Anda di halaman 1dari 50

Makalah

FARMAKOLGI 1

“ANTIPIRETIK”

Diajukan Untuk Memenuhi Nilai Mata Kuliah Farmakologi 1

OLEH

KELOMPOK : III (TIGA)

KELAS : B-D3 FARMASI 2020

DOSEN : JULIYANTI AKUBA, M.Sc., Apt

1. LISTANTI AUNILAH LUNETO (821320035)


2. RAHMATIA MONDA (821320036)
3. SERLI LENDJANGO (821320037)
4. JUNITA FAUZIA BAKARI (821320043)
5. NURMASITA APRILIANTI (821320044)
6. FERAWATI AMIR (821320045)
7. SITI SAFIRA DATUELA (821320050)
8. VIDHIA DIVA AZZAHRA PAPUTUNGAN (821320055)
9. ANITA F. PRATIWI TOMU (821320059)
10. NUR AINI TOMBOKAN (821318061)
11. CITRA MAMONTO (821320009
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2021
Kata Pengantar

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan


YME atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah mengenai “obat Analgesik-Antipiretik dan Obat AINS” ini dengan
lancar. Penulisan ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan
oleh dosen matakuliah Farmakologi serta agar menambah ilmu pengetahuan
tentang obat Analgesik-Antipiretik dan Obat AINS.

Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang kami
peroleh dari buku panduan, serta informasi dari media massa yang berhubungan
dengan “Analgesik-Antipiretik dan Obat AINS”.

Kami harap makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Memang
makalah ini masih jauh dari sempurna, maka kami mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................................i
DAFTAR ISI .................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN ..........................................................................................1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................1
1.2 Maksud Percobaan...........................................................................................3
1.3 Tujuan Percobaan ............................................................................................6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................12
2.1 Teori Umun ......................................................................................................35
BAB 3 PENUTUP .........................................................................................................49
3.1 PENUTUP ........................................................................................................50
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Obat merupakan bahan kimia yang memungkinkan terjadinya interaksi
bila tercampur dengan bahan kimia lain baik yang berupa makanan, minuman
ataupun obat-obatan. Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat
pemakaian obat dengan bahan-bahan lain tersebut termasuk obat tradisional
dansenyawa kimia lain. Interaksi obat yang signifikan dapat terjadi jika duaatau
lebih obat sekaligus dalam satu periode (polifarmasi ) digunakanbersama-sama.
Interaksi obat berarti saling pengaruh antarobat sehingga terjadi perubahan efek.
Di dalam tubuh obat mengalami berbagai macam proses hingga akhirnya obat di
keluarkan lagi dari tubuh. Proses-proses tersebut meliputi, absorpsi, distribusi,
metabolisme (biotransformasi), dan eliminasi. Dalam proses tersebut, bila
berbagai macam obat diberikan secara bersamaan dapat menimbulkan suatu
interaksi. Selain itu, obat juga dapat berinteraksi dengan zat makanan yang
dikonsumsi bersamaan dengan obat.
Obat-obat analgesik antipiretik serta obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS)
merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat
berbeda secara kimia. Walaupun demikian obat-obat ini ternyata memiliki banyak
persamaan dalam efek terapi maupun efek samping. Golongan obat ini
menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadfi
PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase dengan cara yang
berbeda.
Antipiretik digunakan untuk membantu untuk mengembalikan suhu set
point ke kondisi normal dengan cara menghambat sintesa dan pelepasan
prostaglandin E2, yang distimulasi oleh pirogen endogen pada hipotalamus
(Sweetman, 2008). Obat ini menurunkan suhu tubuh hanya pada keadaan demam
namun pemakaian obat golongan ini tidak boleh digunakan secara rutin karena
bersifat toksik. Efek samping yang sering ditimbulkan setelah penggunaan
antipiretik adalah respon hemodinamik seperti hipotensi, gangguan fungsi hepar
dan ginjal, oliguria, serta retensi garam dan air (Hammond and Boyle, 2011).
Analgetika adalah zat yang bisa mengurangi rasa nyeri tanpa mengurangi
kesadaran (Tjay dan Rahardja, 2015). Nyeri adalah perasaan sensoris dan
emosional yang mengganggu, berhubungan dengan ancaman, timbulnya gangguan
atau kerusakan jaringan. Keadaan psikologis seseorang sangat berpengaruh,
misalnya emosi dapat menimbulkan nyeri/sakit kepala atau membuatya semakin
parah. Ambang batas nyeri yang dapat ditoleransi seseorang berbeda – beda
karena nyeri merupakan suatu perasaan subyektif (Sherwood, 2012).
Rasa nyeri berfungsi sebagai pertanda tentang adanya suatu gejala atau
gangguan di tubuh, seperti peradangan infeksi kuman atau kejang otot. Rasa nyeri
dapat disebabkan oleh rangsang mekanis, kimiawi, kalor atau listrik, yang dapat
merusak jaringan dan melepaskan zat mediator nyeri. Zat ini merangsang reseptor
nyeri yang letaknya di ujung syaraf bebas di kulit, selaput lendir dan jaringan lain.
Rangsangan akan di dialirkan melalui syaraf sensoris ke Susunan Syaraf Pusat
(S.S.P), melewati sumsum tulang belakang ke thalamus (optikus) kemudian ke
pusat nyeri yang berada di dalam otak besar, dimana rangsangan terasa sebagai
nyeri (Arif, 2010). Jalur nyeri di bagi menjadi beberapa tipe menurut kecepatan
hantar rangsanganya, yaitu jalur nyeri cepat melalui serabut A dan jalur nyeri
lambat melalui serabut C. Rangsangan terdeteksi oleh nosiseptor yang merupakan
ujungujung saraf bebas. Rangsangan akan dibawa sebagai impuls saraf melalui
serabut 2 A delta yang bermielin, serabut ini memiliki kecepatan hantar yang
tinggi yaitu 30m/detik dan bertanggung jawab terhadap nyeri yang cepat, tajam
dan terlokalisasi dengan jelas (jalur nyeri cepat). Serabut C yang tidak bermielin
memiliki kecepatan lambat untuk menghantarkan saraf yaitu 12m/detik dan
bertanggung jawab atas nyeri yang tumpul dan tidak terlokalisasi dengan jelas
(jalur nyeri lambat). Nyeri dirasakan pertama kali biasanya berupa sentakan tajam
yang kemudian disusul dengan nyeri yang lebih difus (Sherwood, 2012).
Antipiretik digunakan untuk membantu untuk mengembalikan suhu set
point ke kondisi normal dengan cara menghambat sintesa dan pelepasan
prostaglandin E2, yang distimulasi oleh pirogen endogen pada hipotalamus
(Sweetman, 2008). Obat ini menurunkan suhu tubuh hanya pada keadaan demam
namun pemakaian obat golongan ini tidak boleh digunakan secara rutin karena
bersifat toksik. Efek samping yang sering ditimbulkan setelah penggunaan
antipiretik adalah respon hemodinamik seperti hipotensi, gangguan fungsi hepar
dan ginjal, oliguria, serta retensi garam dan air (Hammond and Boyle, 2011).
Demam (pyrexia) merupakan kendali terhadap peningkatan suhu tubuh akibat
suhu set point hipotalamus meningkat. Alasan yang paling umum ketika hal ini
terjadi adalah adanya infeksi, kelainan inflamasi dan terapi beberapa obat
(Sweetman, 2008). Demam adalah keadaan dimana suhu tubuh lebih dari 37,5ºC
dan bisa menjadi manifestasi klinis awal dari suatu infeksi. Suhu tubuh manusia
dikontrol oleh hipotalamus. Selama terjadinya demam hipotalamus di reset pada
level temperatur yang paling tinggi (Dipiro, 2008). Demam akibat faktor non
infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain faktor lingkungan (suhu
lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi, keadaan tumbuh gigi, dll), penyakit
autoimun (arthritis, systemic lupus erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan
(penyakit Hodgkin, Limfoma nonhodgkin, leukemia, dll), dan pemakaian obat-
obatan (antibiotik dan antihistamin) (Kaneshiro and Zieve, 2013). Hal lain yang
juga berperan sebagai faktor non infeksi penyebab demam adalah 2 gangguan
sistem saraf pusat seperti perdarahan otak, status epileptikus, koma, cedera
hipotalamus, atau gangguan lainnya (Nelwan, 2009).
Nyeri yang disebabkan oleh nosiseptor mekanis dan panas spesifik akan
disalurkan melalui jalur nyeri cepat. Nyeri yang dirasakan sebagai sensasi tertusuk
benda tajam yang dapat dengan mudah diketahui lokasinya. Nyeri yang disalurkan
melalui jalur nyeri lambat biasanya menetap dalam waktu yang lebih lama disertai
rasa yang tidak nyaman. Sensasi ini diikuti oleh sensasi pegal tumpul dan tidak
terlokalisasi dengan jelas. Jalur nyeri lambat diaktifkan oleh bahan – bahan kimia
terutama bradikinin. Bradikinin adalah suatu bahan inaktif yang kemudian
menjadi aktif akibat enzim – enzim yang dikeluarkan ke dalam CES dan jaringan
yang rusak. Senyawa ini tidak hanya memicu nyeri tetapi juga merangsang
noniseptor polimedal dan juga merangsang peradangan yang cedera (Sherwood,
2012). Nyeri bisa diatasi dengan menggunakan berbagai macam obat analgesik.
Mekanisme analgesik di dalam tubuh yaitu dengan cara menghalangi
pembentukan rangsang dalam reseptor nyeri, saraf sensoris, dan sistem syaraf
pusat (Arif, 2010).
Analgesik yang termasuk dalam golongan AINS bekerja dengan cara
menghambat enzim siklooksigenase yang akan mengubah asam 3 arakidonat
menjadi prostaglandin di mana prostaglandin adalah mediator nyeri, sedangkan
analgesik golongan opioid bekerja di sentral menempati reseptor di kornu dorsalis
medulla spinalis yang menjaga pelepasan transmiter dan rangsang nyeri sehingga
terjadi penghambatan rasa nyeri (Ganiswarna dkk, 1995)
Demam (pyrexia) merupakan kendali terhadap peningkatan suhu tubuh
akibat suhu set point hipotalamus meningkat. Alasan yang paling umum ketika hal
ini terjadi adalah adanya infeksi, kelainan inflamasi dan terapi beberapa obat
(Sweetman, 2008). Demam adalah keadaan dimana suhu tubuh lebih dari 37,5ºC
dan bisa menjadi manifestasi klinis awal dari suatu infeksi. Suhu tubuh manusia
dikontrol oleh hipotalamus. Selama terjadinya demam hipotalamus di reset pada
level temperatur yang paling tinggi (Dipiro, 2008). Demam akibat faktor non
infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain faktor lingkungan (suhu
lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi, keadaan tumbuh gigi, dll), penyakit
autoimun (arthritis, systemic lupus erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan
(penyakit Hodgkin, Limfoma nonhodgkin, leukemia, dll), dan pemakaian obat-
obatan (antibiotik dan antihistamin) (Kaneshiro and Zieve, 2013). Hal lain yang
juga berperan sebagai faktor non infeksi penyebab demam adalah 2 gangguan
sistem saraf pusat seperti perdarahan otak, status epileptikus, koma, cedera
hipotalamus, atau gangguan lainnya (Nelwan, 2009).
Obat – obat antipiretik secara umum dapat digolongkan dalam beberapa
golongan yaitu golongan salisilat, (misalnya aspirin, salisilamid), golongan para-
aminofenol (misalnya acetaminophen, fenasetin) dan golongan pirazolon
(misalnya fenilbutazon dan metamizol) (Wilmana, 2007). Acetaminophen, Non
Steroid Anti-inflammatory Drugs, dan cooling blanket biasa digunakan untuk
mencegah peningkatan suhu tubuh pada pasien cedera otak agar tetap konstan
pada kondisi suhu ≤ 37,5ºC (Dipiro, 2008). Pemberian obat melalui rute intravena
atau intraperitonial biasanya juga digunakan pada keadaan hipertermia, yaitu
keadaan dimana suhu tubuh lebih dari 41ºC. Suhu ini dapat membahayakan
kehidupan dan harus segera diturunkan (Sweetman, 2008).
Usaha untuk menurunkan suhu tubuh merupakan cara untuk mengurangi
laju metabolik dan mengurangi kekurangan oksigen atau mengurangi kerusakan
lebih lanjut dari kematian sel otak setelah cedera otak atau pendarahan otak
(Hammond and Boyle, 2011).
NSAIDs banyak digunakan sebagai first line terapi untuk demam.
Metamizole di banyak negara sudah tidak lagi digunakan karena efek sampingnya
yang cukup serius yaitu agranulositosis, anemia aplastik, dan trombositopenia. Di
Indonesia, frekuensi pemakaian metamizole cukup tinggi dan agranulositosis
pernah dilaporkan pada pemakaian obat ini, tetapi belum ada data tentang angka
kejadiannya (Wilmana, 2007).
Dalam studi penggunaan obat, dapat dipelajari efek-efek yang mungkin
ditimbulkan metamizole sebagai antipiretik pada pasien cedera otak yang dapat
memperburuk outcome terapi. Studi penggunaan obat adalah studi yang
mempelajari proses penggunaan obat, yang didefinisikan WHO sebagai
pemasaran, distribusi, peresepan, dan penggunaan obat dalam masyarakat dengan
titik berat pada hasil pengobatan dan konsekuensi sosial-ekonomi yang
ditimbulkan. Tujuan 4 utama studi penggunaan obat adalah untuk memfasilitasi
penggunaan obat secara rasional pada suatu populasi. Dalam studi penggunaan
obat dipelajari faktor-faktor yang terlibat dalam peresepan, pemberian dan
penggunaan sehingga pengobatan dapat tepat guna dan mencapai hasil yang
optimal. Selain itu di dalam studi penggunaan obat dapat diperkirakan efek
samping atau bahaya obat tertentu yang dapat timbul pada pasien sesuai dengan
kondisi kliniknya serta dapat mengetahui pola penggunaan obat pada pasien
(WHO, 2013).
Studi penggunaan antipiretik ini pada umumnya bertujuan untuk
mengetahui terapi yang efektif untuk mengurangi demam pada pasien cedera otak
tanpa menimbulkan efek samping (Hammond and Boyle, 2011). Departemen
Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) menyatakan bahwa banyak obat
farmasetik menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan jika penggunaan
obat tersebut tidak sesuai dengan prosedur yang seharusnya diikuti (Gunawan
dkk, 2007). Dari berbagai manajemen terapi pada pasien cedera otak didapatkan
outcome yang beragam tergantung dari jenis terapi serta kondisi pasien yang dapat
mempengaruhi rute, dosis serta lama penggunaan (Haddad and Yaseen, 2012).
Obat – obat antipiretik secara umum dapat digolongkan dalam beberapa golongan
yaitu golongan salisilat, (misalnya aspirin, salisilamid), golongan para-aminofenol
(misalnya acetaminophen, fenasetin) dan golongan pirazolon (misalnya
fenilbutazon dan metamizol) (Wilmana, 2007). Acetaminophen, Non Steroid
Anti-inflammatory Drugs, dan cooling blanket biasa digunakan untuk mencegah
peningkatan suhu tubuh pada pasien cedera otak agar tetap konstan pada kondisi
suhu ≤ 37,5ºC (Dipiro, 2008). Pemberian obat melalui rute intravena atau
intraperitonial biasanya juga digunakan pada keadaan hipertermia, yaitu keadaan
dimana suhu tubuh lebih dari 41ºC. Suhu ini dapat membahayakan kehidupan dan
harus segera diturunkan (Sweetman, 2008). Ivandri dkk (2012) melakukan
penelitian pada pasien cedera otak dimana pasien diberikan acetaminophen
intravena dengan dosis 15 mg/kgBB dan metamizol intravena dengan dosis 15
mg/kgBB yang dikombinasi dengan cooling blanket. Hasilnya, pada kombinasi
metamizol intravena dengan cooling blanket selalu menghasilkan suhu yang lebih
rendah pada hampir semua waktu pengamatan dan menurunkan suhu lebih cepat
dibandingkan kombinasi acetaminophen dan cooling blanket (Ivandri dkk., 2012).
Hasil pengamatan ini sejalan dengan penelitian terdahulu membandingkan efek
antipiretik antara metamizol dan parasetamol dengan dosis yang sama yaitu 13,2-
22,3 mg/kgBB. Hasil penelitian tersebut menyatakan metamizol lebih unggul
pada 1,5 jam sampai 6 jam setelah pemberian obat (Rajeshwari, 1997). Demikian
pula pada penelitian lain yang membandingkan efisiensi antipiretik intravena infus
diklofenak (75 mg), metamizol (2500 mg dan 1000 mg) dan parasetamol (2000
mg dan 1000 mg). Penelitian 3 menyimpulkan bahwa semua memiliki efek
antipiretik yang signifikan. Namun, metamizol 2500 mg dianggap sebagai yang
paling efektif, sementara parasetamol 1000 mg menunjukkan khasiat antipiretik
terendah (Oborilová dkk., 2003). Seperti obat-obatan lainnya metamizol dan
parasetamol juga memiliki efek samping. Dari beberapa literatur disebutkan
bahwa efek samping yang mungkin terjadi adalah hipotensi, mual dan muntah (<
1/100 individu). Sedangkan efek samping lainnya yang jarang terjadi adalah
reaksi hipersensitivitas (< 1/10.000 individu) (Żukowski dkk.,2009). Usaha untuk
menurunkan suhu tubuh merupakan cara untuk mengurangi laju metabolik dan
mengurangi kekurangan oksigen atau mengurangi kerusakan lebih lanjut dari
kematian sel otak setelah cedera otak atau pendarahan otak (Hammond and Boyle,
2011). NSAIDs banyak digunakan sebagai first line terapi untuk demam.
Metamizole di banyak negara sudah tidak lagi digunakan karena efek sampingnya
yang cukup serius yaitu agranulositosis, anemia aplastik, dan trombositopenia. Di
Indonesia, frekuensi pemakaian metamizole cukup tinggi dan agranulositosis
pernah dilaporkan pada pemakaian obat ini, tetapi belum ada data tentang angka
kejadiannya (Wilmana, 2007).
Dalam studi penggunaan obat, dapat dipelajari efek-efek yang mungkin
ditimbulkan metamizole sebagai antipiretik pada pasien cedera otak yang dapat
memperburuk outcome terapi. Studi penggunaan obat adalah studi yang
mempelajari proses penggunaan obat, yang didefinisikan WHO sebagai
pemasaran, distribusi, peresepan, dan penggunaan obat dalam masyarakat dengan
titik berat pada hasil pengobatan dan konsekuensi sosial-ekonomi yang
ditimbulkan. Tujuan 4 utama studi penggunaan obat adalah untuk memfasilitasi
penggunaan obat secara rasional pada suatu populasi. Dalam studi penggunaan
obat dipelajari faktor-faktor yang terlibat dalam peresepan, pemberian dan
penggunaan sehingga pengobatan dapat tepat guna dan mencapai hasil yang
optimal. Selain itu di dalam studi penggunaan obat dapat diperkirakan efek
samping atau bahaya obat tertentu yang dapat timbul pada pasien sesuai dengan
kondisi kliniknya serta dapat mengetahui pola penggunaan obat pada pasien
(WHO, 2013). Studi penggunaan antipiretik ini pada umumnya bertujuan untuk
mengetahui terapi yang efektif untuk mengurangi demam pada pasien cedera otak
tanpa menimbulkan efek samping (Hammond and Boyle, 2011). Departemen
Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) menyatakan bahwa banyak obat
farmasetik menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan jika penggunaan
obat tersebut tidak sesuai dengan prosedur yang seharusnya diikuti (Gunawan
dkk, 2007). Dari berbagai manajemen terapi pada pasien cedera otak didapatkan
outcome yang beragam tergantung dari jenis terapi serta kondisi pasien yang dapat
mempengaruhi rute, dosis serta lama penggunaan (Haddad and Yaseen, 2012).
Tidak tertutup kemungkinan penggunaan obat yang kurang tepat dan penggunaan
obat-obat lain yang dapat meningkatkan peluang terjadinya Drug Related
Problems (DRPs) seperti drug underused, drug overused, underdose, interaksi
obat, efek samping obat. Sehubungan dengan adanya DRPs, setiap farmasis harus
dapat mendeteksi, mengatasi dan mencegah masalah-masalah yang terjadi atau
akan terjadi dalam pengelolaan dan penggunaan injeksi metamizole. Untuk
mengatasi kegagalan terapi pada pasien cedera otak maka diperlukan suatu
pelayanan kesehatan yang menyeluruh agar tujuan terapi yang diharapkan
tercapai, salah satunya pelayanan kefarmasian.
Pelayanan farmasi di rumah sakit ditujukan untuk 5 memberikan jaminan
pengobatan yang rasional kepada pasien. Penggunaan obat dikatakan rasional jika
obat digunakan sesuai indikasi, kondisi pasien dan pemilihan obat yang tepat
(jenis, sediaan, dosis, rute, waktu, dan lama pemberian), mempertimbangkan
manfaat dan resiko bagi pasien tersebut. Oleh sebab itu diperlukan data-data
penggunaan obat yang dapat diperoleh dari studi penggunaan obat atau Drug
Utilization Studies (DUS) (WHO, 2013).
Tidak tertutup kemungkinan penggunaan obat yang kurang tepat dan
penggunaan obat-obat lain yang dapat meningkatkan peluang terjadinya Drug
Related Problems (DRPs) seperti drug underused, drug overused, underdose,
interaksi obat, efek samping obat. Sehubungan dengan adanya DRPs, setiap
farmasis harus dapat mendeteksi, mengatasi dan mencegah masalah-masalah yang
terjadi atau akan terjadi dalam pengelolaan dan penggunaan injeksi metamizole.
Untuk mengatasi kegagalan terapi pada pasien cedera otak maka diperlukan suatu
pelayanan kesehatan yang menyeluruh agar tujuan terapi yang diharapkan
tercapai, salah satunya pelayanan kefarmasian. Pelayanan farmasi di rumah sakit
ditujukan untuk 5 memberikan jaminan pengobatan yang rasional kepada pasien.
Penggunaan obat dikatakan rasional jika obat digunakan sesuai indikasi, kondisi
pasien dan pemilihan obat yang tepat (jenis, sediaan, dosis, rute, waktu, dan lama
pemberian), mempertimbangkan manfaat dan resiko bagi pasien tersebut. Oleh
sebab itu diperlukan data-data penggunaan obat yang dapat diperoleh dari studi
penggunaan obat atau Drug Utilization Studies (DUS) (WHO, 2013). Analgesik
yang sering digunakan masyarakat adalah yang memiliki kandungan parasetamol,
ibuprofen, asam mefenamat, dan lain-lain, namun obatobatan kimia tersebut
memilik efek samping yang kurang baik bagi tubuh kita apabila di gunakan dalam
jangka waktu panjang. Opioid akan menimbulkan adiksi dan golongan AINS
dapat menimbulkan gastritis yang apabila telah parah menyebabkan perdarahan
pada saluran cerna, gangguan asam-basa, menghambat ekskresi asam urat,
agranulositosis dan gangguan fungsi trombosit (Sardjono dkk, 1995). Bahan
analgesik alami bisa digunakan sebagai alternatif selain menggunakan bahan
kimia yang memiliki banyak efek samping. Bahan alami mengandung analgesik
yang dahulu sering digunakan masyarakat untuk menekan rasa sakit dari derajat
ringan hingga berat yang sering kali mengganggu aktivitas sehari–hari diantaranya
kulit buah manggis. Banyak tanaman obat yang dilaporkan mempunyai efek terapi
untuk beberapa penyakit.
Kulit buah manggis mengandung sejumlah zat yang terkandung dan
bermanfaat bagi kesehatan, salah satunya adalah Xanthone. Xanthone memiliki
sifat antiinflamasi dan antioksidan yang kuat dan diduga juga dapat menghambat
nyeri yang memiliki mekanisme yang sama dengan analgesik kimiawi (Cui dkk,
2009). 4 Namun pengetahuan tentang obat alami ini bersifat empiris dan belum di
uji secara ilmiah. Kulit buah manggis juga terdapat sejumlah besar zat yang
terkandung yang bermanfaat bagi kesehatan, salah satunya adalah xanton. Xanton
memiliki sifat yang dapat menghambat nyeri yang memiliki mekanisme yang
sama dengan analgesik kimiawi (Cui dkk, 2009).
Peneliti ingin membandingkan efektivitas ekstrak kulit manggis sebagai
analgesik (pengurang rasa nyeri) dengan obat kimia asam mefenamat dalam
penelitian, menggunakan media mencit swiss (muss musculus) sebagai hewan uji,
mencit di letakkan diatas Hotplate. Waktu impuls nyeri hingga respon nyeri
disebut latency amati respon mencit Setelah mencit berada di atas Hotplate, yaitu
dengan melihat berapa kali / frekuensi mencit menjilat kakinya atau melompat
untuk menghindari nyeri hingga didapatkan waktu onset dan durasi dari obat
analesik tersebut
1.2 Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan analgesik, antipiretik dan
anti inflamasi
2. Mengetahui kegunaan obat dari analgesik, antipiretik dan anti inflamasi
3. Mengetahui mekanisme dari kerja obat-obat tersebut
4. Mengetahui macam-macam obat dari analgesik, antipiretik dan anti
inflamasi

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Analgesik-Antipiretik
2.1.1 Pengertian Analgesik Antipiretik
Antipiretik adalah obat yang dapat menurunkan panas atau untuk obat
mengurangi suhu tubuh (suhu tubuh yang tinggi). Hanya menurunkan temperatur
tubuh saat panas dan tidak berefektif pada orang normal. Oba golongan ini bekerja
dengan cara menghambat produksi prostaglandin di hipotalamus anterior (yang
meningkat sebagai respon adanya pirogen endogen). Contoh Obat Antipiretik :
Parasetamol, panadol, paracetol, paraco, praxion, primadol, santol, zacoldin,
poldan mig, acetaminophen, asetosal atau asam salisilat, salisilamida.
Analgetik adalah adalah obat yang mengurangi atau melenyapkan rasa
nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Antipiretik adalah obat yang menurunkan
suhu tubuh yang tinggi. Jadi analgetik-antipiretik adalah obat yang mengurangi
rasa nyeri dan serentak menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Analgetik atau
analgesik, merupakan obat untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit atau
obat-obat penghilang nyeri tanpa menghilangkan kesadaran dan akhirnya akan
memberikan rasa nyaman pada orang yang menderita.
Rasa nyeri hanya merupakan suatu gejala, fungsinya memberi tanda
tentang adanya gangguan-gangguan di tubuh seperti peradangan, infeksi kuman
atau kejang otot. Rasa nyeri disebabkan rangsang mekanis atau kimiawi, kalor
atau listrik, yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan dan melepaskan zat yan
disebut mediator nyeri (pengantara). Zat ini merangsang reseptor nyeri yang
letaknya pada ujung syaraf bebas di kulit, selaput lendir dan jaringan lain. Dari
tempat ini rangang dialaihkan melalui syaraf sensoris ke susunan syaraf pusat
(SSP), melalui sumsum tulang belakang ke talamus (optikus) kemudian ke pusat
nyeri dalam otak besar, dimana rangsang terasa sebagai nyeri.
Cara Pemberantasan Rasa Nyeri:
1. Menghalangi pembentukan rangsang dalam reseptor nyeri perifer oleh
analgetik perifer atau oleh anestetik lokal.
2. Menghalangi penyaluran rangsang nyeri dalam syaraf sensoris, misalnya
dengan anestetik local.
3. Menghalangi pusat nyeri dalam SSP dengan analgesik sentral (narkotik)
atau dengan anestetik umum.
Umumnya cara kerja analgetik-antipiretik adalah dengan menghambat
sintesa neurotransmitter tertentu yang dapat menimbulkan rasa nyeri & demam.
Dengan blokade sintesa neurotransmitter tersebut, maka otak tidak lagi
mendapatkan "sinyal" nyeri,sehingga rasa nyerinya berangsur-angsur menghilang.
2.1.2 Penggolongan Analgesik
Analgesik dibagi menjadi dua, yaitu analgesik narkotik dan analgesik non
narkotik.
1. Analgesik Narkotik
Khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti fraktur dan
kanker. Nyeri pada kanker umumnya diobati menurut suatu skema bertingkat
empat, yaitu : obat perifer (non Opioid) peroral atau rectal; parasetamol, asetosal,
obat perifer bersama kodein atau tramadol, obat sentral (Opioid) peroral atau
rectal, obat Opioid parenteral. Guna memperkuat analgetik dapat dikombinasikan
dengan co-analgetikum, seperti psikofarmaka (amitriptilin, levopromazin atau
prednisone).
Zat-zat ini memiliki daya menghalangi nyeri yang kuat sekali dengan
tingkat kerja yang terletak di Sistem Saraf Pusat. Umumnya mengurangi
kesadaran (sifat meredakan dan menidurkan) dan menimbulkan perasaan nyaman
(euforia). Dapat mengakibatkan toleransi dan kebiasaan (habituasi) serta
ketergantungan psikis dan fisik (ketagihan adiksi) dengan gejala-gejala
abstinensia bila pengobatan dihentikan. Semua analgetik narkotik dapat
mengurangi nyeri yang hebat, teteapi potensi. Onzer, dan efek samping yang
paling sering adalah mual, muntah, konstipasi, dan mengantuk. Dosis yang besar
dapat menyebabkan hipotansi serta depresi pernafasan.
Morfin dan petidin merupakan analgetik narkotik yang paling banyak
dipakai untuk nyeri walaupun menimbulkan mual dan muntah. Obat ini di
Indonesia tersedia dalam bentuk injeksi dan masih merupakan standar yang
digunakan sebagai pembanding bagi analgetik narkotika lainnya. Selain
menghilangkan nyeri, morfin dapat menimbulkan euphoria dan ganguan mental.
Berikut adalah contoh analgetik narkotik yang samapi sekarang masih
digunakan di Indonesia :
 Morfin HCL,
 Kodein (tunggal atau kombinasi dengan parasetamol),
 Fentanil HCL,
 Petinidin, dan
 Tramadol.
Khusus untuk tramadol secara kimiawi memeng tergolong narkotika tetapi
menurut undang-undang tidak sebagai narkotik, karena kemungkinan
menimbulkan ketergantungan.
2. Analgesik Non – Narkotik
Terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja
sentral. Obat- obat inidinamakan juga analgetika perifer, karena tidak
mempengaruhi Sistem Saraf Pusat, tidak menurunkan kesadaran atau
mengakibatkan ketagihan. Semua analgetika perifer juga memiliki kerja
antipiretik, yaitu menurunkan suhu badan pada keadaan demam, maka disebut
juga analgetik antipiretik. Khasiatnya berdasarkan rangsangannya terhadap pusat
pengatur kalor di hipotalamus, yang mengakibatkan vasodilatasi perifer (di kulit)
dengan bertambahnya pengeluaran kalor dan disertai keluarnya banyak keringat.
Efek analgetik timbul karena mempengaruhi baik hipotalamus atau di
tempat cedera. Respon terhadap cedera umumnya berupa inflamasi, udem, serta
pelepasan zat aktif seperti brandikinin, PG, dan histamine. PG dan brankinin
menstimulasi ujung staraf perifer dengan membawa implus nyeri ke SSP. AINS
dapat menghambat sintesis PG dan brankinin sehingga menghambat terjadinya
perangsangan reseptor nyeri. Obat-obat yang banyak digunakan sebagai analgetik
dan antipiretik adalah golongan salisilat dan asetaminofen (parasetamol). Aspirin
adalah penghambat sintesis PG paling efektif dari golongan salisilat.
Salisilat merupakan protipe AINS yang sampai sekarang masih digunakan.
Termasuk salisilat adalah Na-salisilat, aspirin (asam asetil salisilat), salisid, dan
meril salisilat bersifat toksik jika tertelan oleh Karen itu, hanya dipakai topical
untuk menghangatkan kulit dan antigatal ( antpruritus). Golongan salisilat dapat
mengiritasi lapisan mukosa lambung. Organ yang peka pada efek ini akan
mengalami mual setelah minum aspirin. Dalam lambung . PG berperan serta
dalam mekanisme perlindungan mukosa dari asam lambung atau gantrin. PG
berfungsi meningkatkan daya tahan membrane mukosa lambung. Aspirin selain
berefek analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi, daalam dosis kecil juga berfungsi
sebagai antitrombosis (antiplatelet). Pada dosis kecil, aspirin dapat menghambat
agreasi trombosit (antikoagulan) mencegah terbentuknya thrombus pada penderita
infark jantung sehingga ddapat mengurangi timbulnya stroke.
2.1.3 Penggunaan Analgetik-Antipiretik dalam Kehamilan :
Penggunaan obat Analgetik-Antipiretik pada saat mengandung bagi ibu
hamil harus diperhatikan. Ibu hamil yang mengkonsumsi obat secara sembarangan
dapat menyebabkan cacat pada janin. Sebagian obat yang diminum oleh ibu hamil
dapat menembus plasenta sampai masuk ke dalam sirkulasi janin, sehingga
kadarnya dalam sirkulasi bayi hampir sama dengan kadar dalam darah ibu yang
dalam beberapa situasi akan membahayakan bayi.
Pengaruh buruk obat terhadap janin, secara umum dapat bersifat toksik,
teratogenik, maupun letal tergantung pada sifat obat dan umur kehamilan pada
saat minum obat. Pengaruh toksik adalah jika obat yang diminum selama masa
kehamilan menyebabkan terjadinya gangguan fisiologik atau bio-kimiawi dari
janin yang dikandung, dan biasanya gejalanya baru muncul beberapa saat setelah
kelahiran. Pengaruh obat bersifat teratogenik, jika menyebabkan terjadinya
malformasi anatomic (kelainan/kekurangan organ tubuh) pada pertumbuhan organ
janin. Pengaruh teratogenik ini biasanya terjadi pada dosis subletal. Sedangkan
pengaruh obat yang bersifat letal adalah yang mengakibatkan kematian janin
dalam kandungan. Secara umum pengaruh obat pada janin dapat beragam sesuai
dengan fase-fase berikut:
a. Fase Implantasi yaitu pada umur kehamilan kurang dari 3 minggu.Pada
fase ini obat dapat member pengaruh buruk atau mingkin tidak sama sekali.Jika
terjadi pengaruh buruk biasanya menyebabkan kematian embrio atau berakhirnya
kehamilan (abortus).
b. Fase Embrional atau Organogenesis,yaitu pada umur kehamilan antara 4-8
minggu.Pada fase ini terjadi diferensiasi pertumbuhan untuk pembentukan organ-
organ tubuh, sehingga merupakan fase yang paling peka untuk terjadinya
malformasi anatomik (pengaruh teratogenik). Selama embriogenesis kerusakan
bergantung pada saat kerusakan terjadi, karena selama waktu itu organ-organ
dibentuk dan blastula mengalami deferensiasi pada waktu yang berbeda-beda. Jika
blastula yang dipengaruhi masih belum berdeferensiasi dan kerusakan tidak letal
maka terdapat kemungkinan untuk restitutio ad integrum. Sebaliknya jika bahan
yang merugikan mencapai blastula yang sedang dalam fase deferensiasi maka
terjadi cacat (pembentukan salah)
Berbagai pengaruh buruk yang terjadi pada fase ini antara lain:

- Gangguan fungsional atau metabolic yang permanen yang biasanya baru


muncul kemudian jadi tidak timbul secara langsung pada saat kehamilan
- Pengaruh letal berupa kematian janin atau terjadinya abortus
- Pengaruh sub-letal,tidak terjadi kematian janin tetapi terjadi malformasi
anatomik (struktur) pertumbuhan organ atau pengaruh teratogenik. Kata
teratogenik sendiri berasal dari bahasa yunani yang berarti monster.
- Fase Fetal yaitu pada trimester kedua dan ketiga kehamilan.Dalam fase
ini terjadi maturasi dan pertumbuhan lebih lanjut dari janin.Pengaruh
buruk senyawa asing bagi janin dalam fase ini dapat berupa gangguan
pertumbuhan baik terhadap fungsi-fungsi fisiologik atau biokimiawi
organ-organ.
Keluhan nyeri selama masa kehamilan umum di jumpai. Hal ini berkaitan
dengan masalah fisiologis dari si ibu karena adanya karena adanya tarikan otot-
otot dan sendi karena kehamilan maupun sebab-sebab yang lain.Untuk nyeri yang
tidak berkaitan dengan proses radang,pemberian obat pengurang nyeri biasanya
dilakukan dalam jangka waktu relatife pendek.Untuk nyeri yang berkaitan dengan
proses radang,umunya diperlukan pengobatan dalam waktu tertentu. Penilaian
yang seksama terhadap pereda nyeri perlu dilakukan agar dapat ditentukan pilihan
jenis obat yang paling tepat.
Pemakaian obat NSAID(Non steroid anti infamantory Drug ) sebaiknya
dihindari pada wanita hamil. Obat-obat tersebut menghambat sintesis
prostaglandin dan ketika diberikan pada wanita hamil dapat menyebabkan
penutupan ductus arteriousus, gangguan pembentukan ginjal janin, menghambat
agregasi trombosit dan tertundanya persalinan dan kelahiran. Pengobatan NSAID
selama trimester akhir kehamilan diberikan sesuai dengan indikasi. Selama
beberapa hari sebelum hari perkiraan lahir, obat-obat ini sebaiknya dihindari.
Yang termasuk golongan ini adalah diklofenac, diffunisal, ibuprofen,
indomethasin, ketoprofen, ketorolac, asam mefenamat, nabumeton, naproxen,
phenylbutazon, piroksikam, sodium salisilat, sulindac, tenoksikam, asam
tioprofenic mempunyai mekanisme lazim untuk menghambat sintesa
prostaglandin yang terlibat dalam induksi proses melahirkan, NSAID dapat
memperpanjang masa kehamilan.
2.1.4 Patofisiologi Nyeri
Proses rangsangan yang menimbulkan nyeri bersifat destruktif terhadap
jaringan yang dilengkapi dengan serabut saraf penghantar impuls nyeri. Reseptor
untuk stimulus nyeri disebut nosiseptor. Terdapat tiga reseptor nyeri yaitu
Nosiseptor mekanis yang berespon terhadap kerusakan mekanis, misalnya
tusukan, benturan, atau cubitan. Nosiseptor termal yang berespon terhadap suhu
berlebihan terutama panas. Nosiseptor polimodal yang berespon setara terhadap
semua jenis rangsangan yang merusak, termasuk iritasi zat kimia yang
dikeluarkan dari jaringan yang cedera. Distribusi nosiseptor bervariasi di seluruh
tubuh dengan jumlah terbesar terdapat di kulit. Nosiseptor terletak di jaringan
subkutis, otot rangka, dan sendi. Nosiseptor yang terangsang oleh stimulus yang
vi potensial dapat menimbulkan kerusakan jaringan. Rangsangan atau stimulus
tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri antara lain
histamin, bradikin, leukotrien, dan prostaglandin. Antara stimulus cedera jaringan
dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses tersendiri transduksi,
transmisi, modulasi, dan persepsi (Price, 2005). a. Transduksi nyeri adalah proses
rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik di reseptor
nyeri. b. Transmisi nyeri melibatkan proses penyaluran impuls nyeri dan tempat
transduksi melewati saraf perifer sampai ke terminal di medula spinalis dan
jaringan neuron-neuron pemancar yang naik dan medula spinalis ke otak. c.
Modulasi nyeri melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desendens dan
otak yang dapat memengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis. Modulasi
juga melibatkan faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau meningkatkan
aktivitas di reseptor nyeri aferen primer. d. Persepsi nyeri adalah pengalaman
subjektif nyeri yang bagaimanapun juga dihasilkan oleh aktivitas transrnisi nyeri
oleh saraf. 3. Mekanisme Nyeri Perifer Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan
akan adanya bahaya kerusakan jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut
disebabkan oleh stimulus noksius yang diperantarai oleh sistem sensorik
nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medulla spinalis, batang
otak, thalamus dan korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka
sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi
yang membantu perbaikan jaringan yang rusak. Cidera atau inflamasi jaringan
akan menyebabkan munculnya perubahan lingkungan kimiawi pada akhir
nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan komponen intraselulernya seperti
adenosine trifosfat, ion K+, pH menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin,
chemokine dan growth factor. Beberapa komponen diatas akan langsung
merangsang nosiseptor (nociceptor activators) dan komponen lainnya akan
menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif terhadap rangsangan
berikutnya (nociceptor sensitizers). vii Komponen sensitisasi, misalnya
prostaglandin E2 akan mereduksi ambang aktivasi nosiseptor dan meningkatkan
kepekaan ujung saraf dengan cara berikatan pada reseptor spesifik di nosiseptor.
Berbagai komponen yang menyebabkan sensitisasi akan muncul secara
bersamaan, penghambatan hanya pada salah satu substansi kimia tersebut tidak
akan menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan menurunkan
ambang rangsang dan berperan dalam meningkatkan sensitifitas nyeri di tempat
cedera atau inflamasi.
2.1.5 Klasifikasi Nyeri
Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengklasifikasi nyeri
adalah berdasarkan durasi (akut, kronik), patofisiologi (nosiseptif, nyeri
neuropatik) (Benzon et al, 2005):
a. Akut dan Kronik
Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung
sementara. Nyeri ini ditandai dengan adanya aktivitas saraf otonom seperti;
takikardi, hipertensi, hiperhidrosis, pucat dan midriosis. Nyeri akut dapat berupa:
 Nyeri somatik luar; nyeri tajam dikulit, sukutis dan mukosa viii
 Nyeri somatik dalam; nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan jaringan
ikat
 Nyeri viseral: nyeri akibat disfungsi organ viseral Sedangkan nyeri
kronik merupakan nyeri yang berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa ditandai
aktivitas otonom kecuali serangan akut.
Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang tetap bertahan sesudah
penyembuhan luka (penyakit/operasi) atau awalnya berupa nyeri akut lalu
menetap sampai melebihi tiga bulan. Nyeri ini disebabkan oleh:
 Kanker akibat tekanan atau rusaknya serabut syaraf
 Nonkanker akibat trauma, degenerasi, dll.
b. Nosiseptif dan neuropatik
Nyeri nosiseptif karena kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral.
Stimulasi nosiseptor baik secara langsung maupun tidak langsung akan
mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun dan ujung
saraf sensorik dan simpatik. Sedangkan nyeri neuropati merupakan nyeri yang
didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada saraf perifer. Hal
ini disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf perifer, infiltrasi sel kanker pada
serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensasi yang dirasakan adalah rasa
panas seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya rasa atau adanya rasa
tidak enak pada perabaan.
2.1.6 Penatalaksanaan Terapi
a) Terapi Farmakologi Penatalaksanaan nyeri secara farmakologi melibatkan
penggunaan analgesik AINS (anti inflamasi nonsteroid), analgesik opioid dan
obat-obat adjuvans atau koanalgesik. Obat analgesia dibagi dalam 2 golongan
utama, yaitu yang bekerja di perifer dan yang bekerja di sentral.
Golongan obat AINS bekerja di perifer dengan cara menghambat
pelepasan mediator sehingga aktifitas enzim siklooksigenase terhambat dan
sintesa prostaglandin tidak terjadi. Pada golongan analgetik opioid bekerja di
sentral dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis medula spinalis
sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmiter dan perangsangan ke saraf
spinal tidak terjadi. ix
1) Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) (Analgesik Non-Opioid)
Obat analgesik antipiretik serta obat anti inflamasi non steroid (oains)
merupakan salah satu kelompok obat yang banyak diresepkan dan juga digunakan
tanpa resep dokter. Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase
sehingga konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin terganggu.
Penggolongan obat AINS berdasarkan struktur kimianya. Penggolongan obat
AINS
a. Salisilat, Salisilamid Dan Diflunisal
Salisilat Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau
aspirin adalah analgesik antipiretik dan anti-inflamasi yang sangat luas digunakan
dan digolongankan dalam obat bebas (Wilmana Freddy, Dan Sulistia Gan. 2007;
234). Salisilat diindikasikan sebagai antipiretik, analgesik, demam reumatik akut,
artritis reumatoid, dan digunakan untuk mencegah trombus koroner dan trombus
vena dalam berdasarkan efek penghambatan agregasi trombosit. Laporan
menunjukkan bahwa dosis x aspirin kecil yang diminum tiap hari dapat
mengurangi insiden infark miokard akut, stroke, dan kematian pada pasien angina
tidak stabil (Wilmana freddy, dan Sulistia Gan. 2007; 236) Aspirin (asam asetil
salisilat) dan natrium salisilat merupakan sediaan yang paling banyak digunakan.
Aspirin tersedia dalam bentuk tablet 100 mg untuk anak dan tablet 500 mg untuk
dewasa. Metil salisilat hanya digunakan sebagai obat luar dalam bentuk salep dan
linimen dan dimaksudkan sebagai counter irritant bagi kulit. Asam salisilat
berbentuk bubuk, digunakan sebagai keratolitik dengan dosis tergantung dari
penyakit yang akan diobati (Wilmana Freddy, dan Sulistia Gan. 2007; 237). Dosis
dan sediaan : Dosis salisilat untuk dewasa ialah 325 mg-650 mg, diberikan secara
oral tiap 3 atau 4 jam. Untuk anak 15-20 mg/kgBB, diberikan tiap 4-6 jam dengan
dosis total tidak melebihi 3,6 gram/hari. Aspirin tersedia dalam bentuk tablet 100
mg untuk anak dan tablet 500 mg untuk dewasa. Metilsalisilat (minyak
wintergreen) hanya digunakan sebagai obat luar dalam bentuk salep atau linimen
dan dimaksudkan sebagai counter irritant bagi kulit. Asam salisilat berbentuk
bubuk, digunakan sebagai keratolitik. Dengan dosis tergantung dari penyakit yang
diobati. Contoh sediaan: Aptor®, Aspilets®, Aspirin®, Bodrexin®, Cafenol®,
Farmasal®, Naspro®. Salisilamid Salisilamid adalah amida asam salisilat yang
memperlihatkan efek analgesik dan antipiretik mirip asetosal, walaupun dalam
badan salisilamid tidak diubah menjadi salisilat. Efek analgesik antipiretik
salisilamid lebih lemah dari salisilat, karena salisilamid dalam mukosa usus
mengalami metabolisme lintas pertama, sehingga hanya sebagian salisilamid yang
diberikan masuk sirkulasi sebagai zat aktif. Obat ini mudah diabsorpsi usus dan
cepat didistribusi ke jaringan. Salisilamid dijual bebas dalam bentuk obat tunggal
atau kombinasi tetap. Dosis xi analgesik antipiretik untuk orang dewasa 3-4 kali
300-600 mg sehari, untuk anak 65 mg/kgbb/hari diberikan 6 kali/hari. Untuk
febris reumatik diperlukan dosis oral 3-6 kali 2 g sehari (Wilmana freddy, dan
Sulistia Gan. 2007; 237). Diflunisal Obat ini merupaka derivat difluorofenil dari
asam salisilat, tetapi in vivo tidak diubah menjadi asam salisilat. Bersifat analgetik
dan antiinflamasi tetapi hampir tidak bersifat antipiretik. Setelah pemberian oral,
kadar puncak dicapai dalam 2-3 jam. Indikasi diflunisal hanya sebagai analgesik
ringan sampai sedang dengan dosis awal 500 mg disusul 250-500 mg tiap 8-12
jam (Wilmana freddy, dan Sulistia Gan. 2007; 237).
b. Para Amino Fenol
Derivat para amino fenol yaitu fenasetin dan asetaminofen. Asetaminofen
(parasetamol) merupakan metaboli fenasetin dengan efek antipiretik yang sama
dan telah digunakan sejak tahun 1893. Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus
aminobenzen. Efek analgesik parasetamol dan fenasetin serupa dengan salisilat
yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya
menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek
sentral seperti salisilat. Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu
parasetamol dan feasentin tidak digunakan sebagai antireumatik (Wilmana freddy,
dan Sulistia Gan. 2007; 237).
Indikasi : Di Indonesia penggunaan parasetamaol sebagai analgesik dan
antipiretik, telah menggantikan penggunaan salisilat. Sebagai analgesik lainnya,
parasetamol sebaliknya tidak diberikan terlalu lama karena kemungkinan
menimbulkan nefropati analgesik. Jika dosis terapi tidak memberi manfaat,
biasanya dosis lebih besar tidak menolong. Karena hampir tidak mengiritasi
lambung, parasetamol sering dikombinasi dengan OAINS untuk efek analgesik.
Sediaan dan posologi : xii Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk
tablet 500 mg atau sirup yang mengandung 120 mg/5 mL. Selain itu parasetamol
terdapat sebagai sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk tablet maupun cairan.
Dosis parasetamol untuk dewasa 300 mg-1 g per kali, dengan maksimum 4 gram
per hari, untuk anak 6-12 tahun 150-300 mg/kali, dengan maksimum 1,2
gram/hari. Untuk anak 1-6 tahun 60-120 mg/kali dan bayi dibawah 1 tahun 60
mg/kali, pada keduanya diberikan maksimum 6 kali sehari (16). Contoh sediaan :
Alphagesic®, Alphamol®, Analpim®, Betamol®, Biogesic®, Bobotan®,
Calapol®, Citomol®, Cupanol®, Cymacold®, Dapyrin®, Nalgesik®, Naprex®,
Nasamol®, Novagesic®, Nufadol® dan lain-lain.
c. Pirazolon Dan Derivat
Dalam kelompok ini termasuk dipiron, fenilbutazon, oksifenbutazon,
antipirin dan aminopirin (Wilmana freddy, dan Sulistia Gan. 2007; 239). Saat ini
dipiron hanya digunakan sebagai analgesik-antipiretik karena efek anti-
inflamasinya lemah. Sedangkan antipirin dan aminopirin tidak dianjurkan
digunakan lagi karena lebih toksik daripada dipiron. Karena keamanan obat ini
diragukan, sebaiknya dipiron hanya diberikan bila dibutuhkan analgesik-
antipiretik suntikan atau bila pasien tidak tahan analgesik-antipiretik yang lebih
aman (Wilmana freddy, dan Sulistia Gan. 2007; 239). Indikasi : Saat ini dipiron
hanya digunakan sebagai analgesic-antipiretik karena efek anti-inflamasinya lebih
lemah. Sedangkan antipirin dan aminopirin tidak dianjurkan digunakan lagi
karena lebih toksik daripada dipiron. Karena keamanan obat ini diragukan,
sebaiknya dipiron hanya diberikan bila pasien tidak tahan analgesik –antipiretik
yang lebih aman. Pada beberapa kasus penyakit Hodgkin dan periarteritis nodusa,
xiii dipiron merupakan obat yang masih dapat digunakan untuk meredakan
demam yang sukar diatasi denan obat lain. Dosis untuk dipiron ialah 3 kali 0,3-1
gram/hari. Dipiron tersedia dalam bentuk tablet 500 mg dan larutan obat suntik
yang mengandung 500 mg/mL (16). Fenilbutazon dan Oksifenbutazon
Fenilbutazon adalah 3,5-diokso-1, 2-difenil-4-butilpirazolidin dan oksifenbutazon
adalah derivate oksifenilnya. Dengan adanya AINS yang lebih aman, fenilbutazon
dan oksifenibutazon tidak lagi dianjurkan dan digunakan sebagai anti-inflamasi
kecuali obat lain tidak efektif (16). Contoh sediaan : Akrofen®, Bitrasone®,
Erphazon®, Etacyl®, Gracylo®, Ifirema®, Novason®, Pehazon®, Phenylbutazon
Berlico®, Phenylbutazon Molex Ayus®, Redalin®, Selesfen®, Sendilin®,
Zenzon®, Zerion®, dan Zonifar®. d. Analgesik Anti-Inflamasi Non Steroid
Lainnya Asam Mefenamat Dan Meklofenat Asam mefenamat digunakan sebagai
analgesik, sebagai anti inflamasi, asam mefenamat kurang efektif dibandingkan
aspirin. Meklofenamat digunakan sebagai anti-inflamasi pada terapi artritis
reumatoid dan osteoartritis (Wilmana freddy, dan Sulistia Gan. 2007; 239). Dosis
Asam mefenamat adalah 2-3 kali 250-500 mg sehari. Asam mafenamat
merupakan obat keras yang termasuk dalam obat wajib apotek. Sedangkan dosis
meklofenamat untuk terpakai penyakit sendi adalah 200-400 mg sehari. Karena
efek toksiknya maka di Amerika Serikat obat ini tidak dianjurkan untuk diberikan
kepada anak di bawah 14 tahun dan wanita hamil, dan pemberiannya tidak
melebihi 7 hari. Penelitian klinis menyimpulkan bahwa penggunaan selama haid
mengurangi kehilangan darah secara bermakna. Contoh sediaan: Allogon®,
Alpain®, Altran®, Analspec®,Anastan Forte®, Argesid®, Asimat®, Benostan®,
Bimastan®, Bonapons®, Cargesik®, Cetalmic®, Citostan®, xiv Corstanal®,
Costan Forte®, Datan®, Dentacid®, Dogesic®, Dolfenal®, Dolodon®,
Dolorstan®, Dolos®, Dystan®, Etafenin®, Fargetix®, Femisix®, Fenamin®,
Fensik®, Mefinal®, Omestan®, Ponstan® dan lain-lain. Diklofenak Diklofenak
adalah turunan asam fenilasetat sederhana yang mempunyai flurbiprofen maupun
meklofenamat. Obat ini adalah penghambat siklooksigenase yang kuat dengan
efek anti-inflamasi, analgesik, dan antipiretik (Payan DG, Katzung BG, 1998).
Contoh sediaan : Dicloflam®, Diclomec®, Dolofenac®, Elithris®, Fenaren®,
Fenavel®, Valto®, Abdiflam®, Arthrotec®, Atranac®, Berifen®, Deflamat®,
Flamar®, Flamenac®, Neurofenac®, Proklaf®, Valto Gel®, Voltaren®,
Xepathritis®, Zegeren® dan lainlain. Fenbufen Berbeda dengan obat AINS
lainnya, fenbufen merupakan suatu pro-drug. Jadi fenbufen sendiri bersifat inaktif
dan metabolit aktifnya adalah asam 4-bifenil-asetat. zat ini memiliki waktu paruh
10 jam sehingga cukup diberikan satu atau dua kali sehari. Absorpsi obat melalui
lambung baik, dan kadar puncak metabolit aktif dicapai dalam waktu 7,5 jam
(Wilmana freddy, dan Sulistia Gan. 2007; 240). Ibuprofen Ibuprofen merupakan
derivat asam propionat yang diperkenalkan pertama kali di banyak negara. Obat
ini bersifat analgesik dengan daya antiinflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek
analgesiknya sama seperti aspirin. Obat ains derivat asam propionat hampir
seluruhnya terikat pada protein plasma, efek interaksi misalnya penggeseran obat
warfarin obat warfarin dan hipoglikemik hampir tidak ada (Wilmana freddy, dan
Sulistia Gan. 2007; 240) Ketoprofen xv Derivat asam propionat ini memiliki
efektivitas seperti ibuprofen dengan sifat anti-inflamasi sedang. Absorpsi
berlangsung baik dari lambung dan waktu paruh plasma sekitar 2 jam. Efek
samping sama dengan ains lain terutama menyebabkan gangguan saluran cerna,
dan reaksi hipersensitivitas. Dosis 2 kali sehari 100 mg sehari, tetapi sebaiknya
ditentukan secara individual (Wilmana freddy, dan Sulistia Gan. 2007; 240).
Naproksen Merupakan salah satu derivat asam propionat yang efektif dan insiden
efek samping obat ini lebih dibandingkan derivat asam propionat yang lain.
Absorpsi obat ini berlangsung baik melalui lambung dan kadar puncak plasma
dicapai dalam 2-4 jam. Bila diberikan dalam bentuk garam natrium naproksen,
kadar puncak plasma dicapai lebih cepat. Waktu paruh obat ini 14 jam, sehingga
cukup diberikan dua kali sehari (Wilmana freddy, dan Sulistia Gan. 2007; 241)
Asam Tiaprofenat Asam tiaprofenat memperlihatkan sifat sama seperti derivate
asam propionate lainnya. Waktu paruh dalam plasma kira-kira 2 jam dan ekskresi
terutama melalui ginjal sebagai konjugat asilglukuronida. Efek samping sama
seperti obat AINS lainnya. Dosis 3 kali 200 mg sehari (Wilmana freddy, dan
Sulistia Gan. 2007; 241). Indometasin Merupakan derivate indol-asam asetat.
Obat ini sudah dikenal sejak 1963 untuk pengobatan artritis reumatoid dan
sejenisnya. Walaupun obat ini efektif tetapi karena toksik maka penggunaan obat
ini dibatasi. Indometasin memiliki efek anti-inflamasi dan analgesikantipiretik
yang kira-kira sebanding dengan aspirin. Telah terbukti bahwa indometasin
memiliki efek analgesik perifer maupun sentral. In vitro indometasin menghambat
siklooksigenase. Seperti kolkisin, indometasin menghambat motilitas leukosit
polimorfonuklear (Wilmana freddy, dan Sulistia Gan. 2007; 241). xvi Piroksikam
dan Meloksikam Piroksikam merupakan salah satu AINS dengan struktur baru
yaitu oksikam, derivat asam enolat. Waktu paruh dalam plasma lebih dari 45 jam
sehingga dapat diberikan hanya sekali sehari. absorpsi berlangsung cepat di
lambung; terikat 99% pada protein plasma. Obat ini menjalani siklus
enterohepatik (Wilmana freddy, dan Sulistia Gan. 2007; 242). Meloksikam
cenderung menghambat KOKS-2 lebih dari KOKS-1 tetapi penghambatan
KOKS-1 pada dosis terapi tetap nyata. Penelitian terbatas menyimpulkan efek
samping meloksikam 7,5 mg sehari terhadap saluran cerna kurang dari piroksikam
20 mg sehari (Wilmana freddy, dan Sulistia Gan. 2007; 242). Nabumeton
Nabumeton merupakan pro-drug. Data pada hewan coba menunjukkan bahwa
nabumeton memperlihatkan sifat selektif menghambat iso-enzim prostaglandin
untuk peradangan tetapi kurang menghambat prostasiklin yang bersifat
sitoprotektif (Wilmana freddy, dan Sulistia Gan. 2007; 242). KOKS-2 Selektif
Refekoksib terbukti kurang menyebabkan gangguan gastrointestinal dibanding
naproksen. Selekoksib tidak terbukti lebih aman dari AINSt. Tidak ada koksib
yang klinis terbukti lebih efektif dari AINSt. Obat ini memperlihatkan t1/2 yang
panjang sehingga cukup diberikan sekali sehari 60 mg (Wilmana freddy, dan
Sulistia Gan. 2007; 242).
2) Analgesik Opioid
Analgesik opiod merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti
opium. Opium yang berasal dari getah papaver somniferum mengandung sekitar
20 jenis alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain, dan papaverin. Analgesik
opiod terutama digunakan untuk meredakan atau menghilagkan rasa nyeri,
meskipun juga memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain. xvii
Dari beberapa mekanisme kerja opioid maka dapat diketahui bahwa opioid
bekerja dengan mengaktifkan reseptor opioid di midbrain dan mengaktifkan
sistem descending, bekerja pada reseptor opioid di transmisi second-order untuk
menghambat sinyal nyeri dari sistem ascending, mengaktifkan reseptor opioid
terminal sentral serat C di medulla spinalis untuk menghambat keluarnya
neurotransmiter nyeri, mengaktifkan reseptor nyeri di perifer untuk menginhibisi
aktivasi dari nosiseptor yang juga menghambat sel yang menghasilkan efek
inflamasi. Yang termasuk golongan opiod adalah alkaloid opium, derivat
semisintetik alkaloid opium, senyawa sintetik dengan sifat farmakologik
menyerupai morfin.
a. Morfin dan Alkaloid Opium
Opium atau candu adalah getah Papaver somniferum L yang telah
dikeringkan. Alkaloid asal opium secara kimia dibagi dalam dua golongan;
1) golongan fenantren, misalnya morfin dan kodein dan
2) golongan benzilisokinolin, misalnyanoskapin dan papaverin (Dewoto,
Hedi R. 2007; 211).
Efek morfin pada susunan saraf pusat dan usus terutama ditimbulkan
karena morfin bekerja sebagai agonis para reseptor µ. Selain itu morfin juga
mempunyai afinitas yang lebih lemah terhadap reseptor delta dan k (Dewoto, Hedi
R. 2007; 211).
Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan atau
menghilangkan nyeri hebat dan tidak dapat diobati dengan analgesik non opioid.
Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan (Dewoto, Hedi R. 2007;
211).
Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai infark miokard,
neoplasma, kolik renal atau kolik empedu, oklusio akut pembuluh darah perifer,
pulmonal atau koroner, perikarditis akut, pleuritis dan pneumotoraks spontan, dan
nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah (Dewoto,
Hedi R. 2007; 211). Sediaan Dan Posologi xviii Sediaan yang mengandung
campuran alkaloid dalam bentuk kasar beraneka ragam dan masih dipakai.
b. Meperidin dan Derivat Fenilpiperidin Lain Efek farmakodinamik
meperidin dan derivat fenilpiperidin lain serupa satu dengan yang lain. Meperidin
terutama bekerja sebagai agonis reseptor µ. Meperidin menimbulkan analgesia,
sedasi, euforia, depresi napas dan efek sentral lain. Meperidin hanya digunakan
untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa keadaan klinis, meperidin
diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada morfin.
Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai
obat praanastetik (Dewoto, Hedi R. 2007; 218). Fentanil dan derivatnya;
sulfentanil. Alfentanil, dan remifentanil merupakan opiod sintetik dari kelompok
fenilpiperidin dan bekerja sebagai reseptor µ. Fentanil banyak digunakan sebagai
anastetik karena waktu untuk mencapai puncak analgesia lebih singkat
dibandingkan morfin dan meperidin (sekitar 5 menit), efeknya cepat berakhir
setelah dosis kecil yang diberikan secara bolus, dan relatif kurang mempengaruhi
kardiovaskular (Dewoto, Hedi R. 2007; 222).
c. Metadon dan Opioid Lain Efek analgetik 7,5-10 mg metadon sama kuat
dengan afek 10 mg morfin. Dalam dosis tunggal, metadon tidak menimbulkan
hipnosis sekuat morfin. Setelah pemberian metadon berulang kali timbul efek
sedasi yang jelas, mungkin karena adanya akumulasi (Dewoto, Hedi R. 2007;
222). Jenis nyeri yang dapat dipengaruhi metadon sama dengan morfin. Dosis
ekuianalgetik metadon kira-kira sama dengan morfin. Efek analgetik mulai timbul
10-20 menit setelah pemberian parenteral atau 30-60 menit setelah pemberian oral
metadon (Dewoto, Hedi R. 2007; 223). Propoksifen bekerja analgetik karena kerja
sentralnya. Proksifen terutama terikat pada reseptor µ meskipun kurang selektif
dibandingkan morfin. Proksifen hanya digunakan untuk mengobati xix nyeri
ringan hingga sedang, yang tidak cukup baik diredakan oleh asetosal (Dewoto,
Hedi R. 2007; 210).
d. Agonis Parsial Pentazosin diindikasikan untuk mengatasi nyeri sedang,
tetapi kurang efektif dibandingkan morfin untuk nyeri berat. Obat ini juga
digunakan untuk mediasi preanestetik (Dewoto, Hedi R. 2007; 227). Buprenofrin,
suatu agonis parsial reseptor µ, merupakan derivat fenantren yang poten dan
sangat lipofilik. Buprenofrin menimbulkan analgesia dan efek lain pada SSP
seperti morfin. Masa kerjanya meskipun bervariasi umumnya lebih panjang
daripada morfin, karena lambat dilepaskan dari reseptor µ (Dewoto, Hedi R. 2007;
227). Tramadol adalah analog kodein sintetik yang merupakan agonis reseptor µ
yang lemah. Sebagian dari efek analgetiknya ditimbulkan oleh inhibisi ambilan
norepinefrin dan noradrenalin. Tramadol sama efektif dengan morfin atau
meperidin untuk nyeri ringan sampai sedang, tetapi untuk nyeri berat atau kronik
lebih lemah. Untuk nyeri persalinan tramadol sama efektif dengan meperidin dan
kurang menyebabkan depresi pernafasan pada neonatus (Dewoto, Hedi R. 2007;
228).
3) Analgesik Adjuvant
Analgesik adjuvan adalah obat yang mempunyai sifat analgesik lemah atau
tidak ada sifat analgesik sama sekali apabila diberikan sendiri, namun dapat
meningkatkan efek agen analgesik lain. Obat ini dapat dikombinasikan dengan
analgesik primer sesuai dengan sistem WHO untuk mengurangi rasa nyeri.
Analgesik adjuvant biasanya diberikan kepada pasien yang menggunakan
berbagai obat sehingga keputusan mengenai administrasi dan dosis obat harus
dibuat dengan pemahaman yang jelas dari tahap penyakit dan tujuan perawatan.
Sebagian analgesik adjuvant mempunyai efek yang bagus pada beberapa situasi
nyeri sehingga diberikan nama multipurpose adjuvant analgesics (antidepressants,
kortikosteroid, agonis alfa-2 drenergik, neuroleptik). Ada juga yang spesifik pada
kondisi tertentu saja, seperti xx pada nyeri neuropatik, nyeri tulang, nyeri otot,
atau nyeri pada obstruksi usus. Antidepresant Kedua jenis tertiary amines
(amitriptiline, imipramine dan clomiperamine) dan secondary amines
(nortriptyline dan desipramine) bersifat analgesik. Kortikosteroid Kortikosteroid
mempunyai sifat analgesik untuk banyak kondisi nyeri seperti nyeri kanker, nyeri
tulang, nyeri neuropatik (kompresi pada struktur saraf), nyeri kepala (peningkatan
tekanan intrakranial), nyeri sendi (arthalgia) dan nyeri dalam rongga abdomen.
Obat yang sering dipakai adalah dexametason, prednison dan metilprednisolone.
Antikejang, seperti karbamazepin (Tegretol®) atau fenitoin (Dilantin®), telah
terbukti efektif untuk mengatasi nyeri menyayat yang berkaitan dengan kerusakan
saraf. Nyeri menyayat (menusuk atau menembus secara singkat) adalah khas
untuk neuralgia trigeminus, neuropati diabetes, dan neuralgia pascaherpes serta
sering terjadi setelah l aminektomi dan amputasi ekstremiias. Antikejang efektif
untuk nyeri neuropatik karena obat golongan ini menstabilkan membran sel saraf
dan menekan respons akhir di saraf. Gabapentin, yang terutama efektif untuk
nyeri menyayat, memiliki mekanisme kerja yang belum jelas, walaupun obat ini
berikatan dengan reseptor spesifik di otak, menghambat arus natrium yang
bergantung pada voltase, dan mungkin meningkatkan pelepasan GABA.
Antikejang zonisamid (Zonegran®), menimbulkan efek antiepilepsi melalui
blokade saluran natriurn dan kalsium, serta melalui aktivitas dopaminergik dan
serotonergik. Pada hewan percobaan, redanya nyeri melalui mekanisme serupa
terbukti bermarifaat. Antidepresan trisiklik, seperti amitriptilin (Elavil®) atau
imipramin (Tofranil®), adalah analgetik yang sangat efektif untuk nyeri xxi
neuropatik, serta berbagai penyakit lain yang menimbulkan nyeri. Aplikasi-
aplikasi spesifik adalah terapi untuk neuralgia pascaherpes, invasi struktur saraf
oleh karsinoma, nyeri pascabedah, dan artritis rematoid. Pada pengobatan untuk
nyeri, antidepresan trisiklik tampaknya memiliki efek analgetik yang independen
dan aktivitas antidepresannya. Diperkirakan bahwa antidèpresan trisiklik
menghilangkan nyeri dengan menghambat penyerapan ulang aminaamina
biogenik di SSP. Seperti telah disinggung, neuron-neuron serotonergik dan
adrenergik di batang otak berproyeksi ke dan menghambat transmisi nyeri sel-sel
di kornu dorsalis medula spinalis dan merupakan bagian dari sistem modulasi-
nyeri desendens. Antidepresan trisiklik diperkirakan meningkatkan efek
inhibitorik serotonin dan norepinefrin pada neuron-neuron untuk transnisi nyeri
spinal (adjuvantanalgesic.pdf). Obat adjuvan lain yang berrnanfaat dalam
pengobatan nyeri adalah hidroksizin (Vistaril®), yang memiiki efek analgetik
pada beberapa penyakit dan efek aditif apabila diberikan bersama morfin; pelemas
otot misalnya diazepam (Valium®), yang digunakan untuk mengobati kejang otot
yang berkaitan dengan nyeri; dan steroid misalnya deksametason (Decad ron),
yang telah digunakan untuk mengendalikan gejala yang berkaitan dengan
kompresi medula spinalis atau metastasis tulang pada pasien kanker
(adjuvantanalgesic.pdf). Adjuvan lain untuk analgesia adalah agonis reseptor
adrenergikalfa (misalnya, agonis alfa-2, klonidin), yang sering diberikan secara
intraspinal bersama dengan opioid atau anestetik lokal; obat ini juga memiliki efek
analgetik apabila diberikan secara sistemis karena memulihkan respons adrenergik
simpatis yang berlebihan di reseptor sentral dan perifer. Antagonis alfa-1,
prazosin, juga pernah digunakan dalam penatalaksanaan nyeri yang disebabkan
oleh sistem simpatis. Efek samping utama dan obat-obat ini adalah hipotensi dan
potensiasi depresi pernapasan yang diinduksi oleh opioid
2.2.1 Anti inflamasi Nonsteroid
2.2.1 Pengertian anti inflamasi
Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan
yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat-zat
mikrobiologik. Inflamasi adalah usaha tubuh untuk mengaktifasi atau merusak
organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat
perbaikan jaringan. Jika penyembuhan lengkap, proses peradangan biasanya reda.
Namun kadang-kadang inflamasi tidak bisa dicetuskan oleh suatu zatyang tidak
berbahayaseperti tepung sari, atau oleh suatu respon imun, seperti asma atau
artritisrematid.
Obat anti inflamasi non steroid (AINS) merupakan obat yang paling
banyak diresepkan dan juga digunakan tanpa resep dari dokter. Obat-obat
golongan ini merupakan suatu obat yang heterogen secara kimia. Klasifikasi
kimiawi AINS, tidak banyak manfaat kliniknya karena ada AINS dari
subgolongan yang sama memiliki sifat yang berbeda, sebaliknya ada obat AINS
yang berbeda subgolongan tetapi memiliki sifat yang serupa. Ternyata sebagian
besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas penghambatan biosintesis
prostaglandin (PG).
Bebrapa AINS umumnya bersifat anti-inflamasi, analgesika dan
antipiretik. Efek antipiretiknya bari terlihat pada dosis yang lebih besar dari pada
efek analgesiknya, dan AINS relatif lebih toksis dari pada antipiretika klasik,
maka obat-obat ini hanya digunakan untuk terapi penyakit inflamasi sendi seperti
artritis reumatoid, osteo-artritis, spondilitis ankliosa dan penyakit pirai. Respon
individual terhadap AINS bisa sangat bervariasi walaupun obatnya tergolong
dalam kelas atau derivat kimiawi yang sama. Sehingga kegagalan dengan satu
obat bisa dicoba dengan obat sejenis dari derivat kimiawi yang sama. Semua
AINS merupakan iritan mukosa lambung walaupun ada perbedaan gradasi antar
obat-obat ini.
2.2.2 Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja anti-inflamsi non steroid (AINS) berhubungan dengan
sistem biosintesis prostaglandin yaitu dengan menghambat enzim siklooksigenase
sehingga konversi asam arakhidonat menjadi PGG2 menjadi terganggu. Enzim
siklooksigenase terdapat dalam 2 isoform yang disebut KOKS-1 dan KOKS-2.
Kedua isoform tersebut dikode oleh gen yang berbeda. Secara garis besar KOKS-
1 esensial dalam pemelihraan berbagai fungsi dalam keadaan normal di berbagai
jaringan khususnya ginjal, saluran cerna, dan trombosit.
Di mukosa lambung aktivitas KOKS-1 menghasilakan prostasiklin yang
bersifat protektif. Siklooksigenase 2 diinduksi berbagi stimulus inflamatoar,
termasuk sitokin, endotoksindan growth factors. Teromboksan A2 yang di sintesis
trombosit oleh KOKS-1 menyebabkan agregasi trombosit vasokontriksi dan
proliferasi otot polos. Sebaliknya prostasiklin PGL2 yang disintesis oleh KOKS-2
di endotel malro vasikuler melawan efek tersebut dan menyebabkan
penghambatan agregasi trombosit.
2.3 Obat Analgesik – Antipiretik serta obat AINS
Berikut contoh obat-obat analgesik antipiretik yang beredar di Indonesia
saat ini :
1. Aspirin
Deskripsi : Aspirin menghambat pengaruh dan biosintesa dari pada zat-zat
yang menimbulkan rasa nyeri dan demam (prostaglandin). Daya kerja antipiretik
dan analgetik dari pada Aspirin diperkuat oleh pengaruh langsung terhadap
susunan saraf pusat.
Farmakokinetika Aspirin
Asam salisilat adalah asam organic sederhana dengan pKa 3,0. Aspirin
mempunyai pKa 3,5. Sodium salisilat dan aspirin adalah obat antiinflamasi yang
sama efektifnya , walaupun aspirin mungkin lebih efektif sebagai analgesik.
Salicylate dengan cepat diserap oleh lambung dan usus kecil bagian atas,
menghasilkan kadar puncak plasma salysilate dalam 1-2 j1m. Aspirin diserap
dalam cara yang sama dan dihidrolisis cepat menjadi acetic acid dan salicylate
oleh esterase-esterase dalam jaringan dan darah.
Indikasi : untuk meringankan rasa sakit, terutama sakit keala dan pusing,
sakit gigi dan nyeri otot serta menurunkan demam.
Kontra indikasi : Penderita tukak lambung dan peka terhadap derivat asam
salisilat, penderita asma, dan alergi. Penderita yang pernahatau sering mengalami
pendarahan bawah kulit, penderita yang sedang terapi dengan antikoagulan,
penderita hemofolia dan trombositopenia
Farmakodinamika
a. Efek-efek anti inflamasi. Aspirin adalah penghambat non-selektif kedua
isoform COX , tetapi salicylate jauh lebih kurang efektif dalam menghambat
kedua isoform. Salicylate yang tidak di asetilasi mungkin bekerja sebagai
pemangsa (scavenger) radikal oksigen. Dari catatan diketahui bahwa berbeda dari
kebanyakan AINS lainnya, aspirin menghambat COX secara irreversible, dan
bahkan dosis rendah bisa efektif dalam keadaan tertentu, misalnya penghambatan
agregasi platelet.
b. Efek-efek analgesik. Aspirin paling efektif untuk mengurangi nyeri dengan
intensitas ringan sampai sedang. Ia bekerja secara perifer melalui efeknya
terhadap inflamasi, tetapi mungkin juga menghambat rangsangan nyeri pada
daerah subkortikal.
c. Efek-efek antipiretik. Aspirin menurunkan suhu yang meningkat,
sedangkan suhu badan normal hanya terpengaruh sedidkit. Efek antipiretik aspirin
mungkin diperantarai oleh hambatan kedua COX dalam sistem saraf pusat dan
hambatan IL-1 (yang dirilis dari makrofag selama episode inflamasi). Turunnya
suhu, dikaitkan dengan meningkatnya panas yang hilang karena vasodilatasi dari
pembuluh darah permukaan (superfisial) dan disertai keluarnya keringat yang
banyak.
Dosis
Dosis analgesik atau antipiretik yang optimal dari aspirin yang secara
umum dipergunakan adalah kurang dari 0,6 gram dosisi oral. Dosis yang lebih
besar mungkin memprpanjang efek. Dosisi biasa tersebut bisa di ulang setiap 4
jam dan dosisi yang lebih kecil (0,3 g) setiap 3 jam sekali. Dosisi untuk anak-anak
adalah 50-75 mg/kg/hari dalam dosisi yang terbagi.
Dosis antiinflamasi rata-rata dapat sampai 4 gram per hari. Untuk anak-
anak 50-75 mg/kg/hari. Kadar dalam darah 15-30 mg/dl. Waktu paro 12 jam.
Biasanya dosi terbagi 3 kali/hari, sesudah makan
1. Neuralgin
Indikasi:
Meringankan rasa nyeri pada sakit kepala, sakit kepala pada migrain, nyeri otot,
sakit gigi dan nyeri haid.
Kontra Indikasi:
Hipersensitif terhadap paracetamol atau ibuprofen dan anti-inflamasi non steroid
(AINS) lainnya serta caffeine.penderita dengan ulkus peptikum (tukak lambung
dan usus 12jari) yang berat dan aktif. Penderita dimana bila menggunakan
acetosal atau obat-obat anti-inflamasi non-steroid lainnya akan timbul gejala
asma, rinitis(selesma) atau urtikana. Wanita pada kehamilan tiga bulan terakhir.
Cara Kerja Obat:
Paracetamol merupakan analgesik-antipiretik dan ibuprofen merupakan obat
analgetik, antipiretik dan anti-inflamasi non-steroid (AINS) yang memiliki efek
analgetik (menghilangkan rasa nyeri), antipiretik (menurunkan demam), dan anti-
inflamasi (mengurangi proses peradangan).
Efek Samping:
Yang paling sering adalah gangguan saluran cerna seperti mual, muntah, nyeri ulu
hati, kemerahan pada kulit, trobositopenia, limfopenia, dll. Dapat terjadi reaksi
hipersensitivitas, terutama pada penderita dengan riwayat asma, atau reaksi alergi
lain terhadap golongan anti-inflamasi nonsteroid (AINS). Penggunaan jangka
lama dan dosis besar dapat menimbulkan krusakan fungsi hati. Penggunaan pada
penderita yang mengkonsumsi alkohol dapat meningkatkan risiko kerusakan
fungsi hati. Penurunan ketajaman penglihatan dan kesulitan membedakan warna
dapat terjadi, tetapi sangat jarang dan akan sembuh bila penggunaan dihentikan.
2. Paracetamol/acetaminophen
Merupakan derivat para amino fenol. Di Indonesia penggunaan
parasetamol sebagai analgesik dan antipiretik, telah menggantikan penggunaan
salisilat. Sebagai analgesik, parasetamol sebaiknya tidak digunakan terlalu lama
karena dapat menimbulkan nefropati analgesik. Jika dosis terapi tidak memberi
manfaat, biasanya dosis lebih besar tidak menolong. Dalam sediaannya sering
dikombinasi dengan cofein yang berfungsi meningkatkan efektivitasnya tanpa
perlu meningkatkan dosisnya
Indikasi: Nyeri ringan sampai sedang termasuk dysmenorrhea, sakit
kepala; pereda nyeri pada osteoarthritis dan lesi jaringan lunak; demam termasuk
demam setelah imunisasi; serangan migren akut, tension headache
Kontraindikasi : Gangguan fungsi hati berat, hipersensitif terhadap
paracetamol
Perhatian : Gangguan hati; gangguan ginjal; ketergantungan alkohol
3. Ibuprofen
Ibuprofen merupakan derivat asam propionat yang diperkenalkan banyak
negara. Obat ini bersifat analgesik dengan daya antiinflamasi yang tidak terlalu
kuat. Efek analgesiknya sama dengan aspirin. Ibuprofen tidak dianjurkan diminum
oleh wanita hamil dan menyusui.

Indikasi: analgesic dan anti inflamasai rheumatoid

Kontra indikasi : asma, tukak lambung, wanita hamil, hiersensivitas.

Efek : mual, muntah, diare, kostipasi, nyeri dan rasa panas di epigastrum
Dosis :
Oral: Dewasa : 1200 – 1800 mg/ hr Dibagi 3 – 4 (maks 2.400 mg/hr
Anak > 30 Kg BB : 20 mg/ kg BB/ hr
Anak < 30 kg BB : maks 500 mg/ hr
PO : Berikan segera sesudah makan
4. Asam mefenamat
Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik. Asam mefenamat
sangat kuat terikat pada protein plasma, sehingga interaksi dengan obat
antikoagulan harus diperhatikan. Efek samping terhadap saluran cerna
sering timbul misalnya dispepsia dan gejala iritasi lain terhadap mukosa
lambung.
Indikasi : Sakit kepala, sakit gigi, nyeri otot tulang , nyeri karena luka,
nyeri setelah operasi, nyeri setelah melahirkan, dismenore, nyeri reumatik,
nyeri tulang belakang, demam.
kontra indikasi : Ulserasi sampai inflamasi saluran cerna, peny. ginjal atau
hati, hipersensitif, tukak lambung.
Efek samping : Mual, muntah, diare, iritasi lambung, pusing-using dan
gangguan penglihatan.
5. Tramadol
Tramadol adalah senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.
Tramadol digunakan untuk sakit nyeri menengah hingga parah. Sediaan
tramadol pelepasan lambat digunakan untuk menangani nyeri menengah
hingga parah yang memerlukan waktu yang lama. Minumlah tramadol
sesuai dosis yang diberikan, jangan minum dengan dosis lebih besar atau
lebih lama dari yang diresepkan dokter. Jangan minum tramadol lebih dari
300 mg sehari.
Indikasi : Pengobatan nyeri akut dan kronik yang berat, nyeri pasca op.
Ketergantungan obat dan opium, sensitif terhadap tramadol atau opiat,
mendapat terapi MAOI, intoksikasi akut dengan alkohol, hipnotik,
analgesik, atau obat yang mempengaruhi system syaraf pusat dan yang
lainya.
Kontra indikasi : tidak dianjurkan pada wanita hami dan menyusui.
Efek samping : pusing, sedasi, lelah, sakit kepala pruritus, berkeringat,
kulit kemerahan, mulut kering, mual, muntah, dyspepsia, obstipas
Dosis : Dewasa & anak > 16 thn 50 mg dosis tunggal, dapat ditingkatkan
50 mg ssdh selang waktu 4-6 jam. Maks : 400 mg /hr. Diberikan bersama
atau tanpa makanan.
6. Benorylate
Benorylate adalah kombinasi dari parasetamol dan ester aspirin.
Obat ini digunakan sebagai obat antiinflamasi dan antipiretik. Untuk
pengobatan demam pada anak obat ini bekerja lebih baik dibanding
dengan parasetamol dan aspirin dalam penggunaan yang terpisah. Karena
obat ini derivat dari aspirin maka obat ini tidak boleh digunakan untuk
anak yang mengidap Sindrom Reye.
7. Fentanyl
Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik
narkotika digunakan sebagai penghilang nyeri. Dalam bentuk sediaan
injeksi IM (intramuskular) Fentanyl digunakan untuk menghilangkan sakit
yang disebabkan kanker. Menghilangkan periode sakit pada kanker adalah
dengan menghilangkan rasa sakit secara menyeluruh dengan obat untuk
mengontrol rasa sakit yang persisten/menetap. Obat Fentanyl digunakan
hanya untuk pasien yang siap menggunakan analgesik narkotika. Fentanyl
bekerja di dalam sistem syaraf pusat untuk menghilangkan rasa sakit.
Beberapa efek samping juga disebabkan oleh aksinya di dalam sistem
syaraf pusat. Pada pemakaian yang lama dapat menyebabkan
ketergantungan tetapi tidak sering terjadi bila pemakaiannya sesuai dengan
aturan.
Ketergantungan biasa terjadi jika pengobatan dihentikan secara
mendadak. Sehingga untuk mencegah efek samping tersebut perlu
dilakukan penurunan dosis secara bertahap dengan periode tertentu
sebelum pengobatan dihentikan.
8. Naproxen
Naproxen termasuk dalam golongan antiinflamasi nonsteroid.
Naproxen bekerja dengan cara menurunkan hormon yang menyebabkan
pembengkakan dan rasa nyeri di tubuh.
2.4 Antipiretik
2.4.1 Definisi Antipiretik
Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-hari
yang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus
(Dinarello & Gelfand, 2005). Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5-37,2°C.
Derajat suhu yang dapat dikatakan demam adalah rectal temperature ≥38,0°C atau
oral temperature ≥37,5°C atau axillary temperature ≥37,2°C (Kaneshiro & Zieve,
2010). Istilah lain yang berhubungan dengan demam adalah hiperpireksia.
Hiperpireksia adalah suatu keadaan demam dengan suhu >41,5°C yang
dapat terjadi pada pasien dengan infeksi yang parah tetapi paling sering terjadi
pada pasien dengan perdarahan sistem saraf pusat (Dinarello & Gelfand, 2005).
Demam terbagi atas beberapa tingkatan :
1. Demam ringan = suhu badan berkisar antara 37o -38 oC
2. Demam sedang = suhu badan berkisar antara 38o -39o C
3. Demam = suhu badan berkisar antara 39o -40o C
4. Demam tinggi = suhu badan di atas 40oC
2.4.2 Patofisiologi Demam
Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan nama
pirogen. Pirogen adalah zat yang dapat menyebabkan demam. Pirogen terbagi dua
yaitu pirogen eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh pasien. Contoh
dari pirogen eksogen adalah produk mikroorganisme seperti toksin atau
mikroorganisme seutuhnya. Salah satu pirogen eksogen klasik adalah endotoksin
lipopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif. Jenis lain dari pirogen
adalah pirogen endogen yang merupakan pirogen yang berasal dari dalam tubuh
pasien. Contoh dari pirogen endogen antara lain IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN.
Sumber dari pirogen endogen ini pada umumnya adalah monosit, neutrofil, dan
limfosit walaupun sel lain juga dapat mengeluarkan pirogen endogen jika
terstimulasi (Dinarello & Gelfand, 2005).
Demam memiliki tiga fase yaitu: fase kedinginan, fase demam, dan fase
kemerahan. Fase pertama yaitu fase kedinginan merupakan fase peningkatan suhu
tubuh yang ditandai dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan peningkatan
aktivitas otot yang berusaha untuk memproduksi panas sehingga tubuh akan
merasa kedinginan dan menggigil. Fase kedua yaitu fase demam merupakan fase
keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas di titik patokan suhu
yang sudah meningkat. Fase ketiga yaitu fase kemerahan merupakan fase
penurunan suhu yang ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah dan
berkeringat yang berusaha untuk menghilangkan panas sehingga tubuh akan
berwarna kemerahan (Dalal & Zhukovsky, 2006).
2.4.3 Mekanisme Demam
Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih
(monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin,
mediator inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan
mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNFα,
dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan merangsang endotelium
hipotalamus untuk membentuk prostaglandin (Dinarello & Gelfand, 2005).
Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan patokan termostat di
pusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang
lebih rendah dari suhu patokan yang baru sehingga ini memicu
mekanismemekanisme untuk meningkatkan panas antara lain menggigil,
vasokonstriksi kulit dan mekanisme volunter seperti memakai selimut. Sehingga
akan terjadi peningkatan produksi panas dan penurunan pengurangan panas yang
pada akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh naik ke patokan yang baru tersebut
(Sherwood, 2001).
2.4.4 Klasifikasi Tipe-tipe demam bergantung pada suhu tubuh penderita yang
berubahubah setiap hari. Penyakit-penyakit tertentu yang diawali dari demam,
dapat dikarakteristikkan dengan kurva temperatur yang spesifik. Berdasarkan hal
di atas demam dibagi atas delapan tipe (Sulustia. 1995):
1. Continued fever (febris continua): suhu tubuh terus-menerus di atas
normal. Gejala ini ditemukan pada lobar pnemonia, typhus dan lain-lain.
2. Remittent fever (febris remittens): suhu tubuh tiap hari turun naik tanpa
kembali ke normal. Gejala ini ditemukan pada penyakit purulent, kadangkadang
pada TBC paru-paru.
3. Intermittent fever (febris intermittens): suhu tubuh tiap hari kembali ke
(bawah) normal, kemudian naik lagi. Gejala ini ditemukan pada penyakit malaria.
4. Hectic fever (febris hectica), memiliki fluktuasi temperatur yang jauh lebih
besar daripada remittent fever, mencapai 2o C – 4o C. Hal ini ditandai dengan
menurunnya temperatur dengan cepat ke normal atau di bawah normal, biasanya
disertai dengan pengeluaran keringat yang berlebihan. Gejala ini ditemukan pada
TBC paru-paru dan sepsis.
5. Recurrent fever (febris recurrens) merupakan demam yang mengambuh.
6. Undulant fever (febris undulans), ditandai dengan kenaikan suhu tubuh
secara berangsur yang diikuti dengan penurunan suhu tubuh secara berangsur pula
sampai normal. Gejala ini ditemukan pada penyakit bruselosis.
7. Irreguler fever (febris irregularis), ditandai dengan variasi diurnal yang
tidak teratur dalam selang waktu yang berbeda. Gejala ini ditemukan pada demam
rematik, disentri, influenza, sepsis, rheumocarditis dan lain-lain.
8. Inverted fever (febris inversa), dalam hal ini suhu tubuh pagi hari lebih
tinggi daripada malam hari. Gejala ini ditemukan pada TBC paru-paru, sepsis dan
bruselosis.
2.4.5 Penatalaksanaan Terapi
a) Terapi Farmakologi
Analgetik adalah adalah obat yang mengurangi atau melenyapkan rasa
nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Antipiretik adalah obat yang menurunkan
suhu tubuh yang tinggi.Jadi analgetik-antipiretik adalah obat yang mengurangi
rasa nyeri dan serentak menurunkan suhu tubuh yang tinggi.Umumnya cara kerja
analgetik-antipiretik adalah dengan menghambat sintesa neurotransmitter tertentu
yang dapat menimbulkan rasa nyeri & demam. Contoh obat-obat analgesik
antipiretik yang beredar di Indonesia (Inarno. 2013) :
1) Paracetamol Paracetamol merupakan analgesik-antipiretik dan anti-
inflamasi nonsteroid (AINS) yang memiliki efek analgetik (menghilangkan rasa
nyeri), antipiretik (menurunkan demam), dan anti-inflamasi (mengurangi proses
peradangan). Paracetamol paling aman jika diberikan selama kehamilan.
Parasetamol dalam dosis tinggi dan jangka waktu pemberian yang lama bisa
menyebabkan toksisitas atau keracunan pada ginjal. sehingga dikategorikan
sebagai analgetik-antipiretik. Golongan analgetik-antipiretik adalah golongan
analgetik ringan. Parasetamol merupakan contoh obat dalam golongan ini.
Beberapa macam merk dagang, contohnya Parasetamol (obat penurun panas atau
penghilang nyeri) bisa diperdagangkan dengan merk Bodrex, Panadol, Paramex.
(Inarno. 2013). Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500
mg atau sirup yang mengandung 120 mg/5 ml. Selain itu parasetamol terdapat
sebagai sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk tablet maupun cairan. Dosis
parasetamol untuk dewasa 300 mg - 1 g per kali, dengan maksimum 4 g/hari.
2) Ibuprofen Ibuprofen adalah salah satu jenis anti-inflamasi non-steroid
(AINS) yang diindikasikan untuk meredakan nyeri ringan sampai sedang, nyeri
setelah operasi, nyeri pada penyakit sendi (seperti pengapuran sendi atau rematik),
nyeri otot, nyeri haid, serta menurunkan demam. Ibuprofen juga memiliki efek
anti-radang dan anti-pembekuan darah yang lemah. (Yolanda. 2013). Dosis untuk
demam yakni 200-400 mg tiap 4 sampai 6 jam dengan dosis maksimum 1200 mg
sehari. martindalle, hal;65.
3) Aspirin Aspirin adalah obat menghambat produksi prostaglandin
(sebuah zat spesifik yang menyebabkan rasa sakit dan demam) untuk mengurangi
respons tubuh terhadap serangkaian proses kimia yang akhirnya menuju
terbentuknya rasa sakit.Obat ini di indikasikan untuk meringankan rasa sakit,
nyeri otot dan sendi, demam, nyeri karena haid, migren, sakit kepala dan sakit gigi
tingkat ringan hingga agak berat. (Bayer. 2005). Dosis 300-900 mg diberikan tiap
4 sampai 6 jam, dengan dosis maksimum 4000 mg sehari.
b) Terapi Non-Farmakologi
Adapun yang termasuk dalam terapi non-farmakologi dari penatalaksanaan
demam:
1) Pemberian cairan dalam jumlah banyak untuk mencegah dehidrasi dan
beristirahat yang cukup.
2) Tidak memberikan penderita pakaian panas yang berlebihan pada saat
menggigil. Kita lepaskan pakaian dan selimut yang terlalu berlebihan. Memakai
satu lapis pakaian dan satu lapis selimut sudah dapat memberikan rasa nyaman
kepada penderita.
3) Memberikan kompres hangat pada penderita. Pemberian kompres
hangat efektif terutama setelah pemberian obat. Jangan berikan kompres dingin
karena akan menyebabkan keadaan menggigil dan meningkatkan kembali suhu
inti (Kaneshiro & Zieve. 2010).
2.5 Interkasi Obat
Daftar interaksi obat :

No Nama Obat Nama Obat Interaksi Obat Efek Ket


A B
1 Alfentanil Erythromyc erythromycin, Alfentanil Sinergis
in fluconazole, dapat segera
(Alfenta®)
troleandomycin di eliminasi
2 Troleandom menghambat dari dalam
ycin cytochrome tubuh
P450isoenzyme
3 Fluconazole
CYP3A 3/4 di
hati yang
berfungsi
memetabolisme
alfentanil.
4 H2-blockers Cimetidine tapi Kadar Aditif
bukan ranitidine alfentanil
meningkatkan meningkat
kadar alfentanil
dalam darah.
3 Aspirin or Caffeine Caffeine Kadar Aditif
Salicylates meningkatkan aspirin
absorbs aspirin meningkat
dalam darah
5 Tamarindus Tamarindus Kadar Aditif
indica fruit indica fruit aspirin
extract extract meningka meningkat
tkan absorbs
aspirin sehingga
kadar didalam
darah meningkat
6 Dextromora Troleandom Meningkatnya Efek Aditif
mide ycin efek farmakologi
dextromoramide s meningkat
dan koma pada
laki-laki dapat
diatasi dengan
troleandomycin.
7 Fentanyl Baclofen Efek fentanyl efek Aditif
meningkat dengan farmakologi
adanya baclofen s meningkat
8 Cimetidine Efek fentanyl efek Aditif
meningkat dengan farmakologi
adanya cimetidine s meningkat
9 Lornoxicam H2-blockers Cimetidine, tapi Kadar Aditif
bukan ranitidine, meningkat
dalam kadar yang
kecil dapat
meningkatkan
kadar lornoxicam
10 glibenclami Lornoxicam Efek Aditif
de meningkatkan farmakologi
efek glibenklamid meningkat
11 Cimetidine Kadar cimetidine Kadar Aditif
meningkat cimetidine
meningkat
13 Methadone Ciprofloxa Lonorxicam Kadar Aditif
cin menghambat ciprofloxaci
metabolism n meningkat
ciprofloxacin
15 Fluconazole Fluconazole Kadar Aditif
meningkatkan methadone
level methadone. meningkat
16 Selective Methadone meni Efek Aditif
serotonin ngkatkan efek farmakologi
re-uptake samping dari s
inhibitors fluvoxamine fluvoxamin
(SSRIs) e meningkat
17 Morphine Dexamfeta Dua kombinasi Efek Sinergis
mine obat dapat farmakologi
(Dextroamp meningkatkan s meningkat
hetamine) efek analgesic
or dan menurunkan
Methylphen efek samping
idate
18 Fluoxetine Fluoxetine dapat Efek Sinergis
meningkatkan farmakologi
efek analgesic s meningkat
dan menurunkan
efek samping dari
morfin
19 Food Makanan dapat Efek Aditif
meningkatkan farmakologi
efek morfin yang s meningkat
digunakan oral
dan penyampaian
dalam darah
20 Metoclopra Metoclopramide Efek Aditif
mide meningkatkan farmakologi
tingkat absorbs s meningkat
morfin-oral dan
kadar didalam
darah
21 Secobarbital meningkatkan Efek Aditif
(Quinalbarb efek depresan farmakologi
itone) respiratory s meningkat
22 Tricyclic Bioavaibilitas Kadar Aditif
antidepressa analgetik analgetik
nts meningkat meningkat

Naproksen Merupakan salah satu derivat asam propionat yang efektif dan
insiden efek samping obat ini lebih dibandingkan derivat asam propionat yang
lain. Absorpsi obat ini berlangsung baik melalui lambung dan kadar puncak
plasma dicapai dalam 2-4 jam. Bila diberikan dalam bentuk garam natrium
naproksen, kadar puncak plasma dicapai lebih cepat. Waktu paruh obat ini 14 jam,
sehingga cukup diberikan dua kali sehari (Wilmana freddy, dan Sulistia Gan.
2007; 241) Asam Tiaprofenat Asam tiaprofenat memperlihatkan sifat sama seperti
derivate asam propionate lainnya. Waktu paruh dalam plasma kira-kira 2 jam dan
ekskresi terutama melalui ginjal sebagai konjugat asilglukuronida.

Efek samping sama seperti obat AINS lainnya. Dosis 3 kali 200 mg sehari
(Wilmana freddy, dan Sulistia Gan. 2007; 241). Indometasin Merupakan derivate
indol-asam asetat. Obat ini sudah dikenal sejak 1963 untuk pengobatan artritis
reumatoid dan sejenisnya. Walaupun obat ini efektif tetapi karena toksik maka
penggunaan obat ini dibatasi. Indometasin memiliki efek anti-inflamasi dan
analgesikantipiretik yang kira-kira sebanding dengan aspirin. Telah terbukti
bahwa indometasin memiliki efek analgesik perifer maupun sentral. In vitro
indometasin menghambat siklooksigenase. Seperti kolkisin, indometasin
menghambat motilitas leukosit polimorfonuklear (Wilmana freddy, dan Sulistia
Gan. 2007; 241)

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Obat yang ada saat ini masih jauh dari ideal. Tidak ada obat yang
memenuhi semua kriteria obat ideal, tidak ada obat yang aman, semua obat
menimbulkan efek samping, respon terhadap obat sulit diprediksi dan mungkin
berubah sesuai dengan hasil interaksi obat, dan banyak obat yang mahal, tidak
stabil, dan sulit diberikan. Karena banyak obat tidak ideal, semua anggota tim
kesehatan harus berlatih “care” untuk meningkatkan efek terapeutik dan
meminimalkan kemungkinan bahaya yang ditimbulkan obat.
Sebagai salah satu dari tim kesehatan, seyogyanya harus paham betul akan
pemanfaatan obat yang bertujuan memberikan manfaat maksimal dengan tujuan
minimal. Dan berikut ini adalah hal yang harus diperhatikan dalam pengobatan :
- Mengkaji kondisi pasien
- Mengobservasi kerja obat dan efek samping obat.
- Memberikan pengetahuan tentang indikasi obat dan cara penggunaannya.
3.2 Saran
Adapun saran yang dapat kami berikan yaitu :
- Untuk obat analgesik-antipiretik , dianjurkan jangan terlalu
mengkonsumsi obat ini secara berlebihan dikarenakan dapat
menyebabkan ketergantungan bagi pemakainya.
- Dan untuk obat anti inflamasi pengguna juga di harapkan tidak terlalu
berlebihan atau ketergantungan karena mekanisme kerja obat ini dapat
menyebabkan terjadinya perubahan kerja enzim.

Daftar Pustaka

Berman, Audrey., dkk. 2009. Buku Ajar Praktis Keperawatan Klinis. Jakarta :
EGC.
dr. Theodorus. _______. Penuntun Praktis Peresepan Obat. Jakarta : EGC.

Ganiswara, Silistia G. 1995. Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy


Pharmacology).

Jakarta : Alih Bahasa: Bagian Farmakologi F K U I.

Katzung. G. Bertram 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik EdisiVIII Bagian ke II.
Jakarta :

Salemba Medika.

Schmitz, Gery, dkk. 2008. Farmakologi dan Toksikologi. Jakarta : EGC.

Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fak. Kedokteran UNSRI. 2008.


Kumpulan Kuliah

Farmakologi. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai