Anda di halaman 1dari 233

Pendidikan Tinggi

Ilmu Komunikasi
Menghadapi Revolusi Industri 4.0

Editor :
Fajar Junaedi, Irwa R. Zarkasi
Penulis :
Meria Octavianti, Mohamad Reza, Atwar Bajari, Moch. Imron Rosyidi,
Annis Azhar Suryaningtyas, I Wayan Suadnya, Eka Putri Paramita,
Abung Supama Wijaya, Tri Susanto, Burhan Bungin, Dorien Kartikawangi,
Heni Indrayani, Swita Amalia Hapsari, Hanif Wahyu Cahyaningtyas,
Rifqi Hindami, E. Nugrahaeni P, Titi Widaningsih, Ita Musfirowati Hanika,
Ilham Ayatullah Syamtar, Kinkin Yuliaty Subarsa Putri,
Maulina Larasati Putri, Tuti Widiastuti, S Bekti Istiyanto,
Salsabila Ardiningrum, Lishapsari Prihatini, Sumarni Bayu Anita,
Rachmawati Windyaningrum, Rila Setyaningsih, Abdullah,
Edy Prihantoro, Hustinawaty, Sitti Utami Rezkiawaty Kamil,
Sutiyana Fachruddin, Ikrima Nurfikria, Marsia Sumule G,
Fera Tri Susilawaty, Vera Hermawan, H. Rasman Sonjaya,
Diah Amelia, Bayu Dwi Nurwicaksono, Errika Dwi Setya Watie,
Fajriannoor Fanani, Haryo Kusumo Aji, Iskandar Zulkarnain,
Febry Ichwan Butsi, Louisa Christine Hartanto,
Setio Budi H. Hutomo, Supadiyanto.
Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi
Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Copyright © penulis

Hak cipta pada penulis dan dilindungi oleh Undang-undang (All Rigths Reserved).
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari
penerbit.

Cetakan I : 2019
232 (viii+ 224 hlm) halaman, 15,5 x 23,5 cm
ISBN: 978-602-5681-53-0

Editor :
Fajar Junaedi, Irwa R. Zarkasi
Penulis :
Meria Octavianti, Mohamad Reza, Atwar Bajari, Moch. Imron Rosyidi,
Annis Azhar Suryaningtyas, I Wayan Suadnya, Eka Putri Paramita,
Abung Supama Wijaya, Tri Susanto, Burhan Bungin, Dorien Kartikawangi,
Heni Indrayani, Swita Amalia Hapsari, Hanif Wahyu Cahyaningtyas, Rifqi Hindami,
E. Nugrahaeni P, Titi Widaningsih, Ita Musfirowati Hanika, Ilham Ayatullah Syamtar,
Kinkin Yuliaty Subarsa Putri, Maulina Larasati Putri, Tuti Widiastuti,
S Bekti Istiyanto, Salsabila Ardiningrum, Lishapsari Prihatini, Sumarni Bayu Anita,
Rachmawati Windyaningrum, Rila Setyaningsih, Abdullah, Edy Prihantoro,
Hustinawaty, Sitti Utami Rezkiawaty Kamil, Sutiyana Fachruddin, Ikrima Nurfikria,
Marsia Sumule G, Fera Tri Susilawaty, Vera Hermawan, H. Rasman Sonjaya,
Diah Amelia, Bayu Dwi Nurwicaksono, Errika Dwi Setya Watie, Fajriannoor Fanani,
Haryo Kusumo Aji, Iskandar Zulkarnain, Febry Ichwan Butsi,
Louisa Christine Hartanto, Setio Budi H. Hutomo, Supadiyanto.
Desain Cover :
Ibnu Teguh W
Lay Out :
Ibnu Teguh W

Penerbit:
Buku Litera Yogyakarta
Minggiran MJ II/1378, RT 63/17 Suryodiningratan, Mantrijeron, Yogyakarta
Telp. 0274-388895, 08179407446. Email: bukulitera3@gmail.com
Kata Pengantar

Di tahun 2011, ASPIKOM pernah menerbitkan buku berjudul


Communication Review : Catatan tentang Pendidikan Komunikasi di
Indonesia, Jerman dan Australia. Penerbitan buku ini menjadi salah satu
kontribusi nyata ASPIKOM dalam memetakan potensi, tantangan dan
peluang pendidikan tinggi Ilmu Komunikasi di Indonesia.
Delapan tahun setelah buku tersebut terbit, ASPIKOM kembali
merilis sebuah buku tentang pendidikan tinggi Ilmu Komunikasi di
Indonesia, dalam sebuah buku yang diberi judul Pendidikan Tinggi Ilmu
Komunikasi Menghadapi Revolusi Industri 4.0. Delapan tahun yang lalu,
istilah Revolusi Industri 4.0 belum begitu populer. Kini, istilah ini sangat
populer dalam berbagai wacana. Media memberitakan tentang Revolusi
Industri 4.0, pejabat publik menyampaikan istilah Revolusi Industri
4.0 dalam berbagai pidato, dan para akademisi dituntut untuk tanggap
menghadapi disrupsi dalam Revolusi Industri 4.0.
Buku ini merupakan hasil dari Konferensi Nasional Komunikasi
yang dihelat sebagai rangkaian dari Kongres V ASPIKOM yang
dilangsungkan di Kota Solo tanggal 24 – 26 Juli 2019. Beragam pemikiran
para akademisi dalam buku ini layak menjadi acuan dalam pengambilan
keputusan perbaikan kurikulum pendidikan tinggi Ilmu Komunikasi di
berbagai institusi perguruan tinggi yang menjadi anggota ASPIKOM.
Selamat membaca.

Yogyakarta, 10 Juli 2019


Editor

Fajar Junaedi
Irwa R. Zarkasi

Public Relations dan Periklanan | iii


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
iv | Public Relations dan Periklanan
Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Daftar Isi

Kata Pengantar ..............................................................................................iii


Daftar Isi .......................................................................................................... v
Pengembangan Program Studi Ilmu Komunikasi dari Perspektif
Mahasiswa
Meria Octavianti, Mohamad Reza, Atwar Bajari ........................................ 1
Narasi Pemikiran Jurgen Habermas sebagai Pijakan Alternatif
Komunikasi Pembangunan Partisipatif
Moch. Imron Rosyidi, Annis Azhar Suryaningtyas.....................................17
Identifikasi Ilmu Komunikasi Berbasis Kebudayaan Hindu
I Wayan Suadnya, Eka Putri Paramita .......................................................27
Rebranding Perguruan Tinggi dalam Menghadapi Persaingan Global:
Perubahan Nama Institut Pertanian Bogor Menjadi IPB University
Abung Supama Wijaya, Tri Susanto ............................................................37
Desain Penelitian Komunikasi Berazaskan Paradigma Filsafat Post-
Positivism
Burhan Bungin ...............................................................................................51
Big Data dan Riset Public Relations: Sebuah Diskusi
Dorien Kartikawangi .....................................................................................63
Kajian Sitasi sebagai Literasi Informasi Rujukan pada Penelitian
Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Dian
Nuswantoro
Heni Indrayani, Swita Amalia Hapsari, Hanif Wahyu Cahyaningtyas,
dan Rifqi Hindami .........................................................................................71
Humas Pendidikan Sekolah Di Era Digital
E. Nugrahaeni P, dan Titi Widaningsih .......................................................81
Upaya Adaptif Tenaga Pendidik Pada Gaya Belajar Generasi Z
Ita Musfirowati Hanika, Ilham Ayatullah Syamtar ....................................87
Tantangan Ilmu Komunikasi dari Aspek Komunikasi Bisnis
dalam Ilmu Multidisipliner
Kinkin Yuliaty Subarsa Putri, Maulina Larasati Putri, Tuti Widiastuti,
S Bekti Istiyanto, dan Salsabila Ardiningrum..............................................99

Public Relations dan Periklanan |v


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Pengembangan Pendidikan Komunikasi di Era Millenial
(Studi Kasus Pelaksanaan Candradimuka Film Festival 2019
untuk Praktek Mata Kuliah Sinematografi)
Lishapsari Prihatini, Sumarni Bayu Anita ................................................107
Keterampilan Content Writer Sebagai Penunjang Profesi Hubungan
Masyarakat di Era Cyber
Rachmawati Windyaningrum.....................................................................119
Strategi Pendidikan Tinggi Pesantren Dalam Pengembangan Konten
Pembelajaran E-Learning Di Era Industri 4.0
Rila Setyaningsih, Abdullah, Edy Prihantoro, Hustinawaty ....................133
Optimalisasi Metode Social Learning dalam Kegiatan Praktikum
Berbasis Media Sosial pada Laboratorium Jurusan Ilmu Komunikasi
Universitas Halu Oleo
Sitti Utami Rezkiawaty Kamil, Sutiyana Fachruddin, Ikrima Nurfikria,
Marsia Sumule G, Fera Tri Susilawaty ......................................................141
Peran Komunikasi di Era Industri 4.0
Vera Hermawan, H. Rasman Sonjaya ......................................................151
Penerapan Literasi dalam Ketrampilan Komunikasi sebagai Unsur
Penyusunan Kurikulum Program Studi Penerbitan
Diah Amelia, Bayu Dwi Nurwicaksono ....................................................155
Memahami Permasalahan Komunikasi dalam Sistem Pembelajaran
Jarak Jauh (Online)
Errika Dwi Setya Watie, Fajriannoor Fanani ...........................................167
Youtube sebagai Media pembelajaran Alternatif di Era Digital
Haryo Kusumo Aji .......................................................................................175
Aktualisasi Ilmu Komunikasi Dalam Pendidikan Masyarakat Melek
Media Literasi
Iskandar Zulkarnain, dan Febry Ichwan Butsi.........................................185
Laboratorium Konten Untuk Generasi Millenials Era 4.0
Louisa Christine Hartanto ..........................................................................197
Pendidikan Tinggi Komunikasi, Disrupsi dan Inovasi
Setio Budi H. Hutomo..................................................................................203

vi | Public Relations dan Periklanan


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Implementasi Kurikulum Ilmu Komunikasi melalui Pengerjaan
Proyek Program Talkshow TV pada Mata Kuliah Terpadu di
STIKOM “AKINDO” Yogyakarta
Supadiyanto ..................................................................................................211

Tentang Editor ............................................................................................223

Public Relations dan Periklanan | vii


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
viii | Public Relations dan Periklanan
Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Pengembangan Program Studi Ilmu Komunikasi
dari Perspektif Mahasiswa

Meria Octavianti1, Mohamad Reza2, Atwar Bajari3


1,3
Program Studi Manajemen Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Padjadjaran
2
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Gorontalo
Email : 1meria.octavianti@unpad.ac.id, 2reza_rh@yahoo.com,
3
atwar.bajari@unpad.ac.id

Pendahuluan
Mahasiswa merupakan orang dewasa yang dalam perspektif
pendidikan mengarahkan dirinya pada pencapaian identitas dan jati
diri. Mahasiswa bukan lagi menjadi objek sosialisasi yang dibentuk dan
dipengaruhi orang lain untuk menyesuaikan dirinya dengan keinginan
para pemegang otoritas, dalam hal ini kampus tempat dimana mereka
menimba ilmu. Kampus sebagai penyelenggara pendidikan tinggi tidak
cukup hanya memberi tambahan pengetahuan saja, tetapi kampus
harus mampu membekali mahasiswa dengan rasa percaya diri yang
kuat. Orientasi belajar yang ditekankan pada mahasiswa sebagai orang
dewasa haruslah berpusat pada kehidupan, sehingga mereka tidak hanya
berfokus pada nilai yang akan mereka dapatkan di akhir semester atau
ijazah yang akan mereka dapatkan di akhir masa perkuliahannya, tetapi
juga ilmu yang mereka dapatkan di kampus harus mampu meningkatkan
taraf hidupnya kelak saat mereka lulus dan juga bermanfaat untuk
kehidupanya secara lebih luas.
Program studi sebagai salah satu bagian dari kampus yang
bersingungan langsung dengan mahasiswa, harus mampu menyiapkan
berbagai hal yang diperlukan dalam pendidikan mahasiswa sebagai
orang dewasa. Knowles menegaskan bahwa terdapat perbedaan antara
belajar bagi orang dewasa dengan belajar anak-anak dilihat dari segi
perkembangan kognitifnya. Menurut Knowles (2002) terdapat empat
asumsi utama yang membedakan pendidikan orang dewasa dengan
anak-anak, yaitu: (a) perbedaan dalam konsep diri dimana orang dewasa

Public Relations dan Periklanan |1


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
memiliki konsep diri yang mandiri dan tidak bergantung bersifat
pengarahan diri, (b) perbedaan pengalaman, dimana orang dewasa
mengumpulkan pengalaman yang makin meluas, yang menjadi sumber
daya yang kaya dalam keadaan belajar, (c) kesiapan untuk belajar, dimana
orang dewasa ingin mempelajari bidang permasalahan yang kini mereka
hadapi dan anggap relevan, dan yang terakhir adalah (d) perbedaan dalam
orientasi ke arah kegiatan belajar, dimana orang dewasa orientasinya
berpusat pada masalah. Berdasar pada hal tersebut diperlukan upaya
yang maksimal dari sebuah program studi di perguruan tinggi untuk
mampu menjawab tantangan yang ada dan mampu memberikan
pelayanan pendidikan yang sesuai pada harapan dan keinginan dari
mahasiswa sebagai orang dewasa yang ingin menemukan identitas dan
jati dirinya serta mampu memberikan sumbangsih pada masyarakat
umum di kehidupannya kelak.
Ditambah lagi dengan globalisasi yang telah mengakibatkan
perubahan pada keseluruhan kehidupan bermasyarakat, termasuk di
dalamnya sektor pendidikan dan ketenagakerjaan. Mobilitas tenaga
kerja yang telah berlaku global memberikan tantangan tersendiri bagi
perguruan tinggi untuk mampu menghasilkan mahasiswa yang mampu
bersaing dengan tenaga kerja yang berasal dari luar negeri. Profil lulusan
dari program studi menjadi hal penting bagi setiap universitas untuk
dapat merumuskan kurikulum dan metode pembelajaran yang tepat bagi
para mahasiswanya. Begitu pula untuk Program Studi Ilmu Komunikasi,
sebuah program studi rumpun sosial yang saat ini diminati oleh banyak
calon mahasiswa di Indonesia. Bukan hanya di wilayah Indonesia bagian
barat, tetapi di Indonesia bagian timur. Respon positif dari para calon
mahasiswa, yang sejalan dengan banyaknya permintaan user terhadap
lulusan dari Program Studi Ilmu Komunikasi menjadikan program studi
ini semakin berkembang di Indonesia. Banyak universitas yang akhirnya
membuka program studi Ilmu Komunikasi untuk dapat menjawab
tantangan tersebut.
Universitas Negeri Gorontalo sebagai salah satu univertas negeri di
Provinsi Gorontalo menjawab tantangan tersebut dengan terus berupaya
mengembangkan Program Studi Ilmu Komunikasi. Hal tersebut
terlihat dari visi Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Gorontalo yaitu “Unggul dalam Pengembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi Komunikasi yang Inovatif, Kompetitif, dan
Berbudaya di Kawasan Asia Tenggara Tahun 2035”. Bukan hanya pada

2| Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
level nasional, tetapi visi ini menunjukkan bahwa segala sesuatu yang
dilakukan oleh Program Studi Ilmu Komunikasi UNG adalah untuk
menghasilkan lulusan yang mampu bersaing pada level global yaitu
kawasan Asia Tenggara.
Visi yang ditetapkan akan mampu direalisasikan jika terdapat
sinergitas dari berbagai elemen yang terdapat di dalamnya. Selain para
tenaga pendidik dan kependidikan, mahasiswa dan stakeholder juga
menjadi bagian yang memiliki peran penting dalam pencapaian visi
tersebut. Mahasiswa sebagai pengguna dari segala layanan pendidikan
yang disiapkan oleh program studi harus memiliki pemahaman terhadap
visi dan misi dari tempat dimana mereka menimba ilmu. Partisipasi dan
juga saran yang membangun dari mahasiswa sangat diperlukan dalam
pencapaian visi yang telah ditetapkan dan pengembangan program studi.
Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini berupaya untuk mengungkap
bagaimana pengetahuan dan pemahaman mahasiswa pada Program
Studi Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Gorontalo serta bagaimana
bentuk partisipasi yang dilakukan oleh mahasiswa dalam pengembangan
Program Studi tempat mereka menimba ilmu agar mampu mencapai visi
yang sudah ditetapkan dan mampu bersaing secara global.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian
kuantitatif deskriptif. Sebagaimana dikemukakan oleh Sugiyono
(2012: 13) penelitian deskriptif yaitu, penelitian yang dilakukan
untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih
(independen) tanpa membuat perbandingan, atau menghubungkan
dengan variabel yang lain. Dalam penelitian ini hanya akan dilakukan
penilaian pada beberapa variabel mandiri. Pengetahuan dan pemahaman
mahasiswa terhadap program studi tempat mereka menimba ilmu serta
keingininan mahasiswa untuk turut berpartisipasi dalam pengembangan
ilmu komunikasi menjadi variabel mandiri yang akan diuji dalam
penelitian ini.
Penelitian mengenai persepsi mahasiswa terhadap pengembangan
Program Studi Ilmu Komunikasi ini dilakukan pada akhir semester ganjil
tahun ajaran 2018/ 2019 yaitu pada bulan Desember 2018 – Januari 2019
bertempat di kampus Universitas Negeri Gorontalo. Program Studi Ilmu
Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Gorontalo
(UNG) merupakan objek dalam penelitian ini sedangkan subjek
penelitiannya adalah mahasiswa aktif pada program studi tersebut.

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi |3


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Pengambilan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan
membagikan kuesioner kepada seluruh responden peneltian. Kuesioner
merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi
seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk
dijawabnya dan juga merupakan teknik pengumpulan data yang efisien bila
peneliti sudah membentuk pertanyaan yang terdiri dari variabel-variabel
yang dijabarkan menjadi sub variabel spesifik dan telah disusun secara
sistematis serta tertulis yang kemudian disebarluaskan kepada responden
yang telah ditentukan (Sugiyono, 2012:193). Kuesioner yang digunakan
dalam penelitian ini berbentuk kuesioner kombinasi, dimana terdapat
pernyataan yang sudah disiapkan jawabannya tetapi juga ada jawaban yang
membebaskan responden untuk menjawab apapun karena tidak disiapkan
pilihan jawabanya. Sedangkan pengambilan data sekunder dilakukan
dengan melakukan wawancara dan studi kepustakaan. Wawancara yang
dilakukan adalah wawancara tidak terstruktur pada perwakilan mahasiswa,
perwakilan dosen dan juga pimpinan Program Studi Ilmu Komunikasi
FIS UNG. Sedangkan studi kepustakaan dilakukan pada berbagai sumber
literatur yang sesuai dengan topik penelitian.
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh mahasiswa aktif Program
Studi Ilmu Komunikasi Universitas Gorontalo. Ukuran populasi (N)
dalam penelitian ini berdasarkan pada data yang dituangkan pada Borang
3A standar 3 adalah 198 orang. Dikarenakan N kurang dari 500 orang,
maka penentuan ukuran sampel (n) dilakukan dengan menggunakan
rumus Slovin. Dengan batas kesalahan yang ditolerir sebesar (d) 10%
maka diperoleh ukuran sampel (n) dalam penelitian ini adalah sebanyak
66 orang, berdasar pada perhitungan sebagai berikut:
n = = = 66,44 dibulatkan menjadi 66 orang
Tetapi ternyata pada akhir pengumpulan kuesioner, hanya diperoleh
sejumlah 55 orang mahasiswa yang mengisi kuesionernya dengan
baik dan benar, sesuai dengan harapan peneliti. Kondisi tersebut tidak
menjadikan penelitian ini tidak valid karena berdasar pada konsep
response rate, jumlah kuesioner yang terkumpul dan dapat dijadikan data
penelitian masih masuk dalam kategori baik. Secara sederhana, response
rate adalah tingkat respons yang mengacu pada persentase individu
dalam menanggapi survei dalam sebuah penelitian. Response rate
yang digunakan sebagai acuan dalam sebuah penelitian berbeda-beda
bergantung pada masing-masing disiplin ilmu. Nancy Gordon (2002: 25)
menyatakan bahwa:

4| Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
“The percentage of responses necessary would probably differ according
to the type of study. In this survey of a population with a particular
disease or a survey of a general population which aims to describe
knowledge or behaviors, a 60% response rate might be acceptable,
although 70% would be preferable”

Formula response Rate sederhana untuk mengukur presentase jumlah


tanggapan dari penelitian ini dirumuskan sebagai di bawah ini :

Bila data dari penelitian ini dimasukkan pada formula di atas, maka
didapatkan hasil sebagai berikut:

Dapat dibaca dan disimpulkan pula, bahwa response rate dari penelitian
ini adalah sebesar 86,96% atau baik. Hal ini sejalan dengan pernyataan
Nancy Gordon yang menyebutkan bahwa response rate sebesar 70%
adalah batasan jumlah yang lebih baik bagi penelitian yang berfokus
pada penggambaran pengetahuan dan sikap.
Pengukuran validitas pada penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan Product Moment dari Karl Pearson dan uji reabilitas
dilakukan dengan menggunakan Alpha Cronbach. Dikarenakan
penelitian ini hanya bersifat deskriptif, maka penelitian ini hanya
melakukan analisis data tunggal dari setiap variabel yang diteliti.

