Anda di halaman 1dari 192

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/327578821

INTEGRASI Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup dalam


Pembelajaran

Book · May 2013

CITATIONS READS

0 613

1 author:

Basri K.
Universitas Nusa Cendana
8 PUBLICATIONS   5 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Basri K. on 11 September 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


3
4
Cet. 1, Mei 2013
i
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan

BASRI K., 1964


INTEGRASI Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan
Hidup dalam Pembelajaran/oleh Basri K.;– Cet. 1. -- Kupang: PTK
Press, 2013.
ix, 179 hal.; 15,5 x 23 cm

ISBN 978-602-9222-07-4

1. Lingkungan dan Penduduk


I. Judul. II. Erma Suryani Sahabuddin
.......

INTEGRASI Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup


dalam Pembelajaran
 Basri K.
Hak cipta dilindungi undang-undang

Editor/Penyunting: Erma Suryani Sahabuddin


Desain, Layout, & Ilustrasi: Basri K.
Foto sampul: BK
Penerbit: PTK PRESS [bagian penerbitan Jurusan PTK FKIP Undana]
Jl. Adisucipto Penfui Kupang NTT – 85001
Telp. (0380) 881639, Kupang

Cetakan Pertama, Mei 2013


Percetakan: Sekawan

ii
PENGANTAR PENULIS

ARI judulnya dan cakupan isinya, buku ini bukanlah buku


ajar, melainkan buku referensi yang bisa dijadikan pe-
gangan bagi para pendidik dan/atau praktisi pendidikan di
dalam upaya mengintegrasikan Pendidikan Kependudukan
dan Lingkungan Hidup (PKLH) dalam pembelajaran di sekolah,
terutama diperuntukkan pada mata-mata pelajaran yang daripadanya
berminat dan menaruh perhatian terhadap lingkungan hidup di satu sisi
dan kependudukan pada sisi lainnya sebagai suatu program pendidikan
yang sinergis.
Terdapat beberapa hal yang perlu dimengerti untuk lebih mema-
hami konsep PKLH, di mana dua di antaranya, yakni lingkungan hidup
dan ilmu kependudukan yang bersinggungan langsung dengan peng-
integrasiannya di dalam konteks pembelajaran. Lingkungan hidup,
adalah kesatuan ruang dengan segala makhluk hidup, benda, dan daya
serta manusia dengan segala perilakunya, yang saling berhubungan se-
cara timbal-balik, di mana perubahan salah satu komponennya akan
mempengaruhi komponen yang lain. Sementara ilmu kependudukan,
adalah studi tentang jumlah, pertumbuhan, persebaran, komposisi ke-
pendudukan, serta bagaimana keempat faktor tersebut berubah dari
waktu ke waktu. Dalam prakteknya ilmu kependudukan selalu berhu-
bungan dengan ilmu-ilmu yang lain serta sulit dibedakan dengan studi
kependudukan.Studi kependudukan mempelajari secara sistematis per-
kembangan, fenomena-fenomena, dan masalah-masalah penduduk da-
lam kaitannya dengan situasi sosial di sekitarnya.
Kedua hal tersebut di atas menjadi „pintu masuk‟ untuk mengerti
dan memahami lebih lanjut, mengapa PKLH perlu diintegrasikan de-
ngan pembelajaran lainnya di dunia persekolahan, yang mencakup: (1)
alasan-alasan yang mendasari pengintegrasian PKLH; (2) perencanaan
pembelajaran PKLH; (3) implementasi pembelajran PKLH; (4) eva-
luasi pembelajaran PKLH; kemudian (5) isu-isu pembelajaran PKLH;

iii
hingga (6) pengintegrasian aspek ke-PKLH-an dalam konteks pembel-
ajaran.
Semoga keenam mata rantai itu, yang disusun secara hierarki di
dalam buku ini menjadi jembatan yang memudahkan bagi pendidik
khususnya dan para pembaca pada umumnya untuk dijadikan pegang-
an, dengan anggapan bahwa PKLH tidak terbatas pada kegiatan bel-
ajar-mengajar saja, melainkan menyangkut seluruh kehidupan sekolah.
Berbagai aspek kegiatan sekolah selalu diwarnai PKLH. Sehingga
akan semakin jelas, bahwa program PKLH dirasa dan mutlak diper-
lukan sebagai salah satu alternatif guna menjawab tantangan masalah
kependudukan dan lingkungan hidup yang berkembang saat ini dan
yang akan datang.

Kupang, 19 Mei 2013

Basri K.

iv
DAFTAR ISI

halaman
PENGANTAR PENULIS .......................................................... iii
DAFTAR ISI .............................................................................. v
DAFTAR GAMBAR ................................................................. ix
A. Alasan Pengintegrasian PKLH .......................................... 1
1. Tujuan dan Manfaat PKLH sebagai Program Pendidikan 3
2. Pendekatan PKLH ............................................................ 8
B. Perencanaan Pembelajaran PKLH ................................... 13
BAB I. Konsep Perencanaan Pembelajaran .......................... 13
1. Konsep Perencanaan .................................................. 13
2. Konsep Pembelajaran ……….................................... 16
3. Perencanaan Pembelajaran sebagai Suatu Konsep .... 18
BAB II. Perencanaan Pembelajaran dalam Praksis Pendi-
dikan Persekolahan …………….............................. 19
1. Perencanaan Pembelajaran sebagai Suatu Aktivitas
dalam Penetapan Tujuan Pembelajaran ..................... 19
2. Penyusunan Bahan Ajar dan Sumber Belajar ............ 21
3. Perencanaan Pembelajaran Berdasarkan Pemilihan
Media Pembelajaran .................................................. 24
4. Perencanaan Pembelajaran Berdasarkan Pemilihan
Pendekatan dan Strategi Pembelajaran ...................... 26
5. Perencanaan Pembelajaran Berdasarkan Pengaturan
Lingkungan Belajar ................................................... 28
6. Perencanaan Pembelajaran Berdasarkan Perancang-
an Sistem Penilaian Hasil Belajar .............................. 28
7. Perencanaan Pembelajaran Berdasarkan Peran-
cangan Prosedur Pembelajaran .................................. 30
BAB III. Perencanaan Pembelajaran PKLH: Belajar dari
Alam dan Pengalaman ............................................. 34
1. Pemecahan Masalah PKLH dengan Belajar dari
Alam .......................................................................... 35

v
2. Tujuan Pembelajaran PKLH untuk Membangun Ga-
ya Hidup ..................................................................... 38
C. Implementasi Pembelajaran PKLH .................................. 45
BAB IV. PKLH melalui Pembelajaran Berpusat kepada Pe-
serta Didik ............................................................... 45
1. PKLH: Pembelajaran dari Pendidik Menjadi Berpu-
sat kepada Peserta Didik ............................................ 47
2. Prinsip-prinsip Psikologis Pembelajaran Berpusat
kepada Peserta Didik ................................................. 49
3. Pengertian Pembelajaran yang Berpusat kepada Pe-
serta Didik ................................................................. 52
4. Karakteristik Pendidik Pembelajaran Berpusat ke-
pada Peserta Didik ..................................................... 55
5. Metode-metode Pembelajaran Berpusat kepada Pe-
serta Didik ................................................................. 57
BAB V. Pendekatan Joyful Learning dalam Pembelajaran
PKLH ...................................................................... 60
1. Pembelajaran PKLH .................................................. 62
2. Pendekatan Joyful Learning dalam Pembelajaran
PKLH ......................................................................... 64
BAB VI. PKLH Bukan untuk Pembebanan Baru bagi Pe-
serta Didik ............................................................... 69
1. PKLH: Dalam Buku Catatan ..................................... 69
2. PKLH: Bahan Dasar yang Dilupakan ........................ 70
3. PKLH:Terjerumus di Jurang Pembebanan Baru ....... 74
D. Evaluasi Pembelajaran PKLH ........................................... 77
BAB VII. Pentingnya Evaluasi Pembelajaran PKLH dalam
PBM ...................................................................... 77
1. Pentingnya Seorang Pendidik Melakukan Evaluasi
Pembelajaran dengan Baik ........................................ 78
2. Pengertian Pengukuran, Penilaian, dan Evaluasi ....... 79
3. Peran Pendidik dalam Evaluasi Pembelajaran PKLH 81
BAB VIII. Evaluasi dalam Pembelajaran PKLH .................. 81
1. Teknik Tes ................................................................. 84
2. Teknik non-Tes .......................................................... 86

vi
BAB IX. Evaluasi dan Penilaian Pembelajaran .................... 89
1. Evaluasi Pembelajaran ............................................... 92
2. Penilaian Pembelajaran .............................................. 94
3. Pengukuran Pembelajaran ......................................... 97
E. Isu-isu Strategis PKLH ....................................................... 101
BAB X. Kebijakan Kependudukan dan Daya Dukung Ling-
kungan ……............................................................. 101
1. Daya Dukung Lingkungan Alam ............................... 103
2. Daya Tampung Lingkungan Sosial ........................... 105
3. Daya Tampung Lingkungan Buatan .......................... 107
4. Pelaku Kebijakan ....................................................... 108
BAB XI. Kebijakan Lingkungan Hidup ................................ 108
1. Perkembangan dan Permasalahan Lingkungan Hi-
dup ............................................................................. 108
2. Pengertian dan Definisi PLH ..................................... 112
3. Visi dan Misi PLH ..................................................... 113
4. Tujuan, Sasaran, dan Ruang Lingkup Kebijakan ...... 113
5. Kebijakan PLH .......................................................... 114
6. Strategi Pelaksanaan .................................................. 117
BAB XII. PKLH: Untuk Sebuah Keberlanjutan Hidup Ber-
sama ...................................................................... 120
1. Pembantaian Sistematis ............................................. 121
2. Pendidikan sebagai Unsur Penting Pembangunan
Berkelanjutan ............................................................. 124
F. Pengintegrasian Aspek Ke-PKLH-an dalam Konteks
Pembelajaran ....................................................................... 129
BAB XIII. Mengintegrasikan PKLH ke Dalam Mata Pel-
ajaran .................................................................... 129
1. Penekanan PKLH di Sekolah .................................... 132
2. Kebijakan PKLH di Sekolah ..................................... 133
3. Strategi Pelaksanaan .................................................. 135
BAB XIV. Integrasi PKLH pada Mata Pelajaran IPS ........... 136
1. Program PKLH .......................................................... 137
2. Pendidikan IPS ........................................................... 141

vii
3. Integrasi PKLH dalam Pengembangan Bahan Ajar
IPS ............................................................................. 143
SINGKATAN DAN AKRONIM .............................................. 147
SENARAI .................................................................................... 151
INDEKS ...................................................................................... 163
DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 173

viii
DAFTAR GAMBAR

Gambar halaman
1. Proses komunikasi dengan media .................................. 25
2. Hubungan evaluasi, penilaian, pengukuran, dan tes ......... 80
3. Rantai evaluasi umpan balik pembelajaran PKLH ............ 82
4. Rantai evaluasi umpan-balik sederhana ............................. 82

ix
x
A. Alasan Peng-
integrasian
PKLH

KLH bertujuan meningkatkan kesadaran dan perlibatan ma-


syarakat secara aktif dalam masalah-masalah kependudukan
dan lingkungan, atau dalam pembelajaran para peserta didik
memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap, motivasi, dan rasa ke-
terpanggilan untuk bekerja secara individual dan kolektif menuju ke
pemecahan dan pencegahan timbulnya masalah kependudukan dan
lingkungan.
Dalam tujuan umum (visi) PKLH ini terkandung unsur tujuan lain
(misi) yang meliputi pembinaan unsur pengetahuan, kesadaran, sikap
keterampilan, kemampuan mengevaluasi, dan keikutsertaan (perilaku)
dari peserta didik dalam hubungannya dengan pelestarian dan pening-
katan kualitas lingkungan hidup.
Adapun tujuan khusus PKLH mencakup: (1) mengembangkan ke-
sadaran akan perlunya individu dapat memenuhi kebutuhan dari ling-
kungannya; (2) mengembangkan kesadaran akan lingkungan dan ma-
salahnya kini dan mendatang; (3) mendapatkan pengetahuan dan pe-
ngertian tentang hubungan ekologi manusia dengan lingkungan sosial
budaya dan biofisika; (4) memiliki kemampuan yang diperlukan untuk
penggunaan SDA secara bijaksana, melindungi dan mengembangkan
lingkungan menuju pemecahan masalahnya; (5) mengembangkan si-
kap, nilai, dan kepercayaan yang esensial untuk meningkatkan kualitas
dan konservasi lingkungan; dan (6) berpartisipasi aktif, baik secara in-

1
dividual maupun secara bersama dalam kegiatan yang berhubungan
dengan perbaikan lingkungan.
Berdasarkan tujuan di atas, maka suatu program PKLH tidak akan
cukup disiapkan untuk mengembangkan aspek kognitif dan afektif sa-
ja, melainkan juga aspek psikomotoriknya. Untuk menyiapkan penge-
tahuan yang didasari masalah lingkungan, tujuan dasar program PKLH
untuk mengubah sikap dalam hubungannya dengan situasi kegiatan
mengenai masalah lingkungan dan mengembangkan keterampilan un-
tuk memperkecil akibat buruk dari masalah lingkungan yang ada.
PKLH mempunyai misi dalam upaya pendewasaan seseorang,
yang dalam hal ini adalah peserta didik agar berperilaku yang rasional
dan bertanggung jawab tentang masalah kependudukan dan lingkung-
an hidup.

1. Tujuan dan Manfaat PKLH sebagai Program Pendidikan


PKLH adalah suatu program kependidikan untuk membina peserta
didik agar memiliki pengertian, kesadaran, sikap, dan perilaku yang ra-
sional dan bertanggung jawab tentang pengaruh timbal-balik antara
penduduk dengan lingkungan hidup dalam berbagai aspek kehidupan
manusia.
Untuk lebih memahami konsep PKLH, maka perlu dimengerti hal-
hal berikut ini.
a. Lingkungan hidup
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan segala makhluk
hidup, benda, dan daya serta manusia dengan segala perilakunya, yang
saling berhubungan secara timbal-balik, di mana perubahan salah satu
komponennya akan mempengaruhi komponen yang lain.
b. Manusia
Manusia adalah makhluk yang relatif paling sempurna memiliki
daya pikir, kreativitas, motivasi, intuisi, sikap, dan hati nurani yang
mendorong untuk berbuat dan berperilaku melebihi makhluk hidup la-
in. Agar keberadaan manusia dan perilakunya sebagai komponen tidak
mengganggu keseimbangan lingkungan hidup, maka seluruh potensi

2
psikologis yang mendasari perilakunya harus dibina melalui program
pendidikan. Kemampuan dan keterampilan yang memungkinkan sese-
orang dapat mengendalikan secara rasional dan bertanggung jawab ter-
hadap keberadaan dan pertumbuhan dirinya sebagai penduduk bumi,
serta tetap menjaga kelestarian daya dukung lingkungan, dan sedapat
mungkin untuk meningkatkannya.
c. Ilmu kependudukan
1)
Ilmu kependudukan , adalah studi tentang jumlah, pertumbuhan,
persebaran, komposisi kependudukan, serta bagaimana keempat faktor
tersebut berubah dari waktu ke waktu. Dalam prakteknya ilmu kepen-
dudukan selalu berhubungan dengan ilmu-ilmu yang lain serta sulit di-
bedakan dengan studi kependudukan. Studi kependudukan mempel-
ajari secara sistematis perkembangan, fenomena-fenomena, dan masa-
lah-masalah penduduk dalam kaitannya dengan situasi sosial di seki-
tarnya.
d. Jalur pendidikan
Jalur pendidikan dipertimbangkan sebagai jalur strategis yang
memberikan harapan untuk menunjang upaya memecahkan masalah
jangka panjang. Program pembinaan dan pengendalian KLH perlu di-
laksanakan secara terencana, sistematis, terarah, dan berkesinambung-
an. Program pendidikan selalu berkembang dan maju dengan berbagai
inovasi, agar sesuai dengan aspirasi masyarakat. Dunia pendidikan
berfungsi sebagai tempat mewariskan norma dan nilai budaya seka-
ligus sebagai wadah untuk memperkenalkan dan membina norma-nor-
ma baru yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan pembangunan dan
perkembangan kebudayaan nasional. Pada akhirnya nanti kesadaran
dan perilaku yang berwawasan KLH dapat terwujud.
Dari uraian di atas semakin jelas, bahwa program PKLH dirasa
dan mutlak diperlukan sebagai salah satu alternatif guna menjawab
tantangan masalah KLH yang berkembang saat ini dan yang akan da-
tang.

1)
demografi. Mengenai ini, bisa diperdalam dengan melihat telaah Mantra (2000)
3
Evolusi PLH dari dahulu sampai sekarang, tetap mengandung pe-
san yang tidak berubah, yakni peningkatan kesadaran, pengetahuan, si-
kap, keterampilan, dan partisipasi masyarakat tentang bagaimana men-
jadi warga negara yang berwa-
… program PKLH dirasa dan wasan lingkungan. Salah satu
mutlak diperlukan sebagai sa- rekomendasi yang dihasilkan,
lah satu alternatif guna men- adalah “PLH hendaknya dibe-
jawab tantangan masalah KLH rikan kepada seluruh lapisan
yang berkembang saat ini dan
masyarakat secara formal me-
yang akan datang
lalui sekolah-sekolah/lembaga-
lembaga kependidikan dan secara non-formal, seperti melalui ber-
bagai pertemuan atau berbagai kelembagaan organisasi.” Oleh karena
itu, metodologi pendidikan lingkungan yang merupakan integral dari
pelaksanaan PLH secara formal harus dimiliki oleh semua lapisan ma-
syarakat, baik lapisan atas maupun lapisan bawah. Dalam hal terutama
para pembina pendidikan harus mengetahui dan memahami konsep
pembangunan berwawasan lingkungan, adalah bagaimana setiap ne-
gara dapat terus membangun untuk memenuhi kebutuhan dasar manu-
sia dengan cepat, seimbang dengan pertumbuhan penduduk yang juga
bertambah dengan cepat.
Secara lebih jelas batasan pendidikan lingkungan sebagai suatu
proses yang bertujuan untuk mengembangkan suatu penduduk dunia
yang sadar dan peduli terhadap berbagai persoalan lingkungan dan me-
miliki pengetahuan, sikap, motivasi, komitmen, serta keterampilan un-
tuk bekerja sama secara individual atau kolektif dalam rangka meme-
cahkan masalah-masalah lingkungan dan mampu memecahkan timbul-
nya masalah baru. Tidak terlepas dari penduduk dunia, penduduk Indo-
nesia pun dapat mencapai tujuan tersebut, ini jelas merupakan tugas
berat bagi para pembina, bagi para pendidik khususnya di sekolah-se-
kolah formal, sehingga diperlukan strategi yang tepat.
Keberhasilan pelaksanaan PKLH ditentukan oleh kejelasan tujuan
atau sasaran yang hendak dituju. Secara umum dan operasional tujuan
PKLH adalah membina dan mengembangkan peserta didik agar me-
miliki sikap dan tingkah laku kependudukan serta dapat mengelola
lingkungan hidup secara rasional dan bertanggung jawab dalam rangka

4
memelihara keseimbangan sistem lingkungan dan penggunaan SDA
secara bijaksana demi tercapainya peningkatan kesejahteraan hidup,
baik secara spiritual maupun materil.
Tujuan umum di atas dapat dikelompokkan menjadi dua aspek be-
sar yang ingin dicapai, yakni: (1) agar peserta didik mau bersikap dan
bertingkah laku reproduksi yang rasional dan bertanggung jawab me-
lalui pembentukan keluarga kecil dalam lingkungan hidup yang dike-
lola secara serasi dengan kepentingan individu dan keluarganya sendi-
ri; dan (2) agar peserta didik bersikap dan bertingkah laku rasional dan
bertanggung jawab terhadap pemecahan masalah kependudukan dan
pengelolaan lingkungan hidup dilihat dari kepentingan masyarakat
umum, bangsa, dan dunia secara keseluruhan.
Secara lebih terinci tujuan PKLH sebagai program pendidikan for-
mal dan non-formal adalah untuk mengembangkan peserta didik sesuai
dengan tingkatan perkembangan, kebutuhan, minat, dan kemampuan
dalam hal: (1) pengetahuan dan pengertian tentang PKLH serta berba-
gai kaitannya dengan manusia dan perkembangannya; (2) kesadaran
dan tanggap terhadap perubahan lingkungan dalam kaitannya dengan
perubahan penduduk dan lingkungan hidup; (3) perilaku dan etika pri-
badi yang menjamin hubungan yang serasi antara penduduk dan ling-
kungan; (4) keterampilan dalam melihat, mengenal, dan menanggapi
berbagai masalah penduduk dan lingkungannya; (5) rasa bertanggung
jawab dan keinginan untuk berperan serta dalam memecahkan masa-
lah-masalah KLH; (6) mengevaluasi kualitas lingkungan dalam kaitan-
nya dengan kebutuhan hidup manusia; (7) memilih alternatif dalam pe-
ngelolaan lingkungan bagi kesejahteraan penduduk tanpa merusak ke-
serasian proses regenerasi; dan (8) dasar pengetahuan bagi pengem-
bangan kemampuan profesional dalam pendayagunaan, pelestarian dan
peningkatan daya dukung sumberdaya yang ada.
PKLH memasukkan aspek afektif, yaitu tingkah laku, nilai, dan
komitmen yang diperlukan untuk membangun masyarakat yang ber-
kelanjutan (sustainable). Pencapaian tujuan afektif ini biasanya sukar di-
lakukan. Oleh karena itu, dalam pembelajaran, pendidik perlu mema-
sukkan metode-metode yang memungkinkan berlangsungnya klarifi-
kasi dan internalisasi nilai-nilai. Dalam PKLH perlu dimunculkan atau

5
dijelaskan bahwa dalam kehidupan nyata memang selalu terdapat per-
bedaan nilai-nilai yang dianut oleh individu.
Perbedaan nilai tersebut dapat mempersulit untuk derive the fact,
serta dapat menimbulkan kontroversi/pertentangan pendapat. Oleh ka-
rena itu, PKLH perlu memberikan kesempatan kepada peserta didik
untuk membangun keterampilan yang dapat meningkatkan “kemampu-
an memecahkan masalah.”
Adapun keterampilan yang diperlukan untuk memecahkan masa-
lah, sebagai berikut: (1) berkomunikasi: mendengarkan, berbicara di
depan umum, menulis secara persuasif, desain grafis; (2) investigasi
(investigation): merancang survei, studi pustaka, melakukan wawancara,
menganalisis data; (3) keterampilan bekerja dalam kelompok (group
process): kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan kerja sama.
PKLH dapat mempermudah pencapaian keterampilan tingkat ting-
gi (higher order skill), seperti: (a) berpikir kritis; (b) berpikir kreatif; (c)
berpikir integratif; dan (d) memecahkan masalah.
Persoalan lingkungan hidup merupakan persoalan yang bersifat
sistemis, kompleks, serta memiliki cakupan yang luas. Oleh sebab itu,
materi atau isu yang diangkat dalam penyelenggaraan kegiatan PLH
juga sangat beragam. Sesuai dengan kesepakatan nasional tentang Pem-
bangunan Berkelanjutan2), telah ditetapkan tiga pilar pembangunan ber-
kelanjutan, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Ketiga pilar tersebut merupakan satu kesatuan yang bersifat saling
ketergantungan dan saling memperkuat. Adapun inti dari masing-ma-
sing pilar seperti berikut.
a. Pilar ekonomi
Menekankan pada perubahan sistem ekonomi agar semakin ramah
terhadap lingkungan hidup sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan. Isu atau materi yang berkaitan, adalah: pola konsumsi
dan produksi, teknologi bersih, pendanaan/pembiayaan, kemitraan usa-
ha, pertanian, kehutanan, perikanan, pertambangan, industri, dan per-
dagangan.

2)
yang ditetapkan dalam ISSD di Yogyakarta pada tanggal 21 Januari 2004
6
b. Pilar sosial
Menekankan pada upaya-upaya pemberdayaan masyarakat dalam
upaya pelestarian lingkungan hidup. Isu atau materi yang berkaitan,
adalah: kemiskinan, kesehatan, pendidikan, kearifan/budaya lokal, ma-
syarakat pedesaan, masyarakat perkotaan, masyarakat terasing/terpen-
cil, kepemerintahan/kelembagaan yang baik, dan hukum dan peng-
awasan.
c. Pilar lingkungan
Menekankan pada pengelolaan SDA dan lingkungan yang berke-
lanjutan. Isu atau materi yang berkaitan adalah: pengelolaan sumber-
daya air, pengelolaan sumberdaya lahan, pengelolaan sumberdaya uda-
ra, pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir, energi dan sumberdaya
mineral, konservasi satwa/tumbuhan langka, keanekaragaman hayati,
dan penataan ruang.
Kesadaran subjektif dan kemampuan objektif adalah suatu fungsi
dialektis yang ajek (constant) dalam diri manusia dalam hubungannya
dengan kenyataan yang saling bertentangan yang harus dipahaminya.
Memandang kedua fungsi ini tanpa dialektika semacam itu, bisa men-
jebak kita ke dalam kerancuan berpikir. Objektivitas pada pengertian si
penindas bisa saja berarti subjektivitas pada pengertian si tertindas, dan
sebaliknya. Jadi hubungan dialektika tersebut tidak berarti persoalan
mana yang lebih benar atau salah. Oleh karena itu, pendidikan harus
melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektisnya yang
ajek, yakni: pendidik, peserta didik, dan realitas dunia. Yang pertama
dan kedua adalah subjek yang sadar (cognitive), sementara yang ketiga
adalah objek yang tersadari atau disadari (cognizable). Hubungan di-
alektis semacam inilah yang tidak terdapat pada sistem pendidikan ma-
pan selama ini.
Dengan kata lain, langkah awal yang paling menentukan dalam
upaya pendidikan yakni suatu proses yang terus-menerus, yang selalu
“mulai dan mulai lagi,” maka proses penyadaran akan selalu ada dan
merupakan proses yang sehati (inheren) dalam keseluruhan proses pen-
didikan itu sendiri. Maka, proses penyadaran merupakan proses inti
atau hakikat dari proses pendidikan itu sendiri. Dunia kesadaran sese-

7
orang memang tidak boleh berhenti, mandeg, ia senantiasa harus terus
berproses, berkembang dan meluas, dari satu tahap ke tahap berikut-
nya, dari tingkat “kesadaran naif” sampai ke tingkat “kesadaran kritis,”
sampai akhirnya mencapai tingkat kesadaran tertinggi dan terdalam,
yakni “kesadarannya kesadaran” (the consice of the consciousness).
Joseph Cornell, seorang pendidik alam (nature educator) yang terke-
nal dengan permainan di alam yang dikembangkannya sangat mema-
hami psikologi ini. Sekitar tahun 1979 ia mengembangkan konsep bel-
ajar beralur (flow learning). Berbagai kegiatan atau permainan disusun
sedemikian rupa untuk menyinkronkan proses belajar di dalam pikiran,
rasa, dan gerak. Ia merancang sedemikian rupa agar kondisi emosi
anak dalam keadaan sebaik-baiknya pada saat menerima hal-hal yang
penting dalam belajar.
Aspek-aspek yang perlu diperhatikan, adalah: (1) aspek afektif, pe-
rasaan nyaman, senang, bersemangat, kagum, puas, dan bangga; (2) as-
pek kognitif, proses pemahanan, dan menjaga keseimbangan aspek-
aspek yang lain; (3) aspek sosial, perasaan diterima dalam kelompok;
(4) aspek sensoris dan motorik, bergerak dan merasakan melalui indra,
melibatkan peserta didik sebanyak mungkin; dan (5) aspek lingkungan:
suasana ruang atau lingkungan.

2. Pendekatan PKLH
Perlindungan terhadap SDA merupakan pertanyaan dasar atas eksis-
tensi setiap orang dan seluruh umat manusia. Oleh karena itu, sekolah
mempunyai kewajiban untuk membangkitkan kepekaan dan kesadaran
akan lingkungan pada kaum remaja, membuka wawasan dan mendidik
mereka untuk berinteraksi dan bersikap dengan penuh tanggung jawab.
Berdasarkan SK Mendikbud Nomor 008C/U/1975 menetapkan, bahwa
PKLH mulai diterapkan di SD. Dalam SK tersebut dinyatakan, bahwa
PKLH diajarkan tidak dalam bentuk mata pelajaran tersendiri, tetapi
dalam bentuk kesatuan dengan mata pelajaran dan bidang studi terten-
tu melalui pendekatan integratif (terpadu).
Pembelajaran PKLH khususnya melalui jalur pendidikan formal
dapat ditempuh melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan monolitik
dan pendekatan integratif.
8
a. Pendekatan monolitik
Pendekatan ini bertitik tolak dari pandangan, bahwa setiap pelajar-
an merupakan sebuah komponen yang berdiri sendiri dan mempunyai
tujuan tertentu dalam satu kesatuan sistem. Bila pendekatan mo-
Pendekatan monolitik dalam PKLH berarti nolitik diterapkan di
PKLH merupakan satu mata pelajaran yang sekolah formal, ma-
berdiri sendiri sejajar dengan mata pelajaran ka berbagai kendala
lain, diajarkan oleh pendidik tertentu serta akan segera muncul
memiliki jumlah jam pelajaran tersendiri se- bersamaan dengan
tiap minggunya yang telah ditentukan pula. diterapkannya pen-
Bila pendekatan monolitik diterapkan di dekatan tersebut.
sekolah formal, maka berbagai kendala akan Kendala ini terutama
menyangkut masa-
segera muncul bersamaan dengan diterap- lah kurikulum seko-
kannya pendekatan tersebut. Kendala ini ter- lah yang sampai saat
utama menyangkut masalah kurikulum seko- ini sudah terlalu sa-
lah yang sampai saat ini sudah terlalu sarat rat serta pelaksana-
serta pelaksanaannya telah menyita waktu annya telah menyita
pelajaran yang cukup banyak. Kendala lain waktu pelajaran
menyangkut masalah penyediaan pendidik, yang cukup banyak.
khususnya yang telah memiliki kompetensi Kendala lain me-
dalam bidang ini. Mengingat keterbatasan nyangkut masalah
dalam hal yang telah dikemukakan di depan, penyediaan pendi-
maka pendekatan monolitik dalam PKLH ti- dik, …
dak digunakan pada jenjang pendidikan tertentu.
b. Pendekatan integratif (terpadu)
Yang dimaksud dengan pendekatan integratif (terpadu) dalam
PKLH adalah memadukan atau menyatukan materi PKLH ke dalam
mata pelajaran tertentu. Pendekatan ini muncul bertolak dari kenyataan
sebagaimana telah dikemukakan di depan, bahwa bahan kurikulum se-
kolah yang ada sudah terlalu sarat, sehingga tidak memungkinkan lagi
untuk menambah mata pelajaran baru.
Kita semua mungkin dapat memahami, bahwa dengan masuknya
unsur-unsur baru dalam kurikulum sekolah sesungguhnya semakin
terasa kegunaannya bagi para peserta didik. Untuk mengatasi masalah

9
ini, maka ditempuh pendekatan integratif dengan pertimbangan bahwa
unsur baru tersebut dapat dimasukkan tanpa harus menambah jumlah
mata pelajaran.
Teknik pengintegrasian materi PKLH sepenuhnya diserahkan ke-
pada pendidik mata pelajaran terkait. Perlu diketahui, bahwa tidak se-
mua pokok bahasan/konsep/nilai yang di-
pelajari dalam mata pelajaran terkait
dapat menyerap materi PKLH. Peng- Teknik peng-
integrasian yang dipaksakan tentu integrasian materi
akan menimbulkan masalah baru, PKLH sepenuhnya
di samping hasil yang diperoleh ti-
dak sesuai dengan yang diharap- diserahkan kepada
kan. Hanya pokok bahasan/konsep/ pendidik mata
nilai yang memiliki hubungan yang pelajaran terkait
erat dengan PKLH. Hal ini perlu kita
pahami mengingat pengintegrasian yang di-
harapkan dalam PKLH adalah integrasi konseptual yang dirancang dan
dilaksanakan secara sistematis berdasarkan kurikulum.
Integrasi konseptual dapat terwujud apabila materi pokok bahasan
PKLH dan mata pelajaran terkait benar-benar menyatu, saling mengisi
Integrasi konseptual dan menunjang, serta memperkaya penge-
dapat terwujud apa- tahuan dan pemahaman peserta didik. Pe-
bila materi pokok rumusan program yang baik belum menja-
bahasan PKLH dan min keberhasilan pembelajaran. Masih ada
mata pelajaran ter- faktor lain yang turut menentukan, yaitu
kait benar-benar me- tingkat keterlaksanaan PBM serta aspek
nyatu, saling mengisi penilaian. Untuk itu, seorang pendidik di-
dan menunjang, serta tuntut menguasai dengan baik strategi bel-
memperkaya penge- ajar-mengajar, sehingga menunjang ting-
tahuan dan pema- kat keterlaksanaan program belajar-meng-
haman peserta didik ajar tersebut. Pada akhirnya pengintegrasi-
an itupun harus tercermin pula dalam penilaian.
Pendekatan ini dilaksanakan bertolak dari kenyataan, bahwa materi
kurikulum sudah terlalu banyak. Dalam pendekatan ini, materi PKLH

10
dipadukan ke dalam mata pelajaran yang dianggap relevan dalam kuri-
kulum yang berlaku.
Dalam sekolah diharapkan sebanyak mungkin tenaga pendidik
yang aktif dalam PKLH. Dengan banyaknya pendidik yang aktif akan
memudahkan jalinan kerja sama, baik di dalam sekolah maupun di an-
tara sekolah-sekolah dengan lembaga-lembaga terkait dan masyarakat.
Kerja sama dengan pihak luar dapat dilakukan dengan orang tua peser-
ta didik3), kemitraan dengan LSM, Kemendikbud, pemda, dan masya-
rakat umum.
PKLH tidak terbatas pada kegiatan belajar-mengajar saja, melain-
kan menyangkut seluruh kehidupan sekolah. Berbagai aspek kegiatan
sekolah selalu diwarnai PKLH. Misalnya pada saat perayaan Hari Bu-
mi (22 April) dan Hari Lingkungan Hidup (5 Juni) dengan penanaman
pohon; membahas masalah lingkungan yang sedang terjadi, seperti
banjir, kebakaran hutan, pencemaran, dan lain-lain; studi lapangan de-
ngan mengamati langsung objek lingkungan; penataan ruang kelas dan
lingkungan sekolah; gerakan kebersihan; dan efisiensi dalam pemakai-
an SDA.

3)
agar hal-hal yang sudah diajarkan di sekolah dapat pula dibina di rumah
11
12
B. Perencanaan
Pembelajar-
an PKLH

Konsep Perencanaan
Pembelajaran
ERENCANAAN pembelajaran terdiri atas dua kata, yakni peren-
canaan yang berarti menentukan apa yang akan dilakukan;
dan pembelajaran yang berarti proses yang diatur dengan
langkah-langkah tertentu, agar pelaksanaannya mencapai hasil
yang diharapkan. Untuk memahami konsep [dasar] perencanaan pem-
belajaran ini, haruslah dilihat terminologi tersebut.

1. Konsep Perencanaan
Perencanaan berasal dari kata rencana, yaitu pengambilan keputusan
tentang apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan. Dengan de-
mikian, proses suatu perencanaan, menurut Sanjaya (2012: 23-24), ha-
rus dimulai dari penetapan tujuan yang akan dicapai melalui analisis
kebutuhan serta dokumen yang lengkap, kemudian menetapkan lang-
kah-langkah yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Ke-
tika merencanakan, maka pola pikir diarahkan bagaimana agar tujuan
itu dapat dicapai secara efektif dan efisien.
Karena itu, menurut Dahlan (2012: 1), perencanaan selalu mempu-
nyai arah yang hendak dicapai, yaitu tujuan yang harus dirumuskan da-
lam bentuk sasaran yang jelas dan terukur. Strategi untuk mencapai
13
tujuan berkaitan dengan penetapan keputusan yang harus dilakukan
oleh seorang perencana. Penetapan sumberdaya yang dapat mendu-
kung diperlukan untuk mencapai tujuan meliputi penetapan sarana dan
prasarana yang diperlukan, anggaran biaya, dan sumberdaya lainnya
untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan.
Tujuan yang hendak dicapai itu, bagi Cunningham (1982: 4), ha-
ruslah divisualisasikan dan diformulasikan pada urutan kegiatan yang
diperlukan, dan perilaku dalam batas-batas yang bisa diterima yang
berguna dalam proses penyelesaiannya. Itu artinya, perencanaan tidak
berhenti sampai di situ. Tapi suatu proses yang tidak berakhir ketika
rencana tersebut telah ditetapkan, rencana harus dilaksanakan. Setiap
saat selama proses implementasi dan pengawasan, rencana mungkin
memerlukan modifikasi agar tetap berguna. Oleh karena itu, Subagio
(2011: 1-2) mengharuskan agar dalam pe-
Perencanaan adalah rencanaan mempertimbangkan kebutuhan
proses di mana pen- untuk fleksibilitas, untuk dapat beradap-
didik menentukan tasi dengan situasi baru dan kondisi sece-
tujuan dan bagai- pat mungkin. Perencanaan adalah proses
mana mencapainya di mana pendidik menentukan tujuan dan
bagaimana mencapainya. Setelah itu, lan-
jut Akrani (2010: 2), pendidik mengambil langkah-
langkah yang cocok untuk pelaksanaan rencana tersebut. Fungsi peren-
canaan dilakukan oleh pendidik pada semua tingkatan. Ini adalah me-
mutuskan tujuan yang ingin dicapai dan mengambil yang sesuai lang-
kah-langkah tindak lanjut untuk mencapai hal yang sama.
Dan salah satu aspek yang juga penting dalam perencanaan dalam
pencapaian tujuan itu, adalah pembuatan keputusan (pengambilan ke-
putusan), proses pengembangan dan pemilihan sejumlah kegiatan un-
tuk memecahkan masalah tertentu. Untuk itu, Subagio (2011: 1-2) ke-
mudian merumuskan empat tahap dalam perencanaan, yakni: (1) me-
netapkan tujuan atau serangkaian tujuan; (2) merumuskan tujuan hari
ini; (3) mengidentifikasi semua peluang dan hambatan; dan (4) me-
ngembangkan rencana atau serangkaian kegiatan untuk memecahkan
masalah tertentu. Hampir senada, Sanjaya (2012: 24; bandingkan
Fatchurodji, 2012: 1-2) menegaskan atas empat unsur yang harus di-

14
miliki setiap perencanaan pembelajaran, yakni: (1) adanya tujuan yang
harus dicapai; (2) adanya strategi untuk mencapai tujuan; (3) sumber-
daya yang dapat mendukung; dan (4) implementasi setiap keputusan.
Sanjaya (2012: 24-25) kemudian menguraikan keempat unsur di-
maksud di atas. Pertama, tujuan merupakan arah yang harus dicapai.
Agar perencanaan dapat disusun dan ditentukan dengan baik, maka tu-
juan itu perlu dirumuskan dalam bentuk sasaran yang jelas dan ter-
struktur. Dengan adanya sasaran yang jelas, maka ada target yang ha-
rus dicapai. Target itulah yang selanjutnya menjadi fokus dalam me-
nentukan langkah-langkah selanjutnya. Kedua, strategi dengan pene-
tapan keputusan yang harus dilakukan oleh seorang perencana, misal-
nya keputusan tentang waktu pelaksanaan dan jumlah waktu yang di-
perlukan untuk mencapai tujuan, pembagian tugas dan wewenang se-
tiap orang yang terlibat, langkah-langkah yang harus dikerjakan oleh
setiap orang yang terlibat, penetapan kriteria keberhasilan, dan lain se-
bagainya. Ketiga, penetapan sumberdaya yang diperlukan untuk men-
capai tujuan, meliputi penetapan sarana dan prasana yang diperlukan,
anggaran biaya dan sumberdaya lainnya, misalnya pemanfaatan waktu
yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Ke-
empat, implementasi sebagai pelaksanaan dari strategi dan penetapan
sumberdaya. Implementasi merupakan unsur penting dalam proses pe-
rencanaan. Untuk menilai efektivitasnya, dapat dilihat dari perencana-
annya. Apalah artinya sebuah keputusan yang diambil, tanpa diimple-
mentasikan dalam kegiatan nyata.
Dari unsur-unsur perencanaan yang dikemukakan Sanjaya (2012:
25-26) ini, maka suatu perencanaan bukan harapan yang ada dalam
angan-angan yang bersifat khayalan dan tersimpan dalam benak sese-
orang, akan tetapi harapan dan angan-angan serta bagaimana langkah-
langkah yang harus dilaksanakan untuk mencapainya dideskripsikan
secara jelas dalam suatu dokumen tertulis, sehingga dokumen itu dapat
dijadikan pedoman untuk setiap orang yang memerlukannya.
Perencanaan merupakan hasil proses berpikir yang mendalam; ha-
sil dari proses pengkajian dan mungkin penyeleksian dari berbagai alt-
ernatif yang dianggap lebih memiliki nilai efektivitas dan efisiensi. Pe-
rencanaan, adalah awal dari semua proses suatu pelaksanaan kegiatan

15
yang bersifat rasional. Dengan demikian, seorang perencana harus da-
pat menvisualisasikan arah dan tujuan yang harus dicapai serta bagai-
mana cara untuk mencapai tujuan tersebut melalui pemanfaatan berba-
gai potensi yang ada agar proses pencapaian tujuan itu efektif dan efi-
sien.

2. Konsep Pembelajaran
Sanjaya (2012: 26-27) mengartikan pembelajaran sebagai proses kerja
sama antara pendidik dan peserta didik dalam memanfaatkan segala
potensi dan sumberdaya yang ada, baik potensi yang bersumber dari
dalam diri peserta didik itu sendiri, seperti minat, bakat, dan kemam-
puan dasar yang dimiliki, termasuk gaya belajar, maupun potensi yang
ada di luar diri peserta didik, seperti lingkungan, sarana, dan sumber
belajar sebagai upaya untuk mencapai tujuan belajar tertentu. Sebagai
suatu proses kerja sama, pembelajaran tidak hanya menitikberatkan pa-
da kegiatan pendidik atau peserta didik saja, akan tetapi tujuan pem-
belajaran yang telah ditentukan. Dengan demikian, kesadaran dan ke-
terpahaman pendidik dan peserta didik akan tujuan yang dicapai dalam
proses pembelajaran merupakan syarat mutlak yang tidak bisa ditawar,
sehingga dalam prosesnya, pendidik dan peserta didik mengarah pada
tujuan yang sama.
Sering terjadi, dalam suatu peristiwa mengajar dan belajar, antara
pendidik dan peserta didik tidak berhubungan. Pendidik asyik menje-
laskan materi pelajaran di depan kelas; sementara itu di bangku peserta
didik juga asyik dengan kegiatannya sendiri4). Peserta didik tidak pe-
duli apa yang dikatakan pendidik; dan pendidik juga tidak ambil pu-
sing dengan apa yang dikerjakan peserta didik. Bagi pendidik yang de-
mikian, yang penting adalah materi pelajaran sudah tersampaikan, ti-
dak peduli materi itu dipahami atau tidak. Dalam peristiwa semacam
ini, tidak terjadi proses pembelajaran, karena dua komponen penting
dalam sistem pembelajaran tidak terjadi kerja sama. Dalam suatu peris-
tiwa mengajar dan belajar dikatakan terjadi pembelajaran, manakala
pendidik dan peserta didik secara sadar bersama-sama mengarah pada

4)
misalnya melamun, mengobrol, atau bahkan mengantuk
16
tujuan yang sama. Oleh karena itu, baik pendidik maupun peserta didik
dalam suatu proses pembelajaran selamanya memanfaatkan segala po-
tensi yang dimiliki untuk keberhasilan
belajar. Dalam suatu peristiwa
mengajar dan belajar
Jadi, pembelajaran yang adalah
dikatakan terjadi pem-
terjemahan dari “instruction,” diakui belajaran, manakala
Sanjaya (2012: 27) banyak dipakai pendidik dan peserta
dalam dunia pendidikan di Amerika didik secara sadar ber-
Serikat. Istilah ini banyak dipengaruhi sama-sama mengarah
oleh aliran psikologi kognitif holistis, pada tujuan yang sama
yang menempatkan peserta didik se-
bagai sumber dari kegiatan. Istilah atau konsep pembelajaran, dimak-
nai Miarso (2005: 144) sebagai aktivitas atau kegiatan yang berfokus
pada kondisi dan kepentingan pembelajar (learner centered). Istilah ini
digunakan untuk menggantikan istilah „pengajaran‟ yang lebih bersifat
sebagai aktivitas yang berfokus pada pendidik (teacher centered). Hal ini
disetujui Muhaimin (2001: 183), di mana kata pembelajaran lebih tepat
digunakan karena menggambarkan upaya untuk membangkitkan pra-
karsa belajar seseorang. Di samping itu, kata pembelajaran memiliki
makna yang lebih dalam untuk mengungkapkan hakikat desain pem-
belajaran. Selain itu, lanjut Sanjaya (2012: 27), istilah ini juga dipe-
ngaruhi oleh perkembangan teknologi yang diasumsikan dapat mem-
permudah peserta didik mempelajari segala sesuatu lewat berbagai ma-
cam media, seperti bahan-bahan cetak, program TV, gambar, audio,
dan lain sebagainya, sehingga semua itu mendorong terjadinya per-
ubahan peranan pendidik dalam mengelola PBM, dari pendidik se-
bagai sumber belajar menjadi pendidik sebagai fasilitator dalam PBM.
Perubahan yang demikian itulah, yang oleh Gagne dan Briggs (2005:
1) menyebabkan pembelajaran menjadi seperangkat peristiwa tertanam
dalam kegiatan tujuan yang memfasilitasi pembelajaran. Atau oleh
Pribadi (2011: 9) menjadi serangkaian aktivitas yang sengaja dicipta-
kan dengan maksud untuk memudahkan terjadinya proses belajar. Hal
ini diperkuat oleh Smith dan Ragan (2003: 12), di mana telah tersam-
paikan informasi dan kegiatan yang diciptakan untuk menfasilitasi
pencapaian tujuan yang spesifik.

17
Jadi, istilah pembelajaran lanjut Pribadi (2011: 10), telah diguna-
kan secara luas bahkan telah dikuatkan dalam perundangundangan,
yaitu UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ter-
utama pada Pasal 1 Ayat 20, tertulis: “Pembelajaran adalah proses in-
teraksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar.”

3. Perencanaan Pembelajaran sebagai Suatu Konsep


Pembelajaran yang akan direncanakan, bagi Uno (2011: 3), memerlu-
kan berbagai teori untuk merancangnya agar rencana pembelajaran
yang disusun benar-benar dapat memenuhi harapan dan tujuan pembel-
ajaran. Dari kondisi demikian, Sanjaya (2012: 28-29) memandang pe-
rencanaan pembelajaran adalah proses pengambilan keputusan hasil
berpikir secara rasional tentang sasaran dan tujuan pembelajaran ter-
tentu, yakni perubahan perilaku serta serangkaian kegiatan yang harus
dilaksanakan sebagai upaya pencapaian tujuan tersebut dengan me-
manfaatkan segala potensi dan sumber belajar yang ada.
Hasil akhir dari proses pengambilan keputusan tersebut, adalah ter-
susunnya dokumen yang berisi tentang hal-hal di atas, sehingga doku-
men tersebut selanjutnya dapat dijadikan acuan dan pedoman dalam
melaksanakan pembelajaran.
Dari konsep tersebut, Sanjaya (2012: 29) lantas menguraikan tiga
karakteristik daripada perencanaan pembelajaran, yakni: (1) perenca-
naan pembelajaran merupakan hasil dari proses berpikir, artinya suatu
perencanaan pembelajaran disusun tidak asal-asalan, akan tetapi disu-
sun dengan mempertimbangkan segala aspek yang mungkin dapat ber-
pengaruh, di samping disusun dengan mempertimbangkan segala sum-
berdaya yang tersedia yang dapat mendukung terhadap keberhasilan
proses pembelajaran; (2) perencanaan pembelajaran disusun untuk
mengubah perilaku peserta didik sesuai dengan tujuan yang ingin dica-
pai. Ini berarti fokus utama dalam perencanaan pembelajaran adalah
ketercapaian tujuan; dan (3) perencanaan pembelajaran berisi tentang
rangkaian kegiatan yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan.
Oleh karena itulah, perencanaan pembelajaran dapat berfungsi sebagai
pedoman dalam mendesain pembelajaran sesuai dengan kebutuhan.
18
Sementara itu, Ahmad (2012: 33) mengartikan perencanaan pem-
belajaran, yakni: (1) penerapan prinsip umum mengajar di dalam pe-
laksanaan tugas mengajar dalam suatu interaksi pembelajaran tertentu
yang khusus, baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas; (2)
pola rancangan kegiatan untuk membimbing keterlibatan peserta didik
dalam aktivitas belajar; (3) proses menyeleksi dan menghubungkan pe-
ngetahuan, fakta, dan asumsi, dengan tujuan memvisualisasikan dan
memformulasi hasil yang diinginkan dalam pembelajaran; (4) suatu
cara mengantisipasi dan menyeimbangkan perubahan; dan (5) proses
menetapkan tujuan pembelajaran, penyusunan bahan ajar dan sumber
belajar, pemilihan media pembelajaran, pemilihan pendekatan dan stra-
tegi pembelajaran, pengaturan lingkungan belajar, perancangan sistem
penilaian hasil belajar, serta perancangan prosedur pembelajaran.

Perencanaan Pembelajaran dalam


Praksis Pendidikan Persekolahan
HMAD (2012: 33) menyimpulkan perencanaan pembelajaran
sebagai suatu aktivitas dalam penetapan tujuan pembel-
ajaran, penyusunan bahan ajar dan sumber belajar, pemi-
lihan media pembelajaran, pemilihan pendekatan dan stra-
tegi pembelajaran, pengaturan lingkungan belajar, perancangan
sistem penilaian hasil belajar, serta perancangan prosedur pembelajar-
an dalam rangka membimbing peserta didik agar terjadi proses belajar,
yang kesemuanya didasarkan pada pemikiran mendalam mengenai
prinsip-prinsip pembelajaran yang tepat.
Dengan mengacu simpulan di atas, maka implementasinya dalam
praksis pendidikan/persekolahan seperti berikut.

1. Perencanaan Pembelajaran sebagai Suatu Aktivitas dalam


Penetapan Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran bagi Uno (2011: 34), merupakan salah satu as-
pek yang perlu dipertimbangkan dalam merencanakan pembelajaran.
19
Sebagai suatu aktivitas, maka segala kegiatan pembelajaran muaranya
pada tercapainya tujuan tersebut.
Penuangan tujuan pembelajaran bukan saja memperjelas arah yang
ingin dicapai dalam suatu kegiatan belajar, tetapi dari segi efisiensi, di-
peroleh hasil yang maksimal. Uno (2011: 34) selanjutnya menyebut-
kan delapan keuntungan yang dapat diperoleh melalui penuangan tu-
juan pembelajaran tersebut, yakni: (1) waktu mengajar dapat dialoka-
sikan dan dimanfaatkan secara tepat; (2) pokok bahasan dapat dibuat
seimbang, sehingga tidak ada materi pelajaran yang dibahas terlalu
mendalam atau terlalu sedikit; (3) pendidik dapat menetapkan berapa
banyak materi pelajaran yang dapat atau sebaiknya disajikan dalam se-
tiap jam pelajaran; (4) pendidik dapat menetapkan urutan dan rangkai-
an materi pelajaran secara tepat. Artinya, peletakan masing-masing
materi pelajaran akan memudahkan peserta didik dalam mempelajari
isi pelajaran; (5) pendidik dapat dengan mudah menetapkan dan mem-
persiapkan strategi belajar-mengajar yang paling cocok dan menarik;
(6) pendidik dapat dengan mudah mempersiapkan berbagai keperluan
peralatan maupun bahan dalam keperluan belajar; (7) pendidik dapat
dengan mudah mengukur keberhasilan peserta didik dalam belajar; dan
(8) pendidik dapat menjamin, bahwa hasil belajarnya akan lebih baik
dibandingkan dengan hasil belajar tanpa tujuan yang jelas.
Dengan demikian, tujuan pembelajaran biasanya diarahkan pada
salah satu kawasan dari taksonomi. Benyamin S. Bloom dan D.
Krathwohl (dalam Uno, 2011: 35, 37-38) memilah taksonomi pem-
belajaran dalam tiga kawasan, yakni: (1) kawasan kognitif, yang mem-
bahas tujuan pembelajaran berkenaan dengan proses mental yang ber-
awal dari tingkat pengetahuan sampai ke yang lebih tinggi, yaitu eva-
luasi; (2) kawasan afektif (sikap dan perilaku), adalah satu domain
yang berkaitan dengan sikap, nilai interes, apresiasi (penghargaan), dan
penyesuaian perasaan sosial. Tingkat afeksi ini, dari yang paling seder-
hana ke yang kompleks, yaitu: a) kemauan menerima; b) kemauan me-
nanggapi; c) berkeyakinan; d) penerapan karya; dan e) ketekunan dan
ketelitian; dan (3) kawasan psikomotor, yang domainnya mencakup tu-
juan yang berkaitan dengan keterampilan (skill) yang bersifat manual
atau motorik. Dari kedua domain lain, domain ini juga mempunyai

20
berbagai tingkatan, dari yang paling sederhana ke yang paling kom-
pleks, yakni: a) persepsi; b) kesiapan melakukan suatu kegiatan; c) me-
kanisme; d) respons terbimbing; e) kemahiran; f) adaptasi; dan g) ori-
ginasi.

2. Penyusunan Bahan Ajar dan Sumber Belajar


a. Bahan ajar
Bahan ajar, menurut Amri dan Ahmadi (2010: 159) serta Ismanita
(2010: 2), adalah seperangkat materi atau segala bentuk bahan yang
disusun secara sistematis, baik tertulis maupun tidak, yang digunakan
untuk membantu pendidik dalam melaksanakan kegiatan belajar-
mengajar di kelas, sehingga tercipta lingkungan/suasana yang me-
mungkinkan peserta didik untuk belajar. Bahan ajar atau materi pem-
belajaran (instructional materials) adalah pengetahuan, keterampilan, dan
sikap yang harus dipelajari peserta didik dalam rangka mencapai stan-
dar kompetensi yang telah ditentukan. Secara terperinci, jenis-jenis
materi pembelajaran terdiri atas pengetahuan (fakta, konsep, prinsip,
prosedur), keterampilan, dan sikap atau nilai.
Pemanfaatan bahan ajar ini, dimplementasikan langsung, baik ke-
pada pendidik maupun kepada peserta didik, yang selengkapnya di-
uraikan Ismanita (2010: 6-7). Implementasi penyampaian bahan ajar
bagi pendidik, mencakup: (1) strategi urutan penyampaian simultan,
yaitu jika pendidik harus menyampaikan materi pembelajaran lebih
daripada satu, maka menurut strategi urutan penyampaian simultan,
materi secara keseluruhan disajikan secara serentak, baru kemudian di-
perdalam satu demi satu (metode global); (2) strategi urutan penyam-
paian suksesif, jika pendidik harus menyampaikan materi pembelajar-
an lebih daripada satu, maka menurut strategi urutan penyampaian
suksesif, sebuah materi satu demi satu disajikan secara mendalam baru
kemudian secara berurutan menyajikan materi berikutnya secara men-
dalam pula; (3) strategi penyampaian fakta, jika pendidik harus me-
nyajikan materi pembelajaran termasuk jenis fakta (nama-nama benda,
nama tempat, peristiwa sejarah, nama orang, nama lambang atau sim-
bol, dan sebagainya); (4) strategi penyampaian konsep, materi pembel-
ajaran jenis konsep adalah materi berupa definisi atau pengertian. Tu-

21
juan mempelajari konsep adalah agar peserta didik paham, dapat me-
nunjukkan ciri-ciri, unsur, membedakan, membandingkan, menggene-
ralisasi, dan lain sebagainya. Langkah-langkah mengajarkan konsep:
pertama sajikan konsep, kedua berikan bantuan (berupa inti isi, ciri-ciri
pokok, contoh dan bukan contoh), ketiga berikan latihan (exercise) mi-
salnya berupa tugas untuk mencari contoh lain, keempat berikan um-
pan balik, dan kelima berikan tes; (5) strategi penyampaian materi
pembelajaran prinsip, termasuk materi pembelajaran jenis prinsip ada-
lah dalil, rumus, hukum (law), postulat, teorema, dan sebagainya; dan
(6) strategi penyampaian prosedur, tujuan mempelajari prosedur adalah
agar peserta didik dapat melakukan atau mempraktekkan prosedur ter-
sebut, bukan sekadar paham atau hafal. Termasuk materi pembelajaran
jenis prosedur adalah langkah-langkah mengerjakan suatu tugas secara
urut.
Sedangkan implementasi bahan ajar bagi peserta didik di dalam
mempelajari materi pembelajarannya, mencakup empat kelompok,
yakni: (1) menghafal (verbal parafrase). Ada dua jenis menghafal, yaitu
menghafal verbal (remember verbatim) dan menghafal parafrase (remember
paraphrase). Menghafal verbal adalah menghafal persis seperti apa
adanya. Terdapat materi pembelajaran yang memang harus dihafal per-
sis seperti apa adanya, misalnya nama orang, nama tempat, nama zat,
lambang, peristiwa sejarah, nama-nama bagian atau komponen suatu
benda, dan sebagainya. Sebaliknya ada juga materi pembelajaran yang
tidak harus dihafal persis seperti apa adanya, tetapi dapat diungkapkan
dengan bahasa atau kalimat sendiri (hafal parafrase). Yang penting pe-
serta didik paham atau mengerti, misalnya paham inti isi Pembukaan
UUD 1945, definisi saham, dalil Archimides, dan sebagainya; (2)
menggunakan/mengaplikasikan (use). Materi pembelajaran setelah di-
hafal atau dipahami kemudian digunakan atau diaplikasikan. Jadi da-
lam proses pembelajaran, peserta didik perlu memiliki kemampuan un-
tuk menggunakan, menerapkan, atau mengaplikasikan materi yang te-
lah dipelajari. Penggunaan fakta atau data adalah untuk dijadikan bukti
dalam rangka pengambilan keputusan. Penggunaan materi konsep,
adalah untuk menyusun proposisi, dalil, atau rumus. Selain itu, pengu-
asaan atas suatu konsep digunakan untuk menggeneralisasi dan mem-
22
bedakan. Penerapan atau penggunaan prinsip adalah untuk memecah-
kan masalah pada kasus-kasus lain. Penggunaan materi prosedur ada-
lah untuk dikerjakan atau dipraktekkan. Penggunaan materi sikap ada-
lah berperilaku sesuai nilai atau sikap yang telah dipelajari. Misalnya,
peserta didik berhemat air dalam mandi dan mencuci setelah menda-
patkan pelajaran tentang pentingnya bersikap hemat; (3) menemukan
atau penemuan (finding), adalah menemukan cara memecahkan masa-
lah-masalah baru dengan menggunakan fakta, konsep, prinsip, dan
prosedur yang telah dipelajari. Menemukan merupakan hasil belajar
tingkat tinggi; dan (4) memilih, menyangkut aspek afektif atau sikap,
dalam hal memilih untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Misalnya
memilih membaca novel daripada membaca tulisan ilmiah. Memilih
menaati peraturan lalu lintas, tetapi terlambat masuk sekolah; atau me-
milih melanggar, tetapi tidak terlambat, dan sebagainya.
Ahmad (2012: 102) menguraikan penting dan vitalnya bahan ajar
bagi kesuksesan proses pembelajaran, baik bagi pendidik maupun pe-
serta didik. Bagi pendidik, bahan ajar merupakan informasi, alat, dan
teks yang diperlukan untuk perencanaan dan penelaahan implementasi
pembelajaran. Bagi peserta didik, bahan ajar adalah seperangkat materi
yang disusun secara sistematis, baik tertulis maupun tidak, sehingga
dapat dipergunakan oleh peserta didik untuk belajar. Singkatnya, ba-
han ajar adalah materi yang akan diajarkan kepada peserta didik yang
telah dipilih (diseleksi), atau bahan ajar adalah materi (pesan-pesan)
yang harus dipelajari dan dipahami oleh peserta didik.
b. Pemanfaatan sumber belajar
Sanjaya (2012: 228) menganggap sumber belajar adalah segala se-
suatu yang ada di sekitar lingkungan kegiatan belajar yang secara
fungsional dapat digunakan membantu optimalisasi hasil belajar. Opti-
malisasi ini dapat dilihat, tidak hanya dari hasil belajar (output), namun
juga dilihat dari proses berupa interaksi peserta didik dengan berbagai
macam sumber yang dapat merangsang untuk belajar dan memperce-
pat pemahaman dan penguasaan bidang ilmu yang dipelajarinya.
Implementasi pemanfaatan sumber belajar di dalam proses pem-
belajaran tercantum dalam kurikulum saat ini, bahwa dalam proses

23
pembelajaran yang efektif, adalah pembelajaran yang menggunakan
berbagai ragam sumber belajar.
AECT (dalam Sanjaya, 2012: 228-230) membedakan enam jenis
sumber belajar yang dapat digunakan dalam proses belajar, yakni: (1)
pesan (message), merupakan sumber belajar yang meliputi pesan formal,
yaitu pesan yang dikeluarkan oleh lembaga resmi, seperti pemerintah
atau pesan yang disampaikan pendidik dalam situasi pembelajaran. Pe-
san-pesan ini, selain disampaikan secara lisan juga dibuat dalam ben-
tuk dokumen. Pesan non-formal, yaitu pesan yang ada di lingkungan
masyarakat luas yang dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran,
misalnya cerita rakyat, legenda, ceramah oleh kelompok masyarakat
dan ulama, prasasti, relief-relief pada candi, kitab-kitab kuno, dan pe-
ninggalan sejarah lainnya; (2) orang (people). Semua orang pada dasar-
nya dapat berperan sebagai sumber belajar; (3) bahan (matterials), me-
rupakan suatu format yang digunakan untuk menyimpan pesan pem-
belajaran, seperti buku paket, buku teks, modul, program video, film,
OHT, program slide, alat peraga, dan sebagainya; (4) alat (device), ada-
lah benda-benda berbentuk fisik – yang sering disebut juga dengan pe-
rangkat keras (hardware), di dalamnya mencakup multimedia projector,
slide projector, OHP, film tape recorder, opaqe projector, dan sebagainya; (5)
teknik (technique), adalah cara (prosedur) yang digunakan dalam mem-
berikan pembelajaran guna mencapai tujuan pembelajaran. Di dalam-
nya mencakup ceramah, permainan/simulasi, tanya-jawab, sosiodrama
(role play), dan sebagainya; dan (6) latar (setting) atau lingkungan yang
berada di dalam sekolah ataupun lingkungan yang berada di luar seko-
lah, baik yang sengaja dirancang maupun yang tidak secara khusus di-
desain untuk pembelajaran; termasuk pengaturan ruang, pencahayaan,
ruang kelas, perpustakaan, laboratorium, tempat workshop, halaman se-
kolah, kebun sekolah, lapangan sekolah, dan sebagainya.

3. Perencanaan Pembelajaran Berdasarkan Pemilihan Media


Pembelajaran
Kata media berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak
dari kata medium yang secara harfiah diartikan Sanjaya (2012: 204)

24
sebagai perantara atau pengantar. Sementara media pembelajaran ditaf-
sirkan Rossi dan Breidle (dalam Sanjaya, 2012: 204) sebagai seluruh
alat dan bahan yang dapat dipakai untuk tujuan pendidikan, seperti ra-
dio, TV, buku, koran, majalah, yang bagi Saud (2009: 104) dapat me-
ngembangkan profesional dan kompetensi pendidik.
Dalam suatu proses komunikasi diperlukan saluran yang berfungsi
untuk mempermudah penyampaian pesan. Inilah menurut Sanjaya
(2012: 206) hakikat dari media pembelajaran, sebagaimana juga di-
tampilkan pada Gambar 1.
Pengirim Penerima
pesan Pesan MEDIA pesan

Gambar 1. Proses komunikasi dengan media


Dalam konteks komunikasi seperti pada Gambar 1, fungsi media
adalah sebagai alat bantu untuk pendidik dalam mengkomunikasikan
pesan agar proses komunikasi berjalan dengan baik dan sempurna, se-
hingga tidak mungkin lagi ada kesalahan.
Karena itu, sangat beralasan apabila Yusuf dkk. (1989: 27) me-
mandang perlunya menetapkan, menghasilkan, dan mempergunakan
media pembelajaran yang sesuai untuk mempertinggi efisiensi metode
yang dipakai. Salah satunya, adalah pembelajaran dengan mengguna-
kan media berbasis TIK dan memanfaatkan lingkungan sebagai media
pembelajaran. Dalam pembelajaran, pendidik menggunakan model
atau metode pembelajaran yang variatif, mengarahkan pembelajaran
yang berpusat kepada peserta didik.
Konsensus yang dibangun Papert (1987: 22), Voogt dan Pelgrum
(2005: 157), Watson, (2001: 251), dan Welle-Strand (1991: 29) me-
nunjukkan, bahwa penggunaan TIK akan meningkatkan kualitas PBM.
Hasil penelitian Kaffash dkk. (2010: 70) menunjukkan, bahwa TIK
mempengaruhi sikap peserta didik dalam pembelajaran. Temuan
menggambarkan banyak faktor yang menghambat implementasi TIK
dalam kurikulum. Di sisi lain, sebagian besar karakteristik berbasis
komputer tergantung konteks pembelajaran, seperti konteks kurikulum
atau organisasi di sekolah, karena tidak langsung dikendalikan pendi-
dik. Mereka lebih ditentukan oleh manajemen sekolah dan kerangka
25
kebijakan pendidikan. Banyak peneliti, misalnya Fullan (1998: 6) telah
mempelajari faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perubahan pen-
didikan yang sukses. Selain itu, penelitian Kaffash dkk. (2010: 70) te-
lah menemukan bila „proyek-proyek‟ yang menerima dukungan kepala
sekolah lebih mungkin untuk berhasil. Keterlibatan kepala sekolah, ba-
gi Marsh (2001: 20), dianggap serius, dan membantu dalam merekrut,
baik material sumberdaya maupun dukungan psikologis.

4. Perencanaan Pembelajaran Berdasarkan Pemilihan Pende-


katan dan Strategi Pembelajaran
a. Pendekatan pembelajaran
Pendekatan pembelajaran (teaching approach), menurut Ahmad (2012:
43) bersifat aksiomatis, yakni suatu keyakinan yang telah dianggap be-
nar tanpa harus dibuktikan. Secara lengkap, Latahang (2010: 4-5)
mengartikan aksiomatis sebagai kebenaran teori-teori yang digunakan
tidak dipersoalkan lagi. Pendekatan pembelajaran adalah suatu ancang-
an atau kebijaksanaan dalam memulai serta melaksanakan pengajaran
suatu bidang studi/mata pelajaran yang memberi arah dan corak ke me-
tode pengajarannya dan didasarkan pada asumsi yang berkaitan.
Keyakinan-keyakinan itu diambil atau didasarkan pada pengetahu-
an, teori, ideologi, dan pengalaman sebelumnya. Selanjutnya Ahmad
(2012: 43-44) memberi contoh pada Salah satu keyakinan me-
keyakinan mengenai pembelajaran ngenai pembelajaran
efektif. Salah satu keyakinan mengenai efektif, adalah bahwa
pembelajaran efektif, adalah bahwa suatu pembelajaran akan
suatu pembelajaran akan efektif apabi- efektif apabila pembel-
la pembelajaran tersebut dapat meng- ajaran tersebut dapat
aktifkan peserta didik dalam belajar. mengaktifkan peserta di-
Keyakinan ini didasarkan pada temuan dik dalam belajar
teori belajar kognitivisme. Suatu keya-
kinan yang menyatakan, bahwa pem-
belajaran aktif akan dapat membuat pembelajaran lebih efektif. Ke-
yakinan yang disebut pendekatan pembelajaran aktif ini, selanjutnya
akan dijadikan dasar berpijak dalam membuat berbagai keputusan me-
ngenai proses pembelajaran, baik dalam menyusun model perencana-

26
an, menentukan tujuan, materi, strategi/metode, sumber belajar, mau-
pun sistem evaluasi.
Pendekatan pembelajaran sangat beragam. Keragaman pendekatan
pembelajaran terkait dengan keragaman prinsip, teori, dan ideologi
yang dipakai, serta objek unsur-unsur sistem pembelajaran yang dili-
hat. Dari segi cara melihat posisi „objek‟ (baca: subjek didik) misalnya,
terdapat dua jenis pendekatan, yakni: (1) pendekatan pembelajaran
yang berorientasi atau berpusat kepada peserta didik (student centered
approach); dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau ber-
pusat kepada pendidik (teacher centered approach). Mengingat keragaman
pendekatan sangat terkait dengan keragaman teori atau ideologi serta
objek yang dilihat dalam proses pembelajaran, maka macam pendekat-
an pembelajaran juga dapat dilihat dari keragaman teori atau ideologi
dan objek pembelajaran.
b. Strategi pembelajaran
Strategi atau metode pembelajaran merupakan salah satu faktor
yang sangat esensial dalam proses pembelajaran. Strategi dimaknai
Ahmad (2012: 114) sebagai cara atau jalan yang dilalui untuk menca-
pai tujuan pendidikan. Dalam pengertian luas, strategi pembelajaran
mencakup perencanaan dan segala upaya yang bisa ditempuh dalam
rangka pencapaian tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Stra-
tegi harus dipilih dan dipergunakan pendidik dalam menyampaikan
bahan pelajaran (materi) dalam rangka mencapai tujuan yang telah di-
rumuskan. Begitu pula Sanjaya (2012: 186-187) mengartikan strategi
pembelajaran sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian ke-
giatan yang didesain untuk mencapai pendidikan tertentu. Jadi, strategi
pembelajaran pada hakikatnya adalah menyusun pengalaman belajar
peserta didik.
Pertanyaan yang diajukan Sanjaya (2012: 187), adalah bagaimana
upaya mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegi-
atan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal?
Upayanya, adalah dengan menggunakan metode, dan inilah memang
yang dinamakan dengan metode. Di mana, metode digunakan untuk
merealisasikan strategi yang telah ditetapkan. Dengan demikian, bisa

27
terjadi satu strategi pembelajaran digunakan beberapa metode. Misal-
nya, untuk melaksanakan strategi ekspositori, bisa digunakan metode
ceramah sekaligus metode tanya-jawab atau bahkan diskusi dengan
memanfaatkan sumberdaya yang tersedia, termasuk menggunakan me-
dia pembelajaran. Oleh karenanya, strategi berbeda dengan metode.
Strategi menunjuk pada sebuah perencanaan untuk mencapai sesuatu,
sedangkan metode adalah cara yang digunakan untuk melaksanakan
strategi. Dengan kata lain, strategi adalah a plan of operation achieving so-
mething (rencana operasi untuk mencapai sesuatu), sedangkan metode
adalah a way in achieving something (cara dalam mencapai sesuatu).

5. Perencanaan Pembelajaran Berdasarkan Pengaturan Ling-


kungan Belajar
Pengaturan lingkungan belajar, merupakan peran pendidik untuk
memberikan pengalaman belajar yang memadai bagi setiap peserta di-
dik. Kemampuan yang dimiliki pendidik untuk hal itu menggambarkan
tingkat profesional dan keterampilan pendidik.
Karena itu, Sanjaya (2012: 44) menuntut pendidik untuk dapat
mendesain dan mengatur lingkungan belajar agar peserta didik dapat
belajar dengan penuh semangat sesuai dengan gaya belajarnya masing-
masing.

6. Perencanaan Pembelajaran Berdasarkan Perancangan Sis-


tem Penilaian Hasil Belajar
Sistem penilaian hasil belajar, dirancang Silberman (2009: 70) untuk
membantu pendidik dalam menilai mata pelajaran dan pada saat yang
sama dapat melibatkan peserta didik sejak dari awal. Beberapa strategi
membolehkan pendidik memberi tugas tentang masalah khusus kepada
peserta didik, sementara yang lainnya dapat menjelaskan sebuah gam-
baran secara menyeluruh. Strategi penilaian secara cepat (on the spot
assessment strategies) khusus berlaku pada saat pendidik tidak memiliki
kesempatan mempelajari sifat-sifat peserta didik sebelum memulai pel-
ajaran. Strategi ini dapat digunakan untuk membenarkan informasi
yang telah dikumpulkan sebelum memberi pelajaran.

28
Silberman (2009: 71, 73, 75, 77, 79) selanjutnya menjelaskan
strategi-strategi yang dapat dilakukan secara cepat ini, yakni: (1) pene-
litian untuk penilaian (assessment search). Strategi ini merupakan cara
yang menarik untuk memberi tugas materi pelajaran, pendidik secara
cepat dan pada saat bersamaan, melibatkan peserta didik secara awal
untuk mengetahui masing-masing peserta didik dan kemampuan bel-
ajar dengan kerja sama; (2) pertanyaan peserta didik (question students
have). Strategi ini merupakan cara yang mudah untuk mempelajari ke-
inginan dan harapan peserta didik, di mana menggunakan sebuah tek-
nik untuk mendapatkan partisipasi melalui tulisan daripada percakap-
an; (3) penilaian secara cepat (instant assessment). Strategi ini merupa-
kan suatu kegembiraan, bukan strategi yang menakutkan untuk menge-
tahui peserta didik5; (4) sampel kelompok (a representative sample). Ter-
kadang sebuah kelas memiliki jumlah peserta didik yang banyak, dan
sangatlah tidak mungkin memahami dengan siapa saja di dalamnya.
Namun strategi yang diusulkan ini memungkinkan pendidik untuk me-
milih contoh peserta didik yang tepat dari seluruh kelas dan mengeta-
hui mereka dengan mewawancarai mereka di depan umum; dan (5)
perhatian terhadap aktivitas kelas (class consern). Strategi ini memung-
kinkan kepedulian untuk diungkapkan dan didiskusikan secara terbuka,
namun dengan aman. Di mana para peserta didik biasanya memegang
beberapa kepedulian terhadap suatu pelajaran yang dihadiri untuk per-
tama kalinya, khususnya jika pelajaran itu bercirikan belajar aktif.
Dalam rangkaian implementasinya, Tasdik (2010: 7) menyebutkan
bila sistem penilaian hasil belajar dapat dilakukan melalui: (1) peni-
laian proses, melalui pengamatan pada saat peserta didik melakukan
kegiatan; (2) tes lisan, dilakukan melalui tanya-jawab tentang kegiatan
yang baru dilakukan peserta didik sesuai dengan indikator kompetensi
yang akan dicapai dalam pembelajaran; dan (3) portofolio, mencakup
seluruh hasil kegiatan peserta didik yang dikumpulkan untuk dijadikan
bahan penilaian akhir.

5)
dalam hal ini, Silberman (2009) menyarankan agar pendidik menggunakannya untuk
menugaskan latar belakang peserta didik, pengalaman, sikap, harapan, dan perhatian
peserta didik secara cepat
29
7. Perencanaan Pembelajaran Berdasarkan Perancangan Pro-
sedur Pembelajaran
Perancangan prosesur pembelajaran ini, dimaksudkan Ahmad (2012:
33) sebagai suatu kerangka dalam membimbing peserta didik agar ter-
jadi proses belajar. Sanjaya (2012: 37) menegaskan, bahwa perencana-
an pembelajaran dibuat bukan hanya sebagai pelengkap administrasi,
namun disusun sebagai bagian integral dari proses pekerjaan profesi-
onal, sehingga berfungsi sebagai pedoman dalam pelaksanaan pembel-
ajaran.
Dengan demikian, penyusunan perancangan prosedur pembelajar-
an merupakan suatu keharusan, karena didorong oleh kebutuhan agar
pelaksanaan pembelajaran terarah sesuai dengan tujuan dan sasaran
yang ingin dicapai.
a. Merumuskan tujuan khusus
Dalam merancang pembelajaran, tugas pertama pendidik adalah
merumuskan tujuan pembelajaran khusus beserta pelajarannya. Dalam
hal ini, Sanjaya (2012: 40) memberi alasan mengapa pendidik harus
merancang tujuan khusus, karena tujuan yang bersifat umum dirumus-
kan oleh para pengembang kurikulum. Tugas pendidik, adalah mener-
jemahkan tujuan umum pembelajaran menjadi tujuan yang spesifik.
Tujuan yang spesifik itu dirumuskan sebagai indikator hasil bel-
ajar. Fungsi rumusan pembelajaran khusus, adalah sebagai teknik un-
tuk mencapai tujuan pembelajaran umum. Dengan demikian, maka
pencapaian tujuan-tujuan khusus dalam proses pembelajaran merupa-
kan indikator pencapaian tujuan umum.
b. Pengalaman belajar
Langkah yang kedua dalam merencanakan pembelajaran, menurut
Sanjaya (2012: 42), adalah memilih pengalaman belajar yang harus di-
lakukan peserta didik sesuai dengan tujuan pembelajaran. Belajar bu-
kan hanya sekadar mencatat dan menghafal, akan tetapi proses penga-
laman. Oleh sebab itu, peserta didik harus didorong secara aktif mela-
kukan kegiatan tertentu. Walaupun tujuan pembelajaran hanya sebatas
memahami data atau fakta, akan tetapi sebaiknya hal itu tidak cukup

30
hanya diberikan oleh pendidik, akan tetapi peserta didik didorong un-
tuk mencari dan menemukan sendiri fakta tersebut, misalnya melalui
wawancara, observasi, dan lain sebagainya. Adakalanya proses pem-
belajaran juga dilakukan dengan simulasi atau dramatisasi. Hal ini sa-
ngat penting manakala tujuan yang hendak dicapai bukan hanya seka-
dar untuk mengingat, akan tetapi juga menghayati suatu peran tertentu,
yang mengharapkan perkembangan mental dan emosi peserta didik.
Dalam kasus yang lain, pendidik juga bisa memfasilitasi peserta
didik untuk belajar secara kelompok. Aktivitas pembelajaran semacam
ini sangat baik untuk memberikan pengalaman belajar bagi peserta di-
dik agar mampu bersosialisasi atau mampu berhubungan sosial dengan
orang lain.
c. Kegiatan belajar-mengajar
Langkah ketiga dalam perancangan prosedur pembelajaran, adalah
menentukan kegiatan belajar-mengajar. Menentukan kegiatan belajar-
mengajar yang sesuai, pada dasarnya dapat dirancang melalui pende-
katan kelompok atau pendekatan individual. Pendekatan kelompok,
menurut Sanjaya (2012: 43), adalah pembelajaran yang dirancang de-
ngan menggunakan pendekatan klasikal, yakni pembelajaran di mana
setiap peserta didik belajar secara kelompok, baik dalam kelompok be-
sar ataupun kecil; sedangkan pendekatan individual, adalah pembel-
ajaran di mana peserta didik belajar secara mandiri melalui bahan bel-
ajar yang dirancang sedemikian rupa, sehingga peserta didik dapat bel-
ajar menurut kecepatan dan kemampuan masing-masing.
Ketiga jenis tujuan pembelajaran, seperti tujuan kognitif, afektif,
dan psikomotorik, pada dasarnya dapat menggunakan pendekatan
pembelajaran klasikal, hal ini sangat tergantung pada tujuan khusus
yang ingin dicapai.
d. Orang-orang yang terlibat
Perencanaan pembelajaran dengan pendekatan sistem, juga ber-
tanggung jawab dalam menentukan orang yang akan membantu dalam
proses pembelajaran. Orang-orang yang akan terlibat dalam proses
pembelajaran, khususnya yang berperan sebagai sumber belajar, meli-
puti instruktur atau pendidik, dan juga tenaga profesional.
31
Peran pendidik dalam proses pembelajaran, lanjut Sanjaya (2012:
43-44), adalah sebagai pengelola pembelajaran. Dalam pelaksanaan
peran tersebut, di antaranya pendidik berfungsi sebagai penyampai in-
formasi. Agar pendidik dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya se-
cara baik, maka pendidik harus memiliki kemampuan untuk berbicara
serta berkomunikasi, menggunakan berbagai media, seperti OHP,
LCD, papan tulis, dan lain sebagainya. Kemampuan-kemampuan ini
sangat diperlukan dalam memerankan sebagai penyampai informasi.
e. Bahan dan alat
Penyeleksian bahan dan alat juga merupakan bagian dari sistem
perencanaan pembelajaran. Sanjaya (2012: 44) menyebutkan enam hal
yang harus dipertimbangkan dalam penentuan bahan dan alat dalam
perencanaan pembelajaran, yakni berdasarkan: (1) keragaman kemam-
puan intelektual peserta didik; (2) jumlah dan keragaman tujuan pem-
belajaran khusus yang harus dicapai peserta didik; (3) tipe-tipe media
yang diproduksi dan digunakan secara khusus; (4) berbagai alternatif
pengalaman belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran; (5) bahan
dan alat yang dapat dimanfaatkan; dan (6) fasilitas fisik yang tersedia.
f. Fasilitas fisik
Fasilitas fisik merupakan faktor yang akan berpengaruh terhadap
keberhasilan proses pembelajaran. Fasilitas fisik meliputi ruangan ke-
las, pusat media, laboratorium, atau ruangan untuk kelas berukuran be-
sar (semacam aula).
Pendidik dan peserta didik akan bekerja sama, menggunakan ba-
han pelajaran, memanfaatkan alat, berdiskusi, dan lain sebagainya. Ke-
semuanya itu, menurut Sanjaya (2012: 45) hanya dapat digunakan me-
lalui proses perencanaan yang matang melalui pengaturan secara pro-
fesional, termasuk adanya sokongan finansial sesuai dengan kebutuh-
an.
g. Perencanaan evaluasi dan pengembangan
Evaluasi bagi Williams (2012: 1), merupakan bagian integral dari
setiap aspek merancang instruksi dengan objek pembelajaran. Sedang
Sanjaya (2012: 45) memandang prosedur evaluasi merupakan faktor

32
penting dalam sebuah sistem perencanaan pembelajaran. Melalui eva-
luasi, pendidik dapat melihat keberhasilan pengelolaan pembelajaran
dan keberhasilan peserta didik mencapai tujuan pembelajaran, sebagai-
mana juga dinyatakan Reeve dan Peerbhoy (2007: 120), bahwa sebagai
tujuan atau cara yang sebisa mungkin, dari sejauhmana layanan atau
komponen yang menggenapi pernyataan tujuan dimaksud.
Evaluasi terhadap hasil belajar peserta didik, lanjut Sanjaya (2012:
45), akan memberikan informasi demi untuk pengembangan pembel-
ajaran, dari: (1) kelemahan dalam perencanaan pembelajaran, yakni
mengenai isi pelajaran, prosedur pembelajaran, dan juga bahan-bahan
pelajaran yang digunakan; (2) kekeliruan mendiagnosis peserta didik
tentang kesiapan mengikuti pengalaman belajar; (3) kelengkapan tuju-
an pembelajaran khusus; dan (4) kelemahan-kelemahan instrumen
yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik mencapai
tujuan pembelajaran.
Evaluasi hasil belajar dianggap Sudijono (2012: 31) berhasil atau
terlaksana dengan baik apabila dalam pelaksanaannya berpegang pada
tiga prinsip dasar, yakni: (1) prinsip keseluruhan atau prinsip menyelu-
ruh yang juga dikenal dengan istilah prinsip komprehensif. Dengan
prinsip ini, evaluasi harus dilaksanakan secara bulat, utuh, atau menye-
luruh. Dengan kata lain, harus dapat mencakup berbagai aspek yang
dapat menggambarkan perkembangan atau perubahan tingkah laku ter-
jadi pada diri peserta didik. Dengan melakukan evaluasi hasil belajar
secara bulat, utuh menyeluruh, akan diperoleh bahan-bahan keterangan
dan informasi yang lengkap mengenai keadaan dan perkembangan
subjek didik yang sedang dijadikan sasaran evaluasi; (2) prinsip ke-
sinambungan atau kontinuitas, dimaksudkan bahwa evaluasi hasil bel-
ajar yang baik, adalah evaluasi yang dilaksanakan secara teratur dan
sambung-menyambung dari waktu ke waktu. Evaluasi ini juga dimak-
sudkan agar pihak evaluator (pendidik) dapat memperoleh kepastian
dan kemantapan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang perlu diambil un-
tuk masa-masa selanjutnya, agar tujuan pembelajaran dapat tercapai
dengan sebaik-baiknya; dan (3) prinsip objektivitas, mengandung mak-
na, evaluasi hasil belajar dapat dinyatakan sebagai evaluasi yang baik
apabila dapat terlepas dari faktor-faktor yang sifatnya subjektif.

33
Dengan demikian, evaluasi memiliki cakupan yang luas dalam
pembelajaran6), di mana dalam evaluasi pembelajaran ada komponen-
komponen untuk melakukan evaluasi tersebut, yaitu penilaian. Dalam
penilaian dilakukan suatu proses yang dinamakan pengukuran. Peng-
ukuran dapat dilakukan dengan cara memberikan tes kepada peserta
didik, baik itu tertulis maupun tidak tertulis.
Noviani (2012: 5) mengakui, bahwa antara evaluasi dan penilaian
memiliki persamaan, tetapi juga perbedaan. Persamaannya, sama-sama
menentukan/menilai tentang suatu objek. Sedangkan perbedaannya,
penilaian hanya memiliki ruang lingkup yang sempit atau hanya me-
nilai salah satu aspek saja; evaluasi memiliki cakupan yang luas, men-
cakup semua komponen yang ada dalam sistem tersebut, baik internal
maupun eksternal. Ini juga sejalan dengan pendapat Hariadi dan
Lusiani (2010: 3), bahwa melakukan evaluasi, yaitu mengukur dan me-
nilai. Dua langkah yang dilalui sebelum menentukan pilihan yang akan
diambil itulah yang disebut evaluasi. Jadi evaluasi itu, adalah meng-
ukur dan menilai. Penilaian tidak dapat dilakukan sebelum melakukan
pengukuran. Dari kegiatan pengukuran kemudian mengadakan penilai-
an itulah yang disebut evaluasi.

Perencanaan Pembelajaran PKLH:


Belajar dari Alam dan Pengalaman
ERTAMBAHAN penduduk yang sangat cepat menyebabkan
meningkatnya segala kebutuhan baik perorangan maupun
kebutuhan sosial. Setiap individu selalu ingin memenuhi
kebutuhannya demikian juga dengan pemerintah dituntut un-
tuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh semua penduduk.
Pemenuhan kebutuhan inilah yang memunculkan masalah lingkungan.

6)
dengan tidak bermaksud untuk repetisi yang kurang bermaka, namun dengan subs-
tansi yang sinergis, maka beberapa bagian dalam kalimat berikutnya dikutip dari ma-
kalah penulis: “Evaluasi Pembelajaran terhadap Penilaian Hasil Belajar (sesuai kai-
dah Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan)”
34
Dengan kata lain, masalah lingkungan muncul karena keinginan untuk
memenuhi kebutuhan, baik secara perorangan maupun sosial.
Masalah dapat diartikan segala sesuatu yang merintangi atau
menghalangi keinginan manusia. Masalah juga merupakan kesen-
jangan antara kenyataan dan harapan atau ekspektasi yang semestinya
didapatkan. Masalah lingkungan adalah kondisi-kondisi dalam ling-
kungan biofisika yang menghalangi pemuasan atau pemenuhan kebu-
tuhan manusia untuk kesehatan dan kebahagiaan (James dan Stapp,
1974).
Masalah KLH yang dihadapi sekarang diakibatkan oleh tindakan
manusia sendiri yang tidak pernah puas akan kebutuhannya. Pemenuh-
an kebutuhan yang tidak pernah puas inilah yang mengakibatkan keru-
sakan lingkungan. Di dalam pemenuhan kebutuhannya sudah tidak
pernah mempedulikan lagi orang lain dan lingkungan asal kebutuhan-
nya terpenuhi, itulah nafsu manusia serakah.
Masalah lingkungan yang dihadapi sekarang sudah sangat parah
dan oleh karena itu pemecahannyapun tidak cukup hanya dilakukan
oleh kelompok tertentu.
Masalah lingkungan merupakan masalah seluruh bangsa di dunia,
terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Pemecah-
an masalah lingkungan yang dihadapi sekarang bukan hanya tanggung
jawab pendidik, tetapi juga ahli hukum, dokter, politikus, dan profesi
lainnya yang terlibat dalam masalah lingkungan termasuk peneliti. Pe-
mecahan masalah lingkungan bukan hanya merupakan tanggung jawab
pemerintahan suatu negara, suatu kota tetapi menjadi tanggung jawab
seluruh umat manusia yang hidup di planet bumi ini. Masalah ling-
kungan suatu kota atau negara selalu berkaitan dengan kota atau nega-
ra lain, karena memang bumi ini hanya satu dan saling berhubungan
walau dipisahkan oleh batas kota atau negara.

1. Pemecahan Masalah PKLH dengan Belajar dari Alam


Apa yang seharusnya kita lakukan untuk memecahkan masalah PKLH
tersebut dan agar kita tetap dapat hidup selaras dengan alam? Untuk
dapat memecahkan masalah PKLH, pada prinsipnya ada tiga langkah
utama yang dapat ditempuh, yakni: Pertama, menyadari adanya masa-
35
lah. Sebenarnya setiap orang sudah tahu adanya masalah KLH yang
ada di sekelilingnya, lokal, regional, nasional bahkan internasional te-
tapi semua kebingungan harus berbuat apa. Kedua, adalah analisis ma-
salah untuk mengidentifikasi akar penyebab (root causes) munculnya
masalah. Akar penyebab dari semua permasalahan PKLH adalah: le-
dakan penduduk (overpopulation), konsumsi yang berlebihan (overcon-
sumption), ketidakefisienan, prinsip linieritas, ketergantungan akan
BBM, dan mentalitas untuk tetap mempertahankan kebiasaan. Ketiga,
mengembangkan strategi untuk mengoreksi masalah yang ada dan
mencegah terjadinya lagi di masa yang akan datang.
Penanggulangan masalah PKLH yang ada mungkin kurang me-
nyentuh masyarakat secara menyeluruh, tetapi hanya berupa penang-
gulangan jangka pendek saja. Misalnya untuk menanggulangi mening-
katnya kebutuhan air dibangun bendungan baru. Pembuatan bendung-
an baru sebenarnya menghancurkan aliran sungai, mengurangi habitat
organisme, mengurangi sumber rekreasi alami, memerlukan energi dan
sumberdaya untuk membangun. Semestinya penanggulangannya harus
melalui pemecahan yang menekankan prinsip keberlanjutan (sustai-
nable), yaitu dengan melakukan efisiensi penggunaan air, melakukan
daur ulang air, dan mengurangi pertumbuhan penduduk. Pemecahan
dengan memegang prinsip keberlanjutan akan melindungi sungai dan
habitat liar, melindungi sumber rekreasi alami, menggunakan energi
dan sumber lain yang lebih kecil.
Hidup selaras dengan alam hanya
akan dicapai jika setiap orang mema-
Hidup selaras dengan
hami prinsip keberlanjutan dan melak-
alam hanya akan dica-
sanakan etika lingkungan. Prinsip ke-
pai jika setiap orang
berlanjutan memiliki implikasi kemam-
memahami prinsip ke-
puan untuk mempetahankan. Dalam
berlanjutan dan me-
konteks ekologi, prinsip keberlanjutan
laksanakan etika ling-
berarti hidup sejalan dengan daya du-
kungan
kung biosfer. Daya dukung biosfer,
adalah kemampuan alam untuk menyedia-
kan makanan dan sumberdaya lainnya serta mengasimilasikan si-
sa buangan seluruh organisme yang hidup. Krisis lingkungan yang
36
sekarang kita rasakan akibatnya adalah karena kehidupan manusia su-
dah melebihi daya dukung lingkungan tempat kita hidup. Menurut
Chiras (1993), prinsip keberlanjutan ini meliputi: konservasi (conserva-
tion), pendaur-ulangan (recycling), penggunaan sumberdaya yang dapat
dibarukan (renewable resource use), pengendalian populasi (population con-
trol), dan restorasi (restoration). Prinsip keberlanjutan ini sebenarnya da-
pat kita pelajari dari alam secara langsung, yaitu pada ekosistem alam.
Prinsip konservasi, ekosistem alam tetap ada karena organisme
menggunakan sumberdaya secara efisien dan umumnya hanya meng-
gunakan sumberdaya yang dibutuhkan saja. Prinsip daur ulang, eko-
sistem tetap ada karena mendaur ulang nutrien, air, dan materi lain
yang vital untuk kelangsungan hidup. Prinsip penggunaan sumberdaya
yang dapat dibarukan, organisme hidup dengan hanya menggunakan
sumber yang dapat dibarukan dan hal ini penting untuk keberlanjutan
ekosistem. Prinsip pengendalian populasi, ekosistem mampu menahan
organisme yang hidup di dalamnya, karena adanya pengendalian popu-
lasi. Pengendalian populasi di alam, di antaranya diakibatkan oleh cua-
ca buruk, predasi, kompetisi, dan kekuatan alam lainnya. Ekosistem
alam mampu bertahan, karena adanya proses regenerasi melalui proses
suksesi. Alam memiliki kemampuan merestorasi sendiri, sehingga
mampu mendukung kelangsungan hidup.
Sebaliknya, manusia menggunakan sumberdaya secara tidak efisi-
en, membuang bahan buangan dan sampah, menggunakan sumberdaya
secara tidak terkendali dan menggunakan sumberdaya yang tidak dapat
dibarukan, pertambahan penduduk yang tidak terkendali, dan manusia
melakukan perusakan alam tanpa memperbaikinya. Untuk menangani
masalah ini bukan hanya memberlakukan kebijakan pemerintah (mi-
salnya hukum), tetapi yang lebih penting adalah pengubahan gaya hi-
dup setiap manusia. Sekali lagi karena masalah lingkungan adalah
tanggung jawab semua manusia yang hidup. Gaya hidup yang dapat
memecahkan masalah adalah gaya hidup yang memegang prinsip ke-
berlanjutan dan menerapkan etika lingkungan di dalam kehidupannya
serta menerapkan prinsip 4R, yaitu: Reduce (mengurangi penggunaan
SDA), Reuse (menggunakan kembali sumberdaya yang masih dapat di-

37
gunakan), Recycle (mendaur ulang bahan), dan Replanting (menanam
kembali).
Prinsip etika lingkungan, adalah: Pertama, bumi memiliki perse-
diaan SDA yang terbatas dan harus digunakan oleh semua organisme.
Kedua, manusia merupakan bagian dari alam oleh karena itu harus tun-
duk pada hukum-hukum alam dan tidak kebal terhadap hukum alam
tersebut. Manusia bukan merupakan puncak pencapaian alam, tetapi
merupakan anggota dari jaringan kehidupan yang saling berhubungan,
sehingga harus patuh pada hukum-hukum dan keterbatasan-keterbatas-
an alam. Ketiga, keberhasilan manusia terletak dalam bentuk kerja sa-
ma dengan kekuatan-kekuatan alam bukan mendominasi alam. Keem-
pat, ekosistem yang berfungsi baik dan sehat adalah sangat penting ba-
gi semua kehidupan (Chiras, 1993).
Menurut Chiras (1992) masyarakat yang mampu mempertahankan
dan memelihara lingkungan (sustainable society) memiliki karakter: sa-
ngat alami (very nature), berpikir dan bertindak menyeluruh (holistic),
selalu mengantisipasi kemungkinan yang ditimbulkan (anticipatory),
dan semua keputusannya selalu menekankan pada biosfer keseluruhan
dan selalu mengantisipasi semua akibat yang ditimbulkan menembus
ruang dan waktu. Bila masyarakat dalam hidup di lingkungannya ber-
pedoman pada prinsip keberlanjutan dan etika lingkungan serta mene-
rapkan prinsip 3R (reduce, reuse, dan recycle) dan untuk sekarang perlu
ditambah dengan satu R lagi (replanting), maka masalah lingkungan
akan dapat dihindarkan.

