Ilmu Komunikasi
Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Editor :
Fajar Junaedi, Irwa R. Zarkasi
Penulis :
Meria Octavianti, Mohamad Reza, Atwar Bajari, Moch. Imron Rosyidi,
Annis Azhar Suryaningtyas, I Wayan Suadnya, Eka Putri Paramita,
Abung Supama Wijaya, Tri Susanto, Burhan Bungin, Dorien Kartikawangi,
Heni Indrayani, Swita Amalia Hapsari, Hanif Wahyu Cahyaningtyas,
Rifqi Hindami, E. Nugrahaeni P, Titi Widaningsih, Ita Musfirowati Hanika,
Ilham Ayatullah Syamtar, Kinkin Yuliaty Subarsa Putri,
Maulina Larasati Putri, Tuti Widiastuti, S Bekti Istiyanto,
Salsabila Ardiningrum, Lishapsari Prihatini, Sumarni Bayu Anita,
Rachmawati Windyaningrum, Rila Setyaningsih, Abdullah,
Edy Prihantoro, Hustinawaty, Sitti Utami Rezkiawaty Kamil,
Sutiyana Fachruddin, Ikrima Nurfikria, Marsia Sumule G,
Fera Tri Susilawaty, Vera Hermawan, H. Rasman Sonjaya,
Diah Amelia, Bayu Dwi Nurwicaksono, Errika Dwi Setya Watie,
Fajriannoor Fanani, Haryo Kusumo Aji, Iskandar Zulkarnain,
Febry Ichwan Butsi, Louisa Christine Hartanto,
Setio Budi H. Hutomo, Supadiyanto.
Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi
Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Copyright © penulis
Hak cipta pada penulis dan dilindungi oleh Undang-undang (All Rigths Reserved).
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari
penerbit.
Cetakan I : 2019
232 (viii+ 224 hlm) halaman, 15,5 x 23,5 cm
ISBN: 978-602-5681-53-0
Editor :
Fajar Junaedi, Irwa R. Zarkasi
Penulis :
Meria Octavianti, Mohamad Reza, Atwar Bajari, Moch. Imron Rosyidi,
Annis Azhar Suryaningtyas, I Wayan Suadnya, Eka Putri Paramita,
Abung Supama Wijaya, Tri Susanto, Burhan Bungin, Dorien Kartikawangi,
Heni Indrayani, Swita Amalia Hapsari, Hanif Wahyu Cahyaningtyas, Rifqi Hindami,
E. Nugrahaeni P, Titi Widaningsih, Ita Musfirowati Hanika, Ilham Ayatullah Syamtar,
Kinkin Yuliaty Subarsa Putri, Maulina Larasati Putri, Tuti Widiastuti,
S Bekti Istiyanto, Salsabila Ardiningrum, Lishapsari Prihatini, Sumarni Bayu Anita,
Rachmawati Windyaningrum, Rila Setyaningsih, Abdullah, Edy Prihantoro,
Hustinawaty, Sitti Utami Rezkiawaty Kamil, Sutiyana Fachruddin, Ikrima Nurfikria,
Marsia Sumule G, Fera Tri Susilawaty, Vera Hermawan, H. Rasman Sonjaya,
Diah Amelia, Bayu Dwi Nurwicaksono, Errika Dwi Setya Watie, Fajriannoor Fanani,
Haryo Kusumo Aji, Iskandar Zulkarnain, Febry Ichwan Butsi,
Louisa Christine Hartanto, Setio Budi H. Hutomo, Supadiyanto.
Desain Cover :
Ibnu Teguh W
Lay Out :
Ibnu Teguh W
Penerbit:
Buku Litera Yogyakarta
Minggiran MJ II/1378, RT 63/17 Suryodiningratan, Mantrijeron, Yogyakarta
Telp. 0274-388895, 08179407446. Email: bukulitera3@gmail.com
Kata Pengantar
Fajar Junaedi
Irwa R. Zarkasi
Pendahuluan
Mahasiswa merupakan orang dewasa yang dalam perspektif
pendidikan mengarahkan dirinya pada pencapaian identitas dan jati
diri. Mahasiswa bukan lagi menjadi objek sosialisasi yang dibentuk dan
dipengaruhi orang lain untuk menyesuaikan dirinya dengan keinginan
para pemegang otoritas, dalam hal ini kampus tempat dimana mereka
menimba ilmu. Kampus sebagai penyelenggara pendidikan tinggi tidak
cukup hanya memberi tambahan pengetahuan saja, tetapi kampus
harus mampu membekali mahasiswa dengan rasa percaya diri yang
kuat. Orientasi belajar yang ditekankan pada mahasiswa sebagai orang
dewasa haruslah berpusat pada kehidupan, sehingga mereka tidak hanya
berfokus pada nilai yang akan mereka dapatkan di akhir semester atau
ijazah yang akan mereka dapatkan di akhir masa perkuliahannya, tetapi
juga ilmu yang mereka dapatkan di kampus harus mampu meningkatkan
taraf hidupnya kelak saat mereka lulus dan juga bermanfaat untuk
kehidupanya secara lebih luas.
Program studi sebagai salah satu bagian dari kampus yang
bersingungan langsung dengan mahasiswa, harus mampu menyiapkan
berbagai hal yang diperlukan dalam pendidikan mahasiswa sebagai
orang dewasa. Knowles menegaskan bahwa terdapat perbedaan antara
belajar bagi orang dewasa dengan belajar anak-anak dilihat dari segi
perkembangan kognitifnya. Menurut Knowles (2002) terdapat empat
asumsi utama yang membedakan pendidikan orang dewasa dengan
anak-anak, yaitu: (a) perbedaan dalam konsep diri dimana orang dewasa
Bila data dari penelitian ini dimasukkan pada formula di atas, maka
didapatkan hasil sebagai berikut:
Dapat dibaca dan disimpulkan pula, bahwa response rate dari penelitian
ini adalah sebesar 86,96% atau baik. Hal ini sejalan dengan pernyataan
Nancy Gordon yang menyebutkan bahwa response rate sebesar 70%
adalah batasan jumlah yang lebih baik bagi penelitian yang berfokus
pada penggambaran pengetahuan dan sikap.
Pengukuran validitas pada penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan Product Moment dari Karl Pearson dan uji reabilitas
dilakukan dengan menggunakan Alpha Cronbach. Dikarenakan
penelitian ini hanya bersifat deskriptif, maka penelitian ini hanya
melakukan analisis data tunggal dari setiap variabel yang diteliti.
Pembahasan
Banyak aspek yang mempengaruhi pengembangan sebuah program
studi. Penggembangan sebuah program studi tidak terlepas dari penilaian
mahasiswa terhadap berbagai aspek dalam program studi tersebut
seperti profil lulusan, kurikulum, serta sarana dan prasarana penunjang
pendidikan. Penelitian ini dilakukan kepada 55 mahasiswa Universitas
Negeri Gorontalo yang terdiri dari 56% perempuan dan 43% laki-laki.
Penelitian ini hanya bersifat deskriptif, yaitu hanya memaparkan data
tunggal yang diperoleh dari kuesioner, tanpa melakukan pengujian
statistik inferensial untuk mengetahui hubungan atau pengaruh antar
satu variabel dengan variabel lainnya.
Responden penelitian berjumlah 55 orang mahasiswa aktif Prodi
Tetapi walaupun begitu tetap saja tidak serta merta profil lulusan yang
telah ditetapkan tersebut diikuti seluruhnya. Program studi tetap harus
menyesuaikan dengan kemampuannya untuk memberikan layanan pada
para mahasiswa agar mampu melakukan peran tersebut di saat mereka
bekerja nanti.
Apabila mengkaji dari apa yang dituangkan dalam borang 3A
bahwa tujuan pertama dari penyelenggaran pendidikan di Program
Studi Ilmu Komunikasi FIS UNG adalah untuk menghasilkan lulusan
Ilmu Komunikasi yang unggul sebagai insan-insan yang profesional,
Diagram 1
Keterampilan yang Ingin Dimiliki Mahasiswa saat Mereka Lulus dari Prodi Ilmu
Komunikasi FIS UNG
Sumber : Hasil Penelitian (Desember, 2018)
Penutup
Program Studi Ilmu Komunikasi FIS UNJ secara umum sudah
dipandang sebagai program studi yang baik bagi mahasiswa aktif yang
saat ini masih menimba ilmu di prodi tersebut. Keinginan yang sangat
tinggi ditunjukkan oleh mahasiswa untuk melakukan pengembangan
program studi ke arah yang lebih baik. Berbagai jenis keterampilan yang
ingin dimiliki oleh para mahasiswa sudah dapat dipelajari dari berbagai
mata kuliah yang ditawarkan pada kurikulum yang berlaku. Walaupun
akhirnya keterampilan yang diperoleh dianggap tidak maksimal
dikarenakan mahasiswa hanya sebatas mempelajarinya untuk keperluan
mata kuliah saja tanpa memperdalamnya sebagai sebuah keterampilan
khusus yang pada akhirnya akan dimiliki oleh mahasiswa ketika mereka
lulus kelak.
Hasil penelitian serta pembahasan yang telah dilakukan diharapkan
mampu menjadi masukan bagi pengembangan Program Studi Ilmu
Komunikasi FIS UNG. Aspek terpenting yang harus segera dilakukan oleh
Program Studi Ilmu Komunikasi FIS UNG adalah dengan melakukan
kegiatan lokakarya penentuan profil bagi para lulusan dan melakukan
perbaikan pada kurikulum yang disesuaikan dengan profil lulusan yang
ditetapkan. Dengan begitu, segala bentuk program yang akan dilakukan oleh
para dosen maupun mahasiswa dapat disesuaikan dengan profil lulusan.
Dosen akan lebih terfokus untuk mengembangkan dirinya dalam kegiatan
pengajaran, penelitian maupun pengabdian yang sejalan dengan profil
lulusan yang diharapkan. Begitu pula dengan mahasiswa, mampu membuat
dan mengelola berbagai program yang linier dengan kompetensi umum dan
kompetensi khusus dari profil lulusan yang telah ditetapkan.
Daftar Pustaka
Anoraga, Pandji .1992. Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta
Della Mundy. A Question of Response-Science Editor. January-February
2002. Vol 25 No 1. Hal 25
Sumber internet :
https://belmawa.ristekdikti.go.id/dev/wp-content/uploads/2015/11/6A-
Panduan-Penyusunan-CP.pdf diakses pada tanggal 28 Juni 2019
pukul 23.30 WIB.
Sumber lainnya:
Dokumen Borang 3A Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Gorontalo 2018
Pendahuluan
Jurgen Habermas yang lahir di Dusseldorf, Jerman, pada 18 Juni
1929 beliau belajar filsafat,sejarah,psikologi dan sastra Jerman di
Gotingen, Zurich dan Bonn. Dia memeroleh gelar doktor dalam bidang
filsafat pada 1954 atas disertasi dengan Judul Absolute and die Geshictie
(yang absolut dan sejarah). Suatu karya yang secara mendalam masih
dipengaruhi filsafat Heideger (Sobur, 2014). Habermas menyadari
betapa kejamnya rezim hitler dalam Perang Dunia ke II Habermaspun
mengenal dan mempelajari demokrasi mungkin karena hal tersebut
di kemudian hari muncullah gagasan Habermas mengenai Demokrasi
Deliberatif(Siswanto, 2017). Habermas kemudian menjadi bagian dari
Institut Penlitian sosial di Frankfurt atau yang kemudian dikenal dengan
Mahzab Frankfurt dimana pakar teori sosial kritis seperti Theodor
Adorno, Max Weber dan pendahulu-pendahulunya berasal. Di institut
ini pula pemikir hebat seperti Niklas Luhmann pernah bergabung hingga
terlibat perdebatan panjang mengenai pemikiran antara Luhmann dan
Habermas (Hardt, 2007).
Dalam pemikir Mazhab Frankfurt memiliki beberapa prinsip utama
yakni: pertama: tidak menggunakan Marxisme menjadi dogma namun
menjadi langkah awal dalam analisis, kedua:program lembaga bersifar
non partai tidak berafiliasi dengan partai manapun. Ketiga:meski
tidak menggunkan Marxisme sebagai dogma namun disini Marxsisme
sangat memengaruhi pemikiran Mazhab Frakfurt terutama mengenai
manusia objek atau reifikasi. Keempat: Selalu menekankan otonomi
teori, independensi. Kelima: mereka berpandangan reifiasi adalah simbol
proses yang memengaruhi strata sosial sehingga harus di perhatikan
jika berbicara mengenai sosial masyarakat. Keenam: mazhab Frankfurt
menganggap dirinya sebagai gerakan revolusiaoner intelektual yang
mempertahankan pentingnya transenndensi masyarakat (Supraja, 2017).
Penutup
Jika kita melihat matriks di atas kita akan melihat bagaimana
kemiripan keduanya yang bisa digunakan sebagai pijakan perspektif
komunikasi pembangunan partisipatif. Habermas bisa dijadikan
alternatif pijakan jika menilik perspektif Freire yang sangat rawan
represi ketika dalam tahapan praksis. Karena itu masih rawannya represi
membuat rawan pula kegagalan partisipatif, apalagi dalam masyarakat
kelas bawah dan kaum marjinal.
Daftar Pustaka
Foucault, M. (2014). Pengetahuan Dan Kekuasaan. Kreasi Wacana:
Yogyakarta.
Freire, P. (2000). Pendidikan Kaum Tertindas. Lp3es: Jakarta.
Habermas, J. (1989). The Theory Of Communicative Action. Boston:
Beacon Press.
Hadiyanto. (2008). Komunikasi Pembanggunnan Partisipatif; Sebuah
Pengenalan Awal. Bogor: Jurnal Komunikasi Pembangunan Ipb,
Issn 1693-3699.
Hardiman, F. B. (1993). Menuju Masyarakat Komunikatif;Ilmu,
Masyarakat Politik & Posmodernisme Menurut Jurgen Habermas.
Yogyakarta: Kanisius.
Hardt, H. (2007). Critical Communication Studies. Yogyakarta: Jalasutra.
Kadarsih, R. (2008, Januari-Juni ). Demokrasi Dalam Ruang Publik:
Sebuah Pemikiran Ulang Untuk Media Massa Di Indonesia. Journal
Dakwah, Vol. Ix No. 1,.
M. Mozammel, A. G. (2005). Stretegic Communication For Community-
Driven Development; A Practical Guide Forproject Manager And
Communication Practitioner. Washington D.C: World Bank.
Nasution, Z. (1998). Komunikasi Pembangunan Pengenalan Teori Dan
Penerapannya; Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali Press.
Siswanto, J. (2017). Horizon Hermeneutika. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Sobur, A. (2014). Filsafat Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Supraja, M. (2017). Pengantar Metodologi Ilmu Sosial Kritis Jurgen
Habermas. Yogyaakarta: Gadjah Mada University Press.
Wilkins, K. G. (2000). Redeveloping Communication Fo Social Change.
Rowman & Littlefield Publisher, Inc.
Pendahuluan
Dalam mainstream literatur komunikasi modern kata komunikasi
berasal dari bahasa latin comunis yang berarti sama (common dalam
bahasa Inggris). Yang selanjutnya didefinisikan bahwa komunikasi
adalah upaya untuk membangun kesamaan makna antara pengirim
(sender) pesan dengan penerima (receiver) pesan (Morissan, 2013).
Namun kata ini bukan saja ditemukan dalam literatur yang diterbitkan
dalam khasanah kebudayaan barat tetapi juga ditemukan pada khasanah
kebudayaan timur (Hindu India) yang dalam bahasa sansekerta asli
(termasuk Hindi dan Nepali) yaitu Sanchar (Adhikary dan Shukla,
2013). Untuk mengkaji dan mengidentifikasi Ilmu komunikasi berbasis
kearifan Hindu, studi pustaka telah dilakukan. Studi dimulai dengan
menemukan istilah komunikasi dan definisi komunikasi dalam khasanah
ilmu pengetahuan Hindu.
Dari hasil penelusuran yang telah dilakukan ditemukan bahwa,
walaupun kata sanchar mempunyai beberapa arti tetapi salah satunya
adalah sama dengan kata komunikasi pada mainstream khasanah ilmu
budaya barat yaitu Communication. Kata sanchar pada bahasa Sansekerta
asli tidak semata-mata berarti komunikasi “mainstream Barat” –
saling pengertian (mutual understanding) tetapi juga ditujukan untuk
menunjukan sharing common religious dan philosopical tradision serta
identitas budaya (Adhikary dan Shukla, 2013).
Komunikasi bagi sementara orang Indonesia khususnya umat Hindu
merupakan suatu proses yang inheren dalam kehidupannya. Pelajaran
komunikasi berbasis kebudayaan barat yang selama ini dipelajari telah
membatasi eksplorasi komunikasi berbasis kebudayaan lokal (Hindu) di India
dan Nepal (Adhikary, 2011 dan 2012). Hal senada juga terjadi di Indonesia
dimana paradigma ilmu komunikasi yang berkembang adalah paradigma
Barat. Kumar (2005) mengkritisi teori dan model komunikasi barat dengan
mengatakan bahwa model tersebut merupakan refleksi dari bias kebudayaan
Pembahasan
Ilmu Komunikasi dari Perspektif Hindu
Sejarah peradaban Hindu merupakan peradaban yang sudah tua, dia
telah hadir ribuan tahun yang lalu, sehingga dikenal sebagai peradaban
masyarakat ribuan tahun yang lalu yang dicirikan oleh identitas budaya
khas dan keunikan tersendiri. Ini merupakan warisan kebudayaan yang
sangat kaya yang belum banyak digali dari sisi ilmu komunikasi. Kata
komunikasi (shancar) bukanlah istilah baru dalam konteks budaya
Hindu. Demikian pula halnya dengan teori komunikasi. Sesungguhnya
komunikasi dan teorisasi komunikasi merupakan sesuatu yang melekat
(indiginous) dalam kebudayaan Hindu (Adhikary, 2011).
Upaya-upaya untuk mengkaji dan menemukan serta mengidentifikasi
komunikasi dari perspektif Hindu telah dilaksanakan, walaupun masih
sangat terbatas jumlahnya. Kalau kita perhatikan proses pengkajian dan
pengembangan ilmu komunikasi dari perspektif Hindu (India) telah
berjalan kurang lebih dimulai sejak tahun 1958 (Majumdar, 1958).
Peneliti seperti Majumdar (1958), Gumperz (1964) dan Yadava (1979)
memulai penelitian dan memiliki kesamaan pendekatan serta masalah
penelitian yaitu tentang komunikasi pedesaan yaitu dampak kasta dan
agama dalam praktek-prktek komunikasi. Kemudian peneliti lain seperti
Oliver (1971) menganalisis tentang perbedaan orang India dan orang
Cina dalam rethorika dan mengidentifikasi persatuan dan keharmonisan
sebagai dasar rethorika di Asia. Dia menemukan bahwa cara (manner)
orang Asia dalam berkomunikasi berbeda dengan orang Barat. Oleh
karena itu sangatlah penting untuk memahami komunikasi dalam
kontek budaya dan interaksi sosial masyarakat diwilayah atau teritorial
tertentu. Dia selanjutnya menambahkan bahwa dengan memahami
retorika orang timur masyarakat barat bisa lebih memahami ide retorika
dan komunikasi mereka sendiri.
Penutup
Dari hasil kajian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu: (1)
bahwa secara faktual ilmu komunikasi sudah ada dalam ajaran Hindu
sebagai diungkapkan oleh beberapa penulis – Sadharanikaran; (2) bahwa
munculnya teori komnikasi berbasis kearifan Hindu adalah pertanda
bahwa teori dan ilmu pengetahuan tentang komunikasi Hindu ada
dalam kebudayaan dan peradaban Hindu, namun belum tereksplorasi
secara luas dan mendalam; (3) penelitian dan penggalian ilmu
komunikasi Hindu dapat dilakukan dengan memperkuat pengetahuan
dan pemahaman teori komunikasi modern dan kebudayaan Hindu serta
peningkatan keterampilan metodologi untuk mengkajinya. Perlu upaya
yang serius dari ilmuwan Hindu untuk menggali dan mengembangkan
ilmu komunikasi berbasis Hindu.
Daftar Pustaka
Adhikary, N. M. (2008). The Sadharanikaran Model and Aristotle’s
Model of Communication: A Comparative Study. Bodhi: An
Interdisciplinary Journal, 2, 268-289.
Pendahuluan
Seiring dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan
membuat manusia seolah dengan sendirinya menyesuaikan diri untuk
beradaptasi dengan perubahan demi perubahan. Salah satu perubahan
yang paling terasa khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan adalah
semakin meningkatnya inovasi dalam berbagai bidang. Salah satu
lembaga yang terus produktif menicptakan berbagai inovasi dari tangan
para invator-inovatornya adalah Institut Pertanian Bogor.
Institut Pertanian Bogor (IPB) adalah salah satu perguruan tinggi
negeri di Indonesia. Nama IPB telah malah melintang dalam bidang
pendidikan perguruan tinggi setelah menyatakan berdiri sendir dari
Univeristas Indonesia 56 tahun silam. Hingga kini, IPB dikenal sebagai
salah satu perguruan tinggi dengan spesifikasi di bidang Pertanian yang
cukup terkemuka di Indonesia. Telah banyak hasil riset dan para lulusan
yang telah melambungkan nama IPB dalam berbagai prestasiyang telah
diukirnya. IPB adalah penghasil inovasi-inovasi yang kualitasnya diakui
secara nasional maupun internasional. Selama sepuluh tahun berturut-
turut (tahun 2008-2018), Inovasi IPB adalah yang terbanyak diantara
perguruan tinggi lain di Indonesia berdasarkan hasil penilaian Business
Innovation Center – Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi
RI dalam Inovasi Indonesia Paling Prospektif dengan angka mencapai
39,71 persen (IPB, 2019).
IPB yang didirikan pada tanggal 1 September 1963 merupakan
wujud pemikiran yang visioner dari pemimpin bangsa dan mereka
yang peduli dengan pendidikan tinggi pertanian agar bangsa besar ini
Pembahasan
Pada penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif
yang pada dasarnya mengamati orang dalam lingkungan hidupnya,
a. Repositioning.
Menurut Ries dan Trout (2001) dalam Muzzelec et al. (2009),
repositioning mempunyai arti: sebuah tahapan bertujuan, dimana
keputusan diambil untuk mencoba menciptakan sebuah posisi baru
perusahaan secara radikal di benak konsumennya, para pesaing dan
pemangku kebijakan lainnya. Menurut Muzellec et al. (2009), posisi
sebuah merek dalam benak konsumen adalah penting dan bersifat
dinamis. Dalam kondisi-kondisi tertentu, perusahaan diharuskan
melakukan strategi-strategi tertentu untuk merubah atau memperbaiki
posisi merek di benak konsumen atau dengan kata lain adalah melakukan
repositioning, di antaranya perluasan target baru institusi sebagai bagian
dari strategi komunikasi yang dilakukan.
Menurut Paul (dalam Nugraha dan Damayanti, 2015) strategi
komunikasi mempunyai unsur-unsur yang berkaitan dengan segala
usaha untuk mencapai dan mendukung suatu tujuan dengan memerlukan
suatu koordinasi tindakan, pesan, image, dan bentuk-bentuk lain untuk
membuat keterpautan untuk menginformasikan, mempengaruhi, dan
mengajak khalayak tertentu untuk mendukung tujuan perusahaan.
Akan tetapi, perubahan target dan konsep baru mal ini tidak mengubah
visinya yaitu “Menjadi perguruan tinggi berbasis riset dan terdepan dalam
inovasi untuk kemandirian bangsa menuju techno-socio enterpreneurial
university yang unggul di tingkat global pada bidang pertanian, kelautan,
biosains tropika”. Repositioning yang ingin dituju oleh IPB difokuskan kepada
perubahan brand dikalangan masyarakat dengan mencoba memberikan
pemahaman bahwa IPB University mempunyai cakupan yang luas, tidak
hanya sekedar terfokus kepada pertanian saja.
IPB sudah sejak lama mengembangkan banyak keilmuan dalam
berbagai bidang no pertanian. Saat ini IPB university mempunyai banyak
bidang yang lebih meluas, diantaranya adalah kedokteran hewan, sekolah
bisnis, sekolah vokasi, hingga beberapa program studi yang (bahkan)
hanya mempunyai irisan yang kecil dengan dunia pertanian. Untuk itu,
dengan rebranding ini, IPB University mengharapkan bahwa pemahaman
masyarakat lebih terbuka untuk memahami cakupan bidang dari IPB
selanjutnya rencana kedepanya IPB akan menjadi universitas dengan
berbagai program studi seperti universitas lainnya.
b. Renaming
Renaming adalah nama merek memegang peranan penting karena
menjadi wajah atau indikator awal sebuah merek. Nama merek yang kuat
adalah asset yang mendemonstrasikan kekuatan entitas merek (Muzellec
et al., 2009:34). Merubah nama merek berarti memberikan sinyal kepada
stakeholder bahwa perusahaan melakukan perubahan, baik perubahan
strategi, kepemilikan dan lainnya. Hal ini menjadi bentuk komunikasi
perusahaan terhadap para stakeholder-nya. Pada renaming, perubahan
yang terjadi tidak hanya pada nama merek, namun juga dapat pada
slogan (tagline) nya (Muzellec et al, 2009:34).
Akitivitas Renaming pada IPB dapat terlihat dari perubahan nama
yang dilakukan. Pada versi sebelumnya IPB menggunakan nama “IPB”
dalam Bahasa Indonesia dan biasa menggunakan “Bogor Agricultural
University” jika diterjemahkan kedalam Bahasa Inggris. Namun setelah
mengalami renaming, kini IPB berganti nama menjadi “IPB University”.
Penyebutan itu ditujukan baik dalam penyebutan Bahasa Indonesia
c. Redesigning
Sebagai strategi dari perusahaan, perubahan diikuti pada perubahan
logo dan elemen merek lainnya. Redesign dapat diartikan sebagai:
menjaga tetap agar semua elemen organisasi seperti alat-alat tulis, brosur,
iklan, laporan tahunan, kantor-kantor dan mobil pengantar produk,
tampak mewujudkan posisi yang diinginkan perusahaan (Muzellec et
al, 2009:35). Pada proses Redesign IPB tidak mengubah logo awalnya.
Namun lebih tepatnyahanya menambahkan “IPB University” dan “Bogor
Indonesia” pada sebelah kanan logo sebelumnya (versi Horizontal) dan
pada sebelah kanan logo sebelumnya (versi vertikal). (Lihat gambar 1).
d. Relaunching
Relaunching merupakan langkah terakhir setelah semua perubahan
yang diperlukan telah dilakukan, dimana relaunch merupakan
pemberitahuan agar masyarakat mengerti bahwa perusahaan
melakukan strategi yang berbeda. Relaunching menentukan bagaimana
stakeholder melihat brand baru yang akan diperkenalkan, yaitu dengan
mempublikasikan brand baru adalah tahap akhir dan menentukan
bagaimana masyarakat luas (karyawan, pelanggan, investor, dan
wartawan) mungkin menganggap nama baru. Untuk para pemangku
kepentingan internal, nama baru dapat diperkenalkan melalui brosur
internal atau koran, pada kesempatan pertemuan tahunan, atau melalui
lokakarya dan intranet.
IPB melakukan Relaunching brand dengan memulainya dari tahapan
soft launching dalam acara Rabuan (Pertemuan rutin dosen) pada tanggal
30 januari 2019 yang bertemakan “Maju Bersama Menuju IPB Future 4.0”
di Graha Widya Wisuda (GWW), Kampus IPB Dramaga, Bogor. Rektor IPB
University Arif Satria menyampaikan dalam pidatonya bahwa perguruan
tinggi (PT) perlu berhenti sejenak dan mengevaluasi sejauh mana brand PT-
nya diterima masyarakat. Tahap selanjutnya adalah Grand Lauching yang
dilakukan bertepatan dengan acara Halal bi Halal 1440 H di Kampus IPB
University, Dramaga, Bogor, Senin 10 juni 2019.
Penutup
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat dikemukakan simpulan
dari penelitian yang berjudul “Rebranding Perguruan Tinggi dalam
Menghadapi Persaingan Global: Perubahan Nama Institut Pertanian
Bogor Menjadi IPB University” adalah sebagai berikut:
1. IPB telah menempatkan posisinya sebagai salah satu jajaran
perguruan tinggi terbaik di Indonesia dengan reputasi di dunia
Internasional, maka perlu melakukan penyesuaian brand seiring
dengan perkembangan dalam dunia pendidikan di era global saat
ini. Sebagai kampus dengan keunggulan dalam bidang inovasi
dengan integritas sebagai karakteristik sumber daya manusianya,
IPB University melakukan rebrandring dengan tujuan menunjukan
bahwa saat ini IPB University tidak hanya dikenal sebagai kampus
bidang pertanian saja, namun cakupan kelimuannya sudah semakin
meluas. Hal ini diharapkan berdampak pada kerjasama yang
dibangun dengan berbagai pihak eksternal, khususnya di luar negeri
Daftar Pustaka
Adianti, Fitria Putri dkk (2018) “Proses Rebranding Mal Grand Indonesia
Oleh Departemen Marketing Communication PT Grand Indonesia”
PRofesi Humas: Jurnal Ilmiah Ilmu Hubungan Masyarakat, Volume
2, No. 2, Februari 2018, hlm. 102-118
Ekafaya, Felesia Kirianawati, Roro Retno Wulan, Kharisma Nasionalita
(2015) “Pengaruh Perubahan Nama Terhadap Citra Pada Telkom
University”, Jurnal Ilmiah Komunikasi | MAKNA Vol. 6 No. 1,
Februari-Juli 2015
Intisari, Alam et al (2019) “Branding Initiatives in Higher Educational
Institutions : Current Issues and Research Agenda” Journal Of
Marketing and Management of Innovations Issue 1
Kotler, Philip & Kevin L. Keller. (2009). Marketing Management 13th
Edition. New Jersey: Prentince Hall International, Inc..
Murphy, M. J. (1988). How to design trademarks and logos. Universitas
Michigan: North Light Books.
Muzellec, Laurent., Mary Lambkin and Manus Doogan. (2003).
“Corporate Rebranding: An Exploratory Review”. Irish Marketing
Review, Vol 16, No 2, pp 31-40.
Muzellec, Laurent., Mary Lambkin and Manus Doogan. (2006). Corporate
Rebranding Destroying, Transfering or Creating Brand Equity.
Journal of Marketing. Vol 40 No 7/8 pp 803-824.
Burhan Bungin
Ilmu Komunikasi Universitas Ciputra
E-mail : burhan.bungin@ciputra.ac.id
Pendahuluan
Pemahaman metode riset seringkali dimulai dari kesadaran
bahwa seseorang ingin segera menyelesaikan tugas akademik atau
hanya menyelesaikan tugas projek yang seringkali dipandang terlepas
dari konteks pemahaman pengetahuan keilmuan secara utuh. Padahal
memahami metode riset tidak pernah terlepas dari konteks sosial,
filsafat, paradigma, teori dan barulah memahami suatu metode riset yang
seharusnya digunakan.
Penulis-penulis terkenal metode riset seperti Craswell (2018),
menempatkan pembahasan masalah filsafat dan paradigma keilmuan
pada bagian awal tulisannya. Denzin dan Lincoln (2018) juga
menempatkan pembahasan filsafat dan paradigma penelitian pada bab
awal tulisan mereka. Bernard (2006) bahkan menempatkan bab awal
teori-teori sosial dalam pembahasan bukunya. Sementara itu Tracy (2013)
memulai membahas metode riset dengan mambicarakan konteks sosial.
Begitu juga Taylor, Bogdan and DeVault (2016), Tylor and Wallace (2017)
juga membahas masalah paradigma dan keilmuan diawal pembahasan
mereka mengenai metode riset. Artinya begitu penting pemahaman
filsafat dalam metode penelitian, karena itu tidak ada pemisah antara
aspek-aspek filsafat, paradigma, teori dan metode yang digunakan dalam
sebuah riset.
Sesungguhnya metode riset itu hanyalah alat kecil dalam konteks
keilmuan yang besar, sehingga ketika seseorang menggunakan sebuah
metode seharusnya ia mempelajari konteks keilmuan dimana metode
riset itu berada. Seringkali kita melakukan gerakan terbalik, ketika hendak
melakukan penelitian, maka seseorang langsung memilih metode riset,
kemudian baru memahami konteks sosialnya dan kontek filosofisnya.
Akibatnya seringkali ia tersesat dijalan dan seringkali juga berakibat
1. Post-positivism
Orang-orang post-positivism, sebagaimana Fisikawan Werner
Heisenberg dan Niels Bohr membuang pandangan dogmatis tentang
positivism, mengubah penekanan dari kepastian absolut menjadi
probabilitas; mereka menggambarkan ilmuwan sebagai orang yang
membangun pengetahuan, bukannya hanya secara pasif memperhatikan
hukum alam (Crotty, 1998). Argumen mereka adalah bahwa “tidak
peduli seberapa setia ilmuwan mematuhi penelitian metode ilmiah, hasil
penelitian tidak sepenuhnya objektif, atau tidak diragukan lagi sebagai
sesuatu kepastian”. Pandangan ini dikenal sebagai post-positivism (atau
empirism logis); ini menggambarkan bentuk positivism yang tidak
terlalu ketat. Ahli empiris logis (atau post-positivis) mendukung gagasan
bahwa ilmuwan sosial dan ilmuwan alam berbagi tujuan yang sama
untuk penelitian dan menggunakan metode penelitian yang serupa.
Post-positivism dipengaruhi oleh filsafat yang disebut realisme
kritis. Ini dapat dibedakan dari positivism berdasarkan apakah fokusnya
adalah pada verifikasi teori (positivism) atau pada Teori pemalsuan
(post-positivism). Guba dan Lincoln (1994) membagikan contoh untuk
menjelaskan perbedaan ini di mana, sebagaimana mereka katakan, sejuta
angsa putih tidak dapat membuktikan bahwa semua angsa berwarna
putih, tetapi satu angsa hitam dapat membantah anggapan ini. Post-
positivis, seperti halnya positivis, percaya bahwa ada kenyataan yang tidak
tergantung pada pemikiran kita yang dapat dipelajari melalui metode
ilmiah. Realisme kritis, bagaimanapun, mengakui bahwa pengamatan
2. Salah Faham
Seringkali peneliti muda di bidang komunikasi menganggap bahwa
post-positivism adalah positivism, atau paling tidak mereka memandangi
post-postivism dalam kacamata positivism, atau juga mereka tidak mampu
membedakan antara positivism dan post-positivism. Bahkan banyak
kalangan akademisi komunikasi menganggap post-positivism adalah sama
dengan fenomenologi, akibatnya mereka mengira bahwa post-positivism
adalah fenomenologi atau bahkan mereka tidak bisa membedakan antara
post-positivism dan fenomenologi. Konsekuensi dari ketidaktahuan ini
menyebabkan kalangan akademisi komunikasi mengira bahwa metode
quasi-qualitative sebagai salah satu metode dalam post-postivism adalah
kualitatif-phenomenology, padahal quasi-qualitative “belum kualitatif ”
sebagaimana kelompok fenomenologi melihat metode ini. Kondisi ini
disebabkan karena quasi-qualitatif masih dipengaruhi oleh cara-cara
berfikir positivism yang sangat kuantitatif.
Sementara itu di kalangan fenomenologi termasuk juga di kalangan
peneliti-peneliti komunikasi, melihat konteks sosial (komunikasi) sebagai
suatu phenomena komunikasi yang berdiri sendiri di luar keilmuan
Pembahasan
Ada berbagai macam format desain spesifik post-positivism yang
dikenal diperbagai desain metode riset yang digunakan dalam paradigma
ini. Pada umumnya desain-desain ini disesuaikan dengan model metode
riset yang digunakan. Namun pada kesempatan ini diperkenalkan dua
model desain umum post-positivism yang seringkali menjadi perdebatan
di kalangan akademik. Dua desain itu adalah:
1. Desain Sederhana
Desain sederhana ini memiliki 5 (lima) langkah utama yaitu:
1. Social context and research question
2. Literature review
3. Research methods and data collection
4. Data analysis
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang Masalah
b. Masalah Penelitian
c. Tujuan Penelitian
d. Kajian Pustaka
e. Metode Penelitian
PENUTUP
a. Kesimpulan
b. Saran
Daftar Pustaka
Lampiran
Penutup
Paradigma post-positivism adalah kritik terhadap positivism, namun
metodologi yang diturunkan dari paradigma ini belum dapat dikatakan
sesungguhnya sebagai riset kualitatif, karena pengaruh positivism yang
kuat terhadap metode ini terutama perlakuan terhadap teori masih
bersifat deduktif. Ada dua sisi utama desain ini, yaitu sisi positivism yaitu
ketika penelitian dimulai dari sisi deduktif, menggunakan teori. Dari
sisi ini, maka desain ini benar-benar kuantitatif. Baru kemudian ketika
menganalisis data, desainnya berubah menjadi fenomenologi. Dimana
cara berfikir peneliti menjadi induktif. Itulah maka Creswell (2018)
menamakan desain ini sebagai combined research design.
Dua model desain ini dapat digunakan dalam studi-studi komunikasi
termasuk juga riset-riset pada media dan teknologi komunikasi. Dalam
literatur metodologi penelitian, karakter metode penelitian komunikasi
tergantung pada bagaimana riset itu dilakukan dan pada kajian apa
dilakukannya. Namun dua desain tersebut diatas dapat dilakukan
dimana-mana kajian komunikasi, karena sifatnya yang fleksibel dan
dapat dikembangkan berdasarkan teori yang digunakannya.
Riset-riset komunikasi dapat menggunakan model riset ini sejauh
penggunaan teori dan tujuan penelitian komunikasi searah dengan
post-positivism. Bidang-bidang komunikasi yang seringkali tidak terlalu
Daftar Pustaka
Craswell, J.W. (2018). Research Design; Qualitative, Quantitative and
Mixed Methods Approaches. London: SagePublication
Crotty, M. (1998). The Foundations of Social Research: Meaning and
Perspective in the Research Process. London: SagePublication
Denzin, NK. dan Lincoln, YS. (2018). Sage handbook of Qualitative
Research, London: SagePublication
Bernard, HR. (2006). Research Methods in Antropology. Qualitative and
Quantitative Approaches. Toronto: Altamira
MTAN. (2018). Materi Trilogi Penelitian Sosial. Surabaya: MTAN
Tracy, SJ. (2013). Qualitative Research Methods. UK: Wiley Blackwell.
Taylor, SJ, Bogdan, R., and DeVault, ML. (2016) Qualitaive Research
Methods, UK: Wiley Blackwell
Taylor, PC., and Wallace, J. (2017). Qualitative Research in Postmodern
Times. Netherlands: Springer
Dorien Kartikawangi
Program Studi Ilmu Komunikasi, Unika Atma Jaya, Jakarta, Indonesia
E- mail dorien.kartika@atmajaya.ac.id
Pendahuluan
Fenomena big data semakin meluas. Asosiasi Perusahaan PR
Indonesia (APPRI) menyatakan bahwa di India, beberapa perusahaan
menghilangkan jabatan CEO karena semua keputusan strategis bisa
diambil mesin pengolah data (Gumilar, 2018). Meski demikian, big data
belum terlalu dimanfaatkan dalam bidang Public Relations. Padahal,
semua data yang tersedia dapat menjadi dasar bagi PR untuk merancang
program komunikasi hingga implementasi dan evaluasinya. Dalam ranah
digital, segala sesuatu yang terkait perilaku manusia memang berubah
menjadi data, termasuk data demografi, kebiasaan, dan ekosistem
sosial. Karenanya, big data akan sangat bermanfaat jika data yang
disediakannya dipadupadankan, dianalisa dan menjadi suatu pola yang
dapat disimpulkan sehingga menjadi lebih bermakna. Sebagai contoh,
seseorang berusia 30 tahun memiliki teman-teman seusia pada karir
menengah di media sosial. Ia memasang status sedang mencari rumah.
Kemudian melalui cookies di laptop, tercatat bahwa yang bersangkutan
memiliki kebiasaan mencari informasi tentang rumah. Fasilitas visual
recognition di social media listening tool juga mampu menemukan
ekspresi positif di foto Instagram saat menemukan rumah yang sesuai.
Data tersebut, semuanya, meskipun belum big data, sudah dapat menjadi
dasar bagi Public Relations sebuah perusahaan pengembang untuk
merancang program komunikasi tentang strategi memilih rumah bagi
eksekutif muda pada jenjang karir menengah.
Public Relations, oleh Wright (1990) didefinisikan sebagai
“management function that identifies, establishes, and maintains mutually
beneficial relationships between organisation and the various publics on
which its success or failure depends.” Dalam membangun relasi dengan
seluruh pemangku kepentingan, Public Relations memiliki tujuan
untuk memastikan bahwa pesan yang disampaikan pada pemangku
kepentingan yang dituju sesuai dengan yang diharapkan. Disamping
Pembahasan
Big data: sebuah dilemma?
Big data merupakan tren yang signifikan saat ini, dimana
masyarakat memiliki banyak sekali informasi yang dapat diperolehnya
dengan sangat mudah melalui internet. Peterson (2018) mencatat bahwa
kajian terkait dengan hal ini menyimpulkan lebih dari 90% data yang
disajikan merupakan data yang dibuat dalam rentang waktu dua tahun
sebelumnya. Artinya, dengan rentang tersebut, data sangat sesuai ketika
Penutup
Ketika memahami bahwa riset formal sangat diperlukan dan diyakini
dapat digunakan untuk berbagai keperluan akademis maupun praktis,
maka persyaratan untuk dapat dilakukan sesuai kaidah penelitian yang
baku wajib dipenuhi. Dalam proses penelitian yang memerlukan teknik
perolehan data, peneliti dapat memeroleh data primer melalui berbagai
teknik, seperti wawancara, analisis isi, observasi dan focus group discussion
dalam penelitian kualitatif, maupun survei, eksperiman dan analisis isi
dalam penelitian kuantitatif. Selain data primer, peneliti memerlukan data
sekunder yang berupa dokumen, foto, penelitian terdahulu dan berkas
lainnya. Di era digital dan berkembangnya ketersediaan data yang sangat
besar atau big data, menjadi hal yang menguntungkan bagi peneliti untuk
memeroleh kelengkapan data melalui e-resources. Perlu menjadi perhatian
dalam konteks ini bahwa big data membutuhkan alat bantu yang memadai
untuk mengolah dan menganalisanya. Juga, pentingnya standar yang harus
ditetapkan agar hasil penelitian memeiliki kualitas dan kredibilitas yang baik.
Dengan demikian semuanya kembali kepada kemampuan peneliti Public
Relations untuk merancang, melakukan dan melaporkan penelitiannya.
Peneliti Public Relations dituntut untuk mengikuti perkembangan berbagai
metode perolehan dan analisa data, serta mampu menggunakannya.
Daftar Pustaka
Gartner. https://www.gartner.com diakses pada Januari 2019
Gumilar, Arya (2018), Public Relations antara data dan tiada http://appri.
org/2018/06/02/public-relations-antara-data-dan-tiada/ diakses
pada Januari 2019
Kopanakis, John (2017) How can PR Agencies benefit from social
listening and big data analytic https://www.mentionlytics.com/
blog/how-can-pr-agencies-benefit-from-social-listening-and-big-
data-analytics/, diakses pada Januari 2019
Pendahuluan
Komunikasi menjadi dasar kehidupan manusia. Secara definitif,
komunikasi adalah proses relasional membuat dan menafsirkan pesan
yang mendapat respons (Griffin, 2012: 6). Setiap individu berkomunikasi
dengan cara berinteraksi setiap harinya. Informasi menjadi dasar penting
dalam bertukar pesan yang disampaikan. Informasi ini juga yang menjadi
bahan interaksi yang digunakan oleh peneliti untuk dapat berkomunikasi
dengan sesama peneliti lainnya secara akademis, organisasi atau
perusahaan secara praktis maupun masyarakat secara sosial melalui
karya ilmiah.
Komunikasi ilmiah dengan berbagi ilmu pengetahuan menjadi cara
mahasiswa sebagai peneliti memberikan gagasan dan ide untuk kebaruan
penelitian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lacy dan Bush (1983) dalam
Ambarani (2009: 2) yaitu tentang ilmu pengetahuan dan komunikasi tidak
bisa dipisahkan namun menjadi satu kesatuan, mulai dari menciptakan
hingga menyebarluaskan hasil penelitian dari individu satu ke individu
lainnya. Upaya bertukar informasi ilmiah inilah yang menjadi bagian
dari komunikasi. Disinilah mahasiswa mencoba berkomunikasi secara
ilmiah melalui informasi yang dituliskannya dalam tugas akhir dalam
bentuk Skripsi.
Skripsi menjadi prasyarat mahasiswa dalam kelulusannya. Mahasiswa
mencoba mengungkap fenomena ataupun realitas yang ada di masyarakat
ke dalam tulisan yang sistematis melalui proses penelitian. Mahasiswa
harus mampu menyampaikan pengetahuan, gagasan dan idenya secara
ilmiah. Mahasiswa yang melek informasi, secara individu menggunakan
a. Literasi Informasi
Mahasiswa memiliki sudut pandang yang berbeda-beda dalam
membangun pemikiran dalam tulisan ilmiahnya. Oleh karena itu,
mahasiswa memiliki cara yang beragam dalam mencari dan menggunakan
informasi (Bruce, 2003). Di dalam literasi informasi terdapat beberapa
hal penting, diantaranya adalah pengalaman menggunakan teknologi
informasi, sumber informasi, proses informasi, relevansi informasi,
membangun pengalaman, membangun pengetahuan, nilai informasi.
Oleh karena itu, literasi informasi dibutuhkan untuk dapat mengakses
rujukan secara efektif dan efisien. Berdasarkan olah data penelitian
didapatkan bahwa sebagian besar mahasiswa di Program Studi Ilmu
Komunikasi membangun kompetensi melalui penelitiannya dengan
topik konten digital dan komunikasi pemasaran. Hal ini didasari dari
peminatan di Program Studi, yaitu Broadcasting dan Komunikasi Bisnis.
Tabel 1.
Sebaran Data Topik Skripsi
Daftar Pustaka
Ambarani, Dias. (2009). Komunikasi Ilmiah di antara Peneliti Fakultas
Ilmu Komputer Universitas Indonesia. Skripsi. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Apriyani, Mega . (2006). Literasi Informasi Pemustaka: Studi Kasus
di Perpustakaan Umum Daerah Provinsi DKI Jakarta. Jakarta:
Universitas Indonesia. Fakultas Ilmu Budaya
Pendahuluan
Humas (Hubungan Masyarakat) atau Public Relations di lembaga
pendidikan khususnya di sekolah sekolah tingkat dasar dan menengah
akan memberikan efek yang berarti bagi pengembangan dunia pendidikan,
khususnya bagi lembaga pendidikan dalam mempertahankan jasa dan
bisnisnya di tengah tengah masyarakat. Humas lembaga pendidikan
memang jarang disebut sebut dibanding dari humas di perusahaan dan
instansi pemerintah. Tetapi peran dari humas lembaga pendidikan sangat
dibutuhkan. Informasi tentang lembaga pendidikan tersebut sangat
memerlukan kehadiran humas lembaga pendidikan.
Permasalahan yang terjadi di sekolah di era digital saat ini jauh lebih
beragam daripada pada masa masa dua hingga sau dekade yang lalu. Anak
anak dan remaja jauh lebih mengalami tantangan dalam menyelesaikan
berbagai masalah pendidikan dan masalah pergaulan di lingkungan sekolah.
Kasus bullying baik secara langsung maupun melalui media sosial juga menjadi
perhatian dalam dunia pendidikan, selain itu juga kasus yang berkaitan
dengan tantangan para guru dalam menghadapi siswanya. Tantangan yang
dihadapi sekolah dalam menghadapi publik atau khalayaknya.
Berdasarkan dengan pemberitaan yang pernah ditulis oleh Republika
pada tahun 2017 menyebutkan bahwa masalah pendidikan yang cukup
krusial adalah Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bersama
Results Internasional menyebut ada tiga permasalahan utama pendidikan
di Indonesia. Masing-masing, yakni kualitas guru, sekolah yang tidak
ramah anak dan diskriminasi terhadap kelompok marginal. Diskriminasi
pada terhadap golongan marginal ini yang akan membuat para murid
di sekolah dasar dan menengah banyak memperoleh bullying. Apalagi
penggunaan internet dan media sosial semakin marak di lingkungan
siswa sekolah dasar hingga sekolah (https://www.republika.co.id/
berita/pendidikan/eduaction/17/03/23/on9feb384-ini-3-isu-utama-
pendidikan-di-indonesia).
Penutup
Peranan Public Relations atau Hubungan Masyarakat di lembaga
pendidikan atau sekolah sangat penting. Karena bisa menjadi penyampai
informasi dari sekolah. Public Relations di lembaga pendidikan tidak
hanya memegang fungsi internal tetapi juga fungsi ekternal. Di era
digital saat ini pemanfaatan dari teknologi digital sangat penting mulai
dari penggunaan website yang berisi konten menarik sekaligus juga
komunikasi kepada publik baik siswa maupun orang tua melalui media
sosial. Kesadaran sekolah untuk tidak ragu dalam menyampaikan
berbagai informasi baik yang bersifat eksternal untuk publikasi sekolah
sangat diperlukan. Khususnya melalui media sosial untuk memberikan
peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
Daftar Pustaka
Davis, Anthony (2005). Eveerything You Should Know About Public
Relations. Jakarta : PT Elex Komputindo
Effendy, Onong Uchjana (2000). Pengantar Ilmu Komunikasi. Bandung :
PT Rosdakarya
Pendahuluan
Eksistensi pendidikan senantiasa menuai tantangan yang berbeda
seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan perubahan demografi
dalam skala yang begitu besar. Sebagaimana hakikat pendidikan dalam
pandangan Ki Hajar Dewantara, bahwa pendidikan merupakan suatu
usaha untuk membentuk manusia yang peka akan budi pekerti agar
manusia tidak menjadi asing dengan realitasnya (Samho & Yasunari,
2010). Dengan begitu, pendidikan perlu terus melakukan penyesuaian
dengan perkemabangan zaman, sebab generasi yang berbeda akan
menghadapi tantangan yang berbeda pula. Pendidikan tidak akan
berjalan optimal tanpa menempatkan pemahaman terhadap karakteristik
peserta didik sebagai hal yang utama.
Pesatnya perkembangan teknologi khususnya dalam aspek
komunikasi dan informasi dengan Internet of Things (IoT) sebagai motor
penggeraknya telah mendorong lahirnya generasi baru yang hari ini
dikenal dengan istilah Generasi Z atau iGeneration (Generasi Internet).
Generasi Z adalah generasi yang lahir pada kurun waktu tahun 1995 –
2010 (Bencsik, dkk., 2016 dalam Putra, 2016). Sebagai generasi pertama
yang terhubung dengan teknologi digital secara intensif tentu berimplikasi
pada perbedaan karakteristik yang signifikan dengan generasi-generasi
sebelumnya menyangkut nilai-nilai, pandangan dan tujuan hidup (Putra,
2016). Elizabeth T. Santosa (2015) dalam Rini (2016) secara lebih rinci
menyebutkan beberapa indikator yang erat kaitannya dengan mereka
yang termasuk dalam Generasi Z, diantaranya: 1) Memiliki ambisi besar
untuk sukses; 2) Cenderung praktis dan berperilaku instan, sebagai
konsekuensi logis dari aksesibilitas teknologi yang memungkinkan
segala aktifitas dapat dilakukan secara instan; 3) Menyukai Kebebasan
dan kepercayaan diri yang tinggi; 4) Cenderung menyukai hal yang
Komunikasi Instruksional
Di dalam dunia pendidikan, kata instruksional tidak diartikan perintah
tetapi lebih mendekati kedua arti yang pertama, yakni pengajaran dan/
Gaya Belajar
Proses pembelajaran pada dasarnya berkaitan dengan interaksi
antara peserta didik dan lingkungannya dapat menciptkan perubahan
perilaku kearah yang lebih baik (Mintasih, 2016). Mulyasa (2007)
menyebutkan bahwa tugas tenaga pendidik yang paling utama adalah
mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan
perilaku dan pembentukan kompetensi peserta didik (Mintasih, 2016).
Guna mencapai tujuan, pengetahuan menyangkut karakteristik siswa
sangatlah dibutuhkan, sebab hal tersebut akan berpengaruh terhadap
tepat/sesuai tidaknya strategi pembelajaran yang dipilih oleh tenaga
Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang didapati secara online maka profil
responden diklasifikasikan ke dalam kelompok jenis kelamin dan usia
yang terdiri dari perempuan (62) dan laki-laki (43) mayoritas responden
berusia 20-22 tahun (64,8%) kemudian disusul kelompok usia 17-19
tahun (26,7%) dan 22-24 tahun (7,6%). Temuan lain dalam penelitian
juga menampilkan data secara umum bahwa dari 105 orang responden
yang diteliti sebesar 57% nya memiliki pola pemrosesan dalam kategori
aktif (active), 68% dengan memiliki kecenderungan untuk menggunakan
kemampuan penginderaan (sensing) dalam mempersepsikan pelajaran,
85% memiliki perhatian yang besar terhadap informasi berbentuk visual,
dan 54% dari responden memiliki kecenderungan pada pola global
dalam hal pemahaman terhadap pelajaran.
Penutup
Penelitian yang dilatarbelakangi perkembangan teknologi yang
mendorong lahirnya generasi baru yaitu Generasi Z atau iGeneration
(Generasi Internet) menjadi tantangan sekaligus peluang bagi para
tenaga pendidik yang kedatangan kelompok usia yang memiliki pola dan
perilaku berbeda dari generasi sebelumnya. Jika Generasi X atau Y merasa
cukup dengan menggunakan media pembelajaran konvensional seperti
komunikasi lisan dan pembelajaran dua dimensi (grafis, papan tulis,
LKS, ensiklopedi, dan lain sebagainya), maka pada masa sekarang para
pendidik harus membuka ruang untuk terus adaptif pada perkembangan
zaman yang sesuai dengan peserta didiknya.
Para pendidik juga harus memahami karakteristik peserta didik
yang menjadi faktor personal bagi perubahan perilaku sebagaimana
yang disebutkan oleh Bandura dalam teori belajar sosial. Gaya belajar
yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini setidaknya memberikan
pengayaan terhadap karakter Generasi Z dalam belajar. Berdasarkan
hasil penelitian yang ada didapati temuan bahwa terdapat dua dimensi
gaya belajar Generasi Z yang menjadi perhatian bagi para tenaga
pendidik yaitu gaya belajar yang mengedepankan sensing dan verbal.
Keduanya memiliki dimensi yang serupa dengan menitikberatkan pada
pembelajaran yang mengedepankan kemampuan afektif yang mana para
peserta didik harus dilibatkan secara aktif.
Pada dasarnya peserta didik baik yang berasal dari Generasi X, Y,
atau Baby Boomer menyukai pembelajaran yang menyenangkan dengan
Daftar Pustaka
Bandura, A. (1977). Social Learning Theory: Englewood Cliffs. NJ:
Pretince Hall
Daryanto. (2013). Media Pembelajaran: Peranannya Sangat Penting
dalam Mencapai Tujuan Pembelajaran. Yogyakarta: Gava Media
Ghufron & Risnawita. (2011). Teori-Teori Psikologi. Yogyakarta: Ar-
Ruzz Madi
Laila, Qumru’in. (2015). Jurnal: Pemikiran Pendidikan Moral Albert
Bandura. STITNU Al Hikmah Mojokerto
Singarimbun, Masri. (2006). Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta
Yusuf, M. Pawit. (2010). Komunikasi Instruksional, Teori dan Praktik.
Jakarta: Bumi Aksara
Humas. Metode Pengajaran Konvensional Sebabkan Siswa Kurang
Berpikir Kritis. http://www.umy.ac.id/metode-pengajaran-
konvensional-sebabkan-siswa-kurang-berpikir-kritis.html/
Putra, Yanuar Surya. (2016). Theoritical Review : Teori Perbedaan
Generasi. Among Makarti Vol.9 No. 18. Diakses melalui : http://
jurnal.stieama.ac.id/index.php/ama/article/viewFile/142/133
Rini, Puspita Sari. (2016). Pengaruh Karakter Generasi Z dan Peran Guru
dalam Pembelajaran Terhadap Motivasi Belajar Akuntansi Siswa
Kelas X Akuntansi SMK Negeri 1 Godean. Yogyakarta : Universitas
Negeri Yogyakarta. Diakses melalui : https://eprints.uny.
Pendahuluan
Ilmu komunikasi adalah ilmu yang mempelajari bagaimana orang
menciptakan dan menyampaikan pesan. Dalam penyampaiannya, pesan
disampaikan tidak hanya dengan kata-kata saja, tetapi juga menggunakan
simbol, seperti kata-kata, angka, gambar, dan lain-lain. Inti dari setiap
komunikasi adalah ingin membentuk, menerima, mengolah, dan yang
akhirnya dapat menyampaikan pesan. Di mana pesan yang berupa
lambang atau simbol-simbol dapat menjelaskan ide, gagasan, atau
informasi. Menurut Prof. Dr. Alo Liliweri, definisi ilmu komunikasi ialah
ilmu nan berhubungan dengan pengalihan suatu pesan dari satu sumber
kepada penerima agar bisa dipahami. Komunikasi merupakan ilmu
yang tidak terlepas dari gagasan atau persepsi yang mendasari terjadinya
komunikasi.
Komunikasi bisnis adalah suatu kegiatan pertukaran sebuah gagasan,
informasi, atau pendapat yang disampaikan baik secara personal atau
impersonal sehingga terjadi kesepahaman antar pihak-pihak yang
berkomunikasi dengan tujuan membantu dalam proses pengambilan
keputusan pada suatu bisnis. Menurut Rosenbalt, definisi komunikasi
bisnis adalah suatu tindakan pertukaran informasi, ide/ opini, intruksi,
dan sebagainya, yang disampaikan secara personal maupun non-personal
melalui lambang dan sinyal untuk mencapai target perusahaan (Muqtadir,
2017). Komunikasi bisnis biasanya bertujuan untuk mengembangkan
bisnis dan mengangkat nama baik sebuah perusahaan. Selain itu,
komunikasi bisnis juga digunakan untuk meningkatkan hubungan baik
antara sebuah perusahaan dengan pihak lain yang memiliki urusan
atau bisnis dengan perusahaan tersebut, dan dapat meningkatkan
fungsi kepemimpinan dari sebuah perusahaan. Dalam pelaksanaannya,
Pembahasan
Hasil penelitian menyatakan bahwa ilmu komunikasi merupakan
kajian ilmu multidisipliner dalam mengembangkan pemanfaatannya
dalam bidang ilmu lainnya. Pengukuran alat ukur penelitian dalam
validitas dan reliabilitas penelitian dapat direfleksikan dengan hasil
berikut;
Tabel 1
Validitas dan reliabilitas ilmu komunikasi
Hasil instrument penelitian adalah valid dan reliable. Penelitian ini meli-
hat instrument dalam penelitian ini hasilnya adalah positif. Artinya alat
ukur penelitian ini dapat dilanjutkan dalam beberapa tahapan berikutn-
ya. Namun penelitian ini penelitian deskriptif. Hanya melihat gambaran
dalam perspektif ilmu komunikasi dapat bersinergi dengan bidang ilmu
lainnya dan dapat memberikan kontribusi lainnya pada kehidupan ma-
nusia.
1. gagasan 4= 71%
3 = 5%
2 = 10%
1= 14%
2. inform 4= 69%
3 = 18%
2 = 7%
1 = 6%
3. Personal 4= 61%
3 = 22%
2 = 5%
1= 12%
4. Impersonal 4= 53%
3= 31%
2= 11%
1= 5%
5. Mutual understanding 4 = 51%
3= 29%
2= 13%
1= 7%
Penutup
Kesimpulan hasil penelitian ini adalah masyarakat Indonesia sudah
menggunakan kajian ilmu komunikasi dalam perspektif kehidupannya
dengan menggunakan ilmu-ilmu lain dalam melengkapi kehidupannya.
Ilmu komunikasi dapat mengembangkan dan bermanfaat bagi bidang
ilmu dan aspek kehidupan masyarakat saat ini. Namun akademisi ilmu
komunikasi hendaknya melakukan kajian penelitian bersama-sama
dengan bidang ilmu lainnya. Agar masyarakat dapat memahami bahwa
perspektif ilmu komunikasi dapat bermanfaat bagi ilmu lainnya.
Saran dari penelitian ini adalah akademisi ilmu komunikasi
khususnya komunikasi bisnis dapat melakukan kajian penelitian dan
pengabdian pada masyarakat dalam menrapkan teknologi informasi
tidak saja dapat mengembangkan kajian ilmu komunikasi namun dapat
bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.
Daftar Pustaka
Calderwood, K. J. (2019). Going Global: Climate Change Discourse in
Presidential Communications. Environmental Communication.
Howarth, C. (2019). Increasing Local Salience of Climate Change: The
Un-tapped Impact of the Media-science Interfac. Environmental
Communication.
Masrizal, M. (2016). Mixed Method Research. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Andalas, Vol 6, No. 2.
Pendahuluan
Jurusan Ilmu Komunikasi adalah jurusan pertama di Sekolah Tinggi
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIPOL) Candradimuka Palembang
(Rokian, 2014:22-23). Dimulai sejak 28 Oktober 1967, yakni ketika
berdirinya Akademi Publisistik Candradimuka Palembang (APCP).
Akademi ini menjadi inspirasi berdirinya Jurusan Ilmu Komunikasi
STISIPOL Candradimuka Palembang sekarang melalui berbagai
perkembangan dan perubahan, yakni menjadi APCP tahun 1972, Sekolah
Tinggi Ilmu Sosial (STIS) Candradimuka Palembang tahun 1979, dan
STISIPOL Candradimuka Palembang tahun 1984. Setiap perkembangan
itu, melalui dinamika nama, penambahan jurusan, dan lokasi kampus
yang berpindah-pindah, Jurusan Ilmu Publikasi yang sekarang menjadi
Jurusan Ilmu Komunikasi selalu ada dan terus diminati masyarakat.
STISIPOL Candradimuka sendiri sekarang beralamat di Jl. Swadaya
Sekip Ujung Palembang dengan memiliki 4 Jurusan S1 dan 2 Jurusan S2.
Dalam perkembangan selama 52 tahun ini, Jurusan Ilmu Komunikasi
STISIPOL Candradimuka juga terus melakukan pembaharuan
kurikulum. Saat ini, ada dua kurikulum yang berjalan, yakni Kurikulum
2011/2012 dan Kurikulum 2017/2018. Kurikulum 2017/2018 sendiri
mulai berlaku untuk mahasiswa angkatan tahun 2017. Adapun mata
kuliah Sinematografi sendiri adalah mata kuliah yang baru diterapkan
pada Kurikulum 2017/2018, yang di kurikulum sebelumnya tidak ada
mata kuliah Sinematografi di dalamnya. Mata kuliah yang mempelajari
tentang dunia sinematografi atau perfilman ini pun baru dilaksanakan
pada Semester Genap tahun ajaran 2018/2019, yakni untuk mahasiswa
yang menempuh semester 4. Mata kuliah ini dianggap mampu mendukung
salah satu konsentrasi, yakni Broadcasting. Adapun konsentrasi yang lain
Pembahasan
Mengkaitkan antara pelaksanaan perkuliahan Sinematografi
di Jurusan Ilmu Komunikasi STISIPOL Candradimuka Palembang
dan pengembangan pendidikan komunikasi di era millennial, maka
dibutuhkan metode khusus dalam penelitiannya. Etnografi virtual
merupakan pendekatan (metode) baru dalam melihat budaya dan
artefak budaya di dunia virtual. Menurut Nasrullah (2017:43), sebagai
sebuah metode, etnografi virtual mengungkap bagaimana budaya siber
diproduksi, makna yang muncul, relasi dan pola, hingga bagaimana hal
tersebut berfungsi melalui medium internet. Sebuah realitas budaya
Level Objek
Ruang Media (Media Space) Struktur perangkat media dan penampilan,
terkait dengan prosedur perangkat atau aplikasi
yang bersifat teknis.
Dokumen Media (Media Archive) Isi, aspek pemaknaan teks/grafis sebagai artefak
budaya.
Objek Media (Media Object) Interaksi yang terjadi di media siber, komuni-
kasi yang terjadi antaranggota komunitas.
Pengalaman (Experiental Stories) Motif, efek, manfaat atau realitas yang ter-
hubung secara offline maupun online termasuk
mitos.
/Umum
Nom Kampanye RVang Cahaya
Horor 1 Paranoid Papulolo Production
Nom Mata Batin Haw Production
Action 1 Tekanan Iseng-Iseng Production
Nom Si Putih yang Menyesat- Holfaz Production
kan
Legenda 1 Si Pahit Lidah Holfaz Production
Nom Kemaro Island Tralala Entertainment
Comedy 1 Enggak Ori Tak Lakoni
Nom Mutiara & Terumbu Content Creator Ba-
Karang turaja
4. Level Pengalaman
Level pengalaman atau experiential stories merupakan gambaran
secara makro bagaimana masyarakat atau anggota komunitas itu di
dunia offline. Menurut Nasrullah (2017:55), ini dimaksudkan bahwa apa
yang muncul di online memiliki relasi dengan dunia nyata. Pada level
ini, etnografer mengungkap realitas di balik teks yang diunggah atau
dikreasikan dan melihat bagaimana, sebagaimana misal, motivasi atau
efek. Di level ini peneliti bisa menghubungkan realitas yang terjadi di
dunia virtual (online) dengan realitas yang ada di dunia nyata (offline).
Di dunia online yang muncul serentak dan masif seperti yang dilakukan
pada 30 April 2019, seluruh peserta CAFIFEST 2019 diminta secara
serentak meng-upload foto kegiatan CAFIFEST 2019. Penggunaan hastag
bersama #candradimukafilmfestival2019 dan #cafifest2019 menjadi alat
untuk mengukur kerja posting yang dilakukan peserta.
Penutup
Dari paparan di atas, dengan menggunakan Analisis Media Siber
(AMS) dalam Etnografi Virtual terhadap CAFIFEST 2019, ditemukan
bahwa mata kuliah Sinematografi yang baru dilaksanakan satu semester
ini mampu ikut mengembangkan pendidikan di era millennial khususnya
di Jurusan Ilmu Komunikasi STISIPOL Candradimuka pada mata kuliah
Sinematografi yang dilaksanakan pada Semester Genap 2018/2019. Dari
hasil analisis ditemukan bahwa mata kuliah Sinematografi akan sangat
Daftar Pustaka
Kurnia, Novi. (2002). Bahan Ajar Mata Kuliah Sinematografi (Diktat).
Yogyakarta: Program D3 Komunikasi FISIPOL Universitas Gadjah
Mada.
Nasrullah, Rulli. (2017). Etnografi Virtual Riset Komunikasi, Budaya dan
Sosioteknologi di Internet. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Rokian, Ajmal. (2014). Mengenal Lebih Dekat STISIPOL Candradimuka
Palembang. Palembang: YASIP dan STISIPOL Candradimuka.
Rachmawati Windyaningrum
Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Informatika dan Bisnis Indonesia
E-mail rachma.ningrum@unibi.ac.id
Pendahuluan
Content writer menjadi fenomena profesi yang diminati kalangan
profesional muda pada era digital. Content writer sendiri merupakan
bagian dari profesi pemasaran maupun periklanan yang bersifat
digital. Hal tersebut dibutuhkan karena munculnya platform digital
yang menyediakan ruang maya untuk kebutuhan pemasaran dan
bisnis. Terlepas dari kebutuhan pemasaran dan bisnis, content writer
dalam dunia komunikasi sangat dibutuhkan pada kegiatan penulisan
media. Tentu saja yang menjadi fokus dalam kegiatan penulisan media
mengerucut pada penggunaan media digital, seperti situs (website), blog,
portal berita, market place, hingga jejaring sosial. Menurut Dominikus
Juju dan Feri Sulianta (2010, p. 195-196) mengatakan bahwa saat ini
banyak portal-portal berita yang membutuhkan jasa content writer
untuk mengisi konten pada situs. Dengan adanya jasa content writer
sebenarnya dapat membantu pemilik situs atau blog agar selalu baru
(update). Dengan demikian jumlah pengunjung (situs atau blog) akan
tetap atau bertambah. Jasa content writer ini didasari atas keterampilan
seseorang dalam membuat penulisan konten berita maupun artikel pada
situs digital.
Banyak artikel populer di media digital membahas keterampilan
content writer sebagai bidang profesi baru yang menjanjikan. Salah
satunya menurut Himam Miladi seorang freelancer content writer dan
penulis kompasiana, menjelaskan bahwa secara umum content writer
atau penulis konten adalah penulis profesional yang menghasilkan
konten menarik untuk digunakan secara online. Konten yang ditulis ini
termasuk naskah untuk marketing (sales copy), e-book, podcast atau
teks untuk grafik. Penulis konten menghasilkan konten untuk berbagai
jenis situs web, blog, jejaring sosial, situs e-commerce, agregator berita,
hingga situs web perguruan tinggi (https://www.kompasiana.com/
Pembahasan
Keterampilan Content Writer
Content writer atau penulis konten istilah yang sudah tidak asing bagi
kalangan media. Sebelum hadirnya media digital, content writer banyak
Cyber Humas
Cyber Humas atau yang lebih dikenal dengan istilah Cyber Public
Relations merupakan hasil revolusi industri yang telah mengarah pada
industri 4.0. Dengan berlangsungnya industri yang banyak menggunakan
media digital sebagai media informasi sekaligus media interaksi publik,
profesi Humas pun telah memasuki Humas 2.0 atau Electronic Public
Relations. E-PR adalah inisiatif PR atau public relation yang menggunakan
media internet sebagai sarana publisitasnya, (Onggo, 2004:1). Lebih rinci
, E-PR dapat diartikan sebagai berikut:
E adalah electronic. “E” di dalam E-PR sama halnya dengan “e”
sebelum kata mail atau commerce yang mengacu pada media
elektronik internet. Mengingat popularitas dan multifungsi media
internet, media ini dimanfaatkan pula oleh para pelaku PR untuk
membangun merk (brand) dan memelihara kepercayaan (trust).
P adalah Public. “Public” disini mengacu bukan hanya pada public,
namun pasar konsumen. Public juga tidak mengacu hanya pada
satu jenis pasar konsumen, namun pada berbagai pasar atau public
audience.
R adalah Relations. Relations merupakan sebuah hubungan yang
dipupuk antara pasar dan bisnis anda. Itulah kunci kepercayaan
pasar agar suatu bisnis berhasil.
Cyber humas atau Cyber Public Relations dijelaskan dalam SKKNI (2008,
p 208) bahwa media Humas atau Public Relations yang dilakukan melalui
jaringan virtual atau maya. Dalam SKKNI juga dijelaskan kompetensi
seorang Humas harus meliputi kompetensi penggunaan teknologi,
sehingga profesi Humas sudah memasuki kualifikasi jenjang V atau
ahli. Penyelenggaraan Cyber Public Relations wajib memiliki elemen
kompetensi dan kriteria unjuk kerja berdasarkan SKKNI (2008, p. 176)
sebagai berikut :
Penutup
Content writer memasuki era digital menjadi komoditas utama
dalam membuat konten publikasi digital. Tidak salah kini banyak
generasi muda yang mendalami keterampilan penulisan konten serta
pembuatan ide publikasi digital untuk menarik antusias warga digital. Hal
tersebut ditandai dengan banyaknya penyedia jasa penulis konten lepas.
Perusahaan besar maupun instansi pemerintah pun kini membutuhkan
jasa tersebut sebagai penunjang salah satu bagian Humas, agar dapat
mempertahankan citra. Oleh karena itu, sudah seharusnya keterampilan
content writer mulai keterampilan hard skill dan soft skill telah dimiliki
seorang profesi Humas. Keterampilan tersebut sangat diperlukan bagi
instansi pemerintah untuk menunjang tugas pokok dan fungsi humas
sebagai pengaman kebijakan pemerintah, fasilitator sosialisasi program
pemerintah, pelayanan keterbukaan informasi, pencipta opini publik
yang saling pengertian diantara publik eksternal dengan publik internal
perusahaan atau instansi pemerintah.
Daftar Pustaka
Juju, Dominikus, dan Sulianta, Feri. (2010). Kiat Sukses Menjadi IT
Freelance. Jakarta: Elex Media Komputindo. s
Luuk Waes, . L. (2006). Writing and Digital Media. Amsterdam: Elsevier.
Nielsen, R. W. (2009). Writing Content. United State of America: RW.
Nielsen Company.
Onggo, Bob Julius. (2004). E-PR Menggapai Publisitas di Era Interaktif
Lewat Media ONLINE. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta.
Putriyanti, Fitri. (2019). Peran Content Writer Sub-Bagian Hubungan
Masyarakat Sekretariat Daerah Kabupaten Bandung (Sub-Bagian
Humas Setda Kabupaten Bandung) dalam Penyebaran Informasi
Kegiatan Pemerintahan Daerah Di Instagram dan Facebook).
Bandung: Universitas Informatika dan Bisnis Indonesia.
Referensi lain
Kementrian Komunikasi dan Informatika. (2008).Standar Kompetensi
Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) sektor Kehumasan. Jakarta.
https://www.kompasiana.com/primata/5c302ee512ae947a5848a8e5/
rahasia-tentang-content-writer-yang-tak-banyak-
terungkap?page=all#, diakses pada 05 Mei 2019, pukul 19.00 wib
https://m.wartaekonomi.co.id/berita182081/humas-indonesia-menuju-
industri-40.html diakses pada 05 Mei 2019, pukul 19.00 wib
https://www.youthmanual.com/profesi/media-dan-periklanan/content-
writer, diakses pada 06 Mei 2019, pukul 19.30 wib
https://www.ekrut.com/media/skill-yang-dibutuhkan-content-writer,
diakses pada 06 Mei 2019, pukul 19.45 wib
http://humas.bandung.go.id/humas/berita/2018-05-08/humas-2-0-
ujung-tombak-informasi-pemkot-bandung, diakses pada 25 Mei
2019, pukul 17.14 wib
Pendahuluan
Era revolusi industri 4.0 membawa berbagai pengaruh terhadap
aspek kehidupan manusia termasuk dalam aspek pendidikan. Perguruan
tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan di Indonesia dituntut untuk
melakukan penyesuaian-penyesuaian di era revolusi industri 4.0. Misi
utama pendidikan tinggi di era revolusi industri 4.0 adalah menghasilkan
lulusan yang memiliki kompetensi yang mumpuni untuk bersaing secara
global (Melinda, 2011). Pendidikan tinggi harus mampu menyesuaikan
diri dalam menghadapi era revolusi industri 4.0. Mau tidak mau
penyesuaian diri harus dilakukan, karena jika tidak maka pendidikan
tinggi tersebut akan tertinggal. Perubahan yang terjadi di era revolusi
industri 4.0 harus disikapi dengan bijaksana agar pendidikan tinggi
mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan zaman.
Pendidikan tinggi berbasis pesantren sebagai bagian dari sistem
pendidikan di Indonesia juga menghadapi tantangan yang sama yaitu
harus mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan era revolusi industri
4.0. Pemanfaatan berbagai metode pembelajaran yang bersinggungan
dengan teknologi digital (e-learning) penting dilakukan. Tujuannya adalah
agar pendidikan tinggi pesantren mampu memiliki daya saing dengan
lembaga pendidikan tinggi lain. Di samping itu, penyesuaian diri penting
dilakukan karena pesantren adalah “bapak” dari pendidikan Islam di
Indonesia yang didirikan karena adanya tuntutan dan kebutuhan zaman
(Mar’ati, 2014). Eksistensi pendidikan pesantren haru tetap terjaga.
Dalam perspektif pesantren modern, santri dididik untuk memiliki
pengetahuan umum, menguasai teknologi dan soft skill, disamping
pengetahuan agama sebagai inti keilmuannya. Imam Zarkasyi
Pembahasan
Tahap pertama analisis kebutuhan, yaitu memperkiraan dan
mengukur urgensi penggunaan e-learning. Dalam tahap analisis
kebutuhan, dilakukan juga studi kelayakan pemanfaatan e-learning
dengan cara 1).mempertimbangkan hal-hal teknis seperti ketersediaan
jaringan internet, infrastruktur pendukung seperti komputer, dan tenaga
teknis yang mampu mengoperasikan e-learning, 2).keuntungan ekonomis,
3).faktor sosial tentang penerimaan e-learning oleh masyarakat. Faktor
utama yang menjadi latar belakang pengembangan konten pembelajaran
e-learning di Universitas Darussalam Gontor adalah karena letak kampus
yang berada di lokasi yang berbeda dan materi pembelajaran dosen yang
belum terdokumentasi dengan baik.
Berkaitan dengan studi kelayakan, Universitas Darussalam Gontor
telah melakukan berbagai pertimbangan sebelum mengembangkan
e-learning. Hal teknis berupa ketersediaan internet, infrastruktur
pendukung dan tenaga teknis telah disiapkan. Pengelolaan e-learning
di Universitas Darussalam Gontor dikelola oleh PPTIK UNIDA Gontor.
E-learning dapat menjadi media pembelajaran yang dianggap lebih efektif
dan menguntungkan secara ekonomis, ini karena kegiatan pembelajaran
dosen terutama di kampus cabang dapat dilakukan secara daring. Sehingga
menghemat waktu dan biaya dosen dalam melakukan perjalanan ke
kampus cabang meskipun tidak semua kegiatan pembelajaran dilakukan
secara daring.
Daftar Pustaka
Agustina, M. (2015). Pemanfaatan E-Learning sebagai Media
Pembelajaran. Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi
(SNATI), 8–12.
Baidlawi, H. M. (2006). Modernisasi Pendidikan Islam ( Telaah Atas
Pembaharuan Pendidikan di Pesantren). Tadris, 1(2), 154–167.
Gazali, E. (2018). Pesantren Di Antara Generasi Alfa Dan Tantangan
Dunia Pendidikan Era Revolusi Industri 4.0. OASIS : Jurnal Ilmiah
Kajian Islam.
Khamidah, K., & Triyono, R. A. (2013). Pengembangan Aplikasi
E-Learning Berbasis Web Dengan Php Dan MySql Studi Kasus
SMPN 1 Arjosari. IJNS-Indonesian Jurnal on Networking and
Security, 2(2), 1–7.
Kusmana, A. (2011). E-Learning Dalam Pembelajaran. Lentera
Pendidikan : Jurnal Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan, 14(1), 35–51.
Pendahuluan
Perkembangan teknologi yang semakin canggih dan tidak
terbendung membawa dunia mempersiapkan diri demi memenuhi
tuntutan dan tantangan revolusi industri 4.0. Era ini turut mengubah
sistem pembelajaran dan proses pengajaran di perguruan tinggi.
Berdasaran evaluasi awal tentang kesiapan Negara dalam menghadapi
revolusi industri 4.0, Indonesia dinilai memiliki potensi yang cukup
diperhitungkan, dalam global competitiveness index pada world
economic forum 2017-2018 menempati posisi ke-36 dari 137 negara,
sehingga sasaran strategis ikut berubah temasuk dalam perguruan
tinggi. Kementrian riset dan teknologi (Kemenristekdikti) dalam hal ini
menyusun strateginya dengan melakukan perubahan pada program dan
model layanannya yang lebih banyak menyediakan dan menggunakan
teknologi digital (online). Meski demikian masih banyak perguruan
tinggi yang harus menyesuaikan dengan kondisi revolusi indusri 4.0
sebab terdapat banyak perubahan kebijakan dan program yang terkait
dengan sumber daya ilmu pengetahuan pendidikan tinggi, kelembagaan,
pembelajaran, dan kemahasiswaan serta riset dan pengembangan inovasi.
Memasuki era Revolusi industri 4.0 mengharuskan civitas akademika
untuk mengarungi dua dunia yaitu dunia riil dan dunia virtual. Internet
of things yang menjadi hal terpenting sebab di era ini mengkondisikan
manusia secara personal dan komunal sangat bergantung kepada dunia
virtual yang semakin complicated dan serba menggunakan istilah smart.
Berdasarkan laporan the future of jobs dari world economic forum dijelaskan
bahwa terdapat lima keterampilan sumber daya manusia (SDM) dalam
Pembahasan
Media sosial meurut Boyd dalam Nasrullah (2015) disebut sebagai
kumpulan perangkat lunak yang memungkinkan individu maupun
komunitas untuk berkumpul, berbagi, berkomunikasi dan dalam kasus
tertentu saling berkolaborasi atau bermain. Boyd dalam pengertiannya
hendak menjabarkan bahwa media sosial memiliki keunggulan yakni
user-generated content, yang berarti bahwa berbeda dengan institusi
media massa pada umumnya, media sosial menghasilkan konten bukan
dari editor. Van Dijk (2013) mendefinisikan media sosial sebagai platform
media yang memfokuskan pada eksistensi pengguna dan memfasilitasi
mereka dalam beraktivitas dan berkolaborasi. Merujuk pada pengertian-
pengertian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa media sosial
adalah suatu sarana representasi diri bagi penggunanya untuk menjalin
ikatan sosial yang virtual dengan saling berinteraksi dan berkomunikasi
baik melalui teks, gambar, audio maupun video.
Create group
Tutoring Interaction
Presentation Pattern
Pattern
Question & Answer
Pattern
Post and Comment
ment pattern
Collaborative docu-
pattern
Group discussion
Small-group pattern
pattern
Panel-discussion
Symposium pattern
nity pattern
Ask-expert-commu-
Ask-peers pattern
Write post x x x X X x
Add photo x X x x
Add photo comment X x x x X x x X x
Add files X x X
Send messages/chat X x X x X X x
Tag member x x X x X x
gogle docs
Live X X X x x x
hastag x x x X x x X x
story x
Share link X X x X
Video Post/streaming X X x x x
Google form x x
email X X x X X x
Penutup
Perguruan tinggi diharapkan dapat melahirkan luaran yang siap dan
berkompeten bagi dunia kerja yang kian berkembang seiring dengan
kemajuan teknologi, keahlian kerja serta kemampuannnya melakukan
adaptasi terhadap berbagai perubahan dengan poa pikir yang dinamis.
Salah satu cara mempersiapkan luaran yang siap kerja, maka peruruan
Daftar Pustaka
Djik, Van. 2013. The network Society. London:SAGE Publications
Horton, W. 2012. E-learning by design. USA: Pfeiffer.
Nasrullah, Rulli. 2015. Media Sosial Prespektif Komunikasi, Budaya dan
Sosioteknologi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Stockley, Derek. 2013. E-Learning Definition and Explanation. Diakses pada
laman www.serekstockley.com pada 29 Juni 2019 pukul 18.46 WITA
Syafiti. A. 2010. Diakses melalui laman Kompasiana: https://www.google.
com/url?sa=i&source=web&cd=&ved=2ahUKEwjZ-cnMvJzjAhV
m6nMBHWlADhIQzPwBegQIARAC&url=https%3A%2F%2Fw
ww.kompasiana.com%2Fanita_syafitri%2F55003422a33311e77251
00cc%2Fsocial-learning-menurut-albert-bandura&psig=AOvVaw
22E2JE9710fMoOjCb0yg-p&ust=1562371250847465 pada 30 Juni
2019 pukul 07.12 WITA
Yendri, Dodon. 2005. Blended learning: Model Pembelajaran Kombinasi
E-Learning Dalam Pendidikan Jarak Jauh. Diakses melalui laman
fti.unand.ac.id/images/blendedlearning.pdf, pada 27 Juni 2019
pukul 16.00 WITA
e-mail : vera.hermawan@gmail.com
Pendahuluan
Indonesia telah melakukan upaya adaptasi terhadap Industri 4.0,
salah satunya dengan meningkatkan kompetensi Sumber Daya Manusia
melalui program link and match, antara pendidikan dengan industri.
Untuk menopang dan mensukseskan program ini, upaya ini dilaksanakan
secara sinergis antara Kementerian Perindustrian dengan kementerian
dan lembaga-lembaga terkait, mulai dari Bappenas, Kementerian
BUMN, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, serta Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Selain melakukan koordinasi dengan pihak lain, Kementerian
Perindustrian sendiri telah menetapkan empat langkah strategis dalam
menghadapi Industri 4.0 ini, yaitu: Pertama, mendorong agar angkatan
kerja di Indonesia terus meningkatkan kemampuan dan keterampilannya,
terutama dalam menggunakan teknologi internet. Upaya ini bisa dilihat
dengan terintegrasinya antara internet dan lini produksi di industri.
Kedua, pemanfaatan teknologi digital untuk memacu produktivitas
dan daya saing bagi industri kecil dan menengah (IKM), agar mampu
menembus pasar ekspor melalui program E-smart IKM. Ketiga,
pemanfaatan teknologi digital yang lebih optimal dalam perindustrian
nasional seperti big data, autonomous robots, cybersecurity, cloud, dan
augmented reality. Keempat, mendorong inovasi teknologi melalui
pengembangan start up dengan memfasilitasi inkubasi bisnis agar lebih
banyak wirausaha berbasis teknologi di wilayah Indonesia.
Lima teknologi utama yang menopang pembangunan sistem
Industri 4.0 pun terus digalakkan, yaitu: internet of things, artificial
intelligence, human-machine interface, teknologi robotik dan sensor, serta
teknologi 3D printing. Kelima unsur tersebut harus mampu dikuasai oleh
perusahaan manufaktur Indonesia agar dapat bersaing.
Kalau melihat beberapa program dan strategi yang akan dan sudah
dilakukan pemerintah dalam menopang keberhasilan menghadapi
Pembahasan
Peran ‘Vital’ Komunikasi
Ciri utama Era Revolusi Industri 4.0 (four point zero) ini adalah
berkurangnya peran manusia dalam berbagai aktivitas. Hanya manusia
kreatiflah yang bisa bertahan. Dialah manusia yang kreatif dalam hal
empat literasi utama, yaitu: literasi data (data literacy), yaitu memahami
dan menguasai data; literasi teknologi (technology literacy), mahir
menggunakan teknologi; dan literasi komunikasi (communication
literacy) yaitu pandai melakukan komunikasi.
Komunikasi menjadi bagian penting yang harus disiapkan manusia
dalam menjalani kehidupan di era revolusi industri. Di berbagai sendi
kehidupan, banyak pihak yang mengatakan bahwa penting untuk
menguasai keterampilan komunikasi. Di setiap perguruan tinggi, sudah
mensyaratkan kepada setiap lulusannya harus memiliki kompetensi
komunikasi dari ketiga kompetensi lainnya, yaitu: academic knowledge
(pengetahuan akademik), skill of thinking (keterampilan dalam berfikir),
management skills (keterampilan-keterampilan manajerial), dan
communication skills (keterampilan-keterampilan komunikasi). Keempat
kompetensi ini harus menyatu dalam diri lulusan perguruan tinggi. Jika
tidak lengkap, maka akan berpengaruh terhadap kualitas lulusannya
(www.simbelmawa.ristekdikti.go.id).
Penutup
Data-data di atas memperlihatkan kepada kita bahwa komunikasi
memiliki peran yang besar dalam keberhasilan seseorang, lembaga,
termasuk pemerintah. Kurang lebih kontribusi komunikasi dalam proses
pencapaian prestasi ialah 82 %. Ini artinya sangat besar dibanding hal
lain dalam upaya manusia meraih tujuannya. Komunikasi merupakan
modal besar dan salah satu alat untuk meraih berbagai peluang dan
memenangkan berbagai kompetisi dalam kehidupan, termasuk dalam
kehidupan di era industri 4.0. Oleh karenanya, salah besar kalau bidang
komunikasi ini tidak dimasukkan dalam program pengembangan
dan peningkatan sumber daya manusia, sebagai bentuk persiapan
menghadapi industri 4.0.
Daftar Pustaka
Neff. T.J & Citrin. J.M. (1999). Lesson From The Top. New York: Currency
Doubleday.
Lucas. S. E. (2012). The Art of Public Speaking, cet. Ke-11. New York:
McGraw Hill.
Tony Wagner. (2008). The Global Achievement Gap. New York: Basic
Book.
Frank Levy & Richard J. Murnane. (2005). The New Division of Labor How
Computers Are Creating the Next Job Market. Princeton University
Press.
www.simbelmawa.ristekdikti.go.id
Pendahuluan
Politeknik Negeri Media Kreatif didirikan berdasarkan
Permendiknas Nomor 60 tahun 2008 pada tanggal 8 Oktober 2008.
Politeknik Negeri Media Kreatif adalah restrukturisasi dari Pusgrafin
(Pusat Grafika Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).
Pusgrafin merupakan pusat pengembangan sumber daya manusia
kegrafikaan dan penerbitan sejak tahun 1977. Politeknik Negeri
Media Kreatif mengemban tugas dan fungsi perguruan tinggi dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa, khususnya dalam penyelenggaraan
pendidikan vokasi dalam sejumlah bidang pengetahuan, teknologi dan
seni, dengan mengutamakan peningkatan kemampuan penerapannya
sehingga mampu mendukung pengembangan industri kreatif nasional.
Kurikulum Program Studi D3 Penerbitan Politeknik Negeri
Media Kreatif saat ini merupakan kurikulum revisi tahun 2013 yang
dikembangkan berdasarkan standar nasional yang mengacu pada
pada SK Mendiknas No. 232/U/2000 perihal Pedoman Penyusunan
Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa,
SK Mendiknas No. 45/U/2002 perihal Kurikulum Perguruan Tinggi,
Peraturan Pemerintah RI Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi. Pengelompokan
mata kuliah terdiri dari Mata Kuliah Pengembangan kepribadian
(MPK), keilmuan dan ketrampilan (MKK), keahlian Berkarya (MKB),
berkehidupan bersama (MBB) dan Perilaku berkarya (MPB).
Penyusunan kurikulum Program Studi D3 Penerbitan Politeknik
Negeri Media Kreatif didasarkan pada visi dan misi program studi
dan institusi. Kurikulum dirancang berdasarkan relevansinya dengan
tujuan, cakupan dan kedalaman materi, pengorganisasian sehingga
Pembahasan
Pengembangan kurikulum adalah proses perencanaan dan
penyusunan kurikulum oleh pengembang kurikulum (curriculum
developer) dan kegiatan yang dilakukan agar kurikulum yang dihasilkan
dapat menjadi bahan ajar dan acuan yang digunakan untuk mencapai
tujuan pendidikan nasional. Definisi yang dikemukakan terdahulu
menggambarkan pengertian yang membedakan antara apa yang
direncanakan (kurikulum) dengan apa yang sesungguhnya terjadi di
kelas (instruction atau pengajaran). Memang banyak ahli kurikulum yang
menentang pemisahan ini tetapi banyak pula yang menganut pendapat
adanya perbedaan antara keduanya. Kelompok yang menyetujui
pemisahan itu beranggapan bahwa kurikulum adalah rencana yang
Penutup
Kurikulum Program Studi D3 Penerbitan Politeknik Negeri
Media Kreatif saat ini merupakan kurikulum revisi tahun 2013. Untuk
merekonstruksi kurikulum Program Studi D3 Penerbitan Politeknik
Negeri Media Kreatif dengan menerapkan kurikulum melalui penerapan
literasi dalam keterampilan komunikasi yang mengacu pada SN Dikti
guna menghasilkan lulusan yang memiliki kualifikasi sesuai dengan
kualifikasi KKNI. Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan
sumbangan pemikiran dalam pengembangan kurikulum berbasis
KKNI yang berorientasi produksi dan kewirausaahaan dengan proses
pembelajaran berbasis kreativitas. Ada beberapa kompetensi utama
dan kompetensi pendukung yang dapat dimiliki oleh seorang lulusan
Program Studi Penerbitan. Seperti dapat melakukan dasar-dasar proses
penerbitan, dapat melakukan dasar-dasar komunikasi, dapat melakukan
proses komunikasi dalam penerbitan, mampu menyunting naskah,
mampu mengelola naskah buku, mampu mengelola naskah fiksi, mampu
mengelola naskah non fiksi, mampu mengelola naskah jurnalistik, dan
memahami teknologi Informasi dan Komunikasi. Dengan menetapkan
CP yang sesuai maka penyusunan kurikulum program studi penerbitan
akan menjadi lebih relevan dengan kebutuhan industri.
Penelitian ini dirancang untuk menguatkan dasar pengembangan
kurikulum berbasis KKNI. Merujuk pada dasar pendirian Politeknik
Negeri Media Kreatif maka ancangan strategi pengembangan kurikulum
ini pun nantinya harus dikaji dari perspektif quard helix pengembangan
industri kreatif yakni menyinergikan keempat unsur penyokong yakni (1)
intellectual dalam hal ini akademisi di pendidikan tinggi yang menyiapkan
Daftar Pustaka
Buku
Arifin, Zaenal. (2010). Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Rosda cet. 2.
Eneste, Pamusuk. (2005). Penyuntingan Naskah Edisi Kedua, Jakarta:
GPU
Gipayana, Muhana. (2010). Pengajaran Literasi. Malang: Asih Asah Asuh.
Jacob, Henry. (2013). Kamus Penerbitan dan Grafika, Bandung: Nuansa
Cendekia
Olivia (1992). Developing The Curriculum. (Third Edition). United States:
HarperCollins Publisher.
Ornstein, A.C. and Hunkins, F.P. (2009). Curriculum: Foundations,
Principles, and Issues (5th ed). Boston: Pearson Education.
Riyadhi, Noor dan Tri Marganingsih. (2006). Profesi di Penerbitan,
Jakarta: Pusat Grafika Indonesia
Saylor J.G. dan kawan-kawan. (1981). Curriculum development and
design (second edition). Sidney: Allen & Unwin.
Sprigge, Samuel Squire. (2010). The Methods of Publishing, Inggris:
Cambridge University Press
Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2013.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 73 Tahun 2013 tentang Penerapan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi. Jakarta, Indonesia:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2014.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
Jakarta, Indonesia: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia.
Pendahuluan
Masalah pendidikan hingga saat ini masih menjadi masalah klasik
yang belum mendapatkan formula penyelesaian yang paling tepat.
Perkembangan di dunia pendidikan, berpengaruh pada kondisi ekonomi
negara. Data Badan Pusat Statistik Indonesia menyebutkan, bahwa
jumlah pengangguran di Indonesia per Februari 2019 ini turun 0.12%
(Badan Pusat Statistik, 2019). Namun kenyataan lain dari berita gembira
ini adalah kabar menyedihkan yang menunjukan naiknya pengangguran
di tahun 2019 ini yang berasal dari lulusan universitas sebesar 25%
(Pusparisa, 2019). Realita ini tentu menjadi pekerjaan rumah besar
bagi Kementrian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi (Kemenristek
DIKTI) untuk menciptakan strategi baru guna membuka kesempatan
besar bagi masyarakat Indonesia untuk memperoleh pendidikan tinggi
dnegan lebih mudah dan mendorong pengelola pendidikan tinggi
untuk terus meningkatkan kualitas pengajarannya sehingga mampu
menghasilkan lulusan yang berdaya saing tinggi sesuai dengan bidang
ilmu masing – masing.
Menanggapi permasalahan di atas, kemenristek dikti sejak 2018
telah mengajukan rencana pengembangan sistem pendidikan jarak
jauh dan online learning (Ristekdikti, 2018). Akan tetapi perkembangan
pendidikan jarak jauh di Indonesia hingga saat ini belum bisa
dimaksimalkan mengingat syarat penyelenggaraan pendidikan jarak
jauh harus berasal dari program studi yang terakreditasi A, sementara
status akreditasi tersebut, terutama di PTS masih menjadi masalah
besar. Terlepas dari masalah akreditasi dan sistem seperti apa yang
paling pas diterapkan di pendidikan di Indonesia, yang tidak boleh juga
dilupakan adalah bagaimana kesiapan masyarakat kita dalam menyikapi
perkembangan dan perubahan yang mungkin muncul nantinya. Pada
Pembahasan
Teori Ekologi Media yang disampaikan Marshall Mc.Luhan
menjelaskan bahwa perubahan dalam teknologi, merubah pandangan
akan dunia yang dikonstruksikan secara sosial di masyarakat luas. Ini
artinya, bahwa perkembangan teknologi komunikasi yang ada cepat atau
lambat akan merubah bagaimana cara manusia menggunakannya. Yang
pada akhirnya perubahan ini akan membawa pada perubahan persepsi,
perubahan sikap, perubahan perilaku, dan perubahan pengalaman.
(Griffin, A First Look Of Communication Theory 8th edition, 2011, p. 321).
Penerimaan manusia akan perkembangan teknologi bukanlah
perkara yang mudah. Tingkatan bagaimana masyarakat menerima
perkembangan teknologi pun juga tidak bisa disamakan. Dalam teori
difusi inovasi, perkembangan televisi dan internet tidak bisa secara instan
memaksa penerimaan akan teknologi oleh manusia (Griffin, A First
Look Of Communication Theory 8th edition, 2011, p. 355) tahap pertama
manusia sekedar menerima perkembangan yang ada, selanjutnya tahap
Penutup
Perkembangan manusia, menurut ekologi media, dipengaruhi
dengan bagaimana media membentuk dan menuntut manusia untuk
berubah. Kehadiran media memang cepat atau lambat akan menuntut
perubahan dilakukan oleh manusia itu sendiri, hingga terbentuk ekologi
yang saling mendukung. Namun demikian kecepatan perubahan dalam
perkembangan sumber daya manusia, menuntut pula adanya pemicu
yang kuat, yang salah satunya bisa dilakukan dengan dihadirkannya sosok
pengguna awal, yang menjadi contoh sukses bagi pengguna berikutnya,
sebagaimana disampaikan dalam difusi inovasi. Tentunya dukungan
insfrastruktur juga berpengaruh besar dalam kesuksesan sistem yang
dibangun. Sistem baru yang diciptakan merupakan media dan ekologi
media akan terbentuk mensyaratkan adanya perubahan pada manusia.
Realitanya, di masyarakat Indonesia saat ini, perubahan yang ada tidak
bisa dilakukan dengan cepat, mengingat kecepatan dalam menyesuikan
diri dengan perubahan tidak dimiliki dalam tingkat yang sama pula.
Dalam hal rencana sistem pembelajaran jarak jauh, hendaknya
dipertimbangkan pula kondisi pendidikan di Indonesia. Keberagaman
variabel yang menyertai, membuat pelaksanaan sistem ini juga perlu
melalui berbagai pertimbangan dan kajian terlebih dahulu, supaya jika
aturan sudah diterapkan secara penuh, maka pelaksanaannya pun juga
maksimal.
Pendahuluan
Pendidikan adalah hak dari setiap warga negara di Indonesia oleh
karena itu merupakan kewajiban Negara untuk menyediakan pendidikan
yang layak bagi seluruh warganya. Namun dengan perkembangan
teknologi, memungkinkan bentuk pendidikan tidak lagi terbatas di ruang
kelas, namun dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja. Hadirnya
internet di dalam dunia merubah paradigma tentang pendidikan yang di
dalam kelas menjadi pendidikan yang tak terbatas. Segala arus informasi
dapat diperoleh melalui media massa dan internet dengan mudah dan
cepat. Gerbner berpendapat bahwa media massa menanamkan nilai dan
sikap tertentu. Media juga turut menyebarkan sikap dan nilai itu kepada
anggota masyarakat yang lain (Nurudin, 2004:159).
Youtube yang adalah salah satu media sosial berbasis video telah
menjadi media yang paling populer untuk mengunduh atau mengunggah
video. Para pengguna dapat memuat, menonton dan berbagi video klip
secara gratis. Pada umumnya video di Youtube adalah video klip musik,
laporan peristiwa, berita, film, TV, dan video buatan para penggunanya
sendiri yang disebut kreator. Selain itu, Youtube juga menampilkan
video suatu peristiwa yang diunggah oleh masyarakat awam atau disebut
amatir, yang biasa disebut dengan citizen journalism. Youtube menjadi
populer oleh karena fitur share, dimana warganet dapat membagikan apa
yang telah dilihatnya sehingga dapat disaksikan oleh warganet lainnya.
Hal ini yang dimanfaatkan oleh seorang content creator untuk membuat
tayangan video pembelajaran atau tutorial dalam topik bahasan tertentu.
Oleh karena itu informasi dapat dengan mudah disebarkan melalui video
yang di upload melalui youtube.
Dengan demikian semakin banyak materi-materi pembelajaran yang
dibuat praktek dan direkam menggunakan video kemudian disebarkan di
Pembahasan
Artikel yang merupakan hasil penelitian ini mencari persepsi
dari akademisi yang menggunakan media sosial youtube untuk media
pembelajaran. Akademisi yang dimaksud adalah seorang mahasiswa
yang dapat menggunakan media sosial, terutama youtube dengan tujuan
untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan.
Atensi
a. Motif
Motif seseorang dalam melakukan sesuatu bisa berbagai hal,
dan mungkin tidak sama antar individu walaupun kegiatan yang
dilakukan sama. Motif seorang yang melakukan kejahatan di mata
hukum dapat mempengaruhi vonis yang dijatuhkan. Bahkan motif
ini dapat menjadi acuan seorang dalam memutuskan suatu perkara.
Interpretasi
1. Nilai-Nilai yang dianut
Seseorang yang menggunakan media sosial berbasis video youtube
pasti memiliki latar belakang yang beraneka ragam. Latar belakang
seseorang sedikit banyak akan mempengaruhi nilai apa yang
dianut selama ini, karena apa yang dianggap penting, benar, salah
tergantung dari apa yang sudah dialami selama ini, termasuk
lingkungan tempatnya berada. Penilaian tentang tayangan yang
beredar di youtube juga berbeda-beda antar individu.
Tayangan penambah informasi yang menyajikan cara-cara seperti
tutorial atau cara-cara melakukan sesuatu memberikan perspektif
yang berbeda tentang media sosial, dimana sebelumnya youtube
hanya dianggap sebagai tempat hiburan saja dengan tayangan
entertainment, namun berubah nilai menjadi tempat untuk belajar
dan sarana edukasi alternatif disamping buku atau perkuliahan.
Informan yang dalam hal ini adalah mahasiswa memang memiliki
maksud ketika melihat tayangan youtube, yaitu salah satunya
menambah pengetahuan, seperti seorang akademisi seharusnya.
Hal ini yang menjadi nilai kegunaan yang dicari, yaitu pengetahuan
dan informasi. Disamping itu juga dalam mencari nilai kepuasan,
mahasiswa juga menggunakan media ini untuk sarana hiburan
karena banyak segi hiburan yang ditawarkan oleh platform ini.
2. Pengalaman
Dalam variabel pengalaman ini hendak melihat hal yang sudah dilalui
atau dilaksanakan oleh seseorang. Pengalaman dan pembelajaran
kejadian serupa di masa lalu individu menjadi hal yang mendasari
seseorang menginterpretasi suatu kejadian tertentu. Informan
Penutup
Perkembangan teknologi terutama internet telah mengubah
paradigma pendidikan menjadi lebih dinamis. Pendidikan tidak lagi
hanya didapatkan di ruang kelas secara formal, namun dapat diperoleh
darimana saja melalui internet. Youtube sebagai sarana media berbasis
video memberikan akses yang mudah dan praktis dalam menyampaikan
pembelajaran, dikarenakan media ini menggunakan media audio visual.
Mahasiswa komunikasi yang seharusnya membutuhkan keahlian
praktek dalam pembelajaran membutuhkan sarana belajar alternatif
untuk menunjang materi yang didapat di bangku perkuliahan formal.
Untuk itu penelitian ini melihat bagaimana persepsi mahasiswa
komunikasi dalam menggunakan youtube sebagai media pembelajaran
alternatif dalam memperoleh informasi/ pengetahuan.
Dari hasil penelitian didapat bahwa motif mahasiswa dalam
menggunakan youtube sebagai media pembelajaran alternatif oleh karena
kurangnya contoh praktek riil dalam materi perkuliahan kemudian
mencari dari youtube. Dan untuk menambah menambah wawasan
karena melihat dari video lebih mudah dipahami. Kemudian faktor
eksternal yang membuat seseorang menggunakan youtube untuk belajar
adalah karena mudah dan menariknya situs ini untuk diakses dan dapat
dibagikan oleh orang lain melalui fitur share.
Lalu untuk nilai yang dianut oleh mahasiswa adalah adanya
perubahan cara pandang dari youtube yang awalnya digunakan untuk
hiburan saja menjadi tempat untuk mencari bahan materi pembelajaran
secara lebih lengkap dan terperinci. Lalu dari segi pengalaman
menggunakan media ini oleh karena informasi dari teman dan mencari
tahu sendiri, kemudian setelah mendapatkan kanal yang tepat sesuai
Daftar Pustaka
Devito, J.A, 2002. Komunikasi Antar Manusia. Jakarta : Profesional Books
McQuail, Dennis. 2011. Teori Komunikasi Massa. Jakarta : Salemba
Humanika
Mulyana, Dedy.2009.Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya
Nurudin. 2004. Pengantar Komunikasi Massa. Malang : Cespur
Liliweri, Alo.2011. KOMUNIKASI : Serba Ada Serba Makna. Jakarta:
Kencana
Prasetijo, Ristiyanti.2005 .Perilaku Konsumen. Yogyakarta: Andi Offset
Rahmat, Jalaludin.2003. Psikologi Komunikasi. Bandung : PT.Remaja
Rosdakarya
Sobur, Alex. 2003. Psikologi Umum. Bandung : Pustaka Setia
Pendahuluan
Era reformasi yang bergulir pada medio 1998 telah menghadirkan
banyak perubahan pada hampir semua konfigurasi masyarakat di
Indonesia. Satu perubahan yang paling signifikan dan bertahan pasca
gelombang reformasi ini adalah konfigurasi media massa di Indonesia.
Pada rezim Orde Baru hampir semua wajah media massa di Indonesia
tampak santun, seragam dan satu suara dalam pemberitaan khususnya
pemberitaan tentang pemerintahan. Sekarang media di Indonesia
mendadak berubah menjadi galak, meledak-ledak dan kritis serta
membeberkan fakta secara terbuka pada pembaca. (H.A Saripudin dan
Qusyaini Hasan. 2003: 8). Bagaimanapun ceritanya, tipografi media
massa Indonesia saat ini adalah sesuatu yang sangat memberangsangkan
bagi menyemai benih demokrasi dan kemerdekaan berpendapat sebagai
satu aspek utama dalam implementasi demokrasi yang sesungguhnya.
Keberagaman informasi baik dari segi isi dan penyajian menjadi sangat
dinikmati konsumen informasi di Indonesia yang lebih dari 250 juta jiwa
ini.
Kebebasan dalam menyiarkan informasi kepada pembaca
membuat para pelaku dunia media berlomba-lomba menyuguhkan
informasi seaktual, secepat dan sedalam mungkin pada pembaca. Terpaan
informasi ini tidak hanya datang dari media konvensional semacam surat
kabar, radio maupun televisi tapi masyarakat Indonesia juga dibanjiri
dengan melimpahnya informasi dari media siber hingga layanan berita
berlangganan melalui telepon selular. Namun, perlu dipahami bahwa
produk media termasuk diantaranya adalah berita adalah produk
Dari tabel di atas, dapat dipahami bahwa tiga tipologi dari model
media tersebut menguraikan secara gamblang bagaimana kedudukan
institusi media dalam beberapa sudut pandang. Media di satu sisi bisa
merupakan alat untuk mengaktualisasikan dirinya, terutama dalam
mendukung kepentingan dirinya dalam kehidupan masyarakat. Baik
kepentingan politik praktis atau kepentingan bisnisnya. Di satu sisi media
memiliki pilihan membina hubungan dengan penguasa, masyarakat atau
Pembahasan
Peristiwa meninggalnya Ketua DPRD Sumatera Utara Aziz Angkat
pada tahun 2009, merupakan secuil contoh betapa masyarakat sebagai
konsumen media mampu “digerakkan” oleh media untuk melegitimasi
kepentingan tertentu. Fakta media yang disajikan oleh salah satu surat
kabar di Sumatera Utara diyakini sebagai sebuah kebenaran mutlak
dan wajib dipercayai. Ujungnya, massa yang mendukung pembentukan
Propinsi Tapanuli meyakini bahwa pembentukan propinsi baru ini
adalah harga mati dan sebuah kewajiban memperjuangkannya dengan
segala cara.
Penutup
Mengkritisi media merupakan hal yang perlu dilakukan, dengan
output terciptanya sebuah ekosistem demokratisasi yang berimbang.
Dalam arti terciptanya sebuah situasi keseimbangan dan kesetaraan
antara institusi sosial politik di suatu negara. Tanpa ada dominasi wacana
oleh satu pihak ke atas pihak lainnya, kesetaraan menjadi hal yang paling
didambakan. Karakter kritis ini harus disemai terus menerus, penguatan
kapasitas kritis dapat dimulai dari kampus hingga masyarakat itu sendiri.
Belajar dari Amerika Serikat, pada tahun 1960-an gairah mengkritisi
media menjadi hal yang popular dikalangan akademisi dan pelaku media
itu sendiri, diawali dengan terbitnya 2 jurnal yang memfokuskan pada
kajian isi media yaitu The Montana Journalism Review dan The Colombia
Journalism Review. Kemunculan dua penerbitan ini menginspirasi sekitar
40-an penerbitan yang mengkritisi isi media antara tahun 1960-1975.
Daftar Pustaka
Aufderheide, P. (1993). Media Literacy. A Report of the National Leadership
Conference on Media Literacy. Aspen Institute, Communications
and Society Program, 1755 Massachusetts Avenue, NW, Suite 501,
Washington, DC 20036..
Butsi, F. I. (2019). MENGENAL ANALISIS FRAMING: SEJARAH DAN
METODOLOGI. Jurnal Ilmiah Komunikasi Communique, 1(2), 52-
58.
Donsbach, Wolfgang., (2010). Journalist and Their Professional Identities.
Dalam Stuart Allan., (ed). (2010). The Routledge Companion to
News and Journalism. London, Routledge
Hachten, William A., (2005). The Troubles of Journalism: a Critical at
What’s Right and Wrong with the Press. New Jersey, Lawrence
Erlbaum Associates, Inc Publishers.
Hildson, Anne-Marie. (2003). What the Papers Say Representing
Violence Against Overseas Contract Workers. Violence Against
Women Journal. Hal: 2-5
Jhonston,D.H,. (1979). Journalism and the Media. New York, Barnes &
Noble.
Pohan, Syafruddin., (2011). Wacana Penubuhan Provinsi Tapanuli Dalam
Akhbar Indonesia : Satu Kajian Terhadap Berita Di Dalam Akhbar
Pendahuluan
Laboratorium. Saat mendengar satu kata tersebut, banyak orang
kerap mengasosiasikan kata tersebut dengan sebuah tempat untuk
melakukan pemeriksaan atau analisis darah. Ada pula yang bepikir
mengenai pengujian bahan-bahan kimia seperti anak SMA. Namun,
sangat sedikit yang bepikir mengenai sebuah ruangan dengan fasilitas
broadcasting.
Memang perlu diakui bahwa tidak banyak orang yang memahami
fasilitas laboratorium yang dimiliki oleh bidang studi ilmu komunikasi.
Padahal, sejatinya sebuah laboratorium dapat dibedakan menjadi 2, yakni
laboratorium pengujian dan laboratorium pembelajaran. Penggunaan
laboratorium sebagai media pembelajaran, tentu saja sangat menarik.
Pelajar menjadi dituntut untuk lebih aktif, dengan demikian apa yang
mereka pelajari akan dipahami dengan lebih mudah (Dananjaya, 2010).
Proses belajar mengajar yang bertitik berat pada pelajar, cenderung
lebih menarik dan mudah dipahami. Setiap solusi yang datang dari
pelajar sendiri, akan lebih mudah diingat sebagai sebuah pengalaman,
ketimbang pemaparan materi di dalam ruang kelas.
Ilmu komunikasi sebagai salah satu bidang studi yang kerap
bersentuhan dengan teknologi, cenderung menggunakan laboratorium
sebagai media pembelajaran semata. Mahasiswa ilmu komunikasi,
melalui laboratorium diajak untuk melatih kemampuannya dalam
bidang broadcasting, maupun public speaking. Ada yang menggunakan
fasilitas laboratorium untuk melancarkan kemampuannya dalam bidang
olah vokal guna menjadi penyiar yang baik. Ada juga yang berlatih
melancarkan kemampuannya dalam memilih diksi, lalu merangkainya
menjadi kalimat-kalimat indah untuk dikonsumsi indera publik. Serta
masih ada banyak hal teknis lain seputar dunia penyiaran dan public
Pembahasan
Era industrialisasi atau yang kerap disebut sebagai era 4.0 semakin
sering terdengar setahun terakhir semenjak Presiden Jokowidodo
meresmikan roadmap Making Indonesia 4.0 (Rachman, 2018). Lalu
apa sebenarnya Industri 4.0 ini? Industri 4.0 adalah sebuah reformasi
yang ditandai dengan masuknya teknologi untuk menggantikan sumber
daya manusia atau meningkatkan efisiensi kerja melalui penggunaan
teknologi. Era ini juga ditandai dengan penggunaan internet secara
masif, baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun kebutuhan industri.
Salah satu yang paling mudah diamati adalah penggunaan mesin-
Penutup
Melalui pembahasan berkaitan dengan perkembangan teknologi,
perubahan gaya hidup dan pola konsumsi generasi millenials,
maka penting untuk memberikan perhatian tambahan pada konten
pembelajaran yang disajikan pada peserta didik. Pembelajaran saat ini,
sebaiknya difokuskan pada pembuatan konten-konten kreatif yang sesuai
dengan kebutuhan dan keinginan publik. Di mana kebutuhan serta
keinginan publik dapat dengan mudah diketahui dengan keberadaan big
data.
Hal lain yang perlu diberi perhatian khusus adalah pengembangan
laboratorium dalam bidang ilmu komunikasi, khususnya untuk bidang
penyiaran. Pengembangan laboratorium penyiaran ke depan tidak bisa
hanya sekedar sebagai media pembelajaran, namun juga harus menjadi
laboratorium yang menyediakan data, juga mendukung uji kelayakan
konten. Mungkin lebih baik bila di masa yang akan datang, laboratorium
Daftar Pustaka
Buku
Dananjaya, Utomo. (2010). Media Pembelajaran Aktif. Bandung: Penerbit
Nuansa
Lever-Duffy, Judy & McDonald, Jean B. (2011). Teaching and Learning
with Technology (4th Edition). Boston, USA: Pearson
Sebastian, Yoris. (2018). Generasi Langgas Millenials Indonesia. Jakarta:
Gagas Media
Artikel Internet
Rachman, Fadhly Fauzi. (2018). Apa Itu Revolusi Industri 4.0?. Available
at: https://finance.detik.com/industri/d-3952668/apa-itu-revolusi-
industri-40
YouTube for Press. (2019). Available at : https://www.youtube.com/yt/
about/press/
Pengantar
Dinamika pendidikan tinggi tidak bisa lepas dari pengaruh faktor
ekonomi, sosial, politik, budaya, sampai aspek teknologi. Secara
praktik, pengelolaan pendidikan tinggi mempertimbangkan faktor-
faktor pengaruh yang relevan tersebut untuk mengembangkan visi dan
misi, serta aspek “bisnis” untuk keberlanjutan. Demikian pula untuk
pendidikan tinggi Ilmu Komunikasi, bidang ilmu yang saat ini masih
dianggap favorit bagi mahasiswa, ditandai dengan banyaknya peminat
dan semakin banyak pergururuan tinggi yang mendirikan program studi
ilmu komunikasi, dari diploma III/IV sampai pascasarjana.
Tentu minat akan ilmu komunikasi berkorelasi dengan kebutuhan
tenaga kerja dan profesi komunikasi, dari industry media, perusahaan,
pemerintahan (sipil/militer), organisasi non pemerintah, berbagai
industry kreatif, konsultan komunikasi sampai lembaga pendidikan.
“Platform” kerjanya pun juga berkembang dari konvensional ke digital.
Sebagaimana dunia komunikasi saat ini ada dalam dua ruang yaitu,
dunia nyata dan maya, fenomena yang memiliki ciri dan keunikan
sendiri. Selain itu perkembangan pendidikan tinggi komunikasi juga
dipengaruhi oleh dinamika riset yang dikembangkan perguruan tinggi
dan termasuk berbagai hasil kegiatan akademik yang diselenggarakan
oleh berbagai asosiasi komunikasi, jurnalisme, media, public relations,
advertising dan sebagainya.
Di Indonesia, secara khusus pendidikan tinggi komunikasi, yang
dikatakan berkembang dan favorit, masih mencatat berbagai isu penting,
yang masih merupakan selain kritik, juga tantangan, sebagai berikut :
KRITIK CATATAN
Profesi terbuka Komunikasi bidang yang eksklusif, bidang lain bias
masuk, selama memiliki skill yang diminta.
Interdisipliner dan multidipliner Ilmu komunikasi, atau khususnya mata kuliah ko-
munikasi juga dipelajari sebagai sub bahasan dan
juga sebagai mata kuliah pada disiplin ilmu lain
(manajemen, marketing, kedokteran, politik, psi-
kologi, kesehatan dan sebagainya). Jumlah mata
kuliah berlabel komunikasi semakin banyak ? Se-
baliknya juga berbicara tentang bagaimana ilmu
bidang lain, diklaim sebagai bagian ilmu komuni-
kasi.
Formulasi teori/praktik Perdebatan yang tidak kunjung selesai, apakah
komunikasi masuk ranah akademik atau terapan.
Implikasinya adalah formulasi kurikulum dan
prosentasi antara teori dan praktek.
Kurikulum Adakah “rumusan” kurikulum standar bagi pen-
didikan ilmu komunikasi ? Jika membandingkan
dengan psikologi, sosiologi atau antropologi, atau-
pun ilmu ekonomi, manajemen atau hukum, yang
memiliki rumusan standar ? atau dasar kurikulum
Kompetensi Adalah konsekuensi dari sistem manajemen
mutu dan industri, bahwa kualitas SDM memili-
ki standar minimum yang ditentukan. Sekaligus
pertanyaan apakah output pendidikan tinggi
komunikasi (kompetensi apa ?), fit dengan stan-
dar kompetensi ? Jika mahasiswa dituntut untuk
memiliki kompetensi, bagaimana dengan dosen
dan sertifikasi kompetensi yang relevan.
Kualifikasi/jenjang Jika lembaga sertifikasi atau standar kompeten-
si yang ada biasanya menentukan jenjang : oper-
ator, analis – sampai yang tertinggi manajerial,
bagaimana kurikulum pendidikan tinggi komuni-
kasi memformulasikan pendidikan/ jenjang DIII –
S3 ?, apakah menunjukkan jenjang dan kualifikasi
yang diinginkan ?
Laboratorium Laboratorium dengan standar apa yang diperlu-
kan, ini berhubungan percepatan dinamika dunia
kerja/ industri.
Catatan dan kritik tersebut sebenarnya sudah sejak lama muncul, berbagai
upaya dilakukan oleh perguruan tinggi, setidaknya untuk mengevaluasi
kurikulum, “update” isi mata kuliah, untuk melakukan penyesuaian
Penutup
Dunia pendidikan tinggi ilmu komunikasi, sebagai ilmu yang
interdipliner, sangat rentan atas dinamika perubahan dunia. Determinasi
teknologi sebagai contoh, adalah bagaimana ilmu komunikasi harus
menghadapi “bentuk baru” komunikasi karena perkembangan internet
dan atau dunia digital yang memiliki pengaruh signifikan terhadap
kehidupan masyarakat.
Konservatisme pendidikan tinggi ilmu komunikasi perlu dihindari
dengan inovasi kurikulum yang adaptif namun juga berorientasi maju.
Tantangan dunia yang serba terkomputerisasi, terkoneksi dan bantuan
Artificial Intellegence, menjadi tantangan tersendiri.
Daftar Pustaka
Maringe, Felix & Foskett, Nick (Eds). 2010. Globalization and
Internationalization in Higher Education Theoretical, Strategic and
Management Perspectives. MPG Books Group
Supadiyanto
Program Studi S1 Ilmu Komunikasi STIKOM Yogyakarta
Pendahuluan
Industri media penyiaran khususnya televisi dipenuhi dengan
program hiburan saat ini. Bahkan banyak tayangan yang melanggar
sejumlah regulasi media penyiaran. Buruknya lagi, lembaga penyiaran
didominasi program “Jakarta” dan program asing. Program siaran lokal
minimalis (Supadiyanto, 2015: 66). Di tengah banyaknya program acara
televisi yang sekadar menghibur, masyarakat merindukan program
tayangan yang mencerdaskan publik. Program talkshow menjadi salah
satu alternatif program televisi yang diharapkan bisa mencerdaskan
publik.
Kurikulum pada Program Studi S1 Ilmu Komunikasi maupun
Diploma Tiga Program Studi Penyiaran, Periklanan, Hubungan
Masyarakat, dan sejenisnya yang diajarkan di berbagai PTN/S di
Indonesia harus selalu dilakukan penyempurnaan secara kontinum.
Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan tuntunan dunia industri bidang
perkomunikasian yang berjalan sangat dinamis, cepat, masif, dan
universal. Tanpa adanya penyesuaian kurikulum pada Program Studi S1
Ilmu Komunikasi Diploma Tiga Program Studi Penyiaran, Periklanan,
Hubungan Masyarakat, dan sejenisnya; maka lulusan pada Prodi S1 Ilmu
Komunikasi dan Diploma Tiga Program Studi Penyiaran, Periklanan,
Hubungan Masyarakat, dan sejenisnya mengalami hambatan dan
kesulitan dalam menjawab tantangan dunia kerja di era Revolusi Industri
4.0. Sejatinya Revolusi Industri 4.0 merupakan esensi dari perjumbuhan
antara teknologi telekomunikasi, media, informasi, grafika, dan
transportasi (Telematikagratrans), keterampilan (skills), pesona kapital,
dan konstelasi geopolitik dunia. Perguruan tinggi sebagai lembaga
Pembahasan
Program talkshow menjadi salah satu program yang banyak digemari
penonton TV. Karena model sajian yang menarik, informasi yang
menarik, interaktif, dan mampu memberikan hiburan bagi pemirsa.
Program talkshow seperti Mata Najwa, Kick Andy, Indonesia Lawyer
Penutup
Keberhasilan para mahasiswa Program Studi D3 Penyiaran STIKOM
Yogyakarta Semester IV yang sudah mampu memproduksi Program
Talkshow dan dinyatakan relatif layak tayang di stasiun televisi, dapat
dijadikan modal utama bagi mereka untuk bekerja di stasiun televisi
khususnya pada program talkshow. Adanya sejumlah kelemahan yang
dimiliki oleh setiap kelompok, dapat diatasi lebih dini dengan persiapan
Daftar Pustaka
Harley Prayudha. (2004). Radio, Suatu Pengantar untuk Wacana dan
Praktik Penyiaran. Bayu Media Publishing
Juniawati. (2014). Program Talkshow dan Ruang Public Sphere: Upaya
Media sebagai Industri Pro Publik. Jurnal Dakwah Al-Hikmah
Volume 8 No. 2 (2014) IAIN Pontianak. P-ISSN: 1978-5011,
E-ISSN: 2502-8375.