Anda di halaman 1dari 40

TUBERKULOSIS PARU

Dosen Pengampu:
Ns. Dendy Kharisna, M.Kep.

Disusun:
Fadlun Apsari Putri (20301082)
Muhammad Rifqy (20301091)
Nadia Okviani (20301092)
Nadila Atika Putri (20301093)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKes PAYUNG NEGERI PEKANBARU
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah Swt, karena berkat rahmat-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah tentang ‘‘Tuberkulosis Paru’’ yang referensinya berasal
dari buku. Tujuannya adalah guna mengetahui penjelasan tentang penyakit Tuberkulosis
Paru dalam dunia keperawatan. Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
mendukung dalam pembuatan makalah ini, namun tentu saja makalah ini masih kurang
sempurna. Untuk itu kami sangat mengharapkan saran-saran positif supaya makalah ini
menjadi lebih baik lagi. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca dan
penulis khususnya. Sekian dan terima kasih.

Pekanbaru, 26 September 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................

DAFTAR ISI...................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................

1. L
atar belakang

1. T
ujuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................

1. D
efinisi

2.2 Etiologi.........................................................................................................

2.3 Manifestasi Klinik.......................................................................................

2.4 Patofisiologi dan WOC................................................................................

2.5 Komplikasi...................................................................................................

2.6 Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan...................................................

2.7 Pemeriksaan Penunjang/Diagnostik.............................................................

2.8 Asuhan Keperawatan....................................................................................


BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberculosis paru (TB paru) merupakan salah satu penyakit infeksi yang
prevalensinya paling tinggi di dunia. Berdasarkan laporan World Health Organitation
(WHO, 2012) sepertiga populasi dunia yaitu sekitar dua milyar penduduk terinfeksi
Mycobacterium Tuberculosis. Lebih dari 8 juta populasi terkena TB aktif setiap
tahunnya dan sekitar 2 juta meninggal. Lebih dari 90% kasus TB dan kematian berasal
dari negara berkembang salah satunya Indonesia (Depkes RI, 2012)

Menurut World Health Organization sejak tahun 2010 hingga Maret 2011, di
Indonesia tercatat 430.000 penderita TB paru dengan korban meninggal sejumlah
61.000. Jumlah ini lebih kecil dibandingkan kejadian tahun 2009 yang mencapai
528.063 penderita TB paru dengan 91.369 orang meninggal (WHO Tuberculosis Profile,
2012). Di Indonesia, tuberculosis merupakan masalah utama kesehatan masyarakat
dengan jumlah menempati urutan ke-3 terbanyak di dunia setelah Cina dan India,
dengan jumlah sekitar 10% dari total jumlah pasien tuberculosis di dunia. Diperkirakan
terdapat 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang setiap tahunnya. Jumlah
kejadian TB paru di Indonesia yang ditandai dengan adanya Basil Tahan Asam (BTA)
positif pada pasien adalah 110 per 100.000 2 penduduk (Riskesdas, 2013). Di Jawa
Tengah angka penemuan penderita TB paru dengan BTA positif tahun 2005 sebanyak
14.227 penderita, dengan rata-rata kasus atau case detection rate (CDR) sebesar 40,09%
meningkat menjadi 17.318 penderita dengan CDR 49,82% tahun 2006. Berdasarkan data
terbaru di provinsi Jawa Tengah sebesar 107/100.000 penduduk yang terdeteksi atau
case detection rate (CDR) per kabupaten capainnya dibawah rata-rata sebanyak 18
Kabupaten dengan angka terendah berada di Kabupaten Boyolali (Riskesdas, 2013).

Data Dinas Kesehatan Kabupaten Kudus menyebutkan terjadi peningkatan kasus


TB paru di Kabupaten Kudus pada tahun 2013. Angka kejadian TB paru pada tahun
2013 sebesar 130/100.000 penduduk, dengan tambahan kasus baru sebesar 53,72% dan
persentase kasus tuberculosis yang dapat disembuhkan sebesar 89,3%. Puskesmas
Jekulo adalah salah satu puskesmas di Kabupaten Kudus mengalami peningkatan
penderita TB paru pada tahun 2012 angka CDR sebesar 55,1%, menjadi 60,9% pada
tahun 2013 dan tahun 2014 meningkat menjadi 72,94% (Dinkes Kudus, 2013).
Tuberculosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan bakteri berbentuk batang (basil)
yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberculosis (Hiswani, 2004). Penularan
melalui perantara ludah atau dahak penderita yang mengandung basil tuberculosis paru.

Pengobatan TB paru dapat dilaksanakan secara tuntas dengan kerjasama yang baik
antara penderita TB Paru 3 dan tenaga kesehatan atau lembaga kesehatan, sehingga
penyembuhan pasien dapat dilakukan secara maksimal (Aditama, 2006) Penanganan TB
paru oleh tenaga dan lembaga kesehatan dilakukan menggunakan metode Direct
Observe Treatment Shortcourse (DOTS) atau observasi langsung untuk penanganan
jangka pendek. DOTS terdiri dari lima hal, yaitu komitmen politik, pemeriksaan dahak
di laboratorium, pengobatan berkesinambungan yang harus disediakan oleh negara,
pengawasan minum obat dan pencatatan laporan (Resmiyati, 2011).
Pasien tuberculosis yang menjalani tahap pengobatan di Puskesmas Jekulo pada
bulan Agustus 2015 sebanyak 39 orang. Selama pengobatan terdapat pasien yang gagal
sebanyak 16,6% yang artinya dari 39 orang penderita TB paru, lima diantara penderita
tersebut, kembali berobat setelah lost to follow up atau berhenti berobat paling sedikit 2
bulan dengan pengobatan kategori 2 (kasus kambuh atau gagal dengan BTA positif)
serta hasil pemeriksaan dahak menunjukkan BTA positif.                  

Keberhasilan pengobatan tuberculosis tergantung pada pengetahuan pasien dan


dukungan dari keluarga. Tidak ada upaya dari diri sendiri atau motivasi dari keluarga
yang kurang memberikan dukungan untuk berobat secara tuntas akan mempengaruhi
kepatuhan pasien untuk mengkonsumsi obat. Apabila ini dibiarkan, dampak yang akan
muncul jika penderita berhenti minum obat adalah munculnya kuman tuberculosis yang
resisten terhadap obat, jika ini terus terjadi dan kuman tersebut terus menyebar
pengendalian obat tuberculosis akan 4 semakin sulit dilaksanakan dan meningkatnya
angka kematian terus bertambah akibat penyakit tuberculosis (Amin dan Bahar, 2007).

Dari survei dengan cara observasi dan wawancara dengan lima orang penderita TB
paru yang gagal di wilayah kerja Puskesmas Jekulo, empat dari lima orang penderita
mengatakan bahwa mereka tidak tahu tentang penyakit TB paru yang dideritanya,
penderita hanya mengatakan bahwa penyakitnya hanya batuk biasa dan biasanya
langsung sembuh sendiri. Selain itu penderita juga mengatakan tidak mengetahui tentang
apa itu TB paru, apa gejalanya, bagaimana penularanya dan bagaimana cara
pengobatannya. Penderita TB paru mengatakan tidak tahu upaya apa yang harus
dilakukan untuk menyembuhkan penyakitnya. Mereka juga tidak tahu jangka waktu
pengobatanya oleh karena itu mereka tidak disiplin dalam minum obat. Hal ini
menunjukkan bahwa pengetahuan tentang kepatuhan pengobatan penyakit TB paru
masih sangat kurang. Hasil observasi menunjukan bahwa masalah utama para penderita
adalah kurangnya perilaku hidup bersih antara lain rumah yang lembab, kurangnya
pencahayaan pada siang hari dan lingkungan rumah yang kotor.
A. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara pengetahuan penderita tuberculosis.

2. Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :

a. Pengetahuan penderita tuberculosis tentang dengan kepatuhan minum obat


tuberculosis.

b. Dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat tuberculosis.

c. Kepatuhan minum obat tuberculosis.

d. Hubungan pengetahuan penderita tuberculosis dengan kepatuhan minum obat


tuberculosis.

e. Hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat tuberculosis.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Definisi
Tuberculosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Kuman batang tahan aerobic dan tahan asam ini dapat
merupakan organisme patogen maupun saprofit (Silvia A Price, 2005).
Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim
paru, dengan agen infeksius utama Mycobacterium tuberculosis (Smeltzer & Bare,
2001). Tuberculosis paru adalah penyakit infeksi pada paru yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yaitu suatu bakteri yang tahan asam (Suriadi, 2001).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Tuberculosis Paru adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis suatu basil
yang tahan asam yang menyerang parenkim paru atau bagian lain dari tubuh
manusia. Klasifikasi Tuberculosis di Indonesia yang banyak dipakai berdasarkan
kelainan klinis, radiologist dan mikrobiologis :
1. Tuberkulosis paru
2. Bekas tuberculosis
3. Tuberkulosis paru tersangka yang terbagi dalam :
a. TB paru tersangka yang diobati ( sputum BTA negatif, tapi tanda – tanda lain
positif) TB paru tersangka yang tidak dapat diobati ( sputum BTA negatif dan
tanda – tanda lain meragukan )

B. Anatomi dan Fisiologi


Anatomi Sistem Penafasan

Paru adalah struktur elastik yang dibungkus dalam sangkar toraks, yang
merupakan suatu bilik udara kuat dengan dinding yang dapat menahan tekanan.
Paru-paru ada dua, merupakan alat pernafasan utama, paru-paru mengisi rongga
dada, terletak di sebelah kanan dan kiri dan di tengah dipisahkan oleh jantung
beserta pembuluh darah besarnya dan struktur lainnya yang terletak di dalam
mediastinum.
Mediastinum adalah dinding yang membagi rongga toraks menjadi dua bagian.
Mediastinum terbentuk dari dua lapisan pleura. Semua struktur toraks kecuali paru-
paru terletak diantara kedua lapisan pleura. Bagian terluar paru-paru dilindungi oleh
membran halus dan licin yang disebut pleura yang juga meluas untuk membungkus
dinding interior toraks dan permukaan superior diafragma, sedangkan pleura
viseralis melapisi paru-paru. Antara kedua pleura ini terdapat ruang yang disebut
spasium pleura yang mengandung sejumlah kecil cairan yang melicinkan
permukaan dan memungkinkan keduanya bergeser dengan bebas selama ventilasi.
Setiap paru dibagi menjadi lobus-lobus. Paru kiri terdiri atas lobus atas dan
bawah. Sementara paru kanan mempunyai lobus atas, tengah dan bawah. Setiap
lobus lebih jauh dibagi lagi menjadi segmen yang dipisahkan oleh fisurel yang
merupakan perluasan pleura. Dalam setiap lobus paru terdapat beberapa divisi-
divisi bronkus. Pertama adalah bronkus lobaris (tiga pada paru kanan dan pada paru
kiri). Bronkus lobaris dibagi menjadi bronkus segmental (sepuluh pada paru kanan
dan delapan pada paru kiri). Bronkus segmental kemudian dibagi lagi menjadi
bronkus sub segmental. Bronkus ini dikelilingi oleh jaringan ikat yang memiliki
arteri, limfotik dan syaraf. Bronkus subsegmental membantu percabangan menjadi
bronkiolus. Bronkiolus membantu kelenjar submukosa yang memproduksi lendir
yang membentuk selimut tidak terputus untuk laposan bagian dalam jalan nafas.
Bronkus dan bronkiolus juga dilapisi sel-sel yang permukaannya dilapisi oleh silia
dan berfungsi untuk mengeluarkan lendir dan benda asing menjauhi paru-paru
menuju laring. Bronkiolus kemudian membentuk percabangan menjadi bronkiolus
terminalis yang tidak mempunyai kelenjar lendir dan silia. Bronkiolus terminalis
kemudian menjadi saluran transisional antara kalan udara konduksi dan jalan udara
pertukaran gas. Bronkiolus respiratori kemudian mengarah ke dalam duktus
alveolus dan jakus alveolar kemudian alveoli. Pertukaran oksigen dan
karbondioksida terjadi di dalam alveoli. Paru terbentuk oleh sekitar 300 juta alveoli.
Terdapat tiga jenis sel-sel alveolar, yaitu tipe I adalah sel membentuk dinding
alveolar. Sel-sel alveolar tipe II adalah sel-sel yang aktif secara metabolik,
mensekresi sufraktan, suatu fostolipid yang melapisi permukaan dalam dan
mencegah alveolar agar tidak kolaps. Sel alveoli tipe III adalah makrofag yang
merupakan sel-sel fagosit besar yang memakan benda asing, seperti lendir dan
bakteri, bekerja sebagai mekanisme pertahanan yang penting (Smeltzer & Bare,
2002).

2.2.Etiologi
Penyebab dari penyakit tuebrculosis paru adalah terinfeksinya paru oleh
micobacterium tuberculosis yang merupakan kuman berbentuk batang dengan
ukuran sampai 4 mycron dan bersifat anaerob. Sifat ini yang menunjukkan kuman
lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya, sehingga paru-paru
merupakan tempat prediksi penyakit tuberculosis. Kuman ini juga terdiri dari asal
lemak (lipid) yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam dan lebih tahan
terhadap gangguan kimia dan fisik. Penyebaran mycobacterium tuberculosis yaitu
melalui droplet nukles, kemudian dihirup oleh manusia dan menginfeksi (Depkes
RI, 2002).

1.1.Manifestasi klinik
Tanda dan gejala tuberculosis menurut Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam
(2006) dapat bermacam-macam antara lain :
1. Demam
Umumnya subfebris, kadang-kadang 40-410C, keadaan ini sangat dipengaruhi
oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberculosis
yang masuk.
2. Batuk
Terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk
membuang produk radang. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non
produktif). Keadaan setelah timbul peradangan menjadi produktif
(menghasilkan sputum atau dahak). Keadaan yang lanjut berupa batuk darah
haematoemesis karena terdapat pembuluh darah yang cepat. Kebanyakan batuk
darah pada TBC terjadi pada dinding bronkus.
3. Sesak nafas
Pada gejala awal atau penyakit ringan belum dirasakan sesak nafas. Sesak
nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut dimana infiltrasinya
sudah setengah bagian paru-paru.
4. Nyeri dada
Gejala ini dapat ditemukan bila infiltrasi radang sudah sampai pada pleura,
sehingga menimbulkan pleuritis, akan tetapi, gejala ini akan jarang ditemukan.
5. Malaise
Penyakit TBC paru bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan anoreksia, berat badan makin menurun, sakit kepala, meriang, nyeri
otot dan keringat malam. Gejala semakin lama semakin berat dan hilang timbul
secara tidak teratur.

1.4.Patofisiologi dan WOC


Tempat masuk kuman mycobacterium adalah saluran pernafasan, infeksi
tuberculosis terjadi melalui (airborn) yaitu melalui instalasi dropet yang
mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi.
Basil tuberkel yang mempunyai permukaan alveolis biasanya diinstalasi sebagai
suatu basil yang cenderung tertahan di saluran hidung atau cabang besar bronkus
dan tidak menyebabkan penyakit.
Setelah berada dalam ruangan alveolus biasanya di bagian lobus atau paru-paru
atau bagian atas lobus bawah basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan,
leukosit polimortonuklear pada tempat tersebut dan memfagosit namun tidak
membunuh organisme tersebut. Setelah hari-hari pertama masa leukosit diganti
oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul
gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya,
sehingga tidak ada sisa yang tertinggal atau proses dapat juga berjalan terus dan
bakteri terus difagosit atau berkembang biak, dalam sel basil juga menyebar
melalui gestasi bening reginal. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih
panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang
dikelilingi oleh limfosit, nekrosis bagian sentral lesi yang memberikan gambaran
yang relatif padat dan seperti keju-lesi nekrosis kaseora dan jaringan granulasi di
sekitarnya terdiri dari sel epiteloid dan fibrosis menimbulkan respon berbeda,
jaringan granulasi menjadi lebih fibrasi membentuk jaringan parut akhirnya akan
membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel.
Lesi primer paru-paru dinamakan fokus gholi dengan gabungan terserangnya
kelenjar getah bening regional dari lesi primer dinamakan komplet ghon dengan
mengalami pengapuran. Respon lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis adalah
pencairan dimana bahan cairan lepas ke dalam bronkus dengan menimbulkan
kapiler materi tuberkel yang dilepaskan dari dinding kavitis akan masuk ke dalam
percabangan keobronkial. Proses ini dapat terulang kembali di bagian lain dari
paru-paru atau basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah atau usus.
Kavitis untuk kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dengan
meninggalkan jaringan parut yang terdapat dekat dengan perbatasan bronkus
rongga. Bahan perkijaan dapat mengontrol sehingga tidak dapat mengalir melalui
saluran penghubung, sehingga kavitasi penuh dengan bahan perkijuan dan lesi
mirip dengan lesi berkapsul yang terlepas. Keadaan ini dapat tidak menimbulkan
gejala dalam waktu lama dan membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan
menjadi limpal peradangan aktif.
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah.
Organisme atau lobus dari kelenjar betah bening akan mencapai aliran darah dalam
jumlah kecil, yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ
lain. Jenis penyebaran ini dikenal sebagai penyebaran limfo hematogen yang
biasanya sembuh sendiri, penyebaran ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak
pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk ke dalam sistem vaskuler dan
tersebar ke organ-organ tubuh (Price & Wilson 2005).

1.2.Komplikasi
Menurut Suriadi (2006) kompliki dari TB Paru antara lain :
1. Meningitisas
2. Spondilitis
3. Pleuritis
4. Bronkopneumoni
5. Atelektasi

2.6 Penatalaksaan Medis dan Keperawatan


1. Pencegahan
a. Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat
dengan penderita tuberculosis paru BTA positif.
b. Mass chest X-ray, yaitu pemeriksaan missal terhadap kelompok – kelompok
populasi tertentu misalnya : karyawan rumah sakit, siswa – siswi pesantren.
c. Vaksinasi BCG
d. Kemofolaksis dengan menggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6 – 12 bulan
dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang masih
sedikit.
e. Komunikasi, informasi, dan edukasi tentang penyakit tuberculosis kepada
masyarakat.
2. Pengobatan
Tuberkulosis paru diobati terutama dengan agen kemoterapi ( agen
antituberkulosis) selama periode 6 sampai 12 bulan. Lima medikasi garis
depan digunakan adalah Isoniasid ( INH ), Rifampisin ( RIF ), Streptomisin
( SM ), Etambutol ( EMB ), dan Pirazinamid ( PZA ). Kapremiosin,
kanamisin, etionamid, natrium para-aminosilat, amikasin, dan siklisin
merupakan obat – obat baris kedua (Smeltzer & Bare, 2001).

1.3.Pemeriksaan Medis dan Keperawatan


Pemeriksaan penunjang pada pasien tuberculosis paru yaitu:
a. Kultur sputum: positif untuk mycobacterium tuberculosis pada tahap akhir
penyakit.
b. Ziehl-Neelsen (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan cairan
darah) positif untuk basil asam cepat.
c. Tes kulit (mantoux, potongan vollmer): reaksi positif (area indurasi 10 mm atau
lebih besar, terjadi 48-72 jam setelah injeksi intra dermal antigen) menunjukkan
infeksi masa lalu dan adanya antibodi tetapi tidak secara berarti menunjukkan
penyakit aktif.
d. Elisa/Wostern Blot: dapat menyatakan adanya HIV.
e. Foto thorak: dapat menunjukkan infiltrasi lesi awal pada area paru atas
simpangan kalsium lesi sembuh primer atau effuse cairan.
f. Histologi atau kultur jaringan paru: positif untuk mycobacterium tuberculosis,
g. Biopsi jarum pada jaringan paru: positif untuk granulana Tb, adanya sel raksasa
menunjukkan nekrosis,
h. Nektrolit: dapat tidak normal tergantung pada lokasi dan beratnya infeksi.
i. GDA: dapat normal tergantung lokasi, berat dan kerusakan sisa pada paru.
j. Pemeriksaan fungsi paru: penurunan kapasitas vital, peningkatan ruang mati,
peningkatan rasio udara dan kapasitas paru total dan penurunan saturasi oksigen
sekunder terhadap infiltrasi parenkim/fibrosis, kehilangan jaringan paru dan
penyakit pleural (TB paru kronis luas)

1.4.Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
Pengkajian tergantung pada tahap penyakit dan derajat yang terkena
1. Aktivitas atau istirahat
Gejala : kelelahan umum dan kelemahan, mimpi buruk, nafas pendek
karena kerja, kesulitan tidur pada malam hari, menggigil atau
berkeringat.
Tanda : takikardia. takipnea/dispnea pada kerja, kelelahan otot, nyeri
dan sesak (tahap lanjut).
2. Integritas EGO Gejala : adanya faktor stress lama, masalah keuangan
rumah, perasaan tidak berdaya/tidak ada harapan. Populasi
budaya/etnik, missal orang Amerika asli atau imigran dari Asia
Tenggara/benua lain. Tanda : menyangkal (khususnya selama tahap
dini) ansietas ketakutan, mudah terangsang.
3. Makanan/cairan Gejala : kehilangan nafsu makan. tidak dapat mencerna
penurunan berat badan. Tanda : turgor kulit buruk, kering/kulit bersisik,
kehilangan otot/hilang lemak subkutan.
4. Nyeri atau kenyamanan
Gejala : nyeri dada meningkat karena batuk berulang.
Tanda : berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, gelisah.
5. Pernafasan
Gejala : batuk produktif atau tidak produktif, nafas pendek, riwayat
tuberculosis terpajan pada individu terinfeksi.
Tanda : peningkatan frekuensi pernafasan (penyakit luas atau fibrosis
parenkim paru pleura) pengembangan pernafasan tidak simetri (effuse
pleura) perkusi pekak dan penurunan fremitus (cairan pleural atau
penebalan pleural bunyi nafas menurun/tidak ada secara bilateral atau
unilateral efusi pleural/pneumotorak) bunyi nafas tubuler dan bisikan
pectoral di atas lesi luas, krekels tercabut di atas aspek paru selama
inspirasi cepat setelah batuk pendek (krekes posttussic) karakteristik
sputum: hijau, puluren, muloid kuning atau bercak darah deviasi trakeal
(penyebaran bronkogenik).
6. Keamanan
Gejala : adanya kondisi penekanan imun. contoh: AIDS, kanker. Tes 111V
positif. Tanda : demam rendah atau sedikit panas akut.
7. Interaksi sosial Gejala : perasaan isolasi/penolakan karena penyakit
menular, perubahan bisa dalam tanggungjawab/perubahan kapasitas fisik
untuk melaksanakan peran.
8. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang pada pasien tuberculosis
paru yaitu:
a. Kultur sputum: positif untuk mycobacterium tuberculosis pada tahap
akhir penyakit.
b. Ziehl-Neelsen (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan
cairan darah) positif untuk basil asam cepat.
c. Tes kulit (mantoux, potongan vollmer): reaksi positif (area indurasi 10
mm atau lebih besar, terjadi 48-72 jam setelah injeksi intra dermal antigen)
menunjukkan infeksi masa lalu dan adanya antibodi tetapi tidak secara
berarti menunjukkan penyakit aktif.
d. Elisa/Wostern Blot: dapat menyatakan adanya HIV.
e. Foto thorak: dapat menunjukkan infiltrasi lesi awal pada area paru atas
simpangan kalsium lesi sembuh primer atau effuse cairan.
f. Histologi atau kultur jaringan paru: positif untuk mycobacterium
tuberculosis,
g. Biopsi jarum pada jaringan paru: positif untuk granulana Tb, adanya sel
raksasa menunjukkan nekrosis,
h. Nektrolit: dapat tidak normal tergantung pada lokasi dan beratnya infeksi.
i. GDA: dapat normal tergantung lokasi, berat dan kerusakan sisa pada paru.
j. Pemeriksaan fungsi paru: penurunan kapasitas vital, peningkatan ruang
mati, peningkatan rasio udara dan kapasitas paru total dan penurunan
saturasi oksigen sekunder terhadap infiltrasi parenkim/fibrosis, kehilangan
jaringan paru dan penyakit pleural (TB paru kronis luas)

B. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental,
kelemahan upaya batuk buruk
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi mukopurulen dan
kekurangan upaya batuk
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan
efek paru. Kerusakan membran di alveolar, kapiler, sekret kevtal dan tebal
4. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses peradangan
5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
mual, muntah, anoreksia.
6. Gangguan pada istirahat tidur berhubungan dengan sesak nafas dan batuk
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan dan inadekuat
oksigenasi untuk aktivitas
8. Kurang pengetahuan mengenai kondisi aturan tindakan dan pencegahan
berhubungan dengan jalan interpretasi inibrasi, keterbatasan kognitif
9. Resiko tinggi infeksi terhadap penyebaran berhubungan dengan pertahan
primer adekuat, kerusakan jaringan penakanan proses inflamasi, malnutrisi.

C. Intervensi Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental,
kelemahan upaya batuk buruk
a. Tujuan : bersihan jalan nafas efektif
b. KH : pasien dapat mempertahankan jalan nafas dan mengeluarkan sekret
tanpa bantuan
c. Intervensi
1) Kaji fungsi pernafasan contoh bunyi nafas, kecepatan, irama, dan kelemahan
dan penggunaan otot bantu. Rasional : Peningkatan bunyi nafas dapat
menunjukkan atelektasis, ronchi, mengi menunjukkan akumulasi
sekret/ketidakmampuan untuk membersihkan jalan nafas yang dapat
menimbulkan penggunaan otot akseseri pernafasan dan peningkatan kerja
pernafasan.
2) Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukosa batuk efektif, catat karakter,
jumlah sputum, adanya hemoptisis Rasional : Pengeluaran sulit bila sekret
sangat tebal sputum berdarah kental/darah cerah (misal efek infeksi, atau tidak
kuatnya hidrasi).
3) Berikan klien posisi semi atau fowler tinggi
Rasional : Posisi membantu memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan
upaya pernafasan.

K. Fokus Intervensi dan Rasional


4) Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, penghisapan sesuai keperluan
Rasional : Mencegah obstruksi respirasi, penghisapan dapat diperlukan bila
pasien tidak mampu mengeluarkan sekret.
5) Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 m/hari kecuali kontra indikasi
Rasional : Pemasukan tinggi cairan membantu untuk mengencerkan sekret,
membantu untuk mudah dikeluarkan.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi mukopurulen dan
kekurangan upaya batuk
a. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan pola nafas kembali aktif
b. KH : dispnea berkurang, frekuensi, irama dan kedalaman dan pernafasan
normal

c. Intervensi
1) Kaji kualitas dan kedalaman pernafasan penggunaan otot aksesoris, catat
setiap perubahan
Rasional : Kecepatan biasanya meningkat, dispnea terjadi peningkatan kerja
nafas, kedalaman pernafasan dan bervariasi tergantung derajat gagal nafas.
2) Kaji kualitas sputum, warna, bau dan konsistensi
Rasional : Adanya sputum yang tebal, kental, berdarah dan purulen diduga
terjadi sebagai masalah sekunder.
3) Baringkan klien untuk mengoptimalkan pernafasan (semi fowler)
Rasional : Posisi duduk memungkinkan ekspansi paru maksimal upaya batuk
untuk memobilisasi dan membuang sekret.

3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan efek


paru, kerusakan membran alveolar, kapiler, sekret kental dan tebal
a. Tujuan : tidak ada tanda-tanda dispnea
b. KH : melaporkan tidak adanya penurunan dispnea, menunjukkan perbaikan
ventilasi dan O2 jaringan adekuat dengan AGP dalam rentang normal, bebes
dari gejala, distres pernafasan.

c. Intervensi dan rasional


1) Kaji dispnea, takipnea, tidak normal atau menurunnya bunyi nafas,
peningkatan upaya pernafasan, terbatasnya ekspansi dinding dada dan
kelemahan.
Rasional : TB paru menyebabkan efek luas pada paru dari bagian kecil
bronkopneumonia sampai inflamasi difus luas nekrosis effure pleural untuk
fibrosis luas.
2) Evaluasi tingkat kesadaran, catat sianosis dan perubahan pada warna kulit,
termasuk membran mukosa dan kuku Rasional : Akumulasi sekret/pengaruh
jalan nafas dapat mengganggu O2 organ vital dan jaringan.
3) Tunjukkan/dorong bernafas dengan bibir selama endikasi, khususnya untuk
pasien dengan fibrosis atau kerusakan parenkim Rasional : Membuat tahanan
melawan udara luar untuk mencegah kolaps atau penyempitan jalan nafas,
sehingga membantu menyebarkan udara melalui paru dan menghilangkan atau
menurunkan nafas pendek. 4) Tingkatkan tirah baring / batasi aktivitas dan
bantu aktivitas pasien sesuai keperluan Rasional : Menurunkan konsumsi
oksigen/kebutuhan selama periode penurunan pernafasan dapat menurunkan
beratnya gejala.
5) Kolaborasi medis dengan pemeriksaan ACP dan pemberian oksigen Rasional
: Mencegah pengeringan membran mukosa, membantu pengenceran sekret.
4. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses peradangan
a. Tujuan : Suhu tubuh kembali normal
b. Kriteria hasil : Suhu tubuh dalam rentang normal (360 C - 370C)

c. Intervensi dan rasional :


1) Pantau suhu tubuh Rasional : Sebagai indikator untk mengetahui status
hipertermi
2) Anjurkan untuk mempertahanan masukan cairan adekuat untuk mencegah
dehidrasi Rasional : Dalam kondisi demam terjadi peningkatan evaporasi yang
memicu timbulnya dehidrasi
3) Berikan kompres hangat pada lipatan ketiak dan femur Rasional :
Menghambat pusat simpatis dan hipotalamus sehingga terjadi vasodilatasi kulit
dengan merangsang kelenjar keringat untuk mengurangi panas tubuh melalui
penguapan
4) Anjurkan pasin untuk memakai pakaian yang menyerap keringat Rasional :
Kondisi kulityang mengalami lembab memicu timbulnya pertumbuhan jamur.
Juga akan mngurangi kenyamanan pasien.
5) Kolaborasi pemberian antipiretik Rasional : Mengurangi panas dengan
farmakologis
5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kelemahan, anoreksia, ketidakcukupan nutrisi
a. Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi (tidak terjadi perubahan nutrisi)
b. Kriteria hasil : pasien menunjukkan peningkatan berat badan dan melakukan
perilaku atau perubahan pola hidup.
c. Intervensi dan rasional:
1). Catat status nutrisi pasien dari penerimaan, catat turgor kulit, berat badan
dan derajat kekurangannya berat badan, riwayat mual atau muntah, diare.
Rasional : berguna dalam mendefinisikan derajat/luasnya masalah dan pilihan
intervensi yang tepat
2). Pastikan pada diet biasa pasien yang disukai atau tidak disukai. Rasional :
membantu dalam mengidentifikasi kebutuhan pertimbangan keinginan individu
dapat memperbaiki masukan diet.
3). Selidiki anoreksia, mual dan muntah dan catat kemungkinan hubungan
dengan obat, awasi frekuensi, volume konsistensi feces. Rasional : Dapat
mempengaruhi pilihan diet dan mengidentifikasi area pemecahan masalah
untuk meningkatkan pemasukan atau penggunaan nutrien.
4). Dorong dan berikan periode istirahat sering. Rasional : Membantu
menghemat energi khususnya bila kebutuhan meningkat saat demam.
5). Berikan perawatan rnulut sebelum dan sesudah tindakan pernafasan.
Rasional : Menurunkan rasa tidak enak karena sisa sputum atau obat untuk
pengobatan respirasi yang merangsang pusat muntah.
6). Dorong makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein. Rasional :
Masukan nutrisi tanpa kelemahan yang tidak perlu atau kebutuhan energi dari
makan makanan banyak dari menurunkan iritasi gaster.
7). Kolaborasi, rujuk ke ahli diet untuk menentukan komposisi diet. Rasional :
bantuan dalam perencanaan diet dengan nutrisi adekuat untuk kebutuhan
metabolik dan diet.
6. Gangguan pola istirahat tidur berhubungan dengan sesak nafas dan batuk.
a. Tujuan : agar pola tidur terpenuhi.
b. Kriteria hasil : pasien dapat istirahat tidur tanpa terbangun.
c. Intervensi dan rasional:
1). Diskusikan perbedaan individual dalam kebutuhan tidur berdasarkan hal
usia, tingkat aktivitas, gaya hidup tingkat stress. Rasional : rekomendasi yang
umum untuk tidur 8 jam tiap malam nyatanya tidak mempunyai fungsi dasar
ilmiah individu yang dapat rileks dan istirahat dengan mudah memerlukan
sedikit tidur untuk merasa segar kembali dengan bertambahnya usia, waktu
tidur. Total secara umum menurun, khususnya tidur tahap IV dan waktu tahap
meningkat.
2). Tingkatkan relaksasi, berikan lingkungan yang gelap dan terang, berikan
kesempatan untuk memilih penggunaan bantal, linen dan selimut, berikan ritual
waktu tidur yang menyenangkan bila perlu pastikan ventilasi ruangan baik,
tutup pintu ruangan bila klien menginginkan. Rasional : tidur akan sulit dicapai
sampai tercapai relaksasi, lingkungan rumah sakit dapat mengganggu relaksasi.
7. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan keletihan dan inadekuat
oksigen untuk aktivitas.
a. Tujuan : agar aktivitas kembali efektif.
b. Kriteria hasil : pasien mampu melakukan aktifitas secara mandiri dan tidak
kelelahan setelah beraktivitas.
c. Intervensi dan rasional:
1). Jelaskan aktivitas dan faktor yang meningkatkan kebutuhan oksigen seperti
merokok. suhu sangat ekstrim, berat badan kelebihan, stress. Rasional :
merokok, suhu ekstrim dan stress menyebabkan vasokastriksi yang
meningkatkan beban kerja jantung dan kebutuhan oksigen, berat badan
berlebihan, meningkatkan tahapan perifer yang juga meningkatkan beban kerja
jantung.
2). Secara bertahap tingkatan aktivitas harian klien sesuai peningkatan toleransi.
Rasional : mempertahankan pernafasan lambat, sedang dan latihan yang
diawasi memperbaiki kekuatan otot asesori dan fungsi pernafasan.
3). Memberikan dukungan emosional dan semangat Rasional : rasa takut
terhadap kesulitan bernafas dapat menghambat peningkatan aktivitas.
4). Setelah aktivitas kaji respon abnormal untuk meningkatkan aktivitas.
Rasional : intoleransi aktivitas dapat dikaji dengan mengevaluasi jantung
sirkulasi dan status pernafasan setelah beraktivitas.
8. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, aturan tindakan
dan pencegahan berhubungan dengan salah satu interprestasi informasi,
keterbatasan kognitif, tidak lengkap informasi yang ada.
a. Tujuan : pengetahuan pasien bertambah tentang penyakit tuberkulosis paru.
b. Kriteria hasil : pasien menyatakan mengerti tentang penyakit tuberkulosis
paru.
c. Intervensi dan rasional:
1). Kaji kemampuan pasien untuk belajar Rasional : belajar tergantung pada
emosi dari kesiapan fisik dan ditingkatkan pada tahapan individu.
2). Berikan instruksi dan informasi tertulis pada pasien untuk rujukan contoh:
jadwal obat. Rasional : informasi tertulis menentukan hambatan pasien untuk
mengingat sejumlah besar informasi pengulangan menguatkan belajar.
3). Jelaskan dosis obat, frekuensi pemberian, kerja yang diharapkan dan alasan
pengobatan lama, dikaji potensial interaksi dengan obat atau subtansi lain.
Rasional : meningkatkan kerjasama dalam program pengobatan dan mencegah
penghentian obat sesuai perbaikan kondisi pasien..
4). Dorong untuk tidak merokok. Rasional : meskipun merokok tidak
merangsang berulangnya TBC tetapi meningkatkan disfungsi pernafasan.
5). Kaji bagaimana yang ditularkan kepada orang lain Rasional : pengetahuan
dapat menurunkan resiko penularan atau reaktivitas ulang juga komperkasi
sehubungan dengan reaktivitas.
9. Resiko tinggi infeksi terhadap penyebaran atau aktivitas ulang berhubungan
dengan pertahanan primer tidak adekuat, kerusakan jaringan, penekanan proses
inflamasi, mal nutrisi.
a. Tujuan : tidak terjadi infeksi terhadap penyebaran.
b. Kriteria hasil : pasien mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau
menurunkan resiko penyebaran infeksi, melakukan perubahan pola hidup.
c. Intervensi dan rasional:
1). Kaji patologi penyakit dan potensial penyebaran infeksi ' melalui droplet
udara selama batuk, bersin, meludah, bicara, tertawa. Rasional : membantu
pasien menyadari/menerima perlunya mematuhi program pengobatan untuk
mencegah pengaktifan berulang atau komplikasi serta membantu pasien atau
orang terdekat untuk mengambil langkah untuk mencegah infeksi ke orang lain.
2). Identifikasi orang lain yang beresiko, missal: anggota keluarga, sahabat
karib/teman. Rasional : orang-orang yang terpejan ini perlu program terapi obat
untuk mencegah penyebaran/terjadinya infeksi.
3). Kaji tindakan kontrol infeksi sementara, missal: masker atau isolasi
pernafasan. Rasional: dapat membantu menurunkan rasa terisolasi pasien dan
membuang stigma sosial sehubungan dengan penyakit menular.
4). Anjurkan pasien untuk batuk/bersin dan mengeluarkan pada tisu dan
menghindari meludah. Kaji pembuangan tisu sekali pakai dan teknik mencuci
tangan yang tepat, dorong untuk mengulangi demonstrasi. Rasional : perilaku
yang diperlukan untuk mencegah penyebaran
5). Tekanan pentingnya tidak menghentikan terapi obat. Rasional : periode
singkat berakhir 2-3 hari setelah kemoterapi awal, tetapi pada adanya rongga
atau penyakit luas, sedang resiko penyebaran infeksi dapat berlanjut sampai 3
bulan.
6). Dorong memilih mencerna makanan seimbang, berikan makan sering,
makanan kecil pada jumlah, makanan besar yang tepat. Rasional : adanya
anoreksia (mal nutrisi sebelumnya, merendahkan tahapan terhadap proses
infeksi dan mengganggu penyembuhan, makanan kecil dapat meningkatkan
pemasukan semua.
BAB III
MCP KASUS

A. Analisa Kasus
Data fokus Etiologi Masalah Keperawatan
Ds: ps mengatakan sesak Hambatan upaya nafas Gangguan pola nafas
nafas
Do:
- Penggunaan otot
bantu nafas
- Pengembangan dada
tidak asimetris
- Perkusi dada
terdapat dullnes
- Frekuensi nafas 32x
Ds: ps mengatakan batuk Terdapat secret Bersihan jalan nafas tidak
berdahak berwarna kuning, efektif
kadang kemerahaan
Do:
- Batuk berwarna
kuning pekat,
disertai bercak
merah
- Suara nafas
terdengar ronchi
Ds: ps mengatakan susah Gangguan tidur Gangguan pola tidur
tidur karena batuk makin
kuat pada malam hari

Do:
- Ps tampak lemas
- Ps tampak
kesusahan tidur
Ds: Anoreksia Gangguan pemenuhan
- ps tidak nafsu nutrisi
makan
- Ps merasa baju yg
dikenakan terasa
longgar
Do:
- Ps tampak tidak
nafsu makan
- Ps tampak
mengalami
penurunan berat
badan
Ds: ps mengatakan demam Proses penyakit Hipertermi
yg hilang timbul
Do:
- S: 37,5
- Ps tampak demam
pada saat malam
hari

B. Diagnosa keperawatan
1. Gangguan pola nafas b.d hambatan upaya nafas
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d penumpukan secret
3. Gangguan pola tidur b.d gangguan tidur
4. Gangguan pemenuhan nutrisi b.d anoreksia
5. Hipertermi b.d proses penyakit

C. Intervensi keperawatan
Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
keperawatan
Gangguan pola nafas Tujuan: PEMANTAUAN RESPIRASI
b.d hambatan upaya Setelah dilakukan (I.01014)
nafas tindakan keperawatan
selama 3x24 jam Observasi
diharapkan inspirasi dan - Monitor frekuensi, irama,
ekspirasi membaik kedalaman, dan upaya napas
Kriteria Hasil: - Monitor pola napas (seperti
- Tidak bradipnea, takipnea,
terdapatnya hiperventilasi, Kussmaul ,
dispnea Cheyne-Stokes, Biot, ataksik
- Tidak - Monitor kemampuan batuk
terdapatnya efektif
penggunaan otot - Pantau adanya produksi
nafas sputum
- Frekuensi nafas - Monitor adanya sumbatan
membaik jalan napas
- Palpasi kesimetrisan ekspansi
paru
- Auskultasi bunyi napas
- Pantau saturasi oksigen
- Pantau nilai AGD
- Pantau hasil x-ray toraks
Terapeutik
- Atur interval waktu
Pemantauan respirasi sesuai
kondisi pasien
- Dokumentasikan hasil
Pemantauan
Pendidikan
- Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
- Informasikan hasil
Pemantauan, jika perlu
Bersihan jalan nafas Tujuan: Manajemen Jalan Nafas (I. 01011)
tidak efektif b.d Setelah dilakukan
penumpukan secret tindakan keperawatan Observasi
selama 3x24 jam - Monitor pola napas
diharapkan oksigenasi (frekuensi, kedalaman, usaha
membaik, batuk napas)
berkurang - Monitor bunyi napas
Kriteria hasil: tambahan (mis. Gurgling,
- Batuk efektif mengi, weezing, ronkhi
berkurang kering)
- Produksi sputum - Monitor sputum (jumlah,
berkurang warna, aroma)
- Tidak Terapeutik
terdapatnya - Pertahankan kepatenan jalan
sianosis napas dengan head-tilt dan
chin-lift (jaw-thrust jika
curiga trauma cervical)
- Posisikan semi-Fowler atau
Fowler
- Berikan minum hangat
- Lakukan fisioterapi dada, jika
perlu
- Lakukan penghisapan lendir
kurang dari 15 detik
- Lakukan hiperoksigenasi
sebelum
- Penghisapan endotrakeal
- Keluarkan sumbatan benda
padat dengan forsepMcGill
- Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
- Anjurkan asupan cairan 2000
ml/hari, jika tidak
kontraindikasi.
- Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu.
Gangguan pola tidur Tujuan Dukungan tidur
b.d Gangguan tidur Setelah dilakukan Observasi
tindakan keperawatan - Identifikasi pola aktivitas dan
selama 3x24 jam tidur
diharapkan pola tidur - Identifikasi faktor penganggu
membaik tidur
Kriteria hasil: - Identifikasi penggunaan obat
- Pola tidur tidur
membaik Terapeutik
- Tidak ada - Modifikasi lingkungan
gangguan pola - Batasi waktu tidur siang jika
tidur
perlu
- Jam tidur
- Fasilitasi menghilangkan
membaik
stress sebelum tidur
- Sesuaikan jadwal pengunaan
obat
Edukasi
- Jelaskan pentingnya tidur
selama sakit
- Anjurkan menepati kebiasaan
waktu tidur
Gangguan Tujuan: 1. MANAJEMEN
pemenuhan nutrisi b.d Setelah dilakukan NUTRISI (I. 03119)
anoreksia tindakan keperawatan 1. Observasi
selama 3x24 jam o Identifikasi
diharapkan manajemen status nutrisi
o Identifikasi
nutrisi membaik alergi dan
Kriteria hasil: intoleransi
makanan
- Porsi makan o Identifikasi
membaik makanan
yang disukai
- Berat badan naik
o Identifikasi
- Nafsu makan kebutuhan
membaik kalori dan
jenis nutrient
o Identifikasi
perlunya
penggunaan
selang
nasogastrik
o Monitor
asupan
makanan
o Monitor berat
badan
o Monitor hasil
pemeriksaan
laboratorium
2. Terapeutik
o Lakukan oral
hygiene
sebelum
makan, jika
perlu
o Fasilitasi
menentukan
pedoman diet
(mis.
Piramida
makanan)
o Sajikan
makanan
secara
menarik dan
suhu yang
sesuai
o Berikan
makan tinggi
serat untuk
mencegah
konstipasi
o Berikan
makanan
tinggi kalori
dan tinggi
protein
o Berikan
suplemen
makanan, jika
perlu
o Hentikan
pemberian
makan
melalui
selang
nasigastrik
jika asupan
oral dapat
ditoleransi
3. Edukasi
o Anjurkan
posisi duduk,
jika mampu
o Ajarkan diet
yang
diprogramkan
4. Kolaborasi
o Kolaborasi
pemberian
medikasi
sebelum
makan (mis.
Pereda nyeri,
antiemetik),
jika perlu
o Kolaborasi
dengan ahli
gizi untuk
menentukan
jumlah kalori
dan jenis
nutrient yang
dibutuhkan,
jika perlu

Hipertermi b.d proses Tujuan: MANAJEMEN


penyakit Setelah dilakukan HIPERTERMIA (I.15506)
tindakan keperawatan
selama 1 x 24 jam
Observasi
diharapkan temperatur
suhu membaik - Identifkasi penyebab
Kriteria hasil: hipertermi
- Tidak Mengigil - Monitor kadar elektrolit
- Monitor haluaran urine
- Keringat pada
malam hari Terapeutik
berkurang
- Sediakan lingkungan
yang dingin
- Longgarkan atau
lepaskan pakaian
- Basahi dan kipasi
permukaan tubuh
- Berikan cairan oral
- Ganti linen setiap hari
atau lebih sering jika
mengalami
hiperhidrosis (keringat
berlebih)
- Lakukan pendinginan
eksternal (mis. selimut
hipotermia atau
kompres dingin pada
dahi, leher, dada,
abdomen,aksila)
- Hindari pemberian
antipiretik atau aspirin
- Batasi oksigen, jika
perlu

Edukasi

- Anjurkan tirah baring

Kolaborasi

- Kolaborasi cairan dan


elektrolit intravena, jika
perlu
BAB IV
ANALISA JURNAL

1. Jurnal 1
Judul jurnal: potensi penularan tuberculosis paru pada Anggota keluarga penderita

Metode penelitian: Penelitian observasional analitik menggunakan pendekatan cross-


sectional. Sampel penelitian yaitu seluruh penderita TBC paru BTA positif di Wilayah
Kerja Puskesmas Tlogosari Wetan, yang didiagnosa pada bulan Januari-Maret 2019
yang berjumlah 35 orang.

Hasil penelitian: Seluruh responden terduga TBC paru memiliki intensitas kontak
dengan penderita TBC paru BTA positif setiap harinya lebih dari 8 jam. Sebanyak 3
orang terduga TBC paru memiliki intensitas kontak 12 jam/hari, sedangkan 2 orang lagi
memiliki intensitas kontak masing-masing 11 jam/hari dan 10 jam/hari. Hal ini karena
terduga TBC paru melakukan kegiatan sehari-hari secara bersama-sama dengan
penderita TBC paru. Diantaranya ada terduga TBC paru yang masih berusia 2 tahun
yang selalu tidur sekamar dengan penderita TBC paru. Ditemukan juga terduga TBC
paru yang berusia dewasa akhir masih masak bersama penderita (ibunya) karena
memiliki usaha catering. Terduga TBC paru yang menginjak usia lansia akhir masih
tidur, makan dan berinteraksi bersama suaminya sebagai penderita TBC paru BTA
positif. Semakin sering kontak dengan penderita TBC paru BTA positif semakin besar
peluang terpapar M. tuberkulosis karena kuman TBC mudah menyebar melalui udara
pada orang yang berada di sekitar penderita terutama pada anak-anak [16] dan kontak
penderita BTA positif kemungkinan lebih efektif daripada kontak penderita BTA
negatif [17]. Ada hubungan intensitas kontak dengan keberadaan tersangka
tuberkulosis paru

2. Jurnal 2

Judul jurnal: faktor faktor yang berhubungan dengan tuberkolosis paru relaps pada
pasien di rumah sakit khusus paru provinsi sumatera selatan pada tahun 2015-2016.

Metode penelitian: Desain penelitian ini adalah desktiftif analitik dengan


menggunakan rancangan Cross Sectional. Rancangan Cross Sectional adalah rancangan
penelitian dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat bersamaan atau
sekali waktu (Hidayat,2007). Penelitian ini akan dilaksanakan dibagian Instalasi Rekam
Medik Rumah Sakit Khusus Paru Provinsi Sumatera Selatan pada bulan Agustus 2015
s/d Agustus 2016. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh data penderita TB Paru
Relaps yang berobat di Poliklinik Paru Rumah Sakit Khusus Paru Provinsi Sumatera
Selatan. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh data penderita TB Paru Relaps
yang berobat di Poliklinik Paru Rumah Sakit Khusus Paru Provinsi Sumatera Selatan
dari bulan Agustus 2015 sampai dengan bulan Agustus 2016, dimana besar sampel
adalah sama dengan jumlah TB Relaps (total sampling).
Hasil penelitian: Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 1 hasil anlisis statistik
hubungan antara usia dengan kejadian TB Paru Relaps diperoleh bahwa ada sebanyak
34 responden (64,2%) usia 15-55 tahun yang mengalami kejadian TB paru Relaps,
sedangkan pada usia ? 55 tahun ada sebanyak 10 responden (83,3%) yang mengalami
kejadian TB Paru Relaps. Hasil analisis diperoleh nilai p value = 0,309, CI= 0,54-14,1,
OR= 2,79. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara usia
dengan kejadian TB Paru Relaps. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa tidak ada
hubungan antara usia dengan kejadian TB Paru Relaps. Hal ini bisa diartikan bahwa
Seseorang yang terinfeksi TB Paru Relaps bukan karena dipengaruhi oleh tingkat
aktifitas pekerjaan yang tinggi tetapi dapat juga dipengaruhi oleh lingkungan tempat
tinggal seperti: kelembapan rumah, keadaan ventilasi rumah, keadaan jendela rumah,
serta pencahayaan alami yang masuk ke dalam rumah (Sitepu, 2009). Dari hasil analisis
statistik hubungan antara riwayat merokok dengan kejadian TB Paru

3. Jurnal 3:
Judul jurnal: faktor faktor yang berhubungan dengan penyakit Tuberkulosis paru di
wilayah kerja puskesmas Serang kota pada tahun 2019
Metode penelitian: Studi observasional dengan jenis desain case control dilaksanakan
di wilayah kerja Puskesmas Serang Kota pada bulan April-Mei tahun 2019.
23Kelompok kasus adalah penderita yang terdiagnosis disertai hasil uji laboratorium
BTA+ dan bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Serang kota pada bulan
Oktober tahun 2018 sampai dengan Maret tahun 2019 yakni berjumlah 37 kasus.
Jumlah kontrol diambil sama dengan jumlah kasus. Pengambilan sampel untuk
kelompok kasus dan kontrol diambil secara acak dengan memenuhi kriteria inklusi.
Variabel penelitian ini adalah kepadatan hunian, jenis lantai, suhu, riwayat kontak dan
kebiasaan merokok. Pengumpulan data primer diperoleh dari survei, observasi dan
pengukuran terhadap rumah responden dan data sekunder dari penulusuran buku-buku,
karya ilmiah, penelitian terdahulu, laporan dari Dinas Kesehatan Kota Serang dan
Puskesmas Serang Kota tahun 2018-2019. Alat penelitian yang digunakan adalah
kuesioner, meteran untuk mengukur kepadatan hunian, lembar observasi dan
thermometer untuk mengukur jenis lantai dan suhu. Analisis data meliputi analisis
univariat dan bivariat. Analisis univariat yaitu secara deskriptif dengan menggunakan
tabel distribusi frekuensi. Analisis bivariat yaitu secara analitik untuk mengetahui
hubungan antara dua variabel dengan uji chi square.
Hasil penelitian: Proporsi kepadatan hunian kamar tidak memenuhi syarat kesehatan
lebih tinggi pada kelompok kasus dibandingkan kelompok control. Begitu pula pada
jenis lantai rumah, suhu, dan riwayat kontak serumah. Namun berbeda pada kebiasaan
merokok proporsinya lebih tinggi pada kelompok control dibandingkan kasus. Terdapat
hubungan antara kepadatan hunian dan riwayat kontak serumah dengan kejadian
penyakit tuberkulosis paru di Wilayah Kerja Puskemas Serang Kota tahun 2019.
Sedangkan jenis lantai, suhu, dan kebiasaan merokok tidak ada hubungan yang
signifikan dengan kejadian penyakit tuberkulosis paru di Wilayah Kerja Puskemas
Serang Kota tahun 2019

Anda mungkin juga menyukai