Pembahasan
Banyak aspek yang mempengaruhi pengembangan sebuah program
studi. Penggembangan sebuah program studi tidak terlepas dari penilaian
mahasiswa terhadap berbagai aspek dalam program studi tersebut
seperti profil lulusan, kurikulum, serta sarana dan prasarana penunjang
pendidikan. Penelitian ini dilakukan kepada 55 mahasiswa Universitas
Negeri Gorontalo yang terdiri dari 56% perempuan dan 43% laki-laki.
Penelitian ini hanya bersifat deskriptif, yaitu hanya memaparkan data
tunggal yang diperoleh dari kuesioner, tanpa melakukan pengujian
statistik inferensial untuk mengetahui hubungan atau pengaruh antar
satu variabel dengan variabel lainnya.
Responden penelitian berjumlah 55 orang mahasiswa aktif Prodi

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi |5


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Gorontalo yang terdiri dari 36%
mahasiswa semester 3, sebanyak 32% responden merupakan mahasiswa
semester 5, dan 32% merupakan mahasiswa semester 1. Data tersebut
menunjukkan sebaran yang seimbang antara jumlah mahasiswa yang
berasal dari setiap semester. Penelitian ini memang tidak dilakukan pada
mahasiswa semester 7 maupun semester di atasnya, karena penelitian
ini ingin mendapatkan gambaran dari mahasiswa yang saat dilakukan
penelitian ini masih aktif kuliah di kampus dan juga masih aktif mengikuti
berbagai kegiatan, baik kegiatan akademik maupun non akademik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden
yaitu sebanyak 84% mengetahui profil lulusan Prodi Ilmu Komunikasi
FIS UNG dan hanya sebagian kecil responden yaitu sebanyak 16% yang
tidak mengetahui profil lulusan. Walaupun sebagian besar responden
menjawab mengetahui, tetapi pada kenyataannya jawaban yang
disampaikan oleh responden tidak menunjukkan hasil yang sebenarnya.
Hal tersebut dikarenakan sampai saat ini Program Studi Ilmu Komunikasi
FIS UNG belum menetapkan profil lulusan secara pasti.
Berdasar pada apa yang diisampaikan dalam belmawa.ristekdikti.
go.id mengenai profil lulusan dari sebuah program studi bahwa :
profil program studi disusun oleh kelompok prodi sejenis, sehingga
terjadi kesepakatan yang dapat diterima dan dijadikan rujukan
secara nasional. Profil lulusan sendiri merupakan peran yang dapat
dilakukan oleh lulusan di bidang keahlian atau bidang kerja tertentu
antara 1-3 tahun setelah menyelesaikan program studi. Profil dapat
ditetapkan berdasarkan hasil kajian terhadap kebutuhan pasar kerja
yang dibutuhkan pemerintah dan dunia usaha maupun industri,
serta kebutuhan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

Tetapi walaupun begitu tetap saja tidak serta merta profil lulusan yang
telah ditetapkan tersebut diikuti seluruhnya. Program studi tetap harus
menyesuaikan dengan kemampuannya untuk memberikan layanan pada
para mahasiswa agar mampu melakukan peran tersebut di saat mereka
bekerja nanti.
Apabila mengkaji dari apa yang dituangkan dalam borang 3A
bahwa tujuan pertama dari penyelenggaran pendidikan di Program
Studi Ilmu Komunikasi FIS UNG adalah untuk menghasilkan lulusan
Ilmu Komunikasi yang unggul sebagai insan-insan yang profesional,

6| Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
handal, mandiri dan berkarakter sehingga memberi konstribusi bagi
peningkatan sumberdaya manusia di bidang ke-komunikasi-an melalui
peningkatan kualitas pendidikan dan pengajaran, terlihat masih sangat
umum. Tujuan seharusnya dibuat spesifik sehingga berbagai upaya yang
dilakukan untuk mencapai tujuan pendidikan dapat disusun dengan
baik, salah satunya adalah penetapan profil lulusan.
Keterampilan yang diharapkan dimiliki oleh para mahasiswa saat
mereka lulus dari Program Studi Ilmu Komunikasi FIS UNG sebenarnya
mampu menjadi dasar dalam penetapan tujuan pendidikan dan juga
profil lulusan prodi. Hal tersebut dikarenakan untuk dapat menjalankan
peran-peran yang dinyatakan dalam profil lulusan, mahasiswa harus
dibekali berbagai keterampilan, baik yang bersifat umum maupun khusus,
yang sesuai dengan peran yang akan mereka jalankan saat mereka lulus
nanti. Berikut merupakan hasil penelitian yang menunjukkan berbagai
keterampilan yang ingin dimiliki oleh para mahasiswa Ilmu Komunikasi
FIS UNG saat mereka lulus nanti.

Diagram 1
Keterampilan yang Ingin Dimiliki Mahasiswa saat Mereka Lulus dari Prodi Ilmu
Komunikasi FIS UNG
Sumber : Hasil Penelitian (Desember, 2018)

Diagram 1 menunjukkan variasi keterampilan yang ingin dimiliki


oleh mahasiswa saat mereka lulus dari Program Studi Ilmu Komunikasi

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi |7


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
FIS UNG. Sebanyak 18% responden ingin memiliki keterampilan public
speaking; 15% responden menginginkan keterampilan jurnalistik;
9% responden menginginkan keterampilan menulis; 6% responden
menginginkan keterampilan desain; 5% responden menginginkan
keterampilan editing; 5% responden menginginkan keterampilan public
relation; 4% responden menginginkan keterampilan membuat konten;
dan sisanya sebanyak 25% responden menjawab keterampilan lainnya,
yaitu, event organizing, camera man, penyiar, sutradara, youtuber,
vlogging, videografi, bisnis, broadcasting, advertising, lobi dan negosiasi,
dan kepemimpinan.
Menurut Nadler (1986: 73) keterampilan (skill) merupakan kegiatan
yang memerlukan praktek atau dapat diartikan sebagai implikasi
dari aktivitas, sedangkan menurut Dunnette (1976: 33) keterampilan
adalah kapasitas yang dibutuhkan untuk melaksanakan beberapa tugas
yang merupakan pengembangan dari hasil training dan pengalaman
yang didapat. Berdasar pada apa yang disampaikan oleh Nadler dan
Dunnete bahwa variasi keterampilan yang dipaparkan dalam diagram 1
merupakan sebuah implikasi dari aktivitas yaitu pembelajaran selama di
kampus sehingga mahasiswa mampu melaksanakan beberapa tugas di
saat mereka menyelesaikan kegiatan perkuliahan di kampusnya.
Variasi keterampilan yang muncul dari hasil penelitian ini
menunjukkan kategori jenis keterampilan yang diharapkan oleh
mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi FIS UNG. Kategori keterampilan yang
ditemukan dalam penelitian ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh
Ummatin (2014: 9), dimana terdapat empat jenis kategori keterampilan.
Kategori pertama adalah basic literacy skill yaitu keahlian dasar yang
pasti dan wajib dimiliki oleh kebanyakan orang. Basic literacy skill yang
ingin dimiliki oleh mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi FIS UNG adalah
keterampilan berbicara, yang dalam hal ini adalah berbicara di depan
umum / public speaking dan kemampuan menulis. Kategori yang kedua
adalah interpersonal skill atau keahlian interpersonal yaitu kemampuan
seseorang secara efektif untuk berinteraksi dengan orang lain maupun
dengan rekan. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa interpersonal
skill yang ingin dimiliki oleh mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi FIS
UNG adalah kemampuan public relations serta lobi dan negosiasi.
Keterampilan berikutnya adalah problem solving yaitu proses aktivitas
untuk menajamkan logika, berargumentasi dan penyelesaian masalah
serta kemampuan untuk mengetahui penyebab, mengembangkan

8| Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
alternatif dan menganalisa serta memilih penyelesaian yang baik. Dalam
penelitian ini ditemukan bahwa mahasiswa ingin memiliki keterampilan
problem solving adalah dengan munculnya jawaban kepemimpinan.
Kategori keterampilan terakhir adalah technical skill atau keterampilan
teknik yaitu keahlian seseorang dalam pengembangan teknik yang
dimiliki. Techinical skill menjadi kategori keterampilan yang paling
banyak disebutkan oleh responden penelitian seperti jurnalistik, desain,
editing, membuat konten, event organizing, camera man, penyiar,
sutradara, youtuber, vlogging, dan videografi.
Banyak dan beragamnya jenis keterampilan yang ingin dimiliki oleh
mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi FIS UNG di saat mereka lulus nanti
disebabkan karena memang belum ada profil lulusan yang pasti dari prodi
tempat mereka menimba ilmu. Sehingga kurikulum yang diberikan pun
masih bersifat umum dan belum menunjukkan spesifikasi dari keilmuan
komunikasi yang akan dicapai. Berdasar pada apa yang tertuang pada
diagram 1, terlihat bahwa kecenderungan mahasiswa Program Studi
Ilmu Komunikasi FIS UNG ingin memiliki keterampilan dalam
bidang broadcasting. Hal tersebut terlihat dari banyaknya mahasiswa
yang menyebutkan berbagai jenis keterampilan yang ada dalam ruang
lingkup broadcasting seperti desain, editing, membuat konten, camera
man, penyiar, sutradara, youtuber, vlogging, dan videografi. Sedangkan
untuk kemampuan public speaking, menulis lobi dan negosiasi serta
kepemimpinan merupakan keterampilan dasar yang memang harus
dimiliki oleh mahasiswa ilmu komunikasi, dan apabila broadcaster
menjadi Profil lulusan Program Studi Ilmu Komunikasi FIS UNG,
kemampuan dasar tersebut wajib dimiliki.
Selain beragai jenis keterampilan yang ingin dimiliki oleh mahasiswa
di saat mereka lulus, bidang kerja yang diminati dan diharapkan oleh
mahasiswa juga dapat menjadi dasar bagi pengelola program studi untuk
menentukan profil lulusan. Diagram 2 merupakan hasil penelitian yang
menunjukkan bidang kerja yang ingin diraih oleh mereka di saat mereka
lulus nanti.

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi |9


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Diagram 2
Jenis Pekerjaan yang Diinginkan Mahasiswa saat Mereka Lulus dari Prodi Ilmu
Komunikasi FIS UNG
Sumber : Hasil Penelitian (Desember, 2018)

Sejalan dengan bervariasinya jenis keterampilan yang ingin dimiliki


oleh mahasiswa, jenis pekerjaan yang ingin mereka raih pun menunjukkan
variasi yang beragam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak
19% responden ingin bekerja sebagai jurnalis, 13% responden ingin
bekerja sebagai Public Relation Officer, 9% responden ingin bekerja
sebagai fotografer, 8% responden ingin bekerja sebagai desainer, 5% ingin
bekerja sebagai penyiar, 5% ingin bekerja sebagai entertainer, 5% ingin
bekerja sebagai camera man, 5% ingin bekerja sebagai content creator,
dan sisanya sebanyak 26% responden menginginkan pekerjaan yang
lain seperti wartawan, editor, pebisnis, sutradara, produser, scriptwriter,
penulis, presenter, crew televisi, pegawai negeri sipil, dan konsultan.
Beragamnya jenis pekerjaan yang diinginkan oleh mahasiswa
Universitas Negeri Gorontalo selain dikarenakan pasion dari diri mereka
masing-masing, tetapi juga dikarenakan pengalaman belajar yang sudah
mereka jalani dengan kurikulum yang sudah ditetapkan oleh Prodi
Ilmu Komunikasi FIS UNG. Kurikulum yang masih bersifat umum
dan belum fokus pada kekhususan tertentu yang disesuaikan pada

10 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
profil lulusan memberikan pengalaman yang beragam pada mahasiswa,
dimana mahasiswa mengetahui dan mencoba untuk memiliki berbagai
kemampuan tetapi mereka menjadi tidak expert di satu bidang tertentu.
Oleh karena itu akan sangat baik apabila Prodi Ilmu Komunikasi FIS
UNPAD segera menentukan profil lulusan dari mahasiswanya sehingga
menjadi dasar dalam penyusunan kurikulum.
Seperti apa yang terjadi pada pengembangan program studi yang
terjadi di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Awalnya
hanya terdapat satu program studi yaitu Ilmu Komunikasi, tetapi
akhir tahun 2010, prodi tersebut berkembang menjadi berbagai prodi
yang menciptakan profil lulusan yang lebih spesifik. Pengembangan
prodi tersebut akhirnya melahirkan berbagai program studi lainnya
yang masih termasuk dalam rumpun ilmu komunikasi. Selain Prodi
Ilmu Komunikasi, pada saat ini, pada level sarjana (S1) sudah ada
Prodi Jurnalistik, Prodi Humas, Prodi Manajemen Komunikasi, Prodi
Televisi dan Film serta pada level sarjaan terapan (D4) sudah ada Prodi
Manajemen Produksi Media.
Setiap program studi tersebut memiliki profil lulusan yang berbeda
satu sama lain. Walaupun berada pada satu rumpun ilmu, tetapi setiap
program studi yang ada di Fakultas Ilmu Komunikasi akan menghasilkan
lulusan yang memiliki keterampilan khusus yang berbeda satu sama lain.
Keterampilan khusus ini mampu menjadi nilai saing dibandingkan dengan
lulusan lainnya yang masih memiliki keterampilan komunikasi yang
bersifat umum. Dengan keterampilan khusus, para lulusan akan mampu
bekerja dengan lebih maksimal dan juga akan mampu menunjukkan
kemampuannya dalam mengerjakan pekerjaan yang memang bidang
yang mereka pahami. Seperti apa yang disampaikan oleh Anoraga
(1992: 11) pekerjaan memungkinkan orang dapat menyatakan diri secara
obyektif ke dunia sehingga ia dan orang lain dapat memandang dan
memahami keberadaan dirinya. Dengan dibekali keterampilan khusus,
para lulusan akan mampu untuk menunjukkan diri secara objektif ke
dunia dengan hasil pekerjaan yang jauh lebih maksimal.
Selain adanya profil lulusan yang jelas, kurikulum menjadi aspek
yang penting dalam pengembangan sebuah program studi. Kurikulum
harus selalu mengalami perubahan minimal setiap empat tahun sekali.
Perubahan kurikulum dapat didasarkan pada beberapa hal, salah satunya
adalah evaluasi dari mahasiswa dan juga respon user. Masukan dari para
lulusan dan user, ditambah dengan perkembangan teknologi dan juga

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 11


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
perubahan peraturan menjadi hal mendasar bagi perubahan kurikulum
program studi. Dengan kurikulum yang saat ini digunakan oleh Program
Studi Ilmu Komunikasi FIS UNG, sebanyak 92% responden menyukai
mata kuliah yang ditawarkan, 4% responden tidak menyukai mata kuliah
yang ditawarkan, dan terdapat 4% responden tidak menjawab.
Kesesuaian mata kuliah yang ditawarkan dengan harapan mahasiswa
menjadi evaluasi tersendiri bagi sebuah program studi. Sebanyak 84%
responden mengatakan bahwa mata kuliah yang ditawarkan Program
Studi Ilmu Komunikasi sudah sesuai dengan yang mereka harapkan,
walaupun masih ada 6% responden mengatakan bahwa mata kuliah yang
ditawarkan tidak sesuai dengan yang diharapkan, dan 10% responden
tidak menjawab. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengalaman
yang terjadi antara mahasiswa dengan mata kuliah yang ditawarkan dari
kurikulum yang sedang berjalan terbentuk dengan baik.
Bagi mahasiswa sebagai seorang yang sudah dewasa, pengalaman
merupakan sumber terkaya dalam pembelajaran sehingga mahasiswa
yang memiliki pengalaman yang positif mampu termotivasi untuk
melakukan upaya peningkatan hidup ke arah yang lebih baik. Sujarwo
(2009) menyatakan bahwa sifat belajar orang dewasa bersifat subyektif
dan unik, hal itulah yang membuat orang dewasa untuk berupaya
semaksimal mungkin dalam belajar, sehingga apa yang menjadi harapan
dapat tercapai. Jika sebagian besar mahasiswa Program Studi Ilmu
Komunikasi FIS UNG sudah menilai bahwa mata kuliah yang ditawarkan
sudah sesuai dengan harapan dan keinginan mereka, maka diharapkan
mereka mampu belajar dengan maksimal, sehingga Program Studi Ilmu
Komunikasi FIS UNG bisa menghasilkan lulusan yang mampu bersaing
secara global seperti apa yang tertuang dalam visi dan misi.

12 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Diagram 3
Pengembangan Prodi Ilmu Komunikasi FIS UNG dari Perspektif Mahasiswa
Sumber : Hasil Penelitian (Desember, 2018)

Banyak sekali harapan yang disampaikan oleh mahasiswa


pada pengembangan Prodi Ilmu Komunikasi FIS UNG. Diagram 3
menunjukkan bahwa sebanyak 17% responden penelitian mengharapkan
Program Studi Ilmu Komunikasi FIS UNG untuk melakukan berbagai
upaya lain yang mampu meningkatkan bakat dan kemampuan mahasiswa.
Selain itu, sebanayak 15% responden sangat berharap agar Prodi Ilmu
Komunikasi memiliki laboratorium sendiri dan 15% responden berharap
bahwa prodi memperbanyak mata kuliah praktik, 15% responden
memberikan saran agar Prodi Ilmu Komunikasi melengkapi fasilitas
dan alat yang dibutuhkan untuk menunjang proses belajar mengajar,
13% responden memberikan saran agar menambah jumlah dosen dan
professor, 12% responden menginginkan agar Prodi Ilmu Komunikasi
dapat berkembang menjadi fakultas sendiri, 13% responden lainnya
memberikan saran yang lain. Saran lainnya yaitu untuk meningkatkan
pelatihan yang berkaitan dengan kemampuan berkomunikasi,
meningkatkan kegiatan yang berkaitan dengan profesi lulusan Prodi
Ilmu Komunikasi, dan lebih selektif dalam menyaring mahasiswa baru.
Banyaknya harapan dan keinginan yang disampaikan oleh mahasiswa
Program Studi Ilmu Komunikasi FIS UNG menunjukkan bahwa mereka

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 13


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
mengingkan pengembangan yang lebih baik dari program studi tepat
mereka menimba ilmu. Bukan hanya dari aspek pembelajaran tetapi
seluruh aspek yang menunjang terciptanya kegiatan pembelajaran yang
lebih optimal seperti sarana dan prasarana dan peningkatan kualitas
dosen dan tenaga kependidikan.

Penutup
Program Studi Ilmu Komunikasi FIS UNJ secara umum sudah
dipandang sebagai program studi yang baik bagi mahasiswa aktif yang
saat ini masih menimba ilmu di prodi tersebut. Keinginan yang sangat
tinggi ditunjukkan oleh mahasiswa untuk melakukan pengembangan
program studi ke arah yang lebih baik. Berbagai jenis keterampilan yang
ingin dimiliki oleh para mahasiswa sudah dapat dipelajari dari berbagai
mata kuliah yang ditawarkan pada kurikulum yang berlaku. Walaupun
akhirnya keterampilan yang diperoleh dianggap tidak maksimal
dikarenakan mahasiswa hanya sebatas mempelajarinya untuk keperluan
mata kuliah saja tanpa memperdalamnya sebagai sebuah keterampilan
khusus yang pada akhirnya akan dimiliki oleh mahasiswa ketika mereka
lulus kelak.
Hasil penelitian serta pembahasan yang telah dilakukan diharapkan
mampu menjadi masukan bagi pengembangan Program Studi Ilmu
Komunikasi FIS UNG. Aspek terpenting yang harus segera dilakukan oleh
Program Studi Ilmu Komunikasi FIS UNG adalah dengan melakukan
kegiatan lokakarya penentuan profil bagi para lulusan dan melakukan
perbaikan pada kurikulum yang disesuaikan dengan profil lulusan yang
ditetapkan. Dengan begitu, segala bentuk program yang akan dilakukan oleh
para dosen maupun mahasiswa dapat disesuaikan dengan profil lulusan.
Dosen akan lebih terfokus untuk mengembangkan dirinya dalam kegiatan
pengajaran, penelitian maupun pengabdian yang sejalan dengan profil
lulusan yang diharapkan. Begitu pula dengan mahasiswa, mampu membuat
dan mengelola berbagai program yang linier dengan kompetensi umum dan
kompetensi khusus dari profil lulusan yang telah ditetapkan.

Daftar Pustaka
Anoraga, Pandji .1992. Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta
Della Mundy. A Question of Response-Science Editor. January-February
2002. Vol 25 No 1. Hal 25

14 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Dunnete. 1976. Management. Jakarta: Airlangga
Nadler, G. 1986. Terobosan Cara Berfikir. California: Southern University.
Suharsimi. Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktik. Jakarta: PT. Rineka Putra.
Sujarwo. 2009. Desain Sistem Pembelajaran. Yogyakarta: PLS FIP UNY.
Ummatin. Khoiro. 2014. Peningkatan Keterampilan Menulis Kalimat
Pelajaran Bahasa Indonesia Menggunakan Media Gambar Seri
Pada Siswa Kelas I Di MI Miftahul Ulum Kemilagi Mojokerto.
Surabaya: Skripsi UIN Sunan Ampel.

Sumber internet :
https://belmawa.ristekdikti.go.id/dev/wp-content/uploads/2015/11/6A-
Panduan-Penyusunan-CP.pdf diakses pada tanggal 28 Juni 2019
pukul 23.30 WIB.

Sumber lainnya:
Dokumen Borang 3A Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Gorontalo 2018

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 15


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
16 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi
Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Narasi Pemikiran Jurgen Habermas sebagai Pijakan
Alternatif Komunikasi Pembangunan Partisipatif

Moch. Imron Rosyidi, Annis Azhar Suryaningtyas


Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammmadiyah Magelang
E-mail Imron.rosyidi@ummgl.ac.id

Pendahuluan
Jurgen Habermas yang lahir di Dusseldorf, Jerman, pada 18 Juni
1929 beliau belajar filsafat,sejarah,psikologi dan sastra Jerman di
Gotingen, Zurich dan Bonn. Dia memeroleh gelar doktor dalam bidang
filsafat pada 1954 atas disertasi dengan Judul Absolute and die Geshictie
(yang absolut dan sejarah). Suatu karya yang secara mendalam masih
dipengaruhi filsafat Heideger (Sobur, 2014). Habermas menyadari
betapa kejamnya rezim hitler dalam Perang Dunia ke II Habermaspun
mengenal dan mempelajari demokrasi mungkin karena hal tersebut
di kemudian hari muncullah gagasan Habermas mengenai Demokrasi
Deliberatif(Siswanto, 2017). Habermas kemudian menjadi bagian dari
Institut Penlitian sosial di Frankfurt atau yang kemudian dikenal dengan
Mahzab Frankfurt dimana pakar teori sosial kritis seperti Theodor
Adorno, Max Weber dan pendahulu-pendahulunya berasal. Di institut
ini pula pemikir hebat seperti Niklas Luhmann pernah bergabung hingga
terlibat perdebatan panjang mengenai pemikiran antara Luhmann dan
Habermas (Hardt, 2007).
Dalam pemikir Mazhab Frankfurt memiliki beberapa prinsip utama
yakni: pertama: tidak menggunakan Marxisme menjadi dogma namun
menjadi langkah awal dalam analisis, kedua:program lembaga bersifar
non partai tidak berafiliasi dengan partai manapun. Ketiga:meski
tidak menggunkan Marxisme sebagai dogma namun disini Marxsisme
sangat memengaruhi pemikiran Mazhab Frakfurt terutama mengenai
manusia objek atau reifikasi. Keempat: Selalu menekankan otonomi
teori, independensi. Kelima: mereka berpandangan reifiasi adalah simbol
proses yang memengaruhi strata sosial sehingga harus di perhatikan
jika berbicara mengenai sosial masyarakat. Keenam: mazhab Frankfurt
menganggap dirinya sebagai gerakan revolusiaoner intelektual yang
mempertahankan pentingnya transenndensi masyarakat (Supraja, 2017).

Public Relations dan Periklanan | 17


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Dalam memahmai pemikiran Habermas karena ia berasal dari
Mazhab Frankfurt maka pemikiran Habermas sangat cair bahkan beliau
sendiri dan para kritikus teori mengatakan bahwa teori Habermas
adalah “Unfinish Project” artinya teori habermas belum tuntas dan sangat
mungkin berubah dan mengalami revisi. Posisi semacam ini tidak menjadi
kelemahan, namun bahkan menjadi kelebihan Habermas karena dengan
konsep tersebut Ia susah ‘digiring’ atau diarahkan ke sebuah sangkar
pengetahuan. Hal tersebut mengakibatkan para pemikir teori Habermas
‘kehilangan kepintarannya’(Supraja, 2017). Hal tersebut pula mendorong
diskusi mengenai gagasan besar Habermas bahwa pembangunan dan
modernisasi adalah proyek yang belum selesai(Hardiman, 1993).
Dalam studi mengenai perubahan sosial dan budaya Habermas
mengemukan pendapatnya mengenai Teori Tindakan Komunikasi
atau disebut communication action, Communication hendled. Teori ini
pertama kali beliau gagas ketika menulis essai berjudul Max Weber’s
Theori of Rationalization(Hardiman, 1993). Beliau memandang teori ini
berkaitan erat dalam proses demokrasi bahwa perubahann budaya sangat
berpengaruh terhadap teory demokrasi. Habermas mengungkapkan
communicative action refers to “action oriented towards a understanding
bahwa tindakan komunikasi merupakan suatu tidakan yang bertujuan
untuk memberikan pemahaman(Habermas, 1989). Memahami
pemikiran Habermas memang sangatlah abstrak.
Bila ditilik dalam perspektif Michael Foucault (Foucault, 2014).
Teory ini sangat sulit untuk dipahami bahwa Foucault lebih menekankan
pada kekuasaan ketika membahas cultural change sedang habermas pada
tindakan. Namun sekali lagi Habermas berpendapat bahwa tidakan
komunikasi yang terjadi di dalam ruang publik merupakan suatu strategi
dalam membentuk cultural change tersebut. Oleh sebab itu beliau menulis
“the release of potential for reason embeded in communicative acton is a
world-historical process” (Habermas dalam Wilkins, 2000). Bahwa the
release of potential diartikan sebagai institusi atau pihak yang membuat
wacana baik itu seni, hukum, maupun ilmu pengetahuan di mana
tindakan komunikasi berperan dalam proses sejarah dunia (Wilkins,
2000). Teori Tindakan Komunikatif oleh Habermas, dipandang sebagai
jalan keluar dari kebuntuan teori kritis dan teori rasionalisasi sebelumnya.
Kebuntuan dalam hal ini adalah usaha untuk melakukan emansipasi pada
masyarakat hanya mengandalkan rasionalitas instrumental. Ini yang
kemudian ditemukan dalam dimensi praksis “interaksi” Weber. Padahal,

18 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
kehidupan manusia juga sangat ditopang oleh praksis komunikasi
dalam kehidupan keseharian mereka (Hardiman, 1993). “Rasionalisasi
diwujudkan dalam dalam medium komunikasi lewat medium bahasa,
dengan jalan menyingkirkan pembatasan-pembatasan komunikasi.
Menurut Habermas, kita bisa melihat tanda adanya rasionalisasi pada
taraf ini, kalau ada diskusi-diskusi umum yang bebas dari dominasi,
pengurangan tingkat represi pada norma-norma sosial, pengurangan
kekakuan-kekakuan atau kekerasan, penerapan norma-norma secara
luwes dan masih memungkinkan refleksi” (Habermas, dalam Hardiman
: 1993).
Dunia
Objektif Sosial Subjektif
Sikap Dasar
Hubungan kogni- Hubungan Kognitif Hubungan Objektivistis
Mengobjektifkan tif-instrumental Strategis dengan diri
(Kognitif)

Konformat- Hubungan Kewa- Hubungan Sensor-diri


if-Norma (Eval- jiban
uatif) Hubungan este-
tis-moral dengan
lingkungan yang
tidak diobjektifkan Pernyataan Diri Hubungan spontan
indrawi dengan diri
Ekspresif

(Habermas, The Theory of Communicative Action, dalam Hardiman, 1993)

Pengklasifikasian di atas merupakan model non-selektif terhadap


rasionalisasi masyarakat yang menempatkan masyarakat rasional
terpisah dengan kapitalisme. Model tersebut pun adalah model yang tidak
terpengaruh oleh pertentangan antara subjek dan objek, sebagaimana
krtik Habermas terhadap Weber. Keberadaan subjek-objek hanyalah
penegasan akan kelas identitas dan peran dalam satu situasi. Sedang
dalam konteks rasionalitas, setiap orang adalah sama(Hardiman, 1993).
Tujuan menggunkan teori tindakan komunikasi adalah untuk mencapai
pemahaman dengan hasil akhir memperoleh atau mengubah keasadaran.
Hal ini yang di gunakan guna menciptakan suatu diskursus atau wacana
di dalam ruang publik untuk terjadinya pemahaman secara menyeluruh.

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 19


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Pembahasan
Ketika berbicara mengenai ruang publik dimana tindakan
komunikasi memiliki posisi utama di dalamnya Ada tiga paradigma
pragmatik yang dicetuskan oleh Habermas dalam membentuk suatu
nilai yang nantinya akan berpengaruh dalam proses Cultural Change
yakni objektif dunia, sosial, dan subjektif dunia. Objektif dunia
dalam komponen nilainya terbentuk atas keilmuan dan teknologi dan
lingkungan di sini lingkungan sosial dan budaya. Sedang pragmatis sosial
lebih kepada hukum dan moralitas lingkungannya adalah lingkungan
masyarakat. Dan yang terakhir subjektif dunia komponen pembentuk
nilainya adalah seni dan buku pengetahuan dan hal lain yang terbentuk
di dalam diri. Oleh sebab itu Habermas merumuskan bahwa teknologi
dan ilmu pengetahuan, seni, hukum dan moralitas merpakan suatu yang
tidak bisa di pisahkan karena bukan nilai yang berbeda dalam tiga ruang
nilai(Wilkins, 2000).
Menurut Habermas Ruang Publik adalah ruang di mana warganegara
bisa berunding mengenai hubungan bersama mereka sehingga merupakan
sebuah arena institusi untuk berinteraksi pada hal-hal yang berbeda. Arena
ini secara konseptual berbeda dengan negara, yaitu tempat untuk melakukan
produksi dan sirkulasi diskursus yang bisa secara prinsip merupakan hal
yang sangat penting bagi negara. Selain itu, ruang publik secara konseptual
juga berbeda dengan ekonomi resmi, yaitu bukannya tempat untuk
hubungan pasar seperti penjualan dan pembelian, tetapi merupakan tempat
untuk hubungan-hubungan yang berbeda-beda dan menjadi tempat untuk
melakukan perdebatan dan permusyawaratan. Menurut Habermas, dalam
ruang publik “private persons” bergabung untuk mendiskusikan hal-hal
yang menjadi perhatian publik atau kepentingan bersama(Kadarsih, 2008).
Ruang publik ini ditujukan sebagai mediasi antara masyarakat dan negara. Di
sini ruang publik dikonotasikan sebagai tempat untuk diskusi mengenai hal-
hal rasional yang tak terbatas mengenai hal-hal yang bersifat umum. Hasil
dari diskusi merupakan opini publik yang menjadi konsensus mengenai
kebaikan bersama. ‘Singkatnya, public sphere berarti sebuah ruang yang
menjadi mediasi antara masyarakat dan negara dimana publik mengatur
dan mengorganisirnya sendiri sebagai pemilik opini publik’(Supraja, 2017).
Ketika berbicara mengenai ruang publik dimana tindakan
komunikasi memiliki posisi utama di dalamnya Ada tiga paradigma
pragmatic yang di cetuskan oleh habermas dalam membentuk suatu

20 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
nilai yang nantinya kan berpengaruh dalam proses Cultural Change
yakni objektif dunia, sosial, dan subjektif dunia. Objektif dunia dalam
komponen nilainya terbentuk atas keilmuan dan teknologi dan lingkungan
disini lingkungan budaya. Sedang pragmatis sosial lebih kepada hukum
dan moralitas lingkungannya adalah lingkungan masyarakat. Dan yang
terkahir subjektif dunia komponen pembentuk nilainya adalah seni dan
buku pengetahuan dan terbentuk di dalam diri. Oleh sebab itu Habermas
merumuskan bahwa ‘teknologi dan ilmu pengetahuan, seni, hukum dan
moralitas merpakan suatu yang tidak bisa di pisahkan karena bukan nilai
yang berbeda dalam tiga ruang nilai’(Wilkins, 2000). Ketiga ruang nilai
itu bisa digambarkan dalam bagan berikut :
Formal Pragmatic Features and Cultural Value Spheres

Validity Claims World Relations Functions Sphere Cultural value Lifeworld


Component
Truth Objective world Represent states Science & tech- Culture
of affair nologi
Rightness Social world Establish Law & morality Society
interpsrsonal
relations
Truthfulness Subjective world Self-representa- Art & literature Person
(sincerity) tion

Sumber:(Wilkins, 2000, hal. 59)

Dalam kritiknya terhadap teori rasionalitas Weber dalam bukunya


The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, Habermas mengajukan
sebuah pertanyaan kritis; apakah modernisasasi yang di tetapkan oleh
kapitalisme itu merupakan satu-satunya model rasionalitas?. Habermas
sendiri berpendapat bahwa modernisasi yang dijelaskan oleh Weber
hanyalah realisasi sebagian dari struktur-struktur kesadaran modern
sedangkan menurut Habermas (Hardiman, 1993). Habermas lalu
mengusulkan model yang disebut ‘nonselektif ’ kareana mau melukiskan
seluruh perkembanga yang mungkin untuk realisasi struktur-struktur
kesadaran modern. Habbermas mulai menjelaskan ‘hubungan-hubungan
pragmatis formal’ manusia. Yaitu dengan kenyataan objektif, dengan
kenyataan sosial dan dengan kenyataan subjektif(Hardiman, 1993).
Ketiga paradigma pragmatik yang dicetuskan oleh habermas dalam
membentuk suatu nilai yang nantinya kan berpengaruh dalam proses
Cultural Change(Wilkins, 2000).

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 21


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Tidak hanya konsep, melalui teori tindakan komunikasi dengan
asumsi ucapan komunikasi selalu melekat pada berbagai hubungan
dengan dunia. Beliau memandang theory ini berkaitan erat dalam proses
demokrasi bahwa perubahann budaya sangat berpengaruh terhadap
teori demokrasi. Habermas mengungkapkan communicative action refers
to “action oriented towards a understanding” bahwa tindakan komunikasi
merupakan suatu tidakan yang bertujuan untuk memberikan pemahaman.
Maka untuk mewujudkan rasionalitas komunikasi agar terhindar dari
kepentingan kapitalisme untuk menguasai ruang publik itu sendiri di
butuhkan komunikasi intersubjektif agar manusia menjadi otonom dan
mampu mencapai rasinalitas secara utuh atas tiga definisi pragmatis tadi,
dengan tujuan akhirnya adalah untuk mencapai pemahaman dengan
hasil akhir memperoleh atau mengubah keasadaran(Wilkins, 2000).

Publik Sphere Sebagai Konsep Dasar Komunikasi Pembangunan


Partisipatif
Menurut Zulkarimein Nasution salah satu strategi yang bisa
digunakan dalam komunikasi pembangunan adaleh strategi partisipatory.
Strategi komunikasi partisipatori ini di dasarkan pada prinsip-prinsip
penting dalam mengorganisir kegiatan adalah kerjasama komunitas
dan pertumbuhan pribadi. Yang terpenting bukan pada berapa banyak
informasi yang dapat diakses atau dipelajari seseorang dalam komunikasi
pembangunan namun lebih pada pengalaman keikutsertaan seseorang
sebagai seseorang yang sederajat (equal) dalam proses berbagi
keterampilan pengtahuan dan informasi(Nasution, 1998). Penerapan
di dalam strategi komunikasi partisipatif akan memperkuat kapasitas
masyarakat. Dengan memperkuat kapasitas mereka, masyarakat menjadi
lebih berdaya dan siap untuk memobilisasi dan menjalankan inisiatif
pembangunan di masa depan (Mozammel dan Schechter, 2005). Selain
itu, masyarakat dapat terhubung dengan masyarakat dan organisasi lain
yang terlibat dalam inisiatif pemetaan, yang menghasilkan komunikasi
yang diperluas dan berkelanjutan (Mozammel dan Schechter, 2005).
Secara historis, gagasan lahirnya Kombangpar antara lain diilhami
oleh pemikiran intelektual dari Amerika Latin terutama Paulo Freire,
kemudian diikuti oleh Luis Ramiro Beltran, dan Juan Diaz Bordenave.
Mereka beranggapan bahwa paradigma modernisasi “tidak relevan” atau
bahkan membahayakan. Tokoh-tokoh ini terkenal dengan pemikirannya
yang kritis dan radikal (Hadiyanto, 2008). Komunikasi partisipatif

22 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
yang sangat dekat dengan pemikiran Marxis berkaitan dengan akses
terhadap pembangunan dan pendekatan hak asasi manusia dalam
pembangunan yang berakar dari teori Paulo Freire (pendidik dari Brazil)
tentang pendidikan dialogis, di samping beberapa eksperimen tentang
komunikasi alternatif yang muncul di akhir 60-an dan 70-an. Menurut
Robert Huesca, Freire telah mendekonstruksi dan menolak paradigma
komunikasi pembangunan yang bersifat vertikal, top-down, linier, dan
searah. Huesca (2002) dalam Hadiyanto (2008) mengatakan bahwa
pandangan friere Masyarakat marjinal dan masyarakat desa selama
beberapa dekade tidak mampu menyuarakan aspirasi, kehendak dan
permasalahannya sendiri karena mereka termasuk kelompok “voiceless
people.” Hal inilah yang mendorong pemikiran Freire mengenai
participatory communicatioan.
Luis Ramiro Beltran selain memperkenalkan konsep DC(Development
Communications) dan DSC (Develoment Support Communications) juga
memiliki konsep sejenis yang ia namakan Alternative Communication For
Democratic Development yang berdasar apada anggapan bahwa dengan
memperluas akses rakyat dalam komunikasi secara berimbang baik melalui
media maupaun interpersonal ‘akar rumput’ maka pembangunan akan lebih
terjalin kesinambungannya, di samping tercapainya perolehan meterial,
keadilan sosial, dan kebebasan untuk semua(Hadiyanto, 2008). Dasar
tercapainya Alternative Communication For Democratic Development adalah
keadilan sosial dan kebebasan untuk semua. Maka kita disini bisa melihat
konsep Freire sebagai dasar yang memang sangat di pengaruhi pemikiran
Marxis(Freire, 2000). Memiliki pijakan yang sama dengan Habermas
yang berangkat dari Mahdazb Frankfurt. Dimana keduanya berbicara
mengenai keadilan sosial dan kebebasan untuk semua. Namun jika kita
melihat pandangan Freire yang merupakan pakar pendidikan terdapat
sebuah kelemahan dalam proses Komnuikasi Pembangunan Partisipatif.
Karena akar yang digunakan adalah konsep pendidikan seperti (Pedagogy
of the Oppressed) penemuan diri melalui pendidikan dialogis. Konsep
pendidikan disini meski sudah sangat demokratis kurang memperhatikan
aspek komunikasi itu sendiri mungkin inilah yang mengakibatkan beberapa
konsep pembangunan partisipatif mandek ketika proyek sudah selesai.
Berbeda dengan Freire, Habermas lebih menekankan konsep
komunikasi sebagai inti dari rasionalisasi. Pendapat habermas diatas
mengenai rasionalitas komunikasi memberi gambaran lain bahwa
komunikasi yang efektif dan bebas nilai akan membentuk suatu ruang

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 23


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
publik di mana memiliki konsep sebuah ruang yang menjadi mediasi antara
masyarakat dan negara di mana publik mengatur dan mengorganisirnya
sendiri sebagai pemilik opini publik. Dalam konsep pendidikan seperti
apapun bentuknya masih memiliki konsep pendidik-dan terdidik meski
dalam konsep gaya bank Freire sudah mengrkritik pandangan tersebut
namun belum bisa lepas stratus persen dimana masih ada sistem yang
menimbulkan represi di dalamnya. Tujuan menggunakan teori tindakan
komunikasi adalah untuk mencapai pemahaman dengan hasil akhir
memperoleh keasadaran disini Habermas berharap tidak ada kekakuan
dalam proses komunikasi sehingga terbebas dari kesadaran palsu atau
reifikasi. Jika dalam konsep pedagogi Freire masih belum terbebas pada
upaya ‘pengubahan’ yang berarti ada sistem dan represi, di sini maka
habermas berusaha membuang itu semua sehingga muncullah konsep
Ruang Publik untuk membuat wacana bebas dan tanpa represi.

Konsep Freire Habermas


Konsep demokrasi Pendidikan Dialogis Publik Sphere
publik
Represi (kerawanan Cukup rawan karena asih Sepenuhnya kebebasan publik
refikasi) ada upaya pengubahan
Rasionalisasi Pendidikan dialogis (ter- Tindakan komunikatif yang
kadang dalam praktiknya bebas nilai namun terbatasi
masih adanya pendi- oleh kebebasan orang lain
dik-terdidik sehingga
rawan refikasi )
Output “penemuan diri” melalui Rasionalisasi diwujudkan
dialog yang bebas dan dalam dalam medium komu-
proses penyadaran nikasi.

Diolah penulis: 2018

Penutup
Jika kita melihat matriks di atas kita akan melihat bagaimana
kemiripan keduanya yang bisa digunakan sebagai pijakan perspektif
komunikasi pembangunan partisipatif. Habermas bisa dijadikan
alternatif pijakan jika menilik perspektif Freire yang sangat rawan
represi ketika dalam tahapan praksis. Karena itu masih rawannya represi
membuat rawan pula kegagalan partisipatif, apalagi dalam masyarakat
kelas bawah dan kaum marjinal.

24 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Ruang publik dengan ketiga objektifnya dianggap oleh banyak tokoh
sebagai perwujudan Demokrasi Deliberatif. Tentu untuk kedepannya
perlu kajian secara mendalam dan melalui disiplin ilmu pengetahuan
agar konsep ini tidak hanya menjadi wacana. Meski wacana adalah salah
satu konsep penting Habermas dimana dari situ ruang publik terjadi.
Maka disini penulis mengakhiri tulisan ini dengan kalimat Habermas
‘modernisasi adalah proyek yang belum selesai ada cacat-cacatnya harus
diatasi dengan lebih lanjut melalui “Rasionalitas Komunikasi”.

Daftar Pustaka
Foucault, M. (2014). Pengetahuan Dan Kekuasaan. Kreasi Wacana:
Yogyakarta.
Freire, P. (2000). Pendidikan Kaum Tertindas. Lp3es: Jakarta.
Habermas, J. (1989). The Theory Of Communicative Action. Boston:
Beacon Press.
Hadiyanto. (2008). Komunikasi Pembanggunnan Partisipatif; Sebuah
Pengenalan Awal. Bogor: Jurnal Komunikasi Pembangunan Ipb,
Issn 1693-3699.
Hardiman, F. B. (1993). Menuju Masyarakat Komunikatif;Ilmu,
Masyarakat Politik & Posmodernisme Menurut Jurgen Habermas.
Yogyakarta: Kanisius.
Hardt, H. (2007). Critical Communication Studies. Yogyakarta: Jalasutra.
Kadarsih, R. (2008, Januari-Juni ). Demokrasi Dalam Ruang Publik:
Sebuah Pemikiran Ulang Untuk Media Massa Di Indonesia. Journal
Dakwah, Vol. Ix No. 1,.
M. Mozammel, A. G. (2005). Stretegic Communication For Community-
Driven Development; A Practical Guide Forproject Manager And
Communication Practitioner. Washington D.C: World Bank.
Nasution, Z. (1998). Komunikasi Pembangunan Pengenalan Teori Dan
Penerapannya; Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali Press.
Siswanto, J. (2017). Horizon Hermeneutika. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Sobur, A. (2014). Filsafat Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Supraja, M. (2017). Pengantar Metodologi Ilmu Sosial Kritis Jurgen
Habermas. Yogyaakarta: Gadjah Mada University Press.
Wilkins, K. G. (2000). Redeveloping Communication Fo Social Change.
Rowman & Littlefield Publisher, Inc.

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 25


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
26 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi
Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Identifikasi Ilmu Komunikasi Berbasis Kebudayaan Hindu

I Wayan Suadnya, Eka Putri Paramita


Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Mataram
E-mail wy.suadnya@gmail.com

Pendahuluan
Dalam mainstream literatur komunikasi modern kata komunikasi
berasal dari bahasa latin comunis yang berarti sama (common dalam
bahasa Inggris). Yang selanjutnya didefinisikan bahwa komunikasi
adalah upaya untuk membangun kesamaan makna antara pengirim
(sender) pesan dengan penerima (receiver) pesan (Morissan, 2013).
Namun kata ini bukan saja ditemukan dalam literatur yang diterbitkan
dalam khasanah kebudayaan barat tetapi juga ditemukan pada khasanah
kebudayaan timur (Hindu India) yang dalam bahasa sansekerta asli
(termasuk Hindi dan Nepali) yaitu Sanchar (Adhikary dan Shukla,
2013). Untuk mengkaji dan mengidentifikasi Ilmu komunikasi berbasis
kearifan Hindu, studi pustaka telah dilakukan. Studi dimulai dengan
menemukan istilah komunikasi dan definisi komunikasi dalam khasanah
ilmu pengetahuan Hindu.
Dari hasil penelusuran yang telah dilakukan ditemukan bahwa,
walaupun kata sanchar mempunyai beberapa arti tetapi salah satunya
adalah sama dengan kata komunikasi pada mainstream khasanah ilmu
budaya barat yaitu Communication. Kata sanchar pada bahasa Sansekerta
asli tidak semata-mata berarti komunikasi “mainstream Barat” –
saling pengertian (mutual understanding) tetapi juga ditujukan untuk
menunjukan sharing common religious dan philosopical tradision serta
identitas budaya (Adhikary dan Shukla, 2013).
Komunikasi bagi sementara orang Indonesia khususnya umat Hindu
merupakan suatu proses yang inheren dalam kehidupannya. Pelajaran
komunikasi berbasis kebudayaan barat yang selama ini dipelajari telah
membatasi eksplorasi komunikasi berbasis kebudayaan lokal (Hindu) di India
dan Nepal (Adhikary, 2011 dan 2012). Hal senada juga terjadi di Indonesia
dimana paradigma ilmu komunikasi yang berkembang adalah paradigma
Barat. Kumar (2005) mengkritisi teori dan model komunikasi barat dengan
mengatakan bahwa model tersebut merupakan refleksi dari bias kebudayaan

Public Relations dan Periklanan | 27


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
dan cara berfikir Budaya Barat. Sebagaimana dikatakan oleh Disanayake
(1988). Model dan teori komunikasi barat bersifat fungsionalis, mekanistik
dan positivis dan menganggap bahwa komunikasi adalah peristiwa (event)
eksternal, individu dianggap sebagai suatu yang tersendiri dan terpisah serta
melihat pengirim, pesan dan penerima sebagai suatu proses yang berbeda.
Ditambahkan oleh Rendi (1988) bahwa model komunikasi barat melupakan
faktor struktural dan sosiologikal yang ada (embeded) pada masyarakat
timur (Indonesia dan India).
Studi komparatif terhadap dua model komunikasi antara model dan
teori komunikasi yang dibangun pada konteks Barat dan model serta teori
komunikasi timur (India, Indonesia dsb) menunjukkan bahwa model dan
teori komunikasi barat tidak merepresentasikan dan mendeskripsikan
model dan teori serta praktek komunikasi timur (Adhicary 2008).
Oleh karena itu sangatlah penting untuk dilakukan pengkajian dan
pengembangan teori dan model serta praktek komunikasi yang
bersumber dari budaya dan pilosofi tradisional timur (Hindu baik di India,
Nepal maupun Indonesia) yang kemudian diikuti dengan pemahaman
komparatif dari kedua model dan teori tersebut. Studi komparatif antar
kedua model dan teori (Barat vs Timur) merupakan suatu keniscayaan
yang harus dilakukan untuk meningkatkan pemahaman terhadap proses
dan pengembangan ilmu komunikasi itu sendiri. Ilmu komunikasi akan
menjadi semakin kaya jika philosopical tradition dari keduanya terbuka
untuk saling memahami perbedaan satu sama lainnya dan melihat
perbedaan itu untuk pengembangan ilmu komunikasi selanjutnya.
Kalau kita ingin membuka lebih luas lagi cakrawala kita tentang ilmu
komunikasi maka membedah ilmu komunikasi pada konteks budaya
timur (non-western) sangatlah esensial untuk dilakukan.
Menurut Dissanayake (2008) pada saat ini sangatlah penting untuk
lebih jauh mengeksplorasi dan mengidentifikasi konsep komunikasi
yang sudah dikembangkan oleh ilmuwan dalam konteks non barat
untuk semakin meningkatkan pemahaman terhadap komunikasi dan
interaksi masyarakat timur. Ilmuwan komunikasi pada negara non barat
seperti Indonesia hampir semuanya mengadopsi teori, konsep dan model
komunikasi barat, sehingga terasa tradisi komunikasi indiginus yang
berakar dari kearifan lokal tidak muncul dalam pembahasan maupun
implementasinya (Miike, 2008). Konsekuensinya tidak banyak inisiatif
dan pengembangan ilmu komuniasi berbasis kebudayaan timur hadir
dalam literatur ilmu komunikasi saat ini.

28 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Oleh karena itu eksplorasi dan identifikasi menjadi rasional ketika
kita tetap memegang konsep bahwa komunikasi tidak dapat dipisahkan
dengan budaya. Jadi teori dan komunikasi modern tetap merupakan dan
berasal dari budaya barat tetapi pengembangan dan formulasi konsep dan
teori komunikasi berbasis kearifan lokal (budaya dan filsafat kehidupan
lokal) akan memperkaya dan mengembangkan teori komunikasi modern
tersebut.

Pembahasan
Ilmu Komunikasi dari Perspektif Hindu
Sejarah peradaban Hindu merupakan peradaban yang sudah tua, dia
telah hadir ribuan tahun yang lalu, sehingga dikenal sebagai peradaban
masyarakat ribuan tahun yang lalu yang dicirikan oleh identitas budaya
khas dan keunikan tersendiri. Ini merupakan warisan kebudayaan yang
sangat kaya yang belum banyak digali dari sisi ilmu komunikasi. Kata
komunikasi (shancar) bukanlah istilah baru dalam konteks budaya
Hindu. Demikian pula halnya dengan teori komunikasi. Sesungguhnya
komunikasi dan teorisasi komunikasi merupakan sesuatu yang melekat
(indiginous) dalam kebudayaan Hindu (Adhikary, 2011).
Upaya-upaya untuk mengkaji dan menemukan serta mengidentifikasi
komunikasi dari perspektif Hindu telah dilaksanakan, walaupun masih
sangat terbatas jumlahnya. Kalau kita perhatikan proses pengkajian dan
pengembangan ilmu komunikasi dari perspektif Hindu (India) telah
berjalan kurang lebih dimulai sejak tahun 1958 (Majumdar, 1958).
Peneliti seperti Majumdar (1958), Gumperz (1964) dan Yadava (1979)
memulai penelitian dan memiliki kesamaan pendekatan serta masalah
penelitian yaitu tentang komunikasi pedesaan yaitu dampak kasta dan
agama dalam praktek-prktek komunikasi. Kemudian peneliti lain seperti
Oliver (1971) menganalisis tentang perbedaan orang India dan orang
Cina dalam rethorika dan mengidentifikasi persatuan dan keharmonisan
sebagai dasar rethorika di Asia. Dia menemukan bahwa cara (manner)
orang Asia dalam berkomunikasi berbeda dengan orang Barat. Oleh
karena itu sangatlah penting untuk memahami komunikasi dalam
kontek budaya dan interaksi sosial masyarakat diwilayah atau teritorial
tertentu. Dia selanjutnya menambahkan bahwa dengan memahami
retorika orang timur masyarakat barat bisa lebih memahami ide retorika
dan komunikasi mereka sendiri.

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 29


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Selanjutnya pada tahun 1980 the East-West Communication Institute
menyelenggarakan simposium internasional pertama tentang Teori
Komunikasi dari Perspektif Barat dan Timur. Simposium ini merupakan
kesempatan pertama untuk memperkenalkan teori komunikasi dari
perspektif yang berbeda dengan mainstream (Barat). Pada kesempatan
ini Yapada mempresentasikan paper dimana dia mengemukakan bahwa
sadharanikaran dalam perspektif Hindu adalah konsep komunikasi
yang dimaksud oleh pandangan barat sebagai komunikasi saat ini.
Kemudian pada tahun yang sama Tewari (1980) menegaskan bahwa
sadharanikaran adalah teori komunikasi India. Keduanya Yadava dan
Tewari menganggap bahwa Natyashastra adalah source book dari teori
komunikasi dalam perspektif Hindu. Sejalan dengan hal ini karya
Bhartrihari yaitu Vakyapadia juga dianggap sebagai sourch book. Hanya
saja karyanya lebih berfokus pada filsafat komunikasi. Dissanayake
(1988b) justru menganggap karya Bhartrihari Vakyapadia serupa dengan
communication studies saat ini. Pemikiran mendasar pada Vakyapadia
boleh dikatakan mirip sekali dengan konsepsualisasi beberapa pemikiran
komunikasi modern. Davis (1988) mengambil dari karya Panini tentang
Astadyayi untuk mempelajari komunikasi intensional dari perspektif
Nyaya-vaisheshika. Dia menemukan bahwa penyusunan kata tertentu
akan menimbulkan makna tertentu pula, hal ini sama dengan teori
makna (meaning).
Pada tahun 1996 Jean dan Matukumali dan tahun 1997 Kirkwood
meneliti tentang silence in communication dalam perspektif Hindu.
Dia mengkaji teks klasik berbahasa Sansekerta untuk memahami dan
menemukan keunikan makna silence as envisioned dalam Hinduism.
Menurut mereka berbeda dengan pendapat barat silence dan speech tidak
kontradiktif dalam perspektif Hindu. Melainkan mastery dalam speech
(Vak) dan silence (maunata) merupakan capaian tertinggi dalam capaian
belajar seseorang dalam perspektif Hindu sebagai apa yang disebut
dengan Muni. Konsep Dharma dalam ajaran agama Hindu bahkan juga
telah digunakan untuk mengkaji komunikasi dalam perspektif Hindu
(Saral 1983). Dalam konteks ini komunikasi dalam perspektif filsafat
Hindu diatur oleh hukum alam yang disebut Dharma. Dharma mengatur
hubungan dan interaksi individu dalam kehidupannya demikian pula
dengan komunikasinya. Kajian-kajian tersebut diatas didasarkan atas
studi pada pustaka Hindu (Hinduism teks) yang perlu lebih jauh dikaji
sehingga diperoleh ilmu pengetahuan komunikasi yang lebih luas lagi.

30 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Sadharanikaran - Mainstream Komunikasi Hindu
Sadharanikaran digali dari puisi klasik Hindu dan kemudian
diintroduksi kedalam mainstream komunikasi modern. Istilah ini sudah
digunakan secara ektensif dalam bahasa Sansekerta untuk menjelaskan
puisi, keindahan dan drama. Ini berakar dari Nityashastra dari Bharata
(Adhikary 2007a). Istilah sadharanikaran berasal dari kata Sansekerta
Sadharan yang juga telah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris yang
berarti “generalised presentation” (Vadantatirtha, 1936); “simplification”
(Yadava, 1998); “universalization” (Disnayake,2006). Walaupun demikian
kata ini masih juga terkait dengan konsep lain yaitu sahridayata yang
berarti orientasi yang sama, kesamaan dan kesatuan. Jadi sadharanikaran
berarti pencapaian sahridayata melalui komunikasi.
Ketika pengirim dan penerima menyelesaikan proses sadharanikaran,
maka mereka akan mencapai saharidayata dan menjadi sahridayas. Oleh
karena itu tujuan sadharanikaran adalah untuk mencapai kesamaan.
Dengan kata lain adalah comunis dalam bahasa Yunani dan common
dalam bahasa Inggris yang dalam modern English adalah komunikasi.
Namun dalam konteks komunikasi Hindu kesamaan yang dicapai
bukan saja dengan sesama manusia sebagai aktor komunikasi tetapi juga
mencakup kesamaan dengan yang maha pencipta (Tuhan Yang Maha
Esa) sehingga manas (Atman) mencapai kesamaan dengan Jiwatman
(Tuhan) dalam istilah agama Hindu disebut Moksa.
Model komunikasi sadharanikaran adalah model komunikasi Hindu
pertama yang digambarkan secara grafis. Menurut Khanal (2008) model
ini memberikan dimensi baru pada perkembangan ilmu komunikasi
dari perspektif timur. Karena model ini menjelaskan juga konteks
komunikasi transenden didalamnya. Model komunikasi sadharanikaran
di kemukakan oleh Adhikary (2003). Model ini menggambarkan
bagaimana pelaku komunikasi (pengirim dan penerima) berinteraksi
dalam sistem (proses sadharanikaran) untuk mencapai saharidayata.
Model ini mengilustrasikan bagaimana komunikasi Hindu berhasil
dalam konteks masyarakat Hindu yang kompleks dengan hierarki dan
kasta dan bahasa, budaya, dan praktis agama yang berbeda. Model
komunikasi Sadharanikaran Adhikary (2003) disajikan berikut ini.

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 31


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Model Komunikasi Sadharanikaran.
(Sumber: Adhikary, 2011)

Memerhatikan model komunikasi Shadharanikaran di atas maka


dapat kita rincikan komponen atau elemen komunikasi sebagai berikut:
1. Sahridayas (pengirim/preshaka dan penerima/prapaka)
2. Bhava (mood atau emosi)

32 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
3. Rasa (perasaan/estetika/seni)
4. Abhivyanjana (ekpresi/encoding)
5. Sandesha (pesan atau informasi)
6. Sarani (saluran)
7. Sanketa (kode)
8. Rasaswdana (menerima, dekoding, menginter presentasikan pesan
kemudian rasa)
9. Doshas (gangguan)
10. Sandarbha (konteks)
11. Pratikrya (proses feedback)
Kalau diperhatikan model tersebut di atas terlihat bahwa ada dua
aktor komunikasi yang disebut sahridayas yang terlibat dalam proses
komunikasi (sadharanikaran) untuk mencapai sahridayata (kesamaan
makna). Aktor pertama (pengirim pesan) yang dalam hal ini disebut
sebagai sahridaya-phresaka mempunyai bhavas (mood, emosi, ide dan
pemikiran) dalam benaknya untuk disampaikan kepada aktor kedua
(penerima pesan) yang disebut sahridaya-praphaka. Untuk itu pengirim
harus melalui proses abhivyanjana untuk mengekpresikan bhava kedalam
bentuk yang dapat dipersepsikan oleh penerima. Di sinilah proses
komunikasi internal individu pengirim terjadi. Pesan disandikan dan
dikode, disederhanakan sehingga mampu menjangkau penerima. Proses
ini melalui empat tahapan yang dimulai dari para di mana ide, intuisi
dan pemikiran ter cetuskan, kemudian masuk kedalam proses pashyanti
yaitu proses di mana ide dan intuisi atau pemikiran diolah dan dianalisis
berdasarkan pengalaman, kemudian diformulasikan kedalam kode-kode
yang disesuaikan dengan kemampuan penerima, lalu dirumuskanlah
vaikhary atau bahasa baik itu bahasa verbal maupun non verbal. Kode
tersebut kemudian dikirim dalam bentuk pesan sadesha. Setelah pesan
terkirim, maka penerima akan menerima pesan dimaksud. Penerima
menerima pesan yang dikirimkan maka proses rasaswadana akan terjadi
untuk menerjemahkan pesan yang diterima ke dalam pemahamannya
sehingga terjadi kesamaan makna. Proses ini juga melalui empat tahapan
yaitu shravana, manana, nidhyasana dan sakshatkara. Namun tidak
semua orang melalui keempat tahapan ini karena dua tahapan terakhir
adalah masuk kedalam ranah transenden yaitu komunikasi dengan
Tuhan yang menuju ke alam kebersamaan dengan Tuhan.

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 33


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Sedangkan dalam komunikasi antar manusia proses terjadi sampai
pada tahap manana. Dari proses penafsiran pesan pada tingkatan manana
inilah penerima akan memutuskan apakah akan mengirimkan feedbak atau
tidak. Jika diperlukan feedback maka penerima pesan akan merumuskan
abhiviayana melalui proses yang sama seperti dilakukan oleh pengirim pesan
sehingga menghasilkan vaikhary untuk disampaikan kepada pengirim.
Proses ini adalah proses dinamis dan tidak statik, sehingga feedback yang
disebut pratikrya akan dikirimkan kepada pengirim pesan. Proses seperti
yang pertama terjadi lagi di mana penerima pesan pada tingkatan ini
menjadi pengirim pesan. Proses ini akan sukses jika tidak ada hambatan
komunikasi (noise) yang disebut dosha. Model ini juga menggabarkan bahwa
proses komunikasi ini terjadi pada sebuah lingkungan tertentu sehingga
akan mempengaruhi proses dan hasil komunikasi. Model komunikasi ini
sedikit berbeda dengan model komunikasi berdasarkan pandangan ilmu
komunikasi berbasis budaya barat. Dalam model ini digambarkan pula
adanya komunikasi transenden yang tidak terdapat dalam komunikasi model
budaya barat. Karena pada hakekatnya dalam perjuangan manusia dalam
hidupnya mereka akan mencari keseimbangan hubungan antara manusia
dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan.
Ini adalah salah satu dari sekian banyak kekayaan ilmu komunikasi
dari perspektif Hindu yang dapat diangkat dan disejajarkan dengan teori
dan model komunikasi barat. Oleh karena itu penulis berkeyakinan masih
banyak lagi teori dan khasanah ilmu komunikasi yang masih terpendam
dalam samudra kebudayaan Hindu yang belum digali. Diharapkan
ilmuwan Komunikasi dan ilmuwan Hindu mampu untuk menggali
dan mengidentifikasi berbagai ilmu komunikasi yang masih terpendam
tersebut. Agar ilmuwan Hindu mampu menggali dan mengangkat
teori komunikasi kedalam khasanah ilmu komunikasi modern maka
kemampuan dan pemahaman terhadap berbagai teori, konsep dan
metodologi komunikasi barat juga harus ditingkatkan. Karena dengan
penguasaan teori dan konsep komunikasi modern kita mampu mendeteksi
keberadaan teori, konsep dan model komunikasi Hindu sehingga dapat
digali dan diangkat kepermukaan menjadi ilmu komunikasi yang sejajar
dengan ilmu komunikasi barat. Pengkajian ini semata ditujukan untuk
memperluas dan saling melengkapi dengan khasanah ilmu komunikasi
yang sudah eksis dan dipelajari selama ini. Di samping itu kemampuan
dan pemahaman terhadap pustaka dan kekayaan kebudayaan Hindu juga
perlu ditingkatkan. Tanpa pemahaman ini orang tidak akan pernah tahu

34 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
dimana lokasi ilmu itu dan tidak akan bisa membedah dan memunculkan
berbagai teori dan konsep komunikasi yang terpendam di dalamnya.
Oleh karena itu dalam sajian ini secara garis besar akan disajikan peta
teori komunikasi yang semestinya difahami oleh ilmuwan Hindu agar
mampu menggali dan menemukan ilmu komunikasi yang terpendam itu.
Paling tidak ada teori tentang komunikator, teori tentang pesan, teori tentang
media, teori tentang penerima, teori tentang percakapan, teori tentang
hubungan, teori tentang kelompok dan organisasi. Teori-teori ini dapat
dijadikan rujukan untuk mengidentifikasi keberadaan segmen-segmen ilmu
pengetahuan yang masih terpendam dalam balutan kultur dan agama Hindu.
Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah pemahaman tentang
pendekatan, perspektif tradisi dan metodologi. Menurut Griffin beberapa
hal yang perlu diperhatikan diantaranya adalah sibernetika, semiotika,
fenomenologi, sosiopsykologi, retorika,kritis dan sosiokultural yang tersebar
pada wilayah objektif dan wilayah interpretatif. Dengan cara pandang dan
pemahaman Metodologi ini diharapkan ilmuwan Hindu dan ilmuwan
komunikasi lainnya mampu membedah dan menganalisa untuk menemukan
ilmu komunikasi berbasis kebudayaan Hindu yang masih terpendam.

Penutup
Dari hasil kajian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu: (1)
bahwa secara faktual ilmu komunikasi sudah ada dalam ajaran Hindu
sebagai diungkapkan oleh beberapa penulis – Sadharanikaran; (2) bahwa
munculnya teori komnikasi berbasis kearifan Hindu adalah pertanda
bahwa teori dan ilmu pengetahuan tentang komunikasi Hindu ada
dalam kebudayaan dan peradaban Hindu, namun belum tereksplorasi
secara luas dan mendalam; (3) penelitian dan penggalian ilmu
komunikasi Hindu dapat dilakukan dengan memperkuat pengetahuan
dan pemahaman teori komunikasi modern dan kebudayaan Hindu serta
peningkatan keterampilan metodologi untuk mengkajinya. Perlu upaya
yang serius dari ilmuwan Hindu untuk menggali dan mengembangkan
ilmu komunikasi berbasis Hindu.

Daftar Pustaka
Adhikary, N. M. (2008). The Sadharanikaran Model and Aristotle’s
Model of Communication: A Comparative Study. Bodhi: An
Interdisciplinary Journal, 2, 268-289.

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 35


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Adhikary, N.M. (2011a). Theorizing communication: A model from
Hinduism. In Y.B. Dura (Ed.), MBM anthology of communication
studies (pp. 1-22). Kathmandu: Madan Bhandari Memorial College.
Adhikary, N.M. dan Sukla, A.K. (2013) Discoursing Communication from
the Perspective of Mainstream Hindu Philosophy, Interdisciplinary
International Journal, 2, 51-56.)
Kumar, K. J. (2005). Mass Communication in India. Bombay: Jaico.
Majumdar, D. N. (1958). Caste and communication in an Indian village.
Bombay: Asia Publishing House.
Miike, Y. (2007). Asian Contributions to Communication Theory: An
Introduction. China Media Research, 3(4), 1-6.
Oliver, R. T. (1971). Communication and culture in ancient India and
China. Syracuse, NY: Syracuse University Press.
Reddi, U. V. (1988). Communication theory: An Indian perspective. In
W. Dissanayake, Communication theory: The Asian perspective
(pp. 69-78). Singapore: AMIC.
Saral, T. B. (1983). Hindu Philosophy of Communication. Communication
8(3), 47-58.
Dissanayake (Ed.), Communication Theory: The Asian Perspective (pp.
20-38). Singapore: AMIC
Davis, L. (1988). Deep Structure and Communication. In W. Dissanayake
(Ed.), Communication Theory: The Asian Perspective (pp. 20-38).
Singapore: AMIC.
Kirkwood, W. G. (1987). The Turtle Spoke, The Donkey Brayed:
Fables about Speech and Silence in the Panchatantra. Journal of
Communication and Religion, 10(2), 1-11.
Tewari, I. P. (1980, June 1). Sadharanikaran: Indian Theory of
Communication. Indian and Foreign Review, pp. 13-14.
Yadava, J. S. (1979). Communication in an Indian Village. In W.
C. McCormack & S. A. Wurm (Eds.), Language and Society:
Anthropological issues (pp. 627-636). The Hague: Mouton.
Yadava, J. S. (1987). Communication in India: The tenets of
Sadharanikaran. In D. L. Kincaid (Ed.), Communication theory:
Eastern and Western perspectives (pp. 161-171). San Diego, CA:
Academic Press.

36 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Rebranding Perguruan Tinggi dalam Menghadapi
Persaingan Global: Perubahan Nama Institut Pertanian
Bogor Menjadi IPB University

Abung Supama Wijaya, Tri Susanto


Program Studi Komunikasi Sekolah Vokasi IPB University dan Prodi
Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Singaperbangsa Karawang
Email : abung_supama@apps.ipb.ac.id, Tri.susanto@staff.unsika.ac.id

Pendahuluan
Seiring dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan
membuat manusia seolah dengan sendirinya menyesuaikan diri untuk
beradaptasi dengan perubahan demi perubahan. Salah satu perubahan
yang paling terasa khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan adalah
semakin meningkatnya inovasi dalam berbagai bidang. Salah satu
lembaga yang terus produktif menicptakan berbagai inovasi dari tangan
para invator-inovatornya adalah Institut Pertanian Bogor.
Institut Pertanian Bogor (IPB) adalah salah satu perguruan tinggi
negeri di Indonesia. Nama IPB telah malah melintang dalam bidang
pendidikan perguruan tinggi setelah menyatakan berdiri sendir dari
Univeristas Indonesia 56 tahun silam. Hingga kini, IPB dikenal sebagai
salah satu perguruan tinggi dengan spesifikasi di bidang Pertanian yang
cukup terkemuka di Indonesia. Telah banyak hasil riset dan para lulusan
yang telah melambungkan nama IPB dalam berbagai prestasiyang telah
diukirnya. IPB adalah penghasil inovasi-inovasi yang kualitasnya diakui
secara nasional maupun internasional.  Selama sepuluh tahun berturut-
turut (tahun 2008-2018), Inovasi IPB adalah yang  terbanyak diantara
perguruan tinggi lain di Indonesia berdasarkan hasil penilaian Business
Innovation Center – Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi
RI dalam Inovasi Indonesia Paling Prospektif dengan angka mencapai
39,71 persen (IPB, 2019).
IPB yang didirikan pada tanggal 1 September 1963 merupakan
wujud pemikiran yang visioner dari pemimpin bangsa dan mereka
yang peduli dengan pendidikan tinggi pertanian agar bangsa besar ini

Public Relations dan Periklanan | 37


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
mempunyai perguruan tinggi kelas dunia yang memiliki kompetensi
dalam bidang pertanian, biosains, dan berbagai bidang yang terkait. 
Hal ini ditujukan untuk memperkuat ketahanan pangan, bioenergi,
penciptaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, dan menjaga
lingkungan hidup. Ibarat sebuah pohon yang makin menjulang, maka
semakin besar pula angin yang menerpanya. Begitu juga IPB, masalah
yang kerap muncul adalah terkait dengan nama IPB itu sendiri. Sejak
lama telah berlangsung dualisme dalam terjemahan Institut Pertanian
Bogor ke dalam Bahasa Inggris. Walaupun terjemahan yang lebih
sesuai adalah “Bogor Agricultural Institute”, namun sudah lama IPB
menggunakan  “Bogor Agricultural University”. Bahkan ada juga yang
menuliskan sebagai Institute Pertanian Bogor.  Perbedaan ini seringkali
membuahkan kebingungan dalam penulisan IPB sebagai afiliasi lembaga
dalam jurnal internasional.
Perguruan tinggi harus menyadari bahwa identitas sebuah institusi
merupakan suatu hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Identitas
tersebut akan menciptakan citra yang akan diingat oleh publiknya.
Selain itu sebagai suatu perguruan tinggi, citra positif merupakan salah
satu aspek penting sehingga dapat mengikuti persaingan secara global.
Saat ini IPB tidak hanya merupakan singkatan, tetapi juga sebagai
sebuah brand.  Ada sejumlah corporate brand yang menempuh strategi
ini untuk tidak hanya memberikan simplicity dalam pengucapannya,
tetapi juga agar lebih solid dalam exposure dan menjelaskan janji brand-
nya. Untuk itulah IPB melakukan rebranding dengan mengubah brand
“Bogor Agricultural University” menjadi “IPB University” resmi pada
10 Juni 2019. Jauh sebelum pelaksanaan rebranding ini dilakukan, IPB
sebenarnya telah memprediksi bahwa berbagai keilmuan khususnya
dalam bidang bioscience akan terus berkembang. Maka, bukan sesuatu
hal yang baru lagi, jika kata “Universitas” telah lama dicetuskan untuk
mewakili IPB dalam berbagai penamaan baik dalam skala nasional
maupun internasional. Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk
mengetahui bagaimana proses perubahan nama Institut Pertanian Bogor
(IPB) menjadi IPB University.

Pembahasan
Pada penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif
yang pada dasarnya mengamati orang dalam lingkungan hidupnya,

38 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
berinteraksi, dengan berusaha memahami bahasa dan tafsiran objek
yang sedang diteliti tentang dunia sekitarnya. Adapun objek penelitian
ini adalah proses rebranding IPB University. Teknik pengumpulan
data dilakukan secara observasi, wawancara serta studi dokumentasi.
Observasi dilakukan di IPB University mengenai perubahan nama
dan juga target Institusi kedepan dengan mempersiapkan menghadapi
persaingan global. Sedangkan untuk wawancara yaitu mewawancarai
narasumber Kepala biro Komunikasi Humas IPB university yaitu
ibu Ir. Yatri Indah Kusumastuti M.S . sedangkan studi dokumentasi
dikumpulkan melalui berita online, website, sosial media dan literatur
pendukung lainnya.
Perkembangannya istilah pertanian Bogor atau IPB telah banyak
mengalami perjalanan yang cukup panjang dalam memposisikan diri
sebagai salah satu perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Perjalanan
panjang tersebut membuat nama IPB tidak hanya eksis di tingkat
nasional namun mampu berbicara banyak di kancah internasional.
Hal ini dibuktikan dengan berbagai Raihan prestasi yang membuat
IPB tergolong dalam salah satu universitas kelas dunia (World Class
University). Sebanyak 24 program studi di IPB telah memiliki akreditasi
internasional. Beberapa diantaranya adalah International Federation of
Landscape Architects (IFLA), Institute of Marine Engineering, Science and
Technology (IMarEST Society of Wood Science and Technology (SWST),
Institute of Food Technologists (IFT), International Union of Food Science
and Technology ( IUFoST Accreditation Board for Engineering and
Technology, (Japanese Accreditation Board for Engineering Education
), Indonesian Accreditation Board for Engineering Education (IABEE),
ASEAN University Network Quality Assurance (AUN QA), dan lain-lain.
Prestasi lainnya yang ditorehkan oleh IPB pada tahun 2018 lalu
adalah masuk ke dalam 100 perguruan tinggi terbaik dunia versi QS
Word University Ranking by Subject Agriculture and Forestry. Sedangkan
dalam peringkat dunia iPB berada di posisi 601-650 dari keseluruhan
perguruan tinggi di dunia. Dalam bidang Publikasi tingkat nasional IPB
masuk kedalam salah satu dari 5 perguruan tinggi di Indonesia paling
produktif dalam riset menurut Scopus tahun 2019. Pada pelaksanaannya,
khususnya dalam bidang riset sering terjadi pertambahan yang berbeda
terkait dengan nama IPB dalam berbagai tulisan khususnya dalam bidang
riset internasional. Para penulis dalam hal ini peneliti sering memakai
nama Bogor Agricultural University sebagai identitas institusi walaupun

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 39


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
terjemahan yang lebih sesuai adalah “Bogor Agricultural Institute”.
Bahkan beberapa penulis sering menggunakan nama institute pertanian
Bogor dalam penulisan IPB sebagai afiliasi lembaga perguruan tinggi
dalam mempublikasikan hasil penelitiannya di dunia internasional.
Bahkan berdasarkan hal tersebut IPB pada masa kepemimpinan rektor
saat ini yaitu Dr. Ir. Arif Satria melakukan aktivitas rebranding IPB
dalam setiap komponen didalamnya.
Branding berasal dari kata brand yang berarti merek merupakan atribut
yang penting dari suatu produk. Menurut Philip Kotler (1993) pengertian
brand adalah sebagai berikut: “A brand is a name, term, symbol, or design or
combination of them, intended to identify the goods or services of one seller of
group of sellers and differentiate them from those competitors.”. Kata brand sendiri
sering dipakai dalam istilah pemasaran untuk menunjukan identitas suatu
produk. Sebagai produk dari lembaga pendidikan IPB yang bersifat layanan
jasa, maka pendekatan untuk melakukan evaluasi brand dalam kurun waktu
tertentu perlu dilakukan. Hal ini karena sifat dinamis yang terjadi dalam
bidang jasa khususnya dimata stakeholder perlu dilakukan untuk beradaptasi
dengan perubahan zaman. Maka Institut Pertanian Bogor (IPB) baru-baru
ini mengganti nama bahasa Inggrisnya menjadi “IPB University”. Perubahan
besar merek tersebut sebenarnya telah dilakukan melalui serangkaian
sosilisasi soft launchingawal tahun 2019, tepatnya tanggal30 januari 2019 di
dalam pertemuan rabuan (semacam rapat mingguan bersama seluruh civitas
IPB). Hingga akhirnya resmi diluncurkan pada pertemuan akademis pasca
istirahat semester 10 Juni 2019 (tepatnya saat acara halal bihalal IPB) bahwa
mulai hari itu, IPB berubah resmi nama brand-nya menjadi IPB University
dalam semua penamaan terkait dengan insitusi dalam berbagai publikasinya.
Rebranding dalam sebuah insitusi mempunyai kesamaan makna dengan
yang dilakukan diberbagai perusahaan.
Jika di perusahaan rebranding bertujuan dalam rangka memperkuat
eksistensi merek perusahaan di kalangan masyarakat dengan berbagai
kegiatan yang dilakukannya. Hal ini senada dengan yang disampaikan
Einwiller and Will (2012) yang berpendapat bahwa corporate rebranding
sebagai strategi perubahan yang terencana dan terlaksana dengan
sistematis untuk mempertahankan suatu brand image yang baik dan
menciptakan brand image baru yang lebih baik. Menurut Muzellec et
al (2003), rebranding merupakan tindakan perusahaan di mana nama
baru dipilih dan diadopsi untuk digunakan. Muzellec pun memberikan
karakterisasi yang memungkinkan untuk rebranding adalah sebuah

40 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
kreasi pembaruan dari nama, istilah, simbol, atau kombinasi dari mereka
untuk menetapkan brand dengan tujuan untuk mengembangkan posisi
baru yang berbeda di pikiran stakeholder dan kompetitor
Kegiatan rebranding menunjukan bahwa lembaga pendidikan sebagai
sebuah institusi dirasa perlu melakukan kegiatan ini untuk dapat bersaing
secara global. Hal ini dilakukan untuk merespon tantangan terhadap semakin
ketatnya persaingan antar perguruan tinggi, baik dalam skala nasional,
maupun internasional. Menurut Alam, et.al (2019) Universities need to create
one unified message based on what makes their university different, who they
are, and what they do. Universitas dapat memperkuat posisinya sehingga
mampu tampil berbeda, spesifik, dan berkarakter sehingga memunculkan
penanaman brand insutitusi yang kuat dibenak masyarakat. Adapun inisiasi
perubahan nama dilakukan oleh IPB adalah :
1. Pada masa Rektor Prof.Dr.Ir. Andi Hakim Nasution ” (1978-1987),
sudah tercetus rencana perubahan nama menjadi Universitas Ilmu
Pengetahuan Bogor, disingkat “Universitas IPB”.
2. Di masa Rektor Prof.Dr.Ir. Aman Wirakartakusumah (1998-2002),
sudah dilakukam kajian untuk perubahan IPB menjadi universitas.
3. Di masa Rektor Prof. Dr. Ir. Herry Suhardiyanto (2007-2017),
disampaikan mandat berupa Ketetapan Majelis Wali Amanat (MWA)
IPB kepada Rektor untuk melakukan pengkajian perubahan nama.
4. Pada masa Rektor Dr. Arif Satria, sejak tahun 2018 telah dilakukan
kajian perubahan nama dalam bingkai rebranding IPB.
Tahapan yang sudah dilakukan IPB untuk mendapatkan brand baru
yang lebih komunikatif
1. Internal Insights: Pengumpulan insight dari stakeholder internal.
2. External Insight: Pengumpulan insight dengan wawancara dari
stakeholder eksternal.
3. Menerjemahkan insight yang didapat untuk repositioning dan
renaming.
4. Sosialisasi brand baru ke stakeholder internal dan eksternal.
5. Secara bertahap mengimplementasikan brand baru ke dalam
berbagai produk marketing communication (website, buku profil,
kartu nama, merchandise, dan lain-lain).
Menurut Muzellec et al., (2006), terdapat empat elemen rebranding,
yaitu repositioning, renaming, redesign dan relaunch. IPB sebagai sebuah

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 41


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
perguruan tinggi yang telah melakukan proses rebranding, melakukan
empat elemen rebranding ini dalam kegiatannya :

a. Repositioning.
Menurut Ries dan Trout (2001) dalam Muzzelec et al. (2009),
repositioning mempunyai arti: sebuah tahapan bertujuan, dimana
keputusan diambil untuk mencoba menciptakan sebuah posisi baru
perusahaan secara radikal di benak konsumennya, para pesaing dan
pemangku kebijakan lainnya. Menurut Muzellec et al. (2009), posisi
sebuah merek dalam benak konsumen adalah penting dan bersifat
dinamis. Dalam kondisi-kondisi tertentu, perusahaan diharuskan
melakukan strategi-strategi tertentu untuk merubah atau memperbaiki
posisi merek di benak konsumen atau dengan kata lain adalah melakukan
repositioning, di antaranya perluasan target baru institusi sebagai bagian
dari strategi komunikasi yang dilakukan.
Menurut Paul (dalam Nugraha dan Damayanti, 2015) strategi
komunikasi mempunyai unsur-unsur yang berkaitan dengan segala
usaha untuk mencapai dan mendukung suatu tujuan dengan memerlukan
suatu koordinasi tindakan, pesan, image, dan bentuk-bentuk lain untuk
membuat keterpautan untuk menginformasikan, mempengaruhi, dan
mengajak khalayak tertentu untuk mendukung tujuan perusahaan.
Akan tetapi, perubahan target dan konsep baru mal ini tidak mengubah
visinya yaitu “Menjadi perguruan tinggi berbasis riset dan terdepan dalam
inovasi untuk kemandirian bangsa menuju techno-socio enterpreneurial
university yang unggul di tingkat global pada bidang pertanian, kelautan,
biosains tropika”. Repositioning yang ingin dituju oleh IPB difokuskan kepada
perubahan brand dikalangan masyarakat dengan mencoba memberikan
pemahaman bahwa IPB University mempunyai cakupan yang luas, tidak
hanya sekedar terfokus kepada pertanian saja.
IPB sudah sejak lama mengembangkan banyak keilmuan dalam
berbagai bidang no pertanian. Saat ini IPB university mempunyai banyak
bidang yang lebih meluas, diantaranya adalah kedokteran hewan, sekolah
bisnis, sekolah vokasi, hingga beberapa program studi yang (bahkan)
hanya mempunyai irisan yang kecil dengan dunia pertanian. Untuk itu,
dengan rebranding ini, IPB University mengharapkan bahwa pemahaman
masyarakat lebih terbuka untuk memahami cakupan bidang dari IPB
selanjutnya rencana kedepanya IPB akan menjadi universitas dengan
berbagai program studi seperti universitas lainnya.

42 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
“ Penyebutan Bogor Agriculture university mengalami kesulitan apalagi
kalau disingkat menjadi BAU, dengan adanya perubahan nama IPB
University akan memudahkan penyebutan dan menunjukan perubahan
konsep lainnya, IPB ingin mendapatkan calon mahasiswa terbaik seperti
dahulu lagi, karena sekarang menurun yang disebabkan persaingan
global dengan adanya persaingan universitas baik negeri maupun swasta
dengan adanya penyebutan IPB university diharapkan dapat merubah
pandangan tentang IPB di kalangan Siswa SMA bukan hanya Petani
dan bajak sawah, Harapan kedepannya dalam merubah statuta dari
IPB menjadi IPB University kita prediksi 2-3 tahun apalagi nama IPB
sudah kental banget di kalangan, sehingga dapat menjadi universitas”
( wawancara dengan Kabiro Komunikasi Humas IPB University Ibu Ir
Yatri Indah Kusumastuti MS pada Tanggal 27 Juni 2019)

Pemahaman repositioning ini juga ditujukan kepada dunia


pendidikan Internasional. Tidak jarang, IPB University mendapatkan
penolakan untuk melakukan kerjasama dengan berbagai perguruan
tinggi diluar negeri. Hal ini, dikarenakan mereka menganggap bahwa
IPB hanya tertumpu kepada bidang pertanian saja. Maka, langkah
yang tepat jika IPB melakukan rebranding untuk semakin memperkuat
karakter IPB agar dipandang sebagai perguruan tinggi yang mempunyai
mempelajari banyak keilmuan dalam berbagai bidang.

b. Renaming
Renaming adalah nama merek memegang peranan penting karena
menjadi wajah atau indikator awal sebuah merek. Nama merek yang kuat
adalah asset yang mendemonstrasikan kekuatan entitas merek (Muzellec
et al., 2009:34). Merubah nama merek berarti memberikan sinyal kepada
stakeholder bahwa perusahaan melakukan perubahan, baik perubahan
strategi, kepemilikan dan lainnya. Hal ini menjadi bentuk komunikasi
perusahaan terhadap para stakeholder-nya. Pada renaming, perubahan
yang terjadi tidak hanya pada nama merek, namun juga dapat pada
slogan (tagline) nya (Muzellec et al, 2009:34).
Akitivitas Renaming pada IPB dapat terlihat dari perubahan nama
yang dilakukan. Pada versi sebelumnya IPB menggunakan nama “IPB”
dalam Bahasa Indonesia dan biasa menggunakan “Bogor Agricultural
University” jika diterjemahkan kedalam Bahasa Inggris. Namun setelah
mengalami renaming, kini IPB berganti nama menjadi “IPB University”.
Penyebutan itu ditujukan baik dalam penyebutan Bahasa Indonesia

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 43


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
maupun Bahasa Inggris. Nama “IPB University” mengalami proses
diskusi yang cukup panjang, hingga akhirnya hasil kajian ilmiah tentang
perubahan brand IPB tersebut sudah disampaikan dalam berbagai
pertemuan dengan stakeholder, termasuk dalam rapat Senat Akademik.
Nama IPB University dan tagline baru ini sudah disahkan oleh Majelis
Wali Amanat (MWA) IPB melalui Keputusan No 7/IT3.MWA/OT/2019
Tentang Pengesahan Rebranding IPB Dengan Nama IPB University.
Alasan mengapa dipilih kata University, diawali dari pemikiran
bahwa telah lama IPB berkembang dan menawarkan program studi
yang lebih banyak dan luas dari waktu ke waktu. Oleh karenanya, nama
“IPB University” sebagai brand akan membangun asosiasi yang lebih
luas dan menjanjikan value lebih tinggi. Nama singkat yaitu IPB, juga
akan memberikan ruang lebih luas untuk berasosiasi dengan hal-hal
yang bersifat kekinian dan modern. Saat ini IPB tidak hanya merupakan
singkatan, tetapi juga sebagai sebuah brand. Ada sejumlah corporate
brand yang menempuh strategi ini untuk tidak hanya memberikan
simplicity dalam pengucapannya, tetapi juga agar lebih solid dalam
exposure dan menjelaskan janji brand-nya. Untuk itulah IPB mengubah
brand “Bogor Agricultural University” menjadi “IPB University”
Merunut dari sejarahnya, perubahan menjadi Universitas sendiri
sebenarnya telah dimulai pada Pada masa Rektor Prof.Dr.Ir. Andi Hakim
Nasution ” (1978-1987), dimana saat itu telah tercetus rencana perubahan
nama menjadi Universitas Ilmu Pengetahuan Bogor, disingkat “Universitas
IPB”. Selanjutnya pada masa Rektor Prof. Dr. Ir. Aman Wirakartakusumah
(1998-2002), sudah dilakukan juga kajian untuk perubahan IPB menjadi
universitas. Kemudian mandat berupa Ketetapan Majelis Wali Amanat
(MWA) IPB kepada Rektor untuk melakukan pengkajian perubahan nama
juga dilakukan pada masa kepemimpinann Rektor Prof. Dr. Ir. Herry
Suhardiyanto (2007-2017). Hingga akhirnya pada masa Rektor Dr. Arif Satria,
sejak tahun 2018 telah dilakukan kajian perubahan nama dalam bingkai
rebranding IPB menjadi “IPB University”.
Selain perubahan nama, IPB juga mengganti Motto/tagline IPB yang
sebelumnya adalah “Mencari dan Memberi yang Terbaik (Searching and
Serving the Best)” menjadi “Inspiring Innovation with Integrity”. Untuk
menghadapi persaingan yang semakin ketat, maka IPB University merasakan
kebutuhan untuk memiliki janji baru yang lebih distinctive, berbeda dari
universitas lain. Hasil riset dan diskusi dengan para stakeholder kunci
diperoleh sebuah rangkaian kata janji baru yaitu: “Inspiring Innovation with

44 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Integrity” (versi pendek), dan versi panjangnya adalah “Inspiring Innovation
with Integrity in Agriculture, Ocean, Biosciences for a Sustainable World”.
Adapun setiap kalimat dalam tagline tersebut mempunyai arti sebagai
berikut: “Inspiring” berarti mencerahkan, memberikan ide. “Innovation”
mempunyai arti inovasi yang handal, bisa digunakan dan diterapkan,
sedangkan “Integrity” berarti pribadi yang jujur dan memiliki karakter
kuat (nilai-nilai moral tinggi). Ketiga kata kunci ini telah diaplikasikan
dalam pengembangan keilmuan di aspek pertanian, kelautan, biosains
untuk mewujudkan kehidupan yang berkelanjutan.

c. Redesigning
Sebagai strategi dari perusahaan, perubahan diikuti pada perubahan
logo dan elemen merek lainnya. Redesign dapat diartikan sebagai:
menjaga tetap agar semua elemen organisasi seperti alat-alat tulis, brosur,
iklan, laporan tahunan, kantor-kantor dan mobil pengantar produk,
tampak mewujudkan posisi yang diinginkan perusahaan (Muzellec et
al, 2009:35). Pada proses Redesign IPB tidak mengubah logo awalnya.
Namun lebih tepatnyahanya menambahkan “IPB University” dan “Bogor
Indonesia” pada sebelah kanan logo sebelumnya (versi Horizontal) dan
pada sebelah kanan logo sebelumnya (versi vertikal). (Lihat gambar 1).

VersiSebelumnya Versi Sekarang (Horizontal dan Vertikal)

Gambar 1. Logo IPB dan IPB University

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 45


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Logo ini sengaja dibuat dua karena memang menyesuikan dengan
berbagai kebutuhan. Logo ini dapat dipakai oleh seorang desainer grafis
tergantung dari media publikasi yang dipilihnya. Kedua logo ini sah menurut
manfaatnya, namun harus dibuat berdasarkan standar yang telah diberikan
oleh Biro Komunikasi IPB University. Selain perubahan pada tampilan logo,
redesign juga terjadi pada media publikasi website IPB. Tampilan website
dengan alamat http://ipb.ac.id terlihat lebih menarik dengan Desain visual
yang kekinian dan elegant. Tampilan warna, layout, elemen, serta tipografinya
jauh lebih menarik dari versi sebelumnya. Selain itu Loading time website
(waktu yang diperlukan oleh browser untuk menampilkan website secara
keseluruhan) berlangsung sangat cepat. Ini membuat pengunjung (user)
merasa lebih nyaman, tanpa harus menunggu lama untuk memunculkan
keseluruhan tampilan website.

Gambar 2. Tampilan Website IPB University

Berdasarkan hasil observasi, beberapa website pendukung di IPB


belum sepenuhnya mengganti logonya dengan versi terbaru. Hal tersebut
dapat dilihat dari beberapa website seperti: https://repository.ipb.ac.id
(layanan yang dikembangkan untuk mengelola dan menyebarluaskan
berbagai hasil kegiatan ilmiah sivitas akademi dalam bentuk digital
material), https://pasca.ipb.ac.id (website sekolah Pascasarjana), http://
sb.ipb.ac.id (website sekolah Bisnis-setara dengan fakultas), http://
perpustakaan.ipb.ac.id (website perpustakaan), dan beberapa website
yang dikelola oleh fakultas.
Kedepan Biro komunikasi IPB bekerjasama dengan Biro Teknologi
IPB University akan merapihkan berbagai website yang menjamur

46 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
di kampus IPB University. Memang membutuhkan waktu yang tidak
sebentar untuk melakukan proses ini, namun upaya dan komunikasi
tengah dibangun dengan berbagai fakultas untuk dapat menyeragamkan
tampilan website dalam media publikasinya. Langkah transisi ini
ditargetkan akan selesai dalam satu tahun kedepan.
Kegiatan Redesign lainnya dalam upaya rebranding IPB juga dapat
terlihat dari pengaturan atribut kantor yang dipakai oleh semua civitas
akademik. Pengaturan ini disosialisasikan secara bersamaan, saat grand
launcing IPB University dan diperkuat dengan penyebaran pesan dalam
bentuk video di berbagai sosial media seperti Facebook, Youtube, dan
Instagram. Selain itu penyebaran juga dilakukan dengan menggunakan
aplikasi pengirim pesan yaitu whatsapp. Adapun beberapa atribut
kantor yang mengalami penyesuain seiring dengan preses Redesign ini
dianataranya adalah: Kop surat, Amplop surat, kartu nama, roll banner,
poster, dan spanduk. Atribut tersebut, mempunyai format yang sama
untuk semua civitas akademik.

d. Relaunching
Relaunching merupakan langkah terakhir setelah semua perubahan
yang diperlukan telah dilakukan, dimana relaunch merupakan
pemberitahuan agar masyarakat mengerti bahwa perusahaan
melakukan strategi yang berbeda. Relaunching menentukan bagaimana
stakeholder melihat brand baru yang akan diperkenalkan, yaitu dengan
mempublikasikan brand baru adalah tahap akhir dan menentukan
bagaimana masyarakat luas (karyawan, pelanggan, investor, dan
wartawan) mungkin menganggap nama baru. Untuk para pemangku
kepentingan internal, nama baru dapat diperkenalkan melalui brosur
internal atau koran, pada kesempatan pertemuan tahunan, atau melalui
lokakarya dan intranet.
IPB melakukan Relaunching brand dengan memulainya dari tahapan
soft launching dalam acara Rabuan (Pertemuan rutin dosen) pada tanggal
30 januari 2019 yang bertemakan “Maju Bersama Menuju IPB Future 4.0”
di Graha Widya Wisuda (GWW), Kampus IPB Dramaga, Bogor. Rektor IPB
University Arif Satria menyampaikan dalam pidatonya bahwa perguruan
tinggi (PT) perlu berhenti sejenak dan mengevaluasi sejauh mana brand PT-
nya diterima masyarakat. Tahap selanjutnya adalah Grand Lauching yang
dilakukan bertepatan dengan acara Halal bi Halal 1440 H di Kampus IPB
University, Dramaga, Bogor, Senin 10 juni 2019.

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 47


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Pada acara tersebut, secara resmi IPB melaunching nama “IPB
University” secara resmi beserta perubahan-perubahan dalam setiap
elemennya. Kegiatan tersebut juga diperkuat dengan publikasi secara
bersamaan di berbagai media cetak ,media elektronik, maupun media
sosial. Beberapa portal berita yang memuat rebranding IPB University
diantaranya adalah:
1. Kompas.com https://edukasi.kompas.com/read/2019/01/30/
15495571/nama-baru-janji-baru-ipb-berganti-nama-menjadi-
ipb-university?page=all
2. detik.com https://news.detik.com/berita/d-4407048/ipb-kini-
rebranding-jadi-ipb-university-apa-alasannya
3. kumparan.com https://kumparan.com/news-release-ipb/
halal-bi-halal-semarak-biru-sambut-grand-launching-ipb-
university-1rH3CXi7Rko
IPB sangat serius melakukan proses sosialisasi dalam launcing ini.
Terbukti, selain mempublish di berbagai media cetak dan elektronik,
pada hari yang sama social media dipenuhi dengan informasi rebranding
tersebut. Akun-akun social media dari mulai Mahasiswa aktif, alumni,
tenaga pendidik, dosen, hingga Rektor serentak menginformasikan
pesan yang sama, yaitu rebranding IPB menjadi “IPB University”.

Penutup
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat dikemukakan simpulan
dari penelitian yang berjudul “Rebranding Perguruan Tinggi dalam
Menghadapi Persaingan Global: Perubahan Nama Institut Pertanian
Bogor Menjadi IPB University” adalah sebagai berikut:
1. IPB telah menempatkan posisinya sebagai salah satu jajaran
perguruan tinggi terbaik di Indonesia dengan reputasi di dunia
Internasional, maka perlu melakukan penyesuaian brand seiring
dengan perkembangan dalam dunia pendidikan di era global saat
ini. Sebagai kampus dengan keunggulan dalam bidang inovasi
dengan integritas sebagai karakteristik sumber daya manusianya,
IPB University melakukan rebrandring dengan tujuan menunjukan
bahwa saat ini IPB University tidak hanya dikenal sebagai kampus
bidang pertanian saja, namun cakupan kelimuannya sudah semakin
meluas. Hal ini diharapkan berdampak pada kerjasama yang
dibangun dengan berbagai pihak eksternal, khususnya di luar negeri

48 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
bahwa IPB University mampu menjalin kerjasamadalam berbagai
bidang keilmuan dalam tingkat perguruan tinggi.
2. IPB melakukan proses Rebranding yang terdiri dari 4 elemen,
yaitu Repositioning, Renaming, Redesigning, dan Relaunching.
Proses tersebut telah melalui berbagai tahapan yang dimulai riset
yang dilakukan selama 6 bulan oleh para ahli dibidangnya, soft
launchingyang telah dimulai sejak januari 2019, hingga grand
launching pada Juni 2019.
3. Saran pada penelitian lanjutan dapat lebih mendalam mengenai
pengaruh, efektifitas, atau startegi serta Implemetasi terkait
rebranding yang tengah dilakukan. Mengingat, penlitian ini hanya
bersifat permulaan dengan mendeskripsikan bagian luar dari
program rebranding IPB University.

Daftar Pustaka
Adianti, Fitria Putri dkk (2018) “Proses Rebranding Mal Grand Indonesia
Oleh Departemen Marketing Communication PT Grand Indonesia”
PRofesi Humas: Jurnal Ilmiah Ilmu Hubungan Masyarakat, Volume
2, No. 2, Februari 2018, hlm. 102-118
Ekafaya, Felesia Kirianawati, Roro Retno Wulan, Kharisma Nasionalita
(2015) “Pengaruh Perubahan Nama Terhadap Citra Pada Telkom
University”, Jurnal Ilmiah Komunikasi | MAKNA Vol. 6 No. 1,
Februari-Juli 2015
Intisari, Alam et al (2019) “Branding Initiatives in Higher Educational
Institutions : Current Issues and Research Agenda” Journal Of
Marketing and Management of Innovations Issue 1
Kotler, Philip & Kevin L. Keller. (2009). Marketing Management 13th
Edition. New Jersey: Prentince Hall International, Inc..
Murphy, M. J. (1988). How to design trademarks and logos. Universitas
Michigan: North Light Books.
Muzellec, Laurent., Mary Lambkin and Manus Doogan. (2003).
“Corporate Rebranding: An Exploratory Review”. Irish Marketing
Review, Vol 16, No 2, pp 31-40.
Muzellec, Laurent., Mary Lambkin and Manus Doogan. (2006). Corporate
Rebranding Destroying, Transfering or Creating Brand Equity.
Journal of Marketing. Vol 40 No 7/8 pp 803-824.

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 49


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Noveline, K. (2009). Pembentukan citra perusahaan melalui ekuitas
merek. Jurnal Ilmu Komunikasi. Vol. 7 No. 2, 153-161.
Nugraha, A. R. (2015). Implementasi kegiatan corporate social
responsibility “go green economic” berbasiskan kearifan lokal.
Jurnal Komunikasi. Vol. 7 No.2, 118-128.
Nugraha, A. R. (2016). Representasi Corporate Identity Dalam Logo
Baru PDAM Kota Bandung. Communication. Vol.7 No.2, 29- 50.
Nugraha, R. A. & Damayanti, T. (2015). Personal branding kandidat
politik. Jurnal Komunikasi Acta Diurna. Vol. 11, No. 1, 1-14.
Simonson, A. (1997). Marketing Aesthetics: The Strategic Management
of Brands, Identity and Image. NY: Free Press.
Shimp, Terence A. (2003). Periklanan Dan Promosi. Edisi kelima. Jakarta:
Erlangga.
Smith, Paul R. (1995). Marketing Communication an Integrated Approach
2 nd Edition. London: Kogan Page.

50 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Desain Penelitian Komunikasi
Berazaskan Paradigma Filsafat Post-Positivism

Burhan Bungin
Ilmu Komunikasi Universitas Ciputra
E-mail : burhan.bungin@ciputra.ac.id

Pendahuluan
Pemahaman metode riset seringkali dimulai dari kesadaran
bahwa seseorang ingin segera menyelesaikan tugas akademik atau
hanya menyelesaikan tugas projek yang seringkali dipandang terlepas
dari konteks pemahaman pengetahuan keilmuan secara utuh. Padahal
memahami metode riset tidak pernah terlepas dari konteks sosial,
filsafat, paradigma, teori dan barulah memahami suatu metode riset yang
seharusnya digunakan.
Penulis-penulis terkenal metode riset seperti Craswell (2018),
menempatkan pembahasan masalah filsafat dan paradigma keilmuan
pada bagian awal tulisannya. Denzin dan Lincoln (2018) juga
menempatkan pembahasan filsafat dan paradigma penelitian pada bab
awal tulisan mereka. Bernard (2006) bahkan menempatkan bab awal
teori-teori sosial dalam pembahasan bukunya. Sementara itu Tracy (2013)
memulai membahas metode riset dengan mambicarakan konteks sosial.
Begitu juga Taylor, Bogdan and DeVault (2016), Tylor and Wallace (2017)
juga membahas masalah paradigma dan keilmuan diawal pembahasan
mereka mengenai metode riset. Artinya begitu penting pemahaman
filsafat dalam metode penelitian, karena itu tidak ada pemisah antara
aspek-aspek filsafat, paradigma, teori dan metode yang digunakan dalam
sebuah riset.
Sesungguhnya metode riset itu hanyalah alat kecil dalam konteks
keilmuan yang besar, sehingga ketika seseorang menggunakan sebuah
metode seharusnya ia mempelajari konteks keilmuan dimana metode
riset itu berada. Seringkali kita melakukan gerakan terbalik, ketika hendak
melakukan penelitian, maka seseorang langsung memilih metode riset,
kemudian baru memahami konteks sosialnya dan kontek filosofisnya.
Akibatnya seringkali ia tersesat dijalan dan seringkali juga berakibat

Public Relations dan Periklanan | 51


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
fatal, ia gagal dalam penelitian, paling tidak menyulitkan ia di lapangan
bahkan memperpanjang waktu penelitiannya atau menyebabkan hasil
penelitian tidak berkualitas dan dihindari orang sebagai bahan studi
berikutnya.
Dalam konteks ini, perlu kita fahami bahwa ada berbagai macam
paradigma filsafat keilmuan dalam ilmu-ilmu sosial. Paling tidak
ada paradigma positivism, paradigma constructivism, critism, social
constructivism dan sebagainya. Dari berbagai paradigma itu, kalau dipilah
maka ada dua paradigma besar, yaitu positivism sebagai paradigma klasik
dan kelompok paradigma non-positivism sebagai paradigma modern
atau postmodern. Termasuk pula paradigma yang lahir dari kelompok
positivism yaitu post-positivism menjadi salah satu bagian dari kelompok
modern dan post-modern.

1. Post-positivism
Orang-orang post-positivism, sebagaimana Fisikawan Werner
Heisenberg dan Niels Bohr membuang pandangan dogmatis tentang
positivism, mengubah penekanan dari kepastian absolut menjadi
probabilitas; mereka menggambarkan ilmuwan sebagai orang yang
membangun pengetahuan, bukannya hanya secara pasif memperhatikan
hukum alam (Crotty, 1998). Argumen mereka adalah bahwa “tidak
peduli seberapa setia ilmuwan mematuhi penelitian metode ilmiah, hasil
penelitian tidak sepenuhnya objektif, atau tidak diragukan lagi sebagai
sesuatu kepastian”. Pandangan ini dikenal sebagai post-positivism (atau
empirism logis); ini menggambarkan bentuk positivism yang tidak
terlalu ketat. Ahli empiris logis (atau post-positivis) mendukung gagasan
bahwa ilmuwan sosial dan ilmuwan alam berbagi tujuan yang sama
untuk penelitian dan menggunakan metode penelitian yang serupa.
Post-positivism dipengaruhi oleh filsafat yang disebut realisme
kritis. Ini dapat dibedakan dari positivism berdasarkan apakah fokusnya
adalah pada verifikasi teori (positivism) atau pada Teori pemalsuan
(post-positivism). Guba dan Lincoln (1994) membagikan contoh untuk
menjelaskan perbedaan ini di mana, sebagaimana mereka katakan, sejuta
angsa putih tidak dapat membuktikan bahwa semua angsa berwarna
putih, tetapi satu angsa hitam dapat membantah anggapan ini. Post-
positivis, seperti halnya positivis, percaya bahwa ada kenyataan yang tidak
tergantung pada pemikiran kita yang dapat dipelajari melalui metode
ilmiah. Realisme kritis, bagaimanapun, mengakui bahwa pengamatan

52 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
mungkin melibatkan kesalahan dan bahwa teori dapat dimodifikasi.
Realitas tidak bisa diketahui dengan pasti. Pengamatan sarat teori dan
dipengaruhi oleh bias pengamat dan pandangan dunia. Misalnya, dua
orang dapat mengamati peristiwa yang sama dan memahaminya secara
berbeda, berdasarkan pengalaman dan keyakinan mereka sendiri.
Namun, obyektivitas dapat dicapai dengan menggunakan berbagai
tindakan dan pengamatan serta melakukan trianggulasi data untuk
memperoleh pemahaman yang lebih jelas tentang apa yang terjadi dalam
kenyataan. Penting untuk dicatat bahwa post-positivis memiliki banyak
kesamaan dengan positivis, tetapi sebagian besar pendekatan penelitian
dan praktik dalam ilmu sosial saat ini lebih cocok dengan kategori post-
positivis.
Jadi post-positivis telah dipengaruhi oleh gagasan-gagasan
postmodern dengan melihat konteks sosial dunia sebagai realitas yang
tidak lagi absolut, namun menjadi sebuah kenyataan yang nisbi, serba
tidak pasti dan terjadi di lingkungannya yang terbatas dengan sifat-sifat
khusus. Dengan demikian maka dunia menjadi milik “mereka” bukan
lagi menjadi sebuah “kebersamaan” seperti yang difahami oleh positivis
selama ini.

2. Salah Faham
Seringkali peneliti muda di bidang komunikasi menganggap bahwa
post-positivism adalah positivism, atau paling tidak mereka memandangi
post-postivism dalam kacamata positivism, atau juga mereka tidak mampu
membedakan antara positivism dan post-positivism. Bahkan banyak
kalangan akademisi komunikasi menganggap post-positivism adalah sama
dengan fenomenologi, akibatnya mereka mengira bahwa post-positivism
adalah fenomenologi atau bahkan mereka tidak bisa membedakan antara
post-positivism dan fenomenologi. Konsekuensi dari ketidaktahuan ini
menyebabkan kalangan akademisi komunikasi mengira bahwa metode
quasi-qualitative sebagai salah satu metode dalam post-postivism adalah
kualitatif-phenomenology, padahal quasi-qualitative “belum kualitatif ”
sebagaimana kelompok fenomenologi melihat metode ini. Kondisi ini
disebabkan karena quasi-qualitatif masih dipengaruhi oleh cara-cara
berfikir positivism yang sangat kuantitatif.
Sementara itu di kalangan fenomenologi termasuk juga di kalangan
peneliti-peneliti komunikasi, melihat konteks sosial (komunikasi) sebagai
suatu phenomena komunikasi yang berdiri sendiri di luar keilmuan

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 53


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
komunikasi bahkan keilmuan sosial yang telah dibangun di masa lalu,
padahal konteks sosial ini bembangun pengetahuan komunikasi saat ini
dan masa depan.

Pembahasan
Ada berbagai macam format desain spesifik post-positivism yang
dikenal diperbagai desain metode riset yang digunakan dalam paradigma
ini. Pada umumnya desain-desain ini disesuaikan dengan model metode
riset yang digunakan. Namun pada kesempatan ini diperkenalkan dua
model desain umum post-positivism yang seringkali menjadi perdebatan
di kalangan akademik. Dua desain itu adalah:

1. Desain Sederhana
Desain sederhana ini memiliki 5 (lima) langkah utama yaitu:
1. Social context and research question
2. Literature review
3. Research methods and data collection
4. Data analysis

54 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
5. Reporting
Langkah-langkah di atas dijelaskan sebagai berikut:
a. Memilih konteks sosial dan membangun pertanyaan penelitian, yaitu
peneliti mengeksplor konteks sosial dan membangun pertanyaan
penelitian yang sesuai. Tahap ini sangat penting untuk keberhasilan
penelitian yang akan dilakukan.
b. Melakukan review literatur, yang mana pertanyaan penelitian sekitar
konteks sosial, dijawab berdasarkan literatur yang dieksplor.
c. Review literatur diteruskan dengan mengeksplor metode penelitian
yang akan digunakan sekaligus juga menggunakan metode penelitian
untuk mengoleksi data di lapangan. Data di lapangan dikoleksi
berdasarkan metode dan literature review yang ada.
d. Pada tahap ini pula, peneliti melakukan analisis data di lapangan dan
menggunakan teori sebagai pena analisis data.
e. Terakhir peneliti melaporkan hasil risetnya.
Pengaruh positivism terlihat ketika penelitian menggunakan teori
sebagai alat analisis data, serta menempatkan teori sebagai landasan
berfikir sejak awal penelitian ini berlangsung. Berdasarkan alur berfikir
post-postivism ini maka struktur laporan penelitian desain sederhana
adalah sebagai berikut:

PENDAHULUAN
a. Latar Belakang Masalah
b. Masalah Penelitian
c. Tujuan Penelitian
d. Kajian Pustaka
e. Metode Penelitian

PENYAJIAN DATA DAN PEMBAHASAN


a. Deskripsi Data Penelitian
b. Analisis Hasil Penelitian

PENUTUP
a. Kesimpulan
b. Saran

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 55


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
2. Desain Quasi-Qualitative

Desain quasi-qualitative terdiri dari 14 (empat belas) langkah yang


dimulai dari:
1. Searching the problem
2. Literature Review
3. Founding Gap
4. Constructing hypothesis
5. Planning data sources
6. Constructing data collection methods
7. Using a theoretical framework
8. Data Collection
9. Keep a diary, transcript, coding, themes, categorization and memos
10. Trying to find new sources of information
11. Trianggulation
12. Constructing Theory
13. Confirm theory
14. Construct new theory

56 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Langkah-langkah di atas dijelaskan sebagai berikut:
a. Searching the problem. Pada awal penelitian, peneliti mengeksplor
masalah penelitian yang dilakukan melalui diskusi, pengamatan
atau mendalami berbagai macam jurnal dan literatur. Tahap ini
penting untuk menentukan kelayakan suatu masalah diangkat
sebagai masalah penelitian atau diganti dengan masalah yang lain.
b. Literature review. Pada tahap kedua peneliti secara fakus dan
mendalam melakukan literature review terhadap masalah yang
telah ditentukan itu. Peneliti bisa saja membaca lagi literature yang
pernah bacanya atau literature lain yang baru sama sekali serta
mendalaminya sehingga ia masuk pada tahap ketiga.
c. Founding Gap, yaitu gap teoritik, gab empirik dan gap metodologik.
Menemukan gap-gap ini sangat penting untuk menentukan posisi
peneliti dalam sebuah riset secara global. Peneliti melakukan riset
di zaman ini bukanlah sebuah tindakan lokal yang hanya dilakukan
di dalam bilik kecil di kampusnya atau di laboratoriumnya, akan
tetapi tindakan kecil yang dikakukannya itu secara tidak langsung
berkolaborasi secara global dengan berbagai ilmuwan lainnya di
seluruh penjuru dunia yang memiliki hubungan peminatan dengan
konteks sosial yang dipilih atau konteks sosial di sekitarnya, sebagai
topik riset kali ini.
d. Constructing hypothesis. Me-review teori di samping menemukan gap,
juga penemuan gap itu sebagai dasar peneliti membangun hipotesis
penelitian, dimana hipotesis adalah landasan kerja penelitian ini, bahwa
peneliti dalam mengumpulan data selalu dituntun oleh hipotesis yang
dibangun sebelumnya. Perbedaan utama hipotesis dalam riset ini dan
riset kuantitatif yaitu hipotesis dalam riset kuantitatif harus diuji dengan
teori, namun hipotesis dalam riset quasi-qualitative digunakan dalam
pengumpulan data di lapangan.
e. Planning data sources. Hipotesis juga digunakan untuk
merencanakan sumberdata yang akan digunakan dalam mengoleksi
data. Perencanaan ini juga dapat merumuskan strategi koleksi data
yang sekiranya memudahkan peneliti di lapangan dan menghindari
kesulitan-kesulitan yang mungkin dihadapi.
f. Constructing data collection methods. Berdasarkan point di atas maka
dalam bagian ini peneliti dapat merencanakan data apa yang akan
diinginkan dan dengan menggunakan metode apa serta sumberdata

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 57


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
yang sekiranya dapat membantu mengungkapkan data tersebut.
g. Using theoretical framework. Koleksi data dilakukan dengan
menggunakan alat yang telah dikonstruk berdasarkan teori
yang digunakan. Dengan demikian maka di bagian ini peneliti
menggunakan teori sebagai pena analisisnya di lapangan. Pena
analisis ini memungkinkan ia kembangkan lagi dalam pengumpulan
data saat di lapangan disesuaikan dengan masalah yang berkembang
selama penelitian.
h. Data collection. Inilah saatnya peneliti membawa semua alatnya
termasuk juga dirinya sebagai instrument utama ke lapangan untuk
mengoleksi data. Saat ini adalah saat yang paling penting bagi peneliti
karena semua kekuatannya dikerahkan untuk menjawab semua
masalah penelitian termasuk juga ia melakukan analisis-analisis
di lapangan. Dalam proses data collection, peneliti menggunakan
trianggulasi data dalam pengumpulan data, agar data yang diperoleh
semakin akurat.
i. Keep a diary, trancript, coding, themes, categorization and memos.
Saat di lapangan peneliti juga membuat catatan harian, kemudian ia
membuat transkrip data, melakukan koding, membangun tema dan
kategorisasi serta membangun memos. Ini adalah proses ejakulasi
penelitian kualitatif yang juga dilakukan dalam quasi-qualitative.
Kegagalan diproses ini akan mengganggu seluruh proses berikutnya.
j. Trying to find new sources of information. Sebagai peneliti yang
menggunakan framework kualitatif, menemukan sumber-sember
informasi baru merupakan “jalan lurus” yang harus ditempuh.
Peneliti kualitatif tidak harus puas dengan apa yang telah dihasilkan
dalam pengumpulan data, namun terus mencoba mendapatkan
sumber-sumber informasi baru yang mungkin akan menghasilkan
informasi yang berbeda.
k. Trianggulation. Tidak cukup upaya menemukan sumber-sumber
informasi baru, peneliti juga melakukan trianggulasi untuk menguji
keabsahan data. Tidak cukup trianggulasi saat pengumpulan data,
namun hasil penelitian yang sudah dirumuskan dalam bentuk draf
laporan, ditrianggulasi dengan menggunakan trianggulasi sumber
data, atau trianggulasi teori, trianggulasi waktu, sehingga draf laporan
menjadi semakin dapat dipertanggungjawabkan oleh peneliti.
l. Constructing theory. Anti-klimak penelitian ini dengan membangun

58 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
teori baru oleh peneliti sebagai hasil dari temuannya sendiri dalam
penelitian ini. Sebagaimana penelitian kualitatif lainnya, dalam
quasi-qualitative, peneliti diminta membangun teori berdasarkan
temuan data di lapangan sebagai hasil karyanya selama penelitian,
sebelum melakukan konfirmasi teori.
m. Confirm theory. Pada tahap ini peneliti quasi-qualitative yang telah
menghasilkan teori baru, melakukan konfirmasi terhadap teori
yang digunakan di dalam penelitian ini, yaitu teori yang selama
ini menuntunnya dalam penelitian, dikritisi dan dibangun bagian-
bagian yang dapat menutup gab-gab yang ditemukan dalam literature
review di awal penelitian.
n. Construct new theory. Hasil konfirmasi teori dapat pula menyebabkan
peneliti merevisi teori (nya) yang telah dibangun, karena itu revisi
teori ini sekaligus digunakan untuk mengkonstruk teori baru yang
menjadi milik peneliti atau berperspektif peneliti. Di ujung proses
ini seorang peneliti diharuskan mempublikasi hasil-hasil temuannya
untuk dua hal; pertama sebagai publikasi temuan baru dalam ilmu
pengetahuan, dan kedua sebagai legitimasi terhadap temuan teori
baru itu sebagai miliknya.
Berdasarkan alur berfikir post-postivism ini maka struktur
laporan penelitian quasi-qualitative adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
1.2  Masalah Penelitian
1.3  Tujuan Penelitian

1.4  Manfaat Penelitian


BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
2.2 Teori yang digunakan
2.3 Critical Review

BAB III PROSEDUR PENELITIAN


3.1  Landasan Filosofi dan Pendekatan Penelitian
3.2  Objek dan Informan Penelitian
3.3  Metode Pengumpulan Data
3.4  Teknik Analisis Data

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 59


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
BAB IV, ....... Bab V, Bab VI ........(Sajian temuan penelitian, disesuaikan
dengan masalah penelitian, penelitian terdahulu, konfirmasi teori, dan
bahan temuan penelitian lainnya. Bab-bab disesuaikan dengan masalah
penelitian)

BAB VII TEMUAN, IMPLIKASI PENELITIAN DAN PROPOSISI


7.1  Temuan penting
7.2  Implikasi penelitian
7.3  Proposisi (bila perlu)

BAB VIII PENUTUP


8.1  Kesimpulan
8.2  Saran

Daftar Pustaka
Lampiran

Penutup
Paradigma post-positivism adalah kritik terhadap positivism, namun
metodologi yang diturunkan dari paradigma ini belum dapat dikatakan
sesungguhnya sebagai riset kualitatif, karena pengaruh positivism yang
kuat terhadap metode ini terutama perlakuan terhadap teori masih
bersifat deduktif. Ada dua sisi utama desain ini, yaitu sisi positivism yaitu
ketika penelitian dimulai dari sisi deduktif, menggunakan teori. Dari
sisi ini, maka desain ini benar-benar kuantitatif. Baru kemudian ketika
menganalisis data, desainnya berubah menjadi fenomenologi. Dimana
cara berfikir peneliti menjadi induktif. Itulah maka Creswell (2018)
menamakan desain ini sebagai combined research design.
Dua model desain ini dapat digunakan dalam studi-studi komunikasi
termasuk juga riset-riset pada media dan teknologi komunikasi. Dalam
literatur metodologi penelitian, karakter metode penelitian komunikasi
tergantung pada bagaimana riset itu dilakukan dan pada kajian apa
dilakukannya. Namun dua desain tersebut diatas dapat dilakukan
dimana-mana kajian komunikasi, karena sifatnya yang fleksibel dan
dapat dikembangkan berdasarkan teori yang digunakannya.
Riset-riset komunikasi dapat menggunakan model riset ini sejauh
penggunaan teori dan tujuan penelitian komunikasi searah dengan
post-positivism. Bidang-bidang komunikasi yang seringkali tidak terlalu

60 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
mendalam dalam mengungkapkan suatu phenomena, umumnya sangat
cocok dengan model riset ini, kecuali masalah penelitian komunikasi
yang ingin diungkapkan makna-makna personal atau kolektif, dan
menyangkut masalah-masalah “budaya dalam” dan kehidupan sosial
yang mendalam. Model paradigma ini dirasa kurang sesuai.
Di banyak studi jurnalis, model ini sangat cocok untuk menarasikan
kehidupan sumber informasi yang diungkapkan secara deskriptif.
Begitu pula pada riset-riset relasi publik, model paradigma ini sangat
sesuai, terutama pada riset-riset media yang memanfaatkan Big Data
dan sebagainya. Namun pada studi komunikasi interpersonal, bisa
jadi terlalu dipaksakan apabila menggunakan paradigma ini dalam hal
mengungkapkan pengalaman pribadi informan, terutama yang sifatnya
tersembunyi.
Namun apapun paradigmanya, apabila riset itu dilakukan secara
sungguh-sungguh maka hasilnya menjadi sangat luar biasa. Studi-
studi kasus yang berlandaskan pengalaman pribadi peneliti dalam
berkomunikasi dengan suku-suku terasing umpamanya, seringkali
memberi sajian informasi pengalaman berharga yang menakjubkan
kepada pembacanya.

Daftar Pustaka
Craswell, J.W. (2018). Research Design; Qualitative, Quantitative and
Mixed Methods Approaches. London: SagePublication
Crotty, M. (1998). The Foundations of Social Research: Meaning and
Perspective in the Research Process. London: SagePublication
Denzin, NK. dan Lincoln, YS. (2018). Sage handbook of Qualitative
Research, London: SagePublication
Bernard, HR. (2006). Research Methods in Antropology. Qualitative and
Quantitative Approaches. Toronto: Altamira
MTAN. (2018). Materi Trilogi Penelitian Sosial. Surabaya: MTAN
Tracy, SJ. (2013). Qualitative Research Methods. UK: Wiley Blackwell.
Taylor, SJ, Bogdan, R., and DeVault, ML. (2016) Qualitaive Research
Methods, UK: Wiley Blackwell
Taylor, PC., and Wallace, J. (2017). Qualitative Research in Postmodern
Times. Netherlands: Springer

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 61


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
62 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi
Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Big Data dan Riset Public Relations: Sebuah Diskusi

Dorien Kartikawangi
Program Studi Ilmu Komunikasi, Unika Atma Jaya, Jakarta, Indonesia
E- mail dorien.kartika@atmajaya.ac.id

Pendahuluan
Fenomena big data semakin meluas. Asosiasi Perusahaan PR
Indonesia (APPRI) menyatakan bahwa di India, beberapa perusahaan
menghilangkan jabatan CEO karena semua keputusan strategis bisa
diambil mesin pengolah data (Gumilar, 2018). Meski demikian, big data
belum terlalu dimanfaatkan dalam bidang Public Relations. Padahal,
semua data yang tersedia dapat menjadi dasar bagi PR untuk merancang
program komunikasi hingga implementasi dan evaluasinya. Dalam ranah
digital, segala sesuatu yang terkait perilaku manusia memang berubah
menjadi data, termasuk data demografi, kebiasaan, dan ekosistem
sosial. Karenanya, big data akan sangat bermanfaat jika data yang
disediakannya dipadupadankan, dianalisa dan menjadi suatu pola yang
dapat disimpulkan sehingga menjadi lebih bermakna. Sebagai contoh,
seseorang berusia 30 tahun memiliki teman-teman seusia pada karir
menengah di media sosial. Ia memasang status sedang mencari rumah.
Kemudian melalui cookies di laptop, tercatat bahwa yang bersangkutan
memiliki kebiasaan mencari informasi tentang rumah. Fasilitas visual
recognition di social media listening tool juga mampu menemukan
ekspresi positif di foto Instagram saat menemukan rumah yang sesuai.
Data tersebut, semuanya, meskipun belum big data, sudah dapat menjadi
dasar bagi Public Relations sebuah perusahaan pengembang untuk
merancang program komunikasi tentang strategi memilih rumah bagi
eksekutif muda pada jenjang karir menengah.
Public Relations, oleh Wright (1990) didefinisikan sebagai
“management function that identifies, establishes, and maintains mutually
beneficial relationships between organisation and the various publics on
which its success or failure depends.” Dalam membangun relasi dengan
seluruh pemangku kepentingan, Public Relations memiliki tujuan
untuk memastikan bahwa pesan yang disampaikan pada pemangku
kepentingan yang dituju sesuai dengan yang diharapkan. Disamping

Public Relations dan Periklanan | 63


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
itu dalam program komunikasi yang dirancang dan dilaksanakan perlu
dievaluasi untuk melihat tingkat keberhasilan program tersebut, baik
secara kognisi, afeksi maupun perilaku. Lebih lanjut, Public Relations
juga untuk memprediksikan apa yang mungkin terjadi ke depan terkait
perilaku pemangku kepentingan dan dampaknya bagi perusahaan.
Sementara itu, data sebenarnya bukan sesuatu yang baru, tetapi ledakan
informasi yang tersedia sejak awal era digital telah mengubah cara
menggunakannya. Komputer, khususnya yang berbasis cloud, spreadsheets
dan databases, telah memungkinkan untuk dilakukanya penyimpanan
informasi baik dalam skala maupun dengan akses yang sangat besar.
Hampir setiap aktivitas yang dilakukan secara digital meninggalkan
jejak, yang kemudian dapat dikumpulkan ke dalam sejumlah ragkaian
data. Big data didefinisikan sebagai “the large volume of data, both
structured and unstructured, that inundates businesses on a daily basis”
(Peterson, 2018). Namun demikian, sebenarnya bukan jumlah data yang
besar yang penting, melainkan bagaimana data tersebut digunakan untuk
memberikan nilai tambah. Lebih lanjut konsultan IT, Gartner https://
www.gartner.com/en/about mendefinisikan big data sebagai “data that
contains greater variety arriving in increasing volumes and with ever-higher
velocity.” Definisi ini menunjukkan kualifikasi big data dengan “Three
V’s:” Volume, Velocity and Variety. Dengan demikian secara sederhana
dapat dikatakan bahwa big data adalah sejumlah data yang besar, banyak
dan rumit yang terdapat dalam berbagai sumber digital.
Tulisan ini menyajikan diskusi tentang big data dan riset Public
Relations yang menggabungkan dua perspektif, praktis dan teoritis,
dengan tujuan memberikan gambaran perkembangan riset Public
Relations yang dapat digunakan dalam pengembangan pendidikan, riset
maupun praktik Public Relations.

Pembahasan
Big data: sebuah dilemma?
Big data merupakan tren yang signifikan saat ini, dimana
masyarakat memiliki banyak sekali informasi yang dapat diperolehnya
dengan sangat mudah melalui internet. Peterson (2018) mencatat bahwa
kajian terkait dengan hal ini menyimpulkan lebih dari 90% data yang
disajikan merupakan data yang dibuat dalam rentang waktu dua tahun
sebelumnya. Artinya, dengan rentang tersebut, data sangat sesuai ketika

64 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
digunakan oleh berbagai perusahaan untuk dianalisa dan dijadikan
landasan pengambilan kebijakan bisnis. Data yang terekam secara digital
tidak terhitung jumlahnya. Nilainya pun sangat tinggi. Sementara itu,
seiring dengan perkembangan big data, kemajuan teknologi kecerdasan
buatan atau Artificial Intelligence (AI) untuk mengolah, membaca dan
menyajikan data melengkapinya. Mesin pintar ini untuk dapat melakukan
proses tersebut telah melalui latihan membaca pola yang diajarkan oleh
manusia. Data berlimpah yang sangat bernilai serta teknologi yang
memungkinkan ini membuat siapapun mulai menggunakan big data.
Namun demikian, kemampuan membaca data masih menjadi masalah,
apalagi mengajarkan pada mesin AI. Hal tersebut disebabkan karena data
mentah yang belum diberi konteks sebenarnya hanya simbol di komputer.
Dalam konteks Public Relations, Gumilar (2018), Founder, KayuApi
Digital Reputation dan GM Content & Engagement, SAC, mengatakan
bahwa “Mereka yang akrab dengan teknologi, biasanya praktisi
Teknologi Informasi (TI). Sementara mereka yang terbiasa menyusun
klasifikasi data, biasanya mereka yang jago Microsoft Excel. Tapi mereka
yang mengerti konteks, yang tahu bagaimana seharusnya data tersebut
dianalisa menjadi insight bagi aktivitas kehumasan, adalah Praktisi PR.”
Dunia Public Relations merupakan salah satu yang menggunakan big
data sebagai keunggulan. Meskipun Public Relations dipahami sebagai
ranah kreatif, tetapi sebenarnya didukung oleh riset yang kuat sebagai
tulang punggung.
Penggunaan data menjadi sangat penting karena kemampuannya
untuk meningkatkan kinerja program komunikasi dan memberikan
nilai yang lebih besar kepada pemangku kepentingan perusahaan.
Dengan demikian Public Relations membutuhkan sumber daya manusia
polymath, yaitu yang memiliki keahlian lebih dari satu. Sumber daya
manusia yang dapat membaca data, yang berarti memiliki keahlian
mengelola berbagai alat pencari dan pengumpul data digital, memiliki
kapabilitas untuk melakukan pengelompokan (clustering) yang tepat, dan
kemudian membacanya serta menganalisisnya secara kontekstual

Big data dan riset Public Relations


Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kegunaan big data
tidak semata-mata terkait jumlah data yang dimiliki, belainkan apa
yang dapat digunakan dari data tersebut untuk keberlanjutan bisnis.
Dengan menggunakan big data, informasi dari berbagai sumber yang

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 65


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
berbeda dapat dianalisa untuk keperluan pengambilan keputusan
yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan. Pengambilan keputusan ini
memungkinkan perusahaan mengantisipasi kebutuhan, melakukan
mitigasi resiko, menyediakan produk dan jasa yang relevan, serta
meningkatkan relasi positif dengan segenap pemangku kepentingan.
Dari awal hingga akhir dalam proses pengambilan keputusan, big data
membantu memberikan kepastian bahwa keputusan yang diambil adalah
berdasarkan data yang lengkap dan memadai. Big data dalam konteks
ini dapat mentransformasikan bagaimana pengambil kebijakan melihat
masalah-masalah bisnis dan membangun pola pendekatannya. Dengan
demikian, keuntungan menggunakan big data adalah memungkinkannya
melakukan analisis informasi secara lebih efisien, serta dalam waktu yang
lebih cepat. Tidak hanya untuk keperluan reaktif, namun juga untuk
keputusan yang bersifat proaktif dalam menghadapi perubahan.

Bagaimana Big Data digunakan dalam PR?


Big data sangat dibutuhan untuk strategi Public Relations karena
mengukur dan memonitor data yang sangat besar untuk dapat digunakan
dalam berkomunikasi secara efektif dengan pemangku kepentingan. Tetapi,
mengelola sejumlah informasi bukan hal yang mudah bagi bisnis dalam skala
manapun. Dengan demikian tanpa pengetahuan yang memadai tentang big
data dan bagaimana menggunakannya akan memunculkan banyak orang
bermasalah dengan informasi yang berlebihan (information overload). Dalam
konteks ini, terkait pengembangan strategi dan taktik Public Relations dapat
membantu menciptakan inisiatif yang bernilai, Dengan mengombinasikan
kemampuan mengelola big data dan social listening, seorang Public Relations
dapat memeroleh informasi yang lebih banyak tentang sentimen dari
komunitas ceruk yang dibutuhkan, misalnya, yang mungkin sulit dilakukan
dengan riset formal dengan aturan metode penelitian yang ketat. Dari hasil
analisis ini dapat disusun materi kampanya Public Relations yang paling
tepat dengan masyarakat atau kelompok yang menjadi sasaran. Disamping
itu, penggunaan big data dan social listening dapat mengurangi tekanan
negatif yang kemungkinan diterima. Lingkup sumber yang luas membuat
informasi dapat diperoleh dalam rangka menangkap publisitas negatif yang
berkembang dan menjadi trending dalam lingkaran informasi digital. Sebagai
contoh, Mentionlytics (2017) melaporkan bahwa lebih dari 30% krisis
mengglobal dalam waktu kurang dari satu jam. Informasi real-time yang
disediakan oleh big data memungkinkan Public Relations untuk merespon
dengan cepat dan efektif pada berbagai tekanan yang mungkin muncul,

66 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
termasuk sentimen. Public Relations sudah didukung oleh komunikasi sosial,
mobile dan online yang semuanya memberikan data yang sangat bermanfaat,
Menyimpan informasi yang bermanfaat dari berbagai outlet tersebut
membantu memahami perilaku dibalik konten mereka. Melalui big data,
Public Relations dapat beradaptasi dengan perubahan yang terus menerus
dan menggunakannya untuk menjaga keberlangsungan bisnis.

Bagaimana dengan riset akademik?


Selain melalui analisis big data, riset Public Relations secara
akademik telah lama berkembang dengan menggunakan berbagai
metode penelitian. Metode kuantitatif dan kualitatif digunakan secara
terpisah maupun bersamaan sebagai metode penelitian campuran dalam
riset Public Relatons. Penelusuran pada sejarah, perkembangan riset
Public Relations dimulai pada tahun 1950an. Meski demikian, debat
terkait konsensus cara mengukur dan mengevaluasi yang tepat belum
dapat dicapai (Michaelson and Stacks, 2011). Profesional Public Relations
sampai saat ini masih menghitung luaran program komunikasinya dengan
menggunakan advertising value equivalent (AVE) seperti yang dinyatakan
Wynne (2019). Sementara Likely dan Watson (2013) dalam tulisannya
mengatakan bahwa “Although the academic approach to measurement
and evaluation has mostly favoured social science methodologies, there
has been persistent and widespread use of advertising value equivalence
(AVE) by practitioners is to express the financial value of public relations
activity. The value is often boosted by multipliers which can be range from
2.5 to 8.0…The utility of AVE is that it is simple to calculate and suits the
reporting demands of financially-driven managers and clients.” Meskipun
banyak professional yang menggunakan AVE, sebenarnya pengukuran
Public Relations telah berkembang dari tahun ke tahun, dari yang paling
sederhana tetapi bermanfaat, hingga penghitungan media mentions yang
canggih dan akurat. Sebagai contoh, pengukuran yang digunakan oleh
Canadian MRP dan mediaQuant system dari yang paling sederhana
sampai yang paling rumit berturut-turut (Wynne, 2019):
1. Counting mentions
2. Counting quotes and full stories
3. Counting quotes and full stories dengan perbandingan antar tahun
4. Advertising value equivalency (AVE),
5. AVE berganda

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 67


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
6. Barcelona principles dengan 7 panduan tetapi tanpa metrik yang
spesifik
7. Canadian MRP yang menggunakan AVE ditambah dengan
tone, reach, serta metrik lainnya dengan skore 1-100
8. MedianQuant yang menggunakan AVE ditambah tone, reach,
adjectives, serta metrik lainnya dengan skor 1-100 ditambah
sentiment positif, negatif dan netral
Sementara itu Michaelson and Stacks (2007) menjelaskan adanya
hubungan yang sangat kuat antara riset dan praktik Public Relations.
Khususnya hubungan antara evaluasi, pengukuran dan keberhasilan
praktiknya. Michaelson and Stacks (2010) juga menekankan bahwa
praktik Public Relations dalam melakukan riset membutuhkan hal-hal
berikut ini:
1. Clear and well-define research objectives
2. Rigorous research design
3. Detailed supporting documentation
Selanjutnya adalah terkait dengan hasil penelitian, apakah hasil tersebut
seperti yang diharapkan, yaitu:
1. Demonstrate effectiveness
2. Link outputs (tactics) to outcomes
3. Demonstrate cost effectiveness
4. Applicable to a broad range of activities
Berdasarkan persayaratan riset, kesesuaian hasil dengan harapan dan
keterkaitan antara riset dan praktik Public Relations diperlukan standar
penelitian yang lazim digunakan oleh para peneliti dan akademisi. Stacks
(2016) menyatakan bahwa standar riset sangat penting karena standar
berhubungan dengan profesionalitas, menunjukkan apa yang diteliti
dan bagaimana melakukannya, serta menyediakan satu-satunya cara
evaluasi komparasi yang efektif dan efisien terkait program komunikasi
dalam mencapai tujuannya. Standar ini mencakup ethical standard,
measurement standard dan evaluation standard (Michaelson and Stacks,
2010).
Bagaimana riset akademis ini memandang big data? Dari
penelusuran pada berbagai sumber, bagi peneliti dan akademisi big data
merupakan bagian dari sumber data sekunder. Sebagaimana diketahui,
dalam penelitian terdapat teknik perolehan data (data mining) dimana

68 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
data primer merupakan data yang diperoleh dari sumber langsung dan
data sekunder yang diperoleh dari sumber yang tidak langsung. Big data
tersedia secara massif di ranah digital (e-resources), peneliti mengambil,
mengelompokkan, memadupadankan, kemudian menganalisa dan
memberi makna. Proses tersebut dalam penelitian disebut sebagai proses
perolehan, pengolahan dan analisis data.

Penutup
Ketika memahami bahwa riset formal sangat diperlukan dan diyakini
dapat digunakan untuk berbagai keperluan akademis maupun praktis,
maka persyaratan untuk dapat dilakukan sesuai kaidah penelitian yang
baku wajib dipenuhi. Dalam proses penelitian yang memerlukan teknik
perolehan data, peneliti dapat memeroleh data primer melalui berbagai
teknik, seperti wawancara, analisis isi, observasi dan focus group discussion
dalam penelitian kualitatif, maupun survei, eksperiman dan analisis isi
dalam penelitian kuantitatif. Selain data primer, peneliti memerlukan data
sekunder yang berupa dokumen, foto, penelitian terdahulu dan berkas
lainnya. Di era digital dan berkembangnya ketersediaan data yang sangat
besar atau big data, menjadi hal yang menguntungkan bagi peneliti untuk
memeroleh kelengkapan data melalui e-resources. Perlu menjadi perhatian
dalam konteks ini bahwa big data membutuhkan alat bantu yang memadai
untuk mengolah dan menganalisanya. Juga, pentingnya standar yang harus
ditetapkan agar hasil penelitian memeiliki kualitas dan kredibilitas yang baik.
Dengan demikian semuanya kembali kepada kemampuan peneliti Public
Relations untuk merancang, melakukan dan melaporkan penelitiannya.
Peneliti Public Relations dituntut untuk mengikuti perkembangan berbagai
metode perolehan dan analisa data, serta mampu menggunakannya.

Daftar Pustaka
Gartner. https://www.gartner.com diakses pada Januari 2019
Gumilar, Arya (2018), Public Relations antara data dan tiada http://appri.
org/2018/06/02/public-relations-antara-data-dan-tiada/ diakses
pada Januari 2019
Kopanakis, John (2017) How can PR Agencies benefit from social
listening and big data analytic https://www.mentionlytics.com/
blog/how-can-pr-agencies-benefit-from-social-listening-and-big-
data-analytics/, diakses pada Januari 2019

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 69


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Likely, Fraser and T. Watson. 2013. Measuring the Edifice: Public
Relations Measurement and Evaluation Practices Over the Course
of 40 Years, in Public Relations and Communication Management,
Current Trends and Emerging Topics, Abingdon: Taylor & Francis
Michaelson, D. and D.W. Stacks. 2011. “Standardization in Public
Relations Measurement and Evaluation”, Public Relations Journal
Vol. 5, No. 2, h. 1-25
Michaelson, D. and D.W. Stacks. 2007. Exploring the Competitive
Communication Effectiveness of Advertising and Public Relations:
An Experimental Study of Initial Branding Advantage. Gainesville,
FL: Institute for Public Relations, diambil dari www.instituteforpr.
org/topics/advertising-media-placment-effectiveness diakses pada
Januari 2019
Peterson, Amanda. 2018. The Big Deal about Big Data and Public Relations
http://prime-research.com/en/2018/09/big-deal-big-data-pr/
diakses pada Januari 2019
Stacks, D.W. 2016 Understanding Standartds and Practice is Social Media
Research and Evaluation. Proceedings of the 1st Annual Conference
of the Public Relations Society of China/9th International Forum
of Public Relations on Public Relations and Advertising, hal VIII-
XXIV
Stacks, D.W. and D. Michaelson. 2010. A Professional and Practitioner’s
Guide to Public Relations Research, Measurement, and Evaluation,
3rd Ed., New York: Business Expert Press
Wright, D.W. 1990. Presentation Made to the Jaksonville Chamber of
Comerce.
Wynne, Robert. 2019. Straight Talk About Public Relations Revised and
Updated. Virginia: Maven House Press

70 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Kajian Sitasi sebagai Literasi Informasi Rujukan
pada Penelitian Mahasiswa Program Studi Ilmu
Komunikasi Universitas Dian Nuswantoro

Heni Indrayani, Swita Amalia Hapsari,


Hanif Wahyu Cahyaningtyas, dan Rifqi Hindami
Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Dian Nuswantoro
e-mail: heni.indrayani@dsn.dinus.ac.id; swita.amallia.hapsari@dsn.dinus.ac.id;
haniftyas70@gmail.com; rifqihindami@gmail.com

Pendahuluan
Komunikasi menjadi dasar kehidupan manusia. Secara definitif,
komunikasi adalah proses relasional membuat dan menafsirkan pesan
yang mendapat respons (Griffin, 2012: 6). Setiap individu berkomunikasi
dengan cara berinteraksi setiap harinya. Informasi menjadi dasar penting
dalam bertukar pesan yang disampaikan. Informasi ini juga yang menjadi
bahan interaksi yang digunakan oleh peneliti untuk dapat berkomunikasi
dengan sesama peneliti lainnya secara akademis, organisasi atau
perusahaan secara praktis maupun masyarakat secara sosial melalui
karya ilmiah.
Komunikasi ilmiah dengan berbagi ilmu pengetahuan menjadi cara
mahasiswa sebagai peneliti memberikan gagasan dan ide untuk kebaruan
penelitian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lacy dan Bush (1983) dalam
Ambarani (2009: 2) yaitu tentang ilmu pengetahuan dan komunikasi tidak
bisa dipisahkan namun menjadi satu kesatuan, mulai dari menciptakan
hingga menyebarluaskan hasil penelitian dari individu satu ke individu
lainnya. Upaya bertukar informasi ilmiah inilah yang menjadi bagian
dari komunikasi. Disinilah mahasiswa mencoba berkomunikasi secara
ilmiah melalui informasi yang dituliskannya dalam tugas akhir dalam
bentuk Skripsi.
Skripsi menjadi prasyarat mahasiswa dalam kelulusannya. Mahasiswa
mencoba mengungkap fenomena ataupun realitas yang ada di masyarakat
ke dalam tulisan yang sistematis melalui proses penelitian. Mahasiswa
harus mampu menyampaikan pengetahuan, gagasan dan idenya secara
ilmiah. Mahasiswa yang melek informasi, secara individu menggunakan

Public Relations dan Periklanan | 71


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
informasi yang efektif dan akurat untuk tujuan penelitiannya. Mahasiswa
dalam mengerjakan skripsi haruslah menjaga kualitasnya. Kualitas karya
ilmiah dan urgensinya tersebut dapat dilihat dari evaluasi program riset,
pemetaan ilmu pengetahuan, visualisasi berbagai disiplin ilmu, indikator
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan pengembangan
hasil karya ilmiah (Hartinah 2002, 2 dalam Erwina dan Yulianti, 2012:141)
Dalam menjaga kualitas tugas akhirnya, mahasiswa memiliki
kemampuan sitasi sebagai literasi informasinya. Kemampuan sitasi
mahasiswa membuat dirinya menggunakan informasi secara etis
dan legal, terutama dalam membuat penelitian akhir (Bruce, 2003).
Kemampuan ini juga menjadi hal wajib yang dimiliki mahasiswa Program
Studi Ilmu Komunikasi Universitas Dian Nuswantoro. Literasi informasi
dilakukan untuk mengetahui sumber rujukan yang kredibel. Mahasiswa
mengidentifikasi kemampuan sitasi dalam menggunakan rujukan dalam
proses penelitiannya. Rujukan ilmiah yang tepat disesuaikan dengan
kajian ilmu terutama terkait dengan komunikasi bisnis dan broadcasting,
karena kedua hal inilah yang menjadi kajian utama di program studi.
Sejalan dengan visi program studi Ilmu Komunikasi yaitu menjadi
Program Studi pilihan utama di bidang komunikasi dengan keunggulan
penguasaaan kompetensi komunikasi berbasis teknologi informasi dan
creativepreneurship.
Di dalam melakukan penelitian, tulisan ilmiah mahasiswa dilakukan
dengan literasi informasi. Hal ini sesuai dengan misi program studi
Ilmu Komunikasi yaitu menyelenggarakan proses pendidikan unggulan
di bidang komunikasi, dengan penguasaan keilmuan, serta keahlian
komunikasi yang berbasis teknologi informasi Literasi informasi
adalah kemampuan untuk mengakses, mengevaluasi dan mengatur dan
menggunakan informasi untuk belajar, menyelesaikan masalah, membuat
keputusan dalam konteks pembelajaran formal (Bruce, 2003). Oleh
karena itu, peneliti tertarik untuk menganalisis Sitasi Skripsi Mahasiswa
di Lingkungan Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Dian
Nuswantoro. Identifikasi masalah dilihat dari bagaimana karakteristik
karya ilmiah yang disitir pada Skripsi mahasiswa, tahun literatur yang
dipakai, dan bagaimana perkembangan kajian ilmu yang digunakan
dalam Skripsi mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas
Dian Nuswantoro.

72 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Pembahasan
Penelitian mengenai Kajian Sitasi Sebagai Literasi Informasi
Rujukan Pada Penelitian Mahasiswa menggunakan metode penelitian
dengan pendekatan deskriptif kuantitatif. Penelitian dilakukan dengan
menganalisis 57 skripsi mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi
Universitas Dian Nuswantoro yang telah layak dipublikasikan. Desain
penelitian menggunakan bibliometrika evaluatif, yaitu dengan
menghitung penggunaan literatur dan sitiran (Lasa: 2006). Penelitian
dilakukan pada hasil tugas akhir berupa skripsi dari mahasiswa Program
Studi Ilmu Komunikasi sebagai syarat kelulusan jenjang sarjana. Objek
penelitian adalah skripsi mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi
yang telah lulus dari Agustus 2017 hingga Mei 2019. Analisis data
menggunakan prosedur bibliometrika yang mengkuantifikasi dokumen
berdasarkan analisis sitiran. Berikut adalah hasil penelitiannya :

a. Literasi Informasi
Mahasiswa memiliki sudut pandang yang berbeda-beda dalam
membangun pemikiran dalam tulisan ilmiahnya. Oleh karena itu,
mahasiswa memiliki cara yang beragam dalam mencari dan menggunakan
informasi (Bruce, 2003). Di dalam literasi informasi terdapat beberapa
hal penting, diantaranya adalah pengalaman menggunakan teknologi
informasi, sumber informasi, proses informasi, relevansi informasi,
membangun pengalaman, membangun pengetahuan, nilai informasi.
Oleh karena itu, literasi informasi dibutuhkan untuk dapat mengakses
rujukan secara efektif dan efisien. Berdasarkan olah data penelitian
didapatkan bahwa sebagian besar mahasiswa di Program Studi Ilmu
Komunikasi membangun kompetensi melalui penelitiannya dengan
topik konten digital dan komunikasi pemasaran. Hal ini didasari dari
peminatan di Program Studi, yaitu Broadcasting dan Komunikasi Bisnis.
Tabel 1.
Sebaran Data Topik Skripsi

No Topik Skripsi Jumlah Persentase


1 Branding dan Media Promosi 6 10.53 %
2 Konten digital 12 21.05 %
3 Digital culture 5 8.77 %
4 Efek media 2 3.51 %
5 Komunikasi interpersonal 4 7.02 %

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 73


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
No Topik Skripsi Jumlah Persentase
6 Literasi digital 1 1.75 %
7 Marketing communication 9 15.79 %
8 Media Penyiaran Radio dan TV 5 8.77 %
9 Psikologi komunikasi 1 1.75 %
10 Public Relations 5 8.77 %
11 Regulasi dan Media Penyiaran 1 1.75 %
12 Visual content advertising 6 10.53 %
Total 57 100%

Berdasarkan tabel 1, topik konten digital mendominasi dari skripsi


yang dilakukan mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas
Dian Nuswantoro. Beberapa judul skripsi yang masuk dalam kategori
konten digital antara lain : “ Representasi Identitas Comfort Women dalam
Film Korea I Can Speak,” “Hubungan antara Motif Pengguna Internet Pada
Situs AllKpop.com dan Tingkat Kepuasan Mahasiswa Ilmu Komunikasi
Universitas Dian Nuswantoro,” dan “ Rekonstruksi Dokumenter Dugderan,
Montage of Living Culture Dengan Pendekatan Komunikasi Visual
Bagi Disabilitas Pendengaran,”. Diikuti dengan topik kajian marketing
communication dari 9 judul skripsi dengan nilai 15.79%. Dengan judul
skripsinya antara lain : “ Pemanfaatan Fenomena Artis Nyaleg Sebagai
Strategi Komunikasi Pemasaran Pertunjukan Stand Up Comedy Special
Pragiwaksono World Tour,” “ Hubungan Terpaan Promosi Produk Loop
Telkomsel dengan Minat Menggunakan Operator Seluler Telkomsel,” dan
“ Penerapan Strategi Komunikasi Pemasaran Coffe Shop Melalui Media
Sosial Instagram Pada Akun @Kofinary”.
Sementara hasil kajian mengenai branding dan media promosi serta
visual content advertising mendapatkan persentase 10.53%. Dengan
beberapa judul skripsi antara lain : “Analisis Strategi Personal Branding
KIFLYF TV Melalui Youtube,” dan “Wayang Sothil Sebagai Media
Komunikasi Seni untuk Menarik Minat Milenial dalam Menggunakan
Hak Suara. Beberapa kajian komunikasi lainnya yang jadi pilihan skripsi
mahasiswa di Ilmu Komunikasi Universitas Dian Nuswantoro seperti
media penyiaran radio dan tv, public relations, digital culture. Secara
umum literasi informasi yaitu paham akan penggunaan informasi.
Penggunaan literasi informasi pertama kali disampikan oleh Paul G
Zurkowski . Sementara menurut Verzosa pada tahun 2009, literasi dapat
diartikan bahwa sebuah keahlian dalam mengakses dan mengevaluasi

74 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
informasi secara efektif untuk memecahkan masalah dan membuat
keputusan (Doyle dalam Apriyani, 2006:11). Dalam hal ini, mahasiswa
Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Dian Nuswantoro masih
menjadikan referensi cetak sebagai sumber informasinya. Hal ini terlihat
dari total 1512 pustaka yang dipakai, 69.78% berasal dari cetak. Sedangkan
sisanya, yaitu 30.22% dalam bentuk elektronik atau digital. Cetak masih
dianggap sebagai sumber yang akurat dan lengkap merupakan dasar
dalam membuat suatu keputusan yang benar.
Selain dari bentuk referensi, peneliti juga mengidentifikasi bahasa
yang digunakan dalam membuat Skripsi. Hasilnya menunjukkan bahwa
90.01% mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi menggunakan
referensi berbahasa Indonesia sebagai bahasa pustakanya. Sisanya
menggunakan bahasa inggris yaitu sebesar 9.99%. Bahasa indonesia
digunakan mahasiswa karena lebih mudah dimengerti untuk memenuhi
kebutuhan informasi sehingga strategi pencarian yang tepat yang
sesuai dengan kebutuhan. Informasi berbahasa Indonesia lebih mudah
menstimulