Anda di halaman 1dari 4

PEREMPUAN YANG DICINTAI LELAKI YANG TIDAK DICINTAINYA

Cerpen : Haris Del Hakim

Panas matahari mulai menyengat kulit. Angin lembut padang pasir sesekali berhembus. Ketika itu,
Khaulah bibi Qais mengetuk pintu rumah Laila. Siapa yang belum mengenal Qais? Lelaki muda anak
kepala suku yang tergila-gila pada Laila anak pedagang roti. Khaulah mengetuk pintu kembali. Tangan
kirinya mengapit beberapa lembar kulit. Dia hendak mengetuk pintu kembali dan diurungkan saat
terlihat seorang perempuan muda membuka pintu dan memintanya masuk.

Khaulah duduk di kursi, sebongkah batu yang dibuat sedemikian simetris, sementara Laila meneruskan
pekerjaannya yang tertunda; menggiling biji gandum.

"Kau pasti tahu kedatanganku kemari," kata Khaulah membuka pembicaraan serius. Dia melihat wajah
Laila datar saja. "Qais keponakanku telah tergila-gila padamu. Kau pasti sudah mendengarnya."

Wajah Laila masih datar.

"Sejak pertama kali melihatmu mengantar roti ke rumah Walid, dia tidak pernah bisa melupakanmu."

"Aku tidak mengenal Qais," jawab Laila.

"Tapi dia mengenalmu dengan baik," pungkas Khaulah. "Kau gadis yang baik. Kau menggiling gandum
setiap hari untuk kau bagikan kepada orang-orang yang lapar. Kau dicintai anak-anak, ibu-ibu, dan siapa
saja yang mengenalmu."

"Apakah karena itu, Qais...?" sela Laila tapi segera dipotong oleh Khaula.

"....mencintaimu. O, menurutku kata yang tepat adalah mengharapkanmu. Menurutku, Qais sangat
tepat untuk mengharapkanmu menjadi istrinya. Dia anak kepala suku wilayah ini."

Khaulah sengaja berhenti bicara. Dia memberi kesempatan Laila mencerna kata-katanya. Dia merapikan
kulit kambing yang berisi pesan dari Qais untuk Laila. Puisi-puisi cinta. Biarlah menjadi senjata terakhir
kalau kata-katanya tidak mampu menaklukkan hati Laila.

"Selain itu," kata Laila, "Apakah masih ada pesan lain?"

Sebagai seorang perantara, Khaulah tahu apa arti ungkapan lawan bicaranya. Ia membuka selembar
kulit kambing dan mengulurkannya pada Laila yang sepanjang percakapan tangannya tidak lepas dari
gilingan gandum. "Bacalah, biar kamu tahu bagaimana cinta Qais padamu."

"Bacakan buatku," kata Laila. "Aku cukup sibuk untuk membaca puisi."

Khaulah menarik nafas dalam dan mulai membaca tulisan Qais :

matahari yang terbit pagi ini


belum sempurna tanpa senyummu

Laila, malam sudah selesai

dan bahagianya aku menyambut matahari kedua

"Dia sangat mengharapkan pertemuan denganmu," kata Khaulah mencoba menerjemahkan puisi.

"Tidak," jawab Laila. "Dia hanya lelaki yang berharap hari-hari berganti. Itu saja. Dia menunggu
perubahan dalam dirinya karena sebab yang dianggapnya seperti keajaiban. Pada pagi hari dia
menunggu keajaiban. Tapi dia tidak menemukannya. Kemudian dia menunggu sepanjang hari. Tapi dia
tidak menemukannya. Begitu sepanjang hari berganti. Dia tidak akan menemukannya. Dia yang
seharusnya menjadi keajaiban. Menurutku, dia lelaki yang tidak bisa diharapkan. Bagaimana aku
berharap pada seseorang yang juga berharap?"

"Apakah kamu tidak mau menjadi keajaiban baginya?"

"Tidak. Dia masih berharap keajaiban yang mengubah dirinya. Kecuali, dia bisa mengubah dirinya
menjadi ajaib."

"Ucapanmu puitis."

Tangan Laila memungut tepung gandum yang tercecer. "Kesendirian membuat seseorang menimbang
kata. Pada waktunya kata-kata yang matang di batinnya keluar dengan sendirinya."

Khaulah menarik nafas panjang. Ia memperhatikan tangan Laila yang tidak berhenti menggiling gandum.
Tepung itu sudah lembut dan siap dibuat adonan untuk diolah menjadi roti. Kemudian tangan Laila
memasukkan tepung ke dalam plastik.

"Khaulah, maukah kau membantuku mengantarkan tepung ini ke rumah Walid," kata Laila

Khaulah menganggukkan kepala. "Apakah kau tidak mau membaca puisi yang masih kubawa ini?"

"Nanti saja. Kita hanya mengantarkan tepung ini lalu kembali. Aku harus mempersiapkan makan siang
untuk ayahku yang pulang setelah Zuhur."

Khaulah memperhatikan tangan Laila menyiapkan semua dengan cekatan. Ia meletakkan lembar kulit
kambing dan menerima dua kantong plastik sementara Laila sendiri membawa empat bungkus besar.
Mereka segera menuju rumah Walid.

Di depan rumah Laila tampak Qais memandangi dinding rumah. Tatapannya kosong. Khaulah bermaksud
memanggilnya tapi Laila menyuruhnya diam. Mereka berjalan melintasi Qais yang mematung. Dia tidak
perduli dengan dua wanita yang melintasinya. Tiba-tiba Qais berpuisi:

Semua perempuan tidak ada yang Laila

Semua pucat menunggu satu wajah


Seperti malam yang menunggu matahari

Laila berkata kepada Khaulah, "Kau tahu sendiri, dia tidak mengenaliku. Bahkan tidak mengenalimu lagi.
Dia lelaki yang tidak sadar. Bukan karena aku. Tapi karena ia tidak perduli dengan dirinya sendiri. Kalau
saja dia perduli dengan dirinya dan benar-benar mencintaiku, tentu tidak seperti itu."

Khaulah merasa tertampar. Dia tidak bisa berkata apa-apa. Dia merasa seperti utusan dari orang gila.
Dan hanya orang gila yang mau menjadi utusan orang gila.

Di rumah Walid sudah berkumpul anak-anak yatim, orang tua, janda, dan orang yang membutuhkan
bantuan. Mereka menunggu orang-orang seperti Laila. Ketika melihat Laila, mereka berkerumun untuk
membantunya. Setelah itu Laila pamit.

Qais masih di depan rumah Laila. Laila berpesan kepada Khaulah agar dia diam saja dan biar dirinya saja
yang bicara.

Qais menatap Laila dan berkata, "O, Laila yang kupuja. Impianku benar-benar nyata hari ini."

"Aku bukan Laila," jawab Laila. "Aku hanya tamu yang mau menemui Laila."

Qais masih memandangi wajah Laila. Laila segera menyeret Khaulah. Terdengar Qais berpuisi:

Aduhai, kenapa semua wajah menjadi Laila

"Kau tahu, Khaulah?! Dia tidak mengenaliku!"

"Tapi mengapa kamu tidak berterus terang kalau kamu Laila?"

"Karena dia hanya bermain tebak-tebakan. Seperti seorang anak yang melempar dadu dan bersorak
ketika keluar angka besar dan sedih ketika angka kecil. Dia bukan seseorang yang berpengetahuan
tentang aku. Dan tebak-tebakan tidak ada artinya bagiku."

Adzan Zuhur terdengar. Tangan Laila cekatan menyiapkan makan untuk ayahnya; sepotong roti,
secangkir kecil madu, dan segelas susu. Tidak lama kemudian ayahnya pulang. Lelaki itu mencium kening
anaknya kemudian merobek roti dan mencelupnya ke dalam madu, "Roti buatanmu yang membuat ayah
betah menahan lapar."

Laila adalah anak semata wayang yang ditinggal mati ibunya di usia kanak-kanak. Ayah Laila setiap hari
pergi ke kios untuk menjual roti, pulang setelah Zuhur, bercengkerama bersama Laila menjelang Asar,
kemudian pulang setelah Magrib. Selalu seperti itu.

Ayah Laila tampak baru menyadari ada orang lain di rumahnya. Dia bertanya tentang keperluan Khaulah
dan Khaulah pun berterus terang.

"Khaulah," kata Laila. "Hanya ayahku orang yang mencintai dan menyayangiku. Kalau Qais benar-benar
mencintaiku, dia harus belajar tentang siapa ayahku dan bersikap sebagaimana ayahku."
Ayah Laila mengangguk. "Benar kata Laila. Akulah orang yang paling mengenal Laila, paling mengerti,
dan paling menyayanginya."

"Tapi siapa pun tidak bisa menggantikan seorang ayah di hati anaknya," kata Khaulah.

Ayah Laila pun menjawab, "Dia tidak bisa menggantikan ayah. Tapi dia bisa menjadi ayah terbaik untuk
anak-anak Laila."

"Apakah ini jawaban dari tujuanku kemari?"

"Masih ada waktu bagi Qais, selama dia berubah dan mau belajar menjadi ayah terbaik bagi cucuku,"
jawab ayah Laila mewakili anaknya.

"Aku akan menyampaikannya?"

"Kamu yakin memberitahu keponakanmu itu? Atau kamu ikut menikmati puisi-puisi cinta Qais dan
membiarkannya terkatung-katung depan rumahku tanpa tahu lewat pintu mana dia harus masuk ke
rumah ini? Atau kamu ingin memanfaatkannya, memberimu sekeping dirham dan dinar kemudian kamu
bisikkan bahwa puisi-puisi cintanya sudah dibaca Laila? Atau kamu menikmati dirimu dipuji Qais karena
kamulah yang terbaik menjadi perantara antara Qais dan Laila? Kamu tidak memberi kesempatan pada
Qais untuk sadar dan bertemu Laila secara langsung."

Terdengar adzan Asar. Ayah Laila segera berpamitan shalat Asar dan pergi ke kios.

Anda mungkin juga menyukai