Anda di halaman 1dari 63

ANTROPOSENTRISME DALAM PEMIKIRAN TEOLOGI HASSAN

HANAFI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag)

Oleh :

Ita Permata Sari

NIM 53050160007

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)SALATIGA
2020

i
ii
iii
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Kesadaran tidak pernah pasif. Menyadari sesuatu berarti mengubah


sesuatu”
-Hassan Hasafi-

PERSEMBAHAN

Untuk orang tuaku,


Suamiku tercinta, para dosenku, saudara-saudaraku, dan
Sahabat-sahabat seperjuanganku.

v
UCAPAN TERIMA KASIH

1. Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.


2. Bapak dan Ibu tercinta yang selalu sabar, suami tercinta yang selalu
memberi dukungan dan menemani setiap waktu. Mas, Adek dan
Keponakanku, beserta keluarga besar, terima kasih banyak atas
dukungan dan do’a, bantuan moril serta materiil kepada ananda
dalam menyelesaikan skripsi.
3. Bapak Benny Ridwan, M.Hum Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Adab dan Humaniora Institut Agama Islam Negeri Salatiga.
4. Bapak Dr. Benny Ridwan M.Hum selaku pembimbing skripsi.
Terimakasih telah memberikan waktu, tenaga dan pikiran untuk
membimbing skripsi saya dapat terselesaikan.
5. Bapak Yedi Efriadi, M.Ag selaku Kaprodi Aqidah dan Filsafat Islam
Institut Agama Islam Negeri Salatiga, segenap Dosen Program Studi
Aqidah Filsafat Islam dan karyawan Fakultas Ushuluddin Adab dan
Humaniora Institut Agama Islam Negeri Salatiga.
6. Seluruh pihak yang telah berjasa dalam penyusunan skripsi ini yang
tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu. Semoga Allah SWT
selalu melimpahkan Rahmat-Nya pada kalian,Amiin.

vi
ABSTRAK
Teologi merupakan pondasi sebuah agama, sedangkan pemikiran
teologi dari seorang teolog akan memberikan efek yang signifikan kepada
penganutnya dalam kehidupan konkret. Karena menjadi dasar agama,
teologi akan menjadi dasar dalam berperilaku dan penyemangat hidup
seseorang. Maka dibutuhkan suatu konsep teologi yang tidak hanya
teosentris, namun juga antroposentris.
Penelitian ini fokus mengkaji tentang antroposentrisme yang
terdapat dalam pemikiran teologi Hassan Hanafi. Penelitian ini adalah
penelitian pustaka (library research) dengan menggunakan metode
penelitian deskriptif dan menganalisisnya secara interpretatif. Di sini penulis
mencoba “menegaskan” bahwa pemikiran Hassan Hanafi bermuara pada
satu titik yaitu antroposentrisme. Dengan keyakinan tersebut, maka kita akan
mengetahui bagaimana antroposentrisme dalam pemikiran teologi Hassan
Hanafi, dan bagaimana kita bersikap dengan bertolak pada pemikiran
antroposentrisme Hassan Hanafi.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa antroposentrisme Hassan
Hanafi merupakan pemusatan pemikiran pada manusia yang mengalami
dehumanisasi dalam sejarah. Sementara itu, tantangan yang bersifat internal
adalah keterbelakangan, kemiskinan dan kebodohan. Antroposentrisme
Hassan Hanafi juga mengajak umat Islam agar memiliki kepekaan terhadap
realitas dan isu-isu kontemporer.
Kata Kunci: teologi, antroposentrisme, Hassan Hanafi.

vii
Abstract
Theology is the foundation of a religion, while the theological
thinking of a theologian will have a significant effect on its adherents in
concrete life. Because it is the basis of religion, theology will be the basis
for behavior and encouragement for one's life. Then we need a theological
concept that is not only theocentrism, but also anthropocentrism
.This study focuses on examining anthropocentrism found in Hassan
Hanafi’s theological thinking. This research is a library research using
descriptive research methods and analyzing them interpretatively. Here the
author tries to "emphasize" that Hassan Hanafi's thoughts end at one point,
namely anthropocentrism. With this belief, we will find out how
anthropocentrism in Hassan Hanafi's theological thinking, and how we
behave by departing from Hassan Hanafi's anthropocentric thinking
The results of this study conclude that the anthropocentrism of
Hassan Hanafi is a concentration of thought in humans who have
experienced dehumanization in history. Meanwhile, internal challenges are
backwardness, poverty and ignorance. Hassan Hanafi’s anthropocentrism
thinking also invites Muslims to have sensitivity to reality and contemporary
issues.

Keyword: Hassan Hanafi, Theology, Anthropocentrism

viii
PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi huruf (pengalihan huruf) dari huruf Arab ke


huruf Latin yang digunakan adalah hasil Keputusan Bersama Menteri
Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 158 Tahun
1987 atau Nomor 0543 b/u 1987, tanggal 22 Januari 1988, dengan
melakukan sedikit modifikasi untuk membedakan adanya kemiripan dalam
penulisan.
A. Penulisan huruf :
No Huruf Arab Nama Huruf Latin
1 ‫ا‬ Alif Tidak dilambangkan
2 ‫ب‬ Ba’ B
3 ‫ت‬ Ta T
4 ‫ث‬ Sa s
5 ‫ج‬ Jim J
6 ‫ح‬ Ha h
7 ‫خ‬ Kha Kh
8 ‫د‬ Dal D
9 ‫ذ‬ Zal z
10 ‫ر‬ Ra R
11 ‫ز‬ Za Z
12 ‫س‬ Sin S
13 ‫ش‬ Syin Sy
14 ‫ص‬ Sad s
15 ‫ض‬ Dad d
16 ‫ط‬ Ta’ t
17 ‫ظ‬ Za z

ix
18 ‫ع‬ ‘ain ‘ (koma terbalik di atas)
19 ‫غ‬ Gain G
20 ‫ف‬ Fa’ F
21 ‫ق‬ Qaf Q
22 ‫ك‬ Kaf K
23 ‫ل‬ Lam L
24 ‫م‬ Mim M
25 ‫ن‬ Nun N
26 ‫و‬ Wawu W
27 ‫ه‬ Ha’ H
28 ‫ء‬ Hamzah ‘ (apostrof)
29 ‫ي‬ Ya’ Y

B. Vokal:
َ Fathah Ditulis ‘a’
َ Kasrah Ditulis ‘i’
َ Dlammah Ditulis ‘u’

C. Vokal panjang :
‫ا‬+َ Fathah + alif Ditulis a ‫جا هاية‬ Jahiliyyah
‫ى‬+َ Fathah + alif layin Ditulis a ‫تنس‬ Tansa
‫ي‬+َ Kasrah + ya’ mati Ditulis i ‫حكيم‬ Hakim
‫و‬+َ Dlammah + wawu Ditulis u ‫فروض‬ Furud
mati

x
D. Vokal rangkap :
‫ي‬ + َ Fathah + ya’ mati Ditulis ai ‫بينكم‬ Bainakum
‫و‬+َ Fathah + wawu Ditulis au ‫قو ل‬ Qaul
mati

E. Huruf rangkap karena tasydid ( َ ) ditulis rangkap :


‫د‬ Ditulis dd ‫ئدة‬ ‘Iddah
‫ن‬ Ditulis nn ‫منا‬ Minna

F. Ta’ marbuthah :
1. Bila dimatikan ditulis dengan h :
‫حكمة‬ Hikmah
‫جز ية‬ Jizyah
(ketentuan ini tidak berlaku untuk kata-kata bahasa Arab yang sudah
diserap kedalam bahasa Indonesia)
2. Bila ta’ marbuthah hidup atau berharakat maka ditulis t :
‫زكاة اافطر‬ Zakat al-fitr
‫جياة االنسان‬ Hayat al-insan

G. Vokal pendek berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan


Apostrof (‘) :
‫أانتم‬ A’antum
‫أءدد‬ U’iddat
‫لئن شكر تم‬ La’in syakartun

H. Kata sandang alif+lam


Al-qamariah ‫ااقر أن‬ al-Qur’an
Al-syamsiyah ‫ااسماء‬ al-Sama’

xi
I. Penulisan kata-kata dalan rangkaian kalimat :
Ditulis menurut bunyi atau pengucapannya
‫ذوي اافروض‬ zawi al-furud
‫أهل ااسنة‬ Ahl al-sunnah

xii
DAFTAR ISI
Halaman Judul ...................................................................................... i
Pernyataan Keaslian ............................................................................. ii
Persetujuan Pembimbing ...................................................................... iii
Pengesahan Kelulusan .......................................................................... iv
Motto dan Persembahan ...................................................................... v
Ucapan Terima Kasih ........................................................................... vi
Abstrak ................................................................................................. vii
Pedoman Transliterasi. ......................................................................... xi
Daftar Isi............................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 1
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 4
E. Kajian Pustaka ......................................................................... 4
F. Metodologi Penelitian .............................................................. 6
G. Sistematika Pembahasan……………………………………. . 6
BAB II BIOGRAFI HASSAN HANAFI………………………… . 8
A. Riwayat Hidup dan Perjalanan Intelektual…………………... 8
B. Latar Belakang Pendidikan-Politik .......................................... 12
C. Tokoh Yang Mempengaruhi .................................................... 15
D. Karya-karya Hassan Hanaf ...................................................... 20
E. Konsep Teologi Pembebasan Hassan Hanafi .......................... 22
BAB III TEOLOGI PEMBEBASAN .............................................. 25
A. Sejarah Teologi Pembebasan di Barat ..................................... 25
B. Teologi Pembebebasan dalam Islam........................................ 27
BAB IV ANTROPOSENTRISME DALAM PEMIKIRAN TEOLOGI
…………………………………………………………… .................. 30
A. Dari Teosentrisme menuju Antroposentrisme ......................... 30
B. Islam Kiri… ............................................................................. 39
BAB V PENUTUP .......................................................................... 44

xiii
A. Kesimpulan .............................................................................. 44
B. Saran ........................................................................................ 44
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 45
DAFTAR RIWAYAT HIDUP........................................................... 49

xiv
1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Polemik di zaman modern telah memaksa para pemikir muslim
untuk melahirkan gagasan-gagasan pembaharuan yang diharapkan bisa
menjadi solusi untuk menjawab persoalan kekinian. Kita ketahui
bahwasannya realitas yang terjadi di negara mayoritas muslim memang
memprihatinkan. Ketergantungan terhadap Barat dari segala aspek, seperti
ekonomi, sumber kekayaan alam yang tereksploitasi, merajanya westernisasi
dan masih banyak lagi realitas yang tak menggembirakan.
Tradisi Barat telah hadir di dalam kehidupan umat muslim dan
merupakan salah satu pengetahuan baginya. Barat mendominasi kehidupan
umat muslim di setiap lininya, inilah wajah kemunduran umat muslim.
Hingga kini belum ada gerakan kritik terhadap Barat kecuali dalam batas-
batas yang sempit.1 Dalam krisis seperti inilah dibutuhkan upaya keluar dari
dominasi Barat menuju kreativitas yang mencerminkan kemajuan dari setiap
umat yang terjajah.
Apabila sekte-sekte dalam dunia ilmu kalam masa lalu saling
bertentangan lantaran konflik politis, sehingga mereka menciptakan
legitimasi teologis pandangan-pandangannya. maka keadaan kaum muslimin
pada saat ini mengharapkan kelahiran pemikiran baru sehingga keyakinan
islamiah tampil dalam beberapa aspek kehidupan, yang berupa
ketertinggalan. Sehingga Islam perlu direlevansikan dan di tranformasikan
ke dalam bentuk progresivitas atau kemajuan umat muslim.2
Fungsi wahyu adalah untuk membebaskan kesadaran manusia dari
penindasan alam dan kepentingan sosio-politik. Kekuasaan transenden lebih

1
Hassan Hanafi, Oksidentalisme, sikap kita terhadap tradisi Barat, terj. M. Najib Bukhori
(Jakarta : Paramadina,2000). Hlm.8.
2
Hassan Hanafi, Oksidentalisme, Sikap kita terhadap tradisi Barat, M. Najib Buchori
(Jakarta: Paramadina, 2000). Hlm. 8.
2
hebat dari pada kekuasaan alam atau kekuasaan orang yang kejam.3 Alur
pemikiran yang seperti inilah yang patut menjadi landasan pembebasan
kaum tertindas. Manusia harus menjadi perhatian utama atau objek teologi
apalagi ketika posisinya dimarjinalkan. Maka sudah saatnya ada pergeseran
peradaban teosentrisme ke antroposentrisme. Nabi Muhammad sendiri
adalah membela yang lemah dan membendung yang kuat demi tercapainya
keadilan sosial. .
Umat Islam yang pernah sekian abad lamanya berjaya dalam segala
bidang kehidupan terkejut ketika supremasinya tiba-tiba saja tergusur oleh
Barat. Pada tahun 1789 M Napoleon Bonaparte mengadakan ekspedisi ke
Mesir. Hanya dalam kurun waktu kurang dari sebulan negeri itu jatuh di
bawah kekuasaannya. Persenjataan modern yang dibawa Napoleon tidak
bisa diimbangi oleh persenjataan tradisional kaum Mamalik, yang pada
waktu itu berkuasa di sana. Peristiwa semacam ini menggambarkan
bagaimana kelemahan umat Islam dan keunggulan Barat. Barat yang
rasional telah melahirkan peradaban yang sangat maju dan terus berlanjut
hingga kini. Barat menjadi mercusuar peradaban dunia dengan keunggulan
ilmu pengetahuan dan teknologinya dengan menempatkan rasio sebagai
pusat kesadaran manusia, berbeda dari peradaban Islam yang lebih condong
ke mitologi.4
Kondisi keterbelakangan umat muslim memang nyata, kalau dulu
yang menjadi polemik adalah perpecahan internal karena masalah politik
sampai pada soal teologi, maka saat ini permasalahan umat muslim ialah
keterbelakangan, kemiskinan, cengkraman kapitalisme dan masih banyak
lagi. Ketika yang menjadi permasalahan adalah perpecahan intenal maka
kita bisa membuktikan bagaimana aspek teologi bermain di dalamnya.
Menurut Hassan Hanafi teologi dapat berperan sebagai suatu ideologi
pembebasan bagi yang tertindas atau sebagai suatu pembenaran penjajahan

3
Hassan Hanafi, Liberalism, Revolusi, Hermeneutik, terj. Jajat Hidayatul Firdaus
(Yogyakarta : Cv. Arruzz Book Gallhery, 2003),hlm.88.
4
Fadilah Nurhayati, Skripsi : “Teologi pembebasan Dalam Pandangan Hassan Hanafi”.
(Surakarta:2018 ). Hlm.3.
3
oleh para penindas. Teologi memberikan fungsi legitimatif bagi setiap
perjuangan kepentingan dari masing-masing lapisan masyarakat yang
berbeda.5
Dalam konteks ini, teologi merupakan hasil proyeksi kebutuhan dan
tujuan masyarakat ke dalam teks-teks kitab suci. Karena itu, Hassan Hanafi
menyimpulkan bahwa tidak ada kebenaran obyektif atau arti yang berdiri
sendiri untuk setiap ayat kitab suci,terlepas dari keinginan manusiawi atau
barangkali hanya merupakan cita-cita dan nilai atau pernyataan egoisme
murni6.
Sesuai perkembangan zaman, dunia Islam membutuhkan teologi
Islam yang bersifat tajriby (empirik), sebagai teologi yang lebih “membumi”
dari pada “melangit” seperti selama ini. Dialektika-teologis terus berlanjut
sepanjang sejarah peradaban manusia, sesuai dengan kontek zaman yang
melingkupinya. Bagaimanapun teologi tidak berarti hanya berbicara
mengenai iman an-sich. Jika iman bersifat “pure matter” atau substantive,
maka teologi lebih bersifat metodologik.7
Pemikiran Hassan Hanafi senantiasa mempresentasikan hubungan
dialektis antara subjek diri (al-Ana, Self) dan yang lain (al-Akhar, Other)
dalam proses sejarah. Demikian itu adalah dalam rangka melakukan
reinterpretasi terhadap tradisi yang relevan dengan tuntutan kontemporer.
Bagi Hassan Hanafi, sebuah risalah pemikiran bukanlah sebuah risalah
pemikiran apabila tidak berkaitan dengan realitas untuk melakukan
perubahan yang signifikan.8
Tentu sangat relevan mengangkat dimensi antropologis dalam
pemikiran Hassan Hanafi. Penulis memandang bahwa apa yang melatar
belakangi Hanafi ialah kondisi umat yang kehilangan peran dalam sejarah.

