Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

MENGENAI
KONSEP LUKA DAN FRAKTUR SERTA BALUT BIDAI

DISUSUN OLEH:
THYAS AGUSTINA
17.156.01.11.038

3A KEPERAWATAN
STIKes MEDISTRA INDONESIA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala taufik, hidayah
serta inayahnya yang senantiasa tercurah sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
tanpa adanya halangan dan hambatan yang berarti.

Penulis berharap makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi dan menjadi
gambaran bagi pembaca mengenai konsep luka dan fraktur. Dalam proses penyusunan makalah
ini, penulis banyak menemui hambatan dan juga kesulitan namun, berkat bimbingan, arahan,
serta bantuan dari berbagai pihak akhirnya, makalah ini dapat terselesaikan dengan lancar dan
tanpa melampaui batas waktu yang telah ditentukan.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun lebih sempurnanya hasil
makalah ini. Akhir kata, penulis hanya dapat berharap agar, hasil makalah ini dapat berguna bagi
semua pihak serta menjadi sesuatu yang berarti dari usaha penulis selama ini.

Bekasi, Juni 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................1
C. Tujuan........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep luka dan perdarahan......................................................................2
B. Konsep fraktur...........................................................................................3
C. Balut bidai.................................................................................................6
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ...............................................................................................16
B. Saran .........................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara berkembang yang berada dalam taraf halusinasi
menuju industrialisasi tentunya akan mempengaruhi peningkatan mobilisasi masyarakat
/mobilitas masyarakat yang meningkat otomatisasi terjadi peningkatan penggunaan alat-alat
transportasi /kendaraan bermotor khususnya bagi masyarakat yang tinggal diperkotaan.
Sehingga menambah “kesemrawutan” arus lalu lintas. Arus lalu lintas yang tidak teratur
dapat meningkatkan kecenderungan terjadinya kecelakaan kendaraan bermotor. Kecelakaan
tersebut sering kali menyebabkan cidera tulang atau disebut fraktur.
Menurut Smeltzer (2001 : 2357) fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan
ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Penanganan segera pada klien yang dicurigai terjadinya
fraktur adalah dengan mengimobilisasi bagian fraktur adalah salah satu metode mobilisasi
fraktur yaitu fiksasi interna melalui operasi Orif (Smeltzer, 2001 : 2361). Penanganan
tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi umumnya terjadi
akibat tiga faktor utama yaitu penekanan lokal, traksi yang berlebihan dan infeksi (Rasjad,
1998 : 363). Peran perawat pada kasus fraktur meliputi sebagai pemberi asuhan keperawatan
segera dan langsung kepada klien yang mengalami fraktur.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep luka dan perdarahan ?
2. Bagaimana konsep fraktur dan penanganannya ?
3. Bagaimana konsep balut bidai ?

C. Tujuan
1. Mengetahui konsep luka dan perdarahan
2. Mengetahui konsep fraktur dan penanganannya
3. Mengetahui konsep balut bidai
BAB II

PEMBAHASAN

KONSEP FRAKTUR

A. Pengertian Fraktur
Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu tulang. Jika terjadi
fraktur, maka jaringan lunak di sekitarnya juga sering kali terganggu. Radiografi (sinar-x)
dapat menunjukkan keberadaan cedera tulang, tetapi tidak mampu menunjukkan otot atau
ligamen yang robek, saraf yang putus, atau pembuluh darah yang pecah sehingga dapat
menjadi komplikasi pemulihan klien ( Black dan Hawks, 2014).

B. Etiologi
Tekanan berlebihan atau trauma langsung pada tulang menyebabkan suatu retakan
sehingga mengakibatkan kerusakan pada otot dan jaringan. Kerusakan otot dan jaringan akan
menyebabkan perdarahan, edema, dan hematoma. Lokasi retak mungkin hanya retakan pada
tulang, tanpa memindahkan tulang manapun. Fraktur yang tidak terjadi disepanjang tulang
dianggap sebagai fraktur yang tidak sempurna sedangkan fraktur yang terjadi pada semua
tulang yang patah dikenal sebagai fraktur lengkap (Digiulio, Jackson dan Keogh, 2014).
Penyebab fraktur menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2010) dapat dibedakan
menjadi:
a. Cedera traumatic
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1. Cedera langsung adalah pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah
secara spontan
2. Cedera tidak langsung adalah pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan,
misalnya jatuh dengan tangan berjulur sehingga menyebabkan fraktur klavikula
3. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak
b. Fraktur patologik
Kerusakan tulang akibat proses penyakit dengan trauma minor mengakibatkan :
1. Tumor tulang adalah pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali
2. Infeksi seperti ostemielitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat timbul
salah satu proses yang progresif
3. Rakhitis
4. Secara spontan disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus

C. Manifestasi Klinis
Mendiagnosis fraktur harus berdasarkan manifestasi klinis klien, riwayat, pemeriksaan fisik,
dan temuan radiologis. Tanda dan gejala terjadinya fraktur antara lain:
a. Deformitas
Pembengkaan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada lokasi fraktur.
Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan tungkai, deformitas rotasional, atau
angulasi. Dibandingkan sisi yang sehat, lokasi fraktur dapat memiliki deformitas yang
nyata.
b. Pembengkakan
Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan serosa pada lokasi
fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.
c. Memar
Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur.
d. Spasme otot
Spasme otot involuntar berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi gerakan lebih
lanjut dari fragmen fraktur.
e. Nyeri
Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi fraktur, intensitas
dan keparahan dari nyeri akan berbeda pada masing-masing klien. Nyeri biasanya terus-
menerus , meningkat jika fraktur dimobilisasi. Hal ini terjadi karena spasme otot,
fragmen fraktur yang bertindihan atau cedera pada struktur sekitarnya.
f. Ketegangan
Ketegangan diatas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera yang terjadi.
g. Kehilangan fungsi
Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur atau karena hilangnya
fungsi pengungkit lengan pada tungkai yang terkena. Kelumpuhan juga dapat terjadi dari
cedera saraf.
h. Gerakan abnormal dan krepitasi
Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang atau gesekan antar
fragmen fraktur.
i. Perubahan neurovascular
Cedera neurovaskuler terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau struktur vaskular yang
terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas atau kesemutan atau tidak teraba nadi pada
daerah distal dari fraktur
j. Syok
Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau tersembunyi
dapat menyebabkan syok.

D. Patofisiologi
Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur. Jika ambang
fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang mungkin hanya retak saja bukan
patah. Jika gayanya sangat ekstrem, seperti tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah
berkeping-keping. Saat terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang dapat terganggu.
Otot dapat mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur keluar posisi. Kelompok otot
yang besar dapat menciptakan spasme yang kuat bahkan mampu menggeser tulang besar,
seperti femur. Walaupun bagian proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya, namun
bagian distal dapat bergeser karena faktor penyebab patah maupun spasme pada otot-otot
sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser ke samping, pada suatu sudut (membentuk sudut),
atau menimpa segmen tulang lain. Fragmen juga dapat berotasi atau berpindah.
Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari tulang yang
patah juga terganggu sehingga dapat menyebabkan sering terjadi cedera jaringan lunak.
Perdarahan terjadi karena cedera jaringan lunak atau cedera pada tulang itu sendiri. Pada
saluran sumsum (medula), hematoma terjadi diantara fragmen-fragmen tulang dan dibawah
periosteum. Jaringan tulang disekitar lokasi fraktur akan mati dan menciptakan respon
peradangan yang hebat sehingga akan terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi,
eksudasi plasma dan leukosit. Respon patofisiologis juga merupakan tahap penyembuhan
tulang.

E. Klasifikasi

1. Jenis Khusus Fraktur


a. Bentuk garis patah
1) Garis patah melintang
2) Garis patah obliq
3) Garis patah spiral
4) Fraktur kompresi
5) Fraktur avulse
b. Jumlah garis patah
1) Fraktur komunitif garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2) Fraktur segmental garis patah lebih dari satu tetapi saling berhubungan.
3) Fraktur multiple garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan.
2. Klasifikasi Fraktur Berdasarkan Bentuknya
a. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar.
b. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragemen tulang
dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit. Fraktur terbuka dibagi menjadi
tiga derajat, yaitu :
1) Derajat I
a. Luka kurang dari 1 cm,
b. Kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk,
c. Fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan, dan
d. Kontaminasi ringan.
2) Derajat II
a. Laserasi lebih dari 1 cm
b. Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse
c. Fraktur komuniti sedang.
3) Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan
neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.
c. Fraktur complete
Merupakan patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami
pergerseran (bergeser dari posisi normal).
d. Fraktur incomplete
Patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.

F. Komplikasi Fraktur
Ada beberapa komplikasi fraktur. Komplikasi tergantung pada jenis cedera , usia klien,
adanya masalah kesehatan lain (komordibitas) dan penggunaan obat yang mempengaruhi
perdarahan, seperti warfarin, kortikosteroid, dan NSAID. Komplikasi yang terjadi setelah
fraktur antara lain :
a. Cedera saraf
Fragmen tulang dan edema jaringan yang berkaitan dengan cedera dapat menyebabkan
cedera saraf. Perlu diperhatikan terdapat pucat dan tungkai klien yang sakit teraba dingin,
ada perubahan pada kemampuan klien untuk menggerakkan jari-jari tangan atau tungkai.
parestesia, atau adanya keluhan nyeri yang meningkat.
b. Sindroma kompartemen
Kompartemen otot pada tungkai atas dan tungkai bawah dilapisi oleh jaringan fasia yang
keras dan tidak elastis yang tidak akan membesar jika otot mengalami pembengkakan.
Edema yang terjadi sebagai respon terhadap fraktur dapat menyebabkan peningkatan
tekanan kompartemen yang dapat mengurangi perfusi darah kapiler. Jika suplai darah
lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolic jaringan, maka terjadi iskemia.
Sindroma kompartemen merupakan suatu kondisi gangguan sirkulasi yang berhubungan
dengan peningkatan tekanan yang terjadi secara progresif pada ruang terbatas. Hal ini
disebabkan oleh apapun yang menurunkan ukuran kompartemen.gips yang ketat atau
faktor-faktor internal seperti perdarahan atau edema. Iskemia yang berkelanjutan akan
menyebabakan pelepasan histamin oleh otot-otot yang terkena, menyebabkan edema
lebih besar dan penurunan perfusi lebih lanjut.
Peningkatan asam laktat menyebabkan lebih banyak metabolisme anaerob dan
peningkatan aliran darah yang menyebabakn peningkatan tekanan jaringan. Hal ini akan
mnyebabkan suatu siklus peningkatan tekanan kompartemen. Sindroma kompartemen
dapat terjadi dimana saja, tetapi paling sering terjadi di tungkai bawah atau lengan. Dapat
juga ditemukan sensasi kesemutanatau rasa terbakar (parestesia) pada otot.
c. Kontraktur Volkman
Kontraktur Volkman adalah suatu deformitas tungkai akibat sindroma kompartemen yang
tak tertangani. Oleh karena itu, tekanan yang terus-menerus menyebabkan iskemia otot
kemudian perlahan diganti oleh jaringan fibrosa yang menjepit tendon dan saraf.
Sindroma kompartemen setelah fraktur tibia dapat menyebabkan kaki nyeri atau kebas,
disfungsional, dan mengalami deformasi.
d. Sindroma emboli lemak
Emboli lemak serupa dengan emboli paru yang muncul pada pasien fraktur. Sindroma
emboli lemak terjadi setelah fraktur dari tulang panjang seperti femur, tibia, tulang rusuk,
fibula, dan panggul.
Kompikasi jangka panjang dari fraktur antara lain:
a. Kaku sendi atau artritis
Setelah cedera atau imobilisasi jangka panjang , kekauan sendi dapat terjadi dan dapat
menyebabkan kontraktur sendi, pergerakan ligamen, atau atrofi otot. Latihan gerak
sendi aktif harus dilakukan semampunya klien. Latihan gerak sendi pasif untuk
menurunkan resiko kekauan sendi.
b. Nekrosis avascular
Nekrosis avaskular dari kepala femur terjadi utamaya pada fraktur di proksimal dari
leher femur. Hal ini terjadi karena gangguan sirkulasi lokal. Oleh karena itu, untuk
menghindari terjadinya nekrosis vaskular dilakukan pembedahan secepatnya untuk
perbaikan tulang setelah terjadinya fraktur.
c. Malunion
Malunion terjadi saat fragmen fraktur sembuh dalam kondisi yang tidak tepat sebagai
akibat dari tarikan otot yang tidak seimbang serta gravitasi. Hal ini dapat terjadi
apabila pasien menaruh beban pada tungkai yang sakit dan menyalahi instruksi dokter
atau apabila alat bantu jalan digunakan sebelum penyembuhan yang baik pada lokasi
fraktur.
d. Penyatuan terhambat
Penyatuan menghambat terjadi ketika penyembuhan melambat tapi tidak benar-benar
berhenti, mungkin karena adanya distraksi pada fragmen fraktur atau adanya
penyebab sistemik seperti infeksi.
e. Non-union
Non-union adalah penyembuhan fraktur terjadi 4 hingga 6 bulan setelah cedera awal
dan setelah penyembuhan spontan sepertinya tidak terjadi. Biasanya diakibatkan oleh
suplai darah yang tidak cukup dan tekanan yang tidak terkontrol pada lokasi fraktur.
f. Penyatuan fibrosa
Jaringan fibrosa terletak diantara fragmen-fragmen fraktur. Kehilangan tulang karena
cedera maupun pembedahan meningkatkan resiko pasien terhadap jenis penyatuan
fraktur.
g. Sindroma nyeri regional kompleks
Sindroma nyeri regional kompleks merupakan suatu sindroma disfungsi dan
penggunaan yang salah yang disertai nyeri dan pembengkakan tungkai yang sakit.

G. Penatalaksanaan

1. Traksi 
Yaitu secara umum dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada
extremitas klien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga arah tarikan
segaris dengan sumbu tarikan tulang yang patah. Kegunaan traksi adalah mengurangi
patah tulang, mempertahankan fragme tulang pada posisi yang sebenarnya selama
penyembuhan, memobilisasikan tubuh bagian jaringan lunak, memperbaiki deformitas.
Jenis traksi ada dua macam yaitu traksi kulit, biasanya menggunakan perekat
sepanjang extremitas kemudian dibalut, ujung plester dihubungkan dengan tali untuk
ditarik, penarikan biasanya menggunakan katrol dan beban. Traksi skelet biasanya
menggunakan pin steinmen atau kawat Kirshner yang lebih halus biasanya disebut kawat
K yang ditusukkan pada tulang kemudia pin tesebut ditarik dengan tali, katrol dan beban.
2. Reduksi 
Merupakan proses manipulasi pada tulang yang fraktur untuk memperbaiki
kesejajaran dan mengurangi penekanan serta meregangkan saraf dan pembuluh darah.
Jenis reduksi ada dua yaitu reduksi tertutup merupakan metode unuk mensejajarkan
fraktur atau meluruskan fraktur, dan reduksi terbuka pada reduksi ini insisi dilakukan dan
fraktur dilurskan selama pembedahan dibawah pengawasan langsung. Pada saat
pembedahan berbagai alat fiksasi internal digunakan pada tulang yang fraktur.
3. Fisioterapi
Alat untuk remobilisasi mencakup exercise teraupetik ROM aktif dan pasif, ROM
pasif mencegah kontraktur pada sendi dan mempertahankan ROM normal pada sendi,
ROM aktif untuk meningkatkan kekuatan otot. (Smeltzer, 2001)

H. Prinsip Penanganan fraktur


Ada 4 dasar penangan fraktur yaitu :
1. Rekognisi , yaitu dilakukan dalam hal diagnosis dan penilaian fraktur.
Prinsipnya adalah mengetahui riwayat kecelakaan, derajat keparahan, jenis kekuatan
yang relevan dan deskripsi tentang peristiwa yang terjadi oleh penderita sendiri.
2. Reduksi ,yaitu usaha atau tindakan manipulasi fragmen-fragmen.
Tindakan ini dapat dilaksanakan secara efektif didalam ruang gawat darurat atau ruang
bidai gips, untuk mengurangi nyeri selama tindakan penderita dapat diberikan narkotik
IV sedatif.
3. Retensi, yaitu setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus dimobilisasi atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.
Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi external meliputi gips, bidai, traksi dan
teknik fiksator externa.
4. Rehabilitasi, merupakan proses pengembalian tulang kefungsi dan struktur semula
dengan cara melakukan ROM aktif dan pasif seoptimal mungkin sesuai dengan
kemampuan klien. Diusahakan untuk meminimalkan atrofi dan meningkatkan peredaran
darah. (FKUI. 1995)

BALUT BIDAI

A. Definisi
Balut bidai adalah penanganan umum trauma ekstremitas atau imobilisasi dari lokasi
trauma dengan menggunakan penyangga misalnya splinting (spalk). Balut bidai adalah
jalinan bilah (rotan, bambu) sebagai kerai (untuk tikar, tirai penutup pintu, belat, dsb) atau
jalinan bilah bambu (kulit kayu randu dsb) untuk membalut tangan patah dsb.

B. Tujuan balut bidai


1. Memperrtahankan posisi bagian tulang yang patah agar tidak bergerak
2. Memberikan tekanan
3. Melindungi bagian tubuh yang cedera
4. Memberikan penyokong pada bagian tubuh yang cedera.
5. Mencegah terjadinya pembengkakan
6. Mencegah terjadinya kontaminasi dan komplikasi
7. Memudahkan dalam transportasi penderita.

C. Indikasi
1. Adanya fraktur, baik terbuka maupun tertutup
2. Adanya kecurigaan terjadinya fraktur
3. Dislokasi persendian
Kecurigaan adanya fraktur bisa dimunculkan jika pada salah satu bagiantubuh ditemukan :
1. Pasien merasakan tulangnya terasa patah atau mendengar bunyi krek.
2. Ekstremitas yang cedera lebih pendek dari yang sehat, atau mengalami angulasi abnormal
3. Pasien tidak mampu menggerakkan ekstremitas yang cedera
4. Posisi ekstremitas yang abnormal
5. Memar
6. Bengkak
7. Perubahan bentuk
8. Nyeri gerak aktif dan pasif
9. Nyeri sumbu
10. Pasien merasakan sensasi seperti jeruji ketika menggerakkan ekstremitasyang mengalami
cedera (Krepitasi)
11. Perdarahan bisa ada atau tidak
12. Hilangnya denyut nadi atau rasa raba pada distal lokasi cedera
13. Kram otot di sekitar lokasi cedera

D. Kontraindikasi
Pembidaian baru boleh dilaksanakan jika kondisi saluran napas, pernapasandan sirkulasi
penderita sudah distabilisasi. Jika terdapat gangguan sirkulasidan atau gangguan persyarafan
yang berat pada distal daerah fraktur, jikaada resiko memperlambat sampainya penderita ke
rumah sakit, sebaiknyapembidaian tidak perlu dilakukan.

E. Persiapan alat dan bahan


1. Mitela yaitu pembalut berbentuk segitiga
2. Dasi yaitu mitela yang telipat-lipat sehingga berbentuk dasi
3. Pita yaitu penbalut berperekat
4. Pembalut yang spesifik
5. Kassa steril
6. Sarung tangan steril bila perlu.

F. Prosedur kerja
1. Jelaskan prosedur kepada klien dan tanyakan keluhan klien
2. Cuci tangan dan gunakan handscoen steril
3. Jaga privasi klien
4. Lihat bagian tubuh yang akan dibidai
5. Atur posisi klien tanpa menutupi bagian yang akan dilakukan tindakan
6. Lepaskan pakaian atau perhiasan yang menutupi tenpat untuk mengambil tindakan.
7. Perhatikan tempat yang akan dibalut:
a. Bagian tubuh yang mana
b. Apakah ada bagian luka terbuka atau tidak
c. Bagaimana luas luka.
d. Apakah perlu membatasi gerak bagian tertentu atau tidak
8. Lakukan balut bidai dengan melewati dua sendi
9. Hasil balut bidai:
a. Harus cukup jumlahnya, dimulai dari bagian bawah tempat yang patah
b. Tidak kendor dan keras.
10. Rapikan alat-alat yang tidak pergunakan.
11. Buka sarung tangan jika dipakai dan cuci tangan
12. Evaluasi dan dokumentasi tindakan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai