Anda di halaman 1dari 11

Volume 7. Nomor 1.

Januari 2012

Pandecta
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta

Faktor Pengaruh dan Implikasi Rencana Detail Tata Ruang


Kecamatan Gunungpati Kota Semarang terhadap
Alih Fungsi Lahan Pertanian
Suhadi

Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang, Indonesia

Info Artikel Abstrak


Sejarah Artikel: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis impelentasi Rencana
Diterima Oktober 2011 Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Kecamatan Gunungpati dan Implikasinya terhadap
Disetujui November 2011 Alih Fungsi Lahan Pertanian. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa bahan
Dipublikasikan Januari 2012 hukum primer dan sekunder. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dan
searching online. Analisis data menggunakan tiga pendekatan, yaitu: pendekatan
Keywords:
Gunungpati;
perundang-undangan, pendekatan konsep dan pendekatan kasus. Hasil penelitian
RDTRK; menunjukkan, bahwa instrument hukum yang digunakan dan sarana prasarana
Building; untuk pelaksanaan RDTRK Kecamatan Gunungpati sudah cukup komprehensif dan
Transfer of land use; lengkap. Instrument hukum yang dijadikan dasar secara kuantitatif sudah lengkap,
Agriculture. yakni dari RTRW, RDTRK, Perda Bangunan, dan Perwal pelimpahan wewenang
kepada kecamatan dan kelurahan. Sementara aspek sarana dan prasarana berupa
peta sudah tersedia lengkap dan atribut peta yang jelas sehingga memudahkan bagi
pemerintah dan masyarakat untuk memahaminya. Namun, faktor penghambat
terletak pada kurangnya SDM baik dari segi kuantitas maupun segi kualitas, sehingga
dalam pelaksanaannya kurang efektif di lapangan. Aspek lainnya yang menghambat
adalah kurangnya pengetahuan dan kesadaraan masyarakat terhadap pelestarian
lingkungan, sehingga banyak lahan-lahan pertanian yang produktif dialihfungsikan
setelah terlebih dulu dijual kepada pembeli untuk pembangunan permukiman.
Dalam jangka panjang hal ini dapat berdampak serius terhadap degradasi lingkungan
dan ketahanan pangan khususnya bagi masyarakat Gunungpati. Dalam konteks
ini, pemerintah perlu melakukan penyuluhan dan pelibatan masyarakat dalam
penyusunan RDTRK.

Abstract
This study aims to determine and analyze of the implementation of the City Spatial Plan
Details (RDTRK) in the Gunungpati District: a Transfer Function and Its Implications
for Agricultural Land. The data used in this study are primary and secondary legal
materials. The data were collected through field research and a literature study.
Analysis of data using three approaches, namely: legislative approaches, the concept
and the case approaches. The results showed, that the legal instrument used and
the infrastructure for the implementation of the District RDTRK Gunungpati is quite
comprehensive and complete. Legal instruments in quantitative basis are complete, ie
of RTRW, RDTRK, building regulation, and Perwal delegation of authority to districts and
villages. While aspects of the infrastructure already available in the form of a complete
map and attribute maps are clear, making it easier for the government and the public
to understand. However, the limiting factor lies in the lack of human resources in
terms of both quantity and quality, resulting in a lack of effective implementation
in the field. Another aspect is the lack of knowledge and hinder public awareness
about our environment, so many farms are productive converted after the first sale
to a buyer for settlement construction. In the long run this could seriously impact on
environmental degradation and food security especially for the Gunungpati. In this
context, the government needs to do outreach and community involvement in the
preparation RDTRK.

Alamat korespondensi: © 2012 Universitas Negeri Semarang


Gedung C4 Lantai 1, Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 ISSN 1907-8919
E-mail: suhadi_fh_unnes@yahoo.co.id
Pandecta. Volume 7. Nomor 1. Januari 2012

1. Pendahuluan sawah telah dikonversi fungsinya di Jawa.


Selain itu, dalam Rencana Pembangunan
Konversi lahan sawah yang cukup Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025
marak akhir-akhir ini telah menimbulkan disebutkan, pada 2004 saja kerusakan hutan
dampak yang luas pada berbagai aspek dan lahan di Indonesia mencapai 59,2 juta
pembangunan. Secara nasional, konversi ha. Sedangkan, laju deforestasi mencapai
lahan sawah rata-rata mencapai 188.000 1,6-2 juta ha tiap tahun.
hektar per tahun dengan pertumbuhan rata- Laju pertumbuhan penduduk,
rata 2,42% per tahun (Sastraatmaja, 2006). kegiatan ekonomi yang terus meningkat,
Dampak konversi lahan tersebut sering kali pembangunan infrastruktur perhubungan
kurang disadari, sehingga masalah konversi seiring desentralisasi penyelenggaran
lahan dinilai sebagai “masalah kecil” dan pemerintah di daerah , telah mempercepat laju
upaya pengendalian konversi lahan terkesan konversi lahan. Selain itu, ketidakseimbangan
terabaikan. Padahal dampak konversi lahan land rent antara Jawa-luar Jawa, kota-
ini sangat luas baik secara ekonomi, sosial, desa, pertanian-nonpertanian, dan hutan-
dan lingkungan. nonhutan turut berkontribusi memacu laju
Dampak yang terasa adalah alih fungsi lahan (Investor Daily Indonesia,
menurunnya ketahanan pangan nasional 2008).
dan lingkungan (Departemen Pertanian RI, Terkait dengan fenomena tersebut
2005). Padahal lahan pertanian memiliki di atas, gejala yang sama secara perlahan
banyak fungsi, tidak hanya sebagai penghasil terjadi Kota Semarang, khususnya di wilayah
padi atau produk pertanian, tetapi juga Gunungpati yang merupakan satu-satunya
berperan dalam mitigasi banjir, pengendali kecamatan yang dapat menjaga ekosistem
erosi tanah, pemelihara pasokan air tanah, Kota Semarang, kini juga mulai padat,
penambat gas karbon atau gas rumah kaca, dan tata ruang di kecamatan ini sekarang
penyegar udara, pendaur ulang sampah berubah nyaris tidak terkendali. Kondisi ini
organik, serta pemelihara keanekaragaman oleh sebagian ahli disinyalir karena adanya
hayati (Nishio 1999; Sinukaban 2000; Agus kontribusi yang signifikan dari kehadiran
dan Husen 2004 dalam Abdurachman 2005). Unnes sebagai faktor pendorong dan
Alih fungsi lahan ternyata juga berdampak sekaligus sebagai kawasan pertumbuhan
terhadap produksi air daerah aliran sungai baru di Kota Semarang. Hal ini kemudian
(DAS), banjir dan tanah lonsor (Irianto, 2004; memicu timbulnya perubahan pola hidup
Fajriyanto,2009). masyarakat di kawasan tersebut dari agraris
Kebijakan terakhir yang penting di menjadi industri dan sejenisnya. Kondisi
bidang pembangunan pertanian berkaitan tentu juga berakibat pada terjadinya
dengan permasalahan agraria adalah perubahan-perubahan dalam rencana tata
kebijakan lahan abadi pertanian sebagai ruang kawasan secara sporadis dari apa yang
salah satu dari Revitalisasi Pertanian, diprogramkan sebelumnya oleh Pemerintah
Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Namun, Kota Semarang.
persoalan mendasarnya dalam implementasi Dokumen Rencana tata ruang
dilapangan adalah tidak cukup kuatnya merupakan suatu bahan pertimbangan bagi
dukungan perundangan-undangan, belum Pemerintah Daerah untuk menentukan
terpadunya penataan ruang dan lemahnya arah pengembangan kawasan. Akan tetapi,
peran kelembagaan (Syahyuti, 200). implementasi dilapangan tidak sesuai dengan
Menurut Paskah Suzeta, minimnya harapan. Rencana yang dibuat sedemikian
implementasi pajak progresif bagi kegiatan rupa untuk mencapai suatu kondisi normatif
konversi lahan telah memicu maraknya yang diinginkan tidak terimplementasikan
tingkat pengalihan lahan, terutama dari dengan baik. Alih fungsi lahan menjadi
lahan pertanian ke nonpertanian. Badan lahan perumahan/industri secara tidak
Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, sekitar 1 langsung akan menimbulkan dampak pada
juta ha sawah atau 30% dari luas total lahan semakin banyaknya tanah-tanah kritis,

58
Pandecta. Volume 7. Nomor 1. Januari 2012

karena semakin berkurangnya tanaman- alih fungsi lahan. Kemudian, dari berbagai
tanaman keras yang bisa menjadi penyangga fakta khusus itu ditarik generalisasi.
struktur tanah di Gunungpati, yang nota
bene sebagian wilayahnya terletak di lereng 3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
perbukitan. Dengan demikian, kondisi
masa depan yang dituju yang menjadikan a. Implementasi Kebijakan RDTRK
kawasan pertanian dan resapan tidak Kegiatan implementasi tata ruang
tercapai karena implementasi dilapangan merupakan tahap penting untuk mencapai
tidak terlaksana dengan baik. Dalam konteks tujuan kegiatan penataan ruang kota, karena
itulah penelitian ini penting dilakukan untuk implementasi pada prinsipnya adalah cara
mengetahui implementasi dari RDTRK agar kebijakan dapat mencapai tujuannya.
Kecamatan Gunungpati. Dalam konteks ini Tanpa adanya kegiatan implementasi, maka
akan dianalisis berdasarkan post facto kondisi seluruh strategi pemanfaatan dan pengelolaan
eksisting dari RDTRK setempat. ruang kota hanya akan menjadi dokumen
Berdasar latar belakang masalah di perencanaan yang tersimpan sebagai arsip
atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penghias lemari kepala daerah atau kepala
penelitian, yaitu: (1) Apa saja instrument bappeda yang belum teruji kualitasnya
hukum yang digunakan oleh Pemerintah dan tidak berfungsi sebagai instrumen
Kota Semarang dalam pelaksanaan RDTRK regulasi dalam kegiatan penataan ruang
Gunungpati? (2) Bagaimanakah tingkat kota. Disamping itu, tanpa adanya kegiatan
kesesuaian dan deviasi dari pelaksanaan implementasi, maka nilai guna kebijakan
RDTRK Gunungpati tersebut? (3) Apa tidak akan dapat dirasakan oleh kelompok
faktor-faktor yang mendukung maupun sasaran yang dituju oleh kebijakan tersebut.
yang menghambat implementasi RDTRK Implementasi RDTRK Kecamatan Gunungpati
Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang yang sepaket dengan beberapa kecamatan
ditinjau dari aspek hukum, teknis, dan lainnya dalam lingkup Kota Semarang, secara
kelembagaan? makro menggunakan beberapa perangkat
pendukung yang diuraikan sebagai berikut:
2. Metode Penelitian Pertama, instrument hukum dimana
payung hukum yang digunakan dalam
Data yang digunakan dalam penelitian pelaksanaan RDTRK Kecamatan Gunungpati
ini ada dua macam, yaitu data primer dan adalah Peraturan Daerah Kota Semarang
data sekunder. Data primer adalah data yang Nomor 13 Tahun 2004 Tentang Rencana
diperoleh secara langsung dari lapangan Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Kota
melalui serangkain kegiatan observasi dan Semarang (Kecamatan Gunungpati) Tahun
wawancara semi terstrutur. Adapun data 2000-2010. Secara teknis kehadiran perda
sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini tampak tidak sinkron antara tahun
ini antara lain adalah: (a). dokumen Rencana pembuatan dengan subtansi yang hendak
Tata Ruang Wilayah, Rencana Tata Ruang Kota diatur. Perda ini dibuat pada tahun 2004,
Semarang, Rencana Tata Ruang Kecamatan, sedangkan cakupan pengaturannya berlaku
Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan; untuk jangka waktu 10 tahun terhitung sejak
(b). Perda Perizinan Kota Semarang; dan (c). tahun 2000.
Hasil studi terkait dengan topik penelitian Dalam konteks itu, tampak bahwa
ini. Pengumpulan data sekunder ini kecenderungan norma yang diatur bersifat
dilakukan melalui studi pustaka di beberapa retroaktif antara tahun pembuatan dengan
perpustakaan di Perguruan Tinggi dan cakupan subtansi pelaksanaan yang berjarak
dinas-dinas terkait. Cara analisis data dalam 4 tahun. Hal ini juga mencerminkan, bahwa
penelitian ini dilakukan secara induktif, yaitu pemerintah daerah sebagai regulator telah
berangkat dari berbagai fakta dan peristiwa kurang cermat dalam penyusunan peraturan
kongkrit dari persoalan pelaksanaan rencana perundang-undangan di tingkat lokal. Sebab,
tata ruang Kota Semarang, dan juga persoalan dalam kebijakan legislasi secara makro tidak

59

Pandecta. Volume 7. Nomor 1. Januari 2012

mengenal pemberlakuan secara surut dari pembangunan kota. RDTRK ini memuat
sebuah peraturan perundang-undangan, rumusan kebijaksanaan pemanfaatan ruang
kecuali pada satu produk hukum Hak Asasi kota yang disusun dan ditetapkan untuk
Manusia tahun 1999. Semestinya, jika perda menyiapkan perwujudan ruang Bagian
ini dimaksudkan berlaku sejak tahun 2000, Wilayah Kota dalam rangka pelaksanaan
maka pembuatan Perda RDTRK ini juga harus program dan pengendalian pembangunan
dilakukan pada setidaknya tahun 2000 atau kota baik yang dilakukan oleh Pemerintah,
sebelumnya. Hal ini sekali lagi menunjukkan swasta maupun masyarakat.
bahwa perencanaan legislasi di tingkat Kedua, kelembagaan dimana institusi
Pemerintah Kota juga kurang terencana pelaksana RDTRK ini mengamanahkan
dengan baik. pelibatan semua elemen atau stakeholders,
Namun demikian, ketidaksinkronan yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat.
antara tahun pembuatan perda RDTRK Hal itu ditegaskan dalam Pasal 43 yang
tersebut dengan subtansi pengaturannya menyatakan bahwa “Semua program,
telah dijembatani oleh Pasal 56 yang pada kegiatan atau proyek yang diselenggarakan
prinsipnya secara implisit menegaskan oleh Instansi Pemerintah, swasta dan
bahwa selama kurun waktu sampai masyarakat luas yang berhubungan dengan
dinyatakan berlaku perda ini pada tanggal 8 tata ruang harus mengacu pada RDTRK.
Juni tahun 2004, maka paying hukum yang Namun demikian, secara kelembagaan
digunakan adalah perda RDTRK sebelumnya. dalam arti pelaksana dari RDTRK ini
Selengkapnya Pasal 56 tersebut berbunyi: mencakup enam instansi, yaitu Bappeda
“Dengan berlakunya Peraturan Daerah selaku perencana pembangunan di tingkat
ini, maka Peraturan Daerah Kotamadya Pemerintah Kota, Dinas Tata Kota dan
Daerah Tingkat II Semarang Nomor 9 Tahun Permukiman selaku pelaksana teknis di
1999 tentang Rencana Detail Tata Ruang lapangan, Badan Pertanahan Nasional
Kota (RDTRK) Kotamadya Daerah Tingkat (BPN) selaku regulator dalam pertanahan,
II Semarang Bagian Wilayah Kota VIII Kecamatan dan Kelurahan, dan Satuan Polisi
(Kecamatan Gunungpati) Tahun 1995-2005 Pamong Praja dalam eksekusi lapangan.
dinyatakan tidak berlaku lagi”. Kesemua instansi tersebut di atas itu
Pada bagian penjelasan RDTRK saling berhubungan dan bersifat koordinatif.
Kecamatan Gunungpati tersebut dinyatakan, Namun menurut Murni Ediati staff Perencana
bahwa RDTRK adalah rencana pemanfaatan di Dinas Tata Kota dan Permukiman Kota
ruang kota secara terinci yang disusun Semarang (Wawancara, 19/9/2011),
untuk penyiapan perwujudan ruang dalam instansinya merupakan pemegang kendali
rangka pelaksanaan program-program utama atau leading sector-nya di lapangan.

BAPPEDA

(Menyusun Kebijakan
Makro Pembangunan)
DINAS TATA
(BPN) SATPOL PP
KOTA
KOTABAPPEDA
(Legalitas (Penindakan/Yustit
KELURAHAN
(Perencana Makro
Lahan/Tanah) iisi)
Pembangunan)
(Membantu Teknis
Lapangan/Pengawas
KECAMATAN KELURAHAN
BADAN an) SATPOL PP
BAPPEDA
PERTANAHAN (Membantu Teknis (Membantu Teknis
Gambar 1. Skema Koordinasi Kelembagaan RDTRK

60
Pandecta. Volume 7. Nomor 1. Januari 2012

Sedangkan instansi lainnya merupakan mitra Walikota sesuai dengan ketentuan yang
kerja yang bersifat koordinatif dan kasuistik. berlaku. Dalam konteks ini terdapat tiga
Dalam arti bahwa dalam kasus-kasus tertentu model kebijakan pengawasan yang dilakukan
yang memerlukan bantuan instansi lainnya oleh pemerintah kota. Pertama, pengawasan
sesuai dengan kewenangannya, misalnya terhadap pemanfaatan ruang dilakukan
dalam hal penindakan atau kegiatan yustisi dalam bentuk pemantauan, pelaporan dan
terhadap pelanggaran di lapangan, maka evaluasi. Kedua, pengendalian pemanfaatan
Dinas Tata Kota dan Permukiman melibatkan ruang dilakukan dalam bentuk perijinan
instansi lainnya seperti Satpol PP dalam sesuai dengan kewenangan yang ada pada
hal penindakan pembongkaran terhadap Pemerintah Kota. Ketiga, pengawasan dan
bangunan liar terutama di daerah konservasi pencegahan segala kegiatan pembangunan
atau daerah resapan. dan atau pemanfaatan yang tidak sesuai
Ketiga, kapasitas sumber daya manusia dengan Peraturan Daerah ini menjadi
pelaksana dari Rencana Detail Tata Ruang wewenang dan tanggung jawab Camat dan
Kota yang terhimpun dalam Dinas Tata Kota instansi yang berwenang setempat dan dalam
dan Permukiman, diakui oleh Murni Ediati waktu selambat-lambatnya 3 X 24 jam wajib
(Waawancara, 19/9/2011) masih dipandang melaporkan kepada Walikota atau Dinas
belum sepadan dengan kebutuhan yang Teknis yang ditunjuk.
seharusnya ada. Menurutnya, secara ideal Keenam, konsistensi Implementasi
memang seharusnya SDM telah dipersiapkan RDTRK. Parameter untuk mengukur
seiring dengan perencanaan dalam RDTRK. konsistensi dari implementasi RDTRK
Hal ini berimplikasi terhadap lemahnya Kecamatan Gunungpati ini menggunakan
pengawasan di lapangan. Dengan luas parameter faktor-faktor yang mempengaruhi
kawasan Kota Semarang yang ada sekarang, penegak hukum dari Soekanto (1983).
diakuinya jumlah SDM tidak mampu Teori ini digunakan atas asumsi bahwa
menjangkau keseluruhan kawasan, sehingga RDTRK merupakan produk hukum lokal
hal itu berpengaruh terhadap efektifitas yang digunakan sebagai instrument untuk
pengawasan di lapangan. Namun, untuk pengendalian lingkungan dan sekaligus
menjembatani hal itu, pihak DTKP telah rekayasa sosial masyarakat untuk menuju
berupaya dengan berkoordinasi dengan kehidupan yang lebih sejahtera. Dalam
pihak Kecamatan dan Kelurahan khususnya konteks ini, semua aspek dalam teori efektifitas
dalam pengawasan di lapangan seperti penegakan hukum, seperti faktor hukumnya,
dalam penerbitan izin pemanfaatan lahan sarana dan prasara, aparat penegak hukum
oleh masyarakat. dan masyarakat akan dijadikan sebagai
Keempat, sarana dan prasarana pendekatan dalam memahami konteks dari
pendukung dalam implementasi RDTRK analisis data dari penelitian ini.
Gunungpati, secara umum telah cukup
memadai. Salah satunya adalah panduan peta b. Konsistensi Implementasi RDTRK
rencana bagi petugas di lapangan. Setidaknya Selanjutnya akan dideskripsikan
terdapat 24 jenis peta yang digunakan dalam mengenai kesesuaian antara perencanaan
mendukung implementasi RDTRK di wilayah yang ada dalam RDTRK dengan kondisi
Kecamatan Gunungpati. faktual di lapangan. Hal ini dimaksudkan
Selain menggunakan peta, instrument untuk mengukur sejauhmana efektikfitas
implementasi juga menggunakan system dari pelaksanaan RDTRK tersebut, terutama
pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ketika tahun 2010 lalu merupakan akhir dari
ruang. Pengawasan dan Pengendalian mas berlakunya RDTRK yang dibuat pada
Pemanfaatan Ruang, guna menjamin tahun 2004, dan saat ini masih dalam tahap
tercapainya tujuan rencana sebagaimana penyaiapan untuk lima tahun kedepan. Pada
dimaksud Pasal 4 Peraturan Daerah Nomor tahun 2011 ini RTRW Kota Semarang telah
13 Tahun 2004 tentang Rencana Detail diundangkan dalam Peraturan Daerah Kota
Tata Ruang Kota Semarang, dilakukan oleh Semarang. Langkah berikutnya yang akan

61

Pandecta. Volume 7. Nomor 1. Januari 2012

dilakukan oleh Pemkot Semarang adalah yang diarahkan bagi wilayah pengembangan
menyiapkan RDTRK yang sesuai dengan kegiatan pertania, pendidikan, permukiman
amanat dari RTRW tersebut. pedesaan, industri agro, agrowisata, dan
Jumlah Penduduk BWK VIII konservasi. Sesuai kebijakan wilayah
diproyeksikan pada akhir tahun 2010 adalah tersebut, maka pengembangan wilayah
+ 65.927 jiwa dengan kepadatan penduduk Kecamatan Gunungpati memperhatikan
+ 12 jiwa/hektar. Pada table proyeksi dua kepentingan, yaitu kepentingan
jumlah penduduk yang dituangkan dalam pengembangan wilayah dan kepentingan
Perda No.13 tahun 2004 tentang RDTRK lingkungan bagi perlindungan kawasan
Kecamatan Gunungpati terlihat bahwa, pada setempat dan daerah bawahnya.
kelompok Blok 1 yang terdiri dari delapan Berdasarkan data yang ada terlihat
kelurahan, yakni di kawasan perkotaan yang pada proporsi penggunaan lahan untuk
terdiri dari Kelurahan Gunungpati, Plalangan, permukiman yang terbesar berada di kawasan
dan Sadeng, kepadatan penduduknya dalam Kelurahan Ngijo, Patemon dan Sekaran. Ketiga
5 tahun terakhir dari tahun 2005-2010 kelurahan tersebut berda di seputar kampus
direncanakan stabil, yakni 9 jiwa/km untuk UNNES. Keberadaan kampus tersebut
Gunungpati, 10 jiwa/km untuk Plalangan, dipersepsikan oleh stakeholders sebagai
dan sedikit kenaikan di Sadeng dari 12 jiwa/ salah satu faktor pendorong bagi tumbuhnya
km menjadi 13 jiwa/km. kehidupan sosial-ekonomi masyarakat yang
Proyeksi di atas relatif sesuai berpengaruh terhadap tingginya peningkatan
dengan kondisi eksisting pada tahun 2009 jumlah penduduk yang akan bermukim di
yangmenunjukkan bahwa rerata kepadatan kawasan tersebut. Hal ini secara kasat mata
penduduk pada ketiga kelurahan tersebut terlihat dengan banyaknya pengembang yang
menunjukkan angka yang hampir sama. membuka bisnis properti berupa penyediaan
Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan rumah tinggal di kawasan tersebut, terutama
penduduk pada ketiga wilayah tersebut di daerah Kalisegoro dan Ngijo. Demikian
mampu terkendali dengan baik, dan tidak juga penjualan tanah-tanah penduduk marak
banyak berpengaruh terhadap struktur ruang di publikasikan di sepanjang jalan di daerah
di kawasan itu. Kalisegoro dan ngijo.
Kondisi yang sedikit berbeda tampak Sementara itu, pemanfaatan ruang
pada kawasan perdesaan yang menunjukkan terbanyak kedua adalah untuk kepentingan
rerata kenaikan pada setiap kelurahan. perdagangan dan jasa terutama berda di
Misalnya, di Kelurahan Cepoko kepadatan daerah Kelurahan Sadeng. Dari semua itu
penduduknya pada tahun 2005 10 jiwa/ yang menarik dicermati adalah bahwa tidak
km naik menjadi 11 jiwa/km. Selanjutnya semua daerah di Kawasan Gunungpati
di Kelurahan Jatirejo dari 7 jiwa/km di yang menyediakan sebagian lahnnya untuk
tahun 2005 naik menjadi 8 jiwa/km pada kepentingan Ruang Terbuka Hijau (RTRH).
tahun 2010. Kemudian pada tahun 2005 di Hanya terdapat beberapa kelurahan saja
Kelurahan Kandri kepadatnnya 12 jiwa/km yang menyediakan RTRH, yaitu: Cepoko,
naik menjadi 13 jiwa/km pada tahun 2010. Di Jatirejo, Kandri, Nongkosawit dan Pongangan
Kelurahan Nongkosawit kenaikan agak tinggi dengan total lahan 696,205 Ha. Tidak ada
dengan 18 jiwa/km naik menjadi 20 jiwa/ alasan yang secara eksplisit mengapa daerah-
km. Sedangkan di Kelurahan Pongangan dari daerah lainnya tidak menggunakan kebijakan
13 jiwa/km naik menjadi 14 jiwa/km padan penggunaan RTH tersebut. Padalah sejatinya
rentang waktu 2005-2010. Kondisi ini secara RTH merupakan sebuah keniscayaan bagi
makro juga menunjukkan kenaikan yang terjaganya keseimbangan lingkungan.
normal, yakni dari 11 jiwa/km naik menjadi Dalam konteks implementasinya
12 jiwa. RDTRK ini khususnya untuk penggunaan
Rencana pemanfaatan lahan di Kawasan lahan, khususnya sawah yang notabene
Gunungpati dalam konstelasi regional untuk pertanian terus mengalami penyusutan
merupakan salah satu wilayah pinggiran yang cukup signifikan, khsususnya dari tahun

62
Pandecta. Volume 7. Nomor 1. Januari 2012

2008 sampai dengan tahun 2009. Pada industri, dan sebagainya cenderung
tahun 2008 luas sawah sebanyak 1.590,30 berlangsung cepat di wilayah bertopografi
Ha. Luas ini menyusut drastis pada tahun datar, dimana pada wilayah dengan topografi
2009 menjadi 1.366,00 Ha. Kondisi tersebut seperti itu (terutama di Pulau Jawa) ekosistem
jika dibandingkan dengan jumlah luasan pertaniannya dominan areal persawahan.
tanah ketring juga mengalami perubahan Dalam skala mikro diperlukan
yang signifikan. Misalnya pada tahun 2008, sejumlah langkah untuk mengoreksi
luas tanah ketring di Kecamatan Gunungpati keterpurukan sektor pertanian selama ini,
sebanyak 2.460,66 Ha, lalu mengalami yang telah menciptakan kondisi-kondisi
kenaikan yang sangat drastis menjadi kurang menguntungkan bagi sektor ini untuk
4.013,09. Kondisi tersebut menunjukkan, mampu berkembang dan kompetitif di masa
bahwa telah terjadi perubahan lahan mendatang. Kondisi-kondisi tersebut antara
sawah yang kemungkinan dikeringkan lain adalah:
untuk kepentingan alih fungsi lahan, baik Pertama, sektor pertanian saat ini
untuk permukiman, perdagangan dan lain masih didominasi oleh usaha-usaha yang
sebagainya. berskala subsisten, kurang diminati oleh
Kondisi ini relevan dengan temuan generasi muda, luas lahan yang sempit dan
penelitian mengenai perubahan penggunaan dengan tingkat adopsi teknologi yang rendah,
lahan oleh Hariyanto (2002) yang sehingga kurang mampu berproduksi secara
menunjukkan laju perubahan penggunaan ekonomis. Selain itu, secara sosiologis,
lahan cukup mencemaskan terutama untuk petani Indonesia lebih bersifat subsisten,
luas lahan pertanian yang berkurang dengan kurang mengenal potensi dirinya sendiri
pesat. Sebaliknya luas lahan untuk permukian untuk bergerak lebih maju ke arah pertanian
bertambah dengan pesat. Konversi lahan komersial (Ikhsan dan Mohammad, 1996).
sangat sulit dihindari karena faktor-faktor Sehingga setiap ada peluang bisnis, yang
ekonomi yang tercermin dari rendahnya land sigap menangkap bukan petani, melainkan
rent lahan untuk pertanian dibandingkan pedagang. Nilai tambah terbesar jatuh ke
dengan kegiatan sektor lain. tangan pedagang, sedangkan petani tetap
Rasio land rent lahan pertanian adalah bertahan dalam level subsisten.
1:500 untuk kawasan industri dan1:622 Kedua, keterpurukan sektor pertanian
untuk kawasan perumahan. Dalam proses tersebut ditandai pula dengan terjadinya
jual beli lahan pertanian, petani dalam posisi percepatan perubahan fungsi tanah dari
tawar yang lemah. Artinya desakan dari sektor penggunaan untuk usaha pertanian menjadi
non pertanian sangat kuat karena didukung sektor ekonomi modern, seperti industri,
penguasa dan modal besar. perumahan dan jasa. Alih fungsi penggunaan
Petani yang tidak mempunyai lahan, tanah pertanian ke nonpertanian justru paling
statusnya menurun menjadi buruh tani. Hal banyak terjadi di pulau Jawa yang sementara
tersebut disebabkan oleh: (1) kepadatan ini menyumbang kebutuhan beras nasional
penduduk di pedesaan yang mempunyai yang terbesar.
agroekosistem dominan sawah pada Ketiga, dampak penyusutan luas
umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan tanah pertanian terutama di Pulau Jawa
agroekosistem lahan kering, sehingga tekanan tidaklah terbatas kepada persoalan
penduduk atas lahan juga lebih tinggi; (2) ancaman kelangsungan penyediaan pangan,
daerah pesawahan banyak yang lokasinya produktivitas pertanian, lingkungan hidup
berdekatan dengan daerah perkotaan; dan perekonomian nasional. Penyusutan
(3) akibat pola pembangunan di masa luas tanah pertanian ini memiliki dampak
sebelumnya, infrastruktur wilayah pesawahan lain yang lebih serius bagi masyarakat petani
pada umumnya lebih baik dari pada berupa kehilangan penguasaan terhadap
wilayah lahan kering; dan (4) pembangunan sumber daya kapital utama bagi kelangsungan
prasarana dan sarana pemukiman, kawasan kehidupan mereka, yakni tanah.

63

Pandecta. Volume 7. Nomor 1. Januari 2012

c. Pengaruh Terhadap Lahan Pertanian pada dasarnya akan ditentukan oleh dua
Dari uraian di atas dapat disimpulkan kelompok faktor, yakni yang berhubungan
bahwa penyusutan lahan pertanian adalah dengan mekanisme alamiah kompetisi
sebab dan sekaligus akibat dari keterpurukan penggunaan tanah atau mekanisme pasar
sektor pertanian. Keterpurukan sektor ini dan yang berhubungan dengan kelembagaan
terjadi karena proses transformasi struktur yang diintroduksi oleh pemerintah maupun
perekonomian yang timpang sebagai akibat yang berkembang dalam masyarakat.
kebijaksanaan pembangunan yang bias kota, Dalam konteks kelembagaan, maka aspek
sehingga meskipun mampu mengangkat hukum pertanahan menjadi bagian yang
pertumbuhan agregate namun secara sangat strategis untuk dikaji sehingga dapat
simultan menempatkan sektor pertanian diformulasikan kebijakan-kebijakan di bidang
menjadi usaha-usaha berskala subsisten, pertanahan yang mampu menciptakan
kurang prestigous, ‘ndeso’. struktur penggunaan dan penguasaan
Berbagai penelitian menunjukkan tanah yang secara sosial dan ekonomi lebih
bahwa sebagian besar petani menginginkan dikehendaki.
anaknya tidak bekerja di sektor pertanian, Dalam konteks itu, pemerintah telah
karena pertanian memang sudah tidak dapat mengeluarkan sejumlah regulasi untuk
diandalkan lagi. Mereka lebih senang anaknya menjaga terjadinya konversi lahan pertanian
bekerja apa saja, asal tidak di sektor pertanian. produktif kepada penggunaan lainnya.
Terjadi kelangkaan yang mendorong tingkat Berkenaan dengan arah kebijakan nasional
permintaan tenaga kerja pertanian sehingga tersebut, maka dalam konteks pengamanan
menyebabkan harga tenaga kerja pertanian tanah-tanah pertanian terutama sawah
menjadi semakin mahal. Kesulitan mencari irigasi teknis, pemerintah telah menerbitkan
tenaga kerja pertanian ini, terutama petani sejumlah kebijakan/peraturan perundangan.
usia produktif mulai terjadi di beberapa Peraturan-peraturan yang berkenaan dengan
daerah. pengendalian konversi tanah pertanian ke
Akibatnya, pertama ketiadaan insentif nonpertanian tersebut antara lain adalah:
untuk bertani dan kuatnya tekanan pasar (1). Surat Edaran Menteri Dalam Negeri
menyebabkan tanah pertanian yang ada terus Nomor 590/11108/SJ tanggal 24 Oktober
menyusut secara cepat dengan ketimpangan 1984 yang menyatakan bahwa penyediaan
struktur penguasaan yang kian memburuk. tanah untuk kegiatan pembangunan sedapat
Kedua, karena penduduk dan aktivitasnya mungkin mencegah terjadinya perubahan
akan terus meningkatkan kebutuhan tanah pertanian ke nonpertanian, sehingga
terhadap tanah selalu lebih tinggi daripada tidak mengganggu usaha peningkatan
penyediaannya yang relatif tetap, implikasinya produksi pangan yang telah ada selama
adalah apabila alokasi tanah diserahkan ini; (2). Keputusan Presiden Nomor 53
kepada mekanisme pasar, maka senantiasa Tahun 1989 tentang Kawasan Industri, di
terdapat tekanan perubahan penggunaan mana antara lain ditegaskan bahwa untuk
tanah dari yang intensitasnya lebih rendah ke kawasan industri tidak menggunakan tanah
aktivitas lain yang lebih produktif (Bracken, sawah dan tanah pertanian subur lainnya.
1981), sehingga kehilangan tanah-tanah Dalam pelaksanaannya, larangan ini telah
pertanian menjadi semakin sulit dikendalikan. diberlakukan untuk semua penggunaan
Padahal, ketersediaan tanah pertanian akan tanah nonpertanian lainnya seperti untuk
senantiasa menjadi faktor penting untuk perumahan, jasa, dan lain sebagainya; (3).
menjamin kelangsungan penyediaan pangan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1990
dan tempat bagi kegiatan ekonomi bagi tentang penggunaan tanah kawasan industri
mayoritas masyarakat Indonesia. yang antara lain berisi bahwa pemberian
Selanjutnya dapat pula dikatakan ijin lokasi dan ijin pembebasan tanah untuk
bahwa, perubahan penggunaan tanah baik perusahaan kawasan industri tidak boleh
yang direncanakan maupun tidak diinginkan mengurangi areal tanah pertanian dan harus
dari sudut pandang kebijakan tanah nasional sesuai dengan rencana tata ruang wilayah

64
Pandecta. Volume 7. Nomor 1. Januari 2012

yang ditetapkan oleh pemerintah daerah utama dalam pengendalian pemanfaatan


setempat; (4). Keputusan Presiden Nomor ruang untuk mencegah terjadinya konversi
55 Tahun 1993 tentang penyediaan tanah lahan sawah beririgasi teknis adalah
untuk pembangunan bagi kepentingan RTRW yang kemudian dilanjutkan dengan
umum; (5). Peraturan Menteri Negara mekanisme pemberian ijin lokasi. Oleh
Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1993 karena itu, sangat perlu untuk mengkaji sejauh
tentang tata cara memperoleh ijin lokasi mana RTRW mampu menjamin kepentingan
dan hak atas tanah bagi perusahaan dalam untuk mempertahankan keberadaan lahan
rangka Penanaman Modal, dengan petunjuk sawah beririgasi dan menetapkan secara
pelaksanaannya untuk Ijin Lokasi dengan tegas kawasan pertanian, tanah persawahan
Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala yang akan tetap dipertahankan.
BPN Nomor 22 Tahun 1993; (6). Surat Efektifitas dari sebuah peraturan
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan perundang-undangan, menurut teori dari
Nasional/Ketua BAPPENAS kepada Menteri Soerjono Soekanto dapat dilihat dari empat
Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 5334/ faktor, yakni: faktor hukumnya sendiri, faktor
MK/9/1994 tanggal 29 September 1994 sarana dan prasarana pendukung, faktor SDM
tentang perubahan penggunaan sawah dan faktor masyarakatnya. Dalam konteks
irigasi teknis untuk penggunaan tanah itu, maka untuk melihat faktor pendukung
nonpertanian; (7). Surat Menteri Negara maupun penghambat dari pelaksanaan
Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua RDTRK Kecamatan Gunungpati, dapat
BAPPENAS selaku Ketua BKTRN kepada digunakan pendekatan teori faktor-faktor
Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor yang mempengaruhi penegakan hukum oleh
5334/MK/9/1994 tanggal 29 September Soerjono Soekanto tersebut-yang diuraikan
1994 tentang efisiensi pemanfaatan tanah secara makro sebagai berikut.
bagi pembangunan perumahan yang secara Berdasarkan telaah isi dan sistem hukum
umum menggariskan bahwa pembangunan yang dibangun oleh Pemerintah Daerah
kawasan perumahan tidak dilakukan di Kota Semarang, faktor hukum nampaknya
tanah sawah beririgasi teknis; (8). Surat cukup mendukung dalam implementasi
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/ dari Rencana Detail Tata Ruang (RDTRK)
Ketua BAPPENAS Nomor 5417/MK/10/1994 Kota Semarang secara umum dan khususnya
tanggal 4 Oktober 1994; dan Surat Menteri wilayah Gunungpati. Hal ini didasarkan pada
Dalam Negeri Nomor 474/4263/SJ tanggal dua hal. Pertama, secara subtansi peraturan
27 Desember 1994 yang menyatakan bahwa hukum terkait dengan RDTRK yakni
perubahan penggunaan tanah pertanian ke Perda No.13 Tahun 2004 tentang RDTRK
nonpertanian tidak mengorbankan tanah Kecamatan Gunungpati, memuat norma
pertanian subur dan berpengairan teknis; hukum yang jelas dan lengkap mengatur
(9). Surat Menteri Negara Agraria/Kepala keseluruhan obyek.
BPN Nomor 460-3346 tanggal 31 Oktober Hal lain yang mendukung kekuan
1994 kepada seluruh Kantor Wilayah BPN operasional RDTRK ini adalah bahwa sifat
Propinsi dan Kantor Pertanahan se-Indonesia. regulasi yang dibuat adalah imperative. Hal ini
Diinstruksikan untuk tetap mempertahankan ditandai dengan adanya sanksi tindak pidana
tanah sawah beririgasi teknis, apabila ringan dan/atau pidana lainnya. Dalam Pasal
rencana perubahan penggunaan tanah 52 hal itu ditegaskan dengan jelas sebagai
sawah tersebut telah tertuang dalam RTRW berikut: (1). Pelanggaran terhadap ketentuan
maka diinstruksikan agar membantu pemda dalam Peraturan Daerah ini diancam dengan
setempat untuk merubah peruntukan pidana kurungan selama-lamanya 3 (enam)
tersebut. bulan dan/atau denda sebesar-besarnya
Apabila dikaji lebih lanjut, maka Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah); (2).
kebijakan-kebijakan pengendalian konversi Tindak pidana sebagaimana dimaksud Ayat
tanah sawah beririgasi teknis mempunyai (1) adalah pelanggaran; (3). Selain tindak
implikasi penting, yakni bahwa instrumen pidana sebagaimana dimaksud Ayat (1)

65

Pandecta. Volume 7. Nomor 1. Januari 2012

dapat diancam Pidana lain sesuai peraturan masyarakat masih rendah. Ini bisa terlihat
perundang-undangan yang berlaku. pada bagaimana teknis mereka mengajukan
Keterkaitan antara RDTRK dengan proses perijinan pemanfaatan/perubahan
Peraturan lainnya menunjukkan sinergisitas penggunaan tanah yang cenderung pasif,
yang jelas. Misalnya, dalam konteks menunggu, serta memilih jalan praktis
penertiban bangunan, telah dikeluarkan dengan menyerahkan pada oknum atau
Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2009 orang tertentu.
tentang Bangunan Gedung. Perda ini Rendahnya kesadaran dan partisipasi
memberikan landasan yang kuat untuk masyarakat terkait dengan minimnya
perencanaan bangunan baik dari segi pengetahuan dan kemauan masyarakat untuk
konstruksi maupun lingkungan. mengubah pola fikir dalam pemanfaatan
Sarana dan prasarana utama yang lahan. Karena tanah merupakan aset, maka
menunjang pelaksanaan RDTRK Kecamatan banyak masyarakat memanfaatkannya hanya
Gunnungpati tersebut adalah adanya peta berfikir nilai ekonominya, mengabaikan
yang memadai. Dilihat dari perspektif nilai ekologinya. Akibatnya pemanfaatan
jumlah terdapat 24 peta pendukung dari melampaui ambang batasnya.
pelaksanaan RDTRK Gunungpati ini. Hal ini
menunjukkan bahwa dari sisi teknis dengan 4. Simpulan
adanya peta panduan yang lengkap tersebut,
pelaksanaan RDTRK dapat terealisasi dengan Dari hasil penelitian, maka dapat
baik dan efektif. Sebab, penindakan terhadap ditarik kesimpulan bahwa instrument
pelanggaran dapat terkendali melalui peta- hukum yang digunakan dalam pelaksanaan
peta tersebut. RDTRK di wilayah Gunungpati sudah cukup
Selain dari aspek jumlah yang komprehensif dan berjenjang, mulai dari
memadai, di dalam peta-peta tersebut RTRN, RTRW, RDTRK Gunungaptai sendiri,
atribut yang terpasang melalui simbolisasi Peraturan Walikota. Karakteristik dari masing-
tertentu dan juga warna pembeda antara satu masing regulasi tersebut telah memenuhi
kawasan peruntukan dengan lainnya dapat kaidah fakultatif dan imperatif sesuai dengan
dilihat dengan jelas, sehingga memudahkan obyek yang diaturnya. Konsistensi dari
aparat dan masyarakat memahami dengan tuntutan hierarkis juga sudah terpenuhi,
jelas mengenai daerah-daerah yang boleh dimana antara aturan yang satu dengan
dimanfaatkan dan yang harus tetap dijaga lainnya tidak overlaping, dan sebaliknya
kelestariannya, baik untuk konservasi saling memperkuat. Subtansi dari aturan
maupun untuk pertanian. hukum dan kebijakan mengenai tata ruang
Faktor sumber daya manusia, secara di wilayah Gunungpati ini, telah memberikan
umum masih terlihat belum memadai baik arahan penggunaan ruang secara detail dan
dari segi kuantitas maupun kualitas. Dilihat komprehensif, sehingga mudah dipahami
dari perspektif struktur organisasi memang oleh masyarakat luas.
sudah memadai. Namun, seperti yang Deviasi antara rencana dengan
diungkapkan Murni EDiati staff perencana implementasi tata ruang di wilayah
DTK kuantitas dan kualitas SDM yang ada Gunungpati, selama ini banyak didominasi
belum sepadan dengan kebutuhan yang oleh sektor permukiman. Faktor pendukung
seharusnya disediakan. yang memengaruhi efektifitas pelaksanaan
Diketahui bahwa mayoritas kepemilikan RDTRK di wilayah Gunungpati meliputi
lahan di Kecamatan Gunungpati umumnya ketersediaan instrument hukum yang
dipegang oleh masyarakat. Sehingga memadai dan sarana prasarana yang
partisipasi dan kesadaran masyarakat mendukung. Faktor penghambat yang
menjadi hal yang sangat penting dalam mempengaruhinya, seperti: keterbatasan
mewujudkan perencanaan pemanfaatan SDM dan budaya masyarakat yang masih
ruang di Kecamatan Gunungpati. Namun kurang peduli terhadap lingkungan.
diketahui ternyata kesadaran dan partisipasi Bertambahnya jumlah permukiman dengan

66
Pandecta. Volume 7. Nomor 1. Januari 2012

mengkonversi lahan-lahan produktif untuk Syahyuti. 2006. Kebijakan Lahan Abadi Untuk
pertanian di Gunungpati, akan berdampak Pertanian Sulit Diwujudkan. Analisis Kebijakan
Pertanian. 4 (2): 96-108
serius terhadap kelestarian pertanian di Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang
wilayah ini yang notabenenya sebagai sentra Perumahan dan Permukiman;
buah-buahan di Kota Semarang. Termasuk Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang
juga dalam konteks ini, akan berdampak Penataan Ruang;
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976 tentang
pada terjadinya degradasi lingkungan secara Sinkronisasi Pelaksanaan Tugas Bidang
massif akibat banyaknya penebangan kayu Keagrariaan dengan Bidang Kehutanan,
yang tidak terkendali. Pertambangan, Transmigrasi dan Pekerjaan
Umum
Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang
Daftar Pustaka Kawasan Industri;
Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1990 tentang
Abdurachman, Wahyunto, dan Shofiyati, R. 2005. Penggunaan Tanah Bagi Pembangunan Kawasan
Kriteria Biofisik Dalam Penetapan Lahan Sawah Industri
Abadi Di pulau Jawa. Jurnal Litbang Pertanian. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor
24(4). 1 Tahun 1994 tentang Pengadaan Tanah bagi
Bracken, I. 1981. Urban Planning Methods. Research Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
and Policy Analysis. Methuen. London. Umum
Fajriyanto. 2009. Alih Fungsi Lahan. Kedaulatan Rakyat, Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 Rencana
Kamis 12 Januari 2009. Tata Ruang Wilayah Nasional; Peraturan
Ikhsan dan Mohammad. 1996. Kemiskinan dan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2
Deregulasi. SWA, Oktober 1996. Tahun 1999 tentang Izin Lokasi
Investor Daily Indonesia. 2008. Bappenas Usulkan Pajak Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun
Progresif Untuk Konversi Lahan, 10 Nopember 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai
2008 Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk
Irianto, G. 2004. Alih Fungsi lahan: Dampaknya Keperluan Perusahaan
Terhadap Produksi Air DAS dan Banjir. Tabloit Peraturan Kepala BPN Nomor 18 Tahun 1989 Kawasan
Sinar Tani, 28 April 2008 Penyediaan dan Pemberian Hak Atas Tanah
Moleong, L.J. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. untuk Perusahaan Kawasan Industri
Rosdakarya, Bandung

67

Anda mungkin juga menyukai