5
Nurul chotimah dan Maulana Masudi,” Studi Tentang Pemikiran Hassan Hanafi”. Al-
Hikmah : Jurnal Studi Agama-Agama/Vol. 1, No.2, 2015. Hlm. 2.
6
Hendri Nadrian,” Pemikiran Kalam Hassan Hanafi : Rekonstruksi Epistemologi Keilmuan
Kalam dan Tantangan Modernitas”. Jurnal Intizar, Vol. 21, No. 2,2015. Hlm.253.
7
M. Gufron,” Transformasi Paradigma Teologi Teosentris Menuju Antroposentris”, Journal
of Islamic Studies and Humanities, Vol. 3, No.1, Juni 2018. Hlm. 143.
8
Hassan Hanafi,” Studi Filsafat 1:Pembacaan Atas Tradisi Islam
Kontemporer”,(Yogyakarta:LKis 2015) hlm. Xxii.
4
B. Rumusan Masalah
Dengan berdasarkan latar belakang ini, penulis menetapkan poin
yang akan menjadi inti pembahasan skripsi ini, yaitu :
1. Bagaimana antroposentrime dalam pemikiran teologi Hassan Hanafi.
2. Bagaimana sikap kita terhadap realitas dengan bertolak dari
pemikiran antroposentrisme Hassan Hanafi.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dibahas penulis adalah :
1. Mengetahui antroposentrisme dalam pemikiran Hassan
Hanafi.Kegunaan penelitian ini adalah memberikan pemahaman
tentang bagaimana antropesentrisme dalam pemikiran teologi
Hassan hanafi.
2. Mengetahui bagaimana sikap kita dalam menghadapi tuntutan zaman
dengan bertolak dari pemikiran antroposentrisme Hassan Hanafi.

D. Manfaat penelitian
1. Manfaat penelitian ini adalah memberikan pemahaman tentang
bagaimana antropesentrisme dalam pemikiran teologi Hassan
Hanafi.
2. Manfaat praktis sebagai sumbangan karya ilmiah pada dunia
akademik, khususnya pemikiran Islam kontemporer.

E. Kajian Pustaka
Hassan Hanafi adalah seorang pemikir muslim yang banyak
menyerap tradisi pemikiran Barat sekaligus mengkritisinya. Begitu juga
dengan tradisi klasik yang ada pada umat Islam. Ada banyak pihak yang
mengkaji dalam bentuk buku, artikel, maupun skripsi.
Ada 2 macam data yang peneliti jadikan sebagai rujukan dalam
skripsi ini, di antaranya data primer dan data sekunder. Rujukan primer
adalah karya-karya tulis dari Hassan Hanafi sedangkan rujukan sekunder
5
adalah karya orang lain yang membahas Hassan Hanafi, baik yang
berbentuk buku, skripsi maupuna artikel.
Referensi primer yang menjadi rujukan dalam penelitian ini ialah :
1. Hassan Hanafi, Studi Filsafat I (Pembaca Atas Tradisi Islam
Kontemporer), (Yogyakarta : LKiS 2015).
2. Hassan Hanafi, Islamologi 3: Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme,
penerjemah Miftah Faqih (Yogyakarta : LKiS 2007).
3. Hassan Hanafi, Oksidentalisme : Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat,
penerjemah M.Najib Buchori (Jakarta : Paramadina 2000)
Referensi sekunder yang menjadi rujukan dalam penelitian ini ialah :
1. Buku Kazuo Shimogaki yang berjudul Kiri Islam, Antara Modernisme
dan Postmodernisme yang diterbitkan oleh LKis. Di dalam buku
tersebut menjelaskan keterkaitan antara Kiri Islam dengan
postmodernisme sebagai anti-tesis terhadap krisis yang yang
disebabkan oleh modernitas.
2. Buku Asghar Ali Engineer yang berjudul Islam dan Teologi
Pembebasan, yang diterbitkan oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta. Buku
tersebut mengupas teologi pembebasan dalam Islam dan relevansinya
di dalam kehidupan sekarang.
3. Adapun karya yang membahas pemikiran Hassan Hanafi dalam
bentuk skripsi dan jurnal yaitu:
a. Teologi Pembebasan Dalam Pandangan Hassan Hanafi yang
ditulis oleh Fadilah Nur Hayati. Penelitian tersebut mengarah
pada penjelasan rekontruksi teologi tradisonal menuju teologi
pembebasan.
b. Antroposentrisme Dalam Pemikiran Hassan Hanafi yang
ditulis oleh Nur Idam Laksono. Skripsi tersebut meneliti
mengenai corak antroposentris didalam gagasan-gagasan
Hassan Hanafi.
c. Jurnal yang berjudul Konsep Teologi Hassan Hanafi yang
ditulis oleh Syarifuddin. Jurnal tersebut menjelaskan bahwa
rekonstruksi menurut Hassan Hanafi, tidak harus membawa
6
implikasi hilangnya tradisi-tradisi lama, namun untuk
mengkonfrontasikan ancaman-ancaman baru yang dating ke
dunia dengan menggunakan konsep yang terpelihara dalam
sejarah,.
F. Metodologi Penelitian
Seorang peneliti dalam rangka pelaksanaan pengumpulan data, harus
menentukan sumber-sumber data serta lokasi dimana sumber data tersebut
dapat ditemukan dan diteliti. Atas dasar Metode Pengolahan Data.
Setelah data primer dan sekunder terkumpul, peneliti akan
melakukan pengolahan data dengan cara menyaring dan memilah untuk
mendapatkan data yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan kajian dalam
penelitian ini. Langkah-langkah metode penelitian tersebut ialah :
1. Deskriptif, yaitu menguraikan, mengkaji, dan menjelaskan
pemikiran seorang tokoh.9
2. Analisis data yaitu suatu proses mengatur urutan data,
mengorganisirnya ke dalam suatu pola yang mengarahkan pada
kajian yang komprehensif berdasarkan tema yang penulis angkat.
3. Interpretatif, dengan metode ini peneliti akan menguraikan apa yang
dimaksud dengan antroposentrisme dalam pemikiran Hassan Hanafi.
Untuk memahami antroposentrisme tersebut melakukan pendekatan
secara filosofis, yaitu memahami intisari, atau esensi dari tema
antroposentrime dalam pemikiran Hassan Hanafi.
G. Sistematika Pembahasan
Agar pembahasan dalam penelitian ini dapat dilakukan secara
sistematis, maka penulis melakukan pemetaan dalam bentuk urutan
pembahasan. Dari satu bab menuju ke bab yang lain. Sistematikanya sebagai
berikut :
Bab pertama, dalam bab ini menjelaskan tentang pendahuluan, latar
belakang, masalah, hal-hal apa saja yang menjadi alasan pemilihan tema

9
Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Yogyapkarta: Paradigma, 2005),
hal.59.
7
tersebut, metode yang digunakkan serta kegunaan penelitian. Bab pertama
memberikan landasan agar bab berikutnya pembahasan lebih terfocus.
Bab kedua, menjelaskan latar belakang Hassan Hanafi yang akhirnya
menjadi seorang pemikir atau Biografi Hassan Hanafi.
Bab ketiga, adalah pengantar menuju bab berikutnya. Dalam bab ini
peneliti akan mencoba menjelaskan pemikiran tokoh lain yang coraknya
sama dengan Hassan Hanafi.
Bab keempat, adalah inti dari penelitian yang penulis lakukan.
Dalam bab keempat pembahasan akan mengupas bagaimana konsepsi
Hassan Hanafi tentang “pembelaannya” terhadap kaum lemah yang
kemudian tersirat dalam pemikirannya, demikian juga sikapnya terhadap
hegemoni peradaban suatu bangsa yang hendak menjadikan dirinya sebagai
sentral.
Bab kelima, berarti penutup yang meliputi kesimpulan dan saran
penulis mengenai kajian tentang Hassan Hanafi sekaligus pandangan penulis
terhadap Hassan Hanafi.
8
BAB II
BIOGRAFI HASSAN HANAFI
A. Riwayat Hidup dan Perjalanan Intelektual
Hassan Hanafi merupakan intelektual Islam kontemporer yang
punyan pengaruh besar dalam diskursus teologi Islam. Sejarah telah
mencatat kontribusinya terhadap pemikiran Islam kontemporer dalam
merespon dinamika kehidupan mutakhir. Hassan Hanafi lahir pada tanggal
13 februari tahun 1935 di Kairo, Mesir tepatnya di dekat Benteng
Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar, di mana kota ini merupakan
tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin
belajar, terutama di Universitas Al-Azhar. Ia lahir dari leluhur Berber dan
Badui Mesir. Ia adalah seorang filosof dan teolog Mesir yang meraih sarjana
muda dalam bidang filsafat di Universitas Kairo pada tahun 1956.10
Sudah menjadi hukum yang general bahwa setiap orang merupakan
anak zaman. Kondisi lingkungan merupakan pengaruh yang dominan dalam
pembentukan pemikan seseorang. Alasan untuk memilih gaya hidup, cara
berpikir, atau kecenderungan tertentu dapat diketahui dengan menelusuri
kondisi yang mengelilingi saseorang.
Pendidikan Hanafi diawali di pendidikan dasar di Madrasah
Sulayman Ghawish, tamat tahun 1948. Kemudian melanjutkan studinya di
Madrasah Sanawiyah “ Khalil Alga”, Kairo yang diselesaikannya selama
empat tahun, pada tahun 1952. Sejak masih remaja kesadaran pertama yang
tumbuh dalam diri Hanafi adalah “kesadaran nasional” (national
consciousness), pertumbuhan kesadaran ini terkait dengan kenyataan situasi
Mesir yang dalam perang ke II menjadi sasaran serangan jerman. Semangat
nasionalisme yang membara mendorong Hanafi untuk terjun sukarela
membantu perjuangan Mesir dalam perang melawan Israel. Tetapi dengan
segera ia menyadari adanya perpecahan yang tidak bisa diselesaikan di

10
Hamzah, Teologi Sosial: Telaah Pemikiran Hassan Hanafi, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2013), hlm.11.
9
antara bangsa Arab sendiri dalam menghadapi Israel dan sangat merugikan
Mesir khususnya.11
Menyimpan rasa frustasi yang sangat pahit terhadap realitas
nasionalisme Arab sekuler yang gagal menyatukan bangsa Arab, hanafi
secara alamiah bergeser kepada Islam. Melanjutkan pelajaran ke Universitas
Kairo, ia kemudian aktif mengikuti diskusi-diskusi kelompok Ikhwanul al-
Muslimin yang sedang menemukan momentumnya, bukan hanya karena IM
berdiri paling depan melawan Israel, tetapi juga karena ia percaya bahwa
organisasi ini mampu menghadapi sosialisme-komunisme yang juga
semakin kuat dalam lingkaran kekuasaan Mesir. Hanafi juga aktif mengikuti
demonstrasi-demonstrasi IM dan politik mahasiswa di kampus Universitas
Kairo. 12
Menjelang akhir 1950 an merupakan masa bangkitnya “kesadaraan
keagamaan (religious consciousness) dalam diri Hanafi. Pemikirannya
bertolak dari motif-motif Islam. Pada masa inilah ia mengenal secara lebih
mendalam pemikiran dan wacana Islam yang berkembang di lingkungan
gerakan Islam (harakah). Sejak itu Hanafi berkonsentrasi mendalami
pemikiran agama, revolusi, dan perubahan sosial.13
Setelah tamat dari Universitas Kairo Mesir, ia melanjutkan
pendidikannya di Universitas Sorbonne Perancis. Ia mengambil spesialisasi
Filsafat Barat Modern dan Pra Modern. Di Perancis inilah Hanafi
mematangkan filsafatnya. Di Perancis ini, Hanafi merasakan sangat berarti
bagi perkembangan pemikirannya, dan di Perancis inilah ia berlatih berfikir
secara metodelogis, baik melalui kuliah-kuliah ataupun bacaan karya-karya
orientalis. Disamping itu Hanafi juga tertarik untuk mendalami pemikiran

Moh Hefni, “Rekonstruksi Maqashid al-Syariah (Sebuah Gagasan Hassan Hanafi tentang
Revitalisasi Turats), Jurnal al-Hikam. Vol. 6 No. 2 Desember 2011, hlm. 168.
12
Hassan Hanafi, Dari Akidah ke Revolusi : Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, Terj. Miftah
Faqih (Jakarta: Paramadina, 2003), hlm.13.
13
A H. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam : Pemikiran Hassan Hanafi Tentang
Reaktualisasi Tradisi Islam Keilmuan Islam, (ITTAQA Press, 1998), hlm.15.
10
filsafat Idealisme Jerman, terutama filsafat dialektika yang lazim dalam
pemikiran Hegel dan Marx.14
Pada masa inilah Hanafi mulai merumuskan kembali “proyek
besar”-nya untuk menciptakan metodelogi dan teologi baru Islam dengan
pendekatan-pendekatan baru pula. Dalam kerangka itu Hanafi mengajukan
rencana disertasi di Universitas Sorbone dengan judul “The General Islamic
Method”. Judul ini menggambarkan keinginannya untuk merumuskan Islam
sebagai metode yang umum dan komprehensif dalam kehidupan personal
dan sosial.15
Orang yang berjasa dalam filosofis Hanafi adalah Jean Guitton,
seorang Guru Besar Ilmu Filsafat dan pentolan modernis Katolik Roma.
Dialah yang memandu Hanafi dalam pembacaan dan studi tentang filsafat
Barat. Dia juga yang memberikan panduan kepada Hanafi dalam hal-hal
praktis, seperti bagaimana memberikan kuliah umum dan metode-metode
penelitian. Metode dan perspektif umum Guitton kondusif bagi
pengembangan pemahaman Hanafi tentang pendekatan-pendekatan untuk
rekonsiliasi posisi-posisi yang berbeda. Hanafi banyak belajar mengenai
urgensi starting point dalam filsafat. Filsafat membutuhkan titik permulaan
yang diperdalam oleh seorang filsuf kemudian setelah itu digeneralisasikan
sedemikian rupa hingga sampai pada mertafisika murni. Dialah yang sangat
berpengaruh bagi kesadaran Hanafi tentang kehidupan, transformasi dari
idealisme ke realism, dan transformasi dari pikiran ke eksistensi.16
Karakteristik lain pemikiran Hanafi pada dasawarsa 1960-an banyak
di pengaruhi oleh faham-faham dominan yang berkembang di Mesir, yaitu
nasionalistik-sosiolistik-populistik yang juga dirumuskan sebagai ideologi
Pan Arabik. Baru pada akhir dasawarsa itu Hanafi mulai berbicara tentang
keharusan Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif

14
Hassan Hanafi, Islamologi 3: Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme, Terj. Miftah
Faqih(Yogyakarta: LKis 2004), hlm. X.
15
A H. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam : Pemikiran Hassan Hanafi Tentang
Reaktualisasi Tradisi Islam Keilmuan Islam, (ITTAQA Press, 1998), hlm.14.
16
Hassan Hanafi, Islamologi 3 : Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme, (Yogykarta: LKiS,
2011) hlm.xviii.
11
dan berdimensi pembebasan (at-taharrur, liberation). Ia mensyaratkan
fungsi pembebasan jika diharapkan Islam dapat membawa masyarakat pada
kebebasan dan keadilan, khususnya keadilan, khususnya keadilan sosial
sebagai ukuran utamanya. Struktur yang populistik adalah manifestasi
kehidupannya dan kebulatan kerangka pemikiran sebagai resep utamanya.17
Pada tahun 1966, ia berhasil menyelesaikan program Master
Doktornya di Universitas Sorbone, ia memperoleh gelar doctor dengan
desertasinya yang berjudul Essai Sur La Methode d’Exegese (Essai tentang
Metode Penafsiran).18 Karir Hanafi dimulai dengan diangkatnya menjadi
Rektor (1980) pada jurusan Filsafat Universitas Kairo. Kemudian mulai
tahun 1988, ia diserahi jabatan sebagai Ketua Jurusan Filsafat pada
Universitas yang sama.
Suasana Mesir sendiri baik secara politik maupun intelektual kurang
kondusif baginya. Sehingga Hanafi mengembara ke negara lain dan aktif
memberi kuliah, seperti di Prancis (1969), Belgia (1970), Temple
Universitas Philadelphia Amerika Serikat (1971-1975), Universitas Kuwait
(1979), Universitas Fez Maroko (1982-1984) dan menjadi guru besar tamu
di Universitas Tokyo (1984-1985), di Persatuan Emirat Arab (1985),
kemudian diangkat menjadi Penasehat Program pada Universitas PBB di
Jepang (1985-1987) dan sekembalinya dari Jepang pada 1988 ia diserahi
jabatan Ketua Jurusan Filsafat di Universitas Kairo.19
Aktivitas dunia akademik ditunjang dengan aktivitas di organisasi
masyarakat. Hanafi aktif sebagai sekretaris umum Persatuan Masyarakat
Filsafat Mesir. Ia menjadi anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika, anggota
gerakan Solidaritas Asia-Afrika serta menjadi Wakil Presiden Persatuan
Masyarakat Filsafat Arab.20 Pemikiran-pemikiran Hassan Hanafi tersebar di

17
A.H Ridwan,” Reformasi Intelektual Islam: Pemikiran Hassan Hanafi Tentang
Reaktualisasi Tradisi Keilmuan Islam”, (Yogyakarta: ITTAQA Press, 1998), hlm. 15.
18
Hassan Hanafi, Islamologi 3 : Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme, (Yogykarta: LKiS,
2011) hlm.xviii.
19
Suharti,”Gagasan Kiri Islam Hassan Hanafi, Ulumuna,Vol. IX Edisi 16 Nomor 2 Juli-
Desember 2005.hlm.357.
20
Ibid,”hlm.358.
12
dunia Arab sampai ke Eropa. Pada tahun 1981 ia memprakarsai dan
sekaligus sebagai pimpinan redaksi penerbitan jurnal ilmiah dengan Al-
Yasar al-Islami. Pemikirannya yang terkenal dengan Al-Yasar al-Islami
sempat mendapat reaksi dari penguasa Mesir Anwar Sadat yang
memasukannya ke penjara.21
Hanafi banyak menyerap pengetahuan Barat dan
mengkonsentrasikan diri pada kajian pemikir Barat pra modern dan modern.
Karena itu meskipun ia menolak dan mengkritik Barat, seperti disebut
Kazuo Shimogaki, ide-ide liberalisme Barat, demokrasi, rasionalisme dan
pencerahan telah mempengaruhinya, sehingga Shimogaki
mengkategorikannya juga sebagai seorang modernis liberal.22

B. Latar Belakang Sosio-Politik


Untuk mengenal lebih jauh pemikiran Hanafi maka ada baiknya
meninjau dahulu latar belakang sosio politik pemikiran Hanafi. Hal ini
penting mengingat adanya pola interaksi intelektual antara pemikiran
dengan lingkungan. Untuk memahami pemikiran Hanafi dan kaitannya
dengan Negara Mesir, maka akan selalu terdapat proses komunikasi dan
ekspresi dengan lingkungannya, dan hubunganya timbal balik antara
pemikiran ke Islaman disatu pihak dengan kondisi lain pihak.23
Pemikiran bersumber dari pengetahuan yang dibentuk secara
sosiologis. Karena itu pengetahuan, tidak dapat dipisahkan dari akar
sosialnya, tradisi dan keberadaan pemikir tersebut.dengan itu pula,
pemikiran Hanafi tidak bisa dipahami tanpa meletak-kannya dalam suatu
posisi sejarah atau tradisi panjang yang melingkarinya. Dengan demikian
ada dua hal yang melatar belakangi pemikiran Hanafi yaitu :

21
Yusdani,” Gerakan Pemikiran Kiri Islam: Studi Atas Pemikiran Hassan Hanafi, Jurnal Al
Mawarid Edisi VII 2002. Hlm.81
22
Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme dan Posmodernisme, terj. M. Imam
Aziz dan M. Jadul Maulana (Yogyakarta: LKis, 2007), hlm. 3.
23
Ahmad Ridwan, “Reformasi Intelektual Islam: Pemikiran Hassan Hanafi tentang
Reaktualisasi Tradisi Keilmuan Islam, ITTAQA Press, (Yogyakarta: 1998), hlm.9.
13
1. Kondisi Sosial Politik Mesir
Mesir yang terletak pada persimpangan jalan antara Afrika dan Asia
memiliki posisi yang strategis, disamping tanah yang subur membangkitkan
minat para penakluk dan negara-negara besar pada masa lampau. Arti
strategis Mesir bertambah lagi dengan digalinya terusan Suez pada tahun
1869. Meskipun milik swasta, terutama maskapai Perancis, secara strategis
berada dibawah kontrol Inggris yang menyadari kepentingan terusan ini ini
bagi kepentingan imperiumnya.
Pada penggalan akhir abad XIX situasi politik, sosial dan intelektual
di Mesir sedang mengalami perubahan, sebab pada masa itu dengan
berakhirnya Perang Dunia I, Mesir mengalami kebangkitan nasionalisme
yang ditunjang oleh berbagai faktor, yaitu :
a. Kehadiran pasukan Inggris, Australia dan Selandia Baru yang
melukai rasa kebangsaan Mesir.
b. Pembiayaan bagi tentara berpenghasilan tetap.
c. Digunakannya orang Mesir menjadi tenaga kerja Inggris yang
mengurangi persediaan buruh di Mesir.
d. Naskah Empat Belas pasal Wilson serta deklarasi Inggris-
Perancis yang menjanjikan kemerdekaan bagi negara-negara Arab
yang merangsang hasrat yang besar guna meraih kemerdekaan
penuh dari pengawasan asing.24
Perang Dunia II mengakibatkan kekacauan dalam struktur sosial
dan ekonomi Mesir juga serupa dengan pada masa Perang Dunia I, dan
pengaruhnya pada psikologi politik Mesir juga sebanding. Hal ini juga
merangsang suatu gelombang nasionalisme anti asing yang condong
berbentuk kekerasan. Di sayap kiri terdapat partai komunis yang
bertambahnya prestisenya sebagai hasil dari pengaruh Soviet di seluruh
dunia. Kemenangan Soviet selama perang dan dikukuhkannya perwakilan
Soviet di Kairo (1942) merangsang minat terhadap komunisme di antara
mahasiswa dan para intelektual muda.

24
Ibid”, hlm.10
14
Sementara itu di sayap kanan terdapat kelompok persaudaraan
Islam (Al-Ikhwan al-Muslimin), didirikan oleh Syekh Hassan al-Banna
(1929) di Ismailia, yang pro Islam dan Anti Barat. Kelompok ini memiliki
sejumlah besar pengikut pada akhir perang dunia II, bahkan pengaruhnya
menembus ke luar wilayah Mesir. Sikap pemerintahan Mesir dalam
usahanya mempertahankan ketertiban terlihat pada tindakan pembersihan
terhadap kaum komunis, yang terjadi pada bulan Juli 1946. Disusul pada
bulan Februari 1949 pembunuhan terhadap Hassan al-Banna setelah
pemerintah Mesir melarang kelompok persaudaraan pada bulan Desember
1948.25
Dinamika politik di Mesir terlihat kental ketika kerusuhan Kairo
pada 19 Januari 1952 Ismailiya meletus sebagai awal revolusi yang dimotori
oleh partai sosialis DR. Ahmad Hussain. Kemudian pada tanggal 23 Juli
terjadi revolusi Juli yang dilakukan oleh suatu komando revolusioner yang
terdiri atas sebelah perwira muda dikenal dengan Free Officer. Kelompok
ini sebagai kekuatan dinamis baru diketuai oleh Muhammad Najib, yang
memanfaatkan kesempatan untuk melakukan kudeta terhadap Raja Faruq, di
saat situasi tidak dapat dikendalikan.26
Pada saat dilakukan pengambil alihan kekuasaan tertinggi negara itu,
ia mengajak kelompok Ikhwan al-Muslimin yang mempunyai pendukung
dari kalangan masyarakat bawah, karenanya ia dikenal dengan revolusi
1952. Setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 1953 Mesir resmi menjadi
Republik. Sebagai Presiden pertama adalah Muhammad Najib dan Perdana
Menterinya Gamal Abdul Nasr. Hal ini sekaligus mengakhiri riwayat
monarki yang dibangung Muhammad Ali. Kerjasama yang dilakukan
Muhammad Najib dan IM tidak berlangsung lama. Sebab pemerintahan
Mesir menganggap IM kelompok yang sangat berbahaya karena memiliki

25
Ibid,” hlm.10-11.
26
Moh. Hefni, “Rekonstruksi Maqashid Al-Syari’ah: Sebuah Gagasan Hassan Hanafi
tentang Revitalisasi Turats”, dalam al-ihkam Vol.6 No. 2 (Desember 2011), hlm. 171.
15
organisasi yang efektif, ideologi yang berpengaruh dan tradisi perlawanan
terhadap tradisi lama.27
Kondisi politik Mesir sejak awal abad XIX mengalami dinamika
politik dan selalu didominasi oleh pertentangan antara golongan Islam
tradisional. Pertentangan ini berlangsung lama karena para pendukung saling
menggunakkan paradigma yang berbeda.
Situasi politik yang demikian sangat berpengaruh dalam
pembentukan kepribadian Hanafi, di mana ia lahir dan dibesarkan. Hal ini
terlihat pada keterlibatannya dalam berbagai pergolakan politik semasa
kecilnya.28 Diantaranya, pemberontakan melawan Inggris di Terusan Suez
pada tahun 1951, revolusi Mesir 1952 dan lain sebagainya. Kuatnya
perhatian Hanafi dalam memperjuangkan kepentingan umat secara luas, juga
keterlibatannya dalam gerakan-gerakan politik. Hal ini menunjukkan betapa
besarnya pengaruh situasi kondisi politik Mesir pada pembentukan
kepribadian Hanafi.

C. Tokoh Yang Mempengaruhi


Perjalanan intelektual seorang pemikir tak lahir secara tiba-tiba, ada
proses panjang yang melatar belakanginya. Begitupun yang terjadi dengan
Hassan Hanafi, ketertarikannya pada dunia Islam dan Filsafat membuat
dirinya banyak membaca karya-karya ulama filsuf sebelumnya. Dalam
proses itulah, terjadi transfer pengetahuan yang kemudian memiliki
pengaruh terhadap pembacanya. Dalam tulisan ini, sedikitnya penulis
menguraikan pengaruh Edmund Husserl, Karl Marx, Sayyid Qutb, dan
Muhammad Iqbal.

27
Ibid,”hlm. 72.
28
Ibid, “hlm 71.
16
1. Pengaruh Edmund Husserl
Edmund Husserl merupakan tokoh fenomenologi dalam filsafat.
Lahir pada tanggal 8 April 1859 di Prossnitz dan meninggal pada 1938 di
Freiburg, Breisgau. Ia adalah filsuf Jerman keturunan Yahudi.29
Karya Hanafi berupa desertasi 900 halaman dengan judul, “Essai
Sur La Methode d’Exegese”(Essai tentang Metode Penafsiran) . Lahir dari
buah pikirannya karena ia mendalami filsafat Edmund Husserl yang banyak
memberinya inspirasi. Karya tersebut merupakan upaya Hanafi dalam
mengahapkan ilmu Ushul Fiqh terhadap filsafat Fenomenologi Husserl.30
Filsafat fenomenologi Husserl diletakkan sebagai dasar oleh Hanafi
dalam memahami dan memetakan realitas sosial, politik ekonomi, realitas
khazanah keislaman, dan realitas tantangan Barat, dengan menekankan pada
revolusi teologi. Hanafi hendak menganalisis kontek sejarah Islam Mesir
dengan kacamata Fenomenologi Husserl, sebagai sebuah pijakan yang
kebenarannya relatif memuaskan dibanding dengan metode lain. Meskipun
kita tak menafikan, setiap metode ilmiah memiliki kekurangan dan
kelebihannya masing-masing.
Maka kita dapat membaca bagaimana arah pemikiran Hassan
Hanafi. Dalam berbagai gagasan yang dilontarkan, realitas menjadi pijakan
dalam pemikiran Hanafi, termasuk juga dalam memutuskan hukum Islam.
2. Pengaruh Karl Marx
Karl Marx lahir di Trier, Jerman pada tahun 1818, dari kalangan
keluarga ruhaniawan Yahudi. Ayahnya Heinrich Marx, adalah seorang
pengacara ternama dan termasuk golongan menengah di kota itu. Sementara
ibunya adalah putri seorang pendeta Belanda yang juga berbangsa Yahudi.
Tahun 1935, saat itu ia berusia 17 tahun Marx menamatkan sekolah
menengah di Traves. Kemudian, atas kemauan sang ayah yang tidak bisa ia

29
Ali Maksum, Pengantar Filsafat : Dari Klasik HIngga Postmodernisme, (Yogyakarta :
Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 189.
30
Hassan Hanafi,” Studi Filsafat 1: Pembacaan Atas Tradisi Isam Kontemporer,terj. Miftah
Faqih (Yogyakarta;LKis 2015), hlm.xx.
17
tolak, ia masuk fakultas hukum Universitas Bonn selama satu tahun.
Kemudian ia mempelajari filsafat dan sejarah di Universitas Berlin.31
Periode yang dilalui tersebut dalam sejarah kefilsafatan laazim
dikenal dengan sebutan periode Marx Muda. Saat belajar di Berlin ia sangat
tertarik dengan filsafat Hegel. Sehingga dalam perkembangannya, banyak
gagasan Hegel yang diterjemahkan secara kongkrit dalam pemikiran Karl
Marx. Ia sempat tinggal di Jerman, Paris, dan akhirnya meninggal di London
tahun 1883. Namun pemikirannya sampai saat ini masih hidup, mengisi
ruang-ruang diskusi menembus batas ruang dimana Karl Marx hidup.32
Tak terkecuali Hanafi yang dikenal sebagai pemikir kiri, bahkan ia
pernah menulis tentang kiri Islam. Sebuah gagasan konstruktif menuju
kebebasan berfikir dan kesejahteraan umat. Maka jika kita mencermati
gerakan pemikiran Hanafi, ada pengaruh Karl Marx sebagai pemikir kiri,
Hanafi menghendaki revolusi, bangunan Teologi Islam yang dihadirkan oleh
Hassan Hanafi mencerminakan kesamaan kelas.
Hassan Hanafi menghendaki lahirnya kehidupan yang berkeadilan,
sebagai spirit ajaran Islam yang menempatkan manusia pada posisi yang
sama. Karenanya Hanafi menentang penjajahan dan eksploitasi kekayaan
yang banyak diminati oleh pengusaha ataupun pemerintah yang dengan
seenaknya menggunakan uang negara tanpa berfikir tentang nasib rakyat.
Pandangan seperti itu tentu sejalan dengan pemikiran Karl Marx yang
mengandaikan tatanan dunia berkeadilan tanpa perbedaan kelas. Tetapi
pemikiran kesetaraan Hanafi sendiri sebenarnya tidak terlalu sulit seperti
Karl Marx, sebab sandaran pandangan Hanafi adalah Islam.33
3. Pengaruh Sayyid Qutb
Sayyid Qutb lahir di Qaha Provinsi Asyud Mesir pada tahun 1906, ia
pernah belajar di Darul al-‘Ulum dan berhasil meraih sarjana sastra dan
diploma bidang pendidikan. Pada tahun 1930 an sampai dengan tahun 1940

31
Ali Maksum, “Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme”,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011) hlm.153.
32
Ibid, hlm. 153
33
Hassan Hanafi, Al-Yasar al-Islami: Paradigma Islam Tranformatif, Jurnal Islamical No.1
(Juli-September 1993),9, Suhermanto,”Kiri Islam”,hlm.180.
18
an, ia terlibat secara intens dalam debat sastra. Ia sempat menjadi inspektur
pada kementrian pendidikan.
Namun melihat krisis politik Mesir yang menyebabkan terjadinya
kudeta politik oleh militer pada Juli tahun 1952 membuat ia bergabung
dengan Ihwanul Muslimin. Seiring dengan posisi Ihwanul Muslimin yang
menentang pemerintah, organisasi ini sempat menjadi organisasi terlarang
pada tahun 1954, tokohnya banyak yang masuk penjara termasuk Sayyid
Qutb. Pada sisi lain, Sayyid Qutb termasuk penulis yang produktif, banyak
karya lahir darinya.34
Sebagai seorang yang aktif di Ihwanul Muslimin, Hanafi sangat
terkesima dengan pemikiran Sayyid Qutb. Ia mengakui, Sayyid Qutb punya
pengaruh yang kuat dalam dirinya. Hanafi sangat terpesona terhadap gaya,
kelugasan, dan kesederhanaan bahasanya. Terutama pemikiran Sayyid Qutb
yang masih terngiang dalam diri Hanafi yakni tentang “al-Islam Harakah
Ibdaiyyal Shamilah fi al-Fann wa al-Hayat” (Islam: Gerakan Kreatif yang
Komprehensif dalam Seni dan Hidup). Ia merasa sampai sekarang masih
menemukan dirinya dalam tulisan tersebut.
Pada pembentukan Komite Pemuda Islam dan upaya-upayanya
mewujudkan ekonomi Islam yang bersih dari riba, serta rintisannya tentang
kiri Islam, Islam progresiv dan Islam revolusi, andai Sayyid Qutb masih
hidup Hanafi menyatakan bahwa dirinya pasti akan menjadi murid
terbaiknya. Melalui pengaruh dari Sayyid Qutb dapat dilihat gerakkan
pemikiran Hanafi yang begitu mencintai kelahiran Islam yang progresif.
Sebuah agama yang mestinya melahirkan pencerahan dalam hidup. Artinya
meski selama ini Sayyid Qutb dikenal sebagai pemikir yang radikal, dalam
bayangan Hanafi itu terjadi karena tekanan dari pemerintah.35
Hanafi mengandaikan itu tidak mungkin terjadi bila saja pemerintah
tidak melakukan tindakan represif juga. Maka yang mengalir dalam
pemikiran Hanafi tentu bukan pemikiran radikalismenya. Melainkan gaya

34
Edi Susanto,”Radikalisme Islam: Telaah atas Pemikiran Sayyid Qutb”, Jurnal Studi
Keislaman, Vol. 4 No. 1 (April 2005), hlm. 600.
35
Ibid”, hlm. 601.
19
pemikiran Sayyid Qutb yang mempunyai impian besar tentang kejayaan
Islam melalui pemikiran progresifnya.36
4. Pengaruh Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal dikenal sebagai pemikir Islam yang sangat
progresif. Ia lahir pada tanggal 9 November 1877 di Sailkot, Punjab,
Pakistan.37 Iqbal merupakan keturunan muslim yang sejak tiga abad sebelum
kelahirannya sangat taat beragama. Iqbal dikenal sebagai pemikir yang
progresif, ia menempatkan ajaran agama sebagai spirit hidup. Iqbal
mengkritik Barat yang dianggap sebagai bangsa yang kehilangan semangat
spiritual dan transenden. Mereka banyak terjebak dalam kehidupan
kapitalisme dan liberalisme.
Hassan Hanafi sebagai pemikir Islam kiri, juga mendapat
pencerahan dari percikan pemikiran Muhammad Iqbal. Dalam catatan
autobiografinya, Hanafi juga sempat menuturkan bagaimana perkenalannya
dengan pemikiran Muhammad Iqbal. Pada saat kuliah di Universitas Kairo,
Hanafi terus mengalami pergolakan pemikiran filsafat Islam. Awalnya ia
tidak suka dengan filsafat Islam dan ilmu kalam, karena baginya dianggap
terlalu teoritis dan tidak menyentuh persoalan umat.
Perjumpaan Hassan Hanafi dengan pemikiran Muhammad Iqbal
pada saat berada ditingkat tiga Universitas Kairo Mesir, membuat Hanafi
tertarik mendalami pemikirannya. Karena Iqbal bagi Hanafi dianggap
mampu mendialogkan antara masa lalu dan masa sekarang. Pemikiran Iqbal
tentang kehidupan, penciptaan, kreasi, kekuatan, jihad, identitas diri,
ketersesatan, dan umat menjadi sensasi luar biasa. Kemampuan Iqbal
mendialogkan ajaran agama dengan realitas umat terkini, tentu bisa dilihat
dari pemikiran Hanafi. Obsesi besar Hanafi melalui Teologi
Antroposentrisnya, menandai betapa Iqbal dalam hal ini mempunyai
pengaruh yang begitu besar.38

36
Ibid., hlm. 603
37
Hendri K,”Pemikiran Muhammad Iqbal dan Pengaruh Terhadap Pembaharuan Islam,’
Al-Adalah Vol. XII, No.3 Juni 2015, hlm. 613.
38
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Kencana,
2010). hlm.23-24.
20
D. Karya-karya Hassan Hanafi
Sebagai intelektual dunia Hanafi sudah banyak menulis, baik berupa buku
maupun artikel diantaranya :
1. Les Methodes d’Exegeses, Esset Sur La Science des Fondements de
La Comprehension Ilm Ushul Fiqh (Metode Penafsiran pada
Dasar-dasar Pemahaman Ilmu Ushul Fiqih). Tesisnya yang
diselesaikannya pada tahun 1965.
2. I’Exegeses de la Phenomenologie. L’etat actual de la Methode
Phenomenologie et son Application au Phenomene Religieus
(Keadaan Saat Ini dari Metode Fenomenologis dan Pada
Penerapannya pada Fenomena Agama). Disertasi yang diselesaikan
tahun 1996.
3. Qadaya Mu’asirah fi Fikrina al-Mu’asir (Tawaran Metode
Penafsiran Tematik), buku yang menggambarkan bagaimana
menganalisis realitas dan berusaha merevitaslisasi Khazanah klasik
Islam pada tahun 1967.
4. Qadaya Mu’asirah Il Fikri al-Gharbi 1977. Dalam buku ini Hanafi
memperkenalkan beberapa pemikir Barat seperti Spinoza, Voltaire,
Edmund Husserl, dan Herbet Marcuze.
5. Al-Din wa al-Saurah fi Misri 1952-1981. Buku yang terdiri dari 8
jilid ini membicarakan tentang agama, budaya bangsa dan
pembebasan, juga membicarakan tentang gerakan keagamaan
kontemporer.
6. Al-Turats wa al-Tajdid (Tradisi dan Pembaharuan) 1980. Buku
ini mendiskusikan sikap yang dibutuhkan umat Islam terhadap
Khazanah Barat untuk menjaga supaya tidak terealisasi.
7. Dirasah Islamiyah (Studi Tentang Islam) 1981. Yang memuat
tentang studi keislaman klasik. Dengan menggunakan pendekatan
fenomenologi dan hermeneutika, buku ini menjelaskan objek studi
21
melalui perspektif kesejarahannya secara kritis dan melihat
sebagaimana adanya.39
8. Al-Yasar al-Islami (Kiri Islam) 1981. Jurnal yang terkenal dengan
sebutan “Kiri Islam”. Jurnal ini walau hanya terbit satu kali namun
memuat beberapa tulisan Hanafi, Ali Syari’ati dan Muhammad
Audah yang menjelaskan apa “Kiri Islam” dan bagaimana
tanggung jawab seorang pemikir Islam terhadap imperialism.
9. Min al-aqidah Ila al-Saurah 1988. Buku sebagai langkah
pembaharuan pemikiran sebanyak 5 jilid.
10. Muqoddimah fi ilm al-istighrab (Oksidentalisme) 1992. Hanafi
merintis lahirnya studi-studi peradaban Barat dalam perspektif
ketimuran oksidentalisme sebagai lawan orientalisme.
11. Reliogion, Ideology and Development (Agama, Ideologi dan
Pemerintah) 1993. Karya ini memperlihatkan kecenderungan akhir
pemikiran Hanafi yang hendak mengideologikan agama, dan
meletakkan posisi agama dan fungsinya dalam pembangunan di
Negara dunia ketiga40.
12. Dialog Agama dan Revolusi, Kairo: Anglo-Egyptian, 1977.
13. Hal Tajuz al-Shalah fi al-Dar al-Maghsubah, Kairo: Madbuly,
1989.
14. Hegel wa Hayatuna al-Mu’ashirah.
15. Islam and Judaism, a Model from Andalusia (Islam dan Yahudi
Sebuah Model dari Andalusia), Paris: Unesco, 1985.
16. Islam, Religion, Ideology, and Development, Kairo: Anglo
Egyptian Bookshop, 1990.
17. Qadlaya al-Mu’ashirah, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1976.
18. Sartre, Ta’alay, Ana Mawjad, Kairo: Dar al-Tsaqafah al-Jahidah.

39
Hamzah, Teologi Sosial : Telaah Pemikiran Hassan Hanafi. (Yogyakarta: Graha
Ilmu)hlm.15.
40
Ibid, hlm. 16
22
19. Spinoza, Risalah fi al-Lahut wa al-Syasah, Kairo: al-Hay’ah al-
‘Ammah li al-Kitab al-Qahirah, (Lembaga Perbukuan Umum
Kairo), 1973: Beirut: Dar al-Tahlia’ah, 1979.

E. Konsep Teologi Pembebasan Hassan Hanafi


Teologi bukan hanya membicarakan tentang ke-Esa-an Tuhan,
namun juga membahas kondisi sosisal umat Islam. Karena Islam adalah
ajaran universal. Maka teologi juga harus bersifat universal, dalam artian
pembahasannya tidak hanya tentang Tuhan, namun juga terakait persoalan
duniawi dan mental. Dengan demikian, apa yang harus ditelaah kembali
adalah bagaimana teologi bisa berfungsi di dalam pemikiran muslim
kontemporer, lembaga-lembaga sosial politik Islam, dan di dalam
peradaban.41
Konstruksi metodologi Hassan Hanafi terbangun oleh kenyataan
historis dan konteks zaman yang berpengaruh besar secara langsung. Hanafi
sebagai seorang pemikir Arab nampak sangat dipengaruhi oleh tradisi
pemikiran filsafat marxis, filsafat fenomenologi, filsafat hermeneutic, dan
elektik.
Hanafi mencoba menerapkan metodologinya dalam kerangka
membangun kembali tradisi keilmuan Islam. Rekonstruksi tradisi yang
berlaku sepanjang sejarah dan merupakan bagian dari realitas itu,
merupakan suatu yang mungkin bagi perubahan sosial.42
Menurut Hassan Hanafi, terdapat 2 jenis masyarakat dalam dunia
modern yaitu menganggap “tradisi” tetap sebagai sumber inspirasi yang kuat
dan yang kedua adalah ‘masyarakat modern” dimana tradisi tidak lagi
menjadi sumber nilai atau kekuasaan. Teologi merupakan refleksi dari
wahyu yang memanfaatkan kosakata zamannya dan didorong oleh
kebutuhan dan tujuan masyarakat. Namun, apakah kebutuhan dan tujuan itu

41
Riza Zahriyal Falah dan Irzum Farihah,” Pemikiran Teologi Hassan Hanafi”, Jurnal
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015. hlm. 211.
42
A H. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam: Pemikiran Hassan Hanafi Tentang
Reaktualisasi Tradisi Keilmuan Islam, (Yogyakarta: ITTAQA Press, 1998), hlm. 25.
23
merupakan keinginan obyektif atau semata-mata manusiawi, atau barangkali
hanya merupakan cita-cita dan nilai atau pernyataan egoisme murni. Hassan
Hanafi menegaskan, tidak ada arti yang betul-betul berdiri sendiri untuk
setiap ayat kitab suci. Sejarah teologi, menurut Hassan Hanafi adalah sejarah
proyeksi keinginan manusia dalam kitab suci itu. Setiap ahli teologi atau
penafsir melihat bahwa kitab suci itu sesuatu yang ingin mereka lihat. Ini
menunjukkan bagaimana manusia menggantungkan kebutuhan dan
tujuannya pada naskah-naskah itu.43
Teologi bisa berperan sebagai suatu ideologi pembebasan bagi yang
tertindas atau sebagai suatu pembenaran penjajahan oleh para penindas.
Teologi memberikan fungsi legitimatif bagi setiap perjuangan kepentingan
dari masing-masing lapisan masyarakat yang berbeda. Karena itu Hassan
Hanafi menyimpulkan, bahwa tidak ada kebenaran objektif atau arti yang
berdiri sendiri terlepas dari keinginan manusiawi. Kebenaran teologi adalah
kebenaran korelasional, atau yang biasa Hassan Hanafi sebut sebagai
persesuaian antara arti naskah asli yang berdiri sendiri dengan kenyataan
obyektif yang selalu berupa nilai-nilai manusiawi yang universal, sehingga
suatu penafsiran bisa bersifat obyektif, bisa membaca kebenaran obyektif
yang sama pada setiap ruang dan waktu. Hassan Hanafi menegaskan,
rekonstruksi teologi tidak harus membawa implikasi terhadap hilangnya
tradisi-tradisi lama. Rekonstruksi teologi untuk mengkonfrontasikan
ancaman-ancaman baru yang dating ke dunia menggunakkan konsep yang
terpelihara murni dalam sejarah.44
Menurut Hassan Hanafi, rekonstruksi teologi sekurang-kurangnya
dilatar belakangi oleh tiga hal, sebagai berikut: Pertama, kebutuhan akan
adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah-tengah pertarungan global
antara berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru ini bukan semata
pada sisi teoritisnya, melainkan terletak pada kepentingan praktis untuk
secara nyata mewujudkan ideology sebagai gerakan dalam sejarah, salah

43
Syarifuddin,”Konsep Teologi Hassan Hanafi”,Jurnal Subtantia, Vol.14, No.2, Oktober
2012. Hlm. 204.
44
Ibid,”hlm.205.
24
satu kepentingan praksis ideologi Islam (dalam teologi) adalah memecahkan
kemiskinan dan keterbelakangan di negara-negara muslim. Dan ketiga,
kepentingan teologi yang bersifat praksis, yaitu secara nyata diwujudkan
dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia Islam.45
Dikarenakan menganggap teologi Islam tidak “ilmiah” dan tidak
“membumi” maka Hassan Hanafi mengajukan suatu konsep baru yang
tujuannya adalah dalam rangka menjadikan teologi tidak sekedar sebagai
dogma keagamaan, melainkan harus menjelma sebagai ilmu tentang
perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi secara aktual sebagai
landasan etik dan motivasi tindakan manusia. Karena itu, gagasan-gagasan
Hassan Hanafi yang berkaitan dengan teologi, berusaha untuk
mentransformulasikan teologi tradisional yang bersifat teosentris menuju
antroposentris, dari Tuhan kepada manusia (bumi), dari tekstual kepada
kontekstual, dan dari teori kepada tindakan,serta dari takdir menuju
kehendak bebas. Pemikiran ini minimal didasarkan atas dua alasan, yaitu:
pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah
pertarunga global antara berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru
bukan hanya bersifat teoritik, akan tetapi sekaligus juga praktis yang bisa
mewujudkan sebuah gerakan dalam sejarah.46
Menurut Hassan Hanafi teologi pembebasan mengambil beberapa
hal positif dari teologi-teologi sebelumnya. Adapun kelebihan dari teologi
ini adalah memprioritaskan hal-hal yang praksis dari pada yang teoritis,
mengambil tempat di tengah kaum yang tertindas, sebagai alat perjuangan
dalam wilayah sosial dan politik, dan melakukan pembebasan melalui
teologi sekaligus berlaku bagi manusia.47

45
Ibid”, hlm.205.
46
Ibid,”hlm.205-206.
47
Hassan Hanafi, Bongkar Tafsir: LIberalisasi, Revolusi, Hermeneutik, terj. Jajat Hidayatul
Firdaus (Yogyakarta: CV Arruz Book Gallery, 2003), hlm. 123.
25
BAB III
TEOLOGI PEMBEBASAN

Bab ini akan menjelaskan tentang sejarah perkembangan teologi


pembebasan untuk . memahami pembahasan selanjutnya. Dimulai dari awal
kemunculan teologi pembebasan di Barat hingga perkembangannya di dunia
Islam untuk memahami pemikiran teologi pembebasan Hassan Hanafi.
A. Sejarah Teologi Pembebasan di Barat
Teologi pembebasan adalah refleksi iman yang kritis atas kehidupan
manusia. Karena itu pemahaman mengenai iman harus selaras dengan
konteks dan titik tolak orang yang bersangkutan. Teologi pembebasan
menurut Leonardo Boff, adalah pantulan pemikiran, sekaligus cerminan dari
keadaan nyata, suatu praxis yang sudah ada sebelumnya atau pengungkapan
suatu gerakan sosial yang amat luas.48 Istilah pembebasan di dalam
pemikiran teologi pada mulanya dimunculkan oleh Gustavo Guiterrez
dilatarbelakangi oleh kondisi Amerika Latin yang pada waktu itu keadaan
politik dan kemasyarakatan dikuasi oleh Kolonialisme Barat yang ditaktoral
dan menguasai Gereja baik Katolik maupun Protestan. Sementara rakyatnya
diperbudak dan dikuasai oleh orang kaya dan golongan atas sebagai tuan
tanah. 49
Pemikiran pembebasan ini merupakan kelanjutan dari pemikiran
sebelumnya yang berdimensi pembebasan atas ketidakadilan misalnya
Dussel mengistilahkan dengan Teologi Kenabian yang berdimensi
memperjuangkan hak hidup komunitas tertentu dari apa yang disebut dengan
Teologi Kristiani Baru (1930-1962 ) yang memusatkan perhatian pada
perjuangan persamaan dalam kehidupan berpolitik dan kehidupan
bermasyarakat.50

48
Micahael Lowy, Teologi Pembebasan: KIri Marxisme & Mlarxisme kritis, (Yogyakarta:
Insist Press, 2013). Hlm.19.
49
Mateus Mali,”Guiterrez Teologi Pembebasan: Orientasi Baru,” Vol. 25 No.01. (April
2016).hlm.24
50
Francis Wahono, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praktis dan Isinya
(Yogyakarta:Lkis,2000), hlm.24
26
Pemikiran pembebasan pada awalnya memusatkan diri pada
kepribadian sosial dan cara berteologi yang konservatif kepada teologi
rasionalistis spekulatif melalui berbagai gerakan sosial. Gerakan mulai
muncul di Amerika Latin dan Afrika secara bertahap. Klimaks dari gerakan
pembebasan yang muncul di Amerika Latin dan Afrika kemudian menyebar
ke Asia dan negara-negara lainnya sehingga teologi ini dikenal sebagai
Teologi Dunia Ketiga (Third World Teologian).
Perkembangannya dari Teologi LIberacism Gustavo Guiterrez
sampai menyebar sebagai sebuah gerakan dunia ketiga, diperkirakan
sebelum Konsili vatikan II (1962), yang tahapan-tahapannya dapat dibagi
dalam tiga tahapan perkembangan, yaitu :51
Pertama, berlangsung dari tahun 1962 sampai dengan konferensi
para Uskup Amerika Latin di Medellein tahun 1968. Tahap ini teologi
pembebasan masih berciri gerakan sosial, pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan (development).
Kedua, berlangsung dari tahun 1968 sampai tahun 1972. Pada tahap
ini teologi pembebasan telah membaku di Afrika dan lahir dalam aspek
kehidupan. Pembakuan ini dilaksanakan melalui berbagai pertemuan dan
symposium internasional. Dan klimaksnya ketika terbitnya buku A Theology
of Liberation (Gustavo Guiterrez).
Ketiga, fase berkembangnya pemikiran kebebasan ke Afrika dan
dunia ketiga. Pada fase ini selalu terbentuknya Gereja-gereja dunia ketiga
dan memisahkan diri dari Gereja Barat, teologi pembebasan sebagai sebuah
Action Oriented juga memberi pengaruh besar pada teologi agama lainnya.
Dan pada fase itu, di Amerika Latin sendiri berdampak pada keamanan yang
menjadi tidak kondusif akibat dari berkembangnya pemikiran pemikiran
pembebasan ini. Karena dengan lahirnya Teologi Pembebasan ini telah
berdampak pada situasi politik keagamaan dan kehidupan sosial
kemasyarakatan yang selama ini dikendalikan oleh Kolonialisme dan
Teologi Dogmatika yang berlandaskan pada Gereja Ortodoks Barat.52

51
Ibid, hlm.27.
52
Ibid. hlm.30.
27
B. Teologi Pembebasan Dalam Islam
Teologi bukanlah ilmu yang suci, akan tetapi adalah murni hasil
refleksi manusia terhadap realitas lewat satu kerangka pandangan. Tidak ada
teologi yang bersifat eternal yang selalu cocok dalam setiap ruang dan
waktu. Teologi oleh karena itu, jelas dikontruksi secara sosial.
Teologi klasik, muncul lebih karena faktor politik dari pada murni
persoalan teologis.53 Istilah teologi diambil dari khazanah dan tradisi
skolastik Kristen. Secara etimologi, teologi berasal dari kata Theos yang
artinya “Tuhan”dan Logos yang artinya “Ilmu”. Jadi teologi berarti “ilmu
tentang Tuhan” atau ilmu yang membicarakan tentang zat Tuhan dari segala
segi dan hubungan-Nya dengan alam.
Dalam peradaban Islam perbedaan teologi sudah mencuat ke
permukaan sejak dimulainya pergolakan politik pasca arbitrase namun
teologi Islam, Ilmu Kalam dikenal sebagai ilmu ke-Islaman berdiri sendiri
baru pada masa pemerintahan Khalifah al-Makmun (813-833) yaitu sejak
ulama Mu’tazilah mempelajari filsafat dan memadukannya denhgan sistem
ilmu kalam.
Secara politis memang pergolakan politik dan kemelut pertempuran
antara kelompok Ali Ibn Abi Thalib dengan kelompok Mu’awiyah sudah
diakhiri dengan bingkai arbitrase, namun pada kenyataannya pertentangan
tersebut bahkan makin tajam. Ketegangan politik yang semakin meningkat
tersebut semakin menambah bencinya golongan Khawarij yang sejak semula
tidak setuju dengan adanya arbitrase.54
Dengan masuknya ilmu filsafat dalam dunia Islam tentu saja
problematika teologi yang tengah menjadi perdebatan segera disambut oleh
para ulama yang menekuni bidang filsafat. Mereka mencoba menggulirkan
paradigm teologi yang bercorak filosofis. Hal ini wajar karena memang
paradigm yang dikedepankan ulama sebelumnya lebih bercorak dogmatis.55

53
Agus Nuryatno, Islam, Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender: Studi atas
Pemikiran Asghar Ali Engineer, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 26.
54
Hamzah, Teologi Sosial: Telaah Pemikiran Hassan Hanafi, (Yogyakarta: Graha Ilmu)
hlm. 21.
55
Ibid,hlm. 23.
28
Munculnya teologi selalu mencerminkan ekspresi spirit suatu masa.
Menurut Hassan Hanafi teologi selalu mencerminkan dua spirit. Pertama,
spirit ingin melestarikan status quo. Kedua, teologi yang mempunyai spirit
dinamis dan diproyeksikan untuk mengubah status quo.
Menurut Ashgar Ali Engineer, teologi tidak hanya bersifat
transendental, akan tetapi juga bersifat kontekstual. Teologi yang hanya
concern terhadap persoalan-persoalan transendental atau metafisis akan
tercerabut dari masalah-masalah dunia. Dengan kata lain, ia akan kehilangan
relevansinya terhadap masalah-masalah aktual.
Teologi pembebasan, menurut Asghar Ali Engineer lebih dari
sekedar teologi rasionalnya kaum modernis. Teologi rasional
dikampanyekan oleh para ilmuan seperti Jamaluddin al-Afghani (1987),
Muhammad Abduh (1905), dan Ahmad Khan (1898), terlalu banyak
menekankan pada banyak aspek akal dan mengumandangkan kebebasan
dalam berfikir dalam menafsirkan teks Kitab Suci.56
Asghar Ali Engineer menerangkan bahwa teologi pembebasan Islam
tidaklah membatasi dirimya bergulat dalam wilayah yang murni spekulatif,
tetapi meluaskan wilayah cakupannya pada masalah praksis. Yang dimaksud
praksis disini mengacu kepada teori dan praktek, iman dan amal. Lewat
praksis teologi pembebasan dapat menjadi instrument yang paling kuat
untuk mengemansipasi masyarakat bawah dari genggaman penguasa mereka
yang eksploitatif dan memberikan inspirasi bagi mereka untuk bertindak
dengan suatu revolusi yang dahsyat untuk melawan tirani, ekploitasi dan
persekusi.57
Tujuan utama teologi pembebasan ialah bagaimana dapat lebih
bermakna bagi kelompok marginal dan lemah. Asghar Ali Engineer
menegaskan bahwa agama bisa menjadi candu atau kekuatan revolusioner.
Semua tergantung bagaimana agama ditafsirkan dan digunakkan. Agama
menjadi candu manakala ia beralienasi dengan kekuatan status quo. Dalam

56
Agus Nuryatno, Islam, Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender: Studi atas
Pemikiran Asghar Ali Engineer, hlm. 27.
57
Ibid,”hlm 28.
29
konteks ini agama hanya akan menjadi terminology Marx, “ keluh kesah
manusia tertindas”. Dalam pengertian, agama tidak lagi bermakna bagi
kaum tertindas karena ia berperan sebagai pelanggeng kondisi yang tidak
manusiawi dari pada pengubah kondisi tersebut. Agama harus menjadi
sumber motivasi bagi kaum tertindas untuk merubah keadaan mereka, dan
menjadi kekuatan spiritual untuk mengkomunikasikan dirinya secara berarti
dengan dan memahami aspek-aspek spiritual yang lebih tinggi dari realitas
ini.58
Munculnya teologi pembebasan tidak dapat dipisahkan dengan
eksisnya ketidakadilan, eksploitasi dan penindasan. Kondisi ketidakadilan
tidaklah datang dari langit, akan tetapi lebih dikonstruksi oleh manusia lewat
kekuatan-kekuatan opresif. Karena mayoritas masyarakat manusia yang
tertindas hidup di dunia ketiga, maka tidak megherankan jika model teologi
seperti ini mendapatkan lebih banyak apresiasinya di negara ketiga. Kalau
agama adalah sebuah proses, dan penurunannyapun tidak tiba-tiba, maka
berbicara wahyu berarti berbicara tentang kemanusiaan, pun demikian
halnya dengan pembahasan mengenai teologi pembebasan.
Teologi Pembebasan tidak menghendaki status quo yang melindungi
orang kaya berhadapan dengan golongan miskin. Dengan demikian teologi
ini bersifat anti kemapanan. Teologi pembebasan memainkan peranannya
dalam membela kaum tertindas dan membekali mereka dengan senjata
ideologis.59 Teologi pembebasan mengambil beberapa hal positif dari
teologi-teologi sebelumnya. Adapun kelebihan dari teologi ini adalah
memprioritaskan hal-hal yang praksis dari pada yang teoritis, mengambil
tempat di tengah kaum yang tertindas, sebagai alat perjuangan dalam
wilayah sosial dan politik, dan melakukan pembebasan melalui teologi
sekaligus berlaku bagi manusia.60

58
Asghar Ali Engineer,”Islam dan Teologi Pembebasan”, terj. Agung Prihantoro
(Yogyakarta: Pustaka belajar, 2015), hlm 32.
59
Asghar Ali Engineer,”Islam dan Teologi Pembebasan”, terj. Agung Prihantoro
(Yogyakarta: Pustaka belajar, 1999), hlm.2.
60
Hassan Hanafi, Bongkar Tafsir: LIberalisasi, Revolusi, Hermeneutik, terj. Jajat Hidayatul
Firdaus (Yogyakarta: CV Arruz Book Gallery, 2003), hlm. 123.
30
BAB IV
ANTROPOSENTRISME DALAM PEMIKIRAN TEOLOGI
PEMBEBASAN HASSAN HANAFI

A. Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme


Ada yang perlu dibenahi dalam pemikiran kita terkait dengan
masalah sikap percaya atau beriman kita kepada Allah. Dalam pandangan
keagamaan kita, terdapat kesan yang amat kuat bahwa bertauhid hanyalah
berarti beriman atau percaya kepada Allah. Kita merasa sudah menganggap
cukup bertauhid itu hanya semata-mata percaya kepada Allah, dan berhenti
pada pengertian itu saja. Sebenarnya kalau kita mengelaborasi lebih jauh dan
teliti terhadap Al-Qur’an, ternyata hal itu tidaklah sepenuhnya demikian.
Misalnya, orang-orang musyrik di Makkah yang memusuhi Rasulullah
dahulu itu adalah zaman kaum yang benar-benar percaya pada Allah.
Difirmankan dalam Q.S Az-Zumar (38):

َّ ‫ولئ ْن سأ ْلته ْم م ْن خلق السَّماوات و ْاْل ْرض ليقول َّن‬


‫َّللا ۚ ق ْل أفرأيْت ْم ما تدْعون م ْن دون‬
‫َّللا بض ٍّر ه ْل ه َّن كاشفات ضره أ ْو أرادني برحْ م ٍّة ه ْل ه َّن م ْمسكات‬ َّ ‫َّللا إ ْن أرادني‬
َّ
‫َّللا ۖ عليْه يتو َّكل ْالمتوكلون‬
َّ ‫رحْ مته ۚ ق ْل حسْبي‬
Artinya: “Dan sungguh jika kau (Muhammad) tanyakan kepada mereka,
siapakah yang menciptakan seluruh langit dan bumi? Pastilah mereka
akan menjawab, Allah! Katakan: Apakah telah kamu renungkan sesuatu
(berhala) selain Allah itu? Dan jika Dia menghendaki rahmat untukku,
apakah mereka (berhala-berhala) itu mampu, menahan rahmat-Nya?
Katakan (Muhammad): Cukuplah bagiku Allah (saja), Kepada-Nyalah
bertawakkal mereka yang (mau) bertawakkal.”
Dalam Q.S Al-Ankabut ayat 63:

َّ ‫ولئ ْن سأ ْلته ْم م ْن ن َّزل من السَّماء ما ًء فأحْ يا به ْاْل ْرض م ْن ب ْعد م ْوتها ليقول َّن‬
‫َّللا ۚ قل‬
‫ْالح ْمد َّّلِل ۚ ب ْل أ ْكثره ْم ال ي ْعقلون‬
Artinya: “Dan sungguh jika kau (Muhammad) tanyakan kepada mereka,
“Siapa yang menurunkan air (hujan) dari langit, sehingga depan air itu
31
dihidupkan bumi (tanah) sesudah kematiannya? Pastilah mereka akan
menjawab, “Allah”! Katakan: Alhamdulilah! Tetapi kebanyakan dari
mereka itu tidak berakal!
Orang Arab sebelum Islam sudah percaya kepada Allah. Mereka
juga percaya bahwa Allah yang menciptakan alam raya (seluruh langit dan
bumi), serta yang menurunkan hujan. Meski begitu, mereka tidak dapat
dinamakan kaum beriman dan karenya, juga idak dapat disebut kaum tauhid.
Sebaliknya mereka disebut yang mempersekutukan Tuhan. Padahal mereka
pun mengakui dan sadar betul bahwa sekutu atau “pemeran serta” dalam
keilahian Tuhan itu juga ciptaan Tuhan belaka, bukan Tuhan itu sendiri,
melainkan sesama makhluk seperti manusia. Hal ini digambarkan dalam Q.S
al-Zukhruf ayat 87:
َّ ‫ولئ ْن سأ ْلته ْم م ْن خلقه ْم ليقول َّن‬
‫َّللا ۖ فأنَّى يؤْ فكون‬
Artinya: “Dan jika kau (Muhammad) tanyakan kepada mereka (orang-
orang kafir), siapa yang menciptakan mereka (sesame manusia yang mereka
sembah selain dari Allah itu?, Mereka (orang-orang kafir) itu pasti akan
menjawab,”Allah”! Maka bagaiman mereka terpalingkan (dari
kebenaran)”
Firman-firman tentang penuturan orang kafir itu dengan jelas
membawa kita kepada kesimpulan bahwa tauhid tidaklah cukup dan tidak
hanya berarti percaya kepada Allah saja, tetapi mencakup pula pengertian
yang benar tentang siapa Allah yang kita percayai itu dan bagaimana kita
bersikap kepada-Nya serta kepada obyek-obyek selain Dia.61
Dalam pengertian ini, maka sebenarya keimanan kita masih dalam
pengertian percaya kepada Tuhan dan belum terimplementasikan dalam
kehidupan nyata. Sehingga keimanan kita masih dapat menimbulkan
dampak sampingannya, yaitu pembelengguan pribadi dan pemerosotan
harkat dan kemanusiaan. Terhadap diri kita sendiri kita seolah-olah terbatasi,
dan terhadap sesame manusia kita tidak mau peduli. Mestinya tidak seperti
itu, justru dengan keimanan kita kepada Allah, mengikuti pepatah Arab,
arrajulu ibnu bi’atihi, mestinya kita harus lahir menjadi pelopor yang

61
M. Gufron,” Transformasi Paradigma Teologi Teosentris Menuju Antroposentris”,
Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 3, No.1, Juni 2018. Hlm. 153
32
tanggap terhadap lingkungan kita. Realitas yang ada di depan mata kita
seperti terjadinya penjajahan, perampasan hak, penindasan, pembodohan,
dan kemiskinan.62
Untuk menghindari kesalah fahaman itu, mesti untuk dilakukan
revitalisasi dan reaktualisasi tauhid atau ilmu kalam kita yang masih bersifat
teosentris dan utopis. Mentranformasikan paradigm teologi Islam, dari
teosentris menuju antroposentris. Bagi Hassan Hanafi, rekonstruksi teologi
tidak harus membawa seseorang atau masyarakat untuk menghilangkan
tradisi-tradisi lama. Rekonstruksi teologi pada dasarnya dimaksudkan untuk
menghadapkan ajaran Islam pada ancaman-ancaman baru yang ada pada era
kontemporer. Dalam rangka memenuhi tuntutan tersebut, maka tradisi klasik
digali sedemikian rupa untuk kemudian dituangkan dalam kehidupan saat
ini. Teologi harus mampu menjawab persoalan yang kontekstual tidak hanya
berkutat pada persoalan yang sudah usang. Dengan demikian teologi mampu
menjawab tantangan zaman dan merespon kepentingan masyarakat.63
Rekonstruksi teologi dari teosentrisme ke antroposentrisme memiliki
tujuan agar mendapat keberhasilan duniawi dan tidak mengalami stagnansi.
Dalam hal ini adalah dengan memenuhi kebutuhan akan kemerdekaan,
kemajuan, kesamaan kelas sosial, penyatuan kembali identitas dan
mobilisasi massa. Teologi seperti ini menjadikan manusia sebagai sentral,
dimana manusia dengan berbagai polemiknya menjadi tolak ukur dalam
perumusan teologi tersebut. Karena secara obyektif, begitulah hukum yang
mestinya dijalani manusia. Inilah keseimbangan dalam menggapai
kemuliaan di dunia sekaligus di akhirat.64
Salah satu alasan mengapa harus ada pergeseran paradigma
antoposentris adalah tidak adanya diskursus mengenai sejarah dalam
keilmuan Islam Klasik. Al-Farabi misalnya, dalam kitabnya Ihsa al-ulum
telah mengklasifikasi ilmu menjadi lima, yaitu: ilmu bahasa, ilmu logika,

62
Ibid,” hlm.154.
63
Aisyah,” Hassan Hanafi dan Gagasan Pembaharuannya,” Jurnal Sulesana Volume 6 No
2 tahun 2011, hlm. 65.
64
Hassan Hanafi,’Islamologi 3: Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme”, terj. Miftah Faqih
(Yogyakarta: LKis, 2004), hlm. Vii.
33
ilmu matematika, ilmu sosial, dan ilmu fiqh. Sedangkan ilmu sejarah lahir
bersamaan dengan ilmu tauhid, ushul fiqh, dan sosial. Sehingga tidak ada
independensi yang dimiliki ilmu sejarah.65
Sementara itu, Ibnu Sina dalam kita Aqsam al Hikmah al-Aqliyah,
juga tidak memberikan posisi yang independen pada ilmu sejarah. Pada diri
Al-farabi, Hanafi menunjukkan bahwa ketiadaan diskursus tentang sejarah
terletak pada konstruksinya mengenai masyarakat ideal. Sementara pada
Ibnu Sina, Hanafi menunjukkan ketiadaan diskursus tentang sejarah pada
deskripsi Ibnu Sina mengenai “apa yang terjadi” dalam etika, politik, dan
ekonomi.66
Hanafi mengkritik cara pandang yang cenderung menempatkan
agama pada wilayah Tuhan semata. Dalam pandangan tersebut coraknya
masih bersifat teosentris. Paradigma berfikir dan penghayatan seperti itu
meniscayakan bahwa segala sesuatu yang dilakukan adalah hanya untuk
Tuhan semata dan sekaligus mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan.
Pengabdian kepada Tuhan yang ritualistic lebih diutamakan dan
dikumandangkan. Padahal, Tuhan tidak berkepentingan atas ibadah
manusia, karena manusia lah yang sebenarnya membutuhkan ibadah
tersebut.67
Yang paling membahayakan dari tipologi pemahaman tersebut
adalah kecenderungan pada romantisme agama”, dalam keadaan seperti ini
manusia lupa bahwa agama tidak hanya persoalan akhirat semata. Apabila
hal itu terjadi, maka kemungkinan besar akan melenyapkan potensi manusia
sebagai wakil Tuhan di muka bmi ini. Sadar akan kenyataan ini, Hassan
Hanfi menawarkan teologi antroposentris, sebuah konstruksi teologi yang
memiliki kepekaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.68

65
Hassan Hanafi, Islamologi 3, Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme, terj. Miftah Faqih
(Yogyakarta: LKis, 2004), hlm. 132.
66
Ibid”, hlm 132.
67
Chumaidi Syarif Romas, Wacana Teologi Islam Kontemporer (Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana, 2000),hlm. 138.
68
Ibid”, hlm,139.
34
Mengingat polemik kehidupan selalu menuntut adanya gerakan
pemikiran baru demi perubahan, maka rumusan teologi seharusnya menjadi
instrument yang akan mengantarkan pada perubasahan tersebut. Menggeser
peradaban teosentris menuju antroposentris menjadi suatu keharusan dalam
menjawab tuntutan zaman. Dalam tradisi teosentrisme, setiap doktrin selalu
bermuara pada Tuhan meskipun ada tendensi kepentingan kekuasaan di
dalamnya. Dengan kata lain, teosentrismepun sebenarnya adalah bagian dari
upaya yang dilakukan pendahulu untuk menjawab tuntutan mereka.69
Titik tolak Hassan Hanafi adalah realitas dunia Islam saat ini.
Menurutnya merupakan keharusan untuk mengakhiri semua hal yang
menghambat perkembangan dalam dalam dunia islam saat ini. Tradisi
sebenarnya hanya mempunyai nilai manakala ia menjadi teori aksi bagi
masyarakat sekaligus merekonstruksi hubungan manusia dengan Tuhan.70
Revolusi kemanusiaan lebih didahulukan dari pada membangun
aspek yang lain. Ini merupakan syarat bagi terwujudnya kehidupan yang
lebih manusiawi. Teologi antroposentris yang dicanangkan oleh Hassan
Hanafi sebenarnya dimaksudkan untuk melakukan interpretasi terhadap
tradisi keilmuan Islam dan kemudian dijadikan sebagai ideology yang
membela hak-hak kaum tertindas.
Yang diinginkan Hanafi adalah pengalihan perhatian dalam bangunan
epistemology. Di mana pada awalnya perhatian tersebut dipusatkan pada
pembahasan mengenai Tuhan, pembahasan tentang langit, atau melayani
penguasa. Dengan melakukan rekonstruksi maka diharapkan pusat perhatian
keilmuan ditujukan untuk membangun manusia, membela rakyat,
memperhatikan bumi, dan menuju revolusi.71
Apa yang diupayakan Hassan Hanafi patut dijadikan pertimbangan
bagi siapa saja, khususnya yang memiliki kepedulian terhadap nasib umat
sekaligus stagnansi pemikiran dalam Islam dalam menyikapi

69
Ibid”,hlm 140.
70
Riza Zahriyal dan Irzum farihah,’Pemikiran Teologi Hassan Hanafi”, Jurnal Fikrah, Vol.
3.No. 1 ,Juni 2015, hlm. 206.
71
Hassan Hanafi, Dari Aqidah ke Revolusi, terj. Asep Usman Ismail (dkk) (Jakarta :
Paramadina, 2003), hlm. 14.
35
keterbelakangan. Salah satu alasan mengapa para ahli kalam klasik membela
eksistensi Tuhan adalah karena pada saat itu persoalan Ketuhanan
merupakan sesuatu yang sering mendapatkan serangan. Dengan demikian,
unsur “serangan” merupakan alasan mengapa para ahli kalam klasik
melakukan pembelaan terhadap masalah Ketuhanan. Jika memang demikian,
maka tepat apabila melakukan pembelaan terhadap eksistensi kemanusiaan
dengan teologi sebagai dasar acuan, mengingat masalah kemanusiaan
mengalami krisis di era kontemporer.72
Agar pembahasan mengenai teosentrisme ini tidak ahistoris, maka
perlu dijelaskan bagaimana corak pemikiran kalam klasik yang masih
teosentris yang hendak diarahkan menuju keberpihakan kepada umat oleh
Hassan Hanafi.sekaligus untuk menunjukkan bahwa munculnya teologi
klasik tersebut juga sebagai respon atas permasalahan yang dihadapi pada
masanya. Hasaan Hanafi sendiri mengakui bahwa dirinya lebih dekat
dengan Mu’tazilah yang terkenal dengan rasionalitasnya.
Pada abad IV SM. Alexander Yang Agung melakukan perluasan
kekuasaan dengan membawa kaum militer dan juga kaum sipil untuk
ditempatkan di wilayah yang akan ditaklukan. Di samping itu ia juga
menanamkan budaya Yunani di daerah-daerah yang dimasukinya. Dengan
demikian maka filsafatpun menjadi tersebar. Muncullah pusat-pusat
peradaban Yunani seperti Iskandariah di Mesir, Antakia di Suria, Selopsia
serta Jundisyapur di Iran.73
Ketika daerah-daerah tersebut jatuh dibawah kekuasaan Islam
muncul kebencian dari sebagian penduduk terhadap Islam. Meskipun
demikian tidak ada paksaan bagi masyarakat untuk memeluk Islam.
Golongan yang tidak senang dengan Islam kemudian melakukan
penyerangan terhadap doktrin-doktrin Islam melalui argument filosofis.
Serangan tersebut memancing sebagian umat Islam untuk menangkisnya

72
Aisyah,” Hassan Hanafi dan Gagasan Pembaharuannya,” Jurnal Sulesana Volume 6 No
2 tahun 2011, hlm. 64.
73
Chumaidi Syarif Romas, Wacana Teologi Islam Kontemporer (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2000), hlm. 21.
36
dengan argumen filosofis pula. Untuk itulah mereka mempelajari filsafat
dan sekaligus justifikasi dengan menggunakkan Al-Qur’an dan sunnah nabi
yang menempatkan akal di posisi yang tinggi.
Kelompok tersebut kita kenal dengan sebagai Mu’tazilah, yang
menjadi pelopor “rasionalisme” dalam Islam. Berkaitan dengan posisi akal,
kaum Mu’tazilah percaya bahwa:
1. Akal adalah kekuatan manusia, akal yang kuat sebagai indikasi bahwa
manusia itu kuat, yaitu manusia dewasa. Manusia dewasa ini tentu
berbeda dengan anak kecil. Karena manusia dewasa mempunyai
kemampuan berfikir secara mendalam. Mu’tazilah menganut paham
Qodariah, yang menekankan bahwa manusia mempunyai kebebasan
baik dalam berfikir maupun berbuat.
2. Pemikiran mereka yang menekankan pda konsep Tuhan Yang Maha
Adil. Konsep Keadilan Tuhan inilah yang kemudian membawa pada
keyakinan adanya hukum alam yang disebut sunatullah. Dengan
sunatullah itu maka alam berjalan menurut peraturan tertentu. Dan
peraturan itu perlu dicari untuk kemaslahatan manusia.
3. Menempatkan akal pada kedudukan yang tertinggi. Mereka tidak mau
tunduk secara harafiah dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan
rasionalitas. Dengan kata lain mereka menekankan pentingnya makna.
Mereka dikenal banyak memakai ta’wil dalam memahami wahyu.
Teologi Mu’tazilah inilah yang telah membawa perkembangan
peradaban Islam pada abad VII dan XIII M. Dengan keyakinanakan akan
tingginya kedudukan akal kaum Mu’tazilah menjadi inspirator bagi
kemajuan baik dalam filsafat maupun sains.74
Filosof besar pertama al-Kindi, (796-873) dengan tegas mengatakan
bahwa antara filsafat dan agama tidak ada pertentangan. Al-Kindi
mengartikan filsafat sebagai pembahasan mengenai yang benar. Begitu juga
dengan agama yang menjelaskan mengenai yang benar. Maka dari itu tidak
ada pertentangan antara keduanya. Dalam pandangan al-Kindi filsafat yang

74
Chumaidi Syarif Romas, Wacana Teologi Islam Kontemporer (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2000), hlm. 22-23.
37
termulia adalah filsafat ketuhanan atau teologi. Mempelajarinya bukan
hanya diperbolehkan tetapi diwajibkan.75
Al-Kindi mempunyai konsep yang ia sebut sebagai “al-Haqq al-
Awwal”. Konsep ini bermaksud memurnikan ke-Esa-an Tuhan dari arti yang
banyak. Kebenaran yaitu sesuainya konsep dalam akal dengan benda
bersangkutan yang berada diluar akal. Adapun benda-benda diluar akal
merupakan sesuatu yang bersifat particular. Bagi filsafat, yang terpenting
bukanlah sesuatu di luar hakikat aklan tetapi hakikat itu sendiri.76
Usaha pemurnian tauhid juga dilakukan oleh al-Farabi yang terkenal
dengan filsafat emanasinya. Emanasi berati pancaran.pemikiran al-Farabi
tersebut menjelaskan tentang dirinya dan pemikiran Tuhan tersebut
merupakan daya atau energi. Dari pemikiran Tuhan itulah muncul sesuatu.
Al-Farabi menyebutnya sebagai akal. JIka Tuhan berfikir tentang diri-Nya
maka muncul Akal 1. Dari yang satu itu muncul yang banyak, hingga akal
sepuluh. Objek pemikiran Tuhan adalah dirinya sendiri. Dan dari pemikiran
tersebut muncul akal II dan menghasilkan langit pertama.Akal II juga
mempunyai objek pemikiran yaitu Tuhan dan dirinya sendiri (Akal II).
Pemikiran oleh Akal II mengenai Tuhan menghasilkan Akal III dan
menghasilkan Alam Bintang.77
Demikianlah cara al-Farabi “membela” eksistensi Tuhan dengan
melakukan pemurnian tauhid melalui argument filosofis-metafisis. Aroma
pemurnian tauhid ataupun penyelarasan antara agama dan filsafat
merupakan warna dari tradisi keilmuan klasik. Hal tersebut merupakan
warisan yang patut dibanggakan. Akan tetapi, mengingat persoalan yang
dihadapi umat kini berubah, maka corak keilmuan yang masih teosentris
tersebut perlu dirubah orientasinya. Dari pembelaan terhadap eksistensi
Tuhan menjadi pembelaan terhadap eksistensi manusia. Demikianlah Hanafi
bertutur.78

75
Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2003), hlm. 97.
76
Ibid”,hlm. 98.
77
Barsihannor,”Teori Emanasi Filosof Muslim dan Relevansinya dengan Sains
Modern,”Jurnal Al-Fikr Vol.14 Nomor 3 tahun 2010. Hlm.466
78
Ibid”,hm. 467.
38
Perubahan orientasi dari teosentrisme menuju antroposentrisme
adalah upaya penyesuaian wacana keilmuan dengan perubahan yang terjadi
dalam kehidupan nyata. Sebab, wacana keagamaan bukanlah wacana yang
statis dan muncul dalam ruang hampa, ia merupakan respon dari realitas
zaman.
Hassan Hanafi mengajukan konsep baru tentang teologi Islam yang
membumi, tujuannya sudah barang tentu untuk menjadikan teologi bukan
sekedar dogma keagamaan yang kosong tanpa makna, tetapi menjelma
sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi
secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia. Karena
itu gagasan Hassan Hanafi berkaitan dengan teologi adalah berusaha untuk
mentransformasikan teologi tradisional yang bersifat teosentris menuju
antroposentris, dari Tuhan di langit kepada manusia di Bumi, dari tekstual
ke kontekstual, dari teori kepada tindakan, dari belenggu menuju
kebebasan..79
Teosentrisme adalah bagian dari turats, meskipun demikian Hanafi
tidak menafikan bahwa dalam turats ada sejarah perlawanan yang
dipresentasikan oleh Mu’tazilah, Syia’ah, dan Khawarij. Bagi Hanafi
mereka adalah kelompok oposisi yang menentang status-quo. Sementara itu,
ada turats yang berpihak kepada penguasa yaitu, al-Asy’ari, al-Syafi’I, dan
Mu’awiyah. Turats penguasa diwakili oleh kelompok pertama, sementara
turats oposisi diwakili oleh kelompok kedua. Pemetaan seperti ini
menunjukkan bahwa tujuan Hanafi melakukan reorientasi keilmuan klasik
adalah untuk kemaslahatan umat yang terabaikan. Dan ironisnya pengabaian
tersebut dijalankan dengan sangat bangga oleh para agamawan yang sesat
dan menyesatkan. Mereka bersekutu dengan kekuasaan dan tidak melihat
dampak yang ada dari fatwa-fatwa mereka terhadap nasionalitas bangsa
maupun Islam itu sendiri.80

79
Riza Zahriyal Falah dan Irzum Farihah,” Pemikiran Teologi Hassan Hanafi”, Jurnal
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015. Hal. 208-209.
80
Ali Rahmena, Ali Syaria’ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner terj. Dien Wahid
(dkk) (Jakarta: Erlangga, 2002), hlm. 462.
39
B. Kiri Islam
Konstruksi metodologi Hassan Hanafi terbangun oleh kenyataan
historis dan konteks zaman yang berpengaruh besara secara langsung.
Hassan Hanafi pemikir muslim yang berkeyakinan bahwa tradisi agama
mempunyai bijakan ideologis yang kuat untuk menggerakkan perubahan
sosial. Agar dunia Islam tidak tersobek di antara tradisionalisme dan
sekularisme, antara konservatisme dan progresivisme, antara
fundamentalisme dan westernisme, maka jalannya ialah dengan menggali
tradisi lama dengan memaknainya secara kreatif dan dinamis. Tradisi
mempunyai kekayaan yang layak untuk diambil relevansinya, sekaligus
upaya perlawanan terhadap hegemoni Barat. Hassan Hanafi ingin
membuktikan bahwa Islam mempunyai daya dobrak yang kuat untuk
menghadapi kekuasaan yang tiranik.81
Istilah Kiri secara ilmiah digunakkan dalam ilmu politik yang berarti
perlawanan dan kritisme, menjelaskan jarak antara realitas dan idealitas.
Nama Kiri Islam dimunculkan Hassan Hanafi secara spontan setelah melihat
realitas umat Islam dalam kehidupan terpilih antara penguasa dan yang
dikuasai, pemimpin dan rakyat, dan antara yang kaya dan miskin.Kiri Islam
memihak kepada kaum yang dikuasai, tertindas, yang miskin dan menderita.
Sebenarnya kiri dan kanan tidak ada dalam Islam itu sendiri, melainkan
terdapat pada tatanan sosial, politik, ekonomi dan sejarah. Karena sepanjang
manusia terlibat dalam gerak sejarah dan zaman, maka manusia akan berada
dan terbit dalam pertentangan antar kekuatan dan perbedaan kepentingan.
Dari dasar itulah terdapat kiri dan kanan. Dalam Islam dikenal Golongan
Kanan (Ashabu ‘L-yamin) dan Golongan Kiri (Ashabu ‘L-Syimal) yang
mengarah kepada pelaksanaan agama, bukan politik dan sosial.82
Secara garis besar,” Kiri Islam bertopang pada tiga pilar utama untuk
mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam, dan kesatuan umat Islam.

81
Shelley Wali, Edward Said dan penulisan sejarah terj. Sigit Djatmiko (Yogyakarta:
Penerbit Jendela, 2003), hlm. 42-44.
82
H. Ahmad Munir,” Hassan Hanafi: Kiri Islam Dan Proyek Al Turats Wa Al Tajdid, Jurnal
UNISBA, hlm. 253.
40
Pertama, revitalisasi khasanah Islam klasik. Dalam hal ini, Hassan Hanafi
dengan tegas menekankan perlunya rasionalisme. Rasionalisme merupakan
keniscayaan bagi kemajuan dan kesejahteraan untuk memecahkan situasi
kekinian dalam dunia Islam. Kedua, perlunya menentang peradaban Barat.
Dalam konteks ini Hassan Hanafi memperingatkan akan bahaya
imperialisme kultur Barat yang cenderung membasmi kebudayaan bangsa-
bangsa yang kaya secara historis. Selanjutnya, pilar ketiga, analisis atas
realitas dunia Islam. Hassan Hanafi mengkritik metode penafsiran
tradisional yang bertumpu pada teks (nash). Karena itu, ia mengusulkan
suatu metode tertentu agar realitas dunia Islam dapat berbicara bagi dirinya
sendiri.83
Analisis terhadap realitas dunia Islam ini merupakan bagian dari
metode yang dibangun Hanafi dalam mewujudkan cita-cita Kiri Islam.
Pergerakkan dan peradaban yang dibangunnya itu disebabkan oleh
ketajaman analisis Hassan Hanafi dalam melihat realitas dunia Islam.
Baginya, makna realitas adalah sebangun dan searti dengan realitas
masyarakat, realitas politik dan ekonomi, realitas politik dan ekonomi,
realitas khazanah Islam, dan tantangan Barat. Keberhasilan mencapai cita-
cita revolusi Islam tergantung pada kecermatan menganalisis realitas-realitas
itu. Untuk menganalisis realitas itu Hassan Hanafi menggunakan metode
fenomenologi dengan harapan dunia Islam dapat berbicara bagi dirinya
sendiri.84
Sebagai sebuah pemikiran, Kiri Islam mungkin akan mendapat
tantangan dari dua arah. Yang pertama adalah kelompok muslim ortodoks
yang merupakan bagian dari umat Islam sendiri. Dan yang kedua tantangan
dari pihak yang pro status-quo. Pihak pertama mungkin akan mengatakan
bahwa dalam Islam tidak ada kiri dan kanan. Islam itu adalah satu. Dan
setiap yang baru baik itu kiri dan kanan maka ia bid’ah. Sedangkan

83
Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme dan Posmodernisme, terj. M. Imam
Aziz dan M. Jadul Maulana (Yogyakarta: LKis, 2007), hlm. 8-9.
84
Suharti,”Gagasan Kiri Islam Hassan Hanafi, Ulumuna,Vol. IX Edisi 16 Nomor 2 Juli-
Desember 2005.hlm.362
41
golongan yang pro status-quo akan mengatakan bahwa ide-ide kiri adalah
profokator dan pembawa kerusuhan. Pembuat fitnah dan meresahkan
masyarakat. Dengan klaim seperti itulah maka Kiri Islam akan dimandulkan
baik secara ide maupun gerakannya.85
Bagi Hanafi, tuduhan yang dilontarkan oleh kelompok ortodok
adalah ditujukan kepada sesuatu yang telah disepakati kebenarannya. Dalam
Islam memang tidak ada kiri atau kanan. Hal itu memanglah benar akan
tetapi selama kita hidup dalam sejarah, maka pertentangan tidak dapat
dihindari. Di dalam lapangan politik misalnya, kita akan selalu menemukan
dua kutub yang berbeda. Di bidang sosial maupun dalam kehidupan sehari-
hari, dua hal yang berlawanan sangat mudah untuk kita jumpai. Sehingga
kiri dan kanan dalam arti kekuatan yang saling bergumul adalah bagian dari
hukum sejarah.86
Sistem sosial yang kapitalistik ibarat yang menghisap sesama.
Penghisapan manusia atas manusia. Sungguh ini merupakan hukum rimba
yang diterapkan tidak pada tempatnya. Hilanglah keseimbangan dan
keadilan, ketimpangan sosial pun menjadi pemandangan yang biasa. Hal itu
didukung oleh banyak kalangan, tidak peduli apakah ia kaum intelektual,
politisi atau agamawan. Kemapanan agama dan politik yang menjadi simbol
penindasan telah menggantikan posisi Tuhan sebagai satu-satunya penguasa
yang berhak untuk ditaati. Sistem Ilahiyah dihancurkan dengan dalih
pembangunan, efisiensi, swastanisasi, dan globalisasi.87
Apa yang digagas oleh Hassan Hanafi terfokus pada usaha
memperjuangkan kebebasan dengan segala dimensinya, menegakkan
pemerintahan demokratis, dan mengajarkan bahwa semua manusia
mempunyai hak untuk berperan dalam menentukan corak warga negaranya.
Persatuan kaum muslimin menjadi cita-cita dari Kiri Islam Hassan
Hanafi. Sebagai penyempurnaan agenda pembebasan yang menjadikan

85
Ali Syari’ati, Para Pemimpin Mustadh’afin (Bandung: Muthahhari Paperbacks, 2001),
hlm. 63.
86
Ibid”,hlm 64.
87
Asghar Ali Enginer, Islam dan Pembebasan, terj. Hairus Salim & Imam Baihaqy
(Yogyakarta: LKis, 2007), hlm.120.
42
realitas kaum muslimin sebagai landasannya. Ia tidak berangkat dari
kontruksi Barat dan Timur apalagi bekerja demi kepentingan mereka. Kiri
Islam murni lahir dari perjuangan umat Islam dalam menghadapi kenyataan
sejarah yang memenjarakan mereka. Tendesi sosial politik kaum muslimin
lah yang menjadi latar belakang kemunculan Kiri Islam.
Tendensi keagamaan yang berselingkuh dengan kekuasaan telah
menjadi penyebab munculnya ritus-ritus keagamaan dan tidak membawa
pada perubahan radikal dalam masyarakat. Islam pun hanya menjadi hiasan
dari pada sebagai kebenaran. Realitas menunjukakn bahwa kekuasaan yang
ada tidak mewakili kepentingan umat dan juga tidak menjadi penegak
keadilan. Maka dari itu, menjadi bagian dari kekuasaan adalah salah satu
bentuk penghianatan terhadap kebenaran. Menjual pengetahuan dan
keahlian untuk mendapatkan tempat yang mulia di sisi kekuasaan tersebut.
Selain orang-orang yang menjual diri untuk kekuasaan, ada juga beberapa
kelompok yang meskipun tidak menjadi pelayan kekuasaan namun terjebak
pada fanatisme kelompok dan tertutup terhadap perubahan. Sehingga
mereka diam melihat kesewenangan terjadi di saat perlawanan justru
dibutuhkan.88
Dasar pijakan dari ide gerakan Kiri Islam adalah kesadaran kaum
muslimin atas realitasnya. Kiri Islam berusaha melakukan dinamisasi bagi
umat Islam agar menjadikan Islam sebagai khazanah nasional. Ia dapat
bergandengan dengan sosialisme, nasionalisme atau bahkan marxisme. Hal
itu sah-sah saja dengan catatan bahwa kepentingan umat dan kemaslahatan
bersama menjadi prioritas. Posisi Kiri Islam adalah sebagai pembangkit
gerakan muslimin, baik gerakan perlawanan maupun pembaharuan
pemikiran.
Perebutan otonomi politik, budaya dan agama juga menjadi agenda
besar Kiri Islam. Tanpa otonomi maka mustahil aka ada orisinilitas. Tanpa
orisinilitas maka kemerdekaan menjadi hal yang semu. Sejauh ini penulis
menilai bahwa Kiri Islam adalah gagasan sentral dari Tradisi dan

88
O. Hashem, Agama Marxis: Asal-usul Ateisme & Penolakan Kapitalisme (Surabaya:
Nuansa, 2008), hlm. 79.
43
Pembaruan Hanafi. Sebab dalam Kiri Islam terdapat agenda yang bersifat
total. Sikap terhadap tradisi lama, sikap terhadap tradisi Barat, dan sikap
terhadap kondisi umat Islam saat ini, semua tercakup dalam Kiri Islam.
Sikap Hassan Hanafi yang kritis dan selektif terhadap berbagai pemikiran
klasik merupakan bagian dari agenda Kiri Islam.89
Kiri Islam Hassan Hanafi tidak hanya sebagai rumusan teoritik, ia
juga sebagai teori gerakan yang bertujuan menjadikan Islam sebagai gerakan
revolusioner yang berkesinambungan. Kesinambungan tersebut tentu saja
berkaitan dengan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dan ini menjadi hal
yang maklum karena Kiri Islam berangkat dari tradisi Islam sendiri. Maka
dari itu, Hassan Hanafi merasa perlu belajar pada gerakan-gerakan
pembaharuan sebelumnya seperti yang dilancarkan oleh Ibn Taimiyah,
Jamaluddin al-Afghani, Rasyid Ridha, Hassan al-Banna dan lainnya. Kiri
Islam tidak mengenal batas metodologis, ideologis, maupun tipologis yang
ada dalam umat Islam sendiri. Setiap gerakan yang muncul dari umat Islam
yang bertujuan untuk meraih kemerdekaan, maka Kiri Islam dapat
bergandengan dengannya.90
Hassan Hanafi telah menjelaskan dimensi sosial pembebasan dari
gagasan reaktualisasi keilmuan Islam lewat Kiri Islam ini. Sehingga Hassan
Hanafi mengidealkan, bahwa Islam adalah untuk kepentingan seluruh umat
manusia. Hassan Hanafi yakin bahwa Islam dapat membawa perubahan
terhadap penganutnya sebagaimana yang telah dialami oleh Bangsa Arab
dengan mengubah dengan mengubah ide-ide dan rekontruksi tradisi-tradisi.
Karenanya reaktualisasi tradisi keilmuan adalah sebagai sarana untuk
mendukung upaya untuk mendukung upaya perbaikan kehidupan yang akan
membawa implikasi pada usaha pengentasan kemiskinan dan
keterbelakangan umat Islam.91

89
Abad Badruzzaman, Kiri Islam Hassan hanafi: Menggugat Kemapanan Agama dan
Polotik (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), hlm. 14.
90
Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme dan Posmodernisme, terj. M. Imam
Aziz dan M. Jadul Maulana (Yogyakarta: LKis, 2007), hlm. 164.
91
A. H. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam: Pemikiran Hassan Hanafi tentang
Reaktualisasi Tradisi Keilmuan Islam, hlm. 83.
44
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Antroposentrisme Hassan Hanafi adalah pemusatan pemikiran pada
manusia yang mengalami dehumanisasi dalam sejarah. Pemusatan
pemikiran ditujukan untuk menghadapi tantangan zaman terbesar
saat ini yaitu, kolonialisme, zionisme dan kapitalisme. Sementara itu,
tantangan yang bersifat internal adalah keterbelakangan, kemiskinan
dan kebodohan.
2. Antroposentrisme yang dicanangkan Hassan Hanafi mengajak
seluruh umat Islam agar memiliki kepekaan terhadap realitas dan isu
isu kontemporer. Membangun hubungan yang seimbang, karena
persoalan teologi tidak hanya terpusat pada wilayah Tuhan semata.
Namun kita juga harus mengasah nila-nilai kemanusiaan, yaitu
memberikan sumbangan kongkrit seperti pengentasan kemiskinan
dan penderitaan.
B. Saran-saran
1. Di bidang akademik, perlunya apresiasi terutama perguruan tinggi,
terhadap gagasan yang progressif seperti yang dimiliki Hassan
Hanafi.
2. Bagi pembaca, diharap skripsi ini dapat membuka wawasan tentang
teologi antroposentris. Sehingga mampu berfikir kritis terhadap
realitas yang hadapi dan mampu dengan peka membaca fenomena
yang terjadi sehingga pemikiran akan selalu dinamis mengikuti
perkembangan.
45
DAFTAR PUSTAKA

Barsihannor,”Teori Emanasi Filosof Muslim dan Relevansinya dengan


Sains Modern,”Jurnal Al-Fikr Vol.14 Nomor 3 tahun 2010.

Badruzaman, Abad. Kiri Islam Hassan Hanafi: Menggugat Kemapanan


Agama dan Politik. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005

Chotimah, Nurul, Maulana Masudi. Studi Tentang Pemikiran Hassan


Hanafi. Al-Hikmah : Jurnal Studi Agama-Agama/Vol. 1, No.2.
2015

Engineer , Ashgar , Islam dan Pembebasan, terj. Hairus salim & Imam
Baihaqy Yogyakarta: LKis, 2007.

Falah, Riza Zahriyal dan Irzum Farihah,” Pemikiran Teologi Hassan


Hanafi”, Jurnal Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015.

Ghufron, M. Transformasi Paradigma Teologi Teosentris Menuju


Antroposentris”, Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol.
3, No.1 Juni. 2018

Hanafi, Hassan, Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Barat, terj. M. Najib


Bukhori. Jakarta: Paramadina, 2000.

Hanafi, Hassan, Liberalism, Revolusi, Hermeneutik, terj. Jajat Hidayatul


Firdaus. Yogyakarta: Cv Arruz Book Ghallery, 2003.
Hanafi, Hassan Dari Akidah ke Revolusi : Sikap Kita Terhadap Tradisi
Lama, Terj. Miftah Faqih Jakarta: Paramadina, 2003.

Hanafi, Hassan, Islamologi 3 : Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme,


Yogykarta: LKiS, 2011.
46
Hanafi, Hassan, Dari Aqidah ke Revolusi, terj. Asep Usman Ismail (dkk)
.Jakarta : Paramadina, 2003.

Hanafi, Ahmad, Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2003.

Hamzah, Teologi Sosial : Telaah Pemikiran Hassan Hanafi. Yogyakarta:


Graha Ilmu.2013

Hefni, Moh. 2011.“Rekonstruksi Maqashid Al-Syari’ah: Sebuah Gagasan


Hassan Hanafi tentang Revitalisasi Turats”, dalam al-ihkam
Vol.6 No. 2 Desember.

Hashem, O, Agama Marxis: Asal-usul Ateisme & Penolakan Kapitalisme.


Surabaya: Nuansa, 2008.

Iqbal,Muhammad dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam,


Jakarta: Kencana, 2010.

Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta:


Paramadina, 2005.

Kasdi, Abdurrohman & Umma Farida, Oksidentalisme Sebagai Pilar


Pembaharuan,” Jurnal Fikrah, Vol.I, No.2, Juli-Desember 2013.

Lowy, Micahael, Teologi Pembebasan: KIri Marxisme & Mlarxisme kritis,


Yogyakarta: Insist Press, 2013

Maksum, Ali. Pengantar Filsafat : Dari Klasik HIngga Postmodernisme,


Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2011.

Mali, Mateus,”Guiterrez Teologi Pembebasan: Orientasi Baru,” Vol. 25


No.01. April 2016.

Munir, H. Ahmad,” Hassan Hanafi: Kiri Islam Dan Proyek Al Turats Wa Al


Tajdid, Jurnal UNISBA.
47
Nurhayati, Fadilah. Skripsi: Teologi Pembebasan Dalam Pandangan
Hassan Hanafi. 2018.

Nadrian, Hendri. Pemikiran Kalam Hassan Hanafi : Rekonstruksi


Epistemologi Keilmuan Kalam dan Tantangan Modernitas”.
Jurnal Intizar, Vol. 21, No. 2. 2015.

Nuryatno, Agus. Islam, Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender: Studi


atas Pemikiran Asghar Ali Engineer, Yogyakarta: UII Press,
2001.

Ridwan, A.H, Reformasi Intelektual Islam : Pemikiran Hassan Hanafi


Tentang Reaktualisasi Tradisi Islam Keilmuan Islam, ITTAQA
Press, 1998.

Suhermato, Hassan Hanafi: Al-Yasar al-Islami: Paradigma Islam


Tranformatif, Jurnal Islamical No.1 (Juli-September 1993),9.

Susanto, Edi.”Radikalisme Islam: Telaah atas Pemikiran Sayyid Qutb”,


Jurnal Studi Keislaman, Vol. 4 No. 1. April. 2005.

Syarifuddin,”Konsep Teologi Hassan Hanafi”,Jurnal Subtantia, Vol.14,


No.2, Oktober 2012.

Syarif Romas, Chumaidi, Wacana Teologi Islam Kontemporer .Yogyakarta:


PT. Tiara Wacana, 2000.

Santoso, Listiyono (dkk), Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar-Ruzz Press,


2003.

Suharti,” Menjinakkan Barat dengan Oksidentalisme: Gagasan Kiri Islam


Hassan Hanafi, Ulumuna, Vol. IX Edisi 16 Nomor 2 Juli-
Desember 2005.
48
Syari’ati, Ali, Para Pemimpin Mustadh’afin. Bandung: Muthahhari
Paperbacks, 2001.
Shimogaki,Kazuo. Kiri Islam: Antara Modernisme dan Posmodernisme,
terj. M. Imam Aziz dan M. Jadul Maulana. Yogyakarta: LKis,
2007.
Wahono, Francis, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praktis dan Isinya
Yogyakarta: LKis, 2000.
49
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Ita Permata Sari


Tempat, tanggal lahir : Salatiga, 20 Mei 1997
Alamat : Perum Graha Sejahtera 3, No. 40. Mojosongo,
Boyolali.
Email : itapermata5758@gmail.com
Motto Hidup : Kesadaran tidak pernah pasif. Menyadari sesuatu
berarti mengubah sesuatu.

Riwayat Pendidikan
1. SD N Kutowinangun 04 Salatiga
2. SMP N 3 Salatiga
3. SMK 1 Bawen (Perhotelan)

Riwayat Organisasi
1. HMJ Aqidah dan Filsafat Islam
(Ketua Divisi Media Komunikasi dan Kreativitas)
2. Anggota relawan Salatiga Peduli.
3. Anggota Mapala AGMM Salatiga

Anda mungkin juga menyukai