ABSTRAK
Neraca Penatagunaan Tanah (NPGT), yang merupakan perimbangan antara ketersediaan tanah dan kebutuhan penguasaan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan dapat berperan secara efektif sebagai instrumen dalam
percepatan penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi (PZ). Naskah ini bertujuan untuk
mengelaborasi kemungkinan percepatan penyusunan RDTR-PZ menggunakan Neraca PGT. Desk study yang mengutamakan
content analysis digunakan sebagai metode dalam kajian ini. Hasilnya menunjukkan bahwa NPGT yang meliputi neraca
perubahan, neraca kesesuaian, dan prioritas ketersediaan tanah, merupakan data dan informasi yang sangat dibutuhkan
dalam perencanaan dan kebijakan pembangunan wilayah. Instrumen ini sangat representatif untuk digunakan sebagai basis
dalam penyusunan RDTR-PZ. Apabila hal ini dapat dilakukan maka percepatan penyusunan RDTR-PZ sekaligus kendali
mutu pemanfaatan ruang, perijinan pemanfaatan ruang, kebijakan penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan
(RTBL) dan pengendalian pemanfaatan ruang dapat dilakukan secara efektif, karena sudah mendasarkan pada data dan
informasi berkenaan dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sebagaimana terdapat dalam
NPGT.
ABSTRACT
The Land Use Balance (Neraca Penatagunaan Tanah - NPGT), which is a balance between land availability and land
tenure, land use and land utilization requirements according to area functions can play an effective role as an instrument in
accelerating the preparation of Detailed Spatial Planning (RDTR) and Zoning Regulations (PZ). This paper aims to elaborate
on the possible acceleration of the preparation of the RDTR-PZ using the Land Use Balance. Desk studies that prioritize
content analysis are used as a method in this study. The results show that The Land Use Balance, which includes a balance
sheet of change, a balance sheet of suitability, and priority of land availability, is data and information that is needed in regional
development planning and policy. This instrument is very representative to be used as a basis in the preparation of RDTR-PZ.
The impact is, the acceleration of the preparation of RDTR-PZ as well as quality control of spatial use, licensing of spatial
use, policies on the preparation of the Building and Environmental Planning (RTBL) and spatial use control can be carried out
effectively, because it has been based on data and information relating to land tenure, land ownership, land use and utilization
of land as contained in The Land Use Balance.
Keywords : Land Use Balance, Detailed Spatial Planning- Zoning Regulations, Acceleration.
25
JURNAL PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 25-38
dan tuntutan kebutuhan manusia yang semakin dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan
meningkat menjadi bagian terpenting penyebab RTRW. Keberadaan neraca ini seharusnya mampu
terjadinya perkembangan wilayah (Sutaryono, 2007). menjadi elemen penting dalam penyusunan RDTR.
Hal di atas menunjukkan bahwa perkembangan Kenyataannya selama ini penyusunan RDTR masih
wilayah akan selalu terjadi, mengingat kebutuhan belum mengakomodasi secara khusus data dan
manusia selalu meningkat seiring dengan informasi yang ada dalam NPGT (Sutaryono, 2016).
perkembangan peradaban. Perkembangan Hal ini disebabkan karena belum tersedianya NPGT
wilayah tentu membutuhkan ruang sebagai media pada setiap wilayah kabupaten/kota atau belum
beraktifitas, yang dalam konteks ini tanah sebagai dipahami sepenuhnya keberadaan NPGT oleh
media utamanya. Perkembangan wilayah dapat penyusun RDTR. RDTR yang tidak ada NPGT di
bermakna positif apabila proses perkembangan dalamnya menyebabkan informasi yang terkandung
terjadi secara alami dan bersifat akomodatif dalam regulasi tersebut menjadi tidak optimal.
terhadap tuntutan kebutuhan mayoritas masyarakat Hal ini berakibat pada pemanfaatan ruang dan
penghuni wilayah. Namun demikian perkembangan pengendalian pemanfaatan ruang yang kurang tepat
wilayah juga sering berkonotasi negatif. Perubahan atau bahkan mekanisme pengendalian tidak dapat
area dan meningkatnya kawasan bahaya banjir Neraca Penatagunaan Tanah dapat
adalah contoh dampak negatif yang disebabkan oleh dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan.
adanya perkembangan wilayah. Beberapa studi tentang NPGT telah dilakukan
Berkenaan dengan hal di atas, maka kajian antara lain Zulfajri (2016) yang menganalisis NPGT
perkembangan wilayah tidak dapat dilepaskan berdasarkan RTRW di Kabupaten Pidie. Penelitian
dengan aspek penggunaan tanah. Penggunaan bertujuan untuk mengetahui perubahan penggunaan
tanah perlu dikelola agar bisa mencapai penggunaan lahan dan menganalisis kesesuaian penggunaan
yang optimal, serasi, dan seimbang dalam rangka lahan berdasarkan RTRW Kabupaten Pidie. Hasil
mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Untuk penelitian menunjukkan ada penggunaan lahan yang
mewujudkan penggunaan tanah sebagaimana di masih berkurang dan sudah bertambah luasnya dari
atas perlu adanya integrasi antara penggunaan tanah alokasi ruang yang telah ditetapkan dalam RTRW
dengan kebijakan penataan ruang. Dalam perspektif Kabupaten Pidie Tahun 2014-2034. Penyimpangan
land management, terintegrasinya land tenure, penggunaan lahan tersebut disebabkan karena
land use, land value, dan land development yang adanya pemekaran kabupaten/kota, pengembangan
didukung dengan land information infrastructures dan infrastruktur wilayah, usaha perkebunan, dan usaha
26
Pemanfaatan Neraca Penatagunaan Tanah untuk Percepatan Penyusunan RDTR-PZ
Sutaryono dan Asih Retno Dewi
non-pertanian digunakan dalam analisis untuk belum berfungsinya secara optimal penataan ruang
menentukan nilai indeks luas lahan pertanian dalam dalam rangka menyelaraskan, mensinkronkan, dan
penentuan kerentanan pangan. Berdasarkan analisis memadukan berbagai rencana dan program sektor
dengan menggunakan indek penentu kerawanan (Imran dan Suwitno, 2013).
pangan didapatkan bahwa kondisi 15 kecamatan di Menurut Mulyono Sadyohutomo (2016,
Kabupaten Sleman masuk ke dalam kategori tahan 294-295), paling tidak ada 6 (enam) sumber
pangan dan 2 kecamatan yaitu Depok dan Sleman penyimpangan terhadap Rencana Tata Ruang yaitu
masuk ke dalam kategori daerah berpotensi rawan (1) Rencana Tata Ruang yang tidak akomodatif
pangan. terhadap kebutuhan masyarakat saat ini. Hal ini
Muryono dkk. (2018) melakukan kajian tentang akibat kelemahan dalam proses penyusunan rencana
optimalisasi pemanfaatan NPGT dalam penyusunan yang kurang melibatkan peran serta masyarakat,
RTRW di Daerah Istimewa Yogyakarta. Salah satu atau perencana tidak mampu menangkap aspirasi
analisis dalam penyusunan NPGT adalah analisis masyarakat, atau perencana tidak mampu melihat
kesesuaian antara Penggunaan Tanah Terkini kecenderungan perkembangan kebutuhan tanah;
dengan RTRW yang masih berlaku. Kesesuaian ini (2) Peruntukan Ruang tidak didukung tersedianya
bisa dijadikan ukuran apakah NPGT dimanfaatkan prasarana yang memadai, terutama jalan, listrik dan
secara optimal atau tidak. Penelitian ini dilakukan air bersih. Rencana Tata Ruang tidak segera diikuti
dengan teknik analisis tumpang susun peta untuk pembangunan prasarana yang dibutuhkan sesuai
menganalisis kesesuaian dan ketidaksesuaian rencana. Akibatnya masyarakat membangun sesuai
antara Penggunaan Tanah dengan RTRW di semua dengan kondisi lokasi apa adanya yang cenderung
kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi tidak teratur; ( 3) Kurangnya sosialisasi
selama periode 2010-2017. Hasil penelitian Rencana Tata Ruang sehingga masyarakat kurang
menunjukkan bahwa terjadi ketidaksesuaian mengetahui keberadaan dan pentingnya Rencana
antara NPGT dengan RTRW di Daerah Istimewa Tata Ruang; (4) Kesadaran hukum masyarakat
Yogyakarta. Ketidaksesuaian tertinggi terjadi yang kurang terhadap hak dan kewajiban dalam
Kabupaten Kulonprogo sebesar 57,11%, dan memanfaatkan ruang termasuk masalah penegakan
terendah di Kabupaten Gunungkidul sebesar hukum yang lemah terhadap penyimpangan
20,06%. Dampak dari ketidaksesuaian tersebut Rencana Tata Ruang; (5) Kesulitan pembebasan
adalah kegiatan pengendalian penggunaan tanah di tanah pada lokasi yang sesuai, akibatnya pihak
DIY menjadi tidak optimal. NPGT di DIY tidak optimal yang akan membangun mencari lokasi lain di luar
dimanfaatkan dalam penyusunan/revisi RTRW. peruntukan yang sesuai; (6) Rencana Tata Ruang
Demikian pula NPGT belum pernah digunakan belum tersedia lengkap, sarana yang berfungsi
dalam penyusunan/revisi RTRW. sebagai alat pengendalian penggunaan tanah belum
Penataan ruang pada hakikatnya dimaksudkan tersedia. Pada perkembangannya saat ini baru sedikit
untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya optimal yang sudah tersedia rencana rinci, khususnya untuk
dengan sedapat mungkin menghindari konflik kawasan strategis dan bagian wilayah perkotaan. Hal
pemanfaatan sumberdaya. Dalam lingkup tata ruang ini dikarenakan masalah waktu dan kebutuhan biaya
itulah maka pemanfaatan dan alokasi lahan menjadi yang besar untuk menyusun rencana rinci tersebut.
bagian yang tidak terpisahkan dengan konsep Sedangkan menurut Sutaryono (2016) dalam
ruang dalam pembangunan. Kenyataan yang terjadi penyelenggaraan penataan ruang, berbagai
akhir-akhir ini menegaskan salah satu isu strategis problematika berdasarkan fenomena yang ditemui
dalam penyelenggaraan penataan ruang antara lain di lapangan maupun berdasarkan data, informasi
27
JURNAL PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 25-38
maupun kajian-kajian yang berhubungan dengan Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan
keruangan secara umum antara lain: (1) Rencana Berusaha Terintegrasi secara Elektronik (yang sering
tata ruang dan peraturan perundang-undangannya disebut dengan Online Single Submission – OSS) jo
tidak efisien dan efektif. Kurangnya informasi dan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 14 Tahun 2018
sosialisasi hal-hal yang berkaitan dengan tata ruang tentang Izin Lokasi yang mensyaratkan ketersediaan
menyebabkan kurang dipahaminya kebijaksanaan RDTR-PZ menjadikan kebutuhan ketersediaan
penataan ruang oleh masyarakat, dunia usaha RDTR-PZ semakin urgent sekaligus emergence.
maupun oleh aparat pemerintah yang nota bene Saat ini pemerintah sedang mendorong
sebagai pihak yang memiliki kewenangan dalam percepatan penyusunan RDTR-PZ di berbagai
kebijaksanaan penataan ruang; (2) Persepsi wilayah, mengingat capaian dan produk RDTR-PZ
dan pemahaman yang berbeda-beda terhadap masih sangat minimalis. Beberapa kendala yang
rencana tata ruang, seringkali menjadi penyebab dihadapi berkenaan dengan lambatnya capaian
terjadinya conflict of interest antar segenap stake RDTR-PZ selama ini adalah: (1) ketersediaan peta
holder; (3) Rencana tata ruang kurang mampu dengan skala detail (1:5000) yang sangat terbatas,
mengakomodasikan kepentingan segenap stake menyebabkan data dan informasi yang dibutuhkan
holder yang mempunyai kompetensi terhadap dalam penyusunan RDTR-PZ tidak terpenuhi; (2)
pemanfaatan ruang. Hal ini menyebabkan Ketersediaan sumberdaya manusia yang terbatas,
disharmoni dan konflik tata ruang tidak mendapatkan baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Dalam hal ini
ruang sebagai media penyelesaian masalah; tidak hanya SDM aparatur pemerintah yang terbatas,
(4) Kebijaksanaan dan strategi penataan ruang tetapi juga kalangan profesional yang berperan
suatu wilayah tidak konsisten dan terpadu. Hal sebagai konsultan ahli atau penyedia jasa dalam
ini sering terjadi ketika pengambil kebijaksanaan penyusunan RDTR-PZ; (3) Anggaran yang terbatas,
tidak mempunyai visi yang jelas terhadap masa baik untuk kajian, penyiapan naskah akademik
depan wilayahnya atau juga adanya pergantian hingga legislasinya. Anggaran yang dibutuhkan
kepemimpinan pemerintahan yang diikuti oleh untuk menyusun RDTR-PZ cenderung lebih besar
berubahnya kebijaksanaan penataan ruang. Di dari pada untuk penyusunan RTRW, mengingat
samping itu orientasi ekonomi yang mengedepan sifat RDTR-PZ yang detail dan membutuhkan survei
seringkali dijadikan alasan pembenar dalam langsung; (4) Adanya konflik kepentingan. Sifat
penyimpangan terhadap desain tata ruang RDTR-PZ yang detail dan mengikat, menjadikan
yang telah disepakati. Kurangnya koordinasi keengganan birokrasi pemerintah daerah untuk
antar instansi sebagai salah satu pelaksana segera memperdakan. Bahkan ada beberapa
pembangunan menjadikan tumpang tindihnya anggapan bahwa RDTR-PZ merupakan penghambat
kegiatan pembangunan yang berbasiskan ruang; (5) tumbuhnya investasi di daerah1 (Pernyataan Direktur
Munculnya dualisme kepentingan antara orientasi Pengendalian Pemanfaatan Ruang, Kementerian
ekonomi dan kelestarian lingkungan dan unsur- ATR/BPN pada Seminar Internasional di Sekolah
unsur ekologis; dan (6) ketersediaan RDTR-PZ Tinggi Pertanahan Nasional, 19 September 2019).
yang terbatas, sehingga instrumen untuk perizinan Hal di atas menunjukkan bahwa perlu agenda-
sekaligus instrumen pengendalian pemanfaatan agenda yang dilakukan secara bersama-sama untuk
ruang menjadi tidak berjalan dengan baik. mempercepat ketersediaan RDTR-PZ.
Berbagai persoalan di atas hingga saat ini Pertanyaan yang muncul kemudian adalah
belum mendapatkan alternatif penyelesaian yang bagaimana melakukan percepatan penyusunan
memadai. Bahkan terbitnya Peraturan Pemerintah RDTR-PZ tanpa mengurangi kualitas produknya
28
Pemanfaatan Neraca Penatagunaan Tanah untuk Percepatan Penyusunan RDTR-PZ
Sutaryono dan Asih Retno Dewi
29
JURNAL PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 25-38
dilakukan secara terintegrasi antar berbagai sektor. digunakan untuk mempercepat proses penyusunan
Dalam hal ini keseimbangan antara penggunaan RDTR-PZ.
dan pemanfaatan tanah menjadi hal yang penting
B. Neraca Penatagunaan Tanah
untuk diperhatikan. Oleh karena itu penggunaan
Neraca Penatagunaan Tanah adalah
dan pemanfaatan tanah perlu diatur secara optimal
perimbangan antara ketersediaan tanah dan
melalui kebijakan penataan ruang. Namun demikian,
kebutuhan penguasaan, penggunaan, dan
hingga saat ini sinkronisasi kelembagaan berkenaan
pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan Rencana
penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan
Tata Ruang (RTRW). Neraca Penatagunaan Tanah
kebijakan penataan ruang belum sepenuhnya
meliputi neraca perubahan penggunaan tanah,
terjadi. Bahkan hingga saat ini, lembaga agraria-
neraca kesesuainan penggunaan tanah terhadap
pertanahan dan tata ruang juga belum mencerminkan
RTRW, dan prioritas ketersediaan tanah. Penyusunan
integrasi seutuhnya, mengingat adanya perbedaan
NPGT merupakan amanat Peraturan Pemerintah
kewenangan pemerintahan (Puspasari dan
No.16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah
Sutaryono 2017, 103). Kewenangan pemerintahan
khususnya Pasal 23 ayat (3) dan Undang Undang
antara bidang agraria-pertanahan dan tata ruang
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 33
menjadi pembeda mendasar dalam penggabungan
ayat (2).
kedua lembaga. Agraria-Pertanahan secara
general masih merupakan urusan pemerintah yang Tujuan disusunnya NPGT adalah untuk
dijalankan oleh instansi vertikal (BPN), sedangkan memperoleh informasi ketersediaan dan
yang telah didesentralisasi kepada pemerintah dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan
daerah. Hal tersebut juga berpengaruh terhadap sebagaimana tertuang dalam RTRW. Manfaat NPGT
hubungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ adalah sebagai bahan masukan bagi perencanaan
Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dengan kegiatan dan pengendalian pembangunan secara
Pemerintah Daerah, utamanya berkenaan dengan makro, penyusunan/revisi RTRW, kebijakan dan
fungsi pembinaan penataan ruang oleh pemerintah pelaksanaan penyesuaian penggunaan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah dimana terdapat 3 (tiga)
Penatagunaan Tanah (PP 16/2004) secara implisit analisis yang dilakukan yaitu (1) Analisis Perubahan
disebutkan bahwa penatagunaan tanah atau pola Penggunaan Tanah, (2) Analisis Kesesuaian
pengelolaan tata guna tanah adalah sub sistem dari Penggunaan Tanah Terhadap RTRW, dan (3) Analisis
rencana tata ruang wilayah. Dalam regulasi tersebut Ketersediaan Tanah. Melalui Analisis Perubahan
juga dikenalkan Neraca Penatagunaan Tanah Penggunaan Tanah, dapat diketahui luas dan lokasi
yang dapat berperan sebagai salah satu instrumen perubahan penggunaan tanah dalam kurun waktu
integrasi agraria-pertanahan dan tata ruang. Secara tertentu. Langkah-langkah analisisnya dilakukan
teknis Neraca Penatagunaan Tanah ini dapat dengan meng-overlay-kan Peta penggunaan Tanah
30
Pemanfaatan Neraca Penatagunaan Tanah untuk Percepatan Penyusunan RDTR-PZ
Sutaryono dan Asih Retno Dewi
Baru dan peta Penggunaan Tanah Lama sehingga kegiatan sesuai dengan RTRW. Sedangkan tanah-
diperoleh Peta Perubahan Penggunaan Tanah. tanah yang telah digunakan secara intensif dan telah
Dari hasil ini dilakukan inventarisasi luas, jenis, dikuasai dengan hak atas tanah (skala besar) masih
dan letak perubahan penggunaan tanah pada dikategorikan tersedia dalam penyesuaian dan
kurun waktu tertentu. Hasilnya dituangkan dalam optimalisasi penggunaan tanah.
tabel Perubahan Penggunaan Tanah, Rekapitulasi Neraca Penatagunaan Tanah dapat menjadi
Perubahan Penggunaan Tanah, dan Perkembangan acuan dalam perencanaan kegiatan pembangunan
Penggunaan Tanah. Dari peta perubahan maupun investasi yang membutuhkan tanah serta
penggunaan tanah selanjutnya di-overlaykan dengan perencanaan pembangunan lainnya, termasuk
peta RTRW sehingga diperoleh Peta Perubahan dalam perencanaan dan revisi rencana tata ruang
Penggunaan Tanah pada Fungsi Kawasan menurut wilayah. Dalam konteks integrasi pengaturan
RTRW. dan penataan pertanahan terhadap pelayanan
Analisis Kesesuaian Tanah Terhadap RTRW pertanahan, Neraca Penatagunaan Tanah antara
dilakukan dengan menyusun matriks kesesesuaian lain dapat digunakan dalam rangka Pertimbangan
penggunaan tanah terhadap arahan fungsi Teknis Pertanahan dalam rangka penerbitan Izin
kawasan dalam RTRW. Dikatakan sesuai apabila Lokasi untuk kegiatan investasi, penetapan lokasi,
penggunaan tanah yang telah sesuai dengan arahan maupun untuk perubahan penggunaan tanah.
fungsi kawasan dalam dokumen dan peta RTRW. Secara substansial Neraca Penatagunaan
Contohnya kalau menurut peta penggunaan tanah Tanah akan menghasilkan data dan informasi
adalah jenis penggunaan tanahnya sawah, maka berkenaan dengan perubahan penggunaan
dalam RTRW merupakan kawasan pertaniaan lahan tanah, kesesuaian penggunaan tanah dengan
basah. Tidak sesuai apabila penggunaan tanah RTRW dan analisis prioritas ketersediaan tanah.
tidak sesuai dengan arahan fungsi kawasan dalam Dengan demikian Neraca Penatagunaan Tanah ini
dokumen dan peta RTRW. Misalnya penggunaan mempunyai out come berupa:
tanah untuk industri terletak pada fungsi kawasan
1) Peta Perubahan Penggunaan Tanah Pada
pertanian lahan basah. Output dari analisis ini adalah
Fungsi Kawasan, yang memberikan informasi
tersedianya peta kesesuaian penggunaan tanah
berkenaan dengan luas, jenis perubahan dan
terhadap RTRW hasil dari analisis superimpose
lokasi perubahan penggunaan tanah dalam
antara peta penggunaan tanah saat ini (existing
kurun waktu tertentu;
land use) dengan peta RTRW berdasarkan
2) Peta Kesesuaian Penggunaan Tanah Terhadap
matriks kesesuaian. Tahap selanjutnya adalah
Rencana Tata Ruang Wilayah. Berisi tentang
mendeskripsikan luas, letak dan tingkat kesesuaian
kesesuaian dan ketidaksesuaian penggunaan
penggunaan tanah terhadap RTRW.
tanah dengan arahan fungsi kawasan dalam
Analisis Ketersediaan Tanah terdiri dari 2 (dua)
RTRW. Informasi ini dapat digunakan untuk
analisis yaitu analisis prioritas Ketersediaan Tanah
melakukan evaluasi terhadap RTRW maupun
dan Analisis Ketersediaan Tanah untuk Kegiatan
dalam pemberian ijin pemanfaatan ruang;
atau Komoditas Tertentu. Pada prinsipnya analisis
3) Peta Ketersediaan Tanah. Peta ketersediaan
ketersediaan tanah mengacu pada penggunaan
tanah ini pada prinsipnya merupakan hasil
dan penguasaan tanah. Tanah-tanah yang belum
analisis ketersediaan tanah mengacu pada
digunakan secara intensif dan belum dikuasai
penggunaan dan penguasaan tanah. Tanah-
dengan hak atas tanah (skala besar) dikategorikan
tanah yang belum digunakan secara intensif
sebagai tanah-tanah yang tersedia untuk berbagai
31
JURNAL PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 25-38
dan belum dikuasai dengan hak atas tanah tanah kabupaten/kota dan neraca penatagunaan
(skala besar) dikategorikan sebagai tanah- tanah kecamatan. NPGT kecamatan mulai digagas
tanah yang tersedia untuk berbagai kegiatan untuk dilaksanakan setelah hampir seluruh neraca
sesuai dengan tata ruang. Sedangkan tanah- penatagunaan tanah kabupaten/kota dilaksanakan.
tanah yang telah digunakan secara intensif Penyusunan neraca penatagunaan tanah kecamatan
dan telah dikuasai dengan hak atas tanah memberikan gambaran informasi penatagunaan
(skala besar) masih dikategorikan tersedia tanah yang lebih detil sehingga dapat bermanfaat
dalam rangka penyesuaian dan optimalisasi untuk pelaksanaan pembangunan pada umumnya
penggunaan tanah. maupun untuk meletakkan program-program
4) Peta Ketersediaan Tanah untuk Kegiatan atau strategis pertanahan khususnya. Dalam penelitiannya
Komoditas Tertentu. Ketersediaan Tanah untuk mengenai Penatagunaan Tanah berbasis bidang
Kegiatan atau Komoditas Tertentu merupakan tanah di area perkotaan dan perdesaan dimana
pengembangan dari analisis ketersedian tanah. mengkaji penyusunan NPGT kecamatan berbasis
Tanah-tanah yang tersedia dianalisis lebih Peta Bidang Tanah (PBT)/parcel based di kawasan
kegiatan atau komoditas tertentu yang dapat perkotaan yang dipilih adalah Kecamatan Mantrijeron
berkontribusi untuk pengembangan wilayah Kota Yogyakarta. Untuk kawasan perdesaan dipilih
32
Pemanfaatan Neraca Penatagunaan Tanah untuk Percepatan Penyusunan RDTR-PZ
Sutaryono dan Asih Retno Dewi
mampu menjadi guidance pembangunan wilayah. RDTR sekaligus juga dilakukan penyusunan PZ.
Dalam hal ini salah satu problem utama dalam Terintegrasinya RDTR dan PZ dimaksudkan
penyelenggaraan penataan ruang terletak pada agar perencanaan dan pengendalian pemanfaatan
ranah pengendalian pemanfaatan ruang, dimana ruang dapat lebih proporsional, mengingat selama
peraturan zonasi merupakan instrumen utama ini belum berimbangnya agenda perencanaan tata
dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Hal ini ruang dan agenda pengendalian pemanfaatan
seturut dengan pernyataan Sadyohutomo (2009) ruang. Padahal pengendalian pemanfaatan ruang
dalam Utami dan Wahyuningtyas (2016) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam
menegaskan bahwa permasalahan penataan ruang penyelenggaraan penataan ruang.
yang terjadi di Indonesia disebabkan kurangnya
Persoalan terbesar dalam penataan ruang
sistem pengendalian penataan ruang baik berupa
adalah tidak tersedianya instrumen perencanaan
penyediaan prasarana fisik (public capital investment)
tata ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang
maupun perangkat hukum (land use control) yang
secara terintegrasi dalam bentuk RDTR-PZ.
belum dimanfaatkan dan diimplementasikan secara
Padahal peluang penyimpangan pemanfaatan
optimal. Belum ditetapkannya peraturan zonasi
ruang sebagian besar adalah karena lemahnya
kawasan-kawasan khusus/kawasan budidaya
pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh sebab itu,
juga menjadi kendala dalam pemanfaatan ruang.
ketersediaan RDTR-PZ mutlak diperlukan untuk
Penyimpangan terhadap tata ruang dan zonasi
memastikan terwujudnya tertib tata ruang.
kawasan kota tentunya membutuhkan penanganan
Berdasarkan Pasal 11 Peraturan Menteri ATR/
serius dan hal ini tidaklah mudah dilaksanakan.
KBPN Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pedoman
Zoning regulation sebagai acuan serta petunjuk
Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan
operasional terhadap pemanfaatan ruang tentunya
Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota disebutkan bahwa
harus ditetapkan dan diterapkan dengan sistem
untuk mewujudkan percepatan pelayanan perizinan
pengendalian yang optimal sehingga penyimpangan
pemanfaatan ruang, diperlukan percepatan prosedur
dapat dikurangi dan dicegah.
penyusunan dan prosedur penetapan RDTR dan
Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)
PZ kabupaten/kota. Meskipun secara praksis waktu
dan Peraturan Zonasi (PZ) dalam konteks
percepatan penyusunan yang dipersyaratan tidak
penyelenggaraan penataan ruang pada dasarnya
logis (paling lama 6 bulan), namun munculnya
berada pada level yang berbeda. RDTR merupakan
kebijakan percepatan penyusunan RDTR-PZ
instrumen pada level perencanaan tata ruang,
menunjukkan bahwa instrumen ini sangat penting
sedangkan PZ berada pada level pengendalian
dalam rangka perencanaan sekaligus pengendalian
pemanfaatan ruang. Namun demikian berdasarkan
pemanfaatan ruang.
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Untuk mendukung upaya percepatan tersebut,
Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 Tahun 2018
paling tidak dibutuhkan 4 (empat) prakondisi penting
tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail
yang harus diwujudkan, yakni: (1) ketersediaan
Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota,
SDM yang memadai, baik secara kuantitas maupun
disebutkan bahwa Rencana Detail Tata Ruang yang
kualitas; (2) ketersediaan data dan informasi yang
selanjutnya disingkat RDTR adalah rencana secara
dibutuhkan; (3) berperannya institusi pertanahan
terperinci tentang tata ruang wilayah kabupaten/kota
sebagai salah satu stakeholder utama dalam
yang dilengkapi dengan peraturan zonasi kabupaten/
penyusunan RDTR-PZ; dan (4) ketersediaan
kota. Dalam hal ini, secara jelas bahwa RDTR
anggaran. Dalam hal ini, prakondisi Nomor 2 dan 4
memuat juga PZ, maka secara teknis penyusunan
menjadi prioritas dalam kajian ini.
33
JURNAL PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 25-38
Ketersediaan data dan informasi yang selama RDTR dan PZ, perlu dilihat dulu fungsi dan manfaat
ini sulit diakses, baik dalam penyusunan RTRW RDTR dan PZ. RDTR dan peraturan zonasi
maupun RDTR-PZ adalah data dan informasi terkait berfungsi sebagai: (a) kendali mutu pemanfaatan
“layer-layer” pertanahan. Dalam hal ini Neraca ruang wilayah kabupaten/kota berdasarkan RTRW;
Penatagunaan Tanah dapat mengatasi persoalan (b) acuan bagi kegiatan pemanfaatan ruang yang
tersebut. lebih rinci dari kegiatan pemanfaatan ruang yang
Terkait peran institusi pertanahan, khususnya diatur dalam RTRW; (c) acuan bagi kegiatan
kantor pertanahan mempunyai peran penting dalam pengendalian pemanfaatan ruang; (d) acuan bagi
penyusunan RDTR-PZ sebagaimana diilustrasikan penerbitan izin pemanfaatan ruang; dan (e) acuan
bahwa peran Kantor Pertanahan meliputi: (1) Adapun manfaat RDTR dan peraturan zonasi
persiapan; (2) penyusunan dan penyediaan data; (3) adalah: (a) penentu lokasi berbagai kegiatan yang
penyusunan konsep rencana; (4) penandatanganan mempunyai kesamaan fungsi dan lingkungan
draf RDTR-PZ sebelum pengajuan persetujuan permukiman dengan karakteristik tertentu; (b) alat
substansi ke kementerian; dan (5) pembahasan operasionalisasi dalam sistem pengendalian dan
dalam persetujuan substansi di kementerian. pengawasan pelaksanaan pembangunan fisik
kabupaten/kota yang dilaksanakan oleh Pemerintah,
D. Operasionalisasi Neraca pemerintah daerah, swasta, dan/atau masyarakat;
Penatagunaan Tanah dalam (c) ketentuan intensitas pemanfaatan ruang untuk
Penyusunan RDTR dan setiap bagian wilayah sesuai dengan fungsinya
Peraturan Zonasi di dalam struktur ruang kabupaten/kota secara
Sebelum dipaparkan gagasan operasionalisasi keseluruhan; dan (d) ketentuan bagi penetapan
Neraca Penatagunaan Tanah dalam penyusunan kawasan yang diprioritaskan untuk disusun program
34
Pemanfaatan Neraca Penatagunaan Tanah untuk Percepatan Penyusunan RDTR-PZ
Sutaryono dan Asih Retno Dewi
Mengingat fungsi dan manfaat di atas, maka dengan rencana tata ruang wilayah serta informasi
pemanfaatan Neraca Penatagunaan Tanah menjadi ketersediaan tanah berdasarkan penguasaan dan
sesuatu yang urgent dalam penyusunan RDTR penggunaannya, mampu memenuhi kebutuhan dan
dan PZ. Salah satu data yang digunakan dalam keterbatasan data dalam penyusunan RDTR dan PZ.
penyusunan RDTR dan PZ adalah data penguasaan, Pada tahapan pengolahan dan analisis data,
penggunaan dan pemanfaatan lahan serta data analisis kebutuhan ruang dan analisis perubahan
peruntukan lahan. Dalam praktiknya data ini tidak pemanfaatan ruang dapat menggunakan neraca
mudah didapatkan. Untuk memenuhi kebutuhan perubahan dan neraca ketersediaan tanah (Gambar
data tersebut, Neraca Penatagunaan Tanah- 2).
35
JURNAL PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 25-38
Berdasarkan Tata Cara Kerja Neraca dalam tahapan persiapan, pengumpulan data dan
Penatagunaan Tanah (BPN, 2013), skala yang informasi, pengolahan dan analisis data serta dalam
dipersyaratkan masih terlalu kecil, yakni: (1) 1: perumusan konsep RDTR dan muatan PZ. Setiap
25.000 untuk kabupaten di Pulau Jawa, Bali, dan tahapan memberikan konsekuensi yang berbeda-
Nusa Tenggara; (2) 1: 50.000 untuk kabupaten di beda tergantung pada peran Neraca Penatagunaan
Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku; Tanah maupun Lembaga yang menanganinya.
(3) 1: 100.000 untuk kabupaten di Pulau Papua; Dalam tahapan persiapan, sekurang-kurangnya
dan (4) 1: 10.000 untuk kota. Padahal skala peta ada tiga kegiatan yang perlu dikaitkan dengan
yang dipersyaratkan untuk penyusunan RDTR & NPGT, yakni: (1) pembentukan tim penyusun, dalam
PZ dengan tingkat ketelitian minimal 1:5000, atau hal ini sumberdaya manusia di bidang pertanahan
mengikuti ketentuan mengenai sistem informasi sebagai Lembaga yang menangani NPGT perlu
geografis yang dikeluarkan oleh kementarian/ dimasukkan ke dalam tim penyusun; (2) kajian
lembaga yang berwenang. awal data sekunder, dalam hal ini perlu dimasukkan
Berkenaan dengan hal di atas, penyusunan neraca perubahan, neraca kesesuaian dan neraca
Neraca Penatagunaan Tanah perlu menyesuaikan ketersediaan tanah ke dalam daftar data dan
dengan kebutuhan tersebut, yakni meningkatkan informasi awal; dan (3) penetapan delineasi awal
ketelitian peta menjadi 1:5000 dan menurunkan level BWP, perlu disinkronkan dengan pewilayah yang
wilayah kabupaten/kota dan kecamatan menjadi dilakukan dalam penyusunan NPGT.
level desa. Bahkan apabila dimungkinkan Neraca Untuk tahapan yang lain, NPGT perlu
Penatagunaan Tanah yang disusun berbasiskan ditempatkan sebagai data dan informasi dasar yang
bidang-bidang tanah, baik melalui kegiatan memuat penguasaan dan pemilikan tanah serta
pendaftaran tanah maupun kegiatan Inventarisasi penggunaan dan pemanfaatan tanah. Berkenaan
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan dengan hal ini, maka analisis data untuk kepentingan
Pemanfaatan Tanah (IP4T). penyusunan pola/zona ruang perlu betul-betul
Penyusunan RDTR dan PZ, saat ini telah memperhatikan data dan informasi pertanahan dalam
diatur dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata NPGT. Apabila dalam tahapan ini NPGT benar-benar
Ruang/Kepala BPN Nomor 16 Tahun 2018 tentang dimanfaatkan, maka percepatan penyusunan RDTR
Pedoman Penyusunan RDTR dan PZ Kabupaten/ dan PZ adalah sebuah keniscayaan.
Kota. Pada Pasal 9 Ayat (2) disebutkan bahwa Berkenaan dengan muatan RDTR dan PZ,
prosedur penyusunan RDTR dan PZ kabupaten/kota khususnya pengaturan tentang pola ruang telah
meliputi: diatur secara jelas dalam Lampiran 1 Peraturan
1) persiapan; Menteri ATR/KBPN Nomor 16 Tahun 2018 tentang
36
Pemanfaatan Neraca Penatagunaan Tanah untuk Percepatan Penyusunan RDTR-PZ
Sutaryono dan Asih Retno Dewi
3) Dasar penyusunan RTBL dan rencana teknis penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
lainnya; dan pemanfaatan tanah.
Berdasarkan hal di atas, jelas sekali bahwa pola dalam Penyusunan RDTR-PZ juga akan
ruang dalam RDTR dan PZ mempunyai fungsi untuk meningkatkan kinerja institusi pertanahan dan
mengalokasikan ruang dalam berbagai kegiatan, tata ruang dalam penyediaan data dan informasi
sinkron dengan kebutuhan input data dalam land and spatial planning policies for
akan sangat efektif, karena sudah mendasarkan (3). Diakses dari http://dinamikahukum.
37
JURNAL PERTANAHAN Vol. 10 No. 1 Juli 2020 25-38
Muryono, S., Bimasena, A.N., Dewi, A.R. (2018). wilayah (studi di Kabupaten Sleman
Optimalisasi pemanfaatan neraca Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
penggunaan tanah dalam penyusunan Jurnal Ketahanan Nasional, 22 (1), 22-41.
rencana tata ruang wilayah di Daerah Diakses dari https://jurnal.ugm.ac.id/jkn/
Istimewa Yogyakarta. Bhumi, 4 (2), 224- article/view/10653.
248. DOI: http://dx.doi.org/10.31292/
Sutaryono. (2007). Dinamika Penataan Ruang dan
jb.v4i2.280. Diakses dari http://jurnalbhumi.
Peluang Otonomi Daerah. Yogyakarta:
stpn.ac.id/JB/article/view/280/256.
Tugu Jogja Grafika.
Muta’ali, L. (2013). Penataan Ruang Wilayah
Sutaryono. (2016, 29 Agustus). Quovadis Integrasi
dan Kota (Tinjauan Normatif – Teknis).
Agraria dan Tata Ruang, SKH Kompas.
Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas
Geografi UGM. Sutaryono. (2016). Instrumen pengendalian melalui
roadmap pengendalian pemanfaatan
Peraturan Menteria Agraria dan Tata Ruang/Kepala
ruang: pengalaman empirik di DIY. Jurnal
Badan Pertanahan Nasional Nomor 16
Pertanahan Puslitbang Kementerian ATR/
Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan
BPN, 6 (1).
RDTR dan PZ Kabupaten/Kota.
Sutaryono. (2016). Neraca penatagunaan tanah,
Puspasari, S. & Sutaryono. (2017), Integrasi Agraria-
instrumen integrasi tata ruang dan
Pertanahan dan Tata Ruang, Yogyakarta:
pertanahan dalam penyusunan RDTR dan
STPN Press.
peraturan zonasi. dalam FIT ISI. Diakses
Prabowo, H.L. (2019). Study of parcels-based land dari https://www.academia.edu/35898478/
use planning in urban areas and rural areas NERACA_PENATAGUNAAN_TANAH_
(case study of Mantrijeron Sub-district, Instrumen_Integrasi_Tata_Ruang_dan_
Yogyakarta City and Bambanglipuro Pertanahan_dalam_Penyusunan_RDTR_
Sub-district, Bantul Regency. Journal dan_Peraturan_Zonasi_Sutaryono
of Geospatial Information Science and
Utami, W. & Wahyuningtyas, A. (2016). Pengaturan
Engineering, 2 (1), 171-184. DOI: http://
zoning sebagai pengendali pemanfaatan
dx.doi.org/10.22146/jgise.41848.
ruang (studi kasus kawasan preservasi
Diakses dari https://jurnal.ugm.ac.id/jgise/article/ budaya Kotagede). Prosiding Seminar
view/41848 nasional 3rd CGISE dan FIT ISI 2016.
Yogyakarta: Departemen Teknik Geodesi
Renyansih & Santosa, B. (tt). Kelembagaan tata
Fakultas Teknik UGM. Diakses dari http://
ruang di lingkungan Departemen Pekerjaan
cgise.geodesi.ugm.ac.id/arsip-prosiding/.
Umum sampai Departemen Kimpraswil.
dalam Ditjend Penataan Ruang, Williamson, I., Enemark, S., & Wallace, J. (2010).
Kementerian PU. Sejarah Panataan Ruang Land Administration for Sustainable
Indonesia. Jakarta. Development. Redlands, California: Esri
Press Academic.
Sadyohutomo, M. (2016)., Tata Guna Tanah dan
Penyerasian Tata Ruang, Yogyakarta: Zulfajri. (2016). Analisis neraca penggunaan lahan
Pustaka Pelajar. dan perubahannya terhadap rencana tata
ruang wilayah Kabupaten Pidie (Skripsi).
Supratikno, S.I., Armawi, A., & Marwasta, D. (2016).
Tersedia dari http://etd.unsyiah.ac.id/baca/
Pemanfaatan neraca penatagunaan
index.php?id=22752&page=60.
tanah dalam mendukung penyusunan
sistem informasi ketahanan pangan pokok
38