Anda di halaman 1dari 5

ASAL USUL BAHASA

Sejarah Bahasa

Asal usul bahasa merupakan aspek bahasa yang paling banyak diperdebatkan oleh para ahli.
Hasil kajian mengenai hal ini juga kurang memuaskan karena sulitnya peneliti mencapai
kesepakatan tunggal. Bagaimana bahasa itu muncul? Untuk jawaban ini ada beberapa teori
tentang asal usul bahasa. Dr. Jacob pernah menyarankan bahwa bahasa berkembang perlahan
dari sistem tertutup ke sistem terbuka antara 2 juta dan 0,5 juta tahun yang lalu, tetapi hanya
dianggap proto-bahasa antara 100.000 dan 40.000 tahun yang lalu. Perkembangan penting
hanya terjadi sejak Homo sapiens, tetapi perkembangan bahasa yang pesat hanya terjadi pada
zaman pertanian.

Berbagai teori telah dikemukakan tentang hal itu. Teori yang ada secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi dua fase, yaitu 1 fase asal ketuhanan atau fase berdasarkan
ketuhanan, kepercayaan, kebatinan, takhayul, dan 2 fase organik atau fase organik.

Fase Asal Ilahi

Fase ini terjadi sebelum abad ke-18. Pada fase ini, manusia masih dianggap memiliki budaya
primitif. Menurut teori antropologi, budaya primitif lebih percaya pada keterlibatan Tuhan,
dewa, nabi dan sejenisnya pada awal sejarah bahasa manusia. Oleh karena itu, asal mula
bahasa berdasarkan hal ini seringkali dianggap hanya sebagai cerita fiksi oleh para ilmuwan
modern. Cerita tentang asal mula bahasa sering dijumpai dalam masyarakat tradisional.
Bahkan, hampir setiap daerah sebenarnya punya cerita tentang hal ini. Pada abad ke-17,
seorang ahli bahasa Swedia, Andreas Kemke, menyatakan bahwa di surga, Tuhan berbicara
dalam bahasa Swedia, Nabi Adam berbicara dalam bahasa Denmark, dan naga berbicara
dalam bahasa Prancis. Dengan demikian, ketiga bahasa ini dianggap lebih dulu ada di muka
bumi ini. Dan, bahasa Swedia dianggap sebagai bahasa Tuhan. Sebelumnya, seorang Belanda
bernama Goropius Becanus mengemukakan bahwa bahasa yang digunakan untuk
berkomunikasi di surga adalah bahasa Belanda. Dalam versi ini, tentu saja, bahasa Belanda
lebih dulu. Lain cerita dari Mesir. Ceritanya begini. Pada abad ke-17 SM, raja Mesir
Psammetichus melakukan penyelidikan terhadap bahasa-bahasa pertama. Menurut Raja, jika
bayi dibiarkan sendiri, ia akan tumbuh dan berbicara bahasa aslinya. Untuk penyelidikan, dua
bayi dari keluarga biasa dibawa dan diserahkan kepada seorang penggembala untuk dirawat.
Gembala dilarang berbicara sepatah kata pun kepada bayi-bayi itu. Setelah bayi berusia dua
tahun, mereka secara spontan menyapa penggembala dengan mengatakan "becos". Setelah
kejadian itu, penggembala segera menemui Sri Sultan Raja dan menceritakan tentang bayi
itu. Raja Psammetichus segera menyelidikinya dan berkonsultasi dengan para penasehatnya.
Menurut mereka becos berarti roti dalam bahasa Frigia; dan ini adalah bahasa pertama di
bumi ini. Kisah ini diturunkan kepada bangsa Mesir kuno sehingga menurut mereka Frigia
(Mesir) adalah bahasa pertama di bumi. Itulah pandangan orang-orang zaman dahulu tentang
asal usul bahasa. Mereka selalu mengaitkan keberadaan bahasa dengan kepercayaan mereka
kepada Tuhan atau hal-hal mistis, supernatural, dan takhayul.

Fase Organik

Fase Organik atau fase organik dimulai pada akhir abad ke-18. Pada fase ini spekulasi
tentang asal mula bahasa berpindah dari wawasan keagamaan, mistik, dan takhayul ke alam
baru yang disebutnya alam organik. Pengutamaan tersebut didasarkan pada logika dan hasil
pengamatan terhadap realitas bahasa yang ada. Hasilnya relatif lebih akurat dan lebih dapat
diterima akal sehat karena mengandung nilai ilmiah. Pada fase ini ada beberapa teori tentang
asal usul bahasa yang dikemukakan oleh para ahli. Tercantum di bawah ini adalah 5 teori
tentang asal usul bahasa.

Teori Onomatopetik atau Ekoik

Teori onomatopetik atau ekoik ini merupakan teori peniruan suara yang ada di alam. Teori ini
diperkenalkan oleh J.G. Herder. Teori ini mengatakan bahwa benda diberi nama sesuai
dengan bunyi yang dihasilkannya. Objek yang dimaksud adalah suara binatang atau kejadian
alam. Manusia mencoba meniru suara tokek, cicak, atau desis angin, suara ombak, dan lain-
lain, kemudian menyebut benda atau tindakannya dengan suara tersebut. Misalnya karena
suara hewan tertentu cek-cek-cek, maka disebut cicak, karena suaranya tokek, tokek, tokek,
maka diberi nama tokek. Begitu juga dengan kata-kata dalam bahasa Indonesia seperti
crowing, crowing, squeaking, booming, dan lain-lain. Pengikut lain dari teori ini, Whitney
mengatakan bahwa dalam setiap tahap pertumbuhan bahasa, banyak kata baru muncul dengan
cara ini. Misalnya pada anak yang mencoba menirukan suara mobil, kereta api, dan lain-lain.
Teori ini ditolak oleh lawan-lawannya dengan alasan bahwa tidak mungkin dan tidak logis
bahwa bahasa manusia, yang merupakan makhluk yang lebih tinggi, meniru suara dari 5
makhluk yang lebih rendah. Max Muller bahkan mengatakan bahwa teori ini hanya berlaku
untuk kokok ayam jantan dan suara bebek, meskipun sebagian besar aktivitas bahasa terjadi
di luar kandang ternak. Karena dianggap lebih berkaitan dengan binatang, teori ini sering
diejek dengan nama teori busur-busur oleh Max Muller. Walaupun kritik terhadap teori ini
cukup banyak, namun pada kenyataannya cukup banyak kata-kata dalam setiap bahasa yang
merupakan tiruan bunyi-bunyi yang ada di alam. Bahkan dalam bahasa Indonesia, kata-kata
onomatopoeik cukup banyak. Bahkan, Sampai saat ini telah muncul kata-kata baru yang
merupakan hasil tiruan bunyi dari benda atau peristiwa tersebut.

Teori Pooh-pooh atau Teori Interjeksi

Teori interjeksi berangkat dari anggapan bahwa bahasa lahir dari ujaran naluriah akibat
tekanan batin, perasaan yang mendalam, dan rasa sakit yang dialami manusia. Ketika
seseorang merasakan sesuatu, ada kecenderungan untuk mengungkapkan perasaannya dengan
menunjukkan ekspresi wajah atau bagian tubuh tertentu yang disertai dengan suara yang
keluar dari mulut atau hidungnya. Misalnya ketika seseorang merasa jijik terhadap sesuatu,
biasanya orang tersebut akan secara spontan menggerakkan bagian tertentu dari tubuhnya
disertai dengan ucapan ih atau ih, atau jika di dunia barat diekspresikan dengan pooh, maka
teori ini sering juga disebut teori pooh. . -pooh. Jika seseorang sedang kesal maka ia
melakukan gerakan-gerakan tertentu, misalnya membanting sesuatu sambil mengeluarkan
suara tersentak atau jika penonton sepak bola misalnya kesal, biasanya mereka mengatakan
ooo. .., dst. 6 Demikian asumsi teori ini bahwa bahasa lahir dari tekanan batin, atau perasaan
yang mendalam, atau rasa sakit yang dialami manusia. Tekanan seperti yang disebutkan
sebelumnya memunculkan kata-kata yang tergolong interjeksi atau seruan. Kata seru ini
memang ditolak oleh sebagian ahli sebagai golongan kata, namun pada kenyataannya masih
ada sebagian ahli yang masih mempertahankan golongan kata ini. Interjeksi merupakan
bahasa yang lengkap untuk mengungkapkan perasaan, sehingga jenis kata ini disebut bahasa
afektif. Bahasa afektif ini tidak hanya terjadi pada orang yang kurang berpendidikan dan
belum berkembang, tetapi juga terjadi pada orang yang berpendidikan dan maju dalam
perkembangannya. Karena alasan inilah kritik bahwa teori ini hanya berlaku untuk orang-
orang yang tidak berpendidikan dan tidak berkembang ditolak oleh penganut teori interjeksi
ini.

Teori Nativistik atau Teori Ding-dong

Teori ini dikemukakan oleh Max Muller. Awalnya ia mengkritik teori onomatopetik dan teori
interjeksi, kemudian ia sendiri yang menciptakan teori nativistik atau ding-dong ini. Sebagai
dasar teorinya, Muller mengajukan asumsi bahwa ada hukum yang mencakup hampir seluruh
alam semesta, yaitu bahwa setiap benda akan mengeluarkan suara jika dipukul. Setiap item
memiliki suara yang unik. Karena suara-suara khas tersebut, manusia kemudian merespon
suara-suara tersebut. Karena manusia memiliki kemampuan ekspresi artikulasi, maka respon
juga diberikan melalui ekspresi artikulasi terhadap apa yang diterima melalui panca indera.
Kemampuan ini bukan buatan manusia tetapi insting. Oleh karena itu, bahasa juga merupakan
produk dari naluri manusia, kemampuan yang ada dalam keadaan primitifnya. Dengan insting
ini, setiap kesan dari luar akan mendapatkan ekspresi vokalnya dari dalam. Kesan yang
diterima panca inderanya seperti tiupan lonceng sehingga melahirkan ucapan yang sesuai.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa berawal dari suatu akar, dan akar
tersebut merupakan bunyi khas atau bunyi utama. Ada sekitar empat ratus suara dasar yang
membentuk bahasa pertama ini. Misalnya, ketika orang primitif melihat serigala,
pemandangan ini menggetarkan lonceng dalam dirinya secara naluriah sehingga kata serigala
(serigala, ing) diucapkan. Teori ini sedikit sejalan dengan teori Socrates bahwa bahasa lahir
secara alamiah.

Teori 'Yo-He-Ho'

Teori ini menyimpulkan bahwa bahasa pertama lahir dalam suatu aktivitas sosial.
Sekelompok orang primitif dulu bekerja bersama. Mereka selalu bekerja sama dalam
pekerjaan seperti itu. Untuk mendorong orang lain, mereka akan mengucapkan suara khas
yang terkait dengan pekerjaan. Kami juga mengalami pekerjaan serupa, misalnya ketika kami
mengangkat sepotong kayu besar, jadi kami biasanya secara spontan mengeluarkan kata-kata
atau suara tertentu karena kami didorong oleh gerakan otot. Misalnya, iaat... atau push...push
(push). Ujaran-ujaran tersebut kemudian menjadi sebutan untuk pekerjaan tersebut, seperti
diam, angkat, dan sebagainya.

Teori Kontak

Teori ini sebagian mirip dengan teori tekanan sosial, namun di bagian lain menyerupai teori
kontrol sosial, sehingga dapat dikatakan merupakan sintesis antara kedua teori tersebut.
Menurut teori ini, bahasa muncul karena adanya keinginan dalam diri manusia untuk
memiliki kontak yang tidak terbatas. Kontak dibagi menjadi tiga jenis, yaitu (1) kontak
spasial (kontak karena kepadatan fisik), (2) kontak emosional, (3) kontak intelektual. Pada
tahap yang sangat rendah yaitu pada tahap instingtif, kebutuhan untuk melakukan kontak ini
seolah-olah dipenuhi oleh kontak spasial, yaitu kontak yang berupa densitas jarak fisik.
Namun, seiring dengan pertumbuhan kehidupan, manusia membutuhkan kontak emosional.
Pada tingkat kepuasan ini akan tercapai karena adanya kedekatan emosional dengan orang
lain. Kedekatan ini akan menimbulkan rasa saling pengertian, simpati, dan empati terhadap
orang lain. Kontak emosional ini akan mengalahkan kontak spasial. Misalnya, dua orang,
katakanlah, A yang tinggal di Bali dan B yang tinggal di Jakarta, merasa sangat dekat secara
emosional karena keduanya saling mencintai. Di sisi lain, orang C dan orang D yang tinggal
di rumah yang sama merasa terasing karena mereka bermusuhan secara emosional. Dengan
demikian, kontak emosional sangat penting untuk perilaku bahasa. Bahasa hanya mungkin
jika ada hubungan pribadi antara orang-orang yang mampu berbicara. Aspek terakhir dari
kontak yang penting untuk perkembangan bahasa adalah kontak intelektual. Jika kontak
emosional berfungsi untuk menyampaikan emosi, maka kontak intelektual berfungsi untuk
bertukar pikiran. Seorang anak manusia yang tidak pernah terlibat dalam jaringan kontak
intelektual dengan orang lain tidak akan memahami pengaruh bahasa sebagai alat komunikasi
intelektual. Kontak emosional dan kontak intelektual inilah yang mendorong lahirnya alat
komunikasi berupa bahasa

Anda mungkin juga menyukai