Anda di halaman 1dari 22

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/335291771

PSIKOEDUKASI AUTISME (AUTISM SPECTRUM DISORDER)

Preprint · August 2019

CITATIONS READS

0 188

2 authors:

Mas ian Rifati Virgin Suciyanti Maghfiroh


Airlangga University Airlangga University
31 PUBLICATIONS   1 CITATION    13 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

PSIKOLOGI KEPRIBADIAN View project

METODOLOGI PENELITIAN View project

All content following this page was uploaded by Mas ian Rifati on 21 August 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PSIKOEDUKASI AUTISME (AUTISM SPECTRUM DISORDER)

Oleh:
Virgin Suciyanti Maghfiroh (111814253016)
Mas Ian Rif’ati (111814253021)

PROGRAM STUDI MAGISTER PSIKOLOGI


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019

1
A. Latar Belakang

Manusia dilahirkan dalam keadaan yang berbeda serta membawa keunikan


tersendiri dari masing-masing individu. Beberapa diantara manusia yang ada
dilahirkan dengan satu atau lebih kondisi khusus. Salah satu kekhususan yang
ada tersebut adalah autisme atau biasa dikenal Autism Spectrum Disorder (ASD).
Secara ringkas, autisme didefinisikan sebagai gangguan perkembangan dengan
tiga trias gangguan perkembangan yaitu gangguan pada interaksi sosial,
gangguan pada komunikasi dan keterbatasan minat serta kemampuan imajinasi
(Baron-Cohen, 2005).
Sampai saat ini, belum ada data pasti mengenai jumlah penyandang
autisme di Indonesia. Berdasarkan catatan praktek dokter diketahui, dokter
menangani 3-5 pasien autisme per tahun tahun 1980. Data yang akurat dari
autisme ini masih sulit untuk didapatkan, hal ini disebabkan karena orang tua
anak yang dicurigai mengidap autisme seringkali tidak menyadari gejala-gejala
autisme pada anak. Akibatnya, mereka tidak terdeteksi dan begitu juga keluarga
yang curiga anaknya ada kelainan mencari pengobatan ke bagian THT karena
menduga anaknya mengalami gangguan pendengaran atau ke poli tumbuh
kembang anak karena mengira anaknya mengalami masalah dengan
perkembangan fisik (buku penanganan dan pendidikan autis, YPAC).
Sutadi (2003) dikutip dalam buku penanganan dan pendidikan autis di
YPAC mengatakan bahwa sebelum tahun 1990 prevalensi ASD (Autism
Spectrum Disorder) pada anak berkisar 2 - 5 penderita dari 10.000 anak – anak
usia dibawah 12 tahun, dan setelah itu jumlahnya meningkat menjadi empat kali
lipat. Sementara itu, menurut Kelana dan Elmy (2007) menyatakan bahwa
prevalensi ASD (Autism Spectrum Disorder) di Indonesia berkisar 400.000 anak,
dikatakan juga bahwa anak laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan
perbandingan 4 : 1 (Handojo, 2003). Sebagai akibatnya jumlah anak dengan
kebutuhan khusus yang memasuki usia sekolah terus meningkat.
Gejala autisme biasanya terjadi pada usia di bawah 3 tahun di mana anak
laki terkena empat kali lebih banyak dari anak perempuan (Taylor, 2000).
Namun, ada juga gejala sejak usia bayi dengan keterlambatan interaksi sosial dan

2
bahasa (progresi) atau pernah mencapai normal akan tetapi sebelum usia 3 tahun
perkembangannya mengalami kemunduran bahkan berhenti, serta muncul ciri-
ciri autisme. Masalahnya saat ini, sekolah inklusi untuk gangguan perilaku
seperti halnya autisme masih sulit ditemukan. Masih banyak guru dan orang tua
yang belum mengenali gejala autisme pada anak. Hal lain yang memperberat
penanganan autisme ini adalah pandangan negatif masyarakat terhadap
penyandang autisme masih kuat. Anak autisme sering dianggap sebagai anak
dengan gangguan jiwa, nakal, idiot, dan lain sebagainya. Bahkan, banyak
orangtua yang malu dan menyembunyikan kondisi anaknya. Ketidaksiapan
orangtua menerima kondisi anak apa adanya itu terjadi pada semua kelompok
masyarakat, termasuk mereka yang berpendidikan dan berpenghasilan tinggi. Hal
ini yang akan memperberat penanganan penyandang autisme mencapai
kemandiriannya.
Oleh karena itu, project berupa video ini kami buat dengan harapan dapat
memberikan psikoedukasi yang mudah diterima oleh masyarakat khususnya yang
memiliki anak ataupun keluarga mengalami autisme. Kami menyajikan sebuah
tayangan dengan sebisa mungkin menggunakan bahasa yang dapat dipahami
dengan mudah, baik oleh kalangan yang berpendidikan tinggi ataupun rendah.

B. Kajian Teori
a. Pengertian

Kata “autisme” berasal dari bahasa Yunani “Autos” yang berarti “sendiri”,
autisme pertamakali dipaparkan oleh Dr. Leo Kanner pada tahun 1943, ia
menggambarkan sebagai gangguan penyempitan daya terima sensor seseorang,
termasuk dalam berhubungan dengan orang lain (Rinarki, 2018).
Autisme adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu jenis
dari masalah neurologis yang mempengaruhi pikiran, persepsi dan perhatian.
Kelainan ini dapat menghambat, memperlambat atau menggangu sinyal dari mata,
telinga dan organ sensori yang lainnya. Hal ini umumnya memperlemah
kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain, mungkin pada
aktivitas sosial atau penggunaan keterampilan komunikasi seperti bicara,
kemampuan imajimasi dan menarik kesimpulan (Handoyo, 2004).

3
Menurut Safari (2005) autisme adalah ketidakmampuan untuk berinteraksi
dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditujukan dengan penguasaan bahasa
yang tertunda, ecolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain
yang repetitif dan stereotipik, rute ingatan yang kuat, dan keinginan obsesif untuk
mempertahankan keteraturan didalam lingkungan.
Autisme merupakan suatu kumpulan sindrom yang menggangu syaraf dan
perkembangan anak. Anak autis bukanlah anak ajaib seperti kepercayaan orang
tua dahulu, tetapi mereka juga bukan pembawa aib atau bencana bagi keluarga
(Prasetyono, 2008). Autisme adalah sebuah ketidakmampuan perkembangan yang
bisa mempengaruhi seseorang berkomunikasi dan bersosialisasi serta berinteraksi
dengan orang lain.
Anak autis merupakan anak dengan hendaya perkembangan atau
developmental disorder. Kelianannya sangat mempengaruhi diri anak dalam
berbagai aspek lingkungan kehidupan dan pengalaman-pengalamannya (Delphie,
2009).
Menurut Sujarwanto (2005) autisme merupakan gangguan proses
perkembangan yang terjadi dalam tiga tahun prtama yang menyebabkan gangguan
pada bahasa, kognitif, sosial dan fungsi adaptif, sehingga anak-anak tersebut
semakin lama tertinggal perkembangannya dibandingkan teman-teman seusia
mereka.
Anak autis mengalami gangguan perkembangan fungsi otak yang mencakup
bidang sosial dan afektif, komunikasi verbal dan nonverbal, imajinasi,
fleksibelitas, minat, kognisi dan atensi. Ini suatu kelainan dengan ciri
perkembangan yang terlambat atau yang abnormal dari hubungan sosial dan
bahasa (Pamuji, 2007).

b. Klasifikasi Autisme
Gangguan autisme memiliki beberapa klasifikasi didalamnya, berdasarkan
penjelasan Kinarki (2018) klasifikasi gangguan autisme diantaranya sebagai
berikut.
1. Klasifikasi autisme berdasarkan saat menculnya kelainan. Terdapat dua jenis
autisme yaitu (1) autisme infantil berasaldari kata “infant” yang berarti bayi

4
sehingga istilah ini digunakan dalam penyebutan anak autis yang memiliki
kelainan sejak lahir. Sedangkan (2) autisme fiksasi merupakan anak autis pada
saat kelahiran dalam keadaan normal, tanda-tanda dan gejala autis muncul
setelah beberapa waktu, biasanya berusia dua hingga tiga tahun.
2. Klasifikasi autisme berdasarkan interaksi sosial. Terdapat tiga kelompok anak
autis yaitu, (1) kelompok menyendiri, terlihat anak mengucilkan diri, tidak
menerima pendekatan sosial hingga menimbulkan perilaku dan perhatian yang
kurang friendly. (2) kelompok pasif, anak dapat menerima pendekatan sosial
dan mampu bergaul dengan teman sebaya namun tidak begitu interaktif. Dan
(3) kelompok aktif, anak akan mendekati anak lain secara spontan, tetapi
menimbulkan perilaku aneh dan perilaku sepihak untuk dirinya sendiri.
3. Klasifikasi autisme berdasarkan prediksi kemandirian. Terdapat tiga jenis
autisme yaitu, (1) prognosis buruk, tidak dapat mandiri (jumlah 2/3
penyandang autisme. (2) prognosis sedang, terdapat kemajuan dalam bidang
sosial dan pendidikan meski persoalan perilaku tetap ada (1/4 penyandang
autisme). dan (3) Progonsis baik, memiliki kehidupan sosial normal atau
bahkan mendekati normal yang berfungsi dengan baik dilingkungan sekitar
(1/10 dari seluruh penyandang autisme) yang tergolong individu yang mandiri.
Sedangkan menurut Hallahan & Kauffman (2006) terdapat kelainan-
kelainan yang termasuk dalam autism spectrum disorder (ASD) yang memiliki
tiga are gangguan seperti, kemampuan komunikasi, interaksi sosial, serta pola-
pola perilaku yang repetitif dan stereotip. Adapun lima kelainan yang
termasuk dalam ASD diantaranya sebagai berikut:
1) Autisme. Autime merupakan penarikan diri yang ekstrim dari lingkungan
sosialnya, gangguan dalam berkomunikasi, bertingkah laku yang terbatas
dan berulang yang muncul sebelum usia 3 tahun. Gangguan lebih banyak
terjadi pada anak laki-laki.
2) Asperger Syndrome (AS)/Autisme Ringan. Memiliki persamaan dengan
autisme namun tidak memiliki gangguan kognitif dan bahasa yang
signifikan. Gangguan dominan pada interaksi sosial. Inteligensi dan
kemampuan berkomuniasi lebih tinggi dari anak autisme. Ceroboh,

5
permasalahan tidur, dan sikap keras kepala. Gangguan ini muncul pada usia
4 tahun.
3) Rett Syndrome. Umumnya dialami anak perempuan usia 2-5 tahun. Pada
awalnya anak berkembang normal, secara perlahan terjadi kemunduran
seperti kemampuan motorik halus (gerak tangan). Muncul gerakan
stereoptik, mencuci tangan, fleksi lengan ditangan dan dagu, membahsahi
tangan dengan air liur. Kemunduran pada gangguan bahasa. Serta anak Rett
Syndrome mengalami hambatan dalam mengunyah makanan.
4) Childhood Disintegrative Disorder. Perkembangan yang normal hingga
usia 2 sampai 10 tahun, kemudian diikuti dengan kemunduran kemampuan.
Awalnya anak berkembang normal, secara perlahan terjadi kemunduran.
Kemunduran pada fungsi sosial, komunikasi dan perilaku.Dari beberapa
macam kelainan dalam Autism Spectrum Disorder (ASD), yang sering
muncul yaitu kelainan autisme dan asperger disorder.
5) Pervasive Developmental Disorder not Otherwise Specified (PDD-NOS).
Memiliki perilaku yang sama dengan autisme dalam tingkat yang lebih
ringan. Gangguan muncul setelah usia 3 tahun atau lebih.
c. Penyebab Autisme
Penyebab autisme belum diketahui secara pasti. Beberapa ahli menyebutkan
penyebab gangguan autisme diantaranya yaitu, multifaktoral, gangguan biokimia,
kombinasi makanan, kebersihan lingkungan, dan faktor obat-obatan. Menurut
Hallahan & Kauffman (2006) bahwa para ilmuwan belum secara pasti mengetahui
apa yang salah pada otak individu autis, tetapi yang pasti, penyebabnya lebih
kepada neurobiologis, bukan interpersonal.
Berdasarkan penjelasan diatas terdapat dua faktor penyebab gangguan
autisme yaitu hereditas dan biologis (Mangunsong, 2011).
1. Biologis.
Secara biologis dalam neurologikal ASD, individu autis memiliki
kecenderungan tinggi mengalami Brain seizures dan defisit kognitif. Terdapat
penelitian neurologis terhadap ukuran otak dan besar kepala anak autis yang
menunjukkan bahwa pada saat lahir otak mereka memiliki ukuran rata-rata
atau lebih kecil, otak mereka mengalami pertumbuhan yang signifikan pada

6
dua tahun pertama, setelah usia dua tahun pertumbuhan otak mereka mulai
melambat dan mencapai maksimum pada usia empat sampai lima tahun.
Kemudian diusia lima tahun ukuran otak mereka mengecil seukuran mereka
ketika remaja atau dewasa. Sedangkan menurut Rodier dalam (Hunt, 2005)
menemukan bahwa terdapat perbedaan brain stem anak normal dengan brain
stem anak autis. Brain stem anak autis lebih pendek dari pada brain stem anak
normal. brain stem anak autis tidak memiliki superior olive dan memiliki
facial nucleus yang lebih kecil dari anak normal.
2. Hereditas.
Anggota keluarga penyandang autis terindikasi menderita autis dengan
peluang 50 sampai 200 kali lebih tinggi daripada populasi secara keseluruhan.
Kelurga yang memiliki kembar monozigotik lebih berpeluang menderita autis
ketika pasangannya autis, daripada kembang dizigotik. Akan tetapi penelitian
belum menemukan gen tertentu yang berkaitan dengan autism.
Sedangkan menurut Rinarki (2018) menyebutkan bahwa terdapat beberapa
faktor yang menyebabkan autisme pada anak, hal ini tidak dapat dipastikan
dikarenakan dalam taham penelitian oleh para ilmuan. Beberapa faktor penyebab
autisme diantaranya sebagai berikut:
1. Faktor Genetik.
Genetik autis menjadikan desain abnormal yang terjadi pada cabang
genetik di atas yang akan mempengaruhi faktor genetik dibawahnya,
menyebabkan abnormaltas pada pertumbungan sel dan saraf.
2. Faktor Prenatal, Natal, dan Postnatal.
Faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya autisme yaitu,
pendarahan pada kehamilan awal, penggunaan obat-obatan, tangis bayi
dalam kelahiran awal terhambat, gangguan pernapasan dan anemia. Selain
beberapa faktor diatas kegagalan pertumbuhan otak disebabkan kurangnya
nutrisi tidak dapat diserap dengan baik.
3. Faktor Neuro Anatomi.
Faktor Neuro anatomi merupakan gangguan pada sel-sel otak selama
masih dalam kandungan yang disebabkan oleh hambatan oksigenasi
pendarahan, atau infeksi.

7
4. Faktor Keracunan Logam Berat..
Kondisi keluarga yang dekat dengan pertambangan dapat
menyebabkan autisme. Keracunan yang dikonsumsi ibu hamil seperti
halnya beberapa ikan yang mengandung mineral berat dengan kadar tinggi.

d. Karakteristik Autisme
Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan yang merupakan
suatu bagian dari kelainan Spektrum Autisme atau Autism Spectrum disorder
(ASD) dan juga merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung
gangguan perkembangan pervasif atau Pervasive Development Disorder (PDD)
(Hallahan & Kauffman, 2006).
Autisme adalah gangguan spektrum. Pengidap gangguan ini tidak hanya
memiliki gejala-gejala yang berbeda, tetapi intensitasnya juga beragam. Seorang
anak mungkin tidak dapat berbicara sama sekali, sedangkan anak lain mungkin
dapat menggunakan satu atau dua kata sekali bicara, sementara anak lain mungkin
anak normal saat ia berbicara kecuali bentuk bicaranya yang monoton (Bonnice,
2009).Gejala-gelaja autisme dapat muncul pada anak sejak usia 30 bulan hingga
usia maksimal 3 tahun. Menurut Rinarki (2018) Individu dapat dikatakan
menderita autisme apabila mengalami satu atau lebih karakteristik sebagai berikut.
1. Permasalahan Komunikasi meliputi, kata yang digunakan terkadang tidak
sesuai artinya, mengoceh tanpa arti secara berulang-ulang, berbicara tidak
menggunakan alat bantu, senang meniru kata-kata atau lagu tanpa mengerti
artinya, senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang
dia inginkan, tidak berbicara atau sedikit berbicara, dan perkembangan
berbiacar sangat lambat.
2. Permasalahan interaksi sosial meliputi, menyukai tempat yang sepi dan
menyendiri, menghindari kontak secara langsung, kurang suka untuk bermain
bersama teman sebaya, dan menolak untuk bermain bersama teman
sebayanya.
3. Permasalahan sensori mororik meliputi, kurang merasakan sentuhan, kurang
merasakan sakit, kurang senang dengan suara yang keras sehingga
menimbulkan reflek menutup telinga, serta senang mengoral benda disekitar.

8
4. Permasalahan pola bermain meliputi, tidak bermain seperti teman sebaya,
tidak memainkan mainan dengan baik, lekat dengan benda tertentu, senang
dengan benda yang berputar, memiliki kreativitas dan imajinasi, dan tidak
suka bermain dengan teman sebaya.
5. Permasalahan perilaku meliputi, melakukan perilaku yang berulang,
terkadang berperilaku berlebihan dan sebaliknya, kurang menyukai
perubahan di lingkungan sekitar, merangsang diri, dan dapat terdiam dengan
pandangan yang kosong.
6. Permasalahan emosi meliputi, terkadang sering marah, menangis, dan tertawa
tanpa alasan, terkadang mampu agresif dan mampu merusak benda disekitar,
dapat menyakiti diri sendiri, dan kurang memiliki rasa empati.
Hal ini juga didukung oleh pernyataan Hallahan & Kauffman (2006)
mengenai karakteristik anak autisme yang tergolong menjadi tiga gejala utama,
yaitu gangguan dalam interaksi, komunikasi, dan perilaku. Terdapat karakteristik
tambahan seperti, gangguan dalam kognisis, persepsi motorik, afek atau mood,
tingka laku agresif dan berbahaya, serta gangguan tidur dan makan. Tiga gelaja
utama dapat dipaparkan sebagai berikut:
1) Gangguan interaksi sosial, meliputi bayi tidak merespon normal ketika
diangkat, tidak tersenyum pada situasi sosial, tatapan mata berbeda, tidak
bermain selayaknya anak normal, dan anak autis tidak dapat membedakan
merespon stimulus dari orang tua, guru dan orang asing.
2) Gangguan komunikasi, meliputi gumaman yang biasa muncul sebelum anak
dapat berkata-kata yang tidak nampak pada anak autis. Sering tidak
memahami ucapan orang lain, sering mengulang kata yang baru didengar, dan
tidak memiliki perhatian untuk tidak ingin berkomunikasi untuk tujuan sosial.
Gangguan kominukasi non verbal diartikan bahwa anak tidak menggunakan
gerakan tubuh dalam berkomunikasi selayaknya orang lain ketika
mengekspresikan perasaannya atau merasakan perasaan orang lain.
3) Gangguan perilaku, meliputi perilaku pengulangan pada suatu benda
(memutar benda, mengepakkan tangan, bergerak maju mundur kiri kanan.
Asyik sendiri seperti menikmati dunianya sendiri ketika bermain sesuatu.

9
Sering memaksa orang tua untuk mengulang kata atau potongan kata. Serta
tidak menyukai adanya perubahan dilingkungan sekitar.

e. Perkembangan Anak Autis.


Gejala-gejala tersebut tidak harus semua ada pada setiap anak autisme,
tergantung dari berat ringannya angguan tersebut. selain itu kita dapat
mengetahui perbedaan perkembangan anak autis dalam tabel dibawah ini (Fauziah
et al, 2009).
Tabel 1.
Perkembangan Bahasa dan Komunikasi Anak Autisme

Usia Aspek Perkembangan


6 bulan Tangisan sulit dipahami
Ocehan yang terbatas atau tidak normal tidak ada peniruan bunyi, bahasa
8 bulan
tubuh, dan ekspresi.
Kata-kata pertama mungkin muncul, tetapi seringkali tidak bermakna.
12 bulan
Sering menangis dengan suara keras, tetapi sulit untuk dipahami.
Biasanya kurang dari 15 kata.
24 bulan Kata-kata muncul kemudian hilang.
Bahasa tubuh tidak berkembang, sedikit menunjuk pada suatu benda.
Kombinasi kata-kata jarang.
Terdapat kalimat yang bersifat echo, tidak ada penggunaan bahasa yang
kreatif.
Ritme tekanan dan penekanan yang aneh.
36 bulan Artikulasi sangat rendah dari anak-anak normal.
Separuhnya atau lebih tanpa ucapan-ucapannya yang bermakna.
Menarik tangan orang tua dan membawanya ke suatu objek.
Pergi ketempat yang sudah biasa dan menunggu untuk mendapatkan
sesuatu.
Sebagian kecil bisa mengkombinasikan dua atau tiga kata secara kreatif.
Encholali masih ada, mungkin digunakan secara komunikatif.
48 bulan
Meniru iklan televisi.
Membuat permintaan.

Tabel 2.
Perkembangan Interaksi Sosial Anak Autisme

Usia Aspek Perkembangan


Kurang aktif dan menuntut dibandingkan bayi normal.
Sebagian kecil cepat marah.
6 bulan
Sedikit sekali kontak mata.
Tidak ada respon antisipasi secara sosial.
Sulit reda ketika marah.
8 bulan Menarik diri dan mungkin secara aktif menolak interaksi.
Sangat sedikit penerima perhatian melalui interaksi.
12 bulan Sosiabilitas seringkali menurun ketika anak mulai belajar berjalan dan

10
merangkak.
Tidak ada kesulitan pemisahan
Mulai bermain dengan teman sebaya: menunjukkan, memberikan dan
18 bulan mengambil mainan.
Permainan soliter dan paralel masih sering dilakukan.
Membedakan orang tua dengan orang lain,tetapi sangat sedikit afeksi yang
diekspresikan.
Memeluk dan mencium sebagai gerakan tubuh yang otomatis ketika
24 bulan diminta.
Tidak acuh terhadap orang dewasa selain orang tua.
Mengembangkan kekuatan yang besar
Lebih suka menyendiri.
Tidak bisa menerima anak-anak yang lain.
36 bulan Sesitivitas yang berlebihan.
Tidak dapat memahami makna hukuman.
48 bulan Tidak dapat memahami aturan dalam permainan dengan teman sebaya.
Lebih berorientasi kepada orang dewasa dibanding teman sebaya.
60 bulan
Mulai bergaul, tetapi interaksi tetap aneh dan satu sisi.

Tabel 3.
Perkembangan Imajinasi Anak Autisme

Usia Aspek Perkembangan


8 bulan Pengulangan gerakan motorik mungkin mendominasi kegiatan sadar.
Eksplorasi terhadap lingkungan.
12 bulan Penggunaan mainan yang tidak biasa seperti, memutar, menjentik dan
membariskan benda.
Terus menerus menjulati benda.
Tidak ada permainan simbolik.
Terus melakukan gerakan repetitif.
36 bulan
Kekaguman vidual terhadap benda seperti mentap cahaya lampu.
Menunjukkan banyak kekuatan yang berhubungan dalam manipulasi
visual/motorik, misalnya puzzle.
Penggunaan fungsional terhadap benda-benda.
Beberapa aksi langsung terhadap boneka atau orang lain, bisanya
melibatkan anak-anak sebagai perantara.
48 bulan Permainan simbolik, jika ada terbatas, sederhana dan berulang-ulang.
Selama permainan, keterampilan sulit berkembang, tetap membutuhkan
banyak waktu dibanding kegiatan yang lebih mudah.
Tidak mengkombinasikan alat permainan saat bermain.
60 bulan Tidak dapat berpantomim dan tidak bermain sosiodrama.

a. Dampak Perkembangan Anak Autis


Sedangkan menurut Mangunsong (2011) mengatakan bahwa terdapat
beberapa bagian gangguan yang berdampak pada perkembangan anak autis
diantaranya sebagai berikut:
1) Gangguan kognisi. Gangguan kognisi yang terjadi pada danak autis seperti,
kesulitan dalam koding informasi, mengandalakan terjemahan secara literal,

11
mengingat sesuatu berdasarkan lokasi ruanagn daripada pemahaman
konsepnya, memiliki “echo box-like memory store”, serta lemah dalam tugas
yang memahami secara verbal dan bahasa yang ekspresif.
2) Gangguan persepsi sensori. Tidak semua anak autis mengalami
hyperresponsiveness atau hyporeponsiveness terhadap suatu stimulus dari
likungan sekitar. Sebagain dari mereka hiperesponsif terhadap visual dan
sebgaian lainnya pada sentuhan. Namun terdapat pula anak autis yang tidak
responsive terhadap stimulus auditori, visual, atau sentuhan.
3) Gangguan perilaku motorik. Anak autis melakukan perilkau yang berulang,
hiperaktivitas terjadi pada masa prasekolah, gangguan pemusatan perhatian
dan impulsivitas. Serta terganggunya kooodinasi motorik seperti, tip toe
walking dan clumsiness.
4) Gangguan tidur dan makan. Anak autis mengalami terbaliknya pola tidur dan
terbangun ditengah malam, sukar terhadap makanan tertentu, menuntut hanya
makan makanan yang terbatas, dan menolak mencoba makanan baru.
5) Gangguan afek dan mood. Terjadinya swing mood perubahan yang tiba-tiba,
menangis dan tertawa tanpa alasan jelas. Takut pada objek yang sebenarnya
tidak menakutkan. Anak autis juga mengalami kecemasan dan depresi berat.
6) Tingkah laku agresif dan membahayakan. Anak autis mengalami temper
tantrum, seperti: marah-marah, membanting-banting meja. Anak autis
memiliki kurangnya perasaan terhadap sesuatu yang bahaya. Serta melakukan
perilaku negatif dengan menyakiti dirinya sendiri.
7) Gangguan kejang. Kejang epilepsi pada sekitar 10-25% anak autis. Ada
korelasi tinggi antara serangan kejang dengan beratnya retardasi mental,
derajat disfunsi susunan syaraf pusat.

f. Pendidikan Bagi Siswa Autisme


Setiap individu memiliki hak dalam menjalankan proses belajar. Hal ini
sesuai dengan prinsip dalam Undang – undang Dasar tahun 1945 pasal 31 ayat (1)
dan (2). Anak dengan gangguan autisme memang harus mendapatkan penanganan
khusus, tetapi bukan berarti harus dipisahkan dengan anak-anak seusianya. Anak
dengan gangguan autisme berhak berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang di

12
lingkungan sekitarnya. Sedangkan berdasarkan Undang-Undang Peningkatan
Pendidikan Individu dengan Disabilitas tahun 2004. IDEA merinci memandat
yang luas untuk layanan untuk semua anak dengan disabilitas (Santrock, 2017).
Salah satu bentuk pelayanan untuk anak autisme adalah melalui pendidikan
yang disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan anak. Model layanan
pendidikan anak autisme pada dasarnya terbagi menjadi dua: layanan pendidikan
awal, yang terdiri dari program terapi intervensi dini dan program terapi
penunjang dan layanan pendidikan lanjutan terdiri dari beberapa tahap: kelas
transisi, program pendidikan inklusi, program pendidikan terpadu, sekolah khusus
autism, program sekolah di rumah dan panti rehabilitasi autism (Utami, 2003).
Menurut Stainback (dalam Ambar, 2005) menjelaskan bahwa sekolah
inklusi merupakan sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama.
Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi
sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan
dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak berhasil. Lebih dari itu
sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat di terima, menjadi
bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman
sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat
terpenuh. Kreatifitas, inovatif dan guru yang positif sangat penting dalam
memberikan kontribusi pendidikan bagi siswa autis (Hardman et al, 2002).
Sekolah inklusi perlu memperhatikan pengelolaan sumber daya yang
dibutuhkan. Sumber daya tersebut antara lain: (a) kurikulum, (b) proses
pembelajaran, (c) penilaian, (d) pendidik dan tenaga pendidik, (e) sarana dan
prasarana (McLeskey & Waldron, 2000). Dalam hal ini Rinarki (2018)
menyebutkan bahwa kurikulum harus disusun secara fleksible sesuai dengan
kebutuhan anak (ABK) dan kondisi sekolah, dapat mendorong guru dan tenaga
kependidikan melaksanakan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta
didik, mendorong pengawas untuk membina secara rutin dan kebebasan untuk
berinovasi.

13
a. Strategi Pembelajaran
Penyusunan bahan ajar berhubungan dengan metode pengajaran yang
diberikan pada anak autis. Guru menyusun bahan ajar dengan mempertimbangkan
beberapa strategi yang dapat digunakan dalam mengajar. Strategi yang dapat
digunakan sebagai berikut. (1) perencanaan pembelajaran hendaknya dibuat
berdasarkan hasil assesment dan dibuat bersama antara guru kelas dan guru
khusus dalam bentuk pembelajaran individual (IEP). (2) pelaksaaan pembelajaran
lebih mengutamakan metode pembelajaran kooperatif dan partisipatif,
memberikan kesempatan yang sama pada peserta didik yang lain, menjadi
tanggung jawab bersama dan dilaksanakan secara kolaborasi, menggunakan
media, sumber daya, dan lingkungan yang beragam sesuai dengan keadaan.
Pendidikan inklusi memiliki peserta didik dengan berkebutuhan khusus
yang memerlukan strategi pembelajaran yang efektif. Salah satu strategi yang
dapat digunakan adalah Positive Behavioral Support (PBS). Startegi ini tepat bagi
anak dengan gangguan emosi dan perilaku. Terdapat tahapan pelaksanaan Positive
Behavioral Support (PBS) yaitu, (1) mendeskripsikan perilaku peserta didik di
kelas, (2) guru inklusi dan guru pendamping mengamati bersama perilaku peserta
didik, (3) melakukan assesment meliputi, observasi, analisis, dan membuat
hipotesis perilaku peserta didik, (4) mengembangkan hipotesis, (5) menetapkan
target berupa perilaku pengganti, (6) guru memberikan pengajaran terhadap
peserta didik mengenai perilaku yang muncul, memberikan penguatan, dan
memverivikasi pencapaian yang diraih peserta didik dan guru, seta (7)
memodifikasi lingkungan yang mendukung pencapaian perilaku target.
Sedangkan menurut Hunt (2005) terdapat beberapa strategi pembelajaran
yang sesuai bagi penyandang autisme, yiatu penanganan bedasarkan lingkungan,
dan penanganan pada aspek bahasa secara mendasar diantaranya sebagai berikut:
1) Project (TEACCH).
Penanagan berdasarkan lingkungan dapat menggunakan metode the
Traitment and Education of Autistic and Related Communication Handicapped
Children program (TEACCH). Metode ini mengajarkan kepada anak autis untuk
menata lingkungan dengan memberikan dukungan dan peluang yang luas untuk
mengkespresikan perilaku yang positif. Penanganan ini mengutamakan

14
memelihara perilaku dan pengajaran terhadap perkembangan kemampuan baru
yang dimiliki anak secara terstruktur, mengetahui satu perssatu intruksi yang
diberikan, fokus terhadap ketertarikan individu dan kebutuhan setiap peserta
didik.
2) Social Skill Intervention.
Pelatihan kemmapuan sosial merupakan tipe dalam pendekatan
instructional, yang termasuk dalam pendekatan behavior analysis dan TEACCH,
akan tetapi pendekatan ini memiliki beberapa perbedaan. Pendekatan social skill
meliputi aktivitas permainan, penyeimbangan kontak mata, berbagi mainan,
berputar, berpartisipasi dalam permainan kelompok, dan membaca cerita. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Santrock (2017) anak-anak dengan autisme dapat
mengambil manfaat dari kelas yang terstruktur, indtrusi individual, dan kelompok
kecil intruksi. Perilaku modifikasi tersebut terkadang mampu membantu anak-
anak autis dalam proses belajar.
3) Picture Exchange Communication System (PECS).
Metode ini mengajarkan anak berkomunikasi secara nonverbal dengan
menunjukkan gambar untuk menggambarkan suatu informasi. Anak akan
menunjukkan gambar dan berusaha membuat kalimat sederhana ketika menunjuk
gambar tersebut.
4) Social Stories.
Pendekatan ini memiliki persamaan dengan pendekatan PECS, memiliki
kesamaan fokus terhadap simbol atau gambar. Akan tetapi gambar tersebut dapat
merangsang anak untuk menggukana bahasa secara cepat, memiliki interaksi
sosial, cerita sosial yang berdasarkan kemampuan komunikasi verbal dan
kemampuan menuliskan bahasa.

C. Proses Penyusunan Project


Materi yang kami dapatkan untuk project ini adalah tentang autisme atau
yang dikenal dalam istilah Autism Spectrum Disorder (ASD). Hal ini merupakan
topik utama dalam video kami, dimana kami mencantumkan pengertian,
karakteristik, serta hal yang harus dilakukan orang tua. Proses penyusunan project
video psikoedukasi yang telah kami lakukan meliputi; pencarian sumber

15
informasi, menentukan isi konten video, dan menentukan aplikasi pembuat video
dalam hal ini kami menggunakan aplikasi powtoon dan videoshow.
Video psikoedukasi ini memiliki durasi yang cukup singkat yaitu selama 2
menit 49 detik. Pembuatan video dilakukan dalam waktu kurang lebih 1 bulan
sebelum akhirnya kami sebarkan ke masyarakat. Penyusunan materi dalam
psikoedukasi autisme yang telah kami buat ini menggunakan bahasa yang mudah
dipahami oleh semua orang. Hal ini dibuktikan dengan tanggapan penonton atas
tayangan video psikoedukasi yang kami buat.

D. Tanggapan Project dan Analisa

Tanggapan atas project video yang telah kami buat berdasarkan komentar
atau masukan dari penonton dapat dilihat melalui gambar 1,2,3, dan 4 yang
terlampir. Berdasarkan komentar diatas diketahui bahwa project yang telah kami
kerjakan merupakan video yang informatif, menarik dalam pengemasan
penyampaian serta bahasa sederhana sehingga memudahkan penonton dalam
memahami materi autisme ini. Namun, ada kekurangan dalam video kami yang
cukup mencolok yaitu dalam kualitas rekaman suara. Dimana suara yang kami
sertakan dalam video ini belum stabil. Hal ini dikarenakan perekaman suara
melalui media yang berbeda. Berikut salah satu komentar yang menunjukkan
kekurangan project video psikoedukasi yang telah kami buat tercantum pada
gambar 5.

E. Manfaat Project
Manfaat project psikoedukasi autism yang telah kami buat ini sesuai dengan
harapan kami yang telah tercantum dalam bab pengantar yaitu dapat memberikan
psikoedukasi yang mudah diterima oleh masyarakat khususnya yang memiliki
anak ataupun keluarga mengalami autisme. Kami menyajikan sebuah tayangan
dengan menggunakan bahasa yang dapat dipahami dengan mudah, baik oleh
kalangan yang berpendidikan tinggi ataupun rendah. Manfaat lainnya yaitu
membuat orang secara umum tidak dengan mudah memberikan label pada anak
yang mengalami autism dengan sebutan nakal, idiot, kurang usaha dan lain
sebagainya.

16
F. Kesimpulan
Anak-anak berkebutuhan khusus adalah individu-individu yang
membutuhkan layanan pendidikan khusus agar mencapai potensi mereka
sepenuhnya. Beberapa anak berkebutuhan khusus bisa saja tidak terlihat memiliki
tanda-tanda hambatan fisik, namun mungkin mengalami hambatan kognitif yang
mengganggu kemampuan mereka mempelajari materi-materi pelajaran atau
mengerjakan tugas-tugas tertentu. Anak berkebutuhan khusus mencakup mereka
yang mengalami kesulitan belajar, attention-deficit hyperactivity disorder
(ADHD), Gangguan Fisik, Gangguan Autisme. Mereka yang mengalami
kebutuhan khusus bukan berarti tidak mau melakukan apa yang kita perintahkan,
akan tetapi mereka memiliki kegagalan dalam mengolah perintah atau instruksi
yang diberikan (Ginanjar, 2007).

G. Saran
Saran yang kami berikan setelah melakukan project psikoedukasi autisme
ini adalah orangtua atau guru tidak memberikan label terlalu cepat pada anak
sebelum mendapatkan diagnose yang tepat. Serta apabila menemukan gejala-
gejala anak memiliki keterbatasan segera melakukan konsultasi kepada ahli.
Sehingga, dengan lebih cepatnya diagnose yang diterima maka anak lebih mudah
ditangani lebih dini. Kunci dari semua penanganan adalah konsistensi orang tua,
keluarga, dan pihak-pihak yang terkait dengan anak.
Saran untuk selanjutnya dalam memberikan follow up terhadap project ini
adalah dengan menambahkan konten-konten yang belum tercantum dalam video
ini namun tetap dengan bahasa yang mudah dipahami masyarakat luas. Karena
tidak semua masyarakat dapat menerima bahasa yang terlalu teoritis.

17
DAFTAR PUSTAKA

Ambar.W. S. A. (2005). Perspektif Pendidikan Luar Biasa dan Implikasinya Bagi


Penyiapan Tenaga Kependidikan, Jakarta: Dirjendikti
Baron-Cohen, S. & Belmonte, M.K. (2005). Autism: A window onto the
development of the social and the analytic brain. Annual Review
Neuroscience, 28: 109-126.
Bonnice, S. (2009). Anak Yang Tersembunyi. Klaten: PT Intan Sejati.
Delphie, B. (2009). Pendidikan Anak Autistik. Klaten: PT Intan Sejati.
Fuazia, Y, W,. Prabaningrum, V., Kristina, L., & Handajani, A,. (2009). Apa dan
Bagaimana Autisme Terapi Medis Alternatif. Jakarta: Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
Ginanjar, A.S. (2007). Memahami Spektrum Autistik Secara Holistik. Disertasi:
Universitas Indonesia.
Hallahan, D.P., & Kauffman, J.M. (2006). Exceptional learner: An Introduction
to Special Education (international Edition: 10𝑡ℎ ed). Boston: Allyn and
Bacon.
Handojo, Y. (2003). Autisme. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer Kelompok
Handoyo. (2004). Autisme: Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi Untuk Anak
Normal, Autis, dan Perilaku Sosial Lain. Jakarta: Gramedia.
Hardman,M.L., Drew. C.J., & Winston, M.E,. (2002). Human Exceptionality:
Society, School, and Family Seventh Edition. Boston: Allyn and Bacon A
Pearson Education Company.
Hunt, N. (2005). Exceptional Children & Youth. Boston: Houghton Mifflin
Company.
Mangunsong. F. (2011). Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus:
Jilid 1. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan
Pendidikan Psikologi Universitas Indonesia.
McLeskey. J., & Waldron, N, L,. (2000). Inclusive School in Action. Alexandria:
ASCD.
Pamuji. (2007). Model Terapi Terpadu Bagi Anak Autis. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.

18
Prasetyono. (2008). Serba Serbi Anak Autis. Yogyakarta: Diva Press.
Rinarki. J.A. (2018). Pendidikan dan Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus.
Bandung: Remaja Rosda karya.
Safari, T. (2005). Autisme: Pemahaman Baru untuk Hidup Bermakna Bagi Orang
Tua. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sujarwanto. (2005). Terapi Okupasi untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta:
Depdiknas.
Taylor, B. (2000). Vaccines and changing epidemiology of autism. Child care,
health and development, 32(5): 511-519
Utami, S, S,D,. (2003). Penatalaksanaan Holistik Autisme. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
YPAC. 7 April. Buku penanganan dan pendidikan autis, di unduh pada tanggal 8
Mei 2019.

19
LAMPIRAN

Gambar 1 Gambar 2

Gambar 3 Gambar 4

20
Gambar 5

21

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai