga) dalam sehari-hari. Lama interaksi dapat
Badan terasa lemas 1 1,4 dilihat dari menghabiskan waktu dengan penderita
Demam/meriang yang berkepanjangan 0 0,0
Berkeringat malam hari tanpa aktivitas 0 0,0 berupa menonton TV bersama, masak bersama,
Terduga TB Paru mengerjakan tugas rumah bersama, bercakap-cakap
Ada 5 7,1
bersama dengan waktu yang lama tanpa menggunakan
Tidak Ada 65 92,9
Intensitas Kontak masker, makan dan tidur bersama dalam satu ruangan
Berisiko (≥ 8jam/hr) 50 71,4 yang lebih dari 8 jam/hari.
Tidak Berisiko (< 8jam/hr) 20 28,6
Kepadatan Hunian Anggota keluarga dengan intensitas kontak
Padat (< 9m2/org) 0 0,0 kategori berisiko sebesar 71,4%. Seluruh responden
Tidak Padat (≥ 9m2/org) 70 100,0
Kebiasaan Merokok
dari anggota keluarga tinggal dengan kondisi tidak
Perokok Berat (≥ 15 batang) 0 0,0 padat hunian (< 9m2/orang). Sebanyak 7 orang
Perokok Sedang (5-14 batang) 7 10,0 responden dari kelompok keluarga merupakan perokok
Perokok Ringan (1-4 batang) 1 1,4
Tidak Merokok 62 88,6 sedang yang menghabiskan 5-14 batang rokok setiap
Ventilasi Kamar hari, dan seorang perokok ringan yang menghabiskan
Memenuhi Syarat Kesehatan 68 97,1
Tidak Memenuhi Syarat kesehatan 2 2,9 1-4 batang rokok/hari. Responden anggota keluarga
Status Gizi memiliki ventilasi kamar yang memenuhi syarat
Kurus (IMT < 18,5) 1 1,4 kesehatan (lubang ventilasi ≥ 10% luas lantai kamar)
Normal (IMT 18,5-24,9) 60 85,7
Gemuk (IMT ≥ 25) 9 12,9 sebesar 97,1%. Terdapat satu orang responden anggota
keluarga yang memiliki status gizi kurus (IMT < 18,5).
Responden berjenis kelamin laki-laki sebanyak
52,9% dan perempuan sebanyak 47,1%. Kelompok Pembahasan
umur terbanyak terdapat pada kelompok anak-anak Seluruh responden terduga TBC paru memiliki
(22,9%) sebanyak 16 orang (22,9%). Kategori tidak intensitas kontak dengan penderita TBC paru BTA
sekolah merupakan anak-anak usia 1 tahun hingga 11 positif setiap harinya lebih dari 8 jam. Sebanyak 3
tahun yang belum sekolah atau belum tamat SD. orang terduga TBC paru memiliki intensitas kontak 12

Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia, Volume 15, Nomor 1, Halaman 24-28, 2020 | 26
jam/hari, sedangkan 2 orang lagi memiliki intensitas dalam tubuh manusia dan sewaktu-waktu mampu
kontak masing-masing 11 jam/hari dan 10 jam/hari. menjadi TBC aktif [19]. Maka diperlukan
Hal ini karena terduga TBC paru melakukan kegiatan kewaspadaan dari responden yang terduga TBC paru.
sehari-hari secara bersama-sama dengan penderita TBC Sebanyak 5 orang responden yang terduga TBC
paru. Diantaranya ada terduga TBC paru yang masih paru memiliki ventilasi kamar yang memenuhi syarat
berusia 2 tahun yang selalu tidur sekamar dengan kesehatan yaitu lubang ventilasi kamar ≥ 10% luas
penderita TBC paru. Ditemukan juga terduga TBC lantai. Akan tetapi, masih ditemukan kesadaran yang
paru yang berusia dewasa akhir masih masak bersama kurang dari responden dalam hal ventilasi yang jarang
penderita (ibunya) karena memiliki usaha catering. dibuka dan masih ada ventilasi yang tertutup sehingga
Terduga TBC paru yang menginjak usia lansia ventilasi tidak berfungsi dengan semestinya. Ventilasi
akhir masih tidur, makan dan berinteraksi bersama responden yang jarang dibuka dan tertutup akan
suaminya sebagai penderita TBC paru BTA positif. menyebabkan udara di dalam ruangan tidak dapat
Semakin sering kontak dengan penderita TBC paru tertukar dan tidak ada cahaya matahari yang masuk,
BTA positif semakin besar peluang terpapar M. kuman M. tuberculosis tidak mampu bertahan lama
tuberkulosis karena kuman TBC mudah menyebar jika terkena cahaya matahari langsung [20].
melalui udara pada orang yang berada di sekitar Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian
penderita terutama pada anak-anak [16] dan kontak yang dilakukan sebelumnya di wilayah kerja
penderita BTA positif kemungkinan lebih efektif Puskesmas Panjang, Lampung pada tahun 2018
daripada kontak penderita BTA negatif [17]. Ada menyatakan bahwa faktor lingkungan fisik rumah
hubungan intensitas kontak dengan keberadaan (ventilasi) berhubungan dengan kejadian tuberkulosis
tersangka tuberkulosis paru [16]. paru [21]. Terdapat 4 orang terduga TBC paru yang
Lima terduga TBC paru tidak ada yang tinggal memiliki status gizi normal dan 1 orang terduga TBC
di keluarga yang memiliki kepadatan hunian dengan paru memiliki status gizi kurus. Terduga TBC paru
kategori padat, hal ini karena jumlah penghuni rumah dengan status gizi kurus dimungkinkan karena terduga
atau anggota keluarga yang tinggal satu atap berkisar TBC paru sudah memasuki fase lansia akhir dan tidak
antara 2 orang hingga 6 orang dengan luas rumah yang memiliki gigi yang sempurna sehingga terjadi
berkecukupan sehingga kepadatan hunian ≥ 9m2/orang. ketidakseimbangan energi positif dan mengalami
Beberapa terduga TBC paru berasal dari keluarga yang penurunan berat badan [22].
kepadatan huniannya tidak padat mengalami kepadatan Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
hunian ketika hari libur panjang, yang mana banyak dilakukan di Palembang tahun 2011, Sumatera Selatan
sanak saudara yang menginap di rumah terduga TBC menyatakan variabel yang berpengaruh terhadap
paru. kejadian TBC paru adalah status gizi yang buruk
Penularan TBC paru berhubungan dengan (<18,4) [23]. Status gizi merupakan faktor yang
kondisi rumah dengan kategori padat dan terdapat menentukan tuberkulosis di Banyumas terutama pada
penderita TBC paru BTA positif [4], karena sumber anak-anak karena kerentanan sistem kekebalan tubuh
penularan TBC paru adalah penderita TBC paru BTA mereka terhadap infeksi TBC paru. Peran orang tua
positif. Sehingga tidak semua rumah yang memiliki sangat dibutuhkan untuk mempertahankan status gizi
kategori padat hunian selalu berisiko terkena TBC paru anak-anak [24].
apabila di dalam rumah tersebut tidak terdapat
penderita TBC paru BTA positif. Kemungkinan dapat Kesimpulan
juga terjadi penularan TBC paru pada keluarga yang Dari 70 responden anggota keluarga penderita
tidak padat hunian ataupun padat hunian jika di dalam TBC paru BTA positif ditemukan 5 orang terduga TBC
rumah tersebut terdapat penderita TBC paru BTA paru yang 100% tinggal satu rumah dengan penderita,
positif [11], [12], [15], [17], [18]. namun diantara 5 orang terduga TBC paru tersebut
Hasil penelitian di lapangan didapatkan data tidak didapatkan kasus baru TBC paru. Pengelolaan
dari 5 orang terduga TBC paru 80% bukan perokok, penderita dengan baik akan menjaga setiap anggota
hanya seorang diantaranya memiliki kebiasaan keluarga dari risiko tertular walaupun sebenarnya
merokok dengan kategori perokok ringan. Hal ini risiko itu sangat memungkinkan terjadi.
mungkin tidak terjadinya penularan TBC paru karena
responden yang terduga TBC paru merupakan perokok Daftar Pustaka
ringan. Kemungkinan yang lain juga terjadi karena [1] Vidyastari YS, Cahyo K, Riyanti E. Faktor –
infeksi TBC laten, yaitu tidurnya M. tuberkulosis Faktor Yang Mempengaruhi Pencapaian Target

Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia, Volume 15, Nomor 1, Halaman 24-28, 2020 | 27
Cdr (Case Detection Rate) Oleh Koordinator [14] Yuen CM, Amanullah F, Dharmadhikari A, et
P2tb Dalam Penemuan Kasus di Puskesmas al. Turning off the tap : Stopping Tuberculosis
Kota Semarang. Kesehat Masy. 2019;7(1). Transmission Through Active Case Finding
[2] Indonesia DJ. Pengendalian Penyakit Dan And Prompt Effective Treatment. Lancet.
Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan 2015;386(10010):2334-2343.
Republik. Buku Saku Kader Program [15] Morishita F, Eang MT, Nishikiori N, Yadav R.
Penanggulangan Tb.; 2009. Increased Case Notification through Active
[3] Dinas Kesehatan Jawa Tengah. Profil Kesehatan Case Finding of Tuberculosis among Household
Provinsi Jawa Tengah. Vol 3511351.; 2016. and Neighbourhood Contacts in Cambodia.
[4] Kementerian Kesehatan RI. ditjen Penyakit Dan 2016:1-15. doi:10.1371/journal.pone.0150405
PenyehatanLingkungan. Pedoman Nasional [16] Herawati D, Sayono, Handoyo W. Distribusi
Pengendalian Tuberkulosis. 2011. Tersangka Tuberkulosis Paru Pada Keluarga
[5] Astuti S. Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Penderita Tuberkulosis Paru BTA Positif. 2018.
Sikap Masyarakat Terhadap Upaya Pencegahan http://repository.unimus.ac.id.
Penyakit Tuberkulosis di RW 04 Kelurahan [17] Anggraeni DE, Rahayu SR. Gejala Klinis
Lagoa Jakarta Utara Tahun 2013. 2013;1. Tuberkulosis Pada Keluarga Penderita
[6] Guno TH, Putra BA, Kamelia T, Makmun D. Tuberkulosis BTA Positif. Higeia2.
Diagnostic and Therapeutic Approach in 2018;2(1):91-101.
Intestinal Tuberculosis. 2016;17(2). [18] Bigogo G, Cain K, Nyole D, et al. Tuberculosis
[7] World Helath Organization. Global Case Finding Using Population- Based Disease
Tuberculosis Report.; 2018. Surveillance Platforms In Urban And Rural
[8] Sugiarti S, Ramadhian MR, Carolia N. Vitamin Kenya. 2018:1-12.
D sebagai Suplemen dalam Terapi Tuberkulosis [19] Hidayat R, Bahar H, Ismail CS. Skrining dan
Paru. 2018;7(11):198-202. Studi Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis Paru
[9] Nurjana MA. Faktor Risiko Terjadinya Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A
Tuberculosis Paru Usia Produktif ( 15-49 Tahun Kendari Tahun 2017. JIMKESMAS. 2017;2(6).
) Di Indonesia.Media Litbangkes. [20] Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri
2015;25(3):163-170. Kesehatan RI nomor 67 tahun 2016. 2017;(122).
[10] Dinas Kesehatan KotaSemarang. Profil [21] Perdana AA, Putra YS. Hubungan Faktor
Kesehatan Kota Semarang 2017.; 2017. Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian TB
www.dinkes.semarangkota.go.id. Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Panjang,
[11] Dotulong JFJ, Sapulete MR, Kandou GD. Lampung. 2018;9(April).
Hubungan Faktor Risiko Umur, Jenis Kelamin [22] Schwenk A, Hodgson L, Wright A, et al.
Dan Kepadatan Hunian Dengan Kejadian Nutrient Partitioning During Treatment Of
Penyakit Tb Paru Di Desa Wori Kecamatan Tuberculosis : Gain In Body Fat Mass But Not
Wori.Kedokt Komunitas dan Trop. In Protein Mass. 2004;(5):1006-1012.
2015;III(2):57-65. [23] Unita H, Haryoto V. Tuberkulosis Paru di
[12] Wulandari AA, Nurjazuli, Adi MS. Faktor Palembang, Sumatera Selatan. Kesehat Masy
Risiko dan Potensi Penularan Tuberkulosis Paru Nas. 2011;5(72).
di Kabupaten Kendal , Jawa Tengah. [24] Zuraida ZF, Pramatama S, Wijayanti M. Risk
2015;14(1):7-13. Factors Associated With Childhood
[13] Shalsabila M, Cahyo SK, Indraswari R. Tuberculosis : A Case Control Study In
Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Endemic Tuberculosis Area. 2018;5(11):4702-
Pencapaian Target CDR Oleh Kader TB 4706.
’Aisyiyah Dalam Penemuan Kasus TB di Kota
Semarang. 2018;6(4).

Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia, Volume 15, Nomor 1, Halaman 24-28, 2020 | 28
Herawati Jaya, Devi MediartiFaktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tuberkulosis Paru Relaps
pada Pasien di Rumah Sakit Khusus Paru Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2015-2016

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN


TUBERKULOSIS PARU RELAPS PADA PASIEN DI RUMAH SAKIT
KHUSUS PARU PROVINSI SUMATERA SELATAN TAHUN 2015-2016

Herawati Jaya, Devi Mediarti


Program Studi Ilmu Keperawatan Poltekkes Kemenkes Palembang
E-mail: heraj39@yahoo.com
devi.mediarti@gmail.com
Diterima: 25 Juni 2017 Revisi: 15 Juli 2017 Disetujui: 28Okt 2017

ABSTRAK
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobakterium tuberculosis. Sedangkan tuberkulosis paru Relaps adalah penderita
Tuberkulosis Paru yang dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap kemudian dating
kembali berobat dengan hasil pemeriksaan batuk berdahak Basil Tahan Asam positif. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui factor resiko tuberculosis paru Relapsdi Rumah Sakit
Khusus Paru Provinsi Sumatera Selatan tahun 2016. Penelitian ini menggunakan pendekatan
Cross Sectional. Populasi dalam penelitian ini meliputi populasi kasus yaitu penderita TB
paru yang mengalami kekambuhan dan populasi kontrol yaitu penderita TB paru yang sudah
dinyatakan sembuh. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh data penderita TB Paru
Relaps yang berobat di Poliklinik Paru Rumah Sakit Khusus Paru Provinsi Sumatera Selatan
(total sampling) tahun 2015-2016.Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat dengan
menggunakan uji chi square.Hasil penelitian dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara
usia dengan kejadian TB paru Relaps(p:0,309; CI: 0,54-14,1; OR: 2,79), tidak ada hubungan
antara jenis kelamin dengan kejadianTBparuRelaps(p:0,909;CI:0,308-2,82;OR:0,933), ada
hubungan antara pendidikan dengan kejadian TB paru Relaps(p:0,017; CI: 1,2-14,6; OR: 4,2),
tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan kejadian TB paru Relaps(p:0,401; CI: 0,18-1,97;
OR: 0,6), ada hubungan antara riwayat merokok dengan kejadian TB paru Relaps
(p:0,045;CI:1,0-10,3;OR:3,2), tidak ada hubungan antara dengan kejadian TB paru Relaps
(p:0,309;CI:0,54-14,1;OR:2,79).

Kata kunci : Tuberkulosis Paru, Kambuh

PENDAHULUAN menyerang organ paru.TBparu


Dewasa ini banyak diperkirakan telah menginfeksi sekitar
penyakitmenular yang telah mampu sepertiga penduduk dunia.Sebanyak 95%
diatasi bahkan adayang telah dibasmi kasus dan 98% kematian akibat penyakit
berkat kemajuan teknologi, akan tetapi ini terjadi di negara-negara
masalah penyakit menular masih tetap berkembang (Kep.Menkes,2009).
dirasakan oleh sebagian besar penduduk Data WHO tahun 2009
Negara sedang berkembang salah satunya menyebutkan bahwa, diperkirakan
penyakit Tuberkulosis Paru (Noor,2006). masih terdapat sekitar 9,5 juta kasus
Tuberkulosis (TB) Paru adalah baru dan sekitar 0,5 jutaorang
suatu penyakit infeksi menular yang meninggal akibat TB Paru di Dunia.
disebabkan Mycobakterium WHO dalam Global Tuberculosis
tuberculosis. Bakteri tersebut dapat Report 2012 melaporkan bahwa
menyerang hampir seluruh organ tubuh Indonesia berada di peringkat kelima
manusia, tetapi sebagian besar dari 22 negara dengan masalah TB

ISSN :2579 5325 71


JPP (Jurnal Kesehatan Palembang) Volume 12 No. 1 Juni 2017

terbesar 429.730 orang dan jumlah umur tidak berpengaruh terhadap


kasus baru 183.366 kasus. kejadian penyakit TB paru Relaps. TB
TB Paru Relaps atau TB Paru paru dapat terjadi pada umur berapapun
kambuh adalah penderita TB Paru yang apabila tubuh tidak dapat melawan
sebelumnya pernah mendapat infeksi TB paru karena adanya malnutrisi
pengobatan TB Paru dan telah dan penurunan daya tahan tubuh.
dinyatakan sembuh atau pengobatan Penelitian menurutSitepu, 2009
lengkap, didiagnosis kembali dengan TB menyatakan bahwa penderita TB Paru
BTApositif berdasarkan pemeriksaan Relapsl ebih banyak berkelamin laki-
apusan atau kultur. Kasus Relaps terjadi laki (64,9%) dibandingkan perempuan
di beberapa Negara di dunia, antara lain (35,1%) hal ini terjadi karena pada laki-
di India dengan jumlah kasus Relaps laki aktivitas kerja dan interaksi sosial
sebanyak 106.463 kasus, korea dengan yang tinggi sehingga menyebabkan
jumlah kasus Relaps sebanyak 6.701 meningkatnya resiko untuk terpapar
kasus, Myanmar dengan jumlah kasus kembali bakteri TB. Selain itu,
Relaps sebanyak 4.558 kasus, dan konsumsi alcohol dan kebiasaan
Bangladesh dengan jumlah kasus Relaps merokok yang menyebabkan penurunan
sebanyak 3.065 kasus (WHO, 2013). daya tahan tubuh juga lebih sering
Faktor yang dapat mempengaruhi dijumpai pada laki-laki sehingga
terjadinya kekambuhan TB Paru menjadi lebih mudah terkena infeksi.
Relapsyaitu harus ada infeksi, jumlah Tingkat pendidikan sangat
basil penyebab infeksi harus cukup, berpengaruh terhadap kemempuan
virulensi yang tinggi dari basil penderita menerima informasi tentang
tuberculosis, daya tahan tubuh yang penyakit, terutama TB Paru.Kurang
menurun memungkinkan basil Informasi tentang penyakit TB Paru
berkembang biak dan keadaan ini menyebabkan kurang pengertian
menyebabkan timbulnya kembali penderita terhadap penyakit dan
penyakit TB paru, perilaku kebiasaan bahayanyasehingga menyebabkan
merokok, pengobatan terlalu pendek dan berkurangnya kepatuhan penderita
kemungkinan resistensi obat (Depkes RI, terhadap pengobatan atau berhenti
2006). berobat bila gejala penyakit tidak
Penelitian yang dilakukan oleh dirasakan lagi (Aditama,2005).
Suryanto, A (2001) di Rumah Penelitian yang dilakukan oleh
SakitUmum Kariadi Semarang Wahyuni, 2013 mendapatkan hasil
padatahun 1998 menemukan 347 bahwa sebagian besar penderita TB
penderita TB paru dengan kasus kambuh Paru bekerja disektor informal seperti
(Relaps) sebanyak 9 orang (9,4%) buruh bangunan, sopir truk, pengangkat
berumur 15-55 tahun. W H O (1995) kayu, dan petani dengan aktivitas lebih
menyatakan bahwa di Negara rentan terhadap paparan debu dan asap.
berkembang 75% penderita TB Paru Separuh kematian karena TB Paru pada
terjadi pada kelompok usia Produktif 15- laki-laki disebabkan merokok dan 3,
50 tahun (Depkes RI,2006). 25 dari perokok berkembang menjadi
Menurut Aditama (2002) bahwa penderita tuberculosis paru. Kematian

72 ISSN :2579 5325


Herawati Jaya, Devi MediartiFaktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tuberkulosis Paru Relaps
pada Pasien di Rumah Sakit Khusus Paru Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2015-2016

pada penderita Tb paru adalah 4 kali Relapsyang dapat meningkatkan


lebih besar pada kelompok merokok sumber penularan TB Paru sehingga
dibanding yang tidak merokok dapat menghambat tercapainya tujuan
(Gajalakshmi, 2003). pengobatan dan pengendalian TB Paru.
Merokok dapat menyebabkan Berdasarkan latar belakang diatas maka
kelainan fungsi paru obstruktif, peneliti tertarik untuk melakukan
pneumonia, influenza danpenyakit penelitian mengenai faktor resiko
infeksi pernafasan akut (Eisner, 2008). Tuberkulosis Paru Relapsdi Rumah Sakit
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Khusus Paru Provinsi Sumatera Selatan
Wulandari (20012), mendapatkan tahun 2016.
bahwa Diabetes Mellitus dapat Tujuan penelitian ini adalah untuk
meningkatkan resiko TB latenmenjadi menganalisis faktor resikoTuberkulosis
TB aktif, hal itu dapat dikerenakan Paru Relapsdi Rumah Sakit Khusus
akibat adaya gangguan system imun Paru Provinsi Sumatera Selatan.tujuan
pada penderita DM. Ketaatan penderita khusus penelitian ini antaralain
dalam keteraturan meminum obat adalah mengidentifikasi factor resiko
secara terus-menerus. Penelitian Tuberkulosis Paru Relaps antara
Wahyuni (2003) di Puskesmas lain:usia, jenis kelamin, pendidikan,
Perawatan Pengkalan Brandan pekerjaan, merokok, penyakit penyerta
Kabupaten langkat dengan desain Case dan kepatuhan berobat.
Series yang memperoleh hasil
proporsi tertinggi terdapat pada METODE PENELITIAN
penderita yang patuh menjalani Desain penelitian ini adalah
pengobatan sebesar 87,9%. desktiftif analitik dengan menggunakan
Jumlah kasus pengobatan ulang di rancangan Cross Sectional.Ran-
Indonesia adalah sebanyak 8.542 kasus cangan Cross Sectionaladalah
dan 70% diantaranya merupakan kasus rancangan penelitian dengan mela-
Relaps. Berdasarkan data Profil Dinas kukan pengukuran atau pengamatan
Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan pada saat bersamaan atau sekali waktu
tahun2015 jumlah penduduk sebesar (Hidayat,2007).
7.941.500 jiwa (BPS). Dari 17 (tujuh Penelitian ini akan dilaksanakan di
belas) kabupaten yang ada, jumlah bagian Instalasi Rekam Medik Rumah
penduduk terbesar terdapat di Kota Sakit Khusus Paru Provinsi Sumatera
Palembang sebanyak 1.558.500 jiwa Selatan pada bulan Agustus 2015 s/d
dengan luas wilayah hanya 400,61 Agustus 2016. Populasi dalam penelitian
Km2tahun 2014 jumlah penderita TB ini adalah seluruh data penderita TB Paru
Parusebanyak193 kasus diantaranya Relaps yang berobat di Poliklinik Paru
terdapat 13 orang penderita TB Paru Rumah Sakit Khusus Paru Provinsi
Relaps. Pada tahun 2015 terdapat Sumatera Selatan. Sampel dalam
peningkatan yaitu dari 354 kasus TB Paru penelitian ini adalah seluruh data
terdapat 38 orang penderita TB Paru penderita TB Paru Relaps yang berobat di
Relaps. Poliklinik Paru Rumah Sakit Khusus Paru
Tingginya kejadian TB Paru Provinsi Sumatera Selatan dari bulan
Agustus 2015 sampai dengan bulan

ISSN :2579 5325 73


JPP (Jurnal Kesehatan Palembang) Volume 12 No. 1 Juni 2017

Agustus 2016, dimana besar sampel Square dan hasilnya disajikan dalam
adalah sama dengan jumlah TB Relaps bentuk table.Hubungan antara 2 variabel
(total sampling). bebas dan variabel terikat penghitungan
Data yang dikumpulkan Confidence Interval (CI) digunakan p<
sebelumnya diperoleh dari pencatatan 0.05.
petugas RSK.Paru Prov.Sumatera Selatan
yang terdapat dalam kartu status penderita HASIL DAN PEMBAHASAN
TB Paru Relaps.Kemudian dicatat dan HASIL
Analisa Univariat
ditabulasi. Data yang diperoleh diolah Dari penelitian yang dilakukan di
dengan menggunakan Program SPSS RS. Khusus Paru Sumatera Selatan
(Statistical Product Service kemudian didapatkan hasil sebagai berikut:
dianalisa dengan menggunakan uji Chi-

Analisa Univariat
Distribusi Frekuensi Karakteristik Pasien TB Paru di RSK. Paru Prov. Sumsel

Distribusi responden berdasarkan usia dengan jumlah 44 responden (67,7%),


responden menunjukkan bahwa pada tingkat pendidikan menunjukkan
mayoritas responden berusia 15-55 bahwa mayoritas responden memiliki
tahun dengan jumlah 53 responden tingkat pendidikan SMA dengan jumlah
(81,5%), sedangkan jenis kelamin 33 responden (50,8%), sedangkan
menunjukkan bahwa mayoritas pekerjaan mayoritas responden bekerja
responden berjenis kelamin laki-laki atau sebagai petani/ supir/ tukang yaitu

74 ISSN :2579 5325


Herawati Jaya, Devi MediartiFaktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tuberkulosis Paru Relaps
pada Pasien di Rumah Sakit Khusus Paru Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2015-2016

25 responden (38,5%), untuk riwayat mempunyai riwayat penyakit penyerta


merokok menunjukkan bahwa yaitu 53 responden (81,5%), dan untuk
mayoritas responden tidak mempunyai kepatuhan berobat mayoritas responden
riwayat merokok yaitu 38 responden patuh berobat yaitu 52 responden
(58,8%), untuk riwayat penyakit (80,0%).
penyerta mayoritas responden tidak

Analisa Bivariat
Tabel1. Hubungan usia dengan kejadian TB Paru Relaps

Hasil analisis statistik hubungan antara Relaps.Hasil analisis dengan


usia dengan kejadian TB Paru menggunakan uji chi square diperoleh
Relapsdiperoleh sebanyak 34 responden nilai p value = 0,309 (0,05),CI=0,54-
(64,2%) usia 15-55 tahun yang 14,1,OR=2,79. Hasil penelitian ini
mengalami kejadian TB paru Relaps, menyatakan bahwa tidak ada hubungan
sedangkan pada usia 55 tahun ada antara usia dengan kejadian TB Paru
sebanyak 10 responden (83,3%) yang Relaps.
mengalami kejadian TB Paru

Tabel 2. Hubungan jenis kelamin dengan kejadian TB Paru Relaps

Jenis kelamin dengan kejadian TB Paru Paru Relaps.Hasil analisis dengan


Relapsdiperoleh bahwa ada sebanyak 30 menggunakan uji chi square diperoleh
responden (68,2%) berjenis kelamin laki- nilai p value = 0,909 (?0,05), CI= 0,308-
laki tahun yang mengalami kejadian TB 28,2 OR= 0,933. Hasil penelitian ini
paru Relaps, sedangkan jenis kelamin menyatakan bahwa tidak ada hubungan
perempuan ada sebanyak 14 responden antara jenis kelamin dengan kejadian TB
(66,7%) yang mengalami kejadian TB Paru Relaps

ISSN :2579 5325 75


JPP (Jurnal Kesehatan Palembang) Volume 12 No. 1 Juni 2017

Tabel 3. Hubungan pendidikan dengan kejadian TB Paru Relaps

Hubungan antara pendidikan dengan chisquare diperoleh nilai p


kejadian TB Paru Relaps sebanyak 22 value=0,017,CI=1,2- 14,6, OR= 4,2.
responden (50%) mempunyai tingkat Ada hubungan antara pendidikan
pendidikan SMA dan Perguruan Tinggi dengan kejadian TB Paru Relaps.
yang mengalami kejadian TB Paru Tingkat pendidikan SMA dan PT
Relaps, sedangkan tingkat pendidikan mempunyai peluang 4,2 kali untuk
s/d SMP 22 responden (50,0%) terkena TB Paru Relaps dibandingkan
mengalami kejadian TB Paru Relaps. tingkat pendidikan s/d SMP.
Hasil analisis dengan menggunakan uji

Tabel 4. Hubungan Pekerjaan dengan kejadian TB Paru Relaps

dengan kejadian TBParu Hasil analisis 29 responden (64,4%) yang mengalami


statistik hubungan antara pekerjaan kejadian TB Paru Relaps.
dengan kejadian TB paru Nilaipvalue=0,40,CI=0,18-
Relapsdiperoleh 15 responden (75%) 1,97,OR=0,6.Hasil penelitian ini
tidak mempunyai pekerjaan yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan
mengalami kejadian TB Paru Relaps, antara pekerjaan.
sedangkan yang bekerja ada sebanyak

Tabel 5. Hubungan riwayat merokok dengan kejadian TB Paru Relaps

76 ISSN :2579 5325


Herawati Jaya, Devi MediartiFaktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tuberkulosis Paru Relaps
pada Pasien di Rumah Sakit Khusus Paru Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2015-2016

Dari hasil analisis statistic hubungan dengan menggunakan uji chisquare


antara riwayat merokok dengan kejadian diperoleh nilai p value=0,045,CI=1,0-
TB Paru Relaps diperoleh bahwa ada 10,3,OR=3,2. Hasil penelitian ini
sebanyak 22 responden (57,9%) menyatakan bahwa ada hubungan antara
mempunyai riwayat merokok yang merokok dengan kejadian TB Paru
mengalami kejadian TB Paru Relaps, Relaps. Responden yang merokok
sedangkan yangmerokok ada sebanyak mempunyai peluang 3,2 kaliuntuk
22 responden (81,5%) yang mengalami terkena TB Paru Relaps dibandingkan
kejadian TB Paru Relaps. Hasil analisis responden yang tidak merokok.

Tabel 6. Hubungan penyakit penyerta dengan kejadian TB paru Relaps

Dari hasil analisis statistik hubungan sebanyak 10 responden (83,3%) yang


antara penyakit penyerta dengan mengalami kejadian TB Paru Relaps.
kejadian TB Paru Relaps diperoleh Hasil analisis dengan menggunakan uji
bahwa ada sebanyak 32 responden chi square diperoleh nilai p value =
(64,2%) tidak mempunyai penyakit 0,309, CI= 0,54-14,1, OR= 2,79. Hasil
penyerta yang mengalami kejadian TB penelitian ini menyatakan bahwa tidak
Paru Relaps, sedangkan yang ada hubungan antara penyakit penyerta
mempunyai penyakit penyerta ada dengan kejadian TB Paru Relaps.

Tabel 7 .Hubungan kepatuhan berobat dengan kejadian TB Paru Relaps

Kepatuhan berobat dengan kejadian TB menyatakan bahwa ada hubungan antara


Paru Relaps diperoleh 32 responden kepatuhan berobat dengan kejadian TB
(61,5%) patuh berobat yang mengalami Paru Relaps. Responden yang patuh pada
kejadian TB Paru Relaps, sedangkan yang pengobatan mempunyai peluang 7,5 kali
tidak patuh 12 responden (92,3%) yang untuk terkena TB Paru Relaps
mengalami kejadian TB Paru Relaps. Uji dibandingkan responden yangtidak patuh
chi square diperoleh nilai p value = 0,046, pada pengobatan.
CI=0,9-62,2, OR=7,5. Hasil penelitian ini

ISSN :2579 5325 77


JPP (Jurnal Kesehatan Palembang) Volume 12 No. 1 Juni 2017

PEMBAHASAN 55 tahun aktivitas kerja dan interaksi


Berdasarkan hasil penelitian pada sosial yang tinggi sehingga menyebabkan
tabel 1 hasil anlisis statistik hubungan meningkatnya resiko untuk terpapar
antara usia dengan kejadian TB Paru kembali bakteri TB Paru, sedangkan pada
Relapsdiperoleh bahwa ada sebanyak kelompok kontrol lebih banyak yang
34 responden (64,2%) usia 15-55 tahun berusia 15-55 tahun karena selain
yang mengalami kejadian TB paru pengetahuan mereka lebih luas juga daya
Relaps, sedangkan pada usia ? 55 tahun tahan tubuh mereka lebih baik di
ada sebanyak 10 responden (83,3%) yang bandingkan dengan yang berusia 55
mengalami kejadian TB Paru Relaps. tahun.
Hasil analisis diperoleh nilai p value = Dari hasil analisis statistik
0,309, CI= 0,54-14,1, OR= 2,79. hubungan antara jenis kelamin dengan
Hasilpenelitian ini menyatakan bahwa kejadian TB Paru Relapsdiperoleh
tidak ada hubungan antara usia dengan bahwa ada sebanyak30 responden
kejadian TB Paru Relaps. Hasil penelitian (68,2%) mempunyai jenis kelamin laki-
ini menyatakan bahwa tidak ada laki yang mengalami kejadian TB Paru
hubungan antara usia dengan kejadian Relaps, sedangkan jenis kelamin
TB Paru Relaps. perempuan ada sebanyak 14 responden
Penelitian ini sejalan dengan (66,7%) yang mengalami kejadian TB
penelitian oleh Aditama (2002) yang Paru Relaps, nilai p value = 0,909
menyatakan bahwa umur tidak (?0,05), CI= 0,308-282, OR= 0,933.
berpengaruh terhadap kejadian penyakit Hasil penelitian ini menyatakan bahwa
TB Paru Relaps TB Paru dapat terjadi tidak ada hubungan antara jenis kelamin
pada umur berapapun apabila tubuh tidak dengan kejadian TB Paru Relaps.
dapat melawan infeksi TB Paru karena Penelitian ini sesuai dengan
adanya malnutrisi dan penurunan daya penelitian yang dilakukan oleh Domen
tahan tubuh. Menurut Imelda (2009) hal (2003) pada Dinas Kesehatan Kota
tersebut terjadi karena pada Pematang Siantar yang menyatakan
usiaproduktif manusia cenderung tidak ada perbedaan proporsi jenis
mempunyai mobiditas yang tinggi kelamin berdasarkan hasil akhir
sehingga kemungkinan untuk terpapar pengobatan.
kuman TB Paru lebih besar. Hasil penelitian ini sejalan dengan
Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sianturi
penelitian oleh Sitepu (2009) di Balai (2013) yang menyatakan tidak ada
Pengobatan Penyakit Paru-paru (BP4) hubungan antara jenis kelamin dengan
Medan dengan desain Case Series yang kekambuhan TB Paru Relapsdi BKPM
memperoleh hasil proporsi tertinggi TB (Balai Kesehatan Paru Masyarakat)
paru Relapspada kelompok usia 15-55 Semarang 2013.
tahun yaitu sebanyak 92,8%. Hasil penelitian ini tidak sejalan
Menurut peneliti pada penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh
dapat disebabkan karena sebagian besar Sitepu (2009) menyatakan bahwa
responden kasus dan kontrol berusia 15- penderita TB Paru Relapslebih banyak
55tahun. Pada kelompok kasus usia 15- berkelamin laki-laki (64,9%) diban-

