Anda di halaman 1dari 11

About The Past

HAIKAL memang sering sekali membolos ke warung belakang


atau perpustakaan. Bukan untuk belajar atau mengerjakan
tugas, melainkan untuk tidur siang. Perpustakaan memang
tempat yang pas karena hening dan jarang dimasuki para
murid kecuali terpaksa.
Seperti biasa, Haikal pun memilih untuk membolos
daripada mengerjakan tugas yang dititipkan ketua kelas. Ia
pergi ke perpustakaan. Jika saja hari itu Haikal memilih pergi
ke warung belakang sekolah, mungkin ia tidak akan pernah
bertemu gadis itu. Ia mungkin juga tidak akan pernah tahu
bagaimana rasanya jatuh cinta pada pandangan pertama.
Namanya Ralita, gadis yang tak sengaja Haikal temui di
lorong perpustakaan. Waktu itu, ia tak sengaja menjatuhkan
buku-buku Ralita yang berjalan dengan kepala tertunduk.
Namun, ia hanya diam, sama sekali tidak berniat membantu.
Ah, atau mungkin efek ia baru bangun tidur dalam keadaan
kaget karena mendengar bel.
Haikal menatap Ralita dengan mata dingin di balik hoodie-
nya. Ia pun berdecak, apalagi Ralita tampak sibuk merapikan

1
beberapa buku yang jatuh itu.
Tak lama kemudian, gadis itu berdiri dan menatap Haikal
dalam diam. Cowok itu pikir, Ralita akan melayangkan
amukan, tapi ternyata tidak. Gadis itu malah tersenyum,
dan menggumamkan sesuatu dengan suaranya yang lembut,
“Maaf, ya ...”
“Duluan ...,” lanjutnya, dan langsung meninggalkan Haikal
dengan penuh pertanyaan.
Haikal memutar kepala mengikuti pergerakan gadis itu.
Ia bingung. Biasanya, para gadis akan merasa risi walaupun
hanya sekadar disenggol. Namun, gadis itu yang malah
mengucapkan maaf. Tanpa sadar, jantungnya berdegup begitu
keras seiring dengan menghilangnya sosok Ralita di ujung
koridor.
Katakan saja Haikal gila. Senyum yang diberikan Ralita
waktu itu, benar-benar membekas di kepalanya. Ini kali
pertama Haikal merasa seperti ada kupu-kupu yang memenuhi
perutnya.
“Gila!” gumam Haikal sambil menepuk pipinya sendiri.
Sepertinya ia butuh tamparan lebih keras untuk menyadarkan
pikiran.
Waktu terus berjalan, tapi senyum Ralita tidak pernah
pudar dari pikirannya. Haikal merasa semakin gila karena
tidak bisa menghilangkan senyuman dan suara itu. Hingga
akhirnya, ia nekat untuk mencari tahu siapa gadis itu.
Haikal kira, ia membutuhkan banyak waktu untuk mencari
gadis itu. Namun, ternyata mereka dipertemukan semudah
membalikkan telapak tangan. Waktu itu, ia tidak sengaja

2
melihat Ralita di kelas Zidan saat ingin memberikan kunci
motor sahabatnya itu. Dari sanalah ia mulai sering pergi ke
kelas Zidan untuk sekedar melihat Ralita.
Haikal tidak pernah absen untuk sekedar mampir dengan
dalih bertemu Zidan. Padahal, ia hanya ingin melihat gadis
yang selalu memenuhi pikirannya. Tidak hanya itu, ia bahkan
sering mengikuti Ralita ke kantin dan duduk di meja yang
sama. Lagi-lagi Zidan dijadikan alasan untuk tetap berada di
dekat gadis itu.
Di sisi lain, Ralita mulai merasa aneh dengan sikap Haikal
yang terus mendekatinya. Demi apa pun, ia bahkan tidak ingat
jika Haikal-lah yang menabraknya di lorong perpustakaan.
Namun, yang namanya Ralita, ia tidak tega untuk menolak
atau bahkan mengusir cowok itu.
Berhari-hari, berminggu-minggu, Haikal selalu saja
mencari kesempatan untuk mendekati Ralita. Ada perasaan
yang benar-benar membuat diri Haikal terdorong untuk selalu
melihat gadis itu. Kadang, ia pun sering iseng memanggil gadis
itu saat lewat, tapi langsung memalingkan wajah begitu Ralita
menoleh.
Haikal benar-benar cowok aneh menurut Ralita. Meskipun
begitu, ada suatu hal yang membuat Ralita merasa senang
ketika melihat Haikal di sekitarnya. Pernah sekali, ia tidak
melihat keberadaan Haikal selama beberapa hari. Tiba-
tiba hatinya merasa kosong dan ada yang kurang. Gadis itu
dipenuhi kekhawatiran.
Entah keberanian dari mana, Ralita memberanikan diri
untuk bertanya kepada Zidan.

3
“Si Haikal abis tawuran. Bonyok dia, makanya gak sekolah.
Emang orang gila!” sahut Zidan waktu itu yang langsung
membuat Ralita terdiam.
Bukannya takut dan ilfeel, Ralita justru semakin khawatir.
Sejak saat itu, ia pun mulai mengetahui siapa itu Haikal
sebenarnya. Cowok itu itu rapuh. Kekhawatirannya ternyata
yang mempertemukan mereka pada saat itu.
Hampir tiga bulan lamanya mereka dekat. Namun, itu
baru sebatas Haikal yang sering menjahili dan memperhatikan
Ralita. Mulai dari main ke kelas Ralita, sengaja nongkrong
di depan kelas itu, atau duduk di meja yang sama. Hingga
akhirnya, cowok itu memberanikan diri untuk mengungkapkan
perasaan yang terus menumpuk itu.
“Ta, sini, deh!” panggil Zidan.
Namun, melihat Ralita benar-benar berjalan mendekat,
Haikal jadi panik sendiri. “Gila lo! Jangan gitu!”
Zidan hanya terkekeh di ambang pintu, sambil menahan
Haikal untuk tetap di sebelahnya.
“Eh, ada Haikal,” sapa Ralita sambil tersenyum, membuat
Haikal salah tingkah.
“Mau bilang apa lo barusan?” Zidan lagi-lagi memancing.
Haikal langsung melempar tatapan tajam kepada Zidan,
tapi dibalas kekehan lagi. Sementara itu, Ralita hanya menatap
mereka bingung.
“Jadi gini, Ta—”
“Diem, bego! Jangan!” Haikal langsung membekap mulut
Zidan yang ingin membocorkan rahasianya.
Zidan menurunkan tangan Haikal, meski cowok itu

4
ternyata kuat juga. Setelah berhasil, ia pun langsung berteriak,
“Kata Haikal, lo mau jadi pacarnya gak?!”
Zidan melarikan diri, tidak membiarkan Haikal menjitak
kepalanya. Semua terlanjur terucap. Haikal pun mendadak
kaku di tempatnya. Wajahnya memerah, tapi matanya diam-
diam melirik Ralita yang masih berdiri di depannya.
Ralita terdiam, kemudian tertawa. Haikal pun terpaku
dibuatnya. Gadis itu ... benar-benar cantik
“Kok, bilangnya sama Zidan, sih?” canda Ralita, membuat
Haikal membulatkan matanya. “Haikal gak bisa ngomong
sendiri?”
Haikal langsung salah tingkah. Kemudian tanpa aba-aba, ia
malah memutar langkah dan beranjak dari sana. Namun, baru
beberapa langkah, Zidan kembali muncul dan menahan tubuh
cowok itu.
“Bilang langsung dong! Berantem bisa, bilang kayak gini
gak bisa, cupu!” goda Zidan. Lagi-lagi Haikal menatapnya
tajam.
Ralita hanya terkekeh di sana. Akhirnya, Haikal pun
menghela napas dan berbalik lagi menatap Ralita. Gadis itu
tersenyum lembut kepadanya.
“Ta ....” Haikal menarik napas dalam. “Lo ... mau jadi pacar
gue gak?”
Tanpa menunggu jawaban Ralita, Haikal buru-buru pergi.
Ralita dan Zidan pun terbahak kemudian. Haikal ini wajahnya
saja yang sangar, tapi ternyata sangat pemalu.
Ralita berteriak, “IYA, AKU MAU!”
Bukannya berhenti, Haikal malah berlari semakin kencang.

5
Teriakannya pun menggema di koridor SMA Nusa Bangsa.
“YES!”
Demi apa pun, hari itu Haikal telah melakukan hal paling
bodoh seumur hidupnya. Meskipun begitu, rasa bahagia
itu terus membuncah di hatinya. Ia benar-benar menyukai
Ralita—sangat.
Baik Haikal atau Ralita, awalnya berpikir jika perasaannya
ini hanya bertahan sementara. Namun, salah. Bahkan perasaan
itu tumbuh menjadi lebih besar.

6
We’re All Happy,
Right?

DULU, Haikal selalu menganggap jika takdirnya itu


menyakitkan. Tidak terhitung berapa kali ia menyumpahi
semesta yang tidak pernah adil kepada dirinya. Berkali-kali ia
menyalahkan takdir karena hidupnya tidak pernah bahagia.
Haikal sudah banyak melewati luka, rasa sakit, dan
kehilangan. Begitu menyakitkan menjadi dirinya. Entah sudah
berapa kali, ia berpikir untuk menyerah. Takdir bahagia itu
cuma omong kosong bagi Haikal. Sampai akhirnya, ia bertemu
Ralita, satu-satunya perempuan yang membuat dunianya
perlahan cerah.
Ibunya pernah bilang, jika bahagia itu perlu waktu. Kita
harus melewati banyak luka untuk bisa bahagia. Dan ya,
Haikal percaya itu.
Ralita itu benar-benar definisi perempuan yang selalu
menjadi tumpuan bagi bahagianya Haikal.
“Ih, aku juga mau, tau!” ucap Ralita kepada Haikal.
Saat ini, Haikal dan Ralita tengah berada di pantai. Mereka
duduk di atas pasir sambil menikmati angin sore. Pemandangan
di depan sana terlihat begitu indah, dengan semburat oranye

7
yang berpadu cantik dengan riak air laut.
Haikal menggeleng dan tersenyum menggoda. “Gak boleh,
nanti batuk.”
Ralita mengerucutkan bibirnya kesal. Pasalnya, saat ini
Haikal tengah menikmati es krim sambil sesekali meledek
Ralita. Perempuan itu baru saja sembuh dari demam, jadi
Haikal melarangnya makan es dan sejenisnya. Namun, ada
kepuasan sendiri ketika ia menggoda perempuan itu sampai
cemberut.
Haikal terkekeh melihat raut wajah kesal Ralita yang
terlihat kesal. Ia pun mencubit pelan pipi Ralita, membuat
perempuan itu menatapnya tajam.
“Gak usah pegang-pegang!”
Haikal tergelak. “Haha, kok, marah, sih?”
Ralita menatap Haikal, lalu sedetik kemudian, matanya
mulai berkaca-kaca. “Mau es krim, Kaaaaal ....”
Terlalu gemas dengan tingkah Ralita, Haikal langsung saja
mengecup singkat bibir Ralita tanpa aba-aba. “Nih, rasain aja
dari bibir aku. Manis dari es krim,”
Wajah Ralita memerah seketika. Sambil menutup bibirnya
dengan sebelah tangan, ia pun membalas. “Gak aba-aba dulu,
ih!”
Haikal menggeleng dengan kekehan kecilnya. “Ya udah,
makanya kamu jangan ngerengek kayak tadi. Aku gemes
liatnya. Sadar umur, hei!”
Berbicara tentang umur, terkadang keduanya lupa jika
mereka sudah menginjak kepala tiga. Namun, mereka berdua
tidak peduli. Ketika bersama, dunia terasa milik berdua saja.

8
Tidak peduli dengan usia, mereka akan kembali saling jatuh
cinta setiap detiknya.
Ah, terkadang memang cinta luar biasa. Meski sebagian
orang bilang cinta itu hanya bisa meninggalkan luka, tapi bagi
Haikal dan Ralita, cinta itu penyembuh. Cinta juga menjadi
penghangat untuk hati yang dingin dan kosong.
“Udah sore tau, pulang, yuk? Kasian anak-anak.” Ralita
yang tengah bersandar di pundak Haikal pun berbicara.
“Yaaah ... bentar dong, masih mau pacaran di sini,” pinta
Haikal, dan membuat Ralita terkekeh.
“Kan, tiap hari juga pacaran. Udah, ah, ayo pulang. Si Adek
pasti cemberut ditinggalin dari pagi.” Ralita pun mengangkat
kepalanya dari pundak Haikal, lalu berdiri. Ia mengulurkan
tangan untuk membantu Haikal berdiri
Haikal menatap Ralita sambil cemberut, kemudian
menghela napasnya. “Iya, ayo, deh,” ucapnya seraya
menggenggam tangan kecil itu.

“Ayah sama Ibu pulang!” seru Ralita sesaat setelah dirinya


dan Haikal memasuki rumah.
“IBU!”
Terdengar suara teriakan dari arah ruang keluarga. Itu
adalah si kecil Jinan yang masih berusia enam tahun. Bocah
laki-laki itu berlari ke arah mereka dengan kecepatan penuh.
Pipinya yang tembam tampak memerah, menandakan kalau
anak itu menangis sejak tadi.
Ralita berjongkok untuk menyetarakan tingginya. “Aduh,
jagoan Ibu,” ucap Ralita sambil memeluk hangat tubuh Jinan.

9
“Lama banget pacarannya. Itu Adek nangis terus tadi.”
Tiba-tiba saja terdengar sahutan dari arah belakang Jinan.
Caca—yang sudah berusia sebelas tahun—pun muncul dengan
wajah masam.
Haikal terkekeh, kemudian mengusap kepala Jinan dan
mengecupnya sekilas. “Aduh, jagoan Ayah nangis?”
“Emangnya Ayah dari mana, sih? Katanya, tadi mau beli
jagung bakar, kok, lama?” tanya Caca kemudian.
Haikal mendekati Caca dan mengacak pelan rambutnya.
“Tadi Ayah liat pantai dulu dong sama Ibu.”
“IH, GAK NGAJAK KAKAK SAMA ADEK!”
Wajah Caca semakin cemberut, membuat Ralita terkekeh,
lalu merangkulnya. Ia pun membawa anak gadis itu ke ruang
TV.
“Marahin Ayah aja,” balas Ralita diiringi tawa, sedangkan
Haikal hanya menggelengkan kepala dan berjalan mendahului
mereka.
Sementara Ralita mengajak anak-anaknya duduk di ruang
TV, Haikal membawa kantung plastik ke dapur. Selain jagung
bakar, ia juga membeli kelapa muda tadi. Pikirnya, itu bisa
sebagai sogokan untuk anak-anaknya kalau ngambek nanti.
“Udah, Adek sama Kakak sini, bantuin Ayah bikin es kelapa
muda! Ayo, kita belah!”
Ajakan Haikal langsung disambut anggukkan penuh
semangat. Benar, kan, cara itu pasti berhasil membujuk mereka.
“AYO!” ucap Jinan dan Caca bersamaan, dan Ralita hanya
terkekeh ketiganya.
Setelah meletakkan makanan yang lain, Haikal membawa

10
dua buah kelapa itu ke halaman belakang. Ketiganya berjalan
beriringan seperti pasukan bebek. Meskipun langit di luar
sudah gelap, tapi keseruan itu begitu terasa. Ralita pun
mengikuti di belakang.
Ralita tersenyum hangat ketika menyaksikan tawa Haikal
dan kedua anaknya. Kita semua bahagia, kan? Pertanyaan itu
sering kali terlintas di benaknya. Lantas, ia pun diam-diam
merapalkan doa pada semesta.
Sungguh, Ralita tidak ingin lagi ada luka dan perpisahan di
antara mereka. Cukup waktu itu saja. Ralita berharap, semoga
kebahgaiaan yang tengah mereka rasakan ini tidak cepat
berlalu, dan semoga, semesta selalu berbaik hati pada keluarga
kecilnya.
Tidak ada lagi yang Ralita inginkan selain berumur panjang
dan hidup bahagia bersama Haikal, Caca, dan si bungsu Jinan.

11

Anda mungkin juga menyukai