Anda di halaman 1dari 223

PENDIDIKAN

MULTIKULTURAL
PENDIDIKAN
MULTIKULTURAL

Penyusun
Drs. IMAM NAWAWI, M.Si
MURTININGSIH, S.Pd., M.Pd
Dra. SRI SUGIHARTI, M.Pd

Universitas Negeri Malang


Anggota IKAPI No. 059 / JTI / 89
Jl. Semarang 5 (Jl. Gombong 1) Malang, Kode Pos 65145
Telp. (0341) 562391, 551312 psw 453
Nawawi, Imam; Murtiningsih; & Sugiharti, Sri.
Pendidikan Multikultural – Oleh: Imam Nawawi, Murtiningsih, & Sri
Sugiharti –Cet. I– Universitas Negeri Malang, 2018.

xii, 210 hlm; 15,5 x 23 cm

ISBN: 978-602-470-061-4

Pendidikan Multikultural
Drs. Imam Nawawi, M.Si
Murtiningsih, S.Pd., M.Pd
Dra. Sri Sugiharti, M.Pd

Layout : Nia Windyaningrum, S.Sn

• Hak cipta yang dilindungi:

Undang-undang pada : Pengarang


Hak Penerbitan pada : Universitas Negeri Malang
Dicetak oleh : Universitas Negeri Malang

Dilarang mengutip atau memperbanyak dalam bentuk apapun


tanpa izin tertulis dari Penerbit.

• Universitas Negeri Malang


Anggota IKAPI No. 059 / JTI / 89
Jl. Semarang 5 (Jl. Gombong 1) Malang, Kode Pos 65145
Telp. (0341) 562391, 551312 psw 453


• Cetakan I : 2018
KATA PENGANTAR

Pendidikan Multikultural mampu siapkan warga belajar untuk


memiliki pemahaman tentang multikultural (Multy Cultural Knowledge),
ketrampilan sebagai warga negara yang multikultural dan pluralisme
dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara serta
karakter warga negara yang pluralisme diharapkan mampu membentuk
warganegara yang mampu memperkokoh persatuan dan kesatuan
bangsanya di tengah-tengah keanekaragaman bangsanya.
Potensi bangsa yang terdiskripsi dalam keanekaragaman suku bangsa
ras / etnis, budaya daeah dan golongan, harus mampu melakukan kinerja
bangsa menggambarkan jiwa persatuan dan kesatuan dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persoalan yang timbul seyogyanya
dipecahkan dengan bijaksana, dalam konteks pendidikan multikultural
serta memiliki nilai pluralisme , sehingga dapat mencerminkan bahwa
bangsaIndonesia memiliki karakteristik religius, jiwa toleran, dan jiwa
pluralisme.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memiliki karakteristik
pluralisme multikultural Indonesia perlu di tingkatkan secara terus-
menerus. Komitmen bangsa dalam merefleksi dan mewujudkan cita-cita
pendiri negara di proklamasikan pada tanggal 17 agustus 1945.
Bahan ajar Pendidikan Multikultural di Sekolah Dasar sengaja lebih di
titik beratkan untuk memperdalam esensi materi pendidikan Multikultural
dalam konteks peningkatan pemahaman anak bangsa terhadap masalah-
masalah keberagaman bangsa dan negaranya dalam konteks pendidikan
Multikultural di Lingkungan Anak Usia Sekolah Dasar. Materi Pendidikan
Multikultural di Sekolah Dasar ini sebagai upaya penguasaan pemahaman
Pendidikan Multikultural serta pemahaman terhadap masalah Pluralisme
Bangsa Indonesia yang harus dipahami Mahasiswa PGSD sebagai Calon
Guru SD.
Penggunaan Bahan Ajar Cetak (BAC) ini mengacu pada BAC yang
telah ada, sehingga mahasiswa terdapat kesinambungan dalam proses
pembelajaran pendidikan Multikultural di Sekolah Dasar, diharapkan
mahasiswa lebih bersemangat untuk terus menerus mengasah

v
kemampuan dan mengembangkan pengetahuan tentang pendidikan
multikultural dan pemahaman pluralisme yang berkembang dalam
kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Sehingga diharapkan
mahasiswa dapat lebih bersemangat untuk mendidik siswa Sekolah Dasar
bila sudah menyelesaikan studinya.
Agar kompetensi yang diharapkan dalam buku ajar ini dapat tercapai
maka semua materi, mencakup semua Indikator yang terdapat pada
materi umum Pendidikan Multikultural di Sekolah Dasar. Materi bahan
ajar terdiri dari Bab Sebagai berikut :
1. Pendidikan Multikultural
2. Perbandingan Pendidikan Multikultural di beberapa Negara
3. Pendidikan Multikultural di Indonesia
4. Wawasan Multi Budaya
5. Indonesia sebgai Masyarakat Pluralistik
6. Budaya Lokal / Daerah dan Nasional
7. Problematika Pedagogis Pendidikan Multikultural
8. Peranan Sekolah sebagai Lembaga pengembangan Pendidikan
Multikultural
9. Rancangan Pendidikan Multikultural
10. Hubungan Agama dan PendidiKAN Multikultural
11. Model Pengembangan Pendidikan Multikultural
12. Kerangka Pembelajaran dan Penilai Pendidikan Multikultural
Mudah-mudahan buku ini bermanfaat khususnya bagi Mahasiswa
PGSD, Guru-guru SD, serta khalayak Masyarakat yang memiliki
kepedulian yang tinggi terhadap kehidupan masyarakat dan Bangsa kita
yang memiliki karakter multikultural dan pluralisme yang dikembangkan
sejak usia Sekolah Dasar. Penulis menyadari baku ini jauh dari sempurna,
maka saran dan kritik dari berbagai pihak sangat kami harapkan.

Malang, Agustus 2018

Penulis

vi
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................... v


Daftar Isi ............................................................ vii

BAB I PENDIDIKAN MULTIKULTURAL ........................ 1


Tujuan Pembelajaran ................................... 1
Kerangka Isi ............................................... 1
A. Pengertian Pendidikan Multikultural ............. 3
B. Fungsi Pendidikan Multikultural .................. 7
C. Rasional dan Tujuan Pendidikan Multikultural .. 8
Rangkuman ................................................ 11
Tugas Latihan ............................................. 11
Daftar Rujukan ........................................... 12

BAB II PERBANDINGAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL


DI BEBERAPA NEGARA ................................... 13
Tujuan Pembelajaran ................................... 14
Kerangka Isi ............................................... 14
A. Pendidikan Multikultural ........................... 15
B. Pendidikan Multikultural di Amerika Serikat .... 15
C. Pendidikan Multikultural di Inggris ............... 18
D. Pendidikan Multikultural di Kanada .............. 18
E. Pendidikan Multikultural di Australia ............ 19
F. Pendidikan Multikultural di Asia ................. 21
Rangkuman ............................................... 21
Tugas Latihan ............................................. 22
Daftar Rujukan ........................................... 22

BAB III PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA ....... 23


Tujuan Pembelajaran ................................... 24
Kerangka Isi ............................................... 24
A. Pendidikan Multikultural di Indonesia ........... 25
B. Tujuan Pendidikan Multikultural ................. 29
C. Asas-Asas Pendidikan Multikultural di Indonesia 32

vii
Rangkuman ............................................... 34
Tugas Latihan ............................................. 35
Daftar Rujukan ........................................... 35

BAB IV WAWASAN MULTI BUDAYA ............................. 37


Tujuan Pembelajaran ................................... 38
Kerangka Isi ............................................... 38
A. Pengertian Pendidikan Multikultural ............ 39
B. Wawasan Budaya Lokal ........................... 39
C. Wawasan Budaya Nasional ......................... 43
D. Wawasan Budaya Universal ........................ 44
Rangkuman ............................................... 45
Tugas Latihan ............................................. 46
Daftar Rujukan ........................................... 46

BAB V INDONESIA SEBAGAI MASYARAKAT PLURALISTIK ... 49


Tujuan Pembelajaran .................................... 50
Kerangka Isi ............................................... 50
A. Pengertian Masyarakat Pluralistik ................ 51
B. Konsep Pluralisme .................................. 52
C. Hubungan Pluralisme dengan Multikulturalisme 53
D. Peran Penting Pluralisme di Indonesia .......... 56
E. Implementasi Pendidikan Pluralistik di Indonesia 60
F. Implikasi Pluralistik dan Multikulturalistik Dalam
Masyarakat Indonesia ............................... 62
Rangkuman ............................................... 64
Tugas Latihan ............................................. 65
Daftar Rujukan ........................................... 65

BAB VI BUDAYA LOKAL / DAERAH DAN NASIONAL .......... 67


Tujuan Pembelajaran ................................... 68
Kerangka Isi ............................................... 68
A. Pengertian Budaya Daerah dan Budaya Nasional
Indonesia ............................................ 69
B. Bahasa Daerah ...................................... 71
C. Lagu-Lagu Daerah ................................... 72
D. Alat-Alat Musik Tradisional ........................ 73
E. Kekayaan Tarian ..................................... 74

viii
F. Keragaman Masakan dan Pakaian ................. 75
G. Peninggalan Budaya dan Kekayaan Tradisi ....... 76
Rangkuman ................................................ 77
Tugas Latihan ............................................. 78
Daftar Pustaka ............................................ 78

BAB VII PROBLEMATIKA PEDAGOGIS PENDIDIKAN


MULTI KULTURAL ....................................... 79
Tujuan Pembelajaran .................................... 79
Kerangka Isi ............................................... 80
A. Tantangan-Tantangan Multi Kultural di Indonesia 81
B. Konsep Dasar Pendidikan Multi Kultural ......... 81
C. Pengertian Problematika Pedagogis Pendidikan
Multi Kultural ........................................ 82
D. Faktor-Faktor Munculnya Problematika Pedagogis
Pendidikan Multi Kultural .......................... 83
E. Problematika Pendidikan Multi Kultural ......... 84
F. Upaya Penyelesaian Problematika Pendidikan
Multi Kultural ........................................ 87
Rangkuman ................................................ 87
Tugas Latihan ............................................. 89
Daftar Rujukan ........................................... 89

BAB VIII PERANAN SEKOLAH SEBAGAI LEMBAGA


PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL .. 91
Tujuan Pembelajaran ................................... 92
Kerangka Isi ............................................. 92
A. Peranan Sekolah Dasar Sebagai Sistem Sosial 93
B. Peranan Sekolah Dasar Sebagai Lembaga
Pengembangan Budaya ............................ 95
C. Multikultural Sebagai Landasan Pembelajaran 96
D. Perencanaan Pembelajaran Pendidikan Multikultural 97
E. Pengembangan Pendekatan Multikultural
Sebagai Ide ......................................... 98
F. Langkah-Langkah Pembelajaran Berbasis Budaya
Menuju Transformasi Kurikulum Multikultural
di Sekolah Dasar ................................... 99

ix
G. Strategi Pembelajaran dan Metode untuk
Humanisasi Pendidikan Multikultural ........... 102
Rangkuman .............................................. 104
Tugas Latihan ........................................... 105
Daftar Rujukan ......................................... 105

BAB IX RANCANGAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL ........ 107


Tujuan Pembelajaran ................................... 107
Kerangka Isi ............................................... 108
A. Fondasi Pendidikan Multikultural ................. 109
B. Perkembangan Mutakhir Pendidikan Multikultural 112
C. Focus Domain Pendidikan Multikultural ......... 119
D. Kontekstualisasi Pendidikan Multikultural ...... 125
Rangkuman ............................................... 129
Tugas dan Latihan ....................................... 130
Daftar Pustaka ........................................... 130

BAB X HUBUNGAN AGAMA DAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL 133


Tujuan Pembelajaran ................................... 134
Kerangka Isi ............................................... 134
A. Cara Pandang Islam Terhadap Pendidikan
Multikultural ......................................... 135
B. Hubungan Agama Dengan Pendidikan Multikultural 138
C. Ruang Dialogis Agama Dan Pendidikan Multikultural 141
D. Harmonisasi Agama Dengan Pendidikan Multikultural 145
Rangkuman ............................................... 149
Tugas dan Latihan ....................................... 150
Daftar Pustaka ........................................... 151

BAB XI MODEL PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL 153


Tujuan Pembelajaran ................................... 153
Kerangka Isi ............................................... 154
A. Gerakan Pendidikan Multikultural ................ 155
B. Gerakan Pembaharuan Pendidikan Multikultural 161
C. Model Pengembangan Pendidikan Multikultural 170
D. Ultimate Goal Pendidikan Multikultural ......... 181
Rangkuman ............................................... 183
Tugas dan Latihan ....................................... 184

x
BAB XII KERANGKA PEMBELAJARAN DAN PENILAIAN PENDIDIKAN
MULTIKULTURAL ........................................ 185
Tujuan Pembelajaran .................................... 186
Kerangka Isi ............................................... 186
A. Pembelajaran Berwawasan Pendidikan Multikultural 187
B. Pendekatan - Pendekatan Dalam Pembelajaran
Pendidikan Multikultural ........................... 188
C. Penilaian Pembelajaran Berwawasan Multikultural 191
D. Proses Penyemaian Nilai – Nilai Pendidikan
Multikultural ......................................... 194
E. Aksi Dan Kesadaran Pendidikan Multikultural ... 203
Rangkuman ................................................ 207
Tugas dan Latihan ........................................ 209

xi
xii
BAB I
PENDIDIKAN
MULTIKULTURAL

Tari Saman Provinsi Aceh

Tujuan Pembelajaran
1. Untuk mendeskripsikan pengertian pendidikann multikultural.
2. Untuk mendeskripsikan fungsi pendidikan multikultural.
3. Untuk mendeskripsikan rasional dan tujuan pendidikan multikultural.

Kerangka Isi
Pada bagian ini menjelaskan tentang; pengertian pendidikann
multikultural, fungsi pendidikan multikultural, rasional dan tujuan
pendidikan multikultural.

1
A. Pengertian Pendidikan Multikultural

Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Pengertian


kebudayaan menurut para ahli sangat beragam, namun dalam konteks
ini kebudayaan dilihat dalam perspektif fungsinya sebagai pedoman bagi
kehidupan manusia. Dalam konteks perspektif kebudayaan tersebut,
maka multikulturalisme adalah ideologi yang dapat menjadi alat atau
wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya.
Multikulturalisme mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam
kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan.
Multikulturalisme memandang sebuah masyarakat mempunyai
sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat yang coraknya
seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan
dari masyarakat-masyarakat lebih kecil yang membentuk terwujudnya
masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan seperti
sebuah mosaik tersebut.
Alo Liliweri menjelaskan bahwa banyak budaya hidup di daerah-
daerah perbatasan antar Negara, antar-suku bangsa, antar-etnik, antar
ras, dan antar-geografis. Di sinilah muncul situasi dan kondisi masyarakat
yang memiliki keragaman budaya. Kita menggunakan istilah methaphors
untuk menggambarkan kebudayaan campuran (mixed culture). Ada
beberapa istilah yang menggunakan methapor yaitu: Pertama, melting
pot adalah masyarakat masih memelihara keunikan budaya untuk
membedakan keturunan mereka dengan orang lain. Dalam konsep ini
masing-masing etnis dengan budayanya menyadari adanya perbedaan
antara sesamanya. Namun, dengan perbedaan tersebut mereka dapat
membina hidup bersama dengan baik dan sehat. Hal ini dapat ditafsirkan
bahwa melting pot terdapat kekuatan untuk mensintesiskan kebudayaan
dari masing-masing kelompok. Kedua, tributaries yaitu menggambarkan
aliran sungai yang airnya merupakan campuran dari air dan sungai-
sungai kecil lain. Aliran sungai itu menuju kearah yang sama, ke sebuah
muara. Hal ini menggambarkan bahwa sungai itu merupakan lintasan
dari sejumlah budaya yang terus mengalir. Masyarakat yang dibangun
Amerika khususnya di New York dan California.
Will Kymlicka berpendapat, multibudaya merupakan suatu
pengakuan, penghargaan dan keadilan terhadap etnik minoritas baik
yang menyangkut hak-hak universal yang melekat pada hak-hak individu
maupun komunitasnya yang bersifat kolektif dalam mengekspresikan

I. Pendidikan Multikultural 3
kebudayaannya. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme
antara lain adalah demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya
dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa,
kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan,
ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, hak asasi manusia,
hak budaya komunitas, dan konsep-konsep lainnya yang relevan dari
beberapa individu memiliki karakteristik spesifik yang tidak dimiliki oleh
individu lain. Keanekaragaman karakteristik spesifik ini mengarah pada
suatu muara yaitu bercampurnya berbagai karakteristik. Bervariasinya
karakteristik tersebut sebenarnya sebagai media aliran berkembangnya
kebudayaan yang akan dibangun. Berbeda dengan melting pot, pada
tributaries keberbedaan antar suku tetap dipandang memiliki arti yang
berbeda. Dengan demikian, setiap keberbedaan itu tetap dipertahankan
meskipun berada pada tujuan yang sama untuk mengembangkan dan
mempertahankan budaya masing-masing.
Ketiga, tapestry adalah bagaikan dekorasi pakaian yang terbentuk
dari sehelai benang. Konsep ini diambil untuk menggambarkan
kebudayaan Amerika yang dekoratif. Analog yang dapat disampaikan
antara lain kain yang terdiri dari satu warna kurang memberikan
hasrat bagi pemakainya. Dengan demikian, kain yang multiwarna
sebagai perpaduan dekoratif akan memperkaya seni dekorasi tersebut.
Keempat, garden salad/salad bowl adalah kebudayaan ibarat mangkuk
yang berisi campuran salad. Pada konsep ini yang ada masing-masing
kelompok etnis memperjuangkan keberhasilan kelompoknya sendiri.
Dapat saja masing-masing kelompok etnis hidup berdampingan tetapi
tidak peduli satu dengan yang lainnya. Masing-masing masyarakat
mengurus dirinya sendiri dan dapat hidup bersama sepanjang yang satu
tidak mengganggu kelompok lainnya. Olehnya, Garden Salad/Salad Bowl
tidak memperdulikan adanya komitmen untuk mengetahui dan saling
berbagi antar unsure-unsur kebudayaan yang dimiliki kelompok lain.
Sebagai sebuah ideologi, multikulturalisme terserap dalam berbagai
interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia
yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan
bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam
masyarakat yang bersangkutan. Interaksi tersebut berakibat pada
terjadinya perbedaan pemahaman tentang multikulturalisme. Lebih
jauh, perbedaan ini berimplikasi pada perbedaan sikap dan perilaku
dalam menghadapi kondisi multikultural masyarakat. Sebagai sebuah

4 Pendidikan Multikultural
ideologi, multikulturalisme harus diperjuangkan, karena dibutuhkan
sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, hak asasi manusia dan
kesejahteraan hidup masyarakatnya.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperjuangkan
multikulturalisme adalah melalui pendidikan yang multikultural.
Pengertian pendidikan multikultural menunjukkan adanya keragaman
dalam pengertian istilah tersebut
James Banks menyatakan bahwa pengertian pendidikan multikultural
sebagai pendidikan untuk people of color. Pengertian ini senada
dengan pengertian yang dikemukakan oleh Sleeter bahwa pendidikan
multikultural adalah sekumpulan proses yang dilakukan oleh sekolah
untuk menentang kelompok yang menindas. Pengertian-pengertian ini
tidak sesuai dengan konteks pendidikan di Indonesia karena Indonesia
memiliki konteks budaya yang berbeda dari Amerika Serikat walaupun
keduanya memiliki bangsa dengan multi-kebudayaan.
Andersen dan Cusher (1994) mengatakan bahwa pendidikan
multikultural adalah pendidikan mengenai keragaman kebudayaan.
Definisi ini lebih luas dibandingkan dengan yang dikemukakan di atas.
Meskipun demikian, posisi kebudayaan masih sama dengan apa yang
dikemukakan dalam definisi di atas, yaitu keragamaan kebudayaan
menjadi sesuatu yang dipelajari dan berstatus sebagai objek studi.
Dengan kata lain, keragaman kebudayaan menjadi materi pelajaran
yang harus diperhatikan para pengembang kurikulum.
Pendidikan multikultural berasal dari dua kata pendidikan dan
multikultural. Pendidikan merupakan proses pengembangan sikap dan
tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan dan cara-cara
yang mendidik. Disisi lain Pendidikan adalah Transfer of knowledge atau
memindah ilmu pengetahuan. Sedangkan Multikultural secara etimologis
multi berarti banyak, beragam dan aneka sedangkan kultural berasal dari
kata culture yang mempunyai makna budaya, tradisi, kesopanan atau
pemeliharaan. Rangkaian kata pendidikan dan multikultural memberikan
arti secara terminologis adalah proses pengembangan seluruh potensi
manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai
konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran (agama).
Dalam Encyclopedia of Multicultural Education (1999) ditulis oleh
Mitchell dan Robert E. Salsbury, yang dimaksud dengan pendidikan
multikultural adalah pendidikan multietnik, pendidikan antirasis, dan

I. Pendidikan Multikultural 5
pendidikan multirasial yang digunakan oleh negara-negara di dunia yang
merujuk pada usaha pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai positif
tentang pluralisme kehidupan manusia dan mengembangkan potensi
belajar untuk seluruh siswa. Melalui pendidikan multikultural, guru
diharapkan memiliki kepekaan atau sensitivitas terhadap nilai-nilai
demokrasi dan hak-hak siswa dalam kebudayaan yang beranekaragam.
Pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan
pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan
kultural yang ada pada siswa, seperti perbedaan etnis, agama, bahasa,
gender, kelas sosial, ras, kemampuan, dan umur agar proses belajar
menjadi efektif dan mudah (Yaqin, 2005). Pendidikan multikultural
diselenggarakan sekaligus juga untuk melatih dan membangun karakter
siswa agar mampu bersikap demokratis, humanis, dan pluralis dalam
lingkungan mereka, khususnya di sekolah.
Al Arifin (2012) mengartikan pendidikan multikultural sebagai
wujud kesadaran tentang keanekaragaman multikultural, hak-hak asasi
manusia serta pengurangan atau penghapusan jenis prasangka untuk
suatu kehidupan masyarakat yang maju dan adil.
Sutjipto (2005) secara singkat memaknai pendidikan multikultural
sebagai proses kulturasi tentang multikultur. Makna dari definisi tersebut
adalah bahwa dalam proses pendidikan terjadi shared meaning yang
terjadi akibat adanya interaksi dengan lingkungan, termasuk interaksi
dalam dunia pendidikan. pendidikan itu sendiri juga merupakan proses
pembentukan kultur multikultur.
Pendidikan Multikultural adalah menginstitusionalkan sebuah filosofi
pluralisme budaya ke dalam sistem pendidikan yang didasarkan pada
prinsip-prinsip persamaan (equality), saling menghormati dan menerima,
memahami dan adanya komitmen moral untuk sebuah keadilan sosial.
Pendidikan Multikultural merupakan reformasi sekolah yang
komprehensif dan pendidikan dasar untuk semua anak didik yang
menentang semua bentuk diskriminasi dan intruksi yang menindas dan
hubungan antar personal di dalam kelas dan memberikan prinsip-prinsip
demokratis keadilan sosial.
Menurut pendapat Blum, pendidikan multibudaya sarat dengan
penghargaan, penghormatan dan kebersamaan dalam suatu komunitas
yang majemuk. Lebih lanjut Blum menegaskan bahwa pendidikan
multibudaya meliputi sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian

6 Pendidikan Multikultural
atas budaya seseorang, dan sebuah penghormatan dan keingintahuan
tentang budaya etnis orang lain. Ia meliputi penilaian terhadap
kebudayaan-kebudayaan orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh
aspek dari kebudayaan-kebudayaan tersebut, melainkan mencoba
melihat bagaimana kebudayaan tertentu dapat mengekspresikan nilai
bagi anggota-anggotanya sendiri.
Blum membagi tiga elemen dalam pendidikan multibudaya, pertama,
menegaskan identitas kultural seseorang, mempelajari dan menilai
warisan budaya seseorang. Kedua, menghormati dan berkeinginan untuk
memahami serta belajar tentang etnik/kebudayaan-kebudayaan selain
kebudayaannya. Ketiga, menilai dan merasa senang dengan perbedaan
kebudayaan itu sendiri; yaitu memandang keberadaan dari kelompok-
kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat seseorang sebagai
kebaikan yang positif untuk dihargai dan dipelihara.
Dari bebarapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan
multikultural mengandaikan adanya penghargaan, penghormatan, dan
pengakuan terhadap keragaman budaya, serta proses pengembangan
sikap dan tata laku pada diri siswa dalam kegiatan pembelajaran
dengan tujuan agar siswa terbiasa dalam kehidupan multikultural baik
di sekolah, di keluarga, maupun di masyarakat.

B. Fungsi Pendidikan Multikultural

Menurut The National Council for the Social Studies (Gorski, 2001)
fungsi pendidikan multikultural adalah sebagai berikut:
1. Memberi konsep diri yang jelas
2. Membantu memahami pengalaman kelompok etnis dan budaya
ditinjau dari sejarahnya
3. Membantu memahami bahwa konflik antara ideal dan realitas itu
memang ada pada setiap masyarakat
4. Membantu mengembangkan pembuatan keputusan (decision
making), partisipasi sosial, dan keterampilan kewarganegaraan
(citizenship skills)

I. Pendidikan Multikultural 7
C. Rasional dan Tujuan Pendidikan Multikultural

a. Rasionalitas Arti Pentingnya Pendidikan Multikultural


Masyarakat Indonesia terdiri dari masyarakat multikultur yang
mencakup berbagai macam perspektif budaya yang berbeda. Jadi sangat
relevanlah bagi pendidikan di Indonesia untuk menerapkan Pendidikan
Multikultural. Pendidikan Multikultural dapat melatih peserta didik
untuk menghormati dan toleransi terhadap semua kebudayaan.
Pendidikan Multikultural sebagai kesadaran merupakan suatu
pendekatan yang didasarkan pada keyakinan bahwa budaya merupakan
salah satu kekuatan yang dapat menjelaskan perilaku manusia. Budaya
memiliki peranan yang sangat besar di dalam menentukan arah kerjasama
maupun konflik antar sesama manusia.
Pendidikan Multikultural dipersepsikan sebagai suatu jembatan
untuk mencapai kehidupan bersama dari umat manusia di dalam era
globalisasi yang  penuh tantangan baru. Pertemuan antarbudaya bisa
berpotensi memberi manfaat  tetapi sekaligus menimbulkan salah
paham. Itulah rasional yang menunjukkan arti  pentingnya keberadaan
Pendidikan Multikultural.

b. Tujuan Pendidikan Multikultural


Tujuan Pendidikan Multikultural dapat mencakup tiga aspek belajar
(kognitif, afektif, dan tindakan) dan berhubungan baik nilai-nilai intrinsik
(ends) maupun nilai instrumental (means) Pendidikan Multikultural.
Tujuan Pendidikan Multikultural mencakup:
1) Pengembangan Literasi Etnis dan Budaya
Salah satu alasan utama gerakan untuk memasukkan Pendidikan
Multikultural dalam program pendidikan adalah untuk memperbaiki
kelalaian dalam penyusunan kurikulum. Pertama, kita harus memberi
informasi pada peserta didik tentang sejarah dan kontribusi dari
kelompok etnis yang secara tradisional diabaikan dalam kurikulum dan
materi pembelajaran, kedua, kita harus menempatkan kembali citra
kelompok ini secara lebih akurat dan signifikan, menghilangkan bias dan
informasi menyimpang yang terdapat dalam kurikulum.
Tujuan Pendidikan Multikultural adalah mempelajari tentang latar
belakang sejarah, bahasa, karakteristik budaya, sumbangan, peristiwa
kritis, individu yang berpengaruh, dan kondisi sosial, politik, dan ekonomi
dari berbagai kelompok etnis mayoritas dan minoritas.

8 Pendidikan Multikultural
2) Perkembangan Pribadi
Dasar psikologis Pendidikan Multikultural menekankan pada
pengembangan pemahaman diri yang lebih besar, konsep diri yang
positif, dan kebanggaan pada identitas pribadinya. Mengembangkan
pemahaman yang lebih baik tentang diri mereka sendiri dan pengalaman
budaya dan kelompok etnis yang lain dapat memperbaiki penyimpangan
yang menganggap nilai yang ada pada kelompok yang dominan itu lebih
unggul.
3) Klarifikasi Nilai dan Sikap
Mengajari generasi muda untuk menghargai dan menerima pluralisme
etnis, menyadarkan bahwa perbedaan budaya tidak sama dengan
kekurangan atau rendah diri, dan untuk mengakui bahwa keragaman
merupakan bagian integral dari kondisi manusia. Pengklarifikasian sikap
dan nilai etnis didesain untuk membantu peserta didik memahami
bahwa berbagai konflik nilai itu tidak dapat dielakkan dalam masyarakat
pluralistik; dan bahwa konflik tidak harus menghancurkan dan memecah
belah.
4)Kompetensi Multikultural
Upaya interaksi lintas kultural seringkali terhalang oleh nilai, harapan
dan sikap negatif ; kesalahan budaya (cultural blunders); dan dengan
mencoba menentukan aturan etiket sosial (rules of social etiquette)
dari satu sistem budaya terhadap sistem budaya yang lain. Pendidikan
Multikultural dapat membantu peserta didik mempelajari bagaimana
memahami perbedaan budaya tanpa membuat pertimbangan nilai yang
semena-mena tentang nilai intrinsiknya.
5) Kemampuan Keterampilan Dasar
Tujuan Pendidikan Multikultural adalah untuk memfasilitasi
pembelajaran untuk melatih kemampuan ketrampilan dasar dari peserta
didik yang berbeda secara etnis.
Yaqin (2005) membagi tujuan pendidikan multikultural menjadi dua
yaitu:
a. Membangun wacana pendidikan multikultural di kalangan guru,
dosen, ahli pendidikan, pengambil kebijakan dalam dunia
pendidikan, mahasiswa jurusan di fakultas ilmu pendidikan, dan
mahasiswa jurusan lainnya. Apabila wacana pendidikan multikultural
dipahami oleh banyak pihak, diharapkan siswa atau mahasiswa
yang memperoleh kecakapan kognitif multikultural dapat menjadi
transformator pendidikan multikultural yang mampu menanamkan

I. Pendidikan Multikultural 9
nilai-nilai pluralisme, humanisme, dan demokrasi kepada komunitas
masyarakat di lingkungan terdekat.
b. Terdidiknya siswa atau mahasiswa yang mampu memahami dan
menguasai materi ajar, sekaligus mempunyai karakter yang kuat
untuk bersikap demokratis dan humanis dalam masyarakat plural.

Pendidikan multikultural bertujuan agar siswa dari berbagai latar


belakang suku bisa mempunyai konsep diri yang positif mengenai
kelompok lain dan berkontribusi dalam kehidupan sosial yang
beranekaragam. Pendidikan multikultural ingin memastikan agar semua
siswa dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda bisa mendapatkan
kesempatan yang sama dan situasi yang kondusif untuk mencapai prestasi
yang sebaik-baiknya. Dengan sikap yang saling menghargai di sekolah,
diharapkan siswa menjadi pribadi yang positif melihat perbedaan dan
mampu bekerja dengan konteks masyarakat yang semakain beraneka
ragam.

Busana aceh untuk hari pernikahan

10 Pendidikan Multikultural
RANGKUMAN
Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang mengandaikan
adanya penghargaan, penghormatan, dan pengakuan terhadap keragaman
budaya, serta proses pengembangan sikap dan tata laku pada diri siswa
dalam kegiatan pembelajaran dengan tujuan agar siswa terbiasa dalam
kehidupan yang memiliki beraneka ragam budaya baik di sekolah, di
keluarga, maupun di masyarakat. Fungsi pendidikan multikultural yaitu
untuk memberi konsep diri yang jelas, membantu memahami pengalaman
kelompok etnis dan budaya ditinjau dari sejarahnya, membantu
memahami bahwa konflik antara ideal dan realitas itu memang ada pada
setiap masyarakat. membantu mengembangkan pembuatan keputusan
(decision making), partisipasi sosial, dan keterampilan kewarganegaraan
(citizenship skills).
Tujuan pendidikan multikultural yaitu agar siswa dari berbagai
latar belakang suku bisa mempunyai konsep diri yang positif mengenai
kelompok lain dan berkontribusi dalam kehidupan sosial yang
beranekaragam. Pendidikan multikultural ingin memastikan agar semua
siswa dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda bisa mendapatkan
kesempatan yang sama dan situasi yang kondusif untuk mencapai prestasi
yang sebaik-baiknya.

TUGAS LATIHAN

1. Jelaskan pengertian pendidikan multikultural?


2. Jelaskan fungsi pendidikan multikultural?
3. Jelaskan rasional dan tujuan pendidikan multikultural?

I. Pendidikan Multikultural 11
Daftar Rujukan

Handoyo, Eko. 2015. Studi Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Penerbit


Ombak.
Hermawan, Ruswandi & Kanda Rukandi. 2006. Prespektif Sosial Budaya.
Bandung: Upi Press.

Kawuryan, Sekar Purbarini. 2009. Bahan Ajar Mata Kuliah Pendidikan


Multikultural.

Maslikhah, Quo Vadis. 2007. Pendidikan Multikultural: Reconstruksi


Sistem Pendidikan berbasis Kebangsaan. Surabaya: JP Books.

Yaqin, M. Ainul. 2005. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural


Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar
Media.

Suparlan, Parsudi. 2002. Menuju Masyarakat Indonesia yang


Multikultural. Makalah. Disampaikan pada Simposium Internasional
Bali ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali.

12 Pendidikan Multikultural
BAB II
PERBANDINGAN
PENDIDIKAN
MULTIKULTURAL
DI BEBERAPA NEGARA

Pernikahan Pangeran Kerajaan Inggris

13
Tujuan Pembelajaran
1. Mengkaji perihal pendidikan multikultural di Negara Amerika Serikat.
2. Mengkaji perihal pendidikan multikultural di Negara Inggris.
3. Mengkaji perihal pendidikan multikultural Negara Kanada.
4. Mengkaji perihal pendidikan multikultural Negara Australia.
5. Mengkaji perihal pendidikan multikultural di beberapa Negara Asia.

Kerangka Isi
Bada bagian, memaparkan masalah-masalah pokok yang berkaitan
dengan, pendidikan multikultural di Negara Amerika Serikat, pendidikan
multikultural di Negara Inggris, pendidikan multikultural Negara Kanada,
pendidikan multikultural Negara Australia, pendidikan multikultural di
beberapa Negara Asia.

14
A. Pendidikan Multikultural

Pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan


untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan
demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu bahkan dunia
secara keseluruhan.
Istilah pendidikan multikultural dapat digunakan, baik pada tingkat
deskriptif dan normatif yang menggambarkan isu-isu dan masalah-
masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural.
Lebih jauh juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap
kebijakan - kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat
multikultural. Dalam konteks deskriptif, maka pendidikan multikultural
seyogyanya berisikan tentang tema-tema mengenai toleransi, perbedaan
ethno-cultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik
dan mediasi, hak asasi manusia, demokratisasi, pluralitas, kemanusiaan
universal, dan subjek-subjek lain yang relevan.
Pendidikan multikultural adalah suatu pendekatan progresif
untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh
membongkar kekurangan, kegagalan, dan praktik-praktik diskriminasi
dalam proses pendidikan.
Pendidikan multikultural merupakan respon terhadap perkembangan
keragaman populasi sekolah sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi
setiap kelompok. Hal ini berarti pendidikan multikultural secara luas
mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompok, baik
itu etnis, ras, budaya, strata sosial, agama, dan gender sehingga mampu
mengantarkan siswa menjadi manusia yang toleran dan menghargai
perbedaan.

B. Pendidikan Multikultural di Amerika Serikat

Pendidikan di Amerika Serikat pada mulanya hanya dibatasi pada


imigran berkulit putih, sejak didirikan sekolah rendah pertama tahun
1633 oleh imigran Belanda dan berdirinya Universitas Harvard di
Cambridge, Boston tahun 1636. Pada ahun 1934 dikeluarkan Undang
Undang Indian Reservation Reorganization Act di daerah reservasi suku
Indian. Tujuan pendidikannya adalah proses Amerikanisasi. Di samping

II. Perbandingan Pendidikan Multikultural di Berbagai Negara 15


itu ada sekolah yang di dalamnya terdapat imigran berbahasa Spanyol
(Mexico, Puerto Rico, Kuba) yang disebut Hispanis.
Pengakuan sebagai kelompok etnis oleh orang lain seringkali
merupakan faktor yang berkontribusi untuk mengembangkan ikatan
identifikasi ini. Kelompok etnis seringkali disatukan oleh ciri budaya,
perilaku, bahasa, ritual, atau agama. Berikut ini masing-masing kelompok
etnis yang hidup di Amerika Serikat :
1. White Anglo Saxon Protestan (WASP)
Pendidikan di Amerika Serikat didominasi oleh budaya dominan yaitu
budaya WASP artinya dikhususkan untuk kelompok berkulit putih (White)
yang kebanyakan berasal dari Inggris, atau yang berbahasa Inggris (Anglo
Saxon) dan beragama Protestan. WASP adalah sebuah tradisi tentang
siapa yang seharusnya menjadi penguasa di Amerika Serikat.
2. Orang Amerika Keturunan Penduduk Asli Amerika (Native Americans)
Native Americans adalah penduduk asli Amerika yang kini populasinya
diperkirakan setengah juta orang. Bangsa ini disebut penduduk asli
karena telah ada di benua Amerika sebelum terjadi gelombang migrasi
dari kelompok etnik dari Eropah, Afrika, maupun Asia selama lima ratus
tahun. Sejarah mencatat bahwa hampir semua migran memperlakukan
mereka secara tidak adil. Baru tahun 1924, terjadi perubahan hubungan
antara white dan black Americans dengan native Americans.
3. Orang Amerika Keturunan Afrika (African Americans)
Orang Afrika Amerika merupakan kelompok etnik dari benua Afrika
yang pertama yang dijadikan budak oleh orang Spanyol dalam eksplorasi
ke dunia baru, Amerika sejak 1619 sampai dengan abad 18. Kedatangan
orang kulit hitam ini jumlahnya semakin membesar dan hal ini mendorong
pemerintah untuk mengakui kehadiran mereka sebagai budak dalam The
Thirteenth Amandment to the Constitution, yang mengatur perbudakan
secara hukum di tahun 1865.

Kelompok etnik ini pada tahun 1960-an melakukan gerakan hak sipil
yang memenangkan secara legal berupa penghapusan diskriminasi ras,
termasuk penghapusan diskriminasi sekolah, hak sipil, serta penggunaan
fasilitas umum. Masalah umum yang dihadapi oleh kelompok ini adalah
pendapatan yang rendah, bekerja pada jenis pekerjaan kasar dengan
jumlah pengangguran dua kali lebih besar dari orang kulit putih. Kini,
makin banyak orang African Americans yang mencapai kedudukan puncak
kekuasaan sosial, ekonomi, dan politik.

16 Pendidikan Multikultural
1. Orang Amerika Keturunan Asia (Asian Americans)
Yang termasuk dalam kelompok ini adalah sekitar 4 persen dari
penduduk Amerika Serikat dengan mayoritas berasal dari Cina dan
Jepang, di samping imigran dari Filipina, Korea, disusul orang Vietnam
yang baru masuk ke Amerika Serikat dalam beberapa tahun terakhir ini.
Tiga kelompok terakhir ini dikenal di Amerika Serikat sebagai Recent
Asian Immigrants..
Pertumbuhan orang Cina di AS kini sangat cepat dibandingkan
pertumbuhan orang Cina di berbagai belahan dunia, termasuk Cina
sendiri. Orang Jepang Amerika (Japanese Americans) adalah imigran
Jepang yang merupakan bagian dari Asian Americans yang mulai
berdatangan ke AS tahun 1860-an. Orang Jepang jumlahnya sedikit
dan dikenal selalu menghindari prasangka dan diskriminasi langsung
sebagaimana yang terjadi atas orang Cina. Hukum imigran tahun 1920-
an menghentikan imigrasi orang Jepang ke benua Amerika.
2. Orang Amerika yang Berkebudayaan Spanyol (Hispanic Americans)
Secara etimologi Hispanis/Hispano berasal dari bahasa Latin
Hispanus, yang merupakan kata sifat dari Hispania, nama yang diberikan
oleh orang Rowawi selama periode Republik Romawi pada seluruh Iberian
Peninsula. Dalam bahasa Spanyol, kata “Hispano” juga digunakan sebagai
elemen pertama yang menunjuk pada Spanyol dan orang Spanyol, sebagai
pembeda dari Anglo yang digunakan untuk menunjuk pada Inggris dan
bahasa Inggris. Jadi, “Spanyol Amerika” adalah Hispano-amerika.
Hispanis Amerika merupakan kelompok etnik yang dapat dikatakan
mewakili tiga budaya. Mexican American (Meksiko), Puerto Rico
dan Cuban American (Cuba). Jumlah keturunan Hispanic Americans
diperkirakan 12% dari jumlah penduduk AS. Persentase ini cenderung
meningkat cepat karena migrasi dan tingkat kelahiran yang tinggi.
3. White Ethnic Americans
White Ethnic Americans merupakan kelompok orang Amerika
berkulit putih yang menyatakan dirinya “tidak terikat” dengan WASP.
Jadi, mereka digolongkan dalam kelompok etnik non-WASP. Mereka
yang termasuk golongan ini adalah orang Jerman, Irlandia, Italia dan
Polandia. Kelompok ini ditambah imigran dari Hongkong, Taiwan, Cina,
Vietnam dan Korea.
Kelompok etnis ini mendapat perlakuan yang sama. Kini, dalam
bidang pendidikan, pengaruh kesetaraan ini melahirkan pedagogik yang
memberikan asal usul serta agamanya. Masalahnya bagaimana menghargai

II. Perbandingan Pendidikan Multikultural di Berbagai Negara 17


kebudayaannya masing-masing kelompok etnis agar supaya kekayaan dari
masing-masing budaya kelompok tersebut dapat dimanfaatkan sebesar-
besarnya untuk masyarakat AS. Untuk mewujudkan tujuan tersebut
muncullah gagasan mengenai pendidikan yang cocok untuk masyarakat
yang pluralistis itu. Diperlukan perubahan di dalam tujuan pendidikan,
kurikulum, proses belajar mengajar mengajar juga kedudukan sekolah
di dalam masyarakat yang pluralistik.

C. Pendidikan Multikultural di Inggris

Pendidikan Multikultural di Inggris terkait dengan perkembangan


revolusi industri pada tahun 1650-an. Pendidikan Multikultural
berkembang sejalan dengan banyaknya kaum imigran yang memasuki
Inggris, namun masih terdapat perlakuan yang diskriminatif sehingga
memunculkan berbagai gerakan yang berlatar belakang budaya.
Gerakan ini merupakan gerakan politik yang didukung pandangan liberal,
demokrasi dan gerakan kesetaraan manusia. Hal ini tidak lepas dari
pemikiran kelompok progresif di Universitas Birmingham yang melahirkan
studi budaya (cultural studies) pada tahun 1964 yang mengetengahkan
pemikiran progresif kaum terpinggirkan yang didukung oleh Kaum Buruh
(Labor party). Pendidikan Multikultural terjadi karena dorongan dari
bawah, yaitu kelompok liberal (orang putih) bersama dengan kelompok
kulit berwarna.. Hal ini diperkuat oleh politik imigrasi melalui undang –
undang Commonwealth Immigrant Act tahun 1962 yang mengubah status
kelompok kulit berwarna dari kelompok imigran menjadi “shelter”
(penghuni tetap).

D. Pendidikan Multikultural di Kanada

Di Kanada ada konsep dan kebijakan multikultural yang harus


memajukan bangsa dengan membandingkannya dengan negara
lain. Negara ini berusaha keras untuk tidak terlalu menggantungkan
ekonominya pada Amerika Serikat dan mencoba mempersatukan
multikulturalnya demi kemajuan bangsa.
Pendidikan Multikultural di Kanada berbeda dengan negara
tetangganya Amerika Serikat karena perbedaan sejarah dan komposisi

18 Pendidikan Multikultural
penduduknya. Etnis terbesar dari Perancis dan Inggris selanjutnya dari
etnis lain seperti Jerman, Cina, Italia, penduduk asli Indian, Asia Selatan,
Ukraina serta etnis lain.
Sejarah pertumbuhan penduduk Kanada dapat diidentifikasi atas
empat kelompok :
a. Etnis asli ada sekitar 50 jenis dengan berbagai bahasa yang hidup
secara nomaden sebagai pemburu dan petani.
b. Abad 16 sampai 1760 masuk etnis Perancis sebagai penjajah dan
pedagang karena perdagangan bulu binatang. Percampuran etnis
Perancis dengan penduduk asli Indian melahirkan penduduk Metis.
c. Kedatangan Inggris setelah Treaty of Paris (1763) yang ditambah
etnis Perancis yang terlibat Perang Kemerdekaan Amerika 1776.
d. Imigran dari Eropa (terutama Belanda, Ukraina dan Jerman) dan Asia
(Jepang,India, Cina) dilatar belakangi kebutuhan pekerja di propinsi
tengah dan barat.

Kanada merupakan negara pertama yang memberikan pengakuan


legal terhadap multikulturalisme. Sekalipun kebijakan multikultural
merupakan kebijakan federal, namun masing-masing negara bagian
melaksanakan kebijakan sesuai dengan kebutuhannya. Kebijakan
multikultural dimasukkan dalam bentuk yang berbeda-beda di dalam
program sekolah, penataran guru. Kurikulum dikaji ulang untuk dilihat
hal-hal yang mengandung stereotipe dan prasangka antaretnis.

E. Pendidikan Multikultural di Australia

Australia tidak dapat menahan masuknya orang Asia sehingga dia


tidak dapat menutup ekonominya bagi bangsa-bangsa Asia dan Pasifik,
karena karena imigran dari kedua benua itu masuk dengan jumlah dan
waktu yang sangat cepat. Akibatnya, Australia mengubah kebijakannya
dari White Australia Policy ke multicultural policy. Dampak dari perubahan
kebijakan itu membuat orang Aborigin meningkatkan kepercayaan
dirinya.
Aborigin, penduduk asli Australia berasal dari benua Asia. Menyusul
imigran dari Eropah yang sebagian merupakan orang hukuman dibawa
oleh kapten Arthur Philip. Pada mulanya imigran pertama yang
memasuki Australia berasal dari para narapidana serta pembangkang

II. Perbandingan Pendidikan Multikultural di Berbagai Negara 19


politik Irlandia, kemudian berdatangan orang Jerman yang terusir dari
negerinya karena masalah agama. Menyusul orang India dan Cina sebagai
pekerja kasar. Ketika diketemukan emas di New South Wales dan Victoria
mulai berdatangan para pekerja dari berbagai bangsa.
Paham multikulturalisme di Australia berkaitan erat dengan
perkembangan politik, terutama Partai Buruh. Pelaksanaan Pendidikan
Multikultural dapat dibedakan tiga fase perkembangan yaitu dari politik
pasif ke arah asimilasi aktif (1945-1972), pendidikan untuk kaum migran
bersifat pasif. Artinya anak kaum imigran menyesuaikan diri dengan
sistem pendidikan yang ada. Karena ada kesulitan dalam penggunaan
bahasa Inggris bagi anak imigran diberikanlah bantuan laboratorium
bahasa.
Masing-masing orang tidak hanya harus menyatakan perasaan yang
psitif terhadap warisan budayanya sendiri tetapi juga harus mengalami
seperti perasaan terhadap warisan budaya orang lain.” Tujuan Pendidikan
Multikultural adalah :
a. Pengertian dan menghargai bahwa Australia pada hakekatnya adalah
masyarakat multibudaya di dalam sejarah, baik sebelum maupun
sesudah kolonisasi bangsa Eropah.
b. Menemukan kesadaran dan kontribusi dari berbagai latar kebudayaan
untuk membangun Australia.
c. Pengertian antar budaya melalui kajian-kajian tentang tingkah laku,
kepercayaan, nilai-nilai yang berkaitan dengan multikulturalisme.
d. Tingkah laku yang memperkuat keselarasan antaretnis.
e. Memperluas kesadaran akan penerimaannya sebagai seseorang yang
mempunyai identitas nasional Australia tetapi juga akan identitas
yang spesifik di dalam masyarakat multi budaya Australia.

Program Pendidikan Multikultural antara lain berbentuk bahasa


Inggris sebagai bahasa kedua, pendidikan “community language” yaitu
bahasa yang digunakan di dalam suatu masyarakat tertentu. Ketiga,
imperatif ekonomi dalam Pendidikan Multikultural (1986-1993). Yaitu
adanya bantuan dana dan masuknya Asian Studies Program yang berisi
bahasa Asia dan kebudayaannya. Bahkan informasi terakhir pelajaran
Bahasa Indonesia sudah dimasukkan di dalam kurikulum sekolah dasar.

20 Pendidikan Multikultural
F. Pendidikan Multikultural di Asia

Negara – negara di wilayah Asia salah satunya yaitu negara China


yang menerapkan kebijakan khusus untuk melindungi kaum minoritas.
Cina menempuh kebijakan itu karena tidak bisa mengelak dari praktek
multikultural di negeri itu.
Malaysia merupakan tipikal bangsa dengan multi etnik di Asia. Malaysia
telah mengadopsi kebijakan asimilasi melalui kebijakan “Bumiputera
policy”. Jadi ada pembagian fasilitas kepada kaum bumi putera. Tetapi
sejak perkembangan ekonomi internasional berubah makin cepat, lahir
kecenderungan baru ke arah pluralisme budaya (cultural pluralization).
Jepang telah berubah dari masyarakat multietnik menjadi
multikultural. Awalnya Jepang terdiri dari ras penduduk yang homogen
tetapi kemudian berubah karena banyak pekerja masuk dari luar.

Tarian Negara Spanyol

RANGKUMAN

Pendidikan Multikultural adalah gerakan pembaharuan pendidikan


dan proses pendidikan yang bertujuan untuk mengubah struktur lembaga
pendidikan supaya siswa baik pria maupun wanita, siswa berkebutuhan
khusus dan siswa merupakan anggota dari kelompok ras, etnis, dan
kultur yang bermacam-macam itu akan memiliki kesempatan yang sama

II. Perbandingan Pendidikan Multikultural di Berbagai Negara 21


untuk mencapai prestasi akademis. Kita dianjurkan untuk hidup saling
berdampingan satu sama lain sehingga tidak ada pertengkaran dan
perpecahan kebudayaan.
Dalam pembelajaran pendidikan multikultural kita wajib mengkaitkan
materi dengan kebudayaan yang ada disekitar kita sehingga kita lebih
jelas mengenai pengamalan-pengamalan apa saja yang ada di dalamnya.
Hal inilah yang menyebabkan pendidikan multikultural disetiap negara
berbeda-beda.

TUGAS LATIHAN

1. Jelaskan dan analisis pendidikan multikultural di Negara Amerika


Serikat.
2. Jelaskan dan analisis pendidikan multikultural di Negara Inggris.
3. Jelaskan dan analisis pendidikan multikultural Negara Kanada.
4. Jelaskan dan analisis pendidikan multikultural Negara Australia.
5. Jelaskan dan analisis pendidikan multikultural di beberapa Negara
Asia.

Daftar Rujukan

Arifudin, Iis. Pendidikan Multikultural di Sekolah.2007.Purwokerto:P3M


STAIN.

Rosyida, Dede.2014.Pendidikan Multikultural.Jakarta: FITK UIN.

Hermawan, Ruswandi & Kanda Rukandi. 2006. Prespektif Sosial Budaya.


Bandung: Upi Press.

Kawuryan, Sekar Purbarini. 2009. Bahan Ajar Mata Kuliah Pendidikan


Multikultural.

Maslikhah, Quo Vadis. 2007. Pendidikan Multikultural: Reconstruksi


Sistem Pendidikan berbasis Kebangsaan. Surabaya: JP Books.

22 Pendidikan Multikultural
BAB III
PENDIDIKAN
MULTIKULTURAL
DI INDONESIA

Pekan-Budaya-Sumatera-Barat

23
Tujuan Pembelajaran

1. Menjelaskan pendidikan multikultural di Indonesia


2. Mendeskripsikan tujuan pendidikan multikultural di Indonesia
3. Menganalisis azas pendidikan multikultural di Indonesia

Kerangka Isi

Pada bagian ini menjelaskan tentang, pendidikan multikultural di


Indonesia, tujuan pendidikan multikultural di Indonesia, azas pendidikan
multikultural di Indonesia.

