Anda di halaman 1dari 6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. TUBERKULOSIS
1. Definis
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang dapat menular
dan di sebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang dapat
menyerang berbagai organ. Biasanya menyerang paru ( Pulmonary TB).
Infeksi Tuberkulosis (TB) biasanya menyebar melalui udara yaitu
dengan batuk, bersin atau percikan air ludah dari penderita TB. Secara
keseluruhan, sekitar 2-3 miliar penduduk dunia terinfeksi Tuberkulosis
dan penyakit TB lebih tinggi terjadi pada orang yang terinfeksi HIV
(World Health Organization, 2016).
2. Etiologi
Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh Myobacterium tuberculosis
yang merupakan kuman batang aerobik dan tahan asam. M. Tuberculosis
berbentuk batang tipis, lurus agak bengkok, bergranular dan tidak
memiliki selubung namun memiliki lapisan luar tebal yang terdiri atas
lipoid. Bakteri ini dapat bertahan terhadap pencucian warna dengan
asam dan alkohol, maka dari itu bakteri ini disebut Basil Tahan Asam
(BTA) (Widoyono, 2008).
3. Cara Penularan
Sumber penularan adalah TB BTA positif. Pada waktu batuk
atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan
dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana
percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat
mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat
membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam
keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien
ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin
tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular
pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman
TB ditentukan oleh konsentrasi dalam udara dan lamanya menghirup
udara tersebut (Kemenkes RI, 2012).
4. Klasifikasi
Menurut Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis Tahun
2014, klasifikasi pasien tuberkulosis berdasarkan lokasi anatomi dari
penyakit ialah sebagai berikut:
a. Tuberkulosis paru
Merupakan tuberkulosis (TB) yang terjadi pada parenkim
(jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai tuberkulosis (TB) paru
karena terdapat lesi pada jaringan paru. Limfadenitis TB dirongga
dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa gambaran
radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB
ekstra paru. Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga
menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
b. Tuberkulosis ekstra paru
Merupakan tuberkulosis (TB) yang terjadi pada organ selain
paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing,
kulit, sendi, selaput otak dan tulang. Hasil pemeriksaan bakteriologis
atau klinis dapat digunakan sebagai alat diagnosis tuberkulosis (TB)
ekstra paru. Dengan catatan harus diupayakan adanya penemuan
Mycobacterium tuberculosis. Pasien TB ekstra paru yang menderita
TB pada beberapa organ, diklasifikasikan sebagai pasien TB ekstra
paru pada organ menunjukkan gambaran TB yang terberat.
5. Gejala Klinis
Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2, yaitu gejala
respiratorik dan gejala sistemik. Gejala respiratori antara lain: batuk
yang berlangsung lama (> 3minggu), batuk darah, sesak napas, nyeri
dada. Gejala respiratori ini bervariasi tergantung luasnya lesi akibat
infeksi (Muhardian, 2016). gejala sistemik TB antara lain: demam,
malaise, keringat malam, kehilangan nafsu makan dan berat badan
menurun. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, napsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat pada malam hari
tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari satu bulan.
Namun ada juga yang asimtomati, misalnya tuberkulosis
subklinis dimana ditemukan hasil negatif pada pemeriksaan dahak dan
radiografi abdomen namun hasil kultur postif, itu merupakan ciri umum
TB terkait HIV. Pada daerah endemik Tuberkulosis seperti Indonesia,
pasien HIV memiliki TB aktif yang tidak terdiagnosis. Kehadiran dari 4
gejala (batuk, demam, berkeringat saat malam, penurunan berat badan)
telah terbukti memiliki sensitivitas dalam kisaran 80% untuk identifikasi
TB (Zumla et al., 2013).
6. Diagnosa
Tuberkulosis paru (TB) berlanjut sebagai masalah kesehatan
masyarakat yang hebat di Korea. Meningkatnya usia keseluruhan
populasi dan meningkatnya TB yang resistan terhadap obat telah
memperkuat kebutuhan akan perbaikan diagnostik yang cepat dan
modalitas baru untuk mendeteksi TB dan TB yang resistan terhadap
obat, serta memperbaiki pengendalian TB. Diagnosis TBC paru yang
dini dan akurat harus dilakukan dengan menggunakan sinar X dada,
mikroskop sputum, kultur baik media cair maupun padat, dan
amplifikasi asam nukleat.
Rontgen toraks adalah evaluasi radiologis primer dari TB paru
yang dicurigai atau terbukti. Radiologi juga memberikan informasi
penting untuk pengelolaan dan tindak lanjut pasien dan sangat berguna
untuk memantau komplikasi. Meskipun demikian, rontgen dada tidak
spesifik untuk mendiagnosis TB paru, dan bisa saja terlihat normal
meskipun terdapat infeksi. Oleh karena itu, tidak dapat memberikan
diagnosis independen yang meyakinkan dan perlu diikuti dengan
pengujian dahak. (Yon Ju Ryu, 2015)
Menurut Pedoman Diagnostik dan Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia (PDPI, 2006), berikut klasifikasi TB Paru
berdasarkan pemeriksaan dahak:
a. Tuberkulosis Paru BTA positif:
Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara
mikroskopis ditemukan sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen
dahak menunjukkan hasil BTA positif, atau hasil pemeriksaan
satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif disertai dengan
kelainan radiologik yang menunjukkan gambaran tuberkulosis
aktif, selain itu hasil pemeriksaan satu spesimen dahak
menunjukkan BTA positif dan biakan positif
b. Tuberkulosis Paru BTA negatif:
Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara
mikroskopis dengan hasil pemeriksaan dahak 3 kali
menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan
radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak respons
terhadap pemberian antibiotik spektrum luas, atau hasil
pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan
biakan Mycobacterium tuberculosis positif
7. Pengobatan
Di indonesia sendiri lama waktu pengobatan Tuberkulosis (TB)
tergantung dari jenis Tuberkulosis yang di derita serta jenis obat yang di
konsumsi. Menurut Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis
(2014) Pengobatan Tuberkulosis dibagi menjadi 2 tahapan, yaitu:
a. Tahap awal : pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan
pada tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif
menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan
meminimalisirkan pengaruh dari sebagian kecil kuman yang
mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien mendapatkan
pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus
diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya enggan pengobatan
secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah
sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu.
b. Tahap lanjutan: pengobatan tahap lanjutan yang penting untuk
membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khusunya
kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah
terjadinya kekambuhan.
Pengobatan pada penderita tuberkulosis dewasa dibagi menjadi
beberapa kategori:
a. Kategori 1
Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R),
Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E). Obat- obatan tersebut diberikan
setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudin diteruskan dengan
tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniazid (H) dan Rifampisin (R),
diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3). Obat
ini diberikan untuk:
 penderita baru TB Paru BTA Positif
 penderita TB Paru BTA Negatif Rontgen Positif yang “sakit
berat”
 penderita TB Ekstra Paru berat.
b. Kategori 2
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan. Dua bulan pertama dengan
Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E) dan
suntikan streptomisin setiap hari di Unit Pelayanan Kesehatan.
Dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R),
Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan
dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan
tiga kali dalam seminggu.Perlu diperhatikan bahwa suntikan
streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat. Obat
diberikan untuk:
 penderita kambuh (relaps)
 penderita gagal (failure)
 penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default)
(Depkes RI, 2007)
c. Kategori 3
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan,
diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan
diberikan 3 kali seminggu. Penderita baru BTA Negatif dan Rotgen
Positif sakit ringan (PDPI, 2006).
d. OAT sisipan bila pada akhir tahap intensif dari pengobatan dengan
kategori 1 atau kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA
positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan
(Depkes RI, 2007).

Anda mungkin juga menyukai

  • Tinjauan Asma
    Tinjauan Asma
    Dokumen29 halaman
    Tinjauan Asma
    bobfaisal
    Belum ada peringkat
  • Calci Trol
    Calci Trol
    Dokumen4 halaman
    Calci Trol
    bobfaisal
    Belum ada peringkat
  • Anemia Bulan Sabit
    Anemia Bulan Sabit
    Dokumen6 halaman
    Anemia Bulan Sabit
    bobfaisal
    Belum ada peringkat
  • Callusor
    Callusor
    Dokumen3 halaman
    Callusor
    bobfaisal
    Belum ada peringkat
  • Calcitrol
    Calcitrol
    Dokumen4 halaman
    Calcitrol
    bobfaisal
    Belum ada peringkat
  • Diazepam
    Diazepam
    Dokumen3 halaman
    Diazepam
    bobfaisal
    Belum ada peringkat
  • Baby
    Baby
    Dokumen4 halaman
    Baby
    bobfaisal
    Belum ada peringkat
  • Bursitis
    Bursitis
    Dokumen3 halaman
    Bursitis
    bobfaisal
    Belum ada peringkat
  • Hemangioma
    Hemangioma
    Dokumen2 halaman
    Hemangioma
    bobfaisal
    Belum ada peringkat
  • Gagap
    Gagap
    Dokumen5 halaman
    Gagap
    bobfaisal
    Belum ada peringkat
  • Heloma
    Heloma
    Dokumen3 halaman
    Heloma
    bobfaisal
    Belum ada peringkat
  • Hematoma Subdural
    Hematoma Subdural
    Dokumen5 halaman
    Hematoma Subdural
    bobfaisal
    Belum ada peringkat
  • Anemia Bulan Sabit
    Anemia Bulan Sabit
    Dokumen6 halaman
    Anemia Bulan Sabit
    bobfaisal
    Belum ada peringkat
  • Xerosis
    Xerosis
    Dokumen4 halaman
    Xerosis
    bobfaisal
    Belum ada peringkat
  • Alergi Susu
    Alergi Susu
    Dokumen1 halaman
    Alergi Susu
    bobfaisal
    Belum ada peringkat
  • Bunion
    Bunion
    Dokumen3 halaman
    Bunion
    bobfaisal
    Belum ada peringkat
  • Fototerapi
    Fototerapi
    Dokumen8 halaman
    Fototerapi
    bobfaisal
    Belum ada peringkat
  • Bola KLB Pssi
    Bola KLB Pssi
    Dokumen3 halaman
    Bola KLB Pssi
    bobfaisal
    Belum ada peringkat
  • Pterigium
    Pterigium
    Dokumen32 halaman
    Pterigium
    Sandra Sandrafaro
    Belum ada peringkat
  • Cara Mengatasi Hamil Anggur
    Cara Mengatasi Hamil Anggur
    Dokumen3 halaman
    Cara Mengatasi Hamil Anggur
    bobfaisal
    Belum ada peringkat
  • Idai
    Idai
    Dokumen4 halaman
    Idai
    bobfaisal
    Belum ada peringkat
  • LAPORAN PRAKTIKUM Fisiologi Refraksi Cristo
    LAPORAN PRAKTIKUM Fisiologi Refraksi Cristo
    Dokumen5 halaman
    LAPORAN PRAKTIKUM Fisiologi Refraksi Cristo
    Christover Firstnando Saragih Simarmata
    Belum ada peringkat
  • Kul Pasca Refraksi 1
    Kul Pasca Refraksi 1
    Dokumen9 halaman
    Kul Pasca Refraksi 1
    Rita Anggraeni
    Belum ada peringkat
  • Pengobatan Hepatitis B-1
    Pengobatan Hepatitis B-1
    Dokumen2 halaman
    Pengobatan Hepatitis B-1
    bobfaisal
    Belum ada peringkat
  • Hepatitis C
    Hepatitis C
    Dokumen3 halaman
    Hepatitis C
    bobfaisal
    Belum ada peringkat
  • Angina
    Angina
    Dokumen6 halaman
    Angina
    bobfaisal
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Pterygium
    Laporan Kasus Pterygium
    Dokumen32 halaman
    Laporan Kasus Pterygium
    bobfaisal
    Belum ada peringkat
  • Kanker Hati-3
    Kanker Hati-3
    Dokumen2 halaman
    Kanker Hati-3
    bobfaisal
    Belum ada peringkat
  • BPH
    BPH
    Dokumen3 halaman
    BPH
    bobfaisal
    Belum ada peringkat