78 ISSN :2579 5325


Herawati Jaya, Devi MediartiFaktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tuberkulosis Paru Relaps
pada Pasien di Rumah Sakit Khusus Paru Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2015-2016

dingkan perempuan (35,1%) hal ini Dari hasil analisis statistik


terjadi karena pada laki-laki selain hubungan antara pekerjaan dengan
mempunyai kebiasaan merokok, kejadian TB paru Relapsdiperoleh bahwa
konsumsi alcohol dan menggunakan ada sebanyak 15 responden (75%)
obat-obat terlarang yang menye- tidak mempunyaipekerjaan yang
babkan penurunan daya tahan tubuh mengalami kejadian TB Paru Relaps,
juga lebih sering dijumpai pada laki-laki sedangkan yang bekerja ada sebanyak 29
sehingga menjadi lebih mudah terkena responden (64,4%) yang mengalami
infeksi. kejadian TB Paru Relaps, nilaip value=
Dari hasil analisis statistik 0,401(?0,05), CI= 0,18-1,97, OR= 0,6.
hubungan antara pendidikan dengan Hasil penelitian ini menyatakan bahwa
kejadian TB Paru Relapsdiperoleh bahwa tidak ada hubungan antara pekerjaan
ada sebanyak 22 responden (50%) dengan kejadian TB Paru Relaps.
mempunyai tingkat pendidikan SMA Penelitian ini sejalan dengan
dan Perguruan Tinggi yang mengalami penelitian yang dilakukan oleh Domen
kejadian TB Paru Relaps, sedangkan (2003) pada Dinas Kesehatan Kota
tingkat pendidikan s/d SM Pada sebanyak Pematang Siantar dengan desain Case
22 responden (50,0%) yang mengalami Series yang menyatakan tidak ada
kejadian TB Paru Relaps. hubungan antara pekerjaan dengan
Hasil analisis diperoleh nilai p kejadian TB Paru Relapsyang
value= 0,017 (0,05), CI= 1,2-14,6, OR= memperoleh hasil proporsi tertinggi
4,2.Hasil penelitian ini menyatakan terdapat pada responden yang tidak
bahwa ada hubungan antara pendidikan bekerja sebesar 28.1%.
dengan kejadian TB Paru Penelitian ini tidak sejalan dengan
Relaps.Tingkat pendidikan SMA dan Wahyuni (2013) mendapatkan hasil
PT mempunyai peluang 4,2 kali untuk bahwa sebagian besar penderita TB Paru
terkena TB Paru bekerja disektor informal seperti buruh
Relapsdibandingkantingkatpendidikan bangunan, sopir truk, pengangkat kayu,
s/dSMP. dan petani dengan aktivitas lebih
Hasil penelitian ini sesuai dengan rentan terhadap paparan debu dan asap.
penelitian yang dilakukan oleh Aditama, Hal ini bisa diartikan bahwa
2005 yang menyatakan bahwa tingkat seseorang yang terinfeksi TB Paru
pendidikan sangat berpengaruh terhadap Relapsbukan karena dipengaruhi oleh
kemempuan penderita menerima tingkat aktifitas pekerjaan yang tinggi
informasi tentang penyakit, terutama TB tetapi dapat juga dipengaruhi oleh
Paru Relaps.Kurang Informasi tentang lingkungan tempat tinggal seperti:
penyakit TB Paru menyebabkan kurang kelembapan rumah, keadaan ventilasi
pengertian penderita terhadap penyakit rumah, keadaan jendela rumah, serta
dan bahayanya sehingga menyebabkan pencahayaan alami yang masuk ke
berkurangnya kepatuhan penderita dalam rumah (Sitepu, 2009).
terhadap pengobatan atau berhenti Dari hasil analisis statistik
berobat bila gejala penyakit tidak hubungan antara riwayat merokok
dirasakan lagi. dengan kejadian TB Paru

ISSN :2579 5325 79


JPP (Jurnal Kesehatan Palembang) Volume 12 No. 1 Juni 2017

Relapsdiperoleh bahwa ada se banya k sedangkan yang mempunyai penyakit


22 re sponden (57,9 %) mempunyai penyerta ada sebanyak 10 responden
riwayat merokok yang mengalami (83,3%) yang mengalami kejadian TB
kejadian TB Paru Relaps, sedangkan Paru Relaps, diperoleh nilai p value =
yang merokok ada sebanyak 22 0,309 (? 0,05), CI= 0,54-14,1, OR= 2,79.
responden (81,5%) yang Hasilpenelitian ini menyatakan bahwa
mengalamikejadian TB Paru Relaps. tidak ada hubungan antara penyakit
Hasil analisis bivariat diperoleh nilai p penyerta dengan kejadianTBParu Relaps.
value = 0,045 (0,05), CI= 1,0-10,3, OR= Penelitian ini sejalan dengan
3,2. Hasil penelitian ini menyatakan penelitian yang dilakukan oleh Triman
bahwa ada hubungan antara merokok (2002) yang menyatakan bahwa
dengan kejadian TB Paru Relaps. sebagian besar penderita TB Paru
Responden yang merokok mempunyai Relapstidak memiliki penyakit penyerta
peluang 3,2 kali untuk terkena TB Paru (95,9%) yang mana pada kelompok
Relapsdibandingkan responden yang kasus sebagian besar subjek penelitian
tidak merokok. tidak memiliki penyakit penyerta.
Penelitian ini sesuai dengan Triman (2002) menyebutkan bahwa
penelitian yang dilakukan oleh Triman hanya 4,1% penderita TB Paru
(2002) yang menyatakan bahwa ada Relapsyang memiliki penyakit penyerta,
hubungan antara riwayat merokok sebagian besar jenis penyakit
dengan kekambuhan TB Paru Relaps penyertanya adalah DM.
(p=0,001), OR= 5,445), hal ini karena Dari hasil anlisis statistik
merokok dapat merusak saluran hubungan antara kepatuhan berobat
pernafasan yang dapat memudahkan dengan kejadian TB Paru
invasi kuman TB Paru. Relapsdiperoleh bahwa ada sebanyak 32
Separuh kematian karena TB Paru responden (61,5%) patuh berobat yang
pada laki-laki disebabkan merokok dan mengalami kejadian TB Paru Relaps,
3,25dari perokok berkembang sedangkan yang tidak patuh ada
menjadi penderita tuberculosis paru. sebanyak 12 responden (92,3%) yang
Kematian pada penderita Tb paru adalah mengalami kejadian TB Paru Relaps.
4 kali lebih besar pada kelompok Hasil analisis bivariat diperoleh nilai p
merokok dibanding yang tidak merokok value= 0,046 (0,05), CI= 0,9-62,2, OR=
(Gajalakshmi, 2003).Merokok dapat 7,5. Hasilpenelitian ini menyatakan
menyebabkan kelainan fungsi paru bahwa ada hubungan antara kepatuhan
obstruktif, pneumonia, influenza dan berobat dengan kejadian TB Paru
penyakit infeksi pernafasan akut Relaps. Responden yang patuh pada
(Eisner,2008). pengobatan mempunyai peluang 7,5
Dari hasil anlisis statistik hubungan kali untuk terkena TB Paru
antara penyakit penyerta dengan kejadian Relapsdibandingkan responden yang
TB Paru Relapsdiperoleh bahwa ada tidak patuh pada pengobatan.
sebanyak 32 responden (64,2%) tidak Penelitian ini sesuai dengan
mempunyai penyakit penyerta yang penelitian yang dilakukan oleh Bismark
mengalami kejadian TB Paru Relaps, Gea (2005) di Puskesmas Gunung

80 ISSN :2579 5325


Herawati Jaya, Devi MediartiFaktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tuberkulosis Paru Relaps
pada Pasien di Rumah Sakit Khusus Paru Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2015-2016

Sitoli- toli dengan Desain Case Series Domen, S, 2003. Karateristik Penderita
yang memperoleh hasil bahwa ada TB Paruyang Berobat Dengan
perbedaan proporsi kepatuhan berobat Menggunakan Strategi DOTS dan
berdasarkan hasil akhir pengobatan. Hal Keberhasilannya di Puskesmas
ini dapat disimpulkan bahwa pada Perawatan Pangkalan Brandan
Kabupaten Langkat tahun2000-
umumnya penderita TB Paru yang
2002.Skripsi FK MUSU Medan.
sembuh adalah penderita yang patuh
dalam mengikuti panduan obat yang Departemen Kesehatan RI,
diberikan dalam waktu yang lama (6-8 2009.Pedoman Nasional
Bulan ). Penanggulangan Tuber-kulosis
Kesembuhan atau keberhasilan, Paru, Jakarta, Depkes RI.
pengobatan TB Paru Relaps ditentukan
Eisner M. 2008. Biology and
oleh beberapa faktor terutama faktor
Mechanisms for Tobacco-
prilaku kepatuhan dalam minum attributable Respiratory Diseases,
obat dan dukungan dari orang-orang including TB, Bacterial Pnemonia
sekitar, Apabila berhenti minum obat and other Respiratory
sebelum waktunya, penyakit yang sudah Diseases.The International Journal
menghilang dapat timbul kembali, of Tuberculosis and Lung
Disease.Volume12.
kambuh dan kemungkinan bakteri akan
resisten terhadap jenis obat tersebut. Gea, B, 2005. Karateristik Penderita TB
Paru di Puskesmas Gunung Sitoli
DAFTAR PUSTAKA periode 2000-2004.Skripsi FKM
USU Medan.
Aulia Aziza, 2009. Aplikasi Metode Life
Table untuk Mengetahui Tingkat Hidayat.A.A.A. 2007.Metode Penelitian
Kekambuhan Pada Pasien Keperawatan dan Tekhnik Analisa
Tuberkulosis Paru di Poli DOTS Data. Jakarta: Salemba Medika N
RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Tahun 2008-2009. Skripsi, Imelda, 2009. Pengaruh Karakteristik
Universitas Airlangga. Individu, Faktor Pelayanan
Kesehatan dan Faktor Peran
Aditama, T.Y., 2002. Tuberkulosis Pengawas Menelan Obat Terhadap
Diagnosis, Terapi, dan Masalahnya. Tingkat Kepatuhan Penderita TB
Edisi ke-4. Jakarta: Yayasan Paru dalam Pengobatan di
Penerbit Ikatan Dokter Indonesia: Puskesmas Pekan Labuhan Kota
Medan Tahun 2009. Skripsi,
131
Universitas Sumatera Utara.
Aditama, TY. 2005. Tuberkulosis Paru:
Keputusan Menteri Kesehatan republic
Masalah dan penanggulangannya. Indonesia Nomor
Penerbit Universitas Indonesia, 364/MENKES/SK/V/2009.
Jakarta. Pedoman Penanggulangan
Tuberkulosis. Jakarta:2009.
Departemen Kesehatan RI, 2006.
Pedoman Nasional Penanggulangan Lawrence, 2002, Diagnosis dan Terapi
Tuberkulosis Paru, Edisi 2. Cetakan Kedokteran (Penyakit Dalam),
Pertama. Jakarta. Salemba Medika, Jakarta.

ISSN :2579 5325 81


JPP (Jurnal Kesehatan Palembang) Volume 12 No. 1 Juni 2017

Muh.Zainul, 2009, Hubungan Sputum HIV.Dalam Jurnal Respirologi


Penderita TB Paru di Klinik Indonesia.Jakarta : JRI
Jemedi Medan. Skripsi,
Universitas Sumatera Utara. Triman Daryatno, 2002. Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Kekambuhan
Muhammad Khurram, et al, 2009, Tuberkulosis Paru Strategi DOTS di
Factor Affecting Relapse of Puskesmas dan BP4 di Surakarta
Tuberculosis, hlm. 44-47. dan Wilayah Sekitarnya.Tesis,
Universitas Diponegoro Semarang.
Nur Nasry, 2008. Epidemiologi, Jakarta,
Rineka Cipta. Noor, N.N. 2006. Gajalakshmi. 2003. Smokingand
Pengantar Epidemiologi Penyakit Mortality from Tuberkulosis and
Menular. Cetakan kedua. Rineka other diseasein India:
Cipta, Jakarta. Retrospective study of 43000
Adult male death and 35000
Robert, etal, 2004.Reccurent Tuberculosis controls. The Lancet, Agustus
in The United States and Canada, 2003.
Volume 170, October 2004,
Wahyuni, S, 2013. Karateristik penderita
hlm.1360-1366.
TB Paru yang berobat Dengan
Soedarto, 2009.Penyakit Menular di Menggunakan Strategi DOTS dan
Indonesia, Sagung Seto, Jakarta. Keberhasilannya di Puskesmas
perawatan Pangkalan Brandan
Sianturi, Ruslantri, 2013. Analisis Faktor Kabupaten Langkat tahun 2000-
yang Berhubungan dengan 2002.Skripsi FK MUSU Medan.
Kekambuhan TB Paru. Skripsi
Universitas Negeri Semarang. WHO. Global Tuberculosis Report
[serial online]. WHO; 2013.
Sitepu, Meirtha Yolanda, 2009. Availabel from: URL :
Kareteristik Penderita TB Paru HIPERLINK.(http://apps.who.int/i
Relapsyang berobat di Balai ris/bitstream/10665.pdf).
Pengobatan Penyakit Paru-paru
(BP4) Medan tahun 2000-2007. Wulandari, Leni, 2012. Peran
Skripsi Universitas Sumatera Utara. Pengetahuan te rha dap Peri laku
Pe nca ri an Pengobatan Penderita
Suryanto, A. 2001.Kepekaan Suspek TB Paru di Indonesia.Tesis
Mikrobakterium Tuberkulosis Pasca Sarjana UI.
Terhadap Obat Anti Tuberkulosis di
RSUP Kariadi.Badan Litbang Widjaja, 2009. Dasar-dasar Ilmu
Kesehatan. Jakarta . Penyakit Paru, UI Jakarta.
Suryanto, E., 2000. Tuberkulosis dan

82 ISSN :2579 5325


Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit
Tuberkulosis (TB) Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Serang Kota
Tahun 2019
Puji Eka Mathofani, Resti Febriyanti
Program Studi Kesehatan Masyarakat, Universitas Faletehan

Abstrak
Latar Belakang: Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Serang Kota merupakan kasus tertinggi pada
tahun 2018. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
penyakit TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Serang Kota tahun 2019.
Metode: Desain penelitian yang digunakan adalah case control. Populasi penelitian ini sebagai kasus adalah
pasien TB Paru dan populasi kontrol adalah orang yang bukan penderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas.
Sampel pada penelitian ini berjumlah 74 responden terdiri dari 37 kasus dan 37 kontrol. Instrumen yang
digunakan adalah kuesioner, lembar observasi, meteran dan thermometer. Data dianalisis secara univariat dan
bivariat dengan uji chi square.
Hasil: Hasil penelitian didapatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian (Pv=0,018
dan OR=4,364), dan riwayat kontak serumah (Pv=0,011) dengan kejadian TB Paru, sedangkan tidak ada
hubungan antara jenis lantai (Pv=0,115), suhu (Pv=0,778), dan kebiasaan merokok (Pv=0,416) dengan
kejadian TB Paru.
Kesimpulan: disarankan bagi masyarakat lebih meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat untuk mencegah
penyakit TB Paru. Bagi petugas kesehatan perlu ditingkatkan upaya penjaringan penemuan suspek maupun
skrining TB.
Kata kunci: Tuberkulosis Paru, Kepadatan Hunian, Riwayat Kontak

The Factors Associated With The Incidence Of Pulmonary Tuberculosis In


The Working Area Of Serang City Health Center 2019

Abstract
Background: Pulmonary tuberculosis in Serang City Public Health Center was the highest case in 2018. This
study aims to determine the factors associated with the incidence of pulmonary TB in the working area of Serang
City Public Health Center in 2019.
Method: This study used a case control design. The study population as a case is a pulmonary TB patient and
the control population is a person who is not a sufferer of pulmonary TB in the working area of Public Health
Center. The sample in this study amounted to 74 respondents consisting of 37 cases and 37 controls. The
instruments used were questionnaire, observation sheet, roll meter and thermometer. Data were analyzed
univariable and bivariable with chi square test.
Result: The results showed that there was a significant relationship between occupancy density (P=0,018 and
OR=4,364), and home contact history (P=0,011) and pulmonary TB events, whereas there was no relationship
between floor type (P=0,115), temperature (P=0,778), and smoking habits (P=0,416) with pulmonary TB
events.
Conclusion: The advice given to the community further enhances clean and healthy living behavior to prevent
pulmonary TB disease. Health workers need to be increased efforts to screen suspicion discovery and TB
screening.
Keywords: Pulmonary tuberculosis, Occupancy Density, Contact History

Alamat korespondensi:
Puji Eka Mathofani
Universitas Faletehan
Email: pujimathofani@gmail.com

Jurnal Ilmiah Kesehatan Masyarakat Vol. 12 Edisi 1, 2020


1
PENDAHULUAN Dalam perspektif epidemiologi yang
melihat kejadian penyakit sebagai hasil
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular interaksi antar tiga komponen pejamu (host),
yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium penyebab (agent), dan lingkungan
tuberculosis, bakteri ini biasanya menyerang paru- (environment) dapat ditelaah faktor risiko
paru, tetapi bakteri TB dapat menyerang bagian tubuh dari simpul-simpul tersebut.3 Agen penyebab
mana saja seperti ginjal, tulang belakang, dan otak. TB penyakit TB paru disebabkan oleh bakteri
merupakan salah satu dari 10 penyebab kematian dan Mycobacterium tuberculosis, penyakit ini
pembunuh utama penderita HIV di seluruh dunia.1 menular langsung melalui droplet orang yang
telah terinfeksi6. Salah satu faktor yang
Secara global pada tahun 2017 jumlah berperan dalam penyebaran kuman
tertinggi kasus TB terjadi di wilayah Asia Tenggara tuberkulosis adalah faktor lingkungan yaitu
dan Pasifik Barat dengan 62% kasus baru, diikuti oleh keadaan rumah yang tidak memenuhi syarat
wilayah Afrika dengan 25% kasus baru. Kasus TB kesehatan meliputi ventilasi, pencahayaan,
terjadi di 30 negara sebesar 87%, delapan negara jenis lantai, jenis dinding, kelembaban, suhu
menyumbang dua pertiga dari kasus TB baru yaitu dan kepadatan hunian.7
India, Cina, Indonesia, Filipina, Pakistan, Nigeria,
Bangladesh, dan Afrika Selatan.1 Indonesia bersama Kepadatan hunian berpotensi
13 negara lain, masuk dalam daftar HBC (high burden meningkatkan risiko penularan penyakit
countries) untuk ke 3 indikator yaitu TBC, TBC/HIV, menular terhadap orang yang tinggal di
dan MDR- TBC.2 dalamnya, semakin padat maka perpindahan
penyakit khususnya penyakit menular
Indonesia memiliki permasalahan besar dalam melalui udara akan semakin mudah dan
menghadapi penyakit TB. Kasus tuberkulosis di cepat. Kepadatan hunian yang tidak
Indonesia dalam kurun tiga tahun terakhir ini memenuhi syarat memiliki risiko untuk
mengalami tren karena kasus terus meningkat setiap terjadinya TB paru 16,15 kali lebih besar
tahunnya. Pada tahun 2015 jumlah kasus tuberkulosis dibandingkan dengan kepadatan hunian yang
yang ditemukan sebesar 330.910 kasus, tahun 2016 memenuhi syarat.8
sebesar 360.565 kasus, dan tahun 2017 sebesar
425.089 kasus. Berdasarkan Survei Prevalensi Lantai rumah yang sehat adalah
Tuberkulosis tahun 2013-2014, prevalensi TB dengan lantai yang kedap air sebagai syarat rumah
konfirmasi bakteriologis di Indonesia sebesar 759 per yang sehat. Bahan yang digunakan meliputi
100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas dan kayu, semen, keramik, atau ubin. Lantai yang
prevalensi TB BTA positif sebesar 257 per 100.000 berdebu, kotor atau lembab akan membuat
penduduk berumur 15 tahun ke atas.3 rumah menjadi sarang penyakit, maka dalam
pemilihan bahan material lantai sangat
Hasil data dan Informasi di Propinsi Banten penting. Lantai rumah menjadi faktor yang
diperoleh jumlah penderita TB paru tahun 2017 mempengaruhi kejadian TB paru, rumah
sebesar 13.837 kasus, dengan BTA positif sebesar yang memiliki lantai dari semen dan tidak
7.400 kasus. Tingginya jumlah penderita TB paru di rata menyebabkan lantai tidak mudah
Propinsi Banten, menduduki peringkat ke 16 di dibersihkan karena walaupun sudah
Indonesia.4 Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 dibersihkan terkadang ada air menggenang
menyebutkan bahwa Propinsi Banten termasuk sehingga lantai menjadi lembab. Hasil
propinsi dengan prevalensi kasus TB paru tertinggi di penelitian sebelumnya menemukan bahwa
Indonesia dengan prevalensi sebesar 0,8%, meningkat bahwa jenis lantai memiliki hubungan yang
dibandingkan tahun 2015 yaitu sebesar 0,4%. signifikan dengan kejadian penyakit TB
paru.9
Berdasarkan laporan 10 besar penyakit di
Kota Serang tahun 2018 kasus TB paru BTA positif Bakteri penyebab tuberkulosis bisa
menempati urutan ke empat setelah penyakit demam hidup tahan lama di ruangan berkondisi
typhoid, diare dan dysentri. Jumlah kasus BTA positif gelap, lembab, dingin, dan tidak memiliki
pada tahun 2017 di Kota Serang sebanyak 678 kasus. ventilasi yang baik. Oleh karena itu
Pada tahun 2018 ditemukan suspek TB paru sebanyak pembangunan rumah tempat tinggal yang
1.619 orang, penderita TB paru yang sembuh 580 memenuhi syarat kesehatan harus selalu
orang.5 Kasus BTA positif tertinggi pada tahun 2018 diperhatikan sehingga risiko terjadinya
terjadi di Puskesmas Serang Kota sebanyak 66 penyakit yang disebabkan oleh kualitas udara
kasus.22 Pada tahun 2019 bulan Januari sampai Maret yang buruk dapat dikurangi.10
ditemukan kasus BTA positif sebanyak 20 orang.

2 Jurnal Ilmiah Kesehatan Masyarakat Volume 12 Edisi 1, 2020


Mycobacterium tuberculosis, dimana yang terdiagnosis disertai hasil uji laboratorium
laju pertumbuhan basil tersebut ditentukan BTA+ dan bertempat tinggal di wilayah kerja
berdasarkan suhu udara yang berada di Puskesmas Serang kota pada bulan Oktober
sekitarnya. Dengan adanya sirkulasi udara yang tahun 2018 sampai dengan Maret tahun 2019
baik dapat meminimalisasi penularan TB Paru yakni berjumlah 37 kasus. Jumlah kontrol
dalam rumah dan suhu ditemukan adanya diambil sama dengan jumlah kasus.
signifikansi dengan kejadian penyakit TB Pengambilan sampel untuk kelompok kasus dan
paru.11 kontrol diambil secara acak dengan memenuhi
kriteria inklusi.
Seseorang kontak dengan penderita TB
paru BTA+ serumah/tinggal bersama secara Variabel penelitian ini adalah kepadatan
terus–menerus maka akan terjadi penularan. hunian, jenis lantai, suhu, riwayat kontak dan
Karena sering menghirup udara yang kebiasaan merokok. Pengumpulan data primer
mengandung bakteri tersebut menyebabkan diperoleh dari survei, observasi dan pengukuran
banyaknya kuman yang masuk ke paru-paru terhadap rumah responden dan data sekunder
sehingga memiliki risiko untuk menderita TB dari penulusuran buku-buku, karya ilmiah,
paru. Kontak serumah dengan penderita TB penelitian terdahulu, laporan dari Dinas
paru, semakin banyak terpapar dengan kuman Kesehatan Kota Serang dan Puskesmas Serang
TB paru, maka memiliki risiko terkena penyakit Kota tahun 2018-2019. Alat penelitian yang
TB paru. Riwayat kontak memiliki risiko untuk digunakan adalah kuesioner, meteran untuk
terjadinya TB paru 9,3 kali lebih besar mengukur kepadatan hunian, lembar observasi
dibandingkan dengan tidak adanya riwayat dan thermometer untuk mengukur jenis lantai
kontak.12 dan suhu. Analisis data meliputi analisis
univariat dan bivariat. Analisis univariat yaitu
Kebiasaan merokok merupakan faktor secara deskriptif dengan menggunakan tabel
pemicu yang juga meningkatkan risiko untuk distribusi frekuensi. Analisis bivariat yaitu
terkena TB paru. Merokok adalah menghisap secara analitik untuk mengetahui hubungan
racun yang dapat merusak kesehatan sehingga antara dua variabel dengan uji chi square.
mudah terinfeksi berbagai penyakit salah
satunya bakteri tuberkulosis. Risiko terjainya TB
Paru 17,500 kali lebih besar pada responden
dengan kebiasaan merokok dibanding responden HASIL
dengan yang tidak merokok.13 Rumah sehat Berdasarkan tabel 1 diperoleh pada
merupakan keadaan lingkungan yang kelompok kasus dari 37 responden terdapat 32
mendukung terpeliharanya kesehatan para (86,5%) yang memiliki kepadatan hunian tidak
penghuni secara optimal. Adapun cakupan memenuhi syarat. Sedangkan pada kelompok kontrol
rumah sehat di wilayah kerja Puskesmas Serang dari 37 responden terdapat 22 (59,5%) yang
Kota tahun 2018 sebesar 38%5. memiliki kepadatan hunian tidak memenuhi syarat.

Kasus BTA+ di Puskesmas Serang Kota


merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Kasus
kasus BTA+ di wilayah kerja Puskesmas lainnya
Tuberkulosis Paru Berdasarkan Kepadatan
yang berada di Kota Serang. Cakupan rumah
Hunian
sehat di wilayah kerja Puskesmas Serang Kota
masih rendah dibandingkan dengan capaian Kejadian Penyakit TB
target. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan Kepadatan Paru
pada penderita TB sebagian besar memiliki Hunian Kasus Kontrol
kebiasaan merokok terutama laki-laki dan N % n %
kepadatan hunian kamar yang tidak memenuhi Tidak 32 86,5 22 59,5
syarat. Memenuhi
Syarat
Memenuhi 5 13,5 15 40,5
Syarat
METODE Jumlah 37 100 37 100
Studi observasional dengan jenis desain
case control dilaksanakan di wilayah kerja
Puskesmas Serang Kota pada bulan April-Mei
tahun 2019.23 Kelompok kasus adalah penderita
Jurnal Ilmiah Kesehatan Masyarakat Vol. 12 Edisi 1, 2020
3
Berdasarkan tabel 4 diperoleh pada
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Kasus kelompok kasus dari 37 responden yang
Tuberkulosis Paru Berdasarkan Jenis Lantai menderita TB Paru terdapat 7 (19%) yang ada
riwayat kontak dengan penderita TB Paru.
Kejadian Penyakit TB Sedangkan dari pada kelompok kontrol 37
Jenis Paru responden tidak terdapat (0%) yang ada riwayat
Lantai Kasus Kontrol kontak dengan penderita TB Paru.
N % n %
Tidak 4 10,8 0 0 1. Kebiasaan Merokok
Memenuhi
Syarat Tabel 5. Distribusi Frekuensi Kasus
Memenuhi 33 89,2 37 100 Tuberkulosis Paru Berdasarkan Kebiasaan
Syarat merokok
Jumlah 37 100 37 100
Kejadian Penyakit TB
Kebiasaan Paru
Berdasarkan tabel 2 diperoleh pada
Merokok Kasus Kontrol
kelompok kasus dari 37 responden terdapat 4
(10,8%) yang memiliki jenis lantai tidak n % N %
memenuhi syarat. Sedangkan pada kelompok Ya 26 70,3 30 81,1
kontrol dari 37 responden tidak terdapat (0%) Tidak 11 29,7 7 18,9
yang memiliki jenis lantai tidak memenuhi Jumlah 37 100 37 100
syarat.
Berdasarkan tabel 5 diperoleh pada
kelompok kasus dari 37 responden terdapat 26
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Kasus (70,3%) yang memiliki kebiasaan merokok.
Tuberkulosis Paru Berdasarkan Suhu Sedangkan pada kelompok kontrol dari 37
responden terdapat 30 (81%) yang memiliki
Kejadian Penyakit TB kebiasaan merokok.
Paru
Suhu
Kasus Kontrol
Berdasarkan hasil uji statistik dengan
n % n %
menggunakan uji chi square diperoleh nilai
Tidak 30 81,1 28 75,7 P=0,018 maka dapat disimpulkan secara
Memenuhi statistik pada α 5% ada hubungan yang
Syarat signifikan antara kepadatan hunian kamar
Memenuhi 7 18,9 9 24,3 dengan kejadian penyakit tuberkulosis paru di
Syarat Wilayah Kerja Puskesmas Serang Kota tahun
Jumlah 37 100 37 100 2019. Dan dari hasil analisis diperoleh nilai OR
Berdasarkan tabel 3 diperoleh pada kelompok sebesar 4,364 (CI: 1,384-13,761) artinya
kasus dari 37 responden terdapat 30 (81%) yang responden yang memiliki kepadatan hunian
memiliki suhu tidak memenuhi syarat. kamar tidak memenuhi syarat kesehatan
Sedangkan pada kelompok kontrol dari 37 mempunyai risiko 4 kali lebih besar untuk
responden terdapat 28 (76%) yang memiliki suhu terkena penyakit tuberkulosis paru
tidak memenuhi syarat. dibandingkan dengan responden yang
kepadatan hunian kamarnya memenuhi syarat
kesehatan.
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Berdasarkan hasil uji statistik dengan
Kasus Tuberkulosis Paru menggunakan uji chi square diperoleh nilai
Berdasarkan Riwayat Kontak P=0,115 maka dapat disimpulkan secara
Kejadian Penyakit TB statistik pada α 5% tidak ada hubungan yang
Riwayat Paru signifikan antara jenis lantai rumah dengan
Kontak kejadian penyakit tuberkulosis paru di Wilayah
Kasus Kontrol
Serumah Kerja Puskesmas Serang Kota tahun 2019.
N % N %
Ada 7 18,9 0 0
Tidak Ada 30 81,1 37 100
Jumlah 37 100 37 100

4 Jurnal Ilmiah Kesehatan Masyarakat Volume 12 Edisi 1, 2020


Analisis Bivariat

Tabel 6. Analisis Bivariat

Kejadian Penyakit TB Paru


Total P
Variabel Kasus Kontrol Value OR (95% CI)
n % N % n %
Kepadatan Hunian
Tidak Memenuhi Syarat 32 86,5 22 59,5 54 73 4,364
0,018
Memenuhi Syarat 5 13,5 15 40,5 20 27 (1,384-13,761)
Jenis Lantai 5,4
Tidak Memenuhi Syarat 4 10,8 0 0 4 0,115
Memenuhi Syarat 33 89,2 37 100 70 94,6
Suhu
Tidak Memenuhi Syarat 30 81,1 28 75,7 58 78,4 1,378
0,778
Memenuhi Syarat 7 18,9 9 24,3 16 21,6 (0,452-4,196)
Riwayat Kontak Serumah 9,5
Ada 7 18,9 0 0 7 0,011
Tidak Ada 30 81,1 37 100 67 90,5
Kebiasaan Merokok 75,7
Ya 26 70,3 30 81,1 56 0,416
Tidak 11 29,7 7 18,9 18 24,3
Total 37 100 37 100 74 100

Berdasarkan hasil uji statistik dengan PEMBAHASAN


menggunakan uji chi square diperoleh nilai
P=0,778 maka dapat disimpulkan secara statistik Hubungan Antara Kepadatan Hunian
pada α 5% tidak ada hubungan yang signifikan Dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis
antara suhu dengan kejadian penyakit Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Serang
tuberkulosis paru di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tahun 2019
Serang Kota tahun 2019. Dan dari hasil analisis
diperoleh nilai OR sebesar 1,378 (CI: 0,452- Kepadatan hunian berpengaruh dalam proses
4,196) artinya responden yang memiliki suhu penularan penyakit, semakin padat perpindahan
tidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai penyakit menular khususnya yang melalui udara
risiko 1 kali lebih besar untuk terkena pennyakit akan semakin mudah dan cepat. Apabila jumlah
tuberkulosis paru dibandingkan dengan penghuni semakin banyak di dalam ruangan,
responden yang memiliki suhu memenuhi syarat maka akan meningkatkan kelembaban ruangan
kesehatan. karena uap air baik dari pernapasan maupun
keringat yang keluar dari tubuh. Kepadatan
Berdasarkan hasil uji statistik dengan hunian kamar yang sesuai dengan rumah sehat
menggunakan uji chi square diperoleh nilai yaitu luas kamar tidur minimum 8 m2/orang,
P=0,011 maka dapat disimpulkan secara statistik tidak dihuni >2 orang, kecuali untuk anak
pada α 5% ada hubungan yang signifikan antara dibawah 5 tahun. Dan jika ada anggota keluarga
riwayat kontak serumah dengan kejadian yang menderita penyakit tuberkulosis paru,
penyakit tuberkulosis paru di Wilayah Kerja sebaiknya tidur terpisah dengan anggota
Puskesmas Serang Kota tahun 2019. keluarga lainnya.14

Berdasarkan hasil uji statistik dengan Hasil analisis tabel silang antara kepadatan
menggunakan uji chi square diperoleh nilai hunian dengan kejadian penyakit tuberkulosis
P=0,416 maka dapat disimpulkan secara statistik paru diperoleh pada kelompok kasus lebih
pada α 5% tidak ada hubungan yang signifikan banyak responden yang memiliki kepadatan
antara kebiasaan merokok dengan kejadian hunian tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu
penyakit tuberkulosis paru di Wilayah Kerja sebesar 86,5% dibandingkan pada kelompok
Puskesmas Serang Kota tahun 2019. kontrol yaitu sebesar 59,5%.

Jurnal Ilmiah Kesehatan Masyarakat Vol. 12 Edisi 1, 2020


5
Hubungan Antara Jenis Lantai Dengan
Berdasarkan analisis bivariat dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru di
menggunakan uji chi square diperoeh nilai Wilayah Kerja Puskesmas Serang Kota
P=0,018 maka ada hubungan yang signifikan Tahun 2019
antara kepadatan hunian dengan kejadian
penyakit tuberkulosis paru di Wilayah Kerja Jenis lantai tanah berperan terhadap
Puskemsas Serang Kota Tahun 2019. Dan dari proses kejadian TB, melalui kelembaban dengan
hasil analisis diperoleh nilai OR=4,364 yang jenis lantai tanah cenderung menjadi lembab
artinya responden yang memiliki kepadatan maka viabilitas bakteri TB di lingkungan juga
hunian tidak memenuhi syarat kesehatan sangat dipengaruhi.17 Bahan yang digunakan
berisiko 4 kali lebih besar terkena penyakit misalnya seperti semen, keramik, atau ubin.
tuberkulosis paru dibandingkan dengan Lantai yang berdebu atau becek tidak membuat
responden yang memiliki kepadatan hunian penghuni menjadi nyaman dan menjadi media
memenuhi syarat kesehatan. berkembang biaknya penyakit.14

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil Hasil analisis tabel silang antara jenis
penelitian berjudul Hubungan Faktor lantai dengan kejadian penyakit tuberkulosis
Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian TB paru diperoleh pada kelompok kasus responden
Paru dimana pada kelompok kasus kepadatan yang memiliki jenis lantai tidak memenuhi
hunian yang tidak memenuhi syarat kesehatan syarat sedikit lebih banyak yaitu sebesar 10,8%
lebih besar yaitu 64% dibandingkan kelompok dibandingkan pada kelompok kontrol yaitu
kontrol sebesar 14%. Diperoleh nilai P=0,000 sebesar 0%. Berdasarkan analisis bivariat
yang artinya ada hubungan antara kepadatan dengan menggunakan uji chi square dipreoleh
hunian dengan kejadian TB Paru dengan nilai nilai P=0,115 maka tidak ada hubungan yang
OR sebesar 10,92 yang menunjukan bahwa signifikan antara jenis lantai dengan kejadian
responden yang memiliki kepadatan hunian penyakit tuberkulosis paru di Wilayah Kerja
tidak memenuhi syarat kesehatan berisiko 10,92 Puskesmas Serang Kota Tahun 2019.
kali lebih besar dibandingkan dengan responden
yang memiliki kepadatan hunian memenuhi Penelitian ini sejalan dengan hasil
syarat kesehatan.8 Hasil penelitian di wilayah penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas
kerja Puskesmas Kertapati Palembang Kasemen Kota Serang yang menyatakan bahwa
menyatakan bahwa ada hubungan antara tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis
kepadatan hunian dengan kejadian penyakit lantai dengan kejadian penyakit tuberkulosis
tuberkulosis paru (P=0,002).15 Sama halnya paru (P=0,437).18
penelitian di wilayah kerja Puskesmas Tikala
Baru Kota Manado yang menyatakan bahwa ada Namun, hasil penelitian ini tidak sejalan
dengan hasil penelitian Mawardi dkk yang
hubungan antara kepadatan hunian dengan
kejadian penyakit (P=0,049).16 menyatakan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara jenis lantai dengan kejadian
Dari hasil kunjungan lapangan yang penyakit tuberkulosis paru (P=0,015). Sama
dilakukan melalui wawancara dan pengukuran halnya dengan hasil penelitian Oktavia dkk
pada luas kamar tidur dan jumlah penghuni dengan judul Analisis Faktor Risiko Kejadian
diketahui hampir sebagian responden memiliki TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Kertapati
kepadatan hunian kamar tidak memenuhi syarat Palembang yang menyatakan bahwa ada
sebesar 73% dibandingkan dengan jumlah hubungan antara jenis lantai dengan kejadian
responden yang kepadatan hunian kamarnya penyakit tuberkulosis paru (P=0,001).9
memenuhi syarat sebesar 27%. Berdasarkan
Berdasarkan hasil analisis bahwa jenis
hasil observasi sebagian besar responden kasus
lantai menunjukkan tidak ada hubungan dengan
kamar tidurnya tidak terpisah dengan anggota
keluarganya yang sehat bahkan ada responden kejadian penyakit tuberkulosis paru.
Dikarenakan pada observasi yang dilakukan
kasus yang tidak memiliki kamar, hal tersebut
hanya dengan melihat jenis lantainya saja tanpa
disebabkan karena keterbatasan lahan.
Berdasarkan hasil analisis menunjukan bahwa memerhatikan kebersihannya. Meskipun
lantainya terbuat dari yang kedap air namun
kepadatan hunian ada hubungan dengan
kebersihan lantainya tidak terjaga maka lantai
kejadian penyakit tuberkulosis paru. Hal ini
menjadi lembab dan menjadi media yang baik
dapat dilihat dari data sebagian besar luas kamar
untuk berkembangbiaknya bakteri. Faktor
tidur responden dan jumlah penghuni tidak
lainnya juga yang mempengaruhi kejadian
memenuhi syarat karena kurang dari 8 m2/orang.
penyakit tuberkulosis seperti tidak adanya
6 Jurnal Ilmiah Kesehatan Masyarakat Volume 12 Edisi 1, 2020
Berdasarkan hasil analisis bahwa suhu
ventilasi atau ventilasi yang tidak memenuhi menunjukkan tidak ada hubungan dengan
syarat dan jendela tidak pernah dibuka. Faktor kejadian penyakit tuberkulosis paru. Hasil
tersebut menyebabkan kelembaban dan pengukuran ini dapat dipengaruhi oleh suhu
pencahayaan yang kurang, karena tidak ada udara luar. Selain itu, juga dipengaruhi
jalan masuk untuk pertukaran udara dan sinar kelembaban rumah, jendela yang tidak dibuka
matahari langsung yang berfungsi sebagai dan ventilasi yang tertutup kaca. Berdasarkan
pencahayaan alami maupun membunuh bakteri teori suhu ruangan tergantung dari suhu udara
secara langsung. luar, pergerakan udara, kelembaban udara, dan
suhu benda di sekitarnya. Keterbatasan dalam
penelitian ini adalah tidak dilakukan pengukuran
suhu udara luar dan pergerakan udara. Penyebab
Hubungan Antara Suhu Dengan Kejadian
hasil penelitian tidak berhubungan dapat
Penyakit Tuberkulosis Paru di Wilayah disebakan karena faktor lain, seperti
Kerja Puskesmas Serang Kota Tahun 2019 kelembaban, pencahayaan, luas ventilasi, dan
Suhu ruangan sangat dipengaruhi oleh keberadaan jendela.
suhu udara luar, pergerakan udara, kelembaban
udara, dan suhu benda-benda yang ada di
sekitarnya. Keberadaan suhu sangat berperan Hubungan Antara Riwayat Kontak Serumah
pada pertumbuhan basil Mycobacterium Dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis
tuberculosis, dimana laju pertumbuhan basil Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Serang
tersebut ditentukan berdasarkan suhu udara yang Kota Tahun 2019
berada di sekitarnya.11
Dalam etiologi penyakit tuberkulosis,
Hasil analisis tabel silang antara suhu bakteri mycobacterium tuberculosis Sumber
dengan kejadian penyakit tuberkulosis paru penular adalah penderita TB BTA positif. Pada
diperoleh pada kelompok kasus responden yang saat batuk atau bersin menyebarkan bakteri
memiliki suhu tidak memenuhi syarat lebih melalui udara dalam bentuk droplet. Droplet
banyak yaitu 81,1% dibandingkan pada yang mengandung bakteri dapat bertahan pada
kelompok kontrol yaitu 75,7%. Berdasarkan suhu kamar dalam beberapa jam. Seseorang
analisis bivariat dengan menggunakan uji chi dapat terinfeksi bakteri TB apabila droplet
square diperoleh nilai P=0,778 maka tidak ada tersebut terhirup ke dalam saluran napas.20
hubungan yang signifikan antara suhu dengan
kejadian penyakit tubekulosis paru di Wilayah Hasil analisis tabel silang antara riwayat
Kerja Puskesmas Serang Kota Tahun 2019. Dan kontak serumah dengan kejadian penyakit
dari hasil analisis diperoleh nilai OR=1,376 tuberkulosis paru diperoleh pada kelompok
yang artinya responden yang memiliki suhu kasus sedikit lebih banyak responden yang ada
tidak memenuhi syarat kesehatan berisiko 1 kali riwayat kontak serumah sebesar 18,9%
lebih besar terkena penyakit tuberkulosis paru dibandingkan pada kelompok kontrol yaitu 0%.
dibandingkan dengan responden yang memiliki
suhu memenuhi syarat kesehatan. Hasil Berdasarkan analisis bivariat dengan
penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian menggunakan uji chi square diperoleh nilai
Susanti dengan judul Hubungan Antara Kondisi P=0,011 maka ada hubungan yang signifikan
Fisik Rumah Dan Perilaku Dengan Kejadian antara riwayat kontak serumah dengan kejadian
Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas penyakit tubekulosis paru di Wilayah Kerja
Sangkrah Kota Surakarta yang menyatakan tidak Puskesmas Serang Kota Tahun 2019.
ada hubungan antara suhu dengan kejadian
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil
penyakit tuberkulosis paru (P=0,212).19
penelitian Amalaguswan, dkk (2017) dengan
Namun penelitian ini tidak sejalan judul Analisis Faktor Risiko Kejadian Penyakit
dengan hasil penelitian Prihartanti, dkk dengan Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Puuwatu Kota
judul Hubungan Lingkungan Fisik Rumah Kendari yang menyatakan bahwa ada hubungan
Dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja yang signifikan antara riwayat kontak serumah
Puskesmas Mirit Kabupaten Kebumen yang dengan kejadian penyakit tuberkulosis paru
menyatakan bahwa ada hubungan antara jenis (P=0,000). Dan diperoleh hasil OR sebesar
lantai dengan kejadian penyakit tuberkulosis 9,333 artinya responden yang ada riwayat
paru (P=0,003).11 kontak serumah berisiko 9 kali lebih besar
terkena penyakit tuberkulosis paru dibandingkan
Jurnal Ilmiah Kesehatan Masyarakat Vol. 12 Edisi 1, 2020
7
Penelitian ini tidak sejalan dengan hasil
dengan responden yang tidak ada riwayat penelitian Banu dkk dengan judul Faktor Risiko
kontak serumah.12 Kejadian TB Paru di Puskesmas Hutarakyat
Sidikalang yang menyatakan ada hubungan yang
Dari hasil kunjungan lapangan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan
dilakukan melalui wawancara langsung dengan
kejadian penyakit tuberkulosis paru (p=0,001)13.
responden diperoleh sebanyak 7 responden ada
kontak dengan penderita TB Paru positif yang Berdasarkan hasil analisis bahwa
tinggal dalam satu rumah yang masih dalam kebiasaan merokok menunjukkan tidak ada
pengobatan atau kurun waktu 6 bulan terakhir. hubungan dengan kejadian penyakit tuberkulosis
Keberadaan kontak serumah mempengaruhi paru. Dari hasil lapangan diperoleh sebagian
proses penularan kepada anggota keluarga yang besar responden memiliki kebiasaan merokok
lain. Pada umumnya penularan terjadi dalam sebesar 75,7%. Pada kelompok kasus diketahui
ruangan dimana droplet (percikan dahak) ada lebih banyak responden yang menderita TB Paru
dalam waktu yang lama. Bakteri yang ada dalam dengan jenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 22
droplet dapat bertahan beberapa jam dalam (59,5%) responden dibandingkan dengan jenis
kondisi gelap dan lembab. Anggota keluarga kelamin perempuan sebanyak 15 (40,5%). Dari
dapat terinfeksi jika terus-menerus menghirup 22 responden laki-laki diketahui sebanyak 18
droplet yang kemudian masuk ke dalam saluran (81,8%) responden memiliki kebiasaan
pernapasan. Dikarenakan penderita TB paru merokok. Hal ini sesuai menurut survei
lebih lama dan sering melakukan kontak kepada prevalensi tuberkulosis pada laki-laki 3 kali
anggota keluarga sehingga risiko penularan lebih tinggi dibandingkan pada perempuan.
penyakit lebih besar. Dengan demikian adanya Walaupun merokok bukan merupakan faktor
riwayat kontak serumah menjadi pemicu yang berhubungan dengan kejadian penyakit TB
terjadinya penularan bakteri mycobacterium Paru namun sebagai faktor pemicu. Penyakit
tuberkulosis pada anggota keluarga yang tinggal lain seperti HIV/AIDS juga merupakan faktor
dalam serumah. pemungkin terjadinya penyakit TB Paru karena
status imun menjadi lemah sehingga mudah
untuk terkena penyakit lainnya. Penemuan kasus
Hubungan Antara Kebiasaan Merokok TB tidak selalu terdiagnosa di awal, beberapa
Dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis ada yang terlebih dulu diketahui penyakit lain
Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Serang seperti HIV/AIDS dan kemudian barulah TB
Kota Tahun 2019 Paru.

Merokok merupakan penyebab utama Faktor lainnya yang memiliki peranan


penyakit paru-paru yang bersifat kronis dan dalam penularan penyakit tuberkulosis adalah
obstruktif, misalnya bronkitis dan emfisema. lingkungan. Lingkungan yang buruk menjadi
Merokok juga terkait dengan influenza dan media yang baik untuk perkembangbiakan
radang paru-paru lainnya. Pada penderita asma, bakteri Mycobacterium tuberculosis. Keadaan
merokok akan memperparah gejala asma sebab lingkungan fisik rumah maupun lingkungan di
asap rokok akan lebih menyempitkan saluran luar berperan dalam proses penularan penyakit.
pernafasan21. Kepadatan hunian, pencahayaan, kelembaban,
dan ventilasi merupakan indikator yang diukur,
Hasil analisis tabel silang antara jika tidak memenuhi syarat maka berisiko terjadi
kebiasaan merokok dengan kejadian penyakit penularan penyakit. Kurangnya cahaya matahari
tuberkulosis paru diperoleh pada kelompok atau cahaya lampu, keadaan ruang yang gelap
kontrol responden yang memiliki kebiasaan dan lembab menyebabkan bakteri TB paru dapat
merokok lebih banyak yaitu 81,1% bertahan sehingga mempunyai peluang besar
dibandingkan pada kelompok kasus yaitu untuk menimbulkan kasus TB paru. Pengukuran
70,3%. yang dilakukan pada responden kasus meliputi
kepadatan hunian, jenis lantai, dan suhu hasilnya
Berdasarkan analisis bivariat dengan memenuhi syarat, tidak ada riwayat kontak
menggunakan uji chi square diperoleh nilai serumah dan tidak memiliki kebiasaan merokok.
P=0,416 maka tidak ada hubungan yang Namun, keseharian responden sering berada di
signifikan antara kebiasaan merokok dengan warung internet (warnet) yang keadaannya
kejadian penyakit tubekulosis paru di Wilayah tertutup, gelap, padat huni dan penuh asap
Kerja Puskesmas Serang Kota Tahun 2019. rokok, hal ini menjadi faktor risiko terjadinya
penularan penyakit TB. Maka kondisi fisik
lingkungan yang berisiko tidak hanya di rumah
8 Jurnal Ilmiah Kesehatan Masyarakat Volume 12 Edisi 1, 2020
saja, melainkan di tempat-tempat umum 9. Mawardi, Sambera, R., & Hamisah, I.
seperti warung internet juga berpotensi (2019). Studi Hubungan Antara Faktor
menularkan penyakit TB Paru. Lingkungan Fisik Rumah Dengan
Penderita TB Paru BTA di Aceh
Selatan. Serambi Engineering, 406-415.
KESIMPULAN
Proporsi kepadatan hunian kamar 10. Permenkes. (2011). Peraturan Menteri
tidak memenuhi syarat kesehatan lebih Kesehatan Republik Indonesia Nomor
tinggi pada kelompok kasus dibandingkan 1077 Tentang Pedoman Penyehatan
kelompok control. Begitu pula pada jenis Udara Dalam Ruang Rumah. Jakarta.
lantai rumah, suhu, dan riwayat kontak 11. Prihartanti, D., Subagiyo, A., &
serumah. Namun berbeda pada kebiasaan Suparmin. (2018). Hubungan
merokok proporsinya lebih tinggi pada Lingkungan Fisik Rumah dengan
kelompok control dibandingkan kasus. Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja
Terdapat hubungan antara Puskesmas Mirit Kabupaten Kebumen
kepadatan hunian dan riwayat kontak Mirit Kabupaten Kebumen Tahun 2016.
serumah dengan kejadian penyakit Jurnal Kesehatan Lingkungan, 386-392.
tuberkulosis paru di Wilayah Kerja
Puskemas Serang Kota tahun 2019. 12. Amalaguswan, Junaid, & Fachlevy, A.
Sedangkan jenis lantai, suhu, dan F. (2017). Analisis Faktor Risiko
kebiasaan merokok tidak ada hubungan Kejadian Penyakit TB Paru di Wilayah
yang signifikan dengan kejadian penyakit Kerja Puskesmas Puuwatu Kota Kendari
tuberkulosis paru di Wilayah Kerja Tahun 2017. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Puskemas Serang Kota tahun 2019 Kesehatan Masyarakat, 1-9.
13. Banu, S., Sitepu, R., & Sulistiasari, R.
DAFTAR PUSTAKA (2018). Faktor Risiko Kejadian TB Paru
1. WHO. (2018). Global Tuberculosis di Puskesmas Hutarakyat Sidikalang
Report. Geneva: World Health Tahun 2017. Jurnal Ilmu Kedokteran
Organization. dan Kesehatan, 254-263.

2. WHO. (2017). Global Tuberculosis 14. Kepmenkes. (1999). Persyaratan


Report. Geneva: World Health Kesehatan Perumahan. Jakarta.
Organization.
15. Oktavia, S., Rini, M., & Destriatania, S.
3. Kemenkes RI. (2018). Riset Kesehatan (2016). Analisis Faktor Risiko Kejadian
Dasar. Jakarta. TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas
Kertapati Palembang. Jurnal Ilmu
4. Kemenkes RI. (2017). Profil Kesehatan Kesehatan Masyarakat, 124-138.
Indonesia Tahun 2017. Jakarta.
16. Tempone, V. M., Umboh, J. M., &
5. Dinkes Kota Serang. (2018). Profil Boky, H. (2016). Hubungan Antara
Kesehatan Kota Serang. Serang. Kelembaban, Pencahayaan, Dan
Kepadatan Hunian Dalam Rumah
6. Najmah. (2016). Epidemiologi Penyakit Dengan Kejadian TB Paru di Wilayah
Menular. Jakarta: Trans Info Media. Kerja Puskesmas Tikala Baru Kota
7. Kemenkes RI. (2011). Pedoman Manado. Jurnal Kesehatan Masyarakat,
Nasional Pengendalian Tuberkulosis. 47-53.
Jakarta.
8. Perdana, A. A., & Putra, S. Y. (2018).
Hubungan Faktor Lingkungan Fisik
Rumah terhadap Kejadian TB Paru di
Wilayah Kerja Puskesmas Panjang,
Lampung. Jurnal Kesehatan, 46-50.

Jurnal Ilmiah Kesehatan Masyarakat Vol. 12 Edisi 1, 2020


9
17. Achmadi, U. F. (2010). Manajemen 20. Kuswiyanto. (2017). Bakteriologi.
Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta: Jakarta: EGC.
Bumi Aksara.
21. Wijaya, A. A. (2012). Merokok dan
18. Juniarti. (2018). Faktor-Faktor Yang Tuberkulosis. Jurnal Tuberkulosis
Berhubungan Dengan Kejadian Indonesia, 18-23.
Penyakit TB Paru di Desa Banten
Wilayah Kerja Puskesmas Kasemen 22. Puskesmas Serang Kota. (2018).
Kota Serang Tahun 2018. Skripsi. Laporan Register Bulanan Penderita TB
STIKes Faletehan. Serang Paru. Serang.

19. Susanti, L. I. (2016). Hubungan Antara 23. Puskesmas Serang Kota. (2019).
Kondisi Fisik Rumah Dan Perilaku Laporan Register Bulanan Penderita TB
Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Paru. Serang.
Wilayah Kerja Puskesmas Sangkrah
Kota Surakarta Tahun 2016. Publikasi
Ilmiah, 1-14.

10 Jurnal Ilmiah Kesehatan Masyarakat Volume 12 Edisi 1, 2020

Anda mungkin juga menyukai