Anda di halaman 1dari 38

ISU-ISU PENDIDIKAN

TENTANG PENDIDIKAN INKLUSIF,


PENDIDIKAN MULTIBUDAYA, DAN
PENDIDIKAN KARAKTER

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Hj. Neti Karnati, M.Pd.

Kelompok 7
Ali Subroto Suprapto - 9911923008
Robert Kurniawan - 9908922002
Samsun - 9913923002
TUGAS MAKALAH
MATA KULIAH LANDASAN ILMU PENDIDIKAN

ISU-ISU PENDIDIKAN TENTANG PENDIDIKAN INKLUSIF,


PENDIDIKAN MULTIBUDAYA, dan PENDIDIKAN KARAKTER

OLEH:

KELOMPOK 7

NO. NAMA MAHASISWA NIM


1. ALI SUBROTO SUPRAPTO 9911923008
2. ROBERT KURNIAWAN 9908922002
3. SAMSUN 9913922002

PROGRAM DOKTOR
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
TAHUN 2023
Isu-Isu Pendidikan

PENGANTAR PENYUSUN

Alhamdulillahirabbil’aalamin, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha


Esa atas limpahan rahmat dan hidayah yang diberikan hingga kami dapat
menyelesaikan tugas dan tersusunnya makalah terkait Isu-Isu Pendidikan
tentang Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan
Karakater ini diantara berbagai tugas dan kewajiban yang ada.
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
memberikan wawasan mengenai isu-isu pendidikan dan implementasinya
dalam mendapatkan hak dan mempunyai kesempatan yang sama dalam
memperoleh pendidikan dan pengajaran bagi para pembaca dan juga bagi tim
penyusun. Selain itu makalah ini juga merupakan salah satu penugasan dalam
mata kuliah matrikulasi Landasan Ilmu Pendidikan.
Terima kasih kami sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah
Prof. Dr. Neti Karnati, M.Pd. yang telah membimbing, memfasilitasi, dan
membuka wawasan kami mengenai Landasan Ilmu Pendidikan dan kepada
semua pihak yang telah berbagi pengetahuannya baik dari buku, jurnal,
internet, dan forum diskusi sehingga makalah ini dapat selesai dengan baik.
Tentunya tim penyusun menyadari bahwa semua buatan manusia tidak
ada yang sempurna karena kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT.
Demikian halnya dalam penyusunan makalah ini tentunya ada kekurangan
atau ketidaksempurnaan, sehingga tetap selalu membutuhkan kritik dan saran
yang membangun dari berbagai pihak. Semoga buah pemikiran sederhana
dalam makalah ini dapat memberikan manfaat dan menginspirasi semangat
untuk terus berbuat dan berkarya yang lebih baik dalam dunia pendidikan.

Jakarta, Agustus 2023

Tim Penyusun

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter iii


DAFTAR ISI

Pengantar Penyusun ........................................................................ iii


Daftar Isi ............................................................................................. iv
BAGIAN 1 PENDAHULUAN ........................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................... 1
B. Rumusan Permasalahan .......................................... 3
C. Tujuan Penulisan ...................................................... 3
BAGIAN 2 PENDIDIKAN INKLUSIF ............................................... 4
A. Gambaran Umum Pendidikan Inklusif ...................... 4
B. Pengertian Pendidikan Inklusif .................................. 6
C. Landasan Pendidikan Inklusif ................................... 7
D. Tujuan Pendidikan Inklusif ......................................... 8
E. Prinsip Pendidikan Inklusif ........................................ 9
BAGIAN 3 PENDIDIKAN MULTIBUDAYA ..................................... 11
A. Gambaran Umum Pendidikan Multibudaya .............. 11
B. Landasan Pendidikan Multibudaya ........................... 15
C. Tujuan Pendidikan Multibudaya ................................ 21
D. Dimensi Pendidikan Multibudaya .............................. 22
E. Prinsip Pendidikan Multibudaya ................................ 23
F. Pengembangan Pendidikan Multibudaya .................. 23
BAGIAN 4 PENDIDIKAN KARAKTER ............................................ 25
A. Gambaran Umum Pendidikan Karakter ..................... 25
B. Landasan Pendidikan Karakter di Indonesia .............. 27
C. Tujuan Pendidikan Karakter ...................................... 28
D. Unsur-Unsur Karakter ................................................ 28
E. Pelaksanaan Pendidikan Karakter ............................. 29
BAGIAN 5 PENUTUP ..................................................................... 32
Simpulan ........................................................................ 32
Daftar Pustaka ................................................................................... 33

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter iv


Isu-Isu Pendidikan

BAGIAN 1
PENDAHULUAN

Perubahan yang terjadi baik pada skala lokal, nasional, dan internasional
sangat cepat terjadi dan menyentuh hampir semua bidang kehidupan.
Perkembangan pesat Informasi, Komunikasi dan Teknologi (ICT) yang
memfasilitasi perubahan-perubahan tersebut sehingga menjadi massif dan
mendalam. Melalui ICT, batas-batas wilayah geografis sudah tidak berarti lagi
karena manusia dengan teknologi mampu menembus batas-batas tersebut
hampir tanpa ada halangan. Dengan teknologi yang semakin maju, hampir
tidak ada peristiwa di pelosok manapun di muka bumi ini tanpa diketahui oleh
orang lain di belahan bumi yang lain.

A. Latar Belakang
Perubahan-perubahan yang terjadi tersebut tentu sedikit banyak pasti
akan berpengaruh terhadap dunia pendidikan. Perubahan-perubahan yang
terjadi tersebut tentu sedikit banyak pasti akan berpengaruh terhadap dunia
pendidikan. Paling tidak, ketika sebuah perubahan menjadi berita yang
tersebar luas, seorang guru mengambil waktu untuk menceritakan peristiwa
tersebut di dalam kelas. Pun, para siswa juga akan berbincang dengan
rekan-rekannya tentang hal itu. Walaupun mungkin tidak berdampak masif
terhadap proses pendidikan, pengaruh terhadapnya pasti akan ada.
Apalagi jika peristiwa-peristiwa yang terjadi berkaitan erat dengan
pendidikan seperti perubahan politik nasional maupun lokal. Hal ini sudah
pasti akan berkontribusi terhadap perubahan-perubahan kebijakan, struktur
dan kepemimpinan pendidikan yang pada akhirnya berdampak pada
banyak dimensi dari pendidikan di sekolah.
Mungkin saja dengan perubahan kebijakan, misalnya, kurikulum
sekolah akan mengalami perubahan, pendekatan pembelajaran oleh guru
bertransformasi ke arah yang menyesuaikan dengan tuntutan kebijakan,
suasana pendidikan di sekolah berwujud secara berbeda dari sebelumnya,
dan pada akhirnya proses pembelajaran yang dialami oleh siswa juga akan
berubah.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
(Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim, mengatakan Indonesia
memiliki 4 (empat) isu prioritas bidang pendidikan yang akan didorong pada
G20. “Empat tujuan prioritas dari Education Working Group, yaitu
pendidikan universal yang berkualitas, teknologi digital dalam pendidikan,
solidaritas dan kemitraan, serta dunia kerja pasca Covid-19,” yang
disampaikan pada acara “Kick Off G20 On Education and Culture”. Agenda
utama bidang pendidikan yang diangkat dalam G20 tahun ini yaitu:
1. Kualitas Pendidikan untuk Semua (Universal Quality Education)
Isu ini berangkat dari tantangan untuk mendorong akses dan
pemerataan pendidikan di semua golongan. Pendidikan ini dibicarakan
untuk hal yang sangat luas, bukan hanya buat anak disabilitas, tapi juga
kelompok-kelompok marjinal yang rentan. Komitmen tersebut juga

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter 1


menggarisbawahi keselarasan Indonesia dengan Sustainable
Development Goal (SDG) 4 Tahun 2030 dalam hal tujuan pendidikan
global, bahwa dunia perlu memulihkan sektor pendidikan setelah
pandemi Covid-19.
2. Teknologi Digital dalam Pendidikan (Digital Technologies in Education)
Telah terjadi akselerasi yang luar biasa dalam pemanfaatan teknologi
digital di dunia pendidikan selama masa pandemi Covid-19. Pada isu ini
Indonesia ingin menajamkan diskusi dan solusi bagaimana teknologi
digital bisa menjadi jawaban atas permasalahan akses kualitas dan
keadilan sosial di bidang pendidikan.
3. Solidaritas dan Kemitraan (Solidarity and Partnership)
Isu ini menegaskan komitmen Indonesia untuk bekerja sama dengan
negara lain dan memiliki rasa solidaritas dalam suatu kelompok, yang
dikaitkan dengan budaya gotong royong Indonesia. Gotong-royong
adalah kearifan budaya Indonesia di mana jika kita melihat masalah di
komunitas kita, dan meskipun itu bukan masalah kita, tapi kita tetap
harus bantu. Jadi budaya ini juga ingin ditonjolkan sekaligus mengangkat
budaya Indonesia yang bisa diawarkan untuk jadi solusi dalam konteks
reimagining for the future.
4. Masa Depan Dunia Kerja Pasca Pandemi Covid-19 (The Future of Work
Post Covid-19)
Kebutuhan dunia, khususnya dunia kerja pasca Covid-19, telah berubah.
Oleh karena itu, dunia harus menata kembali bagaimana pendidikan
dapat menjawab tantangan dunia masa depan.
Pentingnya mempelajari isu-isu pendidikan untuk memberikan
pengetahuan dan keterampilan tentang dunia secara menyeluruh
mengenai keragaman, etnis, budaya, dan pluralisme. Tujuan pendidikan
ialah untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, sikap yang
diperlukan untuk hidup secara efektif dalam dunia dan toleransi, keragaman
etnis, pluralisme budaya dan semakin saling berketergantungan, saling
menghormati dan menghargai.
Isu pendidikan adalah salah satu isu yang paling mengemuka saat ini.
Terbukti dari seringnya masalah pendidikan dibicarakan dalam forum-forum
berskala nasional. Bahkan pemerintah banyak membuat program untuk
meratakan pendidikan di setiap daerah dengan cara mengutus tenaga
pendidik untuk mengajar di daerah terpencil. Hal ini dilakukan karena
pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan.
Pendidikan, idealnya tidak hanya mengacu pada masa lalu dan masa
kini, tetapi lebih kepada proses memikirkan masa depan, yaitu dengan
bagaimana peserta didik mengembangkan kemampuannya terhadap apa
yang diminatinya nanti. Pendidikan hendaknya memandang jauh kedepan
tentang apa yang akan dihadapi dan dilakukan peserta didik di masa yang
akan datang.
Pendidikan sebagai sebuah proses kehidupan sepanjang hayat di
kandung badan akan selalu mengalami perubahan. Perubahan adalah

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter 2


Isu-Isu Pendidikan

sebuah keniscayaan pendidikan dan orang belajar untuk berubah atau


mengimbangi perubahan tersebut. Tanpa perubahan, pendidikan tidak
berhasil. Dalam proses perubahan yang terjadi sepanjang masa itu, dunia
pendidikan dihadapkan pada hal-hal baru yang harus direspon secara
efektif dan bermanfaat. Artinya, hal-hal baru yang menjadi tantangan
tersebut harus dapat dikonversi menjadi keberhasilan-keberhasilan baru
yang akan semakin menunjang perubahan. Keengganan untuk merespons
persoalan-persoalan baru lambat laun akan membuat pendidikan (lembaga
atau proses) mati suri dan hanya berkutat dengan gambaran kehebatan
yang dipersepsikan sendiri.
Bab bagian latar belakang ini akan mengetengahkan isu-isu penting
kontemporer dalam konteks pendidikan. Sebuah isu dapat dikatakan “isu”
dan “kontemporer” manakala ia bersifat kekinian dan berdampak massif
terhadap masyarakat. Di samping dapat dilihat dari rentang waktu yang
singkat dari sekarang ke masa lalu, “kekinian” dapat berarti bahwa sebuah
isu sudah banyak dibicarakan, diperhatikan, dan bahkan diteliti sejak
puluhan tahun lalu dan masih terus menarik perhatian karena banyak
persoalan di sekitarnya yang belum terpecahkan, karena masih terus
berdampak terhadap praktek masa kini, atau karena masyarakat
mempunyai kebutuhan yang nyata terhadapnya. Maka, isu-isu yang akan
dibahas dalam makalah ini mencakup tema-tema berikut: Pendidikan
Inklusif, pendidikan multi budaya, dan pendidikan karakter.

B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan pembahasan yang diuraikan pada bagian latar belakang
maka rumusan masalah yang menjadi fokus penulisan makalah ini adalah
bagaimana isu-isu pendidikan tentang pendidikan inklusif, pendidikan
multibudaya, dan pendidikan karakter?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah menganalisis isu-isu
pendidikan tentang pendidikan inklusif, pendidikan multibudaya, dan
pendidikan karakter.

-. *** .-

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter 3


BAGIAN 2
PENDIDIKAN INKLUSIF

Berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 pasal 31 dan


pasal 32 dikhususkan untuk membahas perihal pendidikan. Bahkan jelas
dituliskan pada pasal 31 ayat (1) bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak
mendapatkan pengajaran”. Jelas ini menandakan bahwa setiap individu
sebagai masyarakat Indonesia, berhak dan mempunyai kesempatan yang
sama dalam memperoleh pengajaran. Tidak terkecuali bagi anak-anak yang
memiliki kebutuhan khusus.
Gambar 1. Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK)

Sumber: https://mazpur.com/peserta-didik-berkebutuhan-khusus-pdbk/

A. Gambaran Umum Pendidikan Inklusif


Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) memiliki hak yang sama dalam
mendapatkan pendidikan. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 5 ayat (2) yang berbunyi “Warga Negara yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak
memperoleh pendidikan khusus”.
Fasilitas yang telah disediakan pemerintah bagi ABK dengan
membangun lembaga pelayanan pendidikan bagi ABK. Jenjang pendidikan
dasar hingga menengah telah disediakan sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Penyelenggaraan
Pendidikan pasal 133 yang berbunyi:
1. Satuan pendidikan khusus formal bagi peserta didik berkelainan untuk
pendidikan anak usia dini berbentuk taman kanak-kanak luar biasa atau
sebutan lain untuk satuan pendidikan yang sejenis dan sederajat.
2. Satuan pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan pada jenjang
pendidikan dasar terdiri atas:

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter 4


Isu-Isu Pendidikan

a. Sekolah dasar luar biasa atau sebutan lain untuk satuan pendidikan
yang sejenis dan sederajat; dan
b. Sekolah menengah pertama luar biasa atau sebutan lain untuk satuan
pendidikan yang sejenis dan sederajat.
3. Satuan pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan pada jenjang
pendidikan menengah adalah sekolah menengah atas luar biasa,
sekolah menengah kejuruan luar biasa, atau sebutan lain untuk satuan
pendidikan yang sejenis dan sederajat.
4. Penyelenggaraan satuan pendidikan khusus dapat dilaksanakan secara
terintegrasi antar jenjang pendidikan dan/atau antar jenis kelainan.
Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa pemerintah memberikan
kesempatan bagi ABK untuk dapat memperoleh layanan pendidikan yang
sama dengan siswa reguler. Selain pada satuan pendidikan khusus, siswa
ABK juga dapat menempuh pendidikan pada sekolah terpadu. Sekolah
terpadu merupakan sekolah reguler yang menerima ABK, dengan
menerapkan kurikulum, sarana dan prasarana yang sama untuk seluruh
peserta didik. Sekolah terpadu tersebut saat ini lebih dikenal dengan nama
Sekolah Inklusif.
Pendidikan inklusif merupakan pendidikan yang menggabungkan
sistem penyelenggaraan pendidikan luar biasa dengan pendidikan reguler
dalam satu sistem pendidikan yang dipersatukan. Pendidikan inklusif juga
mempunyai tujuan yang sama dengan pendidikan umum, akan tetapi cara
penerapannya agak berbeda dengan pendidikan umum. Pendidikan inklusif
adalah pendidikan terbuka, dimana semua anak yang berkeinginan sekolah
bisa melanjutkan ke pendidikan inklusif. Dalam pelaksanaan pendidikan
inklusif, semua siswa memperoleh dukungan yang sama dalam proses
pembelajaran di kelas. Hanya saja untuk siswa berkebutuhan khusus akan
mendapatkan pendampingan dari Guru Pendamping Khusus (GPK).
Saat ini sudah banyak lembaga pendidikan yang mengembangkan
pendidikan inklusif, mengingat cukup banyaknya jumlah anak berkebutuhan
khusus di Indonesia. ABK memiliki hak pendidikan yang sama seperti anak
pada umumnya. Namun dalam pendidikan inklusi terdapat berbagai
tantangan yang menjadi hambatan dalam pelaksanaannya. Salah satunya
adalah kurangnya keterampilan dan pemahaman para tenaga pendidik
dalam menangani ABK, sedangkan guru atau tenaga pendidik merupakan
elemen penting dalam pendidikan.
Menurut data statistik yang dipublikasikan Kemenko PMK pada Juni
2022, angka kisaran disabilitas anak usia 5-19 tahun adalah 3,3%.
Sedangkan jumlah penduduk pada usia tersebut adalah 66,6 juta jiwa.
Dengan demikian jumlah anak usia 5-19 tahun penyandang disabilitas
berkisar 2.197.833 jiwa. Akan tetapi masih sedikit anak berkebutuhan
khusus yang mau menempuh pendidikan, hanya sekitar 10-11 persen ABK
yang mendapatkan layanan pendidikan. Hal tersebut dikarenakan berbagai
faktor, di antaranya anak yang tidak ingin bersekolah, orang tua yang
kurang mendukung pendidikan untuk anaknya, serta akses sekolah yang
cukup jauh dari tempat tinggal ABK.

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter 5


Kemudian, data Kemendikburistek per Agustus 2021 menunjukkan
jumlah peserta didik pada jalur Sekolah Luar Biasa (SLB) dan inklusif
adalah 269.398 anak. Dengan data tersebut, presentase anak penyandang
disabilitas yang menempuh pendidikan formal baru sejumlah 12.26%.
Artinya masih sangat sedikit dari anak penyandang disabilitas atau anak
berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia yang seharusnya mendapatkan
akses pendidikan inklusif, padahal dari tahun ke tahun jumlahnya terus
meningkat.
Demikian halnya dengan peran orangtua, keterlibatan orangtua dalam
pendidikan anak adalah faktor pendorong dan penentu dalam
pengembangan pendidikan inklusi. Mulai dari pengambilan keputusan
mengenai penempatan sekolah, hingga kolaborasi antara pihak sekolah
dan orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Peran orangtua
yang positif berpengaruh terhadap penyelenggaraan sekolah inklusi. Selain
anak berkebutuhan khusus, keluarga dari anak berkebutuhan khusus juga
membutuhkan pendampingan konseling yang tepat agar dapat mendukung
anaknya secara maksimal. Karena layanan bimbingan konseling bagi ABK
bertujuan agar anak dapat mencapai penyesuaian dan perkembangan yang
optimal sesuai dengan kemampuannya, bakat, dan nilai-nilai yang
dimilikinya. Mengingat setiap anak memiliki kelebihan dan keunikan
tersendiri.

B. Pengertian Pendidikan Inklusif


Inklusif adalah sebuah pendekatan untuk membangun lingkungan
yang terbuka untuk siapa saja dengan latar belakang dan kondisi yang
berbeda-beda, meliputi: karakteristik, kondisi fisik, kepribadian, status,
suku, budaya, dan lain sebagainya. Pola pikir ini selanjutnya berkembang
dengan proses masuknya konsep tersebut dalam kurikulum di satuan
pendidikan sehingga pendidikan inklusif menjadi sebuah sistem layanan
pendidikan memberikan kesempatan bagi setiap peserta didik untuk
mendapatkan pendidikan yang layak.
Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah yang
menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan
program pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan
kemampuan dan kebutuhan setiap siswa dengan bantuan dan dukungan
yang dapat diberikan oleh para guru, agar anak-anak berhasil (Stainback
dan Sianback, 1990). Staub dan Peck (1995) mendefinisikan pendidikan
inklusif merupakan penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang,
dan berat secara penuh di kelas reguler.
Peraturan Menteri Pendididikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009
Tentang Pendidikan Inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa menyatakan bahwa
pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang
memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki
kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter 6


Isu-Isu Pendidikan

mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan


secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusif adalah
pendidikan yang dapat menampung ABK pada sekolah reguler untuk
mendapatkan kurikulum, metode pembelajaran, dan lingkungan pengajaran
yang sama dengan siswa reguler sebagai bentuk kesetaraan hak untuk
semua warga negara. Disini pendidikan inklusif tidak hanya dikhususkan
bagi ABK saja, melainkan juga bagi anak yang kesulitan dari sisis ekonomi,
sosial, budaya dan lain sebagainya. Sehingga sekolah yang menerapkan
pendidikan inklusif lebih bisa adaptif dalam penyelenggaraan
pendidikannya.

C. Landasan Pendidikan Inklusif


Dalam pelaksanaan pendidikan iklusif didasarkan pada beberapa
landasan hukum, sebagai berikut:
1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis program pendidikan inklusif di Indonesia yaitu
Pancasila. Abdurrahman (2003) menjelaskan bahwa dalam Pancasila
terdapat lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas pondasi
Bhinneka Tunggal Ika. Filosofi Bhinneka Tunggal Ika mengajarkan
manusia untuk meyakini bahwa dalam diri manusia terdapat potensi
kemanusiaan, yang dapat dikembangkan melalui pendidikan. Tidak
hanya anak normal saja yang memiliki potensi tersebut, melainkan anak
berkebutuhan khusus juga memilikinya.
2. Landasan Yuridis
a. Nasional
Landasan yuridis nasional dalam pelaksanaan pendidikan
inklusif sebagai berikut.
1) Undang-undang Dasar 1945 Pasal 31:
a) Ayat (1): “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”
b) Ayat (2): “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar
dan pemerintah wajib membiayainya”.
2) Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 5:
a) Ayat (1): “setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu”.
b) Ayat (2): “warga negara yang mempunyai kelainan fisik,
emosional, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh
pendidikan khusus”.
c) Ayat (3): “warga negara di daerah terpencil atau terbelakang
serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh
pendidikan layanan khusus”.
d) Ayat (4): “warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan
bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus”.
3) Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak:

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter 7


a) Pasal 48: “pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan
dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak”
b) Pasal 49: “negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib
memberikan kesempatan yang seluasluasnya kepada anak
untuk memperoleh pendidikan”
4) Undang-undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
Pasal 5: “setiap penyandang cacat mempunyai hak dan
kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan”.
5) Undang-undang Nomor 19 tahun 2011 tentang Pengesahan
Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas.
6) Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif
bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa.
b. Internasional
Landasan yuridis internasional dalam pelaksanaan pendidikan
inklusif adalah “Deklarasi Salamanca” yang dilakukan oleh para
menteri pendidikan seluruh dunia. Deklarasi Salamanca menegaskan
bahwa semua anak seyogianya belajar bersama-sama tanpa
memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada
mereka.
3. Landasan Pedagogis
Dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 3 menyebutkan bahwa, pendidikan nasional
adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis dan bertanggung jawab.
4. Landasan Empiris
Pada dasarnya penelitian tentang pendidikan inklusif telah banyak
dilakukan di negara-negara barat sejak tahun 1980-an. Salah satu
penelitian besar yang dilakukan oleh The National Academy of Science
(AS) menunjukkan hasil bahwa klasifikasi dan penempatan anak
berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan
diskriminatif.

D. Tujuan Pendidikan Inklusif


Secara umum pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi pribadinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaq
mulia dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara. Berikut adalah tujuan dari pendidikan inklusif yaitu:
1. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada peserta didik
yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial, atau memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter 8


Isu-Isu Pendidikan

pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan


kemampuannya.
2. Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai
keanekaragaman, dan tidak deskriminatif bagi semua peserta didik.

E. Prinsip Pendidikan Inklusif


Kunci utama yang menjadi prinsip pelaksanaan pendidikan inklusif
adalah bahwa semua peserta didik tanpa terkecuali dapat belajar dan
perbedaan menjadi kekuatan dalam mengembangkan potensinya. Prinsip
umum lainnya dalam pelaksanaan pendidikan inklusif adalah kehadiran
peserta didik berkebutuhan khusus di kelas sehingga bisa berpartisipasi
dan diterima di lingkungan satuan pendidikan.
Dalam pelaksanaan pendidikan inklusif, penerapan kurikulum
menggunakan prinsip fleksibilitas sehingga bisa diadaptasi sesuai dengan
kondisi, karakteristik, dan kebutuhan peserta didik. Prinsip adaptasi berarti
dalam melaksanakan pendidikan inklusif, satuan pendidikan harus
memperhatikan tiga dimensi dalam melakukan proses penyesuaian, yaitu:
kurikulum, instruksional, dan lingkungan belajar (ekologis).
1. Adaptasi kurikulum terkait dengan penyesuaian isi, materi atau
kompetensi yang dipelajari peserta didik.
Pada adaptasi kurikulum guru dapat melakukan penambahan
keterampilan untuk mengganti agar dapat menguasai kompetensi yang
diharapkan atau mengganti dengan kompetensi lain yang setara.
Adaptasi lain yang dapat dilakukan guru adalah dengan melakukan
penyederhanaan kompetensi yang hendak dicapai. Proses
penyederhanaan tergantung pada kemampuan awal, kondisi, dan
modalitas belajar peserta didik berdasarkan hasil asesmen. Dalam
proses adaptasi kurikulum satuan pendidikan harus:
a. Fleksibel dan inovatif;
b. Memastikan perkembangan kebijakan sekolah inklusif;
c. Membuat penyesuaian kurikulum, membuat perencanaan untuk
seluruh kelas, menetapkan tujuan pengajaran yang terbuka dan jelas,
menggunakan alternatif metode pengajaran, menggunakan teknologi
yang tepat, dan membuat persiapan terlebih dahulu;
d. Memastikan kemudahan lingkungan fisik dan mengembangkan
lingkungan satuan pendidikan yang mendukung; dan
e. Mengembangkan kerja sama dengan bekerja bersama dalam tim.
2. Adaptasi pembelajaran terkait cara, metode, dan strategi yang dapat
digunakan guru agar peserta didik menguasai materi atau kompetensi
yang ditargetkan.
Dalam hal ini guru diberikan keleluasaan dalam melakukan penyesuaian
proses pembelajaran yang dilakukan di kelas yang beragam dengan
mempertimbangkan kondisi peserta didik berkebutuhan khusus.
3. Adaptasi lingkungan belajar berkaitan dengan pengaturan suasana
pembelajaran (dimana, kapan, dan bersama siapa pembelajaran

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter 9


dilakukan) termasuk ketersediaan alat bantu dan sumber belajar yang
sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Penerapan adaptasi kurikulum dan instruksional dapat dilakukan
dengan model:
1. Eskalasi/akselerasi
Program percepatan dan perluasan dalam hal waktu dan penguasaan
materi. Model ini terutama diterapkan bagi peserta didik yang memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa, serta memiliki kecepatan belajar
yang luar biasa.
2. Duplikasi
Model duplikasi artinya kurikulum yang digunakan untuk PDBK sama
dengan kurikulum yang digunakan peserta didik pada umumnya yang
non-PDBK. Mungkin hambatan yang dialami tidak terlalu berat sehingga
masih dapat mengikuti kurikulum yang berlaku di satuan pendidikan
tersebut.
3. Simplikasi atau modifikasi
Kurikulum umum dimodifikasi, disederhanakan tanpa harus
menghilangkan substansi, dan disesuaikan dengan kebutuhan dan
kemampuan PDBK. Modifikasi dan penyederhanaan kurikulum dapat
dilakukan dalam salah satu atau lebih dari hal-hal berikut, yaitu tujuan,
isi, metode dan cara penilaian.
4. Substitusi
Beberapa bagian dari kurikulum umum diganti dengan sesuatu yang
kurang lebih setara. Contoh kegiatan menggambar tidak perlu diberikan
bagi anak dengan hambatan penglihatan, diganti dengan kegiatan lain
yang setara, misalnya menyanyi, atau membuat patung dari bahan yang
lunak. Contoh lain anak dengan hambatan pendengaran, mungkin tidak
perlu mengikuti pelajaran ‘listening comprehension’ dan dapat digantikan
dengan kegiatan lain yang setara, misalnya mengarang, atau menulis
cerita.
5. Omisi
Beberapa aspek tertentu kurikulum umum sebagian besar ditiadakan
menyesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan peserta didik
berkebutuhan khusus. Mereka dapat dibuatkan kurikulum khusus yang
bersifat individual berdasarkan hasil identifikasi dan asesmen.

-. *** .-

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter 10


Isu-Isu Pendidikan

BAGIAN 3
PENDIDIKAN MULTIBUDAYA

Pendidikan multibudaya adalah proses pengembangan seluruh potensi


manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai
konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama). Pendidikan
multibudaya menekankan sebuah filosofi pluralisme budaya ke dalam sistem
pendidikan yang didasarkan pada prinsip-prinsip persamaan (equality), saling
menghormati dan menerima serta memahami dan adanya komitmen moral
untuk sebuah keadilan sosial.
Pendidikan multibudaya berawal dari berkembangnya gagasan dan
kesadaran tentang interkulturalisme seusai Perang Dunia II. Kemunculan
gagasan dan kesadaran interkulturalisme ini selain terkait dengan
perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari
kolonialisme, diskriminasi rasial, dan lain-lain. Pendidikan multibudaya melihat
masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap
“indiference” dan “non-recognition” tidak hanya berakar dari ketimpangan
struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup subjek-
subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, dan
keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang:
sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya.
Gambar 2. Multibudaya di Indonesia

Sumber: https://the-great-teacher.blogspot.com

A. Gambaran Umum Pendidikan Multibudaya


Istilah “multibudaya” (multiculture) jika ditelaah asal-usulnya mulai
dikenal sejak tahun 1960-an, setelah adanya gerakan hak-hak sipil sebagai
koreksi terhadap kebijakan asimilasi kelompok minoritas terhadap melting
pot yang sudah berjalan lama tentang kultur dominan Amerika khususnya
di New York dan California (Banks, 1984: 3, 164; Sobol, 1990: 18). Istilah
multibudaya tersebut selalu melekat dengan pendidikan, yang mempunyai
arti secara luas meliputi any set of processes by which schools work with
rather than against oppressed groups (Sleeter, 1992: 141). Pendapat
tersebut sejalan dengan pernyataan Will Kymlicka, profesor filsafat pada

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter


11
Queen University Canada dalam bukunya Multicultural Citizenship, bahwa
multibudaya merupakan suatu pengakuan, penghargaan, dan keadilan
terhadap etnik minoritas baik yang menyangkut hak-hak universal yang
melekat pada hak-hak individu maupun komunitasnya yang bersifat kolektif
dalam mengekspresikan kebudayaannya (Kymlicka, 2002: 8, 24). Sedikit
berbeda dengan Stavenhagen (1986), yang memandangnya bahwa konsep
“multibudaya” mengandung dua pengertian.
Konsep pertama; ia merupakan realitas sosial dalam masyarakat yang
heterogen. Pernyataan dari segi ini sebanyak 95 % negara-negara di dunia
pada dasarnya adalah bersifat multibudaya mengingat secara etnis dan
budaya bersifat plural. Konsep kedua; multibudaya telah diangkat sebagai
suatu keyakinan, ideologi, sikap, maupun kebijakan yang menghargai
pluralisme etnik dan budayanya sebagai sesuatu yang berharga, potensial,
yang harus dipelihara dan ditumbuhkembangkan.
Yudistira K. Garna (2003; 164), Antropolog Universitas Pajajaran
berpendapat bahwa dalam masyarakat majemuk (plural society), terdapat
dua tradisi dalam sejarah pemikiran sosial. Pertama; bahwa kemajemukan
itu merupakan suatu keadaan yang memperlihatkan wujud pembagian
kekuasaan di antara kelompok-kelompok masyarakat yang bergabung atau
bersatu, dan rasa menyatu itu dibangun melalui dasar kesetiaan (cross-
cutting) kepemilikan nilai-nilai bersama dan perimbangan kekuasaan (Peh,
1985: 77-79). Kedua; dalam masyarakat majemuk dikaitkan dengan relasi
antar ras/etnik, bahwa masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri
dari berbagai kelompok ras/etnik yang berada dalam satu sistem
pemerintahan, oleh karena itu sering mengalami konflik dan paksaan
(Garna, 2003: 164-165).
Pendidikan multibudaya yang sarat dengan penghargaan,
penghormatan, dan kebersamaan dalam suatu komunitas yang majemuk
inilah yang oleh Blum (2001: 16), menyatakan bahwa multibudaya meliputi
sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang,
dan sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang
lain.
Kata kunci dalam pendidikan multibudaya tersebut, yakni pengakuan
adanya perbedaan dan penghargaan, dua kata yang selama ini sering
dikontraskan. Karena itu dalam pendekatan multibudaya tidak
sesungguhnya berlandaskan pada pemilikan yang mengisaratkan pada
memiliki atau dimiliki budaya tertentu, tetapi berlandaskan pada kesadaran
untuk menghargai dan menghormati yang mampu bernegosiasi tentang
rumusan-rumusan realitas yang ada. “Ia tak seutuhnya merupakan bagian
ataupun sama sekali terpisah dari budayanya, alih-alih ia berada di
perbatasan” (Adler, 1982: 389). Keanekaragaman budaya bukan faktor
penentu pemecah-belah bangsa, melainkan diharapkan mampu menjadi
“bumbu kehidupan” bagi perekat bangsa-bangsa di dunia.
Pertama, pengertian suatu “pemahaman identitas kultural orang lain”
tidak diartikan ataupun menegaskan bahwa semua aspek kebudayaan itu
seluruhnya “baik”, seperti yang banyak dikhawatirkan oleh beberapa

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter 12


Isu-Isu Pendidikan

kritikus multikulturalisme. Suatu pemahaman identitas kultural orang lain


dalam hal ini tidak menghalangi kritik berdasarkan standar-standar dari
kebudayaannya yang mungkin dilanggar oleh kebiasaan-kebiasaan khusus
dalam kebudayaan tersebut, maupun berdasarkan norma-norma eksternal
bagi kebudayaan itu (Schramm, 2001: 7; Spradley, 1997: 13-15).
Penggunaan standar eksternal untuk sesuatu kebudayaan adalah sah
(misalnya suatu standar khusus tentang kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan yang diambil dari tradisi Barat yang liberal), walaupun
merupakan sebuah isu yang kompleks.
Konsep multibudaya selalu memperingatkan untuk menyalahkan
kebudayaan itu sebagai suatu yang universal, seperti dengan
menyatakannya “tidak layak” atau “mendiskualifikasikannya” sebagai
sumber pengetahuan moral bagi mereka yang berada di luar kebudayaan
itu. Oleh karena itu dalam multibudaya tidak perlu dan tidak harus
mengidentifikasi dirinya dengan pandangan bahwa para anggota suatu
kebudayaannya tidak pernah memiliki kedudukan moral untuk membuat
kecaman tentang kebiasaan-kebiasaan dari kebudayaan lain (Blum, 2001:
19). Pandangan terpenting dari pengenalan atau pemahaman terhadap
budaya orang lain itu adalah bagaimana kebudayaan-kebudayaan tersebut
dapat mengekspresikan nilai-nilai bagi para anggotanya sendiri (Harris dan
Moran, 2001: 57, Blum, 2001: 16).
Kedua, pendidikan multibudaya itu “menghormati kebudayaan-
kebudayaan orang lain”, merupakan kelanjutan yang penting bagi fokus
kegiatan pertama. Pemahaman tersebut dimaksudkan tidak sekedar
sesuatu yang bisa ditolerir apalagi dibenarkan, melainkan diperlukan suatu
tanggapan yang kritis dari pihak-pihak eksternal untuk berperan serta dalam
memberikan dukungan, alasan-alasan, pengakuan, penghargaan,
penilaian, penguatan, dan empati dalam kebersamaan hidup sebagai
bagian bangsa secara integral. Sebab adanya toleransi, pengakuan, dan
penghargaan dari etnis dan budaya lain, akan berkontribusi dalam
memberikan rasa aman dan tentram, yang pada gilirannya harga diri-pun
meningkat karena ada rasa percaya diri (self-confidence). Identitas budaya
individu merupakan unsur dirinya yang benar-benar berarti, dalam
memahami budaya sendiri harus menjadi bagian yang vital dari tugas
pendidikan. Pemahaman atas kebudayaan seseorang dari pendukung
budaya lain akan menjadi sumbangan yang berarti bagi individu dan
masyarakat tertentu tentang kebudayaan mana yang merupakan bagian
daripadanya, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari unsur-unsur yang
pertama dalam pendidikan multibudaya tersebut.
Pemerintahan yang bijak dalam mengahadapi masyarakat yang
majemuk tingkat kemajuannya, dapat melakukan berbagai kebijakan baik
pemberian kesamaan kesempatan maupun hasil bahkan sekalipun bersifat
protektif, terutama kepada kelompok/etnis yang “belum setara”.
Penghargaan terhadap etnis dan budaya lain ini di negara lain, contohnya
memerlukan bantuan khusus melalui kebijakan preferensial (Weiner,1996:
441). Kebijakan preferensial, mengacu kepada hukum/peraturan, ketentuan
administratif, pengadilan, dan intervensi publik lainnya untuk memberikan

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter


13
kebaikan publik dari kebaikan privat tertentu (seperti; untuk memasuki
sekolah/ perguruan tinggi, pekerjaan, kenaikan pangkat, dan sebagainya).
Perbedaan persepsi seperti itu memang sulit dihindari, atau dalam
penggunaan terminologi itu sering mengungkapkan sudut pandang dan
kepentingan para penulis, karena itu sangat sulit untuk memperoleh
pandangan yang benar-benar netral. Namun dengan adanya pengakuan
dan penghargaan identitas budaya individu lain untuk diakuai sebagai
individu dan kelompok yang memiliki hak serupa, merupakan unsur vital
tugas dalam pendidikan. Penghargaan terhadap budaya seseorang sangat
berkontribusi besar terhadap pengakuan budaya suatu anggota
masyarakat tertentu tentang budaya mana yang merupakan bagian integral
dalam suatu masyarakat luas, merupakan bagian yang berarti dari unsur-
unsur multikultarilsme tersebut.
Komponen ketiga adalah, “memandang keanekaragaman budaya itu
sebagai sesuatu kebaikan yang positif untuk dihargai, diterima, dan
dipelihara dalam komunitasnya”. Blum (2001: 20-21) berpendapat bahwa
manifestasi penerimaan keragaman budaya sebagai sesuatu kebaikan
yang diterima dan dipelihara itu untuk mengekspresikan nilai tersebut bisa
diwujudkan lebih konkrit dari tindakan nomor dua. Ekspresi nilai budaya
tersebut bisa dilakukan melalui tiga bentuk.
Gudykunst dan Kim (1984: 237) lebih jauh menjelaskan bahwa
manusia interkultural atau antar budaya itu adalah orang yang telah
mencapai tingkat tinggi dalam proses antar budaya yang kognisi, afeksi,
dan perilakunya tidak terbatas, tetapi terus berkembang melewati
parameter-parameter psikologis suatu budaya. Mereka memiliki kepekaan
budaya yang berkaitan erat dengan kemampuan berempati terhadap
budaya tersebut. Mereka juga memiliki tingkat fleksibilitas yang tinggi
terhadap budaya orang lain tanpa harus mengorbankan budaya sendiri.
Pendidikan multibudaya adalah pendidikan yang menanamkan
pentingnya menghargai heterogenitas, baik suku, budaya, etnis, dan
sebagainya. Pendidikan ini termasuk pendidikan yang penting untuk
diterapkan sejak dini pada anak-anak agar mereka bisa tumbuh menjadi
generasi yang toleransi terhadap keberagaman. Pendidikan multibudaya
bisa diberikan secara langsung oleh sekolah melalui guru maupun
diterapkan oleh orang tua di rumah.
Pendidikan multibudaya adalah pendekatan progresif untuk
mentransformasi pendidikan yang secara holistik mengkritik dan
merespons kebijakan dan praktik diskriminatif dalam pendidikan (Paul C.
Gorski, 2010). Hal ini didasarkan pada cita-cita keadilan sosial, pemerataan
pendidikan, pedagogi kritis, dan dedikasi untuk memberikan pengalaman
pendidikan di mana semua siswa mencapai potensi penuh mereka sebagai
pembelajar dan sebagai makhluk yang sadar dan aktif secara sosial, secara
lokal, nasional, dan global.
Pendidikan multibudaya mengakui bahwa sekolah sangat penting
untuk meletakkan dasar bagi transformasi masyarakat dan penghapusan
ketidakadilan. Oleh sebab itu inti dari pendidikan multibudaya adalah hak

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter 14


Isu-Isu Pendidikan

azasi manusia atas pendidikan. Suatu konsekuensi logis dari hak ini adalah
semua anak mempunyai hak untuk menerima pendidikan yang tidak
mendiskriminasikan dengan kecacatan, etnis, agama, bahasa, jenis
kelamin, kemampuan dan lain-lain.
Konsep dasar pendidikan multibudaya adalah setiap peserta didik
harus diberikan kesempatan yang sama tanpa memandang perbedaan
kondisi, baik suku, budaya, jenis kelamin, dan lainnya. Mereka berhak
mendapatkan persamaan di semua aspek pendidikan. Misalnya, seorang
guru harus memberikan perhatian, bimbingan, arahan yang sama pada
semua peserta didiknya di kelas. Penerapan konsep tersebut di sekolah
diharapkan mampu mencegah tindakan diskriminasi di masa mendatang.
Semakin banyak generasi yang sadar akan pentingnya menjaga
perdamaian, semakin kecil kemungkinan terjadi tindakan diskriminasi, baik
rasial maupun etnosentrisme.

B. Landasan Pendidikan Multibudaya


1. Landasan Teoretik Peranan Pendidikan Multibudaya dalam
Integrasi Bangsa
Terminologi “integrasi bangsa” merupakan penyatuan secara
terencana dari berbagai golongan, etnik, agama, bahasa, budaya yang
berbeda-beda menjadi suatu kesatuan yang serasi atau satuan dalam
satu kesatuan kehidupan berbangsa/bernegara (Bachtiar, 2001: 45;
Shadily, 1980: 1461). Integrasi bangsa Indonesia sampai sekarang
masih merupakan masalah yang dianggap kompleks, rumit, dan
menuntut kesungguhan penuntasannya.
Kompleksitas permasalahan yang muncul dalam integrasi bangsa
tersebut juga bisa terjadi karena upaya pemerintah sendiri yang kurang
serius untuk menangani masalah itu. Menurut Bachtiar (2001: 51),
seorang sosiolog Universitas Indonesia, menyatakan, bahwa dalam
upaya memperkuat integrasi bansa ini kiranya belum ada rencana
ataupun program yang besar, seperti halnya rencana pembangunan
ekonomi yang dibuat Bappenas.
Program integrasi bangsa yang hendak mengusahakan persatuan
dan kesatuan bangsa ini, pada dasarnya bukan tugas perseorangan atau
golongan-golongan tertentu saja, melainkan adalah tugas semua pihak
yang menyatukan diri dalam ikatan nasional Indonesia, atau bangsa
Indonesia. Paling sedikit masing-masing orang atau golongan dengan
cara masing-masing diharapkan ikut memperjuangkan integrasi nasional
yang merupakan kepentingan kita bersama.
Pernyataan di atas jelas menunjukkan bahwa pemerintah tidak
memprogramkan secara ekplisit, sebagaimana program-program
pembangunan yang biasanya direncanakan secara rinci. Kemungkinan
lain mungkin maksudnya pemerintah juga begitu percaya dengan
pendekatan yang persuasif terutama kepada individu-individu anggota
keluarga, maupun anggota bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter


15
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan
integrasi bangsa, terutama bila kita hendak berusaha memperkuat
persatuan dan kesatuan bangsa. Integrasi bangsa, bukan merupakan
sesuatu peristiwa yang berdiri sendiri dan muncul tanpa sebab.
Terjadinya suatu proses integrasi bangsa didahului oleh sebab-sebab
yang mendukungnya. Tidak mungkin suatu bangsa mencapai suatu
bentuk integrasi bangsa yang sempurna manakala tanpa sesuatu yang
menjadikannya sebagai prasyarat. Beberapa pengamat sosial
berpendapat bahwa suatu bangsa, dapat bertahan, diterima dan
didukung oleh semua warganya, apabila ia menyediakan beberapa
kondisi minimal bagi warganya.
Kondisi ekonomi, politik, sosial, memberikan arti penting untuk
menciptakan susana kondusif bagi persatuan bangsa. Hertzler bahkan
selanjutnya berkeyakinan bahwa faktor bahasa juga memegang peranan
penting dalam “kesadaran bersatu” (consciousness of unity). Oleh
karena itu hakekat persamaan bahasa (Bahasa Indonesia) merupakan
contoh potensi sentripetal bahasa yang disadari atau tidak oleh para
pemuda pada tahun 1928 itu telah digunakan sebagai salah satu alat
dalam melahirkan bangsa Indonesia. Kesatuan dan persatuan untuk
kasus Indonesia, menurut Hertzler bisa dicapai lebih mudah karena
melalui penguasaan dan pemahaman satu bahasa (Bahasa Indonesia)
yang merupakan bahasa resmi dan persatuan, akan menjadi katalisator
yang memberikan kontribusi dalam integrasi bangsa.
Di Indonesia tentang tingginya stereotype yang menghambat
rendahnya tingkat interaksi antar etnis dalam integrasi bangsa, dapat
dikemukakan adanya beberapa indikator di bawah ini. Peristiwa Ambon
sejak 19 Januari 1999, kerusuhan etnis di Sambas dan Sampit di
Kalimantan Barat dan Tengah, Peristiwa Poso, dan beberapa masalah
SARA lainnya menunjukkan betapa saratnya peristiwa itu sebagai
akumulasi strereotype antar etnis, budaya, maupun agama. Papilaya
(2000: 38-39), yang merupakan pembicara perwakilan Protestan dalam
seminar “Pertahanan dan Konsolidasi Perdamaian Bagi Masyarakat
Indonesia Timur” mengatakan bahwa salah satu sebab terjadinya
kerusuhan SARA di Ambon sejak 19 Januari 1999, adalah hancurnya
budaya lokal terutama rendahnya hubungan (interaksi) antar etnik
“pribumi” dengan “pendatang”, yang didasari kecurigaan akibat
rendahnya hubungan sosial-ekonomi termasuk antar pemeluk agama.
Munculnya anggapan-anggapan yang “membenarkan memerangi
agama lain” tanpa sebab yang meyakinkan, merupakan akibat
ketidaktahuan, ataupun minimnya informasi tentang agama lain yang dia
tidak ketahui. Minimnya pengetahuan agama lain bisa terjadi karena
tidak ada interaksi yang memadai dengan pemeluk agama lain maupun
tidak mau tahu dengan agama lain itu.
Harjanto (2001:86-87), Staf Analis Departemen Politik dan
Perubahan Sosial, yang menyoroti hubungan kebangsaan dan
kewarganegaraan, menilai bahwa rapuhnya spirit integrasi bangsa

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter 16


Isu-Isu Pendidikan

Indonesia yang telah dibangun sejak abad 20, tampaknya karena


lemahnya visi kebangsaan dan kekaburan mendasar dalam memandang
ke-Indonesiaan ini. Pemahaman kebangsaan selama ini masih merujuk
pada terminologi klasik Renansian, yaitu suatu bangsa adalah a daily
plebicite yang tergantung pada kehendak warganya untuk hidup secara
bersama dalam identitas kolektif baru yang melampaui garis-garis
primordial – sektarian.
Secara normatif, kebangsaan dalam komunalistik seperti itu
memang mungkin dibangun. Kebangsaan Indonesia, masalahnya
sekarang ini telah tereduksi menjadi suatu konsepsi yang semakin
kehilangan makna filosofisnya, yang sering dipertentangkan dengan
konsepsi politik keagamaan. Secara inheren padahal konsep tersebut
sudah bermuatan konflik kepentingan antar anggotanya, karena
perbedaan preferensi politik dalam menyikapi perkembangan.
Kesadaran kewarganegaraan akibatnya seolah-olah kurang mendapat
tempat untuk tumbuh. Kalaupun ada untuk itu, pemahamannya lebih
terfokus pada kesadaran kewarganegaraan sebagai konsepsi hukum,
bukan kekuatan untuk mentransformasikan masyarakat menjadi entitas
politik modern yang demokratis. Kesadaran integrasi bangsa
implikasinya lebih memiliki konotasi terbatas “eksternal” yang
dikonstruksikan sebagai pembeda warganegara sendiri. Contohnya
adanya label “warganegara keturunan”, bukan dalam pengertian yang
lebih holistik-integratif termasuk “internal”.
Konsep kebangsaan (nationality) perlu dilakukan telaah lebih
dahulu untuk klarifikasi menyelesaikan persoalan ini. Kebangsaan
setidaknya akan didasarkan pada dua prinsip utama, yaitu; berdasarkan
keturunan (ius sanguinis) seperti di negara kita, atau tempat kelahiran
(ius soli) seperti yang dianut Amerika Serikat. Varian lain dari dua hal di
atas, seperti melalui naturalisasi, pemberian suaka politik, dan
sebagainya. Fieschi dan Varouakis (2001:22) berpendapat bahwa
prinsip keturunan (ius sanguinis) akan mengarahkan pada terbentuknya
ethnic nationalism atau ethnocultural nationalism, sedangkan prinsip
tempat kelahiran (ius soli) akan menuju ke penguatan civic-nationalism.
Civic-nationalism sendiri dibangun atas “suatu kontrak sosial” individu
dalam komitmen, loyalitas, dan kemauannya sebagai way of life untuk
kepentingan bersama (Brown, 2000:127-128). Singkatnya, civic
nationalism menawarkan visi tentang community of equal citizens.
Konsep “demokrasi” selama ini lebih menekankan pada kajian
demokrasi liberal, yakni kebebasan individual serta menyampingkan
demokrasi sosial, terutama hak-hak komunitas yang menekankan
resiprositas dan kegiatan bersama tentang identitas dan simbol-simbol
lain (Gould, 1993: 69, 77-78; Howard, 2000: 8). Padahal orde persaingan
yang berasal dari kemerdekaan individual secara empirikal ternyata
membonceng polarisasi sosial. Hasil penelitian Herrnstein dan Murray
(Simanjuntak, 2001: 61), yang menimbulkan kontroversi besar lewat Bell
Curve, mengungkapkan adanya hubungan statistikal positif antara
inteligensia dan sukses prestasi manusia Amerika dalam hidup.

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter


17
Kehidupan manusia jika hanya dipercayakan semata-mata pada
persaingan yang melibatkan perangai genetik, kesejahteraan bersama
umat manusia akan semakin menjauh dari harapan dan keadilan
Penelitian tersebut membuktikan bahwa ketimpangan sosial justru makin
memburuk dalam peradaban yang semakin padat pengetahuan. Suatu
kenyataan yang sangat mengganggu karena ketimpangan sosial seperti
itu akan muncul yang mendorong “pembalasan dendam” suatu ketika,
seraya menyudutkan kebebasan itu sendiri (Howard,2000: 323).
Sebagai pelengkap teoritik integrasi bangsa, sebenarnya banyak
model integrasi bangsa yang ditawarkan oleh para sosiolog yang
mungkin pula dapat diadaptasi oleh bangsa Indonesia. Model di bawah
ini merupakan perpaduan dua pendekatan, yakni; pendekatan
fungsionalisme-struktural (yang dikembangkan sejak Comte, Durkheim,
serta Parsons) dan pendekatan konflik non-Marxis (Dahrendorf). Alasan
peneliti menggunakan dua pendekatan tersebut, di samping sesuai
degan pendapat van den Berghe (1967: 294- 295), juga kebutuhan untuk
mensintesiskan kedua pendekatan tersebut bahwa keduanya sangat
melengkapi satu sama lain.
2. Landasan Empiris Peranan Pendidikan Multibudaya dalam Integrasi
Bangsa: Lintasan Sejarah
Berbeda dengan solidaritas organik, solidaritas itu muncul karena
pembagian kerja yang bertambah besar, sehingga tercipta suatu struktur
masyarakat yang saling memiliki ketergantungan yang tinggi. Saling
ketergantungan itu bertambah sebagai hasil dari bertambahnya
spesialisasi dalam pembagian kerja, yang memungkinkan dan juga
semakin menggairahkan perbedaan di kalangan individu (Johnson,
1986; 184-185). Solidaritas dengan demikian muncul karena perbedaan-
perbedaan di tingkat individu ini yang merombak kesadaran kolektif
tersebut. Solidaritas organik, pada dasarnya sangat memungkinkan
tercapainya solidaritas dan integrasi bangsa karena adanya tingkat
ketergantungan anatar individu maupun etnis itu menjadi semakin tinggi.
Penelitian Wiriaatmadja (1993: 87) dalam disertasinya yang
mengkaji Peranan Pengajaran Sejarah Nasional dalam Upaya Peraihan
Nilai-nilai Integralistik, bahwa pengajaran sejarah nasional Indonesia
yang multietnis dapat berhasil apabila diperteguh oleh dukungan
masyarakat yang berbentuk upaya dalam tindakan dan sikap yang
suportif, menerima, dan memberikan kesempatan secara konsisten.
Sebaliknya prasangka sosial ataupun stereotype yang ada dalam
masyarakat dapat meniadakan hasil-hasil pendidikan yang di sekolah
yang diharapkan.
Sujatmiko (1999: 3), sosiolog Universitas Indonesia, dalam
penelitiannya yang berjudul Integrasi dan Disintegrasi Nasional,
melaporkan bahwa Indonesia akan memasuki masa kritis (tahap 51-100
tahun) karena semakin hilangnya generasi pertama yang telah
melakukan kesepakatan-kesepakatan (Sumpah Pemuda dan
Proklamasi Kemerdekaan). Sujatmiko berpendapat, generasi pasca

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter 18


Isu-Isu Pendidikan

1945 (utamanya kaum intelektual/mahasiswa dan para pemuda


golongan menengah lainnya) akan berbeda dengan sebelumnya karena
lebih bersifat rasional, asertif dan mereka tidak menerima “Integrasi Buta”
atau “Integrasi Tanpa Reserve”.
Triardianto dan Suwardiman (2002: 321) yang secara rinci
mengidentifikasi berbagai konflik disintegratif di Indonesia menyebutkan
bahwa fenomena semakin banyaknya konflik telah membentuk suatu
kurva yang menghubungkan variabel-variabel itu dengan bentuk khusus.
Kurva itu kemudian disebut sebagai “atraktor aneh‟ yang menjadi biang
keladi kekacauan. “Atraktor aneh” ini bisa berupa “masalah-masalah
yang dianggap kecil”, seperti di Kalimantan Barat dan Kalimantan
Selatan, maupun Ambon yang penyulutnya peristiwa pencurian maupun
perkelahian pribadi. supir angkot dalam tragedi Ambon. Selain itu
atraktor aneh tersebut juga berupa keterlibatan para aparat keamanan
dalam konflik tersebut.
Siswomihardjo (1998: 14) dalam hasil telaahannya yang
dipaparkan pada Seminar Nasional, mengemukakan bahwa dewasa ini
tampak bahwa dunia dan negara-negara bangsa menghadapi
permasalahan semakin kompleks. Modernisasi yang membawa implikasi
transformasi yang sangat cepat dan mendasar, menjadi sumber utama
permasalahan ini. Ia dengan mengamati kondisi aktual yang makin
komleks, fragmentaris, dan disintegratif itu ia menyimpulkan bahwa
“kesemuanya menjadi tidak pasti, dan yang pasti adalah ketidakpastian
itu sendiri”. Nasionalisme Indonesia-pun menjadi “mandeg”, kehilangan
aktualitas, terbelenggu oleh kebekuan dogmatis dan penyempitan
ideologis. Ironisnya dalam menyiasati kemungkinan seperti ini justru
dianjurkan untuk tetap memperjuangkan nasionalisme dan integrasi
bangsa Indonesia. Penulis menginterpretasikan bahwa semestinya
terlebih dahulu diadakan semacam redefinisi maupun revitalisasi
konsep-konsep nasionalisme itu sendiri termasuk integrasi bangsa yang
lebih aktual sesuai dengan tantangan zaman.
Adam (2001: 3), sejarawan dan peneliti LIPI, yang melaporkan
telaahannya dalam tulisan yang berjudul “Ancaman Disintegrasi Bangsa
di Depan Mata”, menjelaskan bahwa: di berbagai daerah untuk pertama
kalinya sejak Indonesia merdeka, terdapat gelombang pengungsi yang
bukan akibat bencana alam. Di Pontianak dan sekitarnya terdapat ribuan
keluarga Madura yang tinggal di “kamp-kamp pengusian” tanpa
kejelasan dan nasib dan masa depannya. Di NTT menjadi tempat
penampungan lebih dari seratus ribu warga eks Timor Timur. Di Medan
terdapat ribuan pengungsi Aceh. Menurut sebuah catatan, kini telah
terdapat lebih dari sejuta pengungsi di seluruh Indonesia. Mereka adalah
warga negara yang terlempar dari rumahnya akibat “perang saudara”
dan menjadi suatu komunitas orang asing di negeri sendiri. Belum lagi
kasus-kasus Aceh, Poso, dan Irian Jaya, dan Ambon.
Adanya ketersingkiran sosial akibat berbagai kerusuhan dan
kekerasan yang terjadi, maka dapat diindikasikan bahwa makin

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter


19
menipisnya rasa aman serta kebanggaan sebagai bangsa. Nasionalisme
dan integrasi bangsa yang telah kita capai, kini layak dipertanyakan
kembali dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang sebenarnya.
Hasil-hasil kajian di atas merupakan bukti empirik yang
memperkuat keyakinan penulis bahwa kesadaran sejarah khususnya di
kalangan pemuda sekarang ini menunjukkan titik lemah yang
memprihatinkan. Implikasi rendahnya kesadaran sejarah tersebut pada
gilirannya menimbulkan rendahnya kesadaran nasionalisme dan
integrasi bangsa. Fakta inilah yang mendorong penulis untuk tidak
segan-segannya menghimbau secara reflektif, betapa pentingnya
pendidikan multibudaya dalam menanamkan dan memelihara saling
menghargai terhadap perbedaan budaya serta meningkatkan integrasi
bangsa yang sekarang ini mengalami degradasi yang memprihatinkan.
Pendidikan multibudaya pada bagian lain dapat berperan untuk
menghargai perbedaan budaya. Padersen (1995), seorang konselor
telah melakukan penelitian ini yang mengadakan penelitiannya di
Sekolah Dasar. Hasil temuan penelitiannya bahwa; “a base for
understanding cultural bias, and provides practical strategis to promote
child development in a multicultural society". Pedersen berpendapat
bahwa pembelajaran multikultural tersebut sangat berguna dalam
memahami berbagai bias budaya yang ada di masyarakat. Sebab, tidak
menutup kemungkinan apa yang siswa dengar dari masyarakat tentang
budaya suatu etnis tertentu, ternyata berbeda sekali setelah ia pelajari
dari budaya etnis tersebut yang secara langsung ia pelajari
sesungguhnya. Melalui pembelajaran multikultural, bias budaya dapat
dihindari jika secara dini dipelajari di sekolah.
Pembelajaran multibudaya juga dapat berpengaruh terhadap
upaya untuk menghargai perbedaan budaya serta dapat berpengaruh
sebagai wahana pemicu dalam meningkatkan prestasi belajar siswa.
Ploumis-Devick (1996) seorang peneliti yang mengadakan penelitiannya
di Sekolah Dasar Amerika, kesimpulan temuan penelitiannya
menunjukkan bahwa Provides general backround on cultural diversity
and its impact; descriptions of successful programs; and strategies,
activities, and resources for classroom use. Hasil penelitian di atas
sebenarnya tidak begitu mengejutkan, sebab dengan memperkenalkan
dan membelajarkan siswa melalui berbagai ragam budaya yang ada di
sekitar komunitasnya, siswa akan mengenal dan mempelajari budaya
tersebut, yang pada gilirannya akan menghargai keragaman budaya
yang ada. Pembelajaran multikultural selain itu juga akan berusaha untuk
memperlihatkan eksistensi budayanya yang memerlukan pengakuan
dalam lingkungan pergaulannya. Jika pernyataan tersebut dikaitkan
dengan pendapat Maslow (1954: 72) yang dikenal dengan teori “Hirarki
Kebutuhan” (Hierarchy of Needs) dapat dikategorikan sebagai
kebutuhan “penghargaan” sosial.
Pendidikan multibudaya juga di sisi lain dapat mengurangi sifat
prasangka dan apriori terhadap budaya etnis lain. Ponterotto (1995),

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter 20


Isu-Isu Pendidikan

mengadakan penelitiannya yang menghasilkan kesimpulan bahwa


pembelajaran multibudaya berperan untuk: “Describes theoris to explain
the increase of insidents of intergroup conflict and the role of the teacher
in multicultural awareness and prejudice prevention programs".
Pembelajaran multibudaya itu dapat berperan sebagai pencegahan
meningkatnya prasangka dan konflik antar kelompok, karena melalui
pembelajaran multikultural siswa belajar menghargai setiap budaya etnis
yang berbeda, menilai setiap keunggulan dan kelemahannya, yang pada
akhirnya siswa akan menerimanya bahwa sesungguhnya tidak ada
budaya yang sempurna maupun sama sekali tidak memiliki kebaikan
atau manfaatnya. Bahkan menurut aliran kelompok “fungsionalis
kebudayaan” atau a functional theory of culture Malinowski yang ditulis
dalam karya akhir yang monumental A scientific Theory of Culture and
Other Essay, bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya
bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan
manusia (Kaberry, 1957: 82).
Pendidikan multibudaya juga berperan untuk mempersatukan
budaya bangsa. Penelitian ini dilakukan oleh Ravitch (1996) yang
meneliti perspektif multikultural dalam hubungannya dengan persatuan
budaya Amerika. Ia menjelaskan bahwa Compare California's pluralistic
and New York's particularistic approaches; argues for an education that
appreciates diversity and supports commitment to a unified American
culture. Melalui pendekatan perbandingan komunitas New York dan
California yang pluralistik, mereka menganggap bahwa pentingya
gerakan multibudaya untuk pendidikan yang menghargai
keanekaragaman dan dukungan tanggung jawab untuk suatu persatuan
budaya Amerika. Pendidikan multibudaya juga berperan dalam upaya
mempersatukan budaya bangsa tersebut, sesuai dengan motto
kenegaraan mereka E Pluribus Unum atau Unity in Diversity, yang
serupa dengan Bhinneka Tunggal Ika-nya di Indonesia (Marger, 1985:
258; McLemore: 1980: 35; Supardan 2002: 34).

C. Tujuan Pendidikan Multibudaya


Setiap pendidikan tentu memiliki tujuan mulia yang diharapkan bisa
memperbaiki kualitas hidup manusia, begitu juga dengan pendidikan
multibudaya. Adapun tujuan pendidikan ini adalah sebagai berikut:
1. Memaksimalkan fungsi sekolah dalam menghadapi keberagaman
peserta didiknya.
2. Melatih peserta didik dalam bersikap positif terhadap keberagaman suku,
etnis, budaya, dan kelompok yang berbeda dengan dirinya.
3. Mengasah keterampilan sosial peserta didik dalam berinteraksi di
lingkungan yang heterogen.
4. Mengajarkan peserta didik akan pentingnya keberagaman dan cara
menghargai perbedaan.
5. Melatih peserta didik untuk menerapkan hidup damai dalam
keberagaman.

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter


21
Pendidikan multibudaya yang menanamkan pentingnya menghargai
heterogenitas, maka berdasarkan fungsinya adalah sebagai berikut:
1. Sebagai langkah penguatan karakter pada peserta didik.
2. Sebagai upaya untuk mengajarkan pada peserta didik bahwa konflik itu
selalu ada, sehingga mereka bisa mengedepankan perilaku positif di
tengah keberagaman.
3. Sebagai upaya pembinaan akan pentingnya menjaga keutuhan bangsa
yang di dalamnya memuat keberagaman.
Melalui pendidikan multibudaya bisa tumbuh menjadi generasi yang
toleransi terhadap keberagaman. Untuk itu manfaatnya adalah sebagai
berikut:
1. Peserta didik bisa bebas mengekspresikan kreativitasnya tanpa khawatir
mendapatkan perlakuan diskriminasi.
2. Peserta didik terlatih untuk menyikapi berbagai keragaman di lingkungan
sekitar.
3. Peserta didik termotivasi untuk menjadi agen perubahan sosial yang
nantinya bisa menghapuskan tindakan rasial maupun etnosentrisme.

D. Dimensi Pendidikan Multibudaya


Menurut James Banks (2010), ada lima dimensi pada pendidikan
multibudaya. Dimensi tersebut bisa membantu guru dalam menyikapi
perbedaan peserta didiknya karena saling berkaitan. Adapun dimensi yang
dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Dimensi integrasi yang memuat kecakapan guru dalam
mengintegrasikan beberapa materi yang berbeda agar bisa mencapai
satu kata kunci yang sama. Hasil integrasi tersebut selanjutnya
dimasukkan ke dalam kurikulum dengan penambahan materi
Multibudaya.
2. Dimensi konstruksi yang lebih mengarah kepada peserta didik.
Pemahaman peserta didik dipengaruhi oleh pengetahuan yang
diterimanya.
3. Dimensi pengurangan prasangka yang merupakan dimensi yang
melibatkan peran guru dalam menghilangkan berbagai prasangka akan
suatu ras, agama, maupun etnis. Hal ini berarti guru harus bisa
membentuk perilaku positif peserta didiknya saat menghadapi
heterogenitas di sekolah. Misalnya, seorang peserta didik rasis pada
temannya yang berbeda suku. Dalam hal ini, guru harus bisa
mengalihkan pandangan tersebut dengan cara membaurkan mereka
disertai pembahasan tentang indahnya keberagaman dan perbedaan
kelompok.
4. Dimensi pendidikan yang sama diwujudkan dengan seringnya guru
mengembangkan kerja sama antarpeserta didiknya. Dimensi ini sulit
untuk dicapai jika guru masih membiasakan perilaku kompetitif.
5. Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial tidak bisa
dilakukan secara instan, tetapi mudah untuk dilakukan jika guru dan
peserta didik selalu terlibat secara aktif. Guru harus bisa
memberdayakan kembali di kelas setiap budaya peserta didik yang

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter 22


Isu-Isu Pendidikan

berbeda kelompok. Selanjutnya, budaya-budaya tersebut disusun


menjadi struktur sosial yang identik dengan karakteristik sekolah
tersebut.

E. Prinsip Pendidikan Multibudaya


Pendidikan multibudaya hadir bersamaan dengan perkembangan
sosial dimana memang sejak awal terdiri dari budaya yang berasal dari
imigran. Pendidikan multibudaya mempunyai polanya sendiri-sendiri sesuai
dengan kesadaran dan proses pengolahannya (Isnarmi Moeis, 2014: 8-10).
Ada 3 (tiga) prinsip yang digunakan dalam menyusun program pendidikan
multibudaya, yaitu:
1. Pendidikan multibudaya didasarkan kepada pedagogik baru yaitu
pedagogik yang berdasarkan kesetaraan manusia (equity pedagogy).
Pedagogik kesetaraan bukan hanya mengakui hak asasi manusia tetapi
juga hak kelompok manusia, kelompok suku bangsa, kelompok bangsa
untuk hidup berdasarkan kebudayaannya sendiri. Ada kesetaraan
individu, antar individu, antar budaya, antar bangsa, antar agama.
Pedagogik kesetaraan berpangkal kepada pandangan mengenai
kesetaraan martabat manusia (dignity of human).
2. Pendidikan multibudaya ditujukan pada terwujudnya manusia yang
berbudaya.
Hanya manusia yang melek budayalah yang dapat membangun
kehidupan bangsa yang berbudaya. Manusia yang berbudaya adalah
manusia yang membuka diri dari pemikirannya yang terbatas. Manusia
yang berbudaya hanya dibentuk di dalam dunia yang terbuka. Manusia
berbudaya juga manusia yang bermoral dan beriman yang dapat hidup
bersama yang penuh toleransi yang bukan sekedar demokrasi
prosedural tapi demokrasi substantif.
3. Prinsip globalisasi budaya.
Globalisasi kebudayaan ditandai dengan pesatnya kemajuan teknologi,
produk multinasional, perluasan budaya populer. Budaya handphone,
internet dan e-commerce sudah menggejala secara global.

F. Pengembangan Pendidikan Multibudaya


Indonesia merupakan bangsa dengan aneka suku, agama, golongan,
ras, kelas sosial, dan sebagainya. Walaupun tersusun atas berbagai
keragaman, masing-masing bangsa mempunyai latar belakang (alasan
historis) dalam mengembangkan pendidikan multibudaya (Isnarmi Moeis,
2014:7). Dalam konteks Indonesia, pendidikan multibudaya merupakan
keharusan. Pengelolaan keanekaragaman dan segala potensi positif dan
negatif dilakukan sehingga keberbedaan bukanlah ancaman atau masalah,
melainkan menjadi sumber atau daya dorong positif bagi perkembangan
dan kebaikan bersama sebagai bangsa.
Upaya pengembangan kurikulum berbasis lokal, yang memasukkan
muatan-muatan lokal, menjadi contoh upaya pengembangan pendidikan

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter


23
multibudaya. Pemaknaan pendidikan multibudaya yang dianut oleh suatu
sekolah dapat berimplikasi terhadap pengembangan pendidikan
multibudaya. Berikut ini akan diuraikan makna pendidikan multibudaya
yang dapat berimplikasi terhadap pengembangan pendidikan multibudaya,
yaitu:
1. Pendidikan Multibudaya Sebagai Ide
Pendidikan multibudaya sebagai ide adalah suatu filsafat yang
menekankan legitimasi, vitalitas dan pentingnya keragaman kelas sosial,
etnis dan ras, gender, anak yang berkebutuhan khusus, agama, bahasa,
dan usia dalam membentuk kehidupan individu, kelompok, dan bangsa.
Sebagai sebuah ide, maka pendidikan multibudaya ini harus
mengenalkan pengetahuan tentang berbagai kelompok dan organisasi
yang menentang penindasan dan eksploitasi dengan mempelajari hasil
karya dan ide yang mendasari karyanya (Sizemore, 1981).
2. Pendidikan Multibudaya Sebagai Gerakan Reformasi Pendidikan.
Nilai-nilai yang mendasari, aturan prosedural, kurikulum, bahan ajar,
struktur organisasi, dan pola kebijakani pendidikan tersebut perlu
dirombak agar mencerminkan budaya Indonesia yang pluralistik. Hal ini
tentunya merupakan pekerjaan yang besar dan membutuhkan pemikiran
yang mendalam pula. Beberapa konsep tentang muatan lokal
nampaknya masih belum memenuhi harapan dari konsep ini. Agar
kualitas pendidikan itu bisa ditingkatkan perlu dikembangkan kurikulum
(baru) yang membangun pemahaman tentang kelompok etnis dan
memerangi segala praktek penindasan.
3. Pendidikan Multibudaya Sebagai Proses
Pendidikan multibudaya merupakan suatu proses yang terus menerus
yang membutuhkan investasi waktu jangka panjang di samping aksi
yang terencana dan dimonitor secara hati-hati (Banks & Banks, 1993).
Pendidikan multibudaya berhubungan dengan konsep humanistik yang
didasarkan pada kekuatan dari keragaman, hak asasi manusia, keadilan
sosial, dan gaya hidup alternatif bagi semua orang, yang diperlukan
untuk pendidikan yang berkualitas dan meliputi semua upaya untuk
memenuhi seluruh budaya bagi siswa yang memandang masyarakat
multikultural pluralistik sebagai kekuatan positif dan menjadikan
perbedaan sebagai wahana untuk lebih memahami masyarakat global.
Model pengembangan pendidikan multibudaya di setiap negara dapat
berbeda-beda sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh masing-
masing negara. Tantangan pendidikan multibudaya, baik dalam teori
maupun dalam praktek, adalah meningkatkan keadilan bagi kelompok
korban tertentu tanpa membatasi kelompok dan kesempatan yang lain.
Problema pendidikan multibudaya di Indonesia memiliki keunikan yang
tidak sama dengan problema yang dihadapi oleh negara lain. Keunikan
faktor-faktor geografis, demografi, sejarah dan kemajuan sosial ekonomi.

-. *** .-

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter 24


Isu-Isu Pendidikan

BAGIAN 4
PENDIDIKAN KARAKTER

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural. Pluralitas


masyarakat Indonesia dapat dilihat dari keberagaman suku bangsa, bahasa,
agama, adat, dan budaya yang merupakan ciri khas masyarakat Indonesia.
Dalam masyarakat plural, konflik sangat berpotensi untuk terjadi. Ragam
konflik yang terjadi bisa bersumber dari berbagai hal, seperti konflik antar
agama, antar etnis, antar budaya, antar suku, ataupun konflik kepentingan
antar masyarakat dari daerah atau propinsi yang berbeda.
Pendidikan sebagai sebuah proses pengembangan sumber daya
manusia agar memperoleh kemampuan sosial dan perkembangan individu
yang optimal memberikan relasi yang kuat antara individu dengan masyarakat
dan lingkungan budaya sekitarnya. Lebih dari itu pendidikan merupakan
proses “memanusiakan manusia” dimana manusia diharapkan mampu
memahami dirinya, orang lain, alam dan lingkungan budayanya.
Gambar 3. Nilai-Nilai Karakter

Sumber: https://ciget.info/2017/03/26/pengembangan-nilai-nilai-karakter/

A. Gambaran Umum Pendidikan Karakter


Pendidikan karakter adalah pendidikan sepanjang hayat, sebagai
proses perkembangan ke arah manusia kaafah. Pendidikan memegang
peranan penting dalam mengembangkan potensi seseorang sehingga
menjadi berkualitas. Tuujuan utamanya adalah membantu menciptakan
individu yang cerdas dan membantu mereka untuk menjadi pribadi yang
berakhlak mulia.
Pendidikan memungkinkan seseorang untuk tumbuh, dan
berkembang sebagai pribadi yang utuh. Perkembangan suatu negara erat
kaitannya dengan problematika pendidikan. Namun pada kenyataannya
masih banyak permasalahan pendidikan, salah satunya terkait akhlak atau
moral. Kenyataan tentang masalah kualitas moral dalam kehidupan setiap

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter


25
individu terutama di kalangan peserta didik inilah yang kemudian merujuk
pada pentingnya penyelenggaraan pendidikan karakter.
Pendidikan karakter merupakan sebuah istilah yang semakin hari
semakin mendapat pengakuan dari masyarakat Indonesia saat ini. Terlebih
dengan dirasakannya berbagai ketimpangan hasil pendidikan dilihat dari
perilaku lulusan pendidikan formal saat ini semisal korupsi, perkembangan
seks bebas pada remaja, tawuran, perampokan, juga pengangguran
lulusan sekolah menengah dan atas. Semua terasa lebih kuat ketika negara
ini dilanda krisis yang hingga sampai saat ini tidak bisa beranjak dari krisis
yang dialami.
Karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin Character, yang
antara lain berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti,
kepribadian atau akhlak. Sehingga karakter dapat difahami sebagai sifat
dasar, kepribadian, tingkah laku/perilaku dan kebiasaan yang berpola.
Perspektif pendidikan karakter adalah peranan pendidikan dalam
membangun karakter peserta didik. Pendidikan karakter adalah upaya
penyiapan kekayaan peserta didik yang berdimensi agama, sosial, budaya,
yang mampu diwujudkan dalam bentuk budi pekerti baik dalam perkataan,
perbuatan, pikiran, sikap, dan kepribadian.
Sedangkan secara istilah, karakter diartikan sebagai sifat manusia
pada umumnya dimana manusia mempunyai banyak sifat yang tergantung
dari faktor kehidupannya sendiri. Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak
atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang
(Majid dan Andayani, 2010:11). Karakter merupakan nilai-nilai perilaku
manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri,
sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam
pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-
norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Kepribadian diartikan sebagai pola pikir dan bertindak yang khas pada
setiap orang (Wibowo et al, 2020). Seseorang dikatakan memiliki moral
yang baik apabila orang tersebut bersikap tegas dan bertanggung jawab.
Karakter dapat dipandang sebagai perilaku seseorang terhadap dirinya
sendiri, Tuhan Yang Maha Esa, dan lingkungannya, serta dinyatakan dalam
pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatannya menurut norma
yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, karakter merupakan kombinasi dari
moralitas, etika, dan moralitas.
Pendidikan karakter merupakan segala upaya yang dilakukan oleh
pendidik untuk mengajarkan kebiasaan cara berfikir dan berperilaku yang
membantu anak untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga,
masyarakat dan bernegara dan membantu mereka untuk membuat
keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan, karakter juga dapat
diistilahkan dengan tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang
membedakan seseorang dengan orang lain.
Pendidikan karakter merupakan upaya sadar dalam membentuk
kepribadian seseorang sehingga dapat membentuk karakter bangsa (Yulia
et al, 2017). Ada beberapa dimensi pendukung praktik pengembangan

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter 26


Isu-Isu Pendidikan

kepribadian, seperti pihak keluarga, lingkungan sekolah dan komunitas.


Namun, kenyataannya saat ini di Indonesia sedang menghadapi
kemerosotan moral yang mengkhawatirkan. Minimnya pembentukan
karakter yang dialami oleh masyaraat Indonesia saat ini disebabkan oleh
kerusakan moral yang diakibatkan oleh pergaulan.
Hal tersebut juga diperkuat oleh Hendayani, (2019) menyatakan
bahwa saat ini banyak faktor, termasuk faktor pendidikan, yang menjadi
penyebab disintegrasi karakter bangsa Indonesia. Kita menyadari bahwa
pendidikan merupakan mekanisme kelembagaan untuk membangun
karakter bangsa, dan juga menjadi wadah untuk mewujudkan 3 (tiga)
prinsip pembentukan karakter bangsa.
Implementasi pendidikan karakter di Indonesia masih kurang baik,
terutama kurangnya keteladanan pendidik (Harefa et al, 2021). Ada ketidak
selarasan antara penerapan pendidikan karakter dengan kenyataan yang
terjadi di kehidupan bermasyarakat. Pendidikan karakter secara konseptual
lazim di lingkungan pendidikan perkotaan, dan kesenjangan dapat dilihat di
desa-desa di mana hanya sedikit sekolah yang menerapkan konsep
tersebut. Pemerintah diharapkan dapat mengoptimalkan pendidik dalam
pelaksanaan pendidikan karakter sehingga dapat membangun karakter
bangsa. Oleh karena itu, perlu memahami persoalan-persoalan yang
menyebabkan ketidaksesuaian antara konsep pendidikan karakter dengan
realitas kepribadian dalam kehidupan bermayarakat.

B. Landasan Pendidikan Karakter di Indonesia


Untuk mendukung perwujudan cita-cita pembangunan karakter
sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD Tahun
1945 serta mengatasi permasalahan kebangsaan saat ini, maka
Pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu
program prioritas pembangunan nasional. Semangat itu telah ditegaskan
dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun
2005-2025, di mana pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan
untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu “mewujudkan
masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab
berdasarkan falsafah Pancasila”.
Terkait dengan upaya mewujudkan pendidikan karakter sebagaimana
yang diamanatkan dalam RPJPN, sesungguhnya hal tersebut sudah
tertuang pada fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu “Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional).

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter


27
Dengan demikian, RPJPN dan UUSPN merupakan landasan yang
kokoh untuk melaksanakan secara operasional pendidikan karakter
sebagai prioritas program dalam Rencana Aksi Nasional Pendidikan
Karakter (2010). Dalam INPRES Nomor 1 Tahun 2010 disebutkan
“Penyempurnaan kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan
nilai nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan karakter
bangsa”.
Pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar
dan mana yang salah, lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan
kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik
menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu
merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor).
Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan bukan
saja aspek “pengetahuan yang baik (moral knowing), akan tetapi juga
“merasakan dengan baik atau loving good (moral feeling), dan perilaku yang
baik (moral action). Pendidikan karakter menekankan pada habit atau
kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan dan dilakukan sebagai
landasan dan alasan penerapan pendidikan karakter di Indonesia.

C. Tujuan Pendidikan Karakter


Mencermati fungsi pendidikan nasional, yaitu mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa seharusnya
memberikan pencerahan yang memadai bahwa pendidikan harus
berdampak pada watak manusia/ bangsa Indonesia atau karakter. Karakter
merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Dari kematangan
karakter inilah, kualitas seorang pribadi dapat diukur. Tujuan pendidikan
karakter meliputi:
1. Mendorong kebiasaan perilaku yeng terpuji sejalan dengan nilai-nilai
universal, tradisi budaya, kesepakatan sosial, dan religiositas agama.
2. Menanamkan jiwa kepemimpinan yang bertanggung jawab sebagai
penerus bangsa.
3. Memupuk ketegaran dan kepekaan mental peserta didik terhadap situasi
sekitarnya, sehingga tidak terjerumus kepada perilaku yang
menyimpang, baik secara indivdu maupun sosial.
4. Meningkatkan kemmpuan menghindari sifat tercela yang dapat merusak
diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
5. Agar siswa memahami dan menghayati nilai-nilai yang relevan bagi
pertumbuhan dan penghargaan harkat dan martabat manusia.

D. Unsur-Unsur Karakter
Ada beberapa dimensi manusia yang secara psikologis dan sosiologis
perlu dibahas dalam kaitannya dengan terbentuknya karakter pada diri
manusia. adapun unsur-unsur tersebut adalah sikap, emosi, kemauan,
kepercayaan, dan kebiasaan (Mun’im, 2011: 168). Sikap seseorang akan
dilihat orang lain dan sikap itu akan membuat orang lain menilai
bagaimanakah karakter orang tersebut, demikian juga halnya emosi,

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter 28


Isu-Isu Pendidikan

kemauan, kepercayaan dan kebiasaan, dan juga konsep diri (Self


Conception).
1. Sikap
Sikap seseorang biasanya adalah merupakan bagian karakternya,
bahkan dianggap sebagai cerminan karakter seseorang tersebut. Tentu
saja tidak sepenuhnya benar, tetapi dalam hal tertentu sikap seseorang
terhadap sesuatu yang ada dihadapannya menunjukkan bagaimana
karakternya.
2. Emosi
Emosi adalah gejala dinamis dalam situasi yang dirasakan manusia,
yang disertai dengan efeknya pada kesadaran, perilaku, dan juga
merupakan proses fisiologis.
3. Kepercayaan
Kepercayaan merupakan komponen kognitif manusia dari faktor
sosiopsikologis. Kepercayaan bahwa sesuatu itu “benar” atau “salah”
atas dasar bukti, sugesti otoritas, pengalaman, dan intuisi sangatlah
penting untuk membangun watak dan karakter manusia. Kepercayaan
itu memperkokoh eksistensi diri dan memperkukuh hubungan dengan
orang lain.
4. Kebiasaan dan Kemauan
Kebiasaan adalah komponen konatif dari faktor sosiopsikologis.
Kebiasaan adalah aspek perilaku manusia yang menetap, berlangsung
secara otomatis, dan tidak direncanakan. Sementara itu, kemauan
merupakan kondisi yang sangat mencerminkan karakter seseorang. Ada
orang yang kemauannya keras, yang kadang ingin mengalahkan
kebiasaan, tetapi juga ada orang yang kemauannya lemah. Kemauan
erat berkaitan dengan tindakan, bahakan ada yag mendefinisikan
kemauan sebagai tindakan yang merupakan usaha seseorang untuk
mencapai tujuan.
5. Konsep diri (Self Conception)
Hal penting lainnya yang berkaitan dengan (pembangunan) karakter
adalah konsep diri. Proses konsepsi diri merupakan proses totalitas, baik
sadar maupun tidak sadar, tentang bagaimana karakter dan diri kita
dibentuk. Dalam proses konsepsi diri, biasanya kita mengenal diri kita
dengan mengenal orang lain terlebih dahulu. Citra diri dari orang lain
terhadap kita juga akan memotivasi kita untuk bangkit membangun
karakter yang lebih bagus sesuai dengan citra.

E. Pelaksanaan Pendidikan Karakter


Pendidikan karakter telah masuk dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang pemerintah dari tahun 2005 sampai 2025. Tahun 2010-
2015 program pendidikan karakter menjadi program unggulan. Ada 4
(empat) karakter yang dikembangkan oleh bangsa Indonesia. Pertama
adalah olah hati, yaitu mengembangkan aset yang terkait dengan Tuhan
(hablum minallah) sehingga bisa bekerja dengan ikhlas. Kedua yaitu olah

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter


29
rasa/karsa, sehingga dapat mengembangkan aset yang terkait hubungan
antar sesama (hablum minannas). Ketiga adalah olah pikir, yaitu
mengembangkan aset yang terkait dengan akal agar mampu berpikir
dengan jernih dan cerdas. Keempat adalah olah raga, yaitu
mengembangkan aset fisik agar selalu sehat dan mampu bekerja dengan
keras.
Pendidikan karakter menjadi tanggungjawab semua pemangku
kepentingan. Semua guru harus terllibat dalam mengawal pendidikan
karakter. Minimal ada 4 (empat hal) yang harus dikembangkan dalam
pendidikan karakter.
Pertama, pendidikan karakter terintregasi ke dalam semua mata
pelajaran. Tentunya hal tersebut bisa dilihat dalam lesson plan, karena
lesson plan adalah standar operasional pelaksanaan (SOP) guru dalam
proses pembelajaran. Pendidikan karakter adalah upaya yang terencana
untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli dan menginternalisasi
nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil, dimana
tujuan pendidikan karakter adalah meningkatkan mutu penyelenggaraan
dan hasil pendidikan di sekolah melalui pembentukan karakter peserta didik
secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan.
Adapun nilai-nilai yang perlu dihayati dan diamalkan oleh guru saat
mengajarkan mata pelajaran di sekolah adalah religius, jujur, toleran,
disiplin, kerja keras, kerja cerdas, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin
tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,
bersahabat/komunikatif, cinta damai, senang membaca, peduli sosial,
peduli lingkungan, dan tanggung jawab.
Kedua, pendidikan karakter terbangun dari budaya pengelolaan
sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan
karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-
kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut
meliputi nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran,
penilaian, pendidik, dan tenaga kependidikan serta komponen terkait
lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu
media yang efektif dalam pendidikan karakter sekolah.
Ketiga, pendidikan karakter terlihat dalam kegiatan ekstra kulikuler.
Penanaman nilai-nilai karakter melalui kegiatan ekstra kurikuler meliputi:
pembiasaan akhlak mulia, kegiatan Masa Orientasi Sekolah (MOS),
kegiatan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), tata krama dan tata tertib
kehidupan sosial sekolah, kepramukaan, upacara bendera, pendidikan
pendahuluan bela negara, pendidikan berwawasan kebangsaan, UKS,
PMR, serta pencegahan penyalahgunaaan narkoba.
Keempat, membangun sinergi antara sekolah dengan rumah dalam
mengawal perilaku mulia pada anak. Kedua lingkungan pendidikan tersebut
sangat erat kaitannya satu dengan lainnya, sehingga tidak bisa dipisah-
pisahkan, dan memerlukan kerjasama yang sebaik-baiknya, untuk
memperoleh hasil pendidikan maksimal seperti yang dicita-citakan.
Hubungan sekolah (perguruan) dengan rumah anak didik sangat erat,

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter 30


Isu-Isu Pendidikan

sehingga berlangsungnya pendidikan terhadap anak selalu dapat diikuti


serta diamati, agar dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang hendak
dicapai.
Pendidikan karakter penting bagi pendidikan di Indonesia. Pendidikan
karakter akan menjadi pondasi atau dasar dalam pembentukan karakter
berkualitas bangsa, yang tidak mengabaikan nilai-nilai sosial seperti
toleransi, kebersamaan, kegotongroyongan, saling membantu dan
mengormati dan sebagainya. Pendidikan karakter akan melahirkan pribadi
unggul yang tidak hanya memiliki kemampuan kognitif saja namun memiliki
karakter yang mampu mewujudkan kesuksesan.
Isu pelemahan karakter bangsa Indonesia harus diperhatikan oleh
semua pihak seperti, tokoh-tokoh nasional, aparat penegak hukum,
pendidik, tokoh agama, golongan, dll. Perhatian bersama memberikan
langkah bersama menuju pembangunan karakter bangsa yang
berkelanjutan. Masalah pembentukan karakter sangat kompleks, begitu
banyak aspek yang berbeda perlu diperhitungkan sehingga banyak upaya
yang berbeda perlu dilakukan untuk mengatasinya sekaligus. Karena
permasalahan dan upaya membangun karakter bangsa dapat dilakukan
melalui pendekatan keluarga, sekolah dan masyarakat, maka
permasalahan dan upaya membangun karakter bangsa ditanggung
bersama oleh seluruh lapisan masyarakat.
Kesadaran menjadi faktor utama, sedangkan keteladanan dan
penegakan peraturan menjadi pendukung dalam kesadaran. Tanpa adanya
kesadaran, keteladanan dan penegakan peraturan tidak dapat bertahan
lama pada diri seseorang. Berdasarkan pendapat diatas faktor-faktor yang
mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan dalam proses penerapan
pendididikan karakter antara lain berupa insting/naluri manusia yang ada
sejak ia dilahirkan, ada faktor kebiasaan yang dilakukan secara berulang-
ulang, selanjutnya ada faktor keturunan yang mewarisi sifat dari orang tua
kepada anaknya dan faktor lingkungan yang ada di alam maupun
lingkungan pergaulan. Semua faktor tersebut saling berhubungan dan
saling mempengaruhi dalam segala sifat dan tindakan manusia dalam
kehidupa sehari-hari.

-. *** .-

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter


31
BAGIAN 5
PENUTUP

SIMPULAN
Pada saat ini dan ke depannya, dibutuhkan lembaga-lembaga yang
membantu pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan, menjalin
kerjasama untuk memperoleh dana pendidikan, dan menggalang dukungan
untuk pendidikan agar menjadi lebih baik. Lembaga tersebut tidak hanya
bekerja sama dengan pemerintah, namun juga pihak swasta dan kelompok
masyarakat untuk bersama-sama memberbaiki kualitas pendidikan di
Indonesia. Dalam meningkatkan mutu pendidikan, lembaga-lembaga tersebut
melakukan pendampingan kepada guru-guru di Indonesia dan pemberian
apresiasi lebih kepada guru-guru kreatif dan memunculkan inovasi dalam
dunia pendidikan. Pendampingan dilakukan dengan tujuan untuk
meningkatkan profesionalitas, kreativitas, dan kompetensi guru, seperti
pendampingan berupa seminar, lokakarya, konsultasi, pelatihan dan praktek.
Untuk lembaga tersebut, juga melakukan mediasi kepada masyarakat,
pendidik, dan pihak terkait lainnya untuk menyampaikan aspirasinya kepada
pemerintah dalam memperbaiki pendidikan. Diharapkan dengan adanya
lembaga ini, ide-ide kreatif untuk memperbaiki pendidikan dapat tertampung
dan pemerintah dapat mempertimbangkan ide masyarakat untuk kebijakan
yang dibuat. Dalam meningkatkan kemampuan kepemimpinan guru, kepala
sekolah, dan pengelola sekolah, lembaga tersebut melakukan pendampingan
demi mewujudkan manajemen sekolah yang baik.
Proses yang dilakukan berupa konsultasi, lokakarya, dan pelatihan
ditunjukan kepada guru, staf dan pimpinan sekolah. Pihak manajemen sekolah
diharapkan mampu untuk membawa sekolah yang dipimpinnya menjadi
berkembang dan meraih prestasi yang diharapkan. Lembaga tersebut juga
berperan membantu manajemen sekolah untuk mengembangkan kerjasama
dengan instansi-instansi terkait guna memeroleh dana pengembangan
infrastruktur sekolah. Tidak hanya itu, lembaga tersebut juga dapat
menggalang dana dari sponsor untuk perbaikan bangunan sekolah yang
hampir rusak di wilayah terpencil.
Dukungan masyarakat, lembaga sosial, dan lembaga pers memiliki
fungsi dalam meningkatkan pemahaman pentingnya pendidikan melalui
penyebaran informasi. Oleh karena itu, lembaga tersebut mempunyai tugas
untuk meningkatkan dukungan tersebut dengan cara bekerja sama dengan
pihak masyarakat, lembaga sosial, dan pers. Dengan demikian informasi
seputar perbaikan mutu pendidikan di Indonesia dapat tersalurkan dengan
mudah.

-. *** .-

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter 32


Isu-Isu Pendidikan

DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Agus Wibowo. 2013. Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Amirulloh. 2015. Teori Pendidikan Karakter Remaja dalam Keluarga.
Bandung: Alfabeta.
Blum, A. Lawrence. 2001. Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas
Antar Ras, Tiga Nilai yang Bersifat Mendidk Bagi Sebuah Masyarakat
Multikultural, dalam Larry May, dan Shari Colins-Chobanian. Etika
Terapan: Sebuah Pendekatan Multikultura, Terjemahan: Sinta Carolina
dan Dadang Rusbiantoro. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Harris, Philip R & Moran, Robert.T. 2001. Memahami Perbedaan-perbedaan
Budaya dalam Deddy Mulyana dan Jaluddin Rakhmat Ed. Komunikasi
Antar Budaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda
Budaya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Harjanto, Nico, T. 2001. Antara Kebangsaan dan Kewarganegaraan dalam
Indra J. Piliang, Edy Prasetyono, Hadi Soesastro. Merumuskan Kembali
Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Centre for Strategic and International
Studies.
Hendayani M. 2019. Masalah Pengembangan Karakter Siswa.
Irdamurni. 2019. Pendidikan Inklusif, Solusi Dalam Mendidik Anak
Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Prenada Media.
Kemendiknas. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa. Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2019. Merdeka Belajar. Jakarta:
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2020. Buku Saku Panduan Merdeka
Belajar Kampus Merdeka. Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi
Kemendikbud RI.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2020. Merdeka Belajar Episode
Ketika: Perubahan Mekanisme BOS TA 2020. Jakarta: Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Majid, Abdul & Andayani, Dian. 2010. Pedidikan Karakter Dalam Perspektif
Islam. Bandung: Insan Cita Utama.
Mu’in, Fatchul. 2011. Pedidikan Karakter Kontruksi Teoritik dan Praktek.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Semiawan. Cony R. 2003. Pendidikan Anak Berbakat. Jakarta: Universitas
Negeri Jakarta.
Soedijarto. 2008. Landasan dan Arah Pendidikan Nasional. Jakarta: Kompas.
Tarmansyah. 2007. Inklusif Pendidikan Untuk Semua. Jakarta: Depdiknas.

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter


33
JOURNAL
Azzahra, I. M. Ichsan dan Andriani, K.M. 2022. “Minat Orang Tua
Menyekolahkan Anak di Lembaga PAUD Pada Masa Pandemi COVID-
19.” Jurnal AUDHI Volume 5 No. 1: Hal. 42-51.
Suparlan, Parsudi. 2003b. “Bhineka Tunggal Ika: Keanekaragaman
Sukubangsa atau Kebudayaan”. Jurnal Antropologi Indonesia. Tahun
XXVII. No.72. Jakarta: Universitas Indonesia-Yayasan Obor Indonesia.

WEB SITE
https://itjen.kemdikbud.go.id/web/4-isu-utama-bidang-pendidikan-dalam-
presidensi-g20/. Diakses 5 Agustus, 2023.
https://www.kompasiana.com/wardatul37947/63b9645708a8b52c0a2590e2/
masalah-pendidikan-dan-solusinya. Diakses 5 Agustus, 2023.
https://www.kompasiana.com/giyatsshifa/54f9951da33311a13d8b582c/artikel
-permasalahan-pendidikan-di-indonesia. Diakses 1 Agustus, 2023.
https://www.liputan6.com/disabilitas/read/5233102/jumlah-anak-
berkebutuhan-khusus-terus-bertambah-tapi-hanya-12-persen-yang-
sekolah-formal. Diakses 8 Agustus, 2023.
https://siedoo.com/berita-22005-indonesia-masih-menghadapi-masalah-
dalam-pendidikan/. Diakses 1 Agustus, 2023.

PERATURAN
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan
Penyelenggaraan Pendidikan.
Peraturan Menteri Pendididikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang
Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan Dan
Memiliki Potensi Kecerdasan Dan/Atau Bakat Istimewa.

-. *** .-

Pendidikan Inklusif, Pendidikan Multibudaya, dan Pendidikan Karakter 34

Anda mungkin juga menyukai