2. Tujuan Pembelajaran PKLH untuk Membangun Gaya Hidup


Masalah PKLH disebabkan oleh ketidakmampuan mengembangkan
sistem nilai sosial, gaya hidup yang tidak mampu membuat hidup kita
selaras dengan lingkungan. Membangun gaya hidup dan sikap terha-
dap lingkungan agar hidup selaras dengan lingkungan bukan pekerjaan
mudah dan bisa dilakukan dalam waktu singkat.
Oleh karena itu, jalur pendidikan merupakan sarana yang tepat un-
tuk membangun masyarakat yang menerapkan prinsip keberlanjutan
dan etika lingkungan. Jalur pendidikan yang bisa ditempuh mulai dari

38
tingkat TK sampai dengan perguruan tinggi. Oleh karena itu, tujuan
jangka panjang PKLH adalah mengembangkan warga negara yang me-
miliki pengetahuan tentang lingkungan biofisika dan masalahnya yang
berkaitan, menumbuhkan kesadaran agar terlibat secara efektif dalam
tindakan menuju pembangunan masa depan yang lebih baik, dapat di-
huni dan membangkitkan motivasi untuk mengerjakannya.
PKLH memiliki tujuan seperti yang dirumuskan pada waktu Kon-
ferensi Antarnegara tentang Pendidikan Lingkungan pada tahun 1975 di
Tbilisi, yaitu: meningkatkan kesadaran yang berhubungan dengan sa-
ling ketergantungan ekonomi, sosial, politik, dan ekologi antara daerah
perkotaan dan pedesaan; memberikan kesempatan kepada setiap indi-
vidu untuk memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, sikap tanggung ja-
wab, dan keterampilan yang dibutuhkan untuk melindungi dan me-
ningkatkan lingkungan; menciptakan pola baru perilaku individu, ke-
lompok dan masyarakat secara menyeluruh menuju lingkungan yang
sehat, serasi, dan seimbang.
Tujuan PKLH tersebut dapat dijabarkan menjadi enam kelompok,
yakni:
1) kesadaran, yaitu memberi dorongan kepada setiap individu untuk
memperoleh kesadaran dan kepekaan terhadap lingkungan dan ma-
salahnya;
2) pengetahuan, yaitu membantu setiap individu untuk memperoleh
berbagai pengalaman dan pemahaman dasar tentang KLH dan ma-
salahnya;
3) sikap, yaitu membantu setiap individu untuk memperoleh seperang-
kat nilai dan kemampuan mendapatkan pilihan yang tepat, serta me-
ngembangkan perasaan yang peka terhadap lingkungan dan mem-
berikan motivasi untuk berperan serta secara aktif di dalam pening-
katan dan perlindungan lingkungan;
4) keterampilan, yaitu membantu setiap individu untuk memperoleh
keterampilan dalam mengidentifikasi dan memecahkan masalah
KLH;
5) partisipasi, yaitu memberikan motivasi kepada setiap individu un-
tuk berperan serta secara aktif dalam pemecahan masalah KLH; dan

39
6) evaluasi, yaitu mendorong setiap individu agar memiliki kemampu-
an mengevaluasi pengetahuan lingkungan ditinjau dari segi ekologi,
sosial, ekonomi, politik, dan faktor pendidikan (Adisendjaja, 1988).
Berdasarkan tujuan di atas, tersirat bahwa masalah KLH terutama
berkaitan dengan manusia, bukan hanya lingkungan. Oleh karena itu,
dalam pengembangan program PKLH harus ditujukan pada aspek ting-
kah laku manusia, terutama inter-
Dengan demikian, pendidik
aksi manusia dengan lingkungan
PKLH tidak cukup hanya de-
ngan memiliki pemahaman hidupnya dan kemampuan meme-
tentang lingkungan, tetapi cahkan masalah lingkungan. De-
juga harus memiliki pema- ngan demikian, pendidik PKLH ti-
haman mendasar tentang dak cukup hanya dengan memiliki
manusia pemahaman tentang lingkungan, te-
tapi juga harus memiliki pemaham-
an mendasar tentang manusia (James dan Stapp, 1974). Setiap teori da-
lam PKLH harus merupakan peleburan dari dua kelompok pengetahu-
an tersebut.
Selanjutnya, tujuan PKLH harus sejalan dengan tujuan pendidikan
secara umum. Sangat tidak realistis memikirkan pendidikan manusia
dalam segmen-segmen. Hal penting lainnya adalah membantu manusia
merealisasikan potensinya.
Kegagalan PKLH yang lalu karena lembaga pendidikan formal ter-
lalu menekankan pada pencapaian individu untuk bersaing menjadi
yang terbaik untuk mendapatkan penghargaan. Akibatnya individu
menjadi egocentris dan sulit untuk menempatkan dirinya menjadi bagian
kecil dari sistem yang lebih besar, baik sistem sosial maupun sistem
alami padahal persepsi terhadap kedua sistem itu serta persepsi ekolo-
gi yang esensial untuk pemecahan masalah lingkungan (Danusaputro,
1981). Lebih jauh dikatakan, sistem pendidikan yang ada tidak mem-
beri kontribusi untuk penggunaan keterampilan yang semestinya dan
bakat yang diperlukan untuk menghargai diri (self-esteem) juga untuk
pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat. Terlalu menekankan
ke intelegensi. Dengan demikian, hal paling penting dalam menanggu-
langi masalah PKLH adalah perubahan mendasar sikap manusia terha-
dap lingkungan.

40
Jika tujuan PKLH ditekankan pada perubahan sikap, maka langkah
pembelajaran yang dapat ditempuh adalah dengan menghadapkan pe-
serta didik pada permasalahan kependudukan dan lingkungan yang
ada. Setelah itu lanjutkan klarifikasi nilai, yaitu peserta didik diberikan
kesempatan untuk menilai kondisi, membuat pilihan pemecahan dari
alternatif yang tersedia, dan menentukan langkah pemecahan. Sikap
akan dapat terbentuk melalui cara tersebut dan diperkuat dengan mem-
perbanyak contoh oleh pendidik (Harlen, 1992).
Pendidik PKLH khususnya dan bahkan semua pendidik memiliki
peran penting di dalam menyukseskan program PKLH, membangun
gaya hidup dan menanamkan prinsip keberlanjutan dan menerapkan
Pendidik PKLH etika lingkungan. Bagaimana pendidik
khususnya dan bahkan PKLH mencapai tujuan PKLH dan
semua pendidik memiliki membangun gaya hidup yang selaras
peran penting di dalam dengan lingkungan? Pendidik memu-
menyukseskan program lai dengan menampilkan permasalah-
PKLH, membangun gaya an7) lingkungan yang dihadapi dalam
hidup dan menanamkan dunia kehidupan sehari-hari di sekitar
prinsip keberlanjutan dan peserta didik kemudian dilanjutkan
menerapkan etika
dengan diskusi aktif untuk mencari
lingkungan
akar permasalahan dan dilanjutkan de-
ngan langkah pemecahan masalah. Langkah berikutnya adalah menam-
pilkan prinsip keberlanjutan dan etika lingkungan melalui diskusi aktif
di dalam kelas (Adisendjaja, 2008). Pendidik dapat mendorong peserta
didik untuk memperluas kemampuan dalam mengimplementasikan
prinsip keberlanjutan dan etika lingkungan dengan memberi contoh-
contoh. Prosedur ini merupakan salah satu cara pembelajaran yang me-
nekankan pada keterlibatan peserta didik agar mampu mengonstruksi
pengetahuan dan keterampilannya. Cara ini sejalan dengan filsafat
konstruktivisme.
Dalam proses pembelajarannya, PKLH jangan dijadikan sebagai
topik hafalan, tetapi harus dikaitkan dengan dunia nyata yang diha-
dapinya sehari-hari (kontekstual) dan dunia nyata ini harus dijadikan

7)
belajar berbasis masalah
41
objek kajian dalam konsep PKLH. Objek kajian PKLH ada di ling-
kungan sekitar sekolah. Setiap sekolah memiliki lingkungan yang ber-
beda, sehingga akan semakin menarik karena keragamannya. Walau-
pun objek kajiannya berbeda, namun tujuan pembelajarannya tetap sa-
ma.
PKLH dapat diajarkan dengan menerapkan pendekatan konteksual.
Penerapan pendekatan kontekstual (CTL) dalam kelas langkahnya, se-
bagai berikut: (1) mengembangkan pemikiran, bahwa peserta didik
akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan
sendiri, dan mengonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilannya;
(2) melaksanakan kegiatan inkuiri (dengan siklus observasi, bertanya,
berhipotesis, pengumpulan data, dan penarikan kesimpulan); (3) me-
ngembangkan sifat ingin tahu peserta didik dengan bertanya; (4) men-
ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok, kelompok kecil,
kelompok kelas sederajat atau mendatangkan ahli); (5) hadirkan model
sebagai contoh pembelajaran (pendidik berperan sebagai model dalam
melakukan sesuatu, misalnya pembibitan tanaman, pendaurulangan,
dan sebagainya); (6) lakukan refleksi di akhir pertemuan (misalnya
pernyataan langsung tentang yang diperoleh pada pembelajaran, catat-
an atau jurnal di buku peserta didik, kesan dan saran peserta didik me-
ngenai pembelajaran, diskusi atau hasil karya); dan (7) lakukan peni-
laian yang sebenarnya (authentic assessment), seperti menilai kegiatan
dan laporan, PR, kuis, karya peserta didik, laporan, jurnal, hasil tes,
dan karya tulis) (Depdiknas, 2003).
PKLH dapat diajarkan melalui berbagai cara, seperti observasi,
diskusi, kegiatan atau praktek lapangan, praktek laboratorium, laporan
kerja praktek, seminar, debat, kerja proyek, magang, dan kegiatan pe-
tualangan. Hal yang perlu diingat, adalah jangan hanya ceramah ten-
tang konsep, sehingga peserta didik hanya mendengarkan dan pasif.
Cara ini tidak akan bermakna, tetapi sebaliknya peserta didik harus di-
libatkan secara aktif mentalnya agar dapat mengonstruksi pengetahuan,
pengalaman, dan keterampilannya yang pada gilirannya akan dapat di-
terapkan dalam kehidupannya dan ditransfer kepada orang lain.
Tempat yang dapat dijadikan objek kajian sangat bervariasi: ling-
kungan sekolah, lingkungan tempat tinggal, lingkungan perkotaan, pa-

42
sar, terminal, selokan, sungai, sawah, taman kota, lapangan udara,
pembangkit tenaga atom, danau, instalasi pengolahan air minum, peng-
olahan sampah, pipa buangan rumah tangga, tempat pembuangan sam-
pah dan lingkungan lain di sekitar atau dekat sekolah.
Masalah yang dapat diangkat jadi topik pembelajaran pun sangat
beragam, mulai dari masalah sampah rumah tangga, sampah industri,
penggunaan detergen, pestisida, pupuk buatan, aerosol dan spray, pen-
cemaran tanah, air, udara, kekurangan air, banjir, penurunan air tanah,
penggundulan hutan, hutan dan taman kota, hingga illegal loging.
Tentu masalah yang diangkat disesuaikan dengan kemampuan dan
tingkatan berpikir peserta didik, dari TK dan SD bahkan Kelas 7–8 ha-
rus yang bersifat konkret sesuai dengan tahap perkembangan berpikir-
nya yang operasional konkret.
Mengacu pada filsafat konstruktivisme, proses belajar dikatakan
terjadi pada diri peserta didik jika informasi yang diterima terintegrasi
dalam keyakinan peserta didik dan peserta didik berperan aktif dalam
proses belajar. Belajar merupakan konstruksi aktif makna-makna da-
lam diri peserta didik. Dengan demikian, peserta didiklah yang harus
membangun konsepnya (Hein, 1991; Black dan McClintock, 1995).
Peserta didik harus lebih aktif di dalam menemukan jalur belajarnya.
Dengan keterlibatan peserta didik yang maksimum dalam belajarnya,
maka peserta didik akan memiliki wawasan yang lebih mapan.
Langkah pembelajaran berdasarkan filsafat konstruktivisme, me-
nurut Black dan McClintock (1995), adalah: (1) observasi, peserta di-
dik melakukan observasi situasi yang sebenarnya; (2) konstruksi inter-
pretasi, peserta didik mengonstruksi interpretasinya berdasarkan obser-
vasi dan mengonstruksi argumen untuk kesahihan atau validitas inter-
pretasinya; (3) kontekstualisme, peserta didik mengakses latar bela-
kang dan materi kontekstual dari berbagai cara, sumber untuk mem-
bantu interpretasi dan argumentasi; (4) magang kognitif, peserta didik
berperan sebagai peserta didik yang magang kepada pendidiknya untuk
menguasai observasi, interpretasi, dan argumentasi; (5) kolaborasi, pe-
serta didik berkolaborasi dalam observasi, interpretasi, dan konteks-
tualisme; (6) interpretasi majemuk, peserta didik mendapatkan kelu-
wesan kognitif dengan menunjukkan interpretasi yang beragam; dan

43
(7) manifestasi majemuk, peserta didik mendapatkan hal yang dapat
ditransfer dengan melihat manifestasi multiple dari interpretasi yang sa-
ma.
Dengan demikian, jika konsep atau materi ajar PKLH diajarkan
dengan cara tersebut di atas, yaitu dengan melibatkan peserta didik se-
cara aktif (bukan hanya mengisi LKS, tetapi aktif secara mental), maka
diharapkan terbentuk peserta didik yang memiliki pengetahuan, kete-
rampilan, dan sikap yang peduli terhadap masalah lingkungan dan
mampu berperan aktif dalam memecahkan masalah lingkungan, memi-
liki kemampuan menerapkan prinsip keberlanjutan dan etika lingkung-
an dalam kehidupan sehari-harinya.
Pengetahuan dan pengalaman peserta didik dapat ditularkan kepa-
da orang lain, seperti kepada orang tuanya, saudara-saudaranya, teman
bermain di lingkungan tempat tinggalnya. Dengan demikian, akan ter-
bangun masyarakat yang peduli dan mampu menerapkan prinsip ke-
berlanjutan dan etika lingkungan. Jika masyarakat mampu menerapkan
prinsip keberlanjutan dan etika lingkungan, maka masalah lingkungan
dapat diatasi.

44
C. Implementasi
Pembelajaran
PKLH

PKLH melalui Pembelajaran


Berpusat kepada Peserta Didik
KLH merupakan kebutuhan pokok bagi semua warga masya-
rakat jika kita ingin tetap melestarikan kesejahteraan umat
manusia. Tanpa kesadaran dan kepedulian terhadap kualitas
dan kelestarian lingkungan niscaya kehidupan kita pada waktu
mendatang akan menjadi semakin sulit. Masalah kelangkaan air
bersih, makin minimnya ketersediaan energi, tanah longsor, banjir, po-
lusi udara yang mengancam kesehatan manusia, dan sebagainya. Ma-
salah-masalah tersebut, diakui atau tidak sangat terkait dengan kega-
galan pengelolaan lingkungan hidup di masyarakat kita. Untuk meng-
antisipasi semakin parahnya persoalan dan dampak akibat pengelolaan
lingkungan hidup yang kurang baik, maka perlu adanya gerakan kesa-
daran dan kepedulian terhadap kualitas dan kelestarian lingkungan hi-
dup. Melalui kesadaran dan kepedulian ini, diharapkan akan terjadi
perubahan perilaku masyarakat menuju masyarakat yang sadar dan pe-
duli terhadap kualitas dan kelestarian lingkungan hidup.
Perubahan perilaku masyarakat menuju masyarakat yang sadar dan
peduli terhadap kualitas dan kelestarian lingkungan perlu dilakukan
melalui contoh nyata dari tokoh-tokoh panutan dan melalui pendidik-
an. Proses PKLH perlu diberikan sejak dini, baik melalui pendidikan

45
formal maupun informal, dan non-formal. Dalam proses pendidikan,
pemberian pengetahuan merupakan bagian awal dari pembentukan si-
kap dan perubahan perilaku agar peserta didik lebih peduli terhadap
lingkungan yang ditandai dengan adanya: (a) sikap positif terhadap ke-
giatan yang mendukung terwujudnya lingkungan yang lebih bersih, as-
ri, nyaman melalui upaya minimisasi limbah, pemanfaatan dan daur
ulang limbah; (b) pemanfaatan SDA secara hemat, berdaya guna, dan
berkelanjutan, maupun penghematan energi; dan (c) kegiatan kebersih-
an lingkungan hidup, sehat lahir dan batin, dan keharmonisan di ma-
syarakat.
Salah satu jalur PKLH, adalah melalui pendidikan formal, yaitu
pendidikan yang diselenggarkan di sekolah. Dan salah satu komponen
utama dalam upaya pengembangan kemampuan, keterampilan, dan
meningkatkan hasil belajar peserta didik, adalah pendidik. Pendidik
mempunyai peran strategis dalam membangun perilaku peserta didik,
baik dalam hal pengetahuan, sikap, maupun tindakan keterampilan pe-
serta didik. Perubahan pengetahuan, sikap, dan tindakan dapat dilaku-
kan terutama melalui contoh-contoh, panutan, kegiatan nyata yang da-
pat dicoba, dialami, dan diusahakan oleh peserta didik yang akan ber-
manfaat bagi kehidupan peserta didik itu sendiri maupun juga bagi
lingkungannya.
Pendidik memiliki kesempatan yang luas dan peran yang penting
dalam pembentukan perilaku peduli terhadap kualitas dan kelestarian
lingkungan. Hal ini mengingat, pada saat ini kuantitas dan kualitas in-
teraksi pendidik dan peserta didiknya menjadi semakin intens. Secara
kuantitatif, jumlah jam interaksi pendidik dan peserta didik makin ba-
nyak, tidak hanya dalam jam pelajaran intrakurikuler, tetapi juga dalam
jam ekstrakurikuler. Secara kualitas, mengingat semakin berkurangnya
interaksi peserta didik dengan keluarganya, karena orang tua semakin
sibuk dan semakin berkurang kesempatan berinteraksi dengan anak-
anaknya, maka peserta didik semakin membutuhkan peran pendidik
sebagai pendamping dalam meniti kehidupan mereka. Kondidsi inilah
yang dapat menyebabkan pendidik memiliki peran strategis dalam
mempengaruhi kehidupan para peserta didiknya, termasuk di dalamnya
pengaruh dalam pembentukan perilaku sadar dan peduli lingkungan.

46
Terdapat empat persyaratan penting bagi pendidik agar dapat men-
jalankan tugasnya dengan baik dalam proses PKLH, yakni: (1) mengu-
asai materi yang mendukung PKLH; (2) mampu membuat SAP seba-
gai wujud integrasi materi PKLH yang berpusat kepada peserta didik
(student centerd learning); (3) memahami dan dapat menerapkan metode/
cara pembelajaran yang dapat mendorong perubahan perilaku sadar
dan peduli lingkungan secara menarik, berhasil guna, dan sesuai materi
maupun karakteristik sasaran; dan (4) memahami dan mampu mene-
rapkan proses pembelajaran yang berpusat kepada peserta didik dalam
proses PKLH, sehingga peserta didik dapat membangun sendiri dan
memiliki pengetahuan, sikap dan perilaku sadar dan peduli terhadap
lingkungan.

1. PKLH: Pembelajaran dari Pendidik Menjadi Berpusat kepa-


da Peserta Didik
Perubahan paradigma dalam proses pembelajaran yang tadinya ber-
pusat kepada pendidik (teacher centered) menjadi pembelajaran yang
berpusat kepada peserta didik (learner centered) diharapkan dapat men-
dorong peserta didik untuk terlibat secara aktif dalam membangun pe-
ngetahuan, sikap, dan perilaku. Melalui proses pembelajaran dengan
keterlibatan aktif peserta didik ini berarti pendidik tidak mengambil
hak anak untuk belajar dalam arti yang sesungguhnya. Dalam proses
pembelajaran yang berpusat kepada peserta didik, maka peserta didik
memperoleh kesempatan dan fasilitasi untuk membangun sendiri pe-
ngetahuannya, sehingga mereka akan memperoleh pemahaman yang
mendalam (deep learning), dan pada akhirnya dapat meningkatkan mutu
kualitas peserta didik.
Pembelajaran yang inovatif dengan metode yang berpusat kepada
peserta didik memiliki keragaman model pembelajaran yang menuntut
partisipasi aktif dari peserta didik. Metode-metode tersebut adalah: (a)
berbagi informasi (information sharing) dengan cara: curah gagasan
(brainstorming), diskusi kelompok (group discussion), diskusi panel (panel
discussion), simposium, dan seminar; (b) belajar dari pengalaman (expe-
rience based) dengan cara: simulasi, bermain peran (froleplay), permainan

47
(game), dan kelompok temu; dan (c) pembelajaran melalui pemecahan
masalah (problem solving based) dengan cara: studi kasus, tutorial, dan
lokakarya (Adisendjaja dan Romlah, 2010).
Metode pembelajaran berpusat kepada peserta didik (student cen-
tered learning) kini dianggap lebih sesuai dengan kondisi eksternal masa
kini yang menjadi tantangan bagi peserta didik untuk mampu meng-
ambil keputusan secara efektif terhadap problematika yang dihadapi-
nya. Melalui penerapan pembelajaran yang berpusat kepada peserta
didik, maka peserta didik harus berpartisipasi secara aktif, selalu ditan-
tang untuk memiliki daya kritis, mampu menganalisis, dan dapat me-
mecahkan masalah-masalahnya sendiri. Tantangan bagi pendidik seba-
gai pendamping pembelajaran peserta didik untuk dapat menerapkan
pembelajaran yang berpusat kepada peserta didik perlu memahami
tentang konsep, pola pikir, filosofi, komitmen metode, dan strategi
pembelajaran. Untuk menunjang kompetensi pendidik dalam proses
pembelajaran berpusat kepada peserta didik, maka diperlukan pening-
Tantangan bagi pendidik seba- katan pengetahuan, pemaham-
gai pendamping pembelajaran an, keahlian, dan keterampilan
peserta didik untuk dapat me- pendidik sebagai fasilitator da-
nerapkan pembelajaran yang lam pembelajaran berpusat ke-
berpusat kepada peserta didik pada peserta didik. Peran pen-
perlu memahami tentang kon- didik dalam pembelajar berpu-
sep, pola pikir, filosofi, komit- sat kepada peserta didik berge-
men metode, dan strategi pem- ser dari semula menjadi peng-
belajaran ajar (teacher) menjadi fasilitator.
Fasilitator adalah orang yang
memberikan fasilitasi. Dalam hal ini ada-
lah memfasilitasi proses pembelajaran peserta di-
dik. Pendidik menjadi mitra pembelajaran yang berfungsi sebagai pen-
damping (guide on the side) bagi peserta didik.
Persiapan menjadi fasilitator memerlukan upaya khusus yang ber-
kesinambungan. Selain bekal pengetahuan, juga diperlukan latihan-la-
tihan terus-menerus agar supaya pengetahuan itu menjadi keterampil-
an. Ibarat orang membuat kue, tidak cukup hanya dengan mengum-
pulkan bahan-bahan dan membaca resep, tetapi juga harus meramu se-
48
suai resepnya, kemudian memasaknya. Bahkan kadang-kadang diper-
lukan cara yang berbeda, dan penambahan bahan-bahan dengan prose-
dur yang tepat, sehingga dihasilkan kue yang lezat. Demikian pula
menjadi fasilitator, selain persiapan pengetahuan, latihan-latihan, juga
perlu pengalaman. Melalui pengalaman dan praktek menjadi fasilita-
tor, maka diperoleh tambahan bekal yang semakin banyak, sehingga
ditemukan sendiri cara yang tepat, efektif, dan efisien dalam memfa-
silitasi proses pembelajaran peserta didik.

2. Prinsip-prinsip Psikologis Pembelajaran Berpusat kepada


Peserta Didik
Bekal bagi para pendidik untuk dapat menjalankan perannya sebagai
fasilitator salah satunya adalah memahami prinsip pembelajaran yang
berpusat kepada peserta didik.
Ada lima faktor yang penting diperhatikan dalam prinsip psikolo-
gis pembelajaran berpusat kepada peserta didik, yakni: (1) faktor meta-
kognitif dan kognitif yang menggambarkan bagaimana peserta didik
berpikir dan mengingat, serta penggambaran faktor-faktor yang terlibat
dalam proses pembentukan makna informasi dan pengalaman; (2) fak-
tor afektif yang menggambarkan bagaimana keyakinan, emosi, dan
motivasi mempengaruhi cara seseorang menerima situasi pembelajar-
an, seberapa banyak orang belajar, dan usaha yang mereka lakukan un-
tuk mengikuti pembelajaran. Kondisi emosi seseorang, keyakinannya
tentang kompetensi pribadinya, harapannya terhadap kesuksesan, mi-
nat pribadi, dan tujuan belajar, semua itu mempengaruhi bagaimana
motivasi peserta didik untuk belajar; (3) faktor perkembangan yang
menggambarkan, bahwa kondisi fisik, intelektual, emosional, dan so-
sial dipengaruhi oleh faktor genetika yang unik dan faktor lingkungan;
(4) faktor pribadi dan sosial yang menggambarkan bagaimana orang
lain berperan dalam proses pembelajaran dan cara-cara orang belajar
dalam kelompok. Prinsip ini mencerminkan, bahwa dalam interaksi so-
sial, orang akan saling belajar dan dapat saling menolong melalui sa-
ling berbagi perspektif individual; dan (5) faktor perbedaan individual
yang menggambarkan bagaimana latar belakang individu yang unik
dan kapasitas yang berpengaruh dalam pembelajaran. Prinsip ini men-
49
jelaskan mengapa individu mempelajari sesuatu yang berbeda, waktu
berbeda, dan dengan cara yang berbeda pula.
Berikut akan diuraikan penjabaran masing-masing faktor.
a. Faktor metakognitif dan kognitif
Prinsip 1: Dasar proses pembelajaran. Pembelajaran adalah suatu
proses alamiah untuk mencapai tujuan yang bermakna secara pribadi,
bersifat aktif, dan melalui mediasi secara internal, merupakan proses
pencarian dan pembentukan makna terhadap informasi dan pengala-
man yang disaring melalui persepsi unik, pemikiran, dan perasaan pe-
serta didik.
Prinsip 2: Tujuan proses pembelajaran. Peserta didik mencari un-
tuk menciptakan makna, representasi pengetahuan melalui kuantitas
dan kualitas data yang tersedia.
Prinsip 3: Pembentukan pengetahuan. Peserta didik mengaitkan in-
formasi baru dengan pengetahuan sebelumnya yang telah dimiliki me-
lalui cara-cara yang unik dan penuh makna.
Prinsip 4: Pemikiran tingkat tinggi. Startegi tingkat tinggi untuk
“berpikir tentang berpikir” untuk memantau dan memonitor proses
mental, memfasilitasi kreativitas, dan berpikir kritis.
b. Faktor afektif
Prinsip 5: Pengaruh motivasi dalam pembelajaran. Kedalaman dan
keluasan informasi diproses, serta apa dan seberapa banyak hal itu di-
pelajari dan diingat dipengaruhi oleh: (a) kesadaran diri dan keyakinan
kontrol diri, kompetensi, dan kemampuan; (b) kejelasan nilai-nilai per-
sonal, minat, dan tujuan; (c) harapan pribadi terhadap kesuksesan dan
kegagalan; (d) afeksi, emosi, dan kondisi pikiran secara umum; dan (e)
tingkat motivasi untuk belajar.
Prinsip 6: Motivasi intrinsik untuk belajar. Individu pada dasarnya
memiliki rasa ingin tahu dan menikmati pembelajaran, tetapi pemikir-
an dan emosi negatif8) dapat mengancam antusiasme mereka.

8)
misalnya perasaan tidak aman, takut gagal, malu, ketakutan mendapat hukuman,
atau pelabelan/stigmatisasi
50
Prinsip 7: Karakteristik tugas-tugas pembelajaran yang dapat me-
ningkatkan motivasi. Rasa ingin tahu, kreativitas, dan berpikir tingkat
tinggi dapat distimulasi melalui tugas-tugas yang relevan, otentik yang
memiliki tingkat kesulitan dan kebaruan bagi masing-masing peserta
didik.
c. Faktor perkembangan
Prinsip 8: Kendala dan peluang perkembangan. Kemajuan indivi-
dual dipengaruhi perkembangan fase-fase fisik, intelektual, emosional,
dan sosial yang merupakan fungsi genetis yang unik serta pengaruh
faktor lingkungan.
d. Faktor personal dan sosial
Prinsip 9: Keberagaman sosial dan budaya. Pembelajaran difasili-
tasi oleh interaksi sosial dan komunikasi dengan orang lain lewat se-
ting fieksibel, keberagaman9) dan instruksional yang adaptif.
Prinsip 10: Satu dengan yang lain, sehingga mereka dapat saling
mengetahui potensi, menghargai bakat-bakat unik dengan tulus, dan
saling dapat menerima sebagai individu.
e. Faktor perbedaan individu
Prinsip 11: Perbedaan individual dalam pembelajaran. Meskipun
prinsip-prinsip dasar pembelajaran, motivasi, dan instruksi afeksi ber-
pengaruh terhadap semua peserta didik10), peserta didik memiliki per-
bedaan kemampuan dan preferensi dalam model dan strategi pembel-
ajaran. Perbedaan-perbedaan ini merupakan pengaruh dari lingkung-
an11) dan keturunan12).
Prinsip 12: Filter kognitif. Keyakinan personal, pemikiran, dan pe-
mahaman berasal dari pembelajaran dan interpretasi sebelumnya, hal

9)
usia, budaya, latar belakang keluarga
10)
termasuk suku, ras, jender, kemampuan fisik, agama, dan status sosial
11)
apa yang dipelajari dan dikomunikasikan dalam budaya dan kelompok sosial yang
berbeda
12)
apa yang muncul sebagai fungsi genetis
51
ini dapat menjadi dasar individual dalam pembentukan reaiitas dan in-
terpretasi pengalaman hidup.

3. Pengertian Pembelajaran yang Berpusat kepada Peserta


Didik
Pembelajaran yang berpusat kepada peserta didik adalah pembelajar-
an dengan menggunakan sepasang perspektif, yaitu fokus kepada indi-
vidu pembelajar13) dengan fokus pada pembelajaran14). Fokus ganda ini
selanjutnya memberikan informasi dan dorongan pengambilan kepu-
tusan pendidikan. Perspektif yang berpusat kepada peserta didik ini
merupakan suatu refleksi dari 12 prinsip psikologis pembelajaran ber-
pusat kepada peserta didik dalam program, praktek, kebijakan, dan
orang-orang yang mendukung pembelajaran untuk semua.
Berdasarkan prinsip dasar pembelajaran berpusat kepada peserta
didik, maka untuk memberikan gambaran yang jelas tentang perbedaan
orientasi antara pembelajaran berpusat kepada peserta didik dan pem-
belajaran yang tidak berpusat kepada peserta didik, diciptakan dua pro-
fil yang berlawanan, yakni: (a) profil pendidik dengan asumsi berpusat
kepada peserta didik; dan (b) profil pendidik dengan asumsi tidak ber-
pusat kepada peserta didik.
a. Profil pendidik dengan asumsi berpusat kepada peserta didik
Semua peserta didik memiliki potensi untuk belajar. Dalam rangka
untuk memaksimalkan pembelajaran, kita perlu membantu para peserta
didik merasa nyaman mendiskusikan perasaan dan keyakinan mereka.
Memperhatikan kebutuhan sosial, emosional, dan fisik para peserta di-
dik merupakan hal yang sangat penting harus dimunculkan dalam
pembelajaran. Membantu para peserta didik memahami bagaimana ke-
yakinan mereka terhadap diri mereka sendiri mempengaruhi pembel-
ajaran, hal ini sama pentingnya dengan membantu mereka dalam kete-

13)
keturunan, pengalaman, perspektif, latar belakang, bakat, minat, kapasitas, dan ke-
butuhan
14)
pengetahuan yang paling baik tentang pembelajaran dan bagaimana hal itu timbul
serta tentang praktek pengajaran yang paling efektif dalam meningkatkan tingkat
motivasi, pembelajaran, dan prestasi bagi semua pembelajar
52
rampilan akademisnya. Para peserta didik memiliki kemampuan ala-
miah untuk memperoleh pembelajaran sendiri.
Ketika para pendidik merasa rileks dan nyaman dengan diri me-
reka sendiri, mereka memiliki akses untuk mencapai kebijaksanaan
alamiah untuk mengatasi berbagai kesulitas di dalam kelas. Kemauan
untuk berhubungan dengan masing-masing peserta didik merupakan
suatu keunikan individual yang dapat memfasilitasi pembelajaran. Pen-
didik perlu mendukung para peserta didik untuk memperoleh minatnya
masing-masing di sekolah dan mengkaitkan pembelajaran dengan situ-
asi kehidupan nyata mereka. Menerima peserta didik di manapun ber-
ada akan membuat mereka lebih siap belajar. Pendidik memiliki keya-
kinan, bahwa mereka mampu membuat suatu perbedaan dengan semua
peserta didik. Melihat sesuatu dari sudut pandang peserta didik meru-
pakan suatu kunci bagi kebaikan kinerja mereka di sekolah. Pendidik
meyakini, bahwa mendengarkan peserta didik merupakan salah satu
cara menolong mereka menyelesaikan persoalan mereka sendiri.
b. Profil pendidik dengan asumsi yang tidak berpusat kepada
peserta didik
Pendidik berkeyakinan jika para peserta didik tidak dapat menger-
jakan tugas dengan baik, mereka (para peserta didik) harus kembali ke
dasar dan lebih banyak mengembangkan hafalan dan keterampilan. Pe-
kerjaan utama pendidik adalah membantu peserta didik memenuhi
standar kurikulum. Membiarkan mereka berjalan sendiri merupakan
satu hal yang tidak mungkin, karena kebanyakan peserta didik tidak
dapat dipercaya untuk belajar apa yang
Pekerjaan utama seharusnya mereka ketahui. Jika pendi-
pendidik adalah dik tidak memberikan arah bagi peserta
membantu peserta didik, maka peserta didik tidak akan
didik memenuhi mendapat sesuatu jawaban yang benar.
standar kurikulum Mengetahui bahan pelajaran dari pendi-
dik merupakan kontribusi yang sangat
penting, pendidik dapat membuat peserta didik belajar. Pendidik
yang baik selalu mengetahui lebih banyak daripada peserta didiknya.
Banyak alasan yang kompleks mengapa para peserta didik berperilaku

53
tidak tepat. Selain itu, pendidik tidak dapat mempengaruhi sesuatu
yang terjadi di luar sekolah. Jika pendidik memberikan kontrol yang
ketat kepada para peserta didik, maka para peserta didik itu akan mem-
peroleh banyak keuntungan dari pendidik. Agar supaya peserta didik
menghargai pendidik sebagai pengajar, maka sangat perlu memperta-
hankan peran pendidik sebagai figur yang otoriter. Satu hal lagi yang
paling penting, pendidik dapat mengajar para peserta didik bila mereka
mengikuti aturan main dan menger-
jakan seperti apa yang diharapkan di Agar supaya peserta didik
dalam kelas. Kemampuan bawaan menghargai pendidik se-
itu sangat pasti dan beberapa peserta bagai pengajar, maka sa-
didik tidak dapat belajar sebaik pe- ngat perlu mempertahan-
serta didik yang lainnya. Beberapa kan peran pendidik seba-
peserta didik hanya tidak ingin bel- gai figur yang otoriter
ajar. Pendidik seharusnya tidak ba-
nyak berharap dengan peserta didik yang secara
terus-menerus menimbulkan masalah di kelas. Pendidiklah yang paling
tahu apa yang dibutuhkan oleh para peserta didik dan apa yang paling
penting untuk para peserta didik. Para peserta didik seharusnya meng-
gunakan kata-kata yang diajarkan oleh pendidik, hal itu akan menjadi
relevan dengan kebutuhan dalam kehidupan peserta didik.
Kebanyakan pendidik tidak menunjukkan karakteristik yang eks-
trem pada satu profil, tetapi mereka memiliki atribut pada kedua profil
tersebut. Jadi, atribut tersebut bersifat kontinum. Pendidik yang cende-
rung menunjukkan profil berpusat kepada peserta didik umumnya
mampu berkomunikasi dan bekerja sama dengan lebih baik dengan pa-
ra peserta didik. Pendidik-pendidik ini cenderung mementingkan apa
yang ingin dipelajari oleh para peserta didik, termasuk dalam menentu-
kan tujuan pembelajaran, dan mendorong peserta didik untuk belajar
mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam pembelajaran me-
reka, kadang-kadang secara individual dan kadang-kadang dalam kerja
sama kelompok. Pendidik-pendidik ini lebih mampu menggambarkan
bakat, kapasitas, dan kekuatan unik masing-masing peserta didik yang
membawa dorongan untuk pencapaian pembelajaran. Pendidik yang
berpusat kepada peserta didik juga memiliki kemampuan untuk me-

54
ngembangkan tidak hanya intelektual peserta didik, tetapi juga per-
kembangan sosial dan emosional dalam diri para peserta didik.

4. Karakteristik Pendidik Pembelajaran Berpusat kepada Pe-


serta Didik
Pendidik-pendidik yang cenderung menggunakan pembelajaran ber-
pusat kepada peserta didik memiliki karakteritik umum yang menjadi-
kan mereka menjadi pendidik-pendidik yang efektif.
Secara umum, karakteristik pendidik-pendidik yang menggunakan
pembelajaran berpusat kepada peserta didik, adalah:
1) mengakui dan menghargai keunikan masing-masing peserta didik
dengan cara mengakomodasi pemikiran peserta didik, gaya belajar-
nya, tingkat perkembangannya, kemampuan, bakat, persepsi diri,
serta kebutuhan akademis dan non-akademis peserta didik;
2) memahami bahwa pembelajaran adalah suatu proses konstruktif,
oleh karena itu harus diyakinkan bahwa peserta didik diminta untuk
mempelajari sesuatu yang relevan dan bermakna bagi diri mereka.
Selain itu, juga mencoba mengembangkan pengalaman belajar, di
mana peserta didik dapat secara aktif menciptakan dan membangun
pengetahuannya sendiri serta mengaitkan apa yang sudah diketahui-
nya dengan pengalaman yang diperoleh;
3) menciptakan iklim pembelajaran yang positif dengan cara member-
kan kesempatan kepada peserta didik untuk berbicara dengannya
secara personal, memahami peserta didik dengan sebaik-baiknya,
menciptakan lingkungan yang nyaman dan menstimulasi bagi pe-
serta didik, memberikan dukungan kepada peserta didik, mengakui
dan menghargai peserta didik; dan
4) memulai pembelajaran dengan asumsi dasar, bahwa semua peserta
didik dengan kondisinya masing-masing bersedia untuk belajar dan
ingin melakukan dengan sebaik-baiknya, serta memiliki minat in-
trinsik untuk memperkaya kehidupannya.
Pendidik-pendidik yang menggunakan pembelajaran yang berpusat
kepada peserta didik cenderung menciptakan lingkungan pembelajaran
dengan ciri-ciri, sebagai berikut:

55
1) suasana kelas yang hangat, mendukung. Dalam suasana ini, pendi-
dik mengizinkan peserta didik untuk mengenalnya dan selanjutnya
akan menyukainya. Kalau pendidik disukai oleh peserta didik, ma-
ka peserta didik akan bersedia bekerja keras untuk orang yang disu-
kainya;
2) para peserta didik diminta untuk hanya mengerjakan pekerjaan
yang bermanfaat. Pendidik harus menjelaskan manfaat apa yang
akan diperoleh peserta didik jika mereka mengerjakan apa yang di-
minta oleh pendidik. Informasi ini akan menjadi berguna jika secara
langsung dikaitkan dengan keterampilan hidup yang diperlukan pe-
serta didik, sehingga peserta didik terdorong untuk melakukannya
dan pendidik meyakini bahwa hal itu sungguh bermanfaat atau di-
perlukan oleh peserta didik ketika mereka nantinya menjadi seorang
mahasiswa;
3) para peserta didik selalu diminta untuk mengerjakan yang terbaik
yang mereka dapat lakukan. Kondisi kualitas pekerjaan termasuk di
dalamnya adalah pengetahuan peserta didik tentang pendidiknya
dan apa yang diharapkannya serta keyakinannya, bahwa pendidik
memberikan kepedulian untuk membantunya, keyakinan bahwa tu-
gas yang diberikan pendidik itu selalu bermanfaat, keinginan yang
kuat untuk berusaha dengan sekuatnya untuk mengerjakan tugasnya
sebaik-baiknya, dan mengetahui bagaimana pekerjaannya itu akan
dievaluasi dan ditingkatkan kualitasnya;
4) para peserta didik diminta untuk mengevaluasi pekerjaannya. Eva-
luasi diri diperlukan untuk menilai kualitas pekerjaan yang telah di-
lakukan oleh para peserta didik, semua peserta didik harus menge-
tahui bahwa hasil pekerjaannya akan dievaluasi. Berdasarkan hasil
evaluasi itulah, peserta didik tahu bagaimana kualitas pekerjaannya
dapat ditingkatkan serta dapat mengulangi prosesnya sampai kuali-
tas terbaik dapat dicapai;
5) kualitas pekerjaan yang baik selalu menimbulkan perasaan senang.
Para peserta didik merasa senang ketika menghasilkan pekerjaan
berkualitas baik, dan demikian pula dengan orang tuanya serta pen-
didiknya. Perasaan senang ini juga merupakan insentif untuk me-
ningkatkan kualitas; dan

56
6) pekerjaan yang berkualitas tidak pernah destruktif. Pekerjaan yang
berkualitas tidak pernah dicapai melalui pekerjaan yang merusak,
seperti misalnya menggunakan narkoba15) atau menyakiti orang la-
in, merusak lingkungan, dan sebagainya.

5. Metode-metode Pembelajaran Berpusat kepada Peserta Di-


dik
Banyak metode pembelajaran yang dapat dilakukan untuk memfasili-
tasi pembelajaran yang berpusat kepada peserta didik.
Pada kesempatan ini akan diuraikan empat macam metode SCL,
yakni: (1) cooperative learning (pembelajaran kooperatif); (2) collaborative
learning (pembelajaran kolaboratif); (3) competitive learning (pembelajar-
an kompetitif); dan (4) case based learning (pembelajaran berdasar ka-
sus).
a. Pembelajaran kooperatif
1. Prinsip pembelajaran kooperatif
a) Peserta didik belajar dari dan dengan teman-temannya.
b) Peserta didik belajar bersama untuk mencapai suatu tujuan bel-
ajar tertentu.
c) Pendidik membagi otoritas dengan para peserta didik.
d) Peserta didik bertanggung jawab terhadap hasil pembelajaran
yang dicapai.
2. Prosedur pembelajaran
a) Pendidik menjelaskan topik yang akan dipelajari.
b) Kelas dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil, setiap kelom-
pok terdiri atas 5–7 orang
c) Pendidik membagi sub-subtopik kepada masing-masing kelom-
pok, disertai dengan pertanyaan atau tugas-tugas yang berkaitan
dengan masing-masing subtopik.
d) Pendidik meminta masing-masing kelompok mendiskusikan,
menjawab pertanyaan, atau mengerjakan tugas-tugas pada ma-
sing-masing subtopik.

15)
meskipun kadang dirasa menimbulkan rasa senang
57
e) Pendidik meminta masing-masing kelompok mempresentasikan
hasil diskusinya dalam kelompok.
f) Pendidik memfasilitasi pembahasan topik secara menyeluruh.
b. Pembelajaran kolaboratif
1. Prinsip pembelajaran kolaboratif
a) Pembelajaran merupakan proses aktif. Peserta didik mengasimi-
lasi informasi dan menghubungkannya dengan pengetahuan ba-
ru melalui kerangka acuan pengetahuan sebelumnya.
b) Pembelajaran memerlukan suatu tantangan yang akan membuka
wawasan para peserta didik untuk secara aktif berinteraksi de-
ngan temannya.
c) Para peserta didik akan mendapatkan keuntungan lebih jika me-
reka saling berbagi pandangan yang berbeda dengan temannya.
d) Pembelajaran terjadi dalam lingkungan sosial yang memungkin-
kan terjadinya komunikasi. Melalui proses saling bertukar ko-
munikasi ini, peserta didik mencipta kerangka pemikiran dan pe-
maknaan terhadap hal yang dipelajari.
e) Dalam situasi pembelajaran kolaboratif, peserta didik ditantang,
baik secara sosial maupun emosional ketika para peserta didik
harus menghadapi perbedaan perspektif dan memerlukan suatu
kemampuan untuk dapat mempertahankan ide-idenya.
f) Melalui pembelajaran kolaboratif, para peserta didik belajar
mencipta keunikan kerangka konseptual masing-masing. Peserta
didik saling bertukar keyakinan yang berbeda, saling menanya-
kan kerangka acuan masing-masing, dan secara aktif terlibat da-
lam proses membentuk pengetahuan.
2. Prosedur pembelajaran kolaboratif
a) Pendidik menjelaskan topik yang akan dipelajari.
b) Pendidik membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil
yang terdiri atas 5 orang.
c) Pendidik membagikan lembar kasus yang terkait dengan topik
yang dipelajari.
d) Pendidik meminta masing-masing peserta didik membaca kasus
yang telah dibagikan dan mengerjakan tugas yang terkait dengan
persepsi dan solusi terhadap kasus.

58
e) Pendidik meminta para peserta didik mendiskusikan hasil peker-
jaannya dalam kelompok kecil masing-masing.
f) Pendidik meminta masing-masing kelompok kecil mendiskusi-
kan kesepakatan kelompok.
g) Pendidik meminta masing-masing kelompok mempresentasikan
hasil diskusi kelompoknya dan meminta kelompok lain untuk
memberikan tanggapannya.
c. Pembelajaran kompetitif
1. Prinsip pembelajaran kompetitif
a) Memfasilitasi peserta didik saling berkompetisi dengan teman-
nya untuk mencapai hasil terbaik.
b) Kompetisi dapat secara individual maupun kelompok.
c) Kompetisi individual berarti peserta didik berkompetisi dengan
dirinya sendiri dibandingkan dengan pencapaian prestasi sebe-
lumnya. Kompetisi kelompok dilakukan dengan membangun
kerja sama kelompok untuk dapat mencapai prestasi tertinggi.
2. Prosedur pembelajaran kompetitif
a) Pendidik menjelaskan tujuan pembelajaran.
b) Pendidik membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil, sa-
tu kelompok terdiri atas 5–7 orang.
c) Pendidik menjelaskan prosedur tugas yang akan dikompetisikan
dan standar penilaiannya.
d) Pendidik memfasilitasi kelompok untuk dapat mengerjakan tu-
gas dengan sebaik-baiknya.
e) Masing-masing kelompok menunjukkan kinerjanya.
f) Pendidik memberikan penilaian terhadap kinerja kelompok ber-
dasar standar kinerja yang telah dikemukakan.
d. Pembelajaran berdasar kasus
1. Prinsip pembelajaran berdasar kasus
a) Memfasilitasi peserta didik menguasai konsep dan menerapkan
konsep dalam praktek nyata.
b) Memfasilitasi peserta didik menganalisis kasus, tidak hanya ber-
dasarkan „common sense,‟ tetapi dapat menggunakan bekal pra-
knowledge dan materi yang dipelajari.

59
c) Memfasilitasi peserta didik untuk berkomunikasi dan beragu-
mentasi terhadap analisis suatu kasus.
2. Prosedur pembelajaran berdasar kasus
a) Pendidik menjelaskan tujuan pembelajaran dan metode yang
akan digunakan.
b) Pendidik meminta peserta didik mempelajari konsep dasar yang
berkaitan dengan tujuan pembelajaran. Peserta didik diminta
membaca buku teks yang membahas materi tersebut.
c) Pendidik membagikan lembar kasus yang telah dipersiapkan.
Kasus yang disajikan harus relevan dengan tujuan dan materi
pembelajaran.
d) Pendidik membagikan lembar pertanyaan yang harus dijawab
oleh peserta didik berkaitan dengan pembahasan kasus tersebut.
Pertanyaan harus disusun sedemikian, sehingga dapat menjadi
panduan bagi peserta didik untuk dapat menganalisis kasus ber-
dasarkan konsep dasar yang telah dipelajari.
e) Pendidik meminta masing-masing peserta didik mempresentasi-
kan hasil analisis kasusnya. Peserta didik dan pendidik dapat
memberikan tanggapan terhadap presentasinya.
f) Kompetisi individual berarti peserta didik berkompetisi dengan
dirinya sendiri dibandingkan dengan pencapaian prestasi sebe-
lumnya. Kompetisi kelompok dilakukan dengan membangun
kerja sama kelompok untuk dapat mencapai prestasi tertinggi.

Pendekatan Joyful Learning


dalam Pembelajaran PKLH
DANYA isu kekhawatiran terhadap krisis lingkungan me-
mang telah diprediksi sejak Malthus dengan postulatnya,
bahwa kemampuan penduduk untuk bertambah secara ku-
antitas adalah lebih besar dari kesanggupan SDA dalam
menyediakan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Menu-
rutnya, secara matematis dapat dijelaskan, bahwa pertumbuhan pendu-

60
duk akan mengikuti deret ukur, sedangkan pertumbuhan pangan meng-
ikuti deret hitung (Todaro, 1991). Pada gilirannya nanti, SDA tidak
dapat lagi mendukung kebutuhan manusia, sehingga pada saat inilah
terjadi tragedi kelaparan, kekurangan gizi, wabah penyakit, bencana
alam, dan sebagainya yang dapat menyebabkan penderitaan berkepan-
jangan. Prediksi ini didukung oleh hasil penelitian Meadow (1972)
yang menunjukkan, bahwa jika konsumsi dan perlakuan manusia ter-
hadap SDA tetap sejalan dengan garis eksponensial, maka kualitas
lingkungan hidup manusia akan mengalami penurunan secara drastis.
Lebih jauh lagi, bahwasanya akan terjadi hari kiamat (dooms day) yang
diakibatkan oleh pertumbuhan eksponensial dari penggunaan SDA dan
kerusakan lingkungan, pencemaran lingkungan, pertumbuhan pendu-
duk, dan pertumbuhan produksi pangan. Hasil penelitian lain sehu-
bungan dengan penurunan mutu lingkungan dikemukakan oleh Chiras
(1991) yang menganalisis, bahwa kerusakan lingkungan berakar dari
tabiat dasar manusia sebagai imperialis biologis di mana ia memerlu-
kan makan dan berkembang biak, tanpa peduli keterbatasan SDA da-
lam menyediakan kebutuhan hidup bagi diri dan keturunannya. Aku-
mulasi dari tabiat ini membentuk suatu mental yang berpandangan,
bahwa manusia diciptakan untuk menguasai alam serta keberadaan
alam itu sendiri tidak terbatas. Pandangan ini selanjutnya memberikan
warna terhadap perilaku manusia dalam memanfaatkan lingkungan hi-
dupnya, sehingga kerusakan-kerusakan seperti yang telah dikemuka-
kan di atas terjadi tanpa dapat dicegah.
Dengan demikian, masalah-masalah lingkungan hidup yang mun-
cul tidak dapat dipecahkan secara teknis semata, namun yang lebih
penting adalah pemecahan yang dapat mengubah mental serta kesadar-
an akan pengelolaan lingkungan. Meskipun memerlukan proses yang
panjang, serta hasilnya tidak dapat dilihat dengan segera seperti halnya
pemecahan secara teknis, namun pemecahan melalui pembinaan per-
ubahan perilaku ke arah lebih bertanggung jawab dalam pengelolaan
lingkungan merupakan hal yang sangat strategis untuk dilakukan. Hal
ini merupakan tantangan bagi pengembangan pendidikan lingkungan
untuk memberikan kontribusi terhadap pembentukan perilaku yang
bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup.

61
Namun demikian, ketidakpuasan akan pembelajaran PKLH mun-
cul manakala proses pembelajarannya tidak mendukung pada pengem-
bangan daya nalar dan kreativitas peserta didik, serta terciptanya sua-
sana belajar yang membosankan dan tidak menarik. Cara pendidik da-
lam penyampaian yang kurang berorientasi pada tingkat berpikir pe-
serta didik, dan juga kecenderungan, bahwa proses pembelajaran
PKLH menggunakan metode ceramah yang monoton merupakan fak-
tor lainnya. Sementara itu, pertumbuhan ke arah berpikir kreatif akan
berkembang jika peserta didik senantiasa memperoleh stimuli melalui
pembelajaran yang dapat mendukung pengembangan proses berpikir
kreatif (creative thinking), memberi bekal keterampilan-keterampilan
untuk menghadapi kehidupan (life skills), dan menciptakan suasana bel-
ajar yang menyenangkan (joyful learning). Pembelajaran PKLH sebagai
pembinaan ke arah perilaku yang bertanggung jawab terhadap ling-
kungan hidup harus direncanakan dan dilaksanakan secara kondusif
dan menyenangkan, sehingga peserta didik memiliki motivasi dan per-
hatian untuk belajar lebih jauh.

1. Pembelajaran PKLH
PKLH merupakan bidang studi yang mempelajari kesatuan ruang de-
ngan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk manu-
sia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan
dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Secara filo-
sofis, lingkungan hidup itu sendiri adalah berkenaan dengan permu-
kaan bumi sebagai acuan dan segala aktivitas manusia (Swan dan
Stapp, 1974: 59).
Oleh karena bumi merupakan titik tolak dalam berbagai aktivitas
manusia, maka konsep lingkungan dapat diklasifikasikan sebagai be-
rikut:
1) bumi sebagai sistem yang tertutup yang mendapatkan energi dari
matahari, memiliki sumberdaya air, udara, dan tanah dengan per-
sediaan yang terbatas untuk kesejahteraan manusia, memiliki ka-
pasitas sistem dan siklus alam, serta memiliki materi atau bahan
mentah yang terbatas;
2) biosfer yang meliputi makhluk hidup dan benda mati;
62
3) manusia yang memiliki peran penting dalam berinteraksi dengan
lingkungan alam;
4) ekonomi dan teknologi yang memberikan kontribusi pada kesejah-
teraan manusia dan keberlanjutan lingkungan hidup; dan
5) kebijakan lingkungan hidup yang dapat menentukan dalam penge-
lolaan lingkungan hidup.
Dalam kajiannya, PKLH diintegrasikan pada berbagai bidang studi
yang mempelajari hubungan antara jasad hidup dengan istilah dan
lingkungannya. Di dalamnya termasuk bidang studi IPA, IPS, Orkes,
dan Bahasa. Berbagai disiplin ilmu tersebut dipandang dalam suatu
ruang lingkup serta perspektif yang luas dan saling berkaitan. Pada da-
sarnya, PKLH merupakan
Pada dasarnya, PKLH merupa-
wadah bagi pendekatan in-
kan wadah bagi pendekatan in-
terdisipliner dalam meng-
terdisipliner dalam mengatasi per-
atasi permasalahan yang ber-
masalahan yang berkenaan de-
kenaan dengan lingkungan
ngan lingkungan hidup manusia,
hidup manusia, khususnya
khususnya dan organisme hidup
dan organisme hidup pada
pada umumnya
umumnya. Dalam mengkaji
PKLH, tekanan ditujukan terutama pada menyatukan kembali segala
ilmu yang menyangkut masalah lingkungan ke dalam kategori variabel
yang menyangkut energi, materi, ruang, waktu, dan keanekaragaman.
Tujuan pembelajaran PKLH itu sendiri adalah pembinaan pening-
katan pengetahuan, kesadaran, sikap, nilai, dan perilaku KLH yang
bertanggung jawab. Perilaku dalam hal ini berhubungan langsung de-
ngan niat untuk bertindak (intention to act) (Orams, 1994). Namun sebe-
lum sampai pada ketetapan bertindak, terdapat empat faktor yang
mempengaruhi, yakni: (1) kesiapan dalam bertindak, (2) pengetahuan
tentang strategi bertindak, (3) pengetahuan tentang isu, dan (4) faktor-
faktor kepribadian, seperti sikap, lokus kontrol, dan tanggung jawab
individu.
Tugas pendidik dalam pembelajaran PKLH adalah selain memben-
tuk peserta didik untuk memiliki niat bertindak yang positif terhadap
lingkungan hidup, juga memberikan kondisi yang mendukung ke arah
perilaku yang sesuai dengan niat tadi. Hal ini disebabkan untuk men-

63
capai ke arah keberlanjutan lingkungan hidup, niat saja tidak cukup
tanpa perilaku yang mendukung.

2. Pendekatan Joyful Learning dalam Pembelajaran PKLH


Sesuai dengan tujuan pembelajaran PKLH, maka pembelajaran yang
efektif seyogianya menggunakan berbagai macam pendekatan yang
dapat menyenangkan dan menarik perhatian peserta didik. Tujuan
utamanya adalah membantu peserta didik untuk belajar dengan senang
hati, sehingga belajar itu merupakan hal yang menyenangkan bukan
beban. Untuk membantu ingatan peserta didik banyak digunakan
mnemonic dengan beberapa simbol, nyanyian, dan puisi yang menjadi
jembatan keledai.
Sebagai contoh, menjumlahkan hari dalam sebulan dengan sebuah
jingle September, April, Juni, dan November punya 30 hari, selebihnya
31 hari, kecuali Februari yang punya 28 hari yang kekecualiannya ada-
lah untuk tahun kabisat, kita perlu menambahkan satu hari lagi. Demi-
kian juga, dalam mempelajari nama-nama planet di tata surya dengan
mnemonic ‘MOVE MY SUN’ di mana M adalah Merkurius, O dibuang, V
Venus, E (Earth) Bumi dan so on (= dan seterusnya). Pluto harus ditam-
bahkan pada bagian akhir.
Selain itu, peserta didik lebih baik diajak turut memecahkan masa-
lah daripada mendengarkan saja. Mereka akan belajar lebih banyak
tentang konsep PKLH jika mereka secara aktif terlibat dalam eksperi-
men, membicarakannya, memikirkannya, dan menerapkannya pada du-
nia nyata di sekitar mereka. Perlu diingat, bahwa prinsip ilmiah yang
baru tidak akan diketemukan dengan duduk di ruang kelas semata, me-
lainkan dikaji di laboratorium dengan bereksperimen serta secara aktif
terlibat dalam pembelajaran. Selain itu, belajar merupakan proses yang
berkelanjutan, sehingga kegiatan pembelajaran sebaiknya dikembang-
kan berdasarkan urutan, di mana setiap pengalaman dikembangkan
berdasarkan proses pembelajaran sebelumnya.
Jika pembelajaran PKLH melalui pendekatan joyful learning ingin
mencapai tujuan, maka sebaiknya memperhatikan tiga faktor sebagai
berikut:

64
1) kebermaknaan; pemahaman akan meningkat bila informasi baru de-
ngan gagasan dan pengetahuan yang telah dikuasai oleh peserta di-
dik. Khususnya, istilah dan konsep sering sulit dipahami. Pema-
haman tersebut perlu digali melalui pengalaman peserta didik itu
sendiri;
2) penguatan; terdiri atas pengulangan oleh pendidik dan latihan oleh
peserta didik. Pengulangan tersebut dan latihan dapat menanggu-
langi proses lupa. Dalam pendekatan joyful learning, penguatan me-
rupakan hal yang harus diperhatikan; dan
3) umpan balik; kegiatan belajar akan efektif bila peserta didik meneri-
ma dengan cepat tentang hasil-hasil tugas belajar tersebut. Umpan
balik sederhana, misalnya koreksi jawaban peserta didik atas perta-
nyaan pendidik selama pelajaran berlangsung, atau koreksi pekerja-
an peserta didik.
Terdapat lima model pembelajaran yang dapat mendukung Pende-
katan Joyful Learning, yakni:
1) diskusi, memiliki arti yang penting dalam mengembangkan pema-
haman. Hal ini disebabkan diskusi membawa peserta didik meng-
gunakan konsep yang mereka pelajari serta mengubahnya menjadi
bentuk ekspresi yang cukup menyenangkan bagi peserta didik. Ke-
giatan diskusi yang menyenangkan dapat terpenuhi dengan: (a) pe-
ngelompokan arti istilah dan pernyataan; (b) mengadakan pema-
haman bersama dalam suatu kelompok; (c) berbagi pengetahuan
dan pengalaman; (d) membantu peserta didik memahami informasi
baru; (e) mengidentifikasi berbagai opini dan pandangan; dan (f)
bekerja sama dalam pemecahan masalah;
2) penyelidikan terbimbing. Penyelidikan terbimbing dalam pembelajaran
PKLH sangatlah relevan, selain menyenangkan juga peluang bagi
peserta didik untuk meneliti apa yang telah mereka pelajari dan me-
nerapkannya pada dunia nyata. Penyelidikan yang terbimbing dapat
dilakukan dalam berbagai bentuk, di antaranya mencari tahu ten-
tang siklus air misalnya atau mencari tahu aspek-aspek yang me-
nyebabkan air menjadi tercemar, dan sebagainya. Penyelidikan ter-
bimbing akan efektif jika mengikuti serangkaian langkah berikut:
(a) peserta didik memilih atau diberi topik yang perlu diselidiki atau
65
diteliti; (b) mengumpulkan informasi yang mereka perlukan; (c)
menganalisis informasi yang telah mereka kumpulkan; dan (d) me-
nyajikan sebuah laporan tentang temuan-temuan penyelidikan terse-
but dapat berbentuk presentasi di kelas, serangkaian gambar, dia-
gram, dan grafik dinding, atau laporan tertulis;
3) model IODE. Istilah IODE merupakan akronim bahasa Inggris untuk
intake (penerimaan), organization (pengaturan), demonstration (peraga-
an), dan expression (pengungkapan). Keempat huruf tersebut menun-
jukkan, bahwa ada empat jenis kegiatan peserta didik pada urutan
kegiatan belajar. Model tersebut merupakan cara belajar alami da-
lam memperoleh pengetahuan baru dalam bidang studi dan cukup
menyenangkan peserta didik. Sebagai contoh, dalam pembelajaran
PKLH adalah topik efek gangguan iklim El Nino yang telah me-
nimbulkan kekeringan yang luas, kegagalan panen, dan kebakaran
hutan di Indonesia. Penerapan dalam pembelajaran di kelas, sebagai
berikut:
a. penerimaan (intake): mendengarkan informasi pelajaran, melihat
foto, peta, dan gambar yang menunjukkan efek-efek El Nino,
membaca koran, majalah dan buku, mendengarkan laporan radio
dan menonton laporan TV tentang El Nino, mewawancarai peta-
ni yang panennya telah dirusakkan oleh El Nino;
b. pengaturan (organize): memetakan daerah-daerah yang terkena El
Nino, tulis laporan tentang petani yang terkena kekeringan, siap-
kan grafik dan tabel yang menunjukkan kerugian karena hilang-
nya produksi pertanian dan kerugian karena kebakaran hutan,
gabungkan laporan-laporan koran tentang turunnya jumlah orang
hutan karena kebakaran hutan, dan seterusnya;
c. peragaan (demonstrate): menjelaskan bagaimana El Nino terben-
tuk, menggambarkan daerah-daerah dunia yang terkena efek El
Nino, serta merangkum pengaruh El Nino terhadap produksi be-
ras, kerugian hutan, hilang dan matinya binatang hutan, dan se-
terusnya; dan
d. pengungkapan (expressi): membuat diagram yang menggambar-
kan efek El Nino, serta menyajikan dalam pembicaraan di kelas
tentang El Nino. Atau juga menulis puisi yang menggambarkan
66
perasaan seorang petani yang terkena kekeringan serta menulis
ce-rita tentang kebakaran hutan, dan seterusnya.
4) model memecahan masalah. Model ini dapat digunakan dalam Pende-
katan Joyful Learning karena dapat menarik minat peserta didik un-
tuk memecahkan masalah-masalah lingkungan hidup di sekitamya.
Seperti, mengapa terjadi banjir, mengapa terjadi wabah kolera,
mengapa hutan penting bagi kehidupan manusia, dan sebagainya.
Dalam model pemecahan masalah ini, tahap-tahap dalam penyele-
saian masalah berbeda-beda sesuai dengan masalah yang bersang-
kutan, namun secara umum tahapan ini dapat diurutkan sebagai be-
rikut:
a. identifikasi masalah. Tahap ini merupakan pengenalan masalah
atau isu yang ada di sekitar peserta didik. Dalam hal ini peserta
didik dapat dilibatkan untuk mengemukakan masalah-masalah
yang mereka lihat dan rasakan;
b. survei masalah. Pertimbangan tentang berbagai sudut pandang
dan aspek yang terkait dengan masalah guna meningkatkan pe-
ngertian tentang masalah tersebut;
c. definisi masalah. Pendefinisian masalah secara tepat akan mem-
bantu peserta didik untuk menyelesaikan masalah;
d. fokus masalah. Ukuran masalah perlu dipertimbangkan untuk di-
pahami karena akan mempengaruhi cara penyelesaian yang akan
dilakukan; pendidik memiliki peran penting dalam membantu
peserta didik untuk mengarahkan pada persoalan yang utama;
e. analisis faktor-faktor penyebab. Faktor penyebab harus dicari
begitu masalahnya telah diketahui dan ditentukan ukurannya.
Karena itu, perlu mengembangkan pemahaman peserta didik
tentang masalah itu sendiri; dan
f. pemecahan masalah, karena upaya untuk menyelesaikan masa-
lah sering menimbulkan masalah lain. Peserta didik dalam hal
ini sebaiknya diikutsertakan; dan
5) kerja kelompok. Melalui kerja kelompok peserta didik diberi peluang
untuk menentukan tujuan, mengajukan dan menyelidiki, menjelas-
kan konsep, dan membahas masalah. Kerja sama peserta didik da-
pat merangsang pemikiran mereka untuk berbagi gagasan. Menjadi

67
bagian dari suatu kelompok akan menumbuhkan rasa saling memi-
liki, saling hormat, dan tanggung jawab. Sikap dan perilaku serta
keterbukaan pikiran, tanggung jawab, kerja sama, dan perhatian ke-
pada orang lain juga dapat dikembangkan. Itu semua adalah ke-
istimewaan penting tentang perilaku kelompok yang efektif. Kerja
kelompok yang baik memerlukan persiapan yang cermat dan dipa-
kai hanya:
a. untuk kegiatan yang memiliki sasaran yang jelas dan yang dapat
dilakukan dengan lebih baik oleh suatu kelompok dibandingkan
oleh perseorangan;
b. untuk kegiatan di mana semua anggota kelompok yang ber-
sangkutan dapat diberi tugas berguna yang harus dilaksanakan;
dan
c. bila semua anggota kelompok tersebut memiliki keterampilan
yang diperlukan untuk melaksanakan tugas yang telah diberikan
kepada mereka.
Keterampilan tersebut perlu waktu untuk dikembangkan dan
dipraktekan secara terus-menerus. Saran-saran berikut ini mungkin
berguna ketika memulai kerja kelompok dengan kelas, yakni:
a. mulailah kerja kelompok secara perlahan-lahan. Jaga agar ke-
lompok yang bersangkutan tetap kecil, mungkin tidak lebih dari-
pada 5–8 peserta didik;
b. pilihlah tugas yang sederhana, singkat, dan terdefinisi dengan
baik, dan mungkin diselesaikan secara sukses oleh kelompok
yang bersangkutan;
c. angkatlah seorang pemimpin dan seorang pencatat untuk kelom-
pok tersebut atau suruhlah peserta didik yang bersangkutan
mengangkatnya. Jelaskan tanggung jawab pemimpin, pencatat
tersebut, dan para anggota lainnya;
d. beri peserta didik tersebut bahan-bahan sumber yang mereka
perlukan untuk menyelesaikan tugas yang bersangkutan (bila
mereka lebih berpengalaman, mereka dapat mengumpulkan
sumber mereka sendiri); dan
e. gunakan sejumlah waktu dengan setiap kelompok pada awal dan
akhir setiap masa kerja. Beri mereka bantuan dan saran tertentu

68
tentang cara mereka untuk melakukan pekerjaan mereka dan ca-
ra melaporkan kembali ke seluruh kelas tentang apa yang sedang
mereka lakukan. Pastikanlah bahwa laporan kelompok tersebut
ke seluruh kelas benar-benar ringkas dan menarik.

PKLH Bukan untuk Pembebanan Baru


bagi Peserta Didik
ANUSIA terdiri atas pikiran dan rasa di mana keduanya harus
digunakan. Rasa menjadi penting digerakkan terlebih dahu-
lu, karena seringkali dilupakan. Bagaimana memulai
PKLH? PKLH harus dimulai dari HATI. Tanpa sikap men-
tal yang tepat, semua pengetahuan dan keterampilan yang
diberikan hanya akan menjadi sampah semata.
Untuk membangkitkan kesadaran manusia terhadap PKLH di seki-
tarnya, proses yang paling penting dan harus dilakukan, adalah dengan
menyentuh hati. Jika proses penyadaran telah terjadi dan perubahan si-
kap dan pola pikir terhadap PKLH telah terjadi, maka dapat dilakukan
peningkatan pengetahuan dan pemahaman mengenai PKLH, serta pe-
ningkatan keterampilan dalam mengelola PKLH.

1. PKLH: Dalam Buku Catatan


Pada tahun 1986, pendidikan lingkungan hidup dan kependudukan di-
masukkan ke dalam pendidikan formal dengan dibentuknya mata pel-
ajaran PKLH. Depdikbud merasa perlu untuk mulai mengintegrasikan
PKLH ke dalam semua mata pelajaran.
Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, penyampaian mata
ajar tentang masalah PKLH secara integratif dituangkan dalam sistem
kurikulum tahun 1984 dengan memasukkan masalah-masalah PKLH
ke dalam hampir semua mata pelajaran. Sejak tahun 1989/1990 hingga
saat ini berbagai pelatihan tentang lingkungan hidup telah diperkenal-
kan oleh Kemendiknas bagi pendidik-pendidik SD, SMP, dan SMA
termasuk SMK.
69
Di tahun 1996 terbentuk JPL antara LSM-LSM yang berminat dan
menaruh perhatian terhadap PLH. Hingga tahun 2004 tercatat 192 ang-
gota JPL yang bergerak dalam pengembangan dan pelaksanaan PLH.
Selain itu, terbit Memorandum Bersama antara Depdikbud dengan
Kantor Meneg LH Nomor 0142/U/1996 dan Nomor Kep: 89/MENLH/
5/1996 tentang Pembinaan dan Pengembangan PLH, tanggal 21 Mei 1996.
Sejalan dengan itu, Ditjen Dikdasmen Depdikbud juga terus mendo-
rong pengembangan dan pemantapan pelaksanaan PLH di sekolah-
sekolah, antara lain melalui penataran pendidik, penggalakan bulan
bakti lingkungan, penyiapan Buku Pedoman Pelaksanaan PKLH untuk
Pendidik SD, SLTP, SMU, dan SMK, program sekolah asri, dan lain-
lain. Sementara itu, LSM maupun perguruan tinggi dalam mengem-
bangkan PLH melalui kegiatan seminar, sarasehan, lokakarya, penatar-
an pendidik, pengembangan sarana pendidikan, seperti penyusunan
modul-modul integrasi, buku-buku bacaan, dan lain-lain.
Pada tanggal 5 Juli 2005, Meneg LH dan Mendiknas mengeluar-
kan SK bersama Kep Nomor 07/MenLH/06/2005 dan Nomor 05/VI/
KB/2005 untuk pembinaan dan pengembangan PLH. Di dalam kepu-
tusan bersama ini, sangat ditekankan PLH dilakukan secara integrasi
dengan mata ajaran yang telah ada.

2. PKLH: Bahan Dasar yang Dilupakan


Salah satu puncak perkembangan PLH adalah dirumuskannya tujuan
pendidikan lingkungan hidup menurut UNCED, seperti berikut.
PLH (environmental education) adalah suatu proses untuk memba-
ngun populasi manusia di dunia yang sadar dan peduli terhadap ling-
kungan total (keseluruhan) dan segala masalah yang berkaitan dengan-
nya, dan masyarakat yang memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap
dan tingkah laku, motivasi, serta komitmen untuk bekerja sama, baik
secara individu maupun secara kolektif, untuk dapat memecahkan ber-
bagai masalah lingkungan saat ini, dan mencegah timbulnya masalah
baru (UN – Tbilisi, Georgia – USSR dalam UNESCO, 1978).
PLH memasukkan aspek afektif, yaitu tingkah laku, nilai, dan ko-
mitmen yang diperlukan untuk membangun masyarakat yang berkelan-

70
jutan (sustainable). Pencapaian tujuan afektif ini biasanya sukar dilaku-
kan. Oleh karena itu, dalam pembelajaran pendidik perlu memasukkan
metode-metode yang memungkinkan berlangsungnya klarifikasi dan
internalisasi nilai-nilai. Dalam PLH perlu dimunculkan atau dijelaskan
bahwa dalam kehidupan nyata memang selalu terdapat perbedaan ni-
lai-nilai yang dianut oleh individu. Perbedaan nilai tersebut dapat
mempersulit untuk derive the fact, serta dapat menimbulkan kontrover-
si/pertentangan pendapat. Oleh karena itu, PLH perlu memberikan ke-
sempatan kepada peserta didik untuk membangun keterampilan yang
dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah.
Adapun keterampilan yang diperlukan untuk memecahkan masa-
lah, sebagai berikut:
1) berkomunikasi: mendengarkan, berbicara di depan umum, menulis
secara persuasif, desain grafis;
2) investigasi (investigation): merancang survei, studi pustaka, melaku-
kan wawancara, menganalisis data; dan
3) keterampilan bekerja dalam kelompok (group process): kepemimpin-
an, pengambilan keputusan, dan kerja sama.
PKLH haruslah:
1) mempertimbangkan PKLH sebagai suatu totalitas – alami dan bu-
atan, bersifat teknologi dan sosial16);
2) merupakan suatu proses yang berjalan secara terus-menerus dan
sepanjang hidup, dimulai pada zaman prasekolah, dan berlanjut ke
tahap pendidikan formal maupun non-formal;
3) mempunyai pendekatan yang sifatnya interdisipliner, dengan me-
narik/mengambil isi atau ciri spesifik dari masing-masing disiplin
ilmu, sehingga memungkinkan suatu pendekatan yang holistis dan
perspektif yang seimbang;
4) meneliti (examine) isu PKLH yang utama dari sudut pandang lokal,
nasional, regional, dan internasional, sehingga peserta didik dapat
menerima insight mengenai kondisi penduduk dan lingkungan di
wilayah geografis yang lain;

16)
ekonomi, politik, kultural, historis, moral, dan estetika
71
5) memberi tekanan pada situasi lingkungan saat ini dan situasi ling-
kungan yang potensial, dengan memasukkan pertimbangan per-
spektif historisnya;
6) mempromosikan nilai dan pentingnya kerja sama lokal, nasional
dan internasional untuk mencegah dan memecahkan masalah-ma-
salah lingkungan;
7) secara eksplisit mempertimbangkan/memperhitungkan aspek ling-
kungan dalam rencana pembangunan dan pertumbuhan;
8) memampukan peserta didik untuk mempunyai peran dalam meren-
canakan pengalaman belajar mereka, dan memberi kesempatan ke-
pada mereka untuk membuat keputusan dan menerima konse-
kuensi dari keputusan tersebut;
9) menghubungkan (relate) kepekaan pada lingkungan, pengetahuan,
keterampilan untuk memecahkan masalah dan klarifikasi nilai pa-
da setiap tahap umur, tetapi bagi umur muda (tahun-tahun perta-
ma) diberikan tekanan yang khusus terhadap kepekaan lingkungan
terhadap lingkungan tempat mereka hidup;
10) membantu peserta didik untuk menemukan (discover), gejala-gejala
dan penyebab dari masalah KLH;
11) memberi tekanan mengenai kompleksitas masalah KLH, sehingga
diperlukan kemampuan untuk berpikir secara kritis dengan kete-
rampilan untuk memecahkan masalah; dan
12) memanfaatkan beraneka ragam situasi pembelajaran (learning envi-
ronment) dan berbagai pendekatan dalam pembelajaran mengenai
dan dari lingkungan dengan tekanan yang kuat pada kegiatan-ke-
giatan yang sifatnya praktis dan memberikan pengalaman secara
langsung (first – hand ex-perience).
Karena langsung mengkaji masalah yang nyata, PKLH dapat
mempermudah pencapaian keterampilan tingkat tinggi (higher order
skill), seperti: (1) berpikir kritis; (2) berpikir kreatif; (3) berpikir integ-
ratif; dan (4) memecahkan masalah.
Persoalan KLH merupakan persoalan yang bersifat sistemis, kom-
pleks, serta memiliki cakupan yang luas. Oleh sebab itu, materi atau
isu yang diangkat dalam penyelenggaraan kegiatan PKLH juga sangat
beragam. Sesuai dengan kesepakatan nasional tentang Pembangunan
72
Berkelanjutan yang ditetapkan dalam ISSD di Yogyakarta pada tanggal
21 Januari 2004, telah ditetapkan tiga pilar pembangunan berkelanjut-
an, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Kesadaran subjektif dan kemampuan objektif adalah suatu fungsi
dialektis yang ajek (constant) dalam diri manusia dalam hubungannya
dengan kenyataan yang saling bertentangan yang harus dipahaminya.
Memandang kedua fungsi ini tanpa dialektika17) semacam itu, bisa
menjebak kita ke dalam kerancuan berpikir. Objektivitas pada penger-
tian si penindas bisa saja berarti subjektivitas pada pengertian si tertin-
das, dan sebaliknya. Jadi hubungan dialektis tersebut tidak berarti per-
soalan mana yang lebih benar atau yang lebih salah. Oleh karena itu,
pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan di-
alektisnya yang ajek, yakni: pendidik, peserta didik, dan realitas dunia.
Yang pertama dan kedua adalah subjek yang sadar (cognitive), semen-
tara yang ketiga adalah objek yang tersadari atau disadari (cognizable).
Hubungan dialektis semacam inilah yang kemungkinan tidak terdapat
pada sistem pendidikan mapan selama ini.
Dengan kata lain, langkah awal yang paling menentukan dalam
upaya pendidikan pembebasannya (freire), yakni suatu proses yang te-
rus-menerus, maka proses penyadaran akan selalu ada dan merupakan
proses yang sehati (inheren) dalam keseluruhan proses pendidikan itu
sendiri. Maka, proses penyadaran merupakan proses inti atau hakikat
dari proses pendidikan itu sendiri. Dunia kesadaran seseorang memang
tidak boleh berhenti, mandeg, ia senantiasa harus terus berproses, ber-
kembang, dan meluas, dari satu tahap ke tahap berikutnya, dari tingkat
kesadaran naif sampai ke tingkat kesadaran kritis, sampai akhirnya
mencapai tingkat kesadaran tertinggi dan terdalam, yakni kesadaran-
nya kesadaran (the consice of the consciousness)18).

17)
ajaran Hegel yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang terdapat di alam semesta
itu terjadi dari hasil pertentangan dua hal dan yang menimbulkan hal lain lagi
18)
Joseph Cornell, seorang pendidik alam (nature educator) yang terkenal dengan per-
mainan di alam yang dikembangkannya sangat memahami psikologi ini. Sekitar ta-
hun 1979 ia mengembangkan konsep belajar beralur (flow learning). Berbagai kegiat-
an atau permainan disusun sedemikian rupa untuk menyinkronkan proses belajar di
dalam pikiran, rasa, dan gerak. Ia merancang sedemikian rupa agar kondisi emosi
73
3. PKLH: Terjerumus di Jurang Pembebanan Baru
Pendidikan saat ini telah menjadi sebuah industri. Bukan lagi sebagai
sebuah upaya pembangkitan kesadaran kritis. Hal ini mengakibatkan
terjadinya praktek jual-beli gelar, jual-beli ijazah, hingga jual-beli ni-
lai. Belum lagi diakibatkan kurangnya dukungan pemerintah terhadap
kebutuhan tempat belajar, telah menjadikan tumbuhnya bisnis-bisnis
pendidikan yang mau tidak mau semakin membuat rakyat yang tidak
mampu semakin terpuruk. Pendidikan hanyalah bagi mereka yang te-
lah memiliki ekonomi yang kuat, sedangkan bagi kalangan miskin,
pendidikan hanyalah sebuah mimpi.
Dunia pendidikan sebagai ruang bagi peningkatan kapasitas anak
bangsa haruslah dimulai dengan sebuah cara pandang, bahwa pendi-
dikan adalah bagian untuk mengembangkan potensi, daya pikir dan da-
ya nalar, serta pengembangan kreativitas yang dimiliki. Sistem pendi-
dikan yang mengebiri ketiga hal tersebut hanyalah akan menciptakan
keterpurukan SDM yang dimiliki bangsa ini yang hanya akan menja-
dikan Indonesia tetap terjajah dan tetap di bawah ketiak bangsa asing.
Pada dua tahun terakhir, PKLH di Kaltim misalnya, sangatlah ber-
jalan perlahan di tengah hiruk-pikuk penghabisan kekayaan alam Kal-
tim. Inisiatif-inisiatif baru bermunculan. Kota Balikpapan memulai de-
ngan dibantu oleh Program Kerja Sama Internasional, lahirlah kurikulum
pendidikan kebersihan dan lingkungan yang menjadi salah satu muatan
lokal. Diikuti kemudian oleh Kabupaten Nunukan. Sementara saat ini
sedang dalam proses adalah Kota Samarinda, Kabupaten Malinau, dan
Kota Tarakan. Kesemua wilayah ini terdorong ke arah jurang, hadirnya
muatan lokal beraroma PLH.
Tak ada yang salah dengan muatan lokal. Namun sangat disayang-
kan dalam proses-proses yang dilakukan sangat meninggalkan prinsip-
prinsip dari PLH itu sendiri. Nuansa hasil yang berwujud (buku, mo-
dul, kurikulum), sangat terasa dalam setiap aktivitas pembuatannya.
Perangkat-perangkat pendukung masih sangat jauh mengikutinya.

peserta didik dalam keadaan sebaik-baiknya pada saat menerima hal-hal yang pen-
ting dalam belajar
74
PKLH hari ini, bisa jadi mengulang pada kejadian beberapa tahun
yang lalu, ketika PKLH mulai diluncurkan. Statis, monolitik, membu-
nuh kreativitas. Prasyarat yang belum mencukupi yang kemudian di-
paksakan, berakhir pada frustasi berkelanjutan.
Sangat penting dipahami, bahwa pola CBSA, KBK, dan berbagai
teknologi pendidikan lainnya yang dikembangkan, kesemuanya ber-
muara pada kapasitas seorang pendidik. Kemampuan berekspresi dan
berkreasi sangat dibutuhkan dalam mengembangkan kemampuan ber-
pikir kritis peserta didik. Bila tidak, lupakanlah.
Demikian pula dengan PLH, sangat dibutuhkan kapasitas pendidik
yang mampu membangkitkan kesadaran kritis. Bukan sekadar untuk
memicu kreativitas peserta didik. Kesadaran kritis inilah yang akhirnya
akan tereliminasi di saat PLH diperangkap dalam kurikulum muatan
lokal. Peserta didik akan kembali berada dalam ruang statis, mengejar
nilai semu, dan memperoleh pembebanan baru.

75
76
D. Evaluasi
Pembelajaran
PKLH

Pentingnya Evaluasi Pem-


belajaran PKLH dalam PBM
EORANG pendidik tentu memiliki andil yang sangat besar dalam
keberhasilan peserta didik ketika belajar di sekolah. Oleh se-
bab itu, seorang pendidik harus memiliki keterampilan dan
pengetahuan untuk memotivasi peserta didik dapat belajar.
Pendidik yang baik tidak selalu merasa dirinya paling benar
dan pintar, akan tetapi peserta didik dijadikan sebagai tempat saling
menukar ilmu. Sebaliknya peserta didik akan menjadikan seorang pen-
didik itu sebagai motivator, mentor, atau sebagai salah satu sumber ba-
gi mereka untuk mendapatkan ilmu dan untuk mengajukan pertanyaan.
Oleh sebab itu, seharusnya pendidik memiliki pengetahuan yang luas,
selalu mencari tahu, dan selalu belajar.
Seorang pendidik dapat dikatakan telah memberikan pembelajaran
jika terjadi perubahan tingkah laku terhadap peserta didiknya, tentunya
ke arah yang positif, juga menjadikan peserta didiknya tahu dan me-
ngerti tentang ilmu pengetahuan yang disampaikan. Selain itu, seorang
pendidik harus memperhatikan tahapan evaluasi pembelajaran supaya
dapat memberikan penilaian yang baik bagi peserta didiknya.
Evaluasi merupakan suatu proses yang dapat dijadikan salah satu
acuan oleh seorang pendidik untuk mengetahui berhasil atau tidaknya
PBM. Menurut para ahli yang mengemukakan pengertian evaluasi,

77
antara lain Davies, bahwa evaluasi merupakan proses untuk mem-
berikan atau menetapkan nilai ke sejumlah tujuan, kegiatan, keputusan,
unjuk kerja, proses, orang, maupun objek. Menurut Wand dan Brown,
evaluasi merupakan suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu.
Maka dapat disimpulkan, bahwa pengertian evaluasi adalah proses
yang sistematis dalam menentukan nilai atau tujuan tertentu. Adapun
pengertian dari evaluasi pembelajaran merupakan penilaian kemampu-
an belajar peserta didik yang dilakukan secara berkala, baik berupa uji-
an tes tertulis maupun tidak tertulis sebagai pertanggungjawaban pen-
didik dalam melaksanakan pembelajaran. Karakteristik peserta didik
yang dijadikan penilaian, adalah tampilan dalam bidang kognitif (pe-
ngetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan).

1. Pentingnya Seorang Pendidik Melakukan Evaluasi Pembel-


ajaran dengan Baik
Seorang pendidik dapat dikatakan berhasil dalam memberikan pem-
belajaran apabila telah terjadi perubahan tingkah laku peserta didik
atau pengetahuan peserta didik ke arah yang lebih positif atau lebih ba-
ik. Oleh karena itu, pendidik memiliki andil yang sangat besar dalam
keberhasilan peserta didiknya. Oleh sebab itu, sangat penting bagi se-
orang pendidik mengevaluasi peserta didiknya dengan cara yang baik
dan objektif. Sesuai dengan salah satu peran pendidik yang disebutkan,
bahwa pendidik merupakan evaluator. Artinya, untuk mengetahui se-
jauhmana proses belajar dilakukan; selain itu pendidik harus dapat me-
ngoreksi apakah cara pembelajarannya itu harus diperbaiki atau diper-
tahankan.
Pentingnya evaluasi bagi pendidik bertujuan untuk: (a) menggam-
barkan kemampuan belajar peserta didik; (b) mengetahui tingkat ke-
berhasilan PBM; (c) menentukan tindak lanjut hasil penilaian (akan di-
perbaiki atau dipertahankan); dan (d) memberikan pertanggungjawab-
an.
Adapun prosedur dalam membuat evaluasi pembelajaran, sebagai
berikut: (a) membuat perencanaan: 1) merumuskan tujuan evaluasi; 2)
menyusun kisi-kisi; 3) menulis soal; 4) uji coba dan menganalisis soal;

78
dan 5) revisi dan merakit soal; (b) pengumpulan data; (c) pengolahan
dan penafsiran; (d) laporan; dan (e) pemanfaatan evaluasi.
2. Pengertian Pengukuran, Penilaian, dan Evaluasi
Wiersma dan Jurs membedakan antara evaluasi pengukuran dan peni-
laian. Di mana evaluasi adalah suatu proses yang mencakup pengukur-
an dan penilaian. Evaluasi memiliki cakupan yang luas.
a. Pengukuran (measurment)
Pengukuran merupakan suatu proses dalam menentukan kuantitas.
Dalam proses pembelajaran diartikan sebagai pemberian angka pada
status atribut atau karakteristik tertentu yang dimiliki oleh orang, hal,
atau objek tertentu menurut aturan atau formulasi yang jelas.
Definisi pengukuran menurut beberapa ahli, antara lain: Mahrens
mengartikan sebagai informasi berupa angka yang diperoleh melalui
proses tertentu; Suharsimi Arikunto, membandingkan sesuatu dengan
suatu ukuran; dan Lien, sejumlah data dikumpulkan dengan menggu-
nakan alat ukur yang objektif untuk keperluan analisis dan interpretasi.
b. Penilaian (assessment)
Penilaian atau assessment merupakan proses pengumpulan dan
pengolahan informasi untuk menentukan kualitas, yaitu nilai dan arti
dari hasil belajar peserta didik atau pengambilan keputusan dapat dika-
takan baik atau tidaknya sesuai dengan kriteria.
Adapun menurut beberapa ahli tentang pengertian penilaian, misal-
nya Suharsimi Arikunto, yaitu mengambil keputusan terhadap sesua-
tu dengan baik, penilaian yang bersifat kuantitatif; dan Mahrens, yaitu
sebagai suatu pertimbangan profesional atau proses yang memungkin-
kan seseorang membuat suatu pertimbangan mengenai nilai sesuatu.
c. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi merupakan suatu proses yang dapat dijadikan salah satu
acuan oleh pendidik untuk mengetahui berhasil atau tidaknya PBM.
Adapun pendapat dari beberapa ahli mengenai pengertian evaluasi
seperti berikut. Menurut Norman E. Grounloud, evaluasi adalah suatu
proses yang sistematis dan berkesinambungan untuk mengetahui efisi-
79
en kegiatan belajar-mengajar dan efektivitas dari pencapaian tujuan
instruksi yang telah ditetapkan. Sedangkan Edwin Wond dan Gerold
W. Brown mengartikan evaluasi pendidikan atau proses untuk menen-
tukan nilai dari segala sesuatu yang berkenaan dengan pendidikan.
Atau evaluasi adalah proses pengukuran dan penilaian untuk mengeta-
hui hasil belajar yang telah dicapai seseorang.
d. Tes
Tes berasal dari bahasa Latin “testum” yang berarti sebuah piring-
an atau jambangan dari tanah liat. Istilah ini dipergunakan dalam la-
pangan psikologi dan selanjutnya hanya dibatasi sampai metode psiko-
logi, yaitu suatu cara untuk menyelidiki seseorang. Penyelidikan terse-
but dilakukan, mulai dari pemberian suatu tugas kepada seseorang atau
untuk menyelesaikan suatu masalah tertentu.
Pada hakikatnya tes adalah suatu alat yang berisi serangkaian tugas
yang harus dikerjakan atau soal-soal yang harus dijawab oleh peserta
didik untuk mengukur suatu aspek perilaku tertentu. Dengan demikian,
fungsi tes adalah: (1) sebagai salah satu alat ukur keberhasilan bagi pe-
serta didik; dan (2) sebagai alat ukur keberhasilan pembelajaran bagi
pendidik.
Dalam hal ini hubungan dari evaluasi, pengukuran, penilaian, dan
tes ditampilkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Hubungan evaluasi, penilaian, pengukuran, dan tes


Dari Gambar 2 dapat diketahui, bahwa evaluasi memiliki cakupan
yang luas dalam pembelajaran. Di mana dalam evaluasi pembelajaran
ada komponen-komponen untuk melakukan evaluasi tersebut, yaitu pe-
nilaian. Dalam penilaian dilakukan suatu proses yang dinamakan peng-

80
ukuran. Pengukuran dapat dilakukan dengan cara memberikan tes ke-
pada peserta didik, baik itu tertulis maupun tidak tertulis.
Sebenarnya antara evaluasi dan penilaian memiliki persamaan juga
perbedaan. Persamaannya sama-sama menentukan/menilai tentang su-
atu objek. Sedangkan perbedaannya, penilaian hanya memiliki ruang
lingkup yang sempit atau hanya menilai salah satu aspek saja. Sedang-
kan evaluasi memiliki cakupan yang luas mencakup semua komponen
yang ada dalam sistem tersebut, baik internal maupun eksternal.

3. Peran Pendidik dalam Evaluasi Pembelajaran PKLH


Dalam proses evaluasi pembelajaran PKLH, pendidik berperan seba-
gai evaluator yang berfungsi untuk mengetahui berhasil atau tidaknya
seorang pendidik dalam proses pembelajaran, atau evaluasi juga dapat
dikatakan sebagai penentu untuk mengetahui apakah proses/cara bel-
ajar-mengajar itu harus dipertahankan atau diperbaiki lagi. Oleh sebab
itu, peran pendidik di sini sangat menentukan.
Dalam PP Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses dinyata-
kan, bahwa evaluasi proses pembelajaran dilakukan untuk menentukan
kualitas pembelajaran secara keseluruhan, mencakup tahap perencana-
an proses pembelajaran, dan penilaian hasil pembelajaran.
Evaluasi proses pembelajaran diselenggarakan dengan cara: (1)
membandingkan proses pembelajaran pendidik dengan standar proses;
dan (2) mengidentifikasi kinerja pendidik sesuai dengan kompetensi
pendidik.

Evaluasi dalam
Pembelajaran PKLH
ALAM kegiatan PBM untuk setiap bidang studi atau mata pel-
ajaran, komponen evaluasi harus menjadi bagian yang perlu
mendapat perhatian. Demikian juga dalam pelaksanaan
pembelajaran PKLH, kegiatan evaluasi merupakan salah sa-
tu rantai dalam keseluruhan PBM.
81
Apabila dijelaskan secara visual, maka dapat diilustrasikan seperti
pada Gambar 3.
Entry Prosedur
Tujuan Penilaian
behavior instruksional

Gambar 3. Rantai evaluasi umpan balik pembelajaran PKLH


Kalau ingin disederhanakan, maka Gambar 3 dapat dibuat menjadi
Gambar 4.
Tujuan instruksional Kegiatan Penilaian
khusus

Gambar 4. Rantai evaluasi umpan balik sederhana


Dosen akan mengajarkan PKLH kepada mahasiswanya atau maha-
siswa yang kelak menjadi pendidik, mengajarkan PKLH kepada peser-
ta didiknya, maka model dasar Gambar 3 dan 4 harus selalu diingat.
Penilaian erat hubungannya dengan tujuan. Apa yang menjadi tu-
juan pembelajaran PKLH terutama yang dirumuskan dalam tujuan ins-
truksional harus menjadi bagian dalam menyusun kegiatan penilaian.
Penilaian dalam pendidikan, ialah untuk mendapatkan data peng-
ujian yang akan menunjukkan sampai di mana tingkat kemampuan dan
keberhasilan peserta didik dalam pencapaian tujuan kurikuler. Di sam-
ping itu, juga dapat digunakan bagi pendidik atau supervisor untuk
menilai sampai di mana efektivitas pengalaman mengajar, kegiatan
belajar, dan metode pembelajaran yang dipergunakan.
Dengan bertitik tolak dari pengertian di atas, jelas kiranya bahwa
penilaian bukan hanya berguna bagi peserta didik untuk mengetahui
sejauhmana telah berhasil mengikuti pelajaran sesuai tujuan yang akan
dicapai, tetapi berguna juga bagi pendidik untuk mengetahui sejauh-
mana ketepatan materi yang disampaikan dan metode serta media yang
digunakan.
Penilaian dalam bidang PKLH mencakup ranah koginitif, afektif,
dan psikomotorik, seperti klasifikasi yang dibuat oleh Benyamin S.
Bloom, berikut ini.
82
Ranah kognitif berkenaan dengan berpikir, pengetahuan, pema-
haman, dan pemecahan masalah, yang terdiri atas enam tingkatan, yak-
ni: (1) hafalan (recall); (2) pemahaman (comprehension); (3) penerapan
(application); (4) analisis (analysis); (5) sintesis (synthesis); dan (6) evalu-
asi (evaluation).
Ranah afektif berkenaan dengan sikap, apresiasi, nilai, dan kepen-
tingan, yang mempunyai klasifikasi tingkatan, sebagai berikut: (1) ke-
mampuan menerima (receiving); (2) kemampuan menanggapi (respon-
ding); (3) kemauan menghargai (valuing); (4) pengorganisasian (organi-
zing); dan (5) ketekunan dan ketelitian (characterization by a value com-
plex).
Ranah psikomotor yang berkenaan dengan keterampilan motorik
dibagi atas klasifikasi tingkatan, sebagai berikut: (1) persepsi (percepti-
on); (2) kesiapan melakukan sesuatu (setting); (3) mekanisme (mecha-
nism); (4) respons terbimbing (guided respons); (5) kemahiran (complex
overt respons); (6) adaptasi (adaptation); dan (7) penciptaan (originalizati-
on).
Pada umumnya setiap pendidik telah memahami taksonomi yang
dibuat oleh Bloom tersebut dan aplikasinya dalam perumusan tujuan
instruksional sudah sering dilaksanakan. Yang
penting diperhatikan, ialah setelah merumus-
…maka perlu dipa- kan tujuan instruksional harus segera mem-
hami berbagai ma- buat alat evaluasinya. Sehubungan dengan
cam dan teknik hal tersebut, maka perlu dipahami berbagai
evaluasi yang da- macam dan teknik evaluasi yang dapat di-
pat diterapkan da- terapkan dalam pembelajaran PKLH, baik
lam pembelajaran sebagai mata pelajaran maupun terintegrasi
PKLH,… dalam mata pelajaran lainnya.
Dalam bidang pendidikan, penilaian (eva-
luasi) dapat digolongkan dalam dua macam, yak-
ni: tes dan non-tes. Penilaian dengan cara memberikan tes sudah mem-
budaya pada pendidikan kita dewasa ini, sehingga di sekolah-sekolah
dikenal THB, ujian akhir yang terdiri atas sejumlah butir tes, tes awal,

83
dan tes akhir. Namun demikian, perlu dipahami kembali, apakah sebe-
narnya tes itu?

