Anda di halaman 1dari 4

PENYELESAIAN SENGKETA KEHUTANAN LEWAT JALUR PENGADILAN

Di Susun Oleh :

Kelompok 9

Intan Nur Baiti (8111416235)

Nida Nur Hidayah (8111416245)

Meilinda Tri Handayani (8111416258)

Dinar Kusuma Wardani (8111416260)

Fikri Nur Rohmah (8111416

HUKUM KEHUTANAN

ROMBEL 02

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2019
Perkembangan yang terjadi dalam kehidupan manusia selalu berhadapan dengan
konflik yang mewarnai kehidupan, berawal dari permasalahan yang mengiringi setiap
aktivitas dalam kehidupan manusia. Bervariasinya permasalahan yang menimbulkan konflik
tentunya tidak selalu dapat diselesaikan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dengan hasil
dari pemecahan masalah yang dapat diterima bagi para pihak yang berselisih bahkan tidak
jarang berujung pada munculnya sengketa. Sengketa hutan muncul karena adanya berbagai
permasalahan sehingga diperlukan adanya suatu regulasi yang dapat mengakomodir
penyelesaian sengketa tersebut. Hutan sendiri tidak lepas dari unsur adanya manusia seperti
keberadaan masyarakat lokal atau masyarakat adat yang telah bermukim bergenerasi di
wilayah tersebut, -bahkan sebelum adanya aturan negara, maka konteks kawasan hutan harus
ditempatkan dalam pola pikir tata ruang dan interaksi antar unsur.

Hutan merupakan bagian dari lingkungan hidup, regulasi perundang-undangan-nya pun


ada keterkaitan antara undang-undang pengelolaan lingkungan hidup dengan undang-undang
kehutanan, menurut Andi Hamzah “Undang-Undang Kehutanan merupakan undang-undang
sektoral yang dinaungi oleh Undang-Undang Lingkungan Hidup karena pada bagian
“mengingat” dalam konsideransnya tertulis Undang-Undang Lingkungan Hidup”.1

Penyelesaian sengketa kehutanan menurut ketentuan undang-undang kehutanan


mengadopsi sebagian ketentuan penyelesaian sengketa sebagaimana yang tertuang dalam
undang-undang pengelolaan lingkungan hidup, hal ini dapat dilihat dan bandingkan antara
ketentuan Pasal 30 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 dengan ketentuan Pasal 74, 75 dan
76 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999.
Pasal 74

1. Penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar


pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.

2. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan, maka
gugatan melalui pengadilan dapat dilakukan setelah tidak tercapai kesepakatan antara para
pihak yang bersengketa.

Pasal 75

1. Penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

1
Andi Hamzah,, Penegakan Hukum Lingkungan (Jakarta : Sinar Grafika, 2005)
2. Penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan dimaksudkan untuk mencapai
kesepakatan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti-rugi, dan atau mengenai
bentuk tindakan tertentu yang harus dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan.

3. Dalam penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada


ayat (2) dapat digunakan jasa pihak ketiga yang ditunjuk bersama oleh para pihak dan atau
pendampingan organisasi nonpemerintah untuk membantu penyelesaian sengketa kehutanan.

Pasal 76

1. Penyelesaian sengketa kehutanan melalui pengadilan dimaksudkan untuk memperoleh


putusan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti rugi, dan atau tindakan tertentu
yang harus dilakukan oleh pihak yang kalah dalam sengketa.

2. Selain putusan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas keterlambatan pelaksanaan
tindakan tertentu tersebut setiap hari.

Dalam Undang-Undang tersebut dapat dicermati bahwa penyelesaian sengketa


kehutanan pada dasarnya dapat ditempuh melalui 2 (dua) cara yaitu: pengadilan ataupun
diluar pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan maksudnya yaitu penyelesaian
sengketa dimana pengadilan berwenang penuh dalam memeriksa, memutus, dan mengadili
perkara tersebut. Dalam penyelesaian sengketa melalui pengadilan sifat dari
putusan pengadilan yaitu mutlak mengikat kedua belah pihak yang bersengketa. Disini,
penyelesaian sengketa kehutanan lewat pengadilan dimaksudkan dimaksudkan untuk
memperoleh putusan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti rugi, dan atau
tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh pihak yang kalah dalam sengketa.

Pada kasus sengketa kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan


(KLHK) memenangkan gugatan atas kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Tiga
perusahaan perkebunan yang terjerat kasus ini pun harus membayar ganti rugi dan melakukan
pemulihan lingkungan sebesar Rp1,3 triliun. Mahkamah Agung memutuskan PT Jatim Jaya
Perkasa (PT JJP) bersalah setelah melalui proses kasasi, 28 Juni 2018. Perusahaan tersebut
diwajibkan membayar ganti rugi serta biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp491 miliar. PT
JJP merupakan perusahaan perkebunan sawit yang dituntut karena membakar dan merusak
1.000 hektare lahan hutan di Kecamatan Kubu Babusalam, Kabupaten Rokan Hilir, Riau.
Berikutnya, pada 10 Agustus 2018, MA juga menolak kasasi PT Waringin Agro Jaya
(PT WAJ) dan mengabulkan gugatan KLHK senilai Rp639,94 miliar. PT WAJ dituntut
KLHK karena menyebabkan kebakaran pada lahan hutan seluas 1.802 ha di Kabupaten Ogan
Komering Ilir dan Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Berselang lima hari
kemudian, Majelis Hakim Tinggi Banjarmasin, Kalimantan Selatan, juga memutuskan PT
Palmina Utama bersalah, serta wajib membayar ganti rugi dan biaya pemulihan Rp183,7
miliar. Ketiga perusahaan tersebut dinyatakan terbukti lalai, dijerat hukum dan harus
mempertanggungjawabkan dampak Karhutla yang merugikan masyarakat.2

Dapat disimpulkan bahwa Penyelesaian sengketa hutan pada kasus tersebut diatas
menggunakan jalur Pengadilan dimana setiap perusahaan yang telah melakukan pembakaran
hutan diwajibkan untuk mengganti kerugian sebesar apa yang telah diputuskan oleh
pengadilan. Eksekusi putusan tersebut penting untuk menimbulkan efek jera dan
menghormati putusan pengadilan. Sepanjang tahun 2015-2017, total putusan pengadilan yang
dinyatakan inkracht untuk mengganti kerugian dan pemulihan (perdata) mencapai Rp17,82
Triliun.  Sedangkan untuk nilai pengganti kerugian lingkungan di luar pengadilan (PNBP)
mencapai Rp36,59 miliar. Angka tersebut menurutnya, menjadi yang terbesar dalam sejarah
penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia yang termasuk didalamnya adalah kawasan
hutan.

2
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180908173838-12-328802/klhk-menang-gugatan-karhutla-3-
perusahaan-didenda-rp13-t

Anda mungkin juga menyukai