Anda di halaman 1dari 8

PISPOT

APA SEBENARNYA ARTI KEMERDEKAAN? JIKA MERDEKA ITU


BEBAS, BERARTI SEMUANYA BEBAS DARI KEMISKINAN, BEBAS DARI
RASA TAKUT, BEBAS MENGENYAM PENDIDIKAN, DAN BEBAS-BEBAS
LAINNYA.
REALITASNYA KITA BELUM MERDEKA, KITA MASIH DIJAJAH OLEH
KATA MERDEKA ITU SENDIRI, MASIH DIJAJAH OLEH KEMISKINAN,
KEMISKINAN YANG BISA MEMBUAT SESEORANG RELA MELAKUKAN
APA SAJA...

Suara kebisingan pasar terpusat pada seorang ibu yang tiba-tiba berteriak

Ibu : Jambret, jambret, jambret.....

Suara itu tidak lama terjawab oleh suara umpatan, pukulan, dan tendangan.
Seorang lelaki muda tengah dihajar beramai-ramai oleh sekelompok orang.

Lelaki 1 : Rasakan nih (tangannya menghantam sang pemuda).


Lelaki 2 : Dasar KUTU KUPRET, (menendang lelaki muda yang
sedang terjatuh terkena pukulan).
Lelaki 3 : Kita bakar saja dia (dengan emosi menyala-nyala).

Lelaki muda melindungi mukanya dengan kedua tangan, dari sela-sela


tangannya tampak darah mengucur dari hidung dan bibirnya. Sementara
mukanya bengkak penuh biru.
Dari kerumunan muncul lelaki yang meredakan emosi masa. Dia lah saksi
yang melihat penjambretan itu.

Saksi : Sudah-sudah. Sekarang lebih baik panggil polisi, kita


serahkan semuanya pada yang berwenang, jangan main
hakim sendiri.
Lelaki 1 : Teman-teman (mengacungkan tangan), kita serahkan atau
kita bakar?

Semua serempak menjawab “bakar’.


Saksi : Jangan-jangan, tolong jangan lakukan itu, kita jangan jadi
pembunuh. Biarkan polisi yang mengurus orang ini.

Ketika perdebatan tengah hangat, datang dua orang polisi mengamankan


lelaki muda itu, kemudian membawa lelaki itu ke kantornya. Tidak lupa ibu
korban penjambretan dan saksi dibawanya juga.
Di sebuah ruangan lelaki itu diinterogasi. Dia duduk di sebuah kursi, di
depannya seorang polisi dengan mesin ketik, dua orang polisi yang di
samping kiri kanan meja, saksi dan ibu korban penjambretan duduk di
belakang lelaki muda itu.

Komandan : Benar kamu yang menjambret kalung itu?


Tersangka : Tidak (menunduk).
Komandan : Tapi dia melihat kamu menjambret kalung itu (menunjuk
kepada saksi).
Tersangka : Tidak Pak. Saya tidak tahu apa-apa.
Komandan : Kamu kemanakan kalung itu?
Tersangka : Pak saya tidak menjambret, saya tidak tahu apa-apa. (Tetap
bertahan dengan jawabannya).
Komandan : Kamu berikan kepada temanmu?
Tersangka : Tidak.
Komandan : Kamu buang?
Tersangka : Tidak.
Komandan : (mulai tidak sabar) Siksa! (polisi 3 mulai memukul)

Tersangka terlempar dari kursinya, terjatuh karena beberapa pukulan


mendarat di mukanya, tendangan juga. Saksi cuma bisa melongo, sementara
si ibu korban penjambretan meringis. Kemudian dia mencoba berdiri,
bertelekan pada sudut meja dia kembali duduk di kursi.

Tersangka : Saya tidak melakukan penjambretan itu Pak.


Komandan : Bukan itu yang kutanyakan! Ke mana kau sembunyikan
kalung itu!
Saksi : (mengangkat tangan), kalung itu dia telan Pak.
Komandan : Kamu lihat dia menelannya?
Saksi : Ya, saya lihat dia memasukan dan menelan kalung itu.
Komandan : Yakin yang dia telan itu kalung?
Saksi : Yakin Pak.

Polisi 2 yang berada di depannya memindahkan kesaksian itu ke atas kertas.


Mulutnya mengulangi apa yang saya katakan sambil mengetikannya “Dia
memasukan kalung itu ke mulutnya dan menelannya”.

Polisi 2 : Berapa gram yang dia telan? (kepada ibu)


Ibu : Lima belas gram
Komandan : Cukup! Itu sudah cukup!. Semua keterangn itu sudah cukup
meyakinkan, sekarang kita paksa dia keluarkan kalung itu!
Ambil obat pencahar, pisang, pepaya! Suruh dia makan
sebanyak-banyaknya, agar dia mencret seperti burung, lalu
tampung kotorannya (sambil keluar dari ruangan).

Polisi 3 menyiapkan obat pencahar, pepaya, dan pisang.

Polisi 3 : Komandan semua sudah siap.