1. Teknik Tes
Tes adalah serentetan pertanyaan, latihan, atau alat lain yang diguna-
kan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensi, kemam-
puan yang dimiliki oleh individu atau kelompok.
Di samping dari segi kegunaan penilaian, maka tes dapat dibeda-
kan menjadi tiga macam, yaitu: tes diagnostik, tes formatif, dan tes su-
matif.
Dalam pelaksanaan pembelajaran PKLH, ketiga macam tes terse-
but adalah penting, namun demikian yang sering dilakukan hanya tes
formatif dan tes sumatif.. Penggunaan tes sebagai alat penilaian dapat
dilakukan dengan cara tertulis
Dalam pelaksanaan pembel- dan lisan.
ajaran PKLH, ketiga macam Tes tertulis merupakan se-
tes tersebut adalah penting, rangkaian soal, pertanyaan, atau
namun demikian yang sering tugas yang harus dijawab oleh
dilakukan hanya tes formatif peserta didik secara tertulis pu-
dan tes sumatif
la.
Tes tertulis mempunyai ragam bentuk,
sebagai berikut:
1) tes tertulis dalam bentuk esai, yaitu pertanyaan tes dirumuskan agar
jawaban dengan kata-kata sendiri dari peserta didik dan jawaban
tersebut biasanya agak panjang; dan
2) tes objektif. Penggunaan tes ini sudah semakin meluas pada semua
tingkat sekolah19).
Ditinjau dari keuntungannya, ialah dengan menggunakan tes ob-
jektif ini, maka objektivitas penilaian lebih terjamin, cakupan bahan
pengajaran lebih luas, dan pemeriksaan hasil tes lebih cepat. Namun
menyusun butir tes harus lebih teliti, memerlukan waktu yang lama.
Salah satu kritikan terhadap tes objektif ini, bahwa jawaban yang
diberikan merupakan hasil belajar, bukan proses. Hal ini, karena tes

19)
bahkan tes masuk PTN, menggunakan tes objektif ini
84
objektif tidak dapat memberikan keluasan menjawab dengan penjelas-
an yang panjang lebar.
Berbagai bentuk dalam tes objektif yang dikenal dan sering diper-
gunakan, ialah:
bentuk benar – salah;
bentuk pilihan berganda;
bentuk menjodohkan; dan
bentuk mengisi.
Keempat macam bentuk di atas, dapat digunakan dalam penyusun-
an tes untuk PKLH. Setiap pendidik dapat menyusun tes objektif untuk
PKLH, baik tes formatif maupun tes sumatif.
Contoh tes objektif dengan bentuk Benar – Salah (B – S):
B – S Unrenewable resources adalah sumber alam yang tidak dapat di-
perbaharui, seperti misalnya minyak bumi dan gas alam cair.
Bentuk tes objektif pilihan berganda, misalnya:
Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 1980, kepadatan pendu-
duk Indonesia per kilometer persegi, adalah:
a. 55
b. 77
c. 99
d. 199.
Bentuk tes objektif menjodohkan, misalnya:
a. CBR ……. ilmu tentang hubungan makhluk
hidup dengan lingkungan
b. Komunikasi …….
c. Ekologi ……. semua populasi yang berinteraksi
pada suatu tempat.
Tes objektif dengan cara melengkapi (completion) dapat dicontoh-
kan sebagai berikut:
1) tahap pertama dari suatu transisi demografi tergambar bahwa ting-
kat mortalitas dan fertilitas tinggi, namun tingkat fertilitas umum-
nya sedikit lebih …… dari tingkat mortalitas; dan
2) penduduk yang dipindahkan keluar negara disebut emigran, sedang-
kan yang masuk ke suatu negara disebut ……

85
Tes objektif dengan cara melengkapi biasanya hanya diisi atau di-
jawab dengan satu atau dua kata, dapat pula jawaban (isian) tersebut
dalam angka. Dengan demikian, jawaban yang diberikan hanya ada
dua kemungkinan, yakni benar atau salah. Tes lisan dilakukan dengan
secara lisan dan memerlukan jawaban secara lisan pula. Bentuk perta-
nyaan tidak jauh berbeda bunyinya seperti tes tertulis esai, namun di-
nyatakan secara lisan.
Cara ini masih kerap digunakan, sungguhpun banyak kelemahan-
nya. Kelemahan utama tes lisan, ialah penilaian terhadap jawaban yang
diberikan dapat menjadi sangat subjektif. Bentuk pertanyaan sering di-
rumuskan tidak dengan kalimat yang baik dan benar, sehingga perta-
nyaan akan dijawab tidak benar pula. Dari sudut peserta didik, sering
pula terjadi rasa gugup, tegang, dan khawatir tidak lulus, atau malu, se-
hingga jawaban tidak dikemukakan sesuai dengan pengetahuan yang
dimilikinya. Pendidik yang memberikan tes lisan mungkin terlibat pula
dalam situasi yang emosional, marah, jengkel karena pertanyaan perta-
ma kurang terjawab dengan baik oleh peserta didik.
Namun, kebaikan dari tes ini, antara lain pendidik dapat meng-
amati kemampuan menjawab, sikap, dan perilaku yang ditunjukkan
oleh peserta didiknya. Kebaikan lainnya, ialah peserta didik dilatih
mengemukakan pendapat secara mandiri.

2. Teknik non-Tes
Teknk non-tes ada beberapa macam yang dapat digunakan pendidik
PKLH untuk menilai peserta didik, seperti berikut.
a. Angket
Penilaian melalui angket, yaitu mengajukan pertanyaan kepada pe-
serta didik secara tertulis, yang biasanya berisi pertanyaan mengenai
pendapat, sikap, dan harapan mereka.
Angket sering pula disebut kuesioner. Salah satu bentuk kuesioner
yang dapat digunakan untuk mengukur sikap, adalah berdasarkan skala
sikap dari Likert. Pertanyaan harus cukup banyak, terdiri atas separuh
bersifat positif, dan separuh bersifat negatif. Pertanyaan positif diberi

86
skor: lima, empat, tiga, dua, satu. Pertanyaan negatif, diberi skor: satu,
dua, tiga, empat, lima.
Pertanyaan positif, yakni pendidik mengharapkan jawaban sangat
setuju. Pertanyaan negatif mengharapkan jawaban sangat tidak setuju.
Contoh:
Berilah tanda X pada kolom yang cocok dengan pendapat saudara!
Pendapat saudara
Pernyataan
SS S N TS STS
1. Melaksanakan program KB
penting untuk setiap keluarga
2. Pertumbuhan penduduk Pulau
Jawa harus ditekan
3. …
4. …
Keterangan: SS = sangat setuju; S = setuju; N = netral (ragu); TS = ti-
dak setuju; STS = sangat tidak setuju.
Jumlah skor merupakan data interval yang kemudian dapat diana-
lisis.
Contoh menskor skala sikap dari Likert
Seorang peserta didik telah mengisi kuesioner tentang sikap terha-
dap konsep Kependudukan dan Lingkungan Hidup, seperti di bawah ini:
Menurut saudara
Pernyataan Skor
SS S N TS STS
1. positif X 4
2. negatif X 5
3. negatif X 4
4. positif X X 5
5. negatif X 4
6. positif X 3
7. positif X 5
8. negatif X 4
9. positif X 2
10. negatif X 1
Jumlah 37

87
Skor diisi oleh pendidik, lalu dijumlahkan. Pada contoh di atas
menghasilkan skor sebesar 37.
Skala sikap di atas memiliki skor tertinggi 50 dan terendah 10.
Bila peserta didik tidak mengisi X, maka ia mendapat skor nol. Bila
peserta didik hanya mencapai skor 30 berarti ia belum memiliki sikap
yang diharapkan; bila kurang dari skor 30 berarti ia berlawanan dari
harapan.
b. Wawancara
Berbeda dengan angket, wawancara dilakukan dengan cara lisan.
Sebagai teknik penilaian, wawancara dapat pula dilakukan untuk me-
ngenal sikap dan kepribadian seseorang.
Wawancara yang baik harus dipersiapkan dengan baik pula. Tetap-
kan terlebih dahulu tujuan wawancara, kemudian susun butir pertanya-
an yang tepat. Ciptakan situasi yang menyenangkan agar dialog ber-
langsung wajar.
c. Observasi
Dengan observasi dimaksudkan seorang pendidik PKLH dapat
mengadakan pengamatan langsung perilaku peserta didik. Data yang
diperoleh disusun sebagai laporan yang objektif demi kepentingan pe-
nilaian.
d. Studi kasus
Penilaian dapat dilakukan dengan studi kasus, yaitu dengan cara
mempelajari suatu aspek dari kehidupan peserta didik secara terinci se-
lama periode tertentu. Suatu kegiatan penilaian, baik melalui tes atau
non-tes harus diikuti dengan bagian terpenting dari penilaian, ialah
mengolah hasil tes atau non-tes tersebut.
Dalam tes objektif, biasanya dilakukan skoring. Untuk tes objektif
Benar – Salah, ada dua macam cara untuk mencari skor akhir: pertama
dengan denda, dan kedua tanpa denda.
Dengan denda: S = R – W
di mana:
S = skor yang diperoleh
R = jawaban yang benar

88
W = jawaban yang salah.
Tanpa denda: S = R
Ini berarti bahwa skor yang diperoleh hanya dengan cara menghi-
tung jawaban yang benar saja.
Sedangkan tes objektif dengan pilihan berganda, cara memberikan
skor, adalah:
W
Dengan denda rumusnya: S = R –
Op  1
di mana:
S = skor yang diperoleh
R = jawaban yang benar
W = jawaban yang salah
Op = banyaknya option
1 = bilangan tetap satu.
Tes objektif dengan bentuk menjodohkan atau melengkapi (meng-
isi) biasanya skor diberikan dengan memakai rumus:
S–R
Skor harus dibedakan dari nilai.
Skor adalah hasil pekerjaan menskor yang diperoleh dengan men-
jumlahkan angka-angka bagi setiap soal tes. Sedangkan nilai, adalah
angka ubahan dari skor, disesuaikan dengan pengaturan yang sudah
baku.

Evaluasi dan Penilaian


Pembelajaran
VALUASI bagi Rossi dkk. (2004: 5), adalah sebuah aplikasi
sistematis, ketat, dan teliti dalam metode ilmiah untuk me-
nilai desain, implementasi, perbaikan, atau hasil dari sebuah
program. Ini adalah proses sumberdaya intensif, sering
membutuhkan sumberdaya, seperti evaluator keahlian, tenaga
kerja, waktu, dan anggaran yang cukup besar. Weiss (1998: 4) mende-
89
finisikan evaluasi sebagai penilaian sistematis operasi dan/atau hasil
dari program atau kebijakan, dibandingkan dengan satu set standar
eksplisit atau implisit, sebagai sarana berkontribusi terhadap perbaikan
program atau kebijakan. Penilaian kritis daripada evaluasi ini dinyata-
kan oleh Reeve dan Peerbhoy (2007: 120), sebagai tujuan atau cara
yang sebisa mungkin, dari sejauhmana layanan atau komponen yang
menggenapi pernyataan tujuan. Fokus dari definisi ini, menurut
Stufflebeam dan Webster (1980: 5), adalah pada pencapaian pe-
ngetahuan objektif dan ilmiah atau kuantitatif dalam mengukur konsep
yang telah ditentukan. Selanjutnya Stufflebeam dan Shinkfield (1985:
159) menegaskannya, sebagai proses menggambarkan, memperoleh,
dan memberikan informasi deskriptif dan kepastian tentang nilai dan
manfaat dari tujuan beberapa objek, desain, implementasi, dan dampak
dalam rangka untuk memandu pengambilan keputusan, melayani kebu-
tuhan untuk akuntabilitas, dan fenomena pemahaman. Dan dalam tiga
dekade terakhir, sebagaimana diakui Hurteau dkk. (2009: 307) telah
terjadi perkembangan teoretis dan metodologis yang luar biasa dalam
bidang evaluasi.
Sementara dalam kaitannya dengan dunia pendidikan, maka kai-
dahnya merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendi-
dikan Nasional20), khususnya pada Bab I Ketentuan Umum, di mana di
dalam Pasal 1 Ayat 21 tertulis: “Evaluasi pendidikan adalah kegiatan
pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap
berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pen-
didikan.” Konsep yang (agak) rinci diberikan Noviani (2012: 2-3) yang
mengartikan evaluasi pendidikan sebagai suatu proses yang dapat dija-
dikan salah satu acuan oleh seorang pendidik untuk mengetahui berha-
sil atau tidaknya PBM. Sementara evaluasi pembelajaran merupakan
penilaian kemampuan belajar peserta didik yang dilakukan secara ber-

20)
dibanding dengan Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian
Pendidikan, maka UU ini menarik untuk dicermati dan agaknya terlalu luas, sebab ha-
nya menguraikan evaluasi pendidikan, tanpa diikuti standar penilaian (prinsip peni-
laian; teknik dan instrumen penilaian; mekanisme dan prosedur penilaian; dan peni-
laian oleh pendidik), satuan pendidikan, dan pemerintah.
90
kala, baik berupa ujian tes tertulis maupun tidak tertulis sebagai per-
tanggungjawaban seorang pendidik dalam melaksanakan pembelajar-
an. Karakteristik peserta didik yang dijadikan penilaian, adalah tampil-
an peserta didik dalam bidang kognitif (pengetahuan), afektif (sikap),
dan psikomotorik (keterampilan).
Sementara evaluasi Sementara itu, evaluasi pembelajaran ber-
pembelajaran meru- dasarkan sasarannya, dibedakan Rethno
pakan penilaian ke- (2011: 1) atas evaluasi terhadap proses
mampuan belajar pe- pembelajaran dan evaluasi terhadap hasil
serta didik yang dila- belajar. Evaluasi terhadap hasil belajar se-
kukan secara ber- ring disebut sebagai penilaian hasil belajar.
kala, … Kaidah umum penilaian hasil belajar, lanjut
Rethno (2011: 1), diatur dalam Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007
tentang Standar Penilaian Pendidikan. Kaidah tersebut mencakupi bebe-
rapa pengertian dasar penilaian, prinsip dasar penilaian, teknik, instru-
men, prosedur, dan mekanisme penilaian, serta perbedaan kewenangan
penilaian hasil belajar oleh pendidik, sekolah, dan pemerintah.
Dengan demikian, evaluasi memiliki cakupan yang luas dalam
pembelajaran, di mana dalam evaluasi pembelajaran ada komponen-
komponen untuk melakukan evaluasi tersebut, yaitu penilaian. Dalam
penilaian dilakukan suatu proses yang dinamakan pengukuran. Peng-
ukuran dapat dilakukan dengan cara memberikan tes kepada peserta di-
dik, baik itu tertulis maupun tidak tertulis.
Noviani (2012: 5) mengakui antara evaluasi dan penilaian memi-
liki persamaan, juga perbedaan. Persamaannya, keduanya menentukan/
menilai suatu objek. Sedangkan perbedaannya, penilaian hanya memi-
liki ruang lingkup yang sempit atau hanya menilai salah satu aspek sa-
ja; evaluasi memiliki cakupan yang luas, mencakup semua komponen
yang ada dalam sistem tersebut, baik internal maupun eksternal. Ini ju-
ga sejalan dengan Hariadi dan Lusiani (2010: 3), bahwa mengevaluasi,
yaitu mengukur dan menilai. Dua langkah yang dilalui sebelum me-
nentukan pilihan yang akan diambil itulah yang disebut evaluasi.
Jadi evaluasi itu, adalah mengukur dan menilai. Penilaian tidak da-
pat dilakukan sebelum melakukan pengukuran. Dari kegiatan peng-
ukuran kemudian mengadakan penilaian itulah yang disebut evaluasi.

91
1. Evaluasi Pembelajaran
Selama beberapa tahun terakhir, basis tujuan, pengambilan keputusan,
teori dasar, dan banyak pendekatan evaluasi pembelajaran lainnya te-
lah diadaptasi, yang berorientasi pada pendekatan yang mendorong se-
mua upaya evaluasi untuk mengurus kepentingan dan nilai-nilai dari
para peserta didik. Beberapa evaluasi yang berorientasi peserta didik,
sebagaimana dikutip Williams (2012: 4) dari beberapa ahli, misalnya
dengan pendekatan-pendekatan: evaluasi responsif (Stake, 1984), eva-
luasi demokrasi (House dan Howe, 1999: 2; Ryan dan DeStefano,
2000: 30), evaluasi generasi keempat (Guba dan Lincoln, 1989), pem-
berdayaan evaluasi (Fetterman, 1996: 1), pemanfaatan evaluasi terfo-
kus (Patton, 1997), evaluasi partisipatif (Cousins dan Whitmore,
1998), dan evaluasi kolaboratif (Cousins dkk., 1996: 207; Aprudin,
2012: 2).
Pendekatan-pendekatan evaluasi tersebut di atas, tidak dikaji lebih
lanjut dalam buku ini. Kajian lebih mengarah pada ruang lingkup dari
evaluasi dalam bidang pendidikan di sekolah, yang kaidahnya meng-
arah pada Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007. Adapun ruang ling-
kup evaluasi dimaksud, dijabarkan ke dalam tiga komponen.
Pertama, evaluasi mengenai program pembelajaran (pengajaran).
Sudaryono (2012: 40) menganggap evaluasi program pembelajaran se-
bagai suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk
melihat tingkat keberhasilan program. Evaluasi ini biasanya dilakukan
bagi kepentingan pengambilan kebijaksanaan untuk menentukan kebi-
jaksanaan berikutnya. Evaluasi program pembelajaran ini, menurut
Widoyoko (2012: 11), dilakukan dengan suatu maksud atau tujuan
yang berguna dan jelas sasarannya. Evaluasi ini, lanjut Alam (2010: 2),
mengarah pada tujuan pembelajaran, isi program pembelajaran, strate-
gi belajar-mengajar, dan aspek-aspek program pembelajaran yang lain.
Kedua, evaluasi mengenai proses pelaksanaan pembelajaran. Eva-
luasi ini, dibagi Sudaryono (2012: 41-42) atas: (a) kesesuaian antara
proses pembelajaran yang berlangsung dengan GBPP yang telah diten-
tukan; (b) kesiapan pendidik dalam melaksanakan program pembel-
ajaran; (c) kesiapan peserta didik dalam mengikuti proses pembelajar-
an; (d) minat atau perhatian peserta didik dalam mengikuti pelajaran;
92
(e) keaktifan atau partisipasi peserta didik selama proses pembelajaran
berlangsung; (f) peranan bimbingan dan penyuluhan terhadap peserta
didik yang membutuhkannya; (g) komunikasi dua arah antara pendidik
dan peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung; (h) pembe-
rian dorongan atau motivasi terhadap peserta didik; (i) pemberian tu-
gas-tugas terhadap peserta didik dalam rangka penerapan teori-teori
yang diperoleh di dalam kelas; dan (j) upaya menghilangkan dampak
negatif yang timbul sebagai akibat dari kegiatan-kegiatan yang dilaku-
kan di sekolah. Evaluasi ini, bagi Bahauddin (2012: 2), diarahkan pada
komponen-komponen sistem pembelajaran, yang mencakup komponen
input, yakni perilaku awal (entry behavior) peserta didik, komponen in-
put instrumental, yakni kemampuan profesional pendidik/tenaga ke-
pendidikan, komponen kurikulum21), komponen administratif22); kom-
ponen proses ialah prosedur pelaksanaan pembelajaran; komponen out-
put ialah hasil pembelajaran yang menandai ketercapaian tujuan pem-
belajaran. Dalam hal ini perhatian hanya ditujukan pada evaluasi terha-
dap komponen proses dalam kaitannya dengan komponen input instru-
mental.
Ketiga, evaluasi mengenai hasil pembelajaran. Sudaryono (2012:
42) menguraikan cakupan evaluasi ini, atas: (a) evaluasi mengenai
tingkat penguasaan peserta didik terhadap tujuan-tujuan khusus yang
ingin dicapai dalam unit-unit program pembelajaran yang bersifat ter-
batas; dan (b) evaluasi mengenai tingkat pencapaian peserta didik ter-
hadap tujuan-tujuan umum pembelajaran. Sementara Bahauddin
(2012: 2) menafsirkan evaluasi hasil belajar, adalah keseluruhan kegi-
atan pengukuran23), pengolahan, penafsiran, dan pertimbangan untuk
membuat keputusan tentang tingkat hasil belajar yang dicapai oleh pe-
serta didik setelah melakukan kegiatan belajar dalam upaya mencapai
tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Hasil belajar menunjuk pa-
da prestasi belajar, sedangkan prestasi belajar itu merupakan indikator
adanya dan derajat perubahan tingkah laku peserta didik.

21)
program studi, metode, dan media
22)
alat, waktu, dan dana
23)
pengumpulan data dan informasi
93
Dengan mengacu pada ruang lingkup evaluasi itu, Horton dkk.
(2007: 6) menegaskan bila evaluasi dapat memainkan peran berharga
dalam mempromosikan pembelajaran yang dibutuhkan dan perubahan.
Model evaluasi yang dikembangkan dalam sistem evaluasi pembelajar-
an di Indonesia, pada umumnya mengacu pada taksonomi Bloom
(1956), meskipun diakui Hamdani (2009: 15), ini bukan satu-satunya
model taksonomi tujuan pembelajaran.

2. Penilaian Pembelajaran
Seperti Noviani (2012: 5) yang mengakui adanya ketidaksamaan eva-
luasi dan penilaian dalam pembelajaran, Widoyoko (2012: 2) juga me-
mandang penilaian memiliki makna yang berbeda dengan evaluasi.
Dan dalam konteks pendidikan, Popham (1995: 3) mendefinsikan pe-
nilaian sebagai sebuah usaha formal untuk menentukan status peserta
didik berkenaan dengan berbagai kepentingan pendidikan. Sementara
penilaian hasil belajar, diterjemahkan Mahanani (2012: 1) sebagai ke-
giatan atau cara yang ditujukan untuk mengetahui tercapai atau tidak-
nya tujuan pembelajaran dan juga proses pembelajaran yang telah dila-
kukan. Pada tahap ini, seorang pendidik dituntut memiliki kemampuan
dalam menentukan pendekatan dan cara-cara evaluasi, penyusunan
alat-alat evaluasi, pengolahan, dan penggunaan hasil evaluasi.
MeisofiIin dkk. (2012: 1) mengingatkan, bahwa dalam dunia (ba-
ca: konteks) pendidikan, tentu dikenal kata “Penilaian Pendidikan.”
Penilaian pendidikan sebagai pengejawantahan daripada penilaian
pembelajaran, adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi
untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik. Berdasarkan
kaidah Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007, terdapat peraturan ten-
tang Standar Penilaian Pendidikan. Standar penilaian pendidikan adalah
SNP yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen peni-
laian hasil belajar peserta didik. Standar penilaian ini, menurut
MeisofiIin dkk. (2012: 1), merupakan salah satu bagian dari SNP ten-
tang sistem pendidikan di seluruh wilayah NKRI. Sebab itu, setiap
pendidik harus memahami landasan yuridis maupun filosofis yang me-
latarbelakangi munculnya standar penilaian, mekanisme, dan prosedur
evaluasi. Termasuk dalam hal tersebut, bagaimana pendidik menetap-
94
kan indikator keberhasilan pembelajaran dan merancang pengalaman
belajar peserta didik.
Pada dasarnya, penetapan permendiknas tersebut, menurut Shadiq
(2010: 1), adalah untuk menunjang pencapaian visi pendidikan nasio-
nal. Visi pendidikan nasional yang sudah disepakati adalah untuk me-
Sebab itu, setiap pendidik wujudkan suatu sistem pendidikan se-
harus memahami landas- bagai pranata sosial yang kuat dan
an yuridis maupun filo- berwibawa dalam memberdayakan
sofis yang melatarbela- semua warga negara Indonesia agar
kangi munculnya standar berkembang menjadi manusia yang
penilaian, mekanisme, berkualitas, sehingga mampu dan
dan prosedur evaluasi proaktif menjawab tantangan zaman
yang akan selalu berubah.
Penilaian hasil belajar peserta didik pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah, kaidahnya se-
bagaimana tertuang dalam Permendiknas Nomor 20 Tahun 200724), de-
ngan keberartiannya didasarkan pada sembilan prinsip penilaian, seba-
gai berikut: (1) sahih, penilaian didasarkan pada data yang mencermin-
kan kemampuan yang diukur; (2) objektif, penilaian didasarkan pada
prosedur dan kriteria yang jelas, tidak dipengaruhi subjektivitas peni-
lai; (3) adil, penilaian tidak menguntungkan atau merugikan peserta
didik karena berkebutuhan khusus serta perbedaan latar belakang aga-
ma, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan gender; (4)
terpadu, penilaian oleh pendidik merupakan salah satu komponen yang
tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran; (5) terbuka, prosedur peni-
laian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan dapat dike-
tahui oleh pihak yang berkepentingan; (6) menyeluruh dan berkesinam-
bungan, penilaian oleh pendidik mencakup semua aspek kompetensi
dengan menggunakan berbagai teknik penilaian yang sesuai, untuk
memantau perkembangan kemampuan peserta didik; (7) sistematis, pe-
nilaian dilakukan secara berencana dan bertahap dengan mengikuti
langkah-langkah baku; (8) beracuan kriteria, penilaian didasarkan pada

24)
pada Lampiran B dalam permendiknas tersebut
95
ukuran pencapaian kompetensi yang ditetapkan; dan (9) akuntabel, pe-
nilaian dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi teknik, prosedur,
maupun hasilnya.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan, Widodo (2011: 2-4) menganali-
sis secara kronologis kesembilan prinsip penilaian tersebut di atas, ter-
hadap: (1) sahih. Penilaian merupakan data yang benar atau data ten-
tang kebenaran hasil kemampuan peserta didik sendiri, hal ini juga
berarti bentuk penilaian yang digunakan disesuaikan dengan kemam-
puan peserta didik dan hasilnya menunjukkan suatu kebenaran hasil
belajar peserta didik; (2) objektif. Peraturan ini menjelaskan bahwa pe-
nilaian tidak dipengaruhi subjektivitas, tetapi dalam kenyataannya
yang terjadi objektivitas penilaian yang dilakukan oleh pendidik masih
diragukan atau dipertanyakan, karena masih banyak penilaian yang di-
lakukan dengan cara subjektif yang dipengaruhi banyak hal di luar kri-
teria penilaian, seperti merasa kasihan kepada peserta didik, dan lain-
lain; (3) adil. Dalam kenyataannya keadilan ini masih belum terpenuhi,
banyak pendidik menilai dengan masih mempertimbangkan soal-soal
di luar kriteria penilaian, seperti agama, ras, suku, status, ekonomi,
gender, sehingga pendidik tidak fokus pada kriteria penilaian, sehingga
menimbulkan ketidakadilan; (4) terpadu. Dalam kenyataannya pendidik
melihat, bahwa penilaian merupakan instrumen terpisah dari kegiatan
belajar-mengajar, pendidik hanya menganggap bahwa yang lebih pen-
ting adalah perencanaan dan penyampaian materi, sehingga penilaian
kurang diperhatikan oleh pendidik yang dapat menimbulkan penilaian
yang dilakukan asal-asalan; (5) terbuka. Masih belum dapat dilakukan
oleh pendidik sepenuhnya, pendidik lebih fokus pada penyampaian
materi daripada menyampaikan prosedur, kriteria penilaian, sehingga
dapat menimbulkan ketidaktransparanan. Penilaian yang dilakukan
oleh pendidik hal ini juga dapat menimbulkan kecurigaan; (6) menyelu-
ruh dan berkesinambungan. Penilaian yang dilakukan kebanyakan hanya
menitikberatkan pada aspek kognitif saja; (7) sistematis. Sebelum mela-
kukan penilaian, pendidik harus merencanakan dan melaksanakan
pembelajaran terlebih dahulu karena penilaian secara formal merupa-
kan langkah atau kegiatan terakhir dalam PBM. Penilaian ini juga ti-
dak asal-asalan, dalam arti pendidik harus melakukan penilaian setelah
96
melakukan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian ha-
rus direncanakan sebaik mungkin dari waktu, bentuk penilaian, alat pe-
nilaian sehingga hasilnya menunjukkkan suatu kemampuan peserta di-
dik. Tetapi dalam kenyataannya, pendidik dalam melakukan penilaian
belum memperhatikan hal tersebut, pendidik belum teliti dalam memi-
lih bentuk penilaian, pendidik hanya fokus pada penilaian secara
umum saja yang merupakan rangkaian dalam proses pembelajaran; (8)
beracuan kriteria. Hal ini berarti, dalam melakukan penilaian harus me-
milih dahulu tujuan dari pembelajaran tersebut, ketika mengetahui tu-
juan pembelajaran yang telah ditetapkan, maka pendidik dapat memi-
lih alat dan bentuk penilaian yang tepat, sehingga penilaian tidak asal-
asalan, tetapi penilaian yang merujuk pada pencapaian kompetensi;
dan (9) akuntabel. Penilaian harus dapat dipertanggungjawabkan, ter-
utama dari segi hasil, hal ini berarti hasil yang diperoleh peserta didik
memang suatu hasil yang menunjukkan suatu kemampuan yang dimi-
likinya, tidak hanya hasil yang dapat dipertanggungjawabkan, tetapi
juga pada teknik dan cara penilaian yang digunakan, bentuk, cara, dan
alat penilaian yang dipakai oleh pendidik harus sesuai dengan materi,
tujuan, serta kemampuan peserta didik. Misalnya pendidik memberi-
kan nilai 90 kepada peserta didik yang memang mempunyai kemam-
puan yang sesuai dengan nilai tersebut, tetapi pengujian terhadap ke-
mampuan peserta didik harus juga menggunakan cara, alat, dan bentuk
penilaian yang tepat. Tetapi dalam kenyataannya akuntabilitas penilai-
an yang dilakukan oleh pendidik masih diragukan, terutama mengenai
hasil, misalnya nilai yang diberikan pendidik kepada peserta didik ti-
dak sesuai dengan kemampuannya, sehingga peserta didik dirugikan.
Hal ini terjadi karena penilaian tidak dilakukan dengan objektif, karena
dipengaruhi beberapa faktor di luar kriteria penilaian.

3. Pengukuran Pembelajaran
Pengukuran, didefinisikan Oktaviandy (2012: 2) sebagai kegiatan
membandingkan sesuatu dengan ukuran tertentu dan bersifat kuantita-
tif. Maksud daripada kajian ini mengarah pada pengukuran pembel-
ajaran yang mengacu pada teknik dan instrumen penilaian dari Permen-

97
diknas Nomor 20 Tahun 200725), yang mencakup tujuh kaidah, yakni:
(1) penilaian hasil belajar oleh pendidik menggunakan berbagai teknik
penilaian berupa tes, observasi, penugasan perseorangan atau kelom-
pok, dan bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik kompetensi dan
tingkat perkembangan peserta didik; (2) teknik tes berupa tes tertulis,
tes lisan, dan tes praktik atau tes kinerja; (3) teknik observasi atau
pengamatan dilakukan selama pembelajaran berlangsung dan/atau di
luar kegiatan pembelajaran; (4) teknik penugasan, baik perseorangan
maupun kelompok dapat berbentuk tugas rumah dan/atau proyek; (5)
instrumen penilaian hasil belajar yang digunakan pendidik memenuhi
persyaratan: (a) substansi, adalah merepresentasikan kompetensi yang
dinilai; (b) konstruksi, adalah memenuhi persyaratan teknis sesuai de-
ngan bentuk instrumen yang digunakan; dan (c) bahasa, adalah meng-
gunakan bahasa yang baik dan benar serta komunikatif sesuai dengan
taraf perkembangan peserta didik; (6) instrumen penilaian yang digu-
nakan oleh satuan pendidikan dalam bentuk ujian sekolah/madrasah
memenuhi persyaratan substansi, konstruksi, dan bahasa, serta memi-
liki bukti validitas empiris; dan (7) instrumen penilaian yang digu-
nakan oleh pemerintah dalam bentuk UN memenuhi persyaratan subs-
tansi, konstruksi, bahasa, dan memiliki bukti validitas empiris serta
menghasilkan skor yang dapat diperbandingkan antarsekolah, antar-
daerah, dan antartahun.
Pengukuran pembelajaran sebagai pengejawantahan dari Permen-
diknas Nomor 20 Tahun 2007 tersebut di atas, dapat disimak dalam
uraian Widoyoko (2012: 45) yang dijabarkannya dalam bentuk tes. Tes
ini, merupakan salah satu alat untuk melakukan pengukuran, yaitu alat
untuk mengumpulkan informasi karakteristik suatu objek. Dalam pem-
belajaran, objek ini bisa berupa kecakapan peserta didik, minat, moti-
vasi, dan sebagainya. Tes merupakan bagian tersempit dari penilaian.
Tes ini juga dipahami Sudijono (2012: 67) sebagai cara (yang dapat di-
pergunakan) atau prosedur (yang perlu ditempuh) dalam rangka peng-
ukuran dan penilaian di bidang pendidikan, yang berbentuk pemberian
tugas atau serangkaian tugas, baik berupa pertanyaan-pertanyaan (yang

25)
pada Lampiran C dalam permendiknas tersebut
98
harus dijawab) maupun perintah-perintah (yang harus dikerjakan) oleh
testee26), sehingga27) dapat dihasilkan nilai yang melambangkan tingkah
laku atau prestasi peserta didik; nilai mana dapat dibandingkan dengan
nilai-nilai yang dicapai oleh peserta didik lainnya, atau dibandingkan
dengan nilai standar tertentu.
Salah satu kompetensi pendidik mata pelajaran, menurut Wardhani
(2010: 31), antara lain mengembangkan instrumen penilaian hasil
belajar. Agar instrumen penilaian yang dibuat berkualitas, maka diper-
lukan persiapan, berupa analisis terhadap standar-standar kompetensi
dan kompetensi dasar serta indikator pencapaian kompetensi untuk
mencermati tujuan mata pelajaran
Puncak kemampuan yang akan diraih dan karakteristik
yang seharusnya diraih kompetensi dasarnya. Dalam rang-
peserta didik dalam ka pelaksanaan penilaian hasil bel-
belajar, adalah mampu ajar28) yang sesuai dengan karakte-
memecahkan masalah, ristik kompetensinya, maka tidak
tidak sekadar mampu selalu dilaksanakan dengan teknik
memahami konsep tes tertulis. Pendidik dapat me-
ngembangkan teknik penilaian bu-
kan tertulis, misalnya teknik tes kinerja atau praktik atau un-
juk kerja, penugasan proyek, membuat produk, portofolio. Puncak ke-
mampuan yang seharusnya diraih peserta didik dalam belajar, adalah
mampu memecahkan masalah, tidak sekadar mampu memahami kon-
sep. Untuk itu, sangat diperlukan kemampuan penalaran dan komuni-
kasi yang baik. Hal itu seharusnya berlaku untuk semua kurikulum
pembelajaran.

26)
penulis menerjemahkannya sebagai peserta didik
27)
atas dasar data yang diperoleh dari hasil pengukuran tersebut
28)
dalam kajian ini, Wardhani memberi contoh pada pelaksanaan hasil belajar mate-
matika
99
100
E. Isu-isu
Strategis
PKLH

Kebijakan Kependudukan dan


Daya Dukung Lingkungan
ASALAH kependudukan yang dihadapi semakin berkembang
dan kompleks. Kemajuan pesat di bidang pariwisata telah
membawa dampak meningkatnya jumlah penduduk. Laju
pertumbuhan penduduk, misalnya di Yogyakarta pada peri-
ode 2005-2010 rata-rata sebesar 1,79% per tahun29. Diban-
dingkan dengan laju pertumbuhan penduduk di kabupaten dan kota la-
innya, maka laju pertumbuhan penduduk di Kota Yogyakarta tergo-
long sangat lambat. Namun kemajuan pembangunan di bidang pendi-
dikan dan pariwisata telah mendorong migrasi masuk ke Kota Yogya-
karta dalam jumlah cukup besar. Pertumbuhan penduduk yang cepat
mengakibatkan tingginya tekanan penduduk terhadap SDA.
SDA memiliki peran yang cukup strategis bagi pembangunan se-
lain SDM. Pemanfaatan dan pengelolaan yang secara berlebihan tanpa
memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan dapat mengakibatkan
percepatan penurunan kualitas lingkungan (Baiquni dalam Kutanegara,
2011). Salah satu variabel yang berpengaruh terhadap penurunan kua-
29)
selengkapnya, lihat Kutanegara (2011: 1-6) yang telah melakukan diseminasi hasil
penelitian dan pengembangan kependudukan – BKKBN, di Hotel Horison Bekasi,
tanggal 16-18 Desember 2011
101
litas lingkungan adalah variabel penduduk (Sukamdi dan Ambar,
1992). Oleh karena itu dinamikanya menjadi tantangan tersendiri da-
lam pelaksanaan dan upaya pencapaian tujuan pembangunan. Terlebih
setelah dikeluarkannya UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembang-
an Kependudukan dan Pembangunan Keluarga yang membawa implikasi
terhadap perubahan misi Program KB, yaitu dari “mewujudkan ke-
luarga kecil bahagia sejahtera” menjadi “mewujudkan pembangunan
berwawasan kependudukan.”
Pembangunan berkelanjutan itu sendiri merupakan pembangunan
terencana di segala bidang untuk menciptakan perbandingan ideal an-
tara perkembangan kependudukan
dengan daya dukung dan daya Salah satu variabel
yang berpengaruh
tampung lingkungan serta me- terhadap penu-
menuhi kebutuhan generasi runan kualitas ling-
sekarang tanpa harus mengu- kungan adalah
rangi kemampuan dan kebutuhan variabel penduduk
generasi mendatang, sehingga me-
nunjang kehidupan bangsa. Perkembangan kependudukan bertujuan
untuk mewujudkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara
kuantitas, kualitas, dan persebaran penduduk dengan lingkungan hi-
dup.
Persoalan daya dukung (carrying capacity) merupakan masalah yang
sudah lama menjadi wacana di dalam pembangunan. Daya dukung wi-
layah dipakai sebagai dasar dalam penyelenggaraan pembangunan ber-
wawasan kependudukan dan acuan dalam membangun ke depan. De-
mikian halnya di Kota Yogyakarta, dengan semakin bertambahnya
jumlah penduduk diiringi dengan pesatnya pembangunan fasilitas fisik
maupun sosial, maka fakta menunjukkan bahwa daya dukung wilayah
Kota Yogyakarta saat ini, baik daya dukung lingkungan alam, sosial,
maupun buatan mengalami degradasi kualitas yang telah mencapai ta-
hap yang mengkhawatirkan. Oleh karena pentingnya persoalan daya
dukung lingkungan tersebut, Kutanegara (2011: 2) dalamnya tulisan-
nya ini mengkaji daya dukung Kota Yogyakarta dalam menghadapi
tekanan penduduk, kebijakan “pemerintah Kota Yogyakarta” dalam
menempatkan faktor kependudukan dan lingkungan dalam kebijakan

102
pengembangan Kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan dan kota pa-
riwisata dan alternatif kebijakan apa yang dapat mendorong tercipta-
nya pembangunan yang mengintegrasikan faktor kependudukan, ling-
kungan, serta visi dan misi Kota Yogyakarta.

1. Daya Dukung Lingkungan Alam


Persebaran penduduk antara daerah perkotaan dan perdesaan di Kota
Yogyakarta yang tidak merata, menurut Kutanegara (2011: 2), karena
jumlah penduduk yang bermukim di daerah perkotaan meningkat de-
ngan cepat dibandingkan dengan penduduk yang bermukim di perdesa-
an. Kondisi tersebut menyebabkan permintaan kebutuhan lahan dengan
ketersediaan lahan tidak seimbang. Selanjutnya kecenderungan me-
ningkatnya kebutuhan lahan yang terkonsentrasi di wilayah tertentu ini
mengakibatkan terlampauinya batas daya dukung lahan.
Perkembangan tersebut, lanjut Kutanegara (2011: 2), memaksa
Kota Yogyakarta melakukan perluasan kotanya ke daerah pinggiran.
Salah satu wilayah pinggiran yang mengalami dampak yang paling be-
sar adalah Kecamatan Umbulharjo. Kecamatan Umbulharjo yang se-
mula merupakan wilayah pertanian mulai berubah fungsi menjadi wi-
layah non-pertanian khususnya permukiman. Dari data BPS tahun
2002 yang dikutipnya menunjukkan, bahwa Umbulharjo merupakan
kecamatan di Yogyakarta yang mengalami konversi lahan pertanian
yang paling banyak jika dibanding dengan kecamatan-kecamatan lain
di Yogyakarta. Total penurunan luas lahan pertanian sebesar 36,36 ha
antara tahun 1996 sampai tahun 2002 (selama enam tahun) atau terjadi
penurunan 6,1 ha tiap tahunnya (BPS, 2002). Produksi pertanian dari
tahun ke tahun tidak pernah optimal dan Kota Yogyakarta bisa meng-
alami krisis pangan di masa mendatang. Penyusutan lahan pertanian
tersebut disebabkan alih fungsi lahan untuk bangunan perumahan, per-
kantoran, industri, dan pertokoan.
Sebagai salah satu kecamatan, Kutanegara (2011: 2) melihat Um-
bulharjo merupakan tujuan pemekaran Kota Yogyakarta yang sangat
potensial di mana wilayahnya telah memiliki aksesibilitas yang cukup
tinggi. Kemudahan pencapaian ini didukung oleh adanya Jalan Lingkar
Selatan yang pembangunannya sudah dimulai sejak tahun 1993. Di
103
samping itu, keberadaan terminal bus yang terdapat di Kelurahan Gi-
wangan ikut mendukung nilai tambah Kecamatan Umbulharjo dari se-
gi aksesibilitasnya. Perlu juga diketahui, bahwa Kecamatan Umbul-
harjo memiliki kepadatan penduduk yang paling rendah di Yogyakarta,
yaitu sebesar 8.534 jiwa/km2, namun memiliki luas wilayah terbesar,
yaitu sekitar 25% dari luas wilayah keseluruhan Kota Yogyakarta
(Umbulharjo dalam Angka Tahun 2002). Potensi tersebut mampu me-
narik perkembangan Kota Yogyakarta ke wilayah ini.
Perkembangan yang terjadi di Kecamatan Umbulharjo, terutama
dalam pemanfaatan lahan untuk permukiman harus memperhatikan
kondisi fisik alam lahan. Hal ini dimaksudkan agar perkembangan per-
mukiman yang ada tidak menimbulkan permasalahan degradasi ling-
kungan di masa yang akan datang. Ketidaksesuaian pemanfaatan lahan
dengan kondisi fisik alam dapat menimbulkan masalah lingkungan, se-
perti banjir, erosi, dan longsor. Permasalahan lingkungan tersebut da-
pat menimbulkan kerugian, baik berupa meterial (harta benda) maupun
non-material (jiwa). Penempatan lokasi pembangunan permukiman
perlu diselaraskan dengan kesesuaian lahan yang ada di Kecamatan
Umbulharjo. Dengan demikian, keseimbangan lingkungan tetap terjaga
dan dampak-dampak negatif yang dapat menimbulkan kerugian dalam
jangka panjang dapat dihindarkan.
Kondisi daya dukung lingkungan alam Kota Yogyakarta juga da-
pat dilihat dari RTH. Tingginya tingkat pertambahan penduduk teruta-
ma akibat urbanisasi merupakan salah satu permasalahan kota-kota di
Indonesia. Jumlah penduduk perkotaan yang tinggi yang terus mening-
kat dari waktu ke waktu memberikan dampak tingginya tekanan terha-
dap pemanfaatan ruang kota, terutama berkurangnya ruang terbuka,
yang berupa RTH maupun RTnH sebagai ruang terbuka publik yang
berpotensi menjadi ruang permukiman atau ruang budidaya.
Pemerintah Kota Yogyakarta mempunyai komitmen yang tinggi
dengan permasalahan RTH. Program-program yang menunjang tercip-
tanya RTH, baik yang bersifat publik maupun privat mendapat priori-
tas yang tinggi dalam pembangunan wilayahnya. Dalam rangka peng-
aturan RTH, maka Pemerintah Kota Yogyakarta mengeluarkan regu-
lasi dalam bentuk peraturan walikota, yakni Peraturan Walikota Yog-

104
yakarta Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pengelolaan RTH dan Peraturan
Walikota Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2010 tentang Penyediaan RTH Pri-
vat. Hal ini menunjukkan komitmen yang tinggi bagi pemerintah kota
terhadap RTH tersebut.
Berdasarkan data Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta ta-
hun 2010, RTH publik yang dibangun pemerintah masih kurang dari
20% atau hanya 17,17% (557,90 hektar) dari luas wilayah Kota Yog-
yakarta. Kurangnya pembangunan RTH publik di wilayah kota diaki-
batkan keterbatasan lahan yang bisa digarap untuk pembangunan RTH
tersebut. Maraknya pembangunan beragam proyek yang melanggar
aturan lingkungan menjadi penyebab semakin kritisnya ketersediaan
RTH di Kota Yogyakarta. Permintaan akan pemanfaatan lahan kota
yang terus tumbuh dan bersifat akseleratif utuk pembangunan berbagai
fasilitas perkotaan, termasuk kemajuan teknologi, industri, dan trans-
portasi, selain sering mengubah konfigurasi alami lahan/bentang alam
perkotaan juga menyita lahan-lahan tersebut dan berbagai bentukan ru-
ang terbuka lainnya.
RTH publik disumbang dari pembangunan jalur hijau yang luasan-
nya telah mencapai 360,44 hektar, setelah itu disumbang dari areal
pemakaman, jalur pengaman atau median jalan, kebun binatang, la-
pangan olahraga, taman kota dan tempat rekreasi, serta tempat parkir
terbuka. Dalam rangka mencapai luasan RTH yang ideal seperti di-
amanatkan UU Penataan Ruang, yakni minimal 20% RTH publik dan
10% RTH privat, maka Kota Yogyakarta dengan difasilitasi oleh Pe-
merintah Provinsi DIY dan Ditjen Penataan Ruang, Kementerian PU,
menyusun rencana penyediaan RTH Publik dalam bentuk peningkatan
RTH melalui prakarsa masyarakat yang diujudkan dalam bentuk sa-
yembara desain dan pembuatan detailed engineering design hasil dari sa-
yembara tersebut, yang selanjutnya akan diimplementasikan dalam pe-
laksanaan fisik di lapangan (Kutanegara, 2011: 3-4).

2. Daya Tampung Lingkungan Sosial


Tindakan kekerasan atau kriminalitas akhir-akhir ini, sebagaimana di-
sinyalir Kutanegara (2011: 5), makin sering terjadi, misalnya di Kota
Yogyakarta. Perkelahian pelajar, perkosaan, pembunuhan secara keji,
105
dan sederet peristiwa lain merupakan peristiwa yang cukup sering
terjadi di Kota Yogyakarta. Data statistik menunjukkan, bahwa tindak
kejahatan di Kota Yogyakarta menunjukkan gejala terjadinya pening-
katan. Pada tahun 2009 perkara pelanggaran yang masuk ke PN Yog-
yakarta sebanyak 23.333 perkara atau naik 1,25% dibandingkan tahun
sebelumnya. Demikian pula jumlah perkara di Kejari Yogyakarta
mengalami kenaikan (BPS, 2010). Aksi curanmor pada 2010 di wila-
yah hukum Kota Yogyakarta cenderung meningkat30) dibandingkan
2011.
Selain itu, kasus perkelahian pelajar belakangan ini juga semakin
marak terjadi. Tidak sedikit jumlah kasus perkelahian antarpelajar
yang terjadi di Yogyakarta. Kasus perkelahian yang menggemparkan
dunia pendidikan di kota pelajar ini, antara lain kasus tawuran pelajar
SMA yang terjadi di sekitar SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta bebe-
rapa waktu lalu yang mengakibatkan seorang pelajar mengalami luka
tusuk di bagian pinggang (www.radarjogja.co.id dalam Kutanegara,
2011: 5).
Kekerasan yang terjadi di Kota Yogyakarta tersebut semakin me-
ningkat disebabkan kehidupan sekarang yang semakin keras. Perikehi-
dupan yang semakin keras tersebut terjadi karena sumber-sumber kehi-
dupan diperebutkan oleh sejumlah orang yang makin banyak. Dengan
kata lain, pertambahan penduduk merupakan salah satu penyebabnya.
Namun demikian, tidak mudah untuk menghubungkan pertambahan
penduduk dengan meningkatkan patologi sosial. Di Hongkong dan Si-
ngapura yang begitu padat, tingkat kriminalitasnya tidak begitu tinggi.
Dengan demikian, maka terdapat hal lain yang berpengaruh selain
sumber kehidupan, fasilitas-fasilitas sosial yang kurang berkembang.
Daya tampung lingkungan buatan dan daya tampung lingkungan
sosial yang lebih tepat sebagai faktor yang mempengaruhi timbulnya
berbagai masalah, seperti perkelahian pelajar. Terbatasnya fasilitas so-
sial, seperti kendaraan umum, tempat bermain, dan sempitnya solidari-

30)
Pada dua tahun terakhir itu, wilayah Polsek Umbulharjo menempati peringkat per-
tama, terbanyak kejadian curanmor. Data Satreskrim Polresta Kota Yogya menye-
butkan, kejadian curanmor pada 2009 tercatat sebanyak 147 kasus. Jumlah tersebut
naik dibandingkan 2010 yang tercatat 194 kasus (tribunjogja.com)
106
tas sosial, dimungkinkan lebih mempengaruhi, atau barangkali berba-
gai kebutuhan yang pada awalnya bukan primer tersebut, telah berubah
menjadi sangat vital. Inilah salah satu ciri modernitas.
Dengan kondisi daya tampung lingkungan sosial, berbagai penye-
imbang diperlukan untuk mengembangkan daya tampung sosial secara
tradisional sebenarnya sudah kita miliki, konsep seperti gotong royong,
tepo saliro misalnya. Konsep gotong-royong dan tepo seliro yang dikem-
bangkan di masyarakat akan dapat mencegah terjadinya konflik sosial,
sehingga masyarakat setempat dapat hidup dengan rukun dan damai.
Dengan demikian, daya tampung lingkungan sosial di Kota Yogyakar-
ta dapat menjadi lebih baik lagi (Kutanegara, 2011: 5).

3. Daya Tampung Lingkungan Buatan


Permukiman padat di Yogyakarta, seperti di kawasan Malioboro
nampaknya menghadapi permasalahan, yaitu keadaan fisik rumah yang
terlalu padat dengan fasilitas yang kurang memadai. Perkembangan
pesat perdagangan dan pariwisata di kawasan ini diikuti tumbuhnya to-
ko dan hotel di sepanjang jalan Malioboro dan dimanfaatkan para
PKL. PKL di jalan Malioboro memiliki daya tarik tersendiri bagi wisa-
tawan, baik luar negeri maupun domestik. Hal ini tentu saja memberi
peluang bagi pedagang luar kota, seperti Wonosari, Madura, Palem-
bang, Lampung, Jambi, Riau, dan Minangkabau ikut mengadu nasib
sebagai PKL di kawasan ini. Akibat aktivitas tersebut, penduduk kam-
pung di sekitar kawasan Malioboro pun meresponsnya dengan menye-
diakan sebagian ruang tinggalnya untuk disewakan/dikontrakkan. Fe-
nomena kontrakan terlihat pada Kampung Pajeksan dan Jogonegaran
di Kelurahan Sosromenduran.
Dengan semakin meningkatnya kepadatan permukiman di kawasan
Malioboro dan terbatasnya luasan ruang di dalam rumah yang kemudi-
an menyebabkan sebagian kegiatan meluas/ekspansi ke luar rumah.
Kondisi tersebut menunjukkan terjadinya degradasi daya tampung
lingkungan buatan. Tekanan lingkungan yang tinggi tersebut ke depan
akan menjadikan ketidaknyamanan bagi para penghuninya dan selan-
jutnya dapat mengakibatkan terjadinya konflik antarpenghuni permu-
kiman tersebut.
107
4. Pelaku Kebijakan
Peran birokrat dalam memecahkan persoalan daya dukung lingkungan
(carrying capacity) ini sangat penting. Pelaku/pemegang kebijakan rupa-
nya selama ini belum secara maksimal menempatkan visi dan misi Ko-
ta Yogyakarta sebagai kota pendidikan dan wisata dalam program-
program yang dikembangkan masing-masing instansi dan SKPD. Se-
lain itu, masih terjadi ketidakkompakan dan ego-sektoral dalam pe-
ngembangan kebijakan. Birokrat lebih berperan dan berfungsi sebagai
administratif semata dan kurang mengembangkan isu-isu strategis da-
lam pembangunan Kota Yogyakarta (Kutanegara, 2011: 6).

Kebijakan
Lingkungan Hidup
1. Perkembangan dan Permasalahan Lingkungan Hidup
a. Perkembangan PLH di tingkat internasional
ADA tahun 1975, sebuah lokakarya internasional tentang
PLH diadakan di Beograd, Jugoslavia. Pada pertemuan
tersebut dihasilkan pernyataan antarnegara peserta menge-
nai PLH yang dikenal sebagai The Belgrade Charter A Global
Framework for Environmental Education.
Secara ringkas tujuan PLH yang dirumuskan dalam Belgrade Charter
tersebut di atas, sebagai berikut:
1) meningkatkan kesadaran dan perhatian terhadap keterkaitan di bi-
dang ekonomi, sosial, politik, serta ekologi, baik di daerah perkota-
an maupun perdesaan;
2) memberi kesempatan bagi setiap orang untuk mendapatkan penge-
tahuan, keterampilan, sikap/perilaku, motivasi, dan komitmen, yang
diperlukan untuk bekerja secara individu dan kolektif untuk menye-
lesaikan masalah lingkungan saat ini dan mencegah munculnya ma-
salah baru; dan

108
3) menciptakan satu kesatuan pola tingkah laku baru bagi individu, ke-
lompok-kelompok dan masyarakat terhadap lingkungan hidup.

b. Perkembangan PLH di tingkat ASEAN


Program pengembangan PLH bukan merupakan hal yang baru di
lingkup ASEAN. Negara-negara anggota ASEAN telah mengembang-
kan program dan kegiatan sejak konferensi internasional PLH pertama
di Beograd tahun 1975. Sejak dikeluarkannya AEEAP 2000-2005, ma-
sing-masing negara anggota ASEAN perlu memiliki kerangka kerja
untuk pengembangan dan pelaksanaan pendidikan lingkungan.
Indonesia sebagai negara anggota ASEAN turut aktif dalam me-
rancang dan melaksanakan AEEAP 2000-2005 yang pada intinya me-
rupakan tonggak sejarah yang penting dalam upaya kerja sama regi-
onal antarsesama negara anggota ASEAN dalam turut meningkatkan
pelaksanaan pendidikan lingkungan di masing-masing negara anggota
ASEAN.
c. Perkembangan PLH di Indonesia
Di Indonesia perkembangan penyelenggaraan pendidikan ling-
kungan dimulai pada tahun 1975 di mana IKIP Jakarta untuk pertama
kalinya merintis pengembangan pendidikan lingkungan dengan me-
nyusun GBPP PLH yang diujicobakan di 15 SD Jakarta pada periode
tahun 1977/1978.
Pada tahun 1979 dibentuk dan berkembang PSL di berbagai PTN
dan PTS. Bersama dengan itu, mulai dikembangkan pendidikan AM-
DAL oleh semua PSL di bawah koordinasi Meneg PPLH. Sampai ta-
hun 2002, jumlah PSL yang menjadi anggota BKPSL telah berkem-
bang 87 PSL dan di samping itu berbagai perguruan tinggi, baik negeri
maupun swasta mulai mengembangkan dan membentuk program khu-
sus pendidikan lingkungan, misalnya di Fakultas Kehutanan, IPB.
Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah (menengah umum
dan kejuruan), penyampaian mata ajar tentang masalah PKLH secara
integratif dituangkan dalam sistem kurikulum tahun 1984 dengan me-
masukkan masalah-masalah PKLH ke dalam hampir semua mata pel-
ajaran. Sejak tahun 1989/1990 hingga saat ini berbagai pelatihan ten-

109
tang lingkungan hidup telah diperkenalkan oleh Depdiknas bagi pen-
didik di SD, SMP, dan SMA termasuk SMK.
Prakarsa pengembangan pendidikan lingkungan juga dilakukan
oleh berbagai LSM. Pada tahun 1996/1997 terbentuk JPL yang berang-
gotakan LSM-LSM yang berminat dan menaruh perhatian terhadap
pendidikan lingkungan. Hingga tahun 2001 tercatat 76 anggota JPL
yang bergerak dalam pengembangan dan pelaksanaan pendidikan ling-
kungan.
d. Permasalahan PLH di Indonesia
Dalam pelaksanaan PLH selama ini, dijumpai berbagai situasi per-
masalahan, antara lain: rendahnya partisipasi masyarakat untuk berpe-
ran dalam PLH yang disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap
permasalahan pendidikan lingkungan yang ada, rendahnya tingkat ke-
mampuan atau keterampilan dan rendahnya komitmen masyarakat da-
lam menyelesaikan permasalahan tersebut.
Di samping itu, pemahaman pelaku pendidikan terhadap pendidik-
an lingkungan yang masih terbatas menjadi kendala pula. Hal ini dapat
dilihat dari persepsi para pelaku PLH yang sangat bervariasi. Kurang-
nya komitmen pelaku pendidikan juga mempengaruhi keberhasilan
pengembangan PLH. Dalam jalur pendidikan formal, masih ada kebi-
jakan sekolah yang menganggap, bahwa PLH tidak begitu penting, se-
hingga membatasi ruang dan kreativitas pendidik untuk mengajarkan
PLH secara komprehensif.
Materi dan metode pelaksanaan PLH yang selama ini digunakan
dirasakan belum memadai, sehingga pemahaman kelompok sasaran
mengenai pelestarian lingkungan hidup menjadi tidak utuh. Di sam-
ping itu, materi dan metode pelaksanaan PLH yang tidak aplikatif ku-
rang mendukung penyelesaian permasalahan lingkungan hidup yang
dihadapi di daerah masing-masing.
Sarana dan prasarana dalam PLH juga memegang peranan penting.
Namun demikian, umumnya hal ini belum mendapatkan perhatian
yang cukup dari para pelaku. Pengertian terhadap sarana dan prasarana
untuk PLH seringkali disalahartikan sebagai sarana fisik yang bertek-

110
nologi tinggi, sehingga menjadi faktor penghambat tumbuhnya moti-
vasi dalam pelaksanaan PLH.
Hal lain yang menjadi faktor penghambat adalah kurangnya keter-
sediaan anggaran PLH. Kurangnya kemampuan pemerintah untuk
mengalokasikan dan meningkatkan anggaran pendidikan lingkungan
juga mempengaruhi perkembangan PLH tersebut. Selain itu, pelaksa-
naan PLH di berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta tidak
dapat maksimal karena terbatasnya dana/anggaran dan kemungkinan
penggunaannya yang kurang efisien dan efektif.
Lemahnya koordinasi antarinstansi terkait dan para pelaku pendi-
dikan menyebabkan kurang berkembangnya PLH. Hal ini terlihat de-
ngan adanya gerakan PLH (formal dan non-formal/informal) yang ma-
sih bersifat sporadis, tidak sinergis, dan saling tumpang-tindih.
Di samping itu, faktor penting yang sangat mempengaruhi kurang
berkembangnya PLH di Indonesia
adalah belum adanya kebijakan pe- Lemahnya koordinasi
merintah yang secara terintegrasi antarinstansi terkait
mendukung perkembangan PLH di dan para pelaku
Indonesia, seperti misalnya kebijakan pendidikan
yang dilakukan selama ini hanya ber- menyebabkan kurang
sifat bilateral dan lebih menekankan berkembangnya PLH
kerja sama antarinstansi (contoh:
MoU tahun 1996 antara Depdikbud dengan Kantor Meneg PPLH, dan
lain-lain), sementara di beberapa kabupaten/kota sampai saat ini belum
ada peraturan daerah yang secara spesifik mengatur hal-hal yang ber-
kaitan dengan masalah PLH.
Dari gambaran situasi permasalahan di alas, dapat disimpulkan,
bahwa kurang berkembangnya PLH selama ini disebabkan oleh lima
kelemahan pada:
1) kebijakan pendidikan nasional;
2) kebijakan pendidikan daerah;
3) unit pendidikan (sekolah-sekolah) untuk mengadopsi dan menja-
lankan perubahan sistem pendidikan yang dijalankan menuju PLH;
4) masyarakat sipil, LSM, dan DPRD untuk mengerti dan ikut men-
dorong terwujudnya PLH; dan

111
5) proses-proses komunikasi dan diskusi intensif yang memungkinkan
terjadinya transfer nilai dan pengetahuan guna pembaruan kebijak-
an pendidikan yang ada.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka untuk ke-
pentingan perkembangan PLH di Indonesia pada masa yang akan da-
tang, perlu disusun suatu kebijakan nasional PLH di Indonesia untuk
dijadikan acuan bagi semua pihak terkait bagi pelaksanaan dan pe-
ngembangan PLH.

2. Pengertian dan Definisi PLH


Beberapa pengertian dan definisi-definisi mengenai dan berkaitan
dengan PLH, seperti berikut.
1) Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan po-
tensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengen-
dalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak manusia, serta keteram-
pilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
2) Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, da-
ya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilaku-
nya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejah-
teraan manusia serta makhluk hidup lain.
3) PLH adalah upaya mengubah perilaku dan sikap yang dilakukan
oleh berbagai pihak atau elemen masyarakat yang bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kesadaran masyara-
kat tentang nilai-nilai lingkungan dan isu permasalahan lingkungan
yang pada akhirnya dapat menggerakkan masyarakat untuk berpe-
ran aktif dalam upaya pelestarian dan keselamatan lingkungan un-
tuk kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang.
4) PLH formal adalah kegiatan pendidikan di bidang lingkungan hidup
yang diselenggarakan melalui sekolah, terdiri atas pendidikan da-
sar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dan dilakukan se-
cara terstruktur dan berjenjang dengan metode pendekatan kuriku-
lum yang terintegrasi maupun kurikulum yang monolitik (tersen-
diri).

112
5) PLH non-formal adalah kegiatan pendidikan di bidang lingkungan
hidup yang dilakukan di luar sekolah yang dapat dilaksanakan seca-
ra terstruktur dan berjenjang (misalnya pelatihan AMDAL, ISO
14000, penyidik PNS).
6) PLH informal adalah kegiatan pendidikan di bidang lingkungan hi-
dup yang dilakukan di luar sekolah dan dilaksanakan tidak terstruk-
tur maupun tidak berjenjang.
7) Kelembagaan PLH adalah seluruh lapisan masyarakat yang meli-
puti pelaku, penyelenggara, dan pelaksana PLH, baik di jalur for-
mal, non-formal, maupun informal.

3. Visi dan Misi PLH


a. Visi
Visi PLH: Terwujudnya manusia Indonesia yang memiliki pengetahu-
an, kesadaran, dan keterampilan untuk berperan aktif dalam melestari-
kan dan meningkatkan kualitas lingkungan.
Pada hakikatnya visi ini bertitik-tolak dari latar belakang permasa-
lahan PLH selama ini dan sejalan dengan filosofi pembangunan ber-
kelanjutan yang menekankan pembangunan harus dapat memenuhi as-
pirasi dan kebutuhan masyarakat generasi saat ini tanpa mengurangi
potensi pemenuhan aspirasi dan kebutuhan generasi mendatang serta
melestarikan dan mempertahankan fungsi lingkungan dan daya dukung
ekosistem.
b. Misi
Untuk dapat mewujudkan visi, maka ditetapkan misi yang harus
dilaksanakan, yakni: (1) mengembangkan kebijakan pendidikan nasio-
nal yang berparadigma lingkungan hidup; (2) mengembangkan kapa-
sitas kelembagaan PLH; (3) meningkatkan akses informasi PLH secara
merata; dan (4) meningkatkan sinergi antarpelaku PLH.

4. Tujuan, Sasaran, dan Ruang Lingkup Kebijakan


a. Tujuan
Tujuan PLH: Mendorong dan memberikan kesempatan kepada ma-
syarakat memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang pada

113
akhirnya dapat menumbuhkan kepedulian, komitmen untuk melin-
dungi, memperbaiki serta memanfaatkan lingkungan hidup secara bi-
jaksana, turut menciptakan pola perilaku baru yang bersahabat dengan
lingkungan hidup, mengembangkan etika lingkungan hidup, dan mem-
perbaiki kualitas hidup.
Sesuai dengan tujuan PLH, maka kebijakan PLH di Indonesia di-
susun untuk menciptakan iklim yang mendorong semua pihak agar
berperan dalam pengembangan PLH untuk pelestarian lingkungan hi-
dup.
b. Sasaran
Sasaran kebijakan PLH adalah:
1) terlaksananya PLH di lapangan, sehingga tercipta kepedulian dan
komitmen masyarakat dalam turut melindungi, melestarikan dan
meningkatkan kualitas lingkungan hidup, dan
2) tercakupnya seluruh kelompok masyarakat, baik di perdesaan dan
perkotaan, tua dan muda, laki-laki dan perempuan di seluruh wila-
yah Indonesia, sehingga tujuan PLH bagi seluruh rakyat Indonesia
dapat terwujud dengan baik.
c. Ruang lingkup
Ruang lingkup kebijakan PLH meliputi:
1) pelaksanaan PLH melalui jalur formal, non-formal, dan informal
oleh seluruh stakeholder; dan
2) pengembangan berbagai aspek yang meliputi: a) kelembagaan; b)
SDM selaku pelaku/pelaksana maupun selaku objek PLH; c) sarana
dan prasarana; d) pendanaan, e) materi; f) komunikasi dan infor-
masi; g) peran serta masyarakat; dan h) metode pelaksanaan.
5. Kebijakan PLH
a. Landasan kebijakan
Kebijakan PLH disusun berdasarkan:
1) UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
2) UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
3) UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pe-
merintah Pusat dan Daerah;
114
4) UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional;
5) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
6) keputusan bersama Meneg KLH dan Menag RI Nomor 15 Tahun
1991 dan Nomor 38 Tahun 1991; tentang Peningkatan Pemasyarakat-
an KLH Melalui Jalur Agama;
7) memorandum bersama antara Depdibud dengan Kantor Meneg LH
Nomor 0142/U/1996 dan Nomor KEP: 89/MENLH/5/1996 tentang
Pembinaan dan Pengembangan PLH;
8) naskah kerja sama antara Pusat Pengembangan Penataran Guru
Teknologi Malang sebagai Pusat Pengembangan PLH Nasional
untuk SMK dan Direktorat Pengembangan Kelembagaan/Pengem-
bangan SDM, Bapedal Nomor 218/C19ATT/1996 dan Nomor B-
1648/I/06/96 tentang Pengembangan PLH pada SMK;
9) piagam kerja sama Meneg LH/Kepala Bapedal dengan Mendagri
Nomor 05/MENLH/8/1998 dan Nomor 119/1922/SJ tentang Ke-
giatan Akademik dan Non Akademik di Bidang Lingkungan Hidup; dan
10) komitmen internasional yang berkaitan dengan PLH.
b. Kebijakan umum
Kebijakan umum PLH terdiri atas:
1) Kelembagaan PLH menjadi wadah/sarana menciptakan per-
ubahan perilaku manusia yang berbudaya lingkungan
Selama ini pelaksanaan PLH di lapangan masih banyak mengha-
dapi berbagai hambatan. Salah satu hambatan yang dirasakan sangat
krusial adalah belum optimalnya kelembagaan PLH di Indonesia se-
bagai wadah yang ideal dan efektif dalam mendorong keberhasilan pe-
laksanaan PLH di lapangan.
Kelembagaan PLH yang ideal dan efektif tersebut perlu memper-
hatikan empat aspek, yakni adanya: (1) kebijakan pemerintah pusat,
daerah dan komitmen seluruh stakeholder yang mendukung pengem-
bangan PLH; (2) jejaring dan kerja sama antarlembaga pelaksana PLH;
(3) mekanisme kelembagaan yang jelas yang meliputi tugas, fungsi,
dan tanggung jawab masing-masing pelaku PLH; dan (4) sistem moni-
toring dan evaluasi pelaksanaan PLH.

115
2) SDM PLH yang berkualitas dan berbudaya lingkungan
Berhasil-tidaknya pelaksanaan PLH di lapangan ditentukan antara
lain oleh kualitas dan kuantitas pelaku dan kelompok sasaran PLH.
Dengan meningkatnya kualitas dan kuantitas pelaku PLH31) diharapkan
akan menghasilkan SDM yang berpengetahuan, berketerampilan, ber-
sikap dan berperilaku, serta mempunyai komitmen yang tinggi terha-
dap pelestarian fungsi lingkungan hidup di sekitarnya.
3) Sarana dan prasarana PLH sesuai dengan kebutuhan
Agar PBM dalam PLH dapat berjalan dengan baik, perlu didukung
sarana dan prasarana yang memadai, antara lain: laboratorium, perpus-
takaan, peralatan belajar-mengajar. Di samping itu, dalam melaksana-
kan PLH, alam dapat digunakan sebagai sarana pengetahuan.
4) Pengalokasian dan pemanfaatan anggaran PLH yang efisien
dan efektif
Penyelenggaraan PLH perlu didukung pendanaan yang memadai.
Pendanaan dan pengalokasian anggaran bagi pelaksanaan PLH terse-
but sangat bergantung pada komitmen pelaku PLH di semua tingkatan,
baik pusat dan daerah. Agar PLH dapat dilaksanakan dengan baik per-
lu adanya komitmen semua pihak dalam pengalokasian anggaran yang
memadai dan penggunaan anggaran PLH yang efisien dan efektif.
5) Materi PLH yang berwawasan pembangunan berkelanjutan,
komprehensif, dan aplikatif
Penyusunan materi PLH harus mengacu pada tujuan PLH dengan
memperhatikan tahap perkembangan dan kebutuhan yang ada saat ini.
Untuk itu, materi PLH perlu dipersiapkan secara matang dengan meng-
integrasikan pengetahuan lingkungan yang berwawasan pembangunan
berkelanjutan, dan disusun secara komprehensif, serta mudah diapli-
kasikan ke seluruh kelompok sasaran (lihat misalnya Ananta, 1992).
6) Informasi yang berkualitas dan mudah diakses sebagai dasar ko-
munikasi yang efektif
Kualitas informasi tentang PLH perlu terus dibangun dan dijamin
ketersediaannya agar setiap orang mudah mendapatkannya. Informasi
31)
misalnya: pendidik, fasililator
116
yang berkualitas digunakan pelaksanaan komunikasi efektif antarpela-
ku dan kelompok sasaran serta bagi pengembangan PLH.
7) Keterlibatan dan ketersediaan ruang bagi peran serta masyara-
kat untuk berpartisipasi dalam PLH
Keterlibatan masyarakat diperlukan dalam proses perencanaan, pe-
laksanaan, dan evaluasi PLH. Oleh karena itu, pelaku PLH perlu mem-
berikan peran yang jelas bagi keterlibatan masyarakat tersebut.
8) Metode PLH berbasis kompetensi
Metode pelaksanaan PLH merupakan hal yang penting dan sangat
berperan dalam menghasilkan proses pembelajaran yang berkualitas.
Pengembangan metode pelaksanaan PLH yang baik32) dapat mening-
katkan kualitas PLH, sehingga dapat mencapai sasaran.

6. Strategi Pelaksanaan
Strategi pelaksanaan kebijakan PLH merupakan penjabaran kebijakan
umum yang tertuang dalam butir B di atas. Strategi ini memberikan ke-
rangka umum untuk mewujudkan cita-cita pengembangan PLH di In-
donesia, sehingga dapat diciptakan manusia Indonesia yang berpenge-
tahuan, berketerampilan, bersikap, dan mempunyai komitmen yang
tinggi terhadap lingkungan hidup serta dapat turut bertanggung jawab
aktif dalam upaya pelestarian lingkungan hidup di sekitar manusia.
Strategi-strategi ini saling berkait satu dengan lainnya, namun hal
ini tidak berarti strategi-strategi harus menjadi satu kesatuan yang ber-
urutan, sehingga dalam pelaksanaan strategi tersebut tidak perlu dilak-
sanakan secara seri berdasarkan urutan strategi yang ada.
a. Meningkatkan kapasitas kelembagaan PLH sebagai pusat
pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan dalam pelak-
sanaan PLH
Peningkatan kapasitas ini, ditujukan untuk:
1) mendorong pembentukan, penguatan, dan pengembangan (revitali-
sasi) kapasitas kelembagaan PLH;

32)
berbasis kompetensi dan aplikatif
117
2) mendorong tersusunnya kebijakan PLH di tingkat pusat dan daerah,
3) memperkuat koordinasi dan jaringan kerja sama pelaku PLH;
4) membangun komitmen bersama33) untuk PLH; dan
5) mendorong terbentuknya sistem monitoring dan evaluasi pelaksana-
an PLH.
b. Meningkatkan kualitas dan kemampuan (kompetensi) SDM
PLH, baik pelaku maupun kelompok sasaran PLH sedini
mungkin melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif
Mengembangkan kualitas SDM, yang meliputi pendidik, peserta
didik, aparatur pemerintah, para ulama, serta seluruh lapisan masyara-
kat sedini mungkin secara terarah, terpadu, dan menyeluruh harus di-
lakukan melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif. Upaya ini harus
dilakukan oleh seluruh komponen bangsa, sehingga generasi muda,
subjek dan objek pendidikan lingkungan dapat berkembang secara op-
timal. Selain itu, peningkatan kemampuan SDM di bidang lingkungan
hidup dalam profesionalitas (kompetensi) tenaga pendidik, dan pening-
katan kuaiitas masyarakat dan peningkatan kualitas SDM pada tingkat
pengambil keputusan (birokrat) menjadi hal yang penting dilakukan ju-
ga dalam rangka pengembangan kebijakan PLH.
c. Mengoptimalkan sarana dan prasarana PLH yang mendukung
terciptanya proses pembelajaran yang efisien dan efektif
Dengan mengoptimalkan sarana dan prasarana PLH dapat mendu-
kung terciptanya tempat yang menyenangkan untuk belajar, berpres-
tasi, berkreasi, dan berkomunikasi. Optimalisasi sarana dan prasarana
ini dilakukan dengan menggunakan perpustakaan, laboratorium, alat
peraga, alam sekitar, dan sarana lainnya sebagai sumber pengetahuan.
d. Meningkatkan dan memanfaatkan anggaran PLH dan men-
dorong partisipasi publik serta meningkatkan kerja sama re-
gional, internasional untuk penggalangan pendanaan PLH
Meningkatkan pendanaan PLH yang memadai, khususnya pada
instansi yang melaksanakan PLH diharapkan dapat memacu perluasan

33)
termasuk komitmen pendanaan
118
dan pemerataan kesempatan pendidikan, khususnya PLH bagi seluruh
rakyat Indonesia dalam menuju terciptanya manusia Indonesia yang
berkualitas. Saat ini anggaran pendidikan, khususnya pendidikan ling-
kungan masih sangat minim, walaupun di dalam Amendemen UUD
1945, pagu anggaran pendidikan telah ditetapkan minimum sebesar
20% dari seluruh APBN. Di samping itu, sumber pendanaan PLH da-
pat digalang dari masyarakat, baik lokal, regional, maupun interna-
sional.
e. Menyiapkan dan menyediakan materi PLH yang berbasis ke-
arifan tradisional dan isu lokal, modern serta global sesuai de-
ngan kelompok sasaran PLH serta mengintegrasikan materi
PLH ke dalam kurikulum lembaga pendidikan formal
Penyusunan materi PLH harus mengacu pada tujuan PLH dengan
memperhatikan tahap perkembangan dan kebutuhan yang ada saat ini.
Untuk itu, materi PLH yang berbasis kearifan tradisional dan isu lokal,
modern, serta global harus disesuaikan dengan kelompok sasaran PLH.
f. Meningkatkan informasi yang berkualitas dan mudah diakses
dengan mendorong pemanfaatan teknologi
Dalam meningkatkan informasi yang berkualitas, pemanfaatan tek-
nologi perlu terus diupayakan, sehingga pengembangan pendidikan
lingkungan dapat berhasil guna dan berdaya guna serta sekaligus dapat
memberikan akses kepada masyarakat terhadap informasi tentang
PLH.
g. Mendorong ketersediaan ruang partisipasi bagi masyarakat
dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan
PLH
Peningkatan peran serta masyarakat di bidang PLH meliputi peran
serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha,
dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengen-
dalian mutu pelayanan pendidikan (Pasal 54, UU Nomor 20 Tahun
2003) perlu terus digalakkan. Selain itu, penyediaan ruang bagi masya-
rakat untuk berpartisipasi akan menjadi faktor pendukung dalam pelak-
sanaan PLH.
119
h. Mengembangkan metode pelaksanaan PLH yang berbasis
kompetensi dan partisipatif
Metode peiaksanaan pendidikan lingkungan adalah hal yang sa-
ngat penting dan sangat berperan dalam menghasilkan proses pembel-
ajaran yang berkualitas. Pengembangan metode pelaksanaan dalam
PLH ditujukan pada pengembangan berbagai metode penyampaian
PLH34) pada setiap jenjang pendidikan dan pengembangan berbagai
metode partisipatif tentang PLH.

PKLH: Untuk Sebuah Keberlanjutan


Hidup Bersama
EMERINTAH Indonesia telah berpartisipasi dan menanda-
tangani Deklarasi Milenium pada KTT Milenium PBB
yang dilaksanakan pada bulan September 2000.
Deklarasi ini kemudian menyepakati tujuan-tujuan pem-
bangunan global yang tertuang dalam MDGs. Sebagai salah satu
penanda tangan deklarasi milenium, pemerintah Indonesia mempu-
nyai kewajiban untuk merealisasikan dan memantau perkembangan
pencapaian MDGs pada tingkat nasional. Pada KTT milenium terse-
but masing-masing negara peserta mengadopsi tujuan pembangunan
milenium (lihat Drost, 2000: 52).
Program MDGs yang disepakapi oleh 189 negara termasuk Indo-
nesia, merumuskan delapan target pembangunan yang harus tercapai
pada tahun 2015. Adapun target tersebut meliputi penghapusan kemis-
kinan, pendidikan untuk semua, persamaan gender, perlawanan perha-
dap penyakit, penurunan angka kematian anak, peningkatan kesehatan
ibu, pelestarian lingkungan hidup, dan kerja sama global.
Saat ini sudah separuh perjalanan (mid point) pelaksanaan MDGs.
Tercapainya MDGs sangat dipengaruhi oleh adanya sinergisitas antara
pemerintah (eksekutif dan legislatif), masyarakat, media, dan kelom-

34)
antara lain melalui Joyful Learning Process

120
pok bisnis. Namun dalam kasus Indonesia, sinergisitas ini masih sulit
dilakukan, karena setiap elemen masyarakat masih berjalan sendiri-
sendiri. Hal ini terlihat pada pengalokasian anggaran maupun pembu-
atan kebijakan yang belum searah dan sebangun dengan pelaksanaan
MDGs. Selain itu, bentuk-bentuk partisipasi yang dilakukan oleh ma-
syarakat, media, atau kelompok bisnis dalam penentuan kebijakan en-
tah itu dalam anggaran maupun peraturan belum banyak diakomodir
oleh pemerintah. Salah satu akibat kurangnya sinergisitas inilah yang
membuat arah pembangunan tidak jelas dan kurang memperhatikan
aspek keberlanjutan (sustainability).
Namun yang menjadi persoalan adalah sudah sekian tahun KTT
tersebut, pelestarian penyelamatan lingkungan belum menjadi perhati-
an semua pihak. Alhasil terjadi kecenderungan menurunnya proporsi
luas kawasan hutan di beberapa daerah yang disebabkan oleh beberapa
faktor, di antaranya konversi lahan hutan menjadi perkebunan (kelapa
sawit), menjadi industri pabrik, pertambangan, illegal loging, dan seba-
gainya. Semua itu mendatangkan bencana alam, seperti banjir, tanah
longsor, dan pemanasan global (global warming). Maka tidak heran da-
lam buku “Teologi Bencana” (2007) Indonesia disebut sebagai “negara
bencana.” Barangkali itulah ungkapan yang paling tepat untuk meng-
gambarkan kondisi Indonesia saat ini. Betapa tidak! Berbagai bencana
alam selalu menimpa Indonesia, dan persoalan itu semata-mata tidak
dipahami secara sosial, ekonomi, dan politik (human error, management
error), namun menjadi pertanyaan kebijakan pembangunan yang tidak
pro-lingkungan hidup.

1. Pembantaian Sistematis
Penebangan hutan yang dilakukan tanpa memedulikan keseimbangan
ekosistem, sehingga menimbulkan malapetaka, seperti banjir bandang,
eksploitasi kandungan bumi tanpa memperhitungkan harkat dan masa
depan masyarakat, bahkan kasus semburan lumpur panas Lapindo aki-
bat pengemboran gas di Sidoarjo, mesti dilihat sebagai bentuk kejahat-
an politik yang sistematis terhadap ekologi, atau meminjam bahasa
Karel Erari (2001), sebagai ecocide yang juga berarti genocide (suatu ben-

121
tuk pembantaian yang sistematis terhadap kelompok tertentu) dan bah-
wa keduanya merupakan suatu “pembunuhan” atau sabotase terhadap
kedaulatan Allah.
Kenaikan permukaan air laut, meluasnya kekeringan dan banjir,
menurunnya produksi pertanian, dan meningkatnya prevalensi berba-
gai penyakit yang terkait iklim merupakan beberapa dampak perubah-
an iklim yang sudah dan akan terjadi di Indonesia. Sebagian besar ko-
ta-kota di negara ini yang berpenduduk padat berada di daerah pesisir
pantai. Kota-kota ini untuk beberapa dekade mendatang, seperti dira-
mal Arifin (2008) terancam tenggelam akibat kenaikan permukaan air.
Bahkan berdasarkan perkiraan Kompas (1/4/2009), sebanyak 3.000 pu-
… maka selayaknya lau di Indonesia terancam akan tenggelam.
Indonesia mulai Menurut Arifin (2008) sebagai negara
mengintegrasikan yang kondisi iklim dan alam yang rentan ter-
satu konsep baru da- hadap perubahan iklim global yang dipicu
lam menghadapi oleh pemanasan global, maka Indonesia ha-
bencana alam, yang rus menyiapkan masyarakatnya untuk meng-
disebut dengan “pa- hadapi berbagai kemungkinan yang dapat di-
radigma pengura- timbulkan oleh fenomena tersebut. Terkait
ngan risiko benca- dengan hal itu, maka selayaknya Indonesia
na.”
mulai mengintegrasikan satu konsep baru da-
lam menghadapi bencana alam, yang disebut dengan “paradigma pe-
ngurangan risiko bencana.”
Mengutip dari Prisoner of Space, Graham D. Rowtes, 1984, dalam
The Lost Day of Statelaw Linsley, ada ungkapan menggigit “dunia yang
aneh, saya katakan demikian. Saya berjuang, berjuang, bekerja, dan
kemudian apabila Anda telah selesai bekerja, Anda bersiap untuk mati.
Itulah akhir dari hayatmu.” Sekilas ungkapan ini merupakan gambaran,
bahwa demikian pesimis hidup di bumi ini. Satu pertanyaan sampai
kapan dan berapa lama manusia mampu hidup dengan mempertaruh-
kan kualitas hidup itu sendiri menghadapi dampak lingkungan.
Kelestarian lingkungan hidup memprihatinkan, karena semakin te-
rasa turunnya selain kualitas hidup juga kualitas habitat yang diper-
lukan untuk menopang kehidupan. Daur keseimbangan ekologi sudah
tidak lagi secara mudah melakukan kegiatan rangkaian tertutup. Seba-

122
gai akibat semakin tercemarnya udara, tanah, dan air, hubungan tim-
bal-balik antara makhluk hidup dengan lingkungan mengalami dispari-
tas, karena rendahnya nilai terhadap masalah ekologi sosial, manusia,
kebudayaan, fisik, dan biologi.
Dalam tulisan berjudul “Dilema Inovasi Sadar Lingkungan” (Timor
Voice, 22 Juni 1994) tertulis, bahwa krisis lingkungan bukan disebab-
kan oleh kerusakan alam atau disebabkan salah arah terhadap aktivitas
biologis dan bukan karena adanya anggapan manusia tidak ubahnya
sebagai hewan yang kotor, dan bukan pula oleh sejumlah penduduk,
akan tetapi semuanya ini disebabkan oleh perilaku sebagian masyara-
kat yang selalu ingin menang dan ingin menguasai kekayaan alam de-
mi keuntungan yang sebesar mungkin.
Dari kegagalan di atas dengan semakin berani merusak dan meng-
ganggu lingkungan, lahirlah suatu krisis lingkungan. Interaksi manusia
dengan lingkungannya tidak lagi berpola sebagai komponen biosfer
akan tetapi sebaliknya, tumbuhnya dan keberadaban manusia dikata-
kan sebagai penyebab rusaknya lingkungan.
Banyak pihak menilai orang kota yang pada saat ini merupakan pe-
nyebab perubahan sosial yang lebih banyak semakin menyudutkan ma-
syarakat perdesaan yang selama ini masih sangat patuh memelihara
ekologi kebudayaan.
Meskipun menjadi agenda pokok pembangunan berkelanjutan, di
Indonesia pelestarian lingkungan hidup belum mendapat sentuhan ber-
arti. Padahal lingkungan besar perannya dalam mendukung agenda-
agenda pembangunan lainnya. Lebih parah lagi muncul kesan peme-
rintah Indonesia telah mengorbankan kelestarian lingkungan demi dan
mengatasnamakan pembangunan. Terjadinya bencana alam berupa ta-
nah longsor dan banjir di beberapa daerah menjadi bukti nyata ku-
rangnnya perhatian pemerintah pada kelestarian lingkungan ini. Seperti
terlihat pada kasus tanah longsor dan banjir bandang yang terjadi di
beberapa wilayah Indonesia (Jakarta, Bogor, Jatim, Jabar, NTT, dan
lain-lain).
Penanggulangan bencana yang dilakukan pun belum menyentuh
akar persoalan. Umumnya pemerintah hanya memberikan bantuan
yang sifatnya tanggap darurat, seperti bantuan makanan, air bersih, ke-

123
sehatan, dan sandang. Paling banter pemerintah hanya melakukan relo-
kasi ke tempat yang lebih aman. Padahal akar persoalannya terletak
pada rusaknya ekosistem hutan.

2. Pendidikan sebagai Unsur Penting Pembangunan Berke-


lanjutan
Konferensi PBB pada Lingkungan dan Pembangunan pada tahun
1992, yakni Konferensi Bumi (The Earth Summit) memberikan prioritas
tinggi dalam Agenda 21-nya ke peranan pendidikan dalam mencapai
jenis pembangunan yang akan menghormati dan menjaga lingkungan
alam. Pertemuan ini berfokus pada proses orientasi dan reorientasi
pendidikan dalam rangka membantu perkembangan nilai-nilai dan
tingkah laku yang bertanggung jawab bagi lingkungan, juga untuk
menggambarkan jalan dan cara melakukannya. Pada Pertemuan Ting-kat
Tinggi Johannesburg pada tahun 2002, visi ini telah diperluas pada upa-
ya meraih keadilan sosial dan memerangi kemiskinan sebagai prinsip-
prinsip kunci dari pembangunan yang berkelanjutan: “memenuhi kebu-
tuhan sekarang tanpa mengesampingkan kemampuan generasi masa
depan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.”
Selaras dengan Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of
Human Rights) dan Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua
(World Education on Education for All), Forum Pendidikan Dunia (World
Education Forum) telah mengakui bahwa pendidikan adalah HAM yang
mendasar dan ini adalah kunci bagi pembangunan berkelanjutan, per-
damaian dan stabilitas, pertumbuhan sosial ekonomi, dan pembangun-
an bangsa. Pada pertemuan ke-57 bulan Desember 2002, SU PBB me-
nyatakan Dekade Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan untuk
periode 2005-2014, “dengan menekankan, bahwa pendidikan adalah
unsur yang sangat diperlukan untuk mencapai pembangunan berkelan-
jutan.”
Sebelum menguraikan peran khusus pendidikan berkenaan dengan
pembangunan berkelanjutan, penting untuk memahami apa area-area
kunci konsep ini, sebagaimana digambarkan oleh wacana internasio-
nal. Terdapat tiga area yang saling terkait dan paling sering dikenali

124
dalam pembangunan berkelanjutan. Yaitu: masyarakat, lingkungan, dan
ekonomi. Tiga unsur ini, ditegaskan kembali dalam KTT Johannesburg
sebagai tiga pilar pembangunan berkelanjutan, memberi bentuk dan isi
pada pembelajaran yang berkelanjutan di sekolah.
Tiga unsur ini menurut Ninil (2007) memikul sebuah proses per-
ubahan yang terus-menerus dan berjangka panjang – pembangunan
berkelanjutan adalah sebuah konsep yang dinamis, dengan pengakuan,
bahwa umat manusia berada da-
Pembangunan berkelanjutan
lam suatu gerakan yang konstan.
bukanlah tentang memper-
Pembangunan berkelanjutan bu-
tahankan status quo, tetapi le-
kanlah tentang mempertahankan
bih tentang arah dan maksud
status quo, tetapi lebih tentang
perubahan
arah dan maksud perubahan. Pe-
nekanan pada hubungan antara kemis-
kinan dengan persoalan pembangunan berkelanjutan merujuk pada per-
hatian komunitas internasional, bahwa mengakhiri kemelaratan dan ke-
tidakberdayaan menjadi perhatian kita untuk masa depan dunia seperti
halnya melindungi lingkungan. Menyeimbangkan keduanya adalah
tantangan pokok pembangunan berkelanjutan.
Dasar dan fondasi untuk keterkaitan tiga area ini dengan pemba-
ngunan berkelanjutan terdapat dalam dimensi budaya. Kebudayaan –
cara hidup, berhubungan, berperilaku, berkeyakinan, dan bertindak
yang berbeda-beda sesuai dengan konteks, sejarah, dan tradisi, yang di
dalamnya umat manusia menjalani kehidupan mereka. Ini adalah peng-
akuan, bahwa praktek-praktek kebiasaan, identitas, dan nilai-nilai – pe-
rangkat lunak pengembangan manusia – memainkan peran besar dalam
menyusun dan membangun komitmen bersama. Dalam kaitan proses
dan tujuan pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan (ESD), pene-
kanan pada aspek kebudayaan akan menggarisbawahi pentingnya
ESD.
ESD merupakan konsep dinamis yang mencakup sebuah visi baru
pendidikan yang mengusahakan pemberdayaan orang segala usia un-
tuk turut bertanggung jawab dalam menciptakan sebuah masa depan
berkelanjutan. ESD merupakan bagian integral dalam mencapai tiga
pilar pembangunan manusia sebagaimana diusulkan Program Pemba-

125
ngunan PBB (UNDP) dan dikukuhkan dalam KTT Dunia untuk Pem-
bangunan Berkelanjutan di Johannesburg 2002. Tiga pilar itu, ialah per-
tumbuhan ekonomi, pembangunan sosial, dan pelestarian lingkungan hidup.
Lebih jauh unsur budaya juga diidentifikasi sebagai tema dasar esen-
sial ESD mengingat pentingnya ESD menyentuh para pemangku ke-
pentingan dan mitra baru dalam kerangka lokal yang relevan.
ESD tidak bermakna sama dengan pendidikan tentang pembangun-
an berkelanjutan atau sekadar transfer pengetahuan. ESD berurusan de-
ngan upaya mengubah perilaku dan gaya hidup kita bagi transformasi
masyarakat yang positif. Lebih jauh, ESD tidaklah sama dengan PLH
EE. EE hanyalah salah satu komponen saja ESD yang mencakup ra-
gam tema, seperti pendidikan untuk penanggulanan kemiskinan, HAM,
kesetaraan gender, demokrasi, dan pemerintahan
… pembangunan
yang baik. Komisi Dunia bagi Lingkungan dan berkelanjutan
Pembangunan dalam Laporan Brundtland 1987, sebagai “pemba-
Masa Depan Kita Bersama, mengartikan pemba- ngunan yang me-
ngunan berkelanjutan sebagai “pembangunan menuhi kebutuh-
yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan masa kini an-kebutuhan
tanpa menghilangkan kemampuan generasi- masa kini tanpa
generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan menghilangkan
mereka sendiri.” Gagasan itu berseru untuk kemampuan ge-
memperbaiki kehidupan manusia masa kini dan nerasi-generasi
mendatang tanpa mempertinggi pemakaian SDA mendatang untuk
memenuhi kebu-
melebihi daya dukung bumi. tuhan mereka
Pada 1992 Konferensi PBB mengenai Ling- sendiri”
kungan dan Pembangunan, KTT Bumi I, di Rio
de Janeiro mengeluarkan Agenda 21, sebuah tonggak rancangan besar
mengenai pembangunan berkelanjutan bagi semua bangsa dalam me-
masuki abad ke-21. Naskah 500 halaman tersebut menjabarkan setiap
masalah dalam keprihatinan bersama manusia dan menyarankan lang-
kah tindak untuk menjamin kelangsungan hidup umat manusia: dari air
bersih ke hutan; dari wisata berkelanjutan ke Negara-negara Berkem-
bang Kepulauan Kecil. Tetapi ketika KTT Bumi II bertemu di Johan-
nesburg 2002, sebuah dokumen PBB berjudul Melaksanakan Agenda 21
mengakui kemajuan menuju sasaran Rio “lebih lamban dari yang di-

126
perkirakan, dan dalam beberapa hal keadaannya nyatanya lebih buruk
dibandingkan 10 tahun silam.”
Kurangnya aksi ini dikarenakan kurangnya kesadaran dan kete-
rampilan. Inilah alasan mengapa ESD melangkah ke depan dengan se-
buah desakan untuk membanting stir arah perkembangan abad lalu
yang merisaukan dengan mengubah sikap dan perilaku. Konsep pem-
bangunan berkelanjutan bersifat dinamis dan terus berkembang.
Pada 1 Maret 2005 Dirjen UNESCO35) meluncurkan Dasawarsa
ESD PBB (DESD) di New York. Dalam peluncuran itu, Matsuura
menyatakan: ”Tujuan akhir dasawarsa ini ialah bahwa pendidikan
pembangunan berkelanjutan haruslah menjadi lebih daripada sekadar
sebuah semboyan. Ia harus merupakan kenyataan konkret bagi kita se-
mua – perorangan, organisasi, pemerintahan – dalam segala keputusan
dan tindakan harian kita, sehingga terpenuhilah janji adanya sebuah
planet yang berkelanjutan dan dunia yang lebih aman bagi anak, cucu,
dan keturunan mereka. Para pelaku utama pembangunan berkelanjutan
haruslah menempatkan peran mereka dalam pendidikan anak-anak,
pendidikan tinggi, pendidikan non-formal, dan dalam kegiatan pembel-
ajaran berbasis masyarakat. Ini berarti pendidikan haruslah berubah,
sehingga ia mampu menanggapi masalah-masalah sosial, ekonomi, bu-
daya, dan lingkungan hidup yang kita hadapi dalam abad ke-21.”
Visi dasar dasawarsa ESD ialah sebuah dunia di mana semua
orang memiliki kesempatan memperoleh keuntungan dari pendidikan
bagi transformasi masyarakat. Salah satu sasaran Dasawarsa ESD ialah
untuk mengembangkan strategi-strategi di setiap tingkat untuk mem-
perkuat kapasitas dalam ESD. Dasawarsa ESD memperkokoh prakarsa
PBB lain yang sedang berjalan, khususnya gerakan Pendidikan untuk
Semua (EFA) dan Sasaran Pembangunan Milenium (MDGs).
Pasal 36 Agenda 21 menggarisbawahi perlunya reorientasi pendi-
dikan menuju pembangunan berkelanjutan. Seruan itu mencakup se-
mua aliran pendidikan formal dan non-formal dan semua isu kunci se-
hubungan dengan pendidikan untuk pembangunan manusia berkelan-
jutan.

35)
Koichiro Matsuura
127
Sebagian besar masalah lingkungan hidup berakar dari kurangnya
pendidikan tentang lingkungan hidup dan tentang caracara menuju pe-
rikehidupan yang berkelanjutan. Arti penting pendidikan untuk mema-
jukan pembangunan berkelanjutan ditegaskan kembali di Johannes-
burg. Arti penting itu memperoleh makna isi Desember 2002 ketika
Sidang ke-58 MU PBB menyetujui resolusi untuk mencanangkan Da-
sawarsa Pendidikan Pembangunan Berkelanjutan PBB mulai 2005.
Beberapa dasar Dasawarsa ESD adalah kemitraan, kepemilikan,
dan kepemimpinan. Kemitraan ialah kerja sama dan seruan terwujud-
nya jejaring antarperorangan dan lembaga dengan latar berbeda guna
memprakarsai dan melaksanakan ESD secara berhasil. Kepemilikan
menggarisbawahi kenyataan, bahwa ESD milik semua karena menyen-
tuh semua orang di masa kini dan mendatang. Kepemimpinan di se-
mua tingkat dan semua bidang merupakan penggerak untuk memo-
bilisasi orang, mengubah pola pikir mereka, dan untuk menghasilkan
karya-karya berarti.

128
F. Pengintegrasian
Aspek Ke-PKLH-
an dalam Konteks
Pembelajaran

Mengintegrasikan PKLH
ke Dalam Mata Pelajaran
EKOLAH pun menjadi bagian terpenting untuk turut andil dalam
upaya menyelamatkan bumi. Sebuah konsep pendidikan te-
matis telah dimulai diperkenalkan pada tahun 1984. PLH
dan kependudukan dimasukkan ke dalam pendidikan formal
dengan dibentuknya mata pelajaran “PKLH.” Depdikbud ke-
tika itu merasa perlu untuk mengintegrasikan PKLH ke dalam semua
mata pelajaran. Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah penyam-
paian mata ajar tentang masalah PKLH secara integratif dituangkan ke
dalam sistem kurikulum 1984 dengan memasukkan masalah-masalah
PKLH ke dalam hampir semua mata pelajaran.
Sejak tahun 1989/1990 hingga saat ini berbagai pelatihan ling-
kungan hidup telah diperkenalkan oleh Depdiknas bagi pendidik-pen-
didik SD, SMP, dan SMA/SMK.
Dalam pelaksanaan PKLH di sekolah, penekanan yang paling pen-
ting diberikan pada aspek afektif atau tingkah laku, nilai, dan komit-
men yang diperlukan untuk membangun masyarakat yang berkelanjut-
an (sustainable). Pencapaian tujuan afektif ini biasanya sukar dilakukan
dan oleh karena itu, dalam pembelajaran, pendidik perlu memasukkan
metode-metode yang memungkinkan berlangsungnya klarifikasi dan

129
internalisasi nilai-nilai. Dalam PKLH perlu dimunculkan atau dijelas-
kan, bahwa dalam kehidupan nyata memang terdapat nilai-nilai yang
dianut oleh individu.
Perbedaan nilai tersebut dapat mempersulit untuk drive the fact, ser-
ta dapat menumbuhkan kontroversi pendapat. Oleh karena itu, PKLH
perlu diberikan kepada peserta
Dalam pelaksanaan PKLH di didik untuk membumikan
sekolah, penekanan yang paling PKLH supaya membangun ke-
penting diberikan pada aspek terampilan yang dapat mening-
afektif atau tingkah laku, nilai, katkan memecahkan masalah
dan komitmen yang diperlukan
(problem solving).
untuk membangun masyarakat
yang berkelanjutan (sustainable) Persoalan lingkungan hidup
merupakan persoalan yang ber-
sifat sistemis dan memiliki cakupan yang
luas. Oleh sebab itu, materi atau isu-isu yang diangkat dalam penye-
lenggaraan kegiatan PKLH juga sangat beragam. Sesuai dengan kese-
pakatan nasional tentang pembangunan yang berkelanjutan yang telah
ditetapkan dalam Indonesian Summit on Sustainable Development di Yog-
yakarta pada 21 Januari 2004, telah ditetapkan tiga pilar pembangunan
berkelanjutan, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.
Memang disadari, bahwa sekolah adalah instrumen sosial yang sa-
ngat mampu dan sangat strategis untuk mengembangkan sistem yang
keluar dari nilai-nilai materialisme, individualisme, hedonisme, me-
nuju ke jalur penghargaan multiple intelligent dan moral serta memba-
ngun kultur pendidikan yang memiliki dignity dan berani berjalan un-
tuk kepentingan generasi akan datang. Efektivitasnya pun sangat di-
tentukan pola kultur yang dianut oleh pola pendidikan secara umum,
organisasi pendidik, dan komite sekolah.
Melalui PKLH diharapkan agar peserta didik memelihara dan me-
lestarikan sumber-sumberdaya dapat terus dilangsungkan. Dengan cara
demikian, eksploitasi dan eksplorasi lingkungan hidup tidak mengabai-
kan kepentingan masa mendatang. Hakikat dari pendidikan pada
umumnya adalah mentransformasikan nilai dan norma yang hendak-
nya diberlakukan dalam masyarakat. Sementara itu, secara luas hakikat
PKLH merupakan upaya mentransformasikan pemahaman mengenai
130
hubungan lingkungan hidup dalam rangka keberlangsungan lingkung-
an. Hasil dari pemahaman lingkungan hidup yang diintegrasikan dalam
setiap mata pelajaran di sekolah adalah terbentuknya budaya peserta
didik yang mempunyai orientasi kesinambungan ekosistem lingkungan
hidup.
Dalam kaitannya dengan pembentukan orientasi kesinambungan
lingkungan hidup, maka kebudayaan mempunyai posisi penting dan
semua itu bertumpu pada sikap mental. Oleh karena itu, sikap mental
yang diwujudkan dalam pola tindakan haruslah mengacu pada kesa-
daran terhadap perlunya keserasian hubungan antara manusia dengan
lingkungan alamnya.
Untuk menjaga kesinambungan dengan alam ini dalam filosofi
kebudayaan Jawa (Yogyakarta) kita mengenal ungkapan “Hamemayu
Hayuning Bawono,” yang menekankan keselarasan hubungan manusia
dengan Tuhan Yang Maha Esa dan alam sekitarnya. Ungkapan ini le-
bih jauh dielaborasikan, bahwa manusia dalam pola tindakan harus di-
dasarkan dengan kesadaran hubungan timbal-balik dan saling mempe-
ngaruhi, bukan lagi pada nilai dan norma yang mengacu pada paham
manusia merupakan pusat dari alam.
Itulah sebabnya tujuan dari PKLH dapat menunjang terbentuknya
pandangan yang relevan dengan masalah dalam masyarakat, yaitu ma-
salah keserasian. Kecuali itu, pendidikan harus dapat menanamkan ke-
sadaran dan mampu membentuk perbuatan yang menunjang tercapai-
nya sikap intelektualitas yang berorientasi pada paham keserasian pen-
didikan dengan lingkungan hidup, kesadaran akan ketergantungan dan
tanggung jawab.
Selain itu, hal yang perlu ditekankan dalam dinamika PKLH di se-
kolah perlu juga mendapat penekanan tentang nilai dasar yang yang di-
promosikan alam pendidikan.
Nilai-nilai mendasar yang akan dipromosikan oleh pendidikan un-
tuk pembangunan berkelanjutan setidaknya disebutkan berikut ini:
1) penghargaan atas martabat dan HAM untuk semua orang di seluruh
dunia dan komitmen pada keadilan sosial dan ekonomi bagi semua;
2) penghargaan atas HAM dari generasi masa depan dan komitmen
pada pertanggungjawaban antargenerasi;

131
3) penghargaan dan kepedulian bagi komunitas kehidupan yang lebih
luas dengan semua keragamannya yang melibatkan perlindungan
dan pemulihan pada ekosistem bumi; dan
4) penghargaan atas keragaman budaya dan komitmen untuk memba-
ngun secara lokal dan global sebuah budaya toleransi, nirkekerasan,
dan perdamaian.

1. Penekanan PKLH di Sekolah


PKLH memasukkan aspek afektif, yaitu tingkah laku, nilai, dan ko-
mitmen yang diperlukan untuk membangun masyarakat yang berkelan-
jutan (sustainable). Pencapaian tujuan afektif ini biasanya sukar dilaku-
kan. Oleh karena itu, dalam pembelajaran pendidik perlu memasukkan
metode-metode yang memungkin-
kan berlangsungnya klarifikasi dan PKLH memasukkan aspek
internalisasi nilai-nilai. Dalam afektif, yaitu tingkah laku,
nilai, dan komitmen yang
PKLH perlu dimunculkan atau dije-
diperlukan untuk memba-
laskan, bahwa dalam kehidupan ngun masyarakat yang ber-
nyata memang selalu terdapat perbe- kelanjutan (sustainable)
daan nilai-nilai yang dianut oleh in-
dividu. Perbedaan nilai tersebut dapat mempersulit untuk derive the fact,
serta dapat menimbulkan kontroversi/pertentangan pendapat.
Oleh karena itu, PKLH perlu memberikan kesempatan kepada pe-
serta didik untuk membangun keterampilan yang dapat meningkatkan
kemampuan memecahkan masalah.
PKLH haruslah:
1) merupakan suatu proses yang berjalan secara terus-menerus dan
sepanjang hidup, dimulai pada zaman prasekolah, dan berlanjut ke
tahap pendidikan formal maupun non-formal;
2) memberi tekanan pada situasi lingkungan saat ini dan situasi ling-
kungan yang potensial, dengan memasukkan pertimbangan per-
spektif historisnya;
3) memampukan peserta didik untuk mempunyai peran dalam meren-
canakan pengalaman belajar mereka, dan memberi kesempatan ke-
pada mereka untuk membuat keputusan dan menerima konsekuensi
dari keputusan tersebut;
132
4) menghubungkan (relate) kepekaan pada lingkungan, pengetahuan,
keterampilan untuk memecahkan masalah dan klarifikasi nilai pada
setiap tahap umur, tetapi bagi umur muda (tahun-tahun pertama) di-
berikan tekanan yang khusus terhadap kepekaan lingkungan terha-
dap lingkungan tempat mereka hidup;
5) membantu peserta didik untuk menemukan (discover), gejala-gejala
dan penyebab dari masalah lingkungan;
6) memberi tekanan mengenai kompleksitas masalah lingkungan, se-
hingga diperlukan kemampuan untuk berpikir secara kritis dengan
keterampilan untuk memecahkan masalah; dan
7) memanfaatkan beraneka ragam situasi pembelajaran (learning envi-
ronment) dan berbagai pendekatan dalam pembelajaran mengenai
dan dari lingkungan dengan tekanan yang kuat pada kegiatan-ke-
giatan yang sifatnya praktis dan memberikan pengalaman secara
langsung (first – hand experience).

2. Kebijakan PKLH di Sekolah


Dalam pelaksanaan PKLH selama ini, dijumpai empat situasi perma-
salahan, yakni:
1) rendahnya partisipasi masyarakat untuk berperan dalam PKLH
yang disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap permasalah-
an pendidikan lingkungan yang ada;
2) rendahnya tingkat kemampuan atau keterampilan;
3) rendahnya komitmen masyarakat dalam menyelesaikan permasa-
lahan lingkungan; dan
4) rendahnya pemahaman pelaku pendidikan terhadap pendidikan
lingkungan.
Materi dan metode pelaksanaan PKLH yang digunakan selama ini
dirasakan belum memadai, sehingga pemahaman kelompok sasaran
mengenai pelestarian lingkungan hidup menjadi tidak utuh. Di sam-
ping itu, materi dan metode pelaksanaan PKLH yang tidak aplikatif
kurang mendukung penyelesaian permasalahan lingkungan hidup yang
dihadapi di sekolah.

133
Hal lain yang menjadi faktor penghambat adalah kurangnya ke-
tersediaan anggaran PKLH. Kurangnya perhatian pemerintah untuk
mengalokasikan dan meningkatkan anggaran pendidikan lingkungan
juga memengaruhi perkembangan PKLH di sekolah.
Di samping itu, faktor penting yang sa-
ngat mempengaruhi kurang berkembang- … faktor
nya PKLH di sekolah disebabkan belum penghambat
adanya kebijakan pemerintah yang seca- adalah kurangnya
ra terintegrasi mendukung perkembangan ketersediaan
PKLH di sekolah, seperti misalnya kebi- anggaran PKLH
jakan yang dilakukan selama ini hanya bersi-
fat bilateral dan lebih menekankan kerja sama antarinstansi.
Sementara beberapa kabupaten/kota sampai saat ini belum ada per-
aturan daerah yang secara spesifik mengatur hal-hal yang berkaitan de-
ngan masalah PKLH.
Dari gambaran permasalahan tersebut di atas, nampak bah-
wa kurang berkembangnya PKLH di sekolah selama ini disebabkan
oleh:
1) lemahnya kebijakan pendidikan nasional;
2) lemahnya kebijakan pendidikan daerah;
3) lemahnya unit pendidikan (sekolah-sekolah) untuk mengadopsi dan
menjalankan perubahan sistem pendidikan yang dijalankan menuju
PKLH; dan
4) lemahnya DPRD untuk mengerti dan ikut mendorong terwujudnya
PKLH.
Berdasarkan analisis di atas, maka kebijakan umum PKLH di se-
kolah adalah:
1) kelembagaan PKLH menjadi wadah/sarana menciptakan perubahan
perilaku peserta didik yang berbudaya lingkungan;
2) SDM PKLH yang berkualitas dan berbudaya lingkungan;
3) sarana dan prasarana PKLH sesuai dengan kebutuhan;
4) pengalokasian dan pemanfaatan anggaran PKLH yang efisien dan
efektif;
5) materi PKLH yang berwawasan pembangunan berkelanjutan, kom-
prehensif, dan aplikatif;

134
6) informasi yang berkualitas dan mudah diakses sebagai dasar komu-
nikasi yang efektif;
7) keterlibatan dan dan ketersediaan ruang bagi bagi peran serta ma-
syarakat untuk berpartisipasi dalam PKLH; dan
8) metode PKLH berbasis kompetensi.

3. Strategi Pelaksanaan
Strategi-strategi dalam pelaksanaan PKLH, mengarah pada:
1) meningkatkan kapasitas kelembagaan PKLH sebagai pusat pembu-
dayaan nilai (value enculturation), sikap (attitude) dan kemampuan
dalam pelaksanaan PKLH yang ditujukan untuk:
a. mendorong pembentukan, penguatan dan pengembangan (revita-
lisasi) kapasitas PKLH;
b. mendorong tersusunya kebijakan PKLH di tingkat sekolah;
c. memperkuat koordinasi dan jaringan kerjasama pelaku PKLH;
dan
d. membangun komitmen bersama untuk pendidik PKLH (termasuk
komitmen pendanaan);
2) meningkatkan kualitas dan kemampuan SDM di sekolah melalui
berbagai upaya proaktif dan dan reaktif, meliputi pendidik, peserta
didik, maupun tenaga pendidikan secara terpadu dan menyeluruh;
3) mengoptimalkan sarana dan prasarana PKLH yang dapat mendu-
kung terciptanya proses pembelajaran yang efisien dan efektif;
4) meningkatkan dan memanfaatkan anggaran PKLH dan mendorong
partisipasi publik serta meningkatkan kerja sama antara sekolah
maupun LSM untuk menggalang pendanaan PKLH;
5) menyiapkan dan menyediakan materi PKLH yang berbasis kearifan
tradisional dan isu lokal, modern dan serta global sesuai kelompok
sasaran PKLH serta mengintegrasikan materi PKLH ke dalam ku-
rikulum lembaga pendidikan;
6) meningkatkan informasi yang berkualitas dan mudah diakses de-
ngan mendorong pemanfaatan teknologi;
7) mendorong ketersediaan ruang partisipasi bagi masyarakat dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan PKLH; dan

135
8) mengembangkan metode pelaksanaan PKLH yang berbasis kompe-
tensi dan partisipatif, antara lain dengan metode Joyful Learning Pro-
cess pada setiap jenjang pendidikan.

Integrasi PKLH pada


Mata Pelajaran IPS
INGKUNGAN hidup merupakan sistem yang tak terpisahkan dalam
kehidupan manusia. Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 1997 Pa-
sal 1, lingkungan hidup didefinisikan sebagai kesatuan ru-
ang dengan segala benda, daya, keadaan dan makhluk hi-
dup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manu-
sia serta makhluk hidup lainnya. Berdasarkan definisi ini, lingkungan
hidup dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu lingkungan
biotik (lingkungan organik) dan lingkungan abiotik (lingkungan an-
organik).
Antara manusia dan lingkungan terdapat interaksi timbal-balik di-
namis sirkuler, artinya manusia mempengaruhi lingkungan, dan seba-
liknya manusia dipengaruhi lingkungan hi-
dupnya. Ia membentuk dan terbentuk oleh Perubahan dalam
lingkungan. Perubahan dalam lingkungan hi- lingkungan hidup
dup akan menyebabkan perubahan pula da- akan menyebab-
lam tingkah laku manusia sebagai hasil kan perubahan
adaptasi terhadap kondisi baru dari ling- pula dalam ting-
kah laku manusia
kungan tersebut. Perubahan pada tingkah la-
sebagai hasil adap-
ku manusia ini selanjutnya menyebabkan
tasi terhadap kon-
perubahan pada lingkungan hidup. disi baru dari ling-
Jumlah manusia dari waktu ke waktu te- kungan tersebut
rus bertambah. Pertambahan ini menuntut
jumlah penyediaan SDA dan lingkungan yang semakin meningkat.
Akibatnya SDA yang harus dieksploitasi juga bertambah. Sementara di
sisi lain tuntutan manusia akan suatu komoditas ini kualitasnya juga

136
meningkat. Padahal semakin tinggi kualitas suatu barang/komoditas,
pada umumnya dibutuhkan SDA yang dimanfaatkan lebih beraneka ra-
gam. Tidak jarang untuk memproduksi komoditas yang lebih baik,
sumber alam yang dikorbankan semakin banyak. Akibat dari kondisi
ini, maka lahirlah masalah lingkungan hidup.
Permasalahan lingkungan di du-
nia sejak awal dekade sembilan pu-
luh berkisar pada empat masalah,
Permasalahan ling- yakni pemanasan global, pemusnah-
kungan di dunia sejak an ozon, keanekaragaman hayati,
awal dekade sembilan
puluh berkisar pada dan masalah perairan internasional
empat masalah, yakni (Fandeli, 2004). Setiap negara me-
pemanasan global, miliki permasalahan lingkungan
pemusnahan ozon, yang berbeda, namun secara umum
keanekaragaman ha- ada permasalahan lingkungan hidup
yati, dan masalah per- di negara sedang berkembang, se-
airan internasional perti halnya Indonesia memiliki ma-
salah dalam pemanfaatan SDA yang
melebihi daya recovery-nya.
Di samping itu, permasalahan lainnya adalah pemanfaatan ling-
kungan yang melebihi daya dukungnya. Pencemaran lingkungan per-
airan, daratan, dan atmosfer merupakan persoalan yang ditemukan pa-
da berbagai lingkungan yang rendah ini merupakan akumulasi dari ke-
giatan pembangunan yang dilaksanakan Indonesia.
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia berusaha keras untuk dapat
memelihara sekaligus meningkatkan fungsi lingkungan bagi kehidup-
annya. Salah satu program pemerintah untuk memelihara lingkungan,
adalah menerapkan program PKLH di seluruh jenjang pendidikan.

1. Program PKLH
PKLH merupakan suatu program yang dicetuskan oleh pemerintah da-
lam rangka proses penanaman kesadaran masyarakat terhadap pendu-
duk dan lingkungan.
Warnadi dan Muchlidawati (1997) menyatakan, bahwa PKLH me-
rupakan suatu program pendidikan untuk membina peserta didik agar
137
memiliki pengertian, kesadaran, sikap, dan perilaku yang rasional serta
bertanggung jawab tentang pengaruh timbal-balik antara penduduk de-
ngan lingkungan hidup dalam berbagai aspek kehidupan manusia.
Konvensi UNESCO di Tbilisi 1997 (dalam Sigit, 2007) menya-
takan, pendidikan lingkungan merupakan suatu proses yang bertujuan
menciptakan suatu masyarakat dunia yang memiliki kepedulian terha-
dap lingkungan dan masalah-masalah yang terkait di dalamnya serta
memiliki pengetahuan, motivasi, komitmen, dan keterampilan
untuk bekerja, baik perorangan PKLH merupakan suatu
maupun kolektif dalam mencari program pendidikan untuk
alternatif atau memberi solusi membina anak atau peserta
terhadap permasalahan lingkung- didik agar memiliki penger-
an hidup yang ada sekarang dan tian, kesadaran, sikap, dan
untuk menghindari timbulnya perilaku yang rasional serta
masalah-masalah lingkungan hi- bertanggung jawab tentang
dup baru. pengaruh timbal-balik an-
Adapun tujuan umum PLH tara penduduk dengan ling-
menurut konferensi Tbilisi 1997 kungan hidup dalam berba-
adalah: (1) untuk membantu gai aspek kehidupan manu-
sia
menjelaskan masalah kepedulian
serta perhatian tentang saling ke-
terkaitan antara ekonomi, sosial, politik, dan ekologi di kota maupun di
wilayah pedesaan; (2) untuk memberikan kesempatan kepada setiap
orang untuk mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap, komitmen,
dan kemampuan yang dibutuhkan untuk melindungi dan memperbaiki
lingkungan, dan (3) untuk menciptakan pola perilaku yang baru pada
individu, kelompok, dan masyarakat sebagai suatu keseluruhan terha-
dap lingkungan. Tujuan yang ingin dicapai tersebut meliputi aspek: (1)
pengetahuan; (2) sikap; (3) kepedulian; (4) keterampilan; dan (5) parti-
sipasi.
Sedangkan Internasional Working Meeting on Environment Education
Inschool Curriculum, dalam rekomendasinya mengenai pelaksanaan PLH
menyatakan, bahwa proses pembelajaran yang dilakukan hendaknya
merupakan suatu proses mereorganisasi nilai dan memperjelas konsep-
konsep untuk membina keterampilan dan sikap yang diperlukan untuk

138
memahami dan menghargai antar hubungan manusia, kebudayaan, dan
lingkungan fisiknya. PLH harus juga diikuti dengan praktik pengam-
bilan keputusan dan merumuskan sendiri ciri-ciri perilaku yang dida-
sarkan pada isu-isu tentang kualitas lingkungan.
Program PKLH di Indonesia telah melalui sejarah yang cukup
panjang yang dapat dikelompokkan menjadi tiga periode.
a. Periode persiapan dan peletakan dasar (periode 1969 – 1983)
Periode ini, pengembangan PLH dipelopori oleh IKIP Jakarta de-
ngan menyusun GBPP bidang lingkungan hidup untuk pendidikan da-
sar pada tahun 1975. Pada tahun 1977/1978, GBPP tersebut diujico-
bakan pada 15 SD di Jakarta. Tahun 1979 PTN dan PTS mulai mem-
bentuk PSL. Bersamaan dengan itu pula mulai dikembangkan pendi-
dikan AMDAL oleh semua PSL di bawah koordinasi Meneg PPLH.
b. Periode sosialisasi (periode 1983 – 1993)
Sejak tahun 1984, pada jenjang pendidikan dasar dan menengah
mulai dimasukkan masalah-masalah PKLH ke dalam hampir semua
mata pelajaran secara integratif. Pada masa tahun 1989/1990 hingga
1992/1993 berbagai penataran dan pelatihan PKLH dilaksanakan bagi
pendidik SD, SMP, dan SMA di 27 provinsi di Indonesia. PSK dan
PSL yang berkembang di PTN maupun PTS terus bertambah jumlah
dan kegiatannya. Bahkan isu dan permasalahan lingkungan hidup telah
diarahkan sebagai bagian dari MKDU yang harus diterima oleh semua
peserta didik pada semua program studi atau disiplin ilmu. Pemben-
tukan bagian proyek KLH mulai didirikan sebagai salah satu unit ke-
giatan di Ditjen Dikdasmen Depdikbud.
c. Periode pemantapan dan pengembangan (1993 – sekarang)
Periode ini adalah ditetapkannya memorandum bersama antara
Depdikbud dengan Kantor Meneg LH Nomor 0142/U/1996 dan No-
mor Kep: 89/MENLH/5/1996 tentang Pembinaan dan Pengembangan PLH
tanggal 2 Mei 1996. Tahun 1996/1997 prakarsa pengembangan PLH
juga dilakukan oleh berbagai LSM hingga terbentuklah JPL.
Pemerintah Indonesia menindaklanjuti KTT Bumi di Rio de Jane-
iro dengan menyusun Agenda 21 nasional yang berpedoman pada

139
Agenda 21 global yang pelaksanaannya dilakukan Meneg LH dibantu
UNDP menyelesaikannya pada tahun 1997. Agenda 21 nasional terse-
but disusul Agenda 21 sektoral yang bertujuan menjadi arahan peren-
canaan pembangunan pada tiap sektor (Soemarwoto, 2007). Ditjen
Dikdasmen Depdikbud mendorong pemantapan pelaksanaan PLH di
sekolah, antara lain melalui penataran pendidik; bulan bakti lingkung-
an; penyiapan buku pedoman PKLH untuk pendidik SD, SMP, SMA,
dan SMK; program sekolah asri; dan lain-lain.
Adapun peraturan yang menjadi pijakan diterapkannya PKLH,
adalah:
1) UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
2) UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
3) UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pe-
merintah Pusat dan Daerah;
4) UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional;
5) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
6) keputusan bersama Meneg KLH dan Menag RI Nomor 15 Tahun
1991 dan Nomor 38 Tahun 1991 tentang Peningkatan Pemasyarakat-
an KLH melalui Jalur Agama;
7) piagam kerja sama Meneg LH/Kepala Bapedal dengan Mendagri
Nomor 05/MENLH/8/1998 dan Nomor 119/1922/SJ tentang Ke-
giatan Akademik dan Non Akademik di Bidang Lingkungan Hidup;
8) memorandum bersama antara Depdikbud dengan Kantor Meneg
LH Nomor 0142/U/1996 dan Nomor KEP: 89/MENLH/5/1996
tentang Pembinaan dan Pengembangan PLH;
9) memorandum bersama antara Mendiknas dengan Meneg LH No-
mor 05/VI/KB/2005 dan Kep Nomor 07/MenLH/06/2005 tentang
Pembinaan dan Pengembangan PLH. Dalam keputusan bersama ini,
sangat ditekankan bahwa PLH dilakukan secara integrasi dengan
mata ajaran yang telah ada; dan
10) naskah kerja sama antara Pusat Pengembangan Penataran Pendidik
Teknologi Malang sebagai Pusat Pengembangan PLH Nasional
untuk SMK dan Direktorat Pengembangan Kelembagaan/Pe-

140
ngembangan SDM Bapedal Nomor 218/C19/TT/1996 dan Nomor
B-1648/I/06/96 tentang Pengembangan PLH pada SMK.
PKLH dilaksanakan mulai dari pendidikan dasar sampai dengan
perguruan tinggi. Namun demikian hasil yang diperlihatkan dari pelak-
sanaan PKLH selama ini kurang begitu menggembirakan, oleh karena
itu PKLH di semua jenjang pendidikan perlu dievaluasi. Soemarwoto
(2001: 180-183) menyatakan, bahwa PKLH mulai dari SD sampai per-
guruan tinggi perlu ditinjau kembali agar bahan pelajaran dapat diin-
ternalkan dan melahirkan masyarakat yang bersikap dan berkelakuan
ramah terhadap lingkungan hidup. Menurut beliau kelemahan selama
ini, adalah pelajaran PKLH terlalu berat pada ekologi dan tidak mema-
sukkan hal-hal praktis dari kehidupan sehari-hari. Kesadaran akan pen-
tingnya lingkungan bagi manusia sejak pendidikan dasar bahkan pen-
didikan prasekolah sampai perguruan tinggi.

2. Pendidikan IPS
IPS merupakan mata pelajaran yang mempelajari kehidupan sosial
yang didasarkan pada suatu realita, bahwa manusia sebagai makhluk
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang diturun-
kan di muka bumi senantiasa berada pada di-
Pada tataran ruang
mensi ruang dan waktu. Pada tataran ruang
dan waktu inilah
manusia menjalani dan waktu inilah manusia menjalani suatu
suatu kehidupan kehidupan. Di dalam menjalani suatu kehi-
dupan itu manusia akan terkait dengan ber-
bagai aspek kehidupan dan kegiatan. Ini arti-
nya keberadaan manusia di dunia ini tidak terlepas dari tiga hal, yakni
ruang, waktu, dan perjuangan. Barth (1990: 360) mengemukakan, bah-
wa IPS membawa misi pendidikan kewarganegaraan, di mana di dalam
misi itu dikandung belajar individu atau masalah sosial dalam lintas
disiplin terintegrasi kurikulum sekolah yang akan menekankan peng-
ambilan keputusan yang praktis.
IPS adalah merupakan integrasi dari berbagai cabang ilmu-ilmu
sosial, seperti: sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum,
dan budaya (Puskur, 2006: 5). IPS dirumuskan atas dasar realitas dan
fenomena sosial yang mewujudkan suatu pendekatan interdisipliner
141
dari aspek dan cabang-cabang ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, seja-
rah, geografi, ekonomi, politik, hukum, dan budaya. Dari cabang-ca-
bang ilmu sosial itulah kemudian diambil sebagai bahan ajar (mata pel-
ajaran). Mata pelajaran Pengetahuan Sosial di jenjang SMP mengambil
bahan ajar dari cabang-cabang ilmu sosial tersebut, khususnya sosio-
logi, geografi, ekonomi dan sejarah. Dengan demikian, mata pelajaran
Pengetahuan Sosial di SMP merupakan perpaduan dari mata pelajaran
dan materi sosiologi, geografi, dan sejarah.
Setiap mata pelajaran memiliki karakteristik yang membedakan
dari mata pelajaran yang lain. Demikian juga mata pelajaran Pengeta-
huan Sosial untuk SMP.
Terdapat empat karakteristik mata pelajaran IPS, yakni:
1) pengetahuan sosial merupakan perpaduan antara sosiologi, geo-
grafi, ekonomi, dan sejarah;
2) materi kajian pengetahuan sosial berasal dari struktur keilmuan so-
siologi, geografi, ekonomi, dan sejarah. Dari kelima struktur keil-
muan itu kemudian dirumuskan materi kajian untuk Pengetahuan
Sosial;
3) materi pengetahuan sosial juga menyangkut masalah sosial dan te-
ma-tema yang dikembangkan dengan pendekatan interdisipliner
dan multidisipliner. Interdisipliner maksudnya melibatkan disiplin
ilmu ekonomi, geografi, dan sejarah. Multidisipliner artinya materi
kajian itu mencakup berbagai aspek; dan
4) materi pengetahuan sosial menyangkut peristiwa dan perubahan
masyarakat masa lalu dengan prinsip sebab akibat dan kronologis,
masalah-masalah sosial, dan isu-isu global yang terjadi di masyara-
kat, adaptasi dan pengelolaan lingkungan, serta upaya perjuangan
untuk survive (perjuangan hidup), termasuk pemenuhan kebutuhan
untuk mencapai kesejahteraan dalam kehidupan serta sistem ber-
bangsa dan bernegara.
Tujuan pembelajaran IPS adalah mengembangkan potensi peserta
didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat,
memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan
yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi se-
hari-hari, baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa

142
masyarakat (Puskur, 2006: 7). Pendapat yang senada disampaikan oleh
Jarolimek (1986: 4), bahwa misi utama pendidikan IPS adalah untuk
membantu peserta didik belajar tentang masyarakat dunia di mana me-
reka hidup dan memperoleh jalan, untuk belajar menerima realitas so-
sial, dan untuk mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan
untuk membantu mengasah pencerahan manusia.

3. Integrasi PKLH dalam Pengembangan Bahan Ajar IPS


Program PKLH khususnya melalui jalur pendidikan formal dapat di-
tempuh melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan monolitik dan pen-
dekatan integratif, sebagai berikut.
a. Pendekatan monolitik
Pendekatan monolitik adalah pendekatan yang didasarkan pada
suatu pemikiran, bahwa setiap mata pelajar-
Pendekatan mono-
an merupakan sebuah komponen yang berdi-
litik adalah pende-
ri sendiri dalam kurikulum dan mempunyai katan yang dida-
tujuan tertentu dalam satu kesatuan yang sarkan pada suatu
utuh. pemikiran, bahwa
Sistem pendekatan monolitik dapat di- setiap mata pel-
tempuh melalui dua cara, yakni: ajaran merupakan
1) membangun satu disiplin ilmu baru yang sebuah komponen
diberi nama PKLH. Ilmu ini nantinya da- yang berdiri sendiri
lam program sekolah dapat dijadikan sua- dalam kurikulum
tu mata pelajaran atau disiplin ilmu yang dan mempunyai
terpisah dari ilmu-ilmu lain; dan tujuan tertentu da-
2) membangun paket PKLH yang merupa- lam satu kesatuan
kan mata pelajaran yang berdiri sendiri. yang utuh
b. Pendekatan integratif (terpadu)
KBK memberikan jaminan, bahwa PKLH penting dan substansi-
nya diintegrasikan ke dalam mata pelajaran dan kegiatan PKLH diha-
rapkan dilaksanakan dalam pembelajaran yang bersifat koheren, se-
hingga dalam proses belajar dan kegiatan apapun dapat diberikan mak-

143
na terhadap pentingnya menjaga kelestarian lingkungan (Siskandar,
2002: 6).
Pendekatan integratif (terpadu) adalah pendekatan yang didasarkan
pada suatu pemikiran, bahwa program suatu mata pelajaran harus ter-
padu dengan mata pelajaran lain. Pendekatan integratif (terpadu) dapat
ditempuh melalui dua cara, yakni:
1) membangun suatu unit atau seri pokok bahasan yang disiapkan un-
tuk dipadukan ke mata pelajaran tertentu; dan
2) membangun suatu program inti yang bertitik tolak dari suatu mata
pelajaran tertentu (Warnadi dkk., 1997: 86).
Pendekatan integratif (terpadu) dianggap sebagai pendekatan yang
paling pas untuk pelaksanaan PKLH di sekolah. Hal ini selain tidak
Namun demikian, proses membebani para peserta didik dengan
integrasi PKLH ke dalam penambahan bidang studi PKLH, juga
materi pelajaran lain pendidikan lingkungan merupakan
bukanlah pekerjaan tanggung jawab semua bidang studi.
yang gampang, … Namun demikian, proses integrasi
PKLH ke dalam materi pelajaran lain
bukanlah pekerjaan yang gampang, melainkan
membutuhkan keahlian pendidik.
Keterampilan yang diperlukan selain pemahaman terhadap materi
pokok menurut Warnadi dkk. (1997: 89-90) menyangkut hal-hal, seba-
gai berikut:
1) GBPP kurikulum yang berlaku dan kaitannya dengan materi PKLH;
2) penyusunan program tahunan, sehingga seluruh materi esensial ter-
integrasi dalam mata pelajaran yang terkait;
3) penyusunan satuan pelajaran yang terpadu, yakni dengan meng-
integrasikan materi PKLH dalam pokok bahasan yang relevan;
4) penyajian PKLH sebagai suatu sikap dan perilaku yang diresapi
oleh peserta didik dan bukan semata-mata sebagai pengetahuan;
5) strategi belajar-mengajar yang inovatif selaras dengan kebijaksana-
an yang berlaku; dan
6) melakukan evaluasi yang bersifat komprehensif dalam arti tercakup
aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.

144
Program PKLH untuk tingkat SMP melalui mata pelajaran IPS ter-
padu hendaknya mencakup dasar-dasar pengetahuan dan sikap yang
esensial bagi perkembangan kepribadian peserta didik yang berwawas-
an kependudukan dan lingkungan. Ruang lingkup materi PKLH untuk
bisang studi IPS terpadu secara garis besar, seperti berikut.
1) Pengantar PKLH
a. Manusia dan kebutuhannya.
b. Manusia sebagai bagian dari suatu sistem lingkungan hidup.
c. Pelestarian kemampuan lingkungan hidup.
2) Kependudukan
a. Pola kependudukan dan sumber data penduduk.
b. Dinamika penduduk.
c. Ketenagakerjaan.
d. Masalah kependudukan.
3) Lingkungan hidup
a. Ekologi sebagai dasar ilmu lingkungan.
b. Lingkungan hidup alam.
c. Lingkungan hidup binaan.
d. Lingkungan hidup sosial.
e. Masalah lingkungan hidup.
4) Interaksi kependudukan, lingkungan hidup, dan pembangunan
a. Interaksi kependudukan dengan lingkungan hidup.
b. Interaksi kependudukan dengan pembangunan.
c. Interaksi lingkungan hidup dengan pembangunan.
5) Pengelolaan PKLH
a. Kebijaksanaan dan peraturan pengembangan PKLH.
b. Pengelolaan kependudukan.
c. Pengelolaan lingkungan hidup (Warnadi dkk., 1997: 92-93).

145
146
SINGKATAN DAN AKRONIM

A Ditjen Direktorat Jenderal


DPRD Dewan Perwakilan Rakyat
AEEAP ASEAN Environmental
Daerah
Education Action Plan
AMDAL Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan E
APBN Anggaran Pendapatan dan EE Environmental Education
Belanja Negara EFA education for all
ASEAN Association of Southeast ESD Education for Sustainable Deve-
Asian Nations lopment

B G
Bapedal Badan Pengendalian GBPP Garis-Garis Besar Program
Dampak Lingkungan Pengajaran
BBM bahan bakar minyak
BKPSL Badan Koordinasi Pusat
Studi Lingkungan H
BPS Badan Pusat Statistik ha hektar are
HAM hak asasi manusia

C
CBSA cara belajar siswa aktif I
CTL Contextual Teaching and Lear- IKIP Institut Keguruan llmu Pen-
ning didikan
curanmor pencurian kendaraan IPB Institut Pertanian Bogor
bermotor ISO International Organization for
Standardization
ISSD Indonesian Summit on Sustai-
D nable Development
Depdikbud Departemen Pendidik-
an dan Kebudayaan
Depdiknas Departemen Pendidik- J
an Nasional Jabar Jawa Barat
Dikdasmen Pendidikan Dasar dan Jatim Jawa Timur
Menengah JPL jaringan pendidikan ling-
Dirjen Direktur Jenderal kungan

147
K N
Kaltim Kalimantan Timur narkoba narkotik dan obat-obatan
KB Keluarga Berencana terlarang
KBK kurikulum berbasis kompe- NKRI Negara Kesatuan Republik
tensi Indonesia
Kejari Kejaksaan Negeri NTT Nusa Tenggara Timur
Kemendikbud Kementerian Pen-
didikan dan Kebudayaan
Kemendiknas Kementerian Pen-
O
didikan Nasional OHP overhead projector
KLH kependudukan dan ling- orkes olahraga dan kesehatan
kungan hidup
km kilometer P
KTT konferensi tingkat tinggi pemda pemerintah daerah
PBB Perserikatan Bangsa Bangsa
L PBM proses belajar-mengajar
LCD Liquid Crystal Display PKL pedagang kaki lima
PKLH Pendidikan Kependuduk-
LKS lembar kerja siswa
an dan Lingkungan Hidup
LSM lembaga swadaya masyara-
PLH pengelolaan lingkungan hi-
kat
dup
PN Pengadilan Negeri
M PNS pegawai negeri sipil
MDGs Millenium Development Goals polresta polisi resort kota
Menag Menteri Agama polsek polisi sektor
Mendagri Menteri Dalam Negeri PP peraturan pemerintah
Mendikbud Menteri Pendidikan PPLH Pengawasan Pembangunan
dan Kebudayaan dan Lingkungan Hidup
Mendiknas Menteri Pendidikan PR pekerjaan rumah
Nasional PSK pusat studi kependudukan
Meneg PPLH Menteri Negara PSL pusat studi lingkungan
Pengawasan Pembangunan dan PTN perguruan tinggi negeri
Lingkungan Hidup PTS perguruan tinggi swasta
MenLH Menteri Lingkungan Hi- PU Pekerjaan Umum
dup
MKDU mata kuliah dasar umum R
MoU momerendum of understanding RTH ruang terbuka hijau
MU Majelis Umum RTnH ruang terbuka non-hijau
148
S T
SAP satuan acuan pembelajaran THB tes hasil belajar
Satreskrim Satuan Reserse Kri- TIK teknologi informasi dan ko-
minal munikasi
SCL student centered learning TK taman kanak-kanak
SD sekolah dasar TV televisi
SDA sumberdaya alam
SDM sumberdaya manusia
SK surat keputusan
U
UN ujian nasional
SLTP sekolah lanjutan tingkat
UNDP United Nations Development
pertama
Programme
SMA sekolah menengah atas
UNESCO United Nations Educatio-
SMK sekolah menengah kejuruan
nal, Scientific, and Cultural Organi-
SMP sekolah menengah pertama
zation
SMU sekolah menengah umum
UU Undang Undang
SNP standar nasional pendidikan
SU Sidang Umum

149
150
SENARAI

A
aerosol 1 dispersi partikel zat pada atau zat cair dalam udara, misal-
nya asap, kabut; 2 partikel halus yang tersebar dalam gas atau uda-
ra; 3 suatu bentuk sediaan di mana obat, seperti pentamidin, di-
ubah menjadi kabut semprotan halus dengan nebulizer untuk dihi-
rup; 4 secara teknis merujuk pada partikel padat36) yang ada di uda-
ra maupun tetesan cair. Dalam bahasa sehari-hari, aerosol merujuk
pada tabung semprot aerosol maupun isi tabung itu. Istilah aerosol
berasal dari kenyataan bahwa bahan yang “melayang” di udara
adalah suspensi (campuran di mana partikel padat, cair, maupun
gabungan keduanya disuspensikan di cairan). Untuk membedakan
suspensi dari larutan yang sesungguhnya, istilah sol yang semula
berkembang berarti meliputi dispersi partikel tipis (submikrosko-
pik) dalam sebuah cairan. Dengan studi dispersi di udara, istilah
aerosol berkembang dan kini mencakupi tetesan padat, partikel pa-
dat, dan gabungan keduanya; 5 suatu penyebaran (dispersi) dari
partikel-partikel kecil dari zat padat atau butir-butir zat cair di da-
lam gas
afeksi perasaan-perasaan dengan emosi yang lunak, yang diharap
berpengaruh terhadap semua peserta didik
afektif 1 berkenaan dengan perasaan; 2 mempengaruhi keadaan pe-
rasaan dan emosi; 3 mempunyai gaya atau makna yang menunjuk-
kan perasaan, sebagai pengembangan dari program Pendidikan
Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH)
ajek teratur; tidak berubah
aksiomatis dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian

B
banjir air bah;

36)
juga disebut abu atau partikulat
151
-- bandang banjir besar yang datang dengan tiba-tiba dan meng-
alir deras menghayutkan benda-benda besar (kayu dan sebagai-
nya); air bah
bilateral dari dua belah pihak; antara dua pihak, atau yang lebih me-
nekankan kerja sama antarinstansi
biofisika ilmu yang bersangkutan dengan penerapan prinsip (hu-
kum) dan metode fisika dalam masalah-masalah biologi
biosfer 1 bagian atmosfer yang paling bawah di dekat permukaan
bumi, tempat tinggal makhluk hidup; 2 lingkungan yang berupa se-
gala sesuatu yang hidup (manusia, hewan, tumbuhan); 3 bagian at-
mosfer, litosfer, dan hidrosfer bumi yang dapat didiami oleh makh-
luk hidup
biotik 1 makhluk hidup (tumbuhan, hewan, manusia), baik yang
mikro maupun yang makro serta proses-prosesnya; 2 berkaitan de-
ngan organisme hidup di dalam lingkungan

D
daya kemampuan; kekuatan;
-- dukung jumlah maksimum populasi yang mendukung ke-
langsungan kehidupan di alam; -- tampung kemampuan me-
nerima penghuni dan sebagainya atau kemampuan ditempati
daur sistem keadaan (fase) yang keadaannya sekarang dapat ber-
ulang pada suatu saat di masa mendatang;
-- ulang 1 pemrosesan kembali bahan yang pernah dipakai, mi-
salnya serat, kertas, dan air untuk mendapatkan produk baru; 2
proses untuk menjadikan suatu bahan bekas menjadi bahan baru
dengan tujuan mencegah adanya sampah yang sebenarnya dapat
menjadi sesuatu yang berguna, mengurangi penggunaan bahan ba-
ku yang baru, mengurangi penggunaan energi, mengurangi polusi,
kerusakan lahan, dan emisi gas rumah kaca jika dibandingkan de-
ngan proses pembuatan barang baru. Daur ulang adalah salah satu
strategi pengelolaan sampah padat yang terdiri atas kegiatan pe-
milahan, pengumpulan, pemrosesan, pendistribusian, dan pembu-
atan produk/material bekas pakai, dan komponen utama dalam ma-
najemen sampah modern dan bagian ketiga dalam proses hierarki

152
sampah 3R. Material yang bisa didaur ulang terdiri atas sampah
kaca, plastik, kertas, logam, tekstil, dan barang elektronik. Meski-
pun mirip, proses pembuatan kompos yang umumnya menggu-
nakan sampah biomassa yang bisa didegradasi oleh alam, tidak di-
kategorikan sebagai proses daur ulang. Daur ulang lebih difokus-
kan kepada sampah yang tidak bisa didegradasi oleh alam secara
alami demi pengurangan kerusakan lahan. Secara garis besar, daur
ulang adalah proses pengumpulan sampah, penyortiran, pember-
sihan, dan pemprosesan material baru untuk proses produksi. Pada
pemahaman yang terbatas, proses daur ulang harus menghasilkan
barang yang mirip dengan barang aslinya dengan material yang sa-
ma, contohnya kertas bekas harus menjadi kertas dengan kualitas
yang sama, atau busa polistirena bekas harus menjadi polistirena
dengan kualitas yang sama. Seringkali, hal ini sulit dilakukan kare-
na lebih mahal dibandingkan dengan proses pembuatan dengan ba-
han yang baru. Jadi, daur ulang adalah proses penggunaan kembali
material menjadi produk yang berbeda. Bentuk lain dari daur ulang
adalah ekstraksi material berharga dari sampah, seperti emas dari
prosesor komputer, timah hitam dari baterai, atau ekstraksi materi-
al yang berbahaya bagi lingkungan, seperti merkuri. Daur ulang
adalah sesuatu yang luar biasa yang bisa didapatkan dari sampah.
Proses daur ulang aluminium dapat menghemat 95% energi dan
mengurangi polusi udara sebanyak 95% jika dibandingkan dengan
ekstraksi aluminium dari tambang hingga prosesnya di pabrik
degradasi37) 1 penurunan mutu; 2 perubahan suatu senyawa dari
yang kompleks menjadi sederhana, dan dari yang aktif menjadi
non-aktif
destruktif bersifat destruksi (merusak, memusnahkan, atau meng-
hancurkan)
dialektika hal berbahasa dan bernalar dengan dialog sebagai cara
untuk menyelidiki suatu masalah
dialektis bersangkutan dengan dialektika antara pendidik, peserta
didik, dan realitas dunia

37)
terurai, hancur
153
domain wilayah; daerah; ranah

E
ekologi38) 1 kajian mengenai bagaimana organisme berinteraksi de-
ngan lingkungannya; 2 ilmu yang mempelajari tentang hubungan
timbal-balik antara makhluk hidup dan lingkungannya; 3 ilmu
yang mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungan-
nya dan yang lainnya. Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mem-
pelajari, baik interaksi antarmakhluk hidup maupun interaksi an-
tara makhluk hidup dan lingkungannya. Dalam ekologi, makhluk
hidup dipelajari sebagai kesatuan atau sistem dengan lingkungan-
nya. Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem
dengan berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan
biotik. Faktor abiotik antara lain suhu, air, kelembapan, cahaya,
dan topografi; sedangkan faktor biotik adalah makhluk hidup yang
terdiri atas manusia, hewan, tumbuhan, dan mikrobe. Ekologi juga
berhubungan erat dengan tingkatan-tingkatan organisasi makhluk
hidup, yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling mem-
pengaruhi dan merupakan suatu sistem yang menunjukkan kesatu-
an. Ekologi mempelajari bagaimana makhluk hidup dapat mem-
pertahankan kehidupannya dengan mengadakan hubungan antar-
makhluk hidup dan dengan benda tak hidup di dalam tempat hi-
dupnya atau lingkungannya. Ekologi, biologi, dan ilmu kehidupan
lainnya saling melengkapi dengan zoologi dan botani yang meng-
gambarkan hal bahwa ekologi mencoba memperkirakan, dan eko-
nomi energi yang menggambarkan kebanyakan rantai makanan
manusia dan tingkat tropik. Para ahli ekologi mempelajari hal be-
rikut: perpindahan energi dan materi dari makhluk hidup yang satu
ke makhluk hidup yang lain ke dalam lingkungannya dan faktor-
faktor yang menyebabkannya. Perubahan populasi atau spesies pa-

38)
berasal dari kata Yunani oikos (“habitat”) dan logos (“ilmu”). Istilah ekologi pertama
kali dikemukakan oleh Ernst Haeckel. Ekologi merupakan cabang ilmu yang masih
relatif baru, yang baru muncul pada tahun 70-an. Akan tetapi, ekologi mempunyai
pengaruh yang besar terhadap cabang biologinya
154
da waktu yang berbeda dalam faktor-faktor yang menyebabkan-
nya. Terjadi hubungan antarspesies (interaksi antarspesies) makh-
luk hidup dan hubungan antara makhluk hidup dengan lingkung-
annya. Kini para ekolog (orang yang mempelajari ekologi) ber-
fokus kepada ekowilayah bumi dan riset perubahan iklim;
-- manusia ilmu tentang manusia sebagai organisme hidup dan
mengabaikan tumbuhan dan hewan; -- sosial ilmu tentang hu-
bungan penduduk dengan lingkungan alam, teknologi, dan manu-
sia
ekosistem 1 keanekaragaman suatu komunitas dan lingkungannya
yang berfungsi sebagai suatu satuan ekologi dalam alam; 2 komu-
nitas organik yang terdiri atas tumbuhan dan hewan, bersama habi-
tatnya; 3 keadaan khusus tempat komunitas suatu organisme hidup
dan komponen organisme tidak hidup dari suatu lingkungan yang
saling berinteraksi; 4 suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hu-
bungan timbal-balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan
lingkungannya. Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesa-
tuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan
hidup yang saling mempengaruhi. Ekosistem merupakan pengga-
bungan dari setiap unit biosistem yang melibatkan interaksi tim-
bal-balik antara organisme dan lingkungan fisik, sehingga aliran
energi menuju kepada suatu struktur biotik tertentu dan terjadi sua-
tu siklus materi antara organisme dan anorganisme. Matahari seba-
gai sumber dari semua energi yang ada. Dalam ekosistem, organis-
me dalam komunitas berkembang bersama-sama dengan lingkung-
an fisik sebagai suatu sistem. Organisme akan beradaptasi dengan
lingkungan fisik, sebaliknya organisme juga mempengaruhi ling-
kungan fisik untuk keperluan hidup39
39)
pengertian ini didasarkan pada hipotesis Gaia, yaitu: “organisme, khususnya mikro-
organisme, bersama-sama dengan lingkungan fisik menghasilkan suatu sistem kon-
trol yang menjaga keadaan di bumi cocok untuk kehidupan.” Hal ini mengarah pada
kenyataan bahwa kandungan kimia atmosfer dan bumi sangat terkendali dan sangat
berbeda dengan planet lain dalam tatasurya. Kehadiran, kelimpahan, dan penyebaran
suatu spesies dalam ekosistem ditentukan oleh tingkat ketersediaan sumberdaya serta
kondisi faktor kimiawi dan fisis yang harus berada dalam kisaran yang dapat dito-
leransi oleh spesies tersebut, inilah yang disebut dengan hukum toleransi. Misalnya:
155
eksploitasi pengusahaan; pendayagunaan
eksplorasi 1 penjelajahan lapangan dengan tujuan memperoleh pe-
ngetahuan lebih banyak (tentang keadaan), terutama sumber-sum-
ber alam yang terdapat di tempat itu; 2 penyelidikan dan penjajak-
an daerah yang diperkirakan mengandung mineral berharga de-
ngan jalan survei geologi, survei geofisika, atau pengeboran de-
ngan tujuan menemukan deposit dan mengetahui luas wilayahnya
eksponensial bersifat atau berhubungan dengan eksponen
emigran orang yang meninggalkan tanah tumpah darahnya dan per-
gi ke negeri lain untuk tinggal menetap di sana
empiris berdasarkan pengalaman (terutama yang diperoleh dari pe-
nemuan, percobaan, pengamatan yang telah dilakukan)

F
fertilitas40) 1 kemampuan menghasilkan keturunan; kesuburan; 2 ke-
mampuan alami untuk memberikan keturunan. Sebagai ukuran,
tingkat fertilitas adalah jumlah anak lahir per pasangan

G
genetika41) 1 cabang biologi dengan sifat turun-temurun; 2 “ilmu ke-

panda memiliki toleransi yang luas terhadap suhu, namun memiliki toleransi yang
sempit terhadap makanannya, yaitu bambu. Dengan demikian, panda dapat hidup di
ekosistem dengan kondisi apapun asalkan dalam ekosistem tersebut terdapat bambu
sebagai sumber makanannya. Berbeda dengan makhluk hidup yang lain, manusia da-
pat memperlebar kisaran toleransinya karena kemampuannya untuk berpikir, me-
ngembangkan teknologi, dan memanipulasi alam
40)
bersifat nyata, bukan potensi, sehingga berbeda dengan fekunditas, yang didefinisi-
kan sebagai potensi untuk bereproduksi. Kurangnya fekunditas disebut sterilitas. Fer-
tilitas tergantung pada faktor gizi, perilaku seksual, budaya, naluri, endokrinologi,
waktu, ekonomi, cara hidup, dan emosi
41)
juga disebut ilmu keturunan, berasal dari kata genos (bahasa Latin), artinya suku
bangsa-bangsa atau asal-usul. Secara “etimologi” kata genetika berasal dari kata ge-
nos dalam bahasa Latin, yang berarti asal mula kejadian. Namun, genetika bukanlah
ilmu tentang asal mula kejadian meskipun pada batas-batas tertentu memang ada ka-
itannya dengan hal itu juga. Istilah “genetika” diperkenalkan oleh William Bateson
pada suatu surat pribadi kepada Adam Chadwick dan ia menggunakannya pada
Konferensi Internasional tentang Genetika ke-3 pada tahun 1906
156
turunan” yang menyangkut cara-cara bagaimana karakteristik yang
diturunkan dari orang tua kepada keturunannya. Studi ini dapat di-
terapkan pada semua bentuk kehidupan, dan sangat penting untuk
memahami beberapa gangguan medis dan disiplin lain, seperti
zoologi, botani, dan ekologi; 3 ilmu yang mempelajari tentang pe-
warisan sifat; 4 ilmu yang mempelajari seluk beluk alih informasi
hayati dari generasi kegenerasi. Oleh krn cara berlangsungnya alih
informasi hayati tersebut mendasari adanya perbedaan dan persa-
maan sifat di antara individu organisme, maka dengan singkat da-
pat pula dikatakan, bahwa genetika adalah ilmu tentang pewarisan
sifat. Dalam ilmu ini dipelajari bagaimana sifat keturunan (here-
ditas) itu diwariskan kepada anak cucu, serta variasi yang mungkin
timbul di dalamnya; 5 cabang biologi yang mempelajari pewarisan
sifat pada organisme maupun suborganisme. Secara singkat dapat
juga dikatakan, bahwa genetika adalah ilmu tentang gen dan segala
aspeknya. Bidang kajian genetika dimulai dari wilayah subseluler
hingga populasi. Secara lebih rinci, genetika berusaha menjelaskan
material pembawa informasi untuk diwariskan, bagaimana infor-
masi itu diekspresikan, dan bagaimana informasi itu dipindahkan
dari satu individu ke individu yang lain
genetis berhubungan dengan awal pertumbuhan

H
hedonisme pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan
dan kenikmatan materi adalah tujan utama hidup
holistis berhubungan dengan sistem keseluruhan sebagai suatu kesa-
tuan lebih daripada sekadar kumpulan bagian

I
individualisme 1 paham yang menganggap manusia secara pribadi
perlu diperhatikan (kesanggupan dan kebutuhanya tidak boleh di-
samaratakan); 2 paham yang menghendaki kebebasan berbuat dan
menganut suatu kepercayaan bagi setiap orang; paham yang me-
mentingkan hak perseorangan di samping kepentingan masyarakat
atau negara; 3 paham yang menganggap diri sendiri (kepribadian)
157
lebih penting daripada orang lain
inheren berhubungan erat (dengan); tidak dapat diceraikan; melekat
intrinsik terkandung di dalamnya (tentang harkat seseorang)
intuisi daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu
tanpa dipikirkan atau dipelajari; bisikan hati; gerak hati

J
jembatan keledai cara mudah untuk membantu ingatan

K
klasikal secara bersama-sama di dalam kelas
kognitif 1 berhubungan dengan atau melibatkan kognisi; 2 berdasar
kepada pengetahuan faktual yang empiris
koheren berhubungan; bersangkut paut
kolaborasi kerja sama peserta didik dengan peserta didik lainnya
konservasi pemeliharaan dan perlindungan sesuatu secara teratur
untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan jalan meng-
awetkan; pengawetan; pelestarian
konstruktif bersifat membina, memperbaiki, membangun, dan se-
bagainya
kontekstualisme aliran yang menyelidiki makna dalam bahasa de-
ngan metode probabilitas, dan memusatkan diri pada distribusi for-
mal bentuk bahasa dan ujaran, dan hubungan antara ujaran atau
wacana dengan lingkungan fisik dan sosial

L
lingkungan 1 daerah (kawasan dan sebagainya) yang termasuk di
dalamnya; 2 semua yang mempengaruhi pertumbuhan manusia
atau hewan;
-- abiotik semua unsur yang terdapat di sekitar makhluk hidup
yang bukan organisme hidup, antara lain batuan, tanah, mineral,
air, dan udara; -- biotik semua makhluk hidup yang ada di seki-
tar makhluk hidup, mulai dari makhluk hidup terkecil (mikroorga-

158
nisme), sampai dengan tumbuhan dan hewan, termasuk di dalam-
nya manusia

M
materialisme pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu
yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan se-
mata-mata dengan mengesampingkan segala sesuatu yang meng-
atasi alam indera
mentor pembimbing atau pengasuh untuk peserta didik
migrasi perpindahan penduduk dari satu tempat (negara dan seba-
gainya) ke tempat (negara dan sebagainya) lain untuk menetap
mortalitas 1 kodrat bahwa setiap manusia pada akhirnya harus me-
ninggal dunia; 2 angka rata-rata kematian penduduk dalam suatu
daerah atau wilayah; 3 proporsi kematian akibat penyakit tertentu;
4 kematian

N
nutrien42) 1 zat yang mendorong pertumbuhan, pemeliharaan, fungsi,
dan pengembangbiakan sel dari suatu organisme; 2 unsur atau se-
nyawa kimia yang digunakan untuk metabolisme atau fisiologi or-
ganisme. Nutrien biasanya dikategorikan menjadi nutrien yang me-
nyediakan energi dan yang digunakan sebagai komponen untuk tu-
buh atau struktur sel. Suatu nutrien disebut esensial bagi organis-
me jika zat tersebut tidak dapat disintesis oleh organisme dan ha-
rus dipenuhi dari sumber makanan. Di antara beberapa nutrien,
nutrien yang tegolong dalam nutrien organik adalah karbohidrat,
lemak, protein, asam amino, namun senyawa kimia anorganik, se-
perti air dan oksigen juga dapat dianggap nutrien. Jenis-jenis nut-
risi yang diperlukan dalam jumlah yang sedikit disebut nutrisi mik-
ro, sedangkan jenis-jenis nutrisi yang diperlukan dalam jumlah
yang besar disebut nutrisi makro. Dan efek dari nutrien tergantung
dari dosisnya

42)
atau hara
159
O
organisme 1 segala jenis makhluk hidup (tumbuhan, hewan, dan se-
bagainya); susunan yang bersistem dari berbagai bagian jasad hi-
dup untuk suatu tujuan tertentu; 2 individu makhluk hidup, apakah
seekor hewan, tumbuhan, atau mikroorganisme

P
parafrase 1 pengungkapan kembali suatu tuturan dari sebuah ting-
katan atau macam bahasa menjadi yang lain tanpa mengubah pe-
ngertian; 2 penguraian kembali suatu teks (karangan) dalam bentuk
(susunan kata-kata) yang lain, dengan maksud untuk dapat menje-
laskan makna yang tersembunyi
patologi 1 ilmu yang mempelajari tentang penyakit; 2 spesialisasi
medis yang bersangkutan dengan studi tentang proses penyakit de-
ngan penekanan pada pemahaman sifat dan penyebab penyakit; 3
cabang bidang kedokteran yang berkaitan dengan ciri-ciri dan per-
kembangan penyakit melalui analisis perubahan fungsi atau keada-
an bagian tubuh. Bidang patologi terdiri atas patologi anatomi dan
patologi klinik. Ahli patologi anatomi membuat kajian dengan
mengkaji organ, sedangkan ahli patologi klinik mengkaji perubah-
an pada fungsi yang nyata pada fisiologi tubuh. Patologi adalah ka-
jian dan diagnosis penyakit melalui pemeriksaan organ, jaringan,
cairan tubuh, dan seluruh tubuh (autopsi). Patologi juga meliputi
studi ilmiah terkait proses penyakit, disebut patologi umum. Pato-
logi medis dibagi menjadi dua cabang utama, patologi anatomi dan
patologi klinik. Patologi umum, juga disebut investigasi patologi,
eksperimental patologi atau teoretis patologi, merupakan luas dan
kompleks lapangan ilmiah yang berusaha untuk memahami meka-
nisme cedera sel dan jaringan, seperti tubuh sarana untuk menang-
gapi dan memperbaiki cedera. Bidang studi termasuk adaptasi se-
lular cedera, nekrosis, peradangan, penyembuhan luka, dan neo-
plasia. Itu membentuk dasar patologi, penerapan pengetahuan ini
untuk mendiagnosis penyakit pada manusia dan hewan. Istilah
umum patologi juga digunakan untuk menggambarkan praktik pa-
tologi anatomi dan klinis
160
pestisida43) zat yang beracun untuk membunuh hama; obat pembasmi
hama
populasi sekumpulan individu dengan ciri-ciri yang sama (spesies)
yang hidup menempati ruang yang sama pada waktu tertentu. Ang-
gota-anggota populasi secara alamiah saling berinteraksi satu sama
lain dan bereproduksi di antara sesamanya. Konsep populasi ba-
nyak dipakai dalam ekologi dan genetika44
postulat asumsi yang menjadi pangkal dalil yang dianggap benar
tanpa perlu membuktikannya; anggapan dasar; patokan duga; aksi-
oma
predasi serangan dan penghancuran langsung satu organisme ter-
hadap organisme lain
preferensi 1 (hak untuk) didahulukan dan diutamakan daripada
yang lain; prioritas; 2 pilihan; kecenderungan; kesukaan
prevalensi hal yang umum; kelaziman
proposisi 1 rancangan usulan; 2 ungkapan yang dapat dipercaya, di-
sangsikan, disangkal, atau dibuktikan benar-tidaknya
psikomotor berhubungan dengan aktivitas fisik peserta didik yang
berkaitan dengan proses mental; psikomotoris

R
regulasi pengaturan
reproduksi pengembangbiakan
resolusi putusan atau kebulatan pendapat berupa permintaan atau
tuntutan yang ditetapkan oleh MU PBB untuk mencanangkan Da-
sawarsa Pendidikan Pembangunan Berkelanjutan
restorasi pengembalian atau pemulihan ke keadaan semula

43)
racun hama
44)
yang dipandang oleh ekologiwan sebagai unsur dari sistem yang lebih luas. Popu-
lasi suatu spesies adalah bagian dari suatu komunitas. Selain itu, evolusi juga bekerja
melalui populasi. Ahli-ahli genetika, di sisi lain, memandang populasi sebagai sarana
atau wadah bagi pertukaran alel-alel yang dimiliki oleh individu-individu anggota-
nya. Dinamika frekuensi alel dalam suatu populasi menjadi perhatian utama dalam
kajian genetika populasi
161
S
sensoris berhubungan dengan pancaindra
sistemis 1 bertalian atau berhubungan dengan suatu sistem atau su-
sunan yang teratur; 2 terdiri atas beberapa subsistem
sosiodrama 1 drama yang bertujuan memberikan informasi kepada
masyarakat tentang masalah sosial politik; 2 metode belajar yang
memakai drama kemasyarakatan sebagai media
stimulasi rangsangan
suksesi pergantian karena pewarisan
suksesif dapat diwakilkan

T
taksonomi klasifikasi unsur-unsur bahasa menurut hubungan hie-
rarkis; urutan satuan fonologis atau gramatikal yang dimungkinkan
dalam satuan bahasa
tematik tematis
tes ujian secara tertulis, lisan, atau wawancara untuk mengetahui pe-
ngetahuan, kemampuan, bakat, dan kepribadian seorang individu;
-- formatif tes yang dimaksudkan untuk mengetahui sejauh-
mana peserta didik telah mencapai tujuan mengikuti suatu program
tertentu; -- sumatif tes yang diberikan atau dilaksanakan pada
akhir dari suatu program pembelajaran secara keseluruhan

U
urbanisasi perpindahan penduduk secara berduyun-duyun dari desa
(kota kecil, daerah) ke kota besar (pusat pemerintahan)

162
INDEKS

A mengapa terjadi – 67
Barth, J.L., 141
Adisendjaja, Y.H., 40-41, 48
bilateral, 111, 134
aerosol, 43
biofisika, 1,
afeksi, 50,
lingkungan – 35, 39
instruksi – 51
biosfer, 38, 62,
tingkat – 20
komponen – 123
afektif, 2, 31, 78, 82, 91, 142,
Black, J. B., 43
aspek – 5, 8, 23, 70, 129, 132
Bloom, Benyamin S., 20, 82-83, 94
faktor – 49-50
Brazil,
kawasan – 20
Rio de Janeiro – 126, 139
ranah – 83
Breidle, 25
tujuan – 5, 71, 129, 132
Briggs, L.J., 17
Ahmad, Zainal Arifin, 19, 23, 26-27,
Brown, 78
30
Brown, Gerold W., 80
Ahmadi, Lif Khoiru, 21
Brundtland, 126
ajek, 7, 73
Akrani, Gaurav, 14
aksiomatis, 26 C
Alam, Iskandar Putarul, 92 Chiras, D. D., 37-38, 61
Ambar, Widaningrum, 102 Cornell, Joseph, 8, 73
Amerika Serikat, 17, Cousins, JB, 92
New York – 127 Cunningham, William G., 14
Amri, Sofan, 21
Ananta, Aris, 116
Aprudin, 92 D
Archimides, 22 Dahlan, Hendriansyah, 13
Arifin, 122 Danusaputro, St. M., 40
Arikunto, Suharsimi, 79 Davies, 78
daya dukung, 102, 137,
– biosfer, 36
B – bumi, 127
Bahauddin, Ahmad, 93 – ekosistem, 113
Baiquni, 101 – lahan, 103
banjir, 11, 43, 45, 104, 121-123, – lingkungan, 3, 37, 101, 108
– bandang, 121, 123 – lingkungan alam, 102-104

163
mengkaji – 102 – lingkungan hidup, 131
persoalan – 102 eksploitasi, 130, 136,
– sumberdaya yang ada, 5 – kandungan bumi, 121
– wilayah, 102 eksplorasi,
daya tampung, – lingkungan hidup, 130
– lingkungan, 102 Erari, Karel, 121
– lingkungan buatan, 106-107
– lingkungan sosial, 106-107
– sosial, 105, 107
F
Fandeli, Chafid, 137
DeStefano, L., 92
Fatchurodji, 14
diintegrasikan,
fertilitas, 85
– dalam setiap mata pelajaran di
Fetterman, DM., 92
sekolah, 131
Fullan, M., 26
– pada berbagai bidang studi
yang mempelajari hubungan
antara jasad hidup dengan is- G
tilah dan lingkungannya, 63 Gagne, R.M., 17
PKLH – 63 genetika, 49
substansinya – 143 Georgia, 70
Drost, J., 120 Grounloud, Norman E., 79
Guba, 92
E
ekologi, 39, 85, 108, 121, 138, 141, H
– kebudayaan, 123 Hamdani, A. Saepul, 94
keseimbangan – 122 Hariadi, Bambang, 34, 91
konteks – 36 Harlen, W., 41
– manusia, 1 Hegel, 73
persepsi – 40 Hein, G.E., 43
– sebagai dasar ilmu lingkung- Hongkong, 106
an, 145 Horton, Douglas, 94
segi – 40 House, ER, 92
– sosial, 123 Howe, KR., 92
ekosistem, 37-38, Hurteau, M., 90
– alam, 37
– bumi, 132
– hutan, 124 I
keberlanjutan – 37 Indonesia, 4, 35, 66, 74, 94, 104,
keseimbangan – 121 109-112, 114-115, 121-123,
139,
164
kepadatan penduduk – 85 Jawa Barat (Jabar), 123,
manusia – 113, 117, 119 Bekasi – 101
– memiliki masalah dalam pe- Bogor – 123
manfaatan SDA yang mele- Jawa Timur (Jatim), 123,
bihi daya recovery-nya, 137 Madura – 107
pemerintah – 120, 123, 139 Sidoarjo – 121
rakyat – 114, 119 Johannesburg, 124, 126, 128,
warga negara – 95 KTT – 125
wilayah – 114, 123 Jugoslavia,
Inggris, 66 Beograd – 108-109
integrasi, 141, Jurs, 79
– konseptual, 10
– materi PKLH yang berpusat K
kepada peserta didik, 47
Kaffash, Hamid Reza, 25-26
penyusunan modul-modul – 2,
Kalimantan Timur (Kaltim), 74
68
Balikpapan – 74
– PKLH ke dalam materi pel-
Malinau – 74
ajaran lain bukanlah pekerja-
Nunukan – 74
an yang gampang, melainkan
Samarinda – 74
membutuhkan keahlian pendi-
Tarakan – 74
dik, 144
KLH, 39, 115, 140,
– PKLH dalam pengembangan
kesadaran dan perilaku yang
bahan ajar IPS, 143
berwawasan – 3
– PKLH pada mata pelajaran
masalah – 3, 5, 35-36, 39-40, 72
IPS, 136
peningkatan pemasyarakatan –
sangat ditekankan PLH dilaku-
115, 140
kan secara – 70, 140
perilaku – 63
integratif, 8, 69, 109, 129, 139,
persoalan – 72
berpikir – 6, 72
program pembinaan dan pe-
Ismanita, 21
ngendalian – 3
proyek – 139
J konservasi, 37,
Jakarta, 109, 123, 139 – lingkungan, 1
Jambi, 107 prinsip – 37
James, S.A., 35, 40 – satwa/tumbuhan langka, ke-
Jarolimek, 143 anekaragaman hayati, dan pe-
Jawa, nataan ruang, 7
filosofi kebudayaan – 131 Krathwohl, D., 20

165
Kutanegara, Pande Made, 101-103, – PKLH ke dalam mata pelajar-
105-108 an, 129
– PKLH ke dalam semua mata
L pelajaran, 69, 129
– satu konsep baru dalam meng-
Lampung, 107
hadapi bencana alam, 122
Latahang, 26
Miarso, Yusufhadi, 17
Latin, 24, 80
mortalitas, 85
Lien, 79
Muchlidawati, 137
Likert, 86-87
Muhaimin, 17
Lincoln, 92
Lusiani, Titik, 34, 91
N
M Ninil, 125
Noviani, Shanti Astri, 34, 90-91, 94
Mahanani, Fauzan A., 94
Nusa Tenggara Timur (NTT), 123
Mahrens, 79
Malthus, 60
Mantra, Ida Bagoes, 3 O
Marsh, DD., 26 Oktaviandy, Navel, 97
Matsuura, Koichiro, 127 Orams, Mark, 63
McClintock, R.O., 43
Meadow, Dennis L., 61
MeisofiIin, Dewi, 94
P
Papert, S., 25
mengintegrasikan,
Patton, MQ, 92
– faktor kependudukan, ling-
Peerbhoy, D., 33, 90
kungan, serta visi dan misi,
Pelgrum, H., 25
103
pendekatan individual,
– materi PKLH dalam pokok
– adalah pembelajaran di mana
bahasan yang relevan, 144
peserta didik belajar secara
– materi PKLH ke dalam kuri-
mandiri melalui bahan belajar
kulum lembaga pendidikan,
yang dirancang sedemikian
135
rupa, 31
– materi PLH ke dalam kuriku-
pendekatan integratif (terpadu), 8,
lum lembaga pendidikan for-
10, 143,
mal, 119
– adalah pendekatan yang dida-
– pengetahuan lingkungan yang
sarkan pada suatu pemikiran,
berwawasan pembangunan
bahwa program suatu mata
berkelanjutan, 116

166
pelajaran harus terpadu de- dengan mata pelajaran lain,
ngan mata pelajaran lain, 144 09
– dalam PKLH adalah memadu- – dalam PKLH tidak digunakan
kan atau menyatukan materi pada jenjang pendidikan ter-
PKLH ke dalam mata pelajar- tentu, 9
an tertentu, 09 – diterapkan di sekolah formal,
– dianggap sebagai pendekatan maka berbagai kendala akan
yang paling pas untuk pelak- segera muncul bersamaan de-
sanaan PKLH di sekolah, 144 ngan diterapkannya pendekat-
pendekatan interdisipliner, 63, 141- an tersebut, 9
142 sistem – 143
pendekatan joyful learning, 67, pendekatan pembelajaran, 26-27,
– dalam pembelajaran PKLH, – adalah suatu ancangan atau
60, 64 kebijaksanaan dalam memulai
– ingin mencapai tujuan, 64 serta melaksanakan pengajar-
– penguatan merupakan hal an, 26
yang harus diperhatikan, 65 – aktif, 26
terdapat lima model pembelajar- – bersifat aksiomatis, yakni sua-
an yang dapat mendukung – tu keyakinan yang telah di-
65 anggap benar tanpa harus di-
pendekatan kelompok, 31, buktikan, 26
– adalah pembelajaran yang di- – klasikal, 31
rancang dengan menggunakan – sangat beragam, 27
pendekatan klasikal, yakni – yang berorientasi atau berpu-
pembelajaran di mana setiap sat kepada pendidik, 27
peserta didik belajar secara – yang berorientasi atau berpu-
kelompok, 31 sat kepada peserta didik, 27
pendekatan kontekstual, 42, pendidikan kependudukan dan ling-
penerapan – 42 kungan hidup (PKLH), 5, 10,
pendekatan kurikulum, 112 74-75, 85, 110, 129-130,
pendekatan monolitik, 8-9, 143, – adalah suatu program kepen-
– adalah pendekatan yang dida- didikan untuk membina pe-
sarkan pada suatu pemikiran, serta didik agar memiliki pe-
bahwa setiap mata pelajaran ngertian, kesadaran, sikap,
merupakan sebuah komponen dan perilaku yang rasional
yang berdiri sendiri, 143 dan bertanggung jawab ten-
– dalam PKLH berarti PKLH tang pengaruh timbal-balik
merupakan satu mata pelajar- antara penduduk dengan ling-
an yang berdiri sendiri sejajar kungan hidup, 2

167
anggaran – 134-135 kebijaksanaan dan peraturan pe-
– bahan dasar yang dilupakan, ngembangan – 145
70 kegagalan – 40
berkembangnya – 134 kelembagaan – 135
– bertujuan meningkatkan kesa- kelompok sasaran – 135
daran dan perlibatan masyara- kapasitas – 135
kat secara aktif dalam masa- konsep – 2, 42, 64
lah-masalah kependudukan konsep atau materi ajar – 44
dan lingkungan, 1 masalah – 1, 35-36, 38, 40, 69,
– bukan untuk pembebanan baru 109, 129, 134, 139
bagi peserta didik, 69 mata pelajaran – 69
buku pedoman pelaksanaan – 2, materi – 10, 134-135, 144-145
70 – melalui pembelajaran berpusat
– dapat diajarkan dengan mene- kepada peserta didik, 45
rapkan pendekatan konteks- membumikan – 130
tual, 42 mempertimbangkan – 71
– dapat diajarkan melalui berba- – mempunyai misi dalam upaya
gai cara, 42 pendewasaan seseorang, 2
– dapat mempermudah penca- mengajarkan – 82
paian keterampilan tingkat mengelola – 69
tinggi, 6, 72 mengkaji – 63
– dilaksanakan mulai dari pen- menguasai materi yang mendu-
didikan dasar sampai dengan kung – 47
perguruan tinggi – 141 – merupakan bidang studi yang
– dalam buku catatan, 69 mempelajari kesatuan ruang
dinamika – 131 dengan semua benda, daya,
keberhasilan pelaksanaan – 4 keadaan, dan makhluk hidup,
hakikat – 130 62
kegiatan – 72 – merupakan kebutuhan pokok
kelembagaan – 134 bagi semua warga masyarakat
– harus dimulai dari hati, 69 jika kita ingin tetap melestari-
isu – 71 kan kesejahteraan umat ma-
jalur – 46 nusia, 45
– jangan dijadikan sebagai topik – merupakan wadah bagi pende-
hafalan, 41 katan interdisipliner, 63
kebijakan – 135 metode – 135
kebijakan umum – 134 objek kajian – 42
kebijaksanaan – 133 paket – 143

168
pedoman – 140 pengelolaan (pendidikan) lingkung-
pelajaran – 141 an hidup (PLH), 1, 70-71, 75,
pelatihan – 139 126, 129, 139,
pembelajaran – 8, 38, 60, 62-66, – adalah suatu proses untuk
77, 81-84 membangun populasi manusia
– pembelajaran dari pendidik di dunia yang sadar dan pedu-
menjadi berpusat kepada pe- li terhadap lingkungan total
serta didik, 47 (keseluruhan) dan segala ma-
penambahan bidang studi – 144 salah yang berkaitan dengan-
pendanaan – 135 nya, 70
pendekatan – 8 – adalah upaya mengubah peri-
pendidik – 40-41, 86, 88, 135 laku dan sikap, 112
penekanan – 132 akses informasi – 113
pengantar – 145 anggaran – 111, 116, 118
pengelolaan – 145 evolusi – 4
penilaian dalam bidang – 82 – formal, 112
penyajian – 144 – hendaknya diberikan kepada
penyelenggaraan dan pengen- seluruh lapisan masyarakat
dalian mutu pelayanan – 135 secara formal, 4
peraturan yang menjadi pijakan – informal, 113
diterapkannya – 140 kegiatan – 6
perencanaan pembelajaran – 34 gerakan – 111
perkembangan – 134 kebijakan – 114, 118
program – 3, 40-41, 137, 139, kelembagaan – 113, 115, 117
143, 145 kelompok sasaran – 118-119
proses – 45, 47 konferensi internasional – 109
sarana dan prasarana – 134-135 kualitas – 117
– terjerumus di jurang pembe- kurang berkembangnya – 111
banan baru, 74 masalah – 111
terwujudnya – 134 materi – 116, 119
– tidak terbatas pada kegiatan materi dan metode pelaksanaan
belajar-mengajar saja, 11 – 110
tujuan – 4-5, 39-41 – memasukkan aspek afektif, 70
tujuan dan manfaat – 1 mengajarkan – 110
tujuan jangka panjang – 39 mengembangkan – 2, 70
tujuan khusus – 1 metode – 117
tujuan umum (visi) – 1 metode pelaksanaan – 117, 120
– untuk sebuah keberlanjutan metode penyampaian – 120
hidup bersama, 120 muatan lokal beraroma – 74

169
– non-formal, 113 nakan secara sistematis ber-
pelaksana – 113, 115 dasarkan kurikulum, 10
pelaksanaan – 4, 110-111, 114- – yang dipaksakan tentu akan
116, 119, 138, 140 menimbulkan masalah baru,
pelaku – 110, 115-118 10
pembinaan dan pengembangan pengintegrasian (materi) PKLH,
– 1-2, 70, 115, 139-140 alasan – 1
pendanaan – 118-119 – sepenuhnya diserahkan kepa-
pengembangan – 110, 112, 114, da pendidik mata pelajaran
117, 139, 141 terkait, 10
pengembangan dan pelaksanaan Popham, W.J., 94
– 70 Pribadi, Benny A., 17-18
pengembangan dan pemantapan Puskur, 141, 143
pelaksanaan – 1-2, 70
pengertian dan definisi – 112
penyelenggaraan – 116
R
Ragan, Tillman J., 17
penyelenggaraan dan pengenda-
Reeve, J., 33, 90
lian mutu pelayanan – 119
Rethno, 91
perencanaan, pelaksanaan, dan
Riau, 107
evaluasi – 117
Romlah, Oom, 48
perkembangan – 108-109, 111-
Rossi, PH, 25, 89
112
Rowtes, Graham D., 122
permasalahan – 110, 113
Ryan, KE, 92
program pengembangan – 109
puncak perkembangan – 70
sarana dan prasarana – 116, 118 S
sinergi antarpelaku – 113 Sanjaya, Wina, 13-18, 23-25, 27-28,
strategi pelaksanaan kebijakan – 30-33
117 Saud, Udin Saefudin, 25
terwujudnya – 111 Shadiq, Fadjar, 95
tujuan – 108, 113-114, 116 Shinkfield, A.J., 90
tujuan umum – 138 Sigit, Pamukti, 138
visi – 113 Silberman, Melvin L., 28-29
visi dan misi – 113 Singapura, 106
pengintegrasian, 10, Siskandar, 144
teknik – 10 Smith, Patricia L., 17
– yang diharapkan dalam PKLH Soemarwoto, Otto, 140-141
adalah integrasi konseptual Stake, RE., 92
yang dirancang dan dilaksa- Stapp, William B., 35, 40, 62
170
Stufflebeam, D.L., 90
Subagio, 14
V
Voogt, J., 25
Sudaryono, 92-93
Sudijono, Anas, 33, 98
Sukamdi, Riyanto, 102 W
Sumatra Barat (Sumbar), Wand, 78
Minangkabau – 107 Wardhani, Sri, 109
Sumatra Selatan (Sumsel), Warnadi, Sunarto, 137, 144-145
Palembang – 107 Watson, DM., 25
Swan, James A., 62 Webster, W.J., 90
Weiss, Carol, 89
T Welle-Strand, A., 25
Whitmore, E., 92
Tasdik, Komarudin, 29
Widodo, R. Restu, 96
terintegrasi, 43, 112,
Widoyoko, Eko Putro, 92, 94, 98
– dalam mata pelajaran lainnya,
Wiersma, 79
83
Williams, David D., 32, 92
– dalam mata pelajaran yang
Wond, Edwin, 80
terkait, 144
– kurikulum sekolah, 141
– mendukung perkembangan Y
PKLH di sekolah, 134 Yogyakarta, 4, 73, 101-108, 130-
– mendukung perkembangan 131,
PLH di Indonesia, 111 Giwangan – 104
Tbilisi, 39, 70, 138 Jogonegaran, Sosromenduran –
Todaro, M.P., 61 107
Malioboro – 107
U Pajeksan 107
Umbulharjo – 103-104, 106
Uno, Hamzah B., 18-20
Yusuf, Maftuchah, 25

171
172
DAFTAR PUSTAKA

Adisendjaja, Y.H. 1988. Hubungan antara Pemahaman IPA, Penge-


tahuan Lingkungan, dan Sikap terhadap Lingkungan dari Maha-
siswa FPMIPA IKIP Bandung. Bandung: IKIP Bandung.
Adisendjaja, Y.H. 2008. Metodologi Pembelajaran Sains di Sekolah
Dasar. Bandung: Jurusan Pendidikan Biologi, FPMIPA UPI.
Adisendjaja, Y.H. dan Romlah, Oom. 2010. Pembelajaran Pendidikan
Lingkungan Hidup: Belajar dari Pengalaman dan Belajar dari
Alam. Bandung: UPI.
Ahmad, Zainal Arifin. 2012. Perencanaan Pembelajaran: dari Desain
sampai Implementasi. Yogyakarta: Pedagogia, iv-v, 33, 43-44,
102, 114.
Akrani, Gaurav. 2010. Planning First Primary Important Function of
Management. India: Kalyan City Life, 2.
Alam, Iskandar Putarul. 2010. Evaluasi pembelajaran. Word-Press,
November: 1-3.
Amri, Sofan dan Ahmadi, Lif Khoiru. 2010. Konstruksi Pengembang-
an Pembelajaran: Pengaruhnya terhadap Mekanisme dan Praktik
Kurikulum. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 159.
Ananta, Aris. 1992. Penduduk dan pembangunan berkelanjutan. Warta
Demografi, September; XXII (9).
Aprudin. 2012. Evaluasi proses pembelajaran. Beranda, Februari: 1-3.
Bahauddin, Ahmad. 2012. Evaluasi hasil dan proses pembelajaran.
Scribd, 1-4.
Barth, J.L. 1990. Method of Instruction in Social Studies Education.
New York: University Press of America, 360.
Black, J. B. and McClintock, R.O. 1995. Constructivist Learning En-
vironment. New Jersey: Englewood Cliff, Educational Technology
Publications.
Bloom, Benyamin S. 1956. Taxonomy of Educational Objective: Book
I Cognitive Domain. New York: Longman Inc.
Chiras, D. D. 1991. Environmental Science: Action for a Sustainable
Future. California: The Benjamin/Cummings Pub. Co. Inc.
173
Chiras, D. D. 1992. Lessons from Nature: Learning to Live Sustainably
on the Earth. Washington D.C.: Island Press.
Chiras, D. D. 1993. Eco-logic: Teaching the biological principles of
sustainability. The American Biology Teacher, 55 (2): 71-76.
Cousins, JB and Whitmore, E. 1998. Framing Participatory Evaluation.
In E. Whitmore (ed.). Participatory Evaluation Approaches. San
Francisco: Jossey-Bass.
Cousins, JB, Donohue, JJ, and Bloom, GA. 1996. Collaborative eva-
luation in North America: Evaluators‟ Self-reported opinions,
practices, and consequences. Evaluation Practice, 17 (3): 207-226.
Cunningham, William G. 1982. Systematic Planning for Educational
Change, First Edition. California: Mayfield Publishing Company,
4.
Dahlan, Hendriansyah. 2012. Pengertian perencanaan pembelajaran.
Diamond, Januari; 20: 1-2.
Danusaputro, St. M. 1981. Environmental Education and Training.
Bandung: Binacipta Publishing Company.
Depdiknas. 2003. Pendekatan Kontekstual. Jakarta: Direktorat Pendi-
dikan Lanjutan Pertama.
Drost, J. 2000. Proses Pembelajaran Masa Kini dan Masa Mendatang.
Transpormasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga. Yogyakar-
ta: Kanisius, 52.
Fandeli, Chafid. 2004. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan: Prin-
sif Dasar dalam Pembangunan. Yogyakarta: Liberty.
Fatchurodji. 2012. Konsep perencanaan pembelajaran. Beranda, Janu-
ari; 17: 1-3.
Fetterman, DM. 1996. Empowerment Evaluation: Knowledge and
Tools for Self-Assessment and Accountability. Thousand Oaks,
CA: Sage, 1.
Fullan, M. 1998. Leadership for the 21st century: breaking the bonds of
dependency. Educational Leadership, 55 (7): 6-10.
Gagne, R.M. and Briggs, L.J. 2005. Principles of Instructional Design.
New York: Wadsworth Publishing Co, 1.

174
Hamdani, A. Saepul. 2009. Pengembangan sistem evaluasi pembel-
ajaran pendidikan agama Islam berbasis taksonomi Solo. Jurnal
Pendidikan Islam, Juni; 1 (1): 15-23.
Hariadi, Bambang dan Lusiani, Titik. 2010. Pengembangan Sistem
Evaluasi Belajar Berbasis Online. Prosiding Seminar Nasional
Pendidikan Teknik Informatika (SENAPATI). Singaraja – Bali, 21
September: 3.
Harlen, W. 1992. The Teaching of Science. London: David Fulton Pub-
lisher.
Hein, G.E. 1991. Constructivist Learning Theory. CECA (International
Committee of Museum Educators) Conference, Jerussalem Israel.
Horton, Douglas; Galleno, Viviana; and Mackay, Ronald. 2007. Eva-
luation, Learning and Change in Research and Development Or-
ganizations: Concepts, Experiences, and Implications for the
CGIAR. ILAC Working Paper 2, Rome, Institutional Learning and
Change Initiative, 6.
House, ER and Howe, KR. 1999. Values in Education and Social Re-
search. Thousand Oaks, CA: Sage, 2.
Hurteau, M.; Houle, S., and Mongiat, S. 2009. How legitimate justified
are judgments in program evaluation? Evaluation, 15 (3): 307-319.
Ismanita. 2010. Pengembangan Bahan Ajar. Palembang: PPs Universi-
tas Sriwijaya, 2.
James, S.A. and Stapp, William B. 1974. Environmental Education.
New York: John Willey & Sons.
Jarolimek. 1986. Social Studies in Elementary Education. New York:
Macmillan Publishing Company, 4
Kaffash, Hamid Reza; Kargiban, Zohreh Abedi; Kargiban, Sodabeh
Abedi; and Ramezani, Mehrdad Talesh. 2010. A close look in to
role of ICT in education. International Journal of Instruction, July;
3 (2): 63-82.
Kutanegara, Pande Made. 2011. Kebijakan Kependudukan dan Daya
Dukung Lingkungan Kota Yogyakarta. Disampaikan pada acara
Diseminasi Hasil Penelitian dan Pengembangan Kependudukan –
BKKBN di Hotel Horison Bekasi, 16-18 Desember 2011.
Latahang. 2010. Prinsip Strategi Pembelajaran. Kendari: Unhalu, 4-5.

175
Mahanani, Fauzan A. 2012. Evaluasi penilaian hasil belajar. Media
Edukasi, Mei: 1-3.
Mantra, Ida Bagoes, 2000. Demografi Umum. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Marsh, DD. 2001. Educational Leadership for the Twenty-first Centu-
ry: Integrating Three Essential Perspectives. In: Jossey-Bass Rea-
der on Educational Leadership. San Francisco: Jossey-Bass, 20.
Meadow, Dennis L. 1972. The Limits to Growth. New York: The
American Library.
MeisofiIin, Dewi; Nita, Patonah; dan Puji Astuti. 2012. Standar Pe-
nilaian Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 SDN 2 Luragung
Landeuh. Kuningan: Pendididkan Bahasa Inggris, FKIP Universitas
Kuningan, 1.
Miarso, Yusufhadi. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta:
Kencana, 144.
Muhaimin. 2001. Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: PT Remaja
Rosda Karya, 183.
Noviani, Shanti Astri. 2012. Pentingnya evaluasi pembelajaran dalam
proses belajar mengajar. Ethereal, Maret: 1-6.
Oktaviandy, Navel. 2012. Pengertian evaluasi, pengukuran, dan peni-
laian dalam dunia pendidikan. WordPress, Februari: 1-5.
Orams, Mark. 1994. Creative effective enterpretation for managing in-
teraction between tourist and wildlife. Australian Journal of Envi-
ronmental Education, 10: 21-34.
Papert, S. 1987. Computer criticism, techno centric thinking. Educatio-
nal Researcher Journal, 16 (1): 22-30.
Patton, MQ. 1997. Utilization-focused Evaluation (3rd ed.). Thousand
Oaks, CA: Sage.
Popham, W.J. 1995. Classroom Assessment. Boston: Allyn and Bacon,
3.
Pribadi, Benny A. 2011. Model Desain Sistem Pembelajaran: Langkah
Penting Merancang Kegiatan Pembelajaran yang Efektif dan Ber-
kualitas. Jakarta: Dian Rakyat, 9-10.
Puskur. 2006. Model Pengembangan Silabus Mata Pelajaran dan Ren-
cana Pelaksanaan Pembelajaran IPS Terpadu Sekolah Menengah

176
Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs). Jakarta: Depdiknas,
5, 7.
Reeve, J. and Peerbhoy, D. 2007. Evaluating the evaluation: Under-
standing the utility and limitations of evaluation as a tool for orga-
nizational learning. Health Education Journal, 66 (2): 120-131.
Rethno. 2011. Standar Penilaian dan Permendiknas Nomor 20 Tahun
2007. Beranda Karya Ilmiah dan Aplikasinya, April: 1-6.
Rossi, PH; Lipsey, MW, and Freeman, HE. 2004. Evaluation: A Sys-
tematic Approach (7th ed.). Thousand Oaks: Sage, 5.
Ryan, KE and DeStefano, L. (eds.). 2000. Evaluation as a Democratic
Process: Promoting Inclusion, Dialogue, and Deliberation. San
Francisco: New Directions for Program Evaluation. Jossey-Bass,
30.
Sanjaya, Wina. 2012. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 23-29, 37, 40, 42-45, 186-
187, 204, 206, 228-230.
Saud, Udin Saefudin. 2009. Pengembangan Profesi Pengajar. Ban-
dung: CV Alfabeta, 104.
Shadiq, Fadjar. 2010. Penilaian di bidang pendidikan antara harapan
dan kenyataan. Beranda, Januari: 1-8.
Sigit, Pamukti. 2007. Kemampuan Guru dalam Mengintegrasikan Pen-
didikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) dengan
Mata Pelajaran Sains dan Pengetahuan Sosial di SD Negeri se-
Kecamatan Semarang Selatan Kota Semarang Tahun 2006/ 2007.
(skripsi). Semarang: Jurusan Geografi Fakulas Ilmu Sosial Univer-
sitas Negeri Semarang.
Silberman, Melvin L. 2009. Active Learning: 101 Strategi Pembel-
ajaran Aktif (penerjemah Sarjuli dkk.). Yogyakarta: Kerja sama
Pustaka Insan Madani dengan YAPPENDIS, 1, 70-71, 73, 75, 77,
79.
Smith, Patricia L. and Ragan, Tillman J. 2003. Instructional Design.
Upper Sanddle River. New York: Merril Prentice Hall, Inc, 12.
Soemarwoto, Otto. 1982. “Pengelolaan Lingkungan,” Kertas Kerja da-
lam Kursus AMDAL 2-17 Februari 1982. Kerja sama Kantor Men-

177
teri Negara Pengawasan Lingkungan Hidup dengan Lembaga Eko-
logi Unpad Bandung.
Stake, RE. 1984. Program Evaluation, Particularly Responsive Evalu-
ation. In GF Madaus, M. Scriven, and DL Stufflebeam (eds.). Eva-
luation Models. Boston: Kluwer-Nijhoff, 1.
Stufflebeam, D.L. and Shinkfield, A.J. 1985. Systematic Evaluation.
Boston: Kluwer Nijhof Publishing, 159.
Stufflebeam, D.L. and Webster, W.J. 1980. An analysis of alternative
approaches to evaluation. Educational Evaluation and Policy Ana-
lysis, 2 (3), 5-19.
Subagio. 2011. Fungsi manajemen pendidikan. Garis-GARIS COM, 1-
5.
Sudaryono. 2012. Dasar-dasar Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta:
Graha Ilmu, 37, 40-42.
Sudijono, Anas. 2012. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 31, 67.
Sukamdi, Riyanto, dan Ambar, Widaningrum. 1992. Analisis Dampak
Kependudukan di Provinsi Jawa Barat. Yogyakarta: Pusat Peneli-
tian Kependudukan UGM.
Swan, James A. and Stapp, William B. 1974. Environmental Educati-
on: Strategies Toward A More Liveble Future. New York: John
Wiley & Sons.
Tasdik, Komarudin. 2010. Pentingya Perencanaan Pembelajaran.
Bandung: FKIP Uniba, 2, 7.
Todaro, M.P. 1991. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Edisi
Ketiga, Jilid I. (Alih bahasa: Burhanuddin Abdullah). Jakarta: Er-
langga.
Uno, Hamzah B. 2011. Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: Bumi
Aksara, 3, 34-35, 37-38.
Voogt, J. and Pelgrum, H. 2005. ICT and curriculum changed. An In-
terdisciplinary Journal on Humans in ICT Environments, 1 (2),
157-175.
Wardhani, Sri. 2010. Teknik Pengembangan Instrumen Penilaian Ha-
sil Belajar Matematika di SMP/MTs. Yogyakarta: Departemen
Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pen-

178
didik dan Tenaga Kependidikan, Pusat Pengembangan dan Pem-
berdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Mate-
matika, 31.
Warnadi, Sunarto dan Muchlidawati. 1997. Pedoman Pelaksanaan
Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup: untuk Guru
SD. Cetakan pertama. Jakarta: Depdikbud, 92-93.
Watson, DM. 2001. Pedagogy before technology: Rethinking the
relationship between ICT and teaching. Education and Information
Technology, 6 (4): 251-266.
Weiss, Carol. 1998. Evaluation – Methods for Studying Programs and
Policies. Prentice Hall, Upper Saddle River, 4.
Welle-Strand, A. 1991. Evaluation of the Norwegian Program of
action: the impact of computers in the classroom and how school
learn. Computers and Educational, 16 (1), 29-35.
Widodo, R. Restu. 2011. Tugas Analisis Permendiknas Nomor 20 Ta-
hun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Semarang:
PPKn, FIPS, IKIP PGRI Semarang, 1-8.
Widoyoko, Eko Putro. 2012. Evaluasi Program Pembelajaran: Pan-
duan Praktis bagi Pendidik dan Calon Pendidik. Yogyakarta: Pus-
taka Pelajar, 2, 11, 45.
Williams, David D. 2012. Evaluation of learning objects and instructi-
on using learning objects. Learning Object Initiative, 1-22.
Yusuf, Maftuchah; Pakpahan, Rogers; Kastama, Emo; Retnaningsih;
dan Arianto, Ismail. 1989. Pendidikan Kependudukan dan Ling-
kungan Hidup di IKIP dan FKIP: sebagai Pegangan Pengajar.
Jakarta: Ditjen Dasmen, Ditjen Dikti Depdikbud, 27, 78-87.

179

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai