Anda di halaman 1dari 33

12

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Akreditasi
2.1.1 Definisi Akreditasi
Akreditasi adalah pengakuan yang diberikan oleh lembaga independen
penyelenggaraan akreditasi yang ditetapkan oleh menteri setelah
memenuhi standar akreditasi (Menkes RI, 2015).

Akreditasi puskesmas adalah proses penilaian oleh komisi akreditasi


atau perwakilan di provinsi terhadap puskesmas untuk menilai apakah
sistem manajemen mutu dan sistem penyelenggaraan pelayanan dan
upaya pokok sesuai dengan standar yang ditetapkan. Jadi yang menilai
akreditasi puskesmas merupakan komisi yang memang sudah dilatih
khusus menjadi penilai apakah sebuah puskesmas lulus akreditasi atau
tidak (Yuwono, 2016).

Akreditasi puskesmas adalah pengakuan terhadap puskesmas yang


diberikan oleh lembaga independen penyelenggara akreditasi yang
ditetapkan oleh Menteri setelah dinilai bahwa puskesmas telah
memenuhi standar pelayanan puskesmas secara berkesinambungan
(Rofita, 2017).

2.1.2 Tujuan Akreditasi


Tujuan dari pengaturan akreditasi puskesmas menurut Peraturan
Menteri Kesehatan No. 46 tahun (2015) adalah
2.1.2.1. Meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien.
2.1.2.2. Meningkatkan perlindungan bagi sumber daya manusia
kesehatan, masyarakat dan lingkungannya, serta puskesmas
sebagai institusi.

12
13

2.1.2.3. Meningkatkan kinerja puskesmas.

Berdasarkan penjabarannya tujuan umum dari akreditasi puskesmas


adalah meningkatkan mutu pelayanan puskesmas (Yuwono, 2016).

Tujuan khusus akreditasi adalah memacu puskesmas untuk memenuhi


standar yang ditetapkan, menetapkan strata akreditasi puskesmas yang
telah memenuhi standar yang ditentukan, memberikan jaminan kepada
petugas kesehatan bahwa pelayanan yang diberikan telah memenuhi
standar yang ditetapkan, memberikan jaminan kepada pelanggan atau
masyarakat bahwa pelayanan yang diberikan oleh puskesmas telah
sesuai standar, terbinanya puskesmas dalam rangka memperbaiki
sistem pelayanan, mutu dan kinerja (Yuwono, 2016).

2.1.3 Langkah-Langkah Persiapan Akreditasi Puskesmas


Puskesmas yang akan di akreditasi ditetapkan oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Pelaksanaan penyiapan akreditasi dilaksanakan oleh
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang dalam pelaksanaannya
dilakukan oleh tim pendamping akreditasi puskesmas yang ditunjuk
dengan langkah-langkah sebagai berikut :
2.1.3.1 Lokakarya di puskesmas minimal selama dua hari efektif
untuk penggalang komitmen dan pengenalan awal tentang
standar dan istrumen akreditasi, pembentukan panitia
persiapan akreditasi puskesmas, dan pembentukan kelompok
kerja, yaitu kelompok kerja administrasi dan manajemen,
kelompok kerja upaya kesehatan masyarakat, dan kelompok
kerja upaya kesehatan perorangan.
2.1.3.2 Pendampingan di puskesmas berupa pelatihan pemahaman
standar dan instrumen yang di ikuti oleh seluruh karyawan
puskesmas untuk memahami secara rinci standar dan
instrumen akreditasi puskesmas dan persiapan self assesment.
14

2.1.3.3 Pelaksanaan self assesment oleh panitia persiapan akreditasi


puskesmas.
2.1.3.4 Panitia persiapan akreditasi puskesmas melakukan
pembahasan hasil self assesment bersama tim pendamping
akreditasi dan menyusun rencana aksi untuk persiapan
akreditasi.
2.1.3.5 Penyiapan dokumen akreditasi, dengan tahap :
a. Identifikasi dokumen-dokumen yang dipersyaratkan oleh
standar akreditasi.
b. Penyiapan tata naskah penulisan dokumen termasuk di
dalamnya pengendalian dokumen akreditasi yang meliputi
pengaturan tentang kewenangan pembuatan, pemanfaatan,
dan penyimpanan dokumen puskesmas.
c. Penyiapan dokumen akreditasi:
1) Dokumen internal yang meliputi surat-surat keputusan,
pedoman mutu, pedoman-pedoman yang terkait dengan
pelayanan, kerangka acuan, standar prosedur
operasional (SPO), dan rekam implementasi atau
dokumen sebagai bukti telusur.
2) Dokumentasi eksternal yang perlu disediakan.
Penyiapan dokemuen sebagai regualasi internal tersebut
membutuhkan waktu lebih kurang 4 bulan. Selama
penyiapan dokumen dilakukan pendampingan lebih
kurang sampai 5 kali/ 2hari.
2.1.3.6 Penataan sistem manajemen dan sistem penyelenggaraan
UKM dan UKP.
2.1.3.7 Setelah dokumen yang merupakan regulasi internal disusun,
berikut dengan program-program kegiatan yang
direncanakan, maka dilakukan implementasi sesuai dengan
kebijakan, pedoman/panduan, prosedur dan program kegiatan
yang direncanakan. Pelaksanaan kegiatan implementasi
15

tersebut diperkirakan dilaksanakan dalam kurun waktu 5


sampai 6 bulan, dengan pendampingan 3 sampai 5 kali/2 hari.
2.1.3.8 Penilaian pra-sertifikasi oleh tim pendamping akreditasi,
untuk mengetahui kesiapan puskesmas untuk di usulkan
dilakukan penilaian akreditasi.
2.1.3.9 Pengusulan puskesmas yang siap diakreditasi dilakukan oleh
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota berdasarkan
rekomendasi hasil penilaian pra-sertifikasi oleh tim
pendamping akreditasi (Rofita, 2017).

2.1.4 Dasar Hukum Pelaksanaan Akreditasi


Surat Keputusan Kepala Puskesmas Kurun Tahun 2017 dengan nomor
100/C/IX/SK/PUSK-KK/II/2017 tentang sasaran-sasaran keselamatan
pasien Puskesmas Kurun yaitu pengurangan terjadinya risiko infeksi,
maka semua petugas Puskesmas Kurun wajib menjaga kebersihan
tangan dengan cara mencuci tangan menggunakan sabun dan air
mengalir. Tujuh langkah cuci tangan pakai sabun (CTPS) harus
dilaksanakan pada lima keadaan seperti : sebelum kontak dengan
pasien, setelah kontak dengan pasien, sebelum tindakan aseptik,
setelah kontak dengan cairan tubuh pasien, dan setelah kontak dengan
lingkungan sekitar pasien. Elemen penilaian sasaran tersebut
puskesmas mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand hygiene
terbaru yang diterbitkan dan sudah diterima secara umum (a.I dari
WHO patien Safety), puskesmas menerapkan program hand hygiene
yang efektif, dan kebijakan atau prosedur serta dikembangkan untuk
mengarahkan pengurangan secara berkelanjutan resiko infeksi yang
berkaitan pelayanan kesehatan.

Surat Keputusan Pimpinan Puskesmas Kurun Tahun 2017 dengan


nomor 096/C/IX/SK/PUSK-KK/II/2017 tentang penyusunan indikator
perilaku pemberi pelayanan klinis yaitu mencuci tangan memakai
16

sabun sebelum dan sesudah tindakan, menggunakan APD pada waktu


melakukan tindakan medis, menyapa pasien dengan ramah,
memberikan konseling atau penjelasan kepada pasien sebelum
tindakan, melakukan prinsip-prinsip pencegahan infeksi dengan
melakukan sterilisasi alat sesuai prosedur.

2.1.5 Standar Intrumen Akreditas Puskesmas


Akreditasi puskesmas tentang cuci tangan harus dilakukan sesuai
dengan standar akreditasi. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI,
(2015) Untuk penilaian akreditasi puskesmas tentang melakukan
kebersihan tangan dibagian Bab IX. Peningkatan Mutu Klinis dan
Keselamatan Pasien (PMKP) yaitu
2.1.5.1 Tanggung jawab tenaga klinis
Pada hal ini yang dinilai yaitu perencanaan, monitoring, dan
evaluasi mutu pelayanan klinis dan keselamatan menjadi
tanggung jawab tenaga yang bekerja di pelayanan klinis.
2.1.5.2 Pemahaman mutu pelayanan klinis
Pada hal ini yang dinilai yaitu mutu pelayanan klinis dan
keselamatan dipahami dan didefinisikan dengan baik oleh
semua pihak yang berkepentingan.
2.1.5.3 Pengukuran mutu pelayanan klinis dan sasaran keselamatan
pasien
Pada hal ini yang dinilai yaitu mutu pelayanan klinis dan
sasaran keselamatan pasien diukur, dikumpulkan, dan
dievaluasi dengan tepat.
2.1.5.4 Peningkatan mutu layanan klinis dan keselamatan pasien
Pada hal ini yang dinilai yaitu perbaikan mutu layanan klinis
dan keselamatan pasien diupayakan, dievaluasi, dan
dikomunikasikan dengan baik.
17

2.1.6 Standar Audit Internal Akreditasi


Audit internal adalah suatu proses penilaian yang dilakukan di dalam
suatu organisasi oleh auditor internal yang juga adalah karyawan yang
bekerja pada organisasi tersebut untuk kepentingan internal organisasi
tersebut.

Auditor internal adalah karyawan puskesmas yang dipilih oleh kepala


Puskesmas untuk melakukan audit internal. Karyawan tersebut harus
memiliki kompetensi untuk melakukan audit internal. Auditor internal
beperan sebagai katalisator untuk mempercepat perubahan dalam
upaya memastikan kebijakan mutu yang ditetapkan dilaksankan dalam
pelayanan, memberdayakan sistem manajemen mutu, memperbaiki
sistem pelayanan, dan meningkatkan kinerja pelayanan.

Sesuai dengan standar akreditasi, audit internal harus direncanakan


dan dilaksanakan secara periodik. Maka kepala puskesmas perlu
menetapkan siklus suatu unit kerja akan di audit ulang, misalnya
selang 3 bulan unit kerja tersebut akan di audit ulang. Rencana
program audit antara lain :
2.1.6.1 Tujuan audit
Tim audit harus menentukan tujuan audit, yaitu untuk
melakukan penilaian kinerja dibandingkan dengan standar
tertentu.
2.1.6.2 Lingkup audit
Dalam rencana audit harus dijelaskan ruang lingkup audit,
yaitu unit kerja yang akan di audit.
2.1.6.3 Objek audit
Rencana audit juga harus menjelaskan apa saja yang akan di
audit sebagai objek audit.
2.1.6.4 Alokasi waktu
Kejelasan penjadwalan kegiatan.
18

2.1.6.5 Metode audit


Metode yang digunakan dalam kegiatan audit harus dijelakan
dalam rencana audit.
2.1.6.6 Persiapan audit
Persiapan auditor, penetapan kriteria audit, dan penyusunan
instrumen audit.
2.1.6.7 Jadwal program audit 1 tahun
Sesuai dengan persyaratan yang diminta dalam standar
akreditasi, puskesmas perlu menyusun rencana kegiatan audit
selama 1 tahun, misal pada bulan januari dilakukan audit
untuk upaya kesehatan ibu dan anak, maka pada bulan April
dilakukan audit ulang untuk mengetahui kemajuan yang
sudah dilakukan.

Teknik audit dan pengumpulan data meliputi wawancara, mengamati


proses pelaksanaan kegiatan, meminta penjelasan kepada auditee,
meminta peragaan kepada auditee, memeriksa dan menelaah
dokumen, memeriksa dengan menggunakan instrumen daftar titik,
mencari bukti-bukti, melakukan pemeriksaan silang, mencari
informasi dari sumber luar, menganalisa data dan informasi, dan
menarik kesimpulan.

Standar/kriteria audit adalah


2.1.6.1 Standar sumber daya (SDM, sarana, dan prasarana)
2.1.6.2 SOP prioritas
2.1.6.3 Standar kinerja (SPM, standar kinerja klinis, kejadian insiden
keselamatan pasien, sasaran keselamatan pasien).
2.1.6.4 Standar akreditasi, misal : (PMKP) peningkatan mutu klinis
dan keselamatan pasien (Menkes RI, 2018).
19

Essensi/inti audit internal untuk mencapai tujuan dan memperoleh


manfaat tesebut, maka audit internal perlu dilaksanakan dengan
pendekatan sebagai berikut :
2.6.1.1 Proses interaktif : audit merupakan proses interaksi antara
auditor dan auditee, terjadi komunikasi timbal balik antara
auditor dan auditee.
2.6.1.2 Kegiatan sistematis : direncanakan, dikoordinasikan,
dilaksanakan, dan dikendalikan secara efesien. Audit internal
ini harus direncanakan dan dikoordinasikan dengan pihak
yang akan di audit. Audit internal bukanlah inspeksi yang
mendadak tetapi terencana dan harus diketahui oleh pihak
yang di audit. Pelaksanaannya dipandu dengan rencana audit
yang lengkap dengan tujuan, metoda dan perangkat audit
yang telah disiapkan. Auditor harus mengendalikan
keseluruhan kegiatan audit agar sesuai dengan rencana dan
didokumentasikan dengan baik.
2.6.1.3 Audit internal dilaksanakan harus bermanfaat untuk
melakukan perbaikan yang berkesinambungan dalam
penyedian pelayanan di fasilitas kesehatan tingkat pertama
(FKTP).
2.6.1.4 Audit internal dilakukan secara objektif berdasarkan bukti-
bukti nyata tidak boleh berdasarkan asumsi.
2.6.1.5 Audit intenal berpijak pada fakta dan kebenaran dari bukti-
bukti yang nyata di tempat kerja.
2.6.1.6 Melibatkan proses analisis/evaluasi/penilaian/pengujian.
Bukti-bukti audit dicocokan dengan kriteria audit yang
digunakan untuk menilai kesesuaian terhadap kriteria yang
digunakan.
2.6.1.7 Dilaksanakan berdasarkan standar/kriteria tertentu. Sebelum
melakukan audit harus ditetapkan standar yang akan
digunakan.
20

2.6.1.8 Merupakan kegiatan yang berulang. Dilakukan secara


periodik untuk menilai kemajuan dari suatu unit kerja.
2.6.1.9 Menghasilkan laporan. Seluruh laporan audit harus
didokumentasikan dan dilaporkan kepada kepala FKTP.

Proses pelaksanaan audit internal terdiri dari kegiatan untuk


memastikan, menilai, dan merekomendasi. Ketiga kegiatan ini
dilakukan oleh auditor dengan cara :
2.6.1.1 Telaah dokumen. Telaah dokumen dilakukan baik untuk
menelaah regulasi (kebijakan, SOP, pedoman/panduan).
Yang disusun oleh organisasi/unit kerja, dan dokumen-
dokumen yang berupa rekam kegiatan.
2.6.1.2 Observasi. Auditor dapat melakukan observasi langsung
kegiatan yang dilakukan di tempat kerja.
2.6.1.3 Meminta penjelasan dari auditee. Auditor dapat melakukan
wawancara, meminta penjelasan atau klarifikasi pada auditee
tentang kegiatan yang dilakukan.
2.6.1.4 Meminta peragaan dilakukan oleh auditee. Jika diperlukan
auditor dapat meminta auditee untuk memperagakan kegiatan
yang seharusnya dapat dilakukan oleh auditee.
2.6.1.5 Membandingkan kenyataan dengan standar/kriteria. Auditor
harus membandingkan kenyataan dengan standar/kriteria
audit yang sudah ditetapkan.
2.6.1.6 Meminta bukti atas suatu kegiatan/transaksi. Auditor dapat
meminta bukti-bukti kegiatan transaksi yang dilakukan oleh
auditee.
2.6.1.7 Pemeriksaan secara fisik terhadap fasilitas. Jika dalam
lingkup audit pemeriksaan fasilitas, maka auditor dapat
melakukan pemeriksaan fisik terhadap fasilitas maupun
peralatan yang ada.
21

2.6.1.8 Pemeriksaan silang (cross-chek). Untuk meyakinkan


kebenaran dari bukti yang ada, auditor dapat melakukan
verifikasi dengan pemeriksaan silang.
2.6.1.9 Mengakses catatan yang simpan auditee. Auditor harus diberi
kewenangan untuk akses terhadap catatan yang di simpan
auditor terkait dengan kegiatan pelayanan yang dilakukan.
2.6.1.10 Mewawancarai auditee. Proses interaksi auditee dilakukan
melaui wawancara.
2.6.1.11 Menyampaikan angket survei. Jika diperlukan auditor dapat
menyampaikan angket survei kepada auditee.
2.6.1.12 Menganalisis data. Semua bukti-bukti yang diperoleh
dianalisis oleh auditor dengan mencocokan dengan
standar/kriteria untuk menarik kesimpulan (Menkes RI,
2018).

Menurut Huang, (2014 ) menilai akurasi dari berbagai pendekatan hand


hygiene yaitu pemantauan langsung umumnya dianggap sebagai standar
emas, meskipun keterbatasan termasuk intensitas sumber daya. Jenis alat
audit kepatuhan kebersihan tangan yang digunakan penggunaan alat
standard seperti SOP enam langkah WHO.

Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, persepsi seseorang


tentang gejala atau masalah yang ada dimasyarakat atau yang dialaminya.
Beberapa bentuk jawaban petanyaan atau pernyataan yang masuk dalam
kategori skala Likert adalah (1) sangat tidak setuju, (2) tidak setuju, (3)
setuju, dan (4) sangat setuju (Hidayat, 2014).

Kategori menurut Nursalam, (2013) hasil berupa persentase untuk


menilainya dibagi dengan katergori :
 Baik : ≥ 75% - 100%
 Kurang baik : < 75%
22

2.2. Kebersihan Tangan


2.2.1 Pengertian Kebersihan Tangan
Menurut Perdalin, (2010) dalam Ratnawati & Sianturi, (2018)
kebersihan tangan merupakan salah satu penerapan perawat dalam
pencegahan infeksi nosokomial, dimana kebersihan tangan adalah
suatu proses tindakan membersihkan tangan dengan sabun atau
antiseptik dibawah air mengalir atau dengan menggunakan handscrub
yang bertujuan untuk menghilangkan kotoran dari kulit secara
mekanis akan mengurangi jumlah mikroorganisme sementara.

Menurut Maryunani, (2011) kebersihan tangan adalah suatu prosedur


tindakan membersihkan tangan dengan menggunakan sabun atau
antiseptik dibawah air mengalir atau dengan menggunakan handrub
berbasis alkohol. Cuci tangan adalah proses menghilangkan atau
menghancurkan mikroorganisme transit sehingga prosedur yang
paling penting dalam mencegah infeksi nasokomial bila dilakukan
dengan baik dan benar.

Menurut Menkes RI, (2017) kebersihan tangan adalah mencuci tangan


menggunakan sabun dan air bila tangan jelas kotor atau terkena cairan
tubuh, atau menggunakan alkohol (alcohol based handrubs) bila
tangan tidak tampak kotor. Kuku petugas harus selalu bersih dan
terpotong pendek, tanpa kuku palsu, tanpa memakai perhiasan cincin.

Menurut Tietjen et al, (2014) kebersihan tangan adalah mengurangi


jumlah mikroorganisme penyebab penyakit kepada kedua tangan dan
lengan serta meminimalisasi kontaminasi silang dari petugas
kesehatan ke pasien.
23

2.2.2 Tujuan Kebersihan Tangan


Menurut Tietjen et al, (2014) tujuan dari kebersihan tangan adalah
menghilangkan kotoran dan debu secara mekanis dari permukaan kulit
dan mengurangi jumlah mikroorganisme sementara. Cuci tangan
dengan sabun dan air sama efektifnya dengan cuci tangan
menggunakan sabun anti mikrobial. Sebagai tambahan, iritasi pada
kulit jauh lebih rendah apabila menggunakan sabun biasa.

Menurut Maryunani, (2011) tujuan kebersihan tangan adalah


2.2.2.1 Untuk menghilangkan kotoran dari kulit secara mekanis dan
mengurangi jumlah mikroorganisme sementara.
2.2.2.2 Untuk menghilangkan atau meminimalkan mikroorganisme
di tangan.
2.2.2.3 Untuk mencegah perpindahan mikroorganisme dari
lingkungan ke pasien dan dari pasien ke petugas kesehatan.
2.2.2.4 Untuk mencegah tranmisi mikroorganisme dari pasien ke
pasien lain, dari petugas ke pasien, dan alat-alat kesehatan.
2.2.2.5 Sebagai tindakan utama dalam pengendalian infeksi
nosokomial. Dengan demikian, mencuci tangan harus selalu
dilakukan dengan benar sebelum atau sesudah melakukan
tindakan keperawatan yang bertujuan untuk:
a. Menghilangkan atau mengurangi penyebaran
mikroorganisme yang ada dipermukaan tangan.
b. Mengurangi penyebaran penyakit dan lingkungan terjaga
dari infeksi.

2.2.3 Waktu Yang Tepat Untuk Melakukan Kebersihan Tangan


Menurut Proverawati & Eni, (2016) waktu yang tepat untuk
melakukan kebersihan tangan adalah
2.2.3.1 Setiap kali tangan kita kotor (setelah memegang uang,
memegang binatang, dan berkebun dll).
24

2.2.3.2 Setelah buang air besar.


2.2.3.3 Setelah menceboki bayi atau anak.
2.2.3.4 Sebelum makan dan menyuapi anak.
2.2.3.5 Sebelum memegang makanan.
2.2.3.6 Sebelum menyusui bayi.
2.2.3.7 Setelah bersin, batuk, membuang ingus, setelah pulang dari
bepergian, dan
2.2.3.8 Sehabis bermain.

Saat yang penting melakukan kebersihan tangan dengan sabun adalah


2.2.3.1 Sebelum dan sesudah makan.
Pastilah hal ini harus dilakukan. Hal ini dilakukan untuk
menghindari terkontaminasinya makanan yang akan kita
konsumsi dengan kuman, sekaligus mencegah masuknya
kuman ke dalam tubuh kita.
2.2.3.2 Sebelum memegang makanan.
Hal yang wajib untuk dilakukan karena kuman-kuman yang
menempel pada tangan.
2.2.3.3 Sebelum melakukan kegiatan apapun yang memasukan jari-
jari ke dalam mulut dan mata.
2.2.3.4 Setelah bemain dan berolahraga.
Hal yang keluarnya keringat dari tubuh seperti bermain dan
olahraga akan mudah kuman dan bakteri menempel di tangan
dan di seluruh tubuh, oleh sebab itu setelah bermain dan
berolahraga sebaiknya di haruskan untuk membersihkan diri.
2.2.3.5 Setelah buang air kecil dan buang air besar.
Ketika melakukan buang air kecil dan buang air besar kuman
dan bakteri akan mudah menempel pada tangan, dan harus
dibersihkan.
25

2.2.3.6 Setelah buang ingus.


karena ingus adalah kumpulan bakteri yang kan mudah
menularkan lagi kepada orang lain dan kita sendiri.
2.2.3.7 Setelah buang sampah.
Sampah, sudah pasti merupakan sumber bakteri dan kuman
yang sangat berbahaya bagi tubuh kita. Wajib hukumnya bagi
anda untuk mencuci tangan setelah menyentuh sampah.
2.2.3.8 Setelah menyentuh hewan atau unggas termasuk hewan
peliharaan.
Bulu binatang merupakan penyumbang bakteri dan kuman
yang sangat besar, sehingga anda wajib mencuci tangan anda
setelah bersentuhan dengan binatang terutama yang berbulu
tebal.
2.2.3.9 Sebelum mengobati luka.
Luka, terutama pada bagian tubuh tertentu akan sangat
sensitive terhadap bakteri dan kuman. Apabila anda tidak
mencuci tangan sebelum menangani luka, maka
kemungkinan terjadinya infeksi karena bakteri dan kuman
akan semakin tinggi (Fitrania, 2014)

Menurut Maryunani, (2011) waktu yang tepat untuk melakukan


kebersihan tangan adalah
2.2.3.1 Segera setelah tiba di pelayanan kesehatan atau rumah sakit.
2.2.3.2 Sebelum masuk dan meninggalkan ruangan pasien.
2.2.3.3 Sebelum dan sesudah kontak dengan pasien atau benda yang
terkontaminasi cairan tubuh pasien.
2.2.3.4 Diantara kontak pasien satu dengan yang lain.
2.2.3.5 Sebelum dan sesudah melakukan tindakan pada pasien.
2.2.3.6 Sesudah ke kamar kecil.
2.2.3.7 Sesudah kontak dengan darah atau cairan tubuh lainnya.
2.2.3.8 Bila tangan kotor.
26

2.2.3.9 Sebelum meninggalkan pelayanan kesehatan atau rumah


sakit.
2.2.3.10 Segera setalah melepaskan sarung tangan.
2.2.3.11 Segera setelah keluar dari toilet atau membersihkan sekresi
hidung.
2.2.3.12 Sebelum dan setelah menyiapkan dan mengkonsumsi
makanan.

Cuci tangan dengan sabun biasa atau antimikroba dan bilas air
mengalir, dilakukan pada saat bila tangan tampak kotor, terkena
kontak cairan tubuh pasien yaitu darah, cairan tubuh sekresi, ekskresi,
kulit yang tidak utuh, ganti verband, walaupun telah memakai sarung
tangan dan bila tangan beralih dari area tubuh yang terkontaminasi ke
area lainnya yang bersih, walaupun pada pasien yang sama. Indikasi
kebersihan tangan yaitu sebelum kontak pasien, sebelum tindakan
aseptik, setelah kontak darah dan cairan tubuh, setelah kontak pasien,
dan setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien (Menkes RI,
2017).

Gambar 2.1 lima momen kebersihan tangan (WHO, 2009)


27

Inovasi strategi penerapan kebersihan tangan untuk petugas kesehatan


dengan 5 momen adalah melakukan cuci tangan sebelum bersentuhan
dengan pasien, sebelum melakukan prosedur bersih atau steril, setelah
bersentuhan dengan cairan tubuh pasien resiko tinggi, setelah
bersentuhan dengan pasien, setelah bersentuhan dengan sekitar pasien
(Wulandari & Sholikah, 2017).

2.2.4 Manfaat Melakukan Kebersihan Tangan


Menurut Maryunani, (2013) Manfaat melakukan kebersihan tangan
yaitu
2.2.4.1 Membunuh kuman penyakit yang ada di tangan.
2.2.4.2 Mencegah penularan penyakit seperti Diare, Kolera Disentri,
Typus, Cacingan, Penyakit Kulit, Infeksi Saluran Nafas Akut
(ISPA), Flu Burung atau Severe Acute Respiratory Syndrome
(SARS).
2.2.4.3 Tangan menjadi bersih dan bebas dari kuman.

Menurut wirawan, (2013) dalam Anggraeni, (2016) menjelaskan


bahwa manfaat melakukan kebersihan tangan selama 20 detik yaitu
sebagai berikut :
2.2.4.1 Mencegah risiko flu, demam dan penyakit menular lainnya
sampai 50%.
2.2.4.2 Mencegah tertular penyakit serius seperti hepatitis A,
meningitis dan lain-lain.
2.2.4.3 Menurunkan risiko terkena diare dan penyakit pencernaan
lainya sampai 59%.
2.2.4.4 Jika mencuci tangan sudah menjadi kebiasaan yang tidak bisa
ditinggalkan, sejuta kematian bisa dicegah setiap tahun.
2.2.4.5 Dapat menghemat uang karena anggota keluarga jarang sakit.
28

2.2.5 Cara Melakukan Kebersihan Tangan Yang Benar


Menurut Proverawati & Eni, (2016) Cara melakukan kebersihan
tangan yang benar adalah
2.2.5.1 Cuci tangan dengan air yang mengalir dan gunakan sabun.
Tidak perlu harus sabun khusus antibakteri, namun lebih
disarankan sabun yang berbentuk cairan.
2.2.5.2 Gosok tangan setidaknya selama 15-20 detik.
2.2.5.3 Bersihkan bagian pergelangan tangan, punggung tangan,
sela-sela jari, dan kuku.
2.2.5.4 Basuh tangan sampai bersih dengan air yang mengalir.
2.2.5.5 Keringkan dengan handuk bersih atau alat pengering lainnya.
2.2.5.6 Gunakan tisu atau handuk sebagai penghalang ketika
mematikan air kran.

Praktek CTPS (cuci tangan pakai sabun) yang benar membutuhkan


sabun dan air mengalir. Air mengalir tidak harus dari keran, bisa juga
air mengalir dari sebuah wadah berupa gayung. botol, kaleng ember,
gentong atau jerigen. untuk menggunaan jenis sabun dapat
menggunakan semua jenis sabun karena semua sebenarnya efektif
dalam membunuh kuman penyakit. Untuk memperoleh hasil yang
maksimal, maka cuci tangan pakai sabun diperlukan cara yang baik
dan benar, langkah-langkahnya adalah
2.2.5.1 Bilas tangan dengan air bersih yang mengalir.
2.2.5.2 Tangan yang basah di sabuni terus di gosok-gosok bagian
telapak tangan dan punggung dengan jari-jari bawah kuku
minimal selama 20 detik.
2.2.5.3 Bilas kembali dengan air mengalir dan sampai bersih,
keringkan dengan tissu atau kibas-kibaskan di udara
(Fitrania, 2014).
29

Gambar 2.2 cara melakukan kebersihan tangan dengan antiseptik


berbasis alkohol dan melakukan kebersihan tangan
dengan sabun serta air mengalir (Setiawan, 2014).
30

Cara melakukan kebersihan tangan dengan prinsip enam langkah :


2.1.5.1 Gosok sabun ke dua belah tangan hingga merata.
2.1.5.2 Gosok punggung dan sela-sela jari tangan kiri dan kanan dan
sebaliknya.
2.1.5.3 Gosok kedua telapak dan sela-sela jari.
2.1.5.4 Jari-jari sisi dalam dari kedua tangan saling mengunci.
2.1.5.5 Gosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan kanan
dan sebaliknya.
2.1.5.6 Gosok dengan memutar ujung jari-jari tangan kanan di
telapak tangan kiri dan sebaliknya.
(Kemenkes RI, 2017).

Gambar 2.3 enam langkah melakukan kebersihan tangan (WHO, 2009)


31

2.2.6 Mikroorganisme di Tangan atau Kulit


Bakteri yang dapat menyebabkan infeksi nosokomial dan terdapat di
tangan atau kulit terdiri dari dua macam, yang dikenal sebagai Flora
Transien dan Flora Residen, Menurut Maryunani, (2011) dijelaskan
sebagai berikut :
2.2.6.1 Flora Transien
Ciri-ciri Flora Transien, antara lain :
a. Mikroorganisme yang berada dalam lapisan kulit, di
peroleh melalui kontak dengan pasien, petugas kesehatan
lainnya atau permukaan terkontaminasi (misalnya meja
periksa, tempat tidur, dll) selama berkerja.
b. Flora Transien tinggal di lapisan luar kulit dan terangkat
sebagian dengan mencuci tangan menggunakan sabun
dengan air mengalir. Merupakan jenis mikroorganisme
yang berusia pendek. Berasal dari lingkungan dan dapat
hidup 24 jam. Terdapat secara bebas di kulit.
c. Dapat dengan mudah dihilangkan dengan gesekan, sabun
dan air. Mayoritas jumlah transient flora di temukan di
bawah dan di sekitar kuku.
d. Selain itu, bakteri ditemukan sebagai flora normal yang
menyebabkan infeksi oleh karena bertranmisi keluar lokasi
habitat natural (normal) nya (saluaran kemih), kerusakan
jaringan atau perlukaan, terapi antibiotika yang tidak
memadai sehingga menstimulasi terjadinya overgrowth
(misalnya: C. Difficile, yeast species atau jamur).
e. Contoh mikroorganisme transien lainnya adalah
1) Staphylococcus aureus
2) Streptococcus haemolitucus
3) Escherichiacoli
4) Pseudomonas
32

f. Secara umum merupakan faktor utama penyebab infeksi


nosokomial.
g. Sering disebut sebagai penyebab infeksi endogen atau
endogenous infection.
2.2.6.2 Flora Residen: ciri-ciri Flora Residen, antara lain :
a. Mikroorganisme yang tinggal di lapisan kulit yang lebih
dalam serta di dalam folikel rambut, dan tidak dapat
dihilangkan sepenuhnya, bahkan dengan pencucian dan
pembilasan dengan sabun air bersih.
b. Mikroorganisme yang hidup dan berkembang biak di kulit
dan dapat terkultur secara terus menerus.
c. Dapat menimbulkan infeksi jika masuk ke dalam tubuh
melalui pembedahan. Contoh: bedah, pemakaian jarum
infus, trauma, dan katerisasi.
d. Tidak dapat dihilangkan dengan cara penyikatan tetapi
dapat di non-aktifkan dengan larutan anti-mikrobial.
e. Jumlah terbesar dari mikroorganisme ini di temukan di
daerah kuku dan garis tangan.
f. 10-20% mikroorganisme residen ini di temukan di sela-
sela tangan dan sulit dihilangkan.
g. Contoh dari Flora Residen, antara lain:
1) Bakteri gram positif/gram (+) cocci, yaitu seperti
staphylococcus epidermis.
2) Bakteri gram negatif/gram (-) bacilli, yaitu klebsiella-
enterobacter sp.
h. Bakteri ini bertranmisi di antara pasien, melalui:
1) Kontak langsung (tangan, droplet saliva, atau cairan
tubuh lainnya).
2) Udara (droplet atau debu yang terkontaminasi oleh
bakteri dari pasien).
33

3) Petugas kesehatan yang terkontaminasi saat perawatan


atau penanganan pasien (tangan, pakaian, hidung, dan
tenggorokan), yang kemudian menjadi karier sementara
(transient) atau sebagai kariet tetap (permanen), dan
sesudah itu menularkan bakteri kepada pasien secara
kontak langsung saat perawatan atau penanganan
pasien.
4) Benda yang terkontaminasi oleh pasien, termasuk alat
kesehatan, tangan petugas, pengunjung atau lingkungan
(air, cairan lainnya, makanan).
5) Sering disebut sebagai penyebab infeksi endogen atau
endogenous infection.

Menurut Pittet, (2000) dalam Pratama et al, (2015) cara pengendalian


infeksi terbukti efektif adalah memastikan perawat melakuka hand
hygiene. Tiga kelompok mikro organisme terdapat pada kulit yaitu
organisme yang tumbuh di kulit (flora normal), organisme kontaminan
(flora transien), dan patogen penyebab infeksi. Pada umumnya potensi
flora normal untuk menyebabkan penyakit kecil kecuali masuk ke
dalam jaringan tubuh melalui trauma atau terpapar dalam benda asing
yang masuk ke dalam tubuh seperti IV kateter. Sebaliknya flora
transien merupakan sumber paling besar untuk terjadi infeksi
nosokomial, tetapi flora transien mudah dibersihkan dengan hand
hygiene. Untuk melaksanakan hand hygiene dapat dilakukan dengan
berbagai cara yaitu dengan mencuci tangan dan disinfeksi tangan.

2.2.7 Faktor yang Mengurangi Kepatuhan Petugas Pelayanan Kesehatan


untuk Melakukan Kebersihan Tangan
2.2.7.1 Larutan cuci tangan menyebabkan iritasi dan kekeringan
2.2.7.2 Lokasi tempat cuci tangan (wastafel) tidak nyaman atau
jumlah kurang
34

2.2.7.3 Kurangnya cairan cuci tangan dan handuk kertas yang


tersedia
2.2.7.4 Terlalu sibuk atau kurangnya waktu
2.2.7.5 Kurangnya perawat atau petugas, banyaknya pasien
2.2.7.6 Pasien butuh prioritas, misalkan saat emergency atau darurat
2.2.7.7 Risiko rendah mendapatkan infeksi dari pasien (Maryunani,
2011)

Faktor-fakor yang mempengaruhi perilaku petugas kesehatan terhadap


kepatuhan mencuci tangan yaitu faktor individu, organisasi, dan
lingkungan. Ketiga faktor tersebut mempunyai ketergantungan dalam
mempengaruhi kepatuhan dalam hand hygiene. Faktor individu yang
mempengaruhi yaitu pengetahuan, sikap, beban kerja, dan motivasi.
Faktor organisasi meliputi ada tidaknya prosedur tetap, sanksi,
penghargaan, dukungan, pelatihan dan ketersediaan fasilitas sarana
sarana dan prasarana yang menunjang pelaksanaan hand hygiene.
Faktor lingkungan meliputi air dan arsitektur bangunan (Fauzia et al,
2014).

Untuk mendorong melakukan kebersihan tangan, pengelola program harus


melakukan segala upaya menyediakan sabun dan suplai air bersih terus
menerus baik dari kran atau ember dan lap pribadi. Langkah-langkah cuci
tangan rutin adalah
Langkah 1 : Basahi kedua belah tangan.
Langkah 2 : Gunakan sabun biasa (bahan antiseptik tidak perlu).
Langkah 3 : Gosok dengan keras seluruh bidang permukaan tangan dan jari-
jari bersama sekurang-kurangnya selam 10 hingga 15 detik,
dengan memperhatikan bidang dibawah kuku tangan dan di
antara jari-jari.
Langkah 4 : Bilas kedua tangan seluruhnya dengan air bersih.
35

Langkah 5 : Keringkan tangan dengan lap kertas (tisu) atau pengering dan
gunakan lap untuk mematikan kran.

Walaupun sulit untuk mengubah sikap pada area ini, ada langkah-langkah
tertentu yang dapat meningkatkan peluang keberhasilan. Ini termasuk :
 Menyebar luaskan pedoman praktik kesehatan dan kebersihan tangan
terkini, bukti yang mendukung efektivitasnya dalam mencegah penyakit
dan dibutuhkan kepatuhan para petugas kesehatan pada pedoman
tersebut.
 Melibatkan administrator pelayanan kesehatan atau rumah sakit dalam
mempromosikan serta menegakkan pedoman ini secara memberi
keyakinan kepada mereka akan penghematan biaya mencuci tangan dan
praktik kesehatan kebersihan tangan lainnya.
 Penggunaan teknik-teknik pendidikan yang berhasil, termasuk menjadi
contoh teladan (khususnya oleh penyedia), mentoring, pemantau, dan
umpan balik positif.
 Penggunaan pendekatan peningkatan kinerja yang ditujukan pada seluruh
petugas pelayanan kesehatan, tidak hanya dokter dan perawat untuk
meningkatkan kepatuhan.
 Pertimbangkan kebutuhan petugas dalam kesehatan dan kebersihan
tangan yang efektif serta nyaman sehingga kepatuhan akan mudah
tercapai.

Menurut Larson et al (2000); Pittet dkk (2000) dalam Tietjen et al, (2014)
salah satu contoh baik tentang bagaimana kepatuhan menjadi lebih mudah
adalah dengan membagikan penggosok tangan antiseptik dalam botol kecil
untuk setiap orang petugas kesehatan. Produk ini dikembangkan
berdasarkan hasil observasi yang menunjukan teknik cuci tangan yang
kurang tepat dan kurangnya kepatuhan menyebabkan rekomendasi
kesehatan dan kebersihan cuci tangan kurang efektif saat ini. Penggunaan
pengosok tangan antiseptik yang murah dan mudah dibuat, bagaimanapun
36

akan meminimalisasi berbagai faktor yang membatasi penggunaan lebih


baik pedoman kesehatan dan kebersihan tangan yang direkomendasikan.
Sebagai tambahan penggosok tangan lebih efektif dibandingkan cuci tangan
memakai sabun biasa atau sabun medis, dapat disediakan lebih mudah (tidak
perlu wastafel atau air mengalir) butuh waktu sedikit untuk digunakan dan
kecil kemungkinan iritasi pada kulit (kurang kering, pecah-pecah, atau
merekah). Menarik sekali, bahwa hanya program berdasarkan rumah sakit
berskala luas yang melaporkan peningkatan kepatuhan pelaksanaan
kebersihan dan kesehatan tangan berkesinambungan berhubungan dengan
penurunan angka infeksi yang dikaitkan dengan penggunaan penggosok
antiseptik.

Muto et al, (2000) dalam Tietjen et al, (2014) disadari bahwa, penyediaan
penggosok tangan bagi petugas tanpa disertai kegiatan pembelajaran dan
motivasi berkesinambungan tidak akan meningkatkan praktik kesehatan dan
kebersihan tangan jangka panjang. Tidak memadai dengan hanya memasang
dispenser penggosok tangan antiseptik aksi cepat.

Mc Cormick et al (2000) dalam Tietjen et al, (2014) Contoh kedua adalah


menganjurkan para petugas untuk menggunakan produk-produk perawatan
kulit tangan (pelumas lembab dan krim) bagi mencegah iritasi kulit dan
dermatitis kontak berhubungan dengan seringnya mencuci tangan,
khususnya dengan sabun dan deterjen yang mengandung bahan antiseptik.
Tidak hanya petugas sangat puas dengan hasil, tetapi yang paling penting
adalah kondisi kulit yang lebih baik pada penggunaan pelumas tangan telah
meningkatkan frekuensi cuci tangan 50% dalam studi.

Contoh terakhir adalah ilustrasi peranan guru dan penyedia dalam


meningkatkan praktik kesehatan dan kebersihan tangan, sesuai dengan
himbauan pedoman terkini untuk cuci tangan setiap kali sebelum dan
sesudah kontak dengan pasien. Rekomendasi ini membingungkan karena
37

tidak memperhitungkan cuci tangan sesudah tersebut yang hanya mungkin


bermanfaat apabila tidak terkontaminasi sebelum menyentuh pasien
berikutnya. Menyadari kebingungan ini dan mengadvokasikan perbaikannya
termasuk suatu cara dari penyedia menunjukkan komitmen mereka. Hal ini
akan membantu para petugas kesehatan dalam memenuhi kriteria
penggunaan kesehatan dan kebersihan tangan yang baik serta memberikan
perawatan pasien yang sesuai.

Kesimpulannya, walaupun peningkatan kepatuhan dengan pedoman


kesehatan dan kebersihan tangan begitu sulit untuk dilakukan, sejumlah
program dan institusi mulai menunjukan keberhasilan. Kunci keberhasilan
adalah bergantung pada intervensi multifaktor yang melibatkan perubahan
perilaku, pembelajaran kreatif, pemantauan, dan umpan balik, serta yang
paling penting adalah keterlibatan penyedia mereka sebagai contoh teladan
dan dukungan pihak administrasi (Tietjen et al, 2014).

Kebersihan tangan dianggap sebagai salah satu unsur paling penting dari
aktivitas pengendalian infeksi. Seiring dengan meningkatnya beban infeksi
terkait perawatan kesehatan (HCAI), meningkatnya keparahan penyakit dan
kompleksitas pengobatan, ditambah dengan infeksi pathogen multi-obat
resisten (MDR), praktisi perawatan kesehatan (HCP) membalikkan kembali
ke dasar-dasar pencegahan infeksi dengan langkah-langkah sederhana
seperti kebersihan tangan. Hal ini karena bukti ilmiah yang cukup
mendukung pengamatan bahwa jika dilaksanakan dengan benar, kebersihan
tangan dapat secara signifikan mengurangi resiko penularan infeksi di
fasilitas pelayanan kesehatan (Mathur, 2011).
38

2.3. Kepatuhan Petugas Kesehatan


2.3.1 Definisi Kepatuhan
Menurut Smet, (1994) dalam Sukron & Kariasa, (2013) kepatuhan
adalah tingkat seseorang melaksanakan suatu cara berperilaku sesuai
dengan apa yang disarankan atau dibebankan kepadanya.

Menurut Kemenkes RI, (2011) dalam Utami, (2017) Kepatuhan


(adherence) adalah suatu bentuk perilaku yang timbul akibat adanya
interaksi antara petugas kesehatan dan pasien sehingga pasien
mengerti rencana dengan segala konsekwensinya dan menyetujui
rencana tersebut serta melaksanakanya.

Kepatuhan pelaksanaan prosedur tetap (protap) adalah untuk selalu


memenuhi petunjuk atau peraturan-peraturan dan memahami etika
keperawatan di tempat perawat tersebut bekerja. Kepatuhan
merupakan modal dasar seseorang berperilaku. Menurut kelman di
kutip oleh Emaliyawati, (2010) dijelaskan bahwa perubahan sikap dan
perilaku individu diawali dengan proses patuh, identifikasi, dan tahap
terakhir. Perubahan perilaku individu baru dapat menjadi optimal jika
perubahan tersebut terjadi melalui proses internalisasi dimana perilaku
yang baru itu di anggap bernilai positif bagi diri individu itu sendiri
dan diintegrasikan dengan nilai-nilai lain dari hidupnya.

2.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan


Beberapa ahli sebagaimana dikemukakan oleh Smet, (1994) dalam
Damanik et al, (2011) mengatakan bahwa kepatuhan di pengaruhi
faktor internal dan eksternal, yaitu :
2.3.2.1 Faktor Internal
a. Karakteristik perawat
Faktor internal yang mempengaruhi kepatuhan dapat
brupa tidak lain merupakan karakteristik perawat itu
39

sendiri. Karakteristik perawat merupakan ciri-ciri pribadi


yang dimiliki seseorang ynag memiliki pekerjaan merawat
klien sehat maupun sakit.
b. Kemampuan
Kemampuan adalah kapasitas seseorang individu untuk
mengerjakan berbagai tugas dalam pekerjaan yang
meliputi kemampuan intelektual dan kemampuan fisik.
Kemampuan intelektual mempunyai peran yang besar
dalam pekerjaan yang rumit, sedangkan kemampuan fisik
mempunyai peranan yang penting untuk melakukan tugas
yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan, dan
keterampilan. Kemampuan seseorang bisa berbeda-beda
dalam pelaksanaan mencuci tangan. Bagi perawat yang
memiliki kemampuan melaksanakan akan cenderung
patuh untuk melakukan cuci tangan.
c. Motivasi
Motivasi adalah rangsangan, dorongan, dan ataupun
pembangkit tenaga yang dimiliki seseorang atau
sekelompok masyarakat yang mau berbuat dan
bekerjasama secara optimal melaksanakan sesuatu yang
telah direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.

Metode untuk meningkatkan motivasi seseorang terbagi


dua, yaitu metode langsung dengan cara pemberian materi
atau non materi secara langsung untuk memenuhi
kebutuhan misalnya memberikan bonus atau hadiah, dan
metode tidak langsung berupa fasilitas atau saran dalam
upaya meningkatkan motivasi dalam mencuci tangan.
40

Motivasi dapat mempengaruhi seseorang untuk dapat


melaksanakan suatu pekerjaan yang menjadi tugas dan
tanggung jawabnya. Motivasi adalah daya penggerak di
dalam diri orang untuk melakukan aktivitas tertentu demi
mencapai suatu tujuan tertentu.
2.3.2.2 Faktor Eksternal
a. Pola komunikasi
Pola komunikasi dengan profesi lain yang dilakukan oleh
perawat akan mempengaruhi tingkat kepatuhannya dalam
melaksanakan tindakan.
b. Keyakinan atau nilai-nilai yang diterima perawat
Keyakinan-keyakinan tentang kesehatan atau perawatan
dalam sistem pelayanan kesehatan mempengaruhi
kepatuhan perawat dalam melaksanakan peran dan
fungsinya.
c. Dukungan sosial
Dukungan sosial sangat mempengaruhi kepatuhan
perawat. Dukungan sosial memainkan peran terutama
yang berasal dari komunitas internal perawat, petugas
kesehatan lain, pasien maupun dukungan dari pimpinan
atau manajer pelayanan kesehatan serta keperawatan.

Menurut Squires et al, (3013) dalam Khuan W et al, (2017) faktor


yang mempengaruhi kepatuhan melakukan kebersihan tangan yaitu
kurangnya model peran positif di antara petugas kesehatan meskipun
beberapa praktik kebersihan tangan mereka sangat dipengaruhi oleh
petugas kesehatan yang lain.
41

Perubahan sikap dan perilaku dimulai dari kepatuhan, identifikasi,


kemudian internalisasi. Menurut Gibson (2007) dalam Arifianto
(2017) yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja seseorang
terhadap faktor organisasi adalah suatu sistem perserikatan formal dari
dua orang atau lebih yang bekerja sama untuk mencapai tujuan
tertentu. Karakteristik organisasi yang mempengaruhi perilaku dan
kinerja seseorang yaitu sumber daya, kepemimpinan, imbalan,
struktur, dan desain pekerjaan.
2.3.2.1 Sumber daya
Pada sistem organisasi di rumah sakit ada dua sumber daya
yaitu: sumber daya manusia terdiri dari tenaga professional,
non professional, staf administrasi dan pasien. Sumber daya
alam antara lain: uang, metode, peralatan, dan bahan-bahan.
2.3.2.2 Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi
orang lain. Kepemimpinan terletak pada kemampuan untuk
mempengaruhi aktivitas orang lain atau kelompok melalui
komunikasi untuk mencapai tujuan organisasi atau prestasi.
2.3.2.3 Imbalan
Imbalan atau kompensasi mengandung makna pembayaran
atau imbalan baik langsung maupun tidak langsung yang
diterima karyawan sebagai hasil kinerja. Kinerja seseoarang
akan meningkat apabila dia dilakukan secara adil baik antar
pekerja maupun pemberian imbalan atau penghargaan.
Pemberian imbalan yang baik akan mendorong karyawan
bekerja secara produktif.
2.3.2.4 Desain pekerjaan
Desain pekerjaan merupakan upaya seseorang manajer
mengklasifikasikan tugas dan tanggung jawab dari masing-
masing individu. Pekerjaan yang dirancang dengan baik akan
42

meningkatkan motivasi yang merupakan faktor penentu


produktivitas seseorang maupun organisasi.

2.3.3 Kriteria Kepatuhan


Dalam hal ini kepatuhan pelaksanaan prosedur tetap adalah untuk
selalu memenuhi petunjuk atau peraturan-peraturan dan memahami
etika keperawatan di tempat perawat tersebut bekerja. Kepatuhan
merupakan modal dasar seseorang berperilaku. Perubahan sikap dan
perilaku individu diawali dengan proses patuh, identifikasi, dan tahap
terakhir berupa internalisasi.

Menurut Payle, (1898) di kutip oleh Sukron & Kariasa, (2013)


membagi kepatuhan menjadi dua yaitu
2.3.3.1 Kepatuhan penuh
Kepatuhan penuh merupakan kondisi dimana perawat secara
konsisten dan penuh kesadaran melakukan apa yang
disarankan.
2.3.3.2 Ketidakpatuhan
Ketidakpatuhan merupakan kondisi dimana perawat
meninggalkan saran dan anjuran.

Menurut Spiritia, (2006) di kutip oleh Utami, (2017) tingkat


kepatuhan dapat dibedakan menjadi 2 tingkatan :
2.3.3.1 Patuh : ≥ 75%-100%
2.3.3.2 Tidak patuh : < 75%
43

2.4. Kerangka Teori


Kerangka teori merupakan sekumpulan definisi konsep dan pernyataan
hubungan beberapa konsep yang digambarkan dalam bentuk bagan/gambar.
Kerangka teori pada penelitian ini, yaitu:

5 Momen Kebersihan Tangan


Pelaksanaan Akreditasi dan
(Yuwono, 2016) 6 Langkah Melakukan Kebersihan
Tangan
(WHO, 2009 di kutip oleh
Kemenkes RI, 2017).
Meningkatkan Mutu (WHO, 2009 di kutip oleh
Pelayanan Wulandari & Sholikah, 2017).

Bab IX. Peningkatan


Mutu Klinis dan
Keselamatan Pasien
Kepatuhan Petugas Kesehatan
(PMKP)
Melakukan kebersihan Tangan
(Menkes RI, 2015)
Perdalin, (2010) di kutip oleh
Ratnawati & Sianturi, (2018)
(Smet, 1994 di kutip oleh Sukron
& Kariasa, 2013)

Cuci Tangan Cuci Tangan Pakai


dengan Handrub Sabun (CTPS)
(alkohol)
(WHO, 2009) (WHO, 2009)

SOP Cuci Tangan


Presentasi (%)
(WHO, 2009)

Gambar 2.4
Kerangka Teori Hubungan Pelaksanaan Akreditasi dengan Kepatuhan Petugas
Kesehatan Melakukan Kebersihan Tangan Sebelum Memberikan Tindakan
44

2.5. Kerangka Konsep


Kerangka konsep merupakan justifikasi ilmiah terhadap penelitian yang
dilakukan dan memberi landasan kuat terhadap topik yang dipilih sesuai
dengan identifikasi masalahnya. Kerangka konsep harus didukung dengan
landasan teori yang kuat serta ditunjang oleh informasi yang bersumber pada
berbagai laporan ilmiah, hasil penelitian, jurnal penelitian, dan lain-lain
(Hidayat A, 2014). Kepatuhan melakukan kebersihan tangan adalah salah
satu pencegah penyakit yang harus dilakukan dengan SOP mencuci tangan di
dalam pelaksanaan akreditasi sehingga akan meningkatkan mutu pelayanan
serta mendapatkan hasil yang optimal.

Variabel Dependen
Variabel Independen

Kepatuhan Petugas Kesehatan


Pelaksanaan Akreditasi
Melakukan Kebersihan Tangan

Gambar 2.5
Kerangka Konsep Hubungan Pelaksanaan Akreditasi dengan Kepatuhan
Petugas Kesehatan Melakukan Kebersihan Tangan Sebelum Memberikan
Tindakan

2.6. Hipotesis
Menurut Biondo & Haber (2002) di kutip oleh Nursalam (2017) hipotesis
adalah suatu pernyataan asumsi tentang hubungan antara dua atau lebih
variabel yang diharapkan bisa menjawab suatu pertanyaan dalam penelitian.
Hipotesis pada penelitian ini adalah ada hubungan antara pelaksanaan
akreditasi dengan kepatuhan petugas kesehatan melakukan kebersihan
tangan sebelum memberikan tindakan di Puskesmas Kurun Kabupaten
Gunung Mas Provinsi Kalimantan Tengah.

Anda mungkin juga menyukai