Tim Penyusun
Dr. Ir. Adi Indrayanto dan tim
Didukung oleh:
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Executive Summary
Untuk mencapai tujuan tersebut, laporan ini dibagi menjadi dua bagian. Pertama, dengan
mengevaluasi target dan capaian IGOS 2004–2009. Untuk melihat keberhasilan program IGOS
2004–2009, laporan ini menggunakan indikator target-capaian dan indikator Open Source Index
(OSI) yang diadopsi dari proyek Open Source Software Potential Index.
Indikator target-capaian dilakukan dengan membandingkan target Skenario Utama OSS 2004–
2009, yaitu: (1) Penurunan tingkat pembajakan software dari 88% pada tahun 2004 menjadi
50%-70% tahun 2010; (2) Peningkatan pemanfaatan software dari 0,1-0,4 per 1000 penduduk
pada tahun 2005 menjadi 0,5-1,5 per 1000 penduduk pada tahun 2010; (3) Peningkatan jumlah
SDM pengembang dari 31.000 orang pada tahun 2005 menjadi 330.000 orang pada tahun 2010;
dan (4) Peningkatan jumlah software house lokal dari 100 perusahaan pada tahun 2004 menjadi
500 perusahaan pada tahun 2010, dengan hasil capaian yang diperoleh. Dari hasil evaluasi
menggunakan indikator target-capaian, terlihat peningkatan jumlah kebijakan penggunaan dan
standar migrasi, supporting group OSS, migrasi, pengembangan konten dan jumlah kerja sama.
Meski demikian, capaian tersebut belum memenuhi target IGOS 2010.
Open Source Index dilakukan dengan mengukur kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh elemen-
elemen pemerintah, industri dan komunitas/akademik melalui Open Source Activity Index (OSAI)
dan Open Source Potential Index (OSPI). OSAI terdiri dari variabel jumlah kebijakan nasional
terkait penyediaan perangkat, jumlah kebijakan pemerintah di bidang R&D skala nasional,
jumlah pengguna GNU/Linux per kapita, jumlah aplikasi yang didaftarkan ke Google Summer
Code, jumlah pencarian frase “open source software” di Google News, dukungan bahasa lokal
pada GNU/Linux; sedangkan Open Source Potential Index (OSPI) terdiri dari variabel jumlah
pembajakan perangkat lunak, kebebasan berpendapat, kebebasan masyarakat sipil, E-
government survei dari United Nations, pertumbuhan telepon seluler, jumlah publikasi jurnal
ilmiah per kapita, biaya internet per bulan, pertumbuhan Foreign Direct Investment (FDI),
persentase jumlah rumah tangga yang memiliki televisi, persentase mahasiswa dibandingkan
i
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
jumlah populasi usia kuliah, persentase rumah tangga yang memiliki komputer, dan jumlah
pengguna internet per kapita. Klasifikasi variabel OSAI dan OSPI dilakukan dengan melihat
derajat keterkaitan kegiatan-kegiatan tersebut. OSAI mengukur kegiatan yang terkait langsung
dengan OSS, sedangkan OSPI mengukur kegiatan yang diasumsikan dapat mengembangkan
ekosistem OSS. Dari hasil pengukuran tersebut, baik OSAI maupun OSPI menunjukkan
peningkatan indeks.
Peningkatan kegiatan OSS (terlihat dari pengukuran target–capaian dan OSI, meski belum
memenuhi target IGOS 2010) mengindikasikan kebutuhan akan adanya sebuah model
pengembangan yang mampu mengaitkan program IGOS dalam kerangka pencapaian target.
Untuk mencapai hal tersebut, bagian kedua dari buku ini memaparkan model pengembangan
OSS yang dilandaskan pada model ekonomi permintaan (supply) dan penawaran (demand).
Model ini dipilih karena tujuan akhir yang diharapkan adalah keberlanjutan (sustainability) dari
pengembangan teknologi informasi melalui pengembangan OSS. Dengan model ini, program-
program tidak hanya diarahkan untuk memenuhi sisi penawaran, namun juga bagaimana
produk-produk yang telah tersedia bisa diterima oleh pasar.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, desain skenario utama OSS Indonesia periode 2010–2014
diarahkan pada program-program yang dapat mendukung sisi permintaan, penawaran dan
bagaimana keduanya dapat bertemu. Dalam model ini, target bukan hanya berorientasi pada
peningkatan jumlah aktivitas melainkan bagaimana suatu aktivitas bisa memberikan nilai
tambah pada aktivitas lainnya. Untuk mempermudah pembagian peran antara tiap aktor,
skenario utama ini membagi program untuk peningkatan aktivitas di sisi penawaran dan
permintaan menjadi elemen-elemen: pemerintah, swasta dan pendidikan. Sedangkan program
untuk penguatan jejaring dilakukan melalui koordinasi antar departemen.
Pada perancangan program, pergeseran paradigma dari peningkatan jumlah menjadi nilai
tambah berimplikasi pada kriteria perusahaan/pengembang yang mendapatkan pendanaan dari
pemerintah, baik melalui mekanisme SUCP (Start Up Capital Program) maupun insentif. Jika
pada periode sebelumnya proposal penelitian/pengembangan dinilai hanya dinilai berdasarkan
unsur teknis, pemberian insentif pada periode 2010–2014 juga memperhitungkan peluang
produk tersebut dapat diterima pasar. Dari sisi permintaan, Surat Edaran Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: SE/01/M.PAN/3/2009 tentang Pemanfaatan Perangkat
Lunak Open Source berimplikasi pada peningkatan permintaan dan kebutuhan ekosistem
pendukung.
Dalam rangka mendukung Surat Edaran tersebut, program IGOS 2010–2014 diarahkan untuk
melakukan pendataan kebutuhan aplikasi dan kemampuan pengguna di lingkungan pemerintah
pusat/daerah, penyusunan Requirement Specification (RS), lelang, penelitian, serta proses
pengadaan barang. Sedangkan untuk mendorong pembentukan ekosistem pendukung OSS di
daerah, Kementerian Ristek akan bekerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional dalam
mengembangkan ICT Center sebagai penyedia jasa OSS. Hal lain yang menjadi fokus dari IGOS
2010–2014 adalah pengembangan partnership model untuk mendukung kebutuhan bisnis.
Keluaran dari model kerjasama ini diharapkan mampu menjawab pertanyaan mengenai nilai
komersial OSS.
ii
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Dengan evaluasi, pengukuran, dan pemaparan skenario utama yang dikemukakan dalam
laporan ini, diharapkan tujuan IGOS dalam mendorong kemampuan industri teknologi informasi
dan komunikasi nasional dapat terwujud dengan baik.
iii
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Daftar Isi
Bab 1 Pendahuluan...........................................................................................2
1.1 Latar belakang........................................................................................................................2
1.2 Pertanyaan penelitian.............................................................................................................3
1.3 Tujuan ....................................................................................................................................4
1.4 Metodologi..............................................................................................................................4
1.5 Sistematika penulisan.............................................................................................................4
iv
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
v
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
vi
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
vii
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Bab 10 Kesimpulan........................................................................................155
viii
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Daftar Gambar
Gambar 1. Malaysian Public Sector OSS Master Plan: adopsi fase I.............................................13
Gambar 2. Strategi pengembangan OSS fase II..........................................................................14
Gambar 3. Kategorisasi model bisnis perusahaan OSS...............................................................24
Gambar 4. Skenario Utama IGOS 2004–2009..............................................................................29
Gambar 5. Model The Trinity Index.............................................................................................45
Gambar 6. Model The Matrix Index.............................................................................................46
Gambar 7. Model The Hybrid Neo Index......................................................................................47
Gambar 8. Jumlah pengguna Linux menurut Linux Counter........................................................50
Gambar 9. Wilayah cakupan POSS di Indonesia..........................................................................68
Gambar 10. Tingkat pembajakan perangkat lunak di Indonesia (1994–2008).............................77
Gambar 11. Nilai piracy losses di Indonesia (1994–2008)...........................................................78
Gambar 12. Distribusi rumah tangga yang memiliki komputer menurut wilayah (2006).............82
Gambar 13. Penetrasi komputer dan akses internet rumah tangga Indonesia (2005–2007).......82
Gambar 14. IT countries development stages.............................................................................84
Gambar 15. Prediksi jumlah pengembang perangkat lunak di Indonesia (2001–2008)...............86
Gambar 16. Prediksi jumlah pengembang perangkat lunak di Indonesia (2008–2013)...............86
Gambar 17. IT industry competitiveness index (BSA & IDC 2008)...............................................91
Gambar 18. Model supply-demand perangkat lunak.................................................................103
Gambar 19. Model supply-demand...........................................................................................104
Gambar 20. Pembentukan kluster pelaku usaha di sisi supply (minus pemerintah)..................106
Gambar 21. Peran program IGOS 2009–2011 sebagai katalisator.............................................109
Gambar 22. Peran RisTek sebagai pemberi insentif di sisi supply.............................................109
Gambar 23. Relasi antar aktor dalam model supply-demand....................................................112
Gambar 24. Relasi aktor pada fase pra sosialisasi....................................................................120
Gambar 25. Relasi aktor pada fase sosialisasi..........................................................................121
Gambar 26. Relasi aktor pada fase migrasi...............................................................................122
Gambar 27. Relasi aktor pada fase pasca migrasi.....................................................................123
Gambar 28. Kuadran relasi sosio-teknis OSS.............................................................................124
Gambar 29. Kuadran supply-demand........................................................................................129
Gambar 30. Diagram alur pelaksanaan Program IGOS 2010–2014...........................................133
Gambar 31. Relasi OSS dalam kerangka pencapaian tujuan IGOS............................................153
ix
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Daftar Tabel
Tabel 1. Ringkasan kebijakan OSS dan ranking OSAI beberapa negara lain................................16
Tabel 2. Variabel penyusun OSI..................................................................................................48
Tabel 3. Peringkat indeks e-government readiness.....................................................................53
Tabel 4. Indeks e-government readiness berdasarkan wilayah...................................................54
Tabel 5. Indeks dan peringkat e-government readiness Asia Tenggara......................................54
Tabel 6. Indeks OSI berbagai negara di dunia.............................................................................57
Tabel 7. Pertumbuhan pelanggan/pengguna internet di Indonesia.............................................80
Tabel 8. IT countries development stages...................................................................................83
Tabel 9. Target pertumbuhan ekspor industri elektronika Indonesia...........................................87
Tabel 10. Proyeksi umum pertumbuhan jumlah SDM industri teknologi informasi Indonesia......88
Tabel 11. Jumlah mahasiswa aktif bidang TIK menurut program studi........................................89
Tabel 12. Variabel aktivitas pemerintah......................................................................................93
Tabel 13. Variabel aktivitas industri............................................................................................93
Tabel 14. Variabel aktivitas komunitas.......................................................................................93
Tabel 15. Variabel potensi pemerintah.......................................................................................94
Tabel 16. Variabel potensi industri..............................................................................................94
Tabel 17. Variabel potensi komunitas.........................................................................................95
Tabel 18. Hasil migrasi: pengalaman di Aceh Tengah...............................................................117
Tabel 19. Parameter keberhasilan aktivitas aktor dalam ekosistem OS5..................................153
x
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Bagian A:
Evaluasi Skenario Utama OSS 2004–2009
1
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
BAB 1
PENDAHULUAN
Pasar teknologi informasi pada dasarnya dapat dikategorikan dalam empat segmen, yang
mencakup produk perangkat keras (hardware), layanan perawatan perangkat keras (hardware
maintenance services), produk dan layanan perangkat lunak (software products and services),
dan layanan yang berkaitan dengan internet (internet and processing services)1. Dibandingkan
dengan tiga segmen lainnya, bisnis perangkat lunak memiliki keunikan berupa entry barrier
yang rendah, dengan modal utama terletak pada ketersediaan sumber daya manusia yang
berkualitas dan berpengetahuan.
Pada tahun 2000, pasar perangkat lunak dunia telah mencapai US$ 171 milyar, dimana lebih
dari separuhnya dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan perangkat lunak di Amerika Serikat
sebesar US$ 90 milyar. Di AS, nilai ini bahkan lebih tinggi daripada industri film sebesar US$ 74
milyar. Bagaimana dengan negara berkembang? Keberhasilan India dalam industri perangkat
lunak sepanjang 10 tahun terakhir telah mematahkan argumentasi bahwa hanya negara maju
sajalah yang dapat berpartisipasi dalam industri teknologi informasi. Dalam waktu kurang dari
lima tahun, nilai ekspor software India telah tumbuh lebih dari tujuh kali lipat menjadi US$ 4
milyar di tahun 2000, dan telah melewati angka US$ 40 milyar pada tahun 2008 2. Lebih
mencengangkan lagi, pertumbuhan nilai ekspor perangkat lunak ini dihasilkan oleh India, negara
dengan pertumbuhan kebutuhan domestik perangkat lunak yang landai, hanya sekitar sepertiga
dari total nilai ekspornya3.
Salah satu kecenderungan strategis yang terdapat dalam perkembangan perangkat lunak
dewasa ini adalah Open Source Software (OSS), yakni perangkat lunak yang dikembangkan
dengan source code yang terbuka. OSS identik dengan Free Open Source Software (FOSS).
Dalam paradigma OSS, kita mengenal dua macam perangkat lunak. Jenis yang pertama adalah
proprietary software, yang perolehan lisensinya tidak melibatkan transfer kode program dari
perangkat lunak tersebut. Sedangkan jenis yang kedua adalah OSS yang bersifat free, yang
kode programnya dapat diakses oleh siapa saja yang membutuhkan.
1
Berlescon Research, FLOSS final report: basics of open source software markets and business models, Juli 2002.
2
A. Illiyan, Performance, challenges and opportunities of Indian software export, Journal of Theoretical and Applied
Information Technology, November 2008.
3
A.Z.R. Langi, Pengembangan sumber daya manusia untuk industri teknologi informasi dan software di BHTV, Juli 2000.
2
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Ada tiga tujuan yang melatarbelakangi pencanangan program IGOS, yaitu untuk: (i)
memperkecil kesenjangan teknologi informasi, baik antara Indonesia dengan negara maju
maupun di lingkungan masyarakat dalam negeri, melalui penggunaan dan pengembangan
piranti lunak yang berbasis open source; (ii) meningkatkan inovasi dan kreativitas bidang
teknologi informasi guna mendorong percepatan pengembangan industri perangkat lunak
nasional; dan (iii) mempercepat, mengembangkan, dan menciptakan program-program
pemerintah bidang teknologi informasi skala nasional yang berdampak luas dalam
kepemerintahan, ekonomi, sosial, iptek, dan lain-lain.
Dengan demikian, adopsi OSS bukanlah target akhir dari program IGOS. Dalam jangka panjang,
arti penting dari program ini terletak pada bagaimana agar dengan open source bangsa
Indonesia dapat mengejar ketertinggalan dalam kesenjangan teknologi informasi (digital
devide). Arti penting dan tujuan program ini kemudian dirumuskan pada Skenario Utama OSS
2004–2009 dalam bentuk serangkaian kegiatan dan kebijakan, seperti melalui surat edaran
yang bersifat praktis, insentif pengembangan OSS, sosialisasi/workshop/seminar, pembentukan
pusat-pusat pengembangan dan pendayagunaan OSS, IGOS Center, standardisasi dan sertifikasi
OSS, dan lain sebagainya.
Lima tahun telah berlalu semenjak pencanangan program IGOS. Banyak hasil yang telah
diperoleh dan masih banyak pula harapan yang ingin digapai di masa mendatang. Kajian ini
berupaya memotret hasil-hasil pada pelaksanaan Skenario Utama OSS 2004–2009, sekaligus
pada saat yang sama berusaha menyediakan cara pandang bagi penyusunan program dan
kegiatan yang akan dilakukan dalam periode 2010–2014.
3
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
1.3 TUJUAN
1. Melakukan pemetaan perkembangan OSS di Indonesia berdasarkan Skenario Utama OSS
2004–2009.
2. Menyediakan metrik untuk mengukur dinamika pengembangan OSS di Indonesia.
3. Menyusun Grand Scenario OSS 2010–2014.
1.4 METODOLOGI
Metodologi yang digunakan dalam studi ini meliputi tahapan-tahapan berikut:
1. Desk study
2. Pengumpulan data sekunder
3. Pemetaan sasaran, target, program dan kegiatan berdasarkan Skenario Utama OSS 2004–
2009
4. Pengembangan Model Pengukuran
5. Focus Group Discussion
6. Analisis
4
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Bab VIII berisi strategi pengembangan OSS dengan model supply-demand. Penjelasan
dalam bab ini meliputi analisis terhadap program IGOS 2004–2009 berdasarkan
pendekatan supply-demand serta strategi pengembangan OSS dalam tiga sektor prioritas:
pemerintah, pendidikan, dan swasta.
Bab IX memaparkan penjelasan mengenai program-program IGOS 2010–2014, diawali
dengan penetapan indikator target dan capaian 2014, skenario pelaksanaan di sisi supply
dan sisi demand, pengelompokan aktor-aktor dalam ekosistem OSS, strategi pelaksanaan
program bagi setiap kelompok ekosistem, serta strategi monitoring dan evaluasi program.
Bab X menjadi penutup dari laporan ini, berisikan penegasan temuan penting dari laporan
dan arah pengembangan IGOS periode 2010–2014.
5
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
BAB 2
PENGEMBANGAN OSS DI NEGARA LAIN
Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan OSS di dunia adalah dukungan
pemerintah. Sebuah survei yang dilakukan oleh Center for Strategic and International Studies
(CSIS) menemukan 275 buah kebijakan pemerintah yang diinisiasi pada tahun 2008. Dari jumlah
tersebut, 76 buah (27,63%) berada pada tahap pengajuan, 182 buah (66,18%) sudah disetujui,
sementara 17 buah (6,18%) kebijakan lainnya gagal. Sedangkan jika dilihat dari sifat mengikat
suatu kebijakan, pendekatan mandatori mengalami peningkatan persentase dari tahun 2004 ke
tahun 2008, yaitu berturut-turut 1,6%; 1,3%; 3,4%; dan 5,5%, meski masih menempati posisi
terendah setelah pendekatan nasehat (advisory), preferensi, dan pemberian dana untuk riset
dan pengembangan (R&D).
Pentingnya peran negara dalam mendorong pengembangan OSS tercermin dalam salah satu
item yang perlu mendapat perhatian dalam World Summit on the Information Society (WSIS)
yang dilaksanakan di Geneva pada Desember 2003, dimana pemerintah dituntut bekerjasama
dengan pihak swasta dan publik sektor untuk melakukan promosi program pengembangan riset
dan teknologi dalam bentuk: konteks translasi, iconographies, voice-assisted services,
pengembangan hardware, serta berbagai model software termasuk hak penciptaannya, open
source software dan free software (WSIS - Plan of Action). Begitu pula yang disebutkan dari hasil
kajian The United Nations Conference on Trade Development (UNCTAD) yang tersaji dalam
dokumen E-Commerce dan Development Report 2003, yang merekomendasikan kepada negara
sedang berkembang untuk mengadopsi Free & Open Source Software (FOSS) untuk
menjembatani adanya the digital divide dengan cara memformulasikan dan
mengimplementasikan kebijakan yang tepat dalam pengembangan dan pelatihan SDM dan
kebijakan e-government berkaitan dengan pengembangan software-nya.
Untuk melihat peran pemerintah dalam mendorong pengembangan OSS, bab ini menyajikan
contoh beberapa negara yang memiliki kebijakan khusus pengembangan OSS.
6
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) terbesar. Dengan adanya pengakuan terhadap OSS
dan Open Standards, pemerintah berkontribusi pada area-area berikut:
1. Memperkenalkan kebijakan yang mengarah pada optimasi penghematan pengeluaran TIK
melalui efisiensi biaya pengeluaran untuk membeli lisensi.
2. Memicu tumbuhnya usaha perangkat lunak lokal yang akan mengarah pada peningkatan
potensi eksport dan peningkatan kapasitas lokal untuk memenuhi kebutuhan TIK
pemerintah.
3. Mengurangi hambatan bagi perusahaan baru yang hendak masuk ke industri TIK.
Sebagai ilustrasi, berikut ini adalah langkah-langkah yang dilakukan Departemen Komunikasi
dalam melakukan migrasi ke OSS.
Langkah pertama, terdiri dari pilot project untuk menginstal OpenOffice di atas Windows dan
untuk menguji kompatibilitas penggunaannya. Hasil percobaan langkah awal ini dijadikan
pertimbangan untuk melakukan migrasi ke Linux. Langkah awal ini mencakup pelatihan bagi
pengguna dan pendukung teknologi informasi (IT support) di Departemen Komunikasi. Sebagai
permulaan, pendukung IT eksternal akan disediakan untuk membantu peningkatan keahlian dari
staf IT di departemen tersebut.
7
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Langkah kedua dari program OSS adalah menjalin kerjasama dalam pengembangan aplikasi
dengan laboratorium Internet dan Institute for Satellite and Space Applications (ISSA). Proyek ini
bertujuan untuk melihat adopsi OSS untuk pelayanan khusus.
Kampanye untuk meningkatkan kesadaran penggunaan OSS juga dilakukan ke dalam dan ke
luar, serta dilakukan juga kepada para pemangku kepentingan.
Pusat untuk Inovasi Pelayanan Publik (Center for Public Service Innovation) telah meluncurkan
beberapa program untuk mendukung pengembangan OSS, mencakup:
1. Mendukung pengembangan proyek-proyek eksperimental.
2. Memproduksi CD berisi informasi mengenai strategi formulasi OSS.
3. Membuat publikasi materi OSS dalam media massa harian (Inova).
4. Menggelar workshop mengenai kebutuhan perangkat lunak yang dapat dipenuhi dengan
menggunakan model OSS.
CSIR (Council for Scientific and Industrial Research), melalui Unit Bisnis Teknologi Bisnis dan
Komunikasi, secara aktif terlibat dalam penggunaan dan promosi OSS, khususnya dalam area
berikut:
1. Pengembangan berbasis Open, Open Source, dan Open Standards merupakan basis bagi
pengembangan TIK di Afrika Selatan. Penelitian mencakup aspek sosial dan ekonom dari
implementasi OSS menggunakan sistem OSS.
2. Pengembangan berbasis OSS pada aplikasi TIK ditujukan untuk meningkatkan kualitas
kehidupan di sektor pendidikan, kesehatan, dan pembangunan pedesaan. Tujuan
pengembangan ini adalah untuk meningkatkan aktivitas dengan menginisiasi dan
mendorong tumbuhnya aktivitas OSS lokal, dan untuk menciptakan kontribusi yang
bermakna pada pengembangan industri perangkat lunak lokal.
3. Menyebarluaskan penggunaan OSS di sektor privat dan publik melalui penyediaan
ekosistem penunjang, memfasilitasi penerimaan OSS sebagai model alternatif dari model
proprietary. Untuk mencapai tujuan ini CSIR meneliti kestabilan pusat dengan fokus pada
pengembangan dan dukungan dari ekosistem OSS.
Secara umum, faktor penentu kesuksesan dari implementasi OSS di Afrika Selatan ini terbagi
dalam 3 bagian, yakni:
1. Implementasi OSS dituntut untuk menghasilkan nilai ekonomis. Berbagai nilai tersebut di
antaranya adalah efisiensi biaya pengeluaran, menambah devisa negara, dan kesempatan
untuk melakukan pengembangan OSS. Di samping itu terdapat pula nilai sosial seperti
perluasan akses informasi bagi masyarakat dan penyediaan sarana untuk pelatihan
teknologi informasi.
2. Peningkatan kapasitas dan perawatan yang harus memadai. Pencapaian hal ini meliputi
kemampuan dalam menyediakan informasi, masukan dari para ahli, serta bantuan
pengembangan OSS.
3. Dukungan yang besar dari para pelaku utama di bidang OSS, khususnya pemerintah.
Strategi perluasan dukungan ini memiliki sasaran mulai dari tingkat pengambil kebijakan
(birokrat), jajaran departemen, kalangan professional di bidang IT, dan seluruh pengguna
komputer.
8
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Kampanye OSS di Afrika melibatkan koalisi dari Shuttleworth Foundation, Hewlett Packard,
Canonical, dan Meraka Institute, satu CSIR untuk mempromosikan Open Source di Afrika
Selatan. Keterlibatan perusahaan-perusahaan besar dalam mendukung pengembangan OSS
memungkinkan pengguna OSS mendapatkan stabilitas, mempermudah interoperabilitas antara
beragam perangkat dan peningkatan kualitas secara terus menerus. Dengan kebijakan yang
dikeluarkan oleh State Information Technology Agency (SITA) pada tahun 2003, hampir seluruh
departemen saat ini telah menggunakan OSS.
Antara lain didukung oleh kebutuhan penghematan anggaran, penggunaan OSS di lingkungan
pemerintah Amerika Serikat saat ini dapat dikatakan sudah cukup populer. Salah satu kisah
sukses yang tercatat adalah penggunaan solusi OSS dalam operasi wahana penjelajah Mars
milik NASA. Sejarah penggunaan OSS di pemerintah sebenarnya cukup panjang, bahkan sempat
ditentang penggunaannya di lingkungan Departemen Pertahanan (DoD - Department of
Defense). Akan tetapi sebuah studi yang dilakukan MITRE Corp. pada tahun 2002 menunjukkan
bahwa tak kurang dari 115 aplikasi OSS (atau yang bersumber dari kode OSS) telah digunakan
di lingkungan DoD. Selain itu, OSS juga telah digunakan secara luas dalam aplikasi sekuriti dan
kebutuhan pertukaran data melalui intranet. Studi tersebut juga memperlihatkan beberapa
motivasi yang mendasari penggunaan OSS. Pertama, sekalipun ditentang, OSS memberikan
keuntungan dari segi biaya. Kedua, karakteristik produk OSS yang handal digunakan sesuai
kebutuhan pengguna. Motivasi yang ketiga terletak pada luasnya dukungan terhadap OSS,
mulai dari dukungan in-house, pihak ketiga, serta kombinasi keduanya. Terakhir, keunggulan
OSS dalam aspek sekuriti sesuai tuntutan penggunaannya di lingkungan DoD.
Kisah sukses OSS juga ditemukan di lingkungan National Weather Service, yang telah
memigrasikan sekitar 2.400 workstation dan server-nya. Langkah ini ditengarai berhasil
menekan pengeluaran operasional bagi perangkat lunak sebesar 75%. Lembaga lainnya, The
Census Bureau, juga telah mengembangkan sistem pengaksesan data menggunakan berbagai
aplikasi OSS seperti Linux, web server Apache, MySQL, dan Perl. Instansi pemerintah yang juga
telah melakukan hal serupa adalah Defense Information System Agency (DISA), Depatment of
Energy, Department of Education, Department of Justice, dan banyak agensi lainnya.
Sekalipun tidak ada kebijakan resmi mengenai OSS dari Pemerintah Federal Amerika Serikat,
namun saat ini telah ada beberapa usaha untuk membuat kebijakan pro-OSS pada tingkat
4
Tom Walker, The Future of Open Source in Government, February 2004.
9
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
negara bagian. Beberapa negara bagian tersebut adalah California, Oregon, dan Texas. Sebagai
tambahan, beberapa studi juga telah memberikan rekomendasi penggunaan OSS. Salah satunya
berasal dari PITAC (President's Information Technology Advisory Comittee) yang menyatakan
bahwa: "Pemerintah Federal harus mendorong pengembangan OSS, sebagai jalan alternatif
untuk pengembangan perangkat lunak untuk high-end computing". Beberapa institusi publik
tingkat kota juga dilaporkan telah melakukan migrasi ke platform OSS. Salah satunya adalah
City of Largo di Florida yang telah melakukan transisi 900 komputer kota ke GNU/Linux. Langkah
ini dikabarkan telah menghemat tak kurang dari US$ 1 juta.
2.3 BELANDA
Sejak 6 Desember 2006, sedikitnya delapan pemerintah kota di Belanda telah menandatangani
Manifest van de Open Gemeenten (Manifest of Open Government). Manifesto ini menyatakan
bahwa sistem teknologi informasi berikut pengadaannya di lingkungan pemerintah harus
dilandasi oleh semangat open source dan open standards. Di sisi lain, manifesto ini juga tidak
secara eksplisit menyatakan pelarangan penggunaan proprietary software dalam tender.
Manifesto ini menekankan strategi pengembangan OSS pada empat aspek keterbukaan
(openness) sebagai berikut:
1. Supplier Independence
Aspek ini memungkinkan pemerintah terlepas dari ketergantungan terhadap sebuah
perusahaan/vendor tertentu dalam suatu tender.
2. Interoperability
Pertukaran dokumen harus dapat dilakukan tanpa batas. Dokumen tersebut dapat diakses
tanpa dibatasi penggunaan jenis perangkat lunak tertentu.
3. Transparency and Verifiability
Pemerintah harus dapat mengaudit perangkat lunak yang digunakan: apakah sudah
mendukung faktor pengamanan yang dibutuhkan.
4. Digital Durability
Dokumen harus selalu dapat terbuka kapan pun, tanpa mengenal batas waktu.
2.4 BRAZIL
Pemerintah Brazil telah berencana untuk melakukan migrasi ke OSS bagi sekitar 80 persen
komputer pemerintah, dalam jangka waktu 3 tahun. Langkah migrasi ini dilakukan karena
berbagai alasan. Pertama, biaya OSS yang lebih rendah. Kedua, migrasi dilakukan untuk
meningkatkan produksi dari perangkat lunak dalam negeri. Ketiga, sebagai langkah
demokratisasi akses pada pengetahuan. Sejak tahun 2000 pemerintahan Brazil mendanai
proyek berskala besar untuk penggunaan OSS pada aplikasi GIS (Geographic Information
System) yang digunakan oleh sektor publik untuk manajerial kawasan penduduk dan untuk
pengawasan lingkungan. Proyek yang dinamakan TerraLib5 tersebut merupakan pengembangan
5
http://terralib.org
10
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
library pada aplikasi GIS. Pada survei tahun 2005, diperkirakan jumlah pasar GIS ini sebesar 200
perusahaan dan 4.000 tenaga kerja yang mencapai US$ 150 juta.
2.5 CINA
Pemerintah Cina mulai memilih untuk beralih ke OSS sejak tahun 2000, melalui pengembangan
Linux versi Cina (Redflag). Hal tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri,
dan keamanan dalam negeri Cina sendiri. Hampir 90 persen perangkat lunak yang beredar di
Cina (saat program tersebut dicanangkan) merupakan bajakan, oleh karena itu untuk membuka
peluang pasar, diputuskan kebijakan penggunaan perangkat lunak secara legal. Pemerintah
Cina sendiri telah mengeluarkan banyak biaya untuk membeli lisensi dari Microsoft. Dengan
adanya Linux, maka sebagian biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat dialihkan untuk
pengembangan OSS.
Pada tahun 2003 perusahaan IT yang berbasis OSS dari tiga negara, yakni Red Flag Software
Co. Ltd. (Cina), Miracle Linux Corp. (Jepang) dan Haansoft Inc. (Korea Selatan), melakukan
kerjasama untuk membuat dan mengembangkan sebuah sistem operasi sebagai alternatif
sistem operasi Windows. Pada tahun 2004, Kementerian Informasi Cina (The Chinese Ministry of
Information) juga telah mendirikan Open Source Software Promotion Alliance untuk mendorong
pengembangan OSS di Cina.
2.6 ESTONIA
Estonia merupakan salah satu pelopor e-government di dunia. Pemerintahan Estonia pertama
kali mengadopsi OSS pada tahun 1995 untuk menghemat biaya pengeluaran pada sektor
teknologi informasi. Langkah ini telah membuat alokasi dana pemerintah untuk pengembangan
Teknologi Informasi pada sektor publik hanya terpakai sekitar 1%. Melalui adopsi OSS oleh
pemerintah, maka semua pekerjaan pada sektor publik diarahkan menuju penggunaan OSS,
dengan Linux menjadi sistem operasi utama sebagai modul untuk pertukaran data (X-Road).
Selain itu, semua komponen perangkat lunak dikembangkan dari X-Road System yang
berdasarkan OSS dan dapat di-download oleh masyarakat secara gratis.
2.7 JERMAN
Jerman merupakan negara yang dikenal mendukung pengembangan OSS melalui berbagai
proyek dan pengembangan infrastruktur. Parlemen Jerman juga telah sejak lama menyuarakan
pentingnya OSS dalam instansi pemerintah, terutama dalam pos-pos yang berpotensi
menghemat pengeluaran negara. Yang menarik untuk dicermati, ternyata harga tidak selalu
menjadi alasan dalam melakukan migrasi komputer ke Linux. Menteri Dalam Negeri Jerman,
Otto Schilly, mengatakan: "Kita meningkatkan keamanan komputer dengan mencegah
terjadinya monoculture dan menekan ketergantungan terhadap single supplier."
Dukungan pemerintah Jerman terhadap OSS dapat ditelusuri sejak November 2001, ketika
Bundestag menerbitkan resolusi tentang perlunya peningkatan penggunaan OSS dalam
11
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
lingkungan administrasi federal. Penerbitan resolusi ini antara lain didasari pertimbangan bahwa
OSS merupakan peluang khusus yang dapat ditempuh dalam memajukan industri perangkat
lunak dalam negeri dan di Eropa pada umumnya. Catatan berikutnya muncul pada tahun 2002,
saat Federal Ministry of The Interior menandatangani kesepakatan dengan IBM dan Linux SUSE.
Kesepakatan tersebut memungkinkan institusi pemerintah untuk memperoleh diskon dalam
pemanfaatan sistem Linux di dalam institusinya.
Bersama dengan Perancis, Jerman adalah negara di Eropa yang dipandang paling sukses dalam
melakukan implementasi OSS di sektor publik. Kegiatan implementasi dilakukan secara
bervariasi, mengikuti bentuk struktur organisasi dan kebutuhan. Pada tahun 2002, Deutsche
Bundestagsverwaltung (administrasi parlemen) memilih untuk melakukan migrasi ke Linux
daripada meng-upgrade seluruh workstation-nya dengan Windows XP. Keputusan migrasi
umumnya dipilih dengan pertimbangan untuk menurunkan biaya operasional, sebagaimana
dialami oleh satuan kepolisian di daerah Lower Saxony yang telah melaksanakan proses migrasi
di sekitar 11.000 workstation. Langkah ini diperkirakan akan menghemat pengeluaran
operasional sebesar tak kurang dari 20 juta Euro dalam 10 tahun. Beberapa departemen dan
institusi publik lain juga dilaporkan telah melakukan serangkaian proses migrasi dalam berbagai
pilot project. Pertimbangan ekonomi tersebut juga tampak dari berbagai kegiatan feasibility
study, dimana jumlah penghematan biaya operasional merupakan salah satu tolok ukur evaluasi
yang paling penting.
2.8 MALAYSIA
Pemerintah Malaysia telah menyatakan dukungannya pada OSS sejak November 2001. Pada
bulan April 2002, Association of Computer and Multimedia Industry of Malaysia, lewat sebuah
jurnalnya, telah menyarankan agar Pemerintah Malaysia secara resmi menggunakan OSS.
Malaysia Institute of Electronic Systems juga mendesak pemerintah untuk penggunaan OSS dan
pengembangan komputer murah berbasis OSS. Pada bulan Juli 2002, Malaysia meluncurkan
Komnas (Komputer Nasional) sebanyak 20 unit PC berbasis GNU/Linux yang dikembangkan oleh
DRB-Hicom Info Tech6. Komnas dilengkapi dengan Linux (versi yang sudah dilokalisasi), dan
aplikasi lain seperti office dan web browser.
Pada tahun 2004, Pemerintah Malaysia meluncurkan Malaysian Public Sector OSS Master Plan
yang ditujukan untuk meningkatkan nilai dari penggunaan OSS di sektor publik melalui
peningkatan efisiensi, keamanan, dan kualitas pelayanan. Untuk mencapai tujuan tersebut,
pemerintah Malaysia membentuk Open Source Competency Centre (OSCC) yang memiliki misi
untuk menyediakan petunjuk, memfasilitasi, serta melakukan koordinasi dan pengawasan
implementasi OSS di sektor publik. Adapun roadmap yang digunakan pada fase pertama adalah
sebagai berikut:
6
http://www.zdnetasia.com/news/hardware/0,39042972,39071821,00.htm
12
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
13
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Target yang ditetapkan oleh OSCC untuk Fase II dari migrasi ke OSS adalah sebagai berikut:
Pengembangan Sumber Daya Manusia:
80% dari personil TI yang ada menguasai OSS.
5% dari personal TI terlatih memiliki telah tersertifikasi OSCC.
Memperoleh pengakuan (sertifikasi) dari Lembaga Internasional.
Pendidikan
30% dari Insitusi Pendidikan Tinggi berpartisipasi dalam OSCC Certified Training
Program (CTP).
Kolaborasi Komunitas OSS
50% dari vendor TI lokal menyediakan pelayanan berbasis OSS.
Implementasi
Mencakup semua distrik dengan sekurang-kurangnya satu sekolah di tiap distrik
telah mengadopsi OSS.
100% agen pemerintah mengadopsi OSS.
80% agen pemerintah menggunakan infrastruktur berbasis OSS.
30% dari agen pemerintah menggunakan desktop berbasis OSS.
2.9 PERU
Peru adalah salah satu negara yang telah secara tegas menyatakan beralih ke OSS. Ketegasan
Pemerintah Peru untuk menggunakan OSS ini dituangkan dalam Bill number 1609 mengenai the
use of free software in public administration. Undang-Undang tersebut berisi tentang penegasan
penggunaan FOSS (Free/OSS) di seluruh sistem pemerintahan, ketika terdapat pilihan antara
penggunaan proprietary software dan FOSS. Aturan tersebut juga mengharuskan agen-agen
pemerintah untuk menjelaskan dan mempublikasikan laporan analisa keuangan kepada
masyarakat apabila memilih untuk menggunakan proprietary software.
14
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Salah satu strategi utama LSF adalah mengembangkan model kolaborasi antara universitas (dan
institusi pendidikan lainnya) dan perusahaan TI (Teknologi Informasi). Keragaman masing-
masing aktor ini berkontribusi pada ketersediaan infrastruktur fisik dan sumber daya manusia
sebagai upaya untuk mencapai tujuan dengan LSF sebagai aktor yang memegang peran
manajerial. LSF menyediakan visi, strategi, leaership, dan petunjuk eksekusi bagi kolaborasi ini.
Model kolaborasi ini, dengan universitas (dan institusi pendidikan lainnya) menyediakan
perangkat dan infrastruktur sementara perusahaan TI menyediakan sumber daya manusia yang
dibutuhkan dalam pengembangan perangkat lunak yang didorong oleh LSF, telah menunjukan
keberhasilan. Hal ini terlihat dari tersedianya dana untuk membiayai proyek Apache Axis C++
dari Globus dan IBM. Proyek Axis Java dibiayai oleh Swedish Development Agency (SIDA) dan
telah menyumbang kemajuan dalam arsitektur Axis versi 2.0. Proyek ini melibatkan partisipasi
para pionir di tiap domain. LSF juga sukses bekerjasama dengan Apache Foundation. Untuk
mendukung interoperabilitas, LSF juga berpartisipasi dalam workshop yang diselenggarakan
oleh Microsoft dan IBM.
15
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Tabel 1. Ringkasan kebijakan OSS dan ranking OSAI beberapa negara lain
Ranking OSAI
Negara Aktor Dominan Aktivitas Aktivitas Aktivitas
Overall
Pemerintah Industri Komunitas
Afrika Selatan Pemerintah, Industri 30 17 46 25
Amerika Serikat Industri, Akademisi 9 28 13 2
Belanda Pemerintah 13 19 7 17
Brazil Pemerintah 12 3 43 14
Cina Pemerintah 15 6 69 4
Estonia Pemerintah 8 45 5 1
Jerman Pemerintah 3 4 19 5
Malaysia Pemerintah 26 12 36 27
Peru Pemerintah 36 24 54 36
Sri Lanka Industri, akademisi 52 34 62 39
Garis merah yang dapat ditarik dari serangkaian kebijakan negara-negara lain terhadap OSS
antara lain adalah:
1. Pemerintah berperan sebagai kunci utama untuk menentukan arah pembangunan dan
pengembangan OSS. Sejumlah negara yang telah mengadopsi OSS punya peluang yang
sangat besar untuk dapat mempercepat tingkat kemajuan teknologi beserta keuntungan
finansial yang dibawanya.
2. Sejumlah negara mengakui bahwa penggunaan OSS merupakan salah satu jalan untuk
menjadi salah satu kompetitor di pasar global, mendorong industri perangkat lunak lokal,
berkomitmen untuk memasyarakatkan teknologi informasi, serta menurunkan biaya
pembelian teknologi informasi.
3. Biaya tidak selalu menjadi alasan utama bagi negara-negara tertentu yang memilih untuk
menggunakan OSS. Aspek keamanan, interoperabilitas, menghilangkan ketergantungan
pada satu vendor, serta memajukan industri pengembang lokal juga merupakan aspek-
aspek penting yang turut memotivasi pengambil kebijakan di beberapa negara untuk
mengadopsi OSS.
16
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
BAB 3
PELUANG DAN TANTANGAN OSS DI INDONESIA
Bab ini menceritakan tentang peluang dan tantangan yang dihadapi dalam pengembangan
Open Source Software (OSS) di Indonesia. Pembahasan diawali dengan penjelasan ringkas
mengenai OSS, dilanjutkan dengan kelebihan dan kekurangan OSS, serta diakhiri oleh uraian
mengenai sejumlah tantangan yang dihadapi dalam pengembangannya di Indonesia.
Menurut Open Source Initiative (OSI), suatu perangkat lunak dapat disebut sebagai OSS apabila
memenuhi kriteria sebagai berikut7:
1. Pendistribusian ulang secara bebas, seperti distro-distro Linux yang dapat diperoleh
secara gratis.
2. Source code dari perangkat lunak harus disertakan atau disimpan di tempat yang dapat
diakses setiap orang, misalnya melalui jaringan internet dimana setiap orang dapat
mengunduh program tanpa dikenakan biaya.
3. Hasil modifikasi source code atau turunan dari program yang menggunakan lisensi open
source, dapat didistribusikan menggunakan lisensi yang sama seperti program asalnya.
4. Untuk menjaga integritas source code milik pembuat perangkat lunak, lisensi yang
digunakan pada program dapat melarang pendistribusian source code yang telah
dimodifikasi, kecuali lisensi itu mengijinkan pendistribusian patch files (potongan file
program yang bertujuan memodifikasi program tersebut) dengan disertakan source code
7
http://www.opensource.org/docs/osd
17
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
dari program asal. Lisensi itu secara eksplisit harus memperbolehkan pendistribusian
perangkat lunak yang dibuat dari source code yang telah dimodifikasi. Hal yang mungkin
adalah dengan memberikan nama atau versi yang berbeda dari perangkat lunak asalnya.
5. Lisensi pada open source tidak boleh menciptakan diskriminasi terhadap pihak lain baik
secara individu atau kelompok.
6. Tidak boleh membatasi seseorang terhadap pemanfaatan open source dalam suatu
bidang tertentu. Sebagai contoh, tidak ada pembatasan program tersebut terhadap
penggunaan dalam bidang bisnis, atau terhadap pemanfaatan dalam bidang riset genetik.
7. Hak-hak yang dicantumkan pada program tersebut harus dapat diterapkan pada semua
yang menerima tanpa perlu dikeluarkannya lisensi tambahan oleh pihak-pihak tersebut.
8. Lisensi perangkat lunak tidak diperbolehkan bersifat spesifik terhadap suatu produk. Hak-
hak yang tercantum pada suatu program tidak boleh tergantung dari apakah program
tersebut merupakan bagian dari satu distribusi perangkat lunak tertentu atau tidak.
Sekalipun program diambil dari distribusi tersebut dan digunakan atau didistribusikan
selaras dengan lisensi program itu, semua pihak yang menerima harus memiliki hak yang
sama seperti pada pendistribusian perangkat lunak asal.
9. Lisensi perangkat lunak tidak diperbolehkan membatasi perangkat lunak lainnya. Sebagai
contoh, lisensi itu tidak boleh memaksakan bahwa program lain yang didistribusikan pada
media yang sama harus bersifat open source, atau sebuah program compiler yang
bersifat open source tidak boleh melarang distribusi produk perangkat lunak yang
dihasilkan dengan compiler tersebut.
10. Lisensi harus bersifat netral terhadap teknologi. Hal ini berati bahwa lisensi tidak boleh
menyatakan bahwa suatu teknologi, suatu style, atau suatu antarmuka lebih baik
daripada lainnya.
3.2 PELUANG
Dewasa ini OSS tumbuh secara pesat dimana berbagai sistem dan aplikasinya telah mampu
menjadi solusi alternatif dari proprietary software. Dengan berbagai keunggulan seperti
sekuritas, reliabilitas sistem, dan lain sebagainya, OSS bahkan telah menjadi pilihan utama di
beberapa negara. Sifatnya yang open menjadikan OSS lebih menguntungkan pengguna, seperti
bagi pengembang perangkat lunak (prosumer: producer yang merangkap consumer perangkat
lunak) yang dapat memodifikasi program sesuai dengan kebutuhannya. Secara ekonomis,
kehadiran OSS juga menguntungkan pengguna karena dapat menekan biaya pemakaian
(dibandingkan dengan proprietary software).
Penggunaan OSS dalam beberapa tahun terakhir ini telah menjadi isu global, antara lain dipicu
semangat melawan dominasi Microsoft dan produk-produknya yang dianggap mahal. Sebuah
lisensi Windows XP Home Edition misalnya dibandrol dengan harga US$ 199. DI tengah suasana
menjelang Deklarasi Bersama IGOS, program komputerisasi KPU untuk pelaksanaan Pemilu
2004 menghabiskan biaya sekitar Rp 150 milyar dimana sekitar Rp 9 milyar di antaranya jatuh
18
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
ke pihak Microsoft8. Mahalnya lisensi produk piranti lunak merupakan salah satu dilema yang
dihadapi pengguna komputer di Indonesia, sebagaimana pula terjadi di sebagian besar negara
berkembang lain yang masih memiliki tingkat kesenjangan digital yang cukup besar.
Dalam kondisi demikian, penggunaan OSS dianggap dapat menjadi alternatif untuk mendukung
pengembangan bidang teknologi informasi nasional. Melalui dokumen E-Commerce and
Development Report 2003, UNCTAD juga telah menyuarakan pentingnya adopsi FOSS dalam
menjembatani kesenjangan digital khususnya di negara-negara berkembang.
Secara ringkas, berikut adalah beberapa kelebihan OSS dibandingkan dengan proprietary
software:
1. Biaya Investasi
Biaya lisensi untuk OSS umumnya nol atau sangat rendah (berupa ongkos distribusi
perangkat lunak). Pengeluaran anggaran lebih tertuju pada pos biaya perawatan atau
maintenance sistem OSS.
Berbeda dengan proprietary software yang mensyaratkan spesifikasi perangkat keras
tertentu, OSS relatif tidak terlalu bergantung pada jenis perangkat keras tertentu.
2. Kualitas dan Kinerja
Kualitas program dibuat dengan memperhatikan reliabilitas dan kinerja yang terkait
dengan keseluruhan sistem yang digunakan. Dengan hasil peer review dari para
programmer, kualitas dan kinerja OSS akan dapat selalu ditingkatkan.
Fleksibilitas Sistem: Perubahan requirement (baik perangkat lunak atau perangkat
keras) pada OSS tidak akan terlalu berpengaruh terhadap sistem yang digunakan.
Hal ini sangat berbeda dengan proprietary software, ketika requirement penyusun
sistem berubah maka perangkat lunak yang digunakan harus diganti atau di-update.
8
Menimbang Linux, Menutup Windows, eBizzAsia, Volume II No 19, Agustus 2004.
19
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Perangkat lunak yang berbasis open source lebih fleksibel digunakan tanpa
terpengaruh oleh perangkat keras atau perangkat lunak lain pada sistem.
3. Keamanan
Dengan menggunakan OSS, faktor keamanan (security) selalu dapat ditingkatkan,
mengingat keterbukaan akses pada source code akan memudahkan pendeteksian
kerusakan sistem dan upaya perbaikannya.
4. Lokalisasi
Pengembang dapat memodifikasi program sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
masyarakat sekitar, contohnya penerjemahan sistem operasi Linux ke dalam suatu
bahasa tertentu.
Meningkatkan kapasitas pengembang perangkat lunak lokal.
5. Independensi (kebebasan)
Berkurangnya ketergantungan terhadap suatu vendor perangkat lunak.
20
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Kendala lainnya berupa keterbatasan jumlah aplikasi OSS (terutama aplikasi untuk
kepentingan bisnis).
6. Dokumentasi
Sifat pengembangan OSS yang terbuka mebutuhkan ketersediaan dokumentasi yang
baik. Saat ini, dokumentasi OSS masih sangat terbatas dan relatif tersebar dalam
berbagai komunitas pengembang, sehingga menyebabkan tambahan barrier to entry
bagi kalangan pengguna non-pengembang.
Selain kebijakan yang terkait langsung dengan OSS, pemberlakukan UU Hak atas Kekayaan
Intelektual serta razia (sweeping) terhadap warung internet (warnet) dan usaha kecil menengah
yang diduga menggunakan perangkat lunak bajakan juga mendorong berkembangnya OSS.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang ada, serta dengan memperhatikan peluang-
peluang yang dapat diberikan oleh OSS di atas, maka pemerintah kemudian mencanangkan
suatu program nasional IGOS (Indonesia, Go Open Source!). Program ini merupakan upaya
bersama antara Pemerintah dan seluruh stakeholder, sesuai dengan tuntutan tugas dan
fungsinya, dalam rangka memperkuat infrastruktur teknologi informasi nasional dengan
memanfaatkan perkembangan infrastruktur informasi global melalui pengembangan OSS.
3.3 TANTANGAN
Sejalan dengan kecenderungan global dalam bidang teknologi informasi, di Indonesia telah
berkembang kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada pemanfaatan pengembangan OSS,
dimulai dengan munculnya komunitas-komunitas open source, pengembangan berbagai aplikasi
perangkat lunak berbasis open source, pelayanan jasa dan pelatihan, dan sebagainya. Akan
tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pengadopsian OSS belum berkembang
dengan cepat/berjalan mulus di semua sektor. Berdasarkan hasil survei yang diperoleh dari
referensi yang ada, beberapa masalah yang menghambat adopsi open source di Indonesia
antara lain adalah9:
9
Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Buku putih bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi, Agustus 2006.
21
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Sekalipun saat ini telah hadir berbagai komunitas pengguna, para peminat OSS di Indonesia
relatif masih baru sebatas menggunakan (dan instalasi); tanpa melakukan modifikasi,
penambahan fitur, atau perbaikan bug. Dibedakan dengan persoalan yang dihadapi dalam
adopsi OSS, sulitnya pengembangan OSS di Indonesia antara lain disebabkan oleh beberapa
faktor berikut:
1. Pengembangan OSS membutuhkan kemampuan teknis yang tinggi.
2. Sistem insentif (reward) yang tidak mengikuti pola pengembangan proprietary software
yang ada.
3. Model bisnis yang tidak mengikuti pola model bisnis proprietary software.
4. Kepemilikan yang tidak jelas dan dipandang tidak sejalan dengan pola pengembangan IPR
(Intellectual Property Right) yang juga tengah digalakkan oleh pemerintah.
5. Ketidaktahuan pengembang akan cara memulai pengembangan OSS.
6. Hegemoni prorietary software yang sudah lebih dulu masuk ke pasar dan telah menjadi
standar umum.
7. Tingkat pembajakan proprietary software yang masih tinggi, yang berkaitan dengan
ketiadaan kebutuhan pasar (demand) akan perangkat lunak murah alternatif seperti OSS.
Tanpa kebutuhan pasar, maka kebutuhan akan pengembang OSS pun relatif rendah.
Buku Panduan Penelitian Open Source Software10 menyebutkan tiga faktor yang menimbulkan
kesulitan pengembangan OSS di Indonesia, yaitu: koneksi internet, kendala bahasa, dan
ekosistem bisnis yang belum berkembang.
Contoh persoalan lainnya adalah dalam melakukan update sistem Linux dari berbagai distro
yang membutuhkan koneksi Internet. Besarnya berkas yang harus diambil bergantung kepada
jumlah aplikasi atau komponen yang harus di-update. Apabila semakin lama pengguna tidak
10
Panduan Penelitian Open Source Software v.1.00, Agustus 2000.
22
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
melakukan update, maka jumlah komponen yang perlu diambil akan semakin banyak, dan
menuntut ketersediaan bandwidth yang semakin lebar. Salah satu solusi terhadap masalah ini
adalah dengan menggunakan repositori yang secara logikal berada lebih dekat dengan
Indonesia. Atau solusi lainnya adalah membuat repositori dapat diakses dengan cara offline,
tanpa koneksi Internet, seperti repositori distro Ubuntu yang telah tersedia dalam keping DVD.
Selain kecepatannya yang masih rendah, harga koneksi Internet di Indonesia masih relatif
mahal. Pengembang OSS biasanya tidak/belum didanai oleh perusahaan sehingga biaya untuk
koneksi internet ini masih menjadi tanggungan pribadinya. Hal ini cukup memberatkan, kecuali
jika akses Internet ditanggung oleh sekolah, perguruan tinggi, atau perusahaan.
Beberapa usaha yang telah dilakukan dalam mengatasi kendala bahasa ini antara lain adalah:
Membuat distro berbahasa Indonesia seperti Kuliax, IGOS Nusantara, IGOS Laba-Laba,
BlankOn, dan Winbi.
Menerjemahkan beberapa OSS populer dalam Bahasa Indonesia, antara lain melalui
http://tldp.vlsm.org/, http://project.informatix.or.id/, dan sebagainya.
Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengenai sisi bisnis pada OSS, yaitu:
OSS merupakan jaringan (it's a network)
Bisnis OSS pada prakteknya merupakan suatu jaringan bisnis (network). Di dalamnya ada
komunitas, perusahaan, customer perusahaan, dan pengguna.
OSS hanya sebuah perangkat lunak (it's just a software)
Pada bisnis open source, suatu perusahaan menjual perangkat lunak sebagai produknya,
termasuk di dalamnya berbagai aplikasi OSS. Sebuah perangkat lunak yang berkualitas
23
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
baik akan memudahkan penjualan produk dan service-nya. Karena OSS kerap dihasilkan
dalam komunitas, maka perangkat lunak yang baik dihasilkan dari komunitas yang baik
pula. Dalam paradigma OSS. proyek pembuatan perangkat lunak dimulai ketika
programmer menulis program untuk perangkat lunak yang akan dibuat, kemudian
membagikannya pada orang lain berdasarkan lisensi OSS.
Dari sebuah survei yang dilakukan oleh Optaros dan majalah InformationWeek pada tahun 2005,
dikenali beberapa kendala yang menghambat penggunaan OSS dalam suatu perusahaan11:
Ketidakjelasan mengenai bentuk support yang akan diberikan.
Kurangnya pengetahuan mengenai alternatif solusi open source.
Kurangnya pengetahuan mengenai sisi bisnis open source.
Ketidakjelasan mengenai masalah Intellectual Property (IP), lisensi dan legalitas OSS.
Kurangnya keahlian untuk migrasi ke OSS.
Adanya pendapat bahwa OSS kekurangan dalam hal fitur dan fungsionalitas.
Tantangan lainnya yang berkaitan dengan sektor bisnis terletak pada perumusan model bisnis
dari suatu perusahaan TIK yang bergerak dalam bidang OSS. Hampir tiap perusahaan yang
bergerak dalam bidang TIK di seluruh dunia dewasa ini telah mengenal OSS dan model bisnis
yang menyertainya. Sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 3, model bisnis OSS secara garis
besar dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori:
1. Distribusi dan penjualan produk OSS (OSS products)
2. Jasa yang berkaitan dengan OSS (OSS related services)
Pada awal perkembangannya, aplikasi OSS klasik memiliki kelemahan berupa penggunaannya
yang terlampau rumit bagi pengguna umum. Kelemahan ini berimbas pada rendahnya jumlah
pemaketan (packaging) dan penjualan langsung (direct marketing) kepada konsumen, bahkan
pada produk-produk OSS populer seperti Apache Web server.
11
Stephen Walli, Enterprise Open Source: Delivering Value versus Cutting Costs, Gartner Open Source Summit,
September 2006.
24
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Model bisnis pemaketan dan penjualan langsung hingga saat ini dapat dikatakan tidak terlalu
sukses. Alternatif yang lebih umum dijalankan adalah dengan menggabungkan OSS dalam suatu
sistem/solusi yang lebih besar, yang dikerjakan oleh system integrators atau vendor-vendor
OEM. Dengan demikian, distributor yang melakukan penjualan produk/solusi OSS dalam skala
yang lebih kecil akan lebih cenderung untuk menjumpai kegagalan.
Secara umum, saat ini kedua kelompok tersebut tidak memperoleh sukses yang memuaskan.
Hal ini terindikasi dari kecilnya nilai keuntungan yang dihasilkan, yang antara lain telah
memaksa tutupnya SourceXchange pada tahun 2001. Bagi kelompok penyedia jejaring, kecilnya
keuntungan antara lain disebabkan oleh fakta bahwa pendapatan hanya bersumber dari satu
sisi saja (pengguna OSS), mengingat para developer tidak dapat dipungut biaya secara
langsung. Pengamatan menunjukkan bahwa para calon pengguna umumnya sulit diyakinkan
mengenai kualitas dan keterselesaian produk OSS yang ditawarkan, sehingga mereka relatif
sulit diminta membayar dengan harga tinggi. Kesulitan serupa juga dihadapi oleh para
penyelenggara konferensi, dimana pendapatan diperoleh melalui penjualan tiket masuk
konferensi (bagi pengunjung) dan biaya yang dibebankan terhadap industri peserta pameran.
Kedua sumber ini sulit diharapkan, mengingat latar belakang para peserta pameran dan
konferensi yang umumnya berasal dari komunitas dan industri pengembang OSS skala kecil.
3.3.3.2 Industri yang menyediakan service dan support terhadap produk OSS.
Dibandingkan dengan kategori lainnya, kelompok industri ini dapat dikatakan sebagai yang
paling berhasil. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa ada banyak praktisi OSS yang telah
berhasil mengembangkan berbagai keterampilan khusus melalui serangkaian proyek OSS, dan
selanjutnya menemukan bahwa skill/keterampilan tersebut dapat diterjemahkan menjadi suatu
bentuk jasa atau dukungan komersial terhadap OSS yang dihasilkan. Model industri seperti
inilah yang selanjutnya dapat dikembangkan dalam mendukung tercapainya cita-cita gerakan
IGOS di Indonesia.
25
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
BAB 4
PROGRAM IGOS 2004–2009
Seiring transisi perekonomian dunia dari semula berbasiskan pada sumber daya (resource
based economy) menjadi perekonomian yang berbasiskan pengetahuan (knowledge based
economy), kekuatan suatu bangsa akan semakin ditentukan oleh daya saing ilmu pengetahuan
dan teknologi (iptek), menggantikan modal, lahan dan energi sebagai faktor primer ekonomi
sebelumnya. Pembangunan iptek dalam bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) pada
dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat,
meningkatkan daya saing bangsa, memperkuat kesatuan dan persatuan nasional, mewujudkan
pemerintahan yang transparan, serta meningkatkan jati diri bangsa di tingkat internasional.
Untuk itu penyusunan kebijakan riset dan pengembangan TIK perlu memperhatikan arah
perkembangan TIK, khususnya pada teknologi yang memiliki ciri konvergensi, miniaturisasi,
embedded, on demand, grid, intellegent, wireless inter-networking, open source, seamless
integration, dan ubiquitous12.
Salah satu kecenderungan strategis dalam bidang TIK yang perlu disikapi secara cermat adalah
pengembangan industri perangkat lunak dan peningkatan pemanfaatannya untuk mendukung
kemandirian, inovasi, kreativitas dan daya saing bangsa. Semangat inilah yang hendak
dimunculkan melalui pencanangan program Indonesia, Go Open Source! pada 30 Juni 2004.
Pencanangan ditandai dengan penandatanganan Deklarasi Bersama IGOS oleh 5 Kementerian,
yaitu Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Departemen Komunikasi dan Informatika,
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Departemen Pendidikan Nasional serta
Departemen Hukum dan HAM, yang didukung oleh sejumlah stakeholder TI nasional (perguruan
tinggi, vendor, pengembang lokal, komunitas).
Bab ini akan mendeskripsikan program IGOS sebagaimana telah dituangkan dalam Skenario
Utama (Grand Scenario) OSS periode 2004–2009, khususnya mengenai arah, tujuan, dan
sasaran program. Pembahasan dalam bab ini juga dilengkapi paparan tentang tahapan-tahapan
pelaksanaan program, berikut gambaran seputar skenario implementasi kebijakan yang
direncanakan dalam periode tersebut.
12
Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Indonesia 2005–2025: Buku Putih–Penelitian, Pengembangan dan Penerapan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Agustus 2006.
26
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Sedangkan sasaran yang hendak dibidik melalui program IGOS ini adalah:
1. Memberikan lebih banyak pilihan piranti lunak yang dapat digunakan oleh masyarakat
secara legal dan terjangkau, sehingga tingkat penetrasi komputer di Indonesia dapat
meningkat.
2. Peningkatan kemampuan riset pengembangan teknologi informasi nasional, khususnya
bidang pengembangan perangkat lunak, yang terkait dengan kapasitas institusi litbang,
pendidikan maupun peningkatan kemampuan SDM.
3. Penciptaan kompetisi bidang pengembangan piranti lunak skala nasional sehingga dapat
menjadikan industri teknologi informasi Indonesia sebagai andalan sebagai salah satu
pemain di percaturan global, sehingga dapat meningkatkan peluang kesempatan kerja
bidang teknologi informasi.
Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, maka dilakukan beberapa pendekatan
pelaksanaan berikut:
1. Pelaksanaan program secara bertahap dan berkesinambungan dengan tetap berorientasi
pada pencapaian target.
2. Pemerintah berperan sebagai pendorong dengan cara memberikan contoh sebanyak
mungkin penggunaan OSS di instansi pemerintah, yaitu memberikan keteladanan
pemerintah dalam menggunakan piranti lunak yang legal termasuk penggunaan OSS
27
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
3. Pendekatan yang tidak mewajibkan untuk semua implementasi (tidak ada pemihakan),
tetapi memberikan dorongan untuk penggunaan OSS seluas-luasnya.
4. Keterlibatan bersama seluruh stakeholder dan komunitas TI dalam implementasi program.
Pelaksanaan program IGOS dibagi dalam dua bagian besar, yaitu jangka pendek (meliputi
periode 2004–2006) dan jangka menengah (2007–2009). Skema skenario utama program IGOS
tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.
Pelaksanaan program IGOS secara nasional membutuhkan peranan berbagai stakeholder seperti
instansi pemerintah, pemerintah daerah, perguruan tinggi, pelaku bisnis, dan para penggiat
komunitas. Hal ini tentunya memerlukan koordinasi yang efektif yang melibatkan semua
kepentingan. Keluaran yang diharapkan dari tahap pencanangan program ini adalah:
1. Tumbuhnya suatu semangat nasional untuk mandiri melalui inovasi dan kreativitas
dengan pemanfaatkan OSS
2. Tersedianya rencana program pengembangan teknologi informasi di Indonesia dalam
pengembangan perangkat lunak yang dapat mendukung tumbuhnya peran masyarakat
secara bersama.
28
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
29
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Dengan dilaksanakannya tahapan ini, keluaran yang diharapkan antara lain adalah:
1. Tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk menghargai hasil karya seseorang (HAKI)
dengan menggunakan perangkat lunak legal berbasis open source produksi dalam negeri.
2. Dapat diimplementasikannya sistem operasi dan aplikasi perangkat lunak berbasis open
source sebagai salah satu pilihan aplikasi perkantoran yang legal, reliable, dan
terjangkau.
Tahap ini merupakan langkah untuk memperkuat koordinasi yang telah terjadi, yaitu sebagai
penyelarasan program antara institusi pendidikan, sektor bisnis, pemerintah, dan komunitas.
Dengan adanya penguatan jejaring, pemetaan kebutuhan dan permintaan untuk pemanfaatan
OSS dapat saling mengisi, guna mempersiapkan landasan bagi pengembangan industri TIK
nasional. Penyiapan yang perlu dilakukan antara lain adalah:
1. Penyiapan SDM.
2. Sarana infrastruktur pusat pelatihan dan inkubator bisnis.
3. Prosedur dan aturan main.
30
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Keberadaan kebijakan dan standardisasi diharapkan akan membantu terciptanya iklim berikut:
1. Peningkatan pengguna perangkat lunak pilihan yang legal dan terjangkau (murah) di
instansi pemerintah, swasta dan masyarakat, dimana pemerintah sebagai contoh
masyarakat (pionir) dalam pemanfaatan perangkat lunak tersebut.
2. Peningkatan kapasitas SDM nasional bidang teknologi informasi.
3. Mempersiapkan dan/atau menumbuhkan industri nasional atau pengembang lokal
perangkat lunak yang diharapkan dapat berkiprah di pasar TI global.
31
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
32
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Beberapa kegiatan yang dilakukan untuk pencapaian strategi di sisi pengembangan SDM dan
kelembagaan ini antara lain adalah:
1. Pengembangan pusat-pusat pelatihan dan pendidikan SDM bidang OSS.
2. Pengembangan inkubator bisnis OSS untuk meningkatkan pemberdayaan pengembang
maupun local house OSS.
3. Kurikulum OSS untuk pendidikan.
4. Sertifikasi SDM bagi pengembang (developer) dan penyedia jasa pendukung OSS.
5. Pengembangan competency center.
6. Pembangunan OSS park atau OSS zone.
Untuk merealisasikan program sosialisasi ini, beberapa kegiatan yang dilakukan antara lain:
1. Penyiapan dan pengemasan materi sosialisasi yang mudah dimengerti masyarakat dalam
bentuk media cetakan, CD-ROM, media elektronik dan internet. Materi sosialisasi yang
disiapkan meliputi:
Materi program IGOS dan informasi tentang open source.
Aplikasi perangkat lunak berbasis OSS.
Daftar pengembang (developer) OSS lokal.
Daftar perusahaan swasta pendukung jasa OSS.
2. Peningkatan kegiatan sosialisasi dengan cara:
Pengembangan website IGOS.
33
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Penyebaran informasi melalui kerja sama dengan media televisi, radio, media cetak
dan internet.
Pelaksanaan seminar.
Pelasanaan workshop.
Pelaksanaan pelatihan (training of trainers).
Pelaksanaan pameran.
3. Peningkatan kepedulian masyarakat melalui kampanye penggunaan perangkat lunak
legal berbasis open source:
Pemberian penghargaan (OSS award) .
Lomba penulisan OSS.
Lomba pengembangan OSS.
4. Pemanfaatan dan instalasi di instansi pemerintah (sebagai pionir pengguna OSS)
5. Penerapan OSS dalam bentuk kerjasama dengan program ICT lain untuk saling
memperkuat program peningkatan akses masyarakat seperti: Community Access Point
(CAP) Warnet, Program Warintek, Program OSOL (One School One Computer Lab.),
program-program pada Sekolah Menengah Kejuruan, Program Internet Goes To School
(IG2S).
Beberapa stakeholder yang dapat diajak kerjasama antara lain adalah vendor dan industri
pengguna teknologi informasi nasional dan internasional, negara di kawasan Asean dan Asia,
pemerintah daerah dalam penyelenggaraan sosialisasi dan pengembangan software lokal, serta
perguruan tinggi, komunitas dan asosiasi.
34
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
BAB 5
INDIKATOR PENGUKURAN
Pada bab sebelumnya, telah disinggung sekilas arah, tujuan, sasaran, dan tahapan program
IGOS, berikut berbagai turunan kebjiakan pemerintah yang tertuang dalam Skenario Utama OSS
2004–2009. Pengambilan kebjiakan hanyalah sebuah langkah awal yang dijalankan pemerintah
selaku regulator. Masih ada banyak komponen tambahan yang tidak dapat dikendalikan secara
langsung namun seringkali memberikan pengaruh besar terhadap hasil pelaksanaan kebijakan
tersebut. Fenomena ini mendorong timbulnya kebutuhan akan evaluasi kuantitatif dari kebijakan
yang telah diambil, yaitu sebagai titik tolak bagi penentuan kebijakan pemerintah di masa yang
akan datang.
Bab ini memaparkan dua metode yang digunakan dalam menganalisis kondisi OSS di Indonesia.
Sebagai pendekatan pertama, digunakan perbandingan antara target yang terangkum dalam
Skenario Utama OSS 2004–2009 dengan kebijakan, program, dan langkah-langkah implementasi
yang telah dilaksanakan. Sedangkan pendekatan analisis yang kedua adalah dengan
menerapkan indikator OSI/OSAI/OSPI yang pernah digunakan Red Hat dalam mengukur tingkat
perkembangan OSS secara global.
Dalam dokumen Skenario Utama OSS 2004–2009, secara tegas dinyatakan bahwa pelaksanaan
pendekatan pelaksanaan program IGOS periode tersebut akan dilakukan secara bertahap dan
berkesinambungan, dengan tetap berorientasi pada pencapaian target. Oleh sebab itu
pendekatan pertama yang ditawarkan dalam memotret kondisi perkembangan OSS di Indonesia
sepanjang 2004–2009 adalah dengan membandingkan hasil-hasil capaian di penghujung
periode terhadap target yang telah ditetapkan sebelumnya.
Berdasarkan analisis terhadap kondisi pra-pencanangan program IGOS tahun 2004, maka target
dan capaian yang ingin dicapai melalui program IGOS adalah sebagai berikut13:
1. Kontribusi program IGOS terhadap upaya pemerintah dalam mengusahakan penurunan
pembajakan piranti lunak dari 88% (data BSA dan IDC tahun 2004) menjadi setengahnya
atau sekitar 50% hingga 70% pada tahun 2010.
13
Skenario Utama (Grand Scenario) Program Indonesia, Go Open Source! (IGOS), Seri Kreativitas Tanpa Batas, 2007
35
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Pemetaan terhadap berbagai kegiatan yang telah ditetapkan dalam skenario utama IGOS
menunjukkan bahwa keempat target tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua buah target
besar, yaitu:
1. Program IGOS berkontribusi dalam menurunkan tingkat pembajakan perangkat lunak dan
meningkatkan pemanfaatan perangkat lunak.
2. Program IGOS berkontribusi dalam meningkatkan jumlah pengembang perangkat lunak,
baik dari segi SDM maupun jumlah industri/perusahaan pengembang perangkat lunak.
Kedua target besar ini dijelaskan lebih lanjut dalam dua subbab berikut.
Berdasarkan data BSA dan IDC, angka pembajakan perangkat lunak di Indonesia pada tahun
2004 mencapai 88%. Oleh sebab itu tidak mengherankan bahwa penurunan pembajakan
ditetapkan sebagai target pertama dari pencanangan program IGOS, dimana kehadiran program
IGOS diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap upaya pemerintah dalam
mengusahakan penurunan pembajakan piranti lunak menjadi sekitar 50% hingga 70% pada
tahun 2010.
14
ASIRI rugi Rp 15 triliun akibat pembajakan, http://web.bisnis.com/sektor-riil/manufaktur/1id101020.html
36
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Salah satu langkah awal pemerintah dalam memerangi pembajakan adalah dengan menyusun
perangkat perundangan yang mendukung. Berdasarkan Instruksi Presiden No.6 Tahun 2001
tentang Pengembangan dan Pendayagunaan Telematika di Indonesia, pemerintah akan
mendorong perkembangan industri informasi content dan aplikasi, dimana pendayagunaan
perangkat lunak open source perlu mendapat perhatian khusus. Setahun berikutnya, upaya
memerangi pembajakan dituangkan secara lebih tegas dalam UU No. 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta.
Hak cipta pada dasarnya merupakan hak untuk menyalin suatu ciptaan. Hak cipta dan hak
kekayaan industri adalah dua kelompok dalam hak kekayaan intelektual. Menurut pasal 1 ayat 1
UU Hak Cipta, istilah Hak Cipta mengacu pada hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak
untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan
tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Sedangkan Hak Kekayaan Industri meliputi enam hal berikut:
Paten (diatur dalam UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten)
Merek (diatur dalam UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek)
Varietas tanaman (diatur dalam UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas
Tanaman)
Rahasia dagang (diatur dalam UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang)
Desain industri (diatur dalam UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri)
Desain tata letak sirkuit terpadu (diatur dalam UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata
Letak Sirkuit Terpadu)
UU No. 19 Tahun 2002 adalah amandemen dari beberapa Undang-Undang sebelumnya, yaitu UU
No. 6 Tahun 1982, UU No. 7 Tahun 1987, dan UU No. 12 Tahun 1997. Kehadiran UU yang baru
ini mengisyaratkan adanya prinsip law enforcement yang lebih tegas, seperti pada penerapan
sanksi pidana terhadap pelanggar hak cipta dan pemakai barang ciptaan pihak lain secara
ilegal. Inisiatif pemerintah dalam mendorong pemanfaatan OSS melalui gerakan IGOS
merupakan salah satu wujud implementasi pelaksanaan UU Hak Cipta, khususnya terkait prinsip
law enforcement dalam UU tersebut yang menuntut adanya ketersediaan alternatif teknologi
yang murah dan bebas digunakan. Tanpa ketersediaan alternatif teknologi, penerapan law
enforcement akan menjadi timpang dan tidak seimbang.
37
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Indikator pembajakan dari BSA dan IDC yang diterbitkan setiap tahun merupakan indikator
pembajakan perangkat lunak yang paling banyak digunakan. Indikator ini mengaproksimasi
tingkat pembajakan dalam suatu negara dalam tiga langkah berikut:
1. Penentuan jumlah perangkat lunak yang didistribusikan pada selang waktu tertentu.
2. Penentuan jumlah perangkat lunak pada (1) yang diperoleh secara legal pada selang
waktu tersebut.
3. Kurangkan data (1) dengan data (2) untuk memperoleh jumlah perangkat lunak bajakan.
Jumlah instalasi perangkat lunak bajakan didefinisikan sebagai selisih antara instalasi perangkat
lunak keseluruhan dengan jumlah instalasi perangkat lunak legal.
Persoalan selanjutnya terletak pada penentuan nilai dari setiap besaran jumlah instalasi, yang
secara langsung berkaitan dengan estimasi tingkat pemanfaatan perangkat lunak di suatu
negara dalam periode tertentu.
38
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Salah satu persoalan utama dalam mengamati perkembangan OSS, khususnya pada aspek
perluasan penggunaan di suatu lingkup negara, terletak pada penentuan indikator yang akan
dipakai. Persoalan ini tidak dialami apabila kita hendak mengukur penyebaran proprietary
software yang dipasarkan melalui rantai struktur distribusi yang telah ditunjuk secara resmi.
Dengan demikian tingkat penggunaannya secara langsung terindikasikan oleh tingkat penjualan
produk yang bersangkutan. Bagaimana dengan produk OSS, yang dapat disalin dan bebas
didistribusikan oleh siapa saja?
Sejalan dengan upaya mengamati tingkat pembajakan, dalam dokumen ini nilai penggunaan
perangkat lunak diperoleh melalui data BSA dan IDC, yaitu berdasarkan besaran data instalasi
perangkat lunak legal dan bajakan. Jumlah instalasi perangkat lunak legal dalam suatu negara
dapat diperoleh melalui data penjualan perangkat lunak sebagai berikut:
Sedangkan jumlah total perangkat lunak yang terinstalasi pada suatu periode diperoleh sebagai
hasil perkalian antara jumlah komputer yang ada dalam suatu negara dengan jumlah instalasi
perangkat lunak per komputer dalam periode tersebut.
Sebagaimana dalam perhitungan jumlah instalasi perangkat lunak legal, IDC menentukan
jumlah komputer melalui pengamatan terhadap data penjualan komputer (4 kali setahun pada
105 negara, sekali setahun untuk negara-negara lainnya). Sedangkan jumlah instalasi perangkat
lunak tahunan diperoleh melalui data survei (pada tahun 2008, terhadap lebih dari 6200 orang
di 24 negara). Data survei mencakup jumlah (paket) perangkat lunak yang terinstalasi, jenis
perangkat lunak (proprietary/open source), instalasi baru atau up-grade, waktu instalasi,
instalasi pada pembelian komputer, dan sebagainya. Metodologi ini diterapkan untuk mengukur
tingkat pembajakan pada seluruh komputer dalam kategori desktop, notebook, dan netbook,
namun tidak mengikutsertakan server dan perangkat embedded system. Sedangkan jenis
perangkat lunak yang diamati mencakup operating system, system software (seperti basis data
dan paket keamanan), serta application software (seperti office packages, games, dan industry
specific applications).
Untuk negara-negara di luar 24 negara yang menjadi lokasi survei, data penggunaan perangkat
lunak diperoleh sebagai kombinasi antara data pada negara tetangga dan hasil pengamatan
pada periode sebelumnya. Penggunaan negara tetangga dimaksudkan untuk memperoleh
gambaran yang lebih nyata mengenai tingkat melek teknologi dan dinamika pasar di wilayah
geografis tersebut.
39
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
5.1.2.1 Pemetaan kegiatan program IGOS terkait target peningkatan jumlah SDM
dan industri pengembang perangkat lunak
5.1.2.2 Penentuan jumlah SDM tenaga trampil, ahli, dan pengembang perangkat
lunak
Upaya menentukan jumlah SDM perangkat lunak OSS di suatu negara merupakan hal yang
rumit, antara lain disebabkan oleh karakteristik pengembangan OSS yang banyak bergantung
pada komunitas. Berbeda dengan beberapa perusahaan terkemuka seperti RedHat, Google,
Sun, atau IBM yang juga melakukan pengembangan OSS, komunitas-komunitas pengembang
OSS umumnya berinteraksi dalam hubungan yang cair sehingga sukar ditentukan jumlah dan
tingkat partisipasi individu-individu di dalamnya.
Persoalan serupa, meski tak persis sama, juga dialami dalam penentuan jumlah pengembang
SDM perangkat lunak secara umum di Indonesia. Di negara berkembang seperti Indonesia,
40
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
perangkat lunak belum menjadi lokomotif penarik gerbong ekonomi nasional, sehingga tidak
mengherankan pula apabila sensus pengembang perangkat lunak belum berjalan dengan
teratur dan masih jauh dari upaya pengukuran kemajuan yang menyeluruh dan konstruktif.
Dalam laporan ini, pengamatan terhadap pertumbuhan jumlah pengembang perangkat lunak
didasarkan pada prediksi yang dilakukan oleh IDC (International Data Corporation) untuk
periode 2004–2008. Prediksi tersebut selanjutnya dibandingkan dengan kondisi yang terjadi
pada tahun 2008 sebagaimana diperoleh dari prediksi IDC untuk periode 2008–2013.
Pengamatan terhadap data-data tersebut akan memberikan kesimpulan mengenai kinerja
peningkatan jumlah SDM yang terjadi di Indonesia, ditinjau dari target capaian yang tertuang
dalam Skenario Utama OSS 2004–2009.
Sebagaimana penentuan jumlah SDM pengembang perangkat lunak, penentuan jumlah industri
pengembang perangkat lunak juga menjumpai kesulitan berupa kurangnya data yang tersedia.
Hal ini antara lain disebabkan oleh karakteristik pengembang perangkat lunak, khususnya di
Indonesia, yang seringkali tidak bernaung dalam industri yang jelas dan terdaftar. Komunitas
pengembang perangkat lunak yang cair, dan seringkali berbasis proyek-proyek temporer,
menyebabkan perhitungan jumlah industri perangkat lunak menjadi rumit. Belum lagi karena
faktor lain seperti keengganan para pengembang untuk tergabung dalam bentuk badan usaha
formal, baik untuk menghindari pajak maupun agar lebih fleksibel dalam menerima proyek-
proyek kecil yang sifatnya sementara.
Dihadapkan pada kondisi demikian, lantas bagaimana kita dapat mengukur pertumbuhan
jumlah industri pengembang perangkat lunak? Pendekatan yang digunakan dalam laporan ini
adalah dengan mencari prediksi jumlah industri pengembang perangkat lunak di Indonesia
sepanjang kurun 2004–2008, dan membandingkannya dengan data yang diperoleh pada tahun
2008. Prediksi jumlah industri diperoleh berdasarkan laporan IDC pada tahun 2005 yang
tampaknya telah menjadi dasar bagi penentuan target capaian dalam Skenario Utama OSS
2004–2009, sementara data jumlah industri pada akhir periode tersebut diperoleh dari berbagai
media nasional yang tersedia di Internet.
Tujuan. Tujuan Pengembangan OSI oleh Red Hat adalah untuk memperoleh perangkat yang
dengan cepat mampu membandingkan negara-negara berdasarkan aktivitas dan lingkungan
yang mendukung pengembangan OSS. Dalam OSI, indeks penyusun aktivitas merupakan jumlah
kegiatan aktivitas yang berlangsung saat ini. Variabel penyusunnya terdiri dari fator-faktor
41
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
empiris seperti jumlah kebijakan yang terkait langsung dengan OSS, jumlah pengguna OSS, dan
peserta di Google Summer of Code. Sedangkan variabel penyusun untuk lingkungan pendukung
bersifat lebih spekulatif (tidak terkait langsung dengan OSS) seperti jumlah pengguna internet,
paten teknologi, jumlah televisi per kapita, dan jumlah personal computer (PC) per kapita.
Metode pengembangan indeks. Tahap pertama dari pengembangan OSI difokuskan pada
identifikasi teori-teori untuk merumuskan indikator-indikator yang akan digunakan atau kriteria
penyusun indeks, sebagaimana yang disarankan oleh para ahli. Tahap kedua, difokuskan pada
penentuan faktor langsung dan tidak langsung dari indikator-indikator yang telah ditentukan
pada fase pertama, dan mencakup pemeriksaan berbagai data base publik yang dikelola oleh
beragam institusi subnasional, nasional dan internasional serta beragam data yang terbuka
untuk umum. Tahap ketiga ditujukan untuk mengompilasi data yang telah dikumpulkan menjadi
indeks multidimensi, dan diuji dengan menggunakan beragam skema agregasi (seperti rata-rata
dengan menggunakan bobot, kombinasi non-linier, dll) sehingga menghasilkan model.
Sementara teknologi merupakan isu utama dalam adopsi open source, isu kebijakan, sosial dan
kultural juga mempengaruhi difusi dan adopsi OSS. Weber (2000) mengidentifikasi tiga isu
utama yang menjadi perhatian ilmuwan sosial, yaitu (1) motivasi para pengembang OSS; (2)
koordinasi para aktor OSS dalam struktur non-hierarkis; dan (3) meningkatnya kompleksitas
dalam proyek-proyek OSS dan pengelolaannya. Meski variabel-variabel tersebut tidak ditelaah
secara mendalam, OSI mempertimbangkan adanya kecendrungan tersebut, dan
mengakomodasinya dalam klasifikasi variabel aktivitas/potensial.
Faktor kritis lain yang mempengaruhi akurasi OSI adalah keberadaan data yang sama bagi
semua negara dalam indeks. Ghosh (2007) menjelaskan mengapa hanya sedikit kasus empirik
yang tersedia dalam menjelaskan bagaimana model open source dapat berhasil. Bahkan untuk
data mentah yang terkait dengan perputaran uang dalam pengembangan OSS secara
kolaboratif nyaris tidak ada. Pada umumnya, model evaluasi dan pengukuran untuk ekonomi
mensyaratkan perputaran uang, kegiatan non-ekonomi seperti pembuatan dan pengembangan
perangkat lunak gratis (tidak berbayar) sulit dihitung. Hal inilah yang menurut Ghosh
menyebabkan sulitnya memperoleh parameter-parameter yang objektif—berlaku secara umum,
dan karena itu dibutuhkan survei.
42
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Para ahli telah meneliti adopsi open source di berbagai pemerintah pusat dilakukan melalui
instrumen kebijakan. Pada tahun 2001, Peru, Brazil, Argentina, Perancis, dan Meksiko telah
merencanakan pendekatan mandatori untuk penerapan open source di lingkungan pemerintah.
Dorongan skala lokal dan nasional lain juga telah dilakukan oleh Jerman, Spanyol, Italia, dan
Vietnam dengan memberikan alternatif diluar perangkat lunak proprietary dan kode tertutup.
Bagi sebagian para pelaku perangkat lunak, kebijakan pengembangan open source ini menjadi
momentum yang menguatkan keberadaan dan keberlangsungan mereka. Satu kunci penting
bagi keberhasilan adopsi open source di level nasional adalah kepentingan pemerintah dalam
mendukung pemilihan open source dan bagaimana aktor-aktor lainnya memperoleh keuntungan
dari pilihan tersebut.
Ketika beberapa negara mulai mengadopsi OSS, negara lainnya mengalihkan anggaran negara
untuk mendanai proyek-proyek pengembangan open source skala besar. Perbedaan antara
keduanya, sebagaimana yang ditulis oleh Lee (2006), adalah negara yang menjadikan OSS
sebagai basis pengembangan IT (information technology) di sektor publik pada dasarnya tidak
pro-OSS karena hal itu tidak secara langsung mengatur preferensi pemerintah dalam
menggunakan OSS. Di sisi lain, jika pemerintah memutuskan untuk memilih OSS tanpa melalui
proses tender, pengembang perangkat lunak proprietary akan menuding pemerintah
diskriminatif. Isu lain yang muncul terkait OSS adalah pengembangan e-government. Berry dan
Moss (2006) mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan bagaimana praktek dan wacana
pengembangan perangkat lunak non-proprietary berkontribusi terhadap keterbukaan dan
demokratisasi dalam penerapan e-government. OSS mampu memperluas transparansi dan
akuntabilitas dalam e-government, serta menawarkan teknologi yang dibangun berdasarkan
kesepakatan komunitas, alih-alih menerima format tertentu dari luar. Pada akhirnya, isu politik
seperti penetapan standar dan lisensi terbuka (open) bisa mempengaruhi penyebaran OSS.
Meski peran negara dominan dalam adopsi OSS di berbagai negara, sektor swasta memegang
peran penting dalam memanfaatkan kesempatan dan menghadapi hambatan dalam adopsi
open source. Adalah Bonaccorsi dan Rossi (2006) yang menelaah isu-isu terkait keputusan
sektor swasta mengembangkan ataupun mengadopsi open source, mencakup motivasi ekonomi
(harga/ketergantungan lisensi), sosial (nilai-nilai yang dianut komunitas OS), dan hal-hal teknis
(terkait umpan balik, insentif bagi pengembang, keberadaan standardisasi, isu keamanan).
Dalam literatur, motivasi pengembang OSS secara umum dideskripsikan atas taksonomi yang
terdiri dari dua komponen, yaitu intrinsik (hobi, belajar, komunitas, dll) dan ekstrinsik (motif
ekonomi, peningkatan prospek kerja di masa depan, indikasi keahlian, dll). Krishnamurthy
(2006) mengidentifikasi empat faktor yang menjadi motivasi pengembang: (1) insentif finansial;
(2) karakteristik pekerjaan (nature of task); (3) ukuran kelompok; dan (4) struktur kelompok.
43
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Faktor-faktor tersebut menjadi penting karena motivasi pengembang open source akan
mempengaruhi karakteristik adopsi sistem tersebut di lembaga/institusi swasta maupun
pemerintah. Lebih lanjut, Lin (2006) berpendapat bahwa pengembangan open source
mengikutsertakan jejaring global yang terdiri dari (1) komunitas heterogen meliputi individu dan
organisasi yang tidak semuanya memiliki latar belakang akademik di bidang Ilmu Komputer
(computer science) namun mengembangkan kemampuan untuk memahami pemrograman dan
bekerja di sektor publik; dan (2) perusahaan, yang menghasilkan bentuk campuran (hybrid) dari
pengembangan perangkat lunak.
Banyak literatur mengenai adopsi OSS melibatkan para ekonom, sebagian dari para ekonom
tersebut menjelaskan pengembangan OSS sebagai gabungan dari pengembangan teknis,
inovasi dan distribusi. Lerner dan Tirole (2005) misalnya, mengajukan empat pertanyaan/isu
terkait kepentingan para cendekiawan dalam mempelajari OSS: (1) karakteristik teknis yang
kondusif untuk mendukung pengembangan OSS; (2) OSS memiliki lisensi yang optimal; (3) ko-
eksistensi dari OSS dan perangkat lunak proprietary; dan (4) potensi model open source untuk
dibawa/diintegrasikan ke dalam industri lain. Isu penting lainnya terkait relasi antara OSS
dengan pasar perangkat lunak secara umum. Forge (2006) menganalisis paket perangkat lunak
yang digunaan oleh industri pada masa mendatang akan mengarah pada OSS dengan alasan
menciptakan kemandirian dan menghindari monopoli vendor tertentu. Dari hasil studi literatur
tersebut, diperlukan investasi, peningkatan pendidikan dan insentif bagi OSS, baik oleh
pemerintah maupun sektor swasta.
44
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
2. The Matrix Index, merupakan indeks berbasis data intensif yang diolah dengan membagi
variabel menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang terkait langsung dengan OSS
(seperti jumlah OSS yang diunduh, kebijakan pemerintah untuk mendukung OSS,
ketersediaan akses internet, dll), dan kelompok tidak langsung yang diasumsikan akan
mendukung pertumbuhan OSS (GDP, kebebasan publik, dll). Setelah dibagi, indeks untuk
kelompok tidak langsung dikonstruksi dari bobot rata-rata kelompok langsung. Indeks
langsung diregresikan ke masing-masing indeks tidak langsung, yang pada akhirnya akan
memberikan Matrix Index. Kelemahan model ini adalah mengurangi eksplorasi para ahli
dalam mengaplikasikan analisanya, atau menghambat para ahli dalam bereksperimen
menggunakan kecenderungan pembobotan mereka sendiri.
45
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
3. The Hybrid Neo Index, merupakan indeks yang terdiri dari dua sub-indeks, yaitu Aktivitas,
untuk indikator-indikator yang terkait langsung dengan OSS dan Potensi, yang tidak
terkait langsung dengan OSS tapi dianggap mempengaruhi perkembangan OSS. Pada
model hibrid ini, indeks tidak dibatasi pembobotan tiap variabel dan kelompok indeks, tapi
memungkinkan terjadi pengujian relasi antara indeks Aktivitas dan Potensi, seperti
Potensi x Aktivitas, Potensi/Aktivitas dan beragam variasi algoritma lainnya.
46
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Model The Hybrid Neo Index kemudian dimodifikasi hingga menjadi OSI, yaitu indeks yang
dikonstruksi dengan melihat perbandingan antara aktivitas (adopsi) dan potensi (merujuk pada
kecendrungan atau kapasitas) dari OSS berbasis dimensi, indikator dan variabel. Dimensi yang
digunakan adalah pemerintah, perusahaan, institusi, infrastruktur, budaya dan populasi. Model
OSI tersebut menggunakan variabel-variabel sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 2.
47
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
5.2.3.1 Pemerintah
Pemerintah melalui instrumen kebijakan memegang peranan penting dalam pengembangan dan
penyebaran OSS. Untuk memperoleh nilai OSAI, Red Hat membagi dimensi pemerintah menjadi:
48
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
1. Kebijakan pengadaan. Turunan dari indikator ini adalah jumlah kebijakan nasional yang
terkait penyediaan perangkat OSS. Data pada variabel ini berasal dari survei kebijakan
OSS yang disusun oleh CSIS. Dalam penyusunan daftar kebijakan berbagai negara, CSIS
menelusuri kebijakan-kebijakan penggunaan OSS sebagaimana dilaporkan dalam media
massa. Untuk klasifikasi, CSIS membagi kebijakan pemerintah menjadi 4 kategori, yaitu
penelitian, mandatori (adopsi OSS diwajibkan), preferensi (diharapkan, tapi tidak
diwajibkan), dan nasehat (penggunaan OSS dibolehkan).
2. Kebijakan pendukung. Turunan dari indikator ini adalah jumlah kebijakan yang terkait
pendanaan riset dan pengembangan OSS. Sama halnya dengan variabel sebelumnya,
sumber dari variabel ini berasal dari daftar yang disusun oleh CSIS.
3. Kebijakan penggunaan. Dalam kompilasi yang dilakukan oleh Red Hat, variabel bagi
indikator ini tidak ditemukan.
5.2.3.2 Industri
Merujuk pada studi literatur yang ada, motivasi pengembang OSS secara garis besar dapat
dibagi menjadi motif intrinsik (hobi, belajar, komunitas) dan ekstrinsik (keuntungan finansial,
membuka peluang bagi peningkatan karier, tanda bagi peningkatan prestasi). Motivasi ini
kemudian direpresentasikan dalam indikator-indikator:
1. Pengembang OSS.
Variabel yang digunakan untuk mengukur banyaknya pengembang OSS adalah jumlah
Red Hat Certified Engineers (RHCE). RHCE merupakan sertifikat yang dikeluarkan oleh Red
Hat untuk mengidentifikasi keahlian dan kompetensi seseorang dalam Red Hat Linux,
seperti: memiliki kemampuan untuk meng-install dan konfigurasi Red Hat Linux;
memahami keterbatasan perangkat keras; mengkonfigurasi jaringan dasar dan sistem
dokumentasi dalam jaringan; mengkonfigurasi X Window System; mampu menjalankan
administrasi mendasar dari sistem Red Hat Linux; mengkonfigurasi sistem keamanan
jaringan; menyiapkan dan mengelola jaringan yang diperlukan dalam institusi serta
menangani server diagnostics dan troubleshooting. Data yang digunakan dalam
penyusunan indeks ini berasal dari Red Hat.
2. Pengguna OSS.
Turunan dari indikator ini adalah jumlah pengguna GNU/Linux. Adapun sumber data yang
digunakan berasal dari Linux Counter. Jumlah pengguna yang muncul di Linux Counter
merupakan akumulasi dari banyaknya orang yang mendaftarkan diri atau mesin (PC)
mereka ke situs Linux Counter. Dalam situs yang dikelola organisasi non-profit, Linux
Counter Project tersebut, diperkirakan jumlah pengguna yang mendaftarkan diri ke situs
Linux Counter berkisar antara 0,2% - 5% dari pengguna Linux yang sebenarnya. Adanya
asumsi-asumsi yang dilekatkan pada interpretasi angka Linux Counter mengindikasikan
kecendrungan untuk melihat tren, alih-alih untuk mengetahui jumlah pengguna Linux
sebenarnya. Pemahaman atas asumsi-asumsi yang digunakan dalam perhitungan penting
dalam membaca tren sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 8.
49
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Garis merah pada Gambar 8 menunjukkan jumlah orang yang mendaftar di Linux Counter,
sedangkan garis berwarna hijau menunjukan pengguna aktif Linux (diasumsikan sebagai
orang-orang yang mengunjungi akun mereka di Linux Counter dalam kurun waktu 2 tahun
terakhir). Penurunan garis merah pada grafik terjadi karena pada bulan November 2001
Linux Counter mengeluarkan pengguna yang tidak aktif selama 2 tahun dan telah diberi
pengumuman via email dalam kurun waktu 3 bulan.
3. Pengembangan OSS.
Dalam kompilasi yang dilakukan oleh Red Hat, variabel bagi indikator ini tidak ditemukan.
5.2.3.3 Komunitas
Dalam klasifikasi yang dilakukan oleh Red Hat, peneliti dimasukan bersama dengan kelompok
komunitas. Adapun indikator-indikator yang digunakan oleh Red Hat untuk memotret dinamika
dimensi komunitas adalah sebagai berikut:
1. Partisipasi.
Indikator ini direpresentasikan oleh variabel jumlah aplikasi yang didaftarkan ke program
Google of Summer Code. Program ini menawarkan pendanaan bagi pelajar untuk menulis
kode bagi beragam proyek OSS. Sejak diinisiasi pada tahun 2005, program ini telah
melibatkan 2.500 siswa dan 2.500 orang mentor dari 98 negara. Melalui program Google
Summer of Code, siswa yang telah diterima akan dipasangkan dengan seorang mentor
atau lebih, dengan demikian mereka mendapat pengalaman untuk merasakan
pengembangan perangkat lunak profesional dan kesempatan untuk mendapatkan
pekerjaan yang cocok dengan kegiatan mereka di dunia akademik. Sebagai timbal balik,
proyek yang dikembangkan akan memberikan sumbangsih kepada pengembangan
perangkat lunak terbuka dan memberikan keuntungan bagi semuanya.
2. Diskusi di media.
Variabel yang digunakan adalah jumlah pencarian frase ‘open source software’ dalam
dokumentasi Google News yang diklasifikasi berdasarkan asal negara.
3. Dukungan Bahasa Lokal.
50
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Untuk mempermudah penyebaran OSS, salah satu variabel yang diperhitungkan adalah
dukungan bahasa lokal. Dalam penilaian, variabel numerik yang digunakan adalah biner:
1 jika GNU/Linux didukung bahasa lokal dan 0 jika lainnya.
5.2.4.1 Pemerintah
Dukungan pemerintah dalam mendukung pengembangan ekosistem TIK diukur dengan variabel-
variabel sebagai berikut:
1. Kebijakan perangkat lunak.
Untuk mengukur indikator ini, Red Hat melihat angka pembajakan perangkat lunak
berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Business Software Alliance (BSA). BSA adalah
asosiasi perdagangan nirlaba yang didirikan untuk memajukan sasaran industri piranti
lunak dan mitra piranti kerasnya.15 Sebagai upaya BSA untuk menciptakan pasar
internasional yang dinamis, terbuka, dan bebas hambatan, dimana industri piranti lunak
dan piranti keras dapat terus berkembang dan sukses, salah satu prioritas kebijakan BSA
adalah perlindungan kekayaan intelektual (hak cipta, paten, mandat teknologi). Prioritas
ini direpresentasikan dengan studi tingkat pembajakan yang dilakukan tiap tahun
bersama dengan IDC.
2. Kebebasan dan korupsi.
Untuk mengisi indikator ini, Red Hat mengacu pada laporan yang dikeluarkan oleh
Freedom House, lembaga yang dibentuk pada tahun 1941 di Amerika Serikat untuk
mempromosikan demokrasi dan kebebasan di seluruh dunia. Adapun laporan yang
digunakan dalam OSPI ini berasal dari survei Freedom in The World16.
Survei ini menyediakan evaluasi tahunan negara-negara untuk melihat ekspresi
kebebasan warga negaranya. Untuk mengukur kebebasan—kesempatan berekspresi bagi
warga negaranya di berbagai bidang diluar kontrol dari pemerintah dan insitusi-institusi
yang memiliki potensi untuk mendominasi—berdasarkan dua kategori: hak politik dan
kebebasan sipil. Hak politik memungkinkan warga negara untuk berpartisipasi dengan
bebas dalam proses politik, termasuk hak untuk memilih secara bebas dalam pemilihan
umum, berkompetisi dalam jabatan di kantor, bergabung dengan partai politik tertentu
atau berorganisasi, dan memilih perwakilan di pemilihan legislatif. Sedangkan kebebasan
sipil memungkinkan warna negara memiliki kebebasan untuk mengekspresikan
kepercayaan, pandangan, dan hak berorganisasi, mendapat perlakuan yang adil di mata
hukum, dan memiliki kebebasan individu tanpa intervensi dari negara.
Metodologi yang digunakan dalam survei dilandaskan pada standar dasar dari hak politik
15
Lihat http://www.bsa.org/country/BSA%20and%20Members.aspx
16
Selengkapnya lihat http://www.freedomhouse.org/template.cfm?page=351&ana_page=341&year =2008
51
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
dan kebebasan sipil, yang diturunkan dari bagian-bagian dalam Universal Declaration of
Human Rights. Standar ini kemudian diaplikasikan untuk semua negara dan wilayah,
tanpa melihat kondisi geografi, etnik atau komposisi agama, maupun tingkat ekonomi.
Survei ini dilakukan dengan asumsi kebebasan bagi tiap orang akan maksimal pada
masyarakat liberal-demokratis.
Survei yang dilakukan tidak menghitung kinerja pemerintah per se, tapi lebih melihat hak
dan kebebasan sosial yang dirasakan oleh individu. Kebebasan bisa dipengaruhi oleh aksi
dari aktor pemerintah, sebagaimana halnya aksi dari aktor non-pemerintah. Dengan
demikian, rating survei secara umum merefleksikan pengaruh dari beragam aktor, baik
pemerintah maupun non-pemerintah.
Hasil survei yang menyajikan rating numerik mencakup 193 negara dan 15 wilayah
terpilih. Tiap negara dan wilayah dinilai dengan menggunakan rating numerik dengan
menggunakan skala 1-7, baik untuk hak politik maupun untuk kebebasan sipil; rating 1
mengindikasikan nilai tertinggi bagi hak politik/kebebasan sipil dan 7 untuk nilai terendah.
3. E-Government.
Variabel yang digunakan untuk indikator ini adalah E-Government Readiness Index yang
disusun oleh UN. Indeks ini tersusun atas:
a. Indeks Pengukuran Web, ditentukan berdasarkan tahapan-tahapan berikut:
Kemunculan: Keberadaan pemerintah secara online melalui web resmi;
ada/tidaknya link ke web Kementerian atau Departemen Pendidikan, kesehatan,
kesejahtraan masyarakat, dan keuangan. Informasi di sini bersifat statik atau
memiliki interaksi yang minim dengan masyarakat.
Pengembangan: Pemerintah menyediakan informasi lebih lanjut mengenai
kebijakan dan tata kelola publik. Mereka menyediakan link ke bagian
dokumentasi yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat, misalnya
dokumentasi, laporan, undang-undang, peraturan dan koran.
Interaktif: Pemerintah menyediakan layanan seperti aplikasi online untuk
pembayaran pajak atau perpanjangan izin.
Tanggap: Pemerintah mulai bertransformasi dengan mengenalkan interaksi dua
arah antara masyarakat-pemerintah, mencakup opsi untuk membayar pajak,
mengajukan kartu identitas, akte kelahiran, paspor dan perpanjangan ijin secara
online, serta memungkinkan terjadinya interaksi antara pemerintah dengan
masyarakat.
Terhubung: Pemerintah bertransformasi sehingga menjadi entitas yang
terhubung dengan kebutuhan masyarakatnya dengan mengembangkan
infrastruktur pendukung. Tahap terakhir ini ditandai dengan:
Hubungan horizonal (menghubungkan aparat pemerintah)
Hubungan vertikal (menghubungkan aparat pemerintah pusat dan daerah)
Infrastruktur yang terhubung (menyangkut masalah interoperabilitas)
Hubungan antara pemerintah dengan masyarakat
Hubungan antara pemangku kepentingan (pemerintah, sektor swasta,
akademik, lembaga swadaya pemerintah, dan organisasi kemasyarakatan).
52
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Dari hasil survei yang dilakukan UN pada tahun 2008, tidak ada negara dari wilayah Afrika,
Karibia, Amerika Tengah, Asia Tengah, Amerika Selatan, dan Asia Selatan yang masuk dalam
peringkat 35 besar, seperti ditampilkan pada Tabel 3 berikut.
53
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Pada peringkat yang disusun oleh UN, Indonesia menempati peringkat ke-106 pada tahun 2008,
turun 10 peringkat dari tahun 2005, meski jika dilihat dari indeksnya terlihat ada peningkatan
dari 0,38 (2005) menjadi 0,41 (2008). Dari Tabel 5, terlihat bahwa di antara negara-negara Asia
Tenggara, Indonesia menempati peringkat ke-7 (dari 11 negara).
5.2.4.2 Industri
54
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
5.2.4.3 Komunitas
Untuk menentukan budaya yang dapat mendorong pertumbuhan OSS, Red Hat mengajukan
indikator-indikator sebagai berikut:
1. Budaya. Variabel yang digunakan adalah jumlah televisi per kapita yang datanya
diperoleh dari World Bank.
2. Edukasi. Untuk indikator ini, mahasiswa dipandang sebagai pengembang potensial, oleh
karena itu variabel yang digunakan adalah persentase mahasiswa terdaftar dibandingkan
jumlah populasi usia kuliah. Data diperoleh dari World Bank.
3. Edukasi komputer. Untuk melihat tingkat literasi komputer, Red Hat menggunakan jumlah
PC per kapita sebagai variabel yang datanya merujuk pada survei yang dilakukan oleh
International Telecommunications Union.
4. Pengguna internet. Ditentukan dengan melihat jumlah pengguna internet per kapita. Data
diperoleh dari International Telecommunications Union.
Untuk menentukan ranking, dilakukan uji sensitivitas dengan algoritma sebagai berikut:
Diketahui:
G = pemerintah;
F = perusahaan atau usaha komersial;
C = komunitas dan sistem pendidikan
Indeks: Aktivitas = f(GA, FA, CA)/Potensial = f(GP, FP, CP)
GA = f(pengadaan, kebijakan, penggunaan)
GP = f(kebijakan OSS, korupsi dan kebebasan, e-gov, UU HKI)
55
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Dari perbandingan masing-masing nilai agregasi, ranking yang diperoleh dari rata-rata geometri
menunjukan pola yang paling tidak berkorelasi dengan hasil agregasi lainnya. Alasan bagi
perbedaan ini, adalah karena fungsi rata-rata geometri berjalan dengan baik pada variabel yang
menggunakan rasio (seperti banyaknya pengguna internet, komputer, dll), dan tidak cocok
untuk digunakan dalam variabel yang menggunakan nilai biner 0/1 atau -1/0.
Analisis frontier (langkah IV) digunakan untuk pengembangan indeks selanjutnya yang diberi
nama indeks efisiensi. Indeks efisiensi ini memungkinkan suatu negara memperoleh ilustrasi
mengenai variabel-variabel yang dominan dalam mempengaruhi besarnya nilai indeks.
56
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Hasil dari perhitungan menggunakan algoritma di atas memberikan peringkat sebagai berikut:
57
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
58
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
BAB 6
ANALISIS KONDISI OSS DI INDONESIA
Bab Analisis Kondisi OSS di Indonesia ini memuat hasil analisis terhadap kebijakan program
IGOS 2004–2009 berdasarkan dua indikator yang telah diutarakan pada bab sebelumnya.
Pembahasan diawali dengan review kegiatan yang telah berjalan selama lima tahun terakhir,
analisis ketercapaian target-target pada Skenario Utama OSS 2004–2009, serta analisis
mengenai posisi Indonesia menurut indeks aktivitas dan indeks potensi pengembangan OSS.
Kegiatan pertama terkait program IGOS yang jatuh dalam kategori ini adalah penandatanganan
deklarasi bersama IGOS pada tanggal 30 Juni 2004, yang melibatkan Menteri Negara Riset dan
Teknologi, Menteri Negara Komunikasi dan Informatika, Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara, dan perwakilan dari Menteri Kehakiman dan HAM serta Menteri Pendidikan
Nasional. Deklarasi tersebut juga dihadiri oleh perwakilan dari kalangan LPND, kalangan
perguruan tinggi, perusahaan pengembang, serta komunitas pengguna OSS.
Keterlibatan lima kementerian dan departemen dalam Deklarasi Bersama didasarkan pada
pembagian peran dalam mendukung pencapaian target. Departemen Komunikasi dan
Informatika akan berperan dalam penyusunan kebijakan IGOS, sementara Kementerian Negara
Riset dan Teknologi akan berperan dalam bidang teknologi dan sosialisasi kebijakan.
Kementerian PAN mengambil peranan kunci dalam hal koordinasi antar lembaga pemerintahan,
Departemen Kehakiman dan HAM akan mengatur masalah hukum, serta Departemen
Pendidikan Nasional akan mengatur pengembangan sumber daya manusia guna mendukung
implementasi gerakan IGOS secara berkelanjutan.
17
Indonesia License akan jadi standar open source, Bisnis Indonesia, 30 Agustus 2004
59
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Deklarasi Bersama IGOS secara tegas menyatakan penggunaan perangkat lunak legal di setiap
instansi pemerintah. Hal ini didukung oleh butir kedua dari langkah aksi yang telah dirumuskan
dalam Deklarasi Bersama mengenai penyebarluasan pemanfaatan OSS di Indonesia. Terkait
dengan dua langkah aksi tersebut, penggunaan perangkat lunak OSS di lembaga pemerintahan
diperkirakan akan menghemat biaya belanja TIK dari Indonesia sebesar Rp 20 triliun18.
Kampanye pemanfaatan OSS di lingkungan pemerintah yang telah dibangun sejak Deklarasi
Bersama 2004 selanjutnya diperluas melalui kesepakatan bersama 18 departemen dan LPND
melalui IGOS Summit II pada 27-28 Mei 2008. Kedelapanbelas lembaga tersebut adalah:
1. Departemen Komunikasi dan Informatika
2. Kementerian Negara Riset dan Teknologi
3. Departemen Pendidikan Nasional
4. Departemen Hukum dan HAM
5. Kementerian Penertiban Aparatur Negara
6. Sekretariat Negara
7. Kementerian BUMN
8. Bappenas
9. Kementerian Koperasi dan UKM
10. Departemen Perhubungan
11. Departemen Perindustrian
12. Departemen Sosial
13. Departemen Agama
14. Departemen Kehutanan
15. Departemen Keuangan
16. Departemen Dalam Negeri
18
RI resmi pakai open source, Harian Bisnis Indonesia, 1 Juli 2004
60
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Perangkat kebijakan berikutnya muncul pada awal tahun 2009, yakni dengan diterbitkannya
Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: SE/01/M.PAN/3/2009 tentang
pemanfaatan perangkat lunak legal dan open source software. Penerbitan surat edaran tersebut
saat itu sempat menyita perhatian berbagai elemen pemerintah, khususnya pada dua
pernyataan berikut: “Dalam rangka mempercepat penggunaan perangkat lunak legal di
Indonesia, maka diwajibkan kepada Instansi Pemerintah untuk menggunakan perangkatlunak
open source, guna menghemat anggaran pemerintah” dan “Diharapkan paling lambat tanggal
31 Desember 2011, seluruh instansi pemerintah sudah menerapkan penggunaan perangkat
lunak legal. Untuk itu diharapkan instansi masing-masing mengatur agenda pentahapan untuk
mencapai target selesai tahun 2011.” Kehadiran surat edaran tertanggal 30 Maret 2009 ini
diyakini akan memberikan warna baru dalam pengembangan OSS di tanah air, selain sebagai
bukti nyata sikap pemerintah dalam menindaklanjuti langkah-langkah aksi yang telah disepakati
dalam Deklarasi Bersama IGOS pada tahun 2004.
Dalam pertengahan tahun yang sama, Kementerian Negara Riset dan Teknologi juga
bekerjasama dengan ITB dalam menyusun buku Panduan Penelitian Open Source Software.
Penyusunan buku tersebut ditujukan untuk menyediakan panduan dalam menentukan dan
61
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
melaksanakan arah topik penelitian yang terkait dengan Open Source Software di Indonesia,
khususnya yang akan didanai melalui program-program penelitian di lingkungan Kementerian
Negara Riset dan Teknologi.
KIPI diharapkan akan menjadi rating/klasifikasi standar kualitas perusahaan piranti lunak di
Indonesia, mulai dari kualitas rendah, nasional, hingga internasional. Selain untuk memetakan
sebaran kematangan industri perangkat lunak nasional, keberadaan rating ini juga penting agar
suatu perusahaan perangkat lunak dapat mengalihkan kelebihan pesanannya kepada
perusahaan lain sesuai standar yang dibutuhkan. Saat ini banyak perusahaan Indonesia yang
belum memiliki standar kualitas karena belum ada lembaga rating nasional khusus piranti lunak,
sementara untuk memperolah standar kualitas CMM membutuhkan dana mencapai ratusan juta
rupiah. Realisasi KIPI direncanakan akan mulai berjalan pada tahun 2009. Untuk memacu
penggunaannya, pemerintah melalui Depperin berencana menggratiskan biaya selama satu
hingga dua tahun. Selain itu akan disusun pula aturan tambahan mengenai proses tender
perangkat lunak di kalangan pemerintahan, di mana perusahaan peserta tender wajib terlebih
dahulu mengikuti rating KIPI19.
Hingga saat laporan ini disusun, belum ditemukan laporan yang mengindikasikan telah
digunakannya KIPI dalam pengembangan aplikasi OSS di Indonesia. Terkait dengan upaya
peningkatan jumlah dan kompetensi industri perangkat lunak (khususnya OSS), penerapan KIPI
merupakan salah satu agenda yang perlu diperhatikan dalam penyusunan kebijakan-kebijakan
IGOS di masa mendatang.
Sejak awal dicanangkannya program IGOS, salah satu kegiatan yang paling mendapat perhatian
adalah pengembangan distro Linux yang dinamai Nusantara (IGOS Nusantara). Pengembangan
19
Depperin Akan Berlakukan Standar Piranti Lunak, http://www.kontan.co.id/index.php/bisnis/news/425/Depperin-Akan-
Berlakukan-Standar-Piranti-Lunak-, Juni 2008
62
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
distro ini disponsori oleh RisTek dan dikembangkan oleh P2I LIPI dan YPLI. Nusantara ditujukan
sebagai distro desktop bagi pengguna Indonesia. Meskipun disponsori oleh pemerintah, namun
distro ini diharapkan dapat tumbuh dan dikembangkan oleh komunitas. Versi terakhir distro ini
adalah Nusantara 3 (Mahakam) yang berbasis Fedora 9, dengan angka 3 merujuk pada angka
lanjutan dari distro-distro sebelumnya yang disponsori oleh RisTek. Selain Nusantara, distro lokal
lain yang juga populer adalah BlankOn, sebuah distro Linux yang dikembangkan oleh YPLI
secara terbuka dan gotong-royong bersama komunitas lainnya. Saat ini pengembangan BlankOn
sudah sampai pada versi 5.0 yang berbasis distro Linux Ubuntu 9.04, yang pengembangannya
dilakukan bersama komunitas Ubuntu Indonesia. Pengembangan distro ini disponsori oleh
Unesco (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) dan beberapa lembaga
di Indonesia.
Menurut data pada buku Direktori OSS 2008, jumlah aplikasi OSS yang telah dikembangkan di
Indonesia hingga tahun 2008 mencapai 46 buah. Angka ini meningkat hampir dua kali lipat
menjadi 85 buah pada tahun berikutnya. Jenis aplikasi didominasi oleh kelompok sistem operasi
berbasis Linux (26 buah), disusul oleh aplikasi games (11 buah), aplikasi CMS (7 buah), aplikasi
desktop (6 buah), serta sistem manajemen sekolah (5 buah). Sekalipun peningkatan tersebut
tidak lepas dari membaiknya kegiatan inventarisasi, dapat dikatakan bahwa pertumbuhan
aplikasi OSS di Indonesia telah berjalan dengan cukup menggembirakan, khususnya dalam hal
keterlibatan berbagai kalangan dalam pengembangan aplikasi OSS, mulai dari instansi
pemerintah (RisTek, BPPT, LIPI, Departmemen Sosial, dan Depdiknas), instansi akademik,
komunitas/pribadi, hingga lingkungan perusahaan seperti PT PSN dan PT INTI.
Repositori adalah salah satu kebutuhan dasar bagi pengguna OSS, yaitu sebagai media layanan
untuk menyimpan koleksi paket perangkat lunak dan media penyebaran kepada pengguna
(user) melalui fasilitas internet. Untuk mendukung peluncuran distro IGOS Nusantara, RisTek
mengembangkan repositori online yang beralamat di http:// www.igos-source.or.id. Repositori ini
merupakan hasil kerjasama antara RisTek dengan komunitas Java User Group (JUG), komunitas
Linux, SUN Microsystem Indonesia, dan PT Intel Indonesia. Melalui repositori ini, pengguna dapat
memperoleh berbagai aplikasi legal berbasis OSS mulai dari sistem operasi, distro OSS, aplikasi
office suite, solusi e-gov, e-learning, sampai dokumentasinya20.
20
Engkos Koswara, Mengenal IGOS, AGOS, dan Warintek, Majalah Biskom, Februari 2008
63
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
http://tuma.vIsm.org/iso/IGOS/
http://kambing.vlsm.org/tuma/IGOS/
ftp://tuma.vIsm.org/IGOS/
ftp://kambing.vlsm.org/tuma/IGOS/
ftp://ftp.lipi.go/pub/igos-nusantara/ (server LIPI di kampus LIPI Jakarta)
ftp://www.informatika.lipi.go.id/igos/ (server LIPI di kampus LIPI Bandung)
http://www.oss.lipi.go.id/igosnusantara/ (server LIPI di gedung Indosat IM2)
Helpdesk OSS adalah support teknis yang didirikan sebagai perpanjangan tangan Departemen
Komunikasi dan Informatika untuk membantu implementasi open source di Indonesia. Selain
dikelola oleh Depkominfo secara terpusat melalui website http://www.foss-id.web.id, kegiatan
pembangunan helpdesk OSS juga melibatkan partisipasi institusi pendidikan tinggi di daerah.
Helpdesk OSS saat ini telah terdapat di lima lokasi, yaitu di Jakarta, Bali (Denpasar), Solo,
Kendari, dan Medan.
Berdasarkan Direktori Open Source 200921, saat ini terdapat 55 komunitas open-source, baik
yang tergabung dalam wadah KPLI (Kelompok Pengguna Linux Indonesia) maupun berbagai
kelompok lainnya. Anggota komunitas dapat berasal dari kesamaan lokasi atau kesamaan jenis
aplikasi yang digunakan (Fedora, Ubuntu, Drupal, dll). Dari 44 komunitas fisik yang berbasis
lokasi, mayoritas berada di Pulau Jawa (31 komunitas), yakni di Jawa Timur (11 buah), Jakarta
dan Jawa Barat (masing-masing 5 buah), Jawa Tengah (4 buah), Banten (3 buah) dan Yogyakarta
(2 buah).
21
Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Direktori OSS 2009
64
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Menurut bentuknya, OSS supporting group di Indonesia dapat dikategorikan menurut komunitas
berbentuk fisik, komunitas berbasis web, komunitas mailing list, perusahaan, lembaga non-
profit, dan lembaga akademik22.
Komunitas berbentuk fisik
Jumlah komunitas di Indonesia yang menyediakan dukungan teknis secara fisik relatif
belum banyak. Kegiatan komunitas jenis ini biasanya hanya terbatas pada acara-acara
tertentu seperti seminar, workshop, dan installfest. Sebagian besar komunitas berbentuk
fisik menamakan diri sebagai Kelompok Pengguna Linux Indonesia (KPLI), yang saat ini
telah terdapat di banyak kota besar di Indonesia. Belum semua KPLI menyediakan
dukungan di darat (misalnya KPLI Bandung), dan sebaliknya, belum semua KPLI memiliki
dukungan melalui internet (misalnya KPLI Aceh dan KPLI NTT).
Komunitas berbasis web
OSS pada awalnya berkembang dengan memanfaatkan internet. Pembuat software
mengumumkan karyanya melalui internet sementara pengguna bebas men-download,
mencoba, menggunakan, memberikan feedback, membantu mengembangkan, dan
melakukan dokumentasi tambahan, juga melalui internet. Beberapa komunitas di
Indonesia saat ini telah memberikan dukungan teknis melalui web, email, maupun
chatting. Beberapa di antaranya adalah www.linux.or.id, www.vlsm.org, www.awali.org,
www.opensource-indonesia.com, www.postfix.or.id, dan www.infolinux.co.id.
Komunitas berbentuk mailing list
Bentuk dukungan teknis di internet lainnya adalah melalui mailing list (milis). Dukungan
teknis jenis ini tergolong besar di Indonesia, sebagaimana terlihat banyaknya jumlah
anggota di beberapa milis serta banyaknya milis tentang Linux/FOSS. Berikut adalah
beberapa komunitas OSS dalam bentuk mailing list:
tanya-jawab@linux.or.id (tanya jawab Linux mulai dari pemula hingga mahir)
linux-aktivis@linux.or.id (diskusi advokasi dan promosi Linux/FOSS)
linux-programming@linux.or.id (tanya jawab pemrograman di Linux/FOSS)
pembaca@infolinux.co.id (tanya jawab pembaca majalah InfoLINUX)
jogja-linux@yahoogroups.com (diskusi Linux/FOSS yang dikelola KPLI Jogja)
kuliax@googlegroups.com (distro Linux untuk perkuliahan, Kuliax)
blankon@googlegroups.com (pengembangan dan penggunaan Linux BlankON)
id-ubuntu@googlegroups.com (distro Linux Ubuntu, Kubuntu, Edubuntu, dll)
indowli@groups.or.id (seputar Wireless LAN, termasuk penggunaannya di Linux)
asosiasi-warnet@yahoogroups.com (warnet secara umum, termasuk penggunaan
Linux)
phpug@yahoogroups.com (PHP User Group Indonesia).
jlinux@yahoogroups.com (Java di Linux)
jug-indonesia@yahoogroups.com (Java User Goup Indonesia)
Perusahaan
22
Penyedia Jasa Linux/FOSS di Indonesia, http://ruslinux.blogspot.com/2007/01/penyedia-jasa-linuxfoss-di-indonesia.html
65
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Saat ini telah banyak perusahaan yang menyediakan jasa dukungan teknis terhadap OSS
secara profesional dan berbayar, antara lain seperti NF Computer (www.nurulfikri.co.id),
Linuxindo (www.linuxindo.com), RimbaLinux (www.rimbalinux.com), dan Gudang Linux
(www.gudanglinux.com).
Organisasi non profit
Selain komunitas-komunitas yang belum berbadan hukum, terdapat pula
organisasi/komunitas berbadan hukum di Indonesia yang memberikan dukungan terhadap
penggunaan Linux/FOSS, seperti Yayasan Penggerak Linux Indonesia (www.ypli.or.id) dan
Yayasan Air Putih.
Lembaga akademik
Beberapa lembaga akademik juga menyediakan jasa dukungan teknis, baik secara
berbayar maupun berupa kerja sama melalui Pusat Pendayagunaan Open Source (POSS).
Sebagai tindak lanjut dari IGOS Summit 2008, dengan didukung oleh RisTek dan Depkominfo,
beberapa komunitas OSS di Indonesia mendirikan Asosiasi Open Source Indonesia (AOSI) secara
resmi sejak Juni 2008. Asosiasi yang terdiri dari perhimpunan organisasi pencinta, penggiat,
pengembang, pemakai, pendidik dan pendukung OSS ini menjadi wadah tingkat nasional yang
tujuannya mengajak masyarakat untuk melakukan adopsi open standard secara kongkret,
sekaligus meningkatkan pangsa pasar serta jumlah pengguna OSS. Tidak lama sejak didirikan,
AOSI telah menetapkan 17 indikator ukuran keberhasilan23, dengan fokus utama pada 5
indikator berikut24:
membentuk citra OSS yang positif di mata masyarakat.
mengupayakan agar Indonesia melakukan adopsi open standard secara konkret.
meningkatkan pangsa pasar dan jumlah pengguna OSS (perusahaan, perorangan, dan
pemerintah).
menyediakan produk dan jasa OSS untuk berbagai kebutuhan utama.
mengusahakan pendidikan teknologi informasi di sekolah berbasis OSS.
Sebelum pendirian AOSI, berbagai OSS supporting group di Indonesia juga telah berperan serta
dalam pembangunan IGOS Center. IGOS Center adalah pusat kegiatan dan layanan program
IGOS kepada masyarakat yang meliputi kegiatan promosi dan distribusi produk open source,
instalasi dan dukungan teknis pada pengguna, pengujian kompatibilitas hardware dengan suatu
distro Linux, serta pelatihan dan konsultasi mengenai open source. Saat ini ada 15 buah IGOS
Center yang tersebar di berbagai kota, yaitu25:
IGOS Center Jakarta, BPPT/PTIK (The Center for ICT - BPPT)
IGOS Center Bandung, BE Mall (Bandung Electronic Mall)
IGOS Center Bogor, Warintek Bina Putra Mandiri Parung Panjang
IGOS Center Semarang, Pinux, Semarang
IGOS Center Bali, STMIK Bandung Bali, Renon, Denpasar
23
AOSI - Asosiasi Open Source Indonesia, http://harry.sufehmi.com/archives/2008-07-02-1678/
24
Menegristek Adakan Audiensi Dengan AOSI, http://www.biskom.web.id/2008/07/10/menegristek-adakan-audiensi-
dengan-aosi.bwi
25
Engkos Koswara, Development of IGOS (Indonesia, Go Open Source!), Asia-Africa Conference on Open Source 2008
66
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Mulai maraknya penggunaan OSS di Indonesia hingga saat ini telah melahirkan beberapa
perusahaan penyedia jasa pendidikan dan pelatihan OSS. Hampir semua kegiatan pelatihan
disediakan secara profesional dan berbayar, sebagaimana pelatihan yang disediakan oleh
training center atau training provider dari perusahaan proprietary software. Beberapa
perusahaan yang telah terlibat sebagai pusat pelatihan OSS tersebut antara lain adalah NF
Computer (nurulfikri.com), Linuxindo (linuxindo.com), Inixindo (inixindo.co.id), Ardelindo
(ardelindo.com), Linux Learning Center (LLC), Linux Study Center, LP3I, dan AMIK BSI.
Kegiatan pelatihan dan pendidikan SDM bidang OSS di Indonesia, sebagaimana terjadi di negara
lain, juga tidak dapat dilepaskan dari peran serta OSS supporting group. Setiap komunitas,
perusahaan, atau lembaga lain dapat memberikan jasa pelatihan kepada masyarakat, baik
secara berbayar maupun cuma-cuma. Oleh sebab itu kegiatan pengembangan pusat pelatihan
dan pendidikan OSS erat kaitannya dengan kegiatan pengembangan supporting group
sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Selain oleh supporting group dalam bentuk komunitas dan perusahaan, pelatihan/pendidikan
OSS saat ini juga menjadi salah satu kegiatan rutin dari Pusat Pemberdayaan Open Source
Software (POSS). Pusat Pemberdayaan Open Source Software adalah unit di bawah perguruan
tinggi yang bertujuan untuk mempercepat pendayagunaan OSS di masyarakat melalui
pemasyarakatan, pelatihan dan dukungan penggunaan OSS. Penempatan POSS sebagai pusat
pelatihan/pendidikan dalam dokumen ini didasarkan pada posisinya yang menginduk pada
lembaga akademik. Keberadaan POSS sejalan dengan misi institusi pendidikan tinggi di
Indonesia untuk terlibat dalam pendayagunaan OSS, khususnya dalam visi membantu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penggunaan perangkat (lunak) komputer
legal. Kegiatan POSS didukung secara finansial oleh RisTek dan universitas yang menaunginya.
Sejak pertama didirikan pada tahun 2007, saat ini telah ada 21 POSS yang tersebar di seluruh
Indonesia:
1. Universitas Syah Kuala (Banda Aceh)
2. Politeknik DEL (Laguboti)
67
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Dalam kapasitasnya sebagai pusat pelatihan dan pendidikan SDM, pengembangan POSS di
masa mendatang diharapkan dapat menjangkau wilayah geografis sebagaimana diperlihatkan
pada Gambar 926.
Semangat keterbukaan yang melatarbelakangi pengembangan OSS, tak dapat disangkal, telah
melahirkan banyak sekali aplikasi dengan kode sumber terbuka yang dapat diakses oleh
masyarakat. Persoalannya adalah seringkali pengguna, khususnya mereka yang baru
26
Bernhard Sitohang, Center for Empowerment of OSS in Indonesia, Asia-Africa Conference on Open Source 2008
68
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
melakukan migrasi, menjumpai persoalan dalam memilih aplikasi sesuai kebutuhan. Untuk itu,
kehadiran kurikulum OSS dapat menyediakan pedoman mengenai kompetensi dasar yang
dibutuhkan pengguna dan pengembang OSS di Indonesia, di samping dukungan berbagai
komunitas berupa kelompok pengguna, mailing list, forum, maupun majalah mengenai OSS.
Seri Panduan dan Pendayagunaan OSS yang disusun oleh RisTek dan YPLI memuat penjelasan
mengenai beberapa keterampilan dasar pengguna dan pengembang OSS. Bagi pengguna
pemula, tersedia dokumen mengenai sistem operasi IGOS Nusantara dan penjelasan tentang
aplikasi perkantoran OpenOffice.org. Sedangkan bagi praktisi teknologi informasi, seri tersebut
menyediakan gambaran mengenai konfigurasi dan aplikasi server berbasis Linux, sistem
manajemen basis data relasional MySQL, bahasa pemrograman OSS, dan aplikasi CMS, CRM,
dan ERP. Secara khusus, tersedia penjelasan bahasa pemrograman PERL, PHP, Python, Ruby,
compiler GCC, dan aplikasi Eclipse. Aplikasi CMS yang dibahas adalah Joomla, Drupal, dan
XOOPS, sementara untuk aplikasi CRM dan ERP digunakan SugarCRM dan Compiere.
Sekalipun tidak ada kurikulum OSS yang ditetapkan secara resmi oleh pemerintah, beberapa
pusat pelatihan OSS saat ini telah menyediakan berbagai paket/program pelatihan yang dapat
dipilih. Kompetensi dasar OSS seperti sistem operasi Linux dan aplikasi OpenOffice telah
menjadi materi yang hampir selalu dijumpai dalam kegiatan-kegiatan pelatihan yang diadakan,
baik pelatihan di lingkungan instansi pemerintah, pelatihan melalui POSS dan komunitas
lainnya, atau dalam training oleh lembaga pendidikan swasta di Indonesia. Sedangkan untuk
mengakomodasi kebutuhan pelatihan pada taraf yang lebih maju, skema pelatihan dijalankan
sesuai kebutuhan kompetensi berdasarkan sertifikasi OSS.
Kegiatan pelatihan (TOT – Training of Trainer) OSS yang telah berjalan sepanjang periode 2004–
2009 ada cukup banyak, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh komunitas
dan lembaga pendidikan/pelatihan telematika di Indonesia. Beberapa kegiatan pelatihan dan
sertifikasi tidak memungut biaya terhadap peserta, dengan fasilitas berupa modul pelatihan, CD
linux, makan siang, coffee break, serta kesempatan mengikuti ujian sertifikasi OSS. Untuk tahun
2009, RisTek dan Tim IGOS merencanakan 20 kegiatan pelatihan gratis di 20 kota27. Sasaran
yang hendak dibidik melalui kegiatan pelatihan gratis ini adalah pegawai pemerintah daerah,
khususnya guna menindaklanjuti Surat Edaran Menpan tentang pemanfaatan perangkat lunak
legal dan OSS di instansi pemerintah.
Kegiatan sertifikasi bertujuan untuk menyediakan suatu bukti bahwa seseorang telah mengikuti
uji kompetensi di bidang OSS sebagai salah satu profesi di bidang teknologi telematika yang
telah diakui ketrampilan dan pengetahuannya, serta memiliki harmonisasi sesuaI standar
internasional. Selain itu kepemilikan sertifikasi diharapkan akan memotivasi individu dalam
menekuni bidang telematika, khususnya dalam pengembangan OSS di Indonesia.
Sertifikasi OSS di Indonesia merupakan paket ujian/cluster dari UJK Telematika, yaitu uji
kompetensi mengenai keahlian di bidang telematika. UJK diselenggarakan oleh Lembaga
27
http://www.igos.or.id/tot-kota-kota-pelatihan
69
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Sertifikasi Profesi (LSP) Telematika yang telah diberi lisensi oleh Badan Nasional Sertifikasi
Profesi (BNSP) melalui Tempat Uji Kompetensi (TUK) yang telah diverifikasi oleh LSP Telematika
yang ditunjukkan dengan bukti Sertifikat Tempat Uji Kompetensi. Masing-masing paket ujian
berisi beberapa unit uji kompetensi dalam bentuk soal pilihan ganda dan/atau ujian praktek,
dimana setiap unit harus dapat dijawab dengan benar dengan nilai minimal 70.
70
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
tingkat maju. Beberapa indikator unjuk kerja yang dipenuhi oleh pemilik sertifikasi ini
adalah:
a. Dapat mengoperasikan piranti lunak OpenOffice Writer - tingkat maju
b. Dapat mengoperasikan piranti lunak OpenOffice Calc - tingkat maju
c. Dapat mengoperasikan piranti lunak OpenOffice Impress - tingkat maju
d. Dapat mengoperasikan piranti lunak OpenOffice Base - tingkat maju
e. Dapat membuat halaman web menggunakan bahasa web (HTML) - tingkat dasar
f. Mengidentifikasi aspek kode etik dan HAKI dibidang TIK
Start Up Capital Program (SUCP) adalah kegiatan yang diprakarsai oleh RisTek tujuan untuk
memacu perkembangan industri OSS di Indonesia. Pelaksanaan kegiatan ini dilakukan oleh
RisTek, yaitu dengan memberikan dukungan finansial dan support lainnya terhadap perusahaan
baru atau UKM yang bergerak dalam bidang OSS. Insentif yang dianggarkan dari dana ABPN
tersebut ditujukan sebagai bantuan modal bagi UKM yang inovatif, serta memiliki usaha yang
berdampak besar terhadap perkembangan teknologi informasi nasional dan upaya pemerintah
mengurangi impor perangkat lunak. Bantuan ini termasuk dalam SUCP bagi UKM yang hingga
sebelumnya telah diberikan antara lain bagi UKM yang mengembangkan teknologi agro.
28
Engkos Koswara, Legalisasi Software Melalui Open Source, http://www.ristek.go.id/
71
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
16. PT Andalan Mitra Wahana: pengembangan aplikasi web SMS untuk penyampaian berita
berdasarkan grup (tahun 2008)
17. PT Pranata Pola Cipta: pengembangan aplikasi tele-meeting berbasis web (tahun 2008)
Keseriusan RisTek dalam mendukung munculnya UKM-UKM baru yang bergerak pada
pengembangan OSS tampak dengan adanya peningkatan jumlah UKM yang memperoleh
insentif SUCP setiap tahunnya. Ketika laporan ini disusun, program SUCP tahap I tahun 2009
telah mulai berjalan dengan melibatkan 15 buah UKM baru (UKM yang belum memperoleh SUCP
pada tahun-tahun sebelumnya).
Sejak pencanangan gerakan IGOS, pembangunan website sudah dijadikan salah satu agenda
awal untuk menghimpun masukan dan pendapat dari para praktisi/pengamat open source dan
telematika nasional. Dengan adanya website, diharapkan akan tumbuh komunitas yang memiliki
komitmen dalam pengembangan dan sosialisasi gerakan IGOS, baik dari pihak regulator, pakar,
maupun dari para praktisi open source secara umum. Pembangunan website tampaknya
merupakan salah satu kegiatan yang penting dan mendesak, terindikasi dengan telah
rampungnya website IGOS, bahkan sejak sebelum penandatanganan deklarasi bersama IGOS
pada Juni 2004. Saat itu, website IGOS dapat diakses melalui www.igos.web.id dan
www.igos.or.id. Untuk saat ini, dukungan terhadap program IGOS juga dapat diperoleh melalui
www.foss-id.web.id yang pengelolaannya dilakukan oleh Depkominfo dan PT Telkom Indonesia.
Sejak dicanangkannya gerakan IGOS, beberapa kegiatan pameran produk OSS telah berhasil
dilaksanakan, baik yang memiliki tema spesifik OSS seperti pameran 'Inovasi OSS Karya Anak
Bangsa Menuju Kemandirian Nasional' dan 'Open House Program IGOS' yang diselenggarakan
oleh Ristek pada bulan Juli 2005, maupun berbagai pameran yang mengusung tema lain seperti
72
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Pekan Produk Kreatif Indonesia 2009 pada bulan Juni 2009 dan Ritech EXPO yang dilaksanakan
setiap tahun. Berdasarkan pengamatan terhadap beberapa kegiatan pameran yang telah
berlangsung, terdapat kecenderungan bahwa produk yang dipamerkan masih terbatas yang
“itu-itu saja”. Fenomena ini tentunya tidak dapat dilepaskan dari masih terbatasnya jumlah
produk piranti lunak OSS nasional/lokal yang telah siap digunakan oleh masyarakat umum.
Berbagai lomba penggunaan dan penulisan OSS merupakan sarana sosialisasi dan
pemasyarakatan OSS dengan melibatkan kalangan pengembang (developers) maupun
pengguna (users). Kegiatan perlombaan ditujukan untuk mengetahui seberapa jauh
pengembangan, pemanfaatan OSS serta inovasi-inovasi yang telah dilakukan. Beberapa
kegiatan lomba penulisan, pemanfaaran, dan pengembangan OSS yang telah dilakukan adalah:
OSS Week 2008: Open Source Software untuk Kemandirian Bangsa (2008), POSS ITB
Lomba Pengembangan Aplikasi Open Source Software (2008), kerjasama RisTek, Majalah
InfoLinux, dan PT Gemini Mitra Gemilang.
Lomba Karya Tulis Mengenai OSS (2008), Politeknik Informatika Del
Lomba Pengembangan Perangkat Lunak Berbasis OSS (2008), Politeknik Informatika Del
Lomba Menulis Open Source Software (2009) yang diadakan oleh RisTek dengan tema
“Meningkatkan Kepedulian Masyarakat untuk penggunaan Open Source”
Indonesian ICT Awards 2009, kategori Open Source System
Di antara lembaga setingkat departemen lainnya, Kementerian Negara Riset dan Teknologi
berhak berbangga diri karena telah mampu menggunakan perangkat lunak legal (OSS dan
proprietary) pada seluruh workstation dalam lingkungan kerjanya sejak Juni 2006 29. Tidak
mengherankan memang, terutama mengingat peran RisTek sebagai salah satu pihak penggagas
program IGOS. Bagaimana dengan lingkungan pemerintah yang lain? Disinyalir sekitar 30%
hingga 40% dari jumlah komputer yang berada di lingkungan Depkominfo saat ini masih belum
bebas dari aplikasi bajakan, baik disebabkan oleh usia departemen yang masih muda, luasnya
wilayah kerja, maupun tingkat melek OSS yang masih perlu ditingkatkan lagi. Dengan jumlah
komputer di seluruh institusi pemerintah di Indonesia yang diperkirakan mencapai 800 ribu unit,
proses legalisasi perangkat lunak dan migrasi ke OSS membutuhkan usaha dan dukungan yang
luas. Pada tahun 2009 ini, RisTek akan bekerjasama dengan AOSI dalam membantu setidaknya
10 lembaga pemerintah dalam proses migrasi ke OSS.
Kegiatan legalisasi perangkat lunak melalui OSS di lingkungan pemerintah saat ini antara lain
telah/sedang berjalan di RisTek, Depkominfo, Depdiknas, KNPAN, Depkumham, Depkeu, Depsos,
KNLH, LIPI, BPPT, BATAN, LAPAN, Badan Pengawas Teknologi Nuklir, Bakosurtanal, dan Badan
Standarisasi Nasional. Selain di lembaga-lembaga tersebut, pemanfaatan OSS juga telah
merambah ke lembaga pemerintahan tingkat kabupaten/kota. Beberapa catatan kegiatan
29
Engkos Koswara, Mengenal IGOS, AGOS, dan Warintek, Majalah Biskom, Februari 2008
73
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
memperlihatkan bahwa upaya serupa telah dijalankan di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Penggunaan OS untuk menggantikan piranti lunak
propietary juga telah mulai terjadi pada pemerintah tingkat kabupaten, contohnya seperti di
kabupaten Jembrana di Bali dan Kabupaten Kebumen di Jawa Tengah.
Pelaksanaan proses migrasi dilakukan melalui kerjasama antara pemerintah daerah, RisTek,
komunitas OSS, dan perguruan tinggi. Secara singkat, proses migrasi diawali dengan kegiatan
inventarisasi data, yaitu untuk memetakan server/komputer yang masih menggunakan software
ilegal, baru dilanjutkan dengan penggantian sistem operasi/aplikasi OSS. Setelah aplikasi OS
terpasang di komputer, selanjutnya diadakan pelatihan OSS di kalangan pegawai pemerintah,
dimana lama pelatihan disesuaikan dengan kebutuhan dan tingkat pemahaman peserta.
Beberapa pengalaman proses migrasi menunjukkan bahwa biaya yang dikeluarkan relatif kecil
dengan alokasi pengeluaran terbesar terletak pada tahap inventarisir serta pengembangan
repository dan helpdesk. Selain itu, ditemukan beberapa persoalan yang terjadi dalam migrasi
OSS di kalangan pemerintah, yaitu30:
Resistensi SDM pemerintah sebagai pengguna, antara lain karena belum pernah
menggunakan OSS, takut kehilangan data, dan takut menurunnya kinerja.
Kurangnya kompatibilitas dengan peripheral devices: printer, scanner, LCD projector,
kamera.
Kegiatan pelatihan (ToT) kurang mendapat dukungan dari komunitas OSS.
Adanya aplikasi khusus yang dibuat berbasis Windows dan tidak bisa dikonversi ke
aplikasi berbasis open source, seperti aplikasi RKAK/L Depkeu dan aplikasi BMN Depkeu.
Upaya mengatasi persoalan-persoalan tersebut antara lain adalah dengan melakukan kegiatan
sosialisasi dan pendampingan oleh komunitas. Salah satu kisah sukses kegiatan ini adalah pada
30
Depkominfo sudah gunakan IGOS dan legal software, www.depkominfo.go.id, Januari 2008
74
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
SMPN 13 Bandung yang telah melakukan pelatihan dalam Program Sekolah Open Source yang
diadakan oleh POSS ITB. Penggunaan OSS dirasakan dapat membantu para guru dalam kegiatan
akademis seperti penyusunan silabus akademik, RPP, dan program semester/tahunan. OSS juga
digunakan sebagai media interaksi proses belajar mengajar (PBM) berbasis ICT dan mendukung
proses pelaporan nilai-nilai akademis siswa. Melalui kegiatan pelatihan ditujukan bagi seluruh
guru di lingkungan tersebut, SMPN 13 dinobatkan sebagai Sekolah Perintis Berbasis Open
Source untuk tingkat sekolah menengah di Bandung31.
Saat pertama kali dicanangkan pada tahun 2004, pelaksanaan kegiatan IGOS lebih terfokus
pada upaya migrasi OSS di lembaga pemerintah sebagai pemberi teladan bagi masyarakat
untuk menjauhi produk bajakan. Pada tahun selanjutnya, sasaran kegiatan mulai meluas antara
lain ke komunitas warnet (warung internet) yang dinilai lebih mampu mendongkrak pamor dan
tingkat adopsi piranti lunak OSS di masyarakat secara langsung. Dalam pertengahan tahun
2005, PT PSN telah memperkenalkan tiga piranti lunak gratis untuk warnet yang dinamai Igos
Laba-laba, Igos Kwartet, dan Igos Berdikari. Kehadiran ketiga piranti tersebut diharapkan dapat
menekan angka pembajakan di warnet dan game center, di samping sejalan dengan gencarnya
program penertiban program bajakan oleh pihak kepolisian saat itu. Dalam tahun yang sama,
tim IGOS juga telah meluncurkan distro khusus untuk warnet yang diberi nama Warung IGOS.
Pengamatan kemudian menunjukkan bahwa penggunaan OSS oleh warnet terkendala beberapa
persoalan, terutama akibat karakteristik pengunjung warnet yang terbiasa menggunakan sistem
operasi Windows dan aplikasi turunannnya. Persoalan lainnya berupa keterbatasan dukungan
pengembang dan layanan pendukung seperti jasa integrasi sistem, pelatihan, pengembangan
aplikasi, dan dukungan teknis. Akses terhadap layanan pendukung sementara ini masih bersifat
cuma-cuma dan terbatas melalui berbagai forum informal dan mailing list, sehingga tidak dapat
menunjang kegiatan operasional warnet yang membutuhkan solusi cepat. Pengamatan yang
dilakukan oleh AWARI (Asosiasi Warung Internet Indonesia) pada akhir tahun 2005
memperlihatkan bahwa penggunaan produk OSS di lingkungan warnet hanya berlangsung
sementara, dan banyak warnet yang memilih untuk kembali menggunakan perangkat lunak
bajakan. Salah satu keluhan yang mengemuka saat itu adalah pada kurangnya omset akibat
pengunjung yang tidak familiar dengan sistem operasi non-Windows yang digunakan. Ironisnya,
penurunan omset tersebut timbul akibat pindahnya pengunjung ke warnet tetangga yang justru
menggunakan sistem operasi Windows bajakan. Fenomena serupa juga dijumpai pada game
center, dimana hampir seluruh aplikasi game yang digunakan merupakan produk bajakan. Hal
ini tidak lepas dari tingginya biaya investasi untuk satu lisensi game (sekitar Rp 600 ribu per PC)
selain masih lemahnya kegiatan sosialisasi OSS terhadap kalangan masyarakat awam sebagai
pengguna warnet/game center32.
31
SMP Negeri 13 Bandung: Perintis Open Source, Galamedia, 21 Juni 2009
32
Warnet kembali gunakan OS bajakan, Investor Daily, 5 Desember 2005
75
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Implementasi legalisasi software melalui OSS tentu membutuhkan komitmen dan dukungan dari
pimpinan pemerintah pusat dan daerah. Kegiatan kerjasama pemerintah pusat, khususnya
RisTek, dengan pemerintah daerah yang dilakukan sepanjang periode 2004–2009 berupa
dukungan terhadap proses migrasi menuju penggunaan OSS. Dukungan yang diberikan meliputi
pendampingan dalam pembuatan rencana strategis pemerintah daerah terkait pengembangan
teknologi informasi, serta penguatan kapasitas SDM/lembaga di daerah yang bergerak di bidang
TI dalam menjalankan berbagai kegiatan berbasis OSS. Hingga saat ini, beberapa pemerintah
daerah yang telah/tengah melakukan proses migrasi ke OSS adalah: Pemerintah Propinsi
Naggroe Aceh Darussalam, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintah Kabupaten
Jembrana, dan Kantor Pengolahan Data Elektronik Propinsi Jawa Tengah.
Kegiatan kerjasama dengan instansi lain dapat berupa kerjasama dengan lingkungan akademik,
komunitas, dan industri. Bentuk kerjasama pemerintah dengan instansi akademik antara lain
berupa pembangunan POSS (yang saat ini telah berada di 15 lokasi), penyusunan dokumen
pendukung OSS, maupun dalam bentuk pendanaan kegiatan riset. Berdasarkan Direktori OSS
2009, saat ini jumlah instansi yang terlibat dalam kerjasama mencapai 22 lembaga pendidikan
tinggi dan 9 sekolah menengah atas.
Kerjasama dengan komunitas mencakup pengembangan aplikasi OSS, dukungan dalam proses
sosialisasi penggunaan OSS sekaligus support terhadap kegiatan migrasi yang terjadi di
lingkungan pemerintahan. Beberapa komunitas yang terlibat aktif di antaranya adalah Yayasan
Penggerak Linux Indonesia (YPLI), Kelompok Pengguna Linux Indonesia (KPLI), Yayasan Air Putih,
Apkomindo, Aspiluki, Awari, dan sebagainya. Sedangkan beberapa bentuk kerjasama dengan
sektor industri antara lain telah berjalan dalam bidang pelatihan/pendidikan OSS (berbagai
lembaga pendidikan telematika), pengembangan aplikasi OSS (PT INTI dan PT PSN), serta
pembangunan repositori online (PT Telkom).
Berbagai kegiatan kerjasama internasional yang telah dilakukan sepanjang periode 2004–2009
antara lain adalah:
Pembentukan AGOS (Asean Go open Source) melalui informal industrial meeting yang
diadakan oleh RisTek pada tahun 2005
Free/Open Source Software (FOSS) Conference and Training Camp 'Asia Source II' di
Sukabumi, 22-30 Januari 2007
Asia Open Source Software Symposium (AOSSS) VIII, di Nusa Dua, Bali, 13-15 Februari
2007
ASEAN Workshop On Open Source Software, di Serpong, 7-8 November 2007
2nd ASEAN Workshop on Open Source Software, di Serpong 20-21 Agustus 2008
76
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Asia-Africa Conference on Open Source (AAOS) 2008, di Jakarta, 18-19 November 2008
Bentuk kegiatan kerja sama dengan negara lain juga dilakukan oleh komunitas, antara lain
seperti keterlibatan POSS ITB dalam kelompok Asian Open Source Software Center (AOSSC)
Alliance, dengan bidang yang dikerjasamakan meliputi kegiatan pelatihan dan pendidikan,
pertukaran informasi, serta kegiatan promosi dan informasi teknologi open source33.
Dalam kurun waktu pelaksanaan gerakan IGOS, tingkat pembajakan (piracy rate) di Indonesia
mengalami penurunan dari 88% pada tahun 2004 menjadi 84% pada tahun 2007, sebelum
kembali naik menjadi 85% pada tahun 2008. Apabila dibandingkan dengan data 15 tahun
terakhir, nilai pembajakan sebesar 85% ini sebelumnya sempat terjadi di Indonesia pada tahun
1999. Data selengkapnya diperlihatkan pada Gambar 10.
33
The 8th Asia Open Source Software Symposium - AOSSS, http://www.asia-oss.org/symposium-records/the-8th-asia-
open-source-software-symposium/the-8th-asia-open-source-software-symposium
77
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Apabila dicermati dari tahun ke tahun, penurunan tingkat pembajakan terjadi pada periode
2002–2004 serta periode 2005–2007. Penurunan pada periode 2002–2004 tersebut berbarengan
dengan dimulainya babak baru dalam perang melawan pembajakan melalui perangkat UU No.
19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Sedangkan keberhasilan penurunan tingkat pembajakan
dalam periode 2005–2007 terjadi bersamaan dengan dimulainya kegiatan-kegiatan gerakan
IGOS dalam bentuk pertumbuhan komunitas-komunitas dan kegiatan migrasi di beberapa
instansi pemerintahan.Maraknya gerakan sweeping perangkat lunak bajakan di warnet-warnet
pada tahun 2005 ternyata tidak memberi pengaruh pada penurunan tingkat pembajakan, masih
sama dengan tahun sebelumnya sebesar 87%. Baru pada tahun 2006 terjadi laju penurunan
tingkat pembajakan tahunan terbesar, yakni turun 2% dari tingkat pembajakan pada tahun
2005. Penurunan tingkat pembajakan ini baru terjadi lagi pada tahun 2007 (84%), sebelum
kembali ke posisi semula di angka 85% pada tahun 2008.
BSA dan IDC dalam laporannya juga memaparkan nilai piracy losses, atau nilai penjualan
perangkat lunak yang hilang akibat adanya pembajakan, yang juga berkaitan erat dengan
volume pasar perangkat lunak secara keseluruhan. Nilai piracy losses ini digambarkan pada
Gambar 11.
Penurunan tingkat pembajakan merupakan suatu langkah strategis guna menciptakan lapangan
pekerjaan baru, meningkatkan pendapatan pajak, serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan
kemampuan kompetitif suatu negara. Keberadaan pembajakan akan menghambat penerimaan
pajak dan pertubuhan ekonomi dan daya saing secara keseluruhan. Menurut salah satu studi
BSA dan IDC, keberhasilan menurunkan tingkat pembajakan sebesar 10 poin pada periode
78
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Analisis terhadap data menunjukkan bahwa sekalipun tingkat piracy rate relatif mengalami
penurunan sepanjang periode 2004–2009, nilai piracy losses-nya justru terus mengalami
peningkatan. Hal ini dapat dicermati sebagai dua kemungkinan.
Kemungkinan yang pertama adalah terjadinya kenaikan harga perangkat lunak (dalam US$),
sehingga menyebabkan kenaikan volume nilai mata uang transaksi meskupun volume
instalasinya tetap. Akan tetapi dengan mempertimbangkan bahwa kenaikan nilai piracy losses
terjadi secara terus menerus, serta bahwa nilai mata uang US$ tidak mengalami inflasi secara
signifikan, kemungkinan ini menjadi tidak terlalu relevan.
Kemungkinan kedua, kenaikan nilai piracy losses terjadi akibat adanya peningkatan volume
instalasi perangkat lunak di Indonesia dari tahun ke tahun, yang secara langsung juga dapat
dimaknai sebagai peningkatan volume pemanfaatan perangkat lunak sebagaimana akan
dibahas dalam subbab 6.2.2 berikut.
Apa arti angka-angka di atas? Kemungkinan pertama, dengan meninjau besaran target yang
terus turun sepanjang periode tersebut, seseorang boleh menduga bahwa perkembangan OSS
di Indonesia tidak berjalan sebagaimana harapan. Dengan kata lain, target-target tersebut
masih belum terealisasi dan oleh karenanya akan mengalami revisi terus menerus. Sedangkan
kemungkinan yang kedua, besarnya perbedaan antar data mengindikasikan tidak adanya
standar dan mekanisme yang jelas dalam mengukur pemanfaatan OSS di Indonesia.
34
BSA & IDC, The economic benefits of lowering PC software piracy, Januari 2008
35
Pemerintah perlu berikan perlindungan TI lokal, Berita Kominfo, 21 Juni 2004
36
2009, IGOS Nusantara Targetkan 1 Juta Pengguna, http://www.detikinet.com, Desember 2006
37
Pengguna OSS tahun 2010 ditargetkan sekitar 300.000 orang, www.depkominfo.go.id, November 2007
79
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
kemampuan riset, dan penciptaan kompetisi bidang pengembangan perangkat lunak nasional.
Pemanfaatan piranti lunak ditargetkan naik dari sekitar 0,1 sampai 0,4 per 1.000 penduduk
pada tahun 2005 menjadi 0,5 sampai 1,5 per 1.000 penduduk pada tahun 2010.
Sayangnya, dalam Skenario Utama tersebut, metode pengukuran nilai-nilai ini tidak dijabarkan
secara jelas. Apa yang dimaksud dengan penggunaan sofware? Apakah nilai 0,1 per 1000
penduduk tersebut berarti setara dengan seratus orang pengguna software per satu juta
penduduk, atau justru seratus buah instalasi software per satu juta penduduk? Lebih jauh lagi,
apakah seorang pengguna internet juga dengan sendirinya merupakan seorang pengguna
software? Atau apakah ketersediaan sebuah komputer rumah tangga dapat dimaknai sebagai
sekurang-kurangnya satu buah instalasi software?
Mungkinkah target pemanfaatan perangkat lunak dapat didekati sebagai jumlah pengguna
internet? Apabila dibandingkan dengan data pertumbuhan pengguna internet dari APJII, maka
tampak jelas bahwa pengguna internet di Indonesia, sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 7,
telah jauh melampaui nilai 0,5 hingga 1,5 per 1.000 penduduk.
Dengan populasi Indonesia sekitar 225 juta jiwa pada tahun 2007, maka jumlah pengguna
internet sebesar 25 juta orang saat itu sudah melebihi rasio 110 pengguna internet per 1000
penduduk. APJII bahkan memprediksi peningkatan jumlah pengguna internet di Indonesia
sebesar 72% menjadi 43 juta pengguna pada tahun 200938, atau lebih dari 185 pengguna
internet dalam tiap 1000 penduduk.
Bagaimana dengan jumlah komputer sebagai indikator penggunaan perangkat lunak? Menurut
data Apkomindo, jumlah PC yang terjual per tahun di tanah air menunjukkan gejala peningkatan
dalam beberapa tahun belakangan. Angka penjualan sebesar 1,2 juta unit pada tahun 2005
berangsur-angsur tumbuh menjadi 1,4 juta unit pada tahun 2006 dan 1,8 juta unit pada tahun
38
Broadband and Consumer E-Commerce in Indonesia, August 2007 Review, www.internetworldstats.com/asia/id.htm
80
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
200739. Untuk tahun 2008, angka penjualan PC kembali mengalami pertumbuhan menjadi 2,2
juta unit40.
Bagaimana dengan jumlah PC di Indonesia secara keseluruhan? Dalam dokumen ini, informasi
tersebut diperoleh dari beberapa sumber, dengan data yang sedikit berbeda satu sama lain:
Depkominfo (2005) memperkirakan penetrasi PC di Indonesia telah mencapai lima juta
unit pada tahun 2005, dan diharapkan akan tumbuh menjadi 12 juta unit pada tahun
201041.
APJII (2009) memperkirakan tingkat penetrasi komputer sebesar 6 juta pengguna
komputer, dimana pembelian baru lebih ditujukan untuk menggantikan komputer lama42.
internetworldstats (2009) melansir perkiraan penetrasi PC di Indonesia sebesar 8,5 juta
unit43.
Data yang dimuat dalam Dokumen Pencapaian MDG (2007) menunjukkan bahwa jumlah PC
sebesar 5-8 juta unit (dari beberapa perkiraan di atas) ternyata bukanlah didominasi oleh
penggunaan rumah tangga. Jumlah rumah tangga di Indonesia yang memiliki komputer
diperkirakan sebesar 2,4 juta rumahtangga, atau sekitar 4,36% dari total sekitar 56 juta rumah
tangga di Indonesia. Sedangkan rumah tangga yang memiliki akses internet diperkirakan
sebanyak 1,95% dari jumlah rumah tangga secara keseluruhan44.
Distribusi pemanfaatan komputer rumah tangga antara perkotaan dan pedesaan diberikan oleh
hasil survei BPS pada tahun 2006 mengenai profil pemanfaatan teknologi informasi oleh
masyarakat. Dari 2,2 juta rumah tangga di Indonesia yang memiliki komputer saat itu, sekitar 2
juta di antaranya berada di perkotaan45. Ketimpangan serupa juga terjadi pada pengamatan
antar wilayah di tanah air. Gambar 12 memperlihatkan bahwa dari setiap 100 rumah tangga
yang memiliki komputer, lebih dari 72 di antaranya berdomisili di Pulau Jawa, disusul kemudian
oleh Pulau Sumatera dengan sekitar 13 rumah tangga. Sebaran pemanfaatan perangkat lunak
oleh pengguna rumah tangga juga dapat didekati menggunakan pertumbuhan penetrasi
komputer dan internet rumah tangga di masing-masing wilayah. Informasi ini diperlihatkan pada
Gambar 1346.
39
Komputer Rakitan di Indonesia akan Gunakan IGOS, http://www.mediaindonesia.com, Mei 2008
40
Penjualan Komputer Bisa Merosot 90%, www.tribun-timur.com/read/artikel/9233, Februari 2009
41
Pemerintah Tetapkan 6 Sasaran Telematika, www.depkominfo.go.id
42
APJII, Target 50 juta pengguna internet sulit terwujud, penyelenggara andalkan teknologi BWA, http://www.apjii.or.id
43
Broadband and Consumer E-Commerce in Indonesia, http://www.internetworldstats.com/asia/id.htm
44
Bappenas, Report on the Achievement of Millennium Development Goals Indonesia 2007, November 2007
45
Badan Pusat Statistik, Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2006
46
Badan Pusat Statistik, Data Statistik Indonesia, http://demografi.bps.go.id/
81
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Jumlah komputer terpasang di Indonesia, sekitar 5-8 juta unit, setara dengan nilai
penetrasi sebesar 21 hingga 35 komputer per 1000 penduduk.
Jumlah komputer rumah tangga terpasang, sebesar 2,4 juta unit, setara dengan 43
komputer per 1000 rumah tangga, atau 10 komputer rumah tangga per 1000 penduduk.
Angka-angka seputar “komputer per 1000 penduduk” tersebut ternyata jauh lebih tinggi
daripada target yang dicanangkan dalam Skenario Utama OSS 2004–2009. Apakah target
tersebut telah benar-benar tercapai, atau mungkinkah terjadi kekeliruan penetapan target?
Gambar 12. Distribusi rumah tangga yang memiliki komputer menurut wilayah (2006)
Gambar 13. Penetrasi komputer dan akses internet rumah tangga Indonesia (2005–2007)
82
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Dari studi literatur yang dilakukan, frase “0,1-0,4 per 1000 penduduk” dan “0,5-1,5 per 1000
penduduk” ternyata dijumpai pada perbandingan tingkat kemajuan teknologi informasi antar
negara dalam bentuk IT Countries Development Stages. Perbandingan ini ditampilkan dalam
bentuk indeks supply score dan demand score yang masing-masing mengindikasikan banyaknya
produksi dan konsumsi perangkat lunak dalam suatu negara. Indonesia ditempatkan dalam
kelompok 1, tertinggal dari negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand. Gambaran mengenai
posisi Indonesia tersebut diperlihatkan dalam Tabel 8 dan Gambar 14 berikut.
#Developers 0.1-0.4 0.3 - 0.6 0.5 - 1.5 1.0 - 2.5 1.5 - 4.0 4.0 - 7.0 4.0 - 7.0
/1000 pop.
PC 0% –10% 10% - 20% 10% - 30% 10% - 40% 30% - 60% 40% - 70% 40% - 70%
penetration
Piracy rate 60% -80% 60% - 70% 40% - 60% 30% - 40% 20% - 40% 20% - 30% 20% - 30%
Education Few, if any, Limited use of Some Technology Heavy tech Widespread IT Widespread
universities technology in technology in usage in use in use in technology
offering CS or schools. schools, schools secondary secondary usage in all
EE degrees Few higher limited to large growing. IT use schools; schools and in schools.
education cities and in most city elementary majority of Strong supply
institutions vocational secondary schools only in elementary of CS/EE
offer IT-related schools. schools. the city. schools. graduates.
degrees. Some CS or EE Some CS or EE Major Most univ.
graduates. graduates. universities offer both
Few Few of offer EE/CS CS/EE degrees.
universities universities degrees. A few Post-grad
offering both offering both offer post-grad degrees
areas of study. areas of study. degrees. available at
multiple univ.
Government Limited eGov Limited eGov eGov services eGov services Key eGov eGov services Robust eGov
adoption adoption, no adoption, few for internal for internal services, but available. services
online online use. use. not broadly Some integrated
transactions. transactions. Citizen-facing Citizen-facing integrated integrations across
transactions usage growing. across across jurisdictions
limited. jurisdictions. jurisdictions.
83
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Dalam Tabel 8, negara-negara dalam Stage 1 antara lain dicirikan melalui indikator jumlah
software developer sebesar 0,1-0,4 per 1000 penduduk, sementara negara-negara dalam Stage
3 memiliki jumlah software developer sebesar 0,1-0,5 per 1000 penduduk.
Dari gambar dan tabel tersebut, penetapan target peningkatan pemanfaatan perangkat lunak
per 1000 penduduk, dari 0,1-0,4 menjadi 0,5-1,5 tampaknya merupakan kesalahan interpretasi
dari peningkatan jumlah rasio pengembang perangkat lunak per 1000 penduduk. Oleh sebab itu
tidak mengherankan apabila terjadi kesimpangsiuran data dan metode pengukuran yang
digunakan. Tidaklah aneh pula apabila nilai pemanfaatan perangkat lunak, antara lain didekati
dari indikator penggunaan internet dan ketersediaan PC, memberikan hasil yang jauh lebih
tinggi daripada target yang dicanangkan.
Untuk mencegah terulangnya ketidaksesuaian perumusan indikator target (dalam hal ini antara
jumlah pemanfaatan perangkat lunak vs. jumlah pengembang perangkat lunak), maka
penentuan target dan upaya pemantauannya merupakan aspek-aspek yang perlu diperhatikan
dalam penyusunan program-program IGOS di masa mendatang.
84
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Bagaimana dengan target peningkatan jumlah SDM tenaga terampil, ahli, dan pengembang
perangkat lunak sebagaimana diamanatkan dalam Skenario Utama OSS 2004–2009. Apakah
target tersebut sudah tercapai? Jawaban atas pertanyaan tersebut tentunya tidak dapat
dilepaskan dari pemaknaan istilah “tenaga terampil, ahli, dan pengembang perangkat lunak”.
Untuk itu, ada beberapa pendekatan yang mungkin diambil:
Kemungkinan pertama, istilah tersebut mengacu pada kelompok tenaga kerja yang
sehari-hari berprofesi sebagai pengembang perangkat lunak.
Kemungkinan lainnya, istilah tersebut merujuk pada mereka yang berprofesi sebagai
pekerja IT (IT workers), yaitu mencakup mereka yang berprofesi sebagai pengembang
perangkat lunak serta mereka yang dalam profesinya dituntut untuk terampil
menggunakan perangkat lunak namun tidak terlibat dalam kegiatan pengembangan
perangkat lunak secara langsung.
Kemungkinan yang terakhir, istilah tenaga terampil, ahli, dan pengembang perangkat
lunak mengacu pada segolongan individu yang memiliki kualifikasi bidang TI tertentu
yang diperoleh dari suatu jenjang pendidikan teknologi informasi secara formal.
Analisis pencapaian target berdasarkan beberapa pendekatan tersebut diulas secara ringkas
dalam beberapa subbab berikut.
Pada tahun 2005, IDC memprediksikan bahwa jumlah pengembang perangkat lunak di Indonesia
akan mengalami pertumbuhan dari 44.200 orang pada tahun 2004 menjadi 76.100 orang pada
tahun 2008, atau setara dengan tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata (CAGR—Compound
Annual Growth Rate) sebesar 12,3%. Ilustrasi prediksi ini ditunjukkan pada Gambar 15.
Apakah prediksi tersebut benar terwujud? Pada prakteknya, berbagai keterbatasan yang
dijumpai pada periode 2004–2008 telah berkontribusi pada ketiadaan sensus yang memadai
mengenai jumlah pengembang perangkat lunak di Indonesia. Data yang tersedia diperoleh dari
prediksi pada IDC Economic Impact Study 2009 tentang pertumbuhan jumlah software-related
employees di Indonesia sepanjang tahun 2009 hingga tahun 2013. Dalam laporan tersebut, IDC
memprediksi pertumbuhan jumlah pengembang perangkat lunak di Indonesia, dari sekitar
85
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
32.000 orang pada tahun 2008 menjadi 46.400 orang pada tahun 2013, dengan nilai
pertumbuhan tahunan rata-rata sebesar 7,5%. Prediksi ini diperlihatkan pada Gambar 16.
Kedua grafik jumlah pengembang tersebut merupakan prediksi dari institusi yang sama, dimana
masing-masing grafik memuat data yang berlainan pada selang waktu yang berlainan pula.
Dengan memperhatikan irisan kedua data pada tahun 2008, kita dapat menyimpulkan bahwa
prediksi awal IDC mengenai pertumbuhan rata-rata tahunan sebesar 12,5% pada periode 2004–
2008 tidak sungguh-sungguh terjadi, Realisasi jumlah pengembang perangkat lunak pada tahun
2008 baru mencapai 32.300 orang, bahkan tidak mencapai setengah dari nilai prediksi
sebelumnya sebesar 71.600 orang. Lebih jauh, dalam laporan tahun 2009 tersebut IDC juga
memprediksi penurunan tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata dari jumlah SDM pengembang
perangkat lunak di Indonesia menjadi 7,5% sepanjang 2009–2013. Selain mengkoreksi prediksi
pertumbuhan periode sebelumnya, nilai ini juga lebih rendah daripada tingkat pertumbuhan
rata-rata SDM bidang IT keseluruhan sebesar 9,6%. Sisi baiknya, nilai pertumbuhan jumlah
tenaga kerja pengembang perangkat lunak ini masih jauh lebih tinggi (hampir lima kali lipat)
dari prediksi pertumbuhan tenaga kerja nasional keseluruhan secara umum47.
47
IDC Economic Impact Study, 2009
86
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Dari paparan sebelumnya, apabila kita berpegang pada data-data jumlah pengembang
perangkat lunak saja, maka target peningkatan jumlah SDM dari 31.000 pada tahun 2005
menjadi 330.000 orang pada tahun 2010 dapat dikatakan hampir mustahil tercapai. Untuk itu,
sebaiknyalah kita mengetahui terlebih dahulu asal-usul penetapan angka tersebut.
Penelusuran dalam berbagai literatur menunjukkan bahwa target peningkatan jumlah SDM
sebesar 330.000 orang ternyata telah disebut sebelumnya dalam proyeksi ekspor industri TIK
yang dilakukan oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Depperindag) pada tahun
199948, yang juga dikutip dalam buku putih RisTek tahun 200649. Dalam proyeksi tersebut, nilai
ekspor industri elektronika Indonesia ditargetkan akan mencapai US$ 30 milyar di tahun 2010.
Lebih jauh lagi, nilai ini tampaknya berasal dari studi yang dilakukan oleh McKinsey pada tahun
1996, sesaat sebelum Indonesia dihantam oleh krisis moneter pada tahun 199750.
Pada prediksi Depperindag mengenai pertumbuhan ekspor industri elektronika tahun 2010,
ekspor bidang industri software dan teknologi informasi diharapkan akan menyumbang sekitar
US$ 8,1953 milyar. Dengan nilai produktivitas rata-rata setiap sumber daya manusia dalam
bidang ini yang ditetapkan sebesar US$ 25000 per tahun, maka nilai ekspor ini setara dengan
kebutuhan akan 327.813 tenaga kerja Teknologi Informasi di tahun 2010 (baru jumlah tenaga
kerja untuk kebutuhan ekspor saja). Target peningkatan nilai ekspor ini dipandang tidak
berlebihan karena pasar dunia di bidang TIK saat itu telah melebihi US$ 1 triliun, dengan pasar
domestik Indonesia diperkirakan mencapai US$ 1,5 milyar51. Adapun proyeksi pertumbuhan
ekspor industri elektronika ini diperlihatkan pada Tabel 9 dan Tabel 10.
48
Direktorat Industri Elektronika, Direktorat Jenderal Industri Logam Mesin Elektronika dan Aneka, Departemen
Perindustrian dan Perdagangan, Perumusan strategi dan kebijaksanaan pengembangan industri elektronika Indonesia,
Handout Presentasi, 10 Juli 1999.
49
Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Indonesia 2005–2025: Buku Putih - Penelitian, Pengembangan dan
Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Agustus 2006.
50
Budi Rahardjo, Draft: Dunia Selebar Daun Kelor v.0.3, http://budi.insan.co.id/books/DaunLontar/DaunLontar.pdf
51
Bandung Hi-Tech Valley, Blue Book (versi 1): Perencanaan SDM Untuk Industri ICT, September 2003
87
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Tabel 10. Proyeksi umum pertumbuhan jumlah SDM industri teknologi informasi Indonesia
Tahun
Klasifikasi SDM
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
IT Specialists 4800 5280 6336 7603 10644 16499 27223 46279 78675
Tenaga
IT Professionals 2400 2640 3168 3802 5322 8249 13612 23140 39338
Terampil
IT Administrators 800 880 1056 1267 1774 2750 4537 7713 13113
IT System Engineer 2400 2640 3168 3802 5322 8249 13612 23140 39338
IT Databases 1600 1760 2112 2534 3548 5500 9074 15426 26225
Tenaga IT Application Developer 4000 4400 5280 6336 8870 13749 22686 38566 65563
Ahli IT Solution Developer 1600 1760 2112 2534 3548 5500 9074 15426 26225
IT Trainer 800 880 1056 1267 1774 2750 4537 7713 13113
Lainnya 1600 1760 2112 2534 3548 5500 9074 15426 26225
Total SDM industri IT 20000 22000 26400 31679 44350 68746 113429 192829 327815
Dengan memperhatikan kedua tabel tersebut, penetapan target sebesar 330.000 tenaga
terampil, ahli, dan pengembang perangkat lunak tampaknya merupakan interpretasi penetapan
target jumlah SDM dalam bidang Teknologi Informasi oleh Depperindag. Oleh sebab itu tidak
mengherankan apabila beberapa lembaga riset seperti IDC memberikan prediksi jumlah
pengembang perangkat lunak yang jauh lebih kecil daripada target yang dicanangkan dalam
Skenario Utama OSS 2004–2009.
Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah, berapa sesungguhnya jumlah SDM dalam bidang
teknologi informasi yang ada di Indonesia saat ini. Penelusuran terhadap berbagai data literatur
yang tersebar tidak menghasilkan temuan yang berarti. Berbeda dengan berbagai profesi lain
seperti dokter, guru, dan pengacara, tenaga kerja bidang TI di Indonesia relatif lebih bebas dari
tuntutan sertifikasi dan registrasi profesi, sehingga menyulitkan proses evaluasi pencapaian
target peningkatan kapasitas SDM TI yang tersedia dari waktu ke waktu.
Terkait dengan upaya mengukur jumlah SDM bidang teknologi informasi di Indonesia, data yang
saat ini tersedia adalah potensi SDM dalam bentuk jumlah mahasiswa tingkat perguruan tinggi
yang terdaftar dalam suatu program studi bidang TIK. Data ini merupakan hasil kompilasi
Departemen Pendidikan Nasional yang dapat diakses melalui website TIKometer52, sebagaimana
dirangkum dalam Tabel 11. Di antara 308.240 mahasiswa aktif bidang TIK di Indonesia pada
tahun ajaran 2006-2007, mayoritas terdaftar dalam program studi Sistem Informatika dan
Manajemen Informatika (133.704 orang) dan Teknik Informatika (92.886 orang). Sedangkan
jumlah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan tinggi bidang TIK sebanyak 812
buah, yang terdiri 290 universitas, 22 institut, 250 sekolah tinggi, 145 akademi, dan 105
Politeknik. Jumlah total program studi bidang TIK yang dibuka sebanyak 1.731 buah, masing-
masing 635 program studi di universitas, 66 buah di institut, 620 di sekolah tinggi, 230 di
lembaga akademik, dan 180 program studi di institusi berbentuk politeknik.
52
Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi (PTIK) - Badan Pengkaijan dan Penerapan Teknologi, http://tikometer.or.id
88
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Tabel 11. Jumlah mahasiswa aktif bidang TIK menurut program studi
Jumlah mahasiswa
Program Studi
aktif (2006-2007)
Sistem Informatika, Manajemen Informatika 133.704
Teknik Komputer 15.580
Teknik Informatika 92.886
Ilmu Komputer, Sistem Komputer 9.100
Teknik Elektronika, Teknologi Instrumentasi, Elektromedik 5.567
Telekomunikasi, Teknik Telekomunikasi, Manajemen Telekomunikasi 5.997
Teknik Elektro, Teknik Listrik, Ilmu Teknik Elektro 45.406
Total 308.240
Jumlah mahasiswa aktif bidang TIK sebesar 308.240 orang pada tahun 2006-2007 menunjukkan
pertumbuhan yang signifikan, naik dari jumlah sebelumnya sebanyak 193.397 orang pada tahun
ajaran 2005-2006. Dibandingkan dengan jumlah mahasiswa keseluruhan, maka besaran jumlah
mahasiswa bidang TIK ini mencapai 12,29% dari total mahasiswa aktif, yang tertampung dalam
28,25% dari jumlah perguruan tinggi dan 11,81% dari total program studi yang ada di Indonesia.
Apabila dibandingkan dengan nilai target jumlah SDM sebesar 330.000 orang, tingginya jumlah
mahasiswa bidang TIK di Indonesia merupakan potensi yang amat besar bagi pencapaian target
peningkatan tenaga terampil, ahli, dan pengembang perangkat lunak. Akan tetapi perlu
dicermati bahwa tidak seluruhnya mahasiswa tersebut nantinya akan berprofesi dalam bidang
TI, apalagi yang terkait dengan pengembangan perangkat lunak. Ketersediaan lapangan
pekerjaan di bidang TI merupakan persoalan yang tetap perlu ditemukan jalan keluarnya dan
untuk itu dibutuhkan perhatian dari banyak pihak.
Terakhir, bagaimana mengukur kontribusi program IGOS yang telah berjalan terhadap
peningkatan jumlah tenaga terampil, ahli, dan pengembang perangkat lunak? Jawaban atas
pertanyaan ini sekali lagi juga sulit ditemukan, karena hingga saat ini belum ada mekanisme
evaluasi dan monitoring yang terstruktur dalam memantau variabel jumlah SDM yang
ditetapkan, terutama mengenai SDM yang terlibat dalam kegiatan pengembangan OSS. Selain
disebabkan oleh besaran target yang sulit divalidasi, ketiadaan pelaksanaan monitoring
pengembang OSS secara khusus juga dipengaruhi keterbatasan dana yang dapat dialokasikan,
dalam hal ini oleh lembaga pemerintah yang menangani pengembangan OSS (Ristek, Kominfo,
dll), untuk melakukan survei terhadap jumlah pengembang yang terlibat dalam pengembangan
aplikasi-aplikasi open source di Indonesia. Dua hal ini, penentuan target dan upaya
pemantauannya, sekali lagi merupakan aspek-aspek yang perlu digarisbawahi dalam
penyusunan program-program IGOS di masa yang akan datang.
89
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
perusahaan. Angka ini masih terpaut jauh dengan jumlah ideal untuk kebutuhan mendukung
program open source di lingkungan pemerintah, yaitu sebanyak 300 perusahaan53.
Sejalan dengan target peningkatan jumlah sumber daya manusia pengembang perangkat lunak,
program IGOS juga ditargetkan mampu berkontribusi dalam upaya pemerintah meningkatkan
jumlah industri pengembang perangkat lunak (Independent Software Vendor - ISV) di Indonesia.
Dalam Skenario Utama OSS 2004–2009 disebutkan bahwa jumlah ISV tersebut ditargetkan
mencapai 500 perusahaan pada tahun 2010, naik dari jumlah sebelumnya pada tahun 2004
sebanyak 100 perusahaan.
Berdasarkan pengamatan terhadap berbagai data literatur, dijumpai data-data yang berbeda
mengenai jumlah industri perangkat lunak di Indonesia. Daftar berikut memperlihatkan
beberapa contoh hasil pengukuran yang berbeda untuk tahun 2006 (satu untuk tahun 2008):
IDC memperkirakan bahwa jumlah ISV di Indonesia pada tahun 2006 sebanyak 250 buah,
dan akan mencapai 500 buah dalam 5 tahun54.
PT Microsoft Indonesia memperkirakan jumlah ISV di Indonesia pada tahun 2008 sebanyak
250 buah, dan akan bertambah sebanyak 50 buah melalui program Microsoft BizSpark)55.
Apkomindo memperkirakan jumlah industri perangkat lunak di Indonesia pada tahun 2006
sebanyak 154 industri skala menengah-besar dan 214 perusahaan skala kecil56.
Depkominfo memperkirakan jumlah ISV yang terdaftar pada tahun 2006 baru 100, dan
yang belum terdaftar sekitar 200 ISV57.
Bagaimana dengan Asosiasi Piranti Lunak Telematika Indonesia (Aspiluki)? Berbagai sumber di
internet juga menunjukkan variasi mengenai jumlah perusahaan yang tergabung dalam Aspiluki.
Pada tahun 2006, Aspiluki dikatakan memiliki anggota sebanyak 85 perusahaan58. Pada tahun
2007, Tempointeraktif melansir berita bahwa jumlah perusahaan perangkat lunak nasional yang
menjadi anggota Aspiluki mencapai 250 perusahaan, dengan sekitar 50 perusahaan di
antaranya sudah memasarkan produk-produknya ke pasar global59. Sedangkan menurut website
Aspiluki, pada tahun 2008 anggota Aspiluki tercatat sebanyak 104 perusahaan60.
Sekalipun terdapat berbagai ketidaksesuaian data mengenai jumlah industri perangkat lunak di
Indonesia, hingga saat laporan ini disusun belum ada literatur yang secara jelas menyatakan
tercapainya target peningkatan hingga 500 pengembang.
53
Pemerintah perlu berikan perlindungan TI lokal, Berita Kominfo, 21 Juni 2004
54
Industri Software Lokal (Catatan Diskusi Metro TV), http://romisatriawahono.net/2006/11/05/industri-software-lokal-
catatan-diskusi-metro-tv/
55
Microsoft Tawarkan Rumah Produksi Software, http://www.tempointeraktif.com, Desember 2008
56
Product Market Study: ICT in Indonesia, http://edms.matrade.gov.my, November 2006
57
Di 2009, Pemerintah Targetkan Pembajakan Turun Ke 55%, www.detikinet.com, April 2006
58
ASPILUKI: The Indonesia Telematics Software Association, http://www.asocio.org/member/ASPILUKI/aspiluki2006.pdf
59
Produsen Piranti Lunak Lokal Belum Bisa Berbuat Banyak di Pasar Global, http://www.tempointeraktif.com, November
2007
60
http://www.aspiluki.or.id/member.html, Oktober 2008
90
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Selain dengan menggunakan indikator berupa jumlah ISV, pengukuran kemampuan industri
perangkat lunak di Indonesia antara lain juga dapat dinyatakan berdasarkan metrik IT
Competitiveness Index. IT Competitiveness Index adalah indeks yang disusun oleh EIU
(Economist Intelligence Unit) dan menyatakan perbandingan antar negara seputar kondisi-
kondisi yang diperlukan untuk mendukung industri dalam bidang IT, Indeks ini dikelompokkan
dalam enam kategori, yang tersusun dalam bentuk serangkaian indikator kualitatif maupun
kuantitatif. Indikator kualitatif dianalisis dalam skala 1 hingga 5 oleh analis EIU, sementara
indikator kuantitatif dinormalisasi terhadap seluruh populasi sampel sehingga nilai maksimum
dinyatakan sebagai 1 dan nilai minimum akan diberi 0. Hasil perhitungan untuk setiap kategori
selanjutnya diboboti dengan jumlah total 100%, menghasilkan nilai indeks antara 0 hingga 100
(nilai maksimum yang mungkin diperoleh). Dari 66 negara yang dianalisis pada tahun 2008,
Indonesia menempati posisi 58, turun satu tingkat dari peringkat sebelumnya pada tahun 2007.
Sedangkan berdasarkan pemeringkatan per kategori, Indonesia menempati rangking 57 dalam
kategori business environment, ranking 53 dan 54 untuk bidang human capital dan legal
environment, serta berturut-turut ranking 60, 61, dan 62 dalam hal R&D environment, support
for IT industry environment, dan IT infrastructure61. Grafik IT Competitiveness Index untuk
beberapa negara pada tahun 2008 diperlihatkan dalam Gambar 17.
61
Economist Intelligence Unit, Benchmarking IT industry competitiveness 2008, September 2008
91
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
6.3.1 VARIABEL
Mengacu pada OSI yang dikembangkan oleh Red Hat, variabel yang digunakan dalam menyusun
Indonesian Open Source Software Index (IOSSI) juga dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
Aktivitas dan Potensial. Kedua kelompok ini kemudian diturunkan dalam dimensi pemerintah,
industri dan komunitas.
92
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
6.3.1.1 Aktivitas
Pemerintah
Industri62
Komunitas63
62
http://counter.li.org/reports/place.php?place=ID
63
http://code.google.com/soc/ dan http://news.google.com/
93
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
6.3.1.2 Potensi
Pemerintah64
Industri65
64
I) http://www.bsa.org/country/Research%20and%20Statistics/~/media/53866AA36F864013BE00EB217B86942D.ashx
ii) http://www.freedomhouse.org/template.cfm?page=439
iii) http://www.freedomhouse.org/template.cfm?page=439
iv) http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/un/unpan021888.pdf
v) http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/org6_e.htm
65
I) oecd.org
ii) 2003-6: tikometer; 2007-8: perkiraan Goldman Sachs Research 2008
iii) World Development Indicator; 2006: http://devdata.worldbank.org/ict/idn_ict.pdf
94
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Komunitas
Diketahui:
G = pemerintah; F = perusahaan atau usaha komersial; C = komunitas dan sistem pendidikan
Indeks: Aktivitas = f(GA, FA, CA)/Potensial = f(GP, FP, CP)
GA = f(pengadaan, pendukung, penggunaan)
GP = f(kebijakan OSS, korupsi dan kebebasan, e-gov, UU HKI)
FA = f(pengguna OSS)
FP = f(kompetisi industri TIK, pertumbuhan TIK, R&D, akses internet, pertumbuhan industri)
CA = f(jumlah aplikasi di Google Summer of Code, diskusi di media, dukungan bahasa)
CP = f(budaya, pendidikan, pemilik komputer, pengguna internet)
95
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Dari variabel dalam subbab sebelumnya, nilai yang hilang telah diekstrapolasi. Dengan
demikian, formula perhitungan dapat dilanjutkan pada langkah berikutnya. Sebagai ilustrasi
berikut ini akan ditampilkan perhitungan untuk memperoleh indeks, dan juga ranking untuk
masing-masing dimensi.
6.3.2.1 Aktivitas
Jumlah
Jumlah kebijakan Jumlah kebijakan Jumlah Jumlah aplikasi
pencarian frase 1 jika GNU/Linux
nasional terkait pemerintah di pengguna yang didaftarkan
Tahun “open source didukung bahasa
penyediaan bidang R&D GNU/Linux per ke Google
software” di lokal, 0 lainnya
perangkat skala nasional kapita Summer of Code
Google News
2003 1 0 2.34E-006 0 19720 0
2004 1 1 5.08E-006 0 26190 0
2005 1 1 5.48E-006 1 32910 0
2006 2 3 4.05E-006 0 33180 1
2007 2 3 3.88E-006 3 37020 1
Rata-rata aritmatik yang menjadi Indeks Aktivitas OSS dan rankingnya adalah sebagai berikut:
96
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
6.3.2.2 Potensi
The Freedom The Freedom
House Freedom House Freedom
Jumlah UN E- Jumlah publikasi
in the World dalam the World Pertumbuhan
Tahun pembajakan government jurnal ilmiah per
Index of political Index of civil telepon seluler
perangkat lunak Survey Score kapita
rights (1 best to liberties (1 best
7 worst) to 7 worst)
2003 -0.88 -3 -4 0.42 0.51 0
2004 -0.87 -3 -4 0.39 0.64 2.56E-005
2005 -0.87 -2 -3 0.38 0.55 2.03E-005
2006 -0.85 -2 -3 0.4 0.36 1.47E-005
2007 -0.84 -2 -3 0.4 0.42 9.57E-006
Persentase
Jumlah
Negatif, biaya Pertumbuhan Rumah tangga mahasiswa Rumah tangga
pengguna
Tahun internet per Foreign Direct yang memiliki dibandingkan yang memiliki
internet per
bulan (US$) Investment televisi jumlah populasi komputer
kapita
usia kuliah
2003 -22.30 0.45 0.59 0.19 1.32 0.04
2004 -18.62 0.54 0.61 0.14 2.43 0.05
2005 -17.26 1.62 0.63 0.13 3.67 0.07
2006 -6.60 0.25 0.65 0.13 4.36 0.09
2007 -4.08 0.13 0.67 0.10 5.88 0.11
97
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Persentase
mahasiswa Jumlah
Negatif, biaya Pertumbuhan Rumah tangga Rumah tangga
terdaftar pengguna
Tahun internet per Foreign Direct yang memiliki yang memiliki
dibandingkan internet per
bulan (US$) Investment televisi komputer
jumlah populasi kapita
usia kuliah
2003 0 0.22 0 1 0 0
2004 0.20 0.27 0.25 0.45 0.24 0.21
2005 0.28 1 0.5 0.38 0.52 0.51
2006 0.86 0.08 0.75 0.31 0.67 0.76
2007 1 0 1 0 1 1
Rata-rata aritmatik yang menjadi Indeks Potensi OSS dan rankingnya adalah sebagai berikut:
Tahun Indeks Potensi Ranking
2003 0.31 5
2004 0.32 4
2005 0.55 3
2006 0.57 2
2007 0.64 1
98
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Bagian B:
Skenario Utama OSS 2010–2014
99
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
BAB 7
PENGEMBANGAN EKOSISTEM OSS DENGAN
MODEL SUPPLY-DEMAND
Program IGOS periode 2004–2009 menunjukan pendekatan supply side. Pendekatan ini memiliki
hipotesis bahwa pertumbuhan ekonomi akan meningkat dengan pemberian insentif pada
produsen yang menghasilkan produk ataupun jasa. Konsumen akan memperoleh keuntungan
dari banyaknya pilihan produk dan layanan dengan harga murah. Pendekatan ini memandang
produksi atau supply sebagai kunci dari pertumbuhan ekonomi dan perubahan pada konsumsi
atau demand sebagai implikasi ikutan. Keynes menerjemahkan konsep supply side sebagai
supply menciptakan demand-nya sendiri.
Salah satu konsep yang acap digunakan untuk menjelaskan pendekatan ini adalah trickle down
theory, yaitu teori yang menjelaskan bagaimana insentif pada produsen akan berpengaruh pada
pertumbuhan kegiatan ekonomi melalui penurunan harga dan peningkatan lapangan kerja.
Kentalnya pendekatan supply side terlihat dari banyaknya insentif yang diberikan pemerintah
untuk mendukung sisi supply seperti OSS Start Up Capital Program, program insentif,
pembentukan POSS, dan IGOS Center. Dalam kacamata supply side, banyaknya aktor yang
terlibat di sisi supply akan berimplikasi pada turunnya harga dan peningkatan kualitas produk.
Meski program IGOS periode 2004–2009 didominasi dengan pendekatan supply, beberapa
program ditujukan untuk meningkatkan sisi demand, yaitu melalui sosialisasi. Hal yang menjadi
kelemahan dari pendekatan ini adalah ketidakterukuran keberhasilan dari program-program
yang ada. Pertama, jika diasumsikan pemerintah menggunakan asumsi supply side, tolak ukur
keberhasilan dari program ini seharusnya bisa dikalkulasi dengan melihat trickle down yang
dihasilkannya, bukan dari peningkatan jumlah aktivitas program. Kedua, terkait program-
program sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah melalui seminar, workshop, lomba
penulisan, IGOS Award dll, tolak ukur keberhasilanya tidak bisa dilihat dari banyak peserta
lomba melainkan bagaimana kegiatan sosialisasi tersebut mampu meningkatkan demand.
Ketiga, pendekatan ekonomi yang digunakan dibangun atas relasi antara jumlah barang harga
dan harga. Relasi ini tidak dapat digunakan dalam model pengembangan OSS.
100
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Jika supply side mengasumsikan relasi linier, value chain, konsep ekosistem memandang nilai
sebagai jejaring (value-web). Dalam kacamata ekonomi, relasi timbal balik ini akan berpengaruh
pada loyalitas/kekuatan hubungan antara produsen dan konsumen. Tujuan jangka panjang dari
interaksi ini adalah keberlanjutan ekosistem yang terbentuk. Menurut Cedric Thomas (2008),
perbedaan utama dari pendekatan linier dengan ekosistem adalah yang pertama lebih rentan
(karena hanya satu arah) dan berorientasi pada nilai, sedangkan pada pendekatan ekosistem,
relasi yang terbentuk lebih kuat dan berorientasi pada keberlanjutan.
Dalam ekosistem bisnis OSS, produsen saling berkompetisi, namun pada saat yang sama juga
bekerjasama dalam mempertahankan keberlangsungan ekosistem. Tiap perusahaan saling
melengkapi dalam memenuhi kebutuhan pasar dan merupakan pesaing dalam mencari pasar
spesifik. Kondisi dimana aktor-aktor melakukan kompetisi sekaligus kerjasama disebut koopetisi.
Dominator merupakan aktor dalam ekosistem yang karena ukuran dan kekuatannya,
berkembang dengan melakukan efisiensi. Mereka bekerja untuk pemain spesifik tapi hanya
dapat bertahan selama mereka kompetitif. Agar dapat bertahan, perusahaan-perusahaan ini
bekerjasama dengan perusahaan lainnya. Dominator memiliki dana yang cukup untuk
melakukan penelitian dan pengembangan (R&D), namun tidak memiliki insentif untuk membagi
pengetahuan.
Pemain lainnya adalah niche. Pemain tipe ini merupakan yang terbanyak di ekosistem.
Merupakan tidak dominan, terdiri dari organisasi kecil maupun besar, pada umumnya memiliki
101
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
spesifikasi teknologi atau segmen pasar khusus dan berkembang dengan meningkatkan efisiensi
di pasar khusus tersebut. Tipe ini merepresentasikan kreativitas dan perkembangan populasi
dalam ekosistem bisnis. Dalam industri perangkat lunak, perkembangan kelompok ini
ditentukan oleh kemampuan mereka dalam mempengaruhi kebijakan yang disusun oleh pemain
kunci dan menjaga level diferensiasi.
Perbedaan mendasar lainnya antara supply side dengan konsep ekosistem adalah mengenai
relasi yang melibatkan pertukaran uang. Jika pada pendekatan supply side atau ekonomi klasik,
pertukaran nilai diasosiasikan dengan relasi moneter, perkembangan ekosistem bisnis sangat
bergantung pada kualitas dari relasi non-moneter. Interaksi ini menciptakan sesuatu yang tidak
terhitung (intangible) yaitu modal sosial (social capital).
Dalam ekosistem, modal sosial berperan untuk menjaga keberlanjutan melalui penguatan
jejaring, penyamaan norma dan nilai, peningkatan kepercayaan antara tiap aktor sehingga
mampu menciptakan jejaring yang saling menguntungkan dan saling terkoordinasi.
Model ini dipilih karena target akhir yang diharapkan adalah terjadinya kesinambungan
(sustainability) kegiatan penyediaan perangkat lunak OSS terhadap kebutuhan riil perangkat
lunak legal OSS di Indonesia. Melalui keterkaitan supply-demand inilah maka kebutuhan atas
suatu produk dengan ketersediaannya dapat terjadi secara sinkron, seperti layaknya produk-
produk umum lainnya.
Selain aktor-aktor yang terkait langsung dengan OSS, permintaan (demand side) terhadap OSS
juga dipengaruhi oleh ketersediaan perangkat lunak pengganti, khususnya proprietary. Relasi
yang kuat terhadap perangkat lunak proprietary (bajakan) terlihat dari tingginya angka
pembajakan di Indonesia, sebagaimana terlihat pada buku I, yaitu 85% pada tahun 2006, 84%
tahun 2007 dan 85% pada tahun 2008.
Dengan menggunakan model ekonomi, kehadiran barang pengganti (substitute goods) akan
mempengaruhi permintaan terhadap suatu barang. Konsumsi perangkat lunak OSS dan non-OSS
bisa dikonsumsi secara bersamaan dengan proporsi tertentu bergantung pada manfaat yang
ingin dicapai. Dalam relasi aktor, keterkaitan antara penawaran (supply) dan permintaan
(demand) bisa digambarkan dalam Gambar 18 berikut.
102
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
SUPPLY
OSS
DEMAND
PERANGKAT LUNAK
SUPPLY SUPPLY
PROPRIETARY PROPRIETARY
BAJAKAN 17 ASLI
Dari data BSA, kuatnya relasi (direpresentasikan oleh garis kontinu) terlihat dari banyaknya
pengguna perangkat lunak bajakan. Sedangkan untuk perangkat lunak OSS dan propietary (asli)
persentasenya adalah sebesar 15% (direpresentasikan oleh garis putus-putus). Dengan
menggunakan konsep ekonomi mengenai barang pengganti, permintaan suatu barang
dipengaruhi oleh harga dan kualitas barang. Dalam kasus barang pengganti sempurna (perfect
substitute), suatu barang bisa diganti sepenuhnya dengan barang lain. Pada kondisi ini, barang
dengan harga lebih mahal tidak akan mendapatkan permintaan. Salah satu ciri dari pengganti
sempurna adalah adanya rating substitusi marjinal yang konstan. Rating ini merupakan batas di
mana konsumen mau menukarkan suatu barang dengan barang lainnya dengan tetap
mempertahankan tingkat kepuasan yang diinginkan.
Merujuk pada model supply-demand di atas, konsumen perangkat lunak yang mulanya
menggunakan proprietary bajakan akan beralih ke pilihan lainnya jika (1) Pilihan lainnya
memberikan kualitas serupa (perfect substitution); (2) Perangkat lunak bajakan lebih mahal
dibandingkan pilihan lain yang tersedia; (3) Perangkat lunak bajakan hilang dari
peredaran/pasar.
Dari kacamata konsumen, turunan dari ketiga kemungkinan di atas adalah (1) Pengembangan
produk OSS sehingga memiliki aplikasi-aplikasi yang sama kualitasnya dengan propietary
bajakan; (2) Melakukan sweeping terhadap perangkat lunak bajakan sehingga resiko
menggunakan perangkat lunak bajakan menjadi lebih tinggi; dan (3) Melakukan sweeping
sehingga perangkat lunak bajakan tidak lagi tersedia di pasaran. Dalam konteks IGOS,
pengembangan ekosistem OSS akan difokuskan pada kemungkinan (1), yaitu pengembangan
produk OSS yaitu melalui model supply-demand.
103
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
POSS Pengguna
& aplikasi umum
IGOS Center
Unit
Customer Retailer Management
pengadaan
support
Developer
Pengguna
Product aplikasi khusus
maintenance
Secara garis besar, model supply-demand terdiri dari kelompok aktor sebagai berikut:
1. Supply, merupakan aktor-aktor yang mengembangkan atau mendukung produk-produk
OSS.
2. Demand, merupakan aktor-aktor yang menggunakan OSS.
3. Pemerintah, merupakan aktor yang berperan mendukung keterkaitan antara aktor-aktor
di supply dan demand, serta melakukan evaluasi terhadap keberhasilan program-program
yang dilakukan oleh aktor-aktor dalam ekosistem. Pada tahap inisiasi, peran ini dipegang
oleh pemerintah.
7.2.1 SUPPLY
Developer (pengembang), berperan sebagai pihak yang melakukan pengembangan dan
kustomisasi (customisation) perangkat lunak open source yang diperlukan di sisi demand. Peran
pengembang mencakup (Berlecon, 2002):
1. Penulisan kode program sesuai kebutuhan. Pengembangan perangkat lunak bisa
dilakukan dengan mengacu pada standar yang sudah ada ataupun berdasarkan
permintaan khusus. Hal ini mencakup pengembangan perangkat pendukung seperti kode-
kode teknis (bahasa program atau compiler) yang memungkinkan perubahan dan kontrol
dilakukan dengan mudah.
104
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Product Maintenance, aktor ini berperan sebagai pihak yang melakukan pemeliharaan produk
open source yang dihasilkan. Kegiatan yang dilakukan relatif lebih mudah daripada developer.
Mungkin saja orang yang sama berada pada beberapa peran, tetapi terdapat perbedaan tugas
antara developer dan product maintenance ini. Developer biasanya berhenti bekerja saat
sebuah produk selesai dikembangkan dan berstatus stabil, dan untuk pemeliharaan produk
selanjutnya (misal perbaiki bugs, pemberian patches, dan updating) akan dilakukan oleh
product maintenance ini. Dengan kata lain, tugas product maintenance ini adalah selama umur
produk tersebut digunakan sampai muncul produk baru pengganti produk tersebut. Umumnya,
product maintenance dan developer akan membentuk menjadi satu kluster seperti pada
Gambar 20.
105
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Gambar 20. Pembentukan kluster pelaku usaha di sisi supply (minus pemerintah)
Retailer, berperan sebagai layaknya pelaku usaha yang memasarkan produk-produk perangkat
lunak, seperti halnya pada produk perangkat lunak proprietary. Retailer inilah nantinya yang
akan terlibat aktif dalam proses pengadaan di instansi pemerintah ataupun perusahaan swasta,
baik melalui lelang ataupun penujukkan langsung. Dengan dipisahnya aktor developer dan
retailer (marketing), maka dimungkinkan untuk satu produk yang sama dari satu developer akan
didistribusikan oleh tiga atau lebih retailer yang berbeda, sehingga dapat memenuhi aturan
pelelangan yang ada. Karena sifat perangkat lunak open source ini adalah tidak dimiliki oleh
siapapun, dan sering bersifat gratis untuk mendapatkannya, maka retailer ini perlu mengemas
produk open source tersebut bersamaan dengan layanan dukungan yang berbayar. Untuk itu
biasanya retailer dan customer support akan membentuk menjadi sebuah kluster seperti pada
Gambar 20.
Ditilik dari fungsinya, perangkat lunak bisa dibagi menjadi dua yaitu:
106
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Perbedaan langkah-langkah pada aplikasi umum dan khusus berimplikasi pada posisi retailer.
Pada aplikasi umum, sebagaimana terlihat di atas, posisi retailer adalah pasca pengembangan
produk, sedangkan pada aplikasi khusus fungsi retailer dilakukan oleh bagian customer service
(sebagaimana terlihat pada Gambar 20 ketika keduanya membentuk sebuah kluster).
Pusat Open Source (POSS) dan IGOS Center, berperan sebagai unit yang akan membantu proses
sosialisasi suatu produk open source ke masyarakat luas, termasuk ke instansi pemerintahan.
Mekanisme sosialisasinya dapat berupa pengadaan seminar, workshop, training, konsultasi,
sertifikasi suatu produk, sertifikasi pengembang, iklan di media, dan lain sebaginya yang
bertujuan untuk lebih memperkenalkan produk open source dan meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk memanfaatkan open source. Perannya lebih pada layanan publik dan bukan
dalam bentuk perdagangan langsung seperti halnya peran retailer yang memiliki prasyarat
lengkap untuk mengikuti sebuah pelelangan pengadaan produk. Tidak menutup kemungkinan
misalkan, pihak retailer memanfaatkan jasa profesional dari POSS atau IGOS Center sebagai
nara sumber, konsultan, ataupun trainer untuk suatu produk yang akan diimplementasi di
tempat pengguna.
7.2.2 DEMAND
Unit Pengadaan, adalah unit yang melakukan pengadaan produk perangkat lunak. Dalam sudut
pandang unit ini, produk perangkat lunak open source akan diperlakukan tidak berbeda dengan
produk perangkat lunak legal proprietary. Dengan cara ini, maka proses pengadaan produk
open source pun dapat dilakukan dengan proses administrasi yang ada.
Pengguna Aplikasi Umum, adalah aktor yang akan memanfaatkan produk open source ini. Dari
sudut pandang pengguna, aplikasi open source musti tidak berbeda dengan aplikasi proprietary
yang lain. Dengan demikian resistansi pengguna dalam pemanfaatan produk open source dapat
diminimalkan. Aplikasi Umum yang dimaksudkan adalah aplikasi-aplikasi yang banyak
digunakan, tersedia langsung tanpa perlunya proses kustomisasi, misalkan aplikasi Office untuk
kebutuhan pekerjaan rutin seperti wordprocessing, spreadsheet, presentation, ataupun
perangkat bantu pembuat gambar sederhana.
Pengguna Aplikasi Khusus, adalah aktor yang memerlukan aplikasi untuk keperluan khusus.
Biasanya aplikasi ini perlu dikembangkan lebih dulu atau perlu dikustomisasi untuk kebutuhan
khusus dari instansi/unit terkait. Untuk itu, diperlukannya waktu dan proses pengadaan yang
lebih panjang dibandingkan dengan pengadaan untuk Aplikasi Umum. Dalam hal ini, peran
RisTek dan KomInfo dalam mempercepat proses pengadaannya menjadi penting.
107
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Management, peran aktor ini menjadi sangat penting dalam hal menentukan pengadaan
perangkat lunak open source di lingkungannya. Manajemen lah yang harus mengeluarkan
semacam political will dalam pemanfaatan open source baik untuk alasan penghematan
anggaran maupun independensi dari satu jenis produk tertentu (vendor lock-in). Bentuk
kebijakan yang dapat dikeluarkan bisa berupa aturan (spesifikasi) pengadaan dan pemeliharaan
perangkat lunak open source, sosialisasi internal, dan penggunaan standar format file open
source yang berlaku di lingkungannya.
Dalam pelaksanaan Skenario Utama OSS 2010–2014, perlu dibentuk sebuah Steering
Committee yang akan menjaga agar arah pelaksanaan kegiatan sesuai dengan rencana yang
telah digariskan dan juga sebagai wahana untuk koordinasi antar stakeholder dalam Skenario
Utama ini. Anggota dari Steering Committee ini antara lain adalah wakil dari RisTek dan KomInfo
selaku penggagas dan pelaksana program, wakil dari pihak calon pengguna seperti Kementerian
PAN, Departemen Dalam Negeri, Pemerintah daerah, atau instansi lain yang akan menjadi
pengguna produk open source, wakil dari pihak pengembang baik dari institusi penelitian,
pendidikan, maupun pengembang swasta (independen), dan wakil dari asosiasi pelaku usaha
yang nantinya akan berperan aktif sebagai pemasok produk open source tersebut. Jenis-jenis
kebijakan, program, dan insentif yang relevan dengan sasarannya perlu ditentukan oleh
Steering Committee ini dan disalurkan sesuai dengan targetnya seperti pada Gambar 21.
RisTek selaku departemen yang umumnya lebih mendukung pada sisi Supply dari kebutuhan
atas perangkat lunak open source ini dapat tetap melakukan program insentif yang selama ini
telah dilakukan, dengan tentunya memberikan prioritas pada pengembangan perangkat lunak
open source yang diperlukan oleh pihak pengguna, dalam hal ini instansi pemerintah pusat dan
daerah. Gambar 22 menggambarkan peran RisTek dalam memberikan insentif ke dua aktor di
sisi Supply yaitu pihak pengembang (developer) dan POSS/IGOS Center.
Karena sifatnya dari perangkat lunak open source yang tidak dimiliki oleh siapapun, bebas, dan
sering dapat diadakan dengan murah atau gratis, maka peran dari RisTek dalam mendukung
proses pengembangan perangkat lunak open source ini menjadi sangat penting. Dalam proses
pemasarannya nanti, pihak retailer harus mengemas produk tersebut bersamaan dengan
layanan dukungan, proses instalasi, training, konsultasi, dan sebagainya sehingga proses
pengadaannya di sisi pengguna tetap dapat mengikuti prosedur yang sama dengan pengadaan
perangkat lunak legal proprietary. Developer akan mendapatkan insentif pengembangan dari
dana publik melalui pemerintah (RisTek atau KomInfo). Untuk proses kustomisasi yang lebih
khusus untuk pengguna tertentu, insentif bisa didapatkan melalui mekanisme pengadaan
produk sepertinya layaknya proses kustomisasi produk proprietary. Yang membedakan antara
pengadaan produk open source dengan proprietary ini adalah seolah-olah biaya “lisensi” dari
108
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
produk perangkat lunak open source tersebut sudah dibayar oleh pemerintah dan menjadi milik
“publik”, dengan melalui insentif-insentif yang diberikan di sisi Supply.
109
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Peran POSS dan IGOS Center adalah lebih pada layanan publik, walaupun tidak menutup
kemungkinan adanya kerjasama profesional antara pelaku usaha dengan pihak-pihak yang
terlibat di POSS dan IGOS Center. Untuk menjalankan program-program sosialisasi yang bersifat
publik, maka insentif dari pemerintah (dalam hal ini RisTek dan KomInfo) masih tetap
diperlukan. Insentif ini dapat diberikan dalam bentuk pendanaan untuk pelaksanaan program
sosialisasi yang telah direncanakan oleh Steering Committee, guna mendukung pencapaian
sasaran dan target-target yang sudah ditentukan serta mengelola repositori OSS dari proyek-
proyek OSS untuk instansi pemerintah.
Pengawasan dan Evaluasi. Satu hal lagi yang perlu dilaksanakan oleh Steering Committee
adalah memantau pelaksanaan program-program tersebut. Proses monitoring dan evaluasi
bukan hanya di sisi supply saja tapi juga secara keseluruhan. Untuk itu diperlukannya
penentuan tolok ukur keberhasilan program-program tersebut dan upaya untuk mengumpulkan
informasi dan data dari sumber primer selain dari sumber sekunder seperti yang selama ini
sudah dilakukan.
110
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
BAB 8
STRATEGI PENGEMBANGAN OSS
Model supply-demand pada bab sebelumnya mengimplikasikan perlu adanya relasi antara
beragam aktor yang berbeda untuk mendukung kesinambungan perkembangan OSS di
Indonesia. Sebagai pemain kunci, pengaruh pemerintah dalam pengembangan OSS di Indonesia
adalah melalui instrumen regulasi, program dan pemberian insentif. Adapun relasi antara
instrumen pemerintah dengan kuat/lemahnya pengaruh dan berimplikasi pada keterhitungan
bisa dilihat pada matriks sebagai berikut:
Dalam konteks pengembangan supply side dan demand side, perbedaan level keterhitungan
berimplikasi pada strategi yang sebaiknya digunakan. Pada institusi pemerintah/pemerintah
daerah misalnya, jumlah demand terhadap OSS bisa diketahui dengan melihat banyaknya
jumlah PC dan laptop yang ada, serta jenis aplikasi yang digunakan. Namun di balik potensi
permintaan tersebut, terdapat iterasi antara Ristek, pemerintah daerah dan komunitas OSS
dalam menentukan bagaimana proses migrasi bisa dilakukan. Hal-hal inilah yang menyebabkan
proses migrasi bersifat spesifik. Di sisi supply perhitungannya bahkan lebih kompleks. Merujuk
pada kasus migrasi di Aceh Tengah, keberhasilan migrasi dipengaruhi oleh keberadaan
komunitas Open Source yang keberadaannya di Aceh berkembang pasca Tsunami tahun 2005.
Hal yang menjadi pertanyaan pada proses migrasi ini adalah jika produk OSS yang digunakan
dalam migrasi bisa digunakan berulang kali, apakah program bagi pengembang (developer)
harus mendapatkan prioritas dalam program IGOS? Sebaliknya, jika pengembang tidak menjadi
prioritas, apakah dinamika komunitas OSS akan terus berkembang?
111
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
POSS 7 Pengguna
& aplikasi umum
IGOS Center 12
2 10
1 4 9 Unit 11
Customer Retailer Management
3 pengadaan
support
14
Developer 8 15
6 Pengguna
Product aplikasi khusus
5 maintenance
112
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
66
http://oss.airputih.or.id/2009/01/sosialisasi-dan-migrasi-pada-program-sosialisasi-open-source-dan-pengembangan-
helpdesk-di-nad-dan-diy/#more-17
113
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
2. Memorandum of Understanding
Tahapan Memorandum of Understanding (MOU) merupakan proses yang penting untuk
dilakukan pada langkah pertama. Program ini harus mendapat dukungan dari jajaran
teratas (pimpinan) dari lembaga yang bersangkutan. Selain itu program ini bisa dilakukan
dengan tugas dan tanggungjawab yang jelas.
3. Assessment
Ini adalah langkah yang paling penting. Tahap ini bisa memakan waktu lama. Tapi,
rencana yang baik dan tepat akan meminimalkan masalah pada saat eksekusi.
Pada tahapan ini, yang perlu dilakukan adalah :
a. Mengumpulkan informasi spesifikasi komputer yang akan dimigrasi. Spesifikasi ini
nantinya akan dicek kembali apakah sudah didukung oleh distribusi linux yang ada.
b. Melakukan percobaan distribusi GNU/Linux dengan menjalankan LiveCD.
c. Mengumpulkan informasi tentang format dokumen paket Office yang digunakan.
d. Mengumpulkan informasi perangkat lunak beserta lisensinya.
e. Mengumpulkan informasi tentang device lokal seperti printer, scanner dan lainnya.
f. Mengumpulkan informasi tentang arsitektur jaringan.
g. Membuat rencana teknis migrasi diantaranya schedule, backup data, prioritas
komputer yang akan dimigrasi.
h. Tim akan membuat pengumuman ke pengguna secara berkala, sekaligus
menjelaskan sistem baru secara umum dan mendetail pada saat training.
i. Menentukan komputer yang yang akan dimigrasi. Penentuan ini disesuaikan dengan
dukungan distribusi linux (spesifikasi dan perangkat lunak), permintaan dari
lembaga.
j. Informasi kemampuan sumber daya manusia dalam penggunaan perangkat lunak.
Rencana teknis migrasi membantu memberikan gambaran detail mengenai langkah-
langkah teknis dan hasil yang diharapkan dari program migrasi. Program ini menjadi
nyata ketika rencana teknis migrasi telah dibuat. Rencana teknis migrasi harus
disampaikan dan diketahui oleh penanggungjawab lembaga yang akan dimigrasi. Dengan
demikian, maka sasaran yang akan dituju oleh program migrasi ini menjadi jelas dan
tetap. Tidak berubah-ubah lagi.
4. Migrasi
Pekerjaan migrasi itu sendiri harus dilakukan secara bertahap. Ini akan mempermudah
manajemen migrasi, dan meminimalkan potensi masalah.
Melakukan proses migrasi menggunakan FOSS sesuai dengan rencana teknis migrasi yang
disusun oleh tim assessment. Memastikan semua data, email dan semua pengaturan
lainnya termasuk printer berjalan dengan baik. Membuat dokumentasi proses migrasi
secara lengkap dan detail.
5. Pendampingan
a. Selama 3 bulan melakukan pelatihan dan pendampingan kepada pengguna setelah
proses migrasi selesai dilakukan.
b. Membantu tim migrasi selama proses migrasi.
c. Pendekomentasian selama proses pendampingan.
114
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
d. Hasil evaluasi dan pertanyaan yang sering diajukan oleh pengguna, akan ditampilkan
dalam online helpdesk. Sehingga, helpdesk ini akan menjadi sebuah knowledge base
yang lengkap.
e. Menyusun dokumentasi proses migrasi mulai awal sampai dengan selesai.
Harapannya dokumentasi ini bisa diadopsi oleh wilayah lain yang akan melakukan
proses migrasi.
Kegiatan Migrasi FOSS di Aceh Tengah diawali dengan Sosialisasi pada bulan Februari 2009 dan
pendataan awal pada bulan Maret 2009. Sedangkan proses migrasinya sendiri dimulai pada
bulan April sampai dengan Juni 2009. Adapun tim yang terlibat langsung dalam proses migrasi
adalah:
1. Yayasan AirPutih : Koordinator Umum 1 orang, Tim Pendamping 2 orang
2. Ubuntu Aceh : Tim Sosialisasi 1 orang
3. KPLI Aceh : Tim Assesment 4 orang
4. Pelita : Tim Migrasi 13 orang
Untuk melihat bagaimana langkah-langkah migrasi diterapkan, berikut ini adalah kronologis
migrasi yang dilakukan di Aceh Tengah:
1. 3 April 2008, presentasi hasil pendataan awal yang dilakukan oleh Kementerian Riset dan
Teknologi.
2. 4 Juli 2008, sosialisasi open source dan pengembangan help desk di Takengon, Aceh
Tengah oleh Yayasan Air Putih. Peserta yang hadir sebanyak 50 peserta dari 36 lembaga.
Adapun kesepakatan tindak lanjut dari pertemuan tersebut adalah sebagai berikut:
a. BAPPEDA Kabupaten Aceh Tengah mewajibkan kepada seluruh dinas pemerintahan
untuk menggunakan open source sebagai perangkat lunak yang halal. Dan BAPPEDA
bersedia untuk mengkoordinir pelatihan dan sosialisasi open source pada
pemerintahan di Kabupaten Aceh Tengah. BAPPEDA juga akan membantu
mempermudah birokrasi untuk berjalannya program kedepan.
b. Pengetahuan tentang open source (lisensi dan cara penggunaannya) belum merata,
untuk itu perlu dilakukan sosialisasi dan pelatihan kepada pengguna.
c. Besarnya minat untuk menggunakan perangkat lunak open source, sebagai solusi
dari data yang hilang karena virus.
d. Tersampaikannya paparan tahapan program seperti sosialisasi, assessment, migrasi,
pendampingan dan pelatihan.
e. SMKN 1 Takengon bersedia dijadikan pilot project migrasi
f. Perlu adanya helpdesk di Takengon untuk memudahkan pengguna
g. PIC Yayasan AirPutih, Faisal Sahib, Jl. T. Iskandar No. 8 Simpang BPKP Lambhuuk
Banda Aceh Telpon 0651 21304. PIC BAPPEDA Kabupaten Aceh Tengah, Zulfikar
Ahmad Telpon 0643 21153, Jl. Pahlawan No 737 Takengon.
3. 4 Desember 2008, Deputi Bidang Pendayagunaan dan Pemanfaatan Iptek Kementerian
Ristek mengeluarkan Surat Pengantar Sosialisasi dan Migrasi OSS yang ditujukan kepada
115
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Gubernur NAD, Walikota Lhokseumawe, Bupati Aceh Jaya, Bupati Aceh Tengah. Gubernur
DI Yogyakarta, Walikota Yogyakarta dan Bupati Gunung Kidul. Surat tersebut berisi
informasi mengenai migrasi dan pelatihan yang akan dilakukan oleh Yayasan AirPutih,
YPLI, CRI, KPLI Yogyakarta, POSS UGM, KPLI Aceh, Bungker dan POSS Unsyiah dan
didukung oleh Kementerian Ristek.
4. 23 Desember 2008, Bupati Aceh Tengah mengeluarkan Surat Pengantar Sosialisasi dan
Migrasi Open Source yang ditujukan kepada Menteri Negara Ristek c.q Deputi Bidang
Pendayagunaan dan Pemanfaatan Iptek. Surat tersebut menyatakan dukungan kepada
program migrasi penggunaan piranti lunak legal berbasis open source, dengan
persyaratan migrasi tersebut tidak mengganggu kegiatan administrasi penyelenggaraan
pemerintah daerah, aman dan bebas masalah. Selain itu karena keterbatasan anggaran,
Pemda juga membutuhkan program pendampingan dalam melakukan migrasi melalui
pembentukan help desk proses migrasi OSS.
5. 27 Januari 2009, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah mengeluarkan surat kepada
Yayasan Air Putih perihal Surat pengantar Sosialisasi dan Migrasi Open Source. Surat
tersebut menyatakan keinginan pemkab untuk menggunakan perangkat lunak OS dan
mengharapkan kesediaan Yayasan Air Putih untuk membantu proses migrasi tersebut.
6. 5 Februari 2009, Yayasan Air Putih mengeluarkan surat No. 001.04/AP.NAD/OSS/II/2009
perihal surat dukungan migrasi OSS. Surat tersebut menyatakan permohonan dukungan
dari Bupati Aceh Tengah untuk menindaklanjuti Program Sosialisasi Penggunaan Software
Legal berbasis OSS yang telah dilaksanakan pada bulan Juli 2008 dalam proses sebagai
berikut:
a. Pendataan spesifikasi perangkat terhadap lembaga/instansi yang telah tersedia
untuk dilakukan migrasi.
b. Penyusunan tahapan migrasi.
c. Pelaksanaan asistensi terhadap lembaga/instansi yang telah melakukan proses
migrasi.
d. Pembentukan helpdesk lokal.
Kronologi tersebut sesuai dengan tahap-tahap yang dirancang oleh Yayasan Air Putih dalam
proses migrasi. Dari proses tersebut, hasil yang diperoleh secara umum adalah jumlah komputer
di kantor-kantor yang dimigrasi, prosentasi migrasi dan keaktifannya. Perincian hasil migrasi ini
ditampilkan pada Tabel 18.
116
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Total Keaktifan
No. Kantor Dinas Migrasi % Keterangan
PC Operator
1 Dishub 11 10 90,91 1 PC untuk software absensi Aktif
Pertanian, Peternakan,
2 14 12 85,71 Pasif
Perikanan
3 Kec. Kebayakan 4 3 75,00 1 PC untuk software absensi Aktif
4 Penyuluhan 6 4 66,67 2 laptop Pasif
5 Satpol PP 3 2 66,67 1 PC untuk software absensi Aktif
1 rusak,
6 Dinsos 10 6 60,00 Aktif
1 PC untuk software absensi
1 komputer di rumah camat,
7 Kec. Lut Tawar 5 3 60,00 Pasif
1 komputer aplikasi keuangan
8 Koperindag & ESDM 11 6 54,55 Pasif
9 Setdakab 34 18 52,94 Sangat Pasif
10 Satu Pintu 7 3 42,86 Pasif
11 Inspektorat 7 3 42,86 Pasif
12 Perkebunan & Kehutanan 15 5 33,33 Pasif
13 Kec. Bebesan 4 1 25,00 Pasif
14 Dikjar 26 6 23,08 1 komputer kembali ke Windows Aktif
15 Kesbanglinmas 5 1 20,00 Sangat Pasif
16 DPRK 11 2 18,18 Sangat Pasif
17 BKPP 14 2 14,29 Pasif
18 BPMPKB 8 1 12,50 4 PC kembali ke windows Pasif
67
Yayasan Air Putih, Laporan Akhir Proses Migrasi Open Source Software Aceh Tengah, 2009
117
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
5. Kantor Dinas PU tidak mau dimigrasikan karena menggunakan AutoCAD yang hanya ada
di sistem operasi MS Windows.
6. Kantor Dinas Kependudukan tidak bisa dimigrasikan karena seluruh komputernya
terdapat aplikasi Kartu Tanda Penduduk yang membutuhkan sistem operasi MS Windows.
7. Kantor Dinas Keuangan tidak bisa dimigrasikan karena seluruh komputernya terdapat
aplikasi Simakda, PAKD, yang membutuhkan sistem operasi MS Windows.
Dari hasil diatas, Tim Migrasi dari AirPutih dan Komunitas Pelita menyimpulkan bahwa Kantor
Dishubbudparpora, Kecamatan Kebayakan, Satpol PP dan Dinas Sosial dapat menunjukkan
keaktifan mengikuti kegiatan migrasi dan aktif dalam kegiatan pendampingan seperti sering
berdiskusi tentang hal-hal yang ditemui atau ingin mempelajari sesuatu yang baru.
68
Ibid.
69
Ibid.
118
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Kesimpulan
1. Kesadaran pegawai tentang program migrasi Open Source perlu ditingkatkan.
2. Pelatihan untuk pegawai Kantor Dinas perlu ditingkatkan.
3. Masih banyak komputer Kantor Dinas yang tidak dimigrasi seluruhnya karena menunggu
kesiapan pengguna.
4. Keaktifan operator komputer di kantor-kantor pemerintah untuk menghadiri pertemuan di
hari Sabtu masih rendah.
5. Sebagian besar Pegawai Kantor Dinas belum mengerti cara menggunakan OpenOffice.
119
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
SUPPLY
PROPRIETARY
SUPPLY 17 ASLI
PROPRIETARY
BAJAKAN 3
2 Pengguna
POSS aplikasi umum
KPLI
Hivos Management
1
Pengguna
YAP aplikasi khusus
YPLI
4 PEMERINTAH 5
17
120
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
khususnya agar bisa terhindar dari virus. Sedangkan faktor penghalang adalah
pengetahuan mengenai OSS masih belum merata.
Di level nasional, penguatan jejaring untuk menggunakan OSS juga dituangkan dalam
Deklarasi IGOS II yang melibatkan 18 Departemen.
SUPPLY
PROPRIETARY
SUPPLY 17 ASLI
PROPRIETARY
BAJAKAN 3
2 Pengguna
POSS aplikasi umum
KPLI
Hivos Management
1
Pengguna
YAP aplikasi khusus
YPLI
4 PEMERINTAH 5
17
121
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
SUPPLY
PROPRIETARY
SUPPLY 17 ASLI
PROPRIETARY
BAJAKAN 3
2 Pengguna
POSS aplikasi umum
KPLI
Hivos Management
1
Pengguna
YAP aplikasi khusus
YPLI
4 PEMERINTAH 5
17
Pada tahap ini pemerintah melalui Kementerian Ristek melakukan pendataan awal
mengenai kebutuhan perangkat lunak di lingkungan pemerintah daerah. Selanjutnya
Yayasan Air Putih (YAP) melakukan sosialisasi dan pengembangan help desk pada instansi
pemerintah daerah. Hasil dari sosialisasi tersebut adalah Bappeda 'mewajibkan' seluruh
instansi menggunakan oss sebagai perangkat lunak yang halal. Dari hasil sosialisasi
tersebut terungkap bahwa peserta acara menyambut rencana migrasi ini dengan baik,
khususnya agar bisa terhindar dari virus. Sedangkan faktor penghalang adalah
pengetahuan mengenai OSS masih belum merata.
Di level nasional, penguatan jejaring untuk menggunakan OSS juga dituangkan dalam
Deklarasi IGOS II yang melibatkan 18 Departemen.
4. Fase Pasca Migrasi
Pada fase ini keterlibatan pemerintah pada kelompok supply OSS mulai berkurang
(direpresentasikan dengan garis putus-putus pada garis (4)). Berkurangnya keterlibatan
ini sesuai dengan skema pengembangan POSS yang dirancang hanya memperoleh
bantuan dari pemerintah selama 2 tahun, kemudian dievaluasi kembali. Adanya batas
waktu ini ditujukan agar daerah lain bisa memperoleh manfaat sama dari daerah-daerah
yang sudah mendapat program POSS. Perubahan lain dari fase sebelumnya adalah
kehadiran aktor Pengguna Linux Aceh Tengah (Pelita) di sisi supply OSS.
Untuk keberlanjutan OSS, dilakukan proses transfer pengetahuan kepada komunitas lokal
dalam pengelolaan help desk dan disarankan setidaknya setiap kantor memiliki staf
khusus yang menangani masalah teknologi informasi. Adanya transfer pengetahuan ini
mengindikasikan kemandirian pengembang lokal Aceh sebagai suatu unit tersendiri.
Pada kasus migrasi di Aceh Tengah, YAP memulai dengan membentuk komunitas lokal
yaitu Pelita. YAP memberikan pelatihan-pelatihan secara kontinyu kepada Pelita
mencakup pelibatan dalam proses migrasi di pemerintahan Aceh Tengah sejak awal.
122
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Pelibatan ini ditujukan agar sumber daya manusia lokal telah upgrade kemampuan dan
siap untuk memberikan dukungan selanjutnya.
SUPPLY
PROPRIETARY
SUPPLY 17 ASLI
PROPRIETARY
BAJAKAN 3
2 Pengguna
POSS aplikasi umum
4 PEMERINTAH 5
17
Helpdesk disusun bersama-sama dengan pemerintah kabupaten Aceh Tengah. Dibuat call
center dan beberapa personal dari Pelita untuk bertugas secara bergiliran. Proses ini
dilakukan sampai dengan September 2009. Sampai pemerintah Aceh Tengah bisa mandiri
secara teknis dan pembiayaan dengan melibatkan Universitas Gajah Putih (UGP), tempat
komunitas Pelita bernaung.
Tujuan utama transfer pengetahuan adalah meningkatkan kemampuan. Manfaatnya
adalah biaya yang dikeluarkan lebih kecil dibandingkan menggunakan sumber daya
manusia dari luar daerah.
70
http://techno.okezone.com/read/2009/07/22/325/240951/menpan-berjasa-tingkatkan-pamor-open-source
123
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Selain dukungan dari top management, diperlukan “dukungan dari pimpinan ini harus didukung
pula oleh seluruh staf dengan keseriusan mengikuti proses migrasi. Mulai sosialisasi, pelatihan,
pendampingan sampai dengan pemahaman manfaat penggunaan perangkat lunak open source
(PLOS), tim migrasi yang sabar dan ulet, dan adanya sosialisasi, pelatihan, pembentukan hep
desk, dan pendampingan”, ujar Imron Fauzi.71
Dengan demikian strategi untuk instansi pemerintah/pemerintah daerah bisa diklasifikasi dalam
kuadran pada Gambar 28.
+ Teknis
II I
+
Sosio
III IV
1. Kuadran I, menunjukan relasi sosio-teknis positif. Hal ini menunjukan dukungan top
manajemen (sosio) dan keberadaan komunitas pendukung OSS (teknis). Rekomendasi
untuk instansi/daerah yang ada di kuadran ini adalah melakukan migrasi ke OSS.
2. Kuadran II, belum mendapatkan dukungan dari top manajemen tapi memiliki komunitas
OSS. Program pengembangan OSS untuk instansi/daerah yang berada di kuadran ini
adalah melakukan sosialisasi ke top manajemen.
3. Kuadran III, belum ada dukungan pengembangan OSS dari top manajemen maupun
komunitas. Rekomendasi bagi instansi/daerah yang berada di Kuadran III adalah
sosialisasi ke top manajemen (sisi demand) dan penguatan komunitas OSS (sisi supply).
4. Kuadran IV, mendapatkan dukungan dari top manajemen tapi belum ada komunitas OSS
pendukung. Rekomendasi bagi instansi/daerah yang berada di kuadran ini adalah
penguatan komunitas OSS baik melalu program POSS, SUCP maupun program insentif
lainnya.
71
Wawancara via email, 18 Agustus 2009.
124
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
mengembangkan perangkat lunak yang akan mendorong kemampuan dan kemandirian. Untuk
mencapai hal tersebut, Kementerian Ristek dan komunitas open source Indonesia menggelar
roadshow ke SMA dan setingkatnya. Materi yang diajarkan selama roadshow ini antara lain:
OpenOffice Word, OpenOffice Spreadsheet, OpenOffice Presentation, GIMP, InkSpace, dan
internet (Wajanbolic, Blog, Wiki, Facebook).
Selain sebagai konsumen, open source memungkinkan pengunanya untuk mengubah kode dan
melakukan pengembangan. Agar bisa sampai pada tahap ini, sektor pendidikan berperan dalam
pengembangan kurikulum yang mendorong kemampuan siswa dalam mengembangkan
perangkat lunak.
Upaya peningkatan sisi permintaan terlihat dari dikeluarkannya Kurikulum 2006 (Kurikulum
Satuan Tingkat Pendidikan) sebagai penyempurnaan Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis
Kompetensi) yang menjadikan Teknologi Informasi dan Komunikasi sebagai salah satu
kompetensi yang diajarkan. Untuk mendukung pelajaran tersebut, Departemen Pendidikan
Nasional telah meluncurkan buku Teknologi Informasi Komunikasi untuk SMA/MA berbasis FOSS
(Free/Open Source Software). Buku yang diterbitkan oleh Kementerian Negara Riset dan
Teknologi ini terdiri dari 6 judul sesuai dengan kelas dan semester. Buku kelas X semester I
membahas sistem operasi komputer dan berbagai aplikasi komputer, sementara buku kelas X
semester II membahas aplikasi pengolah kata. Buku kelas XI semester I membahas internet,
sementara buku kelas XI semester II membahas pengolah angka atau lembar kerja
(spreadsheet). Buku kelas XII semester I membahas program untuk desain grafis, termasuk
pengolah gambat bitmap dan vektor. Buku kelas XII semester II membahas program presentasi.
Selain kemampuan teknis, kurikulum baru tersebut juga mengajarkan materi etika dalam
menggunakan teknologi informasi dan UU Hak Cipta. Materi ini akan mereduksi pilihan untuk
menggunakan perangkat lunak gratis melalui pembajakan.
Untuk mendorong penggunaan open source, siswa-siswi SMA juga memperoleh informasi
mengenai open source dari sosialisasi yang dilakukan oleh Pusat Pendayagunaan Open Source
(POSS) dan Ristek.
125
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
ekosistem OSS secara keseluruhan. Hal yang perlu diperhatikan dalam menjamin
keberlangsungan ini adalah keterkaitannya dengan sektor-sektor lain, dan bagaimana aktor-
aktor di sektor lain menunjang peningkatan baik di sisi permintaan maupun penawaran.
Dengan melihat kondisi di atas, program pengembangan ekosistem OSS di sektor pendidikan
bisa dikelompokkan sebagai berikut:
1. Pengembangan sisi penawaran dengan segmentasi siswa/siswi SMK, perguruan tinggi,
dan POSS mencakup distro, jasa, konsultasi dan pelatihan. Adapun program-programnya
adalah sebagai berikut:
a. Revitalisasi peran ICT Center yang telah diinisiasi sejak tahun 2004 di SMK TIK untuk
mendukung keberlangsungan penggunaan open source di kalangan instansi
pemerintah daerah.
b. Pengembangan kurikulum/riset OSS di perguruan tinggi.
2. Pengembangan sisi permintaan melalui:
a. Sosialisasi ke SMA/MA oleh POSS
b. Adopsi kurikulum TIK berbasis OSS
Agar program-program di atas dapat berjalan secara kontinu diperlukan penguatan jejaring
antara:
1. ICT Center yang berada di bawah koordinasi Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah
Kejuruan dengan Pemerintah Daerah setempat.
2. POSS dengan SMA/SMA.
3. Kementerian Ristek dengan Departemen Pendidikan Nasional.
TELKOM sebagai salah satu BUMN dan perusahaan besar yang saat ini menjadi salah satu role
model bagi perusahaan lain di Indonesia ingin lebih berperan dalam mendorong terealisasinya
program IGOS. TELKOM telah manfaatkan OSS sebagai solusi bisnis, lanjutnya, karena OSS
memiliki karakteristik tertentu yang tidak diperoleh dari software propietary, antara lain tidak
ada keharusan membayar fee dan lisensi yg bersifat publik atau General Public License (GPL).
Menurut Indra Utoyo, Direktur TI PT Telkom, yang menjadi pertimbangan untuk migrasi ke OSS
adalah “yang pertama adalah aspek kemudahan penggunaan oleh user. Kedua, kompatibilitas
atau dukungan terhadap hardware dan infrastruktur yang telah digunakan oleh Telkom. Ketiga,
kesesuaian terhadap format dokumen. Dan yang terakhir, tingkat kematangan solusi OSS yang
diadopsi.”
126
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
127
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
2. Manageability yang berarti bahwa software harus dapat dikelola sehingga mendukung
business process perusahaan.
3. Compatibility dalam arti software dapat bekerja pada beberapa lingkungan sistem operasi
yang saat ini dimiliki oleh perusahaan.
4. Security atau keamanan menjadi isu penting sebab menyangkut stabilitas perusahaan.
5. Supportability, bilamana terjadi masalah dengan software yang bersangkutan,
perusahaan dapat memperoleh up-grade patchs untuk improvement atau bentuk support
lainnya.
Hasil studi yang melibatkan responden 5 dari 8 perusahaan telekomunikasi seluler di Indonesia,
2 bank BUMN, 1 bank swasta nasional dengan jumlah komputer antara 3.000–25.000 unit dan
satu penyedia layanan komunikasi satelit tersebut menunjukan resistensi untuk migrasi ke
perangkat lunak terbuka disebabkan oleh:
1. Minimnya perangkat pendukung (kack of supportability)
2. Minimnya aplikasi pendukung (lack of content; custom application)
3. Pengguna tidak terbiasa dengan perangkat terbuka (not familiar USER’s interface)
4. Kinerja rendah (low performance)
5. Ketersediaan driver pendukung (driver availability)
6. Kontinuitas perusahaan penyedia jasa perangkat lunak.
Dari penelitian SBM dan PPTIK ITB diperoleh beberapa kriteria untuk pemilihan penyedia jasa
oleh beberapa perusahaan yang menjadi uji petik sebagai berikut72:
Validity and reputation dari suatu perusahaan open source ataupun produk open source
sangat diperhitungkan dalam memilih apakah open source tersebut akan dijadikan pilihan
perusahaan calon pengguna atau tidak.
Line and size of business dari calon perusahaan pengguna open source pastinya akan
memilih jenis software ataupun aplikasi yang sesuai dan sanggup menunjang operasional
bisnisnya.
Ability to give solutions dari para perusahaan/produk open source harus dikuatkan apabila
open source ingin digunakan sebagai basic software/aplikasi oleh para perusahaan calon
pengguna open source.
After sales supports harus ada dan memiliki pilihan yang cukup bagi perusahaan calon
pengguna open source untuk menjadi obat penenang para manajer IT.
Partnership model yang baik antara perusahaan open source, konsultan dan calon
pengguna harus dibentuk sedemikian rupa agar menjadi bisnis yang menguntungkan dan
menjadikan open source sebagai pilihan yang bijak.
72
Rianov, et.al.
128
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
aktor yang berbeda. Untuk melihat relasi antara aktor-aktor di sektor swasta, klasifikasi aktor
bisa dilihat dalam kuadran-kuadran dalam Gambar 29.
+ Supply
II I
+
Demand
III IV
129
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
BAB 9
PROGRAM DAN INSENTIF
Berbeda dengan pendekatan Skenario Utama OSS periode 2004–2009 yang dilakukan secara
bertahap dan berkesinambungan, program-program yang disusun dalam Skenario Utama OSS
periode 2010–2014 menggunakan pendekatan paralel dengan berorientasi pada target.
1. Sektor pemerintahan memiliki mayor untuk mendukung sisi demand melalui instrumen
regulasi serta program-program pendukung proses migrasi di institusi pemerintah,
sosialisasi dan infrastruktur pendukung. Dan minor untuk mendukung sisi supply melalui
pemberian insentif kepada pengembang, selain pengembangan yang dilakukan oleh
Lembaga Penelitian Non Departemen (LPND). Adapun masalah pembagian wewenang
antara Departemen, Kementerian maupun institusi dikoordinasikan melalui Steering
Committee IGOS.
2. Sektor pendidikan memiliki mayor untuk mendukung sisi supply melalui penyediaan
layanan pendukung OSS di daerah melalui jejaring SMK TIK/ICT Center. Dan minor untuk
mendukung sisi demad melalui program sosialiasi yang dilakukan oleh pemerintah.
3. Sektor swasta memiliki mayor untuk mendukung sisi demand melalui kebutuhan
perangkat lunak untuk mendukung aktivitas produksi. Untuk mendukung hal ini,
program IGOS diarahkan agar dapat menjawab kebutuhan sktor swasta, baik melalui
kustomisasi kode maupun peningkatan kinerja OSS secara umum untuk mendukung
interoperabilitas. Minor dari sektor ini terlihat dari perusahaan-perusahaan pengembang
OSS dan memperoleh pemasukan dari usaha ini.
4. Sektor kesehatan memiliki mayor di sisi demand melalui kebutuhan perangkat lunak
untuk mendukung kinerja pelayanan kesehatan masyarakat.
130
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
9.1.1 SUPPLY
Target untuk Pengembang (Developer):
Peningkatan jumlah perusahaan pengembang: SUCP
Penyerapan tenaga kerja TIK yang bekerja di bidangnya
Peningkatan jenis aplikasi: SUCP dan insentif
Pengembangan kurikulum OSS di perguruan tinggi/SMK
Penguatan/peningkatan SDM OSS melalui code jam, pelatihan, sertifikasi pengembang
OSS Maturity: sertifikasi produk
Pengembangan aplikasi-aplikasi yang dibutuhkan oleh instansi pemerintah
Dokumentasi kegiatan developer dalam repositori yang bisa diakses oleh publik
9.1.2 DEMAND
Target untuk Pengguna aplikasi umum & khusus:
Peningkatan pengguna aplikasi umum dan khusus
131
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
132
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
133
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
IGOS 2010–2014 dilaksanakan melalui tahapan sesuai klasifikasi aktor pemerintah dan swasta
(non-pemerintah) sebagaimana telah disinggung dalam Bab 2.
Adapun program IGOS di sektor pemerintah berdasarkan Kuadran Sosio-Teknis (Gambar 28)
adalah sebagai berikut:
Kuadran I (sosio dan teknis positif)
Program assessment
Program migrasi (gelombang I)
Program pendampingan (gelombang I)
Kuadran II (sosio negatif, teknis positif)
Program sosialisasi kepada instansi pemerintah
Program assessment
Program migrasi (gelombang II)
Program pendampingan (gelombang II)
Kuadran III (sosio dan teknis negatif)
Program insentif bagi pengembangan produk OSS
Program POSS dan IGOS Center
Program SUCP
Program sosialisasi kepada instansi pemerintah
Program assessment
Program migrasi (gelombang II)
Program pendampingan (gelombang II)
Kuadran IV (sosio positif, teknis negatif)
Program assessment
Program migrasi (gelombang II)
Program pendampingan (gelombang II)
Program insentif bagi pengembangan produk OSS
Program POSS dan IGOS Center
Program SUCP
Agar terjadi kesinambungan antara demand dan supply, sekaligus tetap memacu kreativitas
programmer dalam pengembangan produk, insentif yang diberikan dibagi menjadi dua kategori
yaitu:
1. Berorientasi demand, produk yang dikembangkan melalui program ini sesuai dengan
kebutuhan pasar yang diketahui dari assessment.
2. Berorientasi supply, produk yang dikembangkan melalui program ini lebih bersifat
eksperimental dan ditujukan untuk merangsang kreativitas komunitas OSS di Indonesia.
Untuk pengembangan ekosistem OSS di sektor swasta program IGOS dirancang berdasarkan
Kuadran supply-demand (Gambar 29) sebagai berikut:
Kuadran I (supply dan demand positif)
Program sosialiasi (success story)
134
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Sedangkan program yang ditujukan untuk mendorong terjadinya peningkatan interaksi aktor-
aktor dalam ekosistem OSS adalah sebagai berikut:
Program repositori yang mendokumentasikan semua kegiatan IGOS
Penguatan peran AOSI dan asosiasi open source lainnya
9.3.1 DEMAND I
Daerah/instansi/perusahaan yang sudah mendapatkan dukungan dari top management untuk
melakukan migrasi. Pendekatan program IGOS bagi kelompok ini dibagi menjadi tahap-tahap
berikut:
1. Assessment
Kegiatan yang dibutuhkan pada tahap ini mengadopsi kerangka Yayasan Air Putih, yaitu:
Mengumpulkan informasi spesifikasi komputer yang akan dimigrasi. Spesifikasi
ini nantinya akan dicek kembali apakah sudah didukung oleh distribusi linux
yang ada.
Melakukan percobaan distribusi GNU/Linux dengan menjalankan CD Live.
Mengumpulkan informasi tentang format dokumen paket Office yang digunakan
Mengumpulkan informasi perangkat lunak beserta lisensinya.
Mengumpulkan informasi tentang device lokal seperti printer, scanner dan
lainnya.
Mengumpulkan informasi tentang arsitektur jaringan
Membuat rencana teknis migrasi diantaranya schedulle, backup data, prioritas
komputer yang akan dimigrasi.
Membuat pengumuman ke pengguna secara berkala, sekaligus menjelaskan
sistem baru secara umum dan mendetail pada saat training.
Menentukan komputer yang yang akan dimigrasi. Penentuan ini disesuaikan
dengan dukungan distribusi linux (spesifikasi dan perangkat lunak), permintaan
dari lembaga.
135
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
136
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
9.3.2 DEMAND II
Daerah/instansi/perusahaan yang belum mendapatkan dukungan dari top management untuk
melakukan migrasi. Pendekatan program IGOS bagi kelompok ini dibagi menjadi tahap-tahap
berikut:
1. Sosialisasi, mencakup pendekatan ke instansi pemerintah maupun swasta untuk
memperoleh pernyataan komitmen dari top management untuk mendukung penggunaan
OSS.
2. Assessment Gelombang II
3. Migrasi Gelombang II
4. Pendampingan Gelombang II
5. Lelang Gelombang II
9.3.4 SUPPLY
Perusahaan/pihak yang mengembangkan produk atau jasa OSS. Pendekatan program IGOS bagi
kelompok ini adalah sebagai berikut:
1. Produk
a. Program SUCP/insentif berbasis permintaan pasar (market driven), dengan kegiatan-
kegiatan sebagai berikut:
Pelaksanaan penelitian/pengembangan aplikasi-aplikasi khusus yang sudah
dilelangkan (atau ditunjuk seandainya aplikasi tersebut sudah pernah
dikembangkan tapi perlu proses kustomisasi sesuai TOR/RS).
137
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Pelaksanaan uji coba aplikasi yang sudah dikembangkan pada lingkup terbatas
(semacam pilot project). Uji coba aplikasi sudah termasuk dalam kegiatan
selama 10 bulan pengembangan aplikasi tersebut.
Sosialisasi produk aplikasi yang sudah dikembangkan kepada pihak pemerintah
pusat dan daerah.
Sosialiasi produk aplikasi yang sudah dikembangkan kepada pihak-pihak dalam
ekosistem pendukung.
b. Program SUCP/insentif berorientasi pengembangan (supply driven) yang meliputi:
Sistem operasi (Linux, Solaris, dll) termasuk aplikasi utility
Bahasa pemograman (development tools)
Aplikasi desktop (office suite), yang meliputi aplikasi pengolahan kata (writer),
spreadsheet, presentasi, dan database
Aplikasi server, jaringan dan internet
Aplikasi enterprise, yang meliputi aplikasi e-gov, e-bussiness, e-learning dan e-
health
Aplikasi security termasuk anti virus, anti spam
Aplikasi entertainment (game dan animasi)
Aplikasi multimedia dan grafis
Aplikasi SIG (Sistem Informasi Goegrafis)
Aplikasi clustering (sistem dukungan keputusan, sistem pakar, sistem simulasi
dan komputasi)
c. Peningkatan kemampuan pengembang, mencakup kegiatan sebagai berikut:
Pengembangan pusat-pusat pelatihan dan pendidikan SDM bidang OSS
Kurikulum OSS untuk pendidikan, baik untuk tingkat SMK, D1, maupun S1,
sesuai dengan kebutuhan (mengacu pada program yang telah berjalan di
Meruvian, Univ. Gunadarma, dll).
Program Training for Trainers
Coding competition
Sertifikasi SDM bagi pengembang
d. OSS maturity, mencakup:
Standardisasi
Dokumentasi, baik source code maupun permasalahan sosio-teknis di lapangan.
2. Jasa
a. Program kerjasama untuk melakukan migrasi, mencakup:
Proses instalasi
Training
Dukungan purna jual
Pemeliharaan produk aplikasi tersebut
b. Peningkatan jasa pendukung OSS, mencakup:
Meningkatkan seat management/penjual PC atau laptop berbasis OSS
Peningkatan kinerja helpdesk OSS Nasional
138
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
9.3.5 JEJARING
Penguatan jejaring antara aktor-aktor supply dan demand: Berbeda dengan 3 kelompok lainnya
yang perkembangannya berorientasi pada waktu (horizontal), peran yang banyak dimainkan
oleh pemerintah (IGOS steering committee) ini berorientasi pada bagaimana aktor-aktor dalam
waktu tertentu saling berinteraksi (vertikal). Sebagai mediator aktor-aktor dalam ekosistem OSS,
pemerintah berperan untuk merancang program IGOS sekaligus menjalankan peran merancang
kebijakan yang dapat mengaitkan aktor-aktor di sisi supply dengan demand, antara lain melalui
mekanisme lelang (mencakup unsur legal teknis dari keterlibatan OSS dalam lelang), memenuhi
kebutuhan aplikasi khusus di daerah/instansi dengan mekanisme SUCP atau program insentif,
menyelenggarakan pameran produk OSS, peningkatan kesadaran masyarakat mengenai OSS,
POSS dan IGOS Center serta melakukan monitoring dan evaluasi.
Dengan demikian kegiatan yang dilakukan pemerintah terkait langsung dengan kegiatan yang
dilakukan oleh aktor-aktor di sisi supply dan demand, sebagai berikut:
1. Pemasaran aplikasi khusus, dengan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a. Pembentukan ekosistem pendukung untuk memasarkan produk aplikasi tersebut ke
pemerintah pusat dan daerah, baik untuk produk aplikasi umum yang sudah tersedia
maupun yang sedang dikembangkan/dikustomisasi
b. Pengukuran kemajuan kegiatan pengembangan produk aplikasi (monitoring dan
evaluasi)
c. Pengukuran kegiatan difusi produk di pemerintah pusat dan daerah (monitoring dan
evaluasi).
2. POSS dan IGOS Center, dengan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a. Pelatihan OSS
b. Pelayanan informasi/konsultasi OSS
c. Menyediakan/mengembangkan produk OSS
3. Peningkatan kegiatan dalam forum maya
4. Pengawasan dan evaluasi
139
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
2. Menambahkan variabel-variabel terkait OSS dalam survei yang dilakukan oleh BPPT
(TIKometer).
3. Melakukan kajian atas data yang sudah tersedia, untuk melihat relevansinya dengan
target IGOS dan kondisi industri TIK di tanah air.
4. Melakukan pengukuran terhadap perkembangan ekosistem OSS di Indonesia.
Untuk mendorong kesuksesan IGOS Tahap II, Roadmap yang disusun oleh Ristek
memperhatikan model yang disusun oleh Depkominfo. Oleh karena itu, dalam kerangka sinergi
program dan kegiatan, kegiatan-kegiatan di atas akan ditransformasikan mengikuti Strategi
Pencapaian yang dikembangkan oleh Depkominfo sebagai berikut73:
73
Departemen Komunikasi dan Informasi, Roadmap Perangkat Lunak Sistem Terbuka / FOSS Indonesia, Versi Draft 1.0
140
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
74
Departemen Komunikasi dan Informasi, Op cit. Dengan tambahan (diwarnai biru)
75
Departemen Komunikasi dan Informasi menggunakan istilah ID FOSS untuk institusi/badan yang memiliki peran serupa
dengan Steering Committee OSS
141
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Penanggung
Area Program Kerja Deskripsi
Jawab
Penyusunan Kebijakan yang akan disusun ditujukan untuk menumbuhkan
kebijakan untuk dan menguatkan industri software. Berikut ini adalah di
menciptakan dan antara kebijakan yang akan disusun dan ditetapkan (tapi
menguatkan tidak terbatas pada):
industri • Kebijakan peningkatan kematangan industri perangkat
perangkat lunak lunak Indonesia - Kebijakan ini ditujukan untuk
berbasis FOSS meningkatkan kepercayaan diri adopsi FOSS oleh lembaga-
lembaga pemerintahan dalam jangka pendek dan sektor
swasta pada jangka panjang. Depperin telah melakukan
kajian tentang KIPI (Kematangan Industri Perangkat Lunak
Indonesia) yang mengadopsi CMMI, yang ditujukan untuk
mengukur tingkat kematangan perusahaan-perusahaan
penyedia perangkat lunak atau jasa terkait dengannya.
• Sertifikasi perusahaan dalam manajemen mutu dan proses
pengembangan produk perangkat lunak (standar nasional
berdasarkan perundang-undangan yang berlaku)
• Kebijakan industri terkait peningkatan kualitas perusahaan
TIK Nasional dengan standarisasi kematangan manajemen
yang akan menjadi jaminan bagi Lembaga Pemerintah atau
Swasta yang akan menggunakan produk atau layanannya
Penyusunan Kebijakan yang akan disusun ditujukan untuk menumbuhkan PJ Utama: RISTEK
kebijakan insentif dan menguatkan riset dan pengembangan. Berikut ini PJ Pendukung:
riset dan adalah di antara kebijakan yang akan disusun dan Depkominfo
pengembangan ditetapkan (tapi tidak terbatas pada):
produk FOSS • Kebijakan terkait peran serta perusahaan milik negara
dalam pendanaan riset dan pengembangan produk FOSS
yang terkait langsung atau tidak langsung dengan layanan
bisnisnya
• Insentif pengembangan produk FOSS yang nantinya akan
digunakan oleh Lembaga Pemerintahan, Swasta, atau
Masyarakat
Awareness dan Penyelenggaraan Annual IGOS Summit 2010 diselenggarakan sebagai forum PJ Utama:
Promosi Annual IGOS sharing pengetahuan dan pengalaman implementasi FOSS Depkominfo
Summit di lembaga pemerintahan dan lembaga pendidikan di PJ Pendukung:
Indonesia. Forum ini juga dapat digunakan untuk melakukan RISTEK, Depperin,
adjustment terhadap perencanaan yang telah dilakukan Depdagri
sebelumnya.
Penyelenggaraan Program ini ditujukan untuk memberikan apresiasi kepada PJ Utama:
IGOS Award institusi yang telah mengimplementasikan FOSS. Untuk Depkominfo
tahun 2010, awards diberikan kepada: PJ Pendukung:
• Lembaga pemerintahan di tingkat departemen, propinsi RISTEK, Depdagri,
dan kabupaten/kota Depdiknas
• Perguruan tinggi
• Sekolah menengah umum/kejuruan
• Pemenang untuk Coding Competition
• Produk-produk FOSS
Penyelenggaraan IGOS Award ini juga merilis ranking
implementasi FOSS khususnya di lembaga pemerintahan.
Roadshow IGOS Program ini ditujukan untuk meningkatkan awareness dan PJ Utama: ID-
ke Lembaga sosialisasi tentang perkembangan FOSS terkini. Pelaksanaan FOSS,
Pemerintahan, program dapat bekerjasama dengan berbagai FOSS Support Depkominfo
Pendidikan, Center yang tersebar di berbagai daerah. PJ Pendukung:
Kesehatan, UKM Kriteria pemilihan lokasi program adalah keberadaan RISTEK
dan Industri dukungan komunitas untuk daerah bersangkutan.
Kreatif
Pendataan kebutuhan aplikasi dan kemampuan pengguna di PJ Utama: ID-
lingkungan pemerintah pusat/daerah yang sudah FOSS, RISTEK
mendapatkan dukungan top management PJ Pendukung:
Depkominfo
Pengembangan Training FOSS Training FOSS diperuntukkan bagi Staff TI di lembaga PJ Utama: RISTEK
SDM pemerintahan, perguruan tinggi atau masyarakat umum PJ Pendukung:
Pelaksanaan training dapat bekerjasama dengan lembaga Depkominfo
penyedia training yang telah berpengalaman sebelumnya.
Jumlah training dan sebaran lokasi training ditentukan
kemudian sesuai dengan kebutuhan. Prioritas utama
diberikan kepada staf TI pemerintahan untuk mempercepat
implementasi FOSS di lembaga pemerintahan.
142
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Penanggung
Area Program Kerja Deskripsi
Jawab
Sertifikasi FOSS Sertifikasi FOSS diperuntukkan untuk memberikan credential PJ Utama: RISTEK
bagi personel TI yang akan mengimplementasikan FOSS di PJ Pendukung:
Indonesia, baik di lembaga pemerintahan atau pun di Depkominfo
tempat lainnya. Prioritas utama diberikan kepada staf TI
pemerintahan untuk mempercepat implementasi FOSS di
lembaga pemerintahan.
Sertifikasi Sertifikasi perangkat keras ramah OSS ditujukan untuk PJ Utama: ID-
perangkat keras meningkatkan kepercayaan konsumen agar mau FOSS, RISTEK
ramah OSS menggunakan OSS yang memperoleh dukungan dari PJ Pendukung:
perangkat keras. Pada tahun pertama, program ini Depkominfo
diarahkan untuk persiapan program yang melibatkan
penyiapan situs untuk daftar perangkat keras yang ramah
OSS, SOP untuk melakukan uji kompabilitas, stiker
sertifikasi, dan koordinasi dengan instansi terkait
Riset dan Insentif Program ini memberikan insentif bagi penelitian untuk PJ Utama: RISTEK
Pengembangan pengembangan menghasilkan produk-produk FOSS prioritas untuk lembaga PJ Pendukung:
solusi FOSS untuk pemerintahan. Depkominfo
Lembaga
Pemerintahan Kategorisasi aplikasi dan penyusunan prioritas aplikasi yang
dibutuhkan.
Penyusunan Requirement Specification (RS) dari aplikasi-
aplikasi yang akan dikembangkan sesuai dengan prioritas
Pengumpulan data dan informasi terkait ketersediaan
aplikasi yang dibutuhkan, apakah sudah tersedia (siap
didifusikan), masih perlu kustomisasi, atau perlu
dikembangkan
Penyusunan TOR dari RS yang disusun untuk melakukan
lelang penelitian/pengembangan Top Down dari aplikasi-
aplikasi yang belum tersedia atau perlu kustomisasi
Insentif Program ini memberikan insentif bagi penelitian untuk PJ Utama: RISTEK
pengembangan menghasilkan produk-produk FOSS prioritas untuk lembaga PJ Pendukung:
solusi FOSS untuk kesehatan. Depkominfo
Lembaga
Kesehatan Prioritas program untuk tahun pertama adalah PJ Utama: RISTEK
pengembangan roadmap rekam medis nasional, dan PJ Pendukung:
pengembangan roadmap manajemen bencana nasional. Depkominfo
Insentif Program ini memberikan insentif bagi penelitian untuk PJ Utama: RISTEK
pengembangan menghasilkan produk-produk FOSS prioritas untuk UKM. PJ Pendukung:
solusi FOSS untuk Depkominfo
UKM
Insentif Penguatan komunitas OSS lokal untuk mendukung PJ Utama: RISTEK
pengembangan keberlanjutan OSS di daerah & Diknas
IGOS Center, PJ Pendukung:
POSS & ICT Depkominfo
Center/SMK TIK
Pengembangan kurikulum pendidikan OSS di tingkat SMK PJ Utama: Diknas
dan D1 untuk mendukung penguatan komunitas lokal PJ Pendukung:
RISTEK &
Depkominfo
Insentif Pengembangan jasa OSS untuk menjamin after sales PJ Utama: RISTEK
pengembangan supports
industri
perangkat lunak Pengembangan produk/perusahaan OSS dengan program
berbasis OSS insentif/SUCP
Inkubasi Industri Pembentukan Program ini meneruskan dan menguatkan program yang PJ Utama:
Cluster Industri telah dilakukan sebelumnya oleh Depkominfo untuk Depkominfo
TIK menumbuhkan perusahaan-perusahaan baru bergerak PJ Pendukung:
khususnya di FOSS. RISTEK, Depperin
143
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Penanggung
Area Program Kerja Deskripsi
Jawab
Implementasi Insentif Migrasi Program kerja ini ditujukan untuk mempercepat proses PJ Utama:
Lembaga migrasi khususnya di Lembaga Pemerintahan. Dalam Depkominfo
Pemerintahan pelaksanaan migrasi, dapat dijalankan mekanisme PJ Pendukung:
Tahap I kerjasama dengan pihak ketiga yang telah berpengalaman Depdagri
dalam kegiatan sejenis sebelumnya.
Kegiatan migrasi ini dilakukan di tingkat departemen,
propinsi, dan kabupaten/kota, dengan proporsi dan sebaran
disesuaikan dengan ketersediaan sumberdaya.
Lembaga yang dipilih sebagai prioritas adalah lembaga yang
memiliki dukungan manajemen dan didukung oleh
keberadaan komunitas di daerah terkait.
144
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Penanggung
Area Program Kerja Deskripsi
Jawab
Sertifikasi FOSS Sertifikasi FOSS diperuntukkan untuk memberikan credential PJ Utama: ID-
bagi personel TI yang akan mengimplementasikan FOSS di FOSS, RISTEK
Indonesia, baik di lembaga pemerintahan atau pun di PJ Pendukung:
tempat lainnya. Prioritas utama diberikan kepada staf TI Depkominfo
pemerintahan untuk mempercepat implementasi FOSS di
lembaga pemerintahan.
Sertifikasi Sertifikasi perangkat keras ramah OSS ditujukan untuk PJ Utama: ID-
perangkat keras meningkatkan kepercayaan konsumen agar mau FOSS, RISTEK
ramah OSS menggunakan OSS yang memperoleh dukungan dari PJ Pendukung:
perangkat keras. Pada tahun kedua, program ini diarahkan Depkominfo
untuk pengembangan dan pengelolaan situs perangkat
keras yang kompatibel dengan OSS, termasuk proses
sosialisasinya
Riset dan Insentif Program ini memberikan insentif bagi penelitian untuk PJ Utama: RISTEK
Pengembangan pengembangan menghasilkan produk-produk FOSS prioritas untuk lembaga PJ Pendukung:
solusi FOSS untuk pemerintahan. Depkominfo
Lembaga
Pemerintahan Pengadaan produk aplikasi umum atau aplikasi yang sudah
tersedia di lingkungan pemerintah pusat dan daerah
Pelaksanaan uji coba aplikasi yang sudah dikembangkan
pada lingkup terbatas
Pelaksanaan penelitian/pengembangan aplikasi-aplikasi
yang sudah dilelangkan (atau ditunjuk seandainya aplikasi
tersebut sudah pernah dikembangkan tapi perlu proses
kustomisasi sesuai TOR/RS).
Penyusunan TOR untuk melakukan lelang
penelitian/pengembangan Top Down dari aplikasi-aplikasi
yang belum tersedia atau perlu kustomisasi untuk
dikembangkan pada tahun 2012.
Insentif Program ini memberikan insentif bagi penelitian untuk PJ Utama: RISTEK
pengembangan menghasilkan produk-produk FOSS prioritas untuk lembaga PJ Pendukung:
solusi FOSS untuk kesehatan. Depkominfo
Lembaga
Kesehatan Prioritas program untuk tahun pertama adalah PJ Utama: RISTEK
pengembangan kerangka aplikasi generik sistem informasi PJ Pendukung:
kesehatan, sistem manajemen wabah, serta modul-modul Depkominfo
penunjang sistem rekam medis nasional dan sistem
manajemen bencana nasional.
Insentif Program ini memberikan insentif bagi penelitian untuk PJ Utama: RISTEK
pengembangan menghasilkan produk-produk FOSS prioritas untuk UKM. PJ Pendukung:
solusi FOSS untuk Depkominfo
UKM
Insentif Program ini memberikan insentif bagi pusat yang PJ Utama: RISTEK
pengembangan memberikan layanan jasa pendukung OSS & Diknas
IGOS Center, PJ Pendukung:
POSS & ICT Depkominfo
Center/SMK TIK
Pengembangan kurikulum pendidikan OSS di tingkat S1 PJ Utama: Diknas
untuk mendukung penguatan komunitas lokal PJ Pendukung:
RISTEK &
Depkominfo
Insentif Pengembangan jasa OSS untuk menjamin after sales PJ Utama: RISTEK
pengembangan supports
industri
perangkat lunak Pengembangan produk/perusahaan OSS dengan program
berbasis OSS insentif/SUCP
Inkubasi Industri Pembentukan Program ini meneruskan dan menguatkan program yang PJ Utama:
Cluster Industri telah dilakukan sebelumnya oleh Depkominfo untuk Depkominfo
TIK menumbuhkan perusahaan-perusahaan baru bergerak PJ Pendukung:
khususnya di FOSS. RISTEK, Depperin
Peningkatan Program ini merupakan pelatihan dan pendampingan PJ Utama:ID-
Tingkat kepada komunitas industri perangkat lunak, khususnya yang FOSS,
Kematangan bergerak di FOSS, untuk mendapatkan sertifikat tingkat Depkominfo
Industri kematangan industri sofrtware. PJ Pendukung:
Perangkat Lunak Depperin, RISTEK
Indonesia
145
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Penanggung
Area Program Kerja Deskripsi
Jawab
Implementasi Insentif Migrasi Program kerja ini ditujukan untuk mempercepat proses PJ Utama: ID-
Lembaga migrasi khususnya di Lembaga Pemerintahan. Dalam FOSS,
Pemerintahan pelaksanaan migrasi, dapat dijalankan mekanisme Depkominfo
kerjasama dengan pihak ketiga yang telah berpengalaman PJ Pendukung:
dalam kegiatan sejenis sebelumnya. Depdagri
Kegiatan migrasi ini dilakukan di tingkat departemen,
propinsi, dan kabupaten/kota, dengan proporsi dan sebaran
disesuaikan dengan ketersediaan sumberdaya.
Insentif Migrasi Program kerja ini ditujukan untuk mempercepat proses PJ Utama: ID-
Dunia Kesehatan migrasi di Lembaga penyelenggara layanan kesehatan FOSS,
khususnya rumah sakit percontohan. Dalam pelaksanaan Depkominfo
migrasi, dapat dijalankan mekanisme kerjasama dengan PJ Pendukung:
pihak ketiga yang telah berpengalaman dalam kegiatan Depkes
sejenis sebelumnya.
Kegiatan migrasi ini dilakukan dengan proporsi dan sebaran
disesuaikan dengan ketersediaan sumberdaya. Pemilihan
Rumah Sakit Percontohan berdasarkan kecukupan dukungan
top management dan keberadaan dukungan komunitas di
lokasi terkait.
Insentif Migrasi Program kerja ini ditujukan untuk mempercepat proses PJ Utama: ID-
Sektor UKM migrasi di UKM percontohan. Dalam pelaksanaan migrasi, FOSS,
dapat dijalankan mekanisme kerjasama dengan pihak ketiga Depkominfo
yang telah berpengalaman dalam kegiatan sejenis PJ Pendukung:
sebelumnya. Depkes
Kegiatan migrasi ini dilakukan dengan proporsi dan sebaran
disesuaikan dengan ketersediaan sumberdaya. Pemilihan
UKM Percontohan berdasarkan analisa sektor UKM prioritas
dan keberadaan dukungan komunitas di lokasi terkait.
146
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Penanggung
Area Program Kerja Deskripsi
Jawab
Pengembangan Training FOSS Training FOSS diperuntukkan bagi Staff TI di lembaga PJ Utama: ID-
SDM pemerintahan, perguruan tinggi atau masyarakat umum. FOSS, RISTEK
Pelaksanaan training dapat bekerjasama dengan lembaga PJ Pendukung:
penyedia training yang telah berpengalaman sebelumnya. Depkominfo
Jumlah training dan sebaran lokasi training ditentukan
kemudian sesuai dengan kebutuhan. Prioritas utama
diberikan kepada staf TI pemerintahan untuk mempercepat
implementasi FOSS di lembaga pemerintahan.
Sertifikasi FOSS Sertifikasi FOSS diperuntukkan untuk memberikan credential PJ Utama: ID-
bagi personel TI yang akan mengimplementasikan FOSS di FOSS, RISTEK
Indonesia, baik di lembaga pemerintahan atau pun di PJ Pendukung:
tempat lainnya. Prioritas utama diberikan kepada staf TI Depkominfo
pemerintahan untuk mempercepat implementasi FOSS di
lembaga pemerintahan.
Sertifikasi Sertifikasi perangkat keras ramah OSS ditujukan untuk PJ Utama: ID-
perangkat keras meningkatkan kepercayaan konsumen agar mau FOSS, RISTEK
ramah OSS menggunakan OSS yang memperoleh dukungan dari PJ Pendukung:
perangkat keras. Pada tahun ketiga, program ini diarahkan Depkominfo
pada training SOP bagi pusat-pusat yang memiliki OSS
Compatibility Test, mencakup sertifikasi penguji.
Riset dan Insentif Program ini memberikan insentif bagi penelitian untuk PJ Utama: RISTEK
Pengembangan pengembangan menghasilkan produk-produk FOSS prioritas untuk lembaga PJ Pendukung:
solusi FOSS untuk pemerintahan. Depkominfo
Lembaga
Pemerintahan Pelaksanaan penelitian/pengembangan aplikasi-aplikasi
yang sudah dilelangkan (atau ditunjuk seandainya aplikasi
tersebut sudah pernah dikembangkan tapi perlu proses
kustomisasi sesuai TOR/RS)
Insentif Program ini memberikan insentif bagi penelitian untuk PJ Utama: RISTEK
pengembangan menghasilkan produk-produk FOSS prioritas untuk lembaga PJ Pendukung:
solusi FOSS untuk kesehatan. Depkominfo
Lembaga
Kesehatan
Insentif Program ini memberikan insentif bagi penelitian untuk PJ Utama: RISTEK
pengembangan menghasilkan produk-produk FOSS prioritas untuk UKM. PJ Pendukung:
solusi FOSS untuk Depkominfo
UKM
Insentif Program ini memberikan insentif bagi penelitian untuk PJ Utama: RISTEK
pengembangan menghasilkan produk-produk FOSS prioritas untuk industri PJ Pendukung:
solusi FOSS untuk kreatif Depkominfo
Industri Kreatif
Insentif Program ini memberikan insentif bagi pusat yang PJ Utama: RISTEK
pengembangan memberikan layanan jasa pendukung OSS & Diknas
IGOS Center, PJ Pendukung:
POSS & ICT Depkominfo
Center/SMK TIK
Insentif Pengembangan produk/perusahaan OSS dengan program
pengembangan insentif/SUCP PJ Utama: RISTEK
industri
perangkat lunak Pengembangan OSS untuk menunjang kompatibilitas
berbasis OSS dengan perangkat keras
Inkubasi Industri Pembentukan Program ini meneruskan dan menguatkan program yang PJ Utama:
Cluster Industri telah dilakukan sebelumnya oleh Depkominfo untuk Depkominfo
TIK menumbuhkan perusahaan-perusahaan baru bergerak PJ Pendukung:
khususnya di FOSS. RISTEK, Depperin
Peningkatan Program ini merupakan pelatihan dan pendampingan PJ Utama:ID-
Tingkat kepada komunitas industri perangkat lunak, khususnya yang FOSS,
Kematangan bergerak di FOSS, untuk mendapatkan sertifikat tingkat Depkominfo
Industri kematangan industri sofrtware. PJ Pendukung:
Perangkat Lunak Depperin, RISTEK
Indonesia
147
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Penanggung
Area Program Kerja Deskripsi
Jawab
Implementasi Insentif Migrasi Program kerja ini ditujukan untuk mempercepat proses PJ Utama: ID-
Lembaga migrasi khususnya di Lembaga Pemerintahan. Dalam FOSS,
Pemerintahan pelaksanaan migrasi, dapat dijalankan mekanisme Depkominfo
kerjasama dengan pihak ketiga yang telah berpengalaman PJ Pendukung:
dalam kegiatan sejenis sebelumnya. Depdagri
Kegiatan migrasi ini dilakukan di tingkat departemen,
propinsi, dan kabupaten/kota, dengan proporsi dan sebaran
disesuaikan dengan ketersediaan sumberdaya.
Insentif Migrasi Program kerja ini ditujukan untuk mempercepat proses PJ Utama: ID-
Dunia Kesehatan migrasi di Lembaga penyelenggara layanan kesehatan FOSS,
khususnya rumah sakit percontohan. Dalam pelaksanaan Depkominfo
migrasi, dapat dijalankan mekanisme kerjasama dengan PJ Pendukung:
pihak ketiga yang telah berpengalaman dalam kegiatan Depkes
sejenis sebelumnya.
Kegiatan migrasi ini dilakukan dengan proporsi dan sebaran
disesuaikan dengan ketersediaan sumberdaya. Pemilihan
Rumah Sakit Percontohan berdasarkan kecukupan dukungan
top management dan keberadaan dukungan komunitas di
lokasi terkait.
Insentif Migrasi Program kerja ini ditujukan untuk mempercepat proses PJ Utama: ID-
Sektor UKM migrasi di UKM percontohan. Dalam pelaksanaan migrasi, FOSS,
dapat dijalankan mekanisme kerjasama dengan pihak ketiga Depkominfo
yang telah berpengalaman dalam kegiatan sejenis PJ Pendukung:
sebelumnya. Depkes
Kegiatan migrasi ini dilakukan dengan proporsi dan sebaran
disesuaikan dengan ketersediaan sumberdaya. Pemilihan
UKM Percontohan berdasarkan analisa sektor UKM prioritas
dan keberadaan dukungan komunitas di lokasi terkait.
Insentif Migrasi Program kerja ini ditujukan untuk mempercepat proses PJ Utama: ID-
Sektor Industri migrasi di Industri Kreatif percontohan. Dalam pelaksanaan FOSS,
Kreatif migrasi, dapat dijalankan mekanisme kerjasama dengan Depkominfo
pihak ketiga yang telah berpengalaman dalam kegiatan PJ Pendukung:
sejenis sebelumnya. Depkes
Kegiatan migrasi ini dilakukan dengan proporsi dan sebaran
disesuaikan dengan ketersediaan sumberdaya. Pemilihan
Industri Kreatif prioritas dilakukan berdasarkan analisa
potensi bisnis segmen terkait dan derajat ketergantungan
dengan solusi proprietary yang belum terjangkau.
148
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Penanggung
Area Program Kerja Deskripsi
Jawab
Penyelenggaraan Program ini ditujukan untuk memberikan apresiasi kepada PJ Utama: ID-
IGOS Award institusi yang telah mengimplementasikan FOSS. Awards FOSS,
diberikan kepada: Depkominfo
• Lembaga pemerintahan di tingkat departemen, propinsi PJ Pendukung:
dan kabupaten/kota RISTEK, Depdagri,
• Perguruan tinggi dan Sekolah menengah umum/kejuruan Depdiknas
• Pemenang Coding Competition
• Produk FOSS terbaik di berbagai bidang
• UKM percontohan yang mengimplementasikan FOSS
• Rumah sakit percontohan yang mengimplementasikan
FOSS
• Perusahaan software nasional percontohan yang telah
berhasil memasarkan produk dan jasanya secara luas di luar
negeri
Roadshow IGOS Program ini ditujukan untuk meningkatkan awareness dan PJ Utama: ID-
ke Lembaga sosialisasi tentang perkembangan FOSS terkini. Pelaksanaan FOSS,
Pemerintahan, program dapat bekerjasama dengan berbagai FOSS Support Depkominfo
Pendidikan, Center yang tersebar di berbagai daerah. PJ Pendukung:
Kesehatan, UKM Kriteria pemilihan lokasi program adalah keberadaan RISTEK
dan Industri dukungan komunitas untuk daerah bersangkutan.
Kreatif
Pendataan kebutuhan aplikasi untuk mendukung kebutuhan PJ Utama: RISTEK
TIK lokal
Pengembangan Training FOSS Training FOSS diperuntukkan bagi Staff TI di lembaga PJ Utama: ID-
SDM pemerintahan, perguruan tinggi atau masyarakat umum. FOSS, RISTEK
Pelaksanaan training dapat bekerjasama dengan lembaga PJ Pendukung:
penyedia training yang telah berpengalaman sebelumnya. Depkominfo
Jumlah training dan sebaran lokasi training ditentukan
kemudian sesuai dengan kebutuhan. Prioritas utama
diberikan kepada staf TI pemerintahan untuk mempercepat
implementasi FOSS di lembaga pemerintahan.
Sertifikasi FOSS Sertifikasi FOSS diperuntukkan untuk memberikan credential PJ Utama: ID-
bagi personel TI yang akan mengimplementasikan FOSS di FOSS, RISTEK
Indonesia, baik di lembaga pemerintahan atau pun di PJ Pendukung:
tempat lainnya. Prioritas utama diberikan kepada staf TI Depkominfo
pemerintahan untuk mempercepat implementasi FOSS di
lembaga pemerintahan.
Sertifikasi Sertifikasi perangkat keras ramah OSS ditujukan untuk PJ Utama: ID-
perangkat keras meningkatkan kepercayaan konsumen agar mau FOSS, RISTEK
ramah OSS menggunakan OSS yang memperoleh dukungan dari PJ Pendukung:
perangkat keras. Pada tahun keempat sertifikasi ini Depkominfo
diarahkan untuk penguatan badan koordinasi (steering
committee atau ID FOSS) sekaligus pembaharuan data
secara rutin
Riset dan Insentif Program ini memberikan insentif bagi penelitian untuk PJ Utama: RISTEK
Pengembangan pengembangan menghasilkan produk-produk FOSS prioritas untuk lembaga PJ Pendukung:
solusi FOSS untuk kesehatan. Depkominfo
Lembaga
Kesehatan
Insentif Program ini memberikan insentif bagi penelitian untuk PJ Utama: RISTEK
pengembangan menghasilkan produk-produk FOSS prioritas untuk UKM. PJ Pendukung:
solusi FOSS untuk Depkominfo
UKM
Insentif Program ini memberikan insentif bagi penelitian untuk PJ Utama: RISTEK
pengembangan menghasilkan produk-produk FOSS prioritas untuk industri PJ Pendukung:
solusi FOSS untuk kreatif Depkominfo
Industri Kreatif
Insentif Program ini memberikan insentif bagi pusat yang PJ Utama: RISTEK
pengembangan memberikan layanan jasa pendukung OSS & Diknas
IGOS Center, PJ Pendukung:
POSS & ICT Depkominfo
Center/SMK TIK
Inkubasi Industri Pembentukan Program ini meneruskan dan menguatkan program yang PJ Utama:
Cluster Industri telah dilakukan sebelumnya oleh Depkominfo untuk Depkominfo
TIK menumbuhkan perusahaan-perusahaan baru bergerak PJ Pendukung:
khususnya di FOSS. RISTEK, Depperin
149
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Penanggung
Area Program Kerja Deskripsi
Jawab
Peningkatan Program ini merupakan pelatihan dan pendampingan PJ Utama:ID-
Tingkat kepada komunitas industri perangkat lunak, khususnya yang FOSS,
Kematangan bergerak di FOSS, untuk mendapatkan sertifikat tingkat Depkominfo
Industri kematangan industri sofrtware. PJ Pendukung:
Perangkat Lunak Depperin, RISTEK
Indonesia
Implementasi Insentif Migrasi Program kerja ini ditujukan untuk mempercepat proses PJ Utama: ID-
Dunia Kesehatan migrasi di Lembaga penyelenggara layanan kesehatan FOSS,
khususnya rumah sakit percontohan. Dalam pelaksanaan Depkominfo
migrasi, dapat dijalankan mekanisme kerjasama dengan PJ Pendukung:
pihak ketiga yang telah berpengalaman dalam kegiatan Depkes
sejenis sebelumnya.
Kegiatan migrasi ini dilakukan dengan proporsi dan sebaran
disesuaikan dengan ketersediaan sumberdaya. Pemilihan
Rumah Sakit Percontohan berdasarkan kecukupan dukungan
top management dan keberadaan dukungan komunitas di
lokasi terkait.
Insentif Migrasi Program kerja ini ditujukan untuk mempercepat proses PJ Utama: ID-
Sektor UKM migrasi di UKM percontohan. Dalam pelaksanaan migrasi, FOSS,
dapat dijalankan mekanisme kerjasama dengan pihak ketiga Depkominfo
yang telah berpengalaman dalam kegiatan sejenis PJ Pendukung:
sebelumnya. Depkes
Kegiatan migrasi ini dilakukan dengan proporsi dan sebaran
disesuaikan dengan ketersediaan sumberdaya. Pemilihan
UKM Percontohan berdasarkan analisa sektor UKM prioritas
dan keberadaan dukungan komunitas di lokasi terkait.
Insentif Migrasi Program kerja ini ditujukan untuk mempercepat proses PJ Utama: ID-
Sektor Industri migrasi di Industri Kreatif percontohan. Dalam pelaksanaan FOSS,
Kreatif migrasi, dapat dijalankan mekanisme kerjasama dengan Depkominfo
pihak ketiga yang telah berpengalaman dalam kegiatan PJ Pendukung:
sejenis sebelumnya. Depkes
Kegiatan migrasi ini dilakukan dengan proporsi dan sebaran
disesuaikan dengan ketersediaan sumberdaya. Pemilihan
Industri Kreatif prioritas dilakukan berdasarkan analisa
potensi bisnis segmen terkait dan derajat ketergantungan
dengan solusi proprietary yang belum terjangkau.
150
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Penanggung
Area Program Kerja Deskripsi
Jawab
Roadshow IGOS Program ini ditujukan untuk meningkatkan awareness dan PJ Utama: ID-
ke Lembaga sosialisasi tentang perkembangan FOSS terkini. Pelaksanaan FOSS,
Pemerintahan, program dapat bekerjasama dengan berbagai FOSS Support Depkominfo
Pendidikan, Center yang tersebar di berbagai daerah. PJ Pendukung:
Kesehatan, UKM Kriteria pemilihan lokasi program adalah keberadaan RISTEK
dan Industri dukungan komunitas untuk daerah bersangkutan.
Kreatif
Pengembangan Training FOSS Training FOSS diperuntukkan bagi Staff TI di lembaga PJ Utama: ID-
SDM pemerintahan, perguruan tinggi atau masyarakat umum. FOSS, RISTEK
Pelaksanaan training dapat bekerjasama dengan lembaga PJ Pendukung:
penyedia training yang telah berpengalaman sebelumnya. Depkominfo
Jumlah training dan sebaran lokasi training ditentukan
kemudian sesuai dengan kebutuhan. Prioritas utama
diberikan kepada staf TI pemerintahan untuk mempercepat
implementasi FOSS di lembaga pemerintahan.
Sertifikasi FOSS Sertifikasi FOSS diperuntukkan untuk memberikan credential PJ Utama: ID-
bagi personel TI yang akan mengimplementasikan FOSS di FOSS, RISTEK
Indonesia, baik di lembaga pemerintahan atau pun di PJ Pendukung:
tempat lainnya. Prioritas utama diberikan kepada staf TI Depkominfo
pemerintahan untuk mempercepat implementasi FOSS di
lembaga pemerintahan.
Sertifikasi Sertifikasi perangkat keras ramah OSS ditujukan untuk PJ Utama: ID-
perangkat keras meningkatkan kepercayaan konsumen agar mau FOSS, RISTEK
ramah OSS menggunakan OSS yang memperoleh dukungan dari PJ Pendukung:
perangkat keras. Pada tahun kelima ini diarahkan untuk Depkominfo
evaluasi keberhasilan program ini.
Riset dan Insentif Program ini memberikan insentif bagi penelitian untuk PJ Utama: RISTEK
Pengembangan pengembangan menghasilkan produk-produk FOSS prioritas untuk lembaga PJ Pendukung:
solusi FOSS untuk kesehatan. Depkominfo
Lembaga
Kesehatan
Insentif Program ini memberikan insentif bagi penelitian untuk PJ Utama: RISTEK
pengembangan menghasilkan produk-produk FOSS prioritas untuk UKM. PJ Pendukung:
solusi FOSS untuk Depkominfo
UKM
Insentif Program ini memberikan insentif bagi penelitian untuk PJ Utama: RISTEK
pengembangan menghasilkan produk-produk FOSS prioritas untuk industri PJ Pendukung:
solusi FOSS untuk kreatif Depkominfo
Industri Kreatif
Insentif Program ini memberikan insentif bagi pusat yang PJ Utama: RISTEK
pengembangan memberikan layanan jasa pendukung OSS & Diknas
IGOS Center, PJ Pendukung:
POSS & ICT Depkominfo
Center/SMK TIK
Inkubasi Industri Pembentukan Program ini meneruskan dan menguatkan program yang PJ Utama:
Cluster Industri telah dilakukan sebelumnya oleh Depkominfo untuk Depkominfo
TIK menumbuhkan perusahaan-perusahaan baru bergerak PJ Pendukung:
khususnya di FOSS. RISTEK, Depperin
Peningkatan Program ini merupakan pelatihan dan pendampingan PJ Utama:ID-
Tingkat kepada komunitas industri perangkat lunak, khususnya yang FOSS,
Kematangan bergerak di FOSS, untuk mendapatkan sertifikat tingkat Depkominfo
Industri kematangan industri sofrtware. PJ Pendukung:
Perangkat Lunak Depperin, RISTEK
Indonesia
Implementasi Insentif Migrasi Program kerja ini ditujukan untuk mempercepat proses PJ Utama: ID-
Dunia Kesehatan migrasi di Lembaga penyelenggara layanan kesehatan FOSS,
khususnya rumah sakit percontohan. Dalam pelaksanaan Depkominfo
migrasi, dapat dijalankan mekanisme kerjasama dengan PJ Pendukung:
pihak ketiga yang telah berpengalaman dalam kegiatan Depkes
sejenis sebelumnya.
Kegiatan migrasi ini dilakukan dengan proporsi dan sebaran
disesuaikan dengan ketersediaan sumberdaya. Pemilihan
Rumah Sakit Percontohan berdasarkan kecukupan dukungan
top management dan keberadaan dukungan komunitas di
lokasi terkait.
151
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Penanggung
Area Program Kerja Deskripsi
Jawab
Insentif Migrasi Program kerja ini ditujukan untuk mempercepat proses PJ Utama: ID-
Sektor UKM migrasi di UKM percontohan. Dalam pelaksanaan migrasi, FOSS,
dapat dijalankan mekanisme kerjasama dengan pihak ketiga Depkominfo
yang telah berpengalaman dalam kegiatan sejenis PJ Pendukung:
sebelumnya. Depkes
Kegiatan migrasi ini dilakukan dengan proporsi dan sebaran
disesuaikan dengan ketersediaan sumberdaya. Pemilihan
UKM Percontohan berdasarkan analisa sektor UKM prioritas
dan keberadaan dukungan komunitas di lokasi terkait.
Insentif Migrasi Program kerja ini ditujukan untuk mempercepat proses PJ Utama: ID-
Sektor Industri migrasi di Industri Kreatif percontohan. Dalam pelaksanaan FOSS,
Kreatif migrasi, dapat dijalankan mekanisme kerjasama dengan Depkominfo
pihak ketiga yang telah berpengalaman dalam kegiatan PJ Pendukung:
sejenis sebelumnya. Depkes
Kegiatan migrasi ini dilakukan dengan proporsi dan sebaran
disesuaikan dengan ketersediaan sumberdaya. Pemilihan
Industri Kreatif prioritas dilakukan berdasarkan analisa
potensi bisnis segmen terkait dan derajat ketergantungan
dengan solusi proprietary yang belum terjangkau.
Selain parameter yang terkait langsung dengan aktivitas aktor-aktor dalam ekosistem OSS,
untuk melihat dampak dari program IGOS parameter keberhasilan juga dilihat dari pertumbuhan
berikut:
1. Penurunan belanja pemerintah untuk pembelian perangkat lunak ke luar negeri
2. Mendorong pertumbuhan industri TIK di Indonesia
3. Penurunan angka pembajakan di Indonesia
Relasi antara program dan target dengan tujuan IGOS untuk memperkecil kesenjangan
teknologi informasi, meningkatkan inovasi dan kreativitas bidang teknologi informasi serta
mempercepat, mengembangkan dan menciptakan program-program pemerintah bidang
teknologi informasi skala nasional yang mempunyai dampak kepemerintahan, ekonomi, sosial,
iptek, dan sebagainya, bisa digambarkan dalam skema sebagaimana ditampilkan pada Gambar
31.
152
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Klasifikasi Variabel
PC HW ii
Internet &
Processing Ekonomi
HW ... Services
HW i
HW
Sosial
Proprietary
asli Iptek
OSS Proprietary
bajakan
SW
Industri TIK
153
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
Skema pada gambar tersebut menunjukkan relasi antara pengembangan OSS, pengembangan
perangkat keras (HW) dan penyediaan layanan internet. Peningkatan aktivitas pada salah satu
elemen akan berimplikasi pada elemen-elemen lainnya. Dengan demikian, meski laporan ini
berangkat dari pengembangan ekosistem OSS, namun kemajuannya tidak bisa dilepaskan dari
permintaan OSS pada perangkat keras dan internet.
Untuk mencapai hal ini, bentuk relasi antara masing-masing elemen adalah interdependensi.
Masing-masing elemen memiliki program pengembangan yang konvergen dengan elemen
lainnya menuju kemajuan industri TIK nasional yang akan berimplikasi pada tumbuhnya
kegiatan ekonomi (melalui penyerapan tenaga kerja, peningkatan nilai tambah/clustering),
sosial, maupun peningkatan iptek.
154
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
BAB 10
KESIMPULAN
Dari studi banding dengan negara-negara lain terlihat keserupaan bentuk intervensi yang
dijalankan oleh pemerintah yaitu (i) menggunakan pendekatan mandatori dalam mendorong
adopsi OSS di lingkungan pemerintah; (ii) mendorong OSS agar dapat berkembang dengan
mekanisme pasar melalui pembentukan jejaring dengan pihak swasta yang memerlukan
perangkat lunak.
Untuk melihat pembagian peran antara aktor-aktor terkait, laporan ini dibagi menjadi dua
bagian. Pertama, dengan mengevaluasi target dan capaian IGOS 2004–2009. Untuk melihat
keberhasilan program IGOS 2004–2009, laporan ini menggunakan indikator target-capaian dan
indikator Open Source Index (OSI) yang diadopsi dari proyek Open Source Software Potential
Index.
Dari pengukuran yang dilakukan dengan menggunakan target–capaian dan OSI terlihat
peningkatan jumlah kegiatan dan indeks, hanya saja peningkatan ini belum memenuhi target
IGOS 2010. Adanya diskontinuitas antara peningkatan dengan pencapaian target
mengindikasikan kebutuhan akan adanya sebuah model pengembangan yang mampu
mengaitkan program IGOS dalam kerangka pencapaian target. Untuk mencapai hal tersebut,
bagian kedua dari buku ini memaparkan model pengembangan OSS yang dilandaskan pada
model ekonomi permintaan (supply) dan penawaran (demand). Model ini dipilih karena tujuan
akhir yang diharapkan adalah keberlanjutan (sustainability) dari pengembangan teknologi
informasi melalui pengembangan OSS. Dengan model ini, program-program tidak hanya
diarahkan untuk memenuhi sisi penawaran, namun juga bagaimana produk-produk yang telah
tersedia bisa diterima pasar.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, desain skenario utama OSS Indonesia periode 2010–2014
diarahkan pada program-program yang dapat mendukung sisi permintaan, penawaran dan
bagaimana keduanya dapat bertemu. Dalam model ini, target tidak hanya berorientasi pada
peningkatan jumlah aktivitas melainkan bagaimana suatu aktivitas bisa memberikan nilai
tambah pada aktivitas lainnya. Untuk mempermudah pembagian peran antara tiap aktor,
skenario utama ini membagi program untuk peningkatan aktivitas di sisi penawaran dan
permintaan menjadi elemen-elemen: pemerintah, swasta dan pendidikan. Sedangkan program
untuk penguatan jejaring dilakukan melalui koordinasi antar departemen.
155
Grand Scenario OSS Indonesia 2010–2014
kedua sisi. Untuk mencapai hal tersebut, laporan ini merekomendasikan kerjasama dengan BPPT
yang telah memiliki program rutin untuk membuat Indikator Teknologi Informasi dan Komunikasi
serta analisa dari data dan kode program yang sudah dimasukan ke dalam repositori OSS.
Dengan evaluasi, pengukuran dan pemaparan skenario utama yang dikemukakan dalam laporan
ini diharapkan tujuan IGOS dalam mendorong kemampuan industri teknologi informasi dan
komunikasi nasional dapat terwujud dengan baik.
156