Suara kebisingan pasar terpusat pada seorang ibu yang tiba-tiba berteriak
Suara itu tidak lama terjawab oleh suara umpatan, pukulan, dan tendangan.
Seorang lelaki muda tengah dihajar beramai-ramai oleh sekelompok orang.
Polisi 3 mulai memaksa lelaki itu untuk menelan obat pencahar, lelaki itu
tetap bertahan tidak membuka mulutnya. Mereka mulai keras, gelas itu terus
disodorkan kepada mulut lelaki itu,tapi lelaki itu tetap tidak membuka
mulutnya, dia mengunci mulutnya seperti orang yang menggigit sesuatu.
Kemudian dia mulai terlempar dari kursi lagi.
Komandan : Minum! Apa kau tidak biasa minum? (bertelekan pada sudut
meja untuk bisa bangkit dari tempat dia tersungkur).
Komandan : Kupas pepaya itu, suruh dia makan!
Polisi 3 : Mana yang lebih dahulu komandan ? Obat pencahar ini atau
pepaya? (sambil mengupas)
Komandan : Serentak juga tidak apa-apa, yang penting dia mencret. Lalu
tampung kotorannya!
Polisi 3 : Nanti ususnya….
Komandan : Tidak ada urusan, suruh dia telan obat pencahar itu,
kemudian pisang atau pepaya lalu tampung!
Lelaki itu dipaksa untuk menelan semuanya, namun dia tetap mengunci
mulutnya. Mereka mulai tidak sabar, lalu penyiksaan itu kembali berulang.
Dua orang petugas masuk membawa sebuah kubung dengan tutup kain,
kemudian diletakkan di ruang itu. Setelah itu mereka memasukan dua buah
pispot ke dalam kubung itu. Kubung itu sebagai sebuah tempat tersangka
buang hajat, sedangkan pispot sebagai tempat untuk menampung
kotorannya.
Semua meninggalkan tersangka di dalam sendirian, menunggu dia mulas
dan membuang kotoran, sementara pakaiannya ditanggalkan semua.
Garam inggris, itu mencuci perutnya. Tidak lama berselang dia memegang
perutnya, merasakan mulas. Kemudian dia duduk di atas pispot,
menjatuhkan kotorannya seperti duduk dalam sebuah WC.
Polisi 3 mengambil pispot yang telah terisi kotoran, dia memeriksanya
dengan ranting.
Komandan : Bagaimana?
Polisi 3 : Belum keluar dan, baru biji kedelai. Rupanya dia makan
tempe tadi.
Selesai diperiksa polisi 3 membuang kotoran itu ke dalam WC dan
membersihkan pispot itu.
Pispot kedua diambil, polisi 3 memeriksa kembali isi pispot itu dengan
ranting.
Komandan : Bagaimana?
Polisi 3 : Belum juga, masih sisa tempe. Ah, ada yang seperti benang
Dan, (memeriksanya), tapi bukan Dan, itu sumbu singkong
rebus.
Berkali-kali polisi 3 memeriksa pispot itu, tapi tidak menemukan apa-apa.
Komandan : Ada?
Petugas 3 : Tidak ketemu Dan. Cuma pisang dan pepaya yang bubuk
saja.
Dari dalam orang itu keluar, lunglai pingsan merasakan lemas. Semua
bingung dan bengong.
Ibu : Pak sudahlah, saya cabut tuduhan saya. Mungkin bukan dia
yang menjambret kalung saya.
Tersangka dibersihkan di kamar mandi. Berkali-kali kepalanya disiram,
beberapa saat kemudian dia sadar.
Tersangka : Pak terima kasih atas bantuannya, cukup sampai di sini biar
nanti saya pulang sendiri.
Saksi : Maafkan aku bung, aku merasa benar-benar berdosa
padamu. Tapi yakin kau bisa pulang sendiri? (menyodorkan
tangan)
Tersangka : Insyaallah bisa Pak. Terima kasih. (tidak kuasa menahan air
mata)
Saksi : Sekali lagi, maafkan saya bung. Saya tidak akan mengulangi
hal yang sama.
Tersangka : (menyeka air matanya) Tidak. Bapak adalah saksi yang
benar, Bapak tidak boleh merasa berdosa, Bapak orang yang
baik. (menunduk) Saya bukanlah penjambret, tapi tadi
memang saya yang menjambret. Anak saya sakit keras di
rumah, istri saya telah putus asa, saya butuh biaya banyak
untuk pengobatan, sebab dokter meminta lebih. (mengangkat
muka) Bapak adalah saksi yang benar, tadi ketika kalung itu
keluar bersama kotoran saya, saya ambil kembali dan
menelannya lagi. Bapak orang baik, kalau Bapak mau
melaporkan saya lagi, saya pasrah.
Saksi : (menepuk bahu) Kalau begitu kamu masih memerlukan
pispot. Tidak (menggelengkan kepala) lebih baik kita
berpisah di sini, sebelum aku berubah pikiran.