Anda di halaman 1dari 136

UMMATAN WASATHAN DALAM AL-QUR‟AN

(Studi Penafsiran Buya Hamka)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah satu Syarat Memperoleh Gelar


Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh :
Uswatun Chasanah
NIM.53020170018

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR‟AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2021
PERSETUJUAN PEMBIMBING

ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN DAN KESEDIAAN DI
PUNLIKASIKAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Uswatun Chasanah

NIM : 53020170018

Fakultas : Ushuluddin, Adan dan Humaniora

Program Studi : Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir

Menyatakan bahwa naskah skripsi saya berjudul Ummatan


Wasathan dalam Al-Qur‟an (Studi Penafsiran Buya Hamka) ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari
karya orang lain. . Pendapat atau temuan orang lain yang terlibat dalam
skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Skripsi ini
diperbolehkan untuk dipublikasikan oleh e-repository perpustakaan IAIN
Salatiga

iii
PENGESAHAN KELULUSAN
Skripsi saudara Uswatun Chasanah, dengan nomor induk
mahasiswa 53020170018 yang berjudul Ummatan Wasathan
dalam Al-Qur‟an (Studi Penafsiran Buya Hamka) telah
dimunaqosyahkan dalam Sidang Panitia Ujian Fakultas Ushuluddin
Adab dan Humaniora, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga
pada 30 April 2021 dan telah diterima sebagai bagian dari syarat-
syarat untuk

iv
MOTTO

ۗ‫اِ َّن ال ّٰلّهَ ََل يُغَيِّ ُر َما بَِق ْوٍم َح ّٰتّى يُغَيِّ ُرْوا َما بِاَنْ ُف ِس ِه ْم‬

Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum

sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka

sendiri.

(QS. Ar Ra’du:11)

Sopo wong sing Tekun bakal Tekan senajan nganggo Teken

(Penulis)

v
PERSEMBAHAN

Atas rahmat dan ridho Allah SWT, kupersembahkan sebuah

karya sederhana ini untuk orang yang penulis sayangi.

1. Bapakku Sudiyono dan Ibuku Sopiah yang selalu

memberikan do‟a, kasih sayang, semangat kepada penulis,

hormat dan baktiku akan selalu tertuju untukmu.

2. Adikku, Santi Nur Aini terimakasih atas do‟a dan

dukungannya, rajinlah belajar dan senantiasa

mempertahankan peringkat sekolahmu serta raihlah cita-

citamu dengan penuh semangat. Serta seluruh keluarga

besarku yang selalu memberikan dukungan dan motivasi

untuk penulis.

3. Bapak Dr. M. Gufron, M.Ag dan Ibu Mu‟izzatul Azizah,

S.Thi, AH yang selalu membimbing serta memberikan ilmu

dan nasihatnya sehingga mampu memberikan keteduhan dan

kedamaian ketika penulis belajar ngaji dan hidup mandiri.

vi
Semoga Allah memanjangkan usia yang senantiasa dalam

kesehatan dan ketaqwaan.

4. Keluarga besar IAT terkhusus angkatan 2017, mb kiki, mb

fikri, mega, arifa, mb tika, galih, bangkit, kang lutvi dan

temen-temen lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu

persatu. Terimakasih untuk sepenggal cerita, canda dan tawa

selama di kampus tercinta.

5. Pengurus Ponpes PA Darul Hadlanah, mb Aisah, Nadyya,

Fadilah, Ina, mas Uham, Pandoyo, Dzia, Irul, Toyib dan

Ayub. Terimakasih sudah mewarnai hari-hariku di Salatiga,

semoga selalu diberikan kesehatan dan kekuatan dalam

menjalankan amal bakti dan ngabdinya.

6. Adik-adikku panti asuhan dan seluruh keluarga besar Ponpes

PA Darul Hadlanah NU Blotongan yang yang telah

membantu lancarnya penulisan ini.

7. Tak lupa yang selalu indah dalam hari-hariku, Putri, Nafis,

Anggun, Windah, Alfa dan Nazil yang telah memberikan


vii
semangat, inspirasi dan cinta serta do‟a dalam proses

pembuatan skripsi ini.

8. Teman-temanku keluarga besar: HMPS, PMII, Al-

KHIDMAH, TAKTIK (Taklim Jurnalistik), BIDIKMISI

yang telah memberikan wawasan dan belajar berorganisasi

dengan loyalitas.

viii
ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah mengungkap makna ummatan


wasathan yang terdapat dalam al-Qur‟an dengan melihat dari sudut
pandang penafsiran Buya Hamka mengenai surah al-Baqarah ayat
143.
Bentuk penelitian ini merupakan kajian kepustakaan atau library
research. Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini
adalah metode tafsir tahlili atau diskriptif analisis yakni menggali
dan menerangkan makna ayat wasathan atau moderasi di dalam al-
Qur‟an sehingga diperoleh gambaran yang jelas sesuai dengan
kitab tafsir al-Azhar.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ummatan wasathan
adalah umat Islam yang berada pada posisi tengah, seimbang,
proporsional serta bersikap adil dalam menangani suatu persoalan
baik dalam konsep akidah atau hubungan antar sesama manusia
sehingga menjadi umat yang terbaik. Buya Hamka mengajak umat
Islam untuk bersikap lebih moderat dalam melakukan segala hal,
menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat serta
mengedepankan sikap saling menghormati. Di samping itu terdapat
empat ciri-ciri ummatan wasathan yakni: tawasuth, tasamuh,
i‟tidal dan tawazun. Pemikiran moderat Buya Hamka diwujudkan
dalam konteks keIndonesiaan yakni beliau mengimplementasikan
sikap moderat dan tidak membedakan antara dua golongan yang
ada yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Keduanya
mencerminkan ajaran Ahlussunah wa al-Jama‟ah yang mengakui
toleransi serta kedamaian dalam berdakwah. Hamka tetap
menghargai argumen mereka dan tetap memberikan informasi atau
referensi yang seimbang dari masing-masing madzhab.
Kata Kunci: Ummatan Wasathan, Buya Hamka, Tafsir al-Azhar
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi huruf (pengalihan huruf) dari huruf


Arab ke huruf Latin yang digunakan adalah hasil Keputusan
Bersama Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan RI Nomor 158 Tahun 1987 atau Nomor 0543 b/u 1987,
tanggal 22 Januari 1988 dengan melakukan sedikit modifikasi
untuk membedakan adanya kemiripan penulisan.

A. Penulisan Huruf :

No Huruf Nama Huruf Latin


Arab

1 ‫ا‬ Alif Tidak dilambangkan


2 ‫ة‬ Ba‟ B
3 ‫ت‬ Ta T
4 ‫ث‬ s\a s\
5 ‫ج‬ Jim J
6 ‫ح‬ H}a h}
7 ‫خ‬ Kha Kh
8 ‫د‬ Dal D
9 ‫ذ‬ z\al z\
10 ‫ر‬ Ra R
x
11 ‫ز‬ Za Z
12 ‫ش‬ Sin S
13 ‫ش‬ Syin Sy
14 ‫ص‬ S}ad s}
15 ‫ض‬ D}ad d}
16 ‫ط‬ T}a‟ t}
17 ‫ظ‬ Z}a z}
18 ‫ع‬ „ain „ (koma terbalik di atas)
19 ‫غ‬ Gain G
20 ‫ف‬ Fa‟ F
21 ‫ق‬ Qaf Q
22 ‫ك‬ Kaf K
23 ‫ل‬ Lam L
24 ‫و‬ Mim M
25 ٌ Nun N
26 ‫و‬ Wawu W
27 ِ Ha‟ H
28 ‫ء‬ Hamzah „ (apostrof)
29 ً Ya‟ Y

xi
B. Vokal :
َ Fathah ditulis „a‟
ۗ Kasrah ditulis „i‟
َ Dlammah ditulis „u‟

C. Vokal Panjang :

‫ا‬+َ Fathah +alif ditulis a ‫جبههية‬ Ja>hiliyah


+َ Fathah + ditulis a> ‫تُسي‬ Tansa>
‫ى‬ alif layin
+‫ا‬ Kasrah + ditulis ‫حكيى‬ H}aki>m
ً ya‟ mati i>
+َ Dlammah + ditulis u> ‫فروض‬ Furu>d}
‫و‬ wawu mati ditulis a>

D. Vokal Rangkap :
+َ Fathah + ya‟ ditulis ai ‫بيُكى‬ Bainakum
ً mati
‫و‬+َ Fathah + wawu ditulis au ‫قول‬ Qaul
mati

xii
E. Huruf rangkap karena tasydid ( ۗ) ditulis rangkap :
‫د‬ ditulis dd ‫عدة‬ „iddah
ٌ ditulis nn ‫يُب‬ Minna

F. Ta’ marbuthah
1. Bila dimatikan ditulis dengan h :
‫حكًة‬ H}ikmah
‫جسية‬ Jizyah
(ketentuan ini tidak berlaku untuk kata-kata bahasa Arab
yang sudah diserapke dalam bahasa Indonesia)

2. Bila ta‟ marbuyhah hidup atau berharakat maka ditulis t :


‫زكبة انفطر‬ Zaka>t al-fit}r
ٌ‫حيبة ااِلَسب‬ H}aya>t al-insa>n
G. Vokal Pendek Berurutan Dalam Satu Kata Dipisahkan
Dengan Apostrof („) :

‫أأَتى‬ A‟antum
‫أعدد‬ U‟iddat
‫نئٍ شكرتى‬ La „in syakartum

xiii
H. Kata Sandang Alif + Lam:

Al-qamariah ٌ‫انقرأ‬ al-Qur‟a>n


Al-syamsiyah ‫انسًبء‬ al-Sama>‟

I. Penulisan Kata-Kata Dalam Rangkaian Kalimat :

Ditulis menurut bunyi atau pengucapannya:


‫ذوً انفرض‬ z\awi al-furu>d}
‫أهم انسُة‬ Ahl al-sunnah

xiv
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. yang telah memberikan

rahmat, taufik serta hidayah kepada setiap ciptaan-Nya. Sholawat

serta salam kepada Nabi Muhammad SAW. inspirator kebaikan

yang tiada pernah kering untuk digali. Skripsi dengan judul

“Ummatan Wasathan dalam Al-Qur‟an (Studi Penafsiran

Buya Hamka)” tidak dapat penulis selesaikan tanpa adanya

bantuan dari berbagai pihak. Banyak orang yang berada di sekitar

penulis, baik secara langsung maupun tidak, telah memberi

dorongan yang berharga bagi penulis. Untuk itu penulis

mengucapkan terima kasih. Secara khusus penulis mengucapkan

terima kasih kepada beberapa pihak yang terkait dan berperan

serta dalam penyusunan skripsi ini:

1. Prof. Dr. Zakiyuddin, M.Ag. selaku Rektor Institut

Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

xv
2. Dr. Benny Ridwan, M.Hum, selaku Dekan Fakultas

Ushuluddin Adab dan Humaniora IAIN Salatiga.

3. Tri Wahyu Hidayati, M.Ag. selaku Ketua Prodi Ilmu Al-

Qur‟an dan Tafsir IAIN Salatiga

4. Dr. Adang Kuswaya, M.Ag selaku dosen pembimbing

yang dengan sabar dan teliti dalam membimbing dan

mengarahkan penulis, terimakasih telah membantu

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga ilmu

yang diberikan bapak selalu bermanfaat.

5. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin Adab dan

Humaniora IAIN Salatiga, terlebih dosen Ilmu Al-Qur‟an

dan Tafsir atas ilmu-ilmu dan warisan-warisan intelektual

beliau curahkan dan mengantarkan penulis untuk

berproses menjadi lebih baik lagi.

6. Semua pihak yang ikut serta memberikan motivasi dan

dorongan dalam penulisan skripsi ini.

xvi
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak

kekurangan, sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun

sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para

pembaca dan dapat dipergunakan sebagaimana mesti.

Salatiga, 23 April 2021


Yang menyatakan

Uswatun Chasanah
NIM. 53020170018

xvii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................. i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................... ii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ................................ iii

PENGESAHAN KELULUSAN ............................................... iv

MOTTO ..................................................................................... v

PERSEMBAHAN...................................................................... vi

ABSTRAK ................................................................................. ix

PEDOMAN TRANSLITERASI .............................................. x

KATA PENGANTAR ............................................................... xv

DAFTAR ISI ............................................................................xviii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................... 1

A. Latar Belakang............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................... 13
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................. 14
D. Kajian Pustaka ............................................................. 16
xviii
E. Kerangka Teori ........................................................... 19
F. Metode Penelitian ....................................................... 25
G. Sistematika Penulisan ................................................. 29

BAB II KONSEP UMMATAN WASATHAN DALAM AL-


QUR‟AN .................................................................................... 32

A. Pengertian Ummatan Wasathan .................................. 32


1. Makna Ummatan ................................................... 32
2. Makna Wasathan ................................................... 40
3. Makna Ummatan Wasathan .................................. 44
B. Azbabun Nuzul Surah al-Baqarah ayat 143 ................ 49
C. Ciri-ciri Ummatan Wasathan ...................................... 52
BAB III PENAFSIRAN BUYA HAMKA TENTANG
UMMATAN WASATHAN ...................................................... 58

A. Biografi Buya Hamka ................................................. 58


B. Kitab Tafsir al-Azhar .................................................. 66
C. Penafsiran Buya Hamka Tentang
Ummatan Wasathan ................................................... 75
BAB IV WUJUD MODERASI BERAGAMA DALAM
KONTEKS KEINDONESIAAN ............................................. 84

A. Moderasi Beragama di Indonesia ................................ 84


xix
B. Relevansi Konsep Ummatan Wasathan dengan
Nilai-nilai Pancasila..................................................... 98
C. Kelebihan dan Kekurangan penafsiran
Buya Hamka ................................................................ 102
BAB V PENUTUP ..................................................................... 105

A. Simpulan ..................................................................... 105


B. Saran ........................................................................... 107
DAFTAR PUSTAKA ................................................................ 109

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................. 115

xx
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur‟an merupakan sumber utama ajaran Islam

dan pedoman hidup bagi setiap muslim. Al-Qur‟an bukan

sekedar memuat petunjuk tentang hubungan manusia

dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia

dengan sesamanya (hablum min Allah wa hablum min an-

nas), serta manusia dengan alam sekitarnya (hablum min

„alam). Untuk memahami ajaran Islam secara sempurna

diperlukan pemahaman terhadap kandungan al-Qur‟an dan

mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari secara

sungguh-sungguh dan konsisten1.

Banyak cara yang ditempuh para pakar al-Qur‟an

untuk menyajikan kandungan dan firman-firman Allah.

1
Al Munawar Agil Husin Said, Al-Qur'an Membangun Tradisi
Kesaleha Hakiki, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h1m. 3
1
Pesan dan kandungannya dihidangkan secara rinci dan luas

mencakup aneka persoalan yang muncul dalam benak

penafsir dan memilih sesuai kadar yang diinginkan.

Mengulang-ulang dalam membaca al-Qur‟an dapat

menimbulkan penafsiran baru, pengembangan gagasan, dan

menambah kesucian jiwa serta kesejahteraan batin2.

Menafsirkan Alquran merupakan bentuk upaya para

mufassir dalam mengungkapkan atau menjelaskan isi dari

Alquran. Luasnya keanekaragaman karya-karya tafsir tidak

dapat dipungkiri karena telah menjadi fakta bahwa mufassir

pada umumnya mempunyai cara berfikir yang berbeda-

beda. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor.

Misalnya, dalam kondisi sosial budaya semasa hidup para

mufassir, pengetahuan dan keilmuan yang dimiliki mufassir

atau dipengaruhi oleh suatu keadaan tertentu. Sejarah

2
M Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an (Bandung: Mizan Media
Utama, 1994), hlm.6
2
membuktikan, perbedaan-perbedaan yang terjadi tidak

hanya dalam masalah-masalah penafsiran tetapi juga pada

sisi-sisi lain dari ilmu keIslaman3.

Pemahaman dan penafsiran terhadap al-Qur‟an

selalu mengalami perkembangan sesuai situasi dan kondisi

yang berkembang. Sebagaimana pernyataan Muhammad

Syahrur bahwa, “Al-Qur‟an shalih li kulli zaman wa

makan” (al-Qur‟an selalu sesuai dengan waktu dan tempat).

Maka dari itu, kehausan umat Islam untuk selalu

mendialogkan al-Qur‟an sebagai teks yang terbatas, dengan

dinamika persoalan sosial kemanusiaan sebagai konteks

yang tidak terbatas4.

Islam sangat menghormati akal dengan menjadikan

analoginya yang benar sebagai pilar kokoh bagi syariat

Islam. Islam sebagai agama yang diyakini oleh umatnya


3
Nadzirullzat Ahmad, Taqiyah dalam Persperktif Syi‟ah dan Sunni
(Studi Tafsir al-Mizan dan Tafsir al-Asas fi al-Tafsir), Skripsi Lampung:
Fakultas Ushuluddin Universitas Negeri Raden Intan Lampung, 2017, hlm. 13
4
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an,..........,hlm. 6
3
sebagai pembawa berkah, pembawa kasih sayang dan

menghargai seluruh umat manusia apapun suku dan

agamanya, Islam tetaplah mencintai perdamaian. Umat

Islam pernah menduduki pada posisi kemajuan di suatu

bangsa namun seiring berjalannya waktu kemajuan itu pun

tidak bertahan hingga sekarang. Jika agama Islam dimaknai

sebagai agama yang mampu menyatukan seluruh umat dan

bermakna agama yang damai maka selayaknya Islam

mampu menjadi penengah di antara konflik-konflik yang

ada saat ini, agama Islam yang tidak condong sebelah barat

ataupun tidak serong sebelah timur melainkan Islam


5
seharusnya tampil di tengah-tengah menjadi kiblat .

Sebagaimana sesuai dengan firman Allah SWT: Dan

demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam),

umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas

5
Hidayatur Rohmah, Ummatan Wasatan Dalam Al-Qur‟an Surah Al-
Baqarah Ayat 143 (Studi Komparatif Kitab Tafsir Fitanzilil qur‟an, Jami‟ al
Bayan dan Al-Qur‟an Al-„Azim), (IAIN Curup, 2019), hlm. 4
4
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi

saksi atas (perbuatan) kamu.

Di era post-modern sekarang ini, umat Islam

dihadapkkan dengan suatu permasalahan dalam hal

memahami ajaran keagamaan, yaitu adanya perbedaan

bermadzhab dan berkelompok. Pada dasarnya Islam adalah

satu tetapi cara memehaminya beragam. Kenyataan tersebut

memunculkan istilah atau label kelompok tertentu. Secara

umum kelompok yang terdapat dimasyarakat dilabeli

dengan kelompok radikal dan liberal6.

Radikal berasal dari bahasa latin radix yang artinya

akar7. Dalam bahasa Inggris kata radical dapat bermakna

ekstrim, menyeluruh sampai ke akar-akarnya dan

revolusioner. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa

6
Faidurrohman, Konsep Ummatan Wasathan dalam AL-Qur‟an
Perspektif Syaikh Wahbah Az-Zuhayli dalam Tafsir Kitab At-Tafsir Al-Munir.
Skripsi IAIN Salatiga, hlm. 27
7
Emna Laisa, Islam dan Radikalisme, Islamuna Vol. 1 No. 1, Juni
2014, hlm. 3
5
Indonesia, radikalisme diartikan sebagai paham atau aliran

yang menginginkan perubahan dengan cara keras atau

drastis 8 . Radikalisme merupakan respon terhadap kondisi

yang sedang berlangsung. Respons tersebut muncul dalam

bentuk evaluasi, penolakan atau bahkan perlawanan.

Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide,

ataupun nilai-nilai terhadap keberlangsungan keadaan yang

ditolak. Dampak paling nayta dari terjadinya radikalisme

adalah terbentuknya politisasi dalam agama, dimana agama

memang sangat sensitif sifatnya, paling mudah membakar

fanatisme9.

Salah satu kelompok radikal yaitu Islamic State of

Iraq and Syiria (ISIS) dalam bahasa Indonesia mereka

disebut Negara Islam Iraq dan Suriah (NIIS) yang

merupakan sebuah organisasi yang berasaskan Islam.

8
Faidurrohman, Konsep Ummatan Wasathan.........., hlm. 72
9
Emna Laisa, Islam dan Radikalisme......................., hlm. 3

6
Diantara bentuk kekerasan yang dilakukan oleh ISIS adalah

menguasai bebrapa wilayah kemudian meneror penduduk

dengan penerapan hukum Islam yang sangat ketat. Misi

ISIS juga melakukan tindakan brutal terhadap kaum muslim

dan orang-orang yang dalam pandangan mereka termasuk

dalam kategori murtad.. kelompok radikal tersebut

mendemostrasikan ide-ide dan prinsip seperi dalam masalah

penerapan syariat Islam atau mendirikan Negara Islam

bahwa mereka telah menyiapkan berbagai konsep yang

berkaitan dengan berbagai isu penting dilihat dari sisi Islam.

Upaya mereka dalam mendirikan Negara Islam yang secara

keseluruhan menginginkan pemberlakuan hukum Islam,

yang menurut mereka bahwa masalah pidana yaitu hukum

yang diberlakukan di Indonesia sekarang bahwa menurut

mereka sudah gagal dalam memecahkan masalah yang

dihadapi umat Islam di Indonesia.

7
Sedangkan liberalisme merupakan istilah yang

digunakan untuk menggambarkan sebuah doktrin atau sikap

baik politik maupun agama dalam menyerukan aksi dengan

segala cara untuk mencapai tujuannya. Liberal adalah

berlebih-lebihan dalam beragama, tepatnya menerapkan

agama secara kaku dan keras hingga melewati batas

kewajaran 10 . Disisi lain, liberalisme berasal dari kata

liberal-liberty yang berarti kebebasan. Kata liberalisme juga

berasal dari bahasa Latin liber artinya bebas dan bukan

budak atau suatu keadaan dimana seseorang itu bebas dari

kepemilikan orang lain. Dan isme yang berarti paham.

Makna bebas kemudian menjadi sebuah sikap kelas

masyarakat terpelajar di Barat yang membuka pintu

kebebasan berfikir. Dari makna kebebasan berfikir inilah

10
A Faiz Yunus, Radikalisme, Liberalisme dan Terorisme:
Pengaruhnya Terhadap Agama Islam, Universitas Indonesia Jurnal Studi Al-
Qur‟an Vol. 13 No. 1, 2017, hlm. 82
8
kata liberal berkembang sehingga mempunyai beragam

makna11.

Berawal dari permasalahan di atas, penulis tertarik

untuk mengkaji salah satu ayat yang kiranya dapat menjadi

solusi terhadap persoalan yang terjadi pada masa kini,

sebagai jawaban dari persoalan-persoalan tersebut. Ayat

yang menjadi objek kajian penulis adalah Q.S al-Baqarah

ayat 143 yang berbunyi sebagai berikut:

َ ِ‫َوَك ّٰذل‬
ِ ‫ك َج َع ْل ّٰن ُك ْم اَُّم ًة َّو َسطًا لِّتَ ُك ْونُ ْوا ُش َه َداۤ َء َعلَى الن‬
‫َّاس‬

‫الر ُس ْو ُل َعلَْي ُك ْم َش ِه ْي ًدا‬


َّ ‫َويَ ُك ْو َن‬

Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu


(umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi
atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad)
menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.

Para mufassir memiliki pandangan dan

interpretasi yang berbeda terhadap ayat ummatan

11
Faidurrohman, Konsep Ummatan Wasathan..................., hlm. 29
9
12
wasathan. Menurut Al-Thabari ummatan

wasathan bukan hanya umat pilihan saja melainkan

umat yang seimbang dalam melakukan segala

sesuatu. Menurutnya juga ummatan wasathan

adalah umat yang memiliki sifat tengah-tengah,

tidak cenderung berlebihan kepada kepentingan

dunia serta tidak cenderung berlebihan terhadap

kebutuhan jasmani dan tidak cenderung

membelenggu diri secara total dari hal-hal yang


13
bersifat duniawi . Konsep ummatan wasathan

merupakan masyarakat yang seimbang, yang berdiri

di tengah antara dua kelompok ekstrim, yaitu

kecenderungan kepada kepentingan dunia dan

12
Nama aslinya adalah Abû Ja‟far Muẖammad bin Jarȋr bin Yazȋd bin
Katsȋr bin Ghâlȋb al-Ṯabârȋ. Beliau dilahirkan pada tahun 224 H/839 M di
Amol, nama daerah di Thabaristan. Beliau juga terkenal sebagai Imam,
Mujtahid, Sejarawan, Ahli fikih dan Mufassir. Al- Ṯabârȋ tumbuh dewasa
dalam keluarga yang mementingkan pendidikan dan di lingkungan religius.
13
Hidayatur Rohmah, Ummatan Wasatan dalam Al-Qur‟an................,
hlm 112
10
cenderung membelenggu diri secara total. Adanya

interpretasi dari mufassir lain maka penting bagi

umat Islam untuk mengkaji dan memahami kembali

frase makna ummatan wasathan agar memperoleh

pemahaman yang luas.

Adapun kajian ayat utama yang menjadi

objek dari penulisan ini sebagimana tang telah

disebutkan sebelumnya yaitu Q.S al-Baqarah ayat

143. Adanya beragam pendapat dari para mufassir

terhadap lafadz ummatan wasathan, penulis tertarik

untuk melakukan kajian penafsiran dari tokoh

mufassir Indonesia, Buya Hamka. Beliau adalah

seorang ulama dan sastrawan serta berkarir sebagai

wartawan, penulis dan pengajar. Beliau dilahirkan di

Tanah Sirah, Sungai Batang di tepi Danau Maninjau

tepatnya pada tanggal 13 Muharram 1326 H

bertepatan dengan 16 Februari 1908 M. Beliau telah


11
menulis lebih dari 100 buku. Hamka adalah seorang

ulama multi dimensi. Hal itu tercermin dari gelar-

gelar kehormatan yang di sandangnya, dia bergelar

Datuk Indomo yang dalam tradisi minangkabau

berarti pejabat pemelihara adat istiadat dalam

pepatah minang, ketentuan adat yang harus tetap

bertahan dikatakan dengan sebaris tidak boleh

hilang, setitik tidak boleh lupa. Gelar ini merupakan

gelar pusaka turun temurun pada adat minangkabau

yang di dapatnya dari kakek dari garis keturunan

ibunya 14 . Namun dalam penulisan Kitab-kitabnya

yang sangat terkenal adalah Kitab tafsir al-Azhar.

Tafsir ini membahas seluruh ayat al-Qur‟an 30 Juz

secara berurutan dari surah Al-Fatihah hingga surah

An-Nas. Dalam pembahasan kitab tafsir ini

14
Pratami Hidayah, Karakteristik Dakwah Buya Hamka, Skripsi IAIN
Metro, 2020, hlm.21
12
menggunakan gabungan antara corak tafsir bil

ma‟tsur dan tafsir bil ra‟yi serta menggunakan gaya

bahasa dan ungkapan yang jelas sehingga mudah

untuk dipahami untuk semua kalangan.

Dengan banyaknya keilmuan serta

kemampuan yang mumpuni terutama dalam bidang

tafsir, penulis tertarik untuk melakukan kajian telaah

lafadz ummatan wasathan perspektif Buya Hamka

dalam karya tafsirnya al-Azhar.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep ummatan wasathan dalam Al-

Qur‟an?

2. Bagaimana penafsiran Buya Hamka tentang

ummatan wasathan?

3. Bagaimana relevansi konsep ummatan wasathan

dalam konteks keIndonesiaan?

13
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian adalah menyimpulkan

kalimat-kalimat yang menunjukkan hasil yang


15
diperoleh setelah dilakukannya penelitian.

Sehingga, berdasarkan rumusan masalah yang

telah dipaparkan di atas, maka tujuan yang hendak

dicapai oleh peneliti dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui konsep ummatan wasathan

dalam al-Qur‟an.

b. Untuk mengetahui penafsiran Buya Hamka

tentang ummatan wasathan

c. Untuk mengetahui relevansi konsep ummatan

wasathan dalam konteks keIndonesiaan.

15
Moh Rusli, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif Berorientasi
Praktis, (Sumenep: LP3 Paramadani, 2013), hlm. 34
14
2. Kegunaan Penelitian

adapun kegunaan dari penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a. Aspek Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan akan berguna

sebagai sumbangan pemikiran atau kontribusi

pemikiran dalam bidang library research serta

dapat menambah wawasan mengenai ummatan

wasathan perspektif Buya Hamka. Disamping

itu peneliti juga berharap agar penelitian ini

dapat memberikan manfaat bagi

pengembangan tulisan-tulisan yang serupa di

masa mendatang.

b. Aspek Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi

referensi bagi pembaca dalam memahami

15
Islam dengan terus menjadikan peran

penengah (moderat) dalam masyarakat luas.

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan salah satu kebutuhan

ilmiah yang berguna untuk memberikan kejelasan

mengenai informasi yang digunakan sebagai khazanah

pustaka, terutama dengan tema yang berkaitan dan sesuai

dengan apa sedang dibahas. Penelitian terdahulu yang telah

membahas tentang islam moderat diantaranya:

Jurnal QOF dengan judul “Interpretasi Hamka

Tentang Ummatan Wasathan Dalam Tafsir Al-Azhar”,yang

ditulis oleh Rauf, A. Mahasiswa aqidah dan filsafat Islam

Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta diterbitkan

pada Vol.3 No.2, 2019. Dalam jurnal ini menjelaskan

bahwa al-Qur‟an mengidealkan umat Islam sebagai

ummatam wasatan. Namun realitasnya umat Islam masih

jauh dari idealisme al-Qur‟an tersebut. Menurut Hamka


16
ummatan wasatan adalah umat yang di tengah, yang tidak

tenggelam dalam kehidupan duniawi dan tidak pula larut

dalam spiritualitas, dan umat yang senantiasa menempuh

jalan yang lurus.

Hidayatur Rohmah, Ummatan Wasatan Dalam Al-

Qur‟an Surah Al-Baqarah Ayat 143 (Studi Komparatif

Kitab Tafsir Fitanzilil qur‟an, Jami‟ al Bayan dan Al-

Qur‟an Al-„Azim) yang membahas mengenai keagungan-

Nya telah melahirkan peradapan terbesar di dunia

sebagaimana misi utama al-Qur‟an adalah menjadikan

manusia berkarakter dan berilmu pengetahuan. Al-Qur‟an

memberikan petunjuk tentang masyarakat ideal,

sebagaimana dalam surah al-Baqarah ayat 143.

Skripsi karya Sabri Mide yang berjudul “Ummatan

Wasathan Dalam Al-Qur‟an”. Skripsi tersebut membahas

makna ummatan wasathan yang terdapat dalam al-Qur‟an.

Didalamnya juga dijelaskan mengenai persoalan yang


17
dihadapi oleh umat Islam saat ini terhadap dua kelompok

ekstrim yang saling bersinggungan dan berlawanan yaitu

kelompok radikal yang lebih melihat suatu persoalan

dengan batasan teks serta kelompok liberalis yang lebih

memprioritaskan akal daripada teks. Kelompok radikal

memiliki cara berpikir yang ketat dan ekstrim bahkan

terkesan statis, sementara kelompok liberalis terkesan

bertindak bebas (free-act), sehingga tampak nyeleneh. Sabri

Mide melakukan kajian dengan pendekatan metode tahlili

sehingga ditemukan makna yang jelas terkait ummatan

wasathan.

Selanjutnya Skripsi dari Makmun yang berjudul

Konsep Ummatan Wasathan dalam Al-Qur‟an

menerangkan bahwa pada mulanya kata wasath berarti

segala sesuatu yang baik sesuai dengan objeknya. Sesuatu

yang baik berada di posisi dua ekstrim. Ia mencontohkan

bahwa keberanian adalah pertengahan antara sikap ceroboh


18
dan takut. Mengenai termi ummatan wasathan adalah

konsep masyarakat yang ideal yang digambarkan oleh al-

Qur‟an karena bermakna pertengahan atau moderat. Posisi

tengah menjadikan mereka mampu memadukan aspek

jasmani dan rohani dan lain sebagainya.

Adapun dalam penelitian ini dijelaskan lebih luas

mengenai moderasi Islam dilihat dari sosial historis dan

relevansinya dizaman sekarang, sehingga diperoleh

pemahaman moderasi secara komprehensif dan diharapkan

bisa menjadi solusi terhadap permasalahan sebagai umat

Islam dan keberagamaannya.

E. Kerangka Teori

Ummatan wasathan terdiri dari dua kata yaitu

ummatan dan wasathan. Menurut KBBI kata Ummah atau

umat memiliki arti para penganut atau pemeluk agama,

sedangkan kata wasatan memiliki makna pertengahan (yang

mengarah pada pengertian adil). Menurut al-Raghib,


19
sebagaimana dikutip dari Ali Nurdin kata wasathan

bermakna sesuatu yang berada dipertengahan yang kedua

ujungnya berada pada posisi yang sama16.

Ummatan wasathan adalah bentuk masyarakat yang

harmonis atau masyarakat yang berkesinambungan. Al-

wasat merupakan ciri keunggulan umat atau masyarakat

yang diidealkan al-Qur‟an karena sifatnya yang moderat

serta mampu berdiri di tengah sehingga dapat dilihat oelh

penjuru manapun. Posisi pertengahan menjadikan anggota

masyarakat tidak condong ke kiri atau ke kanan, dengan

begitu dapat dengan mudah menjadikan manusia dalam

bersikap adil. Hal tersebut dijelaskan dalam surah al-

Baqarah ayat 143 yang mengatakan bahwa umat Islam akan

menjadi saksi atas perbuatannya.

16
Nurdin, Quranic Society (Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal
dalam Al-Qur‟an), hlm. 104
20
Dari kata wasat lahir kata wasit yang bermakna

penengah, penentu atau pemimpin. Pakar tafsir Abu as-

Su‟ud menulis, kata wasat pada mulanya menunjuk pada

sesuatu yang menjadi titik temu semua sisi. Kemudian

berkembang maknanya menjadi sifat-sifat terpuji yang

dimiliki manusia karena sifat-sifat tersebut merupakan

tengah dari sifat tercela.

Disinilah penulis paparkan ciri ummatan wasathan

agar dapat memudahkan pemahaman untuk seluruh umat,

aykni sebagai berikut:

1. Adanya hak kebebasan yang harus selalu diimbangi

dengan kewajiban

Artinya setiap manusia, umat muslim khususnya

harus cerdas menyeimbangkan antara hak dan

kewajiban, yaitu adanya kesadaran akan hak dan

kewajiban serta seimbang untuk menentukan

terwujudnya ummatan wasathan.


21
2. Keseimbangan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi

serta material dan spiritual

Ada dua kecenderungan yang terjadi pada

kehidupan umat manusia saat ini. Mereka yang

cenderung materialistik atau terlalu keduniaan dalam

artian adanya sebagian manusia yang jika telah

mencapai kemajuan material sehingga yang terjadi

adalah kerusakan akhlak, keserakahan dan kegelisahaan

nurani. Akibatnya, apa yang dicapainya hanya sebatas

itu saja bukan kebahagiaan yang hakiki. Sebaliknya,

kecenderungan pada spiritualitasme dan melupakan

fungsinya sebagai khalifah Allah di bumi, maka yang

terjadi adalah keterbelakangan dan menjadi permainan

orang lain17.

Maka dalam hal tersebut umat Islam harus

betul-betul menguasai dan memahami apa yang datang

17
Faidurrohman, Konsep Ummatan Wasathan,..............hlm. 73
22
sebagai hal yang baru, sepeerti teknologi sebagai alat

yang diperlukan untuk membangun dunia. Sehingga

dengan itu, umat Islam dapat menjadi syuhada atau

memiliki andil yang berarti dalam pembangunan

peradaban manusia khususnya umat Islam itu sendiri.

Atas dasar itulah keseimbangan antara materi dan

spiritual menjadi syarat terwujudnya umat yang

wasathan18.

3. Keseimbangan yang terwujud pada pentingnya

kemampuan akal dan moral

Kemampuan akal manusia tercermin dalam

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi hanya akan

mampu menyelesaikan sebagian persoalan manusia,

jadi bukan keseluruhannya. Jika ilmu pengetahuan dan

teknologi sebagai produk kecerdasan akal berada

ditangan orang-orang yang tidak memiliki moral yang

18
Faidurrohman, Konsep Ummatan Wasathan,..............hlm. 73-74
23
luhur, juga bisa menimbulkan malapetaka. Artinya, jika

hanya dengan ilmu pengetahuan tanpa adanya moral

maka akan terjadi suatu kesengajaan. Misalnya

penyimpangan moral yang dilakukan oleh kaum kelas

atas dengan melakukan praktik korupsi yang akibatnya

berdampak pada masyarakat, sehingga timbullah

anekdok „yang kaya semakin kaya dan yang miskin

semakin miskin‟. Hal itu dikarenakan tidak adanya

moral. Begitupula dengan orang yang miskin yang

tanpa didasari moral dalam dirinya, lebih-lebih jika

keduanya tidak dimiliki (moral dan ilmu pengetahuan)

maka yang terjadi adalah adanya kasus kriminal karena

tidak adanya arah tujuan ditambah dengan keputusan

asahan.

Sebaliknya, moralitas yang tinggi tanpa

diimbangi oleh penguasaan ilmu pengetahuan dan

teknologi, hany akan menghasilkan bangsa yang


24
diperbudak dan tidak akan pernah tampil sebagai

pemimpin. Oleh karena itu, harus dipahami bahwa

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi harus

bergerak seimbang dengan kemajuan iman dan taqwa19.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian sangatlah penting untuk menentukan

hasil dari suatu penelitian tersebut. Maka untuk memperoleh

informasi yang akurat dalam penelitian ini digunakan metode

dan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan jenis

penelitian kualitatif yang menitik beratkan pada

metode pustaka (library research) dengan analisi

deskriptif yaitu dengan menggunakan data dari hasil

penulisan seperti buku, jurnal, skripsi serta dokumen

19
Ibid, hlm. 74-75
25
lainnya. Oleh karena itu, guna mendapat data-data

yang dibutuhkan penulis menelaah tulisan atau

buku-buku tafsir yang relevan dengan pembahasan

skripsi ini.

Penelitian merupakan terjemahan dari kata

Inggris research, sebagian ahli yang menerjemahkan

research dengan riset. Research itu sendiri berasal

dari kata re yang berarti kembali dan to research

yang berarti mencari kembali.

2. Sumber Data

Adapun sumber data yang digunakan oleh

penulis dalam penelitian ini mencakup dua sumber

yaitu sumber data primer dan data sekunder.

a. Data primer

Sumber data primer merupakan sumber

utama dalam penelitian, yaitu sumber


26
data yang diperoleh secara langsung dari

sumber asli yang digunakan sebagai

objek penelitian, yaitu Tafsir al-Azhar,

serta buku-buku karya beliau.

b. Data Sekunder

Sumber data sekunder merupakan

sumber data yang mendukung dalam

penelitian ini yang diperoleh dari

literatur-literatur lain berupa jurnal

maupun artikel yang berkaitan dengan

ummatan wasathan ataupun

moderasiIslam guna memperkaya dan

melengkapi sumber data primer.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan alat

terpenting yang diperlukan dalam melakukan suatu

penelitian. Dalam hal ini, mengingat penelitian ini


27
adalah library research maka penulis melakukan

pengumpulan data maupun bahan kepustakaan yang

berkaitan dengan tema yang dikaji sebagi alat

pendukung untuk mencari data yang diperlukan

yaitu buku, artikel dan jurnal. Selanjutnya akan

diklasifikasikan berdasarkan bahasan tema dan akan

dibahas sesuai dengan sistematika pembahasan.

4. Teknik Analisis Data

Penelitian ini dapat digolongkan sebagai

bagian penelitian dengan mengaplikasikan model

penelitian tematik terhadap tema ummatan

wasathan dalam al-Qur‟an (studi penafsiran Buya

Hamka).

Metode yang digunakan dalam penelitian

ini adalah Deskriptif-analisis. Deskriptif yaitu

pemaparan apa adanya terhadap apa yang

dimaksud teks dengan cara memparagrafkan


28
dengan bahasa peneliti dan menggambarkan

sumber data yang diperoleh baik dari kitab

tafsir, jurnal, artikel dan buku lainya yang

berkaitan dengan penelitian. 20 Analitis yaitu

memaparkan dan menerangkan makna-makna

yang tercakup di dalamnya sesuai dengan

keahlian dan kecenderungan dari mufassir yang

menafsirkan ayat tersebut.

G. Sistematika Penulisan

Secara umum, skripsi ini disusun dalam tiga bagian

utama yaitu pendahuluan, isi dan penutup. Untuk

memperoleh pembahasan yang utuh dan sistematis serta

mudah dipahami, maka pembahasan dalam skripsi ini

nantinya akan dibagi dalam lima bab dan masing-masing

bab terdiri dari sub-sub bab sebagaimana uraian berikut:

20
Sahiron Syamsuddin, Tafsir Studies, (Yogyakarta: Elsaq, 2009),
hlm. 15.
29
Bab I merupakan pendahuluan yang meliputi

latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan

penelitian, kajian pustaka, kerangka teori, metode

penelitian, sistematika pembahasan. Melalui bab ini

dapat terungkap gambaran umum tentang seluruh

rangkaian penulis skripsi sebagai dasar pijakan dalam

pembahasan berikutnya.

Bab II menjelaskan Konsep ummatan wasathan

dalam al-Qur‟an yang meliputi: pengertian ummatan

wasathan, azbabun nuzul surah al-baqarah ayat 143 serta

ciri-ciri ummatan wasathan.

Bab III menjelaskan mengenai penafsiran Buya

Hamka tentang ummatan wasathan yang meliputi: Biografi

Buya Hamka, karya-karya Buya Hamka, ruang lingkup

Tafsir al-Azhar dan Penafsiran Buya Hamka terhadap

QS.al-Baqarah ayat 143.

30
Bab IV menjelaskan mengenai wujud moderasi

beragama dalam konteks keIndonesiaan yang meliputi:

relevansi penafsiran, wujud moderasi beragama serta

kelebihan dan kekurangan dalam penafsiran.

Bab V merupakan poin terakhir dalam karya ini,

didalamnya berisi tentang kesimpulan, kemudian

dilanjutkan dengan saran-saran dan penutup.

31
BAB II

KONSEP UMMATAN WASATHAN DALAM AL-QUR‟AN

A. Pengertian Ummatan Wasathan

Ummatan wasathan adalah umat Islam yang berada

pada posisi tengah, seimbang, proporsional serta bersikap

adil dalam menangani suatu persoalan baik dalam konsep

akidah atau hubungan antar sesama manusia sehingga

menjadi umat yang terbaik 21 . Adapun mengenai lafadz

ummatan wasathan penulis akan menguraikan pengertian

dari kedua kata tersebut dengan memberi penjelasan dari

makna ummatan dan wasathan.

1. Makna Ummatan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata

ummatan (‫ )اية‬diartikan sebagai para penganut atau

21
Sugih Hidayatullah, Ummatan Wasaṯan dalam al-Qur‟an (Studi
Komparasi Penafsiran Muẖammad Abduh dan Sayyid Quṯb), Skripsi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019, hlm. 25-26
32
pemeluk dan juga sebagai makhluk manusia22. Kata ‫اية‬

yang berbentuk tunggal dan ‫ ايى‬yang bentuk jamaknya

berasal dari akar kata arabnya (ama yaummu) ‫او – يأو‬

yang berarti menuju, menumpu dan meneladani. Kata

ini mengandung beberapa arti: Pertama, suatu golongan

manusia. Kedua, setiap kelompok yang dinisbatkan

kepada seorang nabi, misalnya nabi Muhammad saw.,

umat nabi Musa a.s. Ketiga, setiap generasi manusia

yang menjadi umat yang satu 23 . Dari kata itu juga,

muncul diantaranya kata umm yang berarti ibu dan

imam yang berarti pemimpin. Itulah sebabnya,

keduanya dapat dijadikan sebagai teladan, sebagai

tumpuan, dan sebagai harapan anggota masyarakat 24.

22
Tim Penyusun Pusat Bahasa. Kamus besar Bahasa Indonesia, Edisi 3.
Cet. 2 (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 1242
23
M. Quraish Shihab. Ensiklopedia Al-Qur‟an Kajian Kosakata, Cet 1
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), hlm. 1242
24
Abdur Rauf, Ummatan Wasaṭan................................, hlm.225
33
Al-Qur‟an menyebut kata ummah sebanyak 51

kali, dan kata umam sebanyak 13 kali. Kata tersebut

digunakan di dalam al-Qur‟an dengan pengertian yang

berbeda-beda, berikut beberapa kata ummah dan umam

yang terdapat dalam al-Qur‟an:

a. Q.S al-An-„am ayat 38

‫اح ْي ِه اََِّلۗ اَُم ٌم‬ ِ ۤ ِ ‫َوَما ِم ْن َداۤبٍَّة فِى ْاَلَ ْر‬


َ َ‫ض َوََل ّٰط ِٕى ٍر يَّط ْي ُر بِ َجن‬

‫ّٰب ِم ْن َش ْي ٍء ثُ َّم اِّٰلى َربِِّه ْم‬ ِ ‫اَمثَالُ ُكم ۗما فَ َّرطْنَا فِى ال‬
ِ ‫ْكت‬ َ ْ ْ

‫يُ ْح َش ُرْو َن‬

“Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di


bumi dan burung-burung yang terbang dengan
kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan
umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak ada
sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab,
kemudian kepada Tuhan mereka dikumpulkan”

34
b. Q.S al-A‟raf ayat 38

ِ ‫ت ِمن قَ ْبلِ ُكم ِّمن ال‬ ِ


‫ْج ِّن‬ َ ْ ْ ْ َ‫ال ا ْد ُخلُ ْوا ف ْيۗ اَُم ٍم قَ ْد َخل‬
َ َ‫ق‬

‫ت‬ ْ َ‫س فِى النَّا ِرۗ ُكلَّ َما َد َخل‬


ْ َ‫ت اَُّمةٌ لَّ َعن‬ ِْ ‫و‬
ِ ْ‫اَلن‬ َ

ِ
ْ َ‫َّارُك ْوا فِ ْي َها َج ِم ْي ًعا ۗقَال‬
‫ت‬ ّّٰ ‫اُ ْختَ َها ۗ َح‬
َ ‫تۗى ا َذا اد‬

ِ ‫ضلُّونَا فَ ّٰاتِ ِهم َع َذابا‬ ِ ِ


‫ض ْع ًفا‬ ً ْ ُ ‫اُ ْخ ّٰر ُىه ْم َلُ ْوّٰل‬
ْ َ َ‫ىه ْم َربَّنَا هۗ ّٰٰ ُؤََلۤء ا‬

‫ف َّوّٰل ِك ْن ََّل تَ ْعلَ ُم ْو َن‬ ِ ‫ال لِ ُك ٍّل‬


ٌ ‫ض ْع‬ َ َ‫ِّم َن النَّا ِر ەۗ ق‬

“Masuklah kamu ke dalam api neraka bersama


golongan jin dan manusia yang telah lebih
dahulu dari kamu. Setiap kali suatu umat masuk,
dia melaknat saudaranya, sehingga apabila
mereka telah masuk semuanya, berkatalah orang
yang (masuk) belakangan (kepada) orang yang
(masuk) terlebih dahulu, “Ya Tuhan kami,
mereka telah menyesatkan kami. Datangkanlah
siksaan api neraka yang berlipat ganda kepada
mereka” Allah berfirman, “Masing-masing
mendapatkan (siksaan) yang berlipat ganda, tapi
kamu tidak mengetahui.”
35
c. Q.S Hud ayat 8

‫ّلىيْ ا َّخ ْسًب ع ٌْ ُِ ُن ا ْلعراة الٔ اُ َّه ٍخ‬

‫ض َٗ اَل ي ْْم يأْت ْيِ ْن‬


ُ ‫َّه ْعد ُّْد ٍح لَّيمُ ْْلُيَّ هب ي ْحج‬

‫ص ُس ّْفًب ع ٌُِْ ْن ّحبق ثِ ْن َّهب كبًُ ْْا‬


ْ ‫ل ْيش ه‬

‫ضت ِْز ُء ّْى‬


ْ ‫ث َٖ ي‬
“Dan sungguh, jika Kami tangguhkan
azab terhadap mereka sampai waktu
yang ditentukan, niscaya mereka akan
berkata, “Apakah yang
menghalanginya?” Ketahuilah, ketika
azab itu datang kepada mereka, tidaklah
dapat dielakkan oleh mereka. Mereka
dikepung oleh (azab) yang dahulu
mereka memperolok-olokkannya”

d. Q.S Yusuf ayat 45

َٖ ‫ٕ ًجب ه ٌُِْوب ّادَّكس ث ْعد ا ُ َّه ٍخ اً ۠ب اًُجِّئُ ُك ْن ثتأّْ ْيل‬


ْ ‫ّلبل الَّر‬

‫فب ْزصلُ ْْى‬

“Dan berkatalah orang yang selamat di


antara mereka berdua dan teringat
(kepada Yusuf) setelah beberapa waktu
36
lamanya, “Aku akan memberitahukan
kepadamu tentang (orang yang pandai)
menakwilkan mimpi itu, maka utuslah
aku (kepadanya).25”

e. Q.S al-Anbiya ayat 92

‫اىَّ ُر ٍٖ اُ َّهتُ ُك ْن اُ َّهخً َّّاحد ًۖحً َّّاً ۠ب زثُّ ُك ْن‬


‫فب ْعجُد ُّْى‬
“Sungguh, (agama tauhid) inilah agama
kamu, agama yang satu, dan Aku adalah
Tuhanmu, maka sembahlah Aku.”

f. Q.S al-Mu‟minun ayat 52

‫ّاىَّ ُر ٍٖ اُ َّهتُ ُك ْن اُ َّهخً َّّاحدحً َّّاً ۠ب زثُّ ُك ْن‬


‫فبتَّمُ ْْى‬
“Dan sungguh, (agama tauhid) inilah
agama kamu, agama yang satu dan Aku
adalah Tuhanmu, maka bertakwalah
kepada-Ku.”

25
M. Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-Qur‟an Kajian Kosakata,hlm.
1035
37
g. Q.S al-Baqarah ayat 213

ٰ ‫بس اُ َّهخً َّّاحدحً فجعث‬


‫ّللاُ الٌَّج ٖيٰي‬ ُ ٌَّ‫كبى ال‬

‫ُهجشِّس ْيي ّ ُه ٌْرز ْيي ًۖ ّا ًْزل هعُِ ُن ا ْلكتت‬

‫اختلفُ ْْا‬ ِّ ‫ثب ْلح‬


ْ ‫ك لي ْح ُكن ث ْيي الٌَّبس ف ْيوب‬

ْ‫اختلف ف ْيَ ا ََّل الَّر ْيي اُ ّْتُ ٍُْْ ه ْۢي‬


ْ ‫ف ْيَ ّهب‬

ٓ‫ث ْعد هب ج ۤبء ْتُِ ُن ا ْلجيٌِّتُ ث ْغيًب ْۢ ث ْيٌُِ ْن ۚ فِد‬

ِّ ‫اختلفُ ْْا ف ْيَ هي ا ْلح‬


‫ك‬ ْ ‫ّللاُ الَّر ْيي اهٌُ ْْا لوب‬
ٰ

ٍ ‫ٕ هيْ يَّش ۤب ُء الٔ صس‬


‫اط‬ ٰ ّ َٖ ً‫ثب ْذ‬
ْ ‫ّللاُ ي ِْد‬

‫ضتم ْي ٍن‬
ْ ‫ُّه‬
“Manusia itu (dahulunya) satu umat.
Lalu Allah mengutus para nabi (untuk)
menyampaikan kabar gembira dan
peringatan. Dan diturunkan-Nya
bersama mereka Kitab yang mengandung
kebenaran, untuk memberi keputusan di
antara manusia tentang perkara yang
mereka perselisihkan. Dan yang
berselisih hanyalah orang-orang yang
telah diberi (Kitab), setelah bukti-bukti
38
yang nyata sampai kepada mereka,
karena kedengkian di antara mereka
sendiri. Maka dengan kehendak-Nya,
Allah memberi petunjuk kepada mereka
yang beriman tentang kebenaran yang
mereka perselisihkan. Allah memberi
petunjuk kepada siapa yang Dia
kehendaki ke jalan yang lurus.”

Sudah sangatlah jelas bahwasannya al-

Qur‟an tidak membatasi pengertian umat

hanya pada kelompok manusia saja. Hal

ini berarti semua kelompok yang

terhimpun oleh sesuatu, seperti halnya

waktu, tempat maupun agama yang sama.

Artinya ada suatu kesamaan yang

menyamakan makhluk hidup manusia,

binatang, ataupun agama26.

26
Sabri Mide, Ummatan Wasatan dalam al-Qur‟an (Kajian Tafsir
Tahlili) dalam QS al-Baqarah/2: 168 Universitas Islam Negeri Alauddin
Makassar, 2014, hlm.38
39
2. Makna Wasathan

Kata wasat dalam al-Qur‟an disebutkan 5 kali,

masing-masing terdapat dalam Q.S al-Baqarah/2: 143

dan 238, Q.S al-Maidah/5: 89, Q.S al-Qalam/68: 28 dan

Q.S al-Adiyat/100: 5. Pada dasarnya penggunaan istilah

wasat dalam ayat-ayat tersebut merujuk pada

pengertian „tengah, adil dan pilihan‟27. Kata wasat di

dalam bahasa Arab berarti „tengah-tengah‟ 28 . Kata

wasat pada mulanya berarti segala yang baik sesuai

dengan objeknya. Segala sesuatu yang bernilai baik

adalah pertengahan di antara dua sifat ekstrim.

Pertengahan dari sifat ceroboh dan takut adalah sifat

berani. Pertengahan dari sifat boros dan kikir adalah

sifat dermawan. Pertengahan dari kedurhakaan sebab

dorongan nafsu yang menggelora dan impotensi adalah

27
Ibid, hlm. 39
28
Adib Bisri dan Munawwir. Kamus Arab-Indonesia Arab, Cet 1
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1999), hlm. 777
40
sifat kesucian. Dari situlah kemudian kata wasat meluas

maknanya menjadi tengah. Posisi pertengahan

menjadikan manusia tidak memihak ke kiri dan ke

kanan, suatu ha.l di mana dapat mengantar manusia

berlaku adil. Posisi pertengahan menjadikan seseorang

dapat dilihat oleh siapapun dan di manapun29. Ketika

ada dua pihak yang berselisih dan berseru, maka pihak

ketiga yang dituntut sebagai wasit (penengah) agar

berlaku adil, yakni tidak memihak kepada pihak

manapun. Kemudian dari situlah muncul makna wasat

yang berarti adil30.

Ibnu Asy‟ur mendefinisikan kata “wasat”

dengan dua makna. Pertama, menurut etimologi kata

wasat berarti sesuatu yang ada di tengah, atau sesuatu

29
Makmun, Konsep Ummatan Wasathan ..................................., hlm.
53
30
Abdur Rauf, Ummatan Wasaṭan Menurut M. Quraish Shihab
..............hlm. 226
41
yang mempunyai dua belah ujung yang ukurannya

sebanding. Kedua, menurut terminologi makna wasat

adalah nilai-nilai Islam yang dibangun atas dasar pola

pikir yang lurus dan pertengahan, tidak berlebihan

dalam hal tertentu31.

Namun, kata ummatan wasathan hanya

disebutkan sekali dalam al-Qur‟an, yakni tertuang

dalam QS. al-Baqarah (2) : 143 Allah berfirman:

َ ِ‫َوَك ّٰذل‬
‫ك َج َع ْل ّٰن ُك ْم اَُّم ًة َّو َسطًا لِّتَ ُك ْونُ ْوا ُش َه َداۤ َء َعلَى‬

‫الر ُس ْو ُل‬ ِ ‫َعلَْي ُك ْم َش ِه ْي ًدا ۗ َوَما َج َعلْنَا ال ِْق ْب لَ َة الن‬


َّ ‫َّاس َويَ ُك ْو َن‬

‫ب‬ ِ ِ َّ ‫ت َعلَْي َهاۗ اََِّل لِنَ ْعلَ َم َم ْن يَّتَّبِ ُع‬


ُ ‫الر ُس ْو َل م َّم ْن يَّ ْن َقل‬ َ ‫الَّتِ ْي ُك ْن‬

31
Nur Afrizal, Konsep Wasathiyah dalam Al-Quran (Studi Komparatif
Antara Tafsir Al-Tahrir Wa At-Tanwir dan Aisar At-Tafasir), Jurnal An-Nur
Vol.4 No.2, 2016, hlm. 208
42
‫ت لَ َكبِْي َرًة اََِّل َعلَى الَّ ِذيْ َن َه َدى‬
ْ َ‫َع ّٰلى َع ِقبَ ْي ِهۗ َواِ ْن َكان‬

‫ف‬ ِ ‫ض ْي َع اِيْ َمانَ ُك ْم ۗ اِ َّن ال ّٰلّهَ بِالن‬


ٌ ‫َّاس لََرءُ ْو‬ ِ ‫ال ّٰلّهُ ۗوما َكا َن ال ّٰلّهُ لِي‬
ُ ََ

‫َّرِح ْي ٌم‬

Artinya: Dan demikian (pula) Kami telah


menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi
atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan
kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan
agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang
mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan
sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat,
kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk
oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan
imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang kepada manusia32.

32
Al-Qur‟an. 2: 143
43
3. Makna Ummatan Wasathan

Dari uraian tentang makna ummatan dan

wasathan di atas, dapat disimpulkan bahwa ummatan

wasathan merupakan umat moderat yang posisinya

berada di tengah agar bisa menyaksikan kepada semua

pihak dan dari segenap penjuru. Mereka dijadikan

demikian sesuai dengan lanjutan Q.S al-Baqarah/2: 143

di atas agar mereka menjadi saksi (syuhada), sekaligus

menjadi teladan dan panutan bagi yang lain33.

Konsep ummatan wasathan mencoba

melakukan pendekatan tabayyun. Begitu pula dalam

menyikapi perbedaan, baik perbedaan agama maupun

perbedaan madzhab, umat yang wasat selalu

mengedepankan sikap toleransi, saling menghargai

33
Makmun, Konsep Ummatan Wasathan dalam Al-
Quran....................,hlm. 62
44
dengan tetap meyakini kebenaran masing-masing

agama dan madzhab yang sesuai dengan dasar atau

landasan baik naqli maupun aqli. Sehingga semuanya

dapat menerima keputusan dengan kepala dingin tanpa

harus menyalahkan antara satu dengan yang lain

sehingga terlibat dalam aksi yang anarkis. Keberadaan

masyarakat ideal pada posisi tengah menyebabkan

mereka tidak seperti umat yang hanya hanyut oleh

materialisme dan tidak pula menghantarkannya

membumbung tinggi ke alam rohani, sehingga tidak

lagi berpijak di bumi. Posisi tengah menjadikan mereka

mampu memadukan aspek rohani dan jasmani, material

dan spiritual dalam segala aktivitas34.

Hamka juga menggambarkan tentang ummatan

wasathan dengan membandingkan karakteristik umat-

34
Faidurrohman, Konsep Ummatan Wasathan.............................., hlm.
72
45
umat yang terdahulu, yaitu umat Yahudi dan Nasrani.

Menurut riwayat perjalanan umat tersebut bahwasannya

umat Yahudi cenderung kepada dunia yaitu tentang

harta dan benda, sehingga di dalam catatan kitab suci

mereka sendiri sangat kurang menceritakan soal

akhirat. Lantaran itu sampai ada di antara mereka

menyatakan bahwa kalau mereka masuk neraka kelak

hanyalah beberapa hari saja (tidak akan lama). Berbeda

dengan ajaran Nasrani yang hanya mementingkan

akhirat saja, meninggalkan kemegahan dunia hingga

mendirikan biara-biara 35 untuk bertapa. Akan tetapi,

kehidupan rohani yang sangat mendalam ini akhirnya

hanya dapat ditiru oleh segelintir golongan saja36.

Hamka menuturkan bahwa ummatan wasathan

adalah umat Nabi Muhammad SAW yang menempuh


35
Biara adalah rumah (asrama) tempat para petapa
36
Baha Udinnor, Ummatan Wasathan Perspektif Tafsir Al-Azhar dan
Al-Misbah, Skripsi IAIN Palangka Raya, 2019, hlm. 82-83
46
jalan lurus, berada pada posisi tengah bukan terpaku

pada dunia sehingga diperhamba oleh benda dan

materi. Dan bukan pula semata-mata mementingkan

rohani saja sehingga tidak bisa dijalankan sebab tubuh

kita masih hidup. Di dalam ibadah shalat mulai jelas

pertemuan di antara keduanya yaitu shalat dikerjakan

dengan badan, melakukan berdiri ruku‟ sujud, namun

semua itu hendaklah dengan hati yang khusyu‟ 37.

Sebagai perumpamaan yaitu pada hari jum‟at.

Di hari tersebut sejak pagi bolehlah bekerja keras

mencari rezeki, berniaga maupun bertani. Namun,

ketika sudah mendengar seruan jum‟at hendaklah

segera berangkat menuju tempat shalat untuk

menyambut dan mengingat Allah. Dan setelah selesai

shalat, segeralah keluar dari masjid untuk bekerja lagi.

37
Sugih Hidayatullah, Ummatan Wasaṯan dalam al-Qur‟an ..............,
hlm. 27
47
Hal ini menunjukkan perilaku untuk menmpuh jalan

tengah sebagai upaya agar kehidupan dunia dan akhirat

lebih seimbang tanpa mengurangi rasa tanggung jawab

terhadap Allah.

Setelah menggambarkan umat-umat terdahulu,

Buya Hamka menyimpulkan bahwa bangkitnya Nabi

Muhammad SAW di Padang Pasir Arabia itu adalah

untuk membawa ajaran untuk menciptakan ummatan

wasatan suatu umat yang menempuh jalan tengah dan

menerima hidup di dalam kenyataannya. Percaya

kepada akhirat, lalu beramal di dunia ini, mencari

kekayaan untuk membela keadilan serta mementingkan

kesehatan jasmani dan rohani. Mementingkan

kecerdasan fikiran namun dengan menguatkan ibadah

untuk menghaluskan perasaan. Menjadi khalifah Allah

di atas bumi untuk bekal menuju akhirat, karena kelak

48
akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT.

Hamka pun menerangkan bahwa syarat untuk menjadi

ummatan wasatan adalah menempuh jalan yang lurus.

Jadi selama suatu umat masih menempuh jalan yang

lurus, maka selama itu pula mereka akan tetap menjadi

umat jalan tengah38.

B. Azbabun Nuzul Surah al-Baqarah ayat 143

Imam al-Qurthubi dalam tarsirannya menyebutkan

pendapat para ulama mufassir yang menyatakan bahwa

surah al-Baqarah ayat 144 turun lebih dulu daripada ayat

sebelumnya. Ayat khusus di sini berkaitan dengan

pemindahan kiblat shalat dari Baitul Maqdis ke Ka‟bah.

Imam Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya menyatakan bahwa:

Peristiwa pemindahan kiblat shalat merupakan


hukum pertama yang dinasakh dalam al-Qur‟an. Ketika
Rasulullah hijrah ke kota Madinah, karrena pada waktu itu
mayoritas penduduk kota Madinah masih beragama
38
Sapta Wahyu Nugroho, Ummatan Wasaṭan Perspektif Mufasir
Kontekstualis…............, hlm. 168
49
Yahudi, Allah SWT memerintahkan beliau untuk
menghadap kearah Baitul Maqdis untuk menarik simpati
penduduk Madinah yang merasa senang dengan hal
tersebut. Maka, awal-awal di Madinah Rasulullah
menghadap ke Baitul Maqdis selama beberapa puluh bulan.

Ada perbedaan pendapat antara para mufassirin

namun mayoritas ulama menyatakan bahwa turunnya ayat

144 surah al-Baqarah tersebut berawal dari penantian

Rasulullah akan turunnya perintah untuk memindahkan arah

kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka‟bah. Pendapat ini

dinyatakan oleh Imam al-Razi dalam tafsirannya dengan

bebrapa alasan bahwa Rasulullah lebih senang menghadap

Ka‟bah daripada Baitul Maqdis. Kecondongan Rasulullah

ini bukanlah tanpa alasan, Imam al-razi menyebut beberapa

diantaranya karena kesombongan orang-orang Yhaudi yang

berkata bahwa rasulullah menyalahi agama mereka, akan

tetapi mengikuti kiblat mereka. Selain itu, kecenderungan

50
Rasulullah pada Ka‟nah dikarenakan pula Ka‟bah

merupakan kiblatnya Nabi Ibrahim39.

Oleh karena itu, Nabi Muhammad saw.

Menengadahkan wajahnya ke langit untuk menghadap dan

berharap akan turunnya perintah memindahkan kiblat.

Setelah melalui kurun waktu antara enam belas atau tujuh

belas bulan sejak hijrahnya beliau ke Madinah. Tidak hanya

itu, orang-orang Yahudi juga menyebarkan kebohongan dan

kebatilan agar kiblat nabi Muhammad saw. Dan kaum

muslimin kembali ke Baitul Maqdis. Kaum yahudi berusaha

keras melenyapkan argumen yang dikeluarkan kaum

muslimin berkaitan dengan pemindahan kiblat shalat.

Dengan berlindung dan bersandar dibalik keagungan agama

Yahudi dan pada keraguan yang mereka ciptakan kepada

39
Makmun, Konsep Ummatan Wasathan dalam Al-Quran, (Kajian
Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab) UIN Sunan Ampel Surabaya,
2006, hlm. 51
51
umat Islam akan kesbesaran nilai agama Islam itu sendiri,

mereka berkata pada barisan kaum muslimin:

Jika menghadap ke Baitul Maqaddas adalah batil,


maka sungguh telah hilang tanpa berpahala shalatmu
waktu yang telah berlalu. Dan jika menghadap Baitul
Maqdis adalah benar, amka apa yang telah kalian lakukan
dengan menghadap kiblat yang baru (Ka‟bah) adalah batil
dan shalat yang kalian lakukan dengan menghadap kiblat
adalah sia-sia tanpa pahala. Maka, atas dasar keterangan
tadi, nasakh dan perubahan arah shalat yang dilakukan
Muhammad adalah perintah yang bukan dari Allah SWT
dan hal ini juga menunjukkan bahwa Muhammad tidak
menerima wahyu dari Allah SWT. Untuk mengantisipasi hal
tersebut dan memberikan kesiapan terhadap Nabi
Muhammad dalam menghadapi fitnah mereka, Allah SWT
menurunkan wahyunya berupa ayat 142-143 dan ayat 145
surah al-Baqarah40.

C. Ciri-ciri Ummatan Wasathan

Untuk memudahkan pemahaman mengenai

ummatan wasathan, penulis akan memaparkan ciri-ciri

ummatan wasathan yang penting untuk diketahui, berikut

ciri-cirinya:

40
Ibid, hlm 52
52
1. Adanya hak kebebasan yang harus selalu diimbangi

dengan kewajiban

Artinya setiap manusia, umat muslim

khususnya harus cerdas menyeimbangkan antara

hak dan kewajiban, yaitu adanya kesadaran akan

hak dan kewajiban serta seimbang untuk

menentukan terwujudnya ummatan wasathan.

2. Keseimbangan antara kehidupan duniawi dan

ukhrawi serta material dan spiritual

Ada dua kecenderungan yang terjadi pada

kehidupan umat manusia saat ini. Mereka yang

cenderung materialistik atau terlalu keduniaan

dalam artian adanya sebagian manusia yang jika

telah mencapai kemajuan material sehingga yang

terjadi adalah kerusakan akhlak, keserakahan dan

kegelisahaan nurani. Akibatnya, apa yang

dicapainya hanya sebatas itu saja bukan


53
kebahagiaan yang hakiki. Sebaliknya,

kecenderungan pada spiritualitasme dan melupakan

fungsinya sebagai khalifah Allah di bumi, maka

yang terjadi adalah keterbelakangan dan menjadi

permainan orang lain. Maka dari itu dalam Q.S al-

Qashas mengingatkan agar tidak terlalu cenderung

pada salah satunya 41:

ٰ ‫ّا ْثتغ ف ْيوب اتىك‬


‫ّللاُ الدَّاز ْاَلخسح َّل ت ٌْش ًص ْيجك هي ال ُّد ًْيب ّا ْحضيْ كوب‬

‫ّللا َل يُح ُّت ا ْل ُو ْفضد ْيي‬


ٰ َّ‫ّللاُ ال ْيك َّل ت ْجغ ا ْلفضبد فٔ ْاَل ْزض اى‬
ٰ ‫ا ْحضي‬

Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang


telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah
kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuatbaiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai
orang yang berbuat kerusakan.

Maka dalam hal tersebut umat Islam harus

betul-betul menguasai dan memahami apa yang

41
Faidurrohman, Konsep Ummatan Wasathan dalam Al-
Qur‟an.............., hlm. 73
54
datang sebagai hal yang baru, sepeerti teknologi

sebagai alat yang diperlukan untuk membangun

dunia. Sehingga dengan itu, umat Islam dapat

menjadi syuhada atau memiliki andil yang berarti

dalam pembangunan peradaban manusia

khususnya umat Islam itu sendiri. Atas dasar

itulah keseimbangan antara materi dan spiritual

menjadi syarat terwujudnya umat yang wasathan.

3. Keseimbangan yang terwujud pada pentingnya

kemampuan akal dan moral

Kemampuan akal manusia tercermin dalam

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi hanya

akan mampu menyelesaikan sebagian persoalan

manusia, jadi bukan keseluruhannya. Jika ilmu

pengetahuan dan teknologi sebagai produk

kecerdasan akal berada ditangan orang-orang yang

tidak memiliki moral yang luhur, juga bisa


55
menimbulkan malapetaka. Artinya, jika hanya

dengan ilmu pengetahuan tanpa adanya moral maka

akan terjadi suatu kesengajaan. Misalnya

penyimpangan moral yang dilakukan oleh kaum

kelas atas dengan melakukan praktik korupsi yang

akibatnya berdampak pada masyarakat, sehingga

timbullah anekdok „yang kaya semakin kaya dan

yang miskin semakin miskin‟. Hal itu dikarenakan

tidak adanya moral. Begitupula dengan orang yang

miskin yang tanpa didasari moral dalam dirinya,

lebih-lebih jika keduanya tidak dimiliki (moral dan

ilmu pengetahuan) maka yang terjadi adalah adanya

kasus kriminal karena tidak adanya arah tujuan

ditambah dengan keputusan asahan.

Sebaliknya, moralitas yang tinggi tanpa

diimbangi oleh penguasaan ilmu pengetahuan dan

teknologi, hany akan menghasilkan bangsa yang


56
diperbudak dan tidak akan pernah tampil sebagai

pemimpin. Oleh karena itu, harus dipahami bahwa

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi harus

bergerak seimbang dengan kemajuan iman dan

taqwa42.

42
Ibid, hlm. 74-75
57
BAB III

PENAFSIRAN BUYA HAMKA TENTANG UMMATAN

WASATHAN

A. Biografi Buya Hamka

Hamka ( Haji Abdul Malik Karim Amrullah)

dilahirkan di Tanah Sirah, Sungai Batang di tepi Danau

Maninjau tepatnya pada tanggal 13 Muharram 1326 H

bertepatan dengan 16 Februari 1908 M. Ayahnya bernama

Abdul Karim Amrullah. Ayah Hamka termasuk keturunan

Abdul Arief, gelar Tuanku Pauh Pariaman atau Tuanku nan

Tuo salah seorang pahlawan Paderi. Tuanku Nan Tuo

adalah salah seorang ulama yang memainkan peranan

penting dalam kebangkitan kembali pembaharuan di

Minangkabau dan sebagai guru utama Jalal Ad-Din 43 .

Hamka adalah seorang ulama multi dimensi. Hal itu

43
M. Sholihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014), hlm.
269
58
tercermin dari gelar-gelar kehormatan yang di sandangnya,

dia bergelar Datuk Indomo yang dalam tradisi minangkabau

berarti pejabat pemelihara adat istiadat dalam pepatah

minang, ketentuan adat yang harus tetap bertahan dikatakan

dengan sebaris tidak boleh hilang, setitik tidak boleh lupa.

Gelar ini merupakan gelar pusaka turun temurun pada adat

minangkabau yang di dapatnya dari kakek dari garis

keturunan ibunya 44 . Kondisi sosial keagamaan pada masa

Hamka menuntut adanya pikiran-pikiran baru yang

membawa umat pada ajaran Al-Qur‟an dan Hadis yang

lurus, yang tidak bercampur dengan adat istiadat. Kondisi

politik menuntut untuk mengusir penjajah Belanda yang

sangat ekspansi dan kondisi inilah yang melatarbelakangi

perjuangan Hamka45.

44
Pratami Hidayah, Karakteristik Dakwah Buya Hamka, Skripsi IAIN
Metro, 2020, hlm.21
45
M. Sholihin, Ilmu Tasawuf....................................., hlm. 270
59
Hamka mengawali pendidikannya dengan belajar

membaca Al-Qur‟an di rumah orang tuanya. Di masa

kecilnya Hamka yang biasa di panggil malik, hidup di

kampung bersama ayah bundanya. Beliau merupakan anak

kesayangan Haji Rasul karna sebagai anak lelaki tertua

Malik menjadi tumpuan untuk melanjutka kepemimpinan

umat. Tetapi metode dakwah Syeikh Abdul Karim yang

cenderung keras dan tak kenal kompromi terbawa pula

dalam cara beliau mendidik anak-anaknya. Rupanya hal

tersebut tidak berkenan di hati Hamka46. Setahun kemudian

saat berusia 7 tahun, Hamka dimasukkan ayahnya ke

sekolah desa yang didirikan oleh Jainudin Labai El-Yunusi

pada tahun 1916. Pagi hari Hamka pergi ke sekolah desa

dan sore harinya pergi ke sekolah diniyah.

46
Pratami Hidayah, Karakteristik Dakwah Buya Hamka............., hlm.
22
60
Buya Hamka tidak sempat memperoleh pendidikan

tinggi, baik sekuler maupun keagamaan. Ia hanya

berkesempatan masuk sekolah desa selama tiga tahun dan

kurang lebih tiga tahun pula ia pada sekolah-sekolah agama

di Padang Panjang dan Parabek. Namun, tampaknya ia

berbakat dalam bidang Bahasa dan dapat menguasai bahasa

Arab. Hal itu membuat ia mampu membaca secara luas

terjemah-terjemah dan tulisan-tulisan barat. Pada tahun

1930, Hamka bukan hanya pergi ke Tanah Jawa, namun

juga ke Mekah, Sulawesi Selatan dan Sumatra Utara. Di

Sulawesi Selatan, ia tinggal kurang lebih empat tahun

sebagai Mubaligh Muhammadiyyah. Pengalaman ini benar-

benar mempertinggi rasa solidaritasnya terhadap orang dari

berbagai suku. Ketika pada akhirnya Hamka menetap di

Medan sebagai pemimpin redaksi mingguan Pedoman

Masyarakat ia mencapai suatu tingkat yang tidak

61
memungkinkannya lagi untuk meninggalkan

nasionalisme47.

Pada tahun 1925, Hamka kembali ke kampung

halamnanya setelah beberapa lama di Jawa. Dan

sesampainya di kampung halaman itulah ia mulai aktif

mengamalkan segala ilmu yang diperoleh. Hal ini terbukti

dengan kegiatannya mendirikan kursus-kursus pidato di

kalangan pemuda-pemuda di Surau ayahnya, bahkan

kemudian pidato-pidato tersebut dibuat buku yang diberi

nama “Khatibul Ummah”48.

Buya Hamka meninggal dunia pada Jum‟at, 24 Juli

1981. Beliau dimakamkan di TPU Tanah Kusir dengan

meninggalkan 10 orang anak, 7 laki-laki dan 3 perempuan.

47
Sholihin. M, Ilmu Tasawuf.................................., hlm. 271
48
M. Fathinadhiroh, Pemikiran Buya Hamka tentang aspek tauhid,
Skripsi IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1997, hlm. 15
62
Dari kesepuluh anak-anaknya tersebut, saat ini jumlah cucu

beliau berjumlah 31 orang dan cicit sebanyak 44 orang49.

Adapun karya-karya Hamka sangatlah banyak dan

secara keseluruhan karya-karya hamka lebih dari seratus

buku yang diantaranya:

a. Di bawah lindungan Ka‟bah

Sebuah Novel yang menceritakan kesetiaan dan

pengorbanan cinta seorang pemuda yang lahir dari

keluarga tidak mampu dan hanya dibesarkan oleh

seorang ibu.

b. Tenggelamnya kapal Van Der Wijck

Sebuah novel yang menceritakan pandangan dan

kritik Hamka tarhadap adat Minangkabau dan

penjajahan dituangkan dalam roman ini melalui

49
Surya Pratama, Kontribusi Buya Hamka dalam Perkembangan
Dakwah Muhammadiyah Tahun 1925-1981, Skripsi Universitas Islam Negeri
Sumatera Utara, 2017, hlm. 35

63
pengungkapan perasaan Zainudin dan pembicaraan

ninik mamak hayati.

c. Falsafah Hidup

Buya Hamka memulai buku ini dengan memaparkan

hidup dan makna kehidupan. Kemudian pada bab

berikutnya, dijelaskan pula tentang ilmu dan akal

dalam berbagai aspek dan dimensinya.

d. Tasawuf perkembangan dan pemurnian Sejarah

Umat Islam

Perkembangan dan pertumbuhan tasawuf Islam

banyak diwarnai kesalahpahaman, bahkan hingga

saat ini. Misalnya, ada yang menyebutkan

pertumbuhan tasawuf islam terpengaruh oleh ajaran

kristen hngga filsafat dalam buku ini ,buya hamka

dengan keluasan dan pemahamanya yang utuh,

memberi cara pandang untuk melihat tasawuf islam

seperti apa adanya.


64
e. Revolusi ideologi dan keadilan sosial

Buya hamka menjelaskan bagaimana kekuatan

agama dan keyakinan kepada Allah SWT menjadi

pendorong bagi manusia mendapatkan kemrdekaan

jiwa sejati serta menjelaskan bagaimana islam

menjadi way of life manusia dalam menjalankan

kehidupanya.

f. Merantau ke deli

Menurut Buya Hamka di antara buku-buku roman

yang beliau tulis, merantau ke deli inilah yaang

paling memuaskan hati. Karena, bahannya semata-

mata didapatkan dalam masyarakat sendiri, yang

beliau lihat dan saksikan. Ia menyaksikan sendiri

dan pergaulan kehidupan pedagang kecil dan ia

saksikan kehidupan kuli kontrak yang diikat oleh

“poenale san ctie” yang terkenal dahulu itu maka

65
dari pada kehidupan yang demikian lah ia mendapat

pokok bahan dari cerita merantau ke deli

g. Ayahku

Buku ini menjelaskan tentang riwayat hidup buya

hamka, tentang asal usul teurunan beliau.

h. Islam dan adat minangkabau

Dalam karya buya hamka ini ia mengoyak adat

habis-habisan, terutama adat yang bertentangan

dengan ajaran islam dan statis

i. Studi islam

Buku ini merupakan karyanya yang secara khusus

membicarakan aspek politik dan kenegaraan islam.

B. Kitab Tafsir Al-Azhar

Tafsir al-Azhar mulai ditulis pada tahun 1962. Tafsir

ini melukiskan dengan gamblang Hamka dalam suasana

kuliah di pagi hari yang ia sampaikan pada tahun 1959

sampai 1964 di masjid al-Azhar, Jakarta. Penulisan tafsir ini


66
sempat ditulis di penjara selama tiga tahun, yaitu 1964-

1966. Beliau di penjara pada rezim Sukarno, karena

pengaruhnya meluas sangat mengganggu dan dianggap

sebagai potensi adanya oposisi. Ujian-ujian hidupnya beliau

kemukakan pada bab 12. Tafsir ini sebanyak 15 volume

bersama dengan novel-novel karya beliau telah memperoleh

minat dari pembaca bahkan telah menjadi standar buku

bacaan dise luruh jalan di singapura dan Malaysia50.

Menurut Hamka mukjizat al-Qur‟an itu adalah al-

Qur‟an itu sendiri. Namun, secara lebih spesifik lagi

kemukjizatannya dapat diringkas menjadi tiga: Pertama,

keistimewaan yang pernah dicapai oleh bangsa Arab.

Kedua, ajaran akhlaknya (akhlak disini bukanlah ajaran

agama, namun puncak budi dari manusia yang cerdas dan

tidaklah dapat dibantai bahwa itulah akhlak yang baik.

50
Usep Taufik Hidayat. Tafsir al-Azhar: Menyelami Kedalaman
Tasawuf Hamka, Al-Turas Vol. XXI No. 1, 2015, hlm. 58
67
Ketiga, hal-hal yang jarang menkadi perhatian para

mufassir, umumnya mereka melihat dari sisi al-Qur‟an saja.

Suatu karya yang besar selain sudah dirancang

secara matang juga dihasilkan karena adanya faktor

tertentu. Hukum kausalitas mengatakan „setiap adanya aksi

selalu diikuti dengan reaksi‟. Hukum tersebut

menggambarkan akan karakter khas yang dimiliki oleh

setiap makhluk hidup bukan hanya manusia saja. Latar

belakang biasanya dihubungkan dengan seberapa cepatkah

respon yang dimiliki dan umumnya karya yang mempunyai

latar belakang nilai sejarah yang mengikuti kemunculannya

suatu karya berpengaruh. Hamka mengakui bahwa dirinya

bukanlah seseorang yang multi disiplin. Beliau mengakui

bukan seorang pakar gramatika Arab, bukan pakar sastra

Indonesia (padahal beliau sudah menulis karya tulis dengan

bahasa Indonesia sebanyak 100 buku besar dan kecil, bukan

insinyur pertanian dan bikan pula ahli atom. Namun


68
persyaratan tersebut tidak menghalanginya untuk

melanjutkan penafsirannya. Menurutnya, ada soal lain yang

sangat mendesak yang menjadikan alasannya

mempertahankan tafsirnya. Alasan tersebut adalah

bangkitnya minat kawula muda untuk mengkaji al-Qur‟n di

Indonesia dan di negara-negara yang berbahasa Melayu 51.

Beliau menganalogikan keadaan mereka ini dengan

perumpamaan rumah telah kelihatan, jalan kesana tidak

ada. Ini merupakan alasan pertama menulis kitab ini.

Kedua, tafsir al-Azhar disususn untuk golongan para

mubaligh atau ahli dakwah. Mereka kadang canggung untuk

tampil karena wawasanumumnya sangatlah lemah. Padahal

mereka mempunyai kewajiban sudah lebih luas daripada

muballigh zaman dulu. Sekarang mereka menghadap

bangsa yang cerdas. Rosnani Hashim menyimpulkan

penelitiannya bahwa latar belakang yang menyetir Hamka

51
Ibid, hlm. 59
69
untuk menulis tafsirnya yaitu adanya kevakuman pada

golongan pemuda di negara-negara yang berbahasa Melayu,

dan adanya kehausan dari mereka terhadap pemahaman

agama terutama al-Qur‟an. Serta adanya kelemahan materi-

materi yang disampaikan oleh para muballigh.

Roshani Hashim meneliti bahwa sumber tafsir al-

Azhar ini meliputi kitab-kitab tafsir klasik yang terdiri dari

tafsir kalangan Sunni, Mu‟tazilah dan Syi‟ah. Hamka

menyatakan secara eksplisit tentang corak haluan dari

penafsirannya. Beliau memberikan istilah dengan “textbook

thinking” yaitu suatu tafsir yang hanya menuruti riwayat

dan naql dari orang terdahulu saja. Sebaliknya, terkadang

seorang mufassir dalam menjelaskan perihal agama

ngelantur kemana-mana, sehingga tidak disadari telah

menjauh dari maksud agama. Sebagaimana dijelaskan oleh

Hamka bahwa tafsir itu membaca corak pandangan si

mufassir dalam haluan madzhabnya. Sehingga kadang-


70
kadang al-Qur‟an yang begitu terang dipersempit oleh

penafsir itu sendiri, dibawa ke haluan yang ditempuhnya.

Sebagai contoh, al-Zamarkasy dalam kitab al-Kashaf beliau

membela madzhab kalam yang beliau anut, yaitu

Mu‟tazilah. Al-Razi cenderung membela madzhab Syafi‟i.

Dan al-Alusi dalam Ruh al-Ma‟ani membela madzhab

Hanafi52.

Dengan demikian, Hamka menuliskan tafsir ini

tanpa membawa pertikaian-pertikaian madzhab karena

beliau tidak ta‟asub (fanatik) terhadap suatu faham.

Tafsirannya cenderung bermadzhab Salaf. Artinya

mengikuti Nabi dan Para sahabat dan para ulama yang

mengikuti jejak mereka. Tafsir yang paling menarik bagi

Hamka adalah tafsir al-anar yang ditulis oleh Sayyid

Rashid Ridha. Tafsir ini mempunyai karakteristik khas taitu

dalam penafsirannya selain menggunkan pendekatan klasik

52
Usep Taufik Hidayat. Tafsir al-Azhar........................,hlm. 61
71
juga menggunkan pendekatan perkembangan politik dan

kemasyarakatan. Tafsir ini snagat mempengaruhi Hamka

dalam tafsirannya.hamka mengutip berpuluh-puluh kitab

karangan sarjana-sarjana modern dan karangan-karang

Orientalis Barat yang bagi para mufassir Indonesia mungkin

hal ini adalah hal yang tabu. Hal ini telah menjadi

kharakteristik khusus Tafsir al-Azhar.

Buya Hamka dalam penafsirannya cenderung

kepada corak yang diformulasikan oleh Ibnu Taymiyyah

yaitu Tafsir bil Ma‟tsur. Ibnu Taymiyyah mengembangkan

penafsiran dengan pendekatan tafsir yang mempriorotaskan

wahyu daripada akal. Secara berurutan, sumber

penafsirannya adalah al-Qur‟an, al-Hadis, perkaaan sahabat

dan perkataan tabi‟in. Metode ini dalam kajian tafsir

dikategorikan kedalam kelompok tekstual (tafsir bil

ma‟tsur). Hamka mencoba menggabungkan antara sejarah

Islam modern dengan studi al-Qur‟an dan berusaha


72
melangkah keluar dari penafsiran-penafsiran tradisional.

Titik tekannya adalah menguak ajaran al-Qur‟an dan

menyesuaikan dengan konteksnya dalam ranah keislaman53.

Adapun terkait metodologi penafsiran Buya Hamka

tentang ummatan wasathan dapat dilihat dari aspek

sistematika penyajian: metode, bentuk, corak penafsiran dan

juga sumber rujukan.

Dari aspek metode penafsiran, dapat diketahui

bahwa Buya Hamka menggunakan metode Tahlili. Karena

Hamka menulis tafsirannya menguraikan ayat demi ayat

yang terdapat dalam Al-Qur‟an. Di samping itu juga,

Hamka mengemukakan dengan munasabah ayat yang

ditafsirkan dengan ayat yang sebelumnya. Sehingga dapat

mengemukakan pendapatnya sendiri dalam menafsirkan

ayat ummatan wasathan. Adapun mengenai bentuk

penafsiran, dapat diketahui bahwa Buya Hamka dalam

53
Usep Taufik Hidayat. Tafsir al-Azhar........................, hlm. 65
73
menafsirkan ayat tentang ummatan wasthan cenderung

menggunakan bentuk tafsir bil ma‟tsur.

Adapun mengenai corak penafsiran, dapat diketahui

bahwa Buya Hamka dalam menafsirkan ayat tentang

ummatan wasathan adalah menggunakan corak adabi

ijtima‟i (sosial kemasyarakatan). Dikatakan demikian

karena terlihat bahwa beliau menjelaskan petunjuk ayat-

ayat Al-Qur‟an dengan mengaitkan lansung terhadap

persoalan-persoalan yang terjadi di tengah masyarakat

berdasarkan berdasarkan petunjuk ayat, dan menguraikan

ayat tersebut dengan bahasa yang mudah dipahami.

Dari aspek sumber rujukan yang digunakan dalam

menafsirkan ayat tantang ummatan wasathan, dapat

diketahui bahwa Buya Hamka merujuk kepada Al-Qur‟an,

penafsir lain dan juga menggunakan rasio (akal).

Buya Hamka menuliskan penafsiran ayat secara

berurutan dimulai dari surat al-fatihah sampai surah an-nas.


74
Metode ini disebut metode Tahlili. Secara bahasa metode

ini bersifat analisis. Semua objek penafsirannya dikupas

secara terperinci dan teratur. Adapun metode penulisan

yang dilakukan pada saat menafsirkan adallah dnegan

menuliskan ayat dan terjemahannya, menjelaskan makna

nama surat dan identitas lainnya seperti tempat dan waktu

turunnya.

C. Penafsiran Buya Hamka Tentang Ummatan Wasathan

َ ِ‫َوَك ّٰذل‬
ِ ‫ك َج َعلْ ّٰن ُك ْم اَُّم ًة َّو َسطًا لِّتَ ُك ْونُ ْوا ُش َه َداۤ َء َعلَى الن‬
‫َّاس‬

َ ‫الر ُس ْو ُل َعلَْي ُك ْم َش ِه ْي ًدا ۗ َوَما َج َعلْنَا ال ِْق ْب لَ َة الَّتِ ْي ُك ْن‬


‫ت‬ َّ ‫َويَ ُك ْو َن‬

‫ب َع ّٰلى‬ ِ ِ َّ ‫َعلَْي َهاۗ اََِّل لِنَ ْعلَ َم َم ْن يَّتَّبِ ُع‬


ُ ‫الر ُس ْو َل م َّم ْن يَّنْ َقل‬

75
‫ت لَ َكبِْي َرًة اََِّل َعلَى الَّ ِذيْ َن َه َدى ال ّٰلّهُ ۗ َوَما‬
ْ َ‫َع ِقبَ ْي ِهۗ َواِ ْن َكان‬

‫ف َّرِح ْي ٌم‬ ِ ‫ض ْي َع اِيْ َمانَ ُك ْم ۗ اِ َّن ال ّٰلّ َه بِالن‬


ٌ ‫َّاس لََرءُ ْو‬ ِ ‫َكا َن ال ّٰلّهُ لِي‬
ُ

Artinya: Dan demikian (pula) Kami telah


menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi
atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan
kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan
agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang
mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan
sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat,
kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk
oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan
imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang kepada manusia54.

Dalam kitab tafsir al-Azhar dijelaskan bagaimana

kedudukan umat Muhammad dalam menegakkan jalan

lurus yang dikehendaki itu. Ada dua umat yang datang

sebelum umat Muhammad, yaitu umat Yahudi dan Nasrani.

Seperti yang sudah banyak ditulis oleh para mufassir atau

54
Al-Qur‟an. 2: 143
76
tokoh-tokoh lain, bahwasannya umat Yahudi terlalu

condong kepada dunia serta harta benda. Sehingga dalam

catatan kitab suci mereka sendiri, kurang sekali diceritakan

perihal akhirat. Lantaran itulah sampai ada di antara mereka

yang berkata bahwa jikalau masuk neraka kelak itu hanya

beberapa hari saja, tidak akan lama. Namun sebaliknya,

umat Nasrani yang lebih mementingkan akhirat saja dan

meninggalkan segala macam kemegahan dunia sampai

akhirnya mendirikan biara-biara sebagai tempat bertapa dan

menganjurkan kepada pendeta-pendeta agar tidak kawin.

Akan tetapi kehidupan rohani yang mendalam ini hanya

dapat dituruti oleh golongan yang terbatas ataupun

dilanggar oleh orang-orang yang telah menempuhnya 55 .

Ayat ini memperingatkan kembali kepada umat Muhammad

bahwa mereka adalah suatu umat yang di tengah,

55
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Pustaka Nasional PTE LTD Singapura, hlm.
332
77
menempuh jalan lurus, bukan terpaku pada dunia sehingga

diperhamba oleh benda dan materi. Dan bukan pula semata-

mata mementingkan rohani saja sehingga tidak bisa

dijalankan sebab tubuh kita masih hidup. Di dalam ibadah

shalat mulai jelas pertemuan di antara keduanya yaitu shalat

dikerjakan dengan badan, melakukan berdiri ruku‟ sujud,

namun semua itu hendaklah dengan hati yang khusyu‟.

Nampak pula dalam peraturan zakat harta benda. Orang

boleh berzakat apabila dia cukup harta menurut bilangan

nisab. Dan apabila datang waktunya hendaklah dibayarkan

kepada fakir-miskin. Artinya, carilah harta benda sebanyak-

banyaknya kemudian berikanlah sebagian daripadanya

untuk menegakkan amal dan ibadah kepada Allah dan untuk

membantu orang yang patut dibantu. Sebagai perumpamaan

keras mencari rezeki, berniaga maupun bertani. Namun,

ketika sudah mendengar seruan jum‟at hendaklah segera

berangkat menuju tempat shalat untuk menyambut dan


78
mengingat Allah. Dan setelah selesai shalat, segeralah

keluar dari masjid untuk bekerja lagi. Hal ini menunjukkan

perilaku untuk menmpuh jalan tengah sebagai upaya agar

kehidupan dunia dan akhirat lebih seimbang tanpa

mengurangi rasa tanggung jawab terhadap Allah56.

Bangkitnya Nabi Muhammad SAW di Padang Pasir,

Arabia merupakan ajaran yang dibawa untuk

membangunkan sikap ummatan wasatan. Suatu umat yang

menempuh jalan tengah, menerima hidup di dalam

kenyataan. Percaya kepada akhirat, lalu beramal di dunia

ini. Mencari kekayaan untuk membela keadilan,

mememntingkan kesehatan jasmani dan rohani.

Mementingkan kecerdasan fikiran dengan menguatkan

ibadah serta menjadi khalifah Allah di atas bumi untuk

bekal menuju akhirat, karena kelak akan dipertanggung

56
Sugih Hidayatullah, Ummatan Wasaṯan Dalam al-Qur‟an ..............,
hlm. 27
79
jawabkan dihadapan Allah. Selama umat ini masih

menempuh shiratal mustaqim jalan yang lurus itu, selama

itu pula mereka akan tetap menjadi umat moderat. Maka

kemudian dilanjutkan ayat setelahnya yaitu tentang saksi-

saksi atas manusia. Menurut Imam az-Zamarkasy dalam

tafsirnya al-Kasyaf bahwa umat Muhammad sebagai umat

jalan tengah akan menjadi saksi atas umat Nabi-nabi yang

lain tentang kebenaran risalah Rasul-rasul yang telah

disampaikan kepada umat mereka masing-masing. Serta

Nabi Muhammad pun akan menjadi saksi dihadapan Allah

kelak, sudahkan mereka menjalankan tugas mereka sebagai

umat yang menempuh jalan tengah, adakah tugas yang

kamu jalankan dengan baik ataukah kamu campur-adukkan

sajakah di antara yang hak dan yang batil, sebab sifat

tengahmu itu hilang57.

57
Hamka, Tafsir Al-Azhar,..................................................hlm. 333
80
Umat Muhammad menjadi umat tengah dan menjadi

saksi untuk umat yang lain dan Nabi Muhammad SAW

mejadi saksi pula atas umat-umatnya. Setelah diketahui

latar belakang tersebut, mudahlah bagi orang yang berfikir

mendalam apa sebab kiblat dialihkan. Namun perlu

diketahui bahwa peralihan kiblat bukanlah sebab, namun

hanya akibat saja dalam hal membangunkan umat yang baru

(ummatan wasathan). setelah itu, Tuhan terangkanlah

mengenai maksud peralihan kiblat dalam membangun

ummatan wasathan. “Dan tidaklah kami jadikan kiblat

yang telah ada engkau atasnya” yaitu kiblat ke Baitul

Maqdis yang satu tahun setengah lamanya Rasul berkiblat

ke sana, lalu dialihkan kepada Ka‟bah yang ada di Makkah,

“Melainkan supaya Kami ketahui siapa yang mengikuti

Rasul dan siapa yang berpaling atas dua tumitnya”. Ayat-

ayat terdahulu sudah menerangkan bahwa Ka‟bah itu

sebenarnya didirikan oleh Nabi Ibrahim a.s dan jauh lebih


81
tua dari Baitul Maqdis. Karena kiblat dikembalikan kepada

asalnya, maka orang yahudi selama satu setengah tahun

bermegah dan merasa bangga sebab hal itu mereka pandang

adalah kemanangan mereka. Dengan adanya peralihan

kiblat terbuktilah maka orang yang bertahan pada ujung

yang selama ini menujukkan suka terhadap rasul lantaran

kiblat menuju tempat yang disukainya, yaitu orang Yahudi.

Setelah kiblat dialihkan, dia menunjukkan tantangan. Orang

yang imannya ragu-ragu dan imannya tidak mendalam

merasa berat atas terjadinya peralihan kiblat itu.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ibnu Juraij, bahwa

beliau berkata: bahwasannya orang-orang yang baru masuk

Islam, setelah kiblat dialihkan ada yang kembali menjadi

kafir. Mereka berkata “Apa ini, sebentar ke sana, sebentar

ke situ”. Dan menurut suatu riwayat dari Imam Ahmad dan

Abd bin Humaid dan Tirmidzi dan Ibn Hibban dan at-

Thabrani dan al-Hikam dari Ibnu Abbas, beliau berkata:


82
“Taktkala Rasulullah SAW mengalihkan kiblat itu ada

beberapa orang yang bertanya kepada beliau: “ Ya

Rasulullah, sekarang kiblat telah beralih. Bagaimana

jadinya dengan orang-orang yang telah mati, sedang dikala

hidupnya mereka shalat berkiblat ke Baitul Maqdis?

Kemudian Allah menegaskan bahwasannya orang-orang

yang mati sebelum kiblat beralih adalah mereka itu beramal

karena imannya juga. Amal mereka tidakakan disia-siakan

oleh Tuhan. Ketaatan mereka dan ibadah mereka khusyu‟

diterima juga oleh Allah dengan sebaik-baik penerimaa,

“Sesungguhnya Allah terhadap manusia adalah penyantun

dan penyayang”. 58

58
Ibid................, hlm. 334
83
BAB IV

WUJUD MODERASI BERAGAMA DALAM

KONTEKS KEIINDONESIAAN

A. Moderasi Beragama di Indonesia

Indonesia sebagai tanah air, bangsa dan negara lahir

dalam proses perjalanan yang panjang. Sejak kepulauan

nusantara ini hadir dimuka bumi, penduduk asli di berbagai

pulau atau daerah hidup dengan segala aneka ragam

kebudayaan yang masih alami seperti berburu dan meramu.

Setelah itu datang pula penduduk dari bangsa lain yang

kemudian menetap dan berbaur sehingga secara turun-

temurun menjadi penduduk Indonesia. Beragam pemeluk

agama, suku bangsa dan kedaerahan membentuk asimilasi

kebudayaan dan corak kehidupan keIndonesiaan yang

majemuk menjadi Bhineka Tunggal Ika. Adapun

kemunculan dan berkembangnya Islam di Indonesia juga

tidak dapat dilepaskan dari pertalian sejarah panjang bagi


84
Ibu Pertiwi. Sebelum kehadiran Islam, sistem budaya dan

religi yang kompleks dan kosmopolit sudah dikenal dan

dijalankan oleh masyarakat Nusantara. Beraneka ragam

bentuk kebudayaan dan praktik keagamaan membaur

menjadi kekhasan bagi bangsa ini59.

Islam sebagaimana yang telah diketahui merupakan

agama yang penuh dengan keberkahan dan agama yang

dibawa oleh nabi Muhammad saw. Islam merupakan agama

mayoritas yang ada di Indonesia dengan penduduk

terbanyak di dunia saat ini. Kata moderasi dalam bahasa

Arab diartikan “al-wasathiyyah atau wasath”, orangnya

disebut “wasith”. Kata wasit sendiri diserap dalam bahasa

Indonesia yang memiliki arti penengah, pelerai, dan

pemimpin. yang jelas, menurut pakar bahasa Arab kata

tersebut merupakan segala yang baik sesuai objeknya.

59
Abdur Rauf. Ummatan Wasatan........................., hlm. 237

85
Dalam ungkapan dalam bahasa Arab sebaik-baik segala

sesuatu adalah yang berada di tengah-tengah. Pada tatanan

praktisnya, wujud moderasi atau jalan tengah dalam Islam

dapat diklasifikasikan menjadi empat: Pertama, moderat

dalam persoalan akidah. Kedua, moderat dalam persoalan

ibadah. Ketiga, moderat dalam persoalan perangai dan budi

pekerti. Keempat, moderat dalam persoalan tasyri‟

(pembentukan syariat)60.

Mengedepankan sikap moderat memnag sangat

sesuai dengan anjuran ayat pada surah al-Baqarah ayat 143

ini, namun harus disadari sejak dini bahwa penerapannya

bukanlah perkara yang mudah. Untuk itu perlu upaya-upaya

rintisan agar moderasi menjadi acuan berpikir, bersikap dan

bertindak umat Islam. Dalam bukunya Dr. H. Mukhlis

Hanafi, MA yang berjudul Moderasi Islam; Menangkal

60
Mohammad Fahri dan Ahmad Zainuri, Moderasi Beragama di
Indonesia, UIN Raden Fatah Palembang. Intizar Vol. 25 No. 2, 2019, hlm. 97
86
Radikalisme Berbasis Agama ini sarat akan pembahasan

tentang upaya menjadi umat Islam yang selalu benar-benar

di tengah, tidak menyulitkan dan tidak juga meremehkan61.

Konsep moderat atau wasathiyyah sepertinya

menjadi garis pemisah dua hal yang bersebrangan.

Penengah ini diklaim tidak membenarkan juga upaya

mengabaikan kandungan al-Qur‟an sebagai dasar hukum

utama. Oleh karena itu wasathan ini lebih cenderung toleran

serta tidak juga renggang dalam memaknai ajaran Islam

khususnya di Indonesia. Dalam konteks Indonesia sendiri,

Islam moderat yang mengimplementasikan ummatan

wasathan terdapat pada dua golongan yaitu Nahdlatul

Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Keduanya

mencerminkan ajaran Ahlussunah wa al-Jama‟ah yang

mengakui toleransi serta kedamaian dalam berdakwah.

61
Muhamad Rezi, Moderasi Islam Era Millenial(Ummatan Wasathan
dalam Moderasi Islam Karya Muchlis Hanafi), IAIN Bukittinggi Sumatra
Barat. Istinarah Vol. 2 No. 2, 2020, hlm. 25
87
Sikap moderasi NU pada dasarnya tidak terlepas dari akidah

Aswaja yang dapat digolongkan paham moderat. Dalam

anggaran dasar NU dikatakan bahwa Nu sebagai Jam‟iyah

Diniyah Islamiyah berakidah Islam menurut paham Aswaja

dengan mengakui empat madzhab yaitu Hanafi, Maliki,

Syafi‟i dan Hambali62.

Sedangkan dalam konteks kesilaman di Indonesia,

konsep moderatisme Islam meiliki sekurang-kurangnya

lima karakteristik berikut ini: Pertama: ideologi non-

kekerasan dalam mendakwahkan Islam. Kedua, mengadopsi

pola kehidupan modern beserta seluruh derivasinya seperti

sains, teknologi dan demokrasi. Ketiga, penggunaan

pemikiran rasioal dalam mendekati dan memahami ajaran

Islam. Keempat, menggunakan pendekatan kontekstual

dalam memahami sumber-sumber ajaran Islam. Kelima,

62
Mohammad Fahri dan Ahmad Zainuri, Moderasi
Beragama......................, hlm. 97
88
penggunaan ijtihad dalam menetapkan hukum Islam

(istinbat). Namun demikian, kelima karakteristik tersebut

dapat diperluas menjadi beberapa karakteristik lagi seperti

toleransi, harmoni dan kerjasama antar kelompok agama

yang berbeda. Moderatisme ajaran islam yang sesuai

dengan misi rahmatal lil „alamin maka memang diperlukan

sikap anti kekerasan dalam bersikap dikalangan masyarakat

dan memahami perbedaan yang mungkin terjadi63.

Adapun ciri-ciri dari moderasi Islam Indonesia,

penulis sampaikan dalam empat ciri sebagai berikut:

a. Tawassuth (mengambil jalan tengah)

Tawasuth berarti pemahaman dan pengalaman yang

tidak ifrath (berlebih-lebihan dalam beragama) dan

tafrith (mengurangi ajaran agama). Tawasuth juga

berarti sikap tengah-tengah atau sedang di antara dua

63
Mohammad Fahri dan Ahmad Zainuri, Moderasi
Beragama....................., hlm. 98
89
sikap, tidak terlalu keras (fundamentalis) dan tidak

terlalu bebas (liberalis) dengan sikap inilah Islam bisa

diterima disegala lapisan masyarakat 64 . Seperti yang

dipaparkan oleh Muhammad Az-Zuhaili dalam

bukumya Moderat dalam Islam:

“Sesungguhnya Allah telah mengutus para Rasul


serta menurunkan kitab-kitab dan syariat-syariat
sebagai pelita bagi umat Islam dalam kehidupan
mereka sehingga penerang dalam amal-amal
perbuatan mereka sebagai jalan yang lurus dan
pergaulan mereka. Dan sebagai keimanan yang
benar serta murni dalam akidah meraka.
Sehingga mereka dapat keluar dari kondisi-
kondisi kegelapan menuju kondisi dengan penuh
cahaya dan mendapat petunjuk dengancara yang
lebih lurus. juga mengajak kepada mereka
menuju sesuatu yang dapat membuka mereka
tetap hidup di dunia dan akhirat dengan sesuatu
yang sesuai fitrah yang sehat jiwa insaniah”.

Sesuai dengan apa yang disebutkan di atas,

diharapkan umat Islam tidak akan terjebak oleh

64
Novita Andria Safitri, Implementasi Nilai At-Tawasuth (Moderat)
Ahlussunnah Wal Jama‟ah dalam Pendidikan Karakter di MA Aswaja Ngunut
Tulungagung, Skripsi IAIN Tulungagung, 2017, hlm. 21

90
perilaku-perilaku yang menyimpang dari syariat

yang membawa mereka ke jalan yang sesat.

Manusia akan mempunyai tujuan hidup yang

pasti dan akan hidup rukun, damai sejahtera.

Umat Islam selalu diharapkan sadar akan

kehidupan dunia dan akhirat, dengan begitu

manusia tidak akan lupa dengan kehidupan

setalah mati maka manusia anak lebih berhati-hati

dalam berperilaku dan tidak melupakan

kewajiban-kewajiban terhadap Allah SWT.

Prinsip dan karakter tawasuth yang sudah

menjadi karakter Islam ini harus diterapkan dalam

segala bidang, agar agama Islam dan sikap serta

tingkah laku manusia selalu menjadi saksi dan

pengukur kebenaran bagi sikap dan tingkah laku

manusia pada umumnya65.

65
Ibid..................., hlm. 24
91
b. Tawazun (berkeseimbangan)

Tawazun yaitu pengalaman dan pemahaman agama

secara seimbang yang meliputi semua aspek kehidupan


66
baik duniawi maupun ukrawi , tegas dalam

menyatakan prinsip yang dapat membedakan antara

inhiraf (penyimpangan) dan ikhtilaf (perbedaan).

Di dunia ini ada dua kecenderungan yang terjadi pada

kehidupan umat manusia. Mereka yang cenderung

materialistik atau terlalu keduniaan, dalam artian

adanya sebagian manusia yang jika telah mencapai

kemajuan material sehingga yang terjadi adalah

kerusakan akhlak, keserakahan dan kegelisahan hati.

Akibatnya apa yang dicapainya hanya sebatas itu saja

dan justru bukan kebahagiaan yang hakiki. Sebaliknya,

kecenderungan pada spiritualisme dan melupakan

fungsinya sebagai khalifah Allah di bumi maka yang

66
Ukhrawi adalah segala yang berkaitan tentang akhirat
92
terjadi adalah keterlebakangan dan menjadi permainan

orang lain. Oleh keran itu dalam QS. al-Qashas/28: 77

mengingatkan agar tidak terlalu cenderung pada salah

satunya.

‫س‬ ‫ن‬ ‫ت‬ ‫َل‬


َ‫و‬ ‫ة‬
َ‫ر‬ ِ ‫اَل‬
‫خ‬ ّٰ ْ ‫الد َار‬
َّ ‫ه‬ ّٰ ‫واب ت ِغ فِيماۗ ّٰا ّٰتىك ال‬
‫ل‬
ّ
َ ْ َ َ َ ُ َ َ ْ َْ َ

ِ ّٰ ُّ ‫ك ِم َن‬
َ ْ‫الدنْ يَا َواَ ْح ِس ْن َك َماۗ اَ ْح َس َن اللّهُ الَي‬
‫ك‬ ِ َ‫ن‬
َ َ‫ص ْيب‬

ُّ ‫ض ۗاِ َّن ال ّٰلّهَ ََل يُ ِح‬


‫ب‬ ِ ‫اد فِى ْاَلَ ْر‬
َ‫س‬ َ ‫َوََل تَ ْب ِغ الْ َف‬

‫ال ُْم ْف ِس ِديْ َن‬

Artinya: Dan carilah pada apa yang telah


dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
(QS.al-Qashas:77)

93
Maka dalam hal tersebut umat Islam harus betul-

betul menguasai dan memahami apa yang datang

sebagai hal baru, seperti teknologi yang

diperlukan untuk membagun dunia. Sehingga

umat Islam menjadi syuhada 67 atau memiliki

andil yang berarti dalam pembangunan peradaban

manusia khususnya umat Islam itu sendiri. Atas

dasar itulah keseimbangan material dan spiritual

menjadi syarat terwujudnya umat yang wasatan68.

c. I‟tidal (adil, tegas)

I‟tidal yaitu tegak di tegah. Dalam filsafat

Nasrani keadilan yaitu memperlakukan orang lain

seperti halnya kita ingin diperlakukan. Nabi

Muhammad SAW juga bersabda “Tidaklah

beriman seorang di antara kamu sebelum dia


67
Syuhada adalah orang-orang yang mati syahid
68
Sabri Mide, Ummatan Wasatan dalam al-Qur‟an......................, hlm.
26

94
mencintai saudaranya sebelum dia mencintai

dirinya sendiri‟. Penulis mengartikan i‟tidal

dengan melakukan sesuatu dengan kewajiban dan

menuntut sesuai haknya yang memang

sepantasnya didapatkan. Afrizal Nur mengartikan

i‟tidal dengan menempatkan sesuatu pada

tempatnya dan melaksanakan hak serta memenuhi

kewajiban secara proporsional. Hamka

menyebutkan bahwa keadilan mengandung tiga

perkara, yaitu persamaan, kemerdekaan dan hak

milik. Pertama, persamaan. Persamaan adalah

hak segenap manusia. Sebab asal kejadian

manusia semua sama, serta kebutuhan hidpunya

pun sama. Oleh sebab itu mereka memiliki hak

yang sama dalam hidup dan hak yang sama

dihadapan hukum. Kedua, kemerdekaan.

Kemerdekaan merupakan kebebasan manusia


95
berdasarkan fitrahnya. Manusia dilahirkan

merdeka, oleh sebab itu mestinya dalam

menjalani hidup ia tetaplah merdeka dan justru

tidak dibelenggu oleh tawanan dan perbudakan.

Ketiga, hak milik. Hukum mengakui atas hak

miliknya sendiri. Pemerintah atau penguasa tidak

mencampuri hak milik orang lain69.

d. Tasamuh (toleransi)

Tasamuh yaitu mengakui dan menghormati

perbedaan baik dalam aspek keagamaan atau

dalam aspek kehidupan. Islam moderat juga

dicirikan oleh keterbukaan terhadap

keanekaragaman pandangan. Sikap ini didasari

oleh kenyataan bahwa perbedaan dikalangan

umat manusia adalah sebuah keniscayaan

69
Abdur Rauf, Interpretasi Hamka tentang Ummatan
Wasathan..............,hlm.174
96
(diterangkan dalam QS. Al-Kahfi ayat 29) Sesuai

dengan sunatullah, perbedaan antar manusia akan

terus terjadi, oleh sebab itu pemaksaan dalam

berdakwah kepada mereka yang berbeda

pandangan, baik dalam satu agama maupun

berbeda agama tidak sejalan dengan semanagat

menghargai perbedaan yang menjadi tuntunan al-

Qur‟an70.

Demikianlah konsep yang harus tertanam dalam

diri umat Islam mengenai moderasi beragama di

Indonesia, yang nantinya konsep tersebut

diharapkan mampu untuk diterapkan dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga

dengan konsep moderasi ini akan membawa

Indonesia ke arah yang lebih baik, tidak terjadi

adannya diskriminasi dalam keberagamaan.

70
Ibid........, hlm. 64
97
B. Relevansi Penafsiran Buya Hamka Tentang Ummatan

Wasathan dengan Nilai-Nilai Pancasila

Pendiri negara kesatuan Republik Indonesia

founding father bangsa telah mencetuskan lima sila sebagai

dasar pijakan bagi seluruh rakyat Indonesia. Lima sila

tersebut kemudian disebut dengan “Pancasila”. Pancasila

lahir pada tanggal 1 Juni 1945 dicetuskan oleh soekarno,

meskipun masih dalam perdebatan mengenai waktu dan

tanggal kelahiran yang tepat akan tetapi dengan disahkan

melalui Perpres di masa presiden Jokowi maka tanggal 1

Juni patut diakui sebagai tanggal lahirnya Pancasila71.

M. Abdul Karim mengatakan bahwa Pancasila

menjadi sumber moral bangsa Indonesia merupakan hasil

penggalian terhadap nilai-nilai yang tumbuh dan

berkembang dalam masyarakat Indonesia. Sila-sila


71
Adam Tri Rizky dan Ade Rosi Siti Zakiah, Islam Wasathiyyah dalam
Wacana Tafsir Ke-Indonesia-an (Studi Komparatif Penafsiran M. Quaish
Shihab dan Buya Hamka). Jurnal Aqwal UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Vol. I No. 1, 2020, hlm. 24
98
Pancasila menunjukkan adanya keselarasan dengan Nilai-

nilai ajaran Islam. Oleh sebab itu, menurut peneliti, konsep

ummatan wasathan oleh Buya Hamka memiliki kesesuaian

dengan Pancasila sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila

merupakan pantulan dari prinsip-prinsip yang tertuang

dalam ciri-ciri ummatan wasathan sehingga diantara

keduanya memiliki kesesuaian dan keterkaitan.

Konsep ummatan wasathan memiliki kesesuaian

dengan pancasila, hal itu dapat dilihat dalam uraian berikut:

Pertama, jiwa masyarakat Indonesia yang meyakini adanya

Allah SWT sebagai Tuhan alam semesta. Tentunya, tidak

boleh ada orang yang hidup di Indoseia kecuali meyakini

adanya Tuhan yang Maha Esa. Dengan demikian sila

pertama ini berkesesuaian dengan gagasan konsep ummatan

wasathan menurut Hamka. Kedua, Kemanusiaan yang

beradab. Manusia yang memiliki rasa kemanusiaan akan


99
dapat hidup bersama dalam bingkai persatuan Indonesia.

Maka jiwa persatuan merupakan prinsip yang harus ada

dalam diri masyarakat Indonesia, dengan demikian

masyarakat Indonesia akan merakyat dalam jiwa

musyawarah saat ingin menyelesaikan permasalahan yang

dihadapi sehingga dapat dihasilkan mufakat. Hal ini sesuai

dengan konsep ummatan wasathan Hamka yaitu cenderung

menggunkan akal sehat serta kebijaksanaan dalam

berperilaku72.

Ketiga, persatuan Indonesia. Sila ini menunjukkan

bahwa warga negara Indonesia harus mampu secara optimal

memposisikan persatuan dan kesatuan, kepentingan dan

keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan individu

maupun kelompok sehingga keutuhan dan eksistensi

generasi bangsa Indosnesia tetap terjaga dan utuh. Dengan

demikian sila persatuan Indonesia sesuai dengan gagasan

72
Ibid, hlm. 25
100
konsep ummatan wasathan menurut Hamka yaitu umat

yang menjunjung tinggi nilai kesatuann dan persatuan.

Keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

Kebijaksanaan ini merupakan suatau prinsip bahwa yang

diputuskan itu memang bermanfaat bagi kepentingan

rakyat. Dalam melaksanaan keputusan ini dibutuhkan

kejujuran bersama. Dengan demikian, sila kerakyatan yang

dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan sesuai dengan gagasan konsep

ummatan wasathan menurut Hamka yaitu umat yang

inklusif, teladan dan adil.

Kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia. Adapun makna ini memuat nilai-nilai sebgai

berikut: perilaku yang adil harus diterapkan baik dibidang

ekonomi, sosial maupun politik. Hak dan kewajiban setiap

orang harus dihormati, perwujudan keadilan sosial bagi


101
bangsa Indonesia. Tujuan rakyat Indonesia yang adil dan

makmur serta mendukung kemajuan dan pembangunan

negara Indonesia. Dengan begitu, sila keadilan sosial bagi

seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan gagasan konsep

ummatan wasathan menurut Hamka yaitu umat memiliki

keseimbangan dan kesetabilan dalam beramal di dunia.

Menurut peneliti, gagasan-gagasan konsep ummatan

wasathan menurut Hamka dapat dijadikan panduan, bagi

umat Islam Indonesia khususnya dalam menjalankan

kehidupan beragama dan bernegara. Dengan

mengaplikasikan prinsip ummatan wasathan tersebut, maka

akan terwujudlah harapan dan cita-cita bangsa.

C. Kelebihan dan Kekurangan Penafsiran Buya Hamka

Tentang Ummatan Wasathan

Dalam menafsirkan ayat tentang ummatan wasathan

tentu ada kekurangan dan kelebihan yang dituliskan oleh

Hamka karena banyaknya sumber yang didapatkan


102
sehingga ia berusaha untuk memposisikan dirinya untuk

tidak memihak satu sumber saja ataupun kepada rasionya

sendiri. Berikut beberapa kelabihan dari penafsiran Buya

Hamka tentang ummatan wasathan73:

1. Hamka mengemukakan munasabah ayat tentang

ummatan wasathan, hal ini dapat membantu

pembaca mengetahui keterkaitan ayat yang

ditafsirkan dengan ayat-ayat yang sebelumnya.

2. Hamka menguraikan penafsiran dengan bahasa

yang mudah dipahami oleh semua kalangan,

khususnya orang yang bisa berbahasa Inndonesia

pada umumnya.

3. Hamka menyisipkan pengalaman pribadinya

dalam menafsirkan ayat tentang ummatan

73
Abdur Rauf, Ummatan Wasathan Menurut Hamka................, hlm.
211
103
wasathan sehingga menambah daya tarik

tersendiri bagi para pembaca.

4. Hamka menggunkan berbagai sumber sebagai

rujukan dalam penafsirannya seperti: kitab-kitab

tafsir, pendapat ulama maupun dari rasio (akal)

nya sendiri74.

Setelah dipaparkan kelebihan dari penafsiran Hamka

tentang ummatan wasathan, berikut ada pula kekurangan-

kekurangan yang ditafsirkan oleh Hamka sebagai berikut:

1. Hamka tidak melakukan analisi mendalam

dalam menafsirkan ayat tentang ummatan

wasathan.

2. Dalam menguraikan tafsirannya, Hamka

seringkali mengulang-ulang penjelasannya

sehingga menimbulkan kesan yang bertele-tele.

74
Abdur Rauf, Ummatan Wasathan Menurut Hamka................, hlm.
211
104
BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Dari hasil studi tentang penafsiran Buya Hamka

tentang ummatan wasathan sebagai pembahasan atau topik

kajian dalam skripsi ini, maka diperoleh kesimpulan-

kesimpulan sebagai berikut:

1. Konsep ummatan wasathan dalam al-Qur‟an yaitu

wasathan mencoba melakukan pendekatan tabayyun

dalam menyikapi perbedaan, baik perbedaan agama

maupun perbedaan madzhab, serta mengedepankan sikap

toleransi, saling menghargai dengan tetap meyakini

kebenaran masing-masing agama dan madzhab yang

sesuai dengan dasar atau landasan baik naqli maupun

aqli. Sehingga semuanya dapat menerima keputusan

dengan kepala dingin tanpa harus menyalahkan antara

105
satu dengan yang lain sehingga terlibat dalam aksi yang

anarkis.

2. Penafsiran ummatan wasathan menurut Buya Hamka

adalah umat yang berada di tengah, yang tidak tenggalam

dalam kehidupan dunia dan tidak pula larut dalam

spiritualitas dan umat yang senantiasa menempuh jalan

yang lurus (siratal mustaqim). Dalam memaknai

ummatan wasathan, Buya Hamka menggunakan redaksi

dan rasionya sendiri dalam menafsirkan.

3. Pemikiran moderat Buya Hamka diwujudkan dalam

konteks keIndonesiaan yakni beliau

mengimplementasikan sikap moderat dan tidak

membedakan antara dua golongan yang ada yaitu

Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Keduanya

mencerminkan ajaran Ahlussunah wa al-Jama‟ah yang

mengakui toleransi serta kedamaian dalam berdakwah.

Hamka tetap menghargai argumen mereka dan tetap


106
memberikan informasi atau referensi yang seimbang dari

masing-masing madzhab.

B. Saran

Dalam proses penulisan ini tentu banyak

kekurangan, maka penulis mengharapkan kepada para

pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang

membangun sehingga akan bertambahnya ilmu pengetahuan

bagi penulis tentang ummatan wasathan.

Sebagai penutup dari penulisan ini, maka penulis

memberikan saran positif bagi umat Islam ataupun

masyarakat muslim terutama pula kepada penulis sendiri

agar bersikap lebih moderat terhadap berbagai hal dan tidak

mudah mendiskreditkan orang lain tanpa berlandaskan

pengetahuan yang memadai. Sebagai al-insanu mahalul

khata‟ wa nisyan terkadang merasa lebih benar sendiri

dibandingkan orang lain. Oleh karena itu, intropeksi diri

sendiri sebagai umat Islam yang rahmatal lil „alamin.


107
Demikian pembahasan skripsi ini, penulis

menyadari pembahasan ini jauh dari sempurna, baik dari

penguasaan materi, gaya bahasa dan lainnya. Semoga

skripsi ini dapat memperkaya khazanah dunia Islam. Kritik

dan saran untuk penulis sangat diharapkan.

108
DAFTAR PUSTAKA

Awaliyah Rizkiyah Putri, Pemikiran Nurcholis Madjid dalam


membangun Masyarakat Moderat. Skripsi UIN Sunan
Gunung Djati Bandung, 2020.

Faidurrohman. Konsep Ummatan Wasathan dalam AL-Qur‟an


Perspektif Syaikh Wahbah Az-Zuhayli dalam Tafsir Kitab
At-Tafsir Al-Munir. Skripsi IAIN Salatiga, 2019.

Fahri Mohammad dan Zainuri Ahmad. Moderasi Beragama di


Indonesia. UIN Raden Fatah Palembang. Intizar Vol. 25
No. 2, 2019.

Fathinadhiroh M. Pemikiran Buya Hamka tentang aspek tauhid.


Skripsi IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1997.

Hadi, S. Urgensi Nilai-Nilai Moderat Islam Dalam Lembaga


Pendidikan Di Indonesia. KAHPI, 2009.

Herlambang Saifuddin dan Hamidun, Tafsir Pendidikan Cak Nur


(Analisis Pemikiran Nurcholis Madjid Tentang Pendidikan
Islam). Pontianak: Ayunindya, 2018.

109
Hidayatullah Sugih. Ummatan Wasaṯan dalam al-Qur‟an (Studi
Komparasi Penafsiran Muẖammad Abduh dan Sayyid Quṯb).
Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019.

Hozaituna, Rizkiyatun. Konsep Ummatan Wasaţan dalam Al-


Qur‟an: Komparasi Penafsiran Ibn Jârîr Al-ṭabârî dan Ibnu
Asyûr. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019.

Laisa Emna. Islam dan Radikalisme. Islamuna Vol. 1 No. 1, 2014.

Makmun. Konsep Ummatan Wasathan dalam Al-Quran (Kajian


Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab). UIN Sunan
Ampel Surabaya, 2006.

Mide Sabri. Ummatan Wasatan dalam al-Qur‟an (Kajian Tafsir


Tahlili) dalam QS al-Baqarah/2: 168. Jurnal Universitas
Islam Negeri Alauddin Makassar, 2014.

Muhammedi. Pemikiran Sosial dan Keislaman Nurcholish Madjid


(Cak Nur). Jurnal Tarbiyah, Vol. 24 No. 2, 2017.

Nadzirullzat Ahmad. Taqiyah dalam Persperktif Syi‟ah dan Sunni


(Studi Tafsir al-Mizan dan Tafsir al-Asas fi al-Tafsir).
Skripsi, Lampung: Fakultas Ushuluddin Universitas Negeri
Raden Intan Lampung, 2017.

110
Nugroho Sapta Wahyu. Ummatan Wasaṭan Perspektif Mufasir
Kontekstualis Indonesia Sebagai Resolusi Konflik
Kekerasan Komunal. Mumtaz: Jurnal Studi Al-Quran dan
Keislaman, Vol. 4 No. 2, 2020.

Nur Afrizal. Konsep Wasathiyah dalam Al-Quran (Studi


Komparatif Antara Tafsir Al-Tahrir Wa At-Tanwir dan
Aisar At-Tafasir). Jurnal An-Nur, Vol. 4 No. 2, 2016.

Prasetyo Agung. Ummah Wasata dalam Penafsiran Ibnu „Asyur


dan M. Quraish Shihab. Skripsi UIN Sunan Ampel
Surabaya, 2015.

Pratama Surya, Kontribusi Buya Hamka dalam Perkembangan


Dakwah Muhammadiyah Tahun 1925-1981. Universitas
Islam Negeri Sumatera Utara, 2017.

Pratami Hidayah. Karakteristik Dakwah Buya Hamka. Skripsi


IAIN Metro, 2020.

Rahmawati Huzdaeni. Nilai-Nilai Ummatan Wasatan untuk


Melawan Intoleran (Studi Teks, Konteks, dan
Kontekstualisasi terhadap QS Al-Baqarah Ayat 143). Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr, Vol. 6 No. 2, 2017.

111
Rauf Abdur. Interpretasi Hamka Tentang Ummatan Wasathan
Dalam Tafsir Al-Azhar. Jurnal Studi Al-Qur'an dan Tafsir,
Vol. 3, No. 2,2019.

Rauf Abdur. Ummatan Wasaṭan Menurut Hamka dalam Tafsir Al-


Azhar dan M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah,
2019.

Rezi Muhamad. Moderasi Islam Era Millenial(Ummatan


Wasathan dalam Moderasi Islam Karya Muchlis Hanafi),
IAIN Bukittinggi Sumatra Barat. Istinarah Vol. 2 No. 2,
2020.

Rizky Adam Tri dan Ade Rosi Siti Zakiah. Islam Wasathiyyah
dalam Wacana Tafsir Ke-Indonesia-an (Studi Komparatif
Penafsiran M. Quaish Shihab dan Buya Hamka). Jurnal
Aqwal UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Vol. I No. 1,
2020.

Rohmah Hidayatur. Ummatan Wasatan Dalam Al-Qur‟an Surah


Al-Baqarah Ayat 143 (Studi Komparatif Kitab Tafsir
Fitanzilil qur‟an, Jami‟ al Bayan dan Al-Qur‟an Al-„Azim).
Skripsi IAIN Curup, 2019.

112
Rusli Moh. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif
Berorientasi Praktis. Sumenep: LP3 Paramadani, 2013.

Said Agil Husin Al Munawar. Al-Qur'an Membangun Tradisi


Kesaleha Hakiki. Jakarta: Ciputat Pers, 2002.

Safitri Novita Andria. Implementasi Nilai At-Tawasuth (Moderat)


Ahlussunnah Wal Jama‟ah dalam Pendidikan Karakter di
MA Aswaja Ngunut Tulungagung. Skripsi IAIN
Tulungagung, 2017.

Shihab Quraish. Membumikan Al-Qur'an. Bandung: Mizan Media


Utama, 1994.

Sholihin M. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia, 2014.

Su‟aidi Hasan. Konsep Amar Ma‟ruf Nahi Munkar Perspektif


Hadits. Jurnal Penelitian,Vol. 6 No. 2, 2013.

Syamsuddin Sahiron. Tafsir Studies. Yogyakarta: Elsaq, 2009.

Udinnor Baha. Ummatan Wasathan Perspektif Tafsir Al-Azhar dan


Al-Misbah. Skripsi IAIN Palangka Raya, 2019.

113
Vera Susanti. Kajian Tokoh dalam Pembaharuan Islam (Nurcholis
Madjid). Makalah UIN Sunan Gunung Djati Bandung,
2020.

Wahab Muhbib Abdul. Kontekstualisasi Amar Ma‟ruf Nahi


Munkar. Artikel UIN Syarif Hidayatullah, 2015.

114
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi:

Nama : Uswatun Chasanah


Tempat Tanggal Lahir : Kab. Semarang, 07 Juli 2000
Alamat : Dusun. Madu RT 02 RW 04, Ds Batur,
Kec. Getasan, Kab. Semarang Jawa Tengah
Agama : Islam
Contact Person : 085700330882
Email : uswachasanah07@gmail.com

Pendidikan Formal:

1. 2004-2005 TK Kuntum Mekar


2. 2005-2011 SDN Batur 03
3. 2011-2014 MTS Sudirman Getasan
4. 2014-2017 SMK Diponegoro Salatiga
5. 2017- sekarang Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur‟an
dan Tafsir IAIN Salatiga

Pengalaman Organisasi:

1. 2012-2014 Anggota Dewan Penggalang MTs Sudirman


Getasan

115
2. 2015-2016 Bendahara SKI SMK Diponegoro Salatiga
3. 2016-2017 Anggota Dewan Ambalan SMK Diponegoro
Salatiga
4. 2018 Anggota HMJ Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir IAIN
Salatiga
5. 2018 Anggota PMII Rayon Sutawijaya
6. 2018-2019 Anggota Taklim Jurnalistik
7. 2019-2020 Sekretaris Al-Khidmah IAIN Salatiga
8. 2019 Bendahara HMPS Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir IAIN
Salatiga

Salatiga. 23 April 2021

Penulis

Uswatun Chasanah

NIM. 53020170018

116

Anda mungkin juga menyukai