Anda di halaman 1dari 2

EMPATI : BISA MERASA BUKAN MERASA BISA

Triyana, S.Kep., Ns., ICAP I

Mohon maaf, karena terjadinya dinamika kedinasan, dimana SK adalah hal mutlak
yang harus dilaksanakan...hihihihihi...(curhat.mode.on), maka setelah sekian lama
baru bisa mencurahkan tulisan lagi...

Ide berawal dari ungkapan ringan sih...tapi cukup menggelitik..

“saiki kok sik ng covid do ketok seger-seger yo, oooo insentife okeh kok yo..”
(Sekarang kok yang berdinas di bangsal covid kelihatan lebih segar ya, oooo karena
dapat insentif banyak ya...)

Sebentar, jangan emosi bagi yang berdinas di bangsal covid, dan jangan menyetujui
dulu bagi yang sependapat... sabar...sabar.. ini ujian...hloh...

Seperti para pendahulu kita yang sering banget mengungkapkan semacam pepatah
“Wong Kuwi Sawang Sinawang” (orang itu melihat orang lain lebih enak). Iya kan ?
Seperti kata pepatah juga, bahwa “Pelangi itu selalu jatuh diatas kepala orang
lain....belum pernah kan lihat pelangi jatuh diatas kepala kita....” (pada kaget kan aku
bisa nulis kata-kata ini.....wkwkwkwkkwkwwk)

Kadang kita melihat kehidupan orang lain itu tampak indah, tanpa kita berusaha
untuk merasakan kenyataannya.. tanpa melihat seperti apa sebenarnya.. wajar sih,
manusiawi banget. Tapiiiiiiii, kadang akan terasa menyakitkan bagi beberapa orang,
ketika orang memaksakan apa yang mereka yakini, untuk kita iyakan.

Nah itu yang terjadi ketika pernyataan atau ungkapan diatas disampaikan kepada
teman-teman yang bertugas di bangsal covid. Karena mungkin saya mungkin juga
akan mengungkapkan hal seperti diatas. Tanpa kita tahu, bahwa sebenarnya betapa
berat teman-teman.

Secara fisik, adakah dari kita pernah berfikir bahwa teman kita yang jaga malam di
bangsal covid, ketika berdinas malam, harus keramas 2-3 kali ? Ataukah pernah
berfikir ternyata di dalam hazmat itu rasanya luar biasa ? Ataukah pernah melihat
dengan memakai gogle dan faceshield dimana kita harus mencari vena atau nadi ?

Secara psikis, pernahkah kita berfikir bahwa mereka cemas akan ketularan covid ?
Apakah kita tahu juga bahwa mereka akan membatasi diri bergaul dengan orang-
orang yang mereka sayangi, misalnya harus membatasi bertemu dengan orangtua ?
Ataupun bertemu dengan teman-teman diluar ?

Belum lagi diawal-awal harus melawan stigma yang berbuah diskriminasi dari
masyarakat ?
Secara materi, dimana peningkatan kebutuhan seperti multivitamin, peralatan mandi
yang meningkat 2 kali lipat dan lain sebagainya.

Secara non materi, disaat kita bisa selalu terhubung dengan dunia menggunakan
smartphone, mereka akan merelakan tidak memegang gadget demi keluarga..

Udah ah, mungkin mau ada yang nambahi silahkan...wkwkwkwkwkwk

Nah...sebenarnya kita akan menemukan banyak hal dibalik keadaan yang


sebenarnya, tinggal kita mau atau tidak untuk mempelajari, bertabayun , atau apalah
yang bisa kita lakukan, agar apa ? Agar kata-kata yang keluar dari mulut kita tidak
berefek menyakitkan bagi orang lain. Dan supaya kita bisa merasa atau berempati
terhadap orang lain.

“Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi


wa sallam, “Siapakah orang muslim yang paling baik ?’Beliau menjawab,
“Seseorang yang orang-orang muslim yang lain selamat dari gangguan
lisan dan tangannya”. (HR. Muslim no.64)

Anda mungkin juga menyukai