24
A. Pendidikan Multikultural di Indonesia

Pendidikan merupakan salah satu unsur pembentukan karakter dan


perkembangan diri manusia. Pendidikan seolah tidak henti-hentinya
menjalankan peran penting untuk menjadikan manusia dari tidak
mengetahui menjadi paham (mafhum).
Kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi peserta
didik (anak) perlu ditingkatkan, mengingat pendidikan merupakan salah
satu unsur yang melekat pada diri manusia sebagai hak yang harus
diterimanya. Serta pendidikan akan membawa masyarakat itu sendiri
menuju kepada kemajuan, baik kemajuan dalam politik, ekonomi,
sosial, dan budaya. Kemajuan yang diharapkan oleh masyarakat yaitu
ketenteraman, kerukunan, serta terhindar dari berbagai macam bentuk
konflik.
Tentunya cara yang paling tepat untuk mengatasi konflik antar
ras, etnis, agama dll adalah dengan adanya pendidikan multikultural.
Pendidikan multikultural yang ditanamkan semenjak dini kepada anak
dapat membangun rasa saling menghargai antar manusia. Dengan begitu
tidak ada lagi labeling ras dan etnis dalam kehidupan bernegara republik
Indonesia.
Hal ini dapat dilakukan dengan pendidikan multikultural yang
ditanamkan kepada anak-anak lewat pembelajaran di sekolah maupun di
rumah. Seorang guru bertanggung jawab dalam memberikan pendidikan
terhadap anak didiknya dan dibantu oleh orang tua dalam melihat
perbedaan yang terjadi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Namun
pendidkan multikultural bukan hanya sebatas kepada anak-anak usia
sekolah tetapi juga kepada masyarakat Indonesia pada umumnya lewat
acara atau seminar yang menggalakkan pentingnya toleransi dalam
keberagaman menjadikan masyarakat Indonesia dapat menerima bahwa
mereka hidup dalam perbedaan dan keragaman.
Ada tiga tantangan besar dalam melaksanakan pendidikan
multikultural di Indonesia, yaitu:
1. Agama, suku bangsa dan tradisi
Agama secara aktual merupakan ikatan yang terpenting dalam
kehidupan orang Indonesia sebagai suatu bangsa. Bagaimanapun juga
hal itu akan menjadi perusak kekuatan masyarakat yang harmonis ketika
hal itu digunakan sebagai senjata politik atau fasilitas individu-individu

III. Pendidikan Multikultural di Indonesia 25


atau kelompok ekonomi. Di dalam kasus ini, agama terkait pada etnis
atau tradisi kehidupan dari sebuah masyarakat.
Masing-masing individu telah menggunakan prinsip agama untuk
menuntun dirinya dalam kehidupan di masyarakat, tetapi tidak berbagi
pengertian dari keyakinan agamanya pada pihak lain. Hal ini hanya dapat
dilakukan melalui pendidikan multikultural untuk mencapai tujuan dan
prinsip seseorang dalam menghargai agama.
2. Kepercayaan
Unsur yang penting dalam kehidupan bersama adalah kepercayaan.
Dalam masyarakat yang plural selalu memikirkan resiko terhadap
berbagai perbedaan. Munculnya resiko dari kecurigaan/ketakutan atau
ketidakpercayaan terhadap yang lain dapat juga timbul ketika tidak ada
komunikasi di dalam masyarakat/plural. 
3. Toleransi
Toleransi merupakan bentuk tertinggi, bahwa kita dapat mencapai
keyakinan. Toleransi dapat menjadi kenyataan ketika kita mengasumsikan
adanya perbedaan. Keyakinan adalah sesuatu yang dapat diubah. Sehingga
dalam toleransi, tidak harus selalu mempertahankan keyakinannya.
Untuk mencapai tujuan sebagai manusia Indonesia yang demokratis dan
dapat hidup di Indonesia diperlukan pendidikan multikultural.

Adapun pentingnya pendidikan multikultural di Indonesia yaitu


sebagai sarana alternatif pemecahan konflik, peserta didik diharapkan
tidak meninggalkan akar budayanya, dan pendidikan multikultural
sangat relevan digunakan untuk demokrasi yang ada seperti sekarang.
1. Sarana alternatif pemecahan konflik
Penyelenggaraan pendidikan multikultural di dunia pendidikan diakui
dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi
di masyarakat, khususnya di masyarakat Indonesia yang terdiri dari
berbagai macam unsur sosial dan budaya. Dengan kata laun, pendidikan
multikultural dapat menjadi sarana alternatif pemecahan konflik sosial-
budaya.
Struktur kultural masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi
tantangan bagi dunia pendidikan untuk mengolah perbedaan tersebut
menjadi suatu aset, bukan sumber perpecahan. Saat ini pendidikan
multikultural mempunyai dua tanggung jawab besar, yaitu menyiapkan
bangsa Indonesia untuk mengahadapi arus budaya luar  di era globalisasi
dan menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai macam budaya.

26 Pendidikan Multikultural
Pada kenyataannya pendidikan multikultural belum digunakan dalam
proporsi yang benar. Maka, sekolah dan perguruan tinggi sebagai instirusi
pendidikan dapat mengembangkan kurikulum pendidikan multikultural
dengan model masing-masing sesuai dengan otonomi pendidikan atau
sekolahnya sendiri.
Model-model pembelajaran mengenai kebangsaan memang sudah
ada. Namun, hal itu masih kurang untuk dapat mengahargai perbedaan
masing-masing suku, budaya maupun etnis. Hal ini dapat dilihat dari
munculnya berbagai konflik dari realitas kehidupan berbangsa dan
bernegara saat ini. Hal ini berarti bahwa pemahaman mengenai toleransi
di masyarakat masih sangat kurang.
Maka, penyelenggaraan pendidikan multikultural dapat dikatakann
berhasil apabila terbentuk pada diri setiap peserta didik sikap saling
toleransi, tidak bermusuhan, dan tidak berkonflik yang disebabkan oleh
perbedaan budaya, suku, bahasa, dan lain sebagainya.
Menurut Stephen Hill, pendidikan multikultural dikatakan berhasil
apabila prosesnya melibatkan semua elemen masyarakat. Hal itu
dikarenakan adanya multidimensi aspek kehidupan yang tercakup dalam
pendidikan multikultural.
Perubahan yang diharapkan adalah pada terciptanya kondisi yang
nyaman, damai, toleran dalam kehidupan masyarakat, dan tidak selalu
muncul konflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya dan SARA.

2. Agar peserta didik tidak meinggalkan akar budaya


Selain sebagai sarana alternatif pemecahan konflik, pendidikan
multikultural juga signifikan dalam upaya membina peserta didik agar
tidak meninggalkan akar budaya yang ia miliki sebelumnya, saat ia
berhubungan dengan realitas sosial-budaya di era globalisasi.
Pertemuan antar budaya di era globalisasi ini bisa menjadi
‘ancaman’ serius bagi peserta didik. Untuk menyikapi realitas tersebut,
peserta didik tersebut hendaknya diberikan pengetahuan yang beragam.
Sehingga peserta didik tersebut memiliki kemampuan global, termasuk
kebudayaan. Dengan beragamnya kebudayaan baik di dalam maupun di
luar negeri, peserta didik perlu diberi pemahaman yang luas tentang
banyak budaya, agar siswa tidak melupakan asal budayanya.
Menurut Fuad Hassan, saat ini diperlukan langkah antisipatif terhadap
tantangan globalisasi, terutama dalam aspek kebudayaan. Kemajuan

III. Pendidikan Multikultural di Indonesia 27


ilmu pengetahuan dan tekhnologi (iptek) dapat memperpendek jarak
dan memudahkan adanya persentuhan antar budaya.
Tantangan dalam dunia pendidikan kita, saat ini sangat berat dan
kompleks. Maka, upaya untuk mengantisipasinya harus dengan serius
dan disertai solusi konkret. Jika tidak ditanggapi dengan serius terutama
dalam bidang pendidikan yang bertanggung jawab atas kualitas Sumber
Daya Manusia (SDM) maka, peserta didik tersebut akan kehilangan arah
dan melupakan asal budayanya sendiri.
Sehingga dengan pendidikan multikultural itulah, diharapkan mampu
membangun Indonesia yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia
saat ini. Karena keanekaragaman budaya dan ras yang ada di Indonesia
itu merupakan sebuah kekayaan yang harus kita jaga dan lestarikan.

3. Sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional


Pendidikan multikultural sebagai landasan pengembangan kurikulum
menjadi sangat penting apabila dalam memberikan sejumlah materi dan
isi pelajaran yang harus dikuasai oleh peserta didik dengan ukuran dan
tingkatan tertentu.
Pengembangan kurikulum yang berdasarkan pendidikan multikultural
dapat dilakukan berdasarkan langkah-langkah sebagai berikut.
a. Mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku secara serentak
seperti sekarang menjadi filosofi pendidikan yang sesuai dengan
tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit
pendidikan.
b. Harus merubah teori tentang konten (curriculum content) yang
mengartikannya sebagai aspek substantif yang berisi fakta,
teori, generalisasi, menuju pengertian yang mencakup nilai
moral, prosedur, proses, dan keterampilan (skills) yang harus
dimiliki generasi muda.
c. Teori belajar yang digunakan harus memperhatikan unsur
keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
d. Proses belajar yang dikembangkan harus berdasarkan cara belajar
berkelompok dan bersaing secara kelompok dalam situasi yang
positif. Dengan cara tersebut, perbedaan antarindividu dapat
dikembangkan sebagai suatu kekuatan kelompok  dan siswa
terbiasa untuk hidup dengan keberanekaragaman budaya.

28 Pendidikan Multikultural
e. Evaluasi yang digunakan harus meliputi keseluruhan aspek
kemampuan dan kepribadian peserta didik sesuai dengan tujuan
dan konten yang dikembangkan.

4.   Menuju masyarakat Indonesia yang Multikultural


Inti dari cita-cita reformasi Indonesia adalah mewujudkan masyarakat
sipil yang demokratis, dan ditegakkan hukum untuk supremasi keadilan,
pemerintah yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial serta
rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas
warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan
rakyat Indonesia.
Corak masyarakat Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika bukan hanya
merupakan keanekaragaman suku bangsa saja melainkan juga menyangkut
tentang keanekaragaman budaya yang ada dalam masyarakat Indonesia
secara menyeluruh. Eksistensi keberanekaragaman tersebut dapat
terlihat dari terwujudnya sikap saling menghargai, menghormati, dan
toleransi antar kebudayaan satu sama lain. 
Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara
lain adalah demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan
etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, suku bangsa,
kesukubangsaan, kebudayaan suku bangsa, keyakinan keagamaan,
ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya
komuniti, dan konsep-konsep lain yang relevan.

B. Tujuan Pendidikan Multikultural

Secara sederhana pendidikan multikultural, dapat didefenisikan


sebagai “pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon
perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau
bahkan dunia secara keseluruhan”. Hal ini sejalan dengan pendapat
Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang
berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya,
harus mampu membebaskan manusia dari berbagai persoalan hidup
yang melingkupinya.
Tujuan pendidikan dengan berbasis multikultural dapat diidentifikasi:
a. Untuk memfungsikan peranan sekolah dalam memandang
keberadaan siswa yang beraneka ragam;

III. Pendidikan Multikultural di Indonesia 29


b. Untuk membantu siswa dalam membangun perlakuan yang positif
terhadap perbedaan kultural, ras, etnik, kelompok keagamaan;
c. Memberikan ketahanan siswa dengan cara mengajar mereka dalam
mengambil keputusan dan keterampilan sosialnya;
d. untuk membantu peserta didik dalam membangun ketergantungan
lintas budaya dan memberi gambaran positif kepada mereka
mengenai perbedaan kelompok.

Secara Konseptual; pendidikan multikultural menurut Gorsky


mempunyai tujuan dan prinsip sebagai berikut:
a. setiap siswa mempunyai kesempatan untuk mengembangkan prestasi
mereka.
b. siswa belajar bagaimana belajar dan berpikir secara kritis.
c. mendorong siswa untuk mengambil peran aktif dalam pendidikan,
dengan menghadirkan pengalaman–pengalaman mereka dalam
konteks belajar.
d. mengakomodasikan semua gaya belajar siswa.
e. mengapresiasi kontribusi dari kelompok–kelompok yang berbeda.
f. mengembangkan sikap positif terhadap kelompok-kelompok yang
mempunyai latar belakang yang berbeda.
g. untuk menjadi warga negara yang baik di sekolah maupun di
masyarakat.
h. Belajar bagaimana menilai pengetahuan dari perspektif yang
berbeda.
i. untuk mengembangkan identitas etnis, nasional dan global.
j. mengembangkan ketrampilanketrampilan mengambil keputusan
dan analisis secara kritis sehingga siswa dapat membuat pilihan
yang lebih baik dalam kehidupan sehari–hari.

Adapun tujuan pendidikan multikultural ditinjau dari dua tujuan


yaitu tujuan awal dan tujuan akhir. Tujuan awal merupakan tujuan
sementara karena tujuan ini hanya berfungsi sebagai perantara agar
tujuan akhirnya tercapai dengan baik.
Pada dasarnya awal pendidikan multikultural yaitu membangun
wacana pendidikan, pengambil kebijakan dalam dunia pendidikan.
Harapannya yaitu mampu untuk menjadi transformator pendidikan
multikultural yang menanamkan nilai-nilai pluralisme, humanisme, dan
demokrasi.

30 Pendidikan Multikultural
Sedangkan tujuan akhir pendidikan multikultural adalah peserta
didik tidak hanya mampu memahami dan menguasai materi pelajaran
yang dipelajarinya akan tetapi diharapkan juga bahwa peserta didik
akan mempunyai karakter yang kuat untuk selalu bersikap demokratis,
pluralis dan humanis. Karena tiga hal tersebut adalah ruh pendidikan
multikultural.
Hasil yang diharapkan Pendidikan Multikultural terlihat pada
definisi, justifikasi, asumsi, dan pola-pola pembelajarannya. Ada banyak
variasi tujuan khusus dan tujuan umum Pendidikan Multikultural yang
digunakan oleh sekolah sesuai dengan faktor konstektual seperti visi dan
misi belakang sekolah, siswa, lingkungan sekolah, dan perspektif. Tujuan
pendidikan multikultural dapat mencakup tiga aspek belajar ( kognitif,
afektif, dan tindakan ) dan berhubungan baik nilai-nilai intrinsik (ends)
maupun nilai instrumental ( means) Pendidikan Multikultural. Tujuan
Pendidikan Multikultural mencakup:
1. Pengembangan Literasi Etnis dan Budaya
Pendidikan Multikultural adalah mem[elajari tentang latar belakang
sejarah, bahasa, karakteristisk budaya, sumbangan, peristiwa, kritis,
individu yang berpengaruh, dan kondisi sosial, politik, dan ekonomi dari
berbagai kelompok.

2. Perkembangan Pribadi
Dasar psikologis Pendidikan Multikultural menekankan pada
pengembangan pemahaman diri yang lebih besar, konsep diri yang
positif, dan kebanggaan pada identitas pribadinya. Penekanan bidang
ini merupakan bagian dari tujuan pendidikan multikultural yang
berkontribusi pada perkembangan pribadi siswa, yang berisi pemahaman
yang lebih baik tentang diri yang pada akhirnya berkontribusi terhadap
keseluruhan prestasi intelektual, akademis, dan sosial siswa.
a. Klarifikasi Nilai dan Sikap
b. Kompetensi Multikultural
c. Kemampuan Keterampilan Dasar
d. Persamaan dan Keunggulan Pendidikan
e. Memperkuat Pribadi untuk Reformasi Sosial
f. Memiliki wawasan hidup yang lintas budaya dan lintas bangsa sebagai
warga dunia
g. Memiliki wawasan kebangsaan yang kokoh
h. Hidup berdampingan secara damai.

III. Pendidikan Multikultural di Indonesia 31


C. Asas-Asas Pendidikan Multikultural di Indonesia

Tantangan Pendidikan Multikultural adalah meningkatkan keadilan


bagi korban tertentu tanpa menbatasi kelompok tersebut. Kelompok
sasaran untuk penguatan dan keadilan dalam Pendidikan Multikultural
sesuai dengan kebutuhan dan tujuan. Tujuan Pendidikan Multikultural
adalah membantu anggota kelompok yang menjadi korban agar lebih
bersatu dan mendapatkan keuntungan dari kondisi tersebut. Variasi
dalam pengembangan Pendidikan Multikultural, mulai penambahan
sumber yang beragam dalam kurikulum hingga pada kurikulum kecil
untuk melakukan perubahan yang mendasar
Faktor-faktor yang melatarbelakangi semua pertikaian di tanah air
selama ini disebabkan oleh:
1. Kuatnya prasangka, etnosentrisme, stereotip dan diskriminatif antar
kelompok.
2. Merosotnya rasa kebersamaan dan peraturan dan saling pengertian.
3. Aktivitas politis identitas kelompok/daerah di dalam era reformasi.
4. Tekanan social ekonomi.

Ada tiga kelompok pemikiran yang biasa berkembang di Indonesia


dalam menyikapi konflik yang sering muncul. Pertama,  pandangan
kaum primordialis. Kelompok ini menganggap perbedaan – perbedaan
yang berasal dari ikatan primordial seperti suku, ras, agama, dan
antar golongan merupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan
kepentingan. Kedua,pandangan kaum intrumentalis. Menurut mereka,
suku, agama dan identitas yang lain dianggap sebagai alat saja, yang
digunakan individuatau kelompok tertentu untuk mengejar tujuan yang
lebih besar, baik dalam bentuk meteriil maupun non-materiil. Ketiga,
kaum Kontruktivis, yang beranggapan bahwa identitas kelompok tidak
bersifat kaku, sebagaimana yang dibayangkan kaum primordialis. Bagi
mereka, persamaan adalah anugrah dan perbedaan adalah berkah.
Diantara ketiganya, kelompok ketiga ini yang berfikir positif tentang
kondisi multicultural Indonesia
Setiap negara memiliki sejarah yang berbeda dalam proses sebuah
bangsa, dan itulah yang melatarbelakangi timbulnya beberapa asas yang
menjadi ciri khas Pendidikan Multikultural Indonesia.

32 Pendidikan Multikultural
Asas-asas itu adalah
a. Asas wawasan nasional/kebangsaan (persatuan dalam perbedaan).
Asas ini menekankan pada konsep kenasionalan/kebangsaan. Asas
yang didasarkan kepemilikan bersama (sense of belonging) yang
menjadi ciri budaya bangsa. Pancasila yang menjadi kepribadian
bangsa merupakan kristalisasi nilai budaya bangsa yang menjadi ciri
unik Indonesia yang berbeda dengan bangsa lain. Batik, wayang,
musik keroncong, pencak silat, kesenian suku Asmat yang dikenal
dan diterima di segenap wilayah negara ini sudah menjadi ikon
nasional dan ikon bangsa. Dengan menyebut satu budaya itu dunia
mengetahui bahwa itu adalah ciri khas budaya bangsa Indonesia.
b. Asas Bhineka Tunggal Ika (perbedaan dalam persatuan). Konsep ini
menekankan keragaman dalam budaya yang menyatu dalam wilayah
negara kita. Keragaman dalam jenis tarian, pakaian, makanan,
bentuk rumah dan sebagainya menjadikan Indonesia dikenal memiliki
kekayaan budaya yang menjadi mosaik budaya.
c. Asas kesederajatan. Indonesia yang menghormati asas ini. Semua
budaya dipandang sederajat, diakui dan dikembangkan dalam
kesetaraan. Tidak ada dominasi yang memaksakan ke kelompok kecil.
Kalau kebetulan budaya Jawa lebih dikenal itu karena persoalan
jumlah penduduk yang menduduki wilayah Jawa yang padat bukan
dominasi budaya sebagaimana halnya orang barat menganggap
warga kulit putih (White) yang lebih tinggi daripada kelompok kulit
berwarna (colour).
d. Asas selaras, serasi dan seimbang. Semua budaya dikembangkan
selaras dengan perkembangan masing-masing, diserasikan dengan
kondisi riil masingmasing dan seimbang di seluruh wilayah dan
seluruh bangsa Indonesia. ( Sutarno, 2010)

III. Pendidikan Multikultural di Indonesia 33


Tari piring- sumatra barat

RANGKUMAN

Pendidikan multikultural adalah sebuah tawaran model pendidikan


yang mengusung ideologi yang memahami, menghormati, dan
menghargai harkat dan martabat manusia di manapun dia berada
dan dari manapun datangnya (secara ekonomi, sosial, budaya, etnis,
bahasa, keyakinan, atau agama, dan negara). Di Indonesia sangat perlu
adanya pendidikan multikultural karena dengan keadaan masyarakat
Indonesia yang beragam-ragam perlulah mengetahui cara berkehidupan
bermasyarakat. Atau dapat dikatakan pendidikan multikultural adalah
sebuah proses pengembangan yang tidak mengenal sekat-sekat dalam
interaksi manusia.
Tujuan pendidikan dengan berbasis multikultural sendiri
yaitu, untuk memfungsikan peranan sekolah dalam memandang
keberadaan siswa yang beraneka ragam, untuk membantu siswa dalam
membangun perlakuan yang positif terhadap perbedaan kultural,
ras, etnik, kelompok keagamaan, memberikan ketahanan siswa dengan
cara mengajar mereka dalam mengambil keputusan dan keterampilan

34 Pendidikan Multikultural
sosialnya, untuk membantu peserta didik dalam membangun
ketergantungan lintas budaya dan memberi gambaran positif kepada
mereka mengenai perbedaan kelompok.
Pendidikan multikultural juga memiliki asas-asas, yakni Asas-asas
itu adalah ssas wawasan nasional / kebangsaan (Persatuan dalam
perbedaan), asas Bhineka Tunggal Ika (Perbedaan dalam persatuan),
asas kesederajatan, asas selaras, serasi dan seimbang.
Menghadapi multikutural di Indonesia dapat diperlajari melalui
pendidikan multikultural, semoga dengan adanya makalah ini dapat
membantu memahami dalam menghadapi multikultural di Indonesia

TUGAS LATIHAN
1. Jelaskan menurut pendapatmu tentang pendidikan multikultural di
Indonesia !
2. Deskripsikan tujuan pendidikan multikultural di Indonesia !
3. Analisiskan azas pendidikan multikultural di Indonesia !

Daftar Rujukan

Fay, Brian. 1996. Contemporary Philosophy of Social Sience: A


Multicultural Approach. Oxrofd:Backwell.

Munib, Achmad. 2009. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: Unnes


Press

Rosyada, Dede. 2014 . “Pendidikan Multikultural di Indonesia Sebuah


Pandangan Konsepsional”. Jakarta : Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan (FITK) UIN.

Sutarno. 2010. “ Pendidikan Multikultural”. Jakarta: Direktorat Jendral


Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Tilaar, H.A.R.. 2004. Multikulturalisme; Tantangan-tantangan Global Masa


Depan Dalam Trasformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.

III. Pendidikan Multikultural di Indonesia 35


BAB IV
WAWASAN MULTI BUDAYA

Pernikahan adat - Riau

37
Tujuan Pembelajaran

1. Mendeskripsikan pendidikan multikultural


2. Mendeskripsikan wawasan budaya lokal
3. Mendeskripsikan wawasan budaya nasional
4. Mendeskripsikan wawasan budaya universal

Kerangka Isi

Pada bagian ini membahas tentang, pendidikan multicultural,


wawasan budaya local, wawasan budaya nasional, wawasan budaya
universal.
A. Pengertian Pendidikan Multikultural

Pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan


mengenai keragaman kebudayaan, tentang bagaimana kita bisa
menyikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleransi.
Istilah pendidikan multikultural menggambarkan isu-isu dan masalah-
masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural,
yang mencakup strategi- strategi pendidikan dalam masyarakat
multikultural.
Pendidikan Multikultural merupakan suatu rangkaian kepercayaan
(set of beliefs) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya
keragaman budaya dan etnis dalam membentuk gaya hidup, pengalaman
sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari individu, kelompok,
maupun negara.
Pendidikan multikultural adalah ide, gerakan pembaharuan
pendidikan dan proses pendidikan yang tujuan utamanya adalah untuk
mengubah struktur lembaga pendidikan supaya siswa, baik pria maupun
wanita, siswa berkebutuhan khusus, dan siswa yang merupakan anggota
dari kelompok ras, etnis, dan kultur yang bermacam-macam itu akan
memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademis di
sekolah.
Elemen-elemen pendidikan multibudaya, menurut Blum (2001:19)
mencakup tiga sub-nilai sebagai berikut :
a. Menegaskan identitas kultural seseorang, mempelajari dan menilai
warisan budaya seseorang.
b. Menghormati dan berkeinginan untuk memahami serta belajar
tentang etnik / kebudayaan-kebudayaan selain kebudayaannya.
c. Menilai dan merasa senang dengan perbedaan kebudayaan itu
sendiri; yaitu memandang keberadaan dari kelompok-kelompok
budaya yang berbeda dalam masyarakat seseorang sebagai kebaikan
yang positif untuk dihargai dan dipelihara.

B. Wawasan Budaya Lokal

Identifikasi budaya lokal merupakan identifikasi budaya yang bersifat


langsung, dekat dan secara fisik ada di sekelilingnya. Budaya ini biasanya

IV. Wawasan Multi Budaya 39


dikenalkan oleh keluarga dan kerabat dekat. Biasanya berwujud perilaku
pembudayaan.
Tiap daerah di Indonesia memiliki kekhususan yang dapat menjadi
identitas daerah itu. Kekhasan itu bisa jadi karena ras, sejarah, lokasi,
agama dan kepercayaan yang dianutnya.
Seorang anak yang memiliki identifikasi budaya lokal tertentu tidak
lepas dari lingkungan yang langsung, dekat dan paling mempengaruhi
dirinya. Lingkungan tersebut adalah :
1. Lingkungan fisik
Lingkungan fisik tertentu dapat membentuk budaya lokal tertentu.
Suatu masyarakat yang berada di daerah yang banyak dikelilingi sungai
dan karena seringnya air sungai meninggi membentuk budaya berupa
rumah yang lantai rumahnya lebih tinggi dari permukaan tanah. Misalnya
rumah Palimasan Joglo, Sungai Jingah Kalimantan Selatan.
2. Lingkungan sosial
Selain lingkungan fisik, lingkungan sosial sangat mempengaruhi
sikap dan berperilaku seseorang. Orang yang dibesar dalam lingkungan
komunitas Nahdlatul Ulama (NU) akan bersikap dan berperilaku sesuai
dengan tradisi warga nahdliyin (warga NU) yang berbeda dengan warga
Muhammadiyah sekalipun keduanya berada di lingkungan fisik yang
sama. Kegiatan selamatan, Tahlil menjadi ciri khas kelompok NU ini akan
diikuti dan dilaksanakan oleh lingkungan sosialnya.
3. Lingkungan metafisik
Selain lingkungan fisik dan sosial, ada lingkungan metafisik yang
mewarnai lingkungan budaya lokal suatu msayarakat. Lingkungan
metafisik yang sangat mempengaruhi perilaku budaya masyarakat.
Lingkungan metafisik ini tidak dibatasi oleh lingkungan fisik dalam
arti mesti tinggal di daerah itu. Lingkungan metafisik memang mewarnai
budaya yang ada di lingkungan fisik di lokal tertentu, tetapi selain
itu juga dapat mengenai orang-orang yang ”merasa memiliki’ (sense
of belonging) budaya itu. Biasanya mereka yang merasa memiliki itu
dulunya berasal dari daerah itu dan ada sudah pindah tempat tinggal
dari daerah itu, atau keturunan dari warga daerah itu. Pada prinsipnya
orang yang termasuk dalam lingkungan metafisik ini adalah orang
yang mengikatkan diri dengan tradisi budaya dan nilai-nilai tertentu.
Mereka akan menyempatkan datang pada acara tertentu. Pada hari-hari

40 Pendidikan Multikultural
tertentu warga akan melakukan kegiatan ritual yang menjadi ciri khas
suatu masyarakat yang berada pada lingkungan metafisik tertentu.
Contohnya warga daerah Jogja dan Solo akan rela berdatangan dan
berdesakan untuk mengikuti tradisi ”sekaten”. Warga masyarakat akan
memperebutkan gunungan yang tersaji dalam peringatan ”sekaten”
karena mereka meyakini bahwa mereka akan dapat rejeki dan hidup
tenang bila berhasil mendapatkan dan menyimpan nasi atau benda-
benda lain yang ada di gunungan itu.

Contoh Budaya Lokal :


a. Tarian daerah :
1. Dari aceh : Tari saman, Tari Seudati dan Tari Pukat
2. Dari Sumatra Utara : Manduda, Tortor dan Serampang Dua Belas
3. Dari Jawa Timur : Ngremo dan Reog
4. Dari Jawa Tengah : Serimpi, Gambyong, Bedaya’
5. Dari Jawa Barat : Jaipong, Topeng, Merak
6. Dari Bali : Janger, Pendet, Kecak dan Legong

b. Lagu Daerah :
1. Aceh : Beungong Jeumpa
2. Jambi : Injit-injit semut
3. Riau : Soleram, Jawa Barat, Bubuy Bulan
4. Jakarta : Kicir-kicir
5. Jawa tengah : Suwe Ora Jamu
6. Sulawesi Selatan : Angin Mamiri
7. Kalimantan Selatan : Ampar-ampar Pisang
8. Papua : Apuse

c. Alat Musik Daerah :


1. Jawa barat : Angklung
2. Nusa Tenggara : Sasando
3. Sulawesi : Kolintang
4. Jawa Tengah : Gamelan

IV. Wawasan Multi Budaya 41


Gambar 1. Contoh Budaya Nasional Batik

d. Rumah Adat Masing-Masing Daerah :


1. Gadang : Minangkabau/Sumatera Barat
2. Limas : Sumatra Selatan
3. Joglo : Jawa tengah dan jawa timur
4. Kesepuhan : Jawa Barat dan Banten
5. Rumah panjang : Kalbar dan Kalsel
6. Lamin : Kaliman Timur
7. Tongkonan : Sulawesi Selatan
8. Honai : Papua

Gambar 2. Contoh Budaya Nasional Batik

42 Pendidikan Multikultural
C. Wawasan Budaya Nasional

Kebudayaan nasional adalah suatu kebudayaan yang dianggap dapat


mewakili serta memberikan satu ciri khas bagi suatu bangsa. Ciri khas
ini adalah sesuatu yang bisa dibanggakan dan tidak dapat ditemukan di
negara lain.
Dengan memiliki kebudayaan nasional maka suatu negara bisa
mendapatkan suatu kebanggaan yang membedakan negara tersebut dari
negara lain.
Kita memiliki simbol identifikasi budaya nasional antara lain seperti
batik,
keris, candi borobudur, Bali dengan segala atibut yang menyertainya.
Identifikasi budaya nasional ini berasal dari identifikasi budaya lokal
yang sudah banyak dikenal secara nasional bahkan internasional.

Gambar 3. Contoh Budaya Nasional Candi

IV. Wawasan Multi Budaya 43


Gambar 4. Contoh Budaya Nasional Batik

D. Wawasan Budaya Universal

Budaya universal merupakan elemen, pola, sifat, atau lembaga yang


umum bagi semua budaya manusia di seluruh dunia. Konsep budaya
universal telah lama dibahas dalam ilmu-ilmu sosial. Budaya universal
merupakan elemen umum untuk semua budaya manusia, terlepas dari
momen bersejarah dan asal geografis atau budaya.
Contoh budaya universal adalah permainan sepak bola. Tidak ada
satu negara (warga) pun yang tidak mengenal sepak bola. Seluruh dunia
mengenal sepak bola dan ingin tampil dalam kejuaraan dunia sepak
bola. Salah satu kebudayaan universal di bidang olah raga yang paling
digemari di seluruh dunia adalah sepak bola.
Ka’bah sebagai simbol pemujaan yang juga merupakan identitas
budaya universal yang diakui seluruh dunia, terutama umat Islam. Ka’bah
merupakan salah satu simbol penghambaan manusia di hadapan Tuhan
yang diakui di seluruh dunia baik dia itu suka atau tidak suka, percaya
atau tidak percaya, pengikut atau bukan. Bagi umat Islam, Ka’bah adalah
kiblat di mana dia harus menghadap ketika sedang melakukan sholat.
Hal itu berarti umat Islam seluruh dunia mengetahui dan menghadapkan
wajahnya saat beribadah.

44 Pendidikan Multikultural
Gambar 5. Contoh Budaya Universal

RANGKUMAN

Pendidikan multikultural adalah ide, gerakan pembaharuan


pendidikan dan proses pendidikan yang tujuan utamanya adalah untuk
mengubah struktur lembaga pendidikan supaya siswa, baik pria maupun
wanita, siswa berkebutuhan khusus, dan siswa yang merupakan anggota
dari kelompok ras, etnis, dan kultur yang bermacam-macam itu akan
memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademis di
sekolah.
Identifikasi budaya lokal merupakan identifikasi budaya yang bersifat
langsung, dekat dan secara fisik ada di sekelilingnya. Budaya ini biasanya
dikenalkan oleh keluarga dan kerabat dekat. Biasanya berwujud perilaku
pembudayaan. Tiap daerah di Indonesia memiliki kekhususan yang dapat
menjadi identitas daerah itu. Kekhasan itu bisa jadi karena ras, sejarah,
lokasi, agama dan kepercayaan yang dianutnya.
Kebudayaan nasional adalah suatu kebudayaan yang dianggap dapat
mewakili serta memberikan satu ciri khas bagi suatu bangsa. Ciri khas

IV. Wawasan Multi Budaya 45


ini adalah sesuatu yang bisa dibanggakan dan tidak dapat ditemukan di
negara lain.
Budaya universal merupakan elemen, pola, sifat, atau lembaga yang
umum bagi semua budaya manusia di seluruh dunia. Konsep budaya
universal telah lama dibahas dalam ilmu-ilmu sosial. Budaya universal
merupakan elemen umum untuk semua budaya manusia, terlepas dari
momen bersejarah dan asal geografis atau budaya.
Sebagai calon pendidik, pengetahuan dan kemampuan sangat penting
bagi setiap guru sekolah dasar guna mengetahui sejauh mana seorang
siswa benar-benar telah mencapai Tujuan Pembelajaran pendidikan
multikultural. Pendidikan multikultural tentang wawasan multi budaya
bertujuan untuk menambah wawasan pendidik maupun peserta didik
tentang budaya lokal, nasional dan universal. Pendidikan tidak dapat
lepas dari sebuah proses dimana guru membantu dalam perubahan siswa
ke arah yang dianggap baik.

TUGAS LATIHAN

1. Deskripsikan pengertian pendidikan multikultural !


2. Deskripsikan wawasan budaya lokal dan berikan contoh !
3. Deskripsikan wawasan budaya nasional dan berikan contoh !
4. Deskripsikan wawasan budaya universal dan berikan contoh !

Daftar Rujukan

Fay, Brian. 1996. Contemporary Philosophy of Social Sience: A


Multicultural Approach. Oxrofd:Backwell.

Munib, Achmad. 2009. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: Unnes


Press

Rosyada, Dede. 2014 . “Pendidikan Multikultural di Indonesia Sebuah


Pandangan Konsepsional”. Jakarta : Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan (FITK) UIN.

46 Pendidikan Multikultural
Sutarno. 2010. “ Pendidikan Multikultural”. Jakarta: Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Tilaar, H.A.R.. 2004. Multikulturalisme; Tantangan-tantangan Global


Masa Depan Dalam Trasformasi Pendidikan Nasional. Jakarta:
Grasindo.

IV. Wawasan Multi Budaya 47


BAB V
INDONESIA SEBAGAI
MASYARAKAT
PLURALISTIK

Tari kecak-bali

49
Tujuan Pembelajaran

1. Menganalisis pengertian masyarakat pluralistik.


2. Mendeskripsikan konsep pluralisme.
3. Mengidentifikasi hubungan pluralistik dengan multikultural.
4. Menganalisis dan mengidentifikasi peran penting pluralisme di
Indonesia
5. Menganalisis dan mengidentifikasi implementasi pendidikan plural-
istik di Indonesia.
6. Mengidentifikasi implikasi pluralistik dan multikulturalistik dalam
masyarakat Indonesia.

Kerangka Isi

Bada bagian ini membahas tentang, pengertian masyarakat pluralistik,


konsep pluralisme, hubungan pluralistik dengan multikultural, peran
penting pluralisme di Indonesia, implementasi pendidikan pluralistik di
Indonesia, implikasi pluralistik dan multikulturalistik dalam masyarakat
Indonesia

50
A. Pengertian Masyarakat Pluralistik

Secara bahasa, kata pluralis berasal dari bahasa Inggris plural yang
berarti jamak, dalam arti keanekaragaman dalam masyarakat, atau ada
banyak hal lain di luar kelompok kita yang harus diakui. Secara istilah,
pluralisme bukan sekedar keadaan atau fakta yang bersifat plural, jamak,
atau banyak. Lebih dari itu, pluralisme secara substansial termanifestasi
dalam sikap untuk saling mengakui sekaligus menghargai, menghormati,
memelihara, dan bahkan mengembangkan atau memperkaya keadaan
yang bersifat plural, jamak, atau banyak.
Menurut Wikipedia Ensikopedia pluralisme juga dapat berarti
kesediaan untuk menerima keberagaman (pluralitas), artinya, untuk hidup
secara toleran pada tatanan masyarakat yang berbeda suku, gologan,
agama,adat, hingga pandangan hidup. Pluralisme mengimplikasikan
pada tindakan yang bermuara pada pengakuan kebebasan beragama,
kebebasan berpikir, atau kebebasan mencari informasi, sehingga untuk
mencapai pluralisme diperlukanadanya kematangan dari kepribadian
seseorang dan/atau sekelompok orang. Dari pengertian di atasa dapat
disimpulkan bahwa pengertian pluralisme adalah sikap saling mengakui,
menghargai, menghormati, memelihara, dan bahkan mengembangkan
atau memperkaya keadaan yang bersifat plural, jamak, atau banyak
untuk hidup secara toleran pada tatanan masyarakat yang berbeda suku,
gologan, agama,adat, hingga pandangan hidup
Bangsa Indonesia adalah Negara yang pluralistik yakni terdiri dari
beranekaragam suku bangsa, budaya, etnik, bahasa, dan sebagainya.
Pluralistik bukan berarti pluralisme, pluralisme adalah suatu paham
yang mengatakan bahwa realitas terdiri dari banyak subtansi, akan
tetapi masing-masing subtansi dibiarkan dalam keberadaan tanpa peduli
adanya common denominator pada keanekaragaman tersebut. Masing-
masing entitas berdiri sendiri tidak terikat satu sama lain. Sehingga tidak
perlu adanya substansi pengganti yang menstubstitusi berbagai entitas
tersebut
Dalam konteks sosiologis masyarakat Indonesia, pluralisme tidak
dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita
majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama. Sebab,
jika hal semacam ini yang menjadi pemahaman, maka bukan pluralisme
yang dipahami, tetapi hanya menggambarkan kesan fragmentasi. Sebab,
cara pandang semacam ini hanya mampu meminimalisasi fanatisme,

V. Indonesia sebagai masyarakat Pluralistik 51


tetapi belum sampai ke taraf membangun pluralisme secara hakiki.
Menurut Nurcholis Madjid, pluralisme harus dipahami sebagai pertalian
sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement
of diversities within the bound of civility). Masyarakat plural berbeda
dengan masyarakat pluralistik. Masyarakat plural dapat diterjemahkan
sebagai masyarakat majemuk sedangkan masyarakat pluralistik adalah
masyarakat yang meyakini pluralisme. Jadi dapat dikatakan bahwa
masyarakat Indonesia sebagai masyarakat pluralistik yaitu dengan
melihat berbagai bentuk kebudayaan yang beraneka ragam di Indonesia
namun masyarakat tetap dapat menjalin toleransi dan hidup bersama di
tengah keberagaman tersebut.

B. Konsep Pluralisme

Menurut Prof. Dr. Alwi Shihab konsep pluralisme secara garis bear
yaitu:
1) Pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya
kemajemukan. Namun yang dimaksud dengan pluralisme adalah
keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut.
Pluralisme agama dan budaya, atau multikulturalisme, dapat
dijumpai dimana-mana. Tetapi, seseorang baru dapat dikatakan
menyandang sifat sebagai seorang pluralis apabila ia dapat
berinteraksi secara positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut.
Dengan kata lain, pengertian pluralisme agama adalah bahwa setiap
pemeluk agama dituntut untuk bukan saja mengakui keberadaan
dan hak agama lain, tetapi juga dituntut untuk terlibat dalam usaha
memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan
dan kebhinekaan.

2) Pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme.


Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realitas di mana aneka
ragam ras dan bangsa hidup di suatu lokasi. Misalnya, kota New
York. Di kota ini, terdapat orang Yahudi, kristen, Muslim, Hindu,
Budha, bahkan orang-orang tanpa agama. Namun, interaksi positif
antar penduduk ini, khususnya dalam bidang agama, sangat sedikit.
Kalaupun ada, hal tersebut tidak mencerminkan sisi kualitas secara
memadai.

52 Pendidikan Multikultural
3) Konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme.
Seseorang yang menganut relativisme akan berasumsi bahwa
hal-hal yang menyangkut kebenaran atau nilai-nilai ditentukan
oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau
masyarakatnya. Sebagai konsekuensi dari paham ini, agama apa pun
harus dinyatakan benar. Atau tegasnya “semua agama adalah sama”.

4) Pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu


agama baru dengan memadukan unsur-unsur tertentu atau sebagian
komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian
integral dari agama tersebut.

C. Hubungan Pluralisme dengan Multikulturalisme

Menurut Johan Purnama dalam jurnalnya (2015) yang berjudul


Pluralisme dan Multikulturalisme di Indonesia menyatakan bahwa
pluralisme yaitu sebuah keadaan dimana ada interaksi di antara beberapa
kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan
toleransi satu sama lain. Istilah multikultural sendiri sering digunakan
untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda
dalam suatu negara, multikulturalisme adalah suatu pemahaman yang
menekankan pada kesenjangan dan kesetaraan budaya-budaya lokal
dengan tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada,
dengan kata lain fokus utama multikulturalisme adalah pada kesetaraan
budaya dalam situasi kondisi masyarakat yang tersusun dari banyak
kebudayaan. Multikulturalisme mengulas berbagai permasalahan, yaitu
politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan
kerja dan berusaha, hak asasi manusia, hak budaya komunitas dan
golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan prinsip-prinsip moralitas.
Model multikulturalisme sebenarnya telah digunakan sebagai
acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang
dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap
dalam beberapa peraturan perundang-undnagan di bawah ini:
1) Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi “Kebudayaan bangsa (Indonesia)
adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”.
2) Pasal 18 B ayat 2 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

V. Indonesia sebagai masyarakat Pluralistik 53


tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undangundang”.,
3) Pasal 32 ayat 1 yang berbunyi “Negara memajukan kebudayaan
nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin
kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan
nilai-nilai budayanya”.

Menurut Diah Uswatun Nurhayati dalam jurnalnya yang berjudul


Pluralisme-Multikulturalisme di Indonesia meyatakan bahwa Relevansi
Pluralisme-multikulturalisme bagi Indonesia tercermin dari perbedaan-
perbedaan yang selalu terjadi akibat adanya pluralitas budaya,
etnis, sistem nilai dan agama, harus disikapi dengan suatu
dialog, bukan dengan kekerasan. Oleh sebab itu, dalam konteks
ini multikulturalisme cukup relevan untuk diterapkan dalam suatu
masyarakat majemuk (plural) seperti Indonesia. Multikulturalisme
yang menonjolkan kesetaraan, solidarisme, keterbukaan serta dialog
mampu menjadi titik temu di antara berbagai perbedaan yang ada
dalam rangka hidup bersama dengan semangat kebersamaan. Dalam
hal ini lembagalembaga pendidikan dan budaya, baik pemerintah
maupun LSM dapat menjadi model untuk menumbuhkan kesadaran
multikultural di kalangan masyarakat. Dengan langkah tersebut
maka dapat ditumbuhkan dialog budaya multikultural untuk saling
memahami antar budaya serta ditumbuhkan kepercayaan terhadap
budaya sendiri (identitas diri).
K.H.Abdurrahman Wahid (Gus Dur), menyatakan bahwa pada
pluralisme sedang berada di tengah cobaan, banyaknya kejadian
yang menjadi penghalang dalam kebersamaan, sehingga pluralisme
perlu untuk dirawat. Gus Dur menyatakan menyatakan perlunya
merawat kemajemukan dalam bernegara untuk memperkuat ikatan
nasionalisme Indonesia yang sangat jamak, beliau juga menilai selama
ini negara tidak mampu bertindak secara tegas terhadap para kelompok
antimultikultural dan antipluralis yang melanggar hokum, negara seolah
membiarkan kesalahpahaman tentang makna multikulturalisme dan
pluralisme di Indonesia terus berlanjut yang bahkan dapat menjurus
ke perpecahan.

54 Pendidikan Multikultural
Indonesia sebagai suatu negara yang berdiri di atas keanekarag-
aman kebudayaan merasakan pentingnya multikulturalisme dalam pem-
bangunan bangsa, karena dengan multikulturalisme ini maka prinsip
“Bhineka Tunggal Ika” akan menjadi terwujud dan keanekaragaman bu-
daya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia akan menjadi inspirasi dan
potensi bagi pembangunan bangsa sehingga cita-cita untuk mewu-
judkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera
sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar
1945 dapat tercapai. Kesadaran multikultur sebenarnya sudah muncul
sejak Negara Republik Indonesia terbentuk, namun pada masa Orde
Baru kesadaran tersebut dikubur dalam-dalam atas nama kesatuan dan
persatuan dan faham monokulturalisme kemudian dipaksakan, dan
akibatnya sampai saat ini wawasan multikulturalisme bangsa Indo-
nesia masih sangat rendah. Gerakan penyadaran multikultur baru
muncul pada tahun 1980-an yang awalnya mengkritik penerapan
demokrasi, karena demokrasi ternyata pada saat itu hanya berlaku pada
kelompok tertentu, sehingga wacana demokrasi itu sendiri ternyata ber-
tentangan dengan perbedaan-perbedaan dalam masyarakat.
Multikultural erat kaitannya dengan pluralistik, hal itu disebabkan
multikultural tidak dapat terjadi pada masyarakat yang homogen,
yakni masyarakat yang memiliki identitas ras atau etnis yang sama.
Multikultural menginginkan suatu penghargaan dan penilaian terhadap
budaya orang lain serta merupakan sebuah ideologi yang mengagungkan
perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara
kebudayaan (Suparlan, 2002)
Pancasila kemudian sangat diharapkan mampu menjadi sebuah
ideologi jalan tengah sekaligus jembatan yang menjembatani
terjadinya perbedaan dalam negara Indonesia yang semestinya
mampu mengakomodasi seluruh kepentingan kelompok sosial yang
multikultural, multietnis, dan multiagama, dalam hal ini Pancasila harus
bersifat terbuka dan memberikan ruang terhadap berkembangnya ideologi
sosial politik yang pluralistik dan tidak boleh mereduksi pluralitas
ideologi sosial-politik, etnis dan budaya. Jadi multikulturalisme hanya
menerima adanya perbedaan budaya dan tidak mempelajari budaya lain
atau mendalami budaya lain, sedangkan pluralisme menerima adanya
perbedaan budaya lain dan mempelajari budaya lain untuk menghindari
timbulnya konflik

V. Indonesia sebagai masyarakat Pluralistik 55


D. Peran Penting Pluralisme di Indonesia

Indonesia merupakan negara dengan berbagai keragaman suku


bangsa dan budaya serta keyakinan. Keberagaman ini dilihat dari banyak
aspek mulai dari segi agama, latar belakang, suku, adat istiadat, sosial
budaya dan bahasa yang beragam bentuknya. Untuk menciptakan negara
yang aman dan terhindar dari bentuk-bentuk konflik sosial, kita sangat
membutuhkan adanya rasa toleransi tersebut. Bila masyarakat Indonesia
tak sedikitipun yang memiliki toleransi, maka sudah dipastikan negara
akan menemui banyak masalah dan hambatan.
Oleh karena itu, sangat penting bahwa sikap pluralisme harus
dikenalkan dan dikembangkan sejak usia dini. Salah satunya melalui
pendidikan pluralisme yang diadakan di sekolah-sekolah. Melalui
pendidikan, diharapkan dapat memberikan pengetahuan denagn cara
yang terarah, terkonsep dan dapat diterima dengan baik. Konsepnya
sangat sederhana yaitu pluralisme, sikap saling mengharagai dan
menghormati perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh orang lain. Di
bawah ini beberapa macam budaya yang ada di Indonesia dari artikel
berjudul 12 Tradisi Unik yang Hanya Bisa Ditemukan di Indonesia (2017):
1) Agama

56 Pendidikan Multikultural
2) Tradisi
a. Tradisi Dugderan-Semarang

Menjelang bulan puasa kota Semarang akan ramai dengan acara


dugderan. Tradisi yang sudah ada sejak dahulu ini adalah penanda bahwa
bulan puasa telah datang. Salah satu ciri khas dari acara ini adalah arak
– arak warak ngendok. Warak ngendok ini adalah bintang rekaan yang
bertubuh kambing, berkepala naga serta memiliki kulit sisik emas

b. Tradisi Bakar Tongkang-Riau

Etnis Tionghoa yang menetap di Bagansiapiapi, Riau selalu


mengadakan ritual bakar tongkak yang dilaksanakan setiap bulan Juli.
Menurut kepercayaan ritual ini sudah dilakukan oleh leluhur mereka
dengan tujuan bertekad untuk tidak kembali ke tempat asal. Makna

V. Indonesia sebagai masyarakat Pluralistik 57


lainnya adalah upacara peringatan dewa laut Ki Ong Ya dan Tai Su Ong
yang digambarkan sebagai dewa dua sisi.
c. Brobosan-Jawa

Brobosan yang mempunyai arti menerobos ini dilakukan ketika


upacara kematian. Sebelum jenazah di bawa ke kuburan, biasanya para
keluarga terdekat melakukan tradisi brobosa. Hal ini dipercaya agar
keluarga yang ditinggalkan melupakan kesedihan dan menjadi bentuk
penghormatan terakhir kepada mendiang.

d. Tabuik-Sumatrea Barat

Tabuik adalah bahasa Arab yang memiliki arti kata tabut atau
mengarak. Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat di Pantai Barat,

58 Pendidikan Multikultural
Sumatera Barat yang diselenggarakan secara turun menurun. Upacara
tabuik ini digelar setiap hari Asyura yang jatuh pada tanggal 10 Muharram.
Upacara tradisi ini menjadi simbol dan bentuk ekspresi rasa duka yang
mendalam dan rasa hormat umat Islam di Pariaman terhdapat cucu Nabi
Muhammad SAW.
3) Tari Daerah

a. Tari Saman-Aceh b. Tari Sekapur Sirih-Jambi

c. Tari Topeng-Betawi Jakarta d. Tari Andun-Bengkulu

e. Tari Kecak-Bali f. Tari Payung-Minangkabau

V. Indonesia sebagai masyarakat Pluralistik 59


g. Tari Perang-Papua h. Tari Reog-Ponorogo

E. Implementasi Pendidikan Pluralistik di Indonesia

Pemerintah Indonesia menetapkan Bhinneka Tunggal Ika sebagai


semboyan resmi Negara Republik Indonesia dengan peraturan pemerintah
No. 66 tahun 1951. Bhinneka Tunggal Ika memang tidak tercantum dalam
UUD 1945 yang pertama, tetapi esensinya terdapat didalamnya. Bhinneka
Tunggal Ika dikukuhkan dalam UUD 1945 yang kedua sebagai semboyan
resmi yang terdapat dilambang Negara. Hal itu tercantum dalam UUD
1945 pasal 36 A yang berbunyi, “lambang Negara ialah Garuda Pancasila
dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika”.
Konsep Bhinneka Tunggal Ika sebagai alat pemersatu bangsa yaitu
Indonesia mengakui adanya pluralistik dan multikulturalistik. Konsep
tersebut terus diterapkan dalam dunia pendidikan sebagai salah satu
usaha untuk menanamkan pemahaman-pemahaman yang positif
terhadap siswa di Indonesia. Anak bangsa merupakan generasi yang akan
menentukan masa depan Indonesia, oleh karena itu keanekaragaman
yang terjadi di Indonesia tidak dibiarkan hanya separti apa adanya. Akan
tetapi harus dinilai sebagai aset bangsa, bukan sebagai faktor penghalang
kemajuan. Siswa sebagai bagian dari suatu kelompok masyarakat harus
merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari kesatuan yang lebih besar.
Setiap kelompok harus bersatu padu untuk untuk suatu tujuan masyarakat
yang lebih luas serta tidak memandang rendah kelompok lain. Beberapa
bentuk penanaman pendidikan pluralistik menurut penulis antara lain:

60 Pendidikan Multikultural
1) Melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
2) Strategi pembelajaran secara berkelompok
3) Tersedianya berbagai ekstrakurikuler untuk mewadahi minat dan
bakat siswa
4) Gotong royong dalam acara rutin suatu desa sepeti bersih desa
5) Pentas seni atau perlombaan kesenian daerah
6) Melalui pendidikan seni

Menurut Yayah Khisbiyah dan Atiqa Sabardila (2004) menyatakan


bahwa pendidikan seni di sekolah seyogyanya diberikan dengan pendekatan
apresiasi. Pendidikan seni dengan pendekatan apresiasi dimaksudkan
untuk menumbuhkan minat dan apresiasi siswa untuk menghargai dan
menikmati seni, merangsang kemampuan berseni, serta memanfaatkan
pengalaman estetiknya dalam kehidupan sehari-hari. Disamping
itu pendidikan seni dengan pendekatan apresiasi diharapkan dapat
membantu peserta didik memanfaatkan alam sekitar mereka sebagai
inspirasi untuk mengembangkan rasa berseni sehingga menumbuhkan
kesadaran spiritualitas melalui apresiasi tentang keindahan ciptaan-Nya
yang dirasakan, dilihat, didengar, dan dinikmatinya.
Apresiasi disini yang dimaksud mencakup kegiatan perolehan
persepsi, pengetahuan, pengertian, analisis, penilaian, keterlibatan,
dan penghargaan pada seni. Konsep apresiasi mencakup pendidikan
rasa. Apresiasi dapat diajarkan dengan metode belajar. Misalnya uraian
mengenai sejarah kesenian, latar belakang sosial, teknik pertunjukan
atau pembuatan, dan konsep analitis. Apresiasi bisa juga diajarkan
melalui pengalaman langsung. Misalnya menonton pertunjukan atau
pameran, mendengarkan rekaman, menonton video, dan berpraktik
serta berimprovisasi sendiri dengan instrumen dan unsur-unsur kesenian
lainnya.
Jenis kesenian yang dipilih seyogyanya adalah kesenian tradisi
nusantara, karena sebagai anak bangsa, peserta didik sudah selayaknya
mengetahui khazanah kesenian tradisi bangsanya sendiri. Kesenian
tradisi merupakan suatu ensiklopedi etnis yang menyimpan segala
sesuatu yang dianggap penting oleh masyarakat pendukungnya. Kesenian
tradisi sarat akan pesan-pesan filosofis, baik aspek spiritualitas maupun
aspek sosial. Karena ini merupakan ekspresi hidup dan kehidupan serta
sumber inspirasi spiritual, moral, dan sosial dari komunitasnya. Dalam

V. Indonesia sebagai masyarakat Pluralistik 61


lingkaran kecilnya kesenian tradisi terbukti memiliki pesan signifikan
dalam mencairkan ketegangan sosial.
Dengan demikian, apresiasi terhadap kesenian tradisional nusantara
ini diharapkan dapat membantu peserta didik mengenal jati dirinya dan
sekaligus memahami pluralitas identitas bangsanya. Pada gilirannya,
mereka akan mampu menghormati perbedaan dan keanekaragaman, dan
secara arif menerima realitas pluratitas budaya masyarakat indonesia.

F. Implikasi Pluralistik dan Multikulturalistik dalam Masyarakat


Indonesia

Pluralistik dan Multikulturalistik merupakan keanekaragaman


yang terjadi di masyarakat Indonesia, baik dari segi budaya, agama,
bahasa dan lain sebagainya. Keaneragaman tersebut dapat menjadi aset
bangsa yang tidak ternilai harganya. Namun keaneakragaman terseut
juga dapat menjadi pemicu terjadinya konflik serta menimbulkan rasa
curiga antara golongan yang satu dengan yang lainnya, dalam hal ini
keanekaragaman budaya tidak lagi menjadi sebuah keunikan dan aset
yang berharga, akan tetapi akan menjadi hal yang dapat menimbulkan
perpecahan antar golongan beragama, ras, dan budaya. Menurut Amin
Abdullah (2005) hal tersebut dapat terjadi disebabkan oleh beberapa
hal yaitu:
1) Menganggap paling baik golongan sendiri dan memandang rendah
golongan lain.
Fanatisme sering kali muncul dalam setiap golongan. Disuatu
sisi fanatisme dibutuhkan untuk kepentingan dan persatuan dalam
golongan itu. orang yang fanatik akan senantiasa bersungguh-sungguh
dan giat dalam memperjuangkan golongannya. Akan tetapi kefanatikan
merekalah yang akan menyebabkan mereka sulit untuk menghargai
golongan lain. Dalam hal ini fanatisme akan melahirkan suatu paham yang
hanya akan mementingkan golongannya sendiri, seperti chauvinisme,
etnosentrisme, dan sebagainya. Mereka akan mempunyai rasa cinta
pada golongannya dengan berlebih-lebihan. Sikap membanggakan diri
inilah yang menyebabkan golongan lain secara tidak langsung merasa
direndahkan dan tidak dihargai keberadaannya.

62 Pendidikan Multikultural
2) Perbedaan pendapat dan pandangan hidup.
Setiap golongan mempunyai pendapat dan pandangan hidup yang
berbeda. Bahkan setiap individu pun mempunyai pendapat yang berbeda-
beda. Namun ada beberapa orang atu golongan yang memiliki kesamaan
pendapat, perbedaan pendapat dapat menyebabkan perpecahan pada
suatu golongan. Dari perpecahan itu akan muncul sebuah golongan
baru yang terdiri dari orang-orang yang sepaham. Maka perselisihan
antara kedua kelompok itu pun dapat terjadi. Jika hal itu berlarut maka
kejadian serupa akan kembali terjadi dan terjadi lagi begitu seterusnya.

3) Keinginan kelompok untuk menguasai kelompok lain


Setap golongan menginginkan agar golongannya memiliki kekuatan
dan pengaruh yang besar. Salah satu cara agar golongannya menjadi kuat,
maka mereka akan senantiasa mempengaruhi dan berusaha menundukkan
golongan lain untuk tunduk dibawahnya. Timbulnya kesadaran dari
kelompok yang dikuasi itu akan mengakibatkan pembrontakan dan
timbullah konflik

Upacara Pernikahan Bali

V. Indonesia sebagai masyarakat Pluralistik 63


RANGKUMAN

Secara bahasa, kata pluralis berasal dari bahasa Inggris plural yang
berarti jamak, dalam arti keanekaragaman dalam masyarakat. Lebih
dari itu, pluralisme secara substansial termanifestasi dalam sikap untuk
saling mengakui sekaligus menghargai, menghormati, memelihara,
dan bahkan mengembangkan atau memperkaya keadaan yang bersifat
plural, jamak, atau banyak. Masyarakat plural dapat diterjemahkan
sebagai masyarakat majemuk sedangkan masyarakat pluralistik adalah
masyarakat yang meyakini pluralisme. Jadi dapat dikatakan bahwa
masyarakat Indonesia sebagai masyarakat pluralistik yaitu dengan
melihat berbagai bentuk kebudayaan yang beraneka ragam di Indonesia
namun masyarakat tetap dapat menjalin toleransi dan hidup bersama di
tengah keberagaman tersebut.
Menurut Johan Purnama dalam jurnalnya (2015) yang berjudul
Pluralisme dan Multikulturalisme di Indonesia menyatakan bahwa
pluralisme yaitu sebuah keadaan dimana ada interaksi di antara beberapa
kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan
toleransi satu sama lain. Keberagaman yang ada di Indonesia dilihat dari
banyak aspek mulai dari segi agama, latar belakang, suku, adat istiadat,
sosial budaya dan bahasa yang beragam bentuknya. Untuk menciptakan
negara yang aman dan terhindar dari bentuk-bentuk konflik sosial, kita
sangat membutuhkan adanya rasa toleransi tersebut. Bila masyarakat
Indonesia tak sedikitipun yang memiliki toleransi, maka sudah dipastikan
negara akan menemui banyak masalah dan hambatan.
Konsep Bhinneka Tunggal Ika sebagai alat pemersatu bangsa yaitu
Indonesia mengakui adanya pluralistik dan multikulturalistik. Konsep
tersebut terus diterapkan dalam dunia pendidikan sebagai salah satu
usaha untuk menanamkan pemahaman-pemahaman yang positif
terhadap siswa di Indonesia.
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi
pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan
dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya
rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Diharapkan makalah ini dapat menambah wawasan pembaca tentang Indonesia
Sebagai Masyarakat Pluraristik.

64 Pendidikan Multikultural
TUGAS LATIHAN

1. Analisislah pengertian masyarakat pluralistik !


2. Deskripsikan konsep pluralisme !
3. Identifikasikanlah hubungan pluralistik dengan multikultural !
4. Analisislah dan identifikasikanlah peran penting pluralisme di
Indonesia !
5. Analisislah dan identifikasikanlah implementasi pendidikan pluralistik
di Indonesia !
6. Identifikasikanlah implikasi pluralistik dan multikulturalistik dalam
masyarakat Indonesia.

Daftar Rujukan

Abdullah, Amin. 2005. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Universitas


Negeri Yogyakarta.

Adhiputra, Anak Agung Ngurah. 2013. Konseling Lintas Budaya. Bandung:


Graha Ilmu.

Azzuhri, Muhandis. 2012. Konsep Multikulturalisme dan Pluralisme


dalam Pendidikan Agama (Upaya Menguniversalkan Pendidikan
Agama dlam Ranah Keindonesiaan). Pekalongan: Forum Tarbiyah
STAIN Pekalongan.

Handayani, Oktaviani Nur. 2014. Pluralisme dan Toleransi. Yogyakarta:


UIN Sunan Kalijaga.

Khisbiyah, Yayah dan Atiqa Sabardila. 2004. Pendidikan Apresiasi Seni.


Surakarta: Penerbit Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial.

Purnama, Johan, dkk. 2015. Pluralisme dan Multikulturalisme di


Indonesia. Jakarta Selatan: Sampoerna Universuty.

Tambak, Syahraini. 2013. Membangun Bangsa Melalui Pendidikan.


Yogyakarta: Graha Ilmu.

V. Indonesia sebagai masyarakat Pluralistik 65


BAB VI
BUDAYA LOKAL / DAERAH
DAN NASIONAL

Tarian Lenggo - Bima

67
Tujuan Pembelajaran

1. Menjelaskan pengertian budaya daerah dan budaya nasional


Indonesia.
2. Mengidentifikasi bahasa daerah di Indonesia.
3. Mengidentifikasi lagu-lagu daerah di Indonesia.
4. Mengidentifikasi alat-alat musik tradisional di Indonesia.
5. Mengidentifikasi kekayaan tarian di Indonesia.
6. Mengidentifikasi keragaman masakan dan pakaian di Indonesia.
7. Mengidentifikasi peninggalan budaya dan kekayaan tradisi di
Indonesia.

Kerangka Isi

Pada bagian ini menerangkan tentang, pengertian budaya daerah


dan budaya nasional Indonesia, bahasa daerah di Indonesia, lagu-lagu
daerah di Indonesia, alat-alat musik tradisional di Indonesia, kekayaan
tarian di Indonesia, keragaman masakan dan pakaian di Indonesia,
peninggalan budaya dan kekayaan tradisi di Indonesia.

68
A. Pengertian Budaya Daerah dan Budaya Nasional Indonesia

Budaya merupakan suatu kebiasaan yang mengandung nilai – nilai


penting dan fundamental yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Warisan tersebut harus dijaga agar tidak luntur atau hilang sehingga
dapat dipelajari dan dilestarikan oleh generasi berikutnya.
Budaya secara umum dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :
a. Budaya Daerah adalah suatu kebiasaan dalam wilayah atau daerah
tertentu yang diwariskan secara turun temurun oleh generasi
terdahulu pada generasi berikutnya pada ruang lingkup daerah
tersebut. Budaya daerah ini muncul saat penduduk suatu daerah
telah memiliki pola pikir dan kehidupan sosial yang sama sehingga
itu menjadi suatu kebiasaan yang membedakan mereka dengan
penduduk-penduduk yang lain. Budaya daerah sendiri mulai terlihat
berkembang di Indonesia pada zaman kerajaan – kerajaan terdahulu.
Itu dapat dilihat dari cara hidup dan interaksi sosial yang dilakukan
masing-masing masyarakat kerajaan di Indonesia yang berbeda satu
sama lain. Dari bermacam-macam budaya daerah tersebut maka
munculah sesuatu yang disebut Budaya Nasional
b. Budaya Nasional adalah gabungan dari budaya daerah yang ada di
Negara tersebut. Itu dimaksudkan budaya daerah yang mengalami
asimilasi dan akulturasi dengan dareah lain di suatu Negara akan
terus tumbuh dan berkembang menjadi kebiasaan-kebiasaan dari
Negara tersebut. Misalkan daerah satu dengan yang lain memang
berbeda, tetapi jika dapat menyatukan perbedaan tersebut maka
akan terjadi budaya nasional yang kuat yang bisa berlaku di semua
daerah di Negara tersebut walaupun tidak semuanya dan juga tidak
mengesampingkan budaya daerah tersebut. Contohnya Pancasila
sebagai dasar negara, Bahasa Indonesia dan Lagu Kebangsaan yang
dicetuskan dalam Sumpah Pemuda 12 Oktober 1928 yang diikuti oleh
seluruh pemuda berbagai daerah di Indonesia yang membulatkan
tekad untuk menyatukan Indonesia dengan menyamakan pola pikir
bahwa Indonesia memang berbeda budaya tiap daerahnya tetapi
tetap dalam satu kesatuan Indonesia Raya dalam semboyan “bhineka
tunggal ika”.

Kita harus selalu menjaga, melindungi dan melestarikan budaya


daerah maupun budaya nasional kita agar tak diambil dan dilecehkan

VI. Budaya Ideal/Daerah dan Nasional 69


oleh negara lain, siapa lagi kalau bukan kita yang menjunjung budaya
kita. “cintai budayamu layaknya engkau mencintai ibumu”. Ada suatu
pepatah bijak mengatakan : “Suatu Negara tidak akan menjadi Negara
yang besar jika tidak mengetahui jati diri dari budaya Negara tersebut”
Beberapa pakar ahli budaya sudah banyak mengemukakan
pendapatnya mengenai budaya lokal Indonesia maupun budaya lokal
secara umum. Bahkan beberapa pakar budayawan berkebangsaan luar
negeri pernah menuliskan penelitian mengenai beberapa budaya yang
ada di Indonesia.
a. W Ajawaila mengatakan bahwa budaya lokal adalah ciri khas budaya
sebuah kelompok masyarakat lokal.
b. Lehman, Himstreet dan Batty mengemukakan bahwa budaya
diartikan sebagai sekumpulan pengalaman hidup yang ada dalam
masyarakat mereka sendiri. Pengalaman hidup masyarakat saja
sangatlah banyak dan variatif, termasuk di dalamnya bagaimana
perilaku dan keyakinan atau kepercayaan masyarakat itu sendiri.
c. Mitchel mengatakan bahwa budaya adalah seperangkat nilai-nilai
inti, kepercayaan, standar, pengetahuan, moral hukum dan perilaku
yang disampaikan oleh individu-individu dan masyarakat yang
menentukan bagaimana seoseroang bertindaj, berperasaan dan
memandang dirinya serta orang lain.
d. Irwan Abdullah menerangkan bahwa kebudayaan kebudayaan akan
selalu terikat dan berhubungan dengan hal-hal fisik seperti geografis.
Contohnya saja budaya jawa pasti dan sudah pasti berkembang
di Pulau jawa. Maka dari itu ia menyebutkan bahwa geografis
merupakan sebuah landasan dalam menentukan atau mendefinisikan
budaya lokal.
e. Geertz dalam bukunya Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia
juga menyebutkan bahwa perbedaan iklim dan kondisi geografis
merupakan hal yang mempengaruhi kemajemukan budaya lokal di
Indonesia.
f. Murphy dan Hildebrand mengatakan bahwa budaya lokal dapat
diartikan sebagai karakteristik perilaku dalam suatu kelompok.
g. Bovee dan Thill mendefinisikan budaya lokal sebagai suatu sistem
untuk berbagai simbol-simbol, kepercayaan, sikap, nilai-nilai,
harapan dan norma-norma untuk berperilaku.

70 Pendidikan Multikultural
Dari penuturan para tokoh dan pakar budaya di atas dapat disimpulkan
bahwa memang budaya lokal akan selalu terikat dengan letak geografis
termasuk iklimnya, kepecayaan ataupun norma-norma di sekitar.
Komunikasi verbal dan non-verbal juga termasuk ke dalam budaya lokal
karena Indonesia terdiri dari lebih dari 300 suku bangsan dan berbicara
dalam 250 bahasa yang berbeda. Yang berarti setiap daerah memiliki
bahasa yang berbeda dengan karakteristik kebudayaannya masing-
masing. Hal tersebut menjadi unik dan menjadi ciri khas (budaya) lokal
suatu daerah.

B. Bahasa Daerah

Apabila kita berkeliling ke Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi,


Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua, kita akan sadar bahwa
“Indonesia memang kaya bahasa”. Belum terhitung dialek-dialek lokal
yang tak terhitung jumlahnya. Misalkan di Aceh dijumpai bahasa-bahasa
Aceh, Tamiang, Gayo, Alas, Kluet, Jamee, Pakpak, dan Singkil. Bergerak
menuju Sumatera Utara, kita mendengar orang berbahasa Batak, Karo,
Simalungun, Angkola, Padang Lawas, Mandailing, dan Nias. Sementara di
Sumatera Barat ada Bahasa Mingkabau, di Sumatera Selatan ada Bahasa
Ogan dan Komering, di Riau kebanyakan orang berbahasa Melayu, dan di
Jambi dijumpai Bahasa Jambi dan Kerinci.
DI Jawa juga terdapat bahasa lokal yang beragam, misalnya di Jakarta
ada Bahasa Betawi, di Jawa Barat ada Bahasa Sunda, di Jawa Tengah
dan Yogyakarta umumnya orang berbahasa Jawa, dan di Jawa Timur
digunakan Bahasa Jawa, Madura, dan Osing. Pindah ke Kalimantan, kita
perhatikan bermacam-macam bahasa mulai Dayak. Banjar, Bakumpai,
Tamuan, sampai Kutai. Sedangkan di Sulawesi ada bahasa-bahasa Bugis,
Makassar, Toraja, Mandar, Pamona, Mori, Kaili, dan Gorotan. Menuju
ke wilayah selatan yaitu Bali dan Nusa Tenggara, kita mendengar
bahasa-bahasa Bali, Sasak, Bima, dan Sumbawa. Selanjutnya, di Maluku
terdapat bahasa-bahasa Ambon, Tulehu, Kai, Banda, Selth, Yamdena,
Kisar, Dammar, Paulohy, dan Dawera-Daweloor. Di ujung paling timur
yaitu Papua terdapat bahasa-bahasa lokal sesuai dengan suku-suku yang
ada misalnya Aitiyo, Arfak, Asmat, Dani, Mandacan, Biak, Kuri, Simuri,
dan Irarutu.

VI. Budaya Ideal/Daerah dan Nasional 71


Dalam perkembangannya, bahasa-bahasa lokal dan etnik seperti
yang diuraikan di atas, memiliki kontribusi besar dalam memperkaya
kosakata Bahasa lndonesia sebagai bahasa nasional. Nama-nama hari
hampir semua berasal dari Bahasa Arab, yaitu “Senin”, “Selasa”, “Rabu”,
“Kamis”, dan “Jum’at”. Istilah-istilah dalam ketatanegaraan Indonesia
misalnya “majelis”, “perwusyawatan”, “perwakilan”, “kedaulatan”,
“hak”, “kewajiban”, “amanat”, dan “iman dan takwa”. dan “fakir dan
miskin” berasal dari Bahasa Arab, dan istilah “Pancasila” berasal dari
Bahasa Jawa “ponco” berarti lima, dan “silo” berarti pedoman. Contoh
Iain, misalnya “abangan” dari Bahasa Jawa “abang” yang berarti merah,
kata “lindung” dari Bahasa Bugis yang berarti terhalang, dan kata “jaga”
berasal dari Bahasa Jawa “jogo” yang berarti mengawasi. Begitu pula
nama-nama makanan banyak yang berasal dari Bahasa Tionghoa seperti
“tahu”, “bakmi”, dan “cwimi”. lstilah-istilah yang berasal dari Bahasa
India juga banyak, seperti “martabak” “guru”, “dewi”, dan “dharma”.

C. Lagu-Lagu Daerah

Berbagai lagu mengalun di seantero daerah juga merupakan


kekayaan Bangsa Indonesia. Ada lagu Bungong Jeumpa dan Anju Ahu dan
Aceh; Lisoi, Butet, Sing Sing So, dan Sinanggar Tulo dari Sumatera Utara;
Ayam Den Lapeh dan Kampuang Nan Jauh di Mato dari Tanah Minang;
Lancang Kuning dan Soleram dari Riau; Pindang Muda dan Selendang
Mayang dari Jambi; dan Dek Sangke dari Palembang. Sementara itu,
di Pulau Jawa dapat didengar lagu-lagu seperti Dayung Sampan dan
Banten; Jali-jali dan Kicir-kicir dari Jakarta; Manuk Dadali dan Dubuy
Bulan dari Jawa Barat; Gambang Suling, Gundul Pacul, Ilir-ilir. Sinom,
dan Suwe Ora Jamu dari Jawa Tengah dan Yogyakarta; dan Karaben
Sape dan Tanduk Majeng dari Jawa Timur. Di Bali dan Nusa Tenggara kita
dapat menikmati Iagu-lagu Bali Jagaddhitam, Tutu Koda, Rame-rame,
Bolebo, dan Potong Bebek Angsa. Dari bumi Kalimantan mengalun lagu-
lagu Cik-cik Periuk, Kalayar, Naluya, Palu Cempang Pupoi, Tumpi Wayu,
Saluang Kitik-kitik, Ampar-ampar Pisang, Sapu Tangan Babuncu Ampat,
Paris Berantai, indung-indung, dan Buah Balok. Selanjutnya, kalau kita
ke kawasan Sulawesi menjumpai lagu-lagu Si Patokaan, O lnani Keke,
Hulonthalo Lipuu, Tapeggu, Pela Tawa-tawa, Angin Mamiri, Pakarena, dan
Ma-Rencong. Lagu-lagu dari wilayah Maluku juga tidak kalah merdunya,

72 Pendidikan Multikultural
misalnya Barero, Sarinande, Rasa Sayange, dan Burung Kaka Tua. Begitu
pula, lagu-lagu dari Papua juga enak didengar, seperti Yamko Rambe
Yamko dan Apuse.

D. Alat-Alat Musik Tradisional

Lagu-lagu beragam yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara


dlperkaya lagi dengan permainan alat-alat musik tradisional. Di Serambi
Mekah banyak dimainkan rebbana, geunderang, dan canang; di Sumatera
Utara ada grantung, hapetan, varitia, doli-doli, bonrang, dan aramba;
di Sumatera Barat ada saluang, bensi, telempong, rabab, dan gandang
tabuik; dan di Riau dan Jambi ada gendang dan gambus. Di PuIau Jawa
juga banyak ragam alat-alat musik tradisional, misalnya gendang di
Banten, tanjidor dan gambang kromong di Jakarta; angklung, gamelan
Sunda, dan kecapi di Jawa Barat; dan gamelan Jawa, gong, dan gendang
di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Sementara itu, di Bali
digunakan gamelan Bali, jegong, dan genggong, dan di Nusa Tenggara
terdapat alat-alat musik foi mere, keloko, dan sasando. Di Kalimantan
juga banyak dijumpai alat-alat musik tradisional seperti gerdek, sampek,
kaldei, tuma, gamelan Banjar, dan tingkilan.
Selanjutnya, jika berkeliling di pulau Sulawesi kita dapat melihat
bermacam-macam alat musik, yaitu kulintang, suling, gong, gendang,
gamelan, kecapi, rebbana, alosu, keso-keso, anak becing, dan talindo.
Sampai di Maluku, akan kita jumpai floit, fu, ukulele, tifa,dan totobuang;
dan di Papua orang bisa dihibur dengan alat musik tifa dan atowo.

VI. Budaya Ideal/Daerah dan Nasional 73


E. Kekayaan Tarian

Sebagai kekayaan seni-budaya, Indonesia juga memiliki tarian yang


sangat banyak. Di Aceh, orang dapat menonton berbagai tarian, misalnya
Tari Laweut, Tari Likok Pulo, Tari Pho, Rabup Lampuan, Tari Lapai Geleng,
Tari Saman, Tari Bines, Tari Ula-ula Lembing, dan Tari Mesekat. Menuju
selatan, Sumatera Utara memiliki tarian-tarian: Tunggal Panaluan, Tari
Profan, Tari Guru, Tari Tungka, dan Tari Tortor Nasiaran; dan Sumatera
Barat dengan Tari Piring, Tari Payung, Tari Tandai, Tari Pasambangan dan
Tari Indang. Ke timur, wilayah Riau dapat dijumpai Serampang Dua Belas,
Joget Lambak, Zapin, Taru Lancang Kuning, dan Tari Makan Sirih, dan di
ujung selatan Pulau Sumatera masyarakat bisa menikmati tari Sekapur
Sirih, Tari Selampit Delapan, dan Tari Rangguk di Jambl; Tari Tunggai, Tari
Kipas, dan Tari Putri Bekusek di Sumatera Selatan; serta Tari Adun, Tari
Bidadari Temiang Anak, dan Tari Sembah di Bengkulu dan Lampung. Di
Pulau Jawa juga kaya akan tarian, misalnya Peragaan Debus dan Tari Sekar
Putri di Banten; Tari Topeng dan OndeI-ondel di Jakarta, Tari Jaipong dan
Tari Merak di Jawa Barat; Tari Gambyong dan Tari Gambir Anom di Jawa
Tengah dan Yogyakarta; Tari Remo, Tari Parikan, Tari Gambyong, Tari
Srimpi, Tari Bondan, Tari Kelana, dan Topeng Malangan‘di Jawa Timur.
Sementara itu, di Bali terdapatTari Kecak, Tari Rejang, Tari Baris, Tari
Janger, dan Tari Pendet; dan di Nusa Tenggara orang dapat menyaksikan
Tari Mpa Lengo, Tari Batu Nganga, Tari Perang, dan Tari Gareng Lameng.
Sedangkan di Pulau Kalimantan ada Tari Monong dan Tari Zapin Tembung
(Kalimantan Barat); Balean Dadas, Tambun, dan Bungi (Kalimantan
Tengah); Baksa Kambang, Radap Rahayu, dan Kuda Gepeng (Kalimantan
Selatan); serta Tari Gong dan Tari Perang (Kalimantan Timur). Ketika kita
berada di Sulawesi, bermacam ragam tarian bisa dinikmati, misalnya
Mak Engket, Titi Lotihu, dan Titi Betea (Sulawesi Utara); Polopalo
dan Danada (Gorontalo); Lumense, Peulecinde, Pamonte, dan Dero
(Sulawesi Tengah), Umoara, Wowindahako, Mulolo, dan Dinggu (Sulawesi
Tenggara); serta Tari Kipas dan Pakarena (Sulawesi Selatan dan Sulawesi
Barat). Di Maluku ada Tari Perang, Tari Nabarlla, Tari Cakalele, Saureka-
reka, Katreji, dan Lenso. Terakhir, di Papua dijumpai Tari Mayoh. Tari
Perang, Tari Selamat Datang, dan Tari Suwanggi.

74 Pendidikan Multikultural
F. Keragaman Masakan dan Pakaian

Jika kita berbicara tentang masakan khas, masakan lndonesialah


yang paling banyak ragamnya di dunia. Sebagai contoh, sederatan
masakan mulai dari mie Aceh rendang Padang, empek-empek Palembang,
soto Betawi soto ambengan, soto Bandung, nasi timbel gudeg Yogya,
soto Lamongan, rawon, rujak cingur, soto Madura, sate Madura, ayam
panggang betutu Bali, ayam goreng taliwang, soto Banjar, ketupat
Kandangan, coto Makassar, soup konro, kaledo, sampai ke bubur Manado
tersedia semua di bumi Nusantara. Adapun corak pakaian yang beraneka
ragam dapat dijumpai, misalnya ulos di Sumatera Utara, suiaman di
Sumatera Barat, songket di Lampung, batik di Jawa dan Madura, endeg di
Bali, sasirangan di Kalimantan Seiatan serta tenun di Lombok Sumbawa,
Timor, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah. Khusus mengenai batik,
corak batik Indonesia telah diakui UNESCO sebagai budaya Indonesia.
Kini batik menjadi pakaian yang mendunia.

VI. Budaya Ideal/Daerah dan Nasional 75


G. Peninggalan Budaya dan Kekayaan Tradisi

Salah satu peninggalan budaya yang sangat bersejarah di Indonesia


adalah Candi Borobudur di Magelang Jawa Tengah. Candi Borobudur
dicatat sebagai situs warisan budaya dunia oleh UNESCO, dan dipugar
tahun 1975-1982 oleh pemerintah Indonesia dan UNESCO. Candi ini
dibangun pada abad ke-9 oleh Dinasti Sailendra. Bangunannya terdiri
dari 9 tingkat dan kubah puncak, serta dilengkapi dengan 72 stupa dan
2672 panel-panel relief. Candi Borobudur adalah candi terbesar di dinia.
Selama ini dipercayai bahwa Candi Borobudur adalah peninggalan sejarah
kerajaan-kerajaan Buddha di Indonesia. Akan tetapi, ada pendapat baru
(hasil studi) yang menyatakan bahwa Candi Borobudur tersebut adalah
peninggalan Nabi Sulaiman AS.
Sebagai refleksi dari keberagaman budaya, Indonesia dengan tradisi-
tradisi lokal. Setiap daerah harus selalu menggali dan melestarikan
tradisi lokal yang merupakan aset budaya bangsa, untuk kesejahteraan
masyarakat. Dwidjowinoto (2006) menegaskan bahwa yang dimaksud
pelestarian budaya bukan berarti membiarkan seperti keadaan aslinya,
tetapi diupayakan agar tetap lestari dan dimanfaatkan oleh masyarakt
yang bersangkutan. Menurut Dwidjowinoto, masyarakat daerah sendiri
yang harus terus mengembangkan dan mengemas baru agar dapat
mengikuti perkembangan zaman. Dwidjowinoto memberi satu contoh
pelestarian budaya / tradisi lokal yaitu “Upacara Tradisi Pengantin
Bekarsi” yaitu upacara pernikahan khas Lamongan, Rangkaian upacara
ini terdiri dari 16 tahap: ndelok/nontok, nyontok/ganjur, nglamar,
negethek dino, ambyuk, repotan, ngedekno tarup, mbukak gedhek,
sasrahan/srahsrahan, selametan/kenduri/ ngaturi, ijab kabul/nikah,
temu manten/panggih, tuwuh, serahan nafkah, bakdo temu/panggih,
dan sepasaraan.
Sederetan fakta di depan memberi arti bahwa Indonesia memang
kaya akan bahasa, seni, masakan, pakaian, situs peninggalan budaya,
dan tradisi. Penampilan kekayaan budaya ini di hadapan masyarakat
internasional adalah penting. Namun, yang lebih penting adalah
bagaimana memahami makna, merawat, dan melestarikan warisan-
warisan budaya tersebut.

76 Pendidikan Multikultural
Peninggalan Budaya dan Kekayaan Tradisi

RANGKUMAN

Budaya merupakan suatu kebiasaan yang mengandung nilai-nilai


penting dan fundamental yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Budaya Daerah adalah suatu kebiasaan dalam wilayah atau daerah
tertentu yang diwariskan secara turun temurun oleh generasi terdahulu
pada generasi berikutnya pada ruang lingkup daerah tersebut. Budaya
Nasional adalah gabungan dari budaya daerah yang ada di Negara tersebut.
Itu dimaksudkan budaya daerah yang mengalami asimilasi dan akulturasi
dengan dareah lain di suatu Negara akan terus tumbuh dan berkembang
menjadi kebiasaan-kebiasaan dari Negara tersebut. Komunikasi verbal
dan non-verbal juga termasuk ke dalam budaya lokal karena Indonesia
VI. Budaya Ideal/Daerah dan Nasional 77
terdiri dari lebih dari 300 suku bangsan dan berbicara dalam 250 bahasa
yang berbeda. Dalam perkembangannya, bahasa-bahasa lokal dan etnik
memiliki kontribusi besar dalam memperkaya kosakata Bahasa lndonesia
sebagai bahasa nasional. Salah satu peninggalan budaya yang sangat
bersejarah di Indonesia adalah Candi Borobudur di Magelang Jawa
Tengah. Candi Borobudur dicatat sebagai situs warisan budaya dunia
oleh UNESCO, dan dipugar tahun 1975-1982 oleh pemerintah Indonesia
dan UNESCO. Sederetan fakta di depan memberi arti bahwa Indonesia
memang kaya akan bahasa, seni, masakan, pakaian, situs peninggalan
budaya, dan tradisi.
Kita harus selalu menjaga, melindungi dan melestarikan budaya
daerah maupun budaya nasional kita agar tak diambil dan dilecehkan
oleh negara lain, siapa lagi kalau bukan kita yang menjunjung budaya
kita.

TUGAS LATIHAN
1. Jelaskan pengertian budaya daerah dan budaya nasional Indonesia!
2. Identifikasikan bahasa daerah di Indonesia!
3. Identifikasikan lagu-lagu daerah di Indonesia!
4. Identifikasikan alat-alat musik tradisional di Indonesia!
5. Identifikasikan kekayaan tarian di Indonesia!
6. Identifikasikan keragaman masakan dan pakaian di Indonesia!
7. Identifikasikan peninggalan budaya dan kekayaan tradisi di Indonesia!

Daftar Pustaka
Mahfud, Choirul. 2005. Pendidikan Multikultural. Sidoarjo: Pustaka
Pelajar

Putra, Michael. 2016. Kebudayaan Nasional Indonesia. (Online) https://


www.sayanda.com/pengertian-kebudayaan-nasional/,diakses
tanggal 28 Februari 2018.

Sonhadi, Ahmad. 2015. Membangun Peradaban Bangsa dalam perspektif


Multikultural. Malang: IKIP Malang

78 Pendidikan Multikultural
BAB VII
PROBLEMATIKA
PEDAGOGIS PENDIDIKAN
MULTI KULTURAL

Tujuan Pembelajaran

Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut.


1. Menjabarkan tantangan-tantangan multi kultural di Indonesia.
2. Mendeskripsikan konsep dasar pendidikan multi kultural.
3. Menjelaskan problematika pendidikan multi kultural.

79
4. Menjabarkan faktor-faktor munculnya problematika pedagogis
pendidikan multi kultural.
5. Menjabarkan problematika pendidikan multi kultural.
6. Menjelaskan upaya penyelesaian problematika pendidikan multi
kultural.

Kerangka Isi

Pada bagian ini mendeskripsikan tentang, tantangan-tantangan


multi kultural di Indonesia, konsep dasar pendidikan multi kultural,
problematika pendidikan multi kultural, faktor-faktor munculnya
problematika pedagogis pendidikan multi kultural, problematika
pendidikan multi kultural, upaya penyelesaian problematika pendidikan
multi kultural.

80
A. Tantangan-Tantangan Multi Kultural di Indonesia

Tantangan-tantangan yang dihadapi Indonesia mengenai multi


kultural terdiri dari tantangan eksternal dan tantangan internal. Salah satu
tantangan eksternal adalah meningkatnya arus informasi dan komunikasi
global yang sangat sarat dan cepat yang dapat mempengaruhi semua
cabang kehidupan, misalnya pola pikir, orientasi, dan gaya hidup yang
lebih bersifat individualistik, hedonisme, eksklusifisme, dan kesantunan
yang kurang. Sedangkan, salah satu tantangan internal adalah etika dan
moralitas yang rendah yang terlihat pada tingkat kejahatan yang tinggi,
misalnya banyak kasus korupsi, perampokan, penipuan, penganiayaan,
pelecehan seksual, pelacuran, pemerkosaan, pembunuhan, dan narkoba.
Tantangan-tantangan tersebut apabila tidak segera diatasi Indonesia
dapat menjadi bangsa yang kurang dihormati oleh bangsa-bangsa lain
atau kurang bermartabat, bahkan eksistensi Indonesia terancam atau
tidak akan diperhitungkan dalam percaturan dunia internasional.
Salah satu upaya untuk mengatasi tantangan tersebut adalah melalui
pendidikan. Pendidikan merupakan upaya yang paling efektif dalam
peningkatan kualitas sumber daya manusia, pembentukan watak, etika,
dan moralitas bangsa, penciptaan persatuan, kerukunan, keharmonisan,
dan kebersamaan sesama komponen bangsa, serta daya tahan terhadap
penetrasi ke wilayah Indonesia. Hal ini lah yang melatarbelakangi adanya
pendidikan multi kultural. Akan tetapi, dalam pendidikan multi kultural
itu sendiri menimbulkan tantangan-tantangan baru atau problematika.

B. Konsep Dasar Pendidikan Multi Kultural

Konsep dasar pendidikan multi kultural dilandasi oleh pandangan


pluralisme kultural atau multikulturalisme, yaitu pandangan yang
menyatakan bahwa setiap individu atau kelompok dalam suatu masyarakat
harus tetap menghormati keragaman kultural. Pendidikan multi kultural
adalah proses transmisi nilai, pengetahuan, sikap, dan perilaku yang
diarahkan kepada individu atau kelompok dalam suatu masyarakat, agar
tetap menghormati keragaman kultural yang bersumber dari perbedaan
etnik, agama, budaya, dan wilayah, serta pada saat yang bersamaan
mendukung kebijakan yang disepakati bersama.

VII. Problemantika Pedagogis Pendidikan Multikultural 81


Pembahasan mengenai pendidikan multi kultural difokuskan pada
tiga hal, diantaranya :
Pertama, pendidikan multi kultural sebagai studi tentang etnisitas,
yaitu konsep dasar etnisitas, penelaahan berbagai kelompok etnik dan
budaya, keunikan masing-masing etnik serta kontribusinya terhadap
pengembangan budaya nasional.
Kedua, pendidikan multi kultural mempelajari dampak dari operasi
dan ketidakadilan dengan menggunakan pendekatan historis dan
analisis hubungan sosiologis antar kelompok serta ditekankan pada studi
destruksi-destruksi yang ditimbulkan oleh praktik-praktik stereoti, bias,
dan diskriminasi terhadap kelompok tertentu dalam masyarakat.
Ketiga, pendidikan multi kultural merupakan pelaksanaan proses
pembelajaran yang dalam implementasinya mencakup hasil dan fungsi
instruksional, termasuk di dalamnya pemahaman para pendidik terhadap
variabel pendidikan esensial, seperti kurikulum, materi, dan teknik
pembelajarannya

C. Pengertian Problematika Pedagogis Pendidikan Multi


Kultural

Pendidikan multikultural merupakan suatu tuntutan pedagogis


(pendidikan)  dalam rangka studi kultural yang melihat proses pendidikan
sebagai proses pembudayaan. Multikultural adalah gagasan yang lahir
dari fakta tentang perbedaan antar warga masyarakat. Pengalaman
hidup yang berbeda menumbuhkan kesadaran dan tata nilai berbeda,
yang kadang tampil berlatar belakang etnis berbeda. Adanya perbedaan
itulah yang sering memicu konflik karena memandang diri lebih benar,
baik, dan berkembang. Pada ranah pendidikan adanya perbedaan
tersebut dapat menimbulkan adanya suatu gesekan yang menjadi
problema dalam proses belajar mengajar.
Dalam konteks pendidikan, bahwa semua persoalan dalam
masyarakat akan dapat diperbaiki melalui proses pendidikan. Artinya
kegagalan masyarakat adalah kegagalan pendidikan dan sebaliknya.
Dengan demikian, dalam mengatasi segala problematika masyarakat
sebaiknya dimulai dari penataan secara sistemik dan metodologis dalam
pendidikan. Salah satu komponen dalam pembelajaran adalah proses
belajar mengajar (pembelajaran). Multikultural bisa dibentuk melalui

82 Pendidikan Multikultural
proses pembelajaran, yaitu dengan menggunakan pembelajaran berbasis
multikultural.
Pendidikan multikultural hendaknya mampu menanamkan kesadaran
diri siswa bahwa mereka anggota komunitas etnik dan kultural, warga
dari komunitas politik, dan juga bagian dari manusia secara umum. Selain
itu, sistem pendidikan multikultural dapat membantu siswa memahami
sejarah, struktur sosial, budaya, bahasa, dan agama dalam komunitas
kultural dan politik agar mereka dapat memahami diri sendiri secara
lebih baik dan menemukan jalan di sekitar komunitas tersebut (Parekh
dalam Ruminiati, 2011:7).

D. Faktor-Faktor Munculnya Problematika Pedagogis


Pendidikan Multi Kultural

Terdapat dua hal yang menjadi problematika atau permasalahan


pada pendidikan multi kultural, yakni :
Pertama, pendidikan multi kultural merupakan suatu proses,
artinya konsep pendidikan multi kultural yang baru dimulai dalam dunia
pendidikan di Indonesia merumuskan proses perumusan, refleksi dan
tindakan di lapangan sesuai dengan perkembangan konsep-konsep yang
fundamental mengenai pendidikan dan hak asasi manusia.
Kedua, pendidikan multi kultural merupakan suatu yang multifaset,
oleh sebab itu meminta suatu pendekatan lintas disiplin ilmu, maupun
dari para pakar dan praktisi pendidikan untuk semakin lama semakin
memperluas dan mempertajam konsep pendidikan multi kultural yang
dibutuhkan oleh masyarakat.
Faktor lain yang mengakibatkan pendidikan multi kultural
tidak dapat berkembang atau berjalan dengan baik adalah dengan
adanya permasalahan penyakit budaya, seperti prasangka, stereotip,
etnosentrisme, rasisme, diskriminatif, dan kambing hitam (scaoe
goating). Penyakit-penyakit budaya yang dibiarkan bertumbuh kembang
akan mengakibatkan munculnya konflik dan separatisme di daerah-
daerah. Sudah tentu, Indonesia yang merupakan negara dengan beraneka
ragam suku bangsa lebih beresiko mengalami konflik dan separatisme.
Dengan begitu, Indonesia benar-benar membutuhkan solusi yang tepat
dalam menangani hal ini.

VII. Problemantika Pedagogis Pendidikan Multikultural 83


E. Problematika Pendidikan Multi Kultural

Dalam implementasinya, pendidikan multi kultural memiliki


problematika atau permasalahan-permasalahan. Secara garis besar,
problematika atau permasalahan-permasalahan pendidikan multi
kultural dibagi menjadi dua, yakni :
1. Problem Kemasyarakatan Pendidikan Multi Kultural
a. Keragaman Identitas Budaya Daerah
Keragaman budaya daerah memang memperkaya khasanah budaya
dan menjadi modal yang berharga untuk membangun Indonesia yang
multikultural. Namun kondisi budaya itu sangat berpotensi memecah
belah dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan sosial.
Masalah itu muncul jika tidak ada komunikasi antar budaya daerah.
Konflik-konflik yang terjadi selama ini di Indonesia dilatar belakangi oleh
adanya keragaman identitas etnis, agama dan rasa, misalnya peristiwa
Sampit. Keragaman ini dapat digunakan oleh provokator untuk dijadikan
isu yang memancing persoalan. Dengan adanya Pendidikan Multikultural
itu diharapkan masing-masing warga daerah  tertentu bisa mengenal,
memahami, menghayati dan bisa saling berkomunikasi.
b. Pergeseran Kebudayaan dari Pusat ke Daerah
Sejak dilanda arus reformasi dan  demokratisasi, dalam arena
budaya itu terjadi pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah membawa
dampak besar terhadap pengakuan budaya lokal dan keragamannya.
Bila pada masa Orde baru, kebijakan yang terkait dengan kebudayaan
masih tersentralisasi, maka kini tidak lagi. Kebudayaan, sebagai
sebuah kekayaan bangsa, tidak dapat lagi diatur oleh kebijakan pusat,
melainkan dikembangkan dalam konteks budaya lokal masing-masing.
Ketika sesuatu bersentuhan dengan kekuasaan maka berbagai hal dapat
dimanfaatkan untuk merebut kekuasaan  ataupun melanggengkan
kekuasaan itu, termasuk di dalamnya isu kedaerahan.
c. Kurang Kokohnya Nasionalisme
Keragaman budaya ini membutuhkan adanya kekuatan yang
menyatukan (Integrating Force) seluruh pluralitas negeri  ini. Saat ini
Pancasila kurang mendapat perhatian dan kedudukan yang semestinya
sejak isu kedaerahan semakin semarak. Nasionalisme perlu ditegakkan
namun dengan cara-cara yang edukatif, persuasif dan manusiawi bukan 
dengan pengerahan kekuatan. Sejarah telah menunjukkan peranan
Pancasila yang kokoh untuk menyatukan kedaerahan ini. Bangsa

84 Pendidikan Multikultural
Indonesia sangat membutuhkan semangat nasionalisme yang kokoh
untuk meredam dan menghilangkan isu yang dapat memecah persatuan
dan kesatuan bangsa ini.
d. Fanatisme Sempit
Fanatisme  dalam  arti  luas  memang diperlukan, namun yang
salah yaitu fanatisme sempit, yang menganggap menganggap bahwa
kelompoknyalah yang paling benar, paling baik dan kelompok lain harus
dimusuhi. Terjadinya perseteruan dan perkelahian antara oknum aparat
kepolisian dengan oknum aparat tentara nasional Indonesia yang kerap
terjadi di tanah air ini juga merupakan contoh dari fanatisme sempit ini.
Apalagi bila fanatisme ini berbaur dengan isu agama (misalnya di Ambon,
Maluku dan Poso, Sulawesi Tengah), maka akan dapat menimbulkan
gejala ke arah disintegrasi bangsa.
e. Konflik Kesatuan Nasional dan Multi Kultural
Ada  tarik  menarik  antara  kepentingan kesatuan nasional dengan
gerakan multikultural. Di satu sisi ingin  mempertahankan kesatuan
bangsa dengan berorientasi pada stabilitas nasional. Namun dalam
penerapannya, kita pernah mengalami konsep stabilitas nasional ini
dimanipulasi untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik tertentu.
Adanya Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dapat menjadi contoh ketika
kebijakan penjagaan stabilitas nasional ini berubah menjadi tekanan
dan pengerah  kekuatan bersenjata.
Di  sisi  multikultural,  kita  melihat adanya upaya yang ingin
memisahkan diri dari kekuasaan pusat dengan dasar pembenaran budaya
yang berbeda dengan pemerintah pusat yang ada di Jawa ini, contohnya
adalah gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Papua.
f. Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Merata Antar Kelompok Budaya
Kejadian yang nampak bernuansa SARA seperti Sampit beberapa
waktu yang lalu setelah diselidiki ternyata berangkat dari kecemburuan
sosial yang melihat warga pendatang memiliki kehidupan sosial ekonomi
yang lebih baik dari warga asli. Jadi beberapa peristiwa di tanah air yang
bernuansa konflik budaya ternyata dipicu oleh persoalan kesejahteraan
ekonomi.
g. Keberpihakkan yang Salah dari Media Massa
Di  antara  media  massa  tentu ada ideologi yang  sangat dijunjung
tinggi dan dihormati. Persoalan kebebasan pers, otonomi, hak publik
untuk mengetahui hendaknya diimbangi dengan tanggung jawab terhadap
dampak pemberitaan. Mereka juga perlu mewaspadai adanya pihak-

VII. Problemantika Pedagogis Pendidikan Multikultural 85


pihak tertentu yang pandai memanfaatkan media itu untuk kepentingan
tertentu,yang justru dapat merusak budaya Indonesia.

2. Problem Pembelajaran Multi Kultural


a. Masalah Seleksi dan Integrasi Isi (content selection and integration)
Mata Pelajaran
Masalah yang muncul dapat berupa ketidakmampuan guru memilih
aspek dan unsur budaya yang relevan dengan isi dan topik mata pelajaran.
Selain itu masih banyak guru yang belum dapat mengintegrasikan budaya
lokal dalam mata pelajaran yang diajarkan, sehingga pembelajaran
menjadi kurang bermakna bagi peserta didik. Untuk mengatasi problem
di atas, guru harus memiliki pengetahuan budaya yang memadai, selain
itu diperlukan sikap dan keterampilan yang bijaksana dalam memilih
metode atau materi pelajaran yang mengandung sensivitas budaya.
b. Masalah “Proses Mengkonstrusikan Pengetahuan” (the knowledge
construction process)
Masalah proses mengkonstruksi sebuah pengetahuan dapat menjadi
problem bagi pendidikan mutikultural. Jika peserta didik terdiri dari
berbagai budaya, etnis, agama, dan golongan dapat memunculkan
kesulitan tersendiri untuk menyusun sebuah bangunan pengetahuan yang
berlandaskan atas dasar perbedaan dan keragaman budaya. Seringkali
muncul kesulitan dalam menentukan aspek budaya mana yang dapat
dipilih untuk membantu peserta didik memahami konsep kunci secara
tepat.
c. Masalah Mengurangi Prasangka (prejudice reduction)
Salah satu masalah Iain yang muncul dalam pembelajaran mutikultural
adalah adanya prasangka dari peserta didik terhadap guru bahwa guru
tertentu cenderung mengutamakan unsur budaya kelompok tertentu.
Selain itu, guru belum dapat mengusahakan kerjasama (cooperation)
dan pengertian bahwa strategi pemakaian budaya tertentu bukan
merupakan kompetisi, tetapi sebuah kebersamaan. oleh karena itu guru
harus mengusahakan bagaimana agar peserta didik yang belum mengenal
budaya yang dijadikan media pembelajaran menjadi tidak berprasangka
bahwa guru cenderung mengutamakan budaya tertentu. Dengan
mengambil contoh yang sepadan, guru dapat menghindari prasangka
bahwa dia mengutamakan unsur budaya tertentu. Situasi tersebut
mendorong kebersamaan antar peserta didik dan saling memperkaya
unsur budaya masing-masing.

86 Pendidikan Multikultural
d. Masalah Kesetaraan Pedagogi (equity paedagogy)
Masalah ini muncul apabila guru terlalu banyak memakai budaya
etnis atau kelompok tertentu dan (secara tidak sadar) menafikan budaya
kelompok lain. Untuk mempersiapkan atau memilih unsur budaya
membutuhkan waktu, tenaga dan referensi dari berbagai sumber dan
pustaka sehingga guru dapat melaksanakan kesetaraan paedagogi. Guru
harus memiliki “khasanah budaya” mengenai berbagai unsur budaya
dalam tema tertentu.

F. Upaya Penyelesaian Problematika Pendidikan Multi Kultural

Beberapa upaya yang dapat dilakukan demi penyelesaian problematika


atau permasalahan pada pendidikan multi kultural diantaranya :
1. Reformasi kurikulum yaitu diperlukan teori kurikulum baru, antara
lain yang berisi analisis historis, termasuk dianalisis buku-buku
pelajaran yang tidak sesuai dengan pluralisme budaya.
2. Mengajarkan prinsip-prinsip keadilan sosial juga dalam hal ini
diperlukan aksi-aksi budaya atau social action untuk mengembangkan
nilai nilai budaya dan ras.
3. Mengembanguan konpetensi multikultural. Hal ini meliputi
pengembangan identitas etnis dan sub etnis melalui kegiatan
kegiatan kebudayaan.
4. Melaksanakan pedagogik kesetaraan (equality pedaging). Pedagogik
kesetaraan dilaksanakan di sekolah misalnya cara belajar dan
mengajar yang tidak menyinggung perasaan atau tradisi dalam suatu
kelompok tertentu.”

RANGKUMAN

Tantangan-tantangan yang dihadapi Indonesia mengenai multi


kultural terdiri dari tantangan eksternal dan tantangan internal. Salah satu
tantangan eksternal adalah meningkatnya arus informasi dan komunikasi
global yang sangat sarat dan cepat yang dapat mempengaruhi semua
cabang kehidupan, misalnya pola pikir, orientasi, dan gaya hidup yang

VII. Problemantika Pedagogis Pendidikan Multikultural 87


lebih bersifat individualistik, hedonisme, eksklusifisme, dan kesantunan
yang kurang. Sedangkan, salah satu tantangan internal adalah etika dan
moralitas yang rendah yang terlihat pada tingkat kejahatan yang tinggi,
misalnya banyak kasus korupsi, perampokan, penipuan, penganiayaan,
pelecehan seksual, pelacuran, pemerkosaan, pembunuhan, dan narkoba.
Konsep dasar pendidikan multi kultural dilandasi oleh pandangan
pluralisme kultural atau multikulturalisme, yaitu pandangan yang
menyatakan bahwa setiap individu atau kelompok dalam suatu
masyarakat harus tetap menghormati keragaman kultural.
Pendidikan multikultural merupakan suatu tuntutan pedagogis
(pendidikan)  dalam rangka studi kultural yang melihat proses pendidikan
sebagai proses pembudayaan. Multikultural adalah gagasan yang lahir
dari fakta tentang perbedaan antar warga masyarakat. Pengalaman
hidup yang berbeda menumbuhkan kesadaran dan tata nilai berbeda,
yang kadang tampil berlatar belakang etnis berbeda. Adanya perbedaan
itulah yang sering memicu konflik karena memandang diri lebih benar,
baik, dan berkembang.
Terdapat dua hal yang menjadi problematika atau permasalahan pada
pendidikan multi kultural, yakni pendidikan multi kultural merupakan
suatu proses, artinya konsep pendidikan multi kultural yang baru dimulai
dalam dunia pendidikan di Indonesia merumuskan proses perumusan,
refleksi dan tindakan di lapangan sesuai dengan perkembangan konsep-
konsep yang fundamental mengenai pendidikan dan hak asasi manusia.
Serta, pendidikan multi kultural merupakan suatu yang multifaset,
oleh sebab itu meminta suatu pendekatan lintas disiplin ilmu, maupun
dari para pakar dan praktisi pendidikan untuk semakin lama semakin
memperluas dan mempertajam konsep pendidikan multi kultural yang
dibutuhkan oleh masyarakat.
Problematika pendidikan multi kultural dibagi menjadi 2,
yakni problematika kemasyarakatan pendidikan multi kultural dan
problematika pembelajaran multi kultural.
Upaya yang dapat diambil dalam mengatasi problematika pendidikan
multi kultural, yakni reformasi kurikulum, mengajarkan prinsip-prinsip
keadilan sosial pada siswa, mengembangkan kompetensi multi kultural,
dan melaksanakan pedagogik kesetaraan.
Keanekaragaman budaya (multi kultural) di Indonesia merupakan
sebuah anugerah, sehingga perlu dipahami bahwa keanekaragaman
budaya untuk mempererat persatuan dan kesatuan, bukan untuk

88 Pendidikan Multikultural
memecahbelah. Pada dasarnya usaha yang dilakukan negara cukup baik
dengan mengintegrasikan pemahaman keanekaragaman budaya melalui
pendidikan, walaupun tetap timbul beberapa permasalahan. Oleh karena
itu, walaupun dengan beberapa problematikanya, pendidikan multi
kultural harus tetap berjalan dan seiring waktu dapat terus diperbaiki
dengan mencari solusi atas permasalahan yang timbul nantinya.

TUGAS LATIHAN

1. Jabarkanlah tantangan-tantangan multi kultural di Indonesia !


2. Deskripsikan konsep dasar pendidikan multi kultural !
3. Jelaskan problematika pendidikan multi kultural !
4. Jelaskan faktor-faktor munculnya problematika pedagogis pendidi-
kan multi kultural !
5. Jabarkanlah problematika pendidikan multi kultural !
6. Jelaskan upaya penyelesaian problematika pendidikan multi kultural!

Daftar Rujukan

No Name. 2015. Problematika Pedagogis dalam Pendidikan (online).


(http://ppimabkin1416.blogspot.co.id, diakses 31 Januari 2018).
Rustanto, Bambang. 2015. Masyarakat Multikultur di Indonesia.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sonhadji, Ahmad. 2015. Membangun Peradaban Bangsa dalam Perspektif
Multikultural. Malang: Universitas Negeri Malang (UM Press).

VII. Problemantika Pedagogis Pendidikan Multikultural 89


BAB VIII
PERANAN SEKOLAH
SEBAGAI LEMBAGA
PENGEMBANGAN
PENDIDIKAN
MULTIKULTURAL

91
Tujuan Pembelajaran

1. Untuk mendeskripsikan peranan sekolah dasar sebagai sistem sosial.


2. Untuk mendeskripsikan Peranan Sekolah Dasar Sebagai Lembaga
Pengembangan Budaya.
3. Untuk mendeskripsikan peranan multikultural sebagai landasan
pendidikan.
4. Untuk mendeskripsikan perencanaan pembelajaran pendidikan
multikultural itu.
5. Untuk mendeskripsikan pengembangan pendekatan multikultural
sebagai ide.
6. Untuk mendeskripsikan langkah-langkah pembelajaran berbasis
budaya menuju transformasi kurikulum multikultural  di sekolah
dasar.
7. Untuk mendeskripsikan strategi pembelajaran dan metode untuk
humanisasi pendidikan multikultural.

Kerangka Isi
Pada bagian ini mendeskripsikan tentang, peranan sekolah
dasar sebagai sistem sosial, Peranan Sekolah Dasar Sebagai Lembaga
Pengembangan Budaya, peranan multikultural sebagai landasan
pendidikan, perencanaan pembelajaran pendidikan multikultural
itu, pengembangan pendekatan multikultural sebagai ide, langkah-
langkah pembelajaran berbasis budaya menuju transformasi kurikulum
multikultural  di sekolah dasar, strategi pembelajaran dan metode untuk
humanisasi pendidikan multikultural.

92
A. Peranan Sekolah Dasar Sebagai Sistem Sosial

Sistem sosial adalah proses bertingkah laku (dalam masyarakat)


yang saling memengaruhi dan terdapat kegiatan berulang tetap secara
teratur. Faktor penting yang memiliki kekuatan mengintegrasikan sistem
sosial adalah consensus antar anggota masyarakat tentang nilai-nilai
tertentu. Reaksi dari suatu sistem sosial terhadap perubahan-perubahan
yang datang dari luar (extra system echange) tidak selalu bersifat
adjustive. Sebuah sistem sosial dalam kurun waktu tertentu dapat juga
mengalami konflik-konflik sosial yang bersifat visious circle.
Sekolah sebagai sistem sosial pada hakikatnya merupakan susunan
dari peran dan status yang berbeda-beda, dimana masing-masing
bagian tersebut terkonsentrasi pada satu kekuatan legal struktural yang
menggerakkan daya orientasi demi mencapai tujuan tertentu. Tentu saja
sistem sosial tersebut bermuara pada status sekolah sebagai lembaga
formal. Sosialisasi dan enkulturasi melalui pendidikan dengan belajar
adat (kebiasaan sosial).
Lingkungan sekolah merupakan suatu sistem yang terdiri dari
sejumlah variabel dan faktor utama yang dapat diidentifikasi sebagai
budaya sekolah, kebijakan dan politik sekolah, kurikulum formal, dan
bidang studi. Variabel dan faktor sekolah sebagai sistem sosial itu antara
lain :
1. Kebijakan dan politik sekolah
Kebijakan dan politik sekolah sangat menentukan ke arah mana anak
didik akan dikembangkan potensinya. Kebijakan dan politik sekolah yang
bernuansa khas dan unggul dapat dikembangkan oleh sekolah itu secara
terencana dan berkelanjutan.
2. Budaya sekolah dan kurikulum yang tersembunyi (hidden curriculum)
Budaya yang berlangsung di sekolah dan kurikulum yang tersembunyi
sangat menentukan kepribadian yang dikembangkan pada lingkungan
sekolah. Misalnya di Sekolah Dasar tertentu dibudayakan untuk setiap
hari guru atau kepala sekolah menyambut kedatangan siswa di depan
pagar secara bergiliran untuk bersalaman untuk mengajarkan nilai
keakraban, kekeluargaan, rasa saling hormat dan kasih sayang.
3. Gaya belajar dan sekolah
Gaya belajar siswa hendaknya diperhitungkan oleh sekolah dalam
pembuatan kebijakan dan dalam menciptakan gaya (style) sekolah itu
dalam menciptakan kondisi belajar yang nyaman dan akrab dengan

VIII. Peranan Sekolah sebagai Lembaga Pengembangan Pendidikan Multikultural 93


kondisi siswa. Tentu tidak sama gaya sekolah perkotaan dengan segala
fasilitasnya dengan gaya sekolah pedesaan.
4. Bahasa dan dialek sekolah
Bahasa dan dialek sekolah di sini berkaitan dengan bahasa dan
dialek yang digunakan di sekolah di mana sekolah itu berada. SD di
Jawa, khususnya Jawa Tengah atau sebagian Jawa Timur yang banyak
menggunakan bahasa dan dialek Jawa dapat membuat program mingguan
misalnya. Kegiatan ini untuk menumbuh sikap hormat dan kesantunan
pada anak didik lewat penggunaan bahasa dan dialek yang dibudayakan
di sekolah.
5. Partisipasi dan input masyarakat
Bila kesadaran masyarakat akan pendidikan tinggi dan komite
sekolah dipimpin oleh orang yang memiliki wawasan pendidikan yang
baik maka sekolah itu akan banyak mendapat bantuan dari masyarakat,
baik dana maupun pemantauan ke arah pengembangan sekolah ke
depan. Untuk itu Komite Sekolah perlu dipimpin oleh orang yang bukan
saja dikenal, disegani dan berpengaruh di masyarakat, tetapi juga orang
yang memiliki komitemen yang tinggi terhadap kemajuan pendidikan
putra-putrinya.
6. Program penyuluhan/konseling
Program bimbingan dan penyuluhan/konseling akan berperanan
dalam membantu mengatasi kesulitan belajar pada anak, baik itu
anak yang mengalami kelambatan belajar maupun anak yang memiliki
bakat khusus. Kemungkinan ada anak yang lemah dalam mata pelajaran
tertentu ternyata dia memiliki bakat yang besar dalam menari dan
menyanyi yang membutuhkan penyaluran bakat yang memadai.
7. Prosedur asesmen dan pengujian
Asesmen dan pengujian tidak identik dengan duduk di kelas dan
mengerjakan soal dalam bentuk paper-pencil test. Asesmen bersifat
holistik yang menggambarkan kemampuan aktual keseharian anak.
Anak akan dinilai secara beda dalam arti dikurangi skornya bila dia
terlibat dalam tindakan yang kurang bermoral atau sebaliknya, siswa
yang menunjukkan penampilan dan sikap yang baik akan mendapat skor
tambahan.
8. Materi pembelajaran
Materi pelajaran pada semua bidang studi atau bidang yang paling
cocok dapat memasukkan materi budaya itu dalam pembelajaran. Perlu
ada bidang studi Pendidikan Multikultural tersendiri di sekolah dasar

94 Pendidikan Multikultural
untuk lebih mengenalkan budaya secara lebih terencana, terorganisir
dan matang, bukan sekedar dititipkan pada materi yang ada pada bidang
studi yang lain.
9. Gaya dan strategi mengajar
Tentunya guru yang sedang mengajar anak didiknya tentunya sarat
dengan nilai budaya. Dia memiliki ideologi dan nilai-nilai budaya yang
diperoleh sepanjang hidupnya. Hal itu tentunya sangat mewarnai gaya
dan strategi mengajar yang dia gunakan di sekolah.
10. Sikap, persepsi, kepercayaan dan perilaku staf sekolah
Seluruh staf yang mendukung pembelajaran akan sangat membantu
menciptakan kondisi pembelajaran yang diinginkan dan begitu juga
sebaliknya. Staf sekolah bukan sekedar berurusan dengan benda mati
seperti kertas, penggaris, alat tulis atau tanaman yang ada di sekolah,
namun bergaul dengan seluruh komponen sekolah. Sikap sinis dan tidak
peduli dari staf sekolah akan sangat mempengaruhi kinerja sekolah.
Untuk itu perlulah memilih orang yang benar-benar cocok untuk profesi
itu.

B. Peranan Sekolah Dasar Sebagai Lembaga Pengembangan


Budaya

Pendidikan Multikultural juga merupakan proses di mana tujuan-


tujuannya tidak akan pernah terealisasi secara penuh. Persamaan
pendidikan seperti kebebasan dan keadilan merupakan ideal terhadap
mana umat manusia bekerja namun tidak pernah tercapai secara penuh.
Ras, sex, dan diskrimininasi akan tetap ada tidak peduli bagaimana
kerja keras kita untuk menghilangkan masalah ini. Jika prasangka
dan diskriminasi direduksi dalam satu kelompok, keduanya biasanya
ditujukan pada kelompok lain atau keduanya mengambil bentuk yang
baru. Karena tujuan Pendidikan Multikultural tidak akan pernah tercapai
secara penuh, kita harus bekerja terencana dan berkelanjutan untuk
meningkatkan persamaan pendidikan bagi semua siswa.
Pendidikan Multikultural harus dipandang sebagai suatu proses
pelibatan (anongoing process), dan bukan sebagai sesuatu yang kita
“lakukan dengan segera”. Oleh karena itu memecahkan masalah ini
menjadi target reformasi Pendidikan Multikultural. Jika kita bertanya
pada staf sekolah yang berusaha mengimplementasikan Pendidikan

VIII. Peranan Sekolah sebagai Lembaga Pengembangan Pendidikan Multikultural 95


Multikultural di sekolahnya, ia berkata bahwa sekolahnya telah
“melakukan” Pendidikan Multikultural tahun lalu dan sekarang sedang
memulai reformasi yang lain, seperti memperbaiki skor membaca.
Administrator ini bukan saja tidak memahami sifat dan ruang lingkup
Pendidikan Multikultural, namun juga tidak memahami bahwa tujuan
utama Pendidikan Multikultural adalah memperbaiki prestasi akademik.
Multikutural adalah suatu realita masyarakat dan bangsa Indonesia.
Realita tersebut memang berposisi sebagai objek dalam proses
pengembangan perencanaan dan pelaksanaan pendidikan, termasuk
di dalamnya Pendidikan Multikultural. Tetapi posisi sebagai objek
yang terabaikan dalam pengembangan perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran ini berubah menjadi subjek yang menentukan dalam
implementasinya. Sekalipun sebenarnya multikultural menjadi penentu
dalam implementasi tetapi tetap tidak dijadikan landasan ketika guru
mengembangkan pembelajaran. Padahal multikultural itu berpengaruh
langsung terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran,
kemampuan sekolah dalam memberikan pengalaman belajar, dan
kemampuan siswa dalam proses belajar serta mengolah informasi
menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan sebagai hasil belajar.
Artinya, multikultural itu menjadi penentu yang memiliki sumbangan
terhadap keberhasilan
Oleh karena itu, multikultural tersebut harus menjadi faktor yang
dipertimbangkan dalam penentuan filsafat,teori, visi, pengembangan
pembelajaran pendidikan,termasuk di dalamnya Pendidikan Multikul-
tural.

C. Multikultural Sebagai Landasan Pembelajaran

Kedudukan kebudayaan dalam suatu proses pembelajaran sangat


penting tetapi dalam realita proses pengembangan sering hanya
ditentukan oleh pandangan pengembang tentang perkembangan ilmu
dan teknologi. Secara intrinsik filosofi, visi, dan tujuan pendidikan
para pengembang pembelajaran sangat dipengaruhi oleh akar budaya
pengembang yang melandasi pandangan hidupnya. Longsreet dan Shane
(1993:162) menyatakan bahwa kita umumnya tidak menyadari berbagai
kualitas yang dibentuk oleh budaya yang menjadi ciri perilaku kita.

96 Pendidikan Multikultural
Landasan lain yang diperlukan dalam pengembangan pembelajaran
adalah teori belajar. Dalam buku yang berjudul sociocultural origins
of achievement, Maehr (1974) mengatakan bahwa keterkaitan antara
kebudayaan dan bahasa, persepsi, kognisi, keinginan berprestasi,
motivasi berprestasi merupakan faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap belajar siswa.
Webb (1990) dan Burnett (1994) menunjukkan pentingnya pertim-
bangan budaya dalam meningkatkan proses belajar siswa. Delpit (Dar-
ling-Hammond, 1996:12) mengatakan bahwa kita semua menginterpre-
tasikan perilaku, informasi, dan situasi melalui lensa budaya kita sendiri,
yang tersirat di dalam cara pandang kita. Hal senada dikemukakan pula
oleh Wloodkowski dan Ginsberg (1995) yang menyatakan bahwa kebu-
dayaan adalah dasar dari motivasi intrinsik dan mengembangkan model
belajar yang komprehensif dalam arti pengajaran yang responsif ter-
hadap kultural. Model ini merupakan pedagogi lintas disiplin dan lintas
budaya.
Pemberlakuan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi
daerah tidak otomatis memberlakukan pendekatan multikultural
dalam pengembangan pembelajaran di Indonesia. Perencanaan dan
pelaksanaan pembelajaran yang menggunakan pendekatan multikultural
haruslah dikembangkan dengan kesadaran dan pemahaman yang
mendalam tentang pendekatan multikultural. Andersen dan Cusher
(1994:320) mengatakan bahwa multikultural adalah pendidikan
mengenai keragaman kebudayaan. Posisi kebudayaan menjadi sesuatu
yang dipelajari; jadi berstatus sebagai obyek studi. Dengan perkataan
lain, keragaman kebudayaan menjadi materi pelajaran yang harus
diperhatikan para pengembang pembelajaran.

D. Perencanaan Pembelajaran Pendidikan Multikultural

Untuk konteks otonomi, pengembangan ide dan pelaksanaan pemb-


elajaran dari pusat lebih banyak berisikan prinsip dan petunjuk teknis
sedangkan kewenangan dalam pengembangan yang lebih operasional
dan rinci diberikan kepada daerah. Pada konteks sentralisasi, pengem-
bangan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran sebagai ide dan
pelaksanaan pembelajaran memang tetap ada pada pusat tetapi harus

VIII. Peranan Sekolah sebagai Lembaga Pengembangan Pendidikan Multikultural 97


tetap memberikan ruang yang besar bagi daerah untuk memasukkan
karakteristik budayanya.
Pengembangan perencanaan dan pelaksanaan sebagai proses terjadi
pada unit pendidikan dalam hal ini adalah sekolah. Pengembangan
ini haruslah didahului oleh sosialisasi agar para pengembang (guru)
dapat mengembangkan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran,
proses belajar di kelas, dan evaluasi sesuai dengan prinsip pendekatan
multikultural. Diperlukan adanya tim sosialisasi yang sepenuhnya faham
dengan karakteristik perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran
multikultural. Pada tahap ini, target utama adalah para guru faham dan
berkeinginan untuk mengembangkan RPP multikultural dalam kegiatan
belajar yang menjadi tanggung jawabnya.

E. Pengembangan Pendekatan Multikultural Sebagai Ide

Pendekatan multikultural bukan saja mampu menjadi media


pengembangan budaya lokal tetapi juga merupakan media pengembang
budaya nasional, maupun budaya universal. Kebudayaan lokal menjadi
dasar dalam mengembangkan kebudayaan nasional. Kebudayaan
nasional itu menjadi landasan dalam memahami budaya universal.
Pengembangan perencanaan dan pelaksanaan dalam dimensi ide harus
jelas mengungkapkan hal ini dan kemudian harus tercermin dalam
pengembangan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran.
1. Pengembangan Pendekatan Multikultural Sebagai Gerakan
Pengembangan pendekatan multikultural sebagai gerakan
menyangkut pengembangan pembelajaran berbasis budaya. Seluruh
komponen sekolah harus berlandaskan budaya. Pembelajaran seperti
tujuan, konten, pengalaman belajar, dan evaluasi dilakukan dengan
berbasiskan budaya. Para pengembang harus dapat membuka diri untuk
menyadari bahwa tidak semua kualitas manusia dapat diukur berdasarkan
kriteria tertentu. Ada tujuan-tujuan yang dapat diukur dan dikuasai
dalam satu atau dua pengalaman belajar, tetapi ada juga tujuan yang
baru tercapai dalam waktu belajar yang panjang.
Masyarakat sebagai sumber belajar harus dapat dimanfaatkan
sebagai sumber konten perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran.
Oleh karena itu, nilai, moral, kebiasaan, adat/tradisi, dan cultural
traits tertentu harus dapat diakomodasi sebagai konten perencanaan

98 Pendidikan Multikultural
dan pelaksanaan pembelajaran. Konten pembelajaran haruslah tidak
bersifat formal semata tetapi society and cultural-based, dan terbuka
pada masalah yang hidup dalam masyarakat. Konten pembelajaran
haruslah menyebabkan siswa merasa bahwa sekolah bukanlah institusi
yang lepas dengan masyarakat, tetapi sekolah adalah suatu lembaga
sosial dan lembaga budaya yang hidup dan berkembang di masyarakat.

2. Pengembangan Perencanaan dan pelaksanaan Pembelajaran Sebagai


Proses
Pengembangan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran
sebagai proses sangat ditentukan oleh guru berdasarkan kondisi budaya
siswa. Pendidikan Multikultural sebagai proses harus sesuai Pendidikan
Multikultural dengan sebagai ide. Pengetahuan, pemahaman, dan sikap,
serta kemauan guru terhadap Pendidikan Multikultural akan sangat
menentukan keberhasilan pelaksanaan perencanaan dan pelaksanaan
sebagai proses.
Ada empat hal yang harus diperhatikan guru dalam mengembangkan
Pendidikan Multikultural sebagai proses, yaitu:
a) Posisi siswa sebagai subjek dalam belajar,
b) Cara belajar siswa yang ditentukan oleh latar belakang budayanya,
c) Lingkungan budaya mayoritas masyarakat dan pribadi siswa adalah
entry behavior kultural,
d) Lingkungan budaya siswa sebagai sumber belajar.

F. Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Budaya Menuju


Transformasi Kurikulum Multikultural di Sekolah Dasar

Tahap transformasi kurikulum berikut diadaptasi dari beberapa


model yang ada, termasuk oleh Banks (1993) dan McIntosh (2000), dan
Paul C. Gorski.
Tahap 1. Status Quo atau Kurikulum Dominan (curriculum of the
mainstream)
Sleeter dan Grant (1999: 37) melihat tahap ini bertujuan
mengasimilasi siswa yang terabaikan. Kurikulum dan pembelajaran
berfokus pada “strategi mengajar yang memperbaiki kekurangan atau
membangun jembatan antara siswa dan sekolah”. Menurut Gorski,
kelompok status quo di Amerika adalah kulit putih, pria, kelas menengah

VIII. Peranan Sekolah sebagai Lembaga Pengembangan Pendidikan Multikultural 99


atas, dan Kristen Protestan. Tahap ini berbahaya baik bagi siswa yang
mengidentifikasi dengan budaya dominan maupun individu dari kelompok
non dominan.

Tahap 2. Hari Libur dan Pahlawan (Makanan, Festival, & Kesenangan)


Pada tahap ini ada kegiatan “merayakan” perbedaan dengan
menyatukan informasi atau sumber tentang pagelaran tentang “aneka
budaya” yang berfokus pada kostum, makanan, musik, dan item budaya
yang dapat diraba lainnya (other tangible cultural items). Kekuatan dari
tahap ini adalah bahwa pengajar mencoba mendiversifikasi kurikulum
dengan memberi materi dan pengetahuan di luar budaya dominan.
Kalau di Amerika pada tahap ini, Pendidikan Multikultural dipraktekkan
sebagai pekan raya makanan internasional (an international food fair)
atau peringatan representatif tertentu dari suatu kelompok. Bentuknya
bisa berupa kegiatan festival yang bernuansakan kesenangan. Kalau di
AS siswa memakai hiasan kepala atau tomahawks untuk mempelajari
budaya Amerika Asli (Native American culture), kalau di Indonesia siswa
memakai kostum suku Dayak, Papua atau Jawa. Guru ikut terlibat di
dalam bazar tersebut. Di dalam festival itu ditayangkan poster wanita
terkenal atau gambar orang dari kelompok multikultural.

Tahap 3. Integrasi
Pada tahap Integrasi, guru melampaui kepahlawanan dan hari
libur dengan menambahkan materi dan pengetahuan substansial
tentang kelompok bukan dominan ke dalam kurikulum. Pengajar dapat
menambahkan pada koleksi buku yang ditulis oleh penulis dari kelompok
lain. Ia dapat menambahkan suatu unit yang mencakup, misalnya,
peranan wanita pada Perang Dunia I. Guru musik dapat menambahkan
tarian Cakalele dari Maluku Utara. Pada level sekolah, sejarah kota
tertentu dapat ditambahkan pada keseluruhan kurikulum. Kekuatan
tahap integrasi adalah melampaui peringatan khusus dengan memberi
isu dan konsep nyata dan yang lebih meletakkan materi baru ke dalam
kurikulum.

Tahap 4. Belajar dan Mengajar Antarbudaya (Kamus Budaya)


Guru mempelajari tradisi dan perilaku budaya asal siswanya dalam
upaya untuk lebih memahami bagaimana guru itu harus memperlakukan
siswa itu. Di Barat, khususnya Amerika Serikat, guru memiliki buku

100 Pendidikan Multikultural


pegangan yang mendeskripsikan bagaimana mereka seharusnya
berhubungan dengan siswa Afrika- Amerika, siswa Latin, siswa Asia
Amerika, siswa Amerika Asli, dan kelompok lain berdasarkan interpretasi
terhadap tradisi dan gaya komunikasi dari kelompok tertentu itu. Di
Indonesia, khususnya di Jawa guru perlu lebih mengenal budaya Jawa
secara utuh budaya Jawa walaupun dia berasal dari luar Jawa.

Tahap 5. Reformasi Struktural


Materi, perspektif, dan suara baru diserukan dengan kerangka kerja
pengetahuan yang mutakhir untuk memberi tahap pemahaman baru
dari kurikulum yang lebih lengkap dan akurat. Guru mendedikasikan
dirinya untuk memperluas dasar pengetahuannya secara berkelanjutan
melalui eksplorasi berbagai perspektif, dan berbagi pengetahuan dengan
siswanya. Misalnya, “Sejarah Amerika” mencakup sejarah orang Afrika-
Amerika, Sejarah Wanita, Sejarah orang Asia Amerika, Sejarah orang
Amerika Latin, dan semua bidang pengetahuan yang berbeda.

Tahap 6. Hubungan Manusia (Mengapa kita tidak semuanya ikut serta)


Anggota masyarakat sekolah didorong untuk memperingati
perbedaan dengan membuat hubungan lintas identitas kelompok yang
berbeda. Guru menggambarkan pengalaman pribadi siswa sehingga siswa
dapat belajar dari masing-masing yang lain. Melalui hubungan antar
pribadi, itu siswa dapat mengenal budaya siswa yang lain. Perbedaan
pengalaman dan budaya siswa yang berbeda- beda itu dilihat sebagai
aset yang memperkaya pengalaman kelas.

Tahap 7. Pendidikan Multikultural Selektif (Pendidikan Multikultural


secara temporer)
Guru dan staf memulai program temporer dan satu waktu tertentu
dengan mengenal adanya keketidak samaan dalam berbagai aspek
pendidikan. Mereka dipanggil bersama-sama dalam suatu pertemuan
untuk mendiskusikan konflik rasial atau mendatangkan seorang konsultan
untuk membantu guru merancang perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran yang ditujukan untuk berbagai kelompok yang berbeda.
Mereka mungkin menciptakan suatu program untuk melibatkan siswa
wanita dalam mencapai prestasi matematik dan sains secara optimal.

VIII. Peranan Sekolah sebagai Lembaga Pengembangan Pendidikan Multikultural 101


Tahap 8. Pendidikan Multikultural Transformatif (Pendidikan
persamaan dan Keadilan Sosial)
Semua praktek pendidikan dimulai dengan penentuan yang sama
pada semua aspek sekolah dan persekolahan dan menjamin bahwa
semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk menggapai
potensi sepenuhnya sebagai pelajar. Semua praktek pendidikan yang
menguntungkan suatu kelompok yang merugikan kelompok lain diubah
untuk menjamin persamaan.

G. Strategi Pembelajaran dan Metode untuk Humanisasi


Pendidikan Multikultural

Pilihan strategi yang digunakan dalam mengembangkan pembelaja-


raan berbasis multikultural, antara lain: strategi kegiatan belajar bersa-
ma-sama (Cooperative Learning), yang dipadukan dengan strategi pen-
capaian konsep (Concept Attainment) dan strategi analisis nilai (Value
Analysis); strategi analisis sosial (Social Investigation). Beberapa Pilhan
strategi ini dilaksanakan secara simultan, dan harus tergambar dalam
langkah-langkah model pembelajaran berbasis multikultural.
1. Strategi Pencapaian Konsep
Digunakan untuk memfasilitasi siswa dalam melakukan kegiatan
eksplorasi budaya lokal untuk menemukan konsep budaya apa yang
dianggap menarik bagi dirinya dari budaya daerah masing-masing, dan
selanjutnya menggali nilai-nilai yang terkandung dalam budaya daerah
asal tersebut.
2. Strategi cooperative learning
Digunakan untuk menandai adanya perkembangan kemampuan siswa
dalam belajar bersama-sama mensosialisasikan konsep dan nilai budaya
lokal dari daerahnya dalam komunitas belajar bersama teman. Dalam
tataran belajar dengan pendekatan multikultural, penggunaan strategi
cooperative learning, diharapkan mampu meningkatkan kadar partisipasi
siswa dalam melakukan rekomendasi nilai-nilai lokal serta membangun
cara pandang kebangsaan, meningkatkan kualitas dan efektivitas proses
belajar siswa, suasana belajar yang kondusif dalam pembelajaran.
3. Strategi analisis sosial
Difokuskan untuk melatih kemampuan siswa berpikir secara induktif,
dari setting ekspresi dan komitmen nilai-nilai budaya lokal (cara pandang

102 Pendidikan Multikultural


lokal) menuju kerangka dan bangunan tata pikir atau cara pandang yang
lebih luas dalam lingkup nasional (melalui cara pandang kebangsaan).
4. Strategi analisis nilai
Dari kemampuan ini, siswa memiliki keterampilan mengembangkan
kecakapan hidup dalam menghormati budaya lain, toleransi terhadap
perbedaan, akomodatif, terbuka dan jujur dalam berinteraksi dengan
teman (orang lain) yang berbeda suku, agama etnis dan budayanya,
memiliki empati yang tinggi terhadap perbedaan budaya lain, dan mampu
mengelola konflik dengan tanpa kekerasan (conflict non violent).
Bertolak dari keempat strategi pembelajaran di atas, pola
pembelajaran berbasis multikultural dilakukan untuk meningkatkan
kesadaran diri siswa terhadap nilai-nilai keberbedaan dan keberagaman
yang melekat pada kehidupan siswa lokal sebagai faktor yang sangat
potensial dalam membangun cara pandang kebangsaan. Dengan
kesadaran diri siswa terhadap nilai-nilai lokal, siswa di samping memiliki
ketegaran dan ketangguhan secara pribadi, juga mampu melakukan
pilihan-pilihan rasional (rational choice) ketika berhadapan dengan isu-
isu lokal, nasional dan global. Siswa mampu menatap perspektif global
sebagai suatu realitas yang tidak selalu dimaknai secara emosional, akan
tetapi juga rasional serta tetap sadar akan jati diri bangsa dan negaranya.
Kemampuan akademik tersebut, salah satu indikasinya ditampakkan
oleh siswa dalam perolehan hasil pembelajaran yang dialami.
Kriteria yang dapat digunakan untuk mengetahui keberhasilan
kegiatan belajar siswa adalah laporan kerja (makalah), unjuk kerja dan
partisipasi yang ditampilkan oleh siswa dalam pembelajaran dengan
cara diskusi dan curah pendapat, yang meliputi rasional berpendapat,
toleransi dan empati terhadap menatap nilai-nilai budaya daerah asal
teman, serta perkembangan prestasi belajar siswa setelah mengikuti tes
di akhir pembelajaran. Selain itu, kriteria lain yang dapat digunakan
adalah unjuk kerja yang ditampilkan oleh guru di dalam melaksanakan
pendekatan multikultural dalam pembelajarannya.
Guru yang bersangkutan selalu terlibat dalam setiap fase kegiatan
pembelajaran, baik dalam kegiatan diskusi dan refleksi hasil temuan
awal, penyusunan rencana tindakan, pelaksanaan tindakan, pengamatan
dalam pelaksaan tindakan, diskusi dan refleksi hasil pelaksanaan
tindakan, dan penentuan/penyususunan rencana tindakan selanjutnya
dalam pencapain Tujuan Pembelajaran.

VIII. Peranan Sekolah sebagai Lembaga Pengembangan Pendidikan Multikultural 103


Pernikahan adat provinsi Aceh

RANGKUMAN

Sekolah sebagai system social pada hakikatnya merupakan susunan


dari peran dan status yang berbeda-beda, dimana masing-masing
bagian tersebut terkonsentrasi pada satu kekuatan legal structural
yang menggerakkan daya orientasi demi mencapai tujuan tertentu.
Secara intrinsik filosofi, visi, dan tujuan pendidikan para pengembang
pembelajaran sangat dipengaruhi oleh akar budaya pengembang yang
melandasi pandangan hidupnya.
Pengembangan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran multi-
kultural haruslah didahului oleh sosialisasi agar para pengembang (guru)
dapat mengembangkan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran,
proses belajar di kelas, dan evaluasi sesuai dengan prinsip pendekatan
multikultural. Pendekatan multikultural bukan saja mampu menjadi me-
dia pengembangan budaya lokal tetapi juga merupakan media pengem-
bang budaya nasional, maupun budaya universal.

104 Pendidikan Multikultural


Langkah-langkah pembelajaran berbasis budaya menuju transformasi
kurikulum multikultural di sekolah dasar yaitu status quo atau kurikulum
dominan, hari libur dan pahlawan (makanan, festival, & kesenangan),
integrasi, belajar dan mengajar antarbudaya, reformasi structural,
hubungan manusia, pendidikan multikultural selektif (, pendidikan
multikultural transformatif (pendidikan persamaan dan keadilan sosial).
Beberapa Pilhan strategi ini dilaksanakan secara simultan, dan
harus tergambar dalam langkah-langkah model pembelajaran berbasis
multicultural adalah strategi pencapaian konsep, strategi cooperative
learning, strategi analisis social, dan strategi analisis nilai.
Sebagai calon pendidik di sekolah dasar, penting bagi mahasiswa
memahami peran sekolah sebagai lembaga pengembang pendidikan
multikultural. Agar ketika menjadi guru, kita mampu melaksanakan
pendidikan multikultural tersebut dengan baik di sekolah.

TUGAS LATIHAN

1. Deskripsikan peranan sekolah dasar sebagai sistem sosial !


2. Deskripsikan peranan Sekolah Dasar Sebagai Lembaga Pengembangan
Budaya !
3. Deskripsikan peranan multikultural sebagai landasan pendidikan !
4. Deskripsikan perencanaan pembelajaran pendidikan multikultural
itu !
5. Deskripsikan pengembangan pendekatan multikultural sebagai ide !
6. Deskripsikan langkah-langkah pembelajaran berbasis budaya menuju
transformasi kurikulum multikultural  di sekolah dasar !
7. Deskripsikan strategi pembelajaran dan metode untuk humanisasi
pendidikan multikultural !

Daftar Rujukan

Arifah, Muin. 2014. Peran Sekolah Sebagai Lembaga Sosial, (Online),


http://muinarifah.blogspot.co.id/2014/08/sekolah-adalah-sistem-
sosial.html. Diakses 30 Januari 2018.

VIII. Peranan Sekolah sebagai Lembaga Pengembangan Pendidikan Multikultural 105


Mahfud, Choirul. 2005. Pendidikan Multikultural. Sidoarjo: Pustaka
Pelajar.

Zainudin. 2016. Peran Sekolah Sebgai Lembaga Pengembang Pendidikan


Multikultural, (Online), http://zainudin92.blogspot.co.id/2016/06/
makalah-tentang-peranan-sekolah-dasar.html. Diakses 30 Januari
2018

106 Pendidikan Multikultural


BAB IX
RANCANGAN PENDIDIKAN
MULTIKULTURAL

Tari soya-soya - ternate

Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari pembelajaran pada bagian ini anda diharapkan
memiliki kemampuan sebagai berikut :
1. Mampu Merancang Pendidikan Multikultural
2. Mengenal Fondasi Pendidikan Multikultural
3. Menjelaskan Perkembangan Mutakhir Pendidikan Multikultural
4. Menjelaskan Focus Domain Pendidikan Multikultural
5. Menjelaskan Kontekstualisasi Pendidikan Multikultural

107
Kerangka Isi

Pada bagian ini memaparkan masalah-masalah pokok yang berkaitan


dengan cara mengajarkan cara merancang pendidikan multikultural,
mengenal fondasi pendidikan multikultural menjelaskan focus domain
pendidikan multikultural, menjelaskan kontekstualisasi pendidikan
multikultural.

108
A. Fondasi Pendidikan Multikultural

Fungsi sosial yang diperankan secara penuh dalam membina hubungan


antar umat beragama, menempatkan para pempinan lembaga pendidikan
keagamaan untuk memposisikan dirinya sebagai figur mumultural. Pada
saat itulah pimprnan lembaga pendidikan keagamaan, tampil menjadi
patron yang menghubungkan kepentingan agama dan negara. Dalam
konteks mi, pimpinan lembaga keagamaan berperan sebagai aktor
yang memposisikan pendidikan multikultural sebagai piranti untuk
mensintesakan antara ideologi agama dan ideolog Pancasila.
Pada mulanya penyebarluasan wacana multikultural melalui berbagai
kegiatan afirmative action yang diarahkan untuk menolak anti rasisme
dan diskriminasi kemudian dilanjutkan dengan cara menyebarluaskan
konsep multikulturalisme dalam pengajaran dan pendidikan di sekolah-
sekolah. Wacana multikultural telah menemukan momentumnya sejak
dasawarsa 1970-an setelah sebelumnya di AS dikembangkan “pendidikan
interkultural” berhadapan dengan meningkat. nya “multikulturalisme”
di negara-negara tersebut. Keseriusan pemerintah AS misalnya, terhadap
kajian multikltural disambut hangat kalangan masyarakat intelektual,
tercermin dari teori “melting pot” dan teori “salad bowl” yang
sempat dikembangkan, walaupun keduanya pada akhirnya mengalami
kegagalan. Begitu pula kalangan masyarakat intelektual, tercermin dari
upaya lembaga “Badan Komunikasi Internasional dan Antarbudaya” yang
secara berkala menerbitkan majalah tahunan “Annunl” yang di pelopori
oleh Fred Casmir, pada tahun 1974, yang berorientasi pada kajian-
kajian komunikasi multikultural. Peristiwa-peristiwa di dalam sejarah
negara-negara Barat khususnya setelah perang dunia II, telah ikut andil
membangkitkan semangat gagasan multikultural sampai dekade terakhir
abad 20.
Dengan memaknai keberagaman budaya, mengantarkan multikul-
turalisme pada permasalahan ideologis. Sebagian membicarakan budaya
sebagai sosok formal (official cultural), sedang yang lain membicara-
kan budaya polular (oppositional cultural). Kedua posisi pengamatan
tersebut sepakat bahwa budaya dapat menjadi kekuatan yang bersifat
“pasif” maupun “revolusioner” dalam masyarakat. Bahkan Yang lain leb-
ih berani lagi berpendapat bahwa konsep budaya sebagai menara gading
bagi identitas suatu bangsa tidak lagi dapat dipertahankan. Sehingga ke-
tika komunitas dalam suatu masyarakat tertentu belum siap dan kurang

IX. Rancangan Pendidikan Multikultural 109


memiliki kesadaran akan multikultural, maka terjadinya konflik bukan
hanya merambah pada hubungan antar umat beragama saja, tetapi Juga
tenadi di dalam wilayah intern umat beragama. Apalagi konflik tersebut
dimotivasi oleh klaim kebenaran yang dlbungkus dalam simpul-simpul
interest, kepentingan-kepentingan pribadl atau kelompok, baik yang
bersifat politis maupun sosiologis, maka konflik multi dimensi tidak akan
bisa dibendung lagi.
Dalam menyikapi keberagaman arti kultur, langkah pertama yang
perlu dilakukan di dalam konteks pendldikan multikultural adalah
membangun pemahaman kita terleblh dahulu tentang karakteristik
kultur agar tidak terjebak hanya sebatas budaya dan kebiasaan semata,
karena munculnya perbedaan pada setiap definisi tentu tidak terlepas
dari ketidakmampuan moral untuk mengelaborasi kenyataan duniawi
yang kompleks. Untuk itu, dalam menyikapi klasifikasi tradisi besar (high
tradition) dan tradisi kecil (low tradition) dalam pandangan Amin dan
mikro kultur, sub kultur, makro kultur, dan super kultur dalam kaca mata
Purwasito, serta Kottak dengan dengan karakter-karakter kultur, tentu
membutuhkan kejelian secara khusus. Dalam perspektif yang Iebih luas
memberikan pemahaman untuk menentukan definisi mana yang mau
dijadikan pijakan, karena tercapainya suatu tujuan manakala terjadi
kesesuaian antara fokus kajian dan kerangka teoritis yang digunakan,
oleh karenanya, dalam memahami multikulturalisme, masing-masing
pengertian dapat digunakan secara proposional sesuai kebutuhan, suatu
saat “kultur” bisa dipahami dari sisi kegunaannya, bisa dari konteksnya,
atau bisa ketiga-tiganya sekaligus dan seterusnya.
Wacana multikulturalisme menemukan momentum unn tuk diprod-
uksi ulang ketika fenomena gesekan bahkan konflik lintas suku, agama,
dan antar aliran kepercayaan menjadi marak di Indonesia dekade ini. Hal
itu terlihat dalam konflik agama yang muncul di Maluku, Poso, Ambon.
Peristiwa Monas antara kelompok FPI dan AKBP, gejolak sosial yang tiada
henti di Aceh dan Papua, dan kerusuhan Iainya seperti di Sambas dan
Sampit. Fenomena konflik sebenarnya seiring dengan berdirinya negeri
ini, - dari hasil pengamatan Liddle seperti yang dikutip oleh Mudjia -
menunjukkan bahwa Indonesia merdeka memulai riwayatnya sebagai
sebuah negara demokrasi konstitusional yang bercirikan persaingan, dan
konflik Terlepas dari berbagai analisis tentang apakah akar disinteraksi
antar kelompok tersebut terletak pada wilayah politik, sosial, budaya,

110 Pendidikan Multikultural


atau agama, tidak salah jika wilayah pendidikan mulai dipersoalkan ban-
yak pihak. Sebab, dari sinilah nilai-nilai dan sikap sosial itu ditanamkan.
Multikulturalisme dengan demikian menjadi kian urgen dalam
konteks Indonesia yang memiliki heterogenitas cukup tinggi. Bahkan,
berkaca dari pengalaman historis, sesungguhnya multikulturalisme
mampu menyuguhkan landasan kuat kepada siapa pun untuk menjadi
seorang mutikulturalis dalam masyarakat, Betapa sulitnya membenkan
penjelasan kepada mereka yang dalam hidupnya hanya bertemu mereka
yang satu kelompok satu mainstream untuk dapat mendengarkan,
merasakan, apalagi menerima orang yang ‘”berbeda” dengan dirinya.
Menurut Purwasito pada umumnya ada tiga hal yang melatarbelakangi
munculnya disinteraksi antara kelompok mayoritas dan orang-orang
yang termasuk dalam kelompok minoritas yaitu; (1) prasangka historis,
(2) diskriminasi, dan (3) prasangka superioritas in-group feeling yang
berlebihan dengan menganggap inferior pihak yang lain (out group)
Ketika tiga hal di atas disinyalir menjadi akar disintegrasi, maka sangat
memungkinkan berimplikasi terhadap munculnya efek yang lebih besar
yaitu runtuhnya sebuah bangsa.
Keruntuhan sebuah bangsa umumnya ditandai dengan semakin
lunturnya nilai-nilai bangsa tersebut, walaupun secara fisik sebenamya
masih eksis. Terlebih, datangnya globalisasi menjadi sebuah fragmen
dari perkembangan proses peradaban yang harus dilalui. Untuk itu,
pembaharuan bidang pendidikan menjadi keharusan yang selalu dilakukan
sebagai bagian dalam peningkatan kualitas pendidikan nasional. Hal
inilah yang akan menjadi penentu dalam kemajuan suatu bangsa.
Sementara itu, bangsa Indonesia sejak dini sudah menyatakan
tekadnya untuk ber-Bhinneka Tunggal Ika, walaupun pada masa orde baru
pernah terjadi bahwa yang unttv justru dikembangkan dan yang diversity
di-SARA-kan, sehingga tampilannya menjadi monoloyality (kesetiaan
tunggal). Tekad ber-Bhinneka Tunggal Ika itu tidaklah semudah apa yang
dibayangkan. Apalagi dalam lingkungan intern umat beragama maupun
antragama masih disibukkan dengan persoalan ideologi negara yakni
Pancasila. Ironisnya, Pancasila masih sering diparadokkan dengan ideologi
agama tertentu (individual) yang disertai dengan klaim kebenaran. Klaim
kebenaran yang kebablasan dapat mengantarkan masing-masing orang
untuk mengklaim sebagai dirinya atau kelompoknya yang paling benar.
Dalam konteks Indonesia, Pancasila sebagai suatu pandangan filsafat,
mengandung nilai-nilai yang tidak mutlak tetapi terus berkembang

IX. Rancangan Pendidikan Multikultural 111


seiring perjalanan ruang dan waktu . Nilai berbeda dengan fakta karena
fakta itu konkret dan dapat ditangkap oleh panca indra, sedangkan nilai
dihayati. Maka soal nilai adalah soal diri, subyektif. Dalam konteks ini
pendidikan multikultural dapat memberikan kontribusi penting bagi
pembentukan “kebhinnekaan” yang diikat “keikaan” yakni betul-betul
aktual tidak hanya sekedar slogan dan jargon dalam sebuah negara
yang berasaskan Pancasila. Namun tidak menutup kemungkinan adanya
indikasi munculnya tarik ulur yang menimbulkan perdebatan panjang
kalangan praktisi pendidikan ketika pendidikan multikultural difungsikan
sebagai sintesis untuk mendialektikkan antara ideologi personal (agama)
dan ideologi komunal (negara).
Terkait dengan ideologi suatu bangsa, Altbach mengemukakan bahwa
negara memiliki hak untuk memaksa warganya agar berideologi dengan
ideologi negara, sementara setiap individu memiliki ideologi masing-
masing, maka terjadi tarik menarik antara ideologi personal di satu
sisi dan ideologi komunal di sisi yang lain. Di sini pendidikan berpotensi
untuk menjadi sintesis yang dapat mendialektikakan di antara dua
sudut ideologi di atas. Berangkat dari konsep Altbach, sebagal negara
yang Pancasila, negara Indonesia di satu sisi punya kepentingan untuk
membangun bangsanya dengan visi nasionalisme melalui penyatuan
ideologi yaitu ideologi rancasila. di sisi lain, setiap individu memilki
ideologi sendiri-sendiri sesuai agama yang diyakininya.
Jika teori Altbach dapat terealisasi maka pendidikan multikultural
menempati posisi yang signifikan sebagai pendidikan alternatif dalam
membangun keseimbangan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mengingat Indonesia sebagai negara yang mayoritas pendudukannya
beragama Islam, jika ingin membangun masyarakat muslim-lndonesia
tentu melibatkan dialektika ideologi. Dialektika ideologi seringkali
memicu munculnya perdebatan panjang, seiring dengan pro-kontra
tentang paradigma dialektika agama dan budaya.

B. Perkembangan Mutakhir Pendidikan Multikultural

Penelitian tentang pendidikan multikultural sebenarnya terus


berkembang. Apalagi perhatian tentag pengembangan pendidikan mul-
tikulturalse makin menemukan momentumnya ketika para sarjan, baik
dari Barat maupun Timur, atau dari Indonesia terus mengkaji. Namun

112 Pendidikan Multikultural


demikian dari beberapa penelitian yang dilakukan masih ada beberapa
persoalan yang belum terungkap dalam melihat persoalan yang terkait
dengan pendidikan multikultural. Misalnya belum diugkap mengenai
model pendidikan berwawasan multikultural, fungsi struktural dalam
sebuah komunitas lembaga pendidikan keagamaan apalagi yang berada
di bawah naungan yayasan pendidikan, bagaimana sebuah fungsi dikem-
bagkan untuk mewujudkan kesimbangan dalam kehidupan ini.
Diskursus tentang multikulturalisme dalam konteks ke Indonesiaan
sebagai bangsa yang kaya dengan ragam budaya, banyak memperoleh
perhatian dari para ahli. Sebut saj astudi Kahin yang mencoba untuk
mendikursuskan nasionalisme dan revolosi Indoesia. Kahin antara
lain menemukan bahwa tumbuhnya kesadaran akan nasionalisme
adalah akibat kebijakan pendidikan kolonial Belanda. Studi Kahin
tersebut menarik Feith untuk melihat diskursus Pan- Indonesia. Melalui
pendekatan historis, Feith menemukan bahwa rintangan etnis merupakan
hambatan besar mewujudkan negara bangsa Indonesia. Selain itu, Feith
melihat bahwa kondisi geografis justru merupakan faktor penting dalam
perkembangan sejarah nasionalisme Indonesia.
Hasil penelitian Achmad Habib yang mengambil tema; Konflik
Antaretnik di Pedesaan: Pasang Surut Hubungan Cia – Jawa, menggunakan
konstruksi sosial sebagai perspektif teori. Temuan Habib menyebtkan
bahwa munculnya konflik antar etnik dikarenakan dipengaruhi oleh
posisi sosial yang berbeda di mana dalam hal perekonomian, Cina lebih
berperan sebagai majikan sedangkan etnik Jawa sebagai buruh. Begitu
pula studi tentang konversi agama etnis Cina yang ditulis Maryam dengan
pendekatan fenomenologi, menghasilkan temuantemuan, baik mengenai
sejumlah penyebab (causes) pelaku tindakan konversi, maupun berupa
alasan alasan mereka (reasons) dalam melakukan konversi. Dengan jelas
dapat dipahami bahwa dalam penelitian yang dilakukan oleh Maryam ini
diperekati dengan in order to motive dan because motive dalam konsepsi
Schult, yaitu apa yang menjadi sasaran sebuah tindakan (tujuan) dan
apa yang mendasari suatu tindakan (motif-motif). Dari hasil temuan
melahirkan suatu kesimpulan bahwa dalam setiap tindakan konversi
selalu terdapat makna sosial sebagai konsekuensinya, serta konsep
tersembunyi berupa keinginan yang melekat pada tindakan tersebut.
Sementara Abdullah mencoba meneliti dengan memfokuskan
pada telaah kurikulum di Pondok Pesantren Modern Islam (PPMI)
Surakarta. Dari hasil penelitiannnya, ia menyebut bahwa penerapan

IX. Rancangan Pendidikan Multikultural 113


KBK bercirikan pembelajaran multikultural tercermin dalam 3 hal,
yakni: pertama, perencanaan dengan cara lisan, tertulis, portofolio,
kinerja dan penugasan. Kedua, implementasi yang mengharuskan setiap
materi untuk memuat nilai-nilai multikultural. Ketiga, evaluasi melalui
pengamatan dengan teknik observasi/kinerja untuk non test. Dengan
mengunakan participant observation dan indept interview, temuan
Abdullah membuahkan sebuah kesimpulan bahwa apa yang dilakukan
Oleh PPMI patut diterpakan di Iah-sekolah pada umumnya. Sedang
penelitian Yang dilakselq kan Amin Nurdin dosen, melalui penelitian
studi kasus memfokuskan kajiannya pada fenomena multikulturalisme
di Australia, Didapatkan hasil bahwa implementasi konsep didikan
multikultural berhasil mengelola berbagai konfhk. Misalnya dalam
konflik ideologi yang diindikasikan dengan rendahnya beragam potensi
kekerasan politik, etnik, dan keagamaan. Bahkan ditandai pula dengan
bertambahnya warga Australia yang tertarik masuk Islam tercatat pada
tahun 1947-1971 populasi Muslim dari 2.704 jiwa melonjak menuju angka
22.331 jiwa. Uniknya ideologi multikulturalisme disokong Oleh berbagai
pimpinan etnis yang juga berbeda agama.
Secara umum kajian terkait wacana multikultural dapat dikatakan
cukup memadai sekalipun masih dalam batas gagasan. Juga masih
banyak dijumpai beberapa kelemahan atau kekurangan di pelbagai
aspek. Di antara kelemahannya dapat dilihat dari beberapa fenomena
berikut; 1) belum adanya tulisan yang secara spesifik dan eksplisit
menggagas model pembelajaran yang ideal yang sesuai dengan
konteks sosial budaya setempat sehingga outcome yang diharapkan
dapat terwujud, 2) minimnya hasil penelitian lapangan. Hal ini dapat
mempengaruhi minimnya wawasan seorang penulis tentang realitas di
lapangan, 3) minimnya lembaga pendidikan yang menyelenggarakan
atau mendasarkan pendidikannya pada perspektif multikultural secara
eksplisit, 4) kurangnya fasilitas, termasuk kurangnya materi buku
atau referensi yang aktual. Secara umum kekurangan atau kelemahan
tersebut dilatarbelakangi beberapa sebab, antara lain: peran tokoh-
tokoh agama cenderung masih banyak yang eklusif dalam beragama,
minimnya intensitas dialog antar umat beragama, minimnya pendanaan
dan fasilitas yang kurang memadai.
Beberapa tulisan mengenai prinsip-prinsip multikulturalisme juga
menarik untuk dikaji. Misalanya ada sebuah tulisan dengan judul; “Islam
Pluralis “ karya Budhy Munawar Rachman yang menyebutkan bahwa

114 Pendidikan Multikultural


pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa
masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku
dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi,
bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai
“kebaikan negatif” (negativegood), hanya ditilik dari kegunaannya untuk
menyingkirkan fanatisme kelompok. Pluralitas dalam kajian di atas
membuahkan konsekuensi yang signifikan dengan multikultural, bahwa
keduanya harus dipahami dalam konteks “pertalian sejati kebhinekaan
dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities
within the bonds of civility). Bahkan pluralisme dan multikulturalisme
merupakan suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain
melalui mekanisme pengawasan dan pengembangan yang dihasilkannya.
Ada pula tulisan dengan judul “Islam Roots of Modern Pluralism,
Indonesian Experiences” karya Nurcholis Madjid, ia mengatakan bahwa
komunitas agama, baik Islam, Kristen, maupun Yahudi, tidak banyak me-
miliki pengalaman dalam hal pluralitas kehidupan. Meskipun demikian,
komunitas agama harus mampu menerima kenyataan Pluralitas kehidu-
pan modem. Dalam kasus Islam, pluralitas kehidupan dan toleransi je
las memiliki legitimasi keagamaan. Piagam Madinah merupakan benih
yang kuat untuk dapat ditumbuhkan menjadi sistern kehidupan plural-
istik bagi masyarakat kosmopolit. Indonesia merupakan contoh yang
baik bagi pemecahan persoalan toleransi antar ummat beragama ka-
rena meskipun mayoritas penduduknya muslim, negara Indonesia tidak
didasarkan pada sistem negara tertentu. Sementara itu, Said Nurshiy
lebih menerima perbedaan sebagai kunci memahami kebenaran, dari
religiusitas ke etnisitas dan dari moderasi menuju keselamatan (salva-
tion). Gerakan Nurshiy (Nursi’s movement) berorientasi pada reformasi
masyarakat berdasarkan wacana moralitas dan gerakan.
Dengan advokasi jalan tengah, Nurshiy melantangkan gerakan
pluralisme di dunia Islam pada awal abad ke-20. Said Nurshiy mengajak
umat Islam untuk bersikap kooperatif terhadap kalangan Kristen untuk
bersama-sama melawan Atheism. Hal ini menurut Nursi bukan berarti
toleransi memiliki arti integrasi atau konversi, melainkan kepentingan
bagi kehidupan universal.
Buku-buku pendidikan multikultural yang ditulis kalangan muslim
yang berkaitan langsung dengan tema-tema multikultural adalah karya
Munir al-Murshiy yang berjudul “Fi Ijtimaiyyah al-Tarbiyyah” telah
menjelaskan bahwa pendidikan dalam masyarakat yang demokratis

IX. Rancangan Pendidikan Multikultural 115


bertujuan untuk merealisasikan garis-garis, prinsip dan pemikiran yang
termuat dalam ideologi demokrasi (termasuk tentang multikulturalime)
kepada masyarakat melalui bimbingan dan arahan terhadap individu,
dan dengan cara menyediakan pendidikan dan pengajaran yang benar.
M. Amin Abdullah dalam “Pendidikan Agama Era Multikultural-Multi
Religius”. Dalam buku tersebut, Amin menawarkan berbagai strategi
pendidikan agama berwawasan multikultural. Dengan menyajikan ber-
bagai pola pendidikan ala Muhammadiyah, dia membeberkan sisi-kele-
mahan sekaligus kelebihannya sebagai bahan pertimbangan dalam pe-
nyelenggaraan pendidikan di Indonesia Begitu pula “Pendidikan Agama
Berwawasan Multikultur”, adalah sebuah kajian yang ditulis oleh Zaki-
yudin Baidhawi. Dalam buku tersebut, berbagai wawasan tentang orien-
tari pendidikan agama yang mengarah pada multikultur disajikan secara
holistik. Dia memposisikan pendidikan multikultural sebagai agenda
masa depan. Dua buku dengan judul yang sama, Pendidikan Multikul-
tural, ditulis oleh orang yang berbeda. Ainurrofiq Dawam menyoroti
fenomena kemiskinan dan modernitas sebagai faktor penting munculnya
diskriminasi dalam pendidikan yang memotivasi diwacanakannya pen-
didikan multikultural. Lain halnya dengan Ainul Yaqin, Dia lebih aplikatif
dalam menguraikan motivasi-motivasi, prinsip-prinsip, indikator-indika-
tor yang mempengaruhi munculnya konflik baik dalam skala mikro mau-
pun makro.
Tulisan Muhammad Ali, Teologi Pluralis-MultikuItural: Menghargai
Kemajemukan Mcnjalin Kebersamaan. Nampak dengan jelas bahwa
penulis buku tersebut berkeinginan membangun interaksi intern umat
beragama, yang tidak hanya dapat berkoeksistensi secara harmonis dan
damai, tetapi juga bersedia aktif dan proaktif dalam menyelesaikan
masalah-masalah bersama dengan etika kemanusiaan. Buku tersebut
merupakan kumpulan dari beberapa pemikiran beliau yang dimuat di
harian Kompas.
Kalangan pemikir Indonesia seperti Andrik Purwosito, yang menulis
tentang Komunikasi Multikultural, merupakan gagasan tentang pentingnya
kajian multikultural sebagai bagaian dari upaya resolusi konflik sosial-
budaya dalam masyarakat Indonesia yang hidup di tengah perhelatan
peradaban global, karena tidak bisa dingkari bangsa Indonesia masih
menyimpan potensi disintegrasi yang perlu terus menerus dicarikan
solusi dan pemecahannya.

116 Pendidikan Multikultural


Realitas sosial mengenai kajian pendidikan multikultural memang
memperoleh perhatian secara serius dari intelektual Indonesia sendiri
seperti Tilaar. Dalam banyak tulisan beliau banyak menuangkan gagasan
tentang multikulturalisme, mulai dari buku yang diberi judul Beberapa
Agenda Reformasi Pendidikan Nasional, baik dari aspek kesejarahannya
seperti dalam tulisan yang berjudul Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu
Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural, maupun dari aspek filosofinya
seperti pada buku yang diberi judul Perubahan Sosial dan Pendidikan:
Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, sampai pada
gagasan pendidikan multikultural dari berbagai aspeknya, Tilaar dengan
panjang lebar memaparkan gagasannya pada sebuah buku dengan judul
Multukultarisme: Tantangan Global Masa Depan dalam Tranfrormasi
Pendidikan Nasional, dalam buku tersebut Multikultural diposisikan
sebagai studi masa depan atau sebagai tindakan prefentif, bahwa
penyelenggaraan pendidikan multikutural lebih berorientasi untuk
menyiapkan peserta didik dalam menghadapi tantangan-tantangan
global yang merupakan keharusan pemerintah untuk mempertimbangkan
dalam menentukan kebijakan di dalam pendidikan sebagai antisipasi
menghadapi berbagai tantangan masa depan.
Betapapun Tilaar banyak mengkaji multikultural, baik dari aspek
kebijakan pemerintah, muatan kurikulum, orientasi, prinsip-prinsip yang
ditanamkan dan seterusnya semuanya masih dalam sebatas tawaran
pemikiran dan belum teraplikasi ataupun diujicobakan secara praktis
dalam sebuah lembaga pendidikan, begitu pula dengan gagasan yang
ditawarkan oleh penulis lainnya. Tentu hal yang sama dapat dilamatkan
pada hasil penelitian lapangan yang dilakukan oleh para ahli.
Dalam perkembangan selanjutnya, wacana multikultural dalam kon-
teks pendidikan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang “ethnic
studies” untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pen-
didikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Dalam praksis
pendidikan di negara-negara yang mengembangkan konsep demokrasi,
gagasan multikultural muncul dengan banyak nama, antara lain; multi-
cultural education (Amerika Utara dan Britania), intercultural educa-
tion (Eropa), pease education (Afrika dan Asia), comunity understanding
(Wales), citizenship education (Inggris), social, civic and political educa-
tion (Republik Irlandia), personal and social education (United Kindom)
Varian dari nama-nama pendidikan multikulturalisme mengindikasi-
kan, bahwa motivasi penyelenggaraan pendidikan multikultural sangat

IX. Rancangan Pendidikan Multikultural 117


kental dengan muatan politik dari masing-masing negara. Dari perspektif
historis di atas, kajian tentang multikultural secara praktis pada mulan-
ya digunakan oleh lembaga-lembaga negara yang memiliki heterogeni-
tas penduduk cukup tinggi seperti Amerika, Jerman, Australia, Inggris,
Kanada, dan Afrika, bermula dari kesadaran pentingnya mempelajari
budaya orang-orang asing atau warga negara mereka yang akan pergi
ke negara-negara asing. Di samping menjadikan lambaga pendidikan
sebagai sarana mensosialisasikan nilai-nilai budaya negaranya. Amerika
misalnya, dengan memakai sistem demokrasi dalam pendidikan yang
dipelopori oleh John Dewey, pasca kemerdekaan 4 Juli 1776, negara
tersebut mencoba mencari terobosan baru dengan menempuh Strategi
yaitu menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi nilainilai budaya mu-
lai dari SD sampai Perguruan Tinggi. Melalui pendekatan inilah Amerika
Serikat merupakan negara pertama di dunia yang berhasil membentuk
bangsanya yang dalam perkembangannya melampaui masyarakat in-
duknya (Eropa).
Gagasan multikultural di negara Jerman dapat dikaji dari sistem
pendidikan yang dikenal dengan sebutan Auslanderpadagogik yaitu suatu
sistem pendidikan yang menyuguhkan berbagai hal kreatif di dalam
upaya untuk mengembangkan pendidikan yang tidak berbahu rasisme. Di
Inggris dikenal gerakan-gerakan yang dimotori oleh kelompok-kelompok
berikut; kelompok laissez-faire, asimilasionis, integrasionis, antarasis,
dan multikulturalis. Munculnya kelompok-kelompok di atas seiring
dengan bertambahnya kaum imigran dari kulit berwarna yang memasuki
Inggris. Sungguhpun mereka memperoleh perlakuan yang relatif baik,
namun demikian secara historis dikenal perlakuan-perlakuan negatif di
dalam pendidikan, perbedaan di dalam perumahan, ketenagakerjaan,
dan seterusnya.
Pada tahun 1980-an, pendidikan multikultural meluas sampai pada
isu-isu gender, perbedaan ras, identitas dan pengalaman kolonialisme
dan bahkan telah meluaskan pengaruhnya di berbagai dunia. Di Canada
pendidikan multikultural berorientasi untuk menggali konsep-konsep
praktik kebangsaan. Di Australia, pendidikan multikultural menjadi sa-
rana untuk membebaskan Australia dari pengaruh superioritas budaya
Inggris. Di Perancis, muatan pendidikan multikultural terfokus pada
persoalan identitas kaum imigran dari daerah bekas jajahan, dan be-
gitupun di negeri India, pendidikan multikultural mengelola persoalan
tranformasi masyarakat pra-modem menuju masyarakat modern dari

118 Pendidikan Multikultural


kelompok petani dan pemberontak yang melakukan perlawanan terha-
dap penjajah Inggris. Fenomena di atas mengindikasikan bahwa setiap
bangsa dan negara sebenarnya ditegakkan Oleh masyarakatnya sendiri
sekaligus yang menentukan keberadaan yang sesungguhnya. Dengan de-
mikian tidak semua multikulturalisme berakar dari paket-paket yang
dikirim Oleh bangsa asing, sekalipun di dalamnya membahas persoalan
seperti post-kolonial, ras dan identitas, ruang diaspora, gender, dan se-
terusnya. Barangkali yang membedakan dalam hal ini, adalah tendensi
yang mendasari digulirkannya gagasan pendidikan multikuluralisme. Di
negara-negara yang disebutkan di atas, hampir semuanya lebih dimo-
tivasi Oleh faktor eksternal, yang berbeda secara substansial dengan
kondisi di negara kita.

C. Focus Domain Pendidikan Multikultural

Banyaknya negara yang menyelenggarakan pendidikan multikultural


memberikan suatu pemahaman bahwa, keinginan menyelenggarakan
pendidikan multikultural muncul dalam masyarakat majemuk yang
menyadari kemajemukannya Masyarakat seperti ini menyadari dirinya
terdiri dari berbagai golongan yang berbeda secara etnis, sosial-
ekonomis, dan kultural ironisnya, di Indonesia wacana multikultural
belum secara serius mendapatkan tempat sebagai suatu kajian penting,
Artinya, gagasan pendidikan multikultural tergolong sesuatu yang baru
bahkan masih sering memunculkan kontroversi dalam tataran praktis.
Dirunut dari asal muasalnya, multikultural mempunyai kesinoniman
dengan kata kebudayaan. Kultur berasal dari kata cultura dari bahasa
latin; la culture yang salah satu artinya adalah serangkaian kegiatan
intelektual sebuah peradaban. Sedangkan istilah “budaya” mula-mula
datang dari disiplin antropologi sosial. Apa yang tercakup dalam definisi
budaya sangatlah luas. Istilah budaya dapat diartikan sebagai totalitas
pola perilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan, dan semua produk
Iain dari karya dan pemikiran manusia yang mencirikan suatu masyarakat
atau penduduk yang ditransmisikan bersama. Selain itu, kebudayaan
juga diartikan sebagai norma-norma perilaku yang disepakati oleh
sekelompok orang untuk bertahan hidup. Pengertian yang terakhir ini
Iebih diperjelas dengan pandangan Clifford Geertz yang menyatakan,
bahwa kultur adalah sebuah cara yang dipakai semua anggota dalam

IX. Rancangan Pendidikan Multikultural 119


sebuah kelompok masyarakat untuk memahami siapa diri mereka dan
untuk memberi arti pada kehidupan mereka.
Istilah “multikultural” dari aspek kebahasaan mengan. dung dua
pengertian yang sangat kompleks yaitu “multi„ yang berarti plural,
“kultural” berisi pengertian kultur atau budaya. Istilah multi mengandung
arti yang berjenis-jenis, bu. kan sekedar pengakuan akan adanya yang
berjenis-jenis tetapi juga pengakuan tersebut mempunyai implikasi-
implikasi yang sangat luas dan kompleks karena berhubungan dengan
ideologi, politik, dan ekonomi. Oleh sebab itu multikultural berkaitan
pula dengan prinsip-prinsip demokrasi, hak hidup kelompokkelompok
masyarakat yang ada dalam suatu komunitas karena mereka memiliki
budanya masing-masing. Idealitas di atas pernah menjadi tekanan pada
pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan
toleransi individuindividu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap
budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan
orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat
mainstream.
Conrad P. Kottak, memberikan penjelasan Iebih lengkap bahwa
kultur mempunyai karakter-karakter khusus. Kottak melihat kultur dari
tujuh segi: 1) sebagai muatan, 2) sebagai fungsi, 3) sebagai indikator,
4) sebagai tujuan, 5) sebagai aktivitas, 6) sebagai model, 7) sebagai
proses. Sementara Purwasit berpendapat kultur adalah hasil penciptaan,
perasaan, dan prakarsa manusia berupa karya yang bersifat fisik maupun
bersifat non fisik. Dengan pengertian ini, Purwasito lebih menyoroti
kultur dari dua Sisi fisik dan non fisik ketimbang derivasi dari setiap
kultur. Dari dua Sisi ini, selanjutnya kultur melahirkan beberapa struktur.
la membagi struktur kultur menjadi empat macam yaitu mikrokultul
(kelompok masyarakat), subkultur (kelompok lokal), makrokultur (skala
nasional), sampai pada superkultur (skala global). Pada pertukaran
budaya dalam waktu yang lama (proses akulturasi), akan menghasilkan
versi kultur yang Iain.
Dalam perspektif konflik, pandangan Purwasito menggarisbawahi,
bahwa antara konflik vertikal dan konflik horizontal laksana dua sumbu
yang dua ujungnya memiliki keterkaitan antara satu dengan yang Iain.
Hal ini menandaskan bahwa, terjadinya konflik pada tataran tertentu
seringkali merupakan rentetan dari konflik-konflik yang ada di atasnya
atau yang ada dibawahnya (ruang lingkup yang lebih kecil). Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut ini:

120 Pendidikan Multikultural


Ketika beberapa pola pikir tentang pemaknaan kultur tersebut
bertemu dan berdialog, maka kerangka teori, metode, pendekatan dan
epistimologi yang digunakan pun Perlu berubah. Pada gambar di atas
jelas terlihat bahwa, pada ma. sing-masing varian dalam struktur kultur
memiliki penekanan sendiri-sendiri dan saling terkait antara struktur
kultur yang satu dengan yang Iain. Sebagai implikasinya, bilamana
terjadi konflik pada tataran mikrokultur, misalnya percekcokan antar
warga yang melibatkan prasangka etnis, akan sangat mudah memicu
konflik-konflik yang Iebih besar atau sebaliknya dari skala besar sampai
ke skala terkecil (dari mikrokultur — subkultur - makrokultur bahkan
sampai ke superkultur). Hal itu tentu tidak lepas dari upaya orang-orang
tertentu dengan mengembangkan basis nilai-nilai negatif satu kelompok
atas kelompok Iain seperti penilaian dengan standar budayanya
sendiri (etnosentrisme) dan pandangan umum (stereotipe) yang bukan
mencerminkan ada tidaknya pandangan itu secara konkret.
Dari beberapa pengertian di atas, Ahmadi misalnya, mengklasifikasikan
kebudayaan pada dua bagian yaitu kebudayaan material (hasil cipta,
karsa yang berwujud barang atau alat-alat) dan kebudayaan non material
(hasil cipta, karsa yang berwujud kebiasaan-kebiasaan, adat-istiadat,
keyakinan, pengetahuan dan sebagainya). Sedangkan Amin Abdullah
Iebih cenderung menyamakan istilah kultur dengan istilah tradisi
selanjutnya menurut Amin dalam mengkaji kultur tertentu harus ada
ketegegasan Iebih awal kultur wilayah mana atau kultur bagaimana yang
dimaksudkan, karena dalam pandangannya jika memasuki suatu wilayah
yang masuk katagori great tradition (tradisi besar), yaitu wilayah alam
pikiran, konsep, ide, teori, keyakinan, dan gagasan, maka akan selalu
melibatkan proses dialektika yang intensif dengan little tradition (tradisi

IX. Rancangan Pendidikan Multikultural 121


kecil) yang menyertainya» yang merupakan wilayah aplikasi praksis di
lapangan dari teori, konsep, ide, keyakinan, dan gagasan atau dengan
meminjam istilah yang digunakan Charles Adam dengan sebutan high
tradition (tradisi agung) dan low tradition (tradisi rendah). Pola pikir yang
disajikan Amin tersebut memiliki tendensi kuat tentang ide pemilihan
secara ekplisit dalam budaya. Dalam konteks di atas, apa yang dimaksud
oleh Amin dengan istilah great tradition dan little tradition tidak lain
adalah general pattern (pola-pola umum) dan particular pattern (pola-
pola khusus) dalam konsep Islamic studiesnya.
Kerangka teoritik yang digunakan Amin Abdullah tersebut,
memberikan suatu analogi bahwa, apa yang disebut budaya tidak lain
adalah apa yang dipikirkan, dibuat dan dilakukan orang, kelompok, atau
masyarakat dengan mengatasnamakan golongan, suku, agama, gender,
dan sebagainya. Oleh karenanya, dapat dibenarkan untuk mengatakan
bahwa telah ada hubungan dialektis antara agama dan budaya -untuk
tidak menyebutnya antara teks dan pemikiran manusia. Dengan lain
ungkapan, agama dan budaya merupakan hasil perpaduan yang kompleks
antara yang bersifat “manusia” (human) dan yang bersifat “ketuhanan”
(divine) dengan kata lain perpaduan antara tulisan keagamaan (religions)
dan faktor-faktor sosial budaya.
Para pakar menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang baru dimuka
bumi ini. Hal tersebut adalah sudut pandangan seseorang. Ada yang
melihat dunia ini dari satu sudut pandang, ada yang melihatnya dari
berbagai sudut pandang ada pula yang melihatnya dari sudut horizontal
ataupun vertikal, maupun kombinasi dari keduanya. Berbagi sudut
pandang tersebut melahirkan aliran-aliran filsafat mengenai manusia,
teori Darwin misalnya. Menurut teori Darwin seleksi alam menghasilkan
berbagai ragam bentuk organisme, hal ini berarti manusia merupakan
hasil seleksi alam dan bersifat adaptif terhadap alam, tempat dia hidup.
Namun demikian, meskipun manusia merupakan hasil seleksi alam dilihat
dari unsur biologinya yaitu gen dan fungsi organnya, terdapat pula unsur
lainnya yang mempengaruhi perkembangan manusia yaitu kebudayaan.
Dengan kebudayaan manusia dapat melepaskan diri dari seleksi alam,
bahkan dapat memperkuat posisinya terhadap alam karena evolusi
kebudayaan berjalan lebih cepat dibandingkan dengan evolusi biologi.
Memaknai multikultural dalam konteks pendidikan memiliki
implikasi bahwa, secara operasional pendidikan multikultural pada
dasarnya adalah program pendidikan yang menyediakan sumber belajar

122 Pendidikan Multikultural


yang beragam bagi peserta didik (multiple learning environment).
Penerapannya disesuaikan dengan kebutuhan akademik peserta didik.
Beberapa ahli pendidikan semisal Hilda Hernandez yang dikutip dari
karyanya yang berjudul: “Multicultural Education, A Teacher’s Guide to
Iinkine context, proses, and content”, menjelaskan bahwa multicultural
education adalah suatu proses pendidikan yang memungkinkan individu
untuk mengembangkan diri dengan cara merasa, menilai, dan berprilaku
dalam sistem budaya yang berbeda dengan budaya mereka.
Hilda menegaskan tentang ruang lingkup multicultural education,
meliputi kawasan yang cukup luas meliputi; konteks, proses dan konten,
pengembangan kurikulum multikultural, serta mengajar dalam perspektif
multikultural. Sedangkan dalam pandangan James A. Banks. pendidikan
multikultural dimaknai sebagai sebuah konsep, ide atau falsafah
yang merupakan suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan
penjelasan untuk mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya
di dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi,
kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, maupun kelompok.
Banks melanjutkan ada 6 faktor yang menjadi sumber pertimbangan
dalam melaksanakan pendidikan multikultural yaitu; a) gender, b) race
atau etnic, c) social class, d) religion, e) exceptionality, dan f) other
variables. Di antara 6 faktor tersebut, agama masuk di dalamnya.
Ahli pendidikan seperti Gollnick menyebutkan adanya tujuh unsur
yang mendasari prinsip-prinsip multikultural yaitu; kelas sosial, etnik,
gender, agama, bahasa, umur, dan pendidikan. Gallnick menjelaskan
bahwa konsep tentang multicultural education berdasarkan atas
keyakinan dan asumsi sebagai berikut: pertama, perbedaan budaya
mempunyai kekuatan dan nilai. Kedua, sekolah harus dibentuk untuk
mengekspresikan makna hak asasi manusia dan menghormati hak
asasi manusia. Ketiga, keadilan sosial dan persamaan hak bagi seluruh
masyarakat harus menjadi puncak kepentingan dalam mendesain dan
melaksanakan kurikulum. Keempat, sikap dan nilai_ nilai penting yang
dapat membentuk masyarakat demokrasi perlu untuk dipromosikan
di sekolah. Kelima, para pendidik seharusnya bekerja sama dengan
keluarga dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang mendukung
multikulturalisme.
Dalam “Opening The Doors, Child Care in a Multicultural Society”
Anne Stonehouse menjelaskan bahwa yang menjadi pertimbangan
dalam penyusunan program kurikulum berwawasan multikultural adalah

IX. Rancangan Pendidikan Multikultural 123


sebagai berikut: memperkenalkan perbedaan sebagai hal yang alami,
memberi alasan yang logis terhadap perbedaan-perbedaan tersebut,
memperkaya pengalaman, memperbanyak pilihan, dan membiasakan
dengan pengalaman hidup sehari-hari. Dari berbagai pandangan tersebut,
pemaknaan pendidikan multikultural dapat disimpulkan sebagai sebuah
konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang
pendidikan bagi semua siswa yang berbhineka ras, etnik, kelas sosial,
agama, dan kelompok budaya. Dengan paradigma semacam ini, maka
konstruksi pengetahuan, sikap, dan kemampuan siswa dapat berperan
aktif dalam masyarakat demokrasi-pluralistik. Konstruksi yang demikian
ini dibutuhkan ketika para siswa berinteraksi dan berkomunikasi dalam
masyarakat yang plural.
Pembatasan ruang lingkup pendidikan multikultural pada akhimya
bukanlah persoalan urgen yang harus dibatasi pada aspek tertentu.
Ini yang menyebabkan masuknya wilayah agama sekalipun pada ruang
lingkup ini, semestinya tidak perlu diperdebatkan. Hal itu sebagaimana
ditegaskan oleh Muslim Abdurahman, dengan melibatkan pertimbangan
agama dalam berbagai bidang, maka agama akan mampu berperan
secara maksimal, tidak lagi hanya menanamkan kesalehan ritual, tapi
juga melakukan yang lebih penting dari itu, yaitu mewujudkan kesalehan
sosial yang mampu membongkar proses dehumanisasi.
Senada dengan Muslim, Baidhawy menyebutkan wilayah keagamaan
harus menjadi prioritas utama sebagai landasan kebijakan dalam me-
nyelenggarakan pendidikan multikultural karena pendidikan, memberi-
kan pengakuan akan pluralitas. Maka dari itu, multikultural merupakan
kerja inovasi dan reformasi yang integral dan komprehensif dalam mua-
tan pendidikan agama konstruk baru tentang agama-agama yang be-
bas prasangka; rasisme, bias maupun stereotip. Hans Kueng dan Ignas
Kladen sependapat dengan Baidhawy seperti disitir oleh Roibin, bahwa
tidak perlu diperdebatkan pertautan antara agama dan multikultural-
isme. Menurut kesimpulan kedua ilmuwan di atas, bahwa agama tergan-
tung kepada keputusan yang menghayatinya. Di sinilah nampak peran
subyektif-kognitif manusia sehingga acapkali agama dianggap sebagai
bagian dari sistem budaya. Dengan kata lain sekalipun agama dan bu-
daya memiliki pijakan sendiri-sendiri, namun di antara keduanya tidak
dapat dipisahkan. Namun demikian tidak berarti pemahaman semacam
itu telah final.

124 Pendidikan Multikultural


D. Kontekstualisasi Pendidikan Multikultural

Pengalaman di sejumlah tempat, menandaskan adanya kemungkinan


untuk mengungkap pada tataran apa pendidikan multikultural
diselenggarakan. Bagi kalangan praktisi yang memahami multikultural
dari perspektif empirik maka pendidikan multikultural dalam sebuah
proses pembelajaran akan cenderung diposisikan sebagai basis
(multicultural-based intraction). Sedangkan bagi kalangan prakisi
yang memahaminya dari pespektif normatif, maka ada kecenderungan
menjadikan pendidikan multikultural sebagai orientasi (multicultural-
oriented interaction). Untuk itulah, kehadiran buku ini merupakan
bentuk upaya dalam mendeskripsikan terjadinya gejala penyimpangan
sekelompok komunitas yang memahami konsep multikulturalisme secara
tidak proporsional.
Di satu sisi, pengembangan pengajaran pendidikan agama sebagai
materi pelajaran yang sarat dengan nilai-nilai, di sekolah dan di
perguruan tinggi tidak jarang dilakukan dengan cara menafikan hak
hidup agama lain. Lebih parah Iagi, penyelenggaraan pendidikan agama
lebih banyak bersifat normatif, teologis, monolitik, dan kognitif,
sehingga pendidikan agama belum mampu membangkitkan semangat
dan kesadaran beragama. Padahal hal itu semestinya dapat diharapkan
dapat menumbuhkan dimensi-dimensi moral dalam membangun
karakter. Problem internal lainnya adalah bahwa materi pelajaran yang
memuat dimensi multikultural masih dibayang-bayangi oleh kenyataan
historis, bahwa selama ini pendididikan ilmu pengetahuan sosial (IPS)
dan kewarganegaraan, yang sesungguhnya dilakukan sebagai bagian dari
proses usaha memperluas wawasan kebangsaan dan membangun cara
hidup demokratis. Namun kenyataan menunjukkan bahwa pendidikan
IPS misalnya, sudah mulai kehilangan dimensi multikulturalnya.
Di Sisi lain, penyelenggaraan pendidikan multikultural di lembaga
pendidikan formal juga menghadapi hambatan eksternal. Tidak jarang
terjadi tarik ulur di kalangan para pimpinan atau yang memiliki kewenangan
dalam menentukan kebijakan. Masih ada yang bersikukuh seputar
pembatasan terhadap ruang lingkup pendidikan multikultural sehingga
lebih condong menjadikan pendidikan multikultural sebagai pendekatan
atau sebuah pandangan dunia (worldview). Tentu hal tersebut banyak
tergantung pada siapa yang memahami (actor), bagaimana nilai yang
dianutnya, wilayah dimana pendidikan multikultural diimplementasikan

IX. Rancangan Pendidikan Multikultural 125


di samping tergantung kesiapan yang dimiliki oleh lembaga pendidikan
yang bersangkutan.
Dalam konteks yang terakhir ini, E. Stones mengklasifikasikan kesia-
pan aspek pengajaran menjadi 3 macam kekuatan yaitu cognitive force,
conditioning force, dan modelling force. Keberhasilan pelaksanaan
pendidikan multikultural, selain kekuatan aspek pengajaran (teaching
force), peran struktur sosial dalam sebuah lembaga pendidikan juga ikut
menentukan apalagi yang dikelola oleh sebuah yayasan. Hal itu sering-
kali tidak bisa dihindari, karena pada umumnya, mereka adalah para
pemegang tombol dalam menentukan setiap kebijakan.
Sebuah pertanyaan yang sering muncul adalah, mungkinkah nilai-
nilai multikulturalisme dapat dikembangkan melalui kontekstualisasi
pendidikan keagamaan. Sementara Stigma Yang berkembang adalah
bahwa pendidikan lembaga pendidikan keagamaan merupakan basis
pendidikan agama, seperti halnya civil education-, di institusi-institusi
pendidikan yang sering dikesankan sebagai sistem rekayasa sosial
pendidikan yang bercorak dogmatis, doktriner, monolitik, dan tidak
berwawasan multikultural. Bus daya multikultural lembaga pendidikan
keagamaan di satu Sisi membentuk tipe-tipe kultur masyarakat Bahkan,
terbentuk pula kultur yang begitu khas sehingga secara sosiologis sering
muncul dalam bentuknya yang sangat eksklusif.
Lembaga pendidikan keagamaan manapun kemudian tidak jarang
menampilkan corak kultural masyarakatnya yang khas dan eksklusif pula.
Realitas tersebut cukup menarik untuk dikaji. Jelasnya, fenomena yang
te6adi di lembaga pendidikan keagamaan masih menyisakan problem
yang patut dikaji lebih dalam, karena dari sinilah nilai-nilai dan sikap
sosial itu ditanamkan yaitu dari area yang secara geografis mengundang
kontroversi.
Membentuk pengajian rutin yang dilakukan Oleh pimpinan lembaga
pendidikan keagamaan juga akan menguatkan pemahaman tentang
pendidikan multikultural. Kegiatan tersebut dapat berlangsung selama
satu minggu di bulan Ramadhan tepatnya pada hari-hari ganjil di
akhir bulan. Di beberapa lembaga pendidikan keagamaan seperti
pesantren, kegiatan tersebut bahkan mampu menyedot nbuan orang
yang berasal dari berbagai laPisan masyarakat untuk menghadirinya
meski diselenggarakan pada malam hari. Atas dasar beberapa dimensi
aktivitas tersebut, sesungguhnya akan menjadikan lembaga pendidikan
keagamaan memerankan fungsi sosialnya dengan pemberian ruang

126 Pendidikan Multikultural


yang seluas-luas dalam kontektualisasi multikultural. Dengan demikian,
sasaran pendidikan multikultural sebenarnya adalah masyarakat luas.
Keberadaan lembaga pendidikan keagamaan di tengah masyarakat
sebagai suatu lingkungan kehidupan, pada hakikatnya membawa
sebuah misi yaitu upaya merangkum kehidupan dalam jalinan nilai-nilai
sepiritual dan moralitas yang agamis.
Konsep dan kontekstualisasi jalinan antar non muslim yang dibangun
dalam komunitas lembaga pendidikan keagamaan seperti pesantren,
bukanlah bias tauhid atau mentauhidkan beberapa ajaran agama menjadi
suatu agama baru. Namun konsep dan kontekstualisasi multikultural
keagamaan, terbatas pada pengembangan prinsip-prinsip dasar pergaulan
antarsesama manusia (ukhuwwah bashariyyah mu’amalah). Menurut KH.
Sholeh, di balik kisah sejarah yang menceritakan bahwa Rasulullah pernah
berkirim surat kepada raja Heraklius ketika memperkenalkan ajaran
Islam, di dalamnya memiliki muatan multikultural. Dari kisah tersebut,
kalangan muslim berperan untuk membuktikan bahwa Islam dapat
mewujudkan rahmat bagi seluruh alam semesta, termasuk menyebarkan
rahmat kepada setiap manusia dengan berbagai latar belakang kultural.
Oleh karena itu konsep multikultural bukan malah dijauhi, melainkan
sebaliknya harus dihadapi secara obyektif dan proporsional.
Pola Pikir pimpinan lembaga keagamaan seperti pesantren, mem-
berikan nilai lebih bagi institusinya dalam mengembangkan hubungan
dengan antar umat beragama melalui penegasan eksistensi kelemba-
gaan yang telah mampu berperan secara positif dalam kehidupan ber-
bangsa. Selain itu perhatian tersebut akan menghidupkan suasana di-
alogis di tara komunitas lembaga pendidikan keagamaan yang banyak
terlupakan pada masa belakangan ini. Padahal apabila diamati, lembaga
pendidikan keagamaan khususnya pesantren sejak berdirinya senantiasa
berupaya berdialog dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Dengan
demikian, lembaga pendidikan keagamaan dapat menjalankan fungsinya
sebagai kontrol dan sekaligus stabilisator dalam proses perkembangan
masyarakat yang sering menimbulkan ketimpangan sosial maupun kul-
tural. Dan jika terjadi ketimpangan, maka lembaga pendidikan keaga-
maan sudah barang tentu akan menjadi sasaran kritik dan gugatan.
Posisi lembaga pendidikan keagamaan yang sedemikian strategis
dalam membangun dialog dengan masyarakat, dapat menjadi potensi
besar dalam rangka membangun kerja sama yang saling menguntungkan
dan menghargai antar elemen masyarakat dari berbagai karakter dan

IX. Rancangan Pendidikan Multikultural 127


latar belakangnya. Oleh karenanya, salah satu peran yang dilakukan
pimpinan lembaga pendidikan keagamaan adalah melakukan serangkain
kegiatan antar umat beragama dalam rangka membangun persaudaraan
dan kesefahaman atas nama kemanusian. Sebuah tindakan yang dibangun
atas dasar kesadaran bersama akan pluralitas budaya demi terwujudnya
masyarakat yang harmonis dan berkeadilan.
Bagi komunitas lembaga pendidikan keagamaan seperti pesantren,
perbedaan-perbedaan semacam itu justru telah mendapatkan legali-
tasnya dalam nash-nash al-Quran. Dalam al-Quran, dijelaskan bahwa Al-
lah bukannya tidak mampu menjadikan umat manusia ini menjadi satu
umat saja, melainkan dijadikan berbeda-beda atau bergolong-golongan
agar setiap orang atau setiap golongan dapat berlomba-lomba dalam
kebaikan. Di samping itu, dalam ayat lain, Allah memang secara ala-
miah menjadikan umat manusia itu berbangsa-bangsa (shu’uba) dan
berkelompok-kelompok (qaba’ila), agar mereka saling mengenal. Nash-
nash tersebut mengindikasikan bahwa Islam sebagai ajaran, mengajar-
kan prinsip-prinsip sebagai berikut; (a) kasih sayang antar sesama, (b)
saling mengenal, (c) saling menghargai, dan (d) saling tolong menolong.
Sebagai konsekuensi dari keempat prinsip tersebut, Islam melarang
bertindak merendahkan orang lain, bermusuh-musuhan, apalagi saling
membinasakan. Sebab, dalam pandangan Islam, menghina manusia
sama dengan merendahkan manusia sebagai ciptaan-Nya yang termulia.

Budaya Ternate

128 Pendidikan Multikultural


RANGKUMAN

Fondasi Pendidikan Multikultural menjadi Urgen dalam konteks In-


donesia yang memiliki Heterogenitas cukup tinggi. Keruntuhan sebuah
bangsa umumnya di tandai dengan semakin lunturnya nilai-nilai bangsa
tersebut, walauun secara fisik sebenarnya masih eksis. Terlebih, data-
ngnya Globalisasi mejadi sebuah frakmen dari perkembangan proses per-
adaban yang harus dilalui, untuk itu kehadiran pendidikan multikultural
menjadi sebuah keharusan bagi kokohya sebuah bangsa. Sementara itu,
bangsa Indonesia sejak dini sudah bertekad untuk ber- Bhineka Tuggal
Ika.
Tekad berBhineka Tuggal Ika itu tidaklah semudah apa yang dibay-
angkan dalam konteks ini, pendidikan multikultural dapat memberikan
kontribusi penting bagi pembentukan “Kebhinekaan Bangsa Indone-
sia”. Multikultural mempunyai kesinoniman dengan kata kebudayaan,
Kultural berasal dari kata Cultural dari bahasa latin; Lacultura artinya
serangkaian kegiatan intelektual sebuah peradaban. Sedangkan istilah
Budaya berasal dari disiplin ilmu Antropologi Sosial, Istilah Budaya dapat
diartikan sebagai totalitas pola perilaku kesenian, kepercayaan, kelem-
bagaan, dan semua produk lain dari karya dan penilaian manusia yang
mencirikan suatu masyarakat dan penduduk yang di transmisikan ber-
sama. Kebudayaan juaga di artikan sebagai norma-norma perilaku yang
disepakati oleh sekelompok orang untuk bertahan hidup. Sejalan dengan
pendapat Clifford Certenz yang menyatakan bahwa kultur adalah sebuah
cara yang dipakai semua anggota dalam sebuah kelompok masyarakat
untuk memahami siapa diri mereka dan untuk memberi arti pada ke-
hidupan nya.
Istilah “Multikultural” dari aspek bahasa mengandung dua pengertian
yang sangat kompleks, yaitu “multi” yang berarti plural dan “kultural”
berisi pengertian kultur atau budaya, Istilah multi mengandung arti yang
berjenis-jenis, bukan sekedar pengakuan akan adanya yang berjenis-
jenis tetapi juga pengakuan tersebut mempunyai implikasi-implikasi
yang sangat luas dan kompleks karena berhubungan degan ideologi,
politik, dan ekonomi. Karena itu multikultural berkaitan juga dengan
prinsip-prinsip demokrasi, hak hidup kelompok-kelompok masyarakat
dalam suatu komunitas karena mereka memiliki budaya nya masing-
masing.

IX. Rancangan Pendidikan Multikultural 129


Memaknai multikultural dalam konteks pendidikan berimplikasi
bahwa, secara operasional pendidikan multikultural pada dasarnya ada-
lah program pendidikan yang menyediakan sumber belajar yang beragam
bagi peserta didik (multiple learning environment) yang penerapannya
disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik.

TUGAS DAN LATIHAN

1. Bagaimana cara merancang Pendidikan Multikultural pada jenjang


Pendidikan Dasar?
2. Bagaiman cara mengenalkan Fondasi Pendidikan Multikultural pada
jenjang Pendidikan Dasar?
3. Jelaskan Perkembangan Mutakhir Pendidikan Multikultural pada
jenjang Pendidikan Dasar!
4. Jelaskan Focus Domain Pendidikan Multikultural pada jenjang
Pendidikan Dasar!
5. Jelaskan tentang Kontekstualisasi Pendidikan Multikultural pada
jenjang Pendidikan Dasar!

Daftar Pustaka

Kompas, 12 Januari 2007

Will Kymlicka. 2003. Kewargaan Multikultural: Teori Liberal mengenai


Hak-hak Minoritas. Jakarta: LP3ES.

Muhaimin. 2005. Arab Baru Pengembangan Pendidikan Islam. Bandung:


Nuasa Baru.

Kompas, “Ambon Manise, Ambon Menangis”, 1 Mei 2004

Mudjia Raharjo. 2007. Hermenetika Gadamerian: Kuasa Bahasa dalam


Wacana Politik Gus Dur. Malang: UIN-Malang Press.

130 Pendidikan Multikultural


Andika Purwasito. 2003. Komunikasi Multikultural. Surakarta:
Muhammadiyah University Press.

Achmad Habib, “Konflik Antaretnik di Pedesaan: Pasang surut Hubungan


Cina-Jawa (Yogya : LkiS, 2004)

Water, Malcolm, Modern Sosi010gica/Theor (London: sage Publications,


1994 17 S.

Nurcholis Madjid, “Islamic Roots of Modern Pluralism, Indonesian


Experiences,” dalam Studia Islamika. Vol.l.,l (April-June, 1994)

Maryam Yusuf, Konversi Agama Emis Cina, Disertasi, (Malang Universitas


Merdeka Malang, 2005).

Budhy Munawwar Rachman, Islam Pluralis Jakarta. Paramadina, 2001

Tilaar, H. A. R. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional


(Magelang. Tera Indonesia, 1998.

Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi


Kultural (Magelang. Indonesia Tera, 2003).

Tilaar, Perubahan Sosial Dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik


Tranformatif gntwk Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2004)

Tilaar, Multikulturisme: Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi


Perdidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2004).

Petit Robert, Didionaire de la lungue Francaise (Paris: tp, 1988), 437.

J.P. Kotter & J.L. Heskett, Dampak Budaya Perusahaan terhadap Kinerja
(Jakarta: Prenhallindo, 1992)

Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar Jakarta: Rjneka Cipta, 2003), 50-51.

Hilda Hernandez, MulkulturalAducation “Multicultural Education, A


Teacher Guide to Linking Contex, Proses, and Content (New Jersey:
Merrill Prentice, Hall, Inc., 2001).
IX. Rancangan Pendidikan Multikultural 131
James A. Banks, Cherry A. McGee Banks, Multicultural Education: Issues
and Perspecfives: Handbook of Research (Amerika: University of
Washington, 1993), 16

Donna M. Gollnick dan Philip C Chin dalam “Multicultural Education in a


Socioty” (New Jersey: Pearson Education Inc, 2Œ)2).

E. Stone, Reading In Educational Psychology (Inndon: Methuen, 1970),


102

132 Pendidikan Multikultural


BAB X
HUBUNGAN AGAMA
DAN PENDIDIKAN
MULTIKULTURAL

133
Tujuan Pembelajaran

Setelah mempelajari pembelajaran pada bagian ini anda diharapkan


memiliki kemampuan sebagai berikut :
1. Menjelaskan Cara Pandang Islam terhadap Pendidikan Multikultural
2. Menegaskan Hubungan Agama dengan Pendidikan Multikultural
3. Menjelaskan Ruang Dialogis Agama dan Pendidikan Multikultural
4. Menjelaskan tentang Harmonisasi Agama dengan Pendidikan
Multikultural

Kerangka Isi

Pada bagian ini memaparkan masalah-masalah pokok yang berkaitan


dengan cara pandang islam terhadap Pendidikan Multikultural; Hubungan
Agama dengan Pendidikan Multikultural; Ruang Dialogis Agama dan
Pendidikan Multikultural; serta tentang Harmonisasi Agama dengan
Pendidikan Multikultural.

134
A. Cara Pandang Islam terhadap Pendidikan Multikultural

Di kalangan para pemerhati dan praktisi pendidikan ma sih ada


yang berbeda pandang dalam menyikapi masuknya wilayah agama
dalam konteks pendidikan multikultural, sebagaimana dapat dikaji dari
pandangan Bowker dan Sonhaji yang menyatakan bahwa wilayah agama
adalah merupakan persoalan yang paling sensitif bagi setiap kelompok
keagamaan, Ini yang menyebabkan adanya kekhawatiran ketika wilayah
multikultural merambah pada wilayah agama, akan menyebabkan adanya
konfrontasi dan toleransi berkembang majadi intoleransi. Akibat lain dari
hal tersebut adalah hilangnya “kompromi’ dan “konsensus” sebagai kata
kunci sosial dalam memahami masyarakat Di samping dua kata tersebut,
semangat “negosiasi” dimungkinkan juga akan ikut hilang. Oleh karena itu
menurut Sonhaji, untuk menggulirkan gagasan pendidikan multikultural
dalam konteks Indonesia, Iebih aman difokuskan pada unsur etnis dan
derivasinya seperti komposisi etnis komunitas setempat, filosofi hidup
masing-masing etnis, bahasa dan tradisi yang digunakan dengan tanpa
melibatkan unsur agama.
Keterlibatan pimpinan lembaga pendidikan keagamaan dalam
berbagai kegiatan akademik, menunjukkan secara jelas bahwa
pengakuan akan keberagaman budaya yang ada di masyarakat memiliki
fungsi penting dalam menyebarluaskan misi rahmah li al-’alamin bagi
kehidupan sosial. Setidaknya ketika berkembang pertanyaan bagaimana
pendidikan multikultural dalam agama Islam, maka terdapat beberapa
prinsip yang mengemukan antara Iain:
1. Islam adalah agama yang universal, Islam bukan diperuntukkan bagi
salah satu suku bangsa, etnis tertentu, atau golongan tertentu sep-
erti dijumpai dalam Surat 21:107.
2. Islam menghargai agama-agama dan kepercayaan agama Iain Surat
5:48, Islam juga mengajarkan tidak ada pemaksaan dalam beraga-
ma, Surat 2:256.
3. Islam merupakan agama yang terbuka untuk diuji kebenarannya, Su-
rat 2;23.
4. Islam menegaskan bahwa keanekaragaman dalam kehidupan umat
manusia adalah alamiah, perbedaan itu mulai dari jenis kelamin,
suku, dan bangsa yang beraneka ragam, justru dari perbedaan itu
yang melahirkan sikap saling mengenal (ta’aruf).

X. Hubungan Agama dan Pendidikan Multikultural 135


Kiai Sholeh menambahkan, bahwa dari saling mengenal (ta’aruf)
lahirlah sikap saling mengerti. Jika hubungan antar sesama didasari
adanya saling mengerti atau saling memahami (mutual understanding),
maka akan melahirkan sikap saling menghargai (mutual respect). Jika
sudah mencapai tingkat saling menghargai, maka sikap saling percaya
(mutual trust) akan mendapat momentum yang signifikan dalam
kehihupan berbangsa dan bernegara dan tak mudah dinodai oleh sikap
saling curiga yang dapat memicu munculnya konflik.
Inilah yang menjadi dasar dalam rangka membangun karakter
(character building) menuju pembangunan kembali jati diri bangsa
yang memiliki moral religius. Dengan kata lain oreintasi pengembangan
pendidikan mutikultural di lembaga pendidikan keagamaan memiliki ciri
khusus yaitu religiositas atau multikulturalisme religius. Oleh karena
itu, dalam rangka membekali peserta didik agar memiliki pengetahuan
tentang moral (moral knowing), maka lingkungan di sekitar lembaga
pendidikan keagamaan juga dilibatkan dalam menumbuhkan rasa atau
keinginan untuk berbuat baik. Keinginan berbuat baik adalah bersumber
dari kecintaan untuk berbuat baik (loving to good). Aspek kecintaan
inilah yang disebut Piaget sebagai sum- ber energi yang secara efektif
menjadikan seseorang mempunyai karakter yang konsisten antara
pengetahuan (moral knowing) dan tindakannya (moral action). Maka
dari itu, aspek ini merupakan bagian yang paling sulit untuk dibangun,
karena menyangkut wilayah emosi.
Pandangan multikultural Andian Husaini seperti disiarkan di sebuah
radio dakwa 107 FM Depok 4 Januari 2008 dalam menanggapi hasil
penclitian kalangan Litbang Dcpag terlihat lebih konfrovesial. Husaini
mensinyalir adanya penyimpangan multikultural dari prinsip-prinsip
Islam. Menurutnya, setiap cendekiawan seyogyanya dalam melakukan
penelitian tidak terburu-buru menenma begitu saja paham-paham baru
seperti multikulturalisme tanpa menilainya dengan standar pandangan
hidup Islam (Islamic worldview). Husaini menegaskan bahwa dengan
menyimak indikator-indikator yang digunakan oleh para ahli yang pada
umumnya dalam mengukur tingkat “kemultikulturalan” seseorang,
tampak jelas paham ini memang justru berrnasalah. Semestinya Islam-
lah yang menilai paham multikulturalisme bukan sebaliknya, Islam
dan kaum Muslim justru dinilai dengan kacamata ”multikulturalisme”.
Kritik Husaini dalam konteks tersebut senada dengan kritik Anis ketika
mengomentari konsep pluralisme agama. Anis menegaskan, istiIah

136 Pendidikan Multikultural


pluralisme agama seperti halnya istilah multikultralisrne selama ini
telah dipahami dan didesain dalam bingkai sekuler, liberal dan logika
positivisme Barat. Akibatnya, agama dianggap sebagai human response
yang hanya bersifat sosiologis. Anis kemudian berkesimpulan, bahwa
claim kebenaran pluralisme agama tidak saja inconsistent, tetapi malah
inaplicable. Dari sudut sosiologi, apa yang dikhawatirkan Anis tentang
klaim kebenaran nampaknya memiliki keterkaitan dengan persepsi
Merton yang menyinggung ambiguitas funggi dalam mulle range theory-
nya.7 Dalam teori tersebut, Merton menyebut dua fungsi, yakni fungsi
manifes dan fungsi latent Dua fungsi tersebut juga bisa diperlakukan
dalam keberagarnaan segeorang, Artinya agama bisa memunculkan fungsi
laten manakala dapat menghancurkan kohesi sosial (disfungsional), Di
sisi lain agama pun berpotensi memunculkan fungsi manifes manakala
dapat mengikat integrasi sosial (fungsional).
Pandangan terakhir ini,mengindikasikan adanya pernbatasan wilayah
yang bisa diterapkan ataupun disosialisasikan pandidikan multikultural.
Pada wilayah yang mcmiliki heterogenitas etnis cukup tinggi seperti
di Kalimantam Pola pikir keagamaan sebagimana di atas tidak berarti
menjadi model pemahaman yang final, tetapi merupakan pernaharnan
dengan pendekatan tersendiri. Hal itu dikarenakan pemahaman
keagamaan yang demikian itu lebih melihat dan memahami agama
melalui pendekatan teks ansich. Perbedaan jendela pandang inilah yang
merupakan cikal bakal lahirnya kcragaman mengenai ruang lingkup
pendidikan multikultural. Oleh sebab itu, untuk membawa gagasan
pendidikan multikultural pada garis demarkasi (khairul umur ausathuha),
barangkali yang diperlukan justru pada pemilahan atau klasifikasi antara
multikultural dalam tataran praktis di satu sisi dan pada tataran konsep
di sisi yang lain. Dengan pemilahan ini pemahaman tentang pendidikan
multikultural dapat diharapkan terimplementasi secara proporsional.
Perdebatan seputar ranah agama, tidak bisa dilepaskan dari klaim
kebenaran dalam beragama. Klaim kebenaran memang absah adanya,
karena tanpa klaim tersebut agama sebagai sistem kehidupan tidak akan
memiliki kekuatan simbolik yang cukup kuat yang dijadikan pedoman
oleh setiap pengikutnya. Di samping itu, agama juga mempunyai asumsi
dasar perlunya manusia akan pegangan hidup yang stabil dan tidak
berubah-ubah. Tetapi tidak dapat dipungkiri, kehidupan manusia, juga
penuh diwamai dengan ketidakstabilan dan perubahan-perubahan yang
tidak menentu.

X. Hubungan Agama dan Pendidikan Multikultural 137


B. Hubungan Agama dengan Pendidikan Multikultural

Sejarah menunjukkan bahwa adanya perselisihan, pertikaian,


konflik dan peperangan antar komunitas agama baik di kawasan Asia,
Afrika, Eropa maupun Amerika, antara lain merupakan akibat dari
klaim kebenaran yang melebar memasuki wilayah sosial politik yang
bersifat praktis-empiris. Dalam hal ini, multikulturalisme meniscayakan
keragaman dan pluralitas. Titik tekan multikulturalisme adalah terletak
pada domain bangunan kesadaran akan keragaman. Dengan demikian
jika istilah mustikulturalisme dilihat dari perspektif fungsinya bagi
kehidupan manusia, maka pendidikan multikultural berfungsi sebagai
wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya
(insaniyyah). Dengan perspektif init yang harus diperhatikan bersama
untuk kesatuan pendapat dan pemahaman adalah bagaimana pendidikan
multikultural dalam sebuah proses pendidikan dapat operasional melalui
lembagaternbaga pendidikan bahkan kalau memungkinkan melaiui
pranata-pranata sosial sehingga dapat menjalankan fungsinya secara
maksimal.
Para ahli antropolog seperti Geertz memandang agama sebagai salah
satu unsur kebudayaan. Menurutnya, manusia mempunyai akal-pikiran
dan sistem pengetahuan yang digunakan untuk menafsirkan berbagai
gejala serta simbol-simbol agama. Sementara pemahaman manusia
sangat terbatas dan tidak mampu mencapai hakikat dari ayat-ayat dalam
kitab suci masing-masing agama. Manusia hanya dapat menafsirkan
ayat-ayat suci sesuai dengan kemampuan yang ada. Dalam konteks ini,
Tibi dalam menguatkan pendapat Geeru menyatakan, bahwa agama
bersifat kultural dan oleh karena itu agama merupakan kumpulan dari
simbol-simbol dan sistem-sistem; agama sebagai model for reality tidak
bisa ditembus secara eksperimental tetapi harus secara interpretatif.
Agama merupakan sistem keyakinan individu yang melibatkan emosi-
emosi dan pemikiran-pemikiran dan diwujudkan dalam Kndakantindakan
keagamaan (upacara, ibadat, dan amal ibadat) yang bersifat pribadi
maupun kelompok yang melibatkan sebagian atau seluruh masyarakat.
Sebenarnya, secara horizontal, agama merupakan media untuk
bersosialisasi, hal ini tidak menemukan permasalahan pelik ketika
berhadapan dengan orang-orang satu ideologi, permasalahan pelik
muncul ketika berhadapan dengan orangorang yang beda ideologi,
karena masing-masing agama mempunyai prinsip-prinsip ajaran yang

138 Pendidikan Multikultural


berbeda satu sama lain, di sinilah diperlukan pendidikan yang dapat
menumbuhkan sikap saling menghormati antara pemeluk agama satu
dengan yang lain. Dalam istilah teknisnya dikenal dengan toleransi ter
hadap keyakinan, tingkah laku, dan adat istiadat yang berbeda dari apa
yang dimiliki seseorang.
Dengan demikian, maka dapat dipahami jika dialektika antara nilai-
nilai Islam serta agama-agama lainnya dan nilainilai budaya memiliki
pijakan yang cukup mapan. Menurut Madjid dialektika di antara keduanya
dilandasi oleh dua hal yaitu; semangat humanitas dan universalitas Islam.
Indikasi hubungan di antara keduanya nampak pada sinergisnya hubungan
antara Islam sebagai agama dan nilai-nilai budaya sebagai pemahaman
manusia untuk tidak menyebutnya antara teks dan pemikiran manusia.
Pemikiran yang dipilih oleh Madjid di atas mengilhami pola pikir Amin,
bahwa menurutnya apa yang disebut budaya tidak lain adalah apa yang
dipikirkan, dibuat dan dilakukan orang, kelompok, atau masyarakat
dengan mengatasnamakan rasial, suku, agama, gender, dan sebagainya.
Oleh karenanya, dapat dibenarkan untuk menga takan bahwa telah ada
hubungan dialektis antara agama dan budaya untuk tidak menyebutnya
antara teks dan pemikiran manusia. Dengan lain ungkapan, agama dan
budaya adalah merupakan hasil perpaduan yang kompleks antara yang
bersifat “manusia” (human) dan yang bersifat “ketuhanan” (divine) atau
dalam bahasa Amin perpaduan antara tulisan keagamaan (religions)
dan faktor-faktor sosial-budaya. Demikian sinergisnya hubungan antara
Islam sebagai agama dan nilai-nilai budaya seperti yang dipertegas oleh
kerangka teoritik yang digunakan kedua ilmuan tersebut.
Sebagaimana dipahami bersama, bangkitnya semangat multikultur-
alisme yang belakangan mulai merebak di berbagai lini kehidupan, tidak
saja dikarenakan faktor ekstenal tetapi lebih disebabkan oleh faktor in-
ternal. Di antara faktor internal yang mengemuka itu antara lain adanya
pijakan dari sebuah kebangkitan yang mendasar, mengenai perjuangan
untuk mendapatkan pengakuan identitas dan perjuangan ideologi. Juga
semangat patriotisme yang secara legal-formal didasari antara lain oleh;
Sumpah Pemuda, Pancasila, UUD 1945, peraturan, perundang-undangan
yang berlaku, Bhinneka Tunggal Ika, dan nilai-nilai universal ajaran aga-
ma yang diterima bersama.
Asumsi-asumsi di atas semakin memperkuat sebuah persepsi bahwa,
pendidikan multikultural mutlak diperlukan untuk membangun karakter
suatu bangsa. Melalui pendidikan multikultural, sikap saling menghargai

X. Hubungan Agama dan Pendidikan Multikultural 139


(mutual respect), saling pengertian (mutual understanding), dan
saling percaya (mutual trust) terhadap perbedaan akan terbangun dan
berkembang dengan baik. Apalagi ketika faktor-faktor yang menjadi
motivasi munculnya konflik-konflik di negerł ini dikaitkan dengan
karakter bangsa kita yang rentan di provokasi. Dengan kandungan ketiga
muatan nilai-nilai tersebut, pendidikan multikultural bisa dikatakan
sangat mendesak sebagai sarana yang paling strategis untuk mengasah,
menanamkan kesadaran, dan mengembangkan warga negara yang
memilki keadaban (civility) keterampilan, menumbuhkan kesadaran
akan cara hidup demokratis, yang intinya adalah penanaman moral serta
partisipasi aktif menuju masyarakat madani Indonesia.
Merebaknya wacana multikultural di berbagai forum dan kajian,
pada umumnya dimotivasi oleh suatu keinginan bersama bahwa
dalam hidup ini seharusnya ada standar-standar moral yang dapat
mengarahkan sebuah tindakan interaktif antara tindakan seseorang
dcngan dunianya yaitu dengan sesama manusia untuk diberi maknm
Proses ini yang kemudian disebut sebagi proses humanisasi. Oleh
karenanya, penyelenggaraan pendidikan multikultural dalam konteks
Indonesia perlu mempertimbangkan filosofi bangsa. Pada titik inilah
diperlukan adanya kejelasan mengenai tujuan dan penanaman nilai-nilai
dan sikap sosial yang hendak ditanamkan. Hal itu akan menyebabkan
strategi implementsi pendidikan multikultural dalam proses pendidikan
akan menentukan kecendrungan mana yang ingin diharapkan.
Pendidikan multikultural dalam konteks ini adalah sebagai suatu
proses pendidikan yang memungkinkan individu dapat mengembangkan
diri dengan cara merasa, menilai, dan berprilaku dalam sistem budaya
yang berbeda dengan sistem budaya mereka,ț8 Konsep semacarn ini,
dapat berkembang dengan baik apabila ditanamkan secara sistematis
sejak usia dini yaitu mulai dari jenjang pendidikan terendah sampai
jenjang tertinggi yang diarahkan menuju terwujudnya pembangunan
karakter yang dalam proses pendidikan mesti melampaui tiga domain
sebagaimana disinggung oleh Bloom dkk. dengan taksonominya, yaitu
domain kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Dalam tataran pengembangan kurikulum pendidikan multikultural,
pemerintah pusat memberikan kewenangan lebih kepada perguruan
tinggi. Sementara hal tersebut, tidak diberikan kepada lembaga
pendidikan pada jenjang menengah dan dasar yang meliputi SMA/MA/
SMK, SMP/MTS, SD/MI, dan TK/RA/BA. Ini mengandung pengertian bahwa,

140 Pendidikan Multikultural


dalam konteks penyelenggaraan pendidikan multikultural, perguruan
tinggi memiliki otoritas lebih dibanding jenjang pendidikan yang ada
di bawahnya. Terkait dengan hal tersebut, ada beberapa pertanyaan
mendasar dalam penyelenggaraan pendidikan multikultural, antara lain;
pertama, apakah penerapan pendidikan multikultural difokuskan kepada
pembentukan generasi yang mampu mengamalkan makna Bhinneka
Tunggal Ika dalam kehidupan nyata sehari-hari? Kedua, Apakah penerapan
pendidikan multikultural ditujukan kepada pembentukan generasi yang
mampu bertindak sebagai gerbang bagi terbukanya pergaulan antar
golongan secara jujur dan saling menghormati? Ketiga, Apakah penerapan
pendidikan multikultural ditujukan kepada pembentukan generasi yang
lebih senang bertindak æbagai benteng yang mampu mengamankan
komunitas etnisnya atau agamanya dari tantangan dan ancaman dari
luar?
Pertanyaan besar di atas akan mengantarkan masyarakat kepada
titik kesadaran, sehłngga perlu dipertimhangkan seca„ ra cermat dan
penuh kearifan dalam melihat pendidikan multikultural sebagai perwu-
judan masyarakat madani (civil socrety) yang Bhinneka tetapi satu di
dalam tujuan yaitu membangun masyarakat Indonesia yang besar dalam
kehidupan global umat manusia. Oleh karenanya, pengkajian tentang
pendidikan multikultural pada tataran praktis bisa merambah pada
ranah teknis penyelenggaraan pendidikan. Meski, akhir-akhir ini terjadi
perdebatan panjang seputar strategi implementasi pendidikan multikul-
tural dalam sebuah lembaga pendidikan formal. Lokus perdebatannya
berkisar kepada permasalahan apakah Błndidikan multikultural menjadi
bagian dari sruktur kurikulum dalam wujud muatan wajib, muatan lokal
atau sebagai pengembangan kepribadian. Terdapat pula perdebatan
yang menjadikan pendidikan multikultural hanya sebagai pendekatan
dalam sebuah proses pendidikan sehingga bukan merupakan bagian dari
struktur kurikulum formal.

C. Ruang Dialogis Agama dan Pendidikan Multikultural

Islam melarang umat manusia berbuat kerusakan di muka bumi,


lebih-lebih menumpahkan darah, mmghilangkan nyawa dengan alasan
yang tidak benar. Islam mengkategorikan tindakan membunuh atau
menumpahkan darah tanpa alasan yang benar sebagai dosa besar. Al-

X. Hubungan Agama dan Pendidikan Multikultural 141


Qur’an menegaskan bahwa membunuh satu jiwa sama artinya dengan
membunuh seluruh manusia. Konsep Islam tentang tata pergaulan
seperti ini mesti dikedepankan sebagai basis. Oleh karena itu, tidak
selayaknya ditutup-tutupi, apalagi diingkari adanya kelompok-kelompok
itu. Sebagai ajaran yang terbuka, juga tidak selayaknya para umatnya
memiliki rasa takut untuk terpengaruh oleh ajaran lain. Ketakutan dapat
dimaknai sebagai penyandang mental kalah atau ekspresi penyakit
rendah diri (inferiority complex) yang seharusnya dihindari oleh umat
Islam. Atas dasar keyakinan yang kokoh, Islam memberikan kebebasan
umatnya bergaul secara bebas dan terbuka dalam pentas pergaulan
umat manusia.
Perhatian serius terhadap eksistensi pendidikan multikultural akan
berpotensi menghidupkan kembali suasana dialogis dalam komunitas
lembaga pendidikan keagamaan. Padahal apabila diamati akhir-akhir ini,
lembaga pendidikan keagamaan seperti pesantren dan seminari, sejak
berdirinya senantiasa berupaya berdialog dengan lingkungan masyarakat
sekitamya. Keberadaan yang mengakar di tengah-tengah masyarakat
menjadikan lembaga pendidikan keagamaan tersebut terkesan tidak
terisolir, apalagi eksklusif. Di sinilah pemahaman mengenai pendidikan
multikultural dalam lembaga pendidikan keagamaan akan menjadikannya
sebagai sebuah simbol-simbol sistem pengetahuan. Sistem pengetahuan
yang terbangun di lembaga pendidikan keagamaan tersebut merupakan
pertemuan yang unik antara kategori sosial secara vertikal dan
katagori kultural secara horizontal. Karena itu, kandungan pendidikan
multikultural di lembaga pendidikan keagamaan dapat bersifat lintas
tipe, terlebih, pelembagaan pendidikan multikultural ini menjadi
sangat penting jika dilihat kaitannya dengan kandungan nilai dan simbol
yang dibawakan. Menariknya, pelaksanaan pendidikan multikultural
di tembaga keagamaan, senantiasa memiliki keunikan tersendiri
dalam mengimplementasikannya. Artinya, strategi yang digunakan
lebih menekankan pada aspek tertentu sebagai bentuk konsekuensi-
konsekuensi dari nilai yang dipahaminya. Tentunya ada banyak faktor
yang mempengaruhi dalam membangun sistem yang fungsional, apakah
itu fungsi manifes ataupun fungsi laten sebagaimana yang diasumsikan
Merton dalam postulat-postulat yang diajukannya.
Dari kajian mengenai pendidikan multikultural, akan menghasilkan
suatu pemahaman yang agak berbeda dengan berbagai studi yang
lebih menekankan pada dimensi konseptual semata. Namun setidaknya

142 Pendidikan Multikultural


kajian-kajian terdahulu bisa saja saling melengkapi dan mengokohkan.
Berangkat dari hal tesebut, dari kajian ini sekurang-kurangnya akan
ditemukan di dalam tataran apa pendidikan multikultural dilaksanakan
dan pada tataran apa sebuah motivasi dimaksudkan (recognized). Juga
akan digali bagaimana proses keduanya terjadi dalam sebuah konfigurasi
unit sosial yang subsistem satu dengan lainnya berbeda.
Digagasnya wacana multikultul dalam dunia pendidikan merupakan
langkah strategis sebagai upaya menumbuhkan kesadaran akan cara
hidup yang lebih demokratis. Hal itu juga berparalel dalam menata jalan
menumbuhkan pendidikan berbasis penanaman moral kepada masyarakat
luas. Melalui pendidikan multikultural, sikap saling menghargai (mutual
respect), saling pengertian (mutual understanding), dan saling percaya
(mutual trust) dalam menyikapi berbagai perbedaan akan terbangun dan
berkembang dengan baik. Mengenai cara hidup demokratis al-Murshiy
menyebutkan bahwa pendidikan dalam masyarakat yang demokratis
bertujuan untuk merealisasikan garis-garis, prinsip dan pemikiran
yang termuat dalam ideologi demokratis kepada masyarakat melalui
bimbingan dan arahan terhadap individu, dengan cara menyediakan
pendidikan dan pengajaran yang benar.
Di sisi lain, dalam membangun harmonisasi masyarakat dengan
paradigma ganda, misalnya masyarakat Muslim-Pancasilais yang sehat,
tentunya tidak bisa secara taken for granted atau trial and error.
Sebaliknya harus diupayakan secara sistematis, programatis, terintegrasi
dan kontekstual. Lembaga pendidikan keagamaan juga memiliki fungsi
membimbing umat manusia agar berlaku baik sesuai dengan fitrahnya.
Sementara itu, di dalam masyarakat terdapat sekian banyak lembaga
atau institusi yang masing-masing men-tiliki fungsi berbeda sesuai
dengan peran yang harus dimainkannya. Untuk melaksanakan fungsinya,
lembaga pendidikan berperan untuk menularkan nilai-nilai baik kepada
para peserta didik.
Di sisi lain, pendidikan kita saat ini berhadapan dengan berbagai
masalah dan tantangan. Sebagai negara berkembang pendidikan
nasional memikul peran multidimensi, berbeda dengan peran pendidikan
pada negara-negara maju, yang pada dasarnya lebih banyak sebagai
transfer of knowledge. Dalam konteks ini, pelaksanaan pendidikan
multikultural memerlukan pengkajian yang mendalam terhadap strategi
implementasinya dalam menanamkan nilai-nilai multikultural sehingga
dapat dipahami secara proporsional antara konsekuensi tindakan yang

X. Hubungan Agama dan Pendidikan Multikultural 143


diharapkan (intended) dan konsekuensi tindakan yang bersifat obyektif
yang tidak dimaksudkan dan tidak diketahui (unintended).
Dari berbagai persoalan di atas, peran pendidikan multikultural
dengan demikian memikul beban lebih berat. Sebab, tidak hanya sebagai
transfer ilmu pengetahuan semata, tetapi lebih luas lagi adalah menata
pembangunan mental bangsa. Muara dari arus pengembangan pendidikan
itu adalah pembentukan karakter dan watak (nation and character
building), yang pada gilirannya sangat krusial bagi nation building atau
dalam bahasa lebih sederhana, berorientasi menuju rekonstruksi negara
dan bangsa yang lebih maju dan lebih beradab. Untuk mewujudkan
idealitas semacam itu, diperlukan pembangunan sebuah karakter.
Membangun karakter (character building) termasuk di dalamnya
nilai kejujuran, disiplin dan sebagainya, menurut Lickona memerlukan
suatu proses pembinaan terpadu secara terus menerus antara ketiga
dimensi moral yaitu; moral knowing, moral feeling, dan moral action.
Oleh karena itu, dalam mengkaji pelaksanaan pendidikan multikultural
di lembaga pendidikan keagamaan, sesuai karakteriktik yang ada secara
praksis di lapangan, ada beberapa persoalan yang menyisakan pengkajian
secara mendalam, antara lain: terkait dengan kekuatan pengajaran
yang dimiliki, strategi implementasi, keterlibatan para elit lembaga
pendidikan keagamaan dalam memerankan fungsi sosialnya sampai pada
orientasi dari penanaman nilai-nilai multikulturalisme. Peran tersebut,
ini yang terkadang berimplikasi pada munculnya konflik internal terkait
dengan penentuan sebuah strategi. Pada gilirannya, pemegang kebijakan
dalam lembaga pendidikan keagamaaan tersebut melahirkan pemaknaan
pendidikan multikultural yang sangat beragam. Ada yang bersikukuh
memposisikan sebagai multicultural-based instruction. Namun juga
ada yang cenderung lebih memposisikan sebagai multicultural-oriented
instraction. Ketidak imbangan antara ke siapan yang dimiliki di satu Sisi
dan apresiasi yang diberikan di Sisi yang lain akan berimbas pada sistem
penyelenggaraan pendidikan multikultural yang tidak proporsional.
Berbagai persoalan tersebut dapat dilihat dengan menggunakan
perspektif middle range theory yang dikembangkan oleh Robert K.
Merton. Dengan perspektif teori ini dimungkinkan dapat terdeskripsikan
dengan jelas tentang kemungkinan munculnya alternatif-alternatif fungsi
sosial yang dikembangkan oleh elit lembaga pendidikan keagamaan,
yang selanjutnya dapat dibedakan antara motif dan konsekuensi suatu
tindakan. Dalam asumsi Merton, dijelaskan bahwa realitas dalam

144 Pendidikan Multikultural


sebuah lembaga pendidikan keagamaan memperlihatkan bahwa tidak
semua motif membuahkan konsekuensi tindakan yang diharapkan
(manifes). Pun tidak jarang pula dijumpai fungsi motif dan konsekuensi
tersebut yang bersifat laten. Oleh karena itu, untuk melihat bagaimana
pendidikan multikultural dapat disemaikan dalam lembaga pendidikan
keagamaan, ada dua teori yang bisa didekati; pertama, teori yang
berkaitan dengan internal organization (organisasi internal). Kedua,
teori yang berhubungan dengan educational process (proses pendidikan).
Organisasi internal terdiri dari birokrasi dan struktur kelembagaan.
Sedangkan dari Sisi proses pendidikan meliputi; kurikulum mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi sampai pada standar kompetensi
lulusan.

D. Harmonisasi Agama dengan Pendidikan Multikultural

Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa bagaimanapun juga, dalam


kehidupan ini harus ada standar-standar moral dan keadilan universal
yang menjadai acuan umum dan harus ditaati bersama oleh semua
masyarakat yang mempunyai kultur berbeda agar tidak teıjadi kesema-
menaan atas nama kultur. Di sisi yang lain, pembentukan masyarakat
multikultural Indonesia yang sehat tidak bisa secara taken for granted
atau trial and error, sebaliknya harus diupayakan secara sistematis,
programatis, integrited dan berkesinambungan. Adanya fenomena
sosial tersebut secara tidak langsung mampu melahirkan manusia yang
memilki karakter (character buillding). İni yang menyebabkan sendi-
sendi yang menopang ‘kehidupan sebuah bangsa pada umumnya adalah
sebuah karakter dan mentalitas rakyatnya. Tak jarang hal itulah yang
menjadikan sebuah terbentuk dari sekumpulan tata nilai (values). Fungsi
dari karakter tersebut sangat strategis yakni sebagai pondasi kebangsaan
dalam membangun negara. Oleh karenanya, kualitas sebuah bangsa
tercermin pada kepribadian bangsa yang tercermin dari nilai-nilai luhur
budayanya. Nilai-nilai inilah yang difungsikan sebagai kekuatan yang
dapat meningkatkan kualitas manusia atau para warga sebuah bangsa
yang menerima pengajaran dan pendidikan. Nilai-nilai yang dimaksud
adalah semua nilai yang menyebabkan seorang manusia menjadi semakin
manusia. Tidak saja karena pandai dan terampil, melainkan pula baik
berdasarkan keluhuran budi pekertinya.

X. Hubungan Agama dan Pendidikan Multikultural 145


Adanya fakta yang menyebutkan bahwa Islam memperkokoh toleransi
dan memberikan aspirasi terhadap multikulturalisme menegaskan bahwa
memang ada hubungan yang kuat antara nilai-nilai (agama) dalam
kebangsaan. Hubungan antara multikulturalisme dan Islam misalnya,
sebagaimana dikemukakan Nurcholis Madjid, dilandasi dan berpijak
pada semangat humanitas dan universalitas Islam. Kedua landasan ini
menghendaki munculnya sikap inklusif. Hal ini merupakan wujud dari
posisi Islam sebagai agama terbuka (open religion). Ada beberapa
ayat dalam al-QuFan yang bisa dijadikan rujukan dalam menjustifikasi
keterbukaan Islam terhadap realitas kemajemukan ini seperti; al-Quran,
(al-Baqarah): 148, (Ali ‘Imran): 105, (al-Maidah): 48, (al-A’raf): 160, 49
(al-Hujurat): 1113, dan masih banyak lagi ayat-ayat yang senada dengan
ayat di atas. Kisah lain mengenai perhatian Islam terhadap multikultural
misalnya adalah kisah perjalanan Umar bin Khattab ketika melawat ke
Yarussalem. Saat itu, Umar bin Khattab ditawari oleh Uskup Sophronius
untuk melakukan shalat di dalam gereja kota Yarussalem -gereja
makam suci Yesus yang dikenal dengan The Holy Sepulchure- tapi beliau
menolaknya dengan halus dan akhirnya Umar melaksanakan shalat di
teras gereja. Pada akhir riwayat, pertemuan antara kedua tokoh tersebut
menghasilkan sebuah pejanjian damai yang dikenal dengan perjanjian
Aelia. Dari kisah ‘Umar ini merupakan sebuah gambaran bagaimana
sosok Umar telah memberikan contoh nyata tentang cara bersikap dalam
menghargai orang yang berbeda agama, dan masih banyak contoh lain
dari beberapa perilaku Nabi”. Jauh dalam konteks Indonesia, apa yang
tergali dari kisah Umar di Yerussalem menjadi pelajaran berharga dalam
menumbuhkan pendidikan multikultural di Indonesia. Bahwa di dalam
pendidikan multikultural ada keterkaitan antara Islam dan dasar negara
Indonesia Pancasila. Ada muatan Bhineka Tunggal Ika dan tidak ada
yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Ini yang menjadikan sudah
sepatutnya setiap orang sebagai warga negara Indonesia berkewajiban
mensosialisasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Sudah waktunya lembaga pendidikan keagamaan untuk mencoba
mengimplementasikan nilai-nilai multikultural, baik dalam tataran
teoritis maupun dalam tataran praktis. Hal inilah yang akan menumbuhkan
nilai-nilai Pancasila secara individu untuk dimaknai sebagai cermin
perilaku hidup sehari-hari dan mewuju dalam cara bersikap dan dalam
cara bertindak. Hal tersebut bisa diamati dari adanya kegiatan gotong-
royong yang dilakukan secara periodik. di kalangan pimpinan pendidikan

146 Pendidikan Multikultural


maupun peserta didik. Perbuatan gotong-royong dimaknai sebagai
sesuatu yang mempunyai nilai, sehingga gotong-royong tersebut menjadi
lebih bermakna karena telah menjadi pola pi kir, pola sikap, dan pola
tindak seseorang secara individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Oleh karena itu, nilai gotongroyong sebenarnya adalah perilaku yang
menunjukkan adanya rasa saling membantu sesama dalam melakukan
sesuatu yang bisa dikerjakan secara bersama-sama sebagai perwujudan
dari rasa solidaritas yang memiliki makna kebersamaan dalam kegiatan
bergotong-royonöebagai contoh yang Iain, nilai benda kayu jati dianggap
tinggi, sehingga kayu jati memiliki nilai jual Iebih mahal daripada kayu
kamper atau kayu Iainnya. Secara intrinsik kayu jati adalah kayu yang
memiliki kualitas yang baik, tangguh, tidak mudah kropos, dan Iebih
kuat daripada jenis kayu yang Iain seperti kamper. Sudah sewajamya
jika kayu jati, menurut pandangan masyarakat khususnya pemborong,
nilainya mahal. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
pengertian dan makna nilai adalah suatu bobot/ kualitas perbuatan
kebaikan yang terdapat dalam berbagai hal yang dianggap sebagai
sesuatu yang berharga, berguna, dan memiliki manfaat.
Legitimasi (pendidikan) multikultural secara yuridis formal dapat
dikaji dari beberapa ketentuan berikut:
1. UU No 2 tahun 1989 Bab III pasal 7 tentang Sisdiknas (Sistem
pendidikan nasional) bahwa penerimaan seseorang sebagai peserta
didik dalam suatu satuan pendidikan diselenggarakan dengan tidak
membedakan jenis kelamin, agama suku, ras kedudukan sosial, dan
tingkat kemampuan ekonomi (Education for All).
2. UU Nomor 22 tahun 1999 Bab IV tentang Pemerintahan Daerah,
bahwa daeran-daerah diberi kewenangan untuk mengurus dirinya
sendiri.
3. UUNo 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas (Sistem pendidikan nasional)
Bab III Pasal TV Ayat 1 yang berbunyi, Pendidikan yang diselenggarakan
secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural,
dan kemajemukan bangsa.
4. AP MPR No 7 tahun 2001 tentang etika kehidupan berbangsa dan juga
tentang visi Indonesia masa depan dalam memasuki abad 21 yang
intinya meliputi 2 hal yaitu; membangun masyarakat demokratis dan
membangun manusia cerdas yang bermoral.

X. Hubungan Agama dan Pendidikan Multikultural 147


Pendidikan multikultural memiliki legitimasi dari tiga sudut
landasan yang merupakan segitiga kekuatan untuk melegitimasi wacana
multikulturalisme dalam dunia (pendidikan) Indonesia. Tiga landasan
yang dimaksudkan adalah landasan filosofi di satu sisi, konsep al-
Qur’an tentang kemanusian, kebangsaan, keberagaman, universalitas
Islam di Sisi yang lain dan UU sebagai kekuatan yuridis formalnya.
Hubungan saling mendukung antara paradigma quraniy, filosofi dan
yuris prodensi secara tidak langsung merupakan sumber inspirasi
dalam mengembangkan dan mensosialisasikan prinsip multilkultural.
Namun nyatanya, masih ada problem yang mangganjal berkaitan
dengan pengembangan pendidikan multikultural. Beberapa persoalan
yang belum terungkap dalam pendidikan multikultural misalnya yang
terkait dengan strategi, muatan, karakteristik dan prinsip-prinsip yang
ditanamkan dalam sebuah penyelenggaran pendidikan. Apalagi dalam
wacana pendidikan multikultural juga belum diungkap mengenai fungsi
suatu struktur dalam menjalankan fungsi sosialnya. Bagaimana struktur
dalam suatu komunitas berintegrasi antar sub sistem untuk mewujudkan
keharmonisan, bagaimana faktor-faktor yang dikembangkan untuk
mengembangkan multikulturalisme.

Tari Jaranan

148 Pendidikan Multikultural


RANGKUMAN

Ranah agama memang tidak bisa di lepaskan dari klaim kebenaran


dalam agama. Klaim kebenaran memang absah adanya, karna tanpa
klaim tersebut agama sebagai sistem kehidupan tidak akan memiliki
kekuatan simbolik yang cukup kuat yang di jadikan pedoman oleh setiap
umat nya. Disamping itu agama memiliki asumsi dasar perlunya manusia
terhadap pegangan hidup yang stabil dan tidak berubah-ubah. Tetapi
tidak dapat di pungkiri kehidupan manusia juga penuh di warnai dengan
ketidak pastian dan perubahan-perubahan yang tidak pasti.
Sejarah menunjukkan bahwa adanya perselisihan, pertikaian, dan
konflik antar komunitas agama baik di kawasan Asia, Afrika, Eropa,
maupun Amerika, anatara lain merupakan akibat dari Klaim kebenaran
yang melebar, meliputi wilayah sosial politik yang bersifat praktis empiris
dalam hal ini multikulturalisme meniscayakan keragaman dan pluralitas.
Titik tekan multikulturalisme adalah terletak pada domain kesadaran
akan keragaman.
Robert K. Merton menjelaskan bahwa realitas dalam sebuah lem-
baga pendidikan agama memperlihatkan bahwa tidak semua motif mem-
buahkan konsekuensi tentang tindakan yang diharapkan (manifest). Ke
arena itu untuk melihat hubungan Agama dengan Pendidikan Multikul-
tural ada dua teori yang bisa didekati, Pertama; Teori yang berkaitan
dengan Internal Organitation (Organisasi Internal). Kedua; Teori yang
berhubungan dengan Educational Process (Proses Pendidikan) yang dari
sisi Proses Pendidikan meliputi; Kurikulum, mulai dari Perencanaan,
Pelaksanaan, Evaluasi sampai pada Standart Kompetensi Lulusan. Disisi
lain, adanya fakta yang menyebutkan bahwa islam memperkokoh Toler-
ansi dan memberikan Aspirasi terhadap Multikulturalisme, menegaskan
bahwa memang ada hubungan yang kuat antara nilai-nilai (Agama) dalam
kebangsaan. Hubungan antara Mulikulturalisme dan Islam misalnya, se-
bagaimana dikemukakan Nur Kholis Majid, dilandasi dan berpijak pada
semangat Humanitas dan Universalitas Islam.
Kedua landasan ini menghendaki munculnya sikap inclusif. Hal ini
merupakan wujud dan dari posisi islam sebagai agama terbuka (open
rligion). Memang sudah waktunya lembaga pendidikan agama mencoba
mengiplementasikan nilai-nilai multikulturalisme, baik dalam tataran
teoritis maupun dalam tataran praktis. Hal inilah yang akan menumbuhkan
nilai-nilai Pancasila secara Individu untuk di maknai sebagai cermin
X. Hubungan Agama dan Pendidikan Multikultural 149
perilaku hidup sehari-hari dan mewujudkan cara bersika, dan bertindak.
Hal itu bisa di amati dari adanya kegiatan Gotong Royong dimaknai
sebagi sesuatu yang memiliki nilai, sehingga Gotong Royong tersebut
menjadi lebih bermakna karena telah menjadi Pola Pikir, Pola Sikap,
dan Pola Tindak seseorang secara Individual maupun sebagai Anggota
Masyarakat. Oleh karena itu nilai Gotong Royong sebenarnya adalah
perilaku yang menunjukkan adanya saling membantu sesama dalam
melakukan sesuatu yang bisa dikerjakan secara bersama-sama. Sebagai
perwujudan dari rasa solidaritas yang meiliki makna kebersamaan dalam
kegiatan gotong royong.
Pendidikan multikultural memiliki legitimasi dari tiga sudut lan-
dasan yang merupakan segitiga kekuatan untuk melegitimasi wacana
multikulturalisme dalam dunia (pendidikan) di Indonesia. Tiga landasan
yang dimaksudkan adalah filosofi di satu sisi, konsep Al-Qur’an tentang
kemanusiaan, kebangsaan, keberagaman, universitas islam di sisi yang
lain dan Undang-undang Yuridis formalnya, Hubungan saling mendukung
antara paradigma Qur’ani filosofi dan yurespodensi secara tidak langsung
merupakan sumber inspirasi dalam mengembangkan dan mensosialisasi-
kan prinsip multikultural. Namun, masih ada problem yang mengganjal
berkaitan dengan pengembangan pendidikan multikultural. Beberapa
persoalan yang belum terungkap dalam pendidikan Multikultural mis-
alnya yang terkait dengan strategi, muatan, karakteristik dan prinsip-
prinsip yang ditamankan dalam penyelenggaraan pendidikan apalagi
dalam wacana pendidikan Multikultural juga belum di ungkap mengenai
fungsi suatu struktur dalam menjalankan fungsi sosialnya. Bagaimana
struktur dalam suatu komunitas berintegrasi antar sub sistem-sistem un-
tuk mewujudkan keharmonisan, bagaimana faktor-faktor yang dikem-
bangkan untuk mengembangkan multikulturallisme.

TUGAS DAN LATIHAN

1. Jelaskan tentang Cara Pandang Islam terhadap Pendidikan


Multikultural pada jenjang Sekolah Dasar!
2. Bagaimana cara memberi penegasan Hubungan Agama dengan
Pendidikan Multikultural pada jenjang Sekolah Dasar!

150 Pendidikan Multikultural


3. Jelaskan Ruang Dialogis Agama dan Pendidikan Multikultural pada
jenjang Sekolah Dasar!
4. Jelaskan tentang Harmonisasi Agama dengan Pendidikan Multikultural
pada jenjang Sekolah Dasar!

Daftar Pustaka

M. Amin Abdullah, “ Pengembangan Kajian Keislaman: Metoda dan


Pendekatannya” (makalah disampaikan pada Annual Confrrerce
pada Program Pascasarjana UIN/IAIN /STAIN se-lndonesia di Padang
pada tgl 26-28 Desember 1-2

Lickona, Thomas, Education for Character How Onr Schools Can Teach
Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 199 1), 25,

Merton, Robert K. Sosial Theory and Sosial Structure (New York: The
Free Press, 1967). Lihat pula, Doyle Paul Jonhson, Teori Sosiologi
Klasik dan Modern (Jakarta: PT Gramedia, 1986), 145.

Peter Worsley, Introducing Sociology (England: Penguin Books, 1970),


180

M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Sebuah Kajian Politik
tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru (Jakarta. Paramadina,
1995), 230-231.

X. Hubungan Agama dan Pendidikan Multikultural 151


BAB XI
MODEL PENGEMBANGAN
PENDIDIKAN
MULTIKULTURAL

Atraksi bamboo gila di Maluku

Tujuan Pembelajaran

Setelah mempelajari pembelajaran pada bagian ini anda diharapkan


memiliki kemampuan sebagai berikut :
1. Menjelaskan gerakan pendidikan multikultural
2. Menjelaskan gerakan pembaharuan pendidikan multikultural
3. Menjelaskan model pengembangan multikultural

153
Kerangka Isi

Pada bagian ini memaparkan masalah-masalah pokok yang berkaitan


dengan Gerakan Pendidikan Multikultural; Gerakan Pembahruan
Pendidikan Multikultural; Model Pengembangan Pendidikan Multikultural;
dan Ultimate Goal Pendidikan Multikultural.

154
A. Gerakan Pendidikan Multikultural

Pendidikan multikultural sebagai bagian dari cultural studies di-


dasarkan atas luasnyalingkup kajian dan kompleksnya keterkaitan bi-
dang kajian budaya dengan bidang bidang yang lainnya. Untuk itulah,
pendidikan multikultural hendaknya disusun, dikonsep, ditulis secara
sistematis kemudian dikomunikasikan, diajarkan dan disebarluaskan
baik lewat lesan maupun lewat tulisan, akan membentuk paradigma ke-
filsafatan atau setidaknya melahirkan sebuah proses pemikiran yang ter-
us menerus. Paradigma pendidikan mutikultural yang telah tersistemati-
sasikan sedemikian rupa, akan memiliki struktur fundamentalyang dapat
mengarahkan dan menggerakkan kerangka kerja teoritik maupun praksis
keilmuan. Praksis pendidikan multikultural mempunyai arah tertentu
Ketika unsur pokok dalam filsafat multikulturalisme, maka setidakn-
ya mempertimbangkan pemikiran dua filosof kontemporer, yaitu John
Rowls seorang profesor dari Harvaed University penganut liberalisme
dibidang etika, dan Charles Taylor dari McGill University di bidang poli-
tik. Pemikiran kedua filosof tersebut patut dijadikan bahan rujukan se-
bagai landasan fiosofi pendidikan multikultural. Dalam buku yang ber-
judul A Theory of Justice 1, Rawls mengemukakan teorinya yang berupa
menghidupkan kembali ide “social contract” ( kontrak sosial tentang
kemerdekaan indiviu )2. Menurut Rawls suatu masyarakat yang adil bu-
kanlah menjamin “the greatest good for the greatest number” ( jum-
lah yang banyak adalah yang kuat ) yang biasanya dikenal dalam prin-
sip ddemokrasi. Di dalam hal ini filsafat Rawls menekankan kepada arti
dari self interest ( aspirasi mengenal diri ). Hal ini memperkuat po-
sisi Rawls sebagai penganut liberalisme. Liberalisme merupakan suatu
doktrin politik, sosial, ekonomi yang menekankan kepada kemerdekaan
individu, sehingga peran pemerintah ditempatkan pada kesejahteraan
sosial dengan tetap mempertahankan kemerdekaan individu.
Charles Taylor dalam bukunya yang berjudul Multikulturalism, Ex-
amining the politicsof Recognation memperkooh pandangan tentang
The politicsof Recognation. Taylor berpendapat bahwa persamaan hak
di bawah hukum harus disertai dengan kemampuan untuk mengerti
bahwa kita sendiri adalah authors dari hukum - hukum tersebut yang
mengikat kita. Hal ini menjelaskan bahwa sistem yang mengikat tidak
menghapuskan kondisi sosial yang berbeda juga terhadap perbedaan bu-
daya. Setiap orang perlu diakui akan keunikan identitasnya. Hak-hak

XI. Model Pengembangan Pendidikan Multikultural 155


tersebut perlu dijaga agar identitas tersebut tidak diasimilasi oleh iden-
titas mayoritas yang dominan. Pandangan taylor dalam konteks di atas
dapat di posisikan secara berdampingan dengan logika islam tentang
manusia. Oleh karenanya, peran pendidikan pun tidak kalah penting.
Sebab pendidikanlah yang mampu menciptakan kehidupan kemanusiaan
yang cerdas, damai, terbuka dan demokratis. Salah satu langkah strategi
dalam hal ini adalah melalui pelembagaan pendidikan multikultural di
lembaga-lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai pada ting-
kat perguruan tinggi.
Menyoroti keberagaman sudut pandang dalam menyikapi gagasan
pendidikan multikultural, setidaknya tiga pola pikir berikut bisa digu-
nakan sebagai pijakan dalam mentipologikan pendidikan multikultural;
pertama, pandangan kalangan primordialis. Kelompok ini menganggap,
perbedaan perbedaan yang berasal dari genetika seperti suku, ras ( dan
juga agama ) merupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan
kepentingan etnis maupun agama. Dalam konteks pendidikan, implikasi
dari pandangan kelompok ini mengarah pada paham pesimistik yang se-
lanjutnya ditampakkan dengan sikap kontraproduktif terhadap gagasan
pendidikan multikultural dalam segala bentuknya. Penilaian pesimis
semacam ini dapat dikaji salah satunya dari fenomena pro-kontra ari
kalangan akademisi mulai dari pemerhati sampai dari praktisi pendidi-
kan yang hingga memasuki tahun ke-7 ini belum juga reda sejak dicetus-
kannya UU Sistem Pendidikan Nasional Pasal 13 tahun 2003.
Kedua, pandangan kalangan instrumentalis. Menurut mereka, suku,
agama dan identitas lain dianggap sebagai alat yang dapat digunakan
oleh individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang lebih besar, baik
dalam bentuk materiil maupun non-materiil. Konsepsi ini lebih banyak
digunakan oleh politisi dan para elit untuk mendapatkan dukungan dari
kelompok identitas. Dengan meneriakkan “islam” misalnya, diharapkan
semua orang islam merapatkan barisan untuk mem-back up kepentingan
politiknya. Oleh karena, itu dalam pandangan kaum instrumentalis,
selama setiap orang mau mengalah dari prefence yang dikehendaki elit,
selama itu pula benturan kelompok identitas dapat dihindari bahkan
tidak terjadi. Gagasan pendidikan multikultural bagi kelompok kedua
ini dapat diterima asal diselenggarakan secara implisit ( include ) pada
materi pelajaran yang lain ( merupakan tematik ), sehingga tujuan atau
capaian hasil dari penyelenggaraan pendidikan multikultural mengikuti
tujuan atau capaian hasil materi pelajaran yang bersangkutan.

156 Pendidikan Multikultural


Ketiga, kalangan kontruktivis, yang beranggapan bahwa identitas
kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang dibayangkan oleh
kaum primordialis. Etnisitas misalnya, bagi kelompok ini dapat berdialog
hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial. Karenanya, etnisitas
merupakan sumber kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk saling
mengenal dan memperkaya budaya. Bagi mereka, persamaan adalah
anugrah dan perbedaan adalah berkah. Dengan pandangan kelompok
ini gagasan tentang pendidikan multikultural mendapatkan momentum
yang tegas betapa pentingnya pendidikan multikultural diselenggarakan
secara eksplisit, komperhensif dalam sebuah sistim pendidikan
terencana. Pola pikir seperti ini dapat dikaji dari munculnya penolakan
sayap kiri (pro pluralis-multikultural) terhadap isu yang sangat sensitif
muncul dipermukaan seperti; konsep islamisasi ilmu pengetahuan,
konsep khilafah, konsep negara islam, dan seterusnya yang mengarah
pada sikap eksklusif-apologotik. Berdasarkan sudut pandang para ahli
dalam menyikapi gagasan pendidikan multikultural dapat ditipologikan
sebagai berikut;
Kelompok pertama menganggap bahwa pendidikan multikulturalda-
pat dipahami dari perspektif subtantif dan kelompok kedua memahamin-
ya dari perspektif normatif. Pendidikan multikultural dalam pengertian
substantif, tidaklah hanya dipahami sebagai keragaman etnis, agama
dan budaya, akan tetapi lebih dipahami sebagai keragaman pemikiran,
keragaman paradigma, keragaman strategi ekonomi, keragaman aspre-
siasi politik dan sebagainya. Multikultural pada pengertian yang kedua
ini menjadi orientasi (Multicultural-oreinted instruction). Dengan wa-
jah ini, makapenyelenggaraan pendidikan multikultural dalam sebuah
lembaga pendidikan cenderung sebagai pendekatan, karena pendidikan
multikultural pada intinya bertujuan untuk membangun dan memben-
tuk karakter yang bermoral. Ketika pendidikan multikultural dipahami
sebagai suatu pendekatan, maka prioritas utama dalam proses pembela-
jaran adalah terletak pada strategi yang digunakan. Strategi disini mer-
upakan petunjuk teknis terhadap pelaksanaan pendidikan, sementara
desain kurikulum bukanlah hal yang niscaya. Konsep yang demikian ini
diperkuat oleh penjelasan Hernandez yang menyatakan bahwa multi-
cultural education adalah suatu proses pendidikan yang memungkinkan
individu untuk mengembangkan diri dengan cara merasa, menilai, dan
berprilaku dalam sistim budaya yang berbeda dengan budaya mereka.

XI. Model Pengembangan Pendidikan Multikultural 157


Pandangan kelompok pertama ini bermuara pada sebuah konsep
pendidikan multikultural dapat disosialisasikan secara fleksibel dalam
ruang ddan waktu yang tidak terikat dan dapat diimplementaasikan secara
fleksibel diberbagai institusi tanpa harus melekatkan heterogenitas
secara obyektif, sehingga lembaga-lembaga pendidikan keagamaan
sekalipun, seperti lembaga pendidikan Islam dapat menyelenggarakan
pendidikan multikultural, tentunya islam dalam konteks ini ditempatkan
sebagai sumber nilai dalam menjalankan sebuah strategi lewat program
pendidikan yang diselenggarakan.
Kelompok kedua yang menyikapi pendidikan multiultural dari
perspektif normatif, melihat ekstensi keragaman etnis, agama dan budaya
secara empirik sebagai prasyarat yang harus terpenuhi dalam sebuah
institusi dimana pendidikan multikultural tersebut diselenggarakan.
Artinya, masyarakat yang harus mengapresiasi pendidikan multikultural
secara eksplisit, adalah masyarakat yang secara obyektif memiliki
anggota yang heterogen dan plural secara agama, etnis dan budaya.
Pola pikir di atas diperkuat oleh pernyataan Donna dan Philip yang
menegaskan bahwa landasan penyelenggaraan multicultural education,
setidaknya meliputi heterogenitas kelas sosial, etnik, gender, agama,
bahasa dan umur. Begitu pula dengan pernyataan Banks tentang enam
faktor sebagai pertimbangan alam pendidikan multikultural.
Konsep Banks tentang pendidikan multikultural menindikasikan
bahwa proses penyelenggaraan multikultural dapat terlaksana
manakala didukung oleh setidaknya keenam faktor di atas yang melekat
pada institusi dimana proses pembelajaran tersebut berlangsung.
Bahkan menurut Banks ada empat dimensi yang harus diperhatikan
oleh seorang pendidik (guru maupun dosen)jika ingin melaksanakan
pendidikan multikultural. Ulasan berikut akan membahas bagaimana
guru bisa memodifikasi perintah-perintah untuk meningkatan pencapaian
akademik siswa yang terdiri dari kelompok-kelompok yang berbeda baik
budaya maupun jenis kelamin.
1. The knowledge contruction process
Yaitu suatu proses membangun pengetahuan, artinya bahwa
bagaiman guru membantu siswa mengerti, menyelediki dan menyusun
secara implisit bagaimana asumsi-asumsi kebuayaan, pembatasan-
pembatasan, prespektif dan bias-bias di dalam suatu ilmu mempengaruhi
cara-cara dimana pengetahuan itu dibangun. Guru dapat melakukan
proses pembangunan pengetahuan dalam ilmu-ilmu sosial; bagaiman

158 Pendidikan Multikultural


terjadi perpindahan penduduk ke dunia Barat. Misalnya saja guru
menanyakan kepada siswa arti dan konsep penemuan benua Amerika.
Siswa bisa mendiskusikan secara kelompok bagaimana konsep -konsep
tersebut secara tidak langsung
2. Content integration
Bermakna perluasan dimana guru menggunakan contoh dari
bermacam-macam budaya dan kelompok untuk menggambarkan konsep
kunci, prinsip-prinsip, generalisasi, dan teori-teori dalam suatu obyek
pembahasan. Kesempatan yang muncul lebih banyak pada integrasi
etnik dan budaya pada suatu topik pembahasan. Misalnya pada kajian-
kajian sosial, bahasa, seni, dan ekonomi rumah tangga, guru memiliki
kesempatan untuk mempraktikkan konsep etnik dan budaya untuk
mengilustrasikan konsep dan tema tema tersebut
3. An equalitypedagogy
Bahwa guru dalam setiap disiplin ilmu bisa menganalisis prosedur
dan gaya mengajar sehingga bisa memutuskan hal-hal yang berkaitan
dengan multikultural tentang mode apa yang digunakan. Dalam hal
ini guru menggunakan gaya yang bervariasi, memodifikasi cara-cara
mengajar sehingga dapat memfasilitasi pencapaian akademik siswa dari
berbagai etnis, dan jenis kelamin berbeda.
4. An empowering school cultural
Bahwa hal lain yang penting da dalam pendidika multikultural adalah
kultur di sekolah yang memberikan kesamaan terhadap perbedaan jenis
kelamin, suku dan kelas sosial. Budaya di sekolah harus memastikan
semua anggota dan segenap staf ikut berpartisipasi. Kesesuaian hal
tersebut harus dicapai untuk menciptakan kekuatan (empowering) siswa
dalam ras, suku, dan kelas sosial yang berbeda.

Keempat dimensi di atas menggambarkan bahwa untuk menerapkan


pendidikan muktikultural, kita harus berpikiran bahwa sekolah adalah
serial sistem sosial (the school asserial sistem), di mana variabel-variabel
di dalamnya saling berkaitan. Untuk itu diperlukan perubahan strategi
yang menyeluruh di dalam sekolah terutama terkait dengan variabel-
variabel yang perlu dipahami untuk penerapan pendidikan multikultural.

Gambar berikut menggambarkan keterkaitan dimensi-dimensi dalam


pendidikan multikultural yang telah di jelaskan di atas

XI. Model Pengembangan Pendidikan Multikultural 159



Senada dengan Banks, Hasan menengaskan bahwa untuk menerap-
kan pendidikan multikultural secara eksplisit/separated haruslah mem-
perimbangkan empat prinsip yaitu: 1) keragaman budaya menjadi dasar
dalam menentukan filsafat, 2) keragaman budaya menjadi dasar dalam
mengembangakan berbagai komponen kurikulum seperti tujuan, kont-
en, proses, dan evaluasi, 3) budaya di lingkungan unit pendidikan adalah
sumber belajar dan obyek studi yang harus dijadikan bagian dari kegia-
tan belajar siswa, 4) kurikulum berperan sebagai media dalam mengem-
bangkan kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional.
Dengan demikian, perbedaan diantara ahli dalam memahami dan
memaknai pendidikan multikultural hendaklah tidak dipertentangkan
atau setidaknya menyikapinya secara proporsional antara satu konsep
yang dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep ahli lainnya. Untuk itu,
maka konsep tentang multicultural education berdasarkan atas keyaki-
nan dan asumsi sebagai berikut: pertama, perbedaan budaya mempun-
yai kekuatan dan nilai. Kedua, sekolah harus dibentuk untuk mengek-
spresikan makna hak asasi manusia dan menghormati hak asasi manusia.
Ketiga, keadilan sosial dan persamaan hak bagi seluruh masyarakat harus
menjadi puncak kepentingan dalam mendesain dan melaksanakan kuri-
kulum. Keempat, sikap dan nilai-nilai penting yang dapat membentuk
masyarakat demokrasi, perlu untuk dipromosikan di sekolah. Kelima,

160 Pendidikan Multikultural


para pendidik seharusnya bekerjasama dengn keluarga dan masyarakat
untuk menciptakan lingkungan yang mendukung multikulturalisme.
Pendidikan multikultural dengan pola pikir yang demikianitu, lebih
di posisikan sebagai bagian dari materi pembelajaran yang harus menjadi
pertimbangan dalam menyusun kurikulum yang secara substansial mem-
perkenalkan perbedaan sebagai hal yang alami, memberi alasan yang
logis terhadap perbedaan-perbedaan tersebut, membiasakan dengan
pengalaman hidup sehari-hari. Oleh karenanya, pelajaran multikultural
sebagai materi merupakan keniscayaan (conditio sin quanon), dan posisi
pendidikan multikultural dalam konteks ini sebagai basis (multicultural-
based intraction). Namun demikian tipe yang terakhir ini banyak menuai
kritik terutama dari kalangan aliansi sayap kanan.

B. Gerakan Pembaharuan Pendidikan Multikultural

Pelaksanaan pendidikan multikultural sebagai multicultural-based


intraction pada mulanya digunakan oleh lembaga-lembaga negara yang
memiliki heterogenitas penduduk cukup tinggi seperti Amerika, Jer-
man, Australia, Inggris, Kanada dan Afrika, yang bermula dari kesadaran
pentingnya mempelajari budaya orang-orang asing atau warga negara
mereka yang heterogen yang datang dari negara nrgara lain. Oleh kare-
nanya, pendidikan multikultural memerlukan dimensi-dimensi penting
yang dengan dimensi tersebut dapat di ketahui bagaimana pendidikan
multikultural di laksanakan.
Kajian pendidikan multikultural secara lebih komperhensif dapat
di telusuri dari bangunan teori middle range yang digagas Merton.
Pada dasarnya struktur teori ini berangkat dari pemikiran sosialogi
yang tergabung dalam strukturalisme fungsional. Teori strukturalisme
fungsional memang banyak membawa kemajuan bagi pengetahuan
sosiologis terutama tahun 1960-an, begitu berpengaruhnya sehingga
setidak-tidaknya hingga dekade setelah perang dunia II, boleh dikatakan
identik dengan sosiologi itu sendiri. Oleh karenanya, Talcott Parsons
pendiri teori ini, yakin bahwa metodologi yang paling memadai adalah
metodologi fungsionalisme struktural.
Menurutnya, dalam studi perubahan sosial, setiap analisis sosial
harus dimulai dengan studi struktur sosial terlebih dahulu, sehingga
analisis struktural harus lebih diutamakan ketimbang analisis proses

XI. Model Pengembangan Pendidikan Multikultural 161


dan perubahan. Artinya, persons dalam hal ini memandang masyarakat
sebagai sistem sosial yang dilihat secara total. Maka gagasan mengenai
“fungsi” berguna agar kita terus dapat mengamati apa yang disumbangkan
oleh suatu bagian dari struktur terhadap sistem yang dianalisis.
Model analisis fungsional ala merton yang bercorak middle range
theory ini berbeda dengan teori-teori fungsional sebelumnya. Bahkan
Merton berbeda dari gurunya persons yang dianggap terlalu menekankan
pada fungsi integrasi dan struktur serta tidak menekankan pada nilai
yang mempunyai pengaruh integrasi dan sekaligus pengaruh disintegrasi.
sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari teoriawan lainnya,
Merton mempunyai pernyataan mendasar (postulat) yang diperlakukan
pada analisis fungsional. Dalam postulat-postulat tersebut menunjukkan
batasan beberapa konsep analisis dasar bagi analisis fungsional dan
menjelaskan beberapa ketidakpastian arti yang terdapat di dalam
postulat-postulat fungsional. Penyempurnaan postulat yang diajukan
Merton sebagai berikut;
a) Postulat pertama, kesatuan fungsional masyarakat yang dapat
dibatasi sebagai suatu keadaan di mana seluruh bagian dari
sistem sosialbekerjasama dalam suatu tingkatan keselarasan
atau kostitensi internal yan memadai tanpa menghasilkan konflik
berkepanjangan serta diatasi atau di atur. Atas postulat ini, Merton
nampaknya hendak memberikan koreksi bahwa kesatuan fungsional
yang sempurna dari suatu masyarakat adalah bertentangan dengan
fakta. Hal ini disebabkan dalam kenyataannya dapat terjadi sesuatu
yang fungsional bagi satu kelompok, tetapi dapat pula bersifat
disfungsional bagi kelompok yang lain.
b) Postulat kedua, yaitu fungsionalisme universal yang menganggap
bahwa seluruh bentuk sosial dan kebudayaan sudah memiliki
fingsi positif.terhadap postulat ini dikatakan bahwa sebetulnya
disamping fungsi positif dari sistem sosial terdapat juga disfungsi.
Beberapa prilaku sosial dapat dikategorikan ke dalam bentuk atau
sifat disfungsi ini. Dengan demikian dalam analisis keduanya harus
dipertimbangkan.
c) Postulat ketiga, yaitu indispensability (keharusan) yang menyatakan
bahwa dalam setiap tipe peradapan, kebiasaan, ide, ide, obyek
material dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting,
memiliki sejumlah tugas yang harus dijalankan dan merupakan

162 Pendidikan Multikultural


bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan sebagai
keseluruhan.

Dengan ketiga pstulat di atas, Merton dikenal dengan dua konsep


utama yaitu a). Konsep fungsi dan disfungsi dan b). Fungsi manifes (nyata,
kelihatan, dapat diketahui), dan fungsi laten (tak nyata, tersembunyi
tetapi dapat diketahui). Dalam menelorkan middle range theory, seperti
halnya Pareto (1848-1923) Merton memiliki pandangan bahwa konsep
ekualibrium adalah alat yang sangat berguna untuk memahami kehidupan
sosial yang heterogen. Merton mencoba menjelaskan peraturan antar
variabel yang diyakini masing-masingmenyumbangkan keseimbangan
dalam masyarakat, demikian ula dengan rumusan tujuan yang jelas
terintegrasi, hierarkis, jelas hak-hak dan kewajiban, memiliki otoritas
dalam jabatan dan hubungan antar orang yang menempuh prosedur
formal. Dengan demikian birokrasi modern adalah sebagai struktur
sosial yang rasional, dengan pola kegiatan yang ditentukan batasan-
batasannya.
Merujuk kembali kepada postulat yang ketiga ini, bahwa dalam
mewujudkan suatu keseimbangan dimungkinkan adanya aspek-aspek lain
yang harus dikembangkan sekalipun bisa jadi aspek yang dimaksudkan
memiliki fungsi laten, yaitu motif dengan knsekwensi obyektif yang tidak
dimaksudkan dan tidak diketahui (disfungsional). Mengamati dinamika
perubahan sosial akan melahirkan sesuatu kesimpulan bahwa serangkaian
tindakan dan prilaku pimpinan lembaga pendidikan keagamaan dapat
dijadikan jawaban dalam menangkap asumsi-asumsi yang dijelaskan
Merton tersebut. Contoh pemahaman tentang substansi nilai-nilai
multikulturalisme secara komprehensip banyak terwakili pada lembaga
pendidikan keagamaan, dan sebagian peserta didik, namun belum
sepenuhnya dipahami secara merata oleh sebagian besar masyarakat.
Artinya terdapat signifikasi sistem tindakan yang saling melengkapi
antara sistem kultural yang mengandung nilai-nilai moral dan simbol-
simbol serta sistem kepribadian secara individual, khususnya yang
diperankan oleh lembaga lembaga pendidikan keagamaan. Penjelasan
yang diberikan oleh Merton bahwa dalam mewujudkan keseimbangan
(proses ekuilibrium), tidak semua peran aktor bersifat fungsional tetapi
dimungkinkan ada yang bersifat disfungsi, bahkan sangat dimungkinkan
adanya fungsi laten, Merton dalam hal ini mencoba menjelaskan adanya

XI. Model Pengembangan Pendidikan Multikultural 163


pertautan antar variabel yang diyakini masing-masing menyumbangkan
keseimbangan dalam masyarakat
Sebagai kritikan terhadap teori Merton, secara umum teori ini
lebih mengedepankan fungsi integrasi dan kurang memberi perhatian
kepada nilai yang mempunyai pengaruh pada integrasi dan disintegrasi.
Untuk itu aspek kultur (sosial) dan aspek budaya (nilai) harus dibedakan
sebagai variabel bebas, karena keduanya memiliki karakter yang
berbeda. Seperti yang dipertegas oleh Geertz, kultur mempunyai sifat
logico-meaningfull integration yaitu satu kesatuan makna seperti
perlakuan sebagian mufassir terhadap ayat-ayat ahkam dalam al-Qur’an,
sedangkan struktur sosial mempunyai sifat causal-fungsional integration
yaitu memiliki jaringan kausal tunggal. Untuk itu pendekatan yang
dikembangkan untuk menganalisis fenomena yang muncul pada tiap-tiap
tatanan harus berbeda.
Satu hal yang bisa dicatat, bahwa kekuatan yang dimiliki lembaga
pendidikan keagamaan dalam melaksanakan pendidikan multikultural
adalah terletak pada kekuatan pemberian contoh oleh para elit dalam
mewujudkan kondisi yang kondusif sebagai lingkungan multikultural.
Fungsi adaptasi dan integrasi yang dikembangkan oleh pimpinan
lembaga pendidikan keagamaan belum bisa mendorong terjadinya
integrasi secara tuntas dan menyeluruh, sehingga ada beberapa aspek
yang masih ada kecenderungan yang mengarah pada disfungsional.
Kesatuan fungsional komunitas lembaga pendidikan keagamaan dibatasi
sebagai suatu keadaan di mana seluruh bagian dari sistem sosial tidak
dapat bekerja sama dalam suatu tingkatan keselarasan atau konsistensi
internal, sehingga integrasi komunitas lembaga pendidikan keagamaan
tidak benar-benar tuntas. Dengan demikian sekalipun masing-masing
struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain, ketika
melihat realitas di lapangan menunjukkan, bahwa indikasi munculnya
disfungsi paa kelompok tertentu tidak bisa dihindari. Seperti prilaku
yang tidak disertai dengan terjadinya kohesi dalam komunitas lembaga
pendidikan keagamaan.
Namun demikian, bukan berarti bahwa kekurangan dalam hal ini
disebabkan oleh lemahnya fungsi sosial yang diperankan oleh pimpinan
lembaga pendidikan keagamaan ataupun para elitnya semata yang terkait
dengan aktualisasi prinsip-prinsip multikultural. Hal itu juga diperparah
dengan belum adanya unsur kesiapan internal yang dimiliki oleh lembaga
pendidikan keagamaan tersebut. Ketidaksiapan yang mencolok dari sisi

164 Pendidikan Multikultural


kurikulumyang belum menjadi bagian dari struktur kurikulum formal
(sebagai muatan wajib dan muatan lokal) atau aspek kekuatan kognitif
(cognitif force) yang belum memadai, menjadi lemahnya proses integrasi
antar komunitas di masyarakat dan lembaga pendidikan keagamaan.
Pelaksanaan Pendidikan multikultural banyak terimplementasi dalam
wujud kegiatan-kegiatan eksternal yang bersifat insidentil, forum-forum
ilmiyah seperti seminar, sharring idea antar masyarakat lintas agama,
papanisasi sarana prasarana yang ada, rekuitmen peserta didik, guru,
maupun karyawan, momen-momen penting, dan berbagai kegiatan
formal ataupun ekstrakurikuler lainnya yang berorientasi multikultural.
Dengan kondisi yang demikian terdapat penjelasan tentang adanya
perbedaan derajat integrasi unit sosial karena perbedaan kultural dan
praktik-praktik sosial.
Kesiapan yang meliputi ketiga kekuatan pengajaran seperti digagas
oleh E.stone di atas, amat diperlukan sebagai upaya menyumpang
terpenuhinya prasyarat dalam suatu program pendidikan. Manakala satu
diantara tiga prasyarat belum terpenuhi maka character building yang
semestinya menjadi ultimate goal dari program pendidikan multikultural
juga tidak bisa diwujudkan.
Sebagaimana koreksi yang dikemukakan oleh Merton terhadap
teori struktural fungsional, bahwa teori ini lebih terfokus pada grand
theory yang berpretensi meremehkan teori-teori yang lebih kecil, yang
lebih dekat dengan kenyataan empirik, sehingga kemudian Merton
menawarkan midlle-range theory. Teori ini yang kemudian membedakan
Merton dari teoriawan fungsional sebelumnya. Apalagi diperkuat dengan
3 postulat yang diajukan itu.
Melalui pembacaan teori ini, diperoleh deskripsi dan tipologi fungsi
dari masing-masing faktor yang dikembangkan dalam pelaksanaan
pendidikan multikultural. Temuan penelitian ini menghaluskan tipologi
fungsi menurut Merton, dengan melibatkan berbagai unsur yang ikut
menentukan fungsi dari peran sang pelaku tindakan (actor) dalam
pelaksanaan pendidikan multikultural. Unsur-unsur tersebut antara lain;
obyek yang menjadi kajian, medan budaya (cultural sphere), nilai dari
obyek yang dikaji, dn metode yang digunakan. Integrasi antara berbagai
faktor tersebut menentukan capaian hasil dari pelaksanaan sebuah
program yang selanjutnya dapat ditipologikan fungsi-fungsi dari peran
yang dimainkan oleh sang aktor yang ditandai oleh perbedaan derajat
pencapaian.

XI. Model Pengembangan Pendidikan Multikultural 165


Dengan menyimak sederetan kegiatan yang dilakukan oleh pimpinan
lembaga pendidikan keagamaan menjadi bagian dalam meletakkan fungsi
sosial agama dalam tatanan Kenegaraan Fungsional seorang lembaga
pimpinan lembaga pendidikan keagamaan dalam konteks ini lebih pada
tataran kenegaraan sedang pada tataran agama bisa menampakkan
disfungsional. Artinya, konseptualisasi dan teoritisasi fungsi ala Merton
tidak berlaku sepenuhnya manakala fungsi aktor yang diperankan oleh
pimpinan lembaga pendidikan keagamaan dalam mengimplementasikan
pendidikan multikultural dipahami dari sudut kenegaraan. Dengan
demikian, fungsi laten dalam kasus implementasi pendidikan dalam
komunitass lembaga pendidikan keagamaan, nampaknya tidak terbukti
sepenuhnya.
Sebagai penyangga terhadap proses pendidikan keagamaan,
pimpinan lembaga pendidikan keagamaan memainkan peran sentral yang
berkaitan dengan kehidupan masyarakat sekelilingnya. Jika disatu sisi
pimpinan lembaga keagamaan adalah sosok yang harus mempertahankan
tradisi kehidupan keagamaan, maka disisi lain ia berhadapan dengan
perubahan sosial yang terus menerus terjadi. Tak pelak lagi, pranata
pimpinan lembaga pendidikan keagamaan mampu menjelma menjadi
agamawan yang kemudian mempunyai arti pentingsebagai sosok teladan
dalam mengimplementasikan pendidikan multikultural. Fungsi tersebut
kemudian diteruskan dengan menjadikan pendidikan multikultural
untuk terus dikenalkan dan disosialisasikan, misalnya menyelenggarakan
forum-forum ilmiyah yang melibatkan lintas agama pada saat awal
tahun atau padasaat kuliah perdana. Sesaat dampak secara langsung
dirasakan oleh sebagian komunitas lembaga pendidikan keagamaan yang
apresiasif terhadap gagasan multikulturalisme. Sayangnya, kegiatan
kegiatan semacam itu tidak diapresiasi lebih jauh menjadi bagian dari
struktur kurikulum (muatan lokal). Akibatnya, lambat laun nilai-nilai
yang diinternalisasikan mulai pudar apalagi para eksponennya terbatas
pada kalangan tertentu seperti para aktifis mahasiswa dan sebagaian
kecil para dosen karena mereka akan mengalami pergantian dan pasang
surut bersamaan dengan bergantinya waktu.
Fungsi peran sang aktor sebagi pemegang kebijakan pada konteks
di atas tidak fungsional pada kelompok tertentu tetapi fungsional pada
kelompok lainnya. Artinya integrasi antar komunitas kampus tidak
benar-benar tuntas, terutama dalam rangka menjawab perubahan sosial

166 Pendidikan Multikultural


di sekitarnya secara kreatif dan antisipasif tidak seperti fungsi yang
diperankan agamawan.
Diperlukan sebuah sintesisiyang matang di sini, jika terlalu
memaksakan ketidaksamaan secara dramatis, maka akan kehilangan
kapasitas untuk memahami orang lain daan pada akhirnya juga kapasitas
untuk menghargai perbedaan. Seperti analisis Fay bahwa, untuk
melihat seseorang sebagai sesuatu yang memiliki perbedaan dengan
orang lainnya. Sebagai akibatnya, dari sekian rentetan kegiatan yang
dilakukan belum bisa menjamin langgengnya sebuah equalibrium dengan
pembangunan karakter yang menggambarkan moral relegius. Karena
secara teoritis seperti ditawarkan leh likcona, bahwa untuk membangun
moral (character building) diperlukan keterlibatan tiga lingkaran moral
yang meliputi; moral knowing, moral feelling and moral action, dan
ketiganya semestinya saling terkait antara yang satu dengan yang lain
pada diri masing-masing individu.
Beberapa implikasi teori di atas memberikan suatu pemahaman
bahwa dalam setiap tindakan konversi selalu terdapat makna sosial
sebagai konsekuensinya, serta konsep tersembunyi berupa keinginan
yang melekat pada fungsi yang diperankan oleh manusia sebagai aktor
yang memiliki kemampuan untuk melakukan serangkaian pilihan dalam
melakukan tindakannya. Namun demikian, pendekatan Merton tidak
memberikan panduan yang semestinya, misalnya, protokol analisis
proposisi Brian Fay, begitu pula dengan pilihan paradigma antara kultur
dan struktur seperti yang digunakanoleh Geertz. Karena itu, diperlukan
keberanian berspekulasi bagi siapapun peneliti yang bermaksud
menggunakan pemikirannya sebagai perspektif teoritik.
Akhirnya, signifikansi sosial dalam kajian ini ialah pentingnya
pemetaan aktor secara komprehensip. Jika selama ini analisis fungsional
pendidikan multikultural lebih diarahkan kepada fungsi peran aktor
yang cenderung difokuskan pada cultural sphere (medan budaya), maka
dalam kajian buku ini diperekati dengan apa yang mendasari tindakan
sang aktor atau motif-motif yang dalam konsepsi Schultz disebut dengan
in order to motive dan bicause mptive, bahwa setiap tindakan selalu
melibatkan kesadaran yang didasari oleh motif-motif yang bersifat
internal dan eksternal. Faktor internal yang dimaksud meliputi nilai,
norma, yang melekat pada diri sang aktor. Sedangkan faktor eksternal
meliputi situasi, kndisi, dan konten, media, metode, dan kesiapan aspek
pengajaran lainnya.

XI. Model Pengembangan Pendidikan Multikultural 167


Melalui kajian terhadap kedua faktor tersebut, dapat dilihat
bahwa peran aktor menjadi tolak ukur dibalik fungsionalnya sebuah
sistem sosial. Dengan demikian sekalipun kalangan pinpinan lembaga
pendidikan keagamaan tidak memfungsikan peran sosial masing-masing
secara optimal (manifest), bukan berati konsekuensi logisnya adalah
fungsi laten. Ini berarti munculnya fungsi pragmatis yang menjadi
pilihan fungsi yang diperankan oleh para pmpinan lembaga pendidikan
keagamaan bukan berati berkonotasi negatif sebagai sebuah kelemahan,
melainkan justru memberikan indikasi adanya fungsi efektivitas
(funsional) dan inilah sesungguhnya fungsi yang sesuai dengan yang
dikehandaki (intended).
Teori middle range Merton sebagai salah satu perspektif dalam
pengkajian pendidikan multikultural didasarkan pada dua pertimbangan
; pertama, karena teori ini lebih menghasilkan satu perspektif yang
menekankan harmoni dan regulasi karena dibangun atas dasar asumsi-
asumsi sehingga para eksponen sangat peduli terhadap kontrol akan
efektivitas hukum keteraturan, kedua, karena ada titik singgung antara
analisis fungsional tentang fungsi manifes dan fungsi laten yang ditawarkan
Merton dengan analisis fungsional dalam knteks penyelenggaraan
pendidikan multikultural misalnya di lembaga pendidikan keagamaan
yang dipimpin oleh seorang agamawan.
Seperti dipahami banyak orang, figur agamawan lebih identik den-
gan eksklusivisme, sedangkan pendidikan multikultural berorientasi
inklusifuntuk membangun singkronisasi diantara keduanya tidak menu-
tup kemungkinanketika munculnya fungsi-fungsi sosial yang tidak dimak-
sudkan atau tidak dikehendaki. Selanjutnya, menurut penulis, fenome-
na yang demikian itu dalam menyelenggarakan pendidikan multikultural
tentunya harus ada prasyarat-prasyarat yang harus dipenuhi, manakala
prasyarat tersebut tidak terpenuhi, tidak menutup kemungkinan adanya
indikasi disfungsional atau bahkan funsi late (unintended) yang justru
dikembangkan.
Sejauh menyangkut substansi tentang analisis fungsional, penelaa-
han buku ini memang pengukuhan tesis Merton. Namun demikian, berk-
enaan dengan metodologi kajian, pendekatan Merton tidak memberikan
panduan yang semestinya, apalagi manakala disejajarkan dengan pro-
tokol analisis proposisi yang diajukan oleh Brian Fay, apalagi bila dikait-
kan dengan pemilihan paradigma antara kultur dan struktur seperti yang
digunakan oleh Geertz. Karena itu, diperlukan keberanian berspekulasi

168 Pendidikan Multikultural


bagi siapapun peneliti yang bermaksud menggunakan pemikirannya se-
bagai prespektif teoritik. Begitu pula halnya dengan penelitian ini, sudh
barang tentu terdapat sejumlah kelemahan dalam pemilihan metode
yang digunakan. Untuk itu peralihan paradigma dari fakta sosial menuju
definisi sosial dalam buku ini dilengkapi dengan beberapa indikator se-
bagaimana diuraikan berikut ini:
1. Dalam kajian buku ini, struktur sosial yang seharusnya menjadi pusat
perhatian dalam paradigma fakta sosial diarahkan pada tindakan
individu yang mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya
dan diarahkan pada tindakan orang lain. Karena obyek pembacaan
realitas dalam buku ini berada diantara kenyataan empirik dan ranah
ide. Karena melibatkan suasana psikologis, serta pikiran individu.
Dengan demikian unit analisa berada pada level mikro subyektif dan
bukan pada level makro obyektif sebagaimana dalam paradigma
fakta sosial.
2. Fokus kajian berada pada lingkaran fungsi manifes dan fungsi
laten seperti yang ditekankan dalam middle range the ory yang
ditawarkan oleh Merton. Teori ini memamg tergabung dalam teori
fungsionalisme struktural, namun karena dalam penilitian ini tanpa
menekankan pada upaya menemukan hubungan kausal atau korelasi
antar fenomena
3. Prilaku manusia dikontrol oleh berbagai norma, nilai serta alat
pengendali sosial lainnya sehingga antar berbagai aspek tersebut
satu sama lain saling bergantung. Saling ketergantungan mereka
berada pada tatanan individu dan bukan pada level intitas seperti
halnya pada fakta sosial.
4. Konsep kultur yang didefinisiskan oleh fakta sosial mengandung ide-
ide yang bersifat tradisional yang tidak bisa dilihat jika berupa ide
dan nilai dalam mempelajari masyarakat. Sedangakan kebudayaan
adalah tingkah laku terpola untuk itu diperlukan pemahaman
terhadap kemungkinan diperlukan definisi sosial.
5. Kebudayaan dalam konteks pendidikan multikultural dapat dipahami
sebagai karya sadar manusia yang berupa ilmu, tata hukum, tata
negara, kesenian, dan filsafat. Memahami kebudayaan yang
demikian jika paradigma definisi sosial (lebih berproses pada level
ide) akan membuahakan pemahaman yang lebih bermakana karena
dapat menghantarkan individu memiliki diri sendiri di tengah-tengah
sesama, sebagaimana pandangan Hegel yang memandang bahwa

XI. Model Pengembangan Pendidikan Multikultural 169


kecenderungan untuk berbudaya merupakan dinamika ilahi untuk
itu berada pada proses realisasi diri dari roh Ilahi.

Kajian-kajian sebelumnya belum menempatkan Middle Range Theory


Merton sebagai prespektif teori dalam membaca pelaksanaan pendidikan
multikultural. Dari hasil pelacakan secara intensif terhadap berbagai
kajian mengenai multikultural dalam konteks pendidikan di Indonesia
baik secara subtansif maupun praktis, sejauh pengetahuan penulis
belum ada yang menghasilkan sebuah tipologi fungsi dari sebuah sistem
sosial. Terlebih bila yang digunakan adalah teori teaching force sebagai
pisau analisis untuk melihat kesiapan yang dimiliki oleh suatu institusi
dimana pendidikan multikultural dilaksanakan. Ini berarti teori analisis
yang dipergunakan dalam buku ini adalah pendekatan interdisipliner
yang dalam hal ini adalah teori sosial dan teori pembelajaran. Kendati
telah ada beberapa kajian pendidikan yang mendasarkan pada konsep
multikultural sebagaimana dipaparkan, namun hampir semuanya
dalam konteks pendidikan secara universal. Karena itu, selain untuk
memperkaya kajian-kajian sejenis sebelumnya, dari buku ini diharapkan
menjadi varian lain kajian tentang strategi implementasi pendidikan
multikultural di lembaga pendidikan formal.

C. Model Pengembangan Pendidikan Multikultural

Ketika pendidikan berperan sebagai proses individuasi, yaitu suatau


perpaduan yang menyeluruh dari dinamika individu dan partisipasinya
di dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaannya, seperti pemikiran
Berger dan Luckman, bahwa dalam memahami dunia kehidupan (life
world) selalu dalam proses dialektik anatara the self (individu) dan
dunia sosio kultural. Bagaimanapun untuk menganalisis internalisasi
nilai budaya, perlu dipertimbangkan mekanisme sosial yang benar-benar
nyata ada di mana diperubahan itu berlangsung. Oleh karenanya, tidak
perlu disangsikan lagi, bahwa pendidikan karakter, merupakan upaya
yang harus melibatkan semua pihak pada setiap struktur. Pembangunan
dan pembentukan karakter, tidak akan berhasil selama antar lingkungan
pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan.

170 Pendidikan Multikultural


Berkaitan dengan menumbuh-suburkan (cherising) nilai-nilai yang
baik, Likcona menawarkan tiga komponen karakter yang baik (components
of good character) yaitu; pertama, moral knowing atau pengetahuan
tentang moral. Kedua, Moral feeling perasaan tentang moral. Ketiga,
moral action perbuatan moral. Menurut Likcona, membangun karakter
(character building)termasuk di dalamnya nilai kejujuran, disiplin dan
sebagainya, memerlukan suatu proses pembinaan terpadu secara terus
menerus antara ketiga komponen di atas. Ketiga komponen moral di
atas meliputi dimensi-dimensi sebagai berikut ini:
1. Moral knowing meliputi 6 dimensi
• Awarenees (kesadaran tentang baik dan buruk)
• Knowing values (pengetahuan tentang niali)
• Perspektive-taking (menggunakan panduan moral)
• Reasoning (pertimbangan moral)
• Desion making (membuat keputusan berdasarkan moral)
• Self-knowledge (pengetahuan tentang diri)
2. Moral feeling meliputi 6 dimensi
• Conscience (nurani)
• Self-esteem (percaya diri)
• Empaty (merasakan penderitaan orang lain)
• Loving the good (mencintai kebenaran)
• Self control (pengendalian diri)
• Humality (kerendahan hati)
3. Moral action meliputi 3 dimensi
• Competence (kompeten dalam menjalankan moral)
• Will (kemauan berbuat baik)
• Habit (kebiasaan berbuat baik)

Selanjutnya, dari beberapa indikator di atas maka pembangunan


karakter akan mampu mengantarkan pribadi-pribadi yang memiliki
kepekaan sosial kepada sesama bila mana terjadi integrasi antara ketiga
komponen moral yaitu moral action, moral knowing, dan moral ffeeling.
Ketiga komponen tersebut dapat diilustrasikan seperti gambar berikut
ini:

XI. Model Pengembangan Pendidikan Multikultural 171


Garis yang menghubungkan antara satu dimensi dengan dimensi
lainnya yang tersebut diatas menunjukkan bahwa untuk membangun
karakter termasuk membina moral, diperlukan pengembangan ketiga-
tiganya secara terpadu, dengan demikian yang diperlukan tidak hanya
memiliki pengetahuan tentang yang baik, tetapi di samping memahami
juga bisa merasakan an mengerjakannya. Maka pada tataran mral action
(tindakan nyata) misalnya, agar peserta didik terbiasa (habit) memiliki
kemauan (will), dan kompeten (competence) dalam mewujudkan
dan mengaplikasikan nilai-nilai multikultural, diperlukan penciptaan
suasana multikultural di lingkungan setempat dan itupun menuntut
adanya intensitas dan berulang-ulang. Jika tidak, bisa jadi akan terjadi
sebaliknya. Hal ini disebabkan karena nilai-nilai yang berorientasi
inklusif kadang-kadang bisa terkalahkan oleh nilai-nilai sebelumnya yang
tertanam lebih dulu yang itu bernuansa eksklusif.
Keberhasilan tokoh-tokoh agama dan pimpinan lembaga pendidikan
keagamaan dalam membangun karakter di tengah-tengah komunitas
masyarakat dengan lebih mengedepankan aspek modelling force
merupakan kritik teori sosial terhadap teori pendidikan. Hal tersebut
mempersyaratkan adanya keseimbangan antara ketiga kekuatan
pengajaran (cognitive, modelling-conditioning) dalam mewujudkan
tujuan pendidikan yang meliputi dominan kognitif, afektif dan
sikomotorik. Dalam teori sosial, secara umum memang tampak bahwa
prasyarat-prasyarat fungsional yang telah dipenuhi, diyakini akan
memperkuat daya tahan suatu sistem sosial di manapun dan kapanpun,
sebagaimana digambarkan oleh teori fungsional. Tetapi dalam prktik,

172 Pendidikan Multikultural


konsekwensi dala setiap tindakan tidak mesti menghasilkan motif yang
dimaksudkan (intended). Ini terus menjadi perhatian dikarenakan tidak
mungkin kesatuan fungsionaapat mendorong terjadinya integrasi secara
tuntas. Maka dari itu, disinilah sebenarnya yang terjadi dalam pelaksanaan
pendidikan multikultural di lembaga pendidikan keagamaan. Seseorang
yang mencoba suatu prilaku baru, tidak mungkin untuk melakukan tanpa
adnya penguatan yang berasal dari sebuah pemahaman atau pengetahuan.
Artinya, ada hubungan yang signifikan antara kinerja dan pemerolehan
pengetahuan. Oleh karenanya, sekalipun kesauan fungsional terintegrasi
dikalangan komunitas masyarakat sekitar kampus lembaga pendidikan
keagamaan, namun demikian integrasi masyarakat tidak benar-benar
tuntas dan tidak berlaku menyebar, sehingga perlu dilakukan pembatasan
terhadap kelompok masyarakat tertentu. Sebagai akibatnya, dari sekian
rentetan kegiatan yang dilakukan belum bisa menjamin langgeng sebuah
equalibrium dengan membangun karakter yang menggambarkan moral
relegius. Karena secara teoristis seperti ditawarkan oleh Likcona, bahwa
untuk membangun moral (moral building) diperlukan keterlibatan tiga
lingkaran moral yang meliputi; moral knowing, moral feeling, and moral
actin.
Keberhasilan memahami konsep multikultural adalah titik kulminasi
yang menentukan bagi keberhasilan pembanguna sebuah karakter
(character building). Pembanguna moral menuntut capaian hasil secara
menyeluruh yang diawali dari masing-masing individu.gambaran tentang
hal tersebut apat diilustrasikan sebagai lingkaran berlapis seperti gambar
berikut ini;

Internalisasi Tiga Dimensi Moral Dalam Kehidupan Manusia

XI. Model Pengembangan Pendidikan Multikultural 173


Gambar piramida di atas, mengilustrasikan idealitas integrasi antara
ketiga komponen moral yang harus terpadu antara dimensi satu dengan
dimensi yang lainnya mulai dari lapisn paling kecil, yaitu dari individu,
keluarga, masyarakat sekitar, masyarakat luas, sampai pada tingkatan
masyarakat dunia. Jika gambar di atas digunakan untuk melihat capaian
hasil pelaksanaan pendidikan multikultural di lembaga pendidikan
keagamaan, maka integritas moral sesungguhnya hanya menjangkau
lapisan segitiga bagian luar saja dan belum mencapai lingkaran bagian
dalam secara menyeluruh, karena capaian hasil kenyataannya hanya
menjangkau kalangan tertentu saja yaitu terbatas pada kalangan elit
tingkat pimpinan lembaga pendidikan keagamaan dan keaktifan peserta
didik. Hal tersebut dikarenakan aspek moral knowing ketika dipahami
sebagai kurikulum formal (muatan wajib atau muatan lokal) seperti yang
disinggung oleh Banks dan Hasan pada bagian terdahulu, maka hasil yang
dicapai oleh lembaga pendidikan keagamaan dengan pemahaman ini
belum menggambarkan capaian moral seperti gambar di atas. Apalagi
keberagaman penyerapan informasi masing-masing individu amat
terkait dengan enam jenjang proses berfikir seperti di singgung oleh
Bloom. Keelemahan ini dikarenaka biasanya, pelaksanaan pendidikan
multikultural di lembaga pendidikan keagamaanbelum memiliki
kekuatan pengajaran terutama unsur cognitive force yang diikuti pula
dengan lemahnya unsur conditioning force pada aspek tertentu yaitu
heterogenitas komposisi SDM yang proporsional, begitu pula dengan
prasaran-sarananya.
Adapun gambar berikut ini akan memperjelas aplikasi teori pendidikan
dalam membaca pelaksanaan pendidikan multikultural dengan segala
kesiapan yang harus dimiliki dalam melampaui tiga dominan menuju
tujuan pendidikan yang diharapkan yaitu terbangunnya karakter

Pendidikan Multikultural Dalam Perspektif Teori Pendidikan

174 Pendidikan Multikultural


Gambar di atas merupakan logika teori teaching force yang digagas
oleh E.Stones bila dikolaborasi dengan teori taxonomy Bloom dkk.
Menuju terbangunya karakter bermoral seperti yang ditawarkan oleh
Likcona dengan teori character building dengan tiga dimensi moral.
Logika diatas memberikan sebuahimplikasi terhadap berhasil tidaknya
suatu program pendidikan.
Lain halnya kalau pelaksanaan pendidikan multikultural dilihat dari
teori sosial. Dalam perspektif sosiolgi, setiap tindakan konversi selalu
terdapat makna sosial sebagai konsekuensinya, serta konsep tersembunyi
berupa keinginan yang melekat paa fungsi yang diperankan oleh manusia
sebagai aktor yang memiliki kemampuan untuk melakukan serangkaian
plihan dalam melakukan tindakan. Dengan kata laian, ketika pendidikan
multikultural dilihat dari perspektif teori sosial, maka untuk melihat
hasil capaian bertitik tolak dari Human sebagai sosial actor dan bukan
dari kesiapan aspek kekuatan pengajaran semata, sehingga pendidikan
multikultural tidak dilihat secara universal sebagai suatu program, akan
tetapi melibatkan beberapa faktor sebagai satu kesatuan yang menjadi
dari bagian unit analisis, mulai dari obyek yang menjadi kajian, medan
budaya di mana materi tersebut diterapkan (cultural spehere), nilai
yang dipahami oleh pelaku tentang materi yang diprogramkan sampai
bagaimana metde yang digunakan. Dari situ maka dapat dilakuakan
identifikasi terkait dengan kecenderungan prilaku sosial yang diperankan
oleh masing-masing aktor dalam struktur sosial yang selanjutnya dapat
ditipologikan fungsi-fungsi yang dimunculkan.
Diagram berikut akan memperjelas pelaksanaan pendidikan
multikultural ketika dibaca dari perpektif teori sosial.

pendidikan multikultural dalam perpektif teori sosial

XI. Model Pengembangan Pendidikan Multikultural 175


Dua diagram di atas apabila ditarik ke dalam kasus peaksanaan
pendidikan multikultural di lembaga pendidikan keagamaan, maka
akan memberikan implikasi teori yang ambivalen. Di satu sisi ketika
pelaksanaan pendidikan multikultural dilihat dari kesiapan yang harus
dimiliki, maka teori teaching force yang dicetuskan oleh E.Stone akan
menjadi teori yang ideal apalagi bila dielaborasi dengan teori taxonomy
yang ditawarkan oleh Bloom dkk. Namun di sisi lain ketika pendidikan
multikultural di lihat dari hasil capaian dalam membangun karakter para
pelakunya (actor), akan merevisi pola pikir di atas bahkan memungkinkan
untuk menjadi sebuah kritik teori sosial terhadap teori pendidikan .
berdasarkan realitas di lapangan, ternyata teori teaching force tidak
terbukti sepenuhnya sebagai satu-satunya prasyarat dalam mencapai
tujuan pendidikan dari sebuah program pendidikan yang dilaksanakan.
Bahwa implementasi pendidikan multikultural dengan mengedepankan
kekuatan modelling force yang didukung oleh kekuatan conditioning
sekalipun tidak dominan ternyata cukup efektif dalam membangun
karakter komunitas lembaga pendidikan keagamaan sekalipun jangkauan
eksponennya hanya terbatas pada kalangan tertentu namun terjalinnya
antar tiga dimensi moral secara terpadu (moral knowing, moral action,
moral feeling) memberikan pemahaman bagaimana kekuatan aspek
modelling force yang tidak dibarengi kekuatan cognitive force telah
berhasil mengantarkan menuju equlibrium atau keseimbangan.
Apa yang ditesiskan Merton, tentang tidak mungkin seluruh bentuk
sosial dan kebudayaan yang sudah baku mesti memiliki fungsi-fungsi positif
ternyata ada benarnya. Ada implikasi sangat penting dari penerimaan
tesis dasar Merton ini, terutama menyangkut tesisi laintentang
hubungan motif (orientasi subyektif) dan konsekuensi obyektif dari suatu
tindakan. Artinya, dari perspektif middle-range theory yang digagas
Merton, fenomena peran piminan lembaga pendidikan keagamaan telah
menyumbangkan semacam kekuatan persuasif dlam memverifikasi sebuah
fungsi sehingga memberikan kesadaran untuk tidak menggeneralisasikan
setiap fungsi dalam suatu sistem sosial. Memang benar bahwa teori
yang tergabung dalam teori struktural-fungsional menenkankan kepada
keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam
masyarakat, tetapi tentu ada prasyaratnya, seperti sepanjang fungsi
sosial yang diperankan oleh para aktor tersebut melampaui dua sisi
yang kontra produktif, antara lain; pertama, dalam berperan dapat

176 Pendidikan Multikultural


mengutkan solidaritas sosial (social order). Kedua, dapat menguatkan
konflik sosial (social conflict). Ambivalensi fungsi peran yang demikian
itu jika sampai memasuki hal-hal yang krusial, maka tindakan sang aktor
pada pentas realitas akan bergeser menjahui kohesi dan keseimbangan.
Dalam setiap penyelenggaraan suatu program, tentunya membutuhkan
kesiapan-kesiapan tertentu untuk mendukung dan memuluskan jalan
menuju tujuan yang ingin dicapai, apakah tujuan tersebut menyangkut
ranah kognitif, afektif, ataupun psikomotorik. Pembicaraan tentang
ketiga ranah di atas, terkait dengan pembicaraan tentang taksonomi
tujuan pendidikan. Bloom mengelompokkan kemampuan manusia ke
dalam dua ranah (domain) utama, yaitu ranah kognitif dan ranah non
kognitif. Ranah non kognitif di bedakan lagi atas dua kelompok ranah,
yakni ranah afektif dan ranah psikomotor.
a. Ranah kognitif, yaitu segala upaya yang menyangkut aktifitas mental
atau yang mencakup kegiatan otak. Aktivitas otak dikelompokkn
Bloom menjadi enam jenjang yaiyu; knowledge, comprehension,
aplication, analysis, synthesis, dan evaluation.
b. Ranah Afektif, yaitu ranah yang berkenaan dengan sikap dan nilai.
David R. Krathwolh merinci ranah ini menjadi lima jenjang yaitu;
reciving, responding, voluing, organization, dan characterization.
c. Ranah Psikomotorik, yaitu ranah ini berkaitan dengan ketrampilan
(skill) dan kemampuan bertindak setelah seseorang menerima
pengalaman belajar tertentu. Ketrampilan yang dimaksudkan dalam
ranah ini oleh Simpson dikelompokkan menjadi enam ketrampilan
yaitu; 1) gerakan reflek, 2) gerakan-gerakan sadar, 3) kemampuan
perseptual, 4) kemampuan secara biologis, 5) kemampuan psikologis,
dan 6) kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi, gerakan
ekspresif dan interpretatif.

Untuk mencapai ketiga dominan di atas, dibutuhkan kesiapn yang


harus dimiliki oleh suatu lembaga pendidikan formal. Teori teaching
force yang digagas oleh E. Stone dapat digunakan sebagai pisau analisis
dalam melihat kesiapan yang dimiliki oleh lembaga tertentu dalam
menyelenggarakan suatu program pendidikan. Sebagai pencetus teori
Teaching Force, E. Stone berpendapat bahwa pengajaran secara umum
adalah penyerahan kekuatan psikologis. Oleh karenanya, pembelajaran
harus didefinisikan sebagai sebuah perubahan dalam hal kemampuan

XI. Model Pengembangan Pendidikan Multikultural 177


atau cara bersikap yang diperoleh melalui pengalaman. Namun
pengalaman tersebut haruslah bersikap psikologis, bukan fisiologis atau
mekanis. Artinya, konsep ini mengesampingkan perubahan prilaku yang
diakibatkan oleh kelelahan, penyakit atau penyesuaian panca indra,
dan kita juga mengesampingkan berbagai dampak yang terjadi akibat
terdorong atau ditarik secara mekanis oleh sesuatu.
Pengalaman psikologis sulit didefinisikan, tapi yang pasti ia
mencakup dampak-dampak stimulus yang mempengaruhi siswa melalui
sensasi dan persepsi, dan terkadang mempengaruhi melalui sistem
saraf pusat. Tanpa terlalu jauh masuk pada pembahasan tersebut.
Maka pembelajaran dapat didefinisikan sebagai perubahan prilaku yang
cenderun bersifat stabil akibat adanya jenis kekuatan psikologis, bukan
kekuatan lainnya. Untuk itu teori-teori teaching force dapat digunakan
untuk memahami kesiapan yang dimiliki oleh sebuah lembaga pendidikan
terkait dengan prasyarat dalam menyelenggarakan sebuah program
pendidikan. Kekuatan pengajaran (teaching force) meliputi tiga unsur,
yaitu; a) unsur kekuatan peniruan atau pemberian contoh (modelling
force) yang diberikan oleh si pendidik, b) unsur kekuatan kondisi yang
dibangun (conditioning force), dan c) unsur kekuatan kognisi atau
proses pembentukan pengetahuan (cognitive force). Pola pikir di atas
mengindikasikan bahwa dipilihnya teaching force sebagai pisau analisis
dalam melihat dan memahami kekuatan pengajaran yang dimiliki oleh
suatu lembaga pendidikan, karena ilmu pengajaran memusatkan bidang
kajiannya pada upaya memperbaiki kualitas pengajarandan menitik
beratkan pada keterlibatan seorang pendidik dan peranannya dalam
sebuah proses pendidikan. Oleh karena itu, dipilihnya teori teaching
force karena dipandang berpotensi untuk mengoreksi proposisi tentang
hubungan antara tujuan yang hendak dicapai (ultimate goals) dengan
konteks sosial di mana program tersebut dilaksanakan.
Untuk melihat bagaimana ketiga aspek di atas berkolaborasi secara
praksis, aspek cognitive force misalnya, maka akan didukung pula oleh
teori-teori psikologi perkembangan, antara lain yang dikembangakan
oleh piaget tentang pertumbuhan awal pada tahap perkembangan
sensori motor, seperti yang ia publikasikan hasilnya dalam dua buku yang
berjudul “The Origins of Intelegence in Children” dan “Contruction of
Reality in the Child”. Dalam kedua buku tersebut, piaget mengemukakan
tahapan perkembangan kognitif dan melalui empat tahapan berdasarkan
umur yaitu:

178 Pendidikan Multikultural


1. Tahap sensori motor (usia bayi – 2 Tahun)
2. Tahap pra perasional (2 Tahun – 7 Tahun)
3. Tahap operasional kongkret (7 Tahun – 12 tahun)
4. Tahap operasional formal (12 Tahun – Dewasa)

Sedangkan untuk melihat kedua unsur lainnya yaitu unsur modelling


force dan conditioning force akan didukung dengan teori Vigotsky
dengan teori proksimitasnya, yaitu tentang keterkaitan perkembangan
manusia dengan lingkungan budayanya. Para kontruktivis Vigotskian
lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar
individu. Untuk itu, mereka mengajukan kontekstual sebagai strategi
strategi pembelajaran yang dianggap representatif untuk pemerolehan
pengetahuan dalam suatu proses pembelajaran. Strategi ini memberi
peluang kepada si pembelajar untuk secara bersama terlibat secara
aktif meningkatkan interaksinya dalam sasaran belajar dan saling
mengisi dalam memecahkan masalah. Dalam konteks ini, Vigotski secara
tegas lebih menekankan pada proses sosialisasi dalam emerolehan
penetahuan. Proses sosialisasilah yang membuat seseoarang menjadi
tahu bagaimana ia mesti bertingkah laku di tengah-tengah masyarakat
an lingkungan budayanya. Proses sosialisasi membawa seseorang dari
keadaan tak atau belum tersosialisasikan menjadi manusia masyarakat
dan beradab. Melalui sosialisasi, seseorang secara berangsur-angsur
mengenal persyaratan-persyaratan dan tuntunan-tuntunan hidup di
lingkungan budayanya.

XI. Model Pengembangan Pendidikan Multikultural 179


Dari proses tersebut, seseorang akan mewarnai cara berpikir dan
kebiasaan-kebiasaan hidupnya. Oleh karena itu, maka kebanyakan tingkah
laku seseorang menjadi dapat diramalkan. Melalui proses sosialisasi yang
panjang, kedirian dan kepribadian itu sangat penting artinya artinya,
kerena ia merupakan salah satu komponen penyebab/pemberi warna
dari wujud tingkah laku sosial manusia. Uraian-uraian pada bab ini untuk
menunjukkan bahwa: (a) kedirian dan kepribadianmanusia memang
lahir dari proses sosialisasi, dan (b) pengaruh lingkungan seseoranglah
yang menyebabkan perbedaan kepribadian pada manusia. Kepribadian
sebagai suatu faktor penyebab tingkah laku ada tiga faktor antara lain:
• Faktor struktur sosio-kultural, yaitu pola tingkah laku ideal yang
diharapkan,
• Faktor situasi, yaitu semua kondisi fisik dan sosial di tempat berada
dan diterapkannya sesuatu sistem sosial, dan
• Faktor kepribadian, yaitu semua faktor psikologis dan biologis yang
mempengaruhi tingkah laku para pelaku secara perseorangan. Kedua
perspektif tersebut dengan jelas menunjukkan penekanan yang
sedikit berbeda dalam menilai dan melihat kualitas pemerolehan
pengetahuan seseorang sekalipun keduanya berada dalam satu
lingkaran konstruktivisme.

Pendidikan multikultural dalam paradima pemikiran Piaget lebih


menekankan pada faktor proporsionalitas antara proses asimilasi dan
proses akomodasi untuk mencapai keseimbangan dalam mengkonstruk
keragaman budaya. Sedangkan paradigma pemikiran Vigotsky lebih
menekankan pada faktor intensitas si pembelajar dalam berinteraksi
dengan lingkungannya. Artinya semakin inten seseorang berinteraksi
dengan lingkungan yang berbeda dengan dirinya, semakin inklusif pula
cara berpikirnya dalam mengkonstruksi suatu pengetahuan. Substansi
penggabungan dari kedua teori ini akan pada revolusi sosio-kultural, yaitu
sebuah teori pembelajaran yang memposisikan konteks sosil-budaya
sebagai faktor yang paling menentuka bagi masing-masing individu pada
saat terjadinya proses pemerolehan informasi atau pengetahuan. Teori
ini sesungguhnya merupakan co-kon-struktivistik, pengembangan dari
konstruktivisme-nya piaget, apalagi bila dikaitkan dengan tahapan-
tahapan pengembangan yang dikemukakan.

180 Pendidikan Multikultural


D. Ultimate Goal Pendidikan Multikultural

Pendidikan akan menghasilkan visi dan misi yang jelas jika suatu
proses tujuan dan pembelajaran menjadi pertimbangan yang dipriori-
taskan dalam mencapai suatu hasil. Inilah yang menjadi pertimbangan
mengenai tendensi yang melatar belakangi penyelenggaraan pendidikan
multikultural. Sebab, hal tersebut berkaitan dengan mengenai fungsi
yang dikembangkan dalam membangun sistem fungsional dalam segala
unit sosial. Apalagi proses ini menjadi pentng untuk diprioritaskan, se-
hingga ada kejelasan apakah penyelenggaraan sebuah program sesuai
yang diharapkan dan dalam konteks apa pendidikan multikultural dis-
elenggarakan dan seterusnya. Pada akhirnya, inilah yang akan menjadi-
kan antara starting point dan ultimate goals dalam suatu proses pen-
didikan dapat dipahami titik persinggungannya.
Dalam konteks indonesia, internalisasi nilai-nilai multikultural
harus mempertimbangkan dasar atau ideologi negara indonesia, yaitu
Pancasila. Fungsi suatu ideologi adalah sebagai dogma yaitu serangkaian
nilai-nilai yang dijadikan pegangan dalam suatu organisasi negaranya.
Sehingga pancasila merupakan suatu gambaran manusia yang ingin
diciptakan di dalam proses dehumanisasi (proses menjadi) di negara
Republik Indonesia. Artinya, pancasila sebagai ideologi negara harus
menjadi acuan dalam mengembangkan masyarakat indonesia. Untuk
profil manusia Indonesia dalam matrik berikut ini perlu menjadi bahan
pertimbangan dalam merumuskan konsep pendidikan multikultural.
Dalam kenyataanya, konflik atau bahkan perang ideologi individu
dan ideologi negara selalu terjadi tarik ulur dalam menentukan ruang
privat dan ruang publik, apalagi saat terjadinya proses sintesis seringkali
ditumpangi oleh berbagai faktor di dalam kehidupan seperti politik,
ekonomi dan kepentingan lainnya. Dengan demikian bisa jadi pendidikan
multikultural menjadi penguat terhadap benturan berbagai kepentingan
tersebut. Sebuah kondisi yang kondusif belum cukup menjamin suksesnya
suatu program berjalan secara optimal.
Prinsip-prinsip multukulturalisme sebenarnya telah digunakan
sebagai acuan oleh pendiri bangsa ini dalam mendesain apa yang
dinamakan sebagai kebudayaan bangsa. Sebagimana yang terungkap
dalam penjelasan UUD 1945 Pasal 32 yang berbunyi; “kebudayaan bangsa
(Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”. Pasal di atas
memberikan pengertian bahwa, masalah multikulturalisme bukan hanya

XI. Model Pengembangan Pendidikan Multikultural 181


merupakan masalah dunia Barat di mana aliran ini berasal, karena pada
setiap strata sosial pada kenyataanya memiliki kebudayaan tersendiri
yang coraknya seperti sebuah mozaik. Di dalam mozaik tercangkup
semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil dan
membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar. Pada tataran
selanjutnya, melahirkan corak masyarakat Indonesia yang bhineka
tunggal ika bukan lagi keanekaragamansuku bangsa semata, tetapi
keanekaragaman kebudayaan yang ada dan hidup di dalam masyarakat.

PROFIL MANUSIA INDONESIA


Sumber Nilai dan
Pancasila Implementasi Nilai
sarana
Ketuhana Yang Eaha - Nilai-nilai etika - Agama yang dihayati
Esa - Nilai Moral dalam masyarakat
- Kebudayaan daerah
Perikemanusiaan - HAM - Kesadaran hukum
Yang Adil dan - Toleransi Antar Warga - Kerjasama
Beradab - Kerjasama global untuk internasional
kemakmuran dan
perdamaian
Persatuan Indonesia - Saling menghargai - Bahasa Indonesia
perbedaan - Sistem pendidikan
- Kemauan untuk - Interaksi antar
persatuan warga/suku
- Menghormati
Kerakyatan - Nilai-nilai demokrasi - Lembaga-lembaga
- Populis (memihak pada demokrasi
kepentingan rakyat) - IPTEK
- Teknologi yang
memajukan kemakmuran
rakyat
Keadilan sosial - Rasa solidaritas sosial - Lembaga-lembaga
bagi seluruh rakyat sebagai suatu bangsa sosial tradisional
Indonesia - Kerjasama dalam yang masih
menanggulangi masalah fungsional di daerah.
nasional

182 Pendidikan Multikultural


Pernikahan Adat Malaku

RANGKUMAN
Dalam memahami dan memaknai pendidikan multikultural hendaknya
tidak dipertentangkan atau setidaknya menyikapinya secara prporsional
antara satu konsep yang di punyai oleh seorang ahli dengan konsep yang
di punyai ahli lainnya, untuk itu maka konsep tentang multicultural
education berdasarkan atas keyakinan dan asumsi sebagai berikut
pertama perbedaan budaya memunyai kekuatan dan nilai. Kedua sekolah
harus dibentuk untuk mengekspresikan makna hak asasi manusia dan
menghormati hak asasi manusia. Ketiga keadilan sosial dan persamaan
hak bagi seluruh masyarakat harus menjadi puncak kepentingan dalam
mendesain dan melaksanakan kurikulum. Keempat sikap dan nilai
nilai penting yang dapat membentuk masyarakat demokrasi, perlu di
promosikan di sekolah. Kelima para pendidik seharusnya bekerjasama
dengan keluarga dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang
mendukung multikulturalisme
Pendidikan Multikultural dengan pola pikir yang demikian itu lebih
dipsisikan sebagai bagian dari materi pembelajaran yang harus menjadi
pertimbangan dalam penyusunan kurikulum yang secara substansial
memperkenalkan perbedaan sebagai hal yang alami, memberi alasan

XI. Model Pengembangan Pendidikan Multikultural 183


yang logis terhadap perbedaan perbedaan tersebut, membiasakan dengan
pengalaman hidup sehari hari oleh karenanya, Pendidikan Multikultural
sebagai materi merupakan keniscayaan ( conditio sin quancin ). Namun
demikian tipe yang terakhir ini banyak menuai kritik.
Pendidikan Multikultural dilihat dari teori Sosial, maka dalam
perspektif sosiologi, setiap tindakan konversi selalu terdapat makna sosial
sebagai konsekwensinya, serta konsep tersembunyi berupa keinginan
yang melekat pada fungsi yang diperankan oleh manusia sebagai aktor
yang memiliki kemampuan untuk melakukan serangkaian pilihan dalam
melakukan tindakan. Dengan kata lain, ketika Pendidikan Multikultural
dilihat dari perspektif teori sosial, maka untuk melihat hasil capaian
bertitik tolak dari human sebagai sosial actor dan bukan dari aspek
kekuatan pengajaran semata, sehingga Pendidikan Multikultural tidak
dilihat secara universal sebagai suatu program, akan tetapi melibatkan
beberapa faktor sebagai suatu kesatuan yang menjadi bagian dari unit
anaksis, mulai dari obyek yang menjadi kajian, medan budaya dimana
materi tersebut diterapkan ( Cultural Spehere ), nilai yang dipahami oleh
pelaku tentang materi yang diprogramkan sampai bagaimana metode
yang digunakan. Dari situ maka dapat dilakukan identifikasi terkait
dengan kecenderungan prilaku sosial yang diperankan oleh masing -
masing aktor dalam struktur sosial yang selanjutnya dapat di apologikan
fungsi – funsi yang dimunculkan.

TUGAS DAN LATIHAN


1. Jelaskan gerakan pendidikan multikultural pada jenjang Sekolah
Dasar!
2. Jelaskan gerakan pembaharuan pendidikan multikultural pada
jenjang Sekolah Dasar!
3. Jelaskan model pengembangan multikultural pada jenjang Sekolah
Dasar!

184 Pendidikan Multikultural


BAB XII
KERANGKA
PEMBELAJARAN DAN
PENILAIAN PENDIDIKAN
MULTIKULTURAL

Adat pernikahan batak

185
Tujuan Pembelajaran

Setelah mempelajari pembelajaran pada bagian ini anda diharapkan


memiliki kemampuan sebagai berikut :
1. Menjelaskan Pembelajara Berwawasan Pendidikan Multikultural
2. Menjelaskan pendekatan Pendekatan Dalam Pembelajaran
Pendidikan Multikultural
3. Menjelaskan Penilaian Berwawasan Multikultural
4. Menjelaskan Proses Penyemaian Nilai – Nilai Pendidikan Multikultural
5. Menjelaskan Aksi dan Kesadaran Pendidikan Multikultural

Kerangka Isi

Pada bagian ini memaparkan masalah-masalah pokok yang berkaitan


dengan pembelajara berwawasan Pendidikan Multikultural; Pendekatan
Dalam Pembelajaran Pendidikan Multikultural; Penilaian Pembelajaran
Berwawasan Pendidikan Multikultural; serta menjelaskan Aksi dan
Kesadaran Pendidikan Multikultural.

186
A. Pembelajaran Berwawasan Pendidikan Multikultural

Lembaga pendidikan keagamaan diharapkan mempunyai kerangka


pengembangan pendidikan multikultural serta memiliki pengalaman
yang cukup dalam mengelola keberagaman budaya dan sosial. Untuk
itu, lembaga pendidikan keagamaan merasa perlu mengembangakan
pendidikan bernuansa kebudayaan nasional, dengan harapan model ini
akan dapat memaksimalkan pengeloalaan potensi sumber daya manusia
sesuai kebudayaan yang dimiliki leh masing-masing individu secara
hierarki, mulai dari tingkat struktural paling atas (para pimpinan),
sampai pada tingkatan paling bawah (para staf administrasi0, bahkan
sampai kalangan peserta didik. Apalagi lembaga pendidikan keaamaan
memiliki peran khusus sebagai penyelenggaraan pelayanan pendidikan
bercirikan keagamaan. Karena itu disamping mempunyai peran dalam
membangun peneguhan dalam memahami agama juga ada fungsi untuk
menghubungkan agama menjadi “benang merah” yang menghubungkan
dirinya dengan universal, yaitu pada nilai-nilai universal yang diajarkan
antara lain kejujuran, kebajikan, ketulusan, kasih sayang, kedamaian,
kesejahteraan dan seterusnya.
Untuk itu, pimpinan lembaga pendidikan keagamaan, dapat
memainkan peran sebagai aktor sentral untuk menginteranalisasikan
nilai-nilai multikultural. Caranya, ideologi multikultural harus terus
mengakar dalam diri pimpinan pendidikan dengan menganggap manusia
harus terus berbuat baik kepada sesama di muka bumi ini, untuk saling
mencinta, mengasihi satu sama lain. Hal ini akan berhasil bilamana
setiap pimpinan pendidikan memahami bahwa pada hakekatnya semua
manusia mempunyai kebutuhan yang sama, yaitu butuh akan pengakuan,
butuh akan penghormatan sebagaimana yang di tegaskan dalam Al-
Qur’an; “sungguh telah aku mulyakan anak manusia dan telah aku jamin
mereka baik di darat maupun di laut....” berkaitan dengan hal tersebut,
KH.Sholeh baharuddin menurut Abu Amar, menyatakan bahwa penanaman
pendidikan multikultural memiliki kemiripan dengan filosofi wujud pasar
sebagai tempat jual beli. Di tempat itu, para embeli dan penjual tidak
dapat begitu saja “dipaksa” menempati pasar tersebut. Namun interaksi
antara pembeli dan penjual itu sendiri yang menciptakan tempat
yang disebut pasar. Gambaran seperti itulah yang semula melahirkan
pimpinan lembaga pendidikan yang peduli terhadap adanya pendidikan
multikultural. Ini merupakan cermin intensifnya dialog antar lembaga

XII. Kerangka Pembelajaran dan Penilaian Pendidikan Multikultural 187


pendidikan keagamaan dengan lingkungannya. Dialog ini tercipta secara
alamiah, karena berdirinya lembaga pendidikan keagamaan merupakan
bagian dari kehendak masyarakat. Justru tidak masuk akal, apabila
lembaga pendidikan keagamaan tidak dapat berdialog dengan “pemilik”-
nya sendiri yaitu masyarakat.

B. Pendekatan - Pendekatan Dalam Pembelajaran Pendidikan


Multikultural

Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai sebagai titik tolak


atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran yang merujuk
pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih
sangat umum, di dalamnya mewadahi, menguatkan dan melatari metode
pembelajaran dengan cakupan teoritis tertentu. Dari pendekatan
pembelajaran yang telah ditetapkan, selanjutnya diturunkan ke dalam
strategi pembelajaran.
Dalam pembelajaran pendidikan multikultural di lembaga pendidikan
keagamaan, prilaku yang dicontohkan oleh para pimpinan pendidikan
memiliki nilai sangat penting untuk ditanamkan sejak dini. Sebab hal itu
kumpulan nilai yang bermanfaat yang dapat digunakan standar pegangan
hidup. Dengan demikian, nilai pancasila dipahamkan pada komunitas
lembaga pendidikan melalui berbagai cara. Para pimpinan lembaga
pendidikan keagamaan dalam hal ini cenderung lebih mengedepankan
modelling force sebagai sarana yang dianggap paling tepat untuk
menanamkan nilai multikultural, karena di dalamnya terkandung muatan
nilai, moral, dan norma yang diaplikasikan oleh para pimpinan dalam
memerankan fungsi sosial.
Ada empat unsur yang mendaasari penentuan atau pemilihan sebuah
strategi pembelajaran, yaitu:
1. Mempertimbangkan spesifikasi dan kualitas hasil (out put) dan
sasaran (target) yang harus dicapai dengan mempertimbangkan pula
kecenderungan masyarakat yang memerlukannya
2. Mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan utama (basic
way) yang paling efektif untuk mencapai sasaran.
3. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah (steps) yang
akan ditempuh sejak titik awal sampai sasaran

188 Pendidikan Multikultural


4. Mempertimbangkan dan menetapkan tolak ukur (criteria) dan
patokan ukuran (standart) untuk mengukur dan menilai taraf
keberhasilan (achievement) usaha.

Dari keempat macam pertimbangan tersebut, perlu ditambahkan


di sisni bahwa istilah strategi itu digunakan dalam banyak konteks dan
mempunyai makna tidak selalu sama. Dalam konteks enilaian misalnya,
strategi diberi makna keseluruhan prosedur atau pola umum yang perlu
ditempuh oleh pendidik dalam melakukan aktifitass penilaian hasil
belajar afektif terhadap peserta didik, guna mencapai tujuan yang telah
ditentukan
Dalam mengkaji kerangka pembelajaran pendidikan dimulai sebuah
pendekatan, J.A. Banks menawarkan empat pendekatan dalam pen-
didikan multikultural, yaitu: kontributif, aditif, aksi sosial, dan trans-
formatif. Pendekatan kontributif, adalah pendekatan yang dilakukan
dengan cara menyeleksi buku-buku teks wajib atau anjuran dan aktivi-
tas-aktivitas tertentu seperti hari-hari besar kenegaraan dan keagamaan
dari berbagai macam kebudayaan. Pendekatan ini bertujuan untuk men-
ingkatkan pengetahuan mengenai keragaman kelompok, sehingga da-
pat dikembangkan dengan cara menawarkan muatan khas yang dapat
dengan segera diakui dalam berbagai varian pendidikan multikultural,
misalnya menggabungkan peringatan hari-hari besar keagamaan dengan
hari kepahlawanan nasional. Pendekatan ini paling sedikit keterlibatan-
nya dalam reformasi pendidikan multikultural.
Sementara itu, pendekatan aditif merupakan bentuk tambahan mua-
tan-muatan, tema-tema, dan perspektif-perspektif ke dalam kurikulum
tanpa mengubah struktur dasarnya. Artinya, pendekatan ini melibatkan
upaya memasukkan literatur oleh dan tentang masyarakat dari berbagai
kebutuhan ke dalam meainstream kurikulum. Misalnya, memanfaatkan
muatan khas multikultural -seperti tema-tema tentang ko-eksistensi,
pro eksistensi, saling menghargai, saling memahami- sebagai pemer-
kaya bahan ajar. Sedangkan pendekatan transformatif, yaitu mengem-
bangkan suatu paradigma baru bagi kurikulum atau membuat kurikulum
barudi mana konsep-konsep, isu-isu, tema-tema, dan problem-problem
didekati dengan pendekatan muqaran (perbandingan) untuk memper-
baharui pemahaman dan berbagai perspektif dan sudut pandang. Pen-
erapan pendekatan ini mengimplikasikan penciptaan kurikulum dengan
mengakomodir kelompok-kelompok dengan latar budaya yang berbeda

XII. Kerangka Pembelajaran dan Penilaian Pendidikan Multikultural 189


baik yang mainstream maupun sempalan. Pendekekatan ini bertujuan
membuka perspektif kelompok-kelompok yang berbeda secara budaya
(outsider) untuk memberi komentar dan penjelasan terhadap materi
yang dibahas. Sementara pendekatan aksi sosial, yaitu mengkombi-
nasikan pendekatan transformatif dengan berbagai aktifitas untuk mel-
akukan perubahan sosial.pendekatan ini bertujuan untuk memperkaya
ketrampilan peserta didik dalam melakukan aksi sosial seperti resolusi
konflik, rekonsiliasi keberagaman, , dan perbeadaan budaya. Penera-
pan pendekatan ini tidak hanya mengikutsertakan peserta didik untuk
memahami dan mempertanyakan isu-isu sosial, namun sekaligus juga
dilibatkan dalam melakukan suatu yang penting berkenaan dengan isu
tersebut.
Senada dengan apa yang ditawarkan J.A. Banks, Gay juga menawarkan
empat macam pendekatan yaitu; dekonstruktif, inklusi, infusi, dan
transformatif. Pertama, pendekatan dekonstruktif, pendekatan ini
sering dipahami sebagai kritik, intrograsi, dan pembongkaran sekaligus
rekontruksi pengetahuan oleh para teoritis pendidikan. Tahap dekontruktif
mengarahkan pengajaran dan pembelajaran menuju upaya memelihara
seseorang untuk menjadi spektis yang sehat, yakni orang yang secara
konstan menanyakan klaim-klaim yang sudah ada terhadap kebenaran
dan akurasi sosial dan akademik dalam rangka mencari penjelasan baru,
dan untuk menentukan agar prespektif-perspektif berbagai kelompok
etnis dan kultur terwakili, dan pengetahuan, pespektif serta pengalaman
secara kultural pluralistik dipergunakan sebagai kriteria untuk menguji
kembali premis-premis dan asumsi-asumsi tentang sistem pendidikan
yang sudah lama berjalan.
Kedua, pendekatan inklusi, yaitu pendekatan yang menekankan
kepada pengajaran faktual tentang sejarah, warisan, dan kontribusi
kelompok-kelompok etnik dan kultural yang terpinggirkan dan tak
terwakilkan dalam kurikulum pendidikan, sedang pengajaran terfokus
pada konsep heroisme, memperkenalkan pada seseorang tentang ragam
budaya yang ada yang juga memberi kontribusi kepada masyarakat secara
keseluruhan, dan mendefinikasikan heroisme kultural sesuai standar
kelompok-kelompok etnik, agama dan strata sosial yang berbeda.
Ketiga, pendekatan infusi, yaitu pendekatan secara sistematis
mengintegrasikan muatan, konteks, contoh-contoh dan sudut pandang
dari berbagai kelompok untuk mengilustrasikan konsep-konsep, prinsi-
prinsip, teori-teori, dan metode pencarian dari berbagai perspektif

190 Pendidikan Multikultural


kedalam seluruh kurikulum sehingga memperluas wilayah muatan,
disiplin, program kuliah. Pendekatan ini membutuhkan perubahan
substansial dalam proses pendidikan dan struktur kurikulum untuk
memastikan pluralisme kultural integral dengan pengalaman belajar
seseorang, baik mayoritas maupun minoritas.
Keempat, transformatif, yaitu pendekatan yang menekankan
pada aksi sosial dan politik untuk memecahkan masalah secara logis,
melampaui konteks kelas tradisional dari sini diharapakan muncul
perubahan pedagogik yang mengakui bahwa kelas-kelas tradisional
lebih menekankan pada pengajaran teks-teks yang sering memaparkan
kategori-kategori tradisional dalam wacana dan evaluasi. Oleh karena
itu, perlu mengganti model-model lama, atau setidaknya merevisi dan
menciptakan yang baru, untuk mengungkap ketepatan suatu pola, perlu
adanya kejelasan terlebih dahulu tentang pola-pola tertentu dalam
konteks apa suatu strategi dibutuhkan.

C. Penilaian Pembelajaran Berwawasan Multikultural

Dalam setiap proses belajar mengajar akan selalu terkandung di


dalamnya unsur evaluasi (evaluation). Di jantung evaluasi inilah terletak
keputusan yaitu keputusan yang didasarkan atas values (nilai-nilai).
Dalam proses evaluasi dilakukan perbandinga antara informasi-informasi
yang tersedia dengan kriteria-kriteria tertentu, untuk selanjutnya
ditarik kesimpulan. Dalam wawasan evaluasi akan dijumpai dua
macam istilah, yaitu “pengukuran” (measureement) dan “penilaian”
(evaluation) menurut Wandt dan Brown (1977). “measurement means
the act or process of exestaining the extent or quantity of something”
(pengukuran adalah suatu tindakan atau proses untuk menentukan luas
atau kuantitas dari sesuatu), sedangkan penilaian adalah “refer to
the act or process to determining the value f samething” (penilaian
adalah suatu tindakan atau proses untuk menentukan nilai dari sesuatu).
Dari pernyataan tersebut dapatlah dipahami bahwa pengukuran ada
dasarnya adalah kegiatan atau proses untuk memberikan jawaban atau
pertanyaan: “What value?”.
Istilah “penilaian” dan istilah “pengukuran” seringkali dipertukarkan
dalam penggunaanya, padahal terdapat perbedaan diantara keduanya.
Pengukuran adalah suatu tindakan atau proses untuk menentukan luas

XII. Kerangka Pembelajaran dan Penilaian Pendidikan Multikultural 191


atau kuantitas dari sesuatu. Sedangkan penilaian adalah suatau tindakan
ataua proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Dari pernyataan
tersebut dapatlah dipahami, bahwa pengukuran pada dasarnya adalah
kegiatan atau proses untuk memberikan jawaban atau pernyataan
“What value?”.
Dalam praktik, memang istilah pengukuran mecakup baik
pengukuran maupun penilaian itu sendiri. Penilaian merupakan bagian
terpenting dari proses belajar mengajar, ia sangat tinggi nilaianya bagi
pendidik, sebab penilaian itu akan dapat membantu menjawab masalah-
masalah penting, apakah itu berkaitan denga peserta didiknya atau yang
berkaitan dengan prosedur mengajarnya. Tidak ada seorang pendidik
aau peserta didik yang dapat menghindar darinya. Sejak mulai karir
sampai memasuki masa pensiun. Seorang pendidik terus saja berurusan
dengan penilaian, sejak dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi,
siswa, mahasiswa tidak henti-hentinya dikenai penilaian. Bahkan lebih
dari itu para penyelenggara lembaga pendidikan , badan-badan usaha
yang membuka lapangan kerja dan orang tuapun tidak lepas dari maslah
penilaian itu; mereka juga berkepentingan atas penilaian tersebut.
Penilaian merupakan proses dari belajar mengajar. Ia sangat
tinggi nilainya bagi seorang pendidik, sebab penilaian itu akan dapat
membantu menjawab masalah-masalah penting, baik yang berkaitan
dengan peserta didiknya maupun yang berkaitan dengan prosedur
mengajarnya. Tidak proses belajar mengajar yang bebas dari penilaian;
tidak ada peserta didik atau pendidik yang dapat menghindar darinya.
Sejak dimulai karir hingga memasuki masa pensiun seorang pendidik
terus saja berurusan dengan penilaian; sejak dari taman kanak-kanak
hingga perguruan tinggi, siswa mahasiswa dikenai penilaian. Bahkan
lebih dari itu para penyelenggara pendidikan, badan-badan usaha yang
membuka lapangan kerja dan orang tuapun tidak terlepas dari masalah
penilain itu; mereka juga berkepentingan atas penilaian tersebut.
Jadi penilaian itu memang tidak terelakkan kehadirannya, an karena
lembaga pendidikan mempunyai tugas untuk mendidik anak sebagai
pribadi yang utuh maka penilaian yang dikenakan terhadap peserta didik
tidak hanya terbatas pada aspek intelektual (ranah kognitif) dan asspek
ketrampilannya (ranah psikomtor) saja, melainkan juga pada aspek
hidupnya (ranah afektif)
Sementara untuk menganalisis pola integrasi, tipoligi pengukuran
model yang dicetuskan oleh Landecker boleh dipinjam sebagai pisau

192 Pendidikan Multikultural


analisis. Menurut Landecker ada 5 variabel integrasi yaitu; a) budaya,
b) normtif, c) fungsional, d) komunikatif, dan e) perubahan. Mengukur
berarti menghubungkan antara knsep yang bersifat abstrak dengan yang
bersifat riil-empirik. Bagaimanapun untuk menganalisis muatan budaya,
haruslah mempertimbangkan mekanisme sosial yang benar-benar nyata
di mana perubahan itu berlangsung.
Dalam dunia pendidikan dikenal adanya empat model penilaian, yaitu
1) model pengukuran (measurement model). 2) model kesesuaian, atau
kecocokan (congruence model). 3) model penilaian sistem pendidikan
(educational system evaluation model). Dan 4) model illuminatif
(illuminative model). Penilaian pendidikan dengan menggunakan model
pengukuran menekankan akan arti pentingnya pengukuran dalam proses
penilaian. Menurut model ini tidak lain adalah pengukuran aspek tingkah
laku dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan-perbedaan individual
atau kelompok yang hasilnya diperlakukan dalam rangka seleksi,
bimbingan dan perencanaan pendidikan bagi peserta didik di sekolah.
Pembicaraan tentang penilaian hasil belajar pendidikan multikultural,
sekalipun tidak masuk dalam struktur kurikulum, namun demikian setiap
program pendidikan tidak mungkin bisa tuntas tanpa mengaitkan dengan
taksonomi tujuan pendidikan. Begitupun penilaian dalam pelaksanaan
pendidikan multikultural di lembaga pendidikan keagamaan pu tentang
tidak terelakkan kehadirannya. Pada dasarnya lebaga pendidikan
keagamaan mempunyai tugas untuk mendidik manusia sebagai pribadi
yang utuh, maka penilaian yang digunakan sekalipun tidak melibatkan
penilaian tertulis (test tulis), namun menggunakan standar-standar
pengukuran yang dibakukan seperti halnya yang diberlakukan pada
penilaian aspek afektif pada umumnya.
Pelaksanaan evaluasi tidak dijawalkan secara sistematis sesuai kal-
ender akademik. Namun demikian, dari beberapa jawaban yang diberi-
kan oleh kalangan elit, memberikan pemahaman bahwa pelaksanaan
evaluasi dalam bentuk non teks telah dilakukan dan tentu saja sesuai
standar-standar yang diberlakukan dan disepakati oleh para pimpinan
lembaga pendidikan, seberapun capaian yang dihasilkan. Oleh karenya
keberhasilan memahami konsep multikultural merupakan titik kulmi-
nasi yang menentukan bagi keberhasilan pembangunan sebuah karakter
(character buildingi).
Model kedua congruence model sebenarnya merupakan bentuk
upaya untuk memeriksa, kesesuaian antara tujuan-tujuan pendidikan

XII. Kerangka Pembelajaran dan Penilaian Pendidikan Multikultural 193


yang telah ditentukan dengan hasil-hasi belajar yang telah dicapai
oleh peserta didik. Karena tujuan-tujuan itu menyangkut perubahan-
perubahan tingkah laku yang diinginkan pada diri peserta didik, maka
penilaian haruslah ditujukan pada pemeriksaan, mengenai sejauh
manakah perubahan-perubahan yang diinginkan itu telah terjadi. Alasan
sebagaimana ditemukan oleh Tyler –ialah, bahwa pendidikan sebagai
suatu proses mencakup tiga hal saling beraitan, yaitu; tujuan pendidikan,
pengalaman belajar, dan hasil belajar.
Model ketiga adalah educational system model yang memiliki ruang
lingkup lebih luas dari pada measurement model dan conggruence model.
Model ketiga ini bertitik tolak pada pandangan , bahwa keberhasilan dari
sistem pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, karakteristik peserta
didik maupun lingkungan disekitarnya, tujuan sistem dan peralatan yang
dipakai, serta prosedur serta mekanisme pelaksanaan sistem itu sendiri.
Di sini penlaian di maksudkan membandingkan performane dari berbagai
dimensi sitem yang sedang dikembangkan dengan sejumlah kriteria
tertentu, untuk akhirnya sistem sebagai yang dicapai saja. Jadi disamping
hasil yang dicapai, dimensi-dimensi lainnya dari sistem yang berpengaruh
pada hasil yang dicapai juga menjadi obyek penilaian. Sedangkan model
keempat adalah illuminative model yang dikembangkan sebagai reaksi
terhadap model measurement dan model cunggruence. Kedua model
tersebut kurang menghasilkan informasi yang tuntas dan riil mengenai
sistem pendidikan yang dinilainya. Jika model pertama an model kedua
lebih berorientasi pada penilaian kuantitatif dan berstruktur, maka
model yang terakhir ini lebih menyerupai pendekatan yang diterapkan
dalam bidang antropologi sosial, psikiatri dan jenis-jenis penilaian
tertentu di bidang psikologi.

D. Proses Penyemaian Nilai – Nilai Pendidikan Multikultural

Dalam rangka peneguhan pendidikan multikultural disemua jenjang


pendidikan, maka keberadaan lembaga pendidikan tinggi di daerah, mutlak
sangat diperluakan. Sebagai contoh untuk mengembangkan pendidikan
multikultural pada jenjang perguruan tinggi yang memiliki tujuan seperti
tercantum dalam peraturan pemerintah Nmor 60 Tahun 1999, antara lain;
1) menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki
kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan,

194 Pendidikan Multikultural


mengembangkan dan/atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan,
teknologi dan kesenian; 2) mengembangkan dan menyebarluaskan
ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian serta mengupayakan
penggunaanya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan
memperkaya kebudayaan nasional. Realitas ini merupakan nilai tambah
yang amat berharga karena merupakan daya dukung dan kelanjutan dari
pengembangan pendidikan multikultural di perguruan tinggi. Oleh sebab
itu, pengembangan pendidikan multikultural di perguruan tinggi lebih
mengarah pada usaha untuk menyiapaka sumber daya manusia yang
profesional dan cerdas budaya.
Dengan kajian tentang sistem pendidikan multikultural yang
dikembangkan di perguruan tinggi akan didapati sebuah gerakan
pembaharuan dan inovasi pendidikan yang diorientasikan dalam rangka
membangun manusia yang memilii karakter (character building), dengan
menanamkan kesadaran pentingnya hidup bersama dalam keragaman
budaya, dengan spirit kesetaraan dan keseerajatan; saling percaya, saling
memahami dan saling menghargai persamaan. Perbedaan budaya terjalin
dalam suatu relasi dan interpendensi dalam situasi saling mendengar dan
menerima perbedaan pemikiran terbuka untuk selanjutnya menemukan
jalan terbaik mengatasi konflik antar agama, antar etnis, strata sosial dan
seterusnya, menciptakan perdamaian melalui sarana pengampunan dan
tindakan nirkekerasan. Penanaman moral yang demikian itu diarahkan
untuk membangun mental masyarakat luas agar memiliki kepekaan sosial
kepada sesama tanpa memandang latar belakang agama, etnis, status
ekonomi dan status sosial. Oleh karena itu pendidikan multikultural sudah
sepatutnya diimplementasikan dalam bentuk prilaku yang diperagagakan
(modelling) oleh masing-masing kalangan, mulai dari kalangan elit (para
pimpinan), kalangan dosen, karyawan dan para aktifis. Sikap seperti ini
yang akan melahirkan kepedulian an mau mengerti (difference) atau
yang dikenl denga “politics of regognition” yaitu pengakuan terhadap
orang-orang dari kelompok yang minoritas.
Seangkan beberapa kegiatan ataupun aktifitass baik yang dilakukan
secara rutin maupun insidental yang dimotori oleh pimpinan lembaga
pendidikan keagamaan dalam mengimplimentasikan pendidikan multi-
kultural, dapat di deskripsikan sebagai berikut:
1. Secara rutin pimpinan lembaga keagamaan menyelenggarakan
kegiatan siraman rohani yang dapat laksanakan seminggu sekali yang
diikuti oleh masyarakat luas dari berbagai macam komunitass, mulai

XII. Kerangka Pembelajaran dan Penilaian Pendidikan Multikultural 195


dari kalangan santri, pedagang, kaum buruh, budayawan, bahkan
dari berbagai macam etnis agama.
2. Menggalang berbagai kegiatan sosial-relegius masyarakat sekitar
dengan tanpa memandang latar belakang sosial budaya mereka
dalam rangka mengaplikasikan nilai-nilai agama sebagai rahmatan
li al‘alamin.
3. Memotori forum lintas agama yang diagenakan setiap tahun dan
sekaligus menjadi bagian dari sumber dana.
4. Menjadi peserta aktif dialog antar umat beragama yang di tempatkan
secara bergilir di komunitas ; Muslim, Kristen, Hindu, Budha, dan
Konghuhcu.
5. Meningkatkan komunikasi antar umat beragama untuk meningkatkan
persaudaraan sejati yang dilaksanakan pada moment tertentu.
Pimpinan lembaga pendidikan keagamaan misalnya pesantren, dapat
menghadiri undangan umat beragama yang lain untuk mengikuti
seremonial yang diikuti di Gereja, begitu pula sebaliknya hampir
setiap moment penting seperti kegiatan belajar mengajar perdana
di lembaga pendidikan keagamaan di awal tahun, narasumber
atau pembicara hampir senantiasa menghadirkan kalangan umat
beragama. Begitu pula kerjasama bidang ekonomi dan etnis Cina
tidak saja dari agama Budha yang dianut kalangan Thionghoa pada
umumnya, tetapi juga dari latar belakang keagamaan yang beragam.
6. Memberikan dukungan moril maupun material kepada aktifitas para
guru dan peserta didik dalam mensosialisasikan kerukunan umat
beragama, toleransi dan kebersamaan.

Sementara itu, beberapa faktor penentu dalam menciptakan lembaga


pendidikan keagamaan berbasis pendidikan multikultural, antara lain;
1. Letak geografis lembaga pendidikan keagamaan menjadi penentu
akses masyarakat luas dalam menyerap telaah dan pembelajaran
pendidikan multikultural yang dihasilkan.
2. Keberadaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan pro-
fesional.
3. Dukungan dari beberapa pihak; DPRD, tokoh masyarakat, perusa-
haan-perusahaan, maupun lembaga-lembaga pendidikan pendidikan
tingkat menengah, baik di lingkungan Kementrian Pendidikan Nasi-
onal maupun Kementrian Agama, dan juga masyarakat luas

196 Pendidikan Multikultural


Dari sudut tipologi wilayah, lembaga pendidikan keagamaan yang
berbasis pendidikan multikultural terbagi menjadi dua. Pertama, wilayah
publik yang terbuka bagi seluruh kelompok umat untuk mengekspresikan
dirinya dalam suatu tatanan budaya bersama seperti rumah sakit,
pasar, tempat-tempat hiburan, media massa, transportasi umum dan
seterusnya. kedua, wilayah privat, yaitu ruang yang digunakan oleh
masing-masing kelompok dalam mengekspresikan budayanya secara
leluasa. Dengan demikian lembaga pendidikan keagamaan dapat
dipahami sebagai wilayah yang semu karena menempati posisi tengah
antara yang privat dan yang publik.
Pada dasarnya pengembangan pendidikan multikultural dalam se-
luruh jenjang pendidikan memiliki tujuan untuk menunjukkan pengasa-
han, penanaman kesadaran, dan pengembangan warganya agar memilki
keadaban (civility), ketrampilan, menumbuhkan kesadaran akan hidup
demkratis. Ketika indikator-indikator ini berjalan secara seimbang, maka
sikap saling menghargai (mutual respect), saling pengertian (mutual
understanding), dan saling percaya (mutual trust) terhadap perbedaan
akan terbangun dan berkembang dengan baik. Ketiga komponen terse-
but menuju pada terbangunnya karakter serta partipasi aktif menuju
masyarakat maani indonesia.
Hal ini sejalan dengan arah pendidikan nasional yang bertujuan
untuk akan menentukan momentumnya dalam membentuk Character
building bangsa Indonesia sebagaimana yang ditawarkan oleh Likcona.
Teori character building mengharuskan adanya integrasi antara ketiga
komponen moral, yaitu moral action, moral knowing, dan moral feeling.
Ketiga komponen tersebut dapat diilustrasikan seperti gambar berikut.

XII. Kerangka Pembelajaran dan Penilaian Pendidikan Multikultural 197


Garis yang menghubungkan antara satu dimensi dengan dimensi
lainnya yang tersebut di atas menunjukkan bahwa untuk membangun
karakter termaksud membina moral, diperlukan pengembangan
ketiga-tiganya secara terpadu, dengan demikian yang diperlukan tidak
hanya pengetahuan tentang yang baik, tetapi disamping memahami
juga bisa merasakan dan mengerjakannya. Pada tataran moral action
(tindakan nyata) misalnya agar peserta didik terbiasa (habit) memiliki
kemauan (will), dan kompeten (competence) dalam mewujudkan
dan mengaplikasikan nilai-nilai multukultural, diperlukan penciptaan
suasana multikultural di lingkungan setempat dan itupun menuntut
adnya intensitas dan berulang-ulang. Jika tidak, bisa jadi akan terjadi
yang sebaliknya. Hal ini disebabkan karena nilai-nilai yang berorientasi
inklusif kadang-kadang bisa terkalahkan oleh nilai-nilai sebelumnya yang
tertanam lebih dulu yang itu bernuansa eksklusif.
Dimensi-dimensi nilai dan moralitas yang terkandung dalam
pendidikan multikutural senantiasa menjadi way of life yang ingin
diwujudkan antara lain melalui sosialisasi prinsip-prinsip pendidikan
multikultural. Menurut salah satu agamawan, Kiai Sholeh dalam
mensosialisasikan pendidikan multikultural, ada tiga alasan yang paling
mendasar untuk diketahui pertama, untuk menunjukkan pada umat
bahwa pendidikan keagamaan terutama pesantren terbukti bukan sarang
teroris. Kedua, supaya masyarakat Muslim dan nonmuslim bisa hidup
rukun, damai dan saling berdampingan. Ketiga, agar para murid, santri
dan peserta didik memiliki wawasan kebangsaan dan berjiwa rahmah li
al-‘alamin dan ukhuwwah bashariyyah.
Kajian penerapan pendidikan multikultural dalam bentuk yang
lebih formal (kurikulum) sepertinya belum ada. Namun yang terpenting
adalah tumbuh dengan suburnya akar penghargaan dan penghrmatan
diantara sesama manusia, diantara komunitas akademisi, masyarakat
luas untuk bisa bergaul dan saling menghargai antar sesama walau
berbeda status sosial maupun agama. Apalagi persoalan memasukkan
pendidikan multikultural dalam struktur kurikulum bukanlah persoalan
yang gampang. Sebab hal itu bisa meniupakan reaksi yang beragama
dari para agamawan. Dengan demikian pendidikan multikultural tidak
mesti harus berupa materi pekuliahan, tetapi dengan memberikan
keteladanan sudah cukup mewakili sebagai lingkungan yang berorientasi
multikultural untuk mengantarkan manusia memiliki karakter.

198 Pendidikan Multikultural


Tekad lembaga pendidikan pendidikan keagamaan untuk menginte-
grasikan secara langsung pendidikan multikultural ke dalam kehidupan
praktis yang dikontekstualisasikan dalam wujud prilaku membutuhkan
keteladanandari para eksponennya terutama kalangan elit. Selain itu,
perlu diperkokoh pula dengan strategis yang relevan, didukung pula den-
gan hardware, serta penyiapan, pembinaan dan pengembangan manaje-
men dan SDM yang memadai.
Kesiapan lembaga pendidikan keagamaan dalam mengimplementa-
sikan pendidikan multikultural membutuhkan tiga unsur kekuatan pent-
ing sebagaimana disinggung E.Stone dengan teori teaching force-nya.
Tiga unsur dimaksud meliputi; a) conditioning force, b) cognitive force,
dan c) modelling force.
a. Unsur conditioning force, dengan mengacu pada prasarana-sarana
yang dimiliki, kekuatan lembaga pendidikan keagamaan cukup
mendudkung terhadap pelaksanaan pendidikan multikultural
terutama bila jargon yang diambil dalam lembaga pendidikan
keagamaan bernuansa multikultural seperti pemberian nama
pda tempat-tempat yang urgen dengan nama; Aula Pancasila,
the multikultural university, Bhineka Tunggal Eka dan seterusnya,
apalagi dengan penyelenggaraan berbagai moment akademik yang
bermuatan multikultural sekalipun disisi lain tidak didukung oleh
komposisi SDM yang proporsional dengan berbagai latar belakangnya,
baik dari aspek perbedaan agama, jenis kelamin, etnis, dan jenjang
studi. Namun demikian dari aspek non fisik cukup memadai seperti
fungsi-fungsi yang diperankan oleh para aktivis mahasiswa, para
tenaga pengajar yang senantiasa berusaha melakukan berbagai
kegiatan untuk membangun kondisi yang kondusif sebagai komunitas
multikultur.
Kekuatan kondisi dibangun memlalui dua cara; a) orientasi
eksternal seperti melakukan interaksi secara intens dengan ko-
munitas anatar umat beragama; baik pada acara-acara formal ke-
agamaan, kenegaraan yang dilakukan bersama-sama dan bergantian
seperti mendatangi undangan antar umat beragama dalam acara
do’a bersama, begitu pula sebaliknya pihak lembaga pendidikan ke-
agamaan seringkali mendatangkan narasumber dari berbagai agama
pada momen-momen penting, maupun pada momen sosial kema-
syarakatan. Seperti pengembangan bisnis lembaga pendidikan ke-
agamaan, metose live in yang dilakukan oleh antar umat beragama,

XII. Kerangka Pembelajaran dan Penilaian Pendidikan Multikultural 199


saling sharring pada setiap ada kesempatan menjadikan nuansa
Bhineka nampak begitu kental di lingkungan lembaga pendidikan;
seperti pemberian labil Pancasila pada gedung pertemuan, ruang
untuk ibadah, ruang lobi, ruang olah raga dan ruang istirahat. Bah-
kan untuk meminimalisir muatan diskriminasi aspek agama, pada
saat pembangunan lembaga pendidikan tidak tampak denah tempat
ibadah sebagai sarana ibadah salah satu pemeluk. Ini yang akan me-
nyebabkan lembaga pendidikan berdiri tegak sebagai murni pengem-
bangan keilmuan dan bukan pengembangan keagamaan.
b. Unsur cognitive force. Bahwa pelaksanaan pendidikan multikultural
di lembaga pendidikan keagamaan belum menjadi satu kesatuan
dengan proram akademik yang terstruktur secara sistematis.
Artinya pendidikan multikultural belum dimaksukkan kedalam
struktur kurikulum formal baik secara separated (menjadi materi
tersendiri) maupun integrated (terintegrasi dengan materi yang
lain, melainkan merupakan bagian bagian integral dari serangkaian
kegiatan akademik yang bersifat insidentil itupun merupakan bagian
dari kegiatan ekstrakurikuler, sehingga implementasi pendidikan
multikultural jika mengacu pada KTSP seperti termaktub dalam PPN
19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), Permen
Diknas 22 tahun 2006 tentang isi, Permen Diknas 23 tahun 2006
tentang SKL, Lebih mengarah pada komponen muatan wajib dan
komponen muatan lokal. Oleh karena itu, implementasi pendidikan
multikultural mengalami kepincangan karena tidak diimbangi dengan
proses transformasi pengetahuan yang dapat diukur dan dievaluasi
dengan menggunakan standar pengukuran yang baku, sehingga tidak
memiliki acuan yang jelas, apakah itu berupa SKL, jumlah SKS,
jumlah JS, materi yang hendak diajarkan, indikator hasil belajar, dan
seterusnya. Begitu pentingnya kekuatan pengajaran aspek cognitive
force dalam mencapai cognitive domain sebagaimana disinggung
oleh Bloom, lebih-lebih jika mengacu pada tahapan proses berfikir
dalam ranah kognitif yang meliputi enam jenjang mulai dari jenjang
terendah sampai dengan jenjang yang paling tinggi. Keenam jenjang
tersebut adalah (1) Knowladge (pengetahuan), (2) comprehension
(pemahaman), (3) Application (penerapan), (4) Analisys (analisis),
(5) synthesis (sintesis), (6) evaluation (penilaian).
c. Unsur modelling force. kekuatan unsur ini di lembaga pendidikan
keagamaan perlu didukung dengan keberadaan pimpinan lembaga

200 Pendidikan Multikultural


pendidikan sebagai motor penggerak perubahan atau generator
of change. Hal tersebut lebih banyak didukung oleh faktor-faktor
internal yaitu unsur human atau manusia sebagai pelaku pembuatan.
Aspek modelling force tidak akan memperoleh hasil maksimal
manakala dilembaga pendidikan keagamaan tidak ada figur atau
“social actor” yang tingkah lakunya yang menggambarkan sosok
yang multikulturalis.

Pada dasarnya lembaga pendidikan keagamaan sebagai institusi


yang berlingkungan agama, mempunyai potensi dan kemungkinan untuk
melakukan proses percepatan dalam menumbuhkembangkan toleransi
antar umat beragama sekalipun untuk yang satu ini terbilang amat
mahal. Proses percepatan ini pada hakekatnya berbasis pada nilai-nilai
pendidikan islam sebagai civil education. yang memiliki potensi untuk
melakukan proses rekayasa sosial (social engenering) dengan hanya
membalik paradikma atau rientasinya yang eksklusif menjadi inklusif,
yang tadinya masih bersifat doktriner, dogmatis, dan tidak berwawasan
multikultural, diubah orientasinya juga pendekatan dan metodeloginya.
Jika hal tersebut tidak dilakukan justru malah memunculkan ekses
negatif, yang berupa permusuhan antar agama, antar budaya, antar
suku, dan antar golongan.
Paling tidak, untuk merealisasikan pendidikan multikultural di lem-
baga pendidikan keagamaan menggunakan dua jenis strategi. Strategi
pertama berorientasi atau berpusat pada peserta didik (student cen-
tered approach) dan strategi yang kedua berorientasi atau berpusat
pada tenaga pendidik (teacher centered approach). Sedangkan dari segi
pendekatan yang digunakan, sesuai karakteristik yang ada menggunakan
pendekatan adiktif yang dikombinasikan dengan pendekatan aksi sosial
seperti yang ditawarkan oleh Gay. Hal ini memperkuat tawaran Banks
tentang empat macam pendekatan. Pendekatan adiktif tampak dalam
bentuk penambahan muatan-muatan, dan perspektif perspektif ke
dalam kurikulum tanpa mengubah struktur dasarnya. Artinya sekalipun
pendidikan multikultural tidak masuk dalam struktur kurikulum, namun
dalam internalisasi nilai-nilai multikultural melibatkan upaya memas-
ukkan literatur oleh dan tentang masyarakatdari berbagai kebudayaan
ke dalam mainstream kurikulum. Misalnya, memanfaatkan muatan khas
multikultural –seperti tema-tema tentang ko-eksistensi, pro eksistensi,
saling menghargai, saling memahami- sebagai pemerkaya muatan, sep-

XII. Kerangka Pembelajaran dan Penilaian Pendidikan Multikultural 201


erti tercermin dari berbagai kegiatan yang dilakukan hampir setiap awal
ajaran baru (kuliah perdana) senantiasa mendatangkan narasumber dari
berbagai latar belakang agama, dan etnis yang beragam.
Pendekatan aksi sosial terjelma dari kegiatan pengabdian
masyarakat, kegiatan ekstrakurikuler yang dilakukan oleh peserta didik,
kegiatan yang dimotori oleh lembaga pendidikan,penyebaran ide-ide
yang bermuatan multikultural melalui selebaran-selebaran, buku cetak,
buku pedoman, antologi multikultural, dan ringkasan ceramah pimpinan
lembaga pendidikan.
Berbagai peran pimpinan lembaga pendidikan keagamaan dalam
membumikan pendidikan multikultural dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Mengadakan kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada pendidikan
multikultural mulai dari pemberian label pada setiap sarana fisik,
seperti aula atau ruang pertemuan yang diberi nama gedung Pancasila
dan tempat peribadatan yang sunyi dari simbol agama tertentu.
2. Menggiatkan forum-forum ilmiah, seperti forum silaturrohmi lintas
agama, seminar lintas agama, workshop dalam rangka pemantapan
konsep tentang pendidikan multikultural, seminar nasional tentang
etika diri di lingkungan masyarakat pluralistik, dan masih banyak
lagi forum-forum ilmiah yang lain yang melibatkan para tokoh lintas
agama dari berbagai etnis unrtuk menyikapi krisis multidimensi yang
seang mencabik-cabik kehidupan bermasyarakatdan bernegara kita.
Tindakan semacan ini memberikan seruan moral agar umat beragama
tiak mudah terprovokasi oleh issu-issu yang memecah belah umat.
3. Memfasilitasi organisasi peserta didik (santri, siswa dan mahasiswa)
dlam berbagai kegiatan yang bernuansa multikultural. Antara lain
dengan memberi bantuan yang terkait dengan kebutuhan finansial
seperti bantuan dana ketika menerbitkan buku yang membahas
tentang pendidikan multikultural. Dalam penyususan buku peserta
didik dilibatkan sebagai penataan perwajahan dan tata letaknya.

Membentuk pengajian rutin yang dilakukan oleh pimpinan lembaga


pendidikan keagamaan jug akan menguatkan pemahaman tentang
pendidikan multikultural. Kegiatan tersebut dapat berlangsung selama
satu minggu di bulan Ramadhan tepatnya di hari-hari ganjil di akhir
bulan Ramadhan. Di beberapa lembaga pendidikan keagamaan seperti
pesantren, kegiatan tersebut akan mampu menyedot ribuan orang
yang berasal dari berbagai lapisan masyarakat untuk menghadirinya

202 Pendidikan Multikultural


meski diselenggarakan pada malam hari. Atas dasar beberapa dimensi
aktivitas tersebut, sesungguhnya akan menjadikan lembaga pendidikan
keagamaan memerankan fungsi sosialnya dengan pemberian ruang yang
seluas-luasnya dalam kontekstualisasi multikultural. Dengan demikian,
sasaran pendidikan multikultural sebenarnya adalah masyarakat luas.
Keberadaan lembaga pendidikan keagamaan di tengah masyarakat
sebagai suatu lingkungan kehidupan, pada hakekatnya membawa sebuah
misi yaitu upaya merangkum kehidupan dalam jalinan nila-nilai spiritual
dan moralitas yang agamis. Oleh karena itu, memberikan perhatian lebih
terhadap kajian-kajian yang bermuatan multikultural, tidak saja dalam
bentuk bantuan dana tetapi lebih dari itu sampai pada pengarusutamaan
multikultural.
Pendekatan aiktif tampak alam bentuk penanaman muatan-
muatan, dan perspektif-perspektif ke dalam kurikulum tanpa mengubah
struktur dasarnya. Artinya, dalam internalisasi nilai-nilai multikultural
melibatkan upaya memasukkan literatur oleh dan tenntang masyarakat
dari berbagai kebudayaan ke dalam kegiatan yang bersifat insidentil.
Misalnya, memanfaatkan muatan khas multikultural –seperti tema-
tema tentang ko-eksistensi, pro eksistensi, saling menghargai, saling
memahami- sebagai pemerkaya yang wawasan yang selanjutnya
diimplementasikan ke dalam berbagai kegiatan yang tercermin hampir
setia awal ajaran baru (perdana kuliah) senantiasa mendatangkan
narasumber dari berbagai latar belakang agama, dan etnis yang beragam.
Sedangkan pendekatan aksi sosial terjelma dari penyebaran ide-ide
yang bermuatan multikultural melalui selebaran-selebaran, buku cetak,
buku pedoman, antologi multikultural, dan ringkasan ceramah pimpinan
lembaga pendidikan.

E. Aksi dan Kesadaran Pendidikan Multikultural

Penyadaran tentang fungsi pendidikan multikultural yang dilakukan


oleh pimpinan lembaga pendidikan keagamaan bertujuan untuk
menguatkan lembaga islam dan memberkatinya dengan nilai-nilai yang
agung yang melengkapi kemampuan manusia untuk merealisasikan
optimisme manusia. Dengan kata lain perlunya multikulturalisme sebagai
dasar ari nilai-nilai yang harus ditanamkan pada peserta didik dalam
pendidikan. Hal ini dikarenakan keberpihakan peserta didik kepada

XII. Kerangka Pembelajaran dan Penilaian Pendidikan Multikultural 203


manusia universal merupakan perwujudan dari konsistensi terhadap
ajaran agama-agama sekaligus mempertinggi nilai-nilai ajaran Islam.
Bila kemudian penanaman nilai-nilai pendidikan multikultural
mendapatkan pengakuan masyarakat yang datang dari berbagai lapisan,
maka hal ini menunjukkan adanya keterkaitan masyarakat terhadap
pimpinan lembaga pendidikan keagamaan. Hal ini tak lain karena
adanya sikap paternalitas masyarakat terhadap tipe pimpinan lembaga
pendidikan keagamaan yang cenderung bercorak harismatik-tradisional.
Kndisi tersebut dalam pandangan Nur Syam dikatakan sebagai penyebab
yang menjaikan masssa akan cenderung untuk mengikuti tindakan
agamawan (pimpinan lembaga pendidikan keagamaan). Untuk itu
prinsip-prinsip pendidikan multikultural hendaknya disosialisasikan
sesuai dengan nilai-nilai, cara, norma masyarakat atau sarana untuk
mencapai tujuan, sehingga masyarakat dapat terintegrasi.
Internalisasi pendidikan multikultural dalam lembaga pendidikan
keagamaan membutuhkan moral feeling. Aspek ini merupakan pem-
bangkitan kesadaran akan pentingnya memberikan komitmen terhadap
nilai-nilai moral melalui pemberian contoh (modelling force) yang diper-
ankan oleh pimpinan lembaga pendidikan keagamaan, melalui strategi
ini, komunitas masyarakat akan lebih memahami pendidikan multikul-
tural secara lebih mendalam dari dimensi formal indikasi strategi ini
diperkuat dengan penggunaan pendekatan adiktif yang dikombinasikan
dengan pendekatan aksi sosial seperti yang ditawarkan oleh Gay. Hal ini
memperkuat tawaran Bamks tentang empat macam pendekatan.
Ketaatan peserta didik dan masyarakat sekitar akan berimbas ke-
pada keenderungan dan resistensi afiliansi pola pikir yang dipahami se-
bagai pengikutan kepada tindakan kepada agamawan (pimpinan lem-
baga keagamaan). Jadi jika selama ini ada angapan bahwa masyarakat
dinyatakan sebagai pemilik tindakan apatis dan tak memiliki resistensi
berhadapan dengan kelompok-kelompok kepentingan lain ternyata dina-
mika di kelompok-kelompok tertentu –seperti multikultural di lembaga
pendidikan keagamaan seperti pesantren- ternyata menggambarkan wa-
jah yang berbeda.
Pemberian contoh (modelling force) nilai-nilai pendidikan
multikutural yang pada mulanya diperankan oleh agamawan yang
selanjutnya disambut dengan kesatuan langkah seluruh sivitas
akademika lembaga pendidikan keagamaan baik secara verbal atau non
verbal, merupakan strategi yang efektif dalam menginternalisasikan

204 Pendidikan Multikultural


nilai-nilai multikulturalisme di tengah-tengah masyarakatnya. Menurut
Sanjaya, modelling adalah proses pembelajaran dengan memperagakan
sesuatu sebagai contoh yang dapay ditiru oleh setiap peserta didik.
Proses modelling tidak terbatas pada pendidikan saja, akan tetapi
dapat juga seorang pendidik memanfaatkan peserta didiknya yang
dianggap memiliki kemampuan. Melalui modelling peserta didik dapat
terhindar dari pembelajaran yang bersifat teoritis abstrak yang dapat
memungkinkan verbalistik.
Kekuatan modelling seperti yang tersinggung oleh Sanjaya dapat
mendorang seseorang membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya alam kehidupan mereka sebagai
anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep ini, implementasi
pendidikan multikultural lebih bermakna bagi masyarakat, karena proses
pembelajarannya berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan
kemasyarakatan (aksi sosial) bukan sekedar transfer pengetahuan
dari sang aktor. Memang melatih kebiasaan baik, terhadap seseorang
hendaknya menjadikan seseorang berprilaku baik, sehingga ia menjadi
terbiasa dan akan merasa bersalah jika tidak melakukannya. Namun
mendidik kebiasaan baik saja tidak cukup, seseorang yang terbiassa
berbuat baik belum tentu bisa menghargai pentingnya nilai-nilai norma
(valuing). Mislanya ketika seseorang tidak mencurangi oarang lain karena
ia mengetahui sanksi hukumnnya, dan bukan karena ia menjunjung tinggi
nilai kebenarannya
Kekuatan pengajaran aspek modelling force yang diperankan oleh
agamawan dan pimpinan lembaga pendidikan keagamaan ketika mengacu
pada teori character building yang digagas oleh Likcona ternyata
menjadi internalisasi nilai-nilai multikultural kian optimal sekalipun
tidak memiliki kekuatan pengajaran dari aspek cognitive force. Artinya,
pola pembelajaran semacam itusecara signifikan memberikan kontribusi
langsung terhadap keberlangsungan suatu program pendidikan yang
dicanangkan betapun hasil belajar yang dicapainya.
Terlepas dari adanya moral felling ketika seseorang mencintai
kebajikan, seseorang pendidik tidak lantas menghilangkan perananya
dalam melakukan kontrol eksternal. Kntrol eksternal senantiasa dilakukan
oleh agamawan, khususnya alam memberikan lingkungan yang kondusif
kepada komunitass masyarakat untuk membiasakan diri berprilaku baik.
Hal tersebut hanya mungkin dapat terwujud manakala kondisi lingkungan
belajar mendukung terhadap program yang dicanangkan, diantaranya

XII. Kerangka Pembelajaran dan Penilaian Pendidikan Multikultural 205


adalah dengan menjaikan dan memasukkan pendidikan multikultural ke
dalam struktur kurikulum.
Apalagi bila mengacu pada teori taxonomy yang memberikan
pemahaman bahra setiap program pendidikan semestinya melampaui
tiga domain (kognitif, afektif, psikomotorik). Teori Taksonomi Bloom
ini berimplikasi terhadap suatu pertimbangan; ketika pendidikan
multikultural di implimentasikan di lembaga pendidikan formal
tentunya membutuhkan strategi yang tepat. Ketepatan suatu strategi
pembelajaran akan dapat membantu para eksponennya untuk melakukan
quality control. Quality control akan menemukan momentum yang
berarti manakala pendidikan yang diprogramkan secara sistematis,
memiliki standar yang baku dan hal tersebut bisa terlaksana bila program
pendidikan dimaksud menjadi sebuah kurikulum yang melibatkan 3
kompnen sebagiamana tercantum dalam KTSP yaitu; muatan wajib,
muatan lkal, dan pengembangan kepribadian. Oleh karena itu pula,
E.Stones dalam teori teaching force mempersyaratkan adanya tiga
kekuatan yang harus ada dalam setiap program pendidikan. Kekuatan
pengajaran yang dimaksud meliputi tiga aspek yaitu; (1) cognitive force,
(2) conditioning force, (3) modelling force.
Bagaimanapun tindakan manusia hanya dapat dipahami oleh
pengungkapan kesadaran dari individu sang aktor atas tindakannya itu,
sebab tindakan melibatkan serangkaian keyakinan atau pedoman hidup
yang dirasakan secara individual walaupun terdapat ciri-ciri yang apat
diungkap pola-polanya. Maka dalam konteks pendidikan multikultural,
mengakui perbedaan saja tidak cukup. Lebih dari itu, mengakui dan
memberi ruang hidup bagi eksistensi “yang lain” atau the others serta
serius membangun koeksistensi yang dibangun diatas dasar trust dan
semangat kebersamaan seharusnya menjadi artikulasi diri dalam
menyenandungkan irama kehidupan bersama insentitas lain.
Pemahaman bahwa kesiapan yang menjadi kekuatan lembaga
pendidikan keagamaan dalam menyelenggarakan pendidikan
multikultural dapat dikategorikan sebagai kekuatan aspek modelling dan
conditioning yang diperankan oleh para pimpinan lembaga pendidikan
keagamaan. Aktifitas bernuansa multikultural yang diselanggrarakan
secara intensif yang melibatkan berbagai latar belakang kebudayaan
tersebut, didasari oleh kepentingan bersama untuk membangun
persaudaraan dan mengejawantahkan nilai-nilai Islam di tengah-tengah
masyarakat sebagai rahmah li-‘alamin.

206 Pendidikan Multikultural


Tarian batak

RANGKUMAN

Kerangka Pembelajaran Pendidikan Multikultural dimulai dari


mengkaji sebuah pendekatan J.A.Banks menawarkan empat pendekatan
dalam Pendidikan Multikultural, yaitu ; Kontributif, Aditif, aksi Sosial,
dan Transformatif, senata dengan apa yang ditawarka oleh A.J.Banks,
Gay juga menawarkan empat macam pendekatan, yaitu; dekonetruktif ;
inklusi; infusi dan tranformatif.
Sedangkan Penilain Pembelajaran yang berwawasan Multikultural
dalam setiap proses belajar mengajar akan selalu terkandung di
dalamnya unsur evaluasi (evaluation), Dijantung evaluasi inilah terletak
keputusan yaitu keputusan yang didasarkan atas Values (nilai – nilai).
Dalam proses evaluasi dilakukan perbandingan antara informasi –
informasi yang tersedia dengan kreteria –kreteria tertentu, untuk
selanjutnya ditarik kesimpulan, Dalam wawasan evaluasi akan dijumpai
dua macam istilah, Yaitu “ Pengukuran “ (measurement) dan “ Penilaian
“ (Evaluatian) menurut Wandt dan Brown (1977). Measurement means
the aet or process of exestaining the extent or quantily of something (
pengukuran adalah suatu tindakan atau proses untuk menentukan luas
XII. Kerangka Pembelajaran dan Penilaian Pendidikan Multikultural 207
dan kuantitas dari sesuatu ). Dari pernyataan tersebut dapat dipahami
bahwa pengukuran pada dasarnya adalah kegiatan atau proses untuk
memberikan jawaban atas pertanyaan “ what value “
Dalam praktek pembelajaran pendidikan multikultural diterapkan
pula pengukuran yang mencakup aspek pengukuran maupun penilaian
itu sendiri, karena penilaian merupakan bagian terpenting dari proses
belajar mengajar dalam pendidikan multikultural, bagi pendidik
penilaian itu dapat membantu menjawab masalah – masalah penting
yang berkaiatan dengan peserta didiknya atau yang berkaitan dengan
prosedur dalam pembelajaran multikultural di Seolah Dasar. Penilaian
yang diterapkan terhadap peserta didik meliputi aspek intelektualnya
( Ranah Kognitif ) dan aspek sikapnya ( Ranah afektif ) serta aspek
ketrampilannya ( Ranah Psikomotor ) bagi setiap peserta didik.
Dalam pembelajaran Pendidikan Multikultural di Sekolah Dasar,
penilaian hasil belajar dilaksanakan dengan mengaitkan pada struktur
kurikulum pada setiap jenjang dan jenis pendidikannya, untuk
mengembangkan pendidikan multikultural pada jenjang perguruan
tinggi yang memiliki tujuan seperti yang tercantum dalam peraturan
pemerintah No 60 Tahun 1999, antara lain ; (1) menyiapakan peserta
didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik
dan / atau profesional yan dapat menerapkan , mengembangkan dan /
atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian;
(2) mengembangkan dan menyebar luaskan ilmu pengetahuan, teknologi
dan kesenian serta mengupayakan penggunaanya untuk meningkatkan
taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebutuhan Nasional.
Realitas ini merupakan nilai tambah yang amat berharga karena
merupakan daya dukung dan kelanjutan dari pengembangan Pendidikan
Multikultural di Perguruan Tinggi lebih mengarah pada usaha untuk
menyiapkan sumberdaya yang profesional dan cerdas budaya.
Kajian tentang sistim Pendidikan Multikultural yang dikembangkan di
Perguruan Tinggi akan di dapati sebuah gerakan pembaharuan dan inovasi
pembelajaran yang di orientasikan dalam rangka membangun manusia
yang memiliki karakter ( Character Building ), dengan menanamkan
kesaaran pentingnya hidup bersama dalam keragaman budaya, dengan
spirit kesetaraan dan kesederajatan; saling percaya saling memahami
dan salin menghargai persamaan, perbedaan budaya terjalin dalam suatu
relasi dan interpendensi dalam situasi saling mendengar dan menerima
perbedaan dengan pikiran terbuka untuk selanjutnya menemukan jalan

208 Pendidikan Multikultural


terbaik mengatasi konflik antar agama, antar etnis, strata sosial dan
seterusnya, menciptakan perdamaian melalui sarana pengampunan dan
tindakan anti kekerasan, penanaman moral yang demikian itu diarahkan
untuk membangun mental masyarakat luas agar memiliki kepekaan sosial
pada sesama tanpa memandang latar belakang agama, etnis, status
ekonomi dan status sosial. Pendidikan Multikultural sudah sepatutnya
diimplementasikan dalam bentuk prilaku yang diperagakan ( modelling )
oleh masing – masing kalangan, mulai dari kalangan elit ( para pemimpin
), kalangan dosen, mahasiswa, karyawan, dan para aktifis, sikap seperti
ini akan melahirkan kepedulian dan mau mengerti ( defference ) atau
yang dikenal dengan “politics of negognitian” yaitu pengakuan dari
kelompok orang – orang minoritas.

TUGAS DAN LATIHAN

1. Jelaskan tentang Pembelajaran Berwawasan Pendidikan Multikultural


pada jenjang Sekolah Dasar!
2. Jelaskan pendekatan Pendekatan Dalam Pembelajaran Pendidikan
Multikultural pada jenjang Sekolah Dasar!
3. Jelaskan Penilaian Berwawasan Multikultural pada jenjang Sekolah
Dasar!
4. Jelaskan Proses Penyemaian Nilai – Nilai Pendidikan Multikultural
pada jenjang Sekolah Dasar!
5. Jelaskan Aksi dan Kesadaran Pendidikan Multikultural pada jenjang
Sekolah Dasar!

XII. Kerangka Pembelajaran dan Penilaian Pendidikan Multikultural 209

Anda mungkin juga menyukai