Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN PTK

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME


UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP SISWA
PADA MATERI KALOR DI KELAS V SDN X DI KOTA CIMAHI

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah


Penelitian Tindakan Kelas

Diajukan Oleh:
Nama Mahasiswa
NIM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


IKIP SILIWANGI
2022

i
LEMBAR PENGESAHAN

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME


UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP SISWA
PADA MATERI KALOR DI KELAS V SDN X DI KOTA CIMAHI

Diajukan Oleh:
Nama Mahasiswa
NIM

Disetujui dan Disahkan Oleh:


Dosen Pengampu Mata Kuliah PTK

Nama Dosen
NIP./NIDN

Mengetahui
Ketua Prodi PGSD

Nama Dosen
NIP./NIDN

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur hanya kepada Allah SWT, Rabb semesta alam, karena atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya sampai saat ini penulis masih diberikan nikmat iman dan Islam. Pertolongan
dan kasih sayang-Nya sungguh besar sehingga dapat tersusun laporan PTK yang berjudul “
Penerapan Model Konstruktivisme untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Perpindahan
Kalor di Kelas SDN X di Kota Cimahi”.
Laporan PTK ini disusun untuk salah satu tugas mata kuliah Penelitian Tindakan Kelas
dengan dosen pengampu Cucun Sutinah, M.Pd.. Penelitian ini bertujuan melatihkan
kemampuan menyusun PTK, mengimplementasikan, serta melaporkannya. Dengan demikian
diharapkan mahasiswa mampu mencapai tujuan perkuliahan sehingga dapat menjadi bekal
kelak sebagai guru.
Pelaksanaan PTK ini mendapat dukungan dan perhatian selama prosesnya sehingga
hambatan yang ada dapat dilalui penulis dengan baik. Untuk itu, penulis menyampaikan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu. Akhirul kata,
besar harapan penulis semoga laporan PTK ini dapat berguna bagi penulis khususnya dan
pembaca pada umumnya, dan lebih jauh lagi dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan.

Bandung, Desember 2022


Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................................. ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................................... iii
DAFTAR ISI........................................................................................................................ vi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 4
D. Manfaat Penelitian ........................................................................................... 4
BAB II KAJIAN TEORITIS............................................................................................... 6
A. Penguasaan Konsep ....................................................................................... 6
B. Model Pembelajaran Konstruktivisme .......................................................... 8
C. Pembelajaran IPA SD .................................................................................... 17
D. Hasil Penelitian yang Relevan......................................................................... 20
E. Kerangka Berpikir ......................................................................................... 21
F. Definisi Operasional ...................................................................................... 22
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................................................................. 23
A. Metode Penelitian ............................................................................................ 23
B. Lokasi dan Subjek Penelitian ........................................................................ 25
C. Instrumen Penelitian ........................................................................................ 25
D. Pengolahan dan Analisis Data ....................................................................... 26
E. Indikator Keberhasilan PTK .......................................................................... 28
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...................................................... 29
A. Deskripsi Penelitian ....................................................................................... 29
B. Hasil Penelitian................................................................................................ 30
C. Pembahasan Hasil Penelitian........................................................................... 33
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ 36
A. Kesimpulan .................................................................................................... 36
B. Saran .............................................................................................................. 36
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 37
LAMPIRAN ......................................................................................................................... 40

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu pengetahuan alam atau sains, merupakan bagian integral dari pendidikan dan
tujuan pendidikan merupakan tujuan sains (Holbrook dan Rannikmae, 2010, hlm. 6). Salah
satu tujuan pembelajaran sains adalah untuk membantu siswa mengembangkan pemahaman
tentang konsepsi ilmiah yang secara umum sesuai dengan pandangan sains (Calik, dkk., 2007,
hlm. 1). Selanjutnya, Ceylan (dalam Ultay, dkk., 2014, hlm. 2) mengemukakan bahwa
tanggung jawab pendidikan sains yaitu membantu siswa memahami dunia alam,
menggunakan keterampilan yang sesuai dan proses ilmiah, untuk mengembangkan
kompetensi mereka.
Senada dengan pendapat di atas, Sutton (dalam Eskilsson & Helldèn, 2003, hlm. 291)
menjelaskan bahwa pembelajaran sains merupakan bentuk pengelolaan untuk menggunakan
pengetahuan sains dalam membahas fenomena sehari-hari dengan cara yang berbeda. Ketika
anak-anak mulai mengenal sains, mereka telah membangun sebuah pemikiran sederhana yang
memungkinkan mereka untuk memberikan penjelasan terhadap fenomena sehari-hari dan
untuk membuat prediksi tentang perilaku objek fisik (Vosniadou & Skopeliti, 2013, hlm.2).
Sains menjadi wahana bagi siswa untuk pengetahuannya dengan cara yang aktif.
Mengingat pentingya pembelajaran sains seperti yang dikemukakan di atas, maka
seyogyanya proses pembelajaran sains di sekolah dilaksanakan sesuai dengan Permendiknas
No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, yang menyatakan bahwa pendidikan IPA diharapkan
dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar,
serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-
hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk
mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah.
Dengan demikian belajar IPA merupakan proses konstruktif yang menghendaki partisipasi
aktif dari siswa (Piaget dalam Samatowa, 2010, hlm.54).
Pada kenyataannya, kondisi pembelajaran sains yang terjadi di sekolah menunjukkan
pembelajaran yang masih dikategorikan sebagai pembelajaran yang berpusat pada guru
(teacher centered). Guru mendominasi proses pembelajaran, sementara siswa lebih banyak
diam dan mendengarkan penjelasan dari guru. Hal ini mengakibatkan kurangnya kontribusi
siswa selama pembelajaran di kelas, yang pada akhirnya pembelajaran menjadi tidak kreatif

1
dan kurang efektif. Finkelstein (2001, hlm.1) mengemukakan bahwa sains merupakan mata
pelajaran yang sangat kreatif, tetapi aspek kreatif sains ini sering kali diabaikan.
Hasil wawancara dengan guru kelas V SDN X diperoleh informasi bahwa proses
pembelajaran dilaksanakan dengan interaksi yang lebih kuat pada satu arah, siswa hanya
disuruh membaca buku, kemudian guru menjelaskan materi yang dibahas, sehingga potensi
dan motivasi siswa terhadap suatu pembelajaran kurang bahkan tidak muncul, sehingga pada
proses pembelajaran siswa hanya diam tanpa ada keinginan untuk melibatkan diri dalam
proses belajar mengajar. Guru mengorganisasikan siswa secara klasikal sehingga suasana
pembelajaran kurang menarik perhatian siswa, siswa terlihat jenuh dan bosan. Ketika
membahas materi, tidak terlihat adanya upaya guru untuk mengembangkan kegiatan diskusi
kelompok maupun kegiatan kelas, target keberhasilan pengajaran IPA yang diterapkan guru
cenderung lebih mengarah agar siswa terampil mengerjakan soal-soal ujian. Pembelajaran
seperti ini jelas menjadi kurang bermakna sehingga anak setelah keluar kelas, mereka akan
cepat lupa dengan apa yang telah dipelajarinya di kelas.
Salah satu akibat dari pembelajaran di atas yaitu siswa sulit menguasai konsep-konsep
dari materi yang diajarkan karena hanya menerima secara pasif semua materi. Konsep-konsep
IPA yang bersifat abstrak diajarkan melalui metode ceramah sehingga siswa SD yang berada
pada tahap berpikir konkrit sulit memahaminya. Karena pada tahap tersebut, siswa baru dapat
berpikir jika dihadapkan pada hal-hal yang konkrit, nyata dan dapat dikenali dengan panca
indera. Hal ini sesuai dengan pendapat Ozkan & Sekcuk (2015) yang mengemukakan bahwa
pembelajaran konvensional menyebabkan rendahnya penguasaan konsep siswa. Selain itu,
pembelajaran juga seringkali tidak menggali pengetahuan awal siswa terhadap materi
pembelajaran. Hailikari (2009, hlm. 3) mengatakan bahwa pengetahuan awal yang baik akan
membantu proses pembelajaran di kelas untuk memperoleh hasil belajar yang lebih baik.
Rendahnya penguasaan konsep siswa ditunjukkan pada kurangnya kemampuan siswa
dalam mendefinisikan konsep, mengidentifikasi, dan memberikan contoh atau bukan contoh
konsep, menyajikan kembali konsep-konsep tersebut ke dalam bentuk yang mudah dipahami
dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini diperkuat dengan analisis hasil
tes siswa yang merepresentasikan kurang penguasaan konsep siswa karena sebagian besar
memperoleh nilai di bawah KKM.
Tingkat penguasaan konsep yang rendah juga terjadi pada materi tentang kalor.
Sebanyak 60% siswa kelas V di SDN X memperoleh nilai ulangan di bawah KKM. Siswa
mengalami kesulitan dalam menangkap pengertian-pengertian dalam materi kalor seperti
konduksi, konveksi, dan radiasi serta pengaruh perpindahan kalor terhadap wujud benda.

2
Siswa belum mampu mengungkapkan suatu materi yang disajikan ke dalam bentuk yang lebih
mudah untuk dipahami, memberikan interpretasi, dan mengaplikasikannya.
Untuk mengatasi rendahnya penguasaan konsep siswa seperti yang dikemukakan di atas,
diperlukan rancangan pembelajaran yang dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk
secara aktif mengkontruksi pengetahuannya melalui pembelajaran yang bersifat nyata,
mengutamakan proses, serta menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial
sehingga pembelajaran menjadi bermakna. Pembelajaran yang bermakna akan berdampak
pada lebih kuatnya ingatan yang mendukung pada penguasaan konsep-konsep pembelajaran.
Salah satu rancangan yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkontruksi
pengetahuannya adalah dengan menerapkan model konstruktivisme.
Model konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang
menyatakan bahwa dalam proses belajar (perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya
konflik kognitif. Konflik kognitif ini hanya dapat diatasi melalui pengetahuan diri (self-
regulation). Menurut Driver dan Leach pada akhir proses belajar, pengetahuan akan dibangun
sendiri oleh peserta didik melalui pengalamannya dari hasil interaksi dengan lingkungannya
(dalam Karli, 2007, hlm.25).
Model konstruktivisme lebih menekankan pada penerapan konsep belajar dengan
melakukan (Learning by Doing), maksudnya adalah siswa belajar sesuatu melalui kegiatan
manual. Dengan demikian model konstruktivisme lebih menekankan pada bagaimana siswa
belajar melalui interaksi sosial dan menemukan konsep melalui penyelidikan, pengumpulan
data, penginterpretasian data melalui suatu kegiatan yang dirancang oleh guru. Melalui model
pembelajaran konstruktivisme ini, siswa dapat mencari pengetahuan sendiri melalui suatu
kegiatan pembelajaran seperti pengamatan, percobaan, diskusi, tanya jawab, dan membaca
buku.
Kegiatan belajar dalam pandangan konstruktivisme lebih menekankan pada segi
prosesnya daripada segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta. Proses belajar secara
konseptual jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang
berlangsung dari satu arah dari luar ke dalam diri sisiwa, melainkan sebagai pemberian makna
oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara
pada pemutakhiran struktur kognitifnya. Penerapan model konstruktivisme yang tidak hanya
berorientasi pada hasil pembelajaran, tetapi juga berorientasi pada proses pembelajarannya.
Mengacu pada uraian tersebut, peneliti mengangkat judul penelitian tentang “Penerapan
Model Pembelajaran Konstruktivisme untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Siswa pada
Materi Kalor di Kelas V di SDN X Kota Cimahi”.

3
B. Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
“Bagaimana penerapan model pembelajaran konstruktivisme dapat meningkatkan penguasaan
konsep siswa di sekolah dasar?” Rumusan tersebut diuraikan menjadi pertanyaan penelitian
yang menjadi fokus penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana perencanaan pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran
konstruktivisme untuk meningkatkan penguasaan konsep siswa pada materi kalor di kelas
V di sekolah dasar?
2. Bagaimana pelaksanaan pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran
konstruktivisme untuk meningkatkan penguasaan konsep siswa pada materi kalor di kelas
V di sekolah dasar?
3. Bagaimana penguasaan konsep siswa setelah penerapan model pembelajaran
konstruktivisme untuk meningkatkan penguasaan konsep siswa pada materi kalor di kelas
V di sekolah dasar?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan adalah
“Mendeskripsikan penerapan model pembelajaran konstruktivisme dapat meningkatkan
penguasaan konsep siswa di sekolah dasar”. Adapun tujuan rinci dari penelitian ini sebagai
berikut:
1. Mendeskripsikan perencanaan pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran
konstruktivisme untuk meningkatkan penguasaan konsep siswa pada materi kalor di kelas
V di sekolah dasar.
2. Mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran
konstruktivisme untuk meningkatkan penguasaan konsep siswa pada materi kalor di kelas
V di sekolah dasar.
3. Mendeskripsikan penguasaan konsep siswa setelah penerapan model pembelajaran
konstruktivisme untuk meningkatkan penguasaan konsep siswa pada materi kalor di kelas
V di sekolah dasar.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan informasi tentang penerapan model pembelajaran konstruktivisme dalam
meningkatkan penguasaan konsep siswa.

4
b. Memberikan informasi mengenai pembelajaran aktif yang dapat menjadi
pertimbangan bagi pengajar di lapangan dalam menerapkan model pembelajaran.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkontruksi pengetahuannya secara
aktif melalui pengalaman nyata sehingga bermakna, yang pada akhirnya dapat
meningkatkan penguasaan konsepnya.
b. Memberikan informasi dan gambaran pada guru mengenai model pembelajaran
konstruktivisme untuk meningkatkan penguasaan konsep siswa. Sehingga dapat
menjadi alternatif pembelajaran yang dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas
pembelajaran.
c. Dapat digunakan sebagai bahan rujukan bagi peneliti yang dapat memberikan manfaat
dalam memperkuat landasan teori yang dibutuhkan dalam penelitiannya baik dengan
yang materi yang sama maupun berbeda.

5
BAB II
KAJIAN TEORITIS

A. Penguasaan Konsep
1. Pengertian Penguasaan Konsep
Penguasaan berasal dari kata kuasa yang berarti kemampuan, kesanggupan atau
wewenang (untuk berbuat sesuatu), sedangkan definisi penguasaan adalah perbuatan untuk
menguasai (Poerwadarminta, 2006). Penguasaan adalah suatu proses, cara, atau perbuatan
menguasai atau menguasakan, pemahaman atau kesanggupan untuk menggunakan
pengetahuan, kepandaian. Kata penguasaan juga dapat diartikan kemampuan seseorang dalam
sesuatu hal (KBBI, 2003, hlm. 604).
Konsep oleh Trianto (2011) adalah sebuah abstraksi dari serangkaian pengalaman yang
didefinisikan sebagai sekelompok objek atau peristiwa. Abstraksi berarti suatu proses yang
dilakukan berfokus pada situasi tertentu seseorang dengan mengambil unsur-unsur tertentu.
Sedangkan menurut Soedjadi (2000, hlm.14), konsep adalah ide abstrak yang dapat digunakan
untuk mengadakan klasifikasi atau penggolongan yang pada umumnya dinyatakan dengan
suatu istilah atau rangkaian kata.
Konsep diartikan sebagai sesuatu yang diterima dalam pikiran atau suatu gagasan yang
umumdan abstrak (Rustaman, 2005). Menurut Rosser (dalam Dahar, 2003), konsep adalah
suatu abstraksi yang mewakili satu kelas objek-objek, kejadian-kejadian, kegiatan-kegiatan,
atau hubungan-hubungan, yang mempunyai atribut-atribut yang sama. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa suatu konsep merupakan suatu abstraksi mental yang mewakili satu
kelas stimulus-stimulus. Setiap orang memiliki stimulus-stimulus yang berbeda-beda, dan
orang membentuk konsep sesuai dengan pengelompokan stimulus-stimulus dengan cara
tertentu serta pengalamannya masing-masing. Kita menyimpulkan bahwa suatu konsep telah
dipelajari bila yang diajar dapat menampilkan perilaku-perilaku tertentu (Dahar, 2003).
Putra dan Sudargo (2014, hlm.122) menjelaskan tentang penguasaan konsep sebagai
berikut:
Penguasaan konsep merupakan proses interaksi konsep lama berdasarkan pengetahuan
sebelumnya menjadi konsep baru, untuk mendapatkan penjelasan yang valid. Siswa
dikatakan menguasai konsep-konsep ketika mereka mampu
menggambarkan/menjelaskan secara umum melalui diagram/grafik, mampu
memberikan pernyataan/penjelasan, dan mampu memprediksi sesuatu.

Bloom (dalam Gusriana, dkk., 2014, hlm. 96) menjelaskan bahwa penguasaan konsep
adalah kemampuan menangkap pengertian-pengertian agar mampu mengungkapkan suatu

6
materi yang disajikan ke dalam bentuk yang lebih mudah untuk dipahami, memberikan
interpretasi, dan mampu mengaplikasikannya. Senada dengan pendapat tersebut, Maknun
(2015) mengemukakan bahwa siswa dikatakan menguasai konsep jika ia mampu
mendefinisikan konsep, mengidentifikasi, dan memberikan contoh atau bukan contoh konsep,
sehingga dengan kemampuan ini siswa mengambil konsep-konsep dalam bentuk lain yang
tidak sama sebagai buku teks. Selanjutnya Usman (dalam Syafi’i, dkk., 2011) menyatakan
bahwa penguasaan konsep dapat diartikan sebagai kemampuan memahami makna materi,
memadukan konsep dan mampu menggunakan atau menerapkan materi yang sudah dipelajari.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penguasaan konsep
merupakan kemampuan siswa dalam memahami konsep sehingga mampu menyajikan
kembali konsep-konsep tersebut ke dalam bentuk yang mudah dipahami dan mampu
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Penguasaan konsep sangat penting dimiliki
oleh setiap siswa setelah melakukan pembelajaran karena dapat digunakan untuk
menyelesaikan suatu permasalahan yang berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh siswa.
Penguasaan konsep oleh siswa tidak hanya pada mengenal sebuah konsep tetapi siswa dapat
menghubungkan antara satu konsep dengan konsep lainnya dalam berbagai situasi.
2. Indikator Penguasaan Konsep
Indikator penguasaan konsep menurut Bloom (Anderson & Krathwohl, 2011) meliputi
semua jenjang kognitif mulai dari mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis,
mengevaluasi, dan menciptakan/ membuat. Selanjutnya menurut Klausner (Maknun, 2015)
pada umumnya, berdasarkan aspek kognitif, penguasaan konsep sebagai berikut:
1) C1: Mengingat: mengingat informasi yang tersimpan dalam memori jangka panjang.
Mengingat adalah proses kognitif yang paling tingkat rendah;
2) C2: Pemahaman: membangun makna atau pemahaman berdasarkan pengetahuan
sebelumnya dimiliki, menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang
dimiliki, mengintegrasikan pengetahuan baru ke pengetahuan yang telah dimiliki
mengintegrasikan pengetahuan baru ke dalam skema yang ada dalam pemikiran
siswa. Pengetahuan konseptual merupakan dasar untuk pemahaman menyebabkan
kompiler skema adalah sebuah konsep
3) C3: Menerapkan: mencakup penggunaan prosedur untuk memecahkan masalah atau
tugas. Dalam rangka bahwa penerapan erat kaitannya dengan pengetahuan
prosedural. Tapi itu tidak berarti bahwa kategori ini hanya sesuai untuk pengetahuan
prosedural;
4) C4: Menganalisis: menjelaskan masalah atau objek untuk unsur-unsur dan
menentukan keterkaitan antara unsur-unsur dan jumlah struktur;
5) C5: Mengevaluasi: membuat penilaian berdasarkan ada kriteria dan standar;
6) C6: Membuat: untuk menggabungkan beberapa unsur menjadi bentuk terpadu.
Pembuatan mencakup kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang baru melalui
pengorganisasian beberapa elemen atau bagian dari pola atau struktur yang
sebelumnya tidak tampak.

7
Penguasaan konsep pada penelitian yang akan dilaksanakan, meliputi enam aspek ranah
kognitif yaitu C1, C2, C3, C4, C5, dan C6. Keenam aspek kognitif tersebut diprediksi dapat
meningkat dengan menerapkan model pembelajaran konstruktivisme. Hal ini sesuai dengan
pendapat Santrock (dalam Putra, dkk, 2014) penguasaan konsep dipengaruhi oleh faktor
psikologis, yaitu faktor kecerdasan, perhatian, minat, bakat, motivasi, kematangan dan
kelelahan. Selain itu, penguasaan siswa konsep juga dipengaruhi oleh model pembelajaran.
Model pembelajaran yang tepat dapat membuat konsep-konsep ini dapat bertahan lama dalam
memori siswa. Jadi diharapkan melalui model konstruktivisme dapat meningkatkan
penguasaan konsep siswa.

B. Model Pembelajaran Konstruktivisme


1. Pengertian Model Pembelajaran Konstruktivisme
Konsruktivisme berasal dari kata konstruktiv dan isme. Dalam Kamus Bahasa Indonesia,
konstruktiv berarti bersifat membina, memperbaiki, dan membangun. Sedangkan -isme berarti
paham atau aliran. Menurut Von Glaserfeld (dalam Pannen, dkk., 2001, hlm. 3),
konstruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan
kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri. Senada dengan hal tersebut, Poedjiadi (2005,
hlm.7) berpendapat bahwa konstruktivisme bertitik tolak dari pembentukan pengetahuan, dan
rekonstruksi pengetahuan adalah mengubah pengetahuan yang dimiliki seseorang yang telah
dibangun sebelumnya dan perubahan itu sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungannya.
Cruickshank, dkk. (2006, hlm. 255) mengemukakan pendapat mengenai
konstruktivisme sebagai berikut:
Constructivism is a way of teaching and learning that intends to maximize student
understanding”.(Konstruktivisme adalah suatu cara dalam pengajaran dan pembelajaran
yang tujuannya adalah untuk memaksimalkan pemahaman siswa).

Berdasarkan pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa model konstruktivisme


adalah suatu proses belajar dimana siswa sendiri aktif secara mental membangun
pengetahuannya, dengan dilandasi struktur kognitif yang dimilikinya. Konstruktivisme
sebagai landasan paradigma pembelajaran, menyerukan perlunya partisipasi aktif siswa dalam
proses pembelajaran, perlunya pengembangan siswa belajar mandiri, dan perlunya siswa
memiliki kemampuan untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri.

8
2. Pembentukan Pengetahuan Menurut Konstruktivisme
Von Glaserfeld (dalam Suparno, 2010, hlm.18) mengatakan gagasan konstruktivisme
mengenai pengetahuan sebagai berikut:
Pengetahuan bukanlah suatu tiruan kenyataan. Pengetahuan selalu merupakan akibat
dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui interaksi seseorang dengan lingkungan.
Seseorang membentuk skema, kategori, konsep, dan struktur pengetahuan yang
diperlukan untuk pengetahuan. Proses pembentukan ini berjalan terus-menerus dengan
setiapkali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru.

Pengetahuan dalam pandangan konstruktivisme merupakan konstruksi (bentukan)


manusia melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungan
(dalam Suparno, 2010, hlm.28). Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari seseorang (guru)
kepada orang lain (siswa), karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang
diketahuinya. Senada dengan pendapat tersebut, Piaget (dalam Yamin, 2012, hlm.15)
mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan
melalui tindakan. Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian atau pengetahuan
secara aktif dan terus-menerus (Suparno, 2010).
Pengetahuan dalam pandangan konstruktivisme bukan sesuatu yang sudah jadi tetapi
merupakan suatu proses kontruksi yang berkembang terus-menerus melalui pengalaman dan
interaksi dengan lingkungan. Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja tetapi harus
dikonstruksi dan diinterprestasikan oleh individu pembelajar. Piaget (dalam Suparno, 2010,
hlm.30) menyatakan bahwa pengetahuan itu pada dasarnya adalah teori adaptasi pikiran ke
dalam suatu realitas. Proses adaptasi ini dilalui dua proses, yaitu asimilasi dan akomodasi
untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema yang baru. Sejalan
dengan pendapat tersebut, Piaget (dalam Yamin, 2012, hlm.15) menegaskan bahwa
perkembangan pengetahuan merupakan proses berkesinambungan tentang keadaaan ketidak-
seimbangan dan keadaan keseimbangan.
Menurut Piaget (dalam Suparno, 2010, hlm. 31), asimilasi adalah proses kognitif di
mana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema
atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya. Asimilasi dapat dipandang sebagai suatu
proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan yang
baru ke dalam skema yang sudah ada. Akomodasi merupakan proses kognitif ketika seseorang
menghadapi rangsangan atau pengalaman yang baru. Seseorang tidak dapat mengasimilasikan
pengalaman yang baru itu dengan skema yang telah dia miliki. Keadaan seperti itu, orang
tersebut akan mengadakan akomodasi yaitu dengan cara membentuk skema baru yang dapat
cocok dengan rangsangan yang baru dan kemudian memodifikasi skema yang sudah ada,

9
sehingga cocok dengan rangsangan itu. Pengertian lain tentang akomodasi (dalam Suparno,
2010, hlm. 7) adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru atau
memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.
Konflik kognitif tersebut terjadi saat interaksi antara konsepsi awal yang telah dimiliki
peserta didik dengan fenomena baru yang dapat diintegrasikan begitu saja, sehingga
diperlukan perubahan struktur kognitif untuk mencapai keseimbangan. Perolehan
pengetahuan peserta didik diawali dengan diadopsinya hal baru sebagai hasil interaksi dengan
lingkungannya. Kemudian hal baru tersebut dibandingkan dengan konsepsi awal peserta
didik, maka akan terjadi konflik kognitif yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan
dalam struktur kognisinya. Melalui proses akomodasi dalam kegiatan pembelajaran, peserta
didik dapat memodifikasi struktur kognisinya menuju keseimbangan sehingga terjadi
asimilasi. Menurut Driver & Leach pada akhir proses belajar, pengetahuan akan dibangun
sendiri oleh peserta didik melalui pengalamannya dari hasil interaksi dengan lingkungannya
(Karli, 2007, hlm. 25).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembentukan pengetahuan
menurut konstruktivisme bahwa pada setiap individu telah terdapat sejumlah skema yang dia
peroleh melalui pengalamannya terdahulu. Pada suatu keadaan ketika dia berhadapan dengan
informasi atau pengalaman baru, maka akan terjadi pemilahan. Jika terdapat kesesuaian antara
informasi yang baru tersebut dengan skema yang sudah ada, maka akan terjadi asimilasi yakni
proses kognitif di mana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep atau pengalaman baru
ke dalam skema yang sudah ada. Tetapi jika informasi baru tersebut tidak dapat
diasimilasikan ke dalam skema yang sudah ada maka terjadilah ketidakseimbangan
(diequilibrium) berupa ketidakpuasan yang diakibatkan pertentangan antara informasi baru
yang diterima dengan struktur kognitif yang dimilikinya (konflik kognitif).
Karli (2007, hlm. 26) menegaskan pemikiran Piaget dengan mengemukakan bahwa
terjadinya proses modifikasi struktur kognitif pada peserta didik terjadi dalam dua
kemungkinan. Hal tersebut dapat dilihat pada bagan berikut:

10
Hal baru
(Hasil Interaksi dengan
Lingkungan

SKEMA

Dibandingkan dengan konsepsi


awal

Tidak Cocok Akomodasi Cocok

Katidakseimbangan Cocok

Jalan Buntu (tidak


Keseimbangan Asimilasi
mengerti

Bagan 1
Proses Modifikasi Struktur Pengetahuan
Stonebridge (Karli, 2007, hlm. 3)

Orientasi proses pembelajaran konstruktivisme yakni siswalah yang harus mendapatkan


penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukannya guru
atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan
belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan
membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa (Suparno, 2010, hlm.
81).
Penekanan konstruktivisme menurut Tasker (dalam Yamin, 2012, hlm. 15) yaitu peran
aktif siswa dalam mengkontruksi pengetahuan, kaitan antara gagasan dalam pengkontruksian
secara bermakna, dan mengaitkan gagasan dengan informasi baru yang diterima. Proses
pembelajaran menciptakan pengetahuan dan pengalaman siswa lebih bermakna dan akan
bertahan lama dalam pikiran siswa, kemudian dapat mengimplementasikannya (Yamin, 2012,
hlm. 16).
3. Prinsip-prinsip Model Konstruktivisme
Menurut Wheathley (dalam Yamin, 2012, hlm. 15) menyebutkan dua prinsip utama
dalam pembelajaran konstruktivistik yaitu: pengetahuan tidak diperoleh secara pasif, tetapi
secara aktif oleh struktur kognitif peserta didik. Fungsi kognitif bersifat adaptif dan membantu
pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Yamin (2013, hlm. 24) mengemukakan prinsip-prinsip dasar konstruktivisme yaitu:
11
1) Peserta didik membangun interprestasi dirinya terhadap dunia nyata melalui
pengalaman-pengalaman baru dan interaksi sosial.
2) Pengetahuan yang melekat dapat dipergunakan (memahami kenyataan).
3) Fleksibel mempergunakan pengetahuan.
4) Mempercayai individu dapat memaknai kehidupan di dunia secara bebas.

Berdasarkan pendapat di atas disimpulkan bahwa prinsip konstruktivisme menekankan


pada keaktifan siswa untuk mengkontruksi pengetahuannya sendiri melalui pengalaman
nyata.
4. Karakteristik Model Pembelajaran Konstruktivisme
Karakteristik pembelajaran kontruktivisme menurut Slavin (2009, hlm. 15) ada 4 yaitu
sebagai berikut:
1) Proses Top-Down yang berarti bahwa peserta didik mulai dengan masalah-masalah
yang kompleks untuk dipecahkan dan selanjutnya memecahkan atau menemukan
(dengan bantuan pendidik) keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan.
2) Pembelajaran kooperatif yaitu peserta didik akan lebih mudah menemukan dan
memahami konsep-konsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan masalah
tersebut dengan temannya.
3) Generative learning (pembelajaran generatif) yaitu belajar itu ditemukan meskipun
apabila pendidik menyampaikan sesuatu kepada peserta didik yang harus melakukan
operasi mental dengan informasi yang masuk ke dalam pemahaman peserta didik.
4) Pembelajaran dengan penemuan yaitu peserta didik di dorong untuk belajar sebagian
besar melalui keterlibatan aktif peserta didik dengan konse-konsep dan prinsip-
prinsip dan pendidik mendorong peserta didik untuk memiliki pengalaman dan
melakukan percobaan yang memungkinkan dalam menemukan prinsip-prinsip untuk
peserta didik.

Menurut pendapat Nur (2001, hlm. 4) dijelaskan bahwa karakteristik model


konstruktivisme adalah sebagai berikut:
“Model konstruktivisme dalam pengajaran lebih menekankan pada pengajaran top-down
daripada bottom-up. Top-down berarti bahwa peserta didik mulai dengan masalah-
masalah yang kompleks untuk dipecahkan dan selanjutnya memecahkan atau
menemukan (dengan bantuan pendidik) keterampilan-keterampilan dasar yang
diperlukan. Top-down ini berlawanan dengan Bottom-up tradisional di mana
keterampilan-keterampilan dasar secara bertahap dilatihkan untuk mewujudkan
keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks”.

Dalam pengajaran top-down, peserta didik mulai dengan suatu tugas yang kompleks,
lengkap dan autentik, artinya bahwa tugas-tugas itu bukan merupakan bagian atau
penyederhanaan dari tugas-tugas yang akhirnya diharapkan dapat dilakukan peserta didik
melainkan tugas itu merupakan tugas yang sebenarnya. Model konstruktivisme bekerja
dengan arah yang sebaliknya, dimulai dengan masalah (sering muncul dari peserta didik

12
sendiri) dan selanjutnya membantu peserta didik menyelesaikan bagaimana menemukan
langkah-langkah memecahkan masalah tersebut. (Nur, 2001, hlm. 5).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik model
konstruktivisme adalah sebagai berikut: (1) Proses top down; (2) Pembelajaran kooperatif; (3)
Pembelajaran generatif; (4) Pembelajaran dengan menemukan.
5. Tujuan Model Pembelajaran Konstruktivisme
Yamin (2013: 25) mengemukakan bahwa tujuan model pembelajaran konstruktivisme
sebagai berikut:
1) Membangun penafsiran diri terhadap dunia nyata melalui pengalaman-pengalaman
dan interaksi.
2) Belajar merupakan proses aktif untuk membangun pengetahuan.
3) Pengajaran adalah satu proses membangunkan pengetahuan dan mengkomunikasikan
pengetahuan.
4) Belajar terstruktur tidak merupakan suatu tugas, tetapi meminta peserta didik
mempergunakan piranti secara aktual dalam situasi dunia nyata. Belajar aktif yang
harus dilaksanakan secara autentik dan berpusat pada “masalah” atau “teka-teki”
yang dirasakan oleh peserta didik.
5) Fokus pembelajaran pada proses, tidak pada hasil.
6) Peran pembelajar sebagai seorang mentor, bukan seorang “tukang cerita”.
7) Penilaian yang mendorong memunculkan gagasan dan cara pandang.

Menurut Bettencourt (Suparno, 2012, hlm. 21), konstruktivisme tidak bertujuan


mengerti realitas tetapi lebih hendak melihat bagaimana kita menjadi tahu akan sesuatu.
Tujuan mengetahui sesuatu bukan untuk menemukan realitas, tujuannya lebih adaptif, yaitu
untuk mengorganisasikan pengetahuan yang cocok dengan pengalaman hidup manusia,
sehingga dapat digunakan bila berhadapan dengan tantangan dan pengalaman baru. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan model pembelajaran konstruktivisme adalah
membangun penafsiran diri terhadap dunia nyata melalui pengalaman dan interaksi sehingga
belajar merupakan proses aktif. Pembelajaran tidak bertujuan untuk mencari realitas, tetapi
untuk mengorganisasikan pengetahuan yang cocok dengan pengalaman hidup.
6. Tahapan Model Pembelajaran Konstruktivisme
Samatowa (2010, hlm. 58) menyebutkan tahapan model pembelajaran konstruktivisme
sebagai berikut:
1) Fase Eksplorasi; guru memancing pengetahuan awal siswa mengenai materi yang
akan dipelajari pada saat itu.
2) Fase Klarifikasi; informasi berupa pengetahuan awal siswa diperdalam agar bisa
menambah pengetahuan siswa mengenai materi yang dipelajari
3) Fase Aplikasi; guru mengevaluasi kegiatan pembelajaran yang telah dipelajari agar
bisa mengetahuai apakah perencanaan sesuai dengan pelaksanaan.

13
Tahapan belajar mengajar konstruktivisme menurut Mulyasa (2006, hlm. 243) adalah
sebagai berikut:
1) Pemanasan-apersepsi
a) Pembelajaran dimulai dengan hal-hal yang diketahui dan dipahami peserta didik.
b) Motivasi peserta didik dengan bahan ajar yang menarik dan berguna bagi peserta
didik.
c) Peserta didik didorong agar tertarik untuk mengetahui hal-hal yang baru.
2) Eksplorasi
a) Materi/keterampilan baru dikenalkan
b) Kaitkan materi ini dengan pengetahuan yang sudah ada pada peserta didik.
c) Cari metodologi yang paling tepat dalam meningkatkan penerimaan peserta didik
akan materi baru tersebut.
3) Konsolidasi pembelajaran
a) Libatkan peserta didik secara aktif dalam menafsirkan dan memahami materi
ajaran baru.
b) Libatkan siswa secara aktif dalam problem solving.
c) Letakkan penekanan pada kaitan struktural, yaitu kaitan antara materi ajar yang
baru dengan berbagai aspek kegiatan/kehidupan di dalam lingkungan.
d) Cari metodologi yang paling tepat sehingga materi ajar dari dapat terproses
menjadi bagian dari pengetahuan peserta didik.
4) Pembentukan sikap dan perilaku
a) Peserta didik didorong untuk menerapkan konsep/pengertian yang dipelajarinya
dalam kehidupan sehari-hari.
b) Peserta didik membangun sikap dan perilaku baru dalam kehidupan sehari-hari
berdasarkan pengertian yang dipelarjari.
c) Cari metodologi yang paling tepat agar terjadi perubahan pada sikap dan perilaku
peserta didik.
5) Penilaian formatif
a) Kembangkan cara-cara untuk menilai hasil pembelajaran peserta didik.
b) Gunakan hasil penilaian tersebut untuk melihat kelemahan atau kekurangan
peserta didik dan masalah- masalah yang dihadapi guru.
c) Cari metodologi yang paling tepat yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

Karli (2007, hlm. 27) memberikan gambaran implikasi model pembelajaran


kontruktivisme dalam pembelajaran meliputi empat tahapan (syntaks) yaitu :
1) Tahap Apersepsi; Pada fase ini peserta didik didorong agar mengemukakan
pengetahuan awalnya tentang konsep yang akan dibahas. Bila perlu pendidik
memancing dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan problematik tentang
fenomena yang sering ditemui sehari-hari dengan mengaitkan konsep yang akan
dibahas. Peserta didik diberikan kesempatan untuk mengkomunikasikan,
mengilustrasikan pemahamannya tentang konsep itu.
2) Tahap Eksplorasi; Pada fase ini peserta didik diberi kesempatan untuk menyelidiki
dan menemukan konsep melalui pengumpulan, pengorganisasian dan
menginterpretasikan data dalam suatu kegiatan yang telah dirancang oleh pendidik.
Secara keseluruhan tahap ini akan memenuhi rasa keingintahuan peserta didik
tentang fenomena alam sekelilingnya.
3) Tahap Diskusi dan Penjelasan Konsep; Pada fase ini peserta didik memberikan
penjelasan dan solusi yang didasarkan pada hasil observasinya ditambah dengan

14
penguatan dari pendidik. Maka pada tahap ini peserta didik akan membangun
pemahaman baru tentang konsep yang dipelajarinya.
4) Tahap Pengembangan dan Aplikasi; Pada fase ini pendidik berusaha menciptakan
iklim pembelajaran yang memungkinkan peserta didik dapat mengaplikasikan
pemahaman konseptualnya, baik melalui kegiatan atau pemunculan masalah-masalah
yang ada di lingkungannya. Selain itu penerapan disini dapat dilakukan dengan cara
menyebutkan atau menjawab persoalan yang diberikan sekaligus menguji
keunggulan pendapat yang diajukan. Ide atau pengetahuan yang telah dibentuk
peserta didik perlu diaplikasikan pada macam-macam situasi yang dihadapi. Ini
dilakukan agar pengetahuan yang dimiliki peserta didik menjadi lengkap.

Tytler (dalam Samatowa, 2010, hlm. 57) menyatakan bahwa setiap model memiliki
fase-fase dengan istilah yang berbeda, tetapi pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu:
(1) Menggali gagasan siswa, (2) Mengadakan klarifikasi dan perluasan terhadap gagasan
tersebut, kemudian (3) Merefleksikannya secara eksplisit. Penelitian ini menerapkan model
konstruktivisme melalui empat tahapan yaitu tahapan fase apersepsi, fase eksplorasi, fase
diskusi dan penjelasan konsep, dan fase pengembangan dan aplikasi konsep.
7. Kelebihan Model Pembelajaran Konstruktivisme
Menurut Tytler (dalam Samatowa, 2010, hlm. 54), menyatakan beberapa kebaikan
pembelajaran berdasarkan konstruktivisme yaitu:
1) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan secara
eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa sendiri. Berbagi gagasan dengan
temannya. Dan mendorong siswa memberikan penjelasan tentang gagasannya.
2) Memberikan pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki
siswa atau rancangan kegiatan disesuaikan dengan gagasan awal siswa agar siwa
memperluas pengetahuan-pengetahuan mereka tentang fenomena dan memiliki
(diberi) kesempatan untuk merangkai fenomena. Sehingga siswa didorong untuk
membedakan untuk memebedakan dan memadukan gagasan tentang fenomena yang
menantang siswa.
3) Memberi kesempatan siswa untuk berpikir tentang pengalamannya agar siswa
berpikir kreatif, imajinatif, mendorong merefleksi tentang teori dan model,
mengenalkan gagasan IPA pada saat yang tepat.
4) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru agar siswa
terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri untuk menggunakan berbagai konteks
baik yang telah dikenal maupun yang baru dan akhirnnya memotivasi siswa untuk
menggunakan berbagai strategi belajar.
5) Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan-perubahan gagasan mereka setelah
menyadari kemampuan mereka serta memberi kesempatan untuk mengidentifikasi
perubahan gagasan mereka.
6) Memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang mendukung siswa
mengungkapakan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan selalu ada satu
“jawaban yang benar”.

Adapun Sidik (2008, hlm. 12) menegaskan bahwa kelebihan model pembelajaran
konstruktivisme adalah sebagai berikut:

15
1) Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan kesempatan kepada siswa
untuk mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa
sendiri, berbagi gagasan dengan temannya, dan mendorong siswa memberikan
penjelasan tentang gagasannya.
2) Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan pengalaman yang
berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa atau rancangan kegiatan
disesuaikan dengan gagasan awal siswa agar siswa memperluas pengetahuan mereka
tentang fenomena dan memiliki kesempatan merangkai fenomena, sehingga siswa
terdorong untuk membedakan dan memadukan gagasan tentang fenomena yang
menantang siswa.
3) Pembelajaran konstruktivisme memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang
pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong
refleksi tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasan pada saat yang tepat.
4) Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi kesempatan kepada siswa untuk
mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri
dengan menggunakan berbagai konteks, baik yang telah dikenal maupun yang baru
dan akhirnya memotivasi siswa untuk menggunakan berbagai strategi belajar.
5) Pembelajaran konstruktivisme mendorong siswa untuk memikirkan perubahan
gagasan mereka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan
siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.
6) Pembelajaran konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang
mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari
kesan selalu ada satu jawaban yang benar.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kelebihan model pembelajaran


konstruktivisme adalah (1) Memberikan kesempatan kepada siswa aktif untuk mengkontruksi
pengetahuannya; (2) Memberikan lingkungan belajar yang mendukung konstruksi
pengetahuan; dan (3) Memberikan pengalaman kepada siswa untuk membuktikan gagasan-
gagasannya.
8. Kelemahan Model Pembelajaran Konstruktivisme
Kelemahan model pembelajaran konstruktivisme menurut Karli (2007, hlm. 56) sebagai
berikut:
1) Siswa sudah terbiasa diberi informasi terlebih dahulu, maka siswa masih kesulitan
dalam menemukan jawaban sendiri.
2) Membutuhkan waktu yang lama, karena siswa harus membangun pengetahuannya
sendiri, terutama bagi siswa yang lemah pemikirannya.
3) Siswa yang pandai kadang-kadang tidak sabar untuk menanti temannya yang belum
menemukan jawaban.

Sidik (2008, hlm. 12) mengemukakan kelemahan model pembelajaran konstruktivisme


adalah sebagai berikut:
1) Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi
siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi para ilmuan sehingga menyebabkan
miskonsepsi.

16
2) Konstruktivisme menanamkan agar siswa membangun pengetahuannya sendiri, hal
ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan
yang berbeda-beda.
3) Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki
sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreatifitas siswa.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kelemahan model pembelajaran


konstruktivisme adalah sebagai berikut: (1) Membutuhkan waktu yang cukup lama; (2)
Adanya kemungkinan miskonsepsi; (3) Kemampuan siswa yang bervariasi memerlukan
teknik khusus dalam penanganannya; serta (4) Membutuhkan sarana dan prasarana yang
lengkap agar siswa aktif.
Dalam setiap model pembelajaran tentu memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-
masing. Untuk mengatasi kelemahan dari penerapan model pembelajaran konstruktivisme ini,
peneliti membuat rancangan pembelajaran yang efektif dan efisien, menggali pengetahuan
awal siswa untuk meminimalisir miskonsepsi, melatihkan keterampilan-keterampilan khusus
yang diperlukan, dan mempersiapkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan.

C. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar


1. Pengertian Pembelajaran IPA
Menurut Teaching and Learning Research Programme (TLRP, 2006, hlm. 8), sains
memiliki keunikan dibanding mata pelajaran lain di sekolah karena tujuan kurikulumnya
untuk menciptakan saintis di masa depan daripada menciptakan warga negara masa depan. Di
Indonesia, pengertian sains dijelaskan dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi bahwa IPA atau sains berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara
sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-
fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan.
Yulvianto (Khusniati, 2014, hlm. 68) mengemukakan bahwa ilmu sains adalah
pengetahuan yang diperoleh melalui pembelajaran dan pembuktian atau pengetahuan yang
melingkupi suatu kebenaran umum dari hukum-hukum alam yang terjadi misalnya didapatkan
dan dibuktikan melalui metode ilmiah. Sains dalam hal ini merujuk kepada sebuah sistem
untuk mendapatkan pengetahuan yang dengan menggunakan pengamatan dan eksperimen
untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi di alam. Toharudin,
dkk. (2011, hlm. 26) mengatakan bahwa IPA atau sains adalah pengetahuan yang
kebenarannya sudah diujicobakan secara empiris melalui metode ilmiah.IPA merupakan
pengetahuan yang diperoleh melalui pengumpulan data dengan eksperimen, pengamatan, dan

17
deduksi untuk menghasilkan suatu penjelasan tentang sebuah gejala yang dapat dipercaya
(Trianto, 2011, hlm. 151).
Berbeda dengan pendapat di atas, Sulistyorini (2007, hlm. 9) menyatakan bahwa IPA
dapat dipandang dari segi produk, proses dan pengembangan sikap. Artinya, belajar IPA
memiliki dimensi proses, dimensi hasil (produk) dan dimensi pengembangan sikap ilmiah.
Ketiga dimensi tersebut bersifat saling terkait. Ini berarti proses belajar mengajar IPA
seharusnya mengandung ketiga dimensi tersebut. Bundu (2006, hlm. 11) mengemukakan
bahwa sains secara garis besar atau pada hakikatnya IPA memiliki tiga komponen, yaitu
proses ilmiah, produk ilmiah, dan sikap ilmiah. Proses ilmiah adalah suatu kegiatan ilmiah
yang dilaksanakan dalam rangka menemukan produk ilmiah. Proses ilmiah meliputi
mengamati, mengklasifikasi, memprediksi, merancang, dan melaksanakan eksperimen
(Sulistyanto, dkk. 2008, hlm. 7). Produk ilmiah meliputi prinsip, konsep, hukum, dan teori.
Produk ilmiah berupa pengetahuan-pengetahuan alam yang telah ditemukan dan diuji secara
ilmiah. Sikap ilmiah merupakan keyakinan akan nilai yang harus dipertahankan ketika
mencari atau mengembangkan pengetahuan baru. Sikap ilmiah meliputi ingin tahu, hati-hati,
objektif, dan jujur.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa IPA tidak hanya terdiri atas
kumpulan pengetahuan atau berbagai macam fakta, IPA juga merupakan kegiatan atau proses
aktif menggunakan pikiran dalam mempelajari gejala-gejala alam yang belum dapat
direnungkan yang dapat menumbuhkan sikap ilmiah dan menuntut aplikasinya dalam
kehidupan. IPA pada hakikatnya merupakan proses ilmiah dalam mencari tahu tentang alam
semesta sehingga akan menghasilkan produk ilmiah dan mengembangkan sikap ilmiah.
Sehingga pembelajaran IPA di sekolah dapat berlangsung sesuai dengan fungsi IPA yang
dijelaskan dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006 bahwa pendidikan IPA diharapkan dapat
menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta
prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari.
Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk
mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah
(Depdiknas, 2006).
2. Tujuan Pembelajaran IPA
Menurut Harlen & Qualter (2004, hlm. 70), tujuan keseluruhan dari pendidikan sains
untuk semua anak adalah untuk mengembangkan literasi sains, yang berarti tingkat
kompetensi dalam memahami dan menggunakan pengetahuan sains yang diperlukan agar
dapat berfungsi secara efektif sebagai anggota masyarakat. Hal ini diperkuat pendapat

18
Wambugu dan Changeiywo (2007) yang mengatakan bahwa sains diakui secara luas sebagai
hal yang penting baik untuk kesejahteraan ekonomi dan kebutuhan warga akan melek ilmu.
Sehingga pengetahuan akan sains dan teknologi merupakan kebutuhan semua orang di semua
negara karena sains dapat digunakan untuk mengahadapi banyak tantangan.
Adapun tujuan pembelajaran IPA di SD berdasarkan Depdiknas (2006, hlm. 484)
dijelaskan sebagai berikut.
1) Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan
keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya
2) Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat
dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
3) Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya
hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan
masyarakat
4) Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan
masalah dan membuat keputusan
5) Meningkatkan kesadaran untuk berperanserta dalam memelihara, menjaga dan
melestarikan lingkungan alam
6) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai
salah satu ciptaan Tuhan
7) Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk
melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.

Muslichah (2006, hlm. 23) menambahkan bahwa pada prinsipnya pembelajaran IPA di
SD membekali siswa kemampuan berbagai cara untuk “mengetahui” dan “cara mengerjakan”
yang dapat membantu siswa dalam memahami alam sekitar.
3. Ruang Lingkup IPA
Ruang lingkup IPA berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Depdiknas,
2006, hlm. 485) adalah sebagai berikut.
1) Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan
interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan.
2) Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas.
3) Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya dan
pesawat sederhana.
4) Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda langit
lainnya.

Sesuai ruang lingkup di atas, maka materi kalor dalam penelitian ini termasuk ke dalam
benda dan materi. Materi yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan pada Kurikulum
2013 di kelas V dengan kompetensi dasar 3.6 Menerapkan konsep perpindahan kalor dalam
kehidupan sehari-hari.

19
D. Penelitian yang Relevan
1. Hasil Penelitian Rita Rahayu (2012)
Penelitian dengan judul “Penggunaan Model Konstruktivisme Untuk Meningkatkan
Hasil Belajar Siswa Pada Konsep Energi dan Perubahannya di Kelas II SDN Dayeuhkolot III
Kabupaten Bandung”, menunjukkan peningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa. Rata-rata
perolehan hasil belajar siswa meningkat sebesar 11% dari 73 pada siklus I menjadi 84 pada
siklus II. Aktivitas siswa selama penggunaan model konstruktivisme juga menunjukkan
peningkatan yang memuaskan.
2. Hasil Penelitian Novia dan Kusumo (2013)
Penelitian dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Konstruktivisme Berbantuan
Concept Map untuk Meningkatkan Hasil Belajar Kimia pada Siswa SMA”, dilakukan dalam
tiga siklus. Hasil dari setiap siklus menunjukkan bahwa hasil belajar afektif, kognitif, dan
psikomotor siswa meningkat. Pada siklus I, nilai rata-rata aspek kognitif 78,53 dengan
ketuntasan klasikal 76,47%, nilai rata-rata aspek afektif 74,36, dan nilai rata-rata aspek
psikomotor 70,59. Pada siklus II, nilai rata-rata aspek kognitif 80,88 dengan ketuntasan
klasikal 87,06%, nilai rata-rata aspek afektif 78,77, dan nilai rata-rata aspek psikomotor
76,66. Pada siklus III, nilai rata-rata aspek kognitif 87,06 dengan ketuntasan klasikal 88,24%,
nilai rata-rata aspek afektif 86,22, dan nilai rata-rata aspek psikomotor 86,86. Dengan
demikian penerapan model konstruktivisme terbukti dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
3. Hasil Penelitian Nugroho dan Gunansyah (2016)
Penelitian dengan judul “Peningkatan Penguasaan Konsep dengan Model Pembelajaran
Konsep dalam Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar” menunjukkan bahwa hasil belajar
penguasaan konsep siswa, aktivitas guru dan siswa, serta respon siswa mengalami
peningkatan di setiap siklusnya dan memenuhi indikator keberhasilan.
4. Hasil Penelitian Wulan Puspa Sari (2014)
Penelitian dengan judul “Peningkatan Penguasaan Konsep IPA melalui Pendekatan
Kontekstual pada Siswa Kelas VA SDN Kenaran 2 Prambanan Sleman Yogyakarta”
dilakukan dalam dua siklus dengan masing-masing siklus terdiri dari dua pertemuan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penguasaan konsep IPA siswa kelas VA SD Negeri Kenaran 2
Prambanan Sleman Yogyakarta meningkat setelah diterapkannya pendekatan kontekstual. Hal
ini terbukti pada peningkatan penguasaan konsep IPA siswa dari skor rerata hasil tes sebelum
tindakan sebesar 60.6 menjadi 69 pada akhir siklus I, dan meningkat menjadi 78.8 pada akhir
siklus II. Siswa yang mencapai kriteria keberhasilan mengalami peningkatan dari 40% pada
pratindakan menjadi 65% pada siklus I dan meningkat menjadi 85% pada siklus II. Hasil

20
observasi juga menunjukkan guru dan siswa telah melaksanakan prosedur pendekatan
kontekstual dengan baik.

E. Kerangka Berpikir
Penguasaan konsep merupakan kemampuan siswa dalam memahami konsep sehingga
mampu menyajikan kembali konsep-konsep tersebut ke dalam bentuk yang mudah dipahami
dan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Penguasaan konsep sangat
penting dimiliki oleh setiap siswa setelah melakukan pembelajaran karena dapat digunakan
untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh
siswa. Penguasaan konsep oleh siswa tidak hanya pada mengenal sebuah konsep tetapi siswa
dapat menghubungkan antara satu konsep dengan konsep lainnya dalam berbagai situasi.
Siswa seringkali mengalami kesulitan dalam penguasaan konsep karena interaksi proses
pembelajaran yang lebih kuat pada satu arah, siswa hanya disuruh membaca buku, kemudian
guru menjelaskan materi yang dibahas, sehingga siswa tidak diberi kesempatan untuk
mengkontruksi pengetahuannya. Akibatnya pembelajaran menjadi kurang bermakna sehingga
anak setelah keluar kelas, mereka akan cepat lupa dengan apa yang telah dipelajarinya di
kelas.
Rendahnya penguasaan konsep siswa dapat diatasi dengan rancangan pembelajaran
yang dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif mengkontruksi
pengetahuannya melalui pembelajaran yang bersifat nyata, mengutamakan proses, serta
menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial sehingga pembelajaran menjadi
bermakna. Pembelajaran yang bermakna akan berdampak pada lebih kuatnya ingatan yang
mendukung pada penguasaan konsep-konsep pembelajaran. Salah satu rancangan yang
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkontruksi pengetahuannya adalah dengan
menerapkan model konstruktivisme.
Model konstruktivisme lebih menekankan pada penerapan konsep belajar dengan
melakukan (Learning by Doing), maksudnya adalah siswa belajar sesuatu melalui kegiatan
manual. Dengan demikian model konstruktivisme lebih menekankan pada bagaimana siswa
belajar melalui interaksi sosial dan menemukan konsep melalui penyelidikan, pengumpulan
data, penginterpretasian data melalui suatu kegiatan yang dirancang oleh guru. Melalui model
pembelajaran konstruktivisme ini, siswa dapat mencari pengetahuan sendiri melalui suatu
kegiatan pembelajaran seperti pengamatan, percobaan, diskusi, tanya jawab, dan membaca
buku. Dengan pembelajaran yang demikian diharapkan penguasaan konsep siswa meningkat

21
seiring dengan meningkatnya ingatan siswa yang bertahan lama terhadap konsep-konsep yang
dipelajari akan lebih bertahan lama.

Masalah Proses Hasil

•Rendahnya •Penerapan model •Penguasaan


penguasaan konstruktivisme konsep siswa
konsep siswa dalam meningkat
rendah pembelajaran

Bagan 2. Kerangka Berpikir Penelitian

F. Definisi Operasional
Definisi operasional sangat diperlukan untuk menghindari terjadinya salah penafsiran
terhadap penelitian ini. Definisi operasional dalam penelitian ini sebagai berikut.
1. Penguasaan konsep dalam penelitian ini merupakan kemampuan mendefinisikan konsep,
mengidentifikasi, dan memberikan contoh atau bukan contoh konsep, sehingga dengan
kemampuan ini siswa mengambil konsep-konsep dalam bentuk lain yang tidak sama
sebagai buku teks. Penguasaan konsep pada penelitian yang akan dilaksanakan, hanya
meliputi empat aspek ranah kognitif yaitu C1, C2, C3, dan C4. Pengukuran penguasaan
konsep dilakukan melalui tes.
2. Model pembelajaran konstruktivisme dalam penelitian ini adalah model pembelajaran
yang menempatkan siswa sebagai subjek pembelajaran yang aktif dalam mengkontruksi
pengetahuannya melalui pengalaman nyata dan bermakna. Model pembelajaran
konstruktivisme dilakukan melalui empat tahapan yaitu tahap apersepsi, tahap eksplorasi,
tahap diskusi dan penjelasan konsep, serta tahap pengembangan dan aplikasi konsep.

22
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian tindakan kelas
(PTK). Pemilihan metode ini didasarkan pada tujuan penelitian yaitu memperbaiki proses dan
hasil pembelajaran. Permasalahan yang ingin dipecahkan yakni rendahnya penguasaan konsep
siswa pada materi kalor.
Sukidin dkk. (2010, hlm. 16) menjelaskan bahwa PTK merupakan suatu bentuk kajian
reflektif oleh pelaku tindakan dan dilakukan untuk meningkatkan kemampuan guru dalam
melaksanakan tugas, memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan,
dan memperbaiki kondisi praktik-praktik pembelajaran yang telah dilakukan. Senada dengan
pendapat Sukidin, Hopkins (dalam Muslich, 2009, hlm. 8) menegaskan bahwa PTK adalah
suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif, yang dilakukan oleh pelaku tindakan untuk
meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan-tindakan dalam melaksanakan tugas dan
memperdalam pemahaman terhadap kondisi dalam praktik pembelajaran. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa PTK merupakan bentuk kajian reflektif yang bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan guru dalam melaksanakan tugas, memperdalam pemahaman
terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan, dan memperbaiki kondisi praktik-praktik
pembelajaran yang telah dilakukan.
Desain penelitian tindakan kelas yang akan digunakan mengacu pada model PTK yang
dikembangkan oleh Kemmis dan Mc. Taggart dengan tahapan-tahapan seperti yang
digambarkan pada bagan berikut.

23
Perencanaan

Refleksi Siklus I Pelaksanaan

Pengamatan

Perencanaan

Refleksi Siklus II Pelaksanaan

Pengamatan

Siklus Selanjutnya

Bagan 3. Desain PTK Kemmis dan Mc. Taggart


(Tanireja, 2010, hlm. 24)

Berdasarkan bagan di atas, penelitian tindakan kelas meliputi empat komponen penting
yang selalu ada dalam setiap siklusnya sekaligus menjadi ciri khas PTK yaitu perencanaan,
tindakan, pengamatan, dan refleksi. Model spiral ini merupakan model siklus berulang
berkelanjutan, dengan harapan pada setiap tindakan menunjukkan peningkatan sesuai
perubahan dan perbaikan yang ingin dicapai.
a. Tahap Perencanaan
Dalam tahap perencanaan, kegiatan yang dilakukan yaitu menyusun perangkat penelitian
yang meliputi RPP, lembar observasi, dan lembar tes.
b. Tahap Pelaksanaan
Dalam tahap pelaksanaan, kegiatan yang dilakukan yaitu mengimplementasikan rencana
pembelajaran yang telah disusun sesuai dengan langkah-langkah penerapan model
pembelajaran konstruktivisme untuk meningkatkan penguasaan konsep siswa pada materi
kalor di kelas V.
c. Tahap Pengamatan
Dalam tahap pengamatan, kegiatan yang dilakukan yaitu mengamati dan menganalisis
rencana pelaksanaan pembelajaran, serta pelaksanaan pembelajaran dengan menerapkan
model konstruktivisme.

24
d. Tahap Refleksi
Dalam tahap refleksi, kegiatan yang dilakukan yaitu mengkaji dan mengevaluasi seluruh
tindakan yang diberikan untuk mengukur keberhasilannya dan perlu tidaknya diadakan
perbaikan. Jika hasil refleksi sudah sesuai dengan indikator keberhasilan, maka penelitian
dapat dikatakan berhasil dan secara otomatis siklus dihentikan. Namun jika belum
mencapai indikator keberhasilan yang ditetapkan, maka penelitian dilanjutkan ke siklus
berikutnya hingga tercapainya indikator keberhasilan.

B. Lokasi dan Subjek Penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan di SDN X di Kota Cimahi. Adapun subjek
penelitiannya yaitu siswa kelas V yang berjumlah 28 orang dengan jumlah siswa perempuan
19 orang dan siswa laki-laki 9 orang.

C. Instrumen Penelitian
Semua yang digunakan untuk penelitian dan alat pengungkap data. Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi RPP, lembar tes, lembar observasi, dokumentasi, dan
catatan lapangan.
1. RPP
RPP yang disusun mengacu pada Permendikbud No. 22 Tahun 2016 tentang Standar
Proses. Secara garis besar komponen yang dimuat dalam RPP meliputi identitas sekolah,
identitas mata pelajaran atau tema/subtema, kelas/semester, materi pokok, alokasi waktu,
tujuan pembelajaran, kompetensi dasar dan indikator pencapaian kompetensi, materi
pembelajaran, metode pembelajaran, media pembelajaran, sumber belajar, langkah-langkah
pembelajaran, dan penilaian hasil pembelajaran. RPP yang disusun menerapkan model
konstruktivisme yang terdiri dari empat tahapan dalam langkah pembelajaran yaitu yaitu
tahap apersepsi, tahap eksplorasi, tahap diskusi dan penjelasan konsep, serta tahap
pengembangan dan aplikasi konsep.
2. Tes penguasaan konsep
Tes adalah sejumlah pertanyaan yang disampaikan pada seseorang atau sejumlah orang
untuk mengungkapkan keadaan atau tingkat perkembangan salah satu atau beberapa aspek
psikologis di dalam dirinya (Kunandar, 2012, hlm. 186). Instrumen tes berupa soal untuk
mengukur penguasaan konsep siswa pada materi kalor. Tes yang diberikan berupa butir soal
yang diturunkan berdasarkan indikator penguasaan konsep dari C1-C4.

25
Tes penguasaan konsep terdiri atas 30 soal pilihan ganda. Untuk mengukur validitas isi
soal yang dibuat, sebelumnya dikonsultasikan terlebih dahulu kepada ahli, dalam hal ini dosen
pembimbing dan dosen ahli. Selain validitas isi, konsultasi juga dilakukan untuk mengetahui
adanya validitas muka dalam arti bentuk soal dalam tes penguasaan konsep yang digunakan
memang tepat untuk diberikan kepada subjek penelitian.
3. Lembar observasi
Observasi pada konteks pengumpulan data adalah tindakan atau proses pengambilan
informasi, atau data melalui media pengamatan indera penglihatan. Observasi dilakukan
dengan tujuan mengamati tindakan dan perilaku responden di kelas (Sukardi, 2012, hlm. 50).
Observasi pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran dengan menerapkan model konstruktivisme pada materi kalor untuk
meningkatkan penguasaan konsep siswa.
Format observasi dibuat dalam bentuk daftar cek (cheklist), hal yang diamati pada
observasi guru adalah pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan langkah-langkah model
konstruktivisme. Hasil observasi diharapkan dapat menggambarkan pelaksanaan
pembelajaran materi kalor dengan menerapkan model konstruktivisme.
4. Catatan lapangan
Catatan lapangan adalah catatan yang dibuat oleh peneliti atau mitra peneliti yang
melakukan pengamatan atau observasi terhadap subyek atau obyek penelitian tindakan kelas
(Kunandar, 2012, hlm. 197). Catatan lapangan dapat digunakan untuk mencatat temuan-
temuan yang dianggap penting sebagai salah satu data yang harus diperoleh oleh peneliti
selama penerapan model pembelajaran konstruktivisme pada materi kalor di kelas V. Catatan
lapangan berisikan catatan, peristiwa, atau temuan penting yang terjadi selama pembelajaran
berlangsung.

D. Pengolahan dan Analisis Data


Data yang diperoleh dari penelitian ini berupa data kualitatif dan data kuantitatif. Data
kualitatif diperoleh melalui kegiatan observasi terhadap perencanaan pembelajaran dan
pelaksanaan pembelajaran, sedangkan data kuantitatif diperoleh dari hasil tes penguasaan
konsep siswa dan hasil observasi perencanaan pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran.
Pengolahan data dan analisisnya mengacu pada rumusan masalah dalam penelitian ini.
1. Perencanaan Pembelajaran
Data perencanaan pembelajaran diolah dan dianalisis dengan langkah-langkah sebagai
berikut.

26
a) Menghitung persentase skor perolehan dengan menggunakan rumus

Skor Perolehan
Persentase Perencanaan Pembelajaran (RPP) = x 100%
Skor Maksimal

b) Menentukan kategori hasil perhitungan dengan cara membuat rentang persentase sebagai
berikut.
Tabel 2
Kriteria Penilaian
Persentase Kategori
75% - 100% Sangat Baik
50% - 74% Baik
25% - 49% Cukup
< 25% Kurang

c) Mendeskripsikan hasil observasi dalam bentuk komentar maupun catatan lapangan yang
terdapat pada kolom komentar.
d) Melakukan reduksi data, data yang diperoleh dari hasil pengamatan berupa komentar dan
catatan lapangan yang tidak sesuai dengan tema yang dibutuhkan maka data tersebut
dibuang.
e) Memberikan kesimpulan dari hasil pelaksanaan tindakan yang telah diberikan sesuai
dengan data yang telah diperoleh.

2. Pelaksanaan Pembelajaran
Data pelaksanaan pembelajaran diolah dan dianalisis dengan langkah-langkah sebagai
berikut.
a) Menghitung persentase skor perolehan dengan menggunakan rumus

Skor Perolehan
Persentase Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) = x 100%
Skor Maksimal

b) Menentukan kategori hasil perhitungan dengan cara membuat rentang persentase sebagai
berikut.
Tabel 3
Kriteria Penilaian
Persentase Kategori
75% - 100% Sangat Baik
50% - 74% Baik
25% - 49% Cukup
< 25% Kurang

27
c) Mendeskripsikan hasil observasi dalam bentuk komentar maupun catatan lapangan yang
terdapat pada kolom komentar.
d) Melakukan reduksi data, data yang diperoleh dari hasil pengamatan berupa komentar dan
catatan lapangan yang tidak sesuai dengan tema yang dibutuhkan maka data tersebut
dibuang.
e) Memberikan kesimpulan dari hasil pelaksanaan tindakan yang telah diberikan sesuai
dengan data yang telah diperoleh.

3. Penguasaan Konsep
Hasil tes penguasaan konsep diolah dan dianalisis dengan langkah-langkah sebagai
berikut.
a) Menghitung tes nilai individu
Skor Perolehan
Nilai Tes Individu = x 100
Skor Maksimal

b) Menghitung persentase penguasaan konsep kelas


Jumlah siswa yang mencapai KKM
Persentase penguasaan konsep kelas = x 100%
Jumlah Seluruh Siswa

E. Indikator Keberhasilan Penelitian


Keberhasilan penelitian ini ditentukan oleh indikator keberhasilannya sebagai berikut:
1. Jika rubrik perencanaan pembelajaran (RPP) mendapat persentase 85% .
2. Jika pelaksanaan pembelajaran mencapai persentase 85%.
3. Jika penguasaan konsep kelas mencapai persentase 85%.

28
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2022. Penelitian tersebut disesuaikan
dengan jadwal mata pelajaran IPA di kelas V yaitu hari Rabu. Pelaksanaan penelitian
mengacu pada desain PTK menurut Kemmis & Mc. Taggart yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Berikut uraian pelaksanaan penelitian yang telah
dilakukan.
1. Tahap Perencanaan
Tahap perencanaan dilaksanakan dalam waktu kurang lebih satu minggu. Pada tahap
ini, peneliti melaksanakan kegiatan sebagai berikut.
a. Menyusun RPP pada materi perpindahan kalor untuk satu pertemuan. RPP yang dibuat
meliputi tiga komponen, yaitu tujuan, kegiatan pembelajaran, dan penilaian.
b. Menyusun media pembelajaran berupa alat dan bahan untuk melaksanakan eksperimen.
c. Menyiapkan media pembelajaran yang diperlukan untuk membelajarkan materi
perpindahan kalor.
d. Menyusun instrumen observasi RPP dan pelaksanaan pembelajaran
e. Menyusun soal penguasaan konsep dengan mengacu pada indikator C1-C6 pada materi
perpindahan kalor.

2. Tahap Pelaksanaan
Pada tahap ini, peneliti pelaksanakan tindakan berupa pembelajaran di kelas V pada
materi perpindahan kalor. Pertemuan pembelajaran dilaksanakan pada 21 November 2022
selama tiga jam pelajaran (3x35 menit) mulai pukul 07.00 – 08.45 WIB. Berikut uraian
kegiatan pembelajarannya.
a. Kegiatan Pendahuluan (deskripsikan)
b. Kegiatan Ini (deskripsikan)
c. Kegiatan Penutup (deskripsikan)

3. Tahap Pengamatan
Pada tahap ini, peneliti mengamati pelaksanaan pembelajaran. Pengamatan fokus pada
kegiatan guru dalam melaksanakan pembelajaran dan penguasaan konsep siswa sebagai hasil

29
proses pembelajaran. Hasil pengamatan pembelajaran disaijkan pada bagian hasil penelitian
(B.2 dan B.3)
4. Tahap Refleksi
Refleksi pada dasarnya merupakan kegiatan analisis, sintesis, dan interprestasi data
yang telah diperoleh. Setelah sukses mengumpulkan data, selanjutnya data yang diperoleh
perlu diadministrasikan secara sistematik dengan mengurutkan pengambilan data sesuai
dengan waktunya. Hasil analisis data kemudian direfleksikan untuk mengetahui kekurangan
dan kelebihan tindakan yang telah dilakukan, dengan mengacu kepada indikator keberhasilan
yang telah ditetapkan.
Adapun kegiatan analisis meliputi RPP, pelaksanaan pembelajaran, dan penguasaan
konsep siswa. Hasil tersebut kemudian dibandingkan dengan indikator keberhasilan. Mengacu
pada hasil analisisnya, semua penilaian telah mencapai indikator keberhasilan yang
ditentukan. Dengan demikian penelitian tindakan kelas ini dinyatakan berhasil dilaksanakan
dalam satu siklus saja.

B. Hasil Penelitian
1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
RPP yang disusun peneliti mengacu pada Surat Edaran Kemdikbud No. 14 Tahun 2019
yang menjelaskan bahwa komponen RPP meliputi tujuan, kegiatan pembelajaran, dan
penilaian. Adapun hasil penilaian RPP disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 4.1
Penilaian RPP
Kemunculan
No Komponen Deskripsi
Ya Tidak
1 Tujuan
a. Tujuan memuat √ Behaviour : perilaku siswa sesuai
unsur ABCD dengan KKO
(Audience, Degree : terukur dan mudah diamati
Behaviour,
Conditioning,
Degree)
b. Tujuan memuat √ Tujuan memuat aspek kognitif dan
aspek kognitif psikomotor dengan jumlah yang
dan psikomotor seimbang.
2 Kegiatan Pembelajaran
a. Kegiatan √ Sudah sesuai
pembelajaran
terdiri atas
pendahuluan, inti,
penutup
b. Kegiatan √ Sintaks model sudah digambarkan
30
Kemunculan
No Komponen Deskripsi
Ya Tidak
pembelajaran dalam kegiatan inti dengan jelas
disusun sesuai
sintak model
konstruktivisme
c. Pembelajaran √ Menggunakan media benda konkrit
dirancang dengan untuk eksperimen perpindahan kalor
melibatkan media
pembelajaran
d. Rancangan √ Sumber belajar bukan hanya guru
pembelajaran tetapi juga lingkungan sekitarnya
menggunakan
sumber belajar
yang bervariasi
e. Pembelajaran √ Siswa dibagi dalam kelompok kecil
dirancang dalam secara heterogen
kegiatan
kelompok
f. Rancangan √ Guru menggunakan IT hanya terlihat
pembelajaran pada penggunaan infokus dan laptop
melibatkan saja.
penggunaan IT
3 Penilaian
a. Aspek penilaian √ Penilaian meliputi kognitif dan
sesuai dengan psikomotor
aspek tujuan
b. Instrumen √ Memuat kisi-kisi, soal, rubrik
penilaian disusun penilaian, cara pengolahannya
lengkap
Persentase 90%

Berdasarkan tabel 4.1 dapat diketahui bahwa RPP yang disusun telah memenuhi aspek
penilaian. Persentase penilaian RPP sangat baik yaitu 90%. Hasil penilaian ini menunjukkan
bahwa RPP yang dibuat sudah sesuai dengan ketentuan yang dimuat dalam Permendikbud
tentang standar proses terkait RPP. Kelemahan dalam RPP yang dibuat adalah penggunaan
IT yaitu hanya memakai infokus dan laptop saja sebagai alat pembelajaran.

2. Pelaksanaan Pembelajaran
Pelaksanaan pembelajaran mengacu pada Permendiknas No. 41 Tahun 2007 yang
merupakan implementasi dari RPP. Adapun hasil penilaian pelaksanaan pembelajaran
disajikan dalam tabel berikut.

31
Tabel 4.2
Penilaian Pelaksanaan Pembelajaran
Kegiatan Keterlaksaan
No Deskripsi
Pembelajaran Ya Tidak
1 Guru mengondisikan √ Guru mengondisikan siswa dengan
siswa sebelum presensi dan tepuk semangat.
belajar
2 Guru menyampaikan √ Guru mengaitkan materi yang
apersepsi dipelajari dengan peristiwa
perpindahan kalor dalam kehidupan
sehari-hari.
3 Guru menyampaikan √ Penyampaian tujuan sangat jelas dan
tujuan pembelajaran dipahami siswa
4 Guru melaksanakan √ Setiap tahapan dilaksanakan dengan
pembelajaran sesuai runtut.
sintaks model
konstruktivisme
5 Penggunaan media √ Media digunakan oleh siswa selama
pembelajaran proses eksperimen
dilaksanakan optimal
6 Penggunaan sumber √ Siswa belajar melalui eksperimen dan
belajar yang lingkungan sekitar
bervariasi
7 Guru mengajak siswa √ Kesimpulan disampaikan guru saja
membuat kesimpulan
pembelajaran
8 Guru merefleksi √ Guru menyampaikan kelebihan dan
pembelajaran yang kekurangan pembelajaran.
dilakukan Kelebihannya siswa belajar tuntas,
sedangkan kekurangannya masih ada
kelompok yang belum kompak.
9 Guru mengapresiasi √ Apresiasi berupa lisan dan gesture
pencapaian belajar tubuh.
siswa
10 Guru mengamati √ Guru berkeliling untuk mengamati
aktivitas setiap selama kegiatan kelompok
kelompok berlangsung.
Persentase 85

Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa pelaksanaan pembelajaran yang disusun
telah memenuhi aspek penilaian. Persentase penilaian pelaksanaan sangat baik yaitu 90%.
Hasil penilaian ini menunjukkan bahwa pembelajaran yang dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan yang dimuat dalam Permendikbud tentang standar proses terkait pelaksanaan.
Kelemahan dalam pelaksanaan pembelajaran yaitu kesimpulan hanya dibuat oleh guru tanpa
melibatkan siswa.

32
3. Penguasaan Konsep

Tabel 4.3
Rekapitulasi Penguasaan Konsep Siswa
Keterangan
(KKM =70)
No Siswa Nilai
Tidak
Tuntas
Tuntas
1 Siswa 1 80 √
2 Siswa 2 87 √
3 Siswa 3 100 √
4 Siswa 4 95 √
5 Siswa 5 68 √
6 Siswa 6 85 √
7 Siswa 7 100 √
8 Siswa 8 70 √
9 Siswa 9 100 √
10 Siswa 10 85 √
11 Siswa 11 78 √
12 Siswa 12 88 √
13 Siswa 13 90 √
14 Siswa 14 100 √
15 Siswa 15 87 √
16 Siswa 16 78 √
17 Siswa 17 84 √
18 Siswa 18 95 √
19 Siswa 19 100 √
20 Siswa 20 92 √
21 Siswa 21 100 √
22 Siswa 22 100 √
23 Siswa 23 85 √
24 Siswa 24 90 √
25 Siswa 25 100 √
26 Siswa 26 90 √
27 Siswa 27 100 √
28 Siswa 28 90 √
29 Siswa 29 92 √
Jumlah Siswa 27 2
Persentase 93% 7%

C. Pembahasan
1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Permendiknas No. 41 Tahun 2007 menjelaskan bahwa RPP merupakan penjabaran dari
silabus untuk mengarahkan kegiatan belajar siswa dalam upaya mencapai Kompetensi Dasar
(KD). Lebih rinci, Mulyasa (2006, hlm. 192) mengemukakan bahwa RPP adalah rencana
yang menggambarkan prosedur dan manajemen pembelajaran untuk mencapai salah satu atau
lebih kompetensi dasar yang ditetapkan dalam Standar Isi dan dijabarkan dari silabus. Hal
terebut menunjukkan bahwa RPP merupakan perencanaan yang menggambarkan prosedur

33
dan manajemen pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar yang ditetapkan dalam
standar isi dan dijabarkan dari silabus.
Perencanaan pembelajaran (RPP) yang disusun peneliti memperoleh persentse 90% dan
masuk dalam kategori sangat baik. Perolehan tersebut telah mencapai indikator keberhasilan
untuk perencanaan pembelajaran (RPP) yang ditentukan dalam penelitian ini yakni 85%.
Menurut observer, perencanaan pembelajaran sudah sangat baik karena hampir semua
komponen perencanaan RPP mendapat penilaian baik yang menunjukkan bahwa semua
kompponen tersebut sudah terpenuhi.
Tingginya penilaian RPP oleh guru menunjukkan bahwa RPP yang disusun peneliti
telah memenuhi kriteria RPP yang baik. RPP yang disusun mengacu pada Surat Edaran
Kemdikbud No.14 Tahun 2019 yang menyatakan bahwa RPP minimal memuat tiga
komponen, meliputi tujuan, kegiatan pembelajaran, dan penilaian. Pada komponen tujuan,
memuat aspek kognitif dan psikomotor serta merujuk pada rumusan Audience, Behaviour,
Conditioning, Degree. Komponen kegiatan pembelajaran, RPP yang disusun peneliti meliputi
kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup, serta mengacu pada sintaks model konstruktivisme.
Dalam RPP juga termuat penggunaan media dan sumber belajar, serta IT. Selain itu,
pembelajaran menuntut siswa berkolaborasi dalam kelompok. Pada komponen terakhir, aspek
penilaian mengacu pada tujuan pembelajaran, yaitu kognitif dan psikomotor. Instrumen
penilaian juga lengkap, mulai dari kisi-kisi, instrumen, cara pengolahan dan analisisnya.

2. Pelaksanaan Pembelajaran
Pelaksanaan pembelajaran adalah proses yang diatur sedemikian rupa menurut
langkah-langkah tertentu agar pelaksanaan mencapai hasil yang diharapkan (Sudjana, 2010,
hlm. 136). Pendapat berbeda dikemukakan Djamarah dan Zain (2010, hlm.1) bahwa
pelaksanaan pembelajaran adalah suatu kegiatan yang bernilai edukatif, nilai edukatif
mewarnai interaksi yang terjadi antara guru dan siswa. Interaksi yang bernilai edukatif
dikarenakan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan diarahkan untuk mencapai tujuan
tertentu yang telah dirumuskan sebelum pelaksanaan pembelajaran dimulai. Pemerintah
melalui Permendiknas No. 41 Tahun 2007 menjelaskan bahwa pelaksanaan pembelajaran
merupakan implementasi dari RPP. Pelaksanaan pembelajaran meliputi kegiatan
pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup.
Penilaian pelaksanaan pembelajaran siklus 1 mencapai persentase 85%. Hal ini menurut
observer sudah baik. Perolehan tersebut telah mencapai indikator keberhasilan untuk
pelaksanaan pembelajaran yang ditentukan dalam penelitian ini yakni 85%. Menurut

34
observer, pelaksanaan pembelajaran sudah sangat baik karena hampir semua komponen
pelaksanaan mendapat penilaian baik yang menunjukkan bahwa semua komponen tersebut
sudah terpenuhi.
Pada kegiatan pendahuluan, guru mampu mengondisikan siswa dengan beragam cara,
mulai dari doa hingga mengadakan tepuk. Setelah itu, guru melaksanakan apersepsi dengan
mengaitkan materi tentang kalor dengan peristiwa dalam kehidupan sehari-hari yang dekat
dengan kehidupan anak. Setelah siswa mampu memahami keterhubungannya, guru
menyampaikan tujuan pembelajaran.
3. Penguasaan Konsep
Penguasaan konsep dapat diartikan sebagai kemampuan memahami makna materi,
memadukan konsep dan mampu menggunakan atau menerapkan materi yang sudah dipelajari
(Usman dalam Syafi’I, dkk, 2011). Penguasaan konsep sangat penting dimiliki oleh setiap
siswa setelah melakukan pembelajaran karena dapat digunakan untuk menyelesaikan suatu
permasalahan yang berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh siswa. Penguasaan konsep
oleh siswa tidak hanya pada mengenal sebuah konsep tetapi siswa dapat menghubungkan
antara satu konsep dengan konsep lainnya dalam berbagai situasi.
Hasil analisis data tes penguasaan konsep menunjukkan bahwa 85% siswa memperoleh
nilai di atas KKM. Dengan demikian indikator keberhasilan telah tercapai. Penerapan model
konstruktivisme dalam pembelajaran meningkatkan penguasaan konsep siswa karena proses
pembelajarannya memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkontruksi
pengetahuannya melalui interaksi dengan lingkungan sehingga pembelajaran menjadi
bermakna bagi siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Yamin (2012, hlm.16) bahwa proses
pembelajaran menciptakan pengetahuan dan pengalaman siswa lebih bermakna dan akan
bertahan lama dalam pikiran siswa, kemudian dapat mengimplementasika nnya.
Observasi selama proses pembelajaran dengan menerapkan model konstruktivisme,
siswa antusias dan bersemangat. Siswa sangat asyik berdiskusi dan berkomunikasi. Hal ini
sejalan dengan kelebihan model konstruktivisme menurut Tytler (Samatowa, 2010, hlm. 54)
yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan secara eksplisit
dengan menggunakan bahasa siswa sendiri. Berbagi gagasan dengan temannya. Dan
mendorong siswa memberikan penjelasan tentang gagasannya.

35
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dengan judul “Penerapan model pembelajaran
konstruktivisme untuk meningkatkan penguasaan konsep siswa pada materi kalor di kelas V”,
maka peneliti dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. RPP yang telah dibuat telah memenuhi syarat RPP yang baik menurut ketentuan. Hal ini
terlihat dari RPP yang lengkap untuk setiap komponen yang ada dalam RPP. Hal tersebut
dapat dilihat berdasarkan penilaian RPP dengan menggunakan rubrik RPP (terlampir)
mencapai persentase 90% (kategori sangat baik). Jadi, perencanaan pembelajaran yang
disusun telah sesuai dan sudah melebihi target yang diinginkan. Dengan demikian
perencanaan pembelajaran yang telah dibuat dinyatakan berhasil.
2. Pelaksanaan pembelajaran dengan menerapkan model konstruktivisme sesuai dengan aturan
yang berlaku. Hal ini dapat dilihat dari pelaksanaan kegiatan pembelajaran dari kegiatan
pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup yang lebih efektif dan menyenangkan
serta melibatkan siswa secara aktif. Hasil penilaian pelaksanaan pembelajaran mencapai
persentase sebesar 85% (kategori sangat baik). Jadi, pelaksanaan pembelajaran sudah melebihi
target yang diinginkan. Dengan demikian pelaksanaan pembelajaran yang telah dilakukan
dinyatakan berhasil.
3. Penguasaan konsep yang dicapai setelah pembelajaran dengan menerapkan model
konstruktivisme mencapai persentase sebesar 85%. Jadi, penguasaan konsep siswa sudah
melebihi target yang diinginkan. Dengan demikian, penelitian ini dikatakan berhasil.

B. Saran
Implikasi dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka peneliti memiliki beberapa
saran untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, baik dari segi proses maupun hasil. Adapun
saran-saran tersebut adalah sebagai berikut:
1. Penerapan model konstruktivisme memerlukan waktu yang cukup lama selama proses
pembelajaran. Untuk itu, guru perlu menentukan alokasi waktu yang sesuai.
2. Model konstruktivisme mensyaratkan penggunaan media dan sumber belajar konstekstual
sehingga perlu disiapkan secara matang.

36
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, L.R. & Krathwohl, D.R. (2011). A taxonomi forlearning, teaching and assessing. A
revision of Bloom’staxonomi of educational objective. Longman.

Bundu, P.(2006). Penilaian keterampilan proses dan sikap ilmiah dalam pembelajaran sains.
Jakarta: Depdiknas.

Calik, dkk. (2007). Enhancing pre-service elementary teachers’ conceptual understanding of


solution chemistry with conceptual change text. Taiwan: International Journal of
Science and Mathematics Education 5.

Creswell, J.W. (2010). Research Design: pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Cruickshank, D. R., dkk. (2006). The Act of teaching, Fourth Edition. New York: McGraw-
Hill, Inc.

Dahar, R.W. (2003). Teori-teori belajar dan pembelajaran. Jakarta: Erlangga.

Depdiknas. (2006). Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang standar isi. Jakarta: Depdiknas.

Eskilsson, O. & Helldèn, G. (2003). A longitudinal study on 10-12-year-olds conceptions of


the transformations of matter. Kristianstad University, Department of Mathematics
and Natural Sciences: Chemistry Education Research and Practice Vol. 4 No. 3.

Finkelstein, A. (2010). Science is golden: a problem-solving approach to doing science with


children. Hongkong: Michigan State University Press.

Gusriana, dkk. (2014). Pengaruh sikap ilmiah siswa terhadap penguasaan konsep
menggunakan inkuiri terbimbing. Jurnal Pendidikan Fisika Unila Vol. 5 No. 8.

Hailikari, T. (2009). Assessing university students’ prior knowledge: implications for theory
and practice. University of Helsinki Departemen of Education: Research Report 227.

Harlen, W. & Qualter, A. (2004). The teaching of science in primary schools. fourth edition.
London: David Fulton Publisher.

Holbrook, J. and Rannikmae, M. (2010). Contextualisation, de-contextualisation, re-


contextualisation – a science teaching approach to enhance meaningful learning for
scientific literacy. University of Tartu, Estonia.

Karli, H. (2007). Metodologi pendidikan ipa untuk pgsd dan guru sd. Bandung: UPI.

Khusniati, M. (2014). Model pembelajaran sains berbasis kearifan lokal dalam menumbuhkan
karakter konservasi. Indonesian Journal of Conservation Vol. 3 No.1.

Kunandar. (2012). Langkah mudah penelitian tindakan kelas sebagai pengembangan profesi
guru. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

37
Maknun, J. (2015). The implementation of generative learning model on physics lesson to
increase mastery concepts and generic science skills of vocational students. American
Journal of Educational Research Vol. 3, No. 6.

Muslichah, A. (2006). Penerapan pendekatan sains teknologi masyarakat dalam


pembelajaran sains di sd. Jakarta: Depdiknas.

Muslih, M. (2007). Dasar pemahaman dan pengembangan ptk. Jakarta: Bumi Aksara.

Mulyasa, E. (2006). Menjadi guru profesional menciptakan pembelajaran kreatif dan


menyenangkan. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Nur, M. (2001). Pendekatan konstruktivistik. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah
UNESA.

Ozkan, G. & Selcuk, G.Z. (2015). Effect of technology enhanced conceptual change texts on
students’ understanding of buoyant force. Universal Journal of Educational Research
Vol. 13 No. 12.

Pannen, P., dkk. (2001). Konstruktivisme dalam pembelajaran. Jakarta: Ditjendikti,


Depdiknas.

Poedjiadi, A. (2005). Sains teknologi masyarakat model pembelajaran kontekstual bermuatan


nilai. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Putra, R.A., dkk. (2014). The analysis of concepts mastery and critical thinking skills on
invertebrate zoology course. International Journal of Science and Research (IJSR)
Vol. 3 No. 3.

Putra, R.A. & Sudargo, F. (2014). The effect of program laboratory inquiry practicum based
(ppzi-bil) to mastering invertebrate zoology concept. Journal of Education and
Practice Vol.5 No. 36.

Poerwadarminta, WJS. (2006). Kamus besar bahasa indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Rustaman. (2005). Pengembangan konsep. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Samatowa, U. (2010). Pembelajaran ipa sd. Jakarta: Indeks.

Sidik, M. H. (2008). Penerapan model pembelajaran konstruktivisme untuk meningkatkan


pemahaman siswa mengenai energi gerak di kelas iii sdn cilengkrang i kecamatan
pasaleman kabupaten cirebon. UPI: Skripsi Tidak Dipublikasikan.

Slavin, R. E. (2009) . Educational psychology: theory and practice (development during


childhood and adolescence). Massachusetts: Allyn and Bacon Paramount Publishing.

Soedjadi. (2000). Kiat pendidikan matematika di indonesia: konstanta keadaan masa kini
Menuju harapan masa depan. Jakarta: Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional.

Sukardi. (2012). Metodologi penelitian pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

38
Sukidin, dkk. (2010). Manajemen penelitian tindakan kelas. Surabaya: Insan Cendekia.

Suparno, P. (2010). Filsafat konstruktivisme dalam pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Sulistyanto, H., dkk. (2008). Ilmu pengetahuan alam. Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas.

Sulistyorini, S. (2007). Model pembelajaran ipa sekolah dasar dan penerapannya dalam ktsp.
Semarang: Tiara Wacana.

Syafi,i, dkk. (2011). Kemampuan berpikir kreatif dan penguasaan konsep siswa melalui
model problem based learning (pbl) dalam pembelajaran biologi kelas XI IPA SMAN
2 pekanbaru tahun ajaran 2010/2011. Jurnal Biogenesis Vol.8 No.1.

Tanireja, T. (2010). Penelitian tindakan kelas. Bandung: Alfabeta.

Teaching & Learning Research Program (TLRP). (2006). Science education in schools issues,
evidence and proposals. The Association for Science Education.

Toharudin, U., dkk. (2011). Membangun literasi sains peserta didik. Bandung: Humaniora.

Trianto. (2010). Pengantar penelitian bagi pengembangan profesi pendidikan dan tenaga
kependidikan. Jakarta: Kencana.

Trianto. (2011). Model-model pembelajaran inovatif berorientasi konstruktivistik. Jakarta:


Prestasi Pustaka Publisher.

Ultay, N., dkk. (2014). Evaluation of the effectiveness of conceptual change texts in
reactstrategy. Giresun University Scientific Research Projects Unit: Chemistry
Education Research and Practice.

Vosniadou, S. & Skopeliti, I. (2014). Conceptual change from the framework theory side of
the fence. SpringerPublishingVol. 23 No. 7.

Wambugu, P.W. & Changeiywo, J.M. (2007). Effects of mastery learning approach on
secondary school students’ physics achievement. Eurasia Journal of Mathematics,
Science & Technology Education Vol. 4 No. 3.

Yamin, M. (2012). Desain baru pembelajaran konstruktivistik. Jakarta: Referensi.

Yamin, M. (2013). Paradigma baru pembelajaran. Jakarta: Referensi.

39

Anda mungkin juga menyukai