Anda di halaman 1dari 15

Konsep Ummathan Wasathan Menurut Buya Hamka dan Quraish Shihab (Studi

Komparatif Antara Tafsir al-Azhar dan Tafsir Al-Misbah)

Husna Nadia
Universitas Darussalam Gontor
nadiahusna3108@gmail.com

abstract
This writing will discuss the Ummatan Wasathan sentence in terms of QS. al-Baqarah
verse 143 which means the people in the middle, but people do not understand what the meaning
of Ummatan Wasathan itself is, so many of them misunderstand the context of the sentence and
think this sentence is only related to religious moderation, while the essence from the Wasathan
Ummah are the people of the Prophet Muhammad who did things without exaggeration and not
lacking, namely doing them in the middle. Therefore, this study aims to understand and avoid
misunderstandings about the Ummatan Wasathan sentence so that misunderstandings do not
occur and recur.
keywords : Ummatan Wasathan, al-Azhar Tafseer, and al-Misbah Tafseer.

Abstrak
Penulisan ini akan membahas kalimat Ummatan Wasathan yang diinjau dari QS. al-
Baqarah ayat 143 yang artinya umat tengah-tengah, akan tetapi orang-orang belum memahami
apa makna dari Ummatan Wasathan itu sendiri, sehingga banyak dari mereka yang menyalah
pahami konteks kalimat tersebut dan menganggap kalimat ini hanya berhubungan dengan
moderasi beragama saja, sedangkan hakikat dari Ummat Wasathan adalah umat Nabi
Muhammad yang melakukan sesuatunya tidak berlebih-lebihan dan tidak kekurangan, yaitu
melakukannya ditengah-tengah. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk memahami dan
menjauhi kesalahpahaman terhadap kalimat Ummatan Wasathan agar kesalahpahaman ini tidak
terjadi dan terulang kembali.
Kata kunci : Ummatan Wasathan, Tafsir al-Azhar, dan Tafsir al-Misbah

1
Pendahuluan
Ummatan wasathan dalam bahasa Indonesia dikenal dengan kata moderat. Islam moderat
mencoba melakukan pendekatan kompromi dan berada di tengah-tengah dalam menyelesaikan
suatu persoalan. Begitupula dalam menyikapi sebuah perbedaan, Islam moderat selalu
mengedepankan sikap toleransi dan saling menghargai. Artinya tidak terlalu liberal sehingga
mencampakkan otoritas teks dan kaedah-kaedah yang sudah baku dalam keilmuan keIslaman,
juga tidak terlalu tekstual yang menutup mata dari perkembangan konteks masyarakat. 1
Moderasi beragama telah menjadi wacana publik dan melahirkan beragam pemaknaan.
Kenyataan ini merupakan salah satu indikator mengenai pentingnya moderasi, sebagaimana
tampak pada perkembangan dan ragam kajiannya seperti moderasi beragama, moderasi Islam,
moderatisme Islam, Islam moderat dan sebagainya. Beragam derivasi yang lahir dari konsep
moderasi juga menunjukkan bahwa tema moderasi masih menjadi tren kajian keislaman
Indonesia kontemporer.2
Kajian Q.S. al-Baqarah/2: 143 menjelaskan sikap umat Islam berada di tengah-tengah
atau sebagai penengah di antara dua ekstrim. Sebelum lahirnya Islam, umat manusia terbagi
menjadi dua kelompok. Pertama, orang-orang yang selalu cenderung pada kepentingan dunia,
seperti kaum Yahudi dan Musyrikin. Kedua, orang-orang yang membelenggu diri dengan adat
kebiasaan dan kepentingan rohania, sehingga meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawiyah,
termasuk kebutuhan jasmani mereka. Di antara mereka adalah kaum Nasrani dan Sabi‟in. 3
Ayat tersebut juga menjelaskan tentang siapa yang benar-benar mengikuti jejak
Rasulullah saw. dan siapa yang tidak, sehingga Allah swt. menetapkan Kabbah sebagi kiblat bagi
umat Islam sebagai simbol persatuan umat Muslim bahwa Islam hanya satu dan tidak ada
perpecahan di dalamnya. Maka dengan mengkaji Q.S. al- Baqarah/2:143 sebagi rujukan utama
dalam penulisan skripsi ini dapat menjadi pedoman dan renungan bagi setiap umat Islam.4

1
Sabri Mide, Ummatan Wasathan dalam al-Qur’an (Kajian Tafsir Tahlili dalam Q.S al-Baqarah : 143),
(UIN Alauddin Makassar, Makassar, 2014), hal.7
2
Edi Nurhidin, Strategi Implementasi Moderasi Beragama M. Quraish Shihab Dalam Pengembangan
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (IAIT Kediri, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam Vol.05, No.02 September 2021)
hal.116
3
Ahmad Musthafa Al-Maragi, Tafsir al-Maragi, penerjemah. K. Anshori Umar Sitanggal, Hery Noer Aly,
Bahrun Abu Bakar (Cet. 2; Semarang: Toha Putra Semarang, 1994), h. 6
4
Sabri Mide, Ummatan Wasathan dalam al-Qur’an (Kajian Tafsir Tahlili dalam Q.S al-Baqarah :
143),……hal.8

2
Berangkat dari pembahasan di atas, penulis tertarik mengkaji salah satu ayat yang
menjelaskan persoalan yang terjadi pada masa kini, sebagai jawaban dari persoalan-persoalan
tersebut di atas. Ayat yang menjadi objek kajian yang penulis maksud adalah Q.S. al-Baqarah/2:
143 dengan membandingkan antara kedua mufassir yaitu buya Hamka dan M. Quraish Shihab.
Pembahasan
Ummatan Wasathan
Ummatan Wasathan terdiri dari dua kata yaitu ummatan dan wasathan. Menurut KBBI,
kata Ummah atau umat memiliki arti para penganut atau pemeluk agama, sedangkan kata
wasathan memiliki arti makna pertengahan (yang mengarah pada pengertian adil). 5 Kata
Ummatan berasal dari kata arabnya arabnya (ama-yaummu) yang berarti menuju, menumpu dan
meneladani, kata ummatun mengandung bebrapa makna diantaranya : Pertama, suatu golongan
manusia. Kedua, setiap kelompok yang dinisbatkan kepada seorang nabi, misalnya nabi
Muhammad saw., umat nabi Musa a.s. Ketiga, setiap generasi manusia yang menjadi umat yang
satu. 6 Ummat juga diartikan sebagai himpunan pengikut Nabi Muhammad dan al-Qur‟an
memakai kalimat ummat dikarenakan di dalamnya dapat menampung perbedaan kelompok-
kelompok, betapapun kecil jumlah mereka, selama masih pada arah yang sama yaitu Allah
SWT.7
Sedangkan Kata ‘wasath’ berasal dari Bahasa Arab, yaitu dari kata “wasatha-yasithu-
wasathan“,8 yang artinya adalah adil dan terpilih, atau kata wasat dalam arti laim adalah tengah-
tengah, 9 maksud dari tengah-tengah ini adalah posisi pertengahan yang menjadikan manusia
tidak memihak ke kiri dan ke kanan, hal ini dapat mengantar manusia untuk berlaku adil, dan
menjadikan seseorang dapat dilihat oleh siapapun dan di manapun. 10 Kata wasathan juga
menunjuk pada letak geografi yaitu letak geografi tanah Arab berada di pertengahan bumi.11 Dan

5
Tim Penyusun Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi 3. Cet. 2 (Jakarta: Balai Pustaka,
2002), hlm. 1242
6
M. Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-Qur’an Kajian Kosakata, Cet 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hlm.
1242
7
M. Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), h. 326.
8
Abu Qasim Jar Allah Mahmud bin Umar, Tafsir Al-Kassyaf, digital (Beirut: Dar al- Fikr, tt), 317-318
9
Adib Bisri dan Munawwir. Kamus Arab-Indonesia Arab, Cet 1 (Surabaya: Pustaka Progresif, 1999), hlm.
777
10
Fitri Rahmawati, Konsep Dakwah Moderat : Tinjauan Ummatan Wasathan dalam al-Qur‟an surat al-
Baqarah 143, (Jurnal Studi Qur’anika, Vol.6 No.1 Juli 2021, UIN Sunan Ampel Surabaya), hal.55
11
Ali Nurdin, Quranic Societi: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al Qur’an, (Jakarta: Erlangga,
2006), h. 104-106

3
dapat disimpulkan bahwa wasath adalah orang yang ada ditengah-tengah dalam urusan agama,
tidak suka mengunggul-unggulkan sesuatu sebagaimana kebiasaan kaum nasrani, dan tidak pula
merendahkan sesuatu seperti pelaku kaum yahudi.12 Maka dari itu, Allah SWT telah berfirman
yang berbunyi :

Yang artinya : Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat
yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang
menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang
mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat
berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan
menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada
manusia.13
Ummatan Wasathan adalah bentuk masyarakat yang harmonis atau masyarakat yang
berkesinambungan. 14 Atau masyarakat yang berada dipertengahan dalam arti moderat, posisi
pertengahan menjadikan anggota tidak memihak kekiri dan kekanan, yang dapat mengantar
manusia berlaku adil.15 Dalam pengertian lain, Ummatan wasathan adalah perwujudan manusia
yang mengikuti “jalan tengah”, tidak terkontaminasi aliran kiri yang cenderung lembek dan steril
dari aliran kanan yang cenderung ekstrim, atau juga diartikan sebagai umat yang adil bukan
tanpa alasan, tapi karena satu tujuan untuk menumbuhkan semangat berkeadilan bagi semua

12
, Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir Al-Tabariy, Jami’ al-Bayan Fi Ta’wil al-Qur’an, digital Beirut: Dar al-
al-Ma‟rifah, 1992.
13
Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: Karya Toha Putra, 2002, QS:02:143.
14
Uswatun Chasanah, Skripsi : Ummatan Wasathan dalam al-Qur’an (Studi Penafsiran Buya Hamka),
(Salatiga : IAIN Salatiga, 2021), hal.19-20
15
Nasaiy Aziz, Islam dan Masyarakat Ideal (Ummatan Wasathan) Dalam Perspektif Para Mufassir dan
Relevansinya dengan kontak keindonesiaan masa kini dan depan, (UIN ar-Raniry, Banda Aceh, Jurnal Ilmiah al-
Mu’ashitah vol.17 no.1 januari 2020), hal.4

4
umat manusia dalam melakukan semua aktivitas kehidupannya. Bahkan, Rasulullah mengklaim
bahwa suatu yang terbaik itu adalah yang paling adil.16
Dapat disimpulkan bahwa Ummatan Wasathan merupakan umat pertengahan yang utama
atau terbaik serta adil sehingga dapat menjadi saksi atas perbuatan manusia, Allah SWT telah
menjadikan umat islam sebagai umat yang terbaik dan umat yang adil, karena salah satu ulama
mengklasifikasikan ummatan wasathan dalam berbagai bentuknya, diantaranya adalah :
Pertama, Ummatan wasathan (umat pertengahan) dengan segala makna wasath baik yang
diambil dari kata wisaathah yang berarti bagus dan utama, maupun dari kata wasath yang berarti
adil dan seimbang atau dari kata wasath dalam arti material indrawi. Kedua, Ummathan
wasathan dalam tashawur pandangan, pemikiran, dan keyakinan. Ketiga, Ummathan wasathan
dalam pemikiran dan perasaan. Umat Islam bukanlah umat yang beku dan stagnan dengan apa
yang diketahui. Keempat, Ummathan wasathan dalam peraturan dan keserasian hidup. Kelima,
Ummathan wasathan dalam ikatan dan hubungan. Keenam, Ummathan wasathan dalam tempat,
yakni suatu tempat dipermukaan bumi dimana umat Islam ada diseluruh peloksoknya baik di
barat, timur, utara maupun selatan dengan posisi ini umat Islam menjadi saksi atas manusia
lainnya. Ketujuh, Ummathan wasathan dalam zaman.17
Adapun kriteria yang ada didalam Ummatan Wasathan adalah : Pertama, Seimbang
antara hak kebebasan dan tuntutan melaksanakan kewajiban, maksudnya, tidak boleh sewenang-
wenang dalam memaksakan Hak asasi dirinya tapi juga memperhatikan kewajiban dirinya
sebagai bagian dari masyarakat. Kedua, Seimbang antara kehidupan duniawi dan ukhrawi,
maksudnya tidak timpang sebelah tapi berjalan seimbang dalam mencapai fi ad-dunya hasanah
wa fi al-akhirati hasanah. Ketiga, Mewujudkan keseimbagan dalam bentuk kemampuan akal dan
moral, maksudnya mampu menampilkan diri sebagai pribadi yang memiliki keseimbangan
dalam berpikir dan berbuat untuk kemaslahatan.18
Dan konsep Ummatan Wasathan sendiri adalah suatu pedoman bagi terjalinnya habl min
al-nas secara moderat sebagai pengejewantahan dari realiasasi habl min Allah secara sempurna.
Selain itu, juga sebagai salah satu pedoman terciptanya masyarakat yang agamis tanpa
16
Bahrur Rosi, Internalisasi Konsep Ummatan Wasathan dengan Pendekatan Dakwah Kultural, (STAI
Miftahul Ulum Pamekasan, Ulumuna : Jurnal Studi Keislaman Vol.5 No.1 Juni 2019), hal.93 & 98
17
Sayyid Quthub, Tafsir fi Zhilalil Qur’an (dibawah Naungan Al Qur’an), Penj. As‟ad Yasin dkk.,
(Jakarta: Gema Insani, 2000), h. 158-159.
18
Tarmizi Taher, Berislam Secara Moderat, (Cet. I; Grafindo Khasanah Ilmu: Jakarta Selatan, 2007),
hal.144

5
ektrimisme dengan berpedoman pada tuntunan Islam yang sesungguhnya, hidup jujur dan
19
menjadi umat terbaik sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Adapun sikap
wasathiyah dalam islam adalah satu sikap penolakan terhadap ekstremisme dalam bentuk
kezaliman dan kebatilan. Ia tidak lain merupakan cerminan dari fitrah asli manusia yang suci
yang belum tercemar pengaruh-pengaruh negatif.20
Biografi Buya Hamka
Nama asli dari Buya Hamka adalah Haji Abdul Malik Karim Amarullah atau lebih
lengkapnya Abdul Malik bin Abdul Karim bin Amrullah bin Abdullah bin Shalih,21 beliau lahir
di sungai batang, Maninjau (Sumatera Barat) pada hari Ahad tanggal 16 Februari 1908 M, tepat
pada tanggal 13 Muharram 1326 H, beliau terlahir dari kalangan keluarga yang taat pada agama.
Beliau diberi gelar buya karena panggilan tersebut dibuat oleh orang Minangkabau yang berasal
dari kata abi atau abuya yang artinya ayahku, atau seseorang yang dihormati.22
Ayah dari buya HAMKA adalah Haji Abdul Karim Amarullah atau disebut dengan Haji
Rasul bin Syeikh Muhammad Amarullah (gelar dari Tuanku Kisai) bin Tuanku Abdul Saleh,
yang mana ayahnya adalah salah seorang pelopor dalam gerakan islam kaum muda di
Minangkabau dimulai pada tahun 1906 setelah kembalinya dari Mekkah. 23 Pada masa kecil,
Buya dikenal dengan sebutan Abdul Malik, semasa kecilnya beliau mengawali pendidikannya
dengan membaca al-Qur‟an di rumah orang tuanya, pada saat umur 6 tahun dibawa ayahnya ke
padangpanjang dan di usia 7 tahun, beliau dimasukkan ke dalam sekolah desa hanya sempat
dienyam sekitar 3 tahun dan malamnya belajar mengaji dengan ayahnya sampai khatam.
Pendidikan formalnya yang dilaluinya sangat sederhana. Pada tahun 1916 sampai 1923, beliau
belajar agama pada lembaga pendidikan Diniyah School di padang panjang dan di pendek.
Pada tahun 1916, beliau belajar pendidikan yang masih berorientasi pada pengajian kitab-
kitab klasik, seperti nahwu, sharaf, manthiq, bayan, fiqh, dan yang sejenisnya, pendekatan
pendidikan dilakukan dengan menekankan pada aspek hafalan yaitu cara yang palig efektif bagi
pelaksanaan pendidikan. Meskipun kepadanya diajarkan membaca dan menulis huruf arab dan

19
Asep Abdurrohman, Eksistensi Islam Moderat dalam Perspektif Islam, (Rausyan Fikr. Vol. 14 No. 1
Maret 2018), hal.29-40
20
Fitri Rahmawati, Konsep Dakwah Moderat : Tinjauan Ummatan Wasathan dalam al-Qur‟an Surat al-
Baqarah : 143, (UIN Sunan Ampel Surabaya, Jurnal Studi Qur’an Vol.6, No.1 Juli 2021), hal.97
21
Solichin Salam, Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya Hamka (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1979), hal.45
22
Baidatul Raziqin, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia (Yogyakarta: e-Nusantara, 2009), hal.188
23
Prof. Dr. HAMKA, Kenang-kenangan Hidup Jil.IV (Jakarta, Bulan Bintang, 1974), hal.532 (Shihab,
Membumikan al-Qur'an 1993) (Dr.HAMKA 1989) (Dr.HAMKA 1989)

6
latin, akan tetapi yang lebih diutamakan adalah mempelajari dengan membaca kitab-kitab Arab
klasik dengan standar buku-buku pelajaran sekolah agama rendah di mesir.24
Selain itu, dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Buya Hamka dipenjarakan oleh Presiden
Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Pada waktu itu, dipenjaralah beliau kemudian meulis
Tafsir al-Azhar sampai selesei 30 juz, beliau menerima beberapa anugerah pada peringkat
nasional dan antar bangsa seperti anugerah kehormatan Ustadziyah Fakhriyah (Doctor Honoris
Causa), Universitas al-Azhar Cairo pada tahun 1958, Doktor Honoris Causa, Universitas
Kebangsaan Malaysia pada tahun 1974, dan gelar Datuk Indono dan pengeran Wirguno dari
pemerintahan Indonesia. Buya Hamka meninggal di Jakarta pada tanggal 24 Juli 1981. Beliau
juga meninggalkan karya-karyanya yang sangat banyak diantaranya yang terkenal adalah tafsir
al-Azhar.25
Buya Hamka menjelaskan dalam tafsir al-Azhar bahwa Ummatan Wasathan adalah suatu
ummat yang menempuh jalan tengah, menerima hidup di dalam kenyataannya. Percaya kepada
akhirat, lalu beramal di dalam dunia ini. Mencari kekayaan untuk membela keadilan,
mementingkan kesehatan rohani dan jasmani, karena kesehatan yang satu bertalian dengan yang
lain. Mementingkan kecerdasan fikiran, tetapi dengan menguatkan ibadat untuk menghaluskan
perasaan. Mencari kekayaan sebanyak-banyaknya, karena kekayaan adalah alat untuk berbuat
baik. Menjadi Khalifah Allah di atas bumi, untuk bekalmenuju akhirat. Karena kelak akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.26
Umat nabi Muhammad menjadi umat tengah dan menjadi saksi untuk umat yang lain, dan
nabi Muhammad SAW menjadi saksi atas ummat-nya yang menjalani tugas yang berat tetapi
suci dengan baik. Maka dari itu ummat nabi Muhammad dijuluki sebagai Ummatan Wasathan
yaitu suatu ummat yang ditengah, menempuh jalan lurus; bukan terpaku kepada dunia sehingga
diperhamba oleh benda dan materi, walaupun dengan demikian akan menghisap darah sesama
manusia. Dan bukan pula hanya semata-mata mementingkan rohani, sehingga tidak bisa
dijalankan, sebab tubuh kita masih hidup. Islam datang mempertemukan kembali di antara kedua
jalan hidup itu. Di dalam ibadat shalat mulaijelas pertemuan di antara keduanya itu, shalat

24
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan
Islam (Jakarta: Kencana 2008), hal.15-21
25
Salman Iskandar, 99 Tokoh Muslim Indonesia (Bandung: Mizan, 2009), hal.91
26
Prof. Dr. HAMKA, Tafsir al-Azhar jil.1 (Singapore, Pustaka Nasional PTE LTD, 1989), hal.332

7
dikerjakan dengan badan, melakukan berdiri ruku' dan sujud, tetapi semuanya itu hendaklah
dengan hobi yang khusyu'.27
Latar Belakang Tafsir al-Azhar
Tafsir al-Azhar adalah salah satu karya Buya Hamka dari sekian banyaknya karya-
karyanya, tafsir al-Azhar berasal dari ceramah atau kuliah subuh yang disampaikan oleh buya
Hamka di masjid agung al-Azhar sejak tahun 1959, masa penulisan tafsir al-Azhar tersebut tiap
pagi waktu subuh sejak akhir tahun 1985 namun sampai Januari 1964 belum juga tamat, diberi
nama al-Azhar sebab timbul didalam Masjid Agung al-Azhar, yang nama itu diberikan oleh
Rektor Universitas al-Azhar Mesir, Syeikh Mahmud Syaltut.28
Metode penafsiran yang digunakan dalam Tafsir al-Azhar ini adalah metode tahlili
(metode analisis) yang mana disusun berurutan dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan
surat an-Nas. Didalamnya juga menguraikan ayat demi ayat sesuai dengan susunan ayat-ayat
yang terdapat dalam mushaf al-Qur‟an, melalui pembahasan kosakata asbab an-nuzul,
munasabah ayat, dan menjelaskan makna yang terkandung dalam ayat-ayat sesuai dengan
kecendrungan serta keahlian mufassir.29
Corak penafsiran yang digunakan dalam Tafsir al-Azhar adalah corak tafsir adab ijtima’I
sebagaimana tafsir as-Sya‟rawi yaitu menafsirkan ayat-ayat al Qur‟an sesuai dengan kondisi
sosial dan budaya masyarakat pada waktu itu agar petunjuk-petunjuk dari al Qur‟an mudah
dipahami dan diamalkan oleh semua golongan masyarakat. Selain memiliki corak tafsir adab
ijtima‟I, tafsir al-Azhar juga membahas tentang fiqih akan tetapi lebih kepada menjelaskan
makna ayat yang ditafsirkan, dan untuk menunjang tujuan pokok yang ingin dicapainya, yaitu
menyampaikan petunjuk-petunjuk al Qur‟an yang berguna bagi kehidupan masyarakat.30
Selain itu, didalam Tafsir al-Azhar juga memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan,
beberapa segi kelebihannya adalah : Pertama, Berbahasa Indonesia. Sehingga tafsir ini mudah
dipahami oleh bangsa Indonesia yang umumnya kesulitan membaca buku-buku berbahasa Arab.
Kedua, Penyeleksian terhadap hadits-hadits. Ketiga, Tidak memasukkan unsur-unsur israiliyat.
Kalaupun beliau menuliskan kisah-kisah israiliyat biasanya hanya untu disebutkan kesalahannya.
Bahkan kisah yang datang dari sahabat pun akan beliau tolak jika memang beliau anggap tidak

27
Prof. Dr. HAMKA, Tafsir al-Azhar jil.1…………………hal.333
28
Prof. Dr. HAMKA, Tafsir al-Azhar jil.1............................hal.66
29
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung, Pustaka Mizan), 1993. Hal. 117.
30
Prof. Dr. HAMKA, Tafsir al-Azhar Jil.29,………………..hal.279-282

8
sesuai dengan Alquran atau pun hadits. Adapun segi kekurangannya adalah pertama, kurang
ketatnya penyeleksian terhadap hadis-hadis, kedua, dalam menyebutkan hadist, kadang-kadang
tidak menyebutkan sumbernya.31
Biografi M.Quraish Shihab
M. Quraish Shihab dilahirkan pada 16 Februari 1944, di kabupaten Dendeng Rampang,
Sulawesi Selatan, yang berjarak kurang lebih 190 km dari kota Kota Ujung Padang. Nama
Shihab merupakan nama yang digunakan dalam keluarga besarnya, sebagaimana digunakan
dalam Wilayah Timur. Beliau adalah putra keempat dari seorang ulama besar almarhum Prof. H.
Abd. Rahman Shihab, guru besar ilmu tafsir dan mantan Rektor UMI dan IAIN Alaudin Ujung
Pandang, bahkan sebagai pendiri kedua Perguruan Tinggi tersebut.32
Quraish shihab setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang, dia
melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang sambil nyantri di pesantren Dar al-Hadits al-
Fiqhiyah pada 1958. Dia berangkat ke Kairo-Mesir dan diterima di kelas II Tsanawiyah al-Azhar
pasa 1967, dia meraih gelar Lc (S1) pada Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir Hadits Universitas
al-Azhar. Kemudian melanjutkan pendidikan Strata 2 (S2) di Fakultas yang sama dan pada tahun
1969 meraih gelar M.A. untuk spesialisasi bidang tafsir Al-Qur‟an dengan Tesis berjudul “Al-
„Jaz al-Tasyri‟iy Li Al-Qur‟an Al-Karim.33
Tahun 1984 merupakan babak baru karir Quraish Shihab dimulai, saat pindah tugas dari
Ujung Pandang ke IAIN Jakarta. Di sini ia aktif menngajar bidang tafsir dan „Ulum al-Qur‟an‟ di
program S1, S2, dan S3 sampai tahun 1998. Dia juga mengajar subjek lain seperti hadits, hanya
di program S2 dan S3 saja. Sejak 1998. Selain menjadi Rektor di IAIN Jakarta selama dua
periode (1992-1996 dan 1997-1998), dia juga dipercaya menjadi menteri agama kurang lebih dua
bulan di awal tahun 1998 pada kabinet terakhir pemerintahan Soeharto. Sejak tahun 1999 dia
diangkat menjadi Duta Besar Luar Biasa dan berkuasa penuh Republik Indonesia untuk Negara
Republik Arab Mesir dan merangkap negara Djibauti berkedudukan di Kairo sampai tahun 2002.

31
Muhammad Yunan Yusuf, Karakteristik Tafsir Al-Qur‟an di Indonesia Abad Ke-20, (Jurnal Ilmu dan
Kebudayaan Ulumul Qur’an, Vol. 3, No.4, 1992), hal.57.
32
Prof. Dr. Fauzul Iman, MA., dkk, Al-Qalam Jurnal Keagamaan dan Kemasyarakatan, Serang: Pusat
Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin
Banten, 2004, Vol. 21, hal.56
33
Prof. Dr. Fauzul Iman, MA., dkk, Al-Qalam Jurnal Keagamaan dan Kemasyarakatan,……….hal.57

9
Sejak itu ia kembali ke tanah air, dan konsen menyelesaikan karya tafsir 30 Juz “Tafsir al-
Misbah”.34
M. Quraish Shihab menyatakan bahwa hakikat wasathiyyah adalah keseimbangan dalam
segala persoalan hidup dunia dan akhirat, yang harus selalu diikuti oleh upaya adaptif dengan
situasi dan kondisi yang dihadapi berdasarkan petunjuk agama dan kondisi objektif yang sedang
dialami. Akan tetapi, maksud dari keseimbangan disini adalah tetapi pada saat yang sama ia
bukanlah sikap menghindar dari situasi sulit atau lari dari tanggung jawab. Sebab, Islam
mengajarkan keberpihakan pada kebenaran secara aktif tapi dengan penuh hikmah. 35
Quraish Shihab menjelaskan dalam tafsir al-Misbah bahwa Ummatan Wasathan adalah
umat pertengahan (moderat) dan teladan, sehingga dengan demikian keberadaan kamu dalam
posisi pertengahan itu, sesuai dengan posisi ka‟bah yang berada di pertengahan pula, dengan
posisi pertengahan ini menjadikan manusia tidak memihak ke kiri dan ke kanan, suatu hal di
mana dapat mengantar manusia berlaku adil. Posisi pertengahan menjadikan seseorang dapat
dilihat oleh siapa pun dalam penjuru yang berbeda, dan ketika itu ia dapat menjadi teladan bagi
semua pihak. Posisi itu juga menjadikannya dapat menyaksikan siapa pun dan di mana pun.
Allah SWT menjadikan umat Islam pada posisi pertengahan agar kamu wahai umat Islam
menjadi saksi atas perbuatan manusia yakni umat yang kini, tetapi ini tidak dapat kalian lakukan
kecuali jika kalian menjadikan Rasul saw. syahid yakni saksi yang menyaksikan kebenaran sikap
dan perbuatan kamu dan beliau pun kalian saksikan, yakni kalian jadikan teladan dalam segala
tingkah lalu. Itu lebih kurang yang dimaksud oleh lanjutan ayat dan agar RasuI Muhammad
menjadi saksi atas perbuatan kamu.
Ummatan Wasathan juga dapat diartikan sebagai pertengahan dalam pandangan tentang
Tuhan dan dunia. Tidak mengingkari wujud Tuhan, tetapi tidak juga menganut paham
poleteisme (banyak Tuhan). Pandangan Islam adalah Tuhan Maha Wujud, dan Dia Yang Maha
Esa. Pertengahan juga adalah pandangan umat Islam tentang kehidupan dunia ini, tidak
mengingkari, dan menilainya maya, tetapi tidak juga berpandangan bahwa kehidupan dunia
adalah segalanya. Pandangan Islam tentang hidup adalah di samping ada dunia ada juga akhirat.
Keberhasilan di akhirat, ditentukan oleh iman dan amal saleh di dunia. Manusia tidak boleh
tenggelam dalam materialisme, tidak juga membumbung tinggi dalam spiritualisme, ketika

34
Iman, MA., dkk, Al-Qalam Jurnal Keagamaan dan Kemasyarakatan,……….hal.58
35
M. Quraish Shihab, Wasathiyyah Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama, Cetakan Kedua
(Tangerang: Lentera Hati Group, 2019), hal.43

10
pandangan mengarah ke langit, kaki harus tetap berpijak di bumi. Islam mengajarkan umatnya
agar meraih materi yang bersifat duniawi, tetapi dengan nilai-nilai samawi.36
Latar belakang Tafsir al-Misbah
M.Quraish Shihab menuliskan tafsirnya dalam jumlah 15 jilid, yang namanya tidak asing
ditelinga kita yaitu tafsir al-Misbah, tafsir ini dinamakan al-Misbah karena berasal dari segi
bahasa arab, “al-Misbah” yang artinya lampu, pelita ataupun lentera. Nama ini mengindikasikan
bahwa makna kehidupan dan berbagai persoalan yang dihadapi oleh manusia semuanya diterangi
oleh cahaya al-Qur‟an, dengan cita-citanya agar al-Qur‟an semakin membumi dan kandungannya
juga dapat dipahami oleh pembacanya. 37
Tafsir al-Misbah ini menggunakan metode tahlili, yaitu metode analisis, dengan cara
menafsirkan ayat-ayat al-Quran berdasarkan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai dengan
urutan mushaf Usmani. Sedangkan corak tafsir Al-Mishbah adalah corak adabi ijtima‟i, yaitu
corak penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat al-Quran berdasarkan ketelitian ungkapan-
ungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas dan menekankan tujuan pokok al-Quran, lalu
mengorelasikannya dengan kehidupan sehari-hari, seperti pemecahan masalah umat dan bangsa
yang sejalan dengan perkembangan masyarakat.38
Salah satu yang menjadi ciri khas dari tafsir al-Mishbah adalah konsistensinya dalam
mengurai kalimat-kalimat dalam setiap ayat al-Quran. Sekalipun tafsir al-Mishbah tergolong
sebagai tafsir era modern, yang kandungannya menitik beratkan kepada masalah-masalah sosial
masa kini, tafsir Al-Mishbah tetap memperhatikan makna tekstualitas ayat, bahkan hampir setiap
kata di dalam al-Quran diuraikan dengan rinci.
Tafsir Al-Mishbah karya Quraish Shihab adalah satu-satunya tafsir Nusantara, yang di
dalamnya menjelaskan kata demi kata secara rinci dan gamblang. Tidak ada tafsir Nusantara
sebelum tafsir Al-Mishbah yang menjelaskan kata per kata secara rinci dan menyeluruh. Olah
karena itu, bukan suatu yang mengada-ngada jika dikatakan bahwa tafsir alMishbah adalah tafsir
nusantara pertama yang selain menjelaskan isi kandungan al-Quran yang dapat diaplikasikan
dalam kehidupan manusia, juga konsisten dalam menafsirkan tekstualitas ayat al-Quran secara
rinci. Meskipun, hal itu bukan menjadi titik fokus tafsir Al-Mishbah. Tafsir Al-Mishbah tetap

36
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an jil.1, (Jakarta, Lentera
Hati, 1999), hal.347-348
37
Mafri Amin dan Lilik Umi Katsum, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: LP. UIN Jakarta, 2011), hal.
251.
38
Atik Wartini, Tafsir Feminis M. Quraish Shihab, jurnal Palastren, vol. 6, no. 2, Desember 2013, hal. 484

11
merupakan tafsir solutif-modern-kontestual, namun tidak meninggalkan aspek tekstualitas ayat
al-Quran.39
Didalam tafsir al-Misbah juga terdapat beberapa kekurangan dan kelebihan, diantara
kelebihannya adalah : Pertama, Tafsir Al-Mishbah kontekstual dengan kondisi keindonesiaan.
Di dalamnya banyak merespon hal-hal yang aktual di dunia Islam Indonesia, bahkan dunia
internasional. Kedua, Tafsir Al-Mishbah kaya akan referensi dari berbagai latar belakang
referensi, yang disuguhkan dengan ringan dan dapat dimengerti oleh seluruh pembacanya. Dan
Ketiga, Tafsir Al-Mishbah sangat kental dalam mengedepankan korelasi antar surat, antar ayat,
dan antar akhir ayat dan awal surat. Adapun segi kekurangannya adalah : Pertama, dalam
berbagai riwayat dan kisahkisah yang dituliskan Quraish Shihab dalam tafsirnya, terkadang tidak
menyebutkan perawinya. Hal ini membuat sulit bagi pembaca, terutama para pengkaji ilmu,
untuk merujuk dan berhujjah dengan kisah-kisah tersebut. Sebagai contoh misalnya sebuah
riwayat dan kisah Nabi Saleh dalam menafsirkan QS. Al-A‟raf: 78. Kedua, beberapa
penafsirannya yang tergolong berbeda dengan mayoritas mufasir, seperti tentang ketidakwajiban
berhijab, membuatnya dicap liberal. Dan ketiga, penjelasan penafsiran Quraish Shihab dalam
AlMishbah tidak dibubuhi dengan penjelasan dalam footnote. Sehingga, tafsiran-tafsirannya
terkesan semuanya merupakan pedapat pribadi. Hal ini tentu bisa saja menimbulkan kliam
bahwa tafsir Al-Mishbah tidak ilmiah.40

Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Ummatan Wasathan adalah ummat nabi
Muhammad SAW atau disebut dengan umat pertengahan yang utama atau terbaik serta adil
sehingga dapat menjadi saksi atas perbuatan manusia, Allah SWT telah menjadikan umat islam
sebagai umat yang terbaik dan umat yang adil. Perbandingan antara kedua mufassir pada
pembahasan diatas adalah dalam pandangan Buya Hamka menyimpulkan bahwa Ummatan
Wasathan adalah suatu ummat yang menempuh jalan tengah, menerima hidup di dalam
kenyataannya. Percaya kepada akhirat, lalu beramal di dalam dunia ini. Mencari kekayaan untuk
membela keadilan, mementingkan kesehatan rohani dan jasmani, karena kesehatan yang satu
bertalian dengan yang lain. Mementingkan kecerdasan fikiran, tetapi dengan menguatkan ibadat

39
Saiful Amin Ghofur, Mozaik Tafsir Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Kaukaba, 2013), hal. 188.
40
Lutaefi, Tafsir al-Misbah : Tekstualitas, Rasionalitas dan Lokalitass Tafsir Nusantara, (Institut PTIQ
Jakarta, Jurnal Substantia, Vol.21 No.1, April 2019), hal.39

12
untuk menghaluskan perasaan. Mencari kekayaan sebanyak-banyaknya, karena kekayaan adalah
alat untuk berbuat baik. Menjadi Khalifah Allah di atas bumi, untuk bekalmenuju akhirat. Karena
kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, sedangkan M.Quraish Shihab
menyimpulkan bahwa Ummatan Wasathan adalah umat pertengahan (moderat) dan teladan,
sehingga dengan demikian keberadaan kamu dalam posisi pertengahan itu, sesuai dengan posisi
ka‟bah yang berada di pertengahan pula, dengan posisi pertengahan ini menjadikan manusia
tidak memihak ke kiri dan ke kanan, suatu hal di mana dapat mengantar manusia berlaku adil.
Posisi pertengahan menjadikan seseorang dapat dilihat oleh siapa pun dalam penjuru yang
berbeda, dan ketika itu ia dapat menjadi teladan bagi semua pihak. Posisi itu juga menjadikannya
dapat menyaksikan siapa pun dan di mana pun.

Daftar pustaka
Abdurrohman, Asep. "Eksistensi Islam Moderat dalam Perspektif Islam." Rausyan al-Fikr
Vol.14 No.1 (Maret 2018): 29-40.
al-Maraghi, Ahmad Musthafa. Tafsir al-Maraghi. Semarang: Toha Putra Semarang, 1994.
at-Thabariy, Abu Ja'far Muhammad Ibn Jarir. Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an . Beirut : Dar
al-ma'rifah , 1992.
Aziz, Nasaiy. "Islam dan Masyarakat Ideal (Ummatan Wasathan) Dalam Perspektif para
Mufassir dan relevansinya dengan Kontak KeIndoneisaan masa kini dan depan." Jurnal
Ilmiah al-Mu'ashitah (UIN ar-Raniry ) Vol.17 No.1 (2020): 4.
Bahasa, Tim Penyusun Pusat. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Chasanah, Uswatun. "Skripsi : Ummatan Wasathan dalam al-Qur'an (Studi Penafsiran Buya
Hamka)." (IAIN Salatiga) 2021: 19-20.
Dr.HAMKA, Prof. Tafsir al-Azhar jil.1. Singapore: Pustaka Nasional PTE LTD, 1989.
Ghofur, Saiful Amin. Mozaik Tafsir Indonesia. Yogyakarta: Penerbit kaukaba, 2013.
HAMKA, Prof. Dr. Kenang-Kenangan Hidup Jil.IV. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Iskandar, Salman. 99 Tokoh Muslim Indonesia. Bandung: Mizan, 2009.
Katsum, Mafri Amin dan Lilik Ummi. Literatur Tafsir Indonesia. Ciputat: LP. UIN Jakarta,
2011.
Lutaefi. "Tafsir al-Misbah : Tekstualitas, Rasionalitas, dan Lokalitas Tafsir Nusantara." Jurnal
Substantia Vol.21 No.1 (April 2019): 39.

13
Mide, Sabri. "Ummatan Wasathan dalam al-Qur'an (Kajian Tafsir Tahlili dalam QS. al-Baqarah :
143." (UIN Alauddin Makassar ) 2014: 7-8.
Munawwir, Adib Bisri dan. kamus Arab-Indonesia, cet.1. Surabaya: Pustaka Progresif, 1999.
Nizar, Samsul. Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang
Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2008.
Nurdin, Ali. Qur'anic Societi : Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam al-Qur'an. Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2006.
Nurhidin, Edi. "Strategi Implementasi Moderasi Beragama M. Quraish Shihab dalam
Pengembangan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam." Jurnal Ilmu Pendidikan Islam
(IAIT Kediri ), 2021: 116.
Prof. Dr.Fauzul Iman, dkk. "Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten." al-Qalam, Jurnal
Keagamaan dan Kemasyarakatan 21 (2004): 56 .
Quthb, Sayyid. Tafsir fi Dzilalil Qur'an (dibawah naungan al-Qur'an) Penj. As'ad Yasin dkk.
Jakarta: Gema Insani, 2000.
Rahmawati, Fitri. "Konsep Dakwah Moderat : Tinjauan Ummatan Wasathan dalam al-Qur'an
Surat al-Baqarah 143." Jurnal Studi Qur'anika (UIN Sunan Ampel ) Vol. 6 No.1 (Juli
2021): 55.
Raziqin, Baidatul. 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia. Yogyakarta: e-Nusantara, 2009.
RI, Departemen Agama. al-Qur'an dan terjemahannya. Semarang: Karya Toha Putra, 2002.
Rosi, Bahrur. "Internalisasi Konsep Ummatan Wasathan dengan pendekatan Dakwah Kultural."
Ulumuna : Jurnal Studi Keislaman (STAI Miftahul Ulum Pamekasan ) Vol.5 No.1 (Juni
2019): 93-98.
Salam, Solichin. Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya Hamka. Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1979.
Shihab, M. Quraish. Ensiklopedia al-Qur'an Kajian Kosakata. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
—. Membumikan al-Qur'an. Bandung: Pustaka al-Mizan, 1993.
—. Wasathiyyah Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama cet.2. Tangerang: Lentera Hati
Group, 2019.
—. Wawasan al-Qur'an. Bandung: al-Mizan, 1996.
Taher, Tarmizi. Berislam Secara Moderat. Jakarta Selatan: Grafindo Khaanah Ilmu, 2007.
Umar, Abu Qasim Jar Allah Mahmud bin. Tafsir al-Kasyaf. Beirut: Dar al-Fikr, 1978.

14
Wartini, Atik. "Tafsir Feminis M. Quraish Shihab." Jurnal Palastren, Desember 2013: 484.
Yusuf, Muhammad Yunus. "Karakteristik Tafsir al-Qur'an di Indonesia abad ke-20." Jurnal Ilmu
dan Kebudayaan Ulumul Qur'an Vol.3 No.4 (1992): 57.

15

Anda mungkin juga menyukai