Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Bahasa adalah salah satu ciri yang paling khas manusiawi yang
membedakannya dari makhluk lain (Nababan, 1984: 1). Bahasa membuat manusia
menjadi makhluk yang bermasyarakat karena bahasa merupakan sarana komunikasi
untuk menyampaikan pesan, ide-ide, keinginan, dan perasaan dari pembicara kepada
lawan bicara.

Bahasa merupakan gejala alamiah dan manusiawi. Salah satu gejala alam
yang manusiawi yang terdapat pada sebuah paguyuban atau masyarakat, suku, atau
bangsa ialah pemilikan satu isyarat komunikasi yang disebut bahasa. Di seluruh dunia
terdapat kurang lebih 5445 bahasa alamiah. Bahasa-bahasa ini dipergunakan sebagai
isyarat komunikasi antara anggota masyarakat pemakainya. Di samping gejala
alamiah, bahasa itu pun merupakan gejala manusiawi. Dikatakan manusiawi karena
manusia berkomunikasi dengan perlbagai macam isyarat. Salah satu isyarat
komunikasi disebut dengan bahasa. Binatang juga mempergunakan isyarat-isyarat
tertentu untuk berkomunikasi, tetapi sistem komunikasi binatang tidak dapat disebut
sebagai bahasa karena isyarat komunikasi binatang bersifat statis. Sementara itu,
sistem komunikasi manusia bersifat produktif, imanen, dan kreatif. Bahasa dapat
berkembang, bertambah (secara kualitatif dan kuantitatif), hilang, dan berganti
(Parera, 1991: 6--7).

Bahasa yang kita kenal sekarang ini merupakan produk masyarakat masa
lampau yang dipelihara, dikembangkan, serta diwariskan secara turun-temurun.
Bahasa tumbuh dan berkembang sejalan dengan masyarakat dan budaya penuturnya.
Kapan bahasa itu lahir dan bagaimana awal kelahirannya merupakan persoalan
filsafat. Asal mula bahasa tersebut tidak dapat ditentukan secara pasti karena bahasa
tidak diciptakan oleh seseorang atau kelompok orang. Siapa yang menciptakan
bahasa itu?

B.Rumusan Masalah

1. apa itu bahasa?

2. apa saja teori kelahiran bahasa menurut para linguis Barat dan Arab?

C. Tujuan

1. menjelaskan pengertian bahasa

2. menjelaskan teori kelahiran bahasa menurut para linguis Barat dan Arab
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN BAHASA

Kridalaksana (1993: 21) dan Depdikbud (1997: 77) mendifinisikan bahasa


sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota
suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Dari
batasan bahasa di atas, ada lima butir yang penting, yaitu bahwa bahasa itu:
manusiawi (human), dipelajari (non-instinctive), sistem (system), arbitrer (voluntarily
produced),dan simbol/lambang (symbols).

Manusiawi, maksudnya hanya manusia yang memiliki sistem simbol untuk


berkomunikasi. Makhluk lain, seperti binatang memang berkomunikasi dan
mempunyai bunyi, tetapi sistem itu bukanlah kata-kata. Perkembangan bahasa inilah
yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya karena manusia diberi kelebihan
dalam berpikir.

Dipelajari, maksudnya manusia ketika dilahirkan tidak langsung mampu


berbicara. Anak harus belajar berbahasa melalui lingkungannya, seperti orang tua.
Sistem, artinya bahasa memiliki seperangkat aturan. Perangkat inilah yang
menentukan struktur (grammar) apa yang diucapkannya. Arbitrer, maksudnya
manusia mempergunakan bunyi-bunyi tertentu dan disusun dalam cara tertentu adalah
secara kebetulan saja.

Simbolik, artinya bahasa terdiri atas rentetan simbol arbitrer yang memiliki
arti. Kita dapat menggunakan simbol-simbol ini untuk berkomunikasi sesama
manusia karena manusia sama-sama memiliki perasaan, gagasan, dan keinginan.
Dengan demikian, manusia menerjemahkan orang lain atas acuan pada pengalaman
diri sendiri. Misalnya, ketika orang lain mengatakan “Saya haus”. Pernyataan tersebut
dapat dipahami karena kita pernah mengalami peristiwa haus.

Aristoteles mendefinisikan bahasa adalah alat untuk mengungkapkan pikiran


dan perasaan manusia. Dengan kata lain, pikiran mempengaruhi bahasa karena
pikiranlah maka bahasa itu ada. Menurut Leonard Bloomfield (pakar linguisik
struktural) bahasa adalah sistem lambang bunyi yang bersifat sewenang-wenang yang
dipakai oleh anggota masyarakat untuk bekerja sama dan berinteraksi. Sementara itu,
Wilhelm von Humboldt (pakar bahasa dari Jerman pada abad ke-19) bahasa
merupakan suatu sintesis (gabungan) bunyi sebagai bentuk luarnya dan pikiran
sebagai bentuk dalamnya. Sapir (1921 via Alwasilah, 1985: 7--8) berpendapat bahasa
adalah “A purely human and non-instinctive method of communicating ideas,
emotions, and desires, by means of a system of voluntarily produced symbols”.

2.2 TEORI KELAHIRAN BAHASA

Pengkajian tentang proses kelahiran bahasa manusia sudah dimulai sejak


2.500 tahun lalu, yakni zaman Plato dan Aristoteles. Mereka mempertanyakan apakah
bahasa itu? Lalu bagaimana bahasa tersebut dapat terbentuk dan lahir? Apakah
bahasa berasal dari alam (fisei) ataukah berasal dari konvensional atau kesepakatan
(nomos) penuturnya (Kaelan, 1998: 28).

Pada awal abad ke-18 para filsuf tergerak lagi untuk mempertanyakaan asal-usul
bahasa. Hal ini tidak mengherankan karena bahasa berfungsi untuk menampung dan
menghubungkan pengetahuan yang secara kolektif bertambah, menuangkan argumen,
melahirkan prinsip-prinsip rasional, dan mengekspresikan emosi. Dengan perkataan
lain bahasa sebagai alat komunikasi akal dan perasaan. Dengan bahasa, manusia
menyadari sebagai manusia berakal (vernunftmensch) dan manusia berperasaan
(gefuhlsmensch) (Parera, 1991: 57).

a. Asal-Usul Bahasa dalam Literatur Barat


Mario Pei (1971:12) mengungkapkan bahwa satu hal yang disepakati oleh sarjana
linguistik, yaitu bahwa masalah asal-usul bahasa manusia masih belum terpecahkan.
Mengenai hal ini, banyak teori-teori yang mengajukan tentang asal-usul bahasa
manusia dari yang tardisional dan mistis, seperti dongeng kelompok-kelompok
primitif yang mengajukan bahwa bahasa adalah pemberian dewadewa. Pada abad ke-
17, seorang sarjana Filologi Swedia mengatakan bahwa di surga, Tuhan berbicara
dengan bahasa Swedia, Adam berbicara dalam bahasa Denmark, dan ular berbicara
dalam bahasa Prancis. Sedang pada sebuah kongres linguistik di Turki tahun 1934
dikemukakan bahwa bahasa Turki merupakan akar dari semua bahasa. Hal ini karena
semua kata berasal dari günes, bahasa Turki yang artinya matahari.

Teori-teori selanjutnya dapat disebut quasi-ilmiah. Sebuah hipotesis yang mula-


mula disokong oleh Darwin yang menyatakan bahwa bahasa pada mulanya hanyalah
pantomim mulut. Di mana alat-alat ucap secara tidak sadar berusaha meniru isyarat-
isyarat tangan. Ada beberapa teori yang bisa diterima oleh sarjana linguistik pada
masa sekarang ini. Tapi teori tersebut hingga sekarang belum bisa dibuktikan dan
memang agaknya tidak mungkin dibuktikan. Karena tidak ada data-data yang tertulis
mengenai bagaimana timbulnya bahasa manusia, di bawah ini ada beberapa teori baik
dari sarjana barat dan arab

1. Teori tradisional

Ada dua teori tradisional yang menyatakan tentang kelahiran bahasa, yakni hipotesis
monogenesis (teori teologis) dan polygenesis (teori istilahi)

1. TEORI TEOLOGIS (‫) النظرية التوقيفية‬

Teori ini muncul dan didasarkan kepada teks kitab suci yang diyakini telah
banyak memberikan informasi mengenai kehidupan masa lalu, yakni babak baru
manusia singgah di planet bumi ini. Teori ini juga senantiasa disandarkan pada
logika. Penyelidikan antropologi telah membuktikan bahwa kebanyakan kebudayaan
primitif meyakini keterlibatan Tuhan. Bahasa merupakan pemberian langsung dari
Tuhan. Manusia diciptakan secara simultan, dan pada penciptaan ini pula dikaruniai
ujaran sebagai anugerah llahi. Sementara itu, secara logika manusia membutuhkan
bahasa yang dipakai dan dipahami bersama dalam komunitasnya sebagai makhluk
sosial untuk alat komunikasi antara yang satu dengan yang lainnya. Maka jika setiap
masing-masing orang membuat "istilah kata" sendiri-sendiri, maka mustahil akan
terdapat kesepakatan di dalamnya. Oleh sebab itu, butuh istilah lain yang bisa
disepakati dan dipahami bersama, dan begitulah seterusnya hingga akan terjadi apa
yang disebut dengan lingkaran setan (daur dan tasalsul) yang tidak ketahuan ujung
pangkalnya. Di antara tokoh yang berpendapat seperti ini adalah Hiroklitos (filsuf
Yunani Kuno), Ibnu al-Faris (ahli bahasa Arab), dan Ronal (filsuf Perancis)

Salah satu ulama Arab yang cenderung kepada teori ini adalah Ibnu Faris.
Ketika Ibnu Faris menjelaskan mengenai asal-usul bahasa, dia mengutip salah satu
ayat Al-Quran yang menjadi dasar pendiriannya bahwa bahasa itu merupakan
pemberian langsung dari Tuhan atau merupakan wahyu. Ayat yang ia kutip berbunyi1

‫وعلم ادم االسماء كلها ثم عرضهم على المال ئكة فقال انبئوني باسماء هؤالء ان كنتم صادقين‬

"Dan Dia (Allah) mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)


seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman:
Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang
yang benar!"

Berdasarkan ayat di atas, Ibnu Faris berpendapat bahwa bahasa itu merupakan
pemberian langsung dari Tuhan dengan cara Tuhan mengajarkan nama-nama
binatang, bumi, gunung, unta, keledai, dan lain-lain, yang semua itu dikenal oleh
manusia kepada manusia pertama, yaitu Nabi Adam as.2

1
Qs. Al-Baqarah ayat 31
2
Al-Rajihi, Op.cit h. 78
Argumentasi lain yang disampaikan Ibnu Faris bahwa bahasa itu bersifat
tauqifi adalah bahwa kesepakatan para ahli bahasa khususnya bahasa Arab dalam
melakukan ihtijaj (mengambil referensi) atas suatu kata yang berbeda atau yang
disepekati, yang diambil dari syair-syair mereka. Seandainya bahasa itu bersifat
istilâhi atau muwâdha'ah, maka pasti mereka berihtijaj dengan bahasa yang lebih
baik daripada yang digunakan oleh yang lainnya. Di samping itu, para sahabat Nabi
yang dikenal dengan kefasihannya dalam bahasa, mereka tidak melakukan atau
mengada-ada suatu lafadzh yang tidak ada sebelumnya, tetapi mereka senantiasa
menggunakan lafadzh atau istilah yang digunakan oleh pendahulu mereka.3

2. TEORI ISTHILAHI( ‫)النظرية االصطالحية‬

Teori ini lahir sebagai sanggahan dari teori sebelumnya yaitu teori teologis
(nazhariyah tauqifiyyah). Menurut teori ishtilâhi / muwâdha'ah, bahasa pertama
yang lahir dan diciptakan oleh manusia melalui proses tertentu sebagai pembuktian
manusia yang berasal dari alam Dari teori ini lahir beberapa teori yang menunjukkan
pada proses lahirnya bahasa manusia yang merupakan bagian dari ciptaan manusia
itu sendiri. Di antara teori-teori tersebut adalah sebagai berikut :

1. Teori Tekanan Sosial

Teori ini dikemukankan oleh Adam Smith dalam bukunya The Theory of
Moral Sentiments. Teori ini bertolak dari anggapan bahwa bahasa manusia
timbul karena manusia primitif dihadapkan pada kebutuhan untuk saling
memahami. Apabila mereka ingin menyatakan objek, maka mereka
terdorong pula untuk mengucapkan bunyi-bunyi tertentu. Bunyi-bunyi yang
selalu mengiringi usaha mereka untuk menyatakan objek-objek yang mereka
kenal baik, akan dipolakan oleh anggota kelompok dan akan dikenal dengan
tanda untuk menyatakan hal-hal itu. Demikian pula terjadi kalau pengalaman

3
Ibnu faris, al-shahabi fi fiqh lughah, h. 33-34
mereka bertembah. Mereka akan berusaha pula untuk menyampaikan
pengalanpengalaman baru itu dengan bunyi-bunyi tertentu pula.

2. Teori Onomatopetik atau Ekoik Teori onomatopetik atau ekoik (imitasi


bunyi atau gema)

Teori ini banyak dikirim oleh para linguis modern seperti Jepersen. Teori
Bow-bow disebut juga Onomatopoetic atau Echoly Theory. Menurut teori
ini, kata-kata yang pertama muncul merupakan tiruan terhadap suara-suara
alam seperti ‫(حنين الرعد‬guntur), ‫( خرير الماء‬gemercik air), ‫( دوي البحر‬ombak
samudra), ‫(نهاق الكلب‬lolongan anjing), ‫( صياح الديك‬kokok ayam), ‫مواء القط‬
(ngeongan kucing), ‫(صهيل الفرس‬ringkikan kuda), ‫(نزيب الضب‬nyanyian
katak), ‫(شهيج الحمار‬suara keledai), dan sebagainya.

Ibnu Jinni, seorang ahli bahasa Arab, mengagumi teori ini sehingga dalam
kitabnya dia menulis bab khusus tentang Bâb fi Ims al-Lafzhi wa Asybâh al-
Ma'ânî. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa salah satu fenomena bahasa
adalah lafadzh merupakan penjelasan dari suara-suara alam. Berkaitan
dengan hal ini, Imam Sibaweh mengatakan bahwa shigat mashdar yang
berwazan ‫فعال‬ini menunjukkan makna seperti kata ‫نقزا غليا‬, ‫غثيا‬, begitu juga
kita bisa menemukan shigat masdar fi'il ruba'i yang ditadh'ifkan
mengandung arti perbuatan itu berulang (takrir) seperti; ‫زعزعة قلقلة صلصلة‬
,‫قعقعة جرجرة قرقرة الخازباز‬sebutan bagi ‫ لذباب‬karena suaranya.4

Wafi mengatakan bahwa teori ini merupakan teori yang paling mendekatii
kebenaran dan lebih logis, karena lebih sesuai dengan karakteristik, bagi
asal-usul dan perkembangan sesuatu dari alam semesta ini. Teori ini juga

4
Ibnu jinni, Al-khashais, tahqiq Muhammad ali al-najjar, Dar al kutub, al-qahirah, 1952, h. 165
dapat memecahkan masalah yang selama ini kita hadapi mengenai awal
munculnya bahasa manusia.5

Max Muller dengan "sarkastisnya" mengomentari bahwa teori ini hanya


berlaku untuk kokok ayam dan bunyi itik, padahal kegiatan manusia lebih
banyak terjadi diluar kandang ternak.

3. Teori interjeksi

Teori ini bertolak dari asumsi bahwa bahasa lahir dari ujaran-ujaran
instinktif karena tekanan-tekanan batin, karena perasaan-perasaan
mendalam, dan karena rasa sakit yang dialami manusia. Penganut teori ini
biasanya tidak menjelaskan lebih lanjut bagaimana caranya bahasa itu
muncul dalam kenyataan. Teori dijuluki dengan nama teori pooh-pooh. Teori
dilancarkan oleh sejumlah filsuf di antaranya Étienne, Bonnet Candillac, dan
linguis Amerika Whitney.

4. Teori Nativisti atau Tipe Fonetik

Teori ini dirumuskan oleh Max Müller, seorang linguis


Jerman. Teori ini berasumsi bahwa setiap barang akan
memberi reaksi tertentu jika ada suatu stimulus. Reaksi itu
pada manusia separuhnya berbentuk vokal, yang dalam hal
ini berbentuk tipe-tipe fonetik yang menjadi akar bagi
perkembangan bahasa. Teori Müller ini disebut dengan teori
ding-dong.

5. Teori ‘Yi-He-Ho’

Orang-orang primitif yang belum mengenal peralatan yang maju, akan


mengahadapi pekerjaan-pekerjaan yang berat tanpa peralatan. Mereka selalu

5
Al- rajiji, Fiqh Lughah fi al-kutub al-Arabiyyah, h. 89
bersama-sama dalam melakukan pekerjaan tersebut. Untuk memberi
semangat pada sesamanya, mereka mengucapkan bunyi-bunyi yang khas,
yang dihubungkan dengan pekerjaannya tersebut. Oleh karena itu bunyi-
bunyi itu dipakai untuk menyebut nama pekerjaan itu. Oleh sebab itu teori
ini disebut teori Yo-he-ho. Teori ini dikemukakan oleh seorang sarjana
filologi Prancis, Noiré.

6. Teori Isyarat

Teori ini diajukan oleh Wilhelm Wundt, seorang psikolog ternama abad ke-
19. Teori isyarat ini didasarkan pada hukum-hukum psikologi yang
dicptakan Wundt. Teori ini beranggapan bahwa tiap perasaan manusia
mempunyai bentuk ekspresi yang khusus, yang merupakan hubungan
tertentu antara syaraf reseptor dan syaraf efektor. Bila diamati dengan
cermat, maka tiap ekspresi akan mengungkapkan perasaan tertentu yang
dialami oleh seseorang dan dapat dikomunikasikan dengan orang lain.

7. Teori Permainan Vokal

Menurut teori ini bahasa manusia pada mulanya berwujud dengungan dan
senandung yang tak berkeputusan yang tidak mengungkapkan apa pun.
Sama seperti suara senandung orang tua untuk membuai dan menyenangkan
seorang bayi. Bahasa timbul dari permainan vokal, dan organ ujaran
mulamula dilatih dalam permainan untuk mengisi waktu senggang.

8. Teori control sosial

Teori ini dikemukakan oleh grage andrus de laguna. Menurutnya bahasa


merupakan upaya yang mengooordinasikan dan menghubungkan macam-
macam kegiatan manusia untuk mencapai tujuan bersama.

9. Teori kontak
Teori ini dikemukakan oleh G. Revesz. Teori ini menyerupai teori control
sosial, hubungan-hubungan sosial pada makhluk-makhluk hidup
memperlihatkan bahwa kebutuhan untuk mengadakan kontak satu dengan
yang lainnya (kontak special, kontak emosional, dan kontak intelektual)
bahasa tumbuh dari bunyi ekspresif kemudian menjadi bunyi kontak.

10. Teori hockett-Ascher

Bersumber pada hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh peneliti


sebelumnya. Sebuah bahasa lahir dari sebuah sistem call(panggilan) yang
memunculkan sebuah teriakan-prabahasa-bahasa.

11. Teori teriakan


Menurut E.B de condillac (1719-1780) seorang ahli filsafat dari prancis,
mengatakan bahwa bahasa berasal dari teriakan-teriakan dan gerak-gerik
badan yang bersifat naluri, yang di bangkitkan oleh emosi yang kuat.
Kemudian teriakan emosi tersebut berubah menjadi bunyi makna makin
lama menjadi panjang dan rumit.
12. Teori konvensional (Nomos)
Kaum konvensional beranggapan bahwa hubungan antara benda dan kata
hanyalah karena konvensi dan sifatnya sewenang-wenang walaupun secara
ontologis bahasa memiliki hubungan sebab akibat dengan manusia, tetapi
jikaa dilihat secara fisik (bentuk) bahasa bersifat alamiah. Sistem bunyi
ujaran tidak ada kaitan langsung dengan realitas. Kaum nomos meyakini
bahwa bahsa bukan pemberian tuhan. Makna bahasa diperoleh dari tradisi
kebiasaan-kebiasaan berupa tacit agreement (persetujuan diam).
13. Analogi dan anomali
Menurut plato (427-347 SM) dalam dialog cratylus, bahwa bahasa itu
analogis dan anomalis. Kaum analogis mempercyai bahwa bahasa itu alami
oleh karena itu pada dasarnya teratur dan logis seballiknya kaum anomalis
berpendapat bahwa bahasa itu tidak teratur.

2. Teori modern
 Teori antropolog

Manusia itu diciptakan dengan perlengkapan fisik yang sangat sempurna


hingga memungkinka terjadinya ujaran ( kemampuan berbahasa). Namun
ujaran bukan hanya kerja organ fisik. Dalam prosen ujaran, faktor-faktor
psikologis pun terlibat. Pandangan yang tergolong baru adalah dari Nelson
Brooks (1975). Menurut dia, bahasa lahir pada waktu yang sama, yaitu
ketika manusia ada. Berdasarkan temuan antropologi, arkeologi, biologi,
sejarah, dan manusia, bahasa dan budaya secara bersama- sama lahir untuk
pertama kalinya di bagian tenggara Afrika, lebih kurang dua juta tahun yang
lalu. Pada awalnya, bahasa itu berbentuk bunyi-bunyi tetap untuk
menggantikan atau menjadi lambang dari benda atau kejadian tetap di
sekitarnya. Harus dipahami bahwa bahasa tidak hanya untuk menamai benda
dan tidak pula hanya untuk alat komunikasi. Sejak awal, bahasa itu pasti
merupakan kerangka atau struktur yang dibentuk oleh empat unsur, yaitu
bunyi, urutan(keteraturan), bentuk, dan pilihan. Ujaran menghubungkan
pikiran manusia. Kelahiran bahasa itu beriringan dengan kelahiran budaya.
Melalui budaya segala ciptaan kognisi seseorang dapat juga dimiliki oleh
orang lain dan dapat diturunkan kepada generasi kemudian. Sejak adanya
manusia ada dua evolusi yang bersamaan, manusia itu yaitu evolusi fisiologi
(berkaitan dengan perkembangan tubuh manusia) dan evolusi budaya
(Sumarsono, 2004: 71)

 Teori evolusi manusia


Dari penemuan arkeologis di pelbagai tempat, para ahli purbakala
memperkirakan Sekitar satu juta tahun yang lalu telah muncul kebudayaan
hominoid/ hominid (makhluk yang mirip manusia). Perkembangan
terpenting dalam volusi hominid adalah perkembangan kebudayaan yang
kehadirannya membedakan manusia dari makhluk lainnya. Munculnya
kebudayaan jelas sangat berkaitan dengan evolusi otak dan perkembangan
kemampuan belajar. Dengan lahirnya kebudayaan yang sesungguhnya
(kebudayaan yang masih sangat primitf) memberi sugesti bahwa sudah ada
bahasa pada waktu itu karena bahasa merupakan prasyarat bagi pewarisan
tradisional dan pertumbuhan kebudayaan. Manusia dalam kehidupannya
hampir tidak mungkin memenuhi kebutuhannya sendiri. Oleh karena itu,
manusia harus berkomunikasi dengan manusia lainnya untuk bekerja sama
agar dapat antarmanusia tidak akan terjalin dengan baik jika manusia tidak
menggunakan suatu media yang representatif, yaitu bahasa. Menurut Teuku
Jakob, Pithecanthropus (tengkoraknya ditemukan di Mojokerto, Sangiran,
dan Trinil) diperkirakan telah berkomunikasi dengan bahasa (prabahasa)
secara terbatas dan masih harus dibantu oleh isyarat-isyarat tubuh.

b. Asal-Usul Bahasa dalam Literatur Islam

teori asal-usul bahasa menurut ulama muslim yang diambil dari dua kitab
ulama bahasa yaitu kitab al-khashaaish karya Ibnu Jinny (320-392 H) dan kitab Al-
Shâhiby fi Fiqh al-Lughah wa Sunan al-‘Arab fi Kalâmihâ karya Ibnu Faris (329-395
H).

1. Ibnu Jinny (320-392 H)

Ibnu Jinny adalah seorang ahli nahwu (tatabahasawan) Arab periode terakhir
Bagdad. Nama lengkapnya Abu al-Fath Utsman bin Jinny. Ia dilahirkan di Maushal
pada tahun 330 H. Ia telah memiliki karya yang cukup banyak, dan yang sangat
populer adalah kitab al-Luma’, sirru shinaati al-‘Irab dan al-khashaaish (Rawwaa,
2003:508). Pandangan tentang teori asal-usul bahasa dari Ibnu Jinny, diambil dari
kitab alkhashaaish, bab: alqawl ‘ala ashli al-lughah a’ilhaamun am ishthilaahun
(Pandangan tentang Asal-usul bahasa, apakah terjadi secara ilham atau ishtilah).

Tema yang sangat menarik untuk dibicarakan, karena mayoritas para pemikir
berpandangan bahwa bahasa pada mulanya merupakan buatan (tawaadhu’un) atau
dan ciptaan (ishthilaahun), bukan merupakan wahyu atau pemberian Tuhan
(tauqiifun).

Suatu hari Abu ‘Ali al-Farisi (288-377 H.) berkata kepadaku, bahwa:” Bahasa itu
berasal dari Allah.” Pandangannya itu merujuk pada firman Allah swt. ”Allah telah
mengajarkan Adam semua namanama.” (Q.S. al-baqarah:31) Dengan begitu
menurutnya tidak akan lagi pertentangan.

Menurutku (Ibnu Jinny) ayat di atas dapat ditakwilkan dengan:bahwa Adam


diberi kemampuan oleh Allah untuk menciptakan bahasa. Jika pendapatku ini bisa
diterima, maka pandangan bahwa pandangan Abu ‘Ali di atas gugur. Namun pada
kesempatan lain Abu ‘Ali pun berpendapat sama seperti yang aku ungkapkan ini.
Pendapatku ini juga didukung oleh Abu al-Hasan al-Rummany (396-484 H.) yang
mengatakan bahwa bahasa itu diciptakan (tawadhu’un) atas kemampuan yang
diberikan Allah pada manusia.

Abu al-Hasan menafsirkan ayat di atas, sebagai berikut:”Allah swt telah


mengajarkan Adam, namanama semua makhluk dengan semua bahasa, yaitu bahasa
Arab, Persia, Suryani, Ibrani, Romawi dan bahasa-bahasa lain. Dengan begitu Adam
serta anak-cucunya berbicara dengan bahasa-bahasa itu. Kemudian anak-cucunya
berpencar ke penjuru dunia. Tiap anak-cucu dibekali dengan satu bahasa. Yang
tadinya semua anak-cucu menguasai semua bahasa, tapi karena (jarak) dan waktu
yang cukup jauh, maka akhhirnya tiap keturunan hanya menguasai satu bahasa
saja.” Jika informasi dari Abu al-Hasan ini benar, maka pendapat ini harus diterima.
Kemudian jika ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud bahasa (lughah)
dalam pandangan Abu al-Hasan itu meliputi kata benda (asmaa), kata kerja (‘afaal),
dan haraf. Maka tidak semestinya si pembicara hanya mengatakan bahwa yang
dimaksud bahasa itu adalah kata benda (isim) saja. Mengapa bisa hanya isim saja
yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Jawabannya karena kalimat ( jumlah) bisa dapat
dimengerti hanya dengan isim saja, tanpa membutuhkan fi’il maupun haraf. Dengan
demikian isim memiliki posisi yang leih kuat dalam jumlah. Oleh karena itu maka
pantaslah kata asmaa dicantumkan dalam ayat di atas. Juga dianggap pantas jika
menafsirkan demikian.

Kelompok yang berpandangan bahwa bahasa pada awalnya bukan wahyu,


namun kreasi (muwadha’ah) manusia, memberi contoh kasus dua orang hakim atau
lebih berkumpul. Lalu mereka bermaksud menjelaskan data-data yang mereka
dapatkan. Lalu mereka memberikan tanda (simat) dan kata (lafazh) pada datadata itu,
agar gampang dikenali jika salah satunya disebut. Di berbagai keadaan, kita perlu
memeberi nama sesuatu karena tidak mungkin menghadirkannya, sebagaimana
sesuatu yang telah rusak atau menyebutkan lawannya. Karena akan kesulitan jika
harus dihadirkan, atau karena jaraknya jauh antara keduanya. Hal itu sama sulitnya
ketika kita menunjuk seseorang. Lalu memanggil, ini manusia, itu manusia, dan itu
manusia. Padahal yang dimaksud manusia adalah bagian dari manusia itu, seperti
tangan, kepala dan kaki. Begitulah seterusnya manusia menamai benda-benda
disekitarnya. Sehingga ketika mendengar suatu kata, maka langsung saja ia tahu
maknanya. Contoh nyata dalam kehidupan kita, seperti hasil kreatifitas (ikhtira’aat)
para tukang untuk alat-alat pekerjaan mereka misalnya perimbas (najjaar), cetakan
(shaaigh), pola (haaik), alat pembangun (bannaa) dan pembuat garam (mallaah).

Ada kelompok yang berpendapat bahwa muwadha’ah pada awalnya harus


dengan bukti (musyahdah) dan penunjukan (iimaa) langsung pada benda yang
disebut. Dengan demikian tidak bisa dikatan bahwa Allah telah membantu seseorang
untuk melakukan kreatifitas (muwaadha’ah). Karena muwadha’ah itu harus ada
penunjukan (iimaa) dengan anggota badan. Sedangkan Allah tidak demikian. Oleh
karena itu maka mengatakan bahwa Allah melakukan muwdha’ah menjadi gugur.
Namun bisa saja Allah yang telah menurunkan bahasa hambanya dengan cara
muwadha’ah itu dengan berfirman:”Apa yang telah kamu sekalian ungkapnkan
dengan istilah ini, maka ubahlah dengan istilah ini. Dan apa yang engkau namakan
dengan kata ini. Maka sekarang gantilahlah dengan kata ini.” Ini memang mungkin.

Sebagian kelompok ada yang berpendapat bahwa asal bahasa adalah dari
‘suara’ (ashwaat) yang didengar dari seperti suara angin (dawiyy), guntur (haniin), air
(khariir), keledai (syahiij), gagak (nu’aaq), kuda (shahiil) dan menjangan (naziib).
Lalu dari suarasuara itu lahirlah bahasa manusia. Menurut saya pendapat ini ada
benarnya dan dapat diterima. Setelah sekian lama aku merenung, maka kedua belah
pihak, baik yang berpadangan bahwa bahasa itu muwadha’ah ataupun tauqqify,
kedua-duanya bisa aku terima. Dan aku adalah orang yang berada di antara keduanya.

2. Ibnu Faris (329-395 H)

Nama lengkapnya Abu alHusein Ahmad bin Faris bin Zakariya bin
Muhammad bin Habib. Ia seorang linguis Arab yang bermadzhab Kufah. Ia lahir
pada 329 H. dan wafat 395 H di Ray pada bulan Shafar. Ia merupakan ulama yang
produktif, diantara karyanya adalah Kitab al-Mujmal fi alLughah, Al-Shâhiby fi Fiqh
alLughah wa Sunan al-‘Arab fi Kalâmihâ, dan Kitab al-Tsalâtsa (Houtsma,
1993:377). Pandanganpandangan Ibnu Faris tentang asalusul bahasa pada tulisan ini
diambil dari kitabnya Al-Shâhiby fi Fiqh alLughah wa Sunan al-‘Arab fi Kalâmihâ
(1993), bab al-Qaul ‘ala Lughah al-‘Arab: A tauqiifun am ishthilaahun?

(Ibnu Faris) berpendapat bahwa bahasa Arab itu pada mulanya taqiify.
Sebagai dalilnya adalah firman Allah swt:”Allah telah mengajari Adam semua nama-
nama. (Q.S. al-baqarah:31)” Ibnu Abbas berkata:”Maksudnya Allah telah mengajari
Adam semua nama-nama yang diketahui manusia, seperti nama binatang, bumi,
rawa, gunung, keledai dan sebagainya.” Lalu jika ada yang bertanya:”Jika pendapat
anda itu benar,tentu dalam ayat tersebut Allah menyebutkan ‘aradhahunna’ atau
‘aradhahaa.” Maka jawabannya adalah ketika Allah menyebutkan dhamir hum pada
‘aradhahum, maka tentu rujukannya adalah manusia (bani Adam) atau para malaikat.
Karena rujukan dhamir itu pada sesuatu yang berakal. Namun ketika pada kenyataan
di alam ini benda itu ada yang berakal dan ada yang tidak berakal, maka dalam tradisi
bahasa Arab- bahasa yang berakal meliputi juga pada yang tidak berakal sebagaimana
dalam ayat ini. Tradisi ini dalam stilistika Arab disebut taghlib (mencakup). Ayat al-
Qur’an yang bergaya bahasa seperti ini adalah ayat: Wallaahu khalaqa kulla daabatin
min maain. Faminhum man yamsyi ‘alaa batnih, waminhum man yamsyi ‘ala rijlain,
wa minhum man yamsyi ‘ala arba’. Ada yang menafsirkan bahwa hum di sana
merujuk pada manusia yang jalan berkaki dua (rijlain) yang juga meliputi makhluk
lain yang berjalan dengan perut dan empat kaki. Perlu diingat bahwa semua yang
terjadi di alam ini adalah karena kekuasaan Allah.
PENUTUP
Simpulan
Dari manapun asal usul bahsa,pada hakikatnya tuhan telah membekali
manusia degan perangkat pemerolehan bahasa yang oleh Avram Noam Chomsky
disebut language acguistion device (LAD). Manusia telah diberi potensi berbahsa
yang berpusat pada otak sbelah kiri. Dengan kemampuan tersebut, manusia dapat
menciptakan, berkreasi, dan belajar berbahasa.
Dengan adanya interaksi antar manusia, manusia membutuhkan alat
kominikasi yang disepakati bersama. Alat komunikasi yang disebut dengan bahasa
lambat laun selalu mengalamii perkembangan seiring dengan perkembangan
peradapan manusia.

Anda mungkin juga menyukai