Makala Farmakologi Antipiretik Kelompok 3
Makala Farmakologi Antipiretik Kelompok 3
FARMAKOLGI 1
“ANTIPIRETIK”
OLEH
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang kami
peroleh dari buku panduan, serta informasi dari media massa yang berhubungan
dengan “Analgesik-Antipiretik dan Obat AINS”.
Kami harap makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Memang
makalah ini masih jauh dari sempurna, maka kami mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................................i
DAFTAR ISI .................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN ..........................................................................................1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................1
1.2 Maksud Percobaan...........................................................................................3
1.3 Tujuan Percobaan ............................................................................................6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................12
2.1 Teori Umun ......................................................................................................35
BAB 3 PENUTUP .........................................................................................................49
3.1 PENUTUP ........................................................................................................50
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Obat merupakan bahan kimia yang memungkinkan terjadinya interaksi
bila tercampur dengan bahan kimia lain baik yang berupa makanan, minuman
ataupun obat-obatan. Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat
pemakaian obat dengan bahan-bahan lain tersebut termasuk obat tradisional
dansenyawa kimia lain. Interaksi obat yang signifikan dapat terjadi jika duaatau
lebih obat sekaligus dalam satu periode (polifarmasi ) digunakanbersama-sama.
Interaksi obat berarti saling pengaruh antarobat sehingga terjadi perubahan efek.
Di dalam tubuh obat mengalami berbagai macam proses hingga akhirnya obat di
keluarkan lagi dari tubuh. Proses-proses tersebut meliputi, absorpsi, distribusi,
metabolisme (biotransformasi), dan eliminasi. Dalam proses tersebut, bila
berbagai macam obat diberikan secara bersamaan dapat menimbulkan suatu
interaksi. Selain itu, obat juga dapat berinteraksi dengan zat makanan yang
dikonsumsi bersamaan dengan obat.
Obat-obat analgesik antipiretik serta obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS)
merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat
berbeda secara kimia. Walaupun demikian obat-obat ini ternyata memiliki banyak
persamaan dalam efek terapi maupun efek samping. Golongan obat ini
menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadfi
PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase dengan cara yang
berbeda.
Antipiretik digunakan untuk membantu untuk mengembalikan suhu set
point ke kondisi normal dengan cara menghambat sintesa dan pelepasan
prostaglandin E2, yang distimulasi oleh pirogen endogen pada hipotalamus
(Sweetman, 2008). Obat ini menurunkan suhu tubuh hanya pada keadaan demam
namun pemakaian obat golongan ini tidak boleh digunakan secara rutin karena
bersifat toksik. Efek samping yang sering ditimbulkan setelah penggunaan
antipiretik adalah respon hemodinamik seperti hipotensi, gangguan fungsi hepar
dan ginjal, oliguria, serta retensi garam dan air (Hammond and Boyle, 2011).
Analgetika adalah zat yang bisa mengurangi rasa nyeri tanpa mengurangi
kesadaran (Tjay dan Rahardja, 2015). Nyeri adalah perasaan sensoris dan
emosional yang mengganggu, berhubungan dengan ancaman, timbulnya gangguan
atau kerusakan jaringan. Keadaan psikologis seseorang sangat berpengaruh,
misalnya emosi dapat menimbulkan nyeri/sakit kepala atau membuatya semakin
parah. Ambang batas nyeri yang dapat ditoleransi seseorang berbeda – beda
karena nyeri merupakan suatu perasaan subyektif (Sherwood, 2012).
Rasa nyeri berfungsi sebagai pertanda tentang adanya suatu gejala atau
gangguan di tubuh, seperti peradangan infeksi kuman atau kejang otot. Rasa nyeri
dapat disebabkan oleh rangsang mekanis, kimiawi, kalor atau listrik, yang dapat
merusak jaringan dan melepaskan zat mediator nyeri. Zat ini merangsang reseptor
nyeri yang letaknya di ujung syaraf bebas di kulit, selaput lendir dan jaringan lain.
Rangsangan akan di dialirkan melalui syaraf sensoris ke Susunan Syaraf Pusat
(S.S.P), melewati sumsum tulang belakang ke thalamus (optikus) kemudian ke
pusat nyeri yang berada di dalam otak besar, dimana rangsangan terasa sebagai
nyeri (Arif, 2010). Jalur nyeri di bagi menjadi beberapa tipe menurut kecepatan
hantar rangsanganya, yaitu jalur nyeri cepat melalui serabut A dan jalur nyeri
lambat melalui serabut C. Rangsangan terdeteksi oleh nosiseptor yang merupakan
ujungujung saraf bebas. Rangsangan akan dibawa sebagai impuls saraf melalui
serabut 2 A delta yang bermielin, serabut ini memiliki kecepatan hantar yang
tinggi yaitu 30m/detik dan bertanggung jawab terhadap nyeri yang cepat, tajam
dan terlokalisasi dengan jelas (jalur nyeri cepat). Serabut C yang tidak bermielin
memiliki kecepatan lambat untuk menghantarkan saraf yaitu 12m/detik dan
bertanggung jawab atas nyeri yang tumpul dan tidak terlokalisasi dengan jelas
(jalur nyeri lambat). Nyeri dirasakan pertama kali biasanya berupa sentakan tajam
yang kemudian disusul dengan nyeri yang lebih difus (Sherwood, 2012).
Antipiretik digunakan untuk membantu untuk mengembalikan suhu set
point ke kondisi normal dengan cara menghambat sintesa dan pelepasan
prostaglandin E2, yang distimulasi oleh pirogen endogen pada hipotalamus
(Sweetman, 2008). Obat ini menurunkan suhu tubuh hanya pada keadaan demam
namun pemakaian obat golongan ini tidak boleh digunakan secara rutin karena
bersifat toksik. Efek samping yang sering ditimbulkan setelah penggunaan
antipiretik adalah respon hemodinamik seperti hipotensi, gangguan fungsi hepar
dan ginjal, oliguria, serta retensi garam dan air (Hammond and Boyle, 2011).
Demam (pyrexia) merupakan kendali terhadap peningkatan suhu tubuh akibat
suhu set point hipotalamus meningkat. Alasan yang paling umum ketika hal ini
terjadi adalah adanya infeksi, kelainan inflamasi dan terapi beberapa obat
(Sweetman, 2008). Demam adalah keadaan dimana suhu tubuh lebih dari 37,5ºC
dan bisa menjadi manifestasi klinis awal dari suatu infeksi. Suhu tubuh manusia
dikontrol oleh hipotalamus. Selama terjadinya demam hipotalamus di reset pada
level temperatur yang paling tinggi (Dipiro, 2008). Demam akibat faktor non
infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain faktor lingkungan (suhu
lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi, keadaan tumbuh gigi, dll), penyakit
autoimun (arthritis, systemic lupus erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan
(penyakit Hodgkin, Limfoma nonhodgkin, leukemia, dll), dan pemakaian obat-
obatan (antibiotik dan antihistamin) (Kaneshiro and Zieve, 2013). Hal lain yang
juga berperan sebagai faktor non infeksi penyebab demam adalah 2 gangguan
sistem saraf pusat seperti perdarahan otak, status epileptikus, koma, cedera
hipotalamus, atau gangguan lainnya (Nelwan, 2009).
Nyeri yang disebabkan oleh nosiseptor mekanis dan panas spesifik akan
disalurkan melalui jalur nyeri cepat. Nyeri yang dirasakan sebagai sensasi tertusuk
benda tajam yang dapat dengan mudah diketahui lokasinya. Nyeri yang disalurkan
melalui jalur nyeri lambat biasanya menetap dalam waktu yang lebih lama disertai
rasa yang tidak nyaman. Sensasi ini diikuti oleh sensasi pegal tumpul dan tidak
terlokalisasi dengan jelas. Jalur nyeri lambat diaktifkan oleh bahan – bahan kimia
terutama bradikinin. Bradikinin adalah suatu bahan inaktif yang kemudian
menjadi aktif akibat enzim – enzim yang dikeluarkan ke dalam CES dan jaringan
yang rusak. Senyawa ini tidak hanya memicu nyeri tetapi juga merangsang
noniseptor polimedal dan juga merangsang peradangan yang cedera (Sherwood,
2012). Nyeri bisa diatasi dengan menggunakan berbagai macam obat analgesik.
Mekanisme analgesik di dalam tubuh yaitu dengan cara menghalangi
pembentukan rangsang dalam reseptor nyeri, saraf sensoris, dan sistem syaraf
pusat (Arif, 2010).
Analgesik yang termasuk dalam golongan AINS bekerja dengan cara
menghambat enzim siklooksigenase yang akan mengubah asam 3 arakidonat
menjadi prostaglandin di mana prostaglandin adalah mediator nyeri, sedangkan
analgesik golongan opioid bekerja di sentral menempati reseptor di kornu dorsalis
medulla spinalis yang menjaga pelepasan transmiter dan rangsang nyeri sehingga
terjadi penghambatan rasa nyeri (Ganiswarna dkk, 1995)
Demam (pyrexia) merupakan kendali terhadap peningkatan suhu tubuh
akibat suhu set point hipotalamus meningkat. Alasan yang paling umum ketika hal
ini terjadi adalah adanya infeksi, kelainan inflamasi dan terapi beberapa obat
(Sweetman, 2008). Demam adalah keadaan dimana suhu tubuh lebih dari 37,5ºC
dan bisa menjadi manifestasi klinis awal dari suatu infeksi. Suhu tubuh manusia
dikontrol oleh hipotalamus. Selama terjadinya demam hipotalamus di reset pada
level temperatur yang paling tinggi (Dipiro, 2008). Demam akibat faktor non
infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain faktor lingkungan (suhu
lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi, keadaan tumbuh gigi, dll), penyakit
autoimun (arthritis, systemic lupus erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan
(penyakit Hodgkin, Limfoma nonhodgkin, leukemia, dll), dan pemakaian obat-
obatan (antibiotik dan antihistamin) (Kaneshiro and Zieve, 2013). Hal lain yang
juga berperan sebagai faktor non infeksi penyebab demam adalah 2 gangguan
sistem saraf pusat seperti perdarahan otak, status epileptikus, koma, cedera
hipotalamus, atau gangguan lainnya (Nelwan, 2009).
Obat – obat antipiretik secara umum dapat digolongkan dalam beberapa
golongan yaitu golongan salisilat, (misalnya aspirin, salisilamid), golongan para-
aminofenol (misalnya acetaminophen, fenasetin) dan golongan pirazolon
(misalnya fenilbutazon dan metamizol) (Wilmana, 2007). Acetaminophen, Non
Steroid Anti-inflammatory Drugs, dan cooling blanket biasa digunakan untuk
mencegah peningkatan suhu tubuh pada pasien cedera otak agar tetap konstan
pada kondisi suhu ≤ 37,5ºC (Dipiro, 2008). Pemberian obat melalui rute intravena
atau intraperitonial biasanya juga digunakan pada keadaan hipertermia, yaitu
keadaan dimana suhu tubuh lebih dari 41ºC. Suhu ini dapat membahayakan
kehidupan dan harus segera diturunkan (Sweetman, 2008).
Usaha untuk menurunkan suhu tubuh merupakan cara untuk mengurangi
laju metabolik dan mengurangi kekurangan oksigen atau mengurangi kerusakan
lebih lanjut dari kematian sel otak setelah cedera otak atau pendarahan otak
(Hammond and Boyle, 2011).
NSAIDs banyak digunakan sebagai first line terapi untuk demam.
Metamizole di banyak negara sudah tidak lagi digunakan karena efek sampingnya
yang cukup serius yaitu agranulositosis, anemia aplastik, dan trombositopenia. Di
Indonesia, frekuensi pemakaian metamizole cukup tinggi dan agranulositosis
pernah dilaporkan pada pemakaian obat ini, tetapi belum ada data tentang angka
kejadiannya (Wilmana, 2007).
Dalam studi penggunaan obat, dapat dipelajari efek-efek yang mungkin
ditimbulkan metamizole sebagai antipiretik pada pasien cedera otak yang dapat
memperburuk outcome terapi. Studi penggunaan obat adalah studi yang
mempelajari proses penggunaan obat, yang didefinisikan WHO sebagai
pemasaran, distribusi, peresepan, dan penggunaan obat dalam masyarakat dengan
titik berat pada hasil pengobatan dan konsekuensi sosial-ekonomi yang
ditimbulkan. Tujuan 4 utama studi penggunaan obat adalah untuk memfasilitasi
penggunaan obat secara rasional pada suatu populasi. Dalam studi penggunaan
obat dipelajari faktor-faktor yang terlibat dalam peresepan, pemberian dan
penggunaan sehingga pengobatan dapat tepat guna dan mencapai hasil yang
optimal. Selain itu di dalam studi penggunaan obat dapat diperkirakan efek
samping atau bahaya obat tertentu yang dapat timbul pada pasien sesuai dengan
kondisi kliniknya serta dapat mengetahui pola penggunaan obat pada pasien
(WHO, 2013).
Studi penggunaan antipiretik ini pada umumnya bertujuan untuk
mengetahui terapi yang efektif untuk mengurangi demam pada pasien cedera otak
tanpa menimbulkan efek samping (Hammond and Boyle, 2011). Departemen
Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) menyatakan bahwa banyak obat
farmasetik menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan jika penggunaan
obat tersebut tidak sesuai dengan prosedur yang seharusnya diikuti (Gunawan
dkk, 2007). Dari berbagai manajemen terapi pada pasien cedera otak didapatkan
outcome yang beragam tergantung dari jenis terapi serta kondisi pasien yang dapat
mempengaruhi rute, dosis serta lama penggunaan (Haddad and Yaseen, 2012).
Obat – obat antipiretik secara umum dapat digolongkan dalam beberapa golongan
yaitu golongan salisilat, (misalnya aspirin, salisilamid), golongan para-aminofenol
(misalnya acetaminophen, fenasetin) dan golongan pirazolon (misalnya
fenilbutazon dan metamizol) (Wilmana, 2007). Acetaminophen, Non Steroid
Anti-inflammatory Drugs, dan cooling blanket biasa digunakan untuk mencegah
peningkatan suhu tubuh pada pasien cedera otak agar tetap konstan pada kondisi
suhu ≤ 37,5ºC (Dipiro, 2008). Pemberian obat melalui rute intravena atau
intraperitonial biasanya juga digunakan pada keadaan hipertermia, yaitu keadaan
dimana suhu tubuh lebih dari 41ºC. Suhu ini dapat membahayakan kehidupan dan
harus segera diturunkan (Sweetman, 2008). Ivandri dkk (2012) melakukan
penelitian pada pasien cedera otak dimana pasien diberikan acetaminophen
intravena dengan dosis 15 mg/kgBB dan metamizol intravena dengan dosis 15
mg/kgBB yang dikombinasi dengan cooling blanket. Hasilnya, pada kombinasi
metamizol intravena dengan cooling blanket selalu menghasilkan suhu yang lebih
rendah pada hampir semua waktu pengamatan dan menurunkan suhu lebih cepat
dibandingkan kombinasi acetaminophen dan cooling blanket (Ivandri dkk., 2012).
Hasil pengamatan ini sejalan dengan penelitian terdahulu membandingkan efek
antipiretik antara metamizol dan parasetamol dengan dosis yang sama yaitu 13,2-
22,3 mg/kgBB. Hasil penelitian tersebut menyatakan metamizol lebih unggul
pada 1,5 jam sampai 6 jam setelah pemberian obat (Rajeshwari, 1997). Demikian
pula pada penelitian lain yang membandingkan efisiensi antipiretik intravena infus
diklofenak (75 mg), metamizol (2500 mg dan 1000 mg) dan parasetamol (2000
mg dan 1000 mg). Penelitian 3 menyimpulkan bahwa semua memiliki efek
antipiretik yang signifikan. Namun, metamizol 2500 mg dianggap sebagai yang
paling efektif, sementara parasetamol 1000 mg menunjukkan khasiat antipiretik
terendah (Oborilová dkk., 2003). Seperti obat-obatan lainnya metamizol dan
parasetamol juga memiliki efek samping. Dari beberapa literatur disebutkan
bahwa efek samping yang mungkin terjadi adalah hipotensi, mual dan muntah (<
1/100 individu). Sedangkan efek samping lainnya yang jarang terjadi adalah
reaksi hipersensitivitas (< 1/10.000 individu) (Żukowski dkk.,2009). Usaha untuk
menurunkan suhu tubuh merupakan cara untuk mengurangi laju metabolik dan
mengurangi kekurangan oksigen atau mengurangi kerusakan lebih lanjut dari
kematian sel otak setelah cedera otak atau pendarahan otak (Hammond and Boyle,
2011). NSAIDs banyak digunakan sebagai first line terapi untuk demam.
Metamizole di banyak negara sudah tidak lagi digunakan karena efek sampingnya
yang cukup serius yaitu agranulositosis, anemia aplastik, dan trombositopenia. Di
Indonesia, frekuensi pemakaian metamizole cukup tinggi dan agranulositosis
pernah dilaporkan pada pemakaian obat ini, tetapi belum ada data tentang angka
kejadiannya (Wilmana, 2007).
Dalam studi penggunaan obat, dapat dipelajari efek-efek yang mungkin
ditimbulkan metamizole sebagai antipiretik pada pasien cedera otak yang dapat
memperburuk outcome terapi. Studi penggunaan obat adalah studi yang
mempelajari proses penggunaan obat, yang didefinisikan WHO sebagai
pemasaran, distribusi, peresepan, dan penggunaan obat dalam masyarakat dengan
titik berat pada hasil pengobatan dan konsekuensi sosial-ekonomi yang
ditimbulkan. Tujuan 4 utama studi penggunaan obat adalah untuk memfasilitasi
penggunaan obat secara rasional pada suatu populasi. Dalam studi penggunaan
obat dipelajari faktor-faktor yang terlibat dalam peresepan, pemberian dan
penggunaan sehingga pengobatan dapat tepat guna dan mencapai hasil yang
optimal. Selain itu di dalam studi penggunaan obat dapat diperkirakan efek
samping atau bahaya obat tertentu yang dapat timbul pada pasien sesuai dengan
kondisi kliniknya serta dapat mengetahui pola penggunaan obat pada pasien
(WHO, 2013). Studi penggunaan antipiretik ini pada umumnya bertujuan untuk
mengetahui terapi yang efektif untuk mengurangi demam pada pasien cedera otak
tanpa menimbulkan efek samping (Hammond and Boyle, 2011). Departemen
Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) menyatakan bahwa banyak obat
farmasetik menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan jika penggunaan
obat tersebut tidak sesuai dengan prosedur yang seharusnya diikuti (Gunawan
dkk, 2007). Dari berbagai manajemen terapi pada pasien cedera otak didapatkan
outcome yang beragam tergantung dari jenis terapi serta kondisi pasien yang dapat
mempengaruhi rute, dosis serta lama penggunaan (Haddad and Yaseen, 2012).
Tidak tertutup kemungkinan penggunaan obat yang kurang tepat dan penggunaan
obat-obat lain yang dapat meningkatkan peluang terjadinya Drug Related
Problems (DRPs) seperti drug underused, drug overused, underdose, interaksi
obat, efek samping obat. Sehubungan dengan adanya DRPs, setiap farmasis harus
dapat mendeteksi, mengatasi dan mencegah masalah-masalah yang terjadi atau
akan terjadi dalam pengelolaan dan penggunaan injeksi metamizole. Untuk
mengatasi kegagalan terapi pada pasien cedera otak maka diperlukan suatu
pelayanan kesehatan yang menyeluruh agar tujuan terapi yang diharapkan
tercapai, salah satunya pelayanan kefarmasian.
Pelayanan farmasi di rumah sakit ditujukan untuk 5 memberikan jaminan
pengobatan yang rasional kepada pasien. Penggunaan obat dikatakan rasional jika
obat digunakan sesuai indikasi, kondisi pasien dan pemilihan obat yang tepat
(jenis, sediaan, dosis, rute, waktu, dan lama pemberian), mempertimbangkan
manfaat dan resiko bagi pasien tersebut. Oleh sebab itu diperlukan data-data
penggunaan obat yang dapat diperoleh dari studi penggunaan obat atau Drug
Utilization Studies (DUS) (WHO, 2013).
Tidak tertutup kemungkinan penggunaan obat yang kurang tepat dan
penggunaan obat-obat lain yang dapat meningkatkan peluang terjadinya Drug
Related Problems (DRPs) seperti drug underused, drug overused, underdose,
interaksi obat, efek samping obat. Sehubungan dengan adanya DRPs, setiap
farmasis harus dapat mendeteksi, mengatasi dan mencegah masalah-masalah yang
terjadi atau akan terjadi dalam pengelolaan dan penggunaan injeksi metamizole.
Untuk mengatasi kegagalan terapi pada pasien cedera otak maka diperlukan suatu
pelayanan kesehatan yang menyeluruh agar tujuan terapi yang diharapkan
tercapai, salah satunya pelayanan kefarmasian. Pelayanan farmasi di rumah sakit
ditujukan untuk 5 memberikan jaminan pengobatan yang rasional kepada pasien.
Penggunaan obat dikatakan rasional jika obat digunakan sesuai indikasi, kondisi
pasien dan pemilihan obat yang tepat (jenis, sediaan, dosis, rute, waktu, dan lama
pemberian), mempertimbangkan manfaat dan resiko bagi pasien tersebut. Oleh
sebab itu diperlukan data-data penggunaan obat yang dapat diperoleh dari studi
penggunaan obat atau Drug Utilization Studies (DUS) (WHO, 2013). Analgesik
yang sering digunakan masyarakat adalah yang memiliki kandungan parasetamol,
ibuprofen, asam mefenamat, dan lain-lain, namun obatobatan kimia tersebut
memilik efek samping yang kurang baik bagi tubuh kita apabila di gunakan dalam
jangka waktu panjang. Opioid akan menimbulkan adiksi dan golongan AINS
dapat menimbulkan gastritis yang apabila telah parah menyebabkan perdarahan
pada saluran cerna, gangguan asam-basa, menghambat ekskresi asam urat,
agranulositosis dan gangguan fungsi trombosit (Sardjono dkk, 1995). Bahan
analgesik alami bisa digunakan sebagai alternatif selain menggunakan bahan
kimia yang memiliki banyak efek samping. Bahan alami mengandung analgesik
yang dahulu sering digunakan masyarakat untuk menekan rasa sakit dari derajat
ringan hingga berat yang sering kali mengganggu aktivitas sehari–hari diantaranya
kulit buah manggis. Banyak tanaman obat yang dilaporkan mempunyai efek terapi
untuk beberapa penyakit.
Kulit buah manggis mengandung sejumlah zat yang terkandung dan
bermanfaat bagi kesehatan, salah satunya adalah Xanthone. Xanthone memiliki
sifat antiinflamasi dan antioksidan yang kuat dan diduga juga dapat menghambat
nyeri yang memiliki mekanisme yang sama dengan analgesik kimiawi (Cui dkk,
2009). 4 Namun pengetahuan tentang obat alami ini bersifat empiris dan belum di
uji secara ilmiah. Kulit buah manggis juga terdapat sejumlah besar zat yang
terkandung yang bermanfaat bagi kesehatan, salah satunya adalah xanton. Xanton
memiliki sifat yang dapat menghambat nyeri yang memiliki mekanisme yang
sama dengan analgesik kimiawi (Cui dkk, 2009).
Peneliti ingin membandingkan efektivitas ekstrak kulit manggis sebagai
analgesik (pengurang rasa nyeri) dengan obat kimia asam mefenamat dalam
penelitian, menggunakan media mencit swiss (muss musculus) sebagai hewan uji,
mencit di letakkan diatas Hotplate. Waktu impuls nyeri hingga respon nyeri
disebut latency amati respon mencit Setelah mencit berada di atas Hotplate, yaitu
dengan melihat berapa kali / frekuensi mencit menjilat kakinya atau melompat
untuk menghindari nyeri hingga didapatkan waktu onset dan durasi dari obat
analesik tersebut
1.2 Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan analgesik, antipiretik dan
anti inflamasi
2. Mengetahui kegunaan obat dari analgesik, antipiretik dan anti inflamasi
3. Mengetahui mekanisme dari kerja obat-obat tersebut
4. Mengetahui macam-macam obat dari analgesik, antipiretik dan anti
inflamasi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Analgesik-Antipiretik
2.1.1 Pengertian Analgesik Antipiretik
Antipiretik adalah obat yang dapat menurunkan panas atau untuk obat
mengurangi suhu tubuh (suhu tubuh yang tinggi). Hanya menurunkan temperatur
tubuh saat panas dan tidak berefektif pada orang normal. Oba golongan ini bekerja
dengan cara menghambat produksi prostaglandin di hipotalamus anterior (yang
meningkat sebagai respon adanya pirogen endogen). Contoh Obat Antipiretik :
Parasetamol, panadol, paracetol, paraco, praxion, primadol, santol, zacoldin,
poldan mig, acetaminophen, asetosal atau asam salisilat, salisilamida.
Analgetik adalah adalah obat yang mengurangi atau melenyapkan rasa
nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Antipiretik adalah obat yang menurunkan
suhu tubuh yang tinggi. Jadi analgetik-antipiretik adalah obat yang mengurangi
rasa nyeri dan serentak menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Analgetik atau
analgesik, merupakan obat untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit atau
obat-obat penghilang nyeri tanpa menghilangkan kesadaran dan akhirnya akan
memberikan rasa nyaman pada orang yang menderita.
Rasa nyeri hanya merupakan suatu gejala, fungsinya memberi tanda
tentang adanya gangguan-gangguan di tubuh seperti peradangan, infeksi kuman
atau kejang otot. Rasa nyeri disebabkan rangsang mekanis atau kimiawi, kalor
atau listrik, yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan dan melepaskan zat yan
disebut mediator nyeri (pengantara). Zat ini merangsang reseptor nyeri yang
letaknya pada ujung syaraf bebas di kulit, selaput lendir dan jaringan lain. Dari
tempat ini rangang dialaihkan melalui syaraf sensoris ke susunan syaraf pusat
(SSP), melalui sumsum tulang belakang ke talamus (optikus) kemudian ke pusat
nyeri dalam otak besar, dimana rangsang terasa sebagai nyeri.
Cara Pemberantasan Rasa Nyeri:
1. Menghalangi pembentukan rangsang dalam reseptor nyeri perifer oleh
analgetik perifer atau oleh anestetik lokal.
2. Menghalangi penyaluran rangsang nyeri dalam syaraf sensoris, misalnya
dengan anestetik local.
3. Menghalangi pusat nyeri dalam SSP dengan analgesik sentral (narkotik)
atau dengan anestetik umum.
Umumnya cara kerja analgetik-antipiretik adalah dengan menghambat
sintesa neurotransmitter tertentu yang dapat menimbulkan rasa nyeri & demam.
Dengan blokade sintesa neurotransmitter tersebut, maka otak tidak lagi
mendapatkan "sinyal" nyeri,sehingga rasa nyerinya berangsur-angsur menghilang.
2.1.2 Penggolongan Analgesik
Analgesik dibagi menjadi dua, yaitu analgesik narkotik dan analgesik non
narkotik.
1. Analgesik Narkotik
Khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti fraktur dan
kanker. Nyeri pada kanker umumnya diobati menurut suatu skema bertingkat
empat, yaitu : obat perifer (non Opioid) peroral atau rectal; parasetamol, asetosal,
obat perifer bersama kodein atau tramadol, obat sentral (Opioid) peroral atau
rectal, obat Opioid parenteral. Guna memperkuat analgetik dapat dikombinasikan
dengan co-analgetikum, seperti psikofarmaka (amitriptilin, levopromazin atau
prednisone).
Zat-zat ini memiliki daya menghalangi nyeri yang kuat sekali dengan
tingkat kerja yang terletak di Sistem Saraf Pusat. Umumnya mengurangi
kesadaran (sifat meredakan dan menidurkan) dan menimbulkan perasaan nyaman
(euforia). Dapat mengakibatkan toleransi dan kebiasaan (habituasi) serta
ketergantungan psikis dan fisik (ketagihan adiksi) dengan gejala-gejala
abstinensia bila pengobatan dihentikan. Semua analgetik narkotik dapat
mengurangi nyeri yang hebat, teteapi potensi. Onzer, dan efek samping yang
paling sering adalah mual, muntah, konstipasi, dan mengantuk. Dosis yang besar
dapat menyebabkan hipotansi serta depresi pernafasan.
Morfin dan petidin merupakan analgetik narkotik yang paling banyak
dipakai untuk nyeri walaupun menimbulkan mual dan muntah. Obat ini di
Indonesia tersedia dalam bentuk injeksi dan masih merupakan standar yang
digunakan sebagai pembanding bagi analgetik narkotika lainnya. Selain
menghilangkan nyeri, morfin dapat menimbulkan euphoria dan ganguan mental.
Berikut adalah contoh analgetik narkotik yang samapi sekarang masih
digunakan di Indonesia :
Morfin HCL,
Kodein (tunggal atau kombinasi dengan parasetamol),
Fentanil HCL,
Petinidin, dan
Tramadol.
Khusus untuk tramadol secara kimiawi memeng tergolong narkotika tetapi
menurut undang-undang tidak sebagai narkotik, karena kemungkinan
menimbulkan ketergantungan.
2. Analgesik Non – Narkotik
Terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja
sentral. Obat- obat inidinamakan juga analgetika perifer, karena tidak
mempengaruhi Sistem Saraf Pusat, tidak menurunkan kesadaran atau
mengakibatkan ketagihan. Semua analgetika perifer juga memiliki kerja
antipiretik, yaitu menurunkan suhu badan pada keadaan demam, maka disebut
juga analgetik antipiretik. Khasiatnya berdasarkan rangsangannya terhadap pusat
pengatur kalor di hipotalamus, yang mengakibatkan vasodilatasi perifer (di kulit)
dengan bertambahnya pengeluaran kalor dan disertai keluarnya banyak keringat.
Efek analgetik timbul karena mempengaruhi baik hipotalamus atau di
tempat cedera. Respon terhadap cedera umumnya berupa inflamasi, udem, serta
pelepasan zat aktif seperti brandikinin, PG, dan histamine. PG dan brankinin
menstimulasi ujung staraf perifer dengan membawa implus nyeri ke SSP. AINS
dapat menghambat sintesis PG dan brankinin sehingga menghambat terjadinya
perangsangan reseptor nyeri. Obat-obat yang banyak digunakan sebagai analgetik
dan antipiretik adalah golongan salisilat dan asetaminofen (parasetamol). Aspirin
adalah penghambat sintesis PG paling efektif dari golongan salisilat.
Salisilat merupakan protipe AINS yang sampai sekarang masih digunakan.
Termasuk salisilat adalah Na-salisilat, aspirin (asam asetil salisilat), salisid, dan
meril salisilat bersifat toksik jika tertelan oleh Karen itu, hanya dipakai topical
untuk menghangatkan kulit dan antigatal ( antpruritus). Golongan salisilat dapat
mengiritasi lapisan mukosa lambung. Organ yang peka pada efek ini akan
mengalami mual setelah minum aspirin. Dalam lambung . PG berperan serta
dalam mekanisme perlindungan mukosa dari asam lambung atau gantrin. PG
berfungsi meningkatkan daya tahan membrane mukosa lambung. Aspirin selain
berefek analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi, daalam dosis kecil juga berfungsi
sebagai antitrombosis (antiplatelet). Pada dosis kecil, aspirin dapat menghambat
agreasi trombosit (antikoagulan) mencegah terbentuknya thrombus pada penderita
infark jantung sehingga ddapat mengurangi timbulnya stroke.
2.1.3 Penggunaan Analgetik-Antipiretik dalam Kehamilan :
Penggunaan obat Analgetik-Antipiretik pada saat mengandung bagi ibu
hamil harus diperhatikan. Ibu hamil yang mengkonsumsi obat secara sembarangan
dapat menyebabkan cacat pada janin. Sebagian obat yang diminum oleh ibu hamil
dapat menembus plasenta sampai masuk ke dalam sirkulasi janin, sehingga
kadarnya dalam sirkulasi bayi hampir sama dengan kadar dalam darah ibu yang
dalam beberapa situasi akan membahayakan bayi.
Pengaruh buruk obat terhadap janin, secara umum dapat bersifat toksik,
teratogenik, maupun letal tergantung pada sifat obat dan umur kehamilan pada
saat minum obat. Pengaruh toksik adalah jika obat yang diminum selama masa
kehamilan menyebabkan terjadinya gangguan fisiologik atau bio-kimiawi dari
janin yang dikandung, dan biasanya gejalanya baru muncul beberapa saat setelah
kelahiran. Pengaruh obat bersifat teratogenik, jika menyebabkan terjadinya
malformasi anatomic (kelainan/kekurangan organ tubuh) pada pertumbuhan organ
janin. Pengaruh teratogenik ini biasanya terjadi pada dosis subletal. Sedangkan
pengaruh obat yang bersifat letal adalah yang mengakibatkan kematian janin
dalam kandungan. Secara umum pengaruh obat pada janin dapat beragam sesuai
dengan fase-fase berikut:
a. Fase Implantasi yaitu pada umur kehamilan kurang dari 3 minggu.Pada
fase ini obat dapat member pengaruh buruk atau mingkin tidak sama sekali.Jika
terjadi pengaruh buruk biasanya menyebabkan kematian embrio atau berakhirnya
kehamilan (abortus).
b. Fase Embrional atau Organogenesis,yaitu pada umur kehamilan antara 4-8
minggu.Pada fase ini terjadi diferensiasi pertumbuhan untuk pembentukan organ-
organ tubuh, sehingga merupakan fase yang paling peka untuk terjadinya
malformasi anatomik (pengaruh teratogenik). Selama embriogenesis kerusakan
bergantung pada saat kerusakan terjadi, karena selama waktu itu organ-organ
dibentuk dan blastula mengalami deferensiasi pada waktu yang berbeda-beda. Jika
blastula yang dipengaruhi masih belum berdeferensiasi dan kerusakan tidak letal
maka terdapat kemungkinan untuk restitutio ad integrum. Sebaliknya jika bahan
yang merugikan mencapai blastula yang sedang dalam fase deferensiasi maka
terjadi cacat (pembentukan salah)
Berbagai pengaruh buruk yang terjadi pada fase ini antara lain:
Efek : mual, muntah, diare, kostipasi, nyeri dan rasa panas di epigastrum
Dosis :
Oral: Dewasa : 1200 – 1800 mg/ hr Dibagi 3 – 4 (maks 2.400 mg/hr
Anak > 30 Kg BB : 20 mg/ kg BB/ hr
Anak < 30 kg BB : maks 500 mg/ hr
PO : Berikan segera sesudah makan
4. Asam mefenamat
Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik. Asam mefenamat
sangat kuat terikat pada protein plasma, sehingga interaksi dengan obat
antikoagulan harus diperhatikan. Efek samping terhadap saluran cerna
sering timbul misalnya dispepsia dan gejala iritasi lain terhadap mukosa
lambung.
Indikasi : Sakit kepala, sakit gigi, nyeri otot tulang , nyeri karena luka,
nyeri setelah operasi, nyeri setelah melahirkan, dismenore, nyeri reumatik,
nyeri tulang belakang, demam.
kontra indikasi : Ulserasi sampai inflamasi saluran cerna, peny. ginjal atau
hati, hipersensitif, tukak lambung.
Efek samping : Mual, muntah, diare, iritasi lambung, pusing-using dan
gangguan penglihatan.
5. Tramadol
Tramadol adalah senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.
Tramadol digunakan untuk sakit nyeri menengah hingga parah. Sediaan
tramadol pelepasan lambat digunakan untuk menangani nyeri menengah
hingga parah yang memerlukan waktu yang lama. Minumlah tramadol
sesuai dosis yang diberikan, jangan minum dengan dosis lebih besar atau
lebih lama dari yang diresepkan dokter. Jangan minum tramadol lebih dari
300 mg sehari.
Indikasi : Pengobatan nyeri akut dan kronik yang berat, nyeri pasca op.
Ketergantungan obat dan opium, sensitif terhadap tramadol atau opiat,
mendapat terapi MAOI, intoksikasi akut dengan alkohol, hipnotik,
analgesik, atau obat yang mempengaruhi system syaraf pusat dan yang
lainya.
Kontra indikasi : tidak dianjurkan pada wanita hami dan menyusui.
Efek samping : pusing, sedasi, lelah, sakit kepala pruritus, berkeringat,
kulit kemerahan, mulut kering, mual, muntah, dyspepsia, obstipas
Dosis : Dewasa & anak > 16 thn 50 mg dosis tunggal, dapat ditingkatkan
50 mg ssdh selang waktu 4-6 jam. Maks : 400 mg /hr. Diberikan bersama
atau tanpa makanan.
6. Benorylate
Benorylate adalah kombinasi dari parasetamol dan ester aspirin.
Obat ini digunakan sebagai obat antiinflamasi dan antipiretik. Untuk
pengobatan demam pada anak obat ini bekerja lebih baik dibanding
dengan parasetamol dan aspirin dalam penggunaan yang terpisah. Karena
obat ini derivat dari aspirin maka obat ini tidak boleh digunakan untuk
anak yang mengidap Sindrom Reye.
7. Fentanyl
Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik
narkotika digunakan sebagai penghilang nyeri. Dalam bentuk sediaan
injeksi IM (intramuskular) Fentanyl digunakan untuk menghilangkan sakit
yang disebabkan kanker. Menghilangkan periode sakit pada kanker adalah
dengan menghilangkan rasa sakit secara menyeluruh dengan obat untuk
mengontrol rasa sakit yang persisten/menetap. Obat Fentanyl digunakan
hanya untuk pasien yang siap menggunakan analgesik narkotika. Fentanyl
bekerja di dalam sistem syaraf pusat untuk menghilangkan rasa sakit.
Beberapa efek samping juga disebabkan oleh aksinya di dalam sistem
syaraf pusat. Pada pemakaian yang lama dapat menyebabkan
ketergantungan tetapi tidak sering terjadi bila pemakaiannya sesuai dengan
aturan.
Ketergantungan biasa terjadi jika pengobatan dihentikan secara
mendadak. Sehingga untuk mencegah efek samping tersebut perlu
dilakukan penurunan dosis secara bertahap dengan periode tertentu
sebelum pengobatan dihentikan.
8. Naproxen
Naproxen termasuk dalam golongan antiinflamasi nonsteroid.
Naproxen bekerja dengan cara menurunkan hormon yang menyebabkan
pembengkakan dan rasa nyeri di tubuh.
2.4 Antipiretik
2.4.1 Definisi Antipiretik
Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-hari
yang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus
(Dinarello & Gelfand, 2005). Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5-37,2°C.
Derajat suhu yang dapat dikatakan demam adalah rectal temperature ≥38,0°C atau
oral temperature ≥37,5°C atau axillary temperature ≥37,2°C (Kaneshiro & Zieve,
2010). Istilah lain yang berhubungan dengan demam adalah hiperpireksia.
Hiperpireksia adalah suatu keadaan demam dengan suhu >41,5°C yang
dapat terjadi pada pasien dengan infeksi yang parah tetapi paling sering terjadi
pada pasien dengan perdarahan sistem saraf pusat (Dinarello & Gelfand, 2005).
Demam terbagi atas beberapa tingkatan :
1. Demam ringan = suhu badan berkisar antara 37o -38 oC
2. Demam sedang = suhu badan berkisar antara 38o -39o C
3. Demam = suhu badan berkisar antara 39o -40o C
4. Demam tinggi = suhu badan di atas 40oC
2.4.2 Patofisiologi Demam
Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan nama
pirogen. Pirogen adalah zat yang dapat menyebabkan demam. Pirogen terbagi dua
yaitu pirogen eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh pasien. Contoh
dari pirogen eksogen adalah produk mikroorganisme seperti toksin atau
mikroorganisme seutuhnya. Salah satu pirogen eksogen klasik adalah endotoksin
lipopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif. Jenis lain dari pirogen
adalah pirogen endogen yang merupakan pirogen yang berasal dari dalam tubuh
pasien. Contoh dari pirogen endogen antara lain IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN.
Sumber dari pirogen endogen ini pada umumnya adalah monosit, neutrofil, dan
limfosit walaupun sel lain juga dapat mengeluarkan pirogen endogen jika
terstimulasi (Dinarello & Gelfand, 2005).
Demam memiliki tiga fase yaitu: fase kedinginan, fase demam, dan fase
kemerahan. Fase pertama yaitu fase kedinginan merupakan fase peningkatan suhu
tubuh yang ditandai dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan peningkatan
aktivitas otot yang berusaha untuk memproduksi panas sehingga tubuh akan
merasa kedinginan dan menggigil. Fase kedua yaitu fase demam merupakan fase
keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas di titik patokan suhu
yang sudah meningkat. Fase ketiga yaitu fase kemerahan merupakan fase
penurunan suhu yang ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah dan
berkeringat yang berusaha untuk menghilangkan panas sehingga tubuh akan
berwarna kemerahan (Dalal & Zhukovsky, 2006).
2.4.3 Mekanisme Demam
Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih
(monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin,
mediator inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan
mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNFα,
dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan merangsang endotelium
hipotalamus untuk membentuk prostaglandin (Dinarello & Gelfand, 2005).
Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan patokan termostat di
pusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang
lebih rendah dari suhu patokan yang baru sehingga ini memicu
mekanismemekanisme untuk meningkatkan panas antara lain menggigil,
vasokonstriksi kulit dan mekanisme volunter seperti memakai selimut. Sehingga
akan terjadi peningkatan produksi panas dan penurunan pengurangan panas yang
pada akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh naik ke patokan yang baru tersebut
(Sherwood, 2001).
2.4.4 Klasifikasi Tipe-tipe demam bergantung pada suhu tubuh penderita yang
berubahubah setiap hari. Penyakit-penyakit tertentu yang diawali dari demam,
dapat dikarakteristikkan dengan kurva temperatur yang spesifik. Berdasarkan hal
di atas demam dibagi atas delapan tipe (Sulustia. 1995):
1. Continued fever (febris continua): suhu tubuh terus-menerus di atas
normal. Gejala ini ditemukan pada lobar pnemonia, typhus dan lain-lain.
2. Remittent fever (febris remittens): suhu tubuh tiap hari turun naik tanpa
kembali ke normal. Gejala ini ditemukan pada penyakit purulent, kadangkadang
pada TBC paru-paru.
3. Intermittent fever (febris intermittens): suhu tubuh tiap hari kembali ke
(bawah) normal, kemudian naik lagi. Gejala ini ditemukan pada penyakit malaria.
4. Hectic fever (febris hectica), memiliki fluktuasi temperatur yang jauh lebih
besar daripada remittent fever, mencapai 2o C – 4o C. Hal ini ditandai dengan
menurunnya temperatur dengan cepat ke normal atau di bawah normal, biasanya
disertai dengan pengeluaran keringat yang berlebihan. Gejala ini ditemukan pada
TBC paru-paru dan sepsis.
5. Recurrent fever (febris recurrens) merupakan demam yang mengambuh.
6. Undulant fever (febris undulans), ditandai dengan kenaikan suhu tubuh
secara berangsur yang diikuti dengan penurunan suhu tubuh secara berangsur pula
sampai normal. Gejala ini ditemukan pada penyakit bruselosis.
7. Irreguler fever (febris irregularis), ditandai dengan variasi diurnal yang
tidak teratur dalam selang waktu yang berbeda. Gejala ini ditemukan pada demam
rematik, disentri, influenza, sepsis, rheumocarditis dan lain-lain.
8. Inverted fever (febris inversa), dalam hal ini suhu tubuh pagi hari lebih
tinggi daripada malam hari. Gejala ini ditemukan pada TBC paru-paru, sepsis dan
bruselosis.
2.4.5 Penatalaksanaan Terapi
a) Terapi Farmakologi
Analgetik adalah adalah obat yang mengurangi atau melenyapkan rasa
nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Antipiretik adalah obat yang menurunkan
suhu tubuh yang tinggi.Jadi analgetik-antipiretik adalah obat yang mengurangi
rasa nyeri dan serentak menurunkan suhu tubuh yang tinggi.Umumnya cara kerja
analgetik-antipiretik adalah dengan menghambat sintesa neurotransmitter tertentu
yang dapat menimbulkan rasa nyeri & demam. Contoh obat-obat analgesik
antipiretik yang beredar di Indonesia (Inarno. 2013) :
1) Paracetamol Paracetamol merupakan analgesik-antipiretik dan anti-
inflamasi nonsteroid (AINS) yang memiliki efek analgetik (menghilangkan rasa
nyeri), antipiretik (menurunkan demam), dan anti-inflamasi (mengurangi proses
peradangan). Paracetamol paling aman jika diberikan selama kehamilan.
Parasetamol dalam dosis tinggi dan jangka waktu pemberian yang lama bisa
menyebabkan toksisitas atau keracunan pada ginjal. sehingga dikategorikan
sebagai analgetik-antipiretik. Golongan analgetik-antipiretik adalah golongan
analgetik ringan. Parasetamol merupakan contoh obat dalam golongan ini.
Beberapa macam merk dagang, contohnya Parasetamol (obat penurun panas atau
penghilang nyeri) bisa diperdagangkan dengan merk Bodrex, Panadol, Paramex.
(Inarno. 2013). Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500
mg atau sirup yang mengandung 120 mg/5 ml. Selain itu parasetamol terdapat
sebagai sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk tablet maupun cairan. Dosis
parasetamol untuk dewasa 300 mg - 1 g per kali, dengan maksimum 4 g/hari.
2) Ibuprofen Ibuprofen adalah salah satu jenis anti-inflamasi non-steroid
(AINS) yang diindikasikan untuk meredakan nyeri ringan sampai sedang, nyeri
setelah operasi, nyeri pada penyakit sendi (seperti pengapuran sendi atau rematik),
nyeri otot, nyeri haid, serta menurunkan demam. Ibuprofen juga memiliki efek
anti-radang dan anti-pembekuan darah yang lemah. (Yolanda. 2013). Dosis untuk
demam yakni 200-400 mg tiap 4 sampai 6 jam dengan dosis maksimum 1200 mg
sehari. martindalle, hal;65.
3) Aspirin Aspirin adalah obat menghambat produksi prostaglandin
(sebuah zat spesifik yang menyebabkan rasa sakit dan demam) untuk mengurangi
respons tubuh terhadap serangkaian proses kimia yang akhirnya menuju
terbentuknya rasa sakit.Obat ini di indikasikan untuk meringankan rasa sakit,
nyeri otot dan sendi, demam, nyeri karena haid, migren, sakit kepala dan sakit gigi
tingkat ringan hingga agak berat. (Bayer. 2005). Dosis 300-900 mg diberikan tiap
4 sampai 6 jam, dengan dosis maksimum 4000 mg sehari.
b) Terapi Non-Farmakologi
Adapun yang termasuk dalam terapi non-farmakologi dari penatalaksanaan
demam:
1) Pemberian cairan dalam jumlah banyak untuk mencegah dehidrasi dan
beristirahat yang cukup.
2) Tidak memberikan penderita pakaian panas yang berlebihan pada saat
menggigil. Kita lepaskan pakaian dan selimut yang terlalu berlebihan. Memakai
satu lapis pakaian dan satu lapis selimut sudah dapat memberikan rasa nyaman
kepada penderita.
3) Memberikan kompres hangat pada penderita. Pemberian kompres
hangat efektif terutama setelah pemberian obat. Jangan berikan kompres dingin
karena akan menyebabkan keadaan menggigil dan meningkatkan kembali suhu
inti (Kaneshiro & Zieve. 2010).
2.5 Interkasi Obat
Daftar interaksi obat :
Naproksen Merupakan salah satu derivat asam propionat yang efektif dan
insiden efek samping obat ini lebih dibandingkan derivat asam propionat yang
lain. Absorpsi obat ini berlangsung baik melalui lambung dan kadar puncak
plasma dicapai dalam 2-4 jam. Bila diberikan dalam bentuk garam natrium
naproksen, kadar puncak plasma dicapai lebih cepat. Waktu paruh obat ini 14 jam,
sehingga cukup diberikan dua kali sehari (Wilmana freddy, dan Sulistia Gan.
2007; 241) Asam Tiaprofenat Asam tiaprofenat memperlihatkan sifat sama seperti
derivate asam propionate lainnya. Waktu paruh dalam plasma kira-kira 2 jam dan
ekskresi terutama melalui ginjal sebagai konjugat asilglukuronida.
Efek samping sama seperti obat AINS lainnya. Dosis 3 kali 200 mg sehari
(Wilmana freddy, dan Sulistia Gan. 2007; 241). Indometasin Merupakan derivate
indol-asam asetat. Obat ini sudah dikenal sejak 1963 untuk pengobatan artritis
reumatoid dan sejenisnya. Walaupun obat ini efektif tetapi karena toksik maka
penggunaan obat ini dibatasi. Indometasin memiliki efek anti-inflamasi dan
analgesikantipiretik yang kira-kira sebanding dengan aspirin. Telah terbukti
bahwa indometasin memiliki efek analgesik perifer maupun sentral. In vitro
indometasin menghambat siklooksigenase. Seperti kolkisin, indometasin
menghambat motilitas leukosit polimorfonuklear (Wilmana freddy, dan Sulistia
Gan. 2007; 241)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Obat yang ada saat ini masih jauh dari ideal. Tidak ada obat yang
memenuhi semua kriteria obat ideal, tidak ada obat yang aman, semua obat
menimbulkan efek samping, respon terhadap obat sulit diprediksi dan mungkin
berubah sesuai dengan hasil interaksi obat, dan banyak obat yang mahal, tidak
stabil, dan sulit diberikan. Karena banyak obat tidak ideal, semua anggota tim
kesehatan harus berlatih “care” untuk meningkatkan efek terapeutik dan
meminimalkan kemungkinan bahaya yang ditimbulkan obat.
Sebagai salah satu dari tim kesehatan, seyogyanya harus paham betul akan
pemanfaatan obat yang bertujuan memberikan manfaat maksimal dengan tujuan
minimal. Dan berikut ini adalah hal yang harus diperhatikan dalam pengobatan :
- Mengkaji kondisi pasien
- Mengobservasi kerja obat dan efek samping obat.
- Memberikan pengetahuan tentang indikasi obat dan cara penggunaannya.
3.2 Saran
Adapun saran yang dapat kami berikan yaitu :
- Untuk obat analgesik-antipiretik , dianjurkan jangan terlalu
mengkonsumsi obat ini secara berlebihan dikarenakan dapat
menyebabkan ketergantungan bagi pemakainya.
- Dan untuk obat anti inflamasi pengguna juga di harapkan tidak terlalu
berlebihan atau ketergantungan karena mekanisme kerja obat ini dapat
menyebabkan terjadinya perubahan kerja enzim.
Daftar Pustaka
Berman, Audrey., dkk. 2009. Buku Ajar Praktis Keperawatan Klinis. Jakarta :
EGC.
dr. Theodorus. _______. Penuntun Praktis Peresepan Obat. Jakarta : EGC.
Katzung. G. Bertram 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik EdisiVIII Bagian ke II.
Jakarta :
Salemba Medika.