Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

STROKE NON HAEMORRHAGIC

Nama Mahasiswa :

Tias Tri Asyhari


NIM 21.156.03.11.120

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES MEDISTRA INDONESIA
TA 2021
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi Stroke

Menurut WHO (2006), stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang

cepat akibat gangguan otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang

berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa

adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler. Termasuk disini perdarahan

subarachnoid, perdarahan intraserebral, dan infark serebral.

Stroke adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perubahan

neurologis yang disebabkan oleh gangguan suplai darah pada bagian otak

(Bowman dalam Black & Hawks, 2009).

Definisi Stroke non hemoragik (stroke iskemik)

Stroke iskemik atau “brain attack” adalah kehilangan fungsi yang tiba-tiba

sebagai akibat dari gangguan suplai darah ke bagian-bagian otak, akibat sumbatan

baik sebagian atau total pada arteri. Tipe stroke ini terjadi hampir 80% dari

kejadian stroke (Goldszmidt & Caplan, 2011).

B. Klasifikasi Stroke
Ada dua klasifikasi utama stroke, yaitu stroke iskemik atau stroke non
hemoragik dan hemoragik (Corwin, 2009), hal ini didasarkan pada penyebab dan
temuan patofisiologis (Zomorodi dalam Lewis, Sharon L et al, 2011).
1. Stroke non hemoragi

Stroke non hemoragik dapat dibagi menjadi lima jenis berdasarkan

penyebabnya: thrombosis arteri besar, penetrasi tombosis arteri kecil (stroke

lakunar), stroke embolik kardiogenik, kriptogenik (penyebab yang belum

diketahui), dan stroke akibat penggunaan kokain, koagulopati atau

pembedahan karotid (Smeltzer, 2003).

a. Stroke trombotik arteri besar disebabkan oleh aterosklerosis plak di

pembuluh darah besar dari otak. Lokasi stroke, misalnya pada korteks

superficial (tersering arteri serebri media), serebelum, dan daerah arteri

serebral posterior (Goldszmidt & Caplan, 2011).

b. Stroke trombotik arteri kecil (stroke lakunar), mengacu pada stroke yang

berasal dari satu atau lebih penetrasi trombotik pada pembuluh darah kecil

(Smeltzer, 2003), seperti ganglia basalis, substantia alba otak, thalamus

pons, dan serebelum (Goldszmidt & Caplan, 2011).

c. Stroke emboli kardiogenik (stroke embolik) berhubungan dengan kondisi

jantung, seperti fibrilasi atrial, infark miokard, endokarditis, dan atrial


septal defect (Smeltzer, 2003). Emboli berasal dari jantung dan beredar ke

pembuluh darah otak, lokasi yang paling sering terkena adalah arteri

serebri media, serebelum dan daerah arteri serebral posterior (Goldszmidt

& Caplan, 2011).

d. Stroke kriptogenik sebagian pasien mengalami oklusi mendadak

pembuluh intrakranium besar tanpa penyebab yang jelas.

e. Penyebab lain stroke non hemoragik yang lebih jarang adalah

fibromuskular, arteritis (misalnya, arteritis temporalis, poliarteritis

nodosa), dan gangguan hiperkoagulasi (Price, 2005).

C. Perbedaan Stroke Hemoragik Dan Stroke Non-Hemoragik

Gejala Klinis Stroke Hemoragik Stroke Non


PIS PSA Hemoragik
1. Gejala defisit lokal Berat Ringan Berat/ringan
2. SIS sebelumnya Amat jarang - +/ biasa
3. Permulaan (onset) Menit/jam 1-2 menit Pelan (jam/hari)
4. Nyeri kepala Hebat Sangat hebat Ringan/ tak ada
5. Muntah pada awalnya Sering Sering Tidak, kecuali lesi
di batang otak
6. Hipertensi Hampir selalu Biasanya tidak Sering kali
7. Kesadaran Bisa hilang Bisa hilang Dapat hilang
sebentar
8. Kaku kuduk Jarang Bisa ada pada Tidak ada
permulaan

9. Hemiparesis Sering sejak Tidak ada Sering dari awal


awal
10. Deviasi mata Bisa ada Tidak ada mungkin ada
11. Gangguan bicara Sering Jarang Sering
12. Likuor Sering berdarah Selalu Jernih
berdarah
13. Perdarahan Subhialoid Tak ada Bisa ada Tak ada

14. Paresis/gangguan N III - Mungkin (+) -

Stillwell, susan. 2011. pedoman keperawatan kritis. Jakarta : EGC

D. Etiologi stroke non hemoragik

Beberapa keadaan dibawah ini dapat menyebabkan stroke non hemoragik antara
lain :

1. Thrombosis Cerebral

Thrombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi


sehingga menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapa menimbulkan oedema
dan kongesti di sekitarnya.Thrombosis biasanya terjadi pada orang tua yang
sedang tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan
aktivitas simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan
iskemi serebral.Tanda dan gejala neurologis seringkali memburuk pada 48
jam sete;ah thrombosis.

Beberapa keadaan dibawah ini dapat menyebabkan thrombosis otak :

a. Atherosklerosis

Atherosklerosis adalah mengerasnya pembuluh darah serta


berkurangnya kelenturan atau elastisitas dinding pembuluh darah.
Manifestasi klinis atherosklerosis bermacam-macam. Kerusakan dapat
terjadi melalui mekanisme berikut :

 Lumen arteri menyempit dan mengakibatkan berkurangnya aliran


darah.
 Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadi thrombosis.
 Merupakan tempat terbentuknya thrombus, kemudian melepaskan
kepingan thrombus (embolus)
 Dinding arteri menjadi lemah dan terjadi aneurisma kemudian
robek dan terjadi perdarahan.
b. Hypercoagulasi pada polysitemia

Darah bertambah kental , peningkatan viskositas /hematokrit meningkat


dapat melambatkan aliran darah serebral.

c. Arteritis ( radang pada arteri )

2. Emboli

Emboli serebral merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh


bekuan darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari thrombus
di jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebral. Emboli
tersebut berlangsung cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30 detik.
Beberapa keadaan dibawah ini dapat menimbulkan emboli :

a. Katup-katup jantung yang rusak akibat Rheumatik Heart Desease.


(RHD)
b. Myokard infark
c. Fibrilasi, Keadaan aritmia menyebabkan berbagai bentuk pengosongan
ventrikel sehingga darah terbentuk gumpalan kecil dan sewaktu-waktu
kosong sama sekali dengan mengeluarkan embolus-embolus kecil.
d. Endokarditis oleh bakteri dan non bakteri, menyebabkan terbentuknya
gumpalan-gumpalan pada endocardium.
E. Faktor Resiko stroke

Faktor resiko stroke dapat dikategorikan kedalam faktor resiko yang tidak dapat

dimodifikasi (non-modifiable) dan dapat dimodifikasi (modifiable) (Zomorodi

dalam Lewis, Sharon L et al, 2011).


1. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi

Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi meliputi usia, jenis kelamin, ras,

dan herediter/keturunan (WHO, 2006).

a. Usia. Resiko stroke meningkat seiring dengan pertambahan usia, dua

kali lipat lebih besar ketika seseorang berusia 55 tahun. Namun, stroke

dapat terjadi juga pada semua usia (American Heart Association,

2013).

b. Jenis kelamin. Sroke juga lebih umum terjadi pada laki-laki dari pada

wanita, namun lebih banyak wanita meninggal akibat stroke dari pada

laki-laki.

c. Ras. Ras Africa- America (berkulit hitam) memiliki resiko yang lebih

besar mengalami stroke daripada ras yang berkulit putih. Hal ini

berhubungan dengan tingginya insiden hipertensi, obesitas, dan

diabetes mellitus pada ras Africa- America (Zomorodi dalam Lewis,

Sharon L et al, 2011).

d. Riwayat keluarga. Riwayat keluarga terhadap kejadian stroke,

serangan TIA sebelumnya, atau stroke sebelumnya juga meningkatkan

risiko terjadinya stroke. Orang tua yang pernah mengalami stroke

dikaitkan dengan peningkatan risiko 3 kali lipat kejadian stroke pada

keturunannya (American Heart Association, 2013) .


2. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi

Faktor resiko yang dapat dimodifikasi adalah faktor-faktor yang berpotensi

dapat diubah melalui perubahan gaya hidup dan tindakan medis, sehingga

mengurangi risiko terjadinya stroke.

a. Hipertensi. Hipertensi merupakan faktor resiko terjadinya stroke baik


non perdarahan atau perdarahan, dan juga menjadi factor terjadinya
gangguan jantung yang menjadi penyebab munculnya emboli otak.
Hipertensi sangat berpengaruh pada peredaran darah otak, karena
menyebabkan terjadinya penebalan dan remodeling pembuluh darah
hingga memperkecil diameternya.
b. Penyakit jantung. Penyakit jantung meliputi fibrilasi atrial, infark
miokard, kardiomiopati, abnormalitas katup jantung, dan kelainan
jantung conginetal juga temasuk kedalam faktor resiko stroke. Fibrilasi
atrium adalah faktor risiko yang paling penting diobati. \
c. Dibetes melitus. DM merupakan faktor resiko yang penting terhadap
kejadian stroke, dan meningkatkan resiko kejadian stroke pada semua
usia. Individu dengan diabetes mellitus memiliki resiko lima kali lebih
besar terserang stroke dari pada individu yang tidak menderita diabetes
mellitus (Zomorodi dalam Lewis, Sharon L et al, 2011).
d. Peningkatan kolesterol serum. Hiperlipidemia didefinisikan sebagai
kondisi dimana kadar kolesterol total lebih atau sama dengan 240 ml/dl.
Kadar kolesterol yang tinggi merupakan faktor resiko terjadinya
penyakit kardiovaskular dan sebrovaskular.
e. Merokok. Merokok merupakan faktor risiko untuk stroke, karena dapat
meningkatkan efek terbentuknya thrombus dan pembentukan
aterosklerosis pada pembuluh darah. Merokok meningkatkan hampir
dua sampai emapt kali lipat resiko stroke.
f. Efek alkohol terhadap resiko stroke tergantung pada jumlah yang
alcohol dikonsumsi. Mengkonsumsi lebih dari 1-2 minuman beralkohol

setiap hari memiliki resiko tinggi terhadap hipertensi, yang juga


meningkatkan resiko mereka menderita stroke.
g. Obesitas. Obesitas juga berkaitan dengan hipertensi, gula darah tinggi,
dan kadar lipid darah, yang semuanya meningkatkan risiko stroke.
h. Hubungan ketidakaktifan fisik dan peningkatan risiko stroke sama besar
baik pada pria maupun wanita, tanpa memandang etnis/ras. Manfaat
aktivitas fisik yang rutin dilakukan baik ringan maupun sedang dapat
memberikan efek yang menguntungkan terutama untuk menurunkan
faktor risiko.
i. Diet. Pengaruh diet pada stroke belum demikian jelas, meskipun diet
tinggi lemak jenuh dan rendah konsumsi buah dan sayuran dapat
meningkatkan risiko stroke. Penggunaan obat-obatan terlarang, terutama
penggunaan kokain, telah dikaitkan dengan risiko stroke.
j. Sleep apnea merupakan faktor risiko independen untuk stroke dan dapat
meningkatkan risiko stroke atau kematian 2 kali lipat.
F. Patofisiologi Stroke
G. Manifestasi klinik stroke
Manifestasi klinik klien yang terkena serangan stroke menurut (Black & Hawk,
2009), bervariasi tergantung pada penyebabnya, luas area neuron yang rusak,
lokasi neuron yang terkena serangan, dan kondisi pembuluh darah kolateral di
serebral. Manifestasi dari stroke iskemik termasuk hemiparesis sementara,
kehilangan fungsi wicara dan hilangnya hemisensori (Black & Hawk, 2009).
Stroke dapat dihubungkan dengan area kerusakan neuron otak maupun defisit
neurologi, menurut Smeltzer dan Bare (2002) manifestasi klinis dari stroke
meliputi:
1. Kehilangan Motorik. Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan
mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik.
Disfungsi motor yang paling umum adalah Hemiparesis (kelemahan) dan
hemiplegia (paralisis pada satu sisi tubuh) sering terjadi setelah stroke,
yang biasanya desebabkan karena stroke pada bagian anterior atau bagian
tengah arteri serebral, sehingga memicu terjadinya infark bagian motorik dari
kortek frontal.
2. Aphasia, klien mengalami defisit dalam kemampuan
berkomunikasi,termasuk berbicara, membaca, menulis dan memahami
bahasa lisan. Terjadi jika pusat bahasa primer yang terletak di hemisfer
yang terletak di hemisfer kiri serebelum tidak mendapatkan aliran darah
dari arteri serebral tengah karena mengalami stroke, ini terkait erat
dengan area wernick dan brocca.
3. Disatria, dimana klien mampu memahami percakapan tetapi sulit untuk
mengucapkannya, sehingga bicara sulit dimengerti. Hal ini disebabkan
oleh terjadinya paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan
bicara.
4. Apraksia yaitu ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang
dipelajari sebelumnya, seperti terlihat ketika klien mengambil sisir dan
berusaha untuk menyisir rambutnya.
5. Disfagia, dimana klien mengalami kesulitan dalam menelan karena stroke
pada arteri vertebrobasiler yang mepengaruhi saraf yang mengatur proses
menelan, yaitu N V (trigeminus), N VII (facialis), N IX (glossofarengeus) dan
N XII (hipoglosus).
6. Pada klien stroke juga mengalami perubahan dalam penglihatan seperti
diplopia.
7. Horner’s syndrome, hal ini disebabkan oleh paralisis nervus simpatis pada
mata sehingga bola mata seperti tenggelam, ptosis pada kelopak mata atas,
kelopak mata bawah agak naik keatas, kontriksi pupil dan berkurangnya air
mata.
8. Unilateral neglected merupakan ketidak mampuan merespon stimulus dari
sisi kontralateral infark serebral, sehingga mereka sering mengabaikan
salah satu sisinya.
9. Defisit sensori disebabkan oleh stroke pada bagian sensorik dari lobus parietal
yang disuplai oleh arteri serebral bagian anterior dan medial.
10. Perubahan perilaku, terjadi jika arteri yang terkena stroke bagian otak yang
mengatur perilaku dan emosi mempunyai porsi yang bervariasi, yaitu bagian
kortek serebral, area temporal, limbik, hipotalamus, kelenjar pituitari yang
mempengarui korteks motorik dan area bahasa.
11. Inkontinensia baik bowel ataupun kandung kemih merupakan salah satu
bentuk neurogenic blader atau ketidakmampuan kandung kemih, yang
kadang terjadi setelah stroke. Saraf mengirimkan pesan ke otak tentang
pengisian kandung kemih tetapi otak tidak dapat enginterpretasikan
secara benar pesan tersebut dan tidak mentransmisikan pesan ke kandung
kemih untuk tidak mengeluarkan urin. Ini yang menyebabkan terjadinya
frekuensi urgensi dan inkontinensia.
(Black & Hawk, 2009) dan (Smeltzer & Bare, 2002)
Urutan saraf Nama Saraf Sifat Saraf Memberikan saraf untuk
dan fungsi
I Nervus olfaktorius Sensorik Hidung, sebagai alat penciuman
II Nervus optikus Sensorik Bola mata, untuk penglihatan
III Nervus Motorik Penggerak bola mata dan
okulomotoris mengangkat kelopak mata
IV Nervus troklearis Motorik Mata, memutar mata dan
penggerak bola mata

V Nervus trigeminus Motorik dan -


sensorik

N. Oftalmikus Motorik dan Kulit kepala dan kelopak mata


sensorik atas

N. Maksilaris Sensorik Rahang atas, palatum dan


hidung
N. Mandibularis Motorik dan Rahang bawah dan lidah
sensorik
VI Nervus abdusen Motorik Mata, penggoyang sisi mata
VII Nervus fasialis Motorik dan Otot lidah, menggerakkan lidah
Sensorik dan selaput lendir rongga mulut
VIII Nervus auditorius Sensorik Telinga, rangsangan
pendengaran
IX Nervus vagus Sensorik dan Faring, tonsil, dan lidah,
motorik rangsangan citarasa
X Nervus vagus Sensorik dan Faring, laring, paru-paru dan
motorik esophagus
XI Nervus asesorius Motorik Leher, otot leher
XII Nervus hipoglosus Motorik Lidah, citarasa, dan otot lidah

H. Komplikasi Stroke
Komplikasi stroke meliputi Hipoksia Serebral, penurunan aliran darah serebral,
dan luasnya area cedera.
a. Hipoksia serebral diminimalkan dengan pemberian oksigenasi darah
adekuat ke otak.
b. Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan
integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (pemberian intarvena)
harus menjamin penurunn viskositas darah dan memperbaiki aliran darah
serebral.
c. Embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi atrium
atau dapat berasal dari katup jantung prostetik.
(Smeltzer & Bare, 2002)

I. Pemeriksaan Stroke Non Hemoragik


1. Pemeriksaan Fisik

Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke


ekstrakranial, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai
stroke, dan menentukan beratnya defisit neurologi yang dialami.
Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaaan kepala dan leher untuk
mencari tanda trauma, infeksi, dan iritasi menings. Pemeriksaan terhadap
faktor kardiovaskuler penyebab stroke membutuhkan pemeriksaan fundus
okuler (retinopati, emboli, perdarahan), jantung (ritmik ireguler, bising), dan
vaskuler perifer (palpasi arteri karotis, radial, dan femoralis). Pasien dengan
gangguan kesadaran harus dipastikan mampu untuk menjaga jalan napasnya
sendiri.

2. Pemeriksaan Neurologi

Tujuan pemeriksaan neurologi adalah untuk mengidentifikasi gejala


stroke, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang memiliki gejala seperti
stroke, dan menyediakan informasi neurologi untuk mengetahui keberhasilan
terapi. Komponen penting dalam pemeriksaan neurologi mencakup
pemeriksaan status mental dan tingkat kesadaran, pemeriksaan nervus
kranial, fungsi motorik dan sensorik, fungsi serebral, gait, dan refleks tendon
profunda. Tengkorak dan tulang belakang pun harus diperiksa dan tanda-
tanda meningimus pun harus dicari. Adanya kelemahan otot wajah pada
stroke harus dibedakan dengan Bell’s palsy di mana pada Bell’s
palsy biasanya ditemukan pasien yang tidak mampu mengangkat alis atau
mengerutkan dahinya.

3. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah rutin diperlukan sebagai dasar pembelajaran dan


mungkin pula menunjukkan faktor resiko stroke seperti polisitemia,
trombositosis, trombositopenia, dan leukemia). Pemeriksaan ini pun dapat
menunjukkan kemungkinan penyakit yang sedang diderita saat ini seperti
anemia.

Pemeriksaan kimia darah dilakukan untuk mengeliminasi kelainan


yang memiliki gejalah seperti stoke (hipoglikemia, hiponatremia) atau dapat
pula menunjukka penyakit yang diderita pasien saat ini (diabetes, gangguan
ginjal).

Pemeriksaan koagulasi dapat menunjukkan kemungkinan


koagulopati pada pasien. Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna jika
digunakan terapi trombolitik dan antikoagulan.

Biomarker jantung juga penting karena eratnya hubungan antara


stroke dengan penyakit jantung koroner. Penelitian lain juga
mengindikasikan adanya hubungan anatara peningkatan enzim jantung
dengan hasil yang buruk dari stroke.

4. Pemeriksaan Radiologi
a. CT scan kepala non kontras

Modalitas ini baik digunakan untuk membedakan stroke


hemoragik dan stroke non hemoragik secara tepat kerena pasien stroke
non hemoragik memerlukan pemberian trombolitik sesegera mungkin.
Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna untuk menentukan distribusi
anatomi dari stroke dan mengeliminasi kemungkinan adanya kelainan
lain yang gejalahnya mirip dengan stroke (hematoma, neoplasma,
abses). Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut harus
dipahami. Setelah 6-12 jam setelah stroke terbentuk daerah hipodense
regional yang menandakan terjadinya edema di otak. Jika setelah 3 jam
terdapat daerah hipodense yang luas di otak maka diperlukan
pertimbangan ulang mengenai waktu terjadinya stroke. Tanda lain
terjadinya stroke non hemoragik adalah adanya insular ribbon sign,
hiperdense MCA (oklusi MCA), asimetris sulkus, dan hilangnya
perberdaan gray-white matter.

b. CT perfussion

Modalitas ini merupakan modalitas baru yang berguna untuk


mengidentifikasi daerah awal terjadinya iskemik. Dengan melanjutkan
pemeriksaan scan setelah kontras, perfusi dari region otak dapat diukur.
Adanya hipoatenuasi menunjukkan terjadinya iskemik di daerah
tersebut.

c. CT angiografi (CTA)

Pemeriksaan CT scan non kontras dapat dilanjutkan dengan CT


angiografi (CTA). Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi defek
pengisian arteri serebral yang menunjukkan lesi spesifik dari pembuluh
darah penyebab stroke. Selain itu, CTA juga dapat memperkirakan
jumlah perfusi karena daerah yang mengalami hipoperfusi memberikan
gambaran hipodense.

d. MR angiografi (MRA)

MRA juga terbukti dapat mengidentifikasi lesi vaskuler dan


oklusi lebih awal pada stroke akut. Sayangnya, pemerikasaan ini dan
pemeriksaan MRI lainnya memerlukan biaya yang tidak sedikit serta
waktu pemeriksaan yang agak panjang. Protokol MRI memiliki banyak
kegunaan untuk pada stroke akut. MR T1 dan T2 standar dapat
dikombinasikan dengan protokol lain seperti diffusion-weighted
imaging (DWI) dan perfussion-weighted imaging (PWI) untuk
meningkatkan sensitivitas agar dapat mendeteksi stroke non hemoragik
akut. DWI dapat mendeteksi iskemik lebih cepat daripada CT scan dan
MRI. Selain itu, DWI juga dapat mendeteksi iskemik pada daerah kecil.
PWI dapat mengukur langsung perfusi daerah di otak dengan cara yang
serupa dengan CT perfusion. Kontras dimasukkan dan beberapa gambar
dinilai dari waktu ke waktu serta dibandingkan.

e. USG, ECG, EKG, Chest X-Ray

Untuk evaluasi lebih lanjut dapat digunakan USG. Jika dicurigai


stenosis atau oklusi arteri karotis maka dapat dilakukan pemeriksaan
dupleks karotis. USG transkranial dopler berguna untuk mengevaluasi
anatomi vaskuler proksimal lebih lanjut termasuk di antaranya MCA,
arteri karotis intrakranial, dan arteri vertebrobasiler. Pemeriksaan ECG
(ekhokardiografi) dilakukan pada semua pasien dengan stroke non
hemoragik yang dicurigai mengalami emboli kardiogenik.
Transesofageal ECG diperlukan untuk mendeteksi diseksi aorta
thorasik. Selain itu, modalitas ini juga lebih akurat untuk
mengidentifikasi trombi pada atrium kiri. Modalitas lain yang juga
berguna untuk mendeteksi kelainan jantung adalah EKG dan foto
thoraks.

J. Penatalaksanaan medis

1. Terapi Trombolitik

Tissue plasminogen activator (recombinant t-PA) yang diberikan


secara intravena akan mengubah plasminogen menjadi plasmin yaitu enzim
proteolitik yang mampu menghidrolisa fibrin, fibrinogen dan protein
pembekuan lainnya. Pada penelitian NINDS (National Institute of
Neurological Disorders and Stroke) di Amerika Serikat, rt-PA diberikan
dalam waktu tidak lebih dari 3 jam setelah onset stroke, dalam dosis 0,9
mg/kg (maksimal 90 mg) dan 10% dari dosis tersebut diberikan secara bolus
IV sedang sisanya diberikan dalam tempo 1 jam. Tiga bulan setelah
pemberian rt-PA didapati pasien tidak mengalami cacat atau hanya minimal.
Efek samping dari rt-PA ini adalah perdarahan intraserebral, yang
diperkirakan sekitar 6%. Penggunaan rt-PA di Amerika Serikat telah
mendapat pengakuan FDA pada tahun 1996.

2. Antikoagulan

Warfarin dan heparin sering digunakan pada TIA dan stroke yang
mengancam. Suatu fakta yang jelas adalah antikoagulan tidak banyak artinya
bilamana stroke telah terjadi, baik apakah stroke itu berupa infark lakuner
atau infark massif dengan hemiplegia. Keadaan yang memerlukan
penggunaan heparin adalah trombosis arteri basilaris, trombosis arteri karotis
dan infark serebral akibat kardioemboli. Pada keadaan yang terakhir ini perlu
diwaspadai terjadinya perdarahan intraserebral karena pemberian heparin
tersebut.

a. Warfarin

Segera diabsorpsi dari gastrointestinal. Terkait dengan protein


plasma. Waktu paro plasma: 44 jam. Dimetabolisir di hati, ekskresi:
lewat urin. Dosis: 40 mg (loading dose), diikuti setelah 48 jam dengan
3-10 mg/hari, tergantung PT. Reaksi yang merugikan: hemoragi,
terutama ren dan gastrointestinal.

b. Heparin

Heparin mempunyai efek vasodilatasi ringan. Heparin melepas


lipoprotein lipase. Dimetabolisir di hati, ekskresi lewat urin. Waktu paro
plasma: 50-150 menit. Diberikan tiap 4-6 jam atau infus kontinu. Dosis
biasa: 500 mg (50.000 unit) per hari. Bolus initial 50 mg diikuti infus
250 mg dalam 1 liter garam fisiologis atau glukose. Dosis disesuaikan
dengan Whole Blood Clotting Time. Nilai normal: 5-7 menit, dan level
terapetik heparin: memanjang sampai 15 menit. Reaksi yang merugikan:
hemoragi, alopesia, osteoporosis dan diare.

3. Hemoreologi

Pada stroke iskemik terjadi perubahan hemoreologi yaitu


peningkatan hematokrit, berkurangnya fleksibilitas eritrosit, aktivitas
trombosit, peningkatan kadar fibrinogen dan aggregasi abnormal eritrosit,
keadaan ini menimbulkan gangguan pada aliran
darah. Pentoxyfilline merupakan obat yang mempengaruhi hemoreologi
yaitu memperbaiki mikrosirkulasi dan oksigenasi jaringan dengan cara:
meningkatkan fleksibilitas eritrosit, menghambat aggregasi trombosit dan
menurunkan kadar fibrinogen plasma. Dengan demikian eritrosit akan
mengurangi viskositas darah.Pentoxyfilline diberikan dalam dosis 16/kg/hari,
maksimum 1200 mg/hari dalam jendela waktu 12 jam sesudah onset.

4. Antiplatelet (Antiaggregasi Trombosit)

a. Aspirin

Obat ini menghambat sklooksigenase, dengan cara menurunkan


sintesis atau mengurangi lepasnya senyawa yang mendorong adhesi
seperti thromboxane A2. Aspirin merupakan obat pilihan untuk
pencegahan stroke. Dosis yang dipakai bermacam-macam, mulai dari 50
mg/hari, 80 mg/hari samapi 1.300 mg/hari. Dosis lain yang diakui
efektif ialah: 625 mg 2 kali sehari. Aspirin harus diminum terus, kecuali
bila terjadi reaksi yang merugikan. Konsentrasi puncak tercapai 2 jam
sesudah diminum. Cepat diabsorpsi, konsentrasi di otak rendah.
Hidrolise ke asam salisilat terjadi cepat, tetapi tetap aktif. Ikatan protein
plasma: 50-80 persen. Waktu paro (half time) plasma: 4 jam.
Metabolisme secara konjugasi (dengan glucuronic acid dan glycine).
Ekskresi lewat urine, tergantung pH. Sekitar 85 persen dari obat yang
diberikan dibuang lewat urin pada suasana alkalis. Reaksi yang
merugikan: nyeri epigastrik, muntah, perdarahan, hipoprotrombinemia
dan diduga: sindrom Reye.

b. Tiklopidin (ticlopidine) dan klopidogrel (clopidogrel)

Pasien yang tidak tahan aspirin atau gagal dengan terapi aspirin,
dapat menggunakan tiklopidin atau clopidogrel. Obat ini bereaksi
dengan mencegah aktivasi platelet, agregasi, dan melepaskan granul
platelet, mengganggu fungsi membran platelet dengan penghambatan
ikatan fibrinogen-platelet yang diperantarai oleh ADP dan antraksi
platelet-platelet. Efek samping tiklopidin adalah diare (12,5 persen) dan
netropenia (2,4 persen). Bila obat dihentikan akan reversibel. Pantau
jumlah sel darah putih tiap 15 hari selama 3 bulan. Komplikas yang
lebih serius, teyapi jarang, adalah pur-pura trombositopenia trombotik
dan anemia aplastik.

5. Pembedahan

Indikasi pembedahan pada completed stroke sangat dibatasi. Jika


kondisi pasien semakin buruk akibat penekanan batang otak yang diikuti
infark serebral maka pemindahan dari jaringan yang mengalami infark harus
dilakukan.

a. Karotis Endarterektomi

Prosedur ini mencakup pemindahan trombus dari arteri karotis interna


yang mengalami stenosis. Pada pasien yang mengalami stroke di daerah
sirkulasi anterior atau yang mengalami stenosis arteri karotis interna yang
sedang hingga berat. Karotis Endarterektomi adalah prosedur bedah untuk
membersihkan plak dan membuka arteri karotis yang menyempit di leher.
Endarterektomi dan aspirin lebih baik digunakan daripada penggunaan
aspirin saja untuk mencegah stroke.

Endarterektomi tidak dapat digunakan untuk stroke di daerah


vertebrobasiler atau oklusi karotis lengkap. Angka mortalitas akibat
prosedur karotis endarterektomi berkisar 1-5 persen. (Simon, Harvey.
Stroke – Surgery)

b. Angioplasti dan Sten Intraluminal

Pemasangan angioplasti transluminal pada arteri karotis dan vertebral


serta pemasangan sten metal tubuler untuk menjaga patensi lumen pada
stenosis arteri serebri masih dalam penelitian. Suatu penelitian
menyebutkan bahwa angioplasti lebih aman dilaksanakan dibandingkan
endarterektomi namun juga memiliki resiko untuk terjadi restenosis lebih
besar. Carotid angioplasty dan stenting (CAS) digunakan sebagai
alternative dari carotid endarterectoomi untuk beberapa pasien. CAS
berdasarkan pada prinsip yang sama seperti angioplasty untuk penyakit
jantung.

 Sebuah kateter tube yang sangat kecil di insersikan ke dalam arteri


di lipatan paha

 Melalui system sirkulasi sampai mencapai area yang tersumbat di


arteri karotis

 Dapat juga mengahancurkan bekuan dengan mengembangkan


balon kecil didalam dindng pembuluh darah (angioplasty)

 Setelah menggembungkan balon sementara waktu, dokter biasanya


meninggalkan kawat berbentuk sirkular(stent) ke dalam pembuluh
darah untuk menjaga agar pembuluh darah tetap terbuka

(Simon, Harvey. Stroke – Surgery)


DAFTAR PUSTAKA

Bowman, Lisa. (2009). Management Of Client With Acute Stroke. In: Black, Joice M.
& Jane Hokanson Hawks, Medical Surgical Nursing: Clinical Management For
Positive Outcome (8th ed., pp 1843-1871). Philadelpia: WB. Saunders Company

Goldszmidt, Adrian J & Caplan, Louis R. (2011). Esensial Stroke. Jakarta: EGC

Go, Alan S., Mozaffarin, D., Roger, Veronique L., Benjamin, Emelia J., Berry, Jarett
D., Borden, William D. (2013). Heart Disease and Stroke Statistics—2013
Update: A Report From the American Heart Association. 127, e132-e139.

Price, Sylvia Anderson. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Jakarta: EGC

Smelzer, Suzanne C dan Brenda Bare. (2003). Brunner & Suddarth’s Textbook of
Medical Surgical Nursing 10th ed. Philadelpia: Lippincot Williams & Wilkins

Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Jakarta: EGC

World Health Organization. (2006). Neurological Disorders : Public Health


Challenges. pp 151-162. Switzerland: WHO Press

Zomorodi, Meg. (2011). Nursing Management Stroke. In: Lewis, Sharon L et al,
Medical Surgical Nursing: Assessment And Management Of Clinical Problem
(8th ed., pp. 1459-1484). United States of America: Elsevier Mosby

Anda mungkin juga menyukai