Pada bab IV ini berisikan tentang tujuan, teori dasar, alat dan bahan,
metodologi praktikum, data pengamatan, perhitungan, persamaan reaksi, analisa
dan pembahasan, dan kesimpulan.
66
BAB IV STRESS COROSSION CRACKING KELOMPOK 4
Salah satu standar pengujian Stress corrosion craking yaitu standard ASTM
G49 yang menyelidiki kerentanan terhadap Stress corrosion craking. SCC adalah
proses mekanis-kimiawi yang mengarah ke pemecahan paduan tertentu pada
tekanan dibawah kekuatan tariknya. Diperlukan rentan paduan yang, lingkungan
kimiawi yang tepat, ditambah tarik yang tahan lama tegangan. Sepertinya tidak
ada sistem paduan yang sepenuhnya kebal terhadap SCC di semua lingkungan.
Biasanya, ada periode induksi, selama nukleasi retak pada mikroskopis tingkat.
Periode latensi ini mungkin cukup lama (misalnya, berbulan – bulan atau bertahun
– tahun) sebelum berlanjut ke tahap propagasi.
Stress korosi retak (SCC) adalah jenis retak yang terjadi ketika material
yang rentan terhadap SCC secara bersamaan tertekan dan terkena lingkungan
yang menyebabkan SCC pada tingkat makroskopik, kegagalan SCC tampak rapuh
yaitu, keuletan material yang biasa sangat berkurang. Tegangan tarik dapat
diterapkan atau sisa, atau keduanya. Tegangan sisa dihasilkan dari proses
fabrikasi, seperti deformasi dan pengelasan. Tegangan retak korosi dapat berupa
intergranular atau transgranular, atau kombinasi keduanya. atau kombinasi
keduanya. Secara umum, ada tiga tahapan dalam proses stress korosi retak :
1. Pembangkitan lingkungan yang menyebabkan SCC.
2. Inisiasi SCC.
3. Propagasi SCC hingga terjadi kegagalan
Retak korosi tegangan merupakan merugikan fenomena yang terjadi di
bawah tegangan tarik, baik residu maupun diterapkan pada lingkungan korosif.
Retakan dimulai dan diperbanyak oleh efek gabungan dari tegangan dan
lingkungan. Mekanisme korosi tegangan retak sangat kompleks dan meskipun
telah dilakukan penelitian ekstensif, masih belum dipahami secara meyakinkan.
Namun, berbagai faktor penting yang menyebabkan SCC diberikan di bawah ini.
Retakan SCC dapat berupa intergranular atau transgranular, tergantung pada
paduan, kondisi tegangan, dan lingkungan. Retak korosi tegangan dimulai dan
menyebar tanpa bukti korosi dari luar. Kegagalan dapat terjadi tanpa peringatan
sebelumnya. Mereka sering memulai cacat yang sudah ada sebelumnya atau cacat
yang terbentuk selama masa layanan komponen. Berikut ini adalah umumnya
lokasi untuk inisiasi retak :
1. Diskontinuitas permukaan. Retakan dapat dimulai pada permukaan yang
tidak rata, seperti alur
2. Lubang korosi. SCC juga dapat dimulai di pit yang terbentuk di permukaan
karena pemecahan kepasifan oleh ion klorida
3. Batas butir. Korosi intergranular akibat sensitisasi oleh pengotor, seperti
fosfor atau belerang
4. Retak musiman. Istilah ini sekarang sudah usang. Itu hanya memiliki
signifikansi historis. Ini hanya mengacu pada SCC kuningan diamoniak
lingkungan, tetapi kadang-kadang masih terjadi di pabrik pendingin
SCC adalah proses anodik, fakta yang dapat diverifikasi dengan
menggunakan perlindungan katodik sebagai tindakan perbaikan yang efektif. SCC
dapat terkadang menyebabkan kelelahan, korosi, atau sebaliknya.
Biasanya,sebenarnya sifat dari retakan tersebut dapat diidentifikasi dari morfologi
retakan yang diamati. Dalam kegagalan SCC biasanya ada sedikit kehilangan
logam karena korosi umum. Jadi, kegagalan baut tegangan yang berkarat sampai
akhirnya tidak dapat menopang beban yang diterapkan tidak diklasifikasikan
sebagai SCC
Berbagai jenis SCC dibedakan sebagai berikut:
1. Perengkahan korosi tegangan klorida. Itu terjadi pada baja austenitik di
bawah tegangan tarik dengan adanya oksigen, ion klorida dan tinggi suhu.
2. Retak korosi tegangan kaustik. Retak baja di lingkungan kaustik di mana
konsentrasi hidrogen tinggi, misalnya, retak tabung Inconel dalam larutan
alkali.
3. Retak korosi tegangan sulfida. Retak baja di lingkungan hidrogen sulfida
seperti yang ditemui di industri pengeboran minyak.
4. Retak musiman. Istilah ini sekarang sudah usang. Itu hanya memiliki
signifikansi historis. Ini hanya mengacu pada SCC kuningan diamoniak
lingkungan, tetapi kadang-kadang masih terjadi di pabrik pendingin yang
menggunakan amonia refrigerant
Retak korosi tegangan korosi pada baja pertama kali ditemui dengan cara
praktis di ketel uap paku keling. Tekanan pada paku keling selalu melebihi batas
elastis, dan ketel air biasanya diolah dengan alkali untuk meminimalkan korosi.
Celah antara paku keling dan plat boiler memungkinkan air boiler untuk
terkonsentrasi, hingga konsentrasi alkali mencukupi untuk menginduksi SCC,
terkadang disertai dengan ledakan boiler. Karena alkali dikenali sebagai salah satu
penyebabnya, kegagalan semacam ini pertama kali disebut perapuhan kaustik.
Dengan munculnya boiler yang dilas dan dengan boiler yang lebih baik
pengolahan air, SCC boiler menjadi kurang umum. Namun, kejadiannya belum
dihilangkan sepenuhnya, karena tekanan yang signifikan, misalnya, dapat terjadi
pada bagian boiler yang dilas atau di tangki yang digunakan untuk menyimpan
alkali pekat.
Pengaruh kimia material dan mikrostruktur pada korosi antar butir dapat
diklasifikasikan dalam dua kategori :
1. Presipitasi Batas Butir : Hal ini paling baik diilustrasikan dengan
pembentukan kromium karbida (Cr23C6) pada batas butirdan
penipisan kromium yang berdekatan dengan batas butir dalam baja
tahan karat, seperti AISI 304. Daerah batas butir mengalami serangan
korosi yang disebut serangan intergranular. Presipitasi karbida juga
terjadi padanikel paduan, seperti paduan 600.
2. Pemisahan Batas Butir : Pengotor, seperti fosfor, belerang, karbon
dan silikon, terpisah pada batas butir dan retakan berkontribusi
pada baja SCC dan paduan dasar nikel. Contoh presipitasi batas
butir :
1. Pengendapan kromium karbida dalam baja tahan karat pada
kisaran suhu 500–800°C.
2. Pengendapan karbida kromium dalam paduan dasar nikel,
seperti paduan 600.
Tambahkan aqua dm
Kesimpulan
Kesimpulan
Gambar 4.2 Proses pengujian Stress Corrosion Cracking
c. Pengujian Metalografi
Siapkan alat dan bahan
Kesimpulan
c. Pengujian Metalografi
1. Alat dan bahan disiapkan.
2. Analisa pendahuluan dibuat untuk memilih bagian mana
yang akan dianalisa.
3. Spesimen dipotong dengan sesuai yaitu ke kiri 1 cm dan ke
kanan 1 cm dari bagian tengah ujung takikan.
4. Pembingkaian dilakukan menggunakan resin dan katalis
10 : 1 dan wadahnya menggunakan mounting mold.
5. Permukaan spesimen dibersihkan secara mekanik dengan
cara diamplas menggunakan amplas 120 mesh, 400 mesh,
800 mesh, 1000 mesh, dan 2000 mesh.
6. Pemolesan dilakukan pada spesimen menggunakan pasta
poles chromium oxide (Cr2O3) hingga mengkilap.
7. Spesimen dietsa menggunakan larutan etsa nital (95%
alkohol dan HNO3 5%) dalam 100 mL larutan, bilas
menggunakan aqua dm, kemudian semprotkan alkohol pada
permukaan spesimen.
8. Spesimen dikeringkan oleh udara panas menggunakan haat
gun.
9. Pengujian metalografi dilakukan untuk mengamati fasa,
ukuran butir, dan sifat mekanik.
10.Dibuat analisa dan pendahuluan.
11.Dibuat kesimpulan.
NaCl yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam gelas ukur 500 mL, dan
ditambahkan aqua dm 2000 mL
b. Pengujian metallography
Pengamplasan spesimen dengan 120, 400, 1000, dan 2000 mesh dan
pengolesan dengan chromium oxide (Cr2O3)
4. Aqua dm : secukupnya
5. Pasir silika (pantai) : secukupnya
6. Tissu : secukupnya
7. Larutan NaCl 3.5 % :2L
8. Lakban : secukupnya
9. Kain beludru : secukupnya
10. Pasta poles : secukupnya
Tabel 4. 3 Pengujian Salinity, Resistivity, Conductivity, TDS, dan pH awal dan akhir
Conductivit
Salinity Resistivity TDS pH
y
Awal
Akhi
r
b = 7,8 mm
c = 68,4 mm
d = 84 mm
e =13 mm
f = 41 mm
g = 4 mm
h = 7 mm
i = 3,4 mm
j = 178 mm
r = 4,5 mm
Ditanya: A0 ?
Jawab:
[
A 0 =2 2 ( axf ) + ( cxe ) +2 (( 1
2 )) ] [(
( e+f ) x b + ( ixf ) + ( jxi ) -2
1
2 )
( gxh ) +(2 ( π r 2 ) ) ]
[
A 0 =2 2 ( 47x41 ) + ( 68,4x13 ) +2
(( 1
2 ))
( 13+41 ) x 7,8 + (3,4x41 ) + ( 178x3,4 )
]
-2
[( 1
2 )
( 4x7 ) +(2 ( (3,14) (4,5) 2 ) )
]
[
A 0 =2 2 ( 1927 ) + ( 889.2 ) +2 (( 1
2 ))
( 54 ) x 7,8 + ( 139,4 ) + ( 605,2 )
]
-2 ([ 12 ( 28) )+(127,17) ]
A 0 =2 [ 4.743,2+421,2+744,6 ] -2 [ 141,17 ]
A0 = 2 [5.909] – 2 [141,17]
A0 = 11.535,66 mm2 = 17,880273 inch2
c. Luas penampang akhir
Diketahui: a = 47,3 mm
b = 7,95 mm
c = 68,5 mm
d = 84,4 mm
e = 12,35 mm
f = 41 mm
g = 5 mm
h = 6 mm
i = 3,03 mm
j = 179 mm
r = 5 mm
Ditanya: A0 ?
Jawab:
[
A 0 =2 2 ( axf ) + ( cxe ) +2 (( 1
2 )) ] [(
( e+f ) x b + ( ixf ) + ( jxi ) -2
1
2 )
( gxh ) +(2 ( π r 2 ) ) ]
[
A0 =2 2 ( 47,3x41 ) + ( 68,5x12,35 ) +2
(( 1
2 ))
( 12,35+41 ) x 7,95 + ( 3,03x41 ) + ( 179x3,03 )
]
-2
[( 1
2 )
( 5x6 ) +(2 ( (3,14) (5)2 ) )
]
[
A 0 = 2 2 ( 1939,3 ) + ( 845,975 ) +2 (( 1
2 ))
( 53,35 ) x 7,95 + (124,23 ) + ( 542,37 )
]
-2
[( ) 1
2
( 30 ) +(157)
]
A 0 = 2 [ 4.724,575+424,132+666,6 ] -2 [ 172 ]
A0 = 2 [5.815,307] – 2 [172]
A0 = 11.286,614 mm2 = 17,4943 inch2
d. Perhitungan beban
Diketahui: σy = 235 N/mm2 = 235 MPa
Safety factor = 75%
σuts = 470 N/mm2
A0 = 11.535,66 mm2 = 17,880273 inch2
Ditanya: FDIN? F?
Jawab:
FDIN = σy x safety factor
= 235 MPa x 75%
= 23,9633 kg/mm2 x 0,75
= 17,9725 kg/mm2
F = σuts x A0
= 470 N/mm2 x 11.535,66 mm2
= 5.421,760.2 N
= 552,8657 kgf
e. Safety factor
Diketahui: FDIN = 17,9725 kg
F = 5.421,760.2 N
SFDIN = FDIN x 0,75
= 17,9725 kg x 0,75
= 13,4749 kg
SF = F x 0,75
= 5.421,760.2 N x 0,75
= 4.066.320,15 N
= 414649,2584 kgf
f. Regangan
Diketahui: l0 = 178 mm
l1 = 179 mm
Ditanya: e ?
Jawab:
l1 - l 0
e=
l0
179-178
e=
178
e = 0,005618
g. Modulus elastisitas
Diketahui: σ = 235 N/mm2 = 235 MPa
e = 0,005618
Ditanya: E..?
Jawab:
σ
E=
e
235 MPa
E=
0,005618
23,9633 kg/mm 2
E=
0,005618
E=4.265,4503
h. Laju korosi
Diketahui: A0 = 11.535,66 mm2 = 17,880273 inch2
T = 17 Hari = 408 jam
Fe = 7,8 gram/cm3
Ditanya: Laju korosi?
Jawab:
Weight loss = W0 – W1
= 122,125 gr – 121,426 gr
= 0,699 gram
= 699 mg
534 x W
Laju korosi =
ρxAxT
534 x 699 mg
=
7,8 gram/cm3x 17,880273 inch 2 x 408 jam
= 6,55978 mpy
j. Diagram pourbaix
Gambar 4. 6 Diagram pourbaix NaCl 3,5%
Atmosphare
zone
Splash
Intertidal zone
zone
Submerged
zone
Subsoil
zone
l. Metallography
Tabel 4. 6 Pengamatan pengujian metallography
Gambar (1)
Gambar (2)
4.7.2 Saran
1. Pada saat pengukuran potensial, penambahan panjang dan pH
lebih teliti lagi agar tidak terjadi kesalahan.
2. Pada saat pengukuran berat dan dimensi spesimen uji lebih teliti
dalam membaca ukuran pada alat ukurnya.
3. Pada saat pengamatan spesimen uji setiap selama 21 hari lebih
teliti agar hasil pengamatannya lebih maksimal.