Komandan : (masuk) suruh dia minum obat pencahar itu! Apa itu? Garam
Inggris?
Polisi 3 : Betul komandan.
Komandan : Bagus. Sekarang paksa lelaki itu menelan obat pencahar itu.

Polisi 3 mulai memaksa lelaki itu untuk menelan obat pencahar, lelaki itu
tetap bertahan tidak membuka mulutnya. Mereka mulai keras, gelas itu terus
disodorkan kepada mulut lelaki itu,tapi lelaki itu tetap tidak membuka
mulutnya, dia mengunci mulutnya seperti orang yang menggigit sesuatu.
Kemudian dia mulai terlempar dari kursi lagi.

Komandan : Minum! Apa kau tidak biasa minum? (bertelekan pada sudut
meja untuk bisa bangkit dari tempat dia tersungkur).
Komandan : Kupas pepaya itu, suruh dia makan!
Polisi 3 : Mana yang lebih dahulu komandan ? Obat pencahar ini atau
pepaya? (sambil mengupas)
Komandan : Serentak juga tidak apa-apa, yang penting dia mencret. Lalu
tampung kotorannya!
Polisi 3 : Nanti ususnya….
Komandan : Tidak ada urusan, suruh dia telan obat pencahar itu,
kemudian pisang atau pepaya lalu tampung!

Lelaki itu dipaksa untuk menelan semuanya, namun dia tetap mengunci
mulutnya. Mereka mulai tidak sabar, lalu penyiksaan itu kembali berulang.

Saksi : Pak, ijinkan saya untuk membujuknya.


Komandan : Silahkan!

Saksi dan tersangka dimasukan ke dalam sebuah ruangan. Polisi


meninggalkan mereka berdua.
Saksi : Sekarang cuma kita berdua di ruang ini. Ada satu hal yang
ingin kukatakan kepadamu, kalau dalam waktu dekat kau
tidak mengeluarkan kalung itu, mereka akan mengoperasimu.
(mendekat) Kau telah tahu bagaimana orang dioperasi? Kau
akan dibawa ke kamar bedah, sebelum kau dioperasi
tubuhmu akan ditembus sinar X untuk melihat di bagian
mana kalung itu nyangkut di ususmu, kau akan puasa dalam
waktu yang lama. Setelah itu baru kau dimasukkan ke kamar
bedah, kau akan dibius. Setelah pingsan, kulit perutmu akan
disayat mereka di meja operasi. Pisau bedah itu akan masuk
ke dalam perutmu seperti orang menyiang ikan, ususmu akan
disabet mereka dengan geram, karena kau menyembunyikan
benda berharga di dalam ususmu. Satu hal yang harus kau
ketahui, mereka mengoperasimu bukan untuk
menyelamatkan nyawamu tapi menyelamatkan kalung yang
kau telan. Coba bayangkan seandainya operasi itu
memerlukan tambahan darah, siapa yang akan
menyumbangkan darahnya untuk orang sepertimu? Jambret!
Ingat bung, kau tidak ada artinya bagi mereka. Tidak mungkin
ada orang yang mau menyumbangkan darah secara
sukarerela kepadamu. Tidak mungkin ada salah seorang
sanak keluargamu yang mau menunjukan diri untuk
menyumbang darah kepadamu. Mereka malu untuk muncul.
Karena kau maling! Tahu kau, nyawamu bagi mereka tidak
ada artinya. Tubuhmu yang terbaring dalam pengaruh obat
bius itu tidak akan mereka hiraukan lagi begtitu mereka
menemukan kalung emas itu. Saking gembiranya mereka,
aku yakin mereka akan menyudahi opearsimu dan kau akan
mati sia-sia. Untuk apa menyelamatkan jambret sepertimu?
Mengurangi penjahat, lebih bijaksana. Kau akan mampus,
kau tidak ubah seperti koper tua yang dicampakkan setelah
dikeluarkan isinya. Mayatmu akan terbaring tanpa orang yang
menjenguk. (tersangka dari tunduk memandang saksi).
Kau masih muda bung, masih banyak kemungkinan masa
depanmu. Kau harus manfaatkan hidup ini. Masak kau akan
mampus dengan jalan konyol seperti itu?
Tersangka : Apa yang harus aku lakukan?
Saksi : Keluarkan!
Tersangka : Aku tidak melakukannya!
Saksi : Sudah, tidak ada waktu untuk berkilah. Tidak saatnya
menyembunyikan kejahaan pada saat ini. Jangan tunggu
mereka kalap. Sekarang cepat telan obat pencahar itu! Apa
yang kau takutkan? Pergi ke jamban?
Tersangka : (mengambil gelas di atas meja, kemudian dia memakan
pisang dan pepaya)
Komandan : (masuk) makan lebih banyak pepaya itu
Polisi 3 : Sudah ingin ke jamban?
Saksi : Dia baru menelannya. Sebentar lagi Pak.
Komandan : Bagus. Kalau dia tidak suka pepaya dalam negeri , kita
sediakan pepaya Bangkok.

Dua orang petugas masuk membawa sebuah kubung dengan tutup kain,
kemudian diletakkan di ruang itu. Setelah itu mereka memasukan dua buah
pispot ke dalam kubung itu. Kubung itu sebagai sebuah tempat tersangka
buang hajat, sedangkan pispot sebagai tempat untuk menampung
kotorannya.
Semua meninggalkan tersangka di dalam sendirian, menunggu dia mulas
dan membuang kotoran, sementara pakaiannya ditanggalkan semua.
Garam inggris, itu mencuci perutnya. Tidak lama berselang dia memegang
perutnya, merasakan mulas. Kemudian dia duduk di atas pispot,
menjatuhkan kotorannya seperti duduk dalam sebuah WC.
Polisi 3 mengambil pispot yang telah terisi kotoran, dia memeriksanya
dengan ranting.
Komandan : Bagaimana?
Polisi 3 : Belum keluar dan, baru biji kedelai. Rupanya dia makan
tempe tadi.
Selesai diperiksa polisi 3 membuang kotoran itu ke dalam WC dan
membersihkan pispot itu.
Pispot kedua diambil, polisi 3 memeriksa kembali isi pispot itu dengan
ranting.

Komandan : Bagaimana?
Polisi 3 : Belum juga, masih sisa tempe. Ah, ada yang seperti benang
Dan, (memeriksanya), tapi bukan Dan, itu sumbu singkong
rebus.
Berkali-kali polisi 3 memeriksa pispot itu, tapi tidak menemukan apa-apa.

Komandan : Ada?
Petugas 3 : Tidak ketemu Dan. Cuma pisang dan pepaya yang bubuk
saja.

Dari dalam orang itu keluar, lunglai pingsan merasakan lemas. Semua
bingung dan bengong.

Ibu : Pak sudahlah, saya cabut tuduhan saya. Mungkin bukan dia
yang menjambret kalung saya.
Tersangka dibersihkan di kamar mandi. Berkali-kali kepalanya disiram,
beberapa saat kemudian dia sadar.

Ibu : Maafkan saya, Nak.


Tersangka : Tidak apa-apa Bu.

Kemudian ibu itu pergi meninggalkan kantor polisi.


Saksi : Maafkan saya juga.
Tersangka : Sudahlah, Pak.
Tersangka : Bagaimana Pak Polisi, apakah saya sudah boleh pulang?
Komandan : Ya, kamu bebas dari tuduhan itu.
Tersangka masih dengan kesakitan di sekujur tubuh berdiri menghampiri
Komandan, membersihkan debu di jaket komandan, kemudian mengajak
bersalaman, Komandan bengong.
Dia keluar dari kantor polisi, dipapah oleh saksi. Di sepanjang jalan saksi
terus meminta maaf kepada tersangka karena telah menuduhnya.
Saksi : Maafkan saya Bung telah menuduhmu sembarangan (sambil
memapah)
Tersangka : (melirik, tidak menjawab).
Saksi : Beli makanan, kau perlu gizi untuk memulihkan
kesehatanmu. Aku benar-benar merasa berdosa. (merogoh
sakunya, kemudian memberikannya)
Tersangka : (menerima uang itu kemudian memasukannya ke saku)
Terima kasih, ternyata Bapak orang baik.
Saksi : Jangan katakan begitu. Aku telah menjerumuskanmu. Uang
itu tidak ada artinya, aku telah melakukan kesaksian palsu,
maafkan aku Bung.

Sampai di tengah jalan, dia berhenti.

Tersangka : Pak terima kasih atas bantuannya, cukup sampai di sini biar
nanti saya pulang sendiri.
Saksi : Maafkan aku bung, aku merasa benar-benar berdosa
padamu. Tapi yakin kau bisa pulang sendiri? (menyodorkan
tangan)
Tersangka : Insyaallah bisa Pak. Terima kasih. (tidak kuasa menahan air
mata)
Saksi : Sekali lagi, maafkan saya bung. Saya tidak akan mengulangi
hal yang sama.
Tersangka : (menyeka air matanya) Tidak. Bapak adalah saksi yang
benar, Bapak tidak boleh merasa berdosa, Bapak orang yang
baik. (menunduk) Saya bukanlah penjambret, tapi tadi
memang saya yang menjambret. Anak saya sakit keras di
rumah, istri saya telah putus asa, saya butuh biaya banyak
untuk pengobatan, sebab dokter meminta lebih. (mengangkat
muka) Bapak adalah saksi yang benar, tadi ketika kalung itu
keluar bersama kotoran saya, saya ambil kembali dan
menelannya lagi. Bapak orang baik, kalau Bapak mau
melaporkan saya lagi, saya pasrah.
Saksi : (menepuk bahu) Kalau begitu kamu masih memerlukan
pispot. Tidak (menggelengkan kepala) lebih baik kita
berpisah di sini, sebelum aku berubah pikiran.

Keduanya berpisah di jalan itu, membawa rasa yang tak selesai...

Kuningan, April 2008

Anda mungkin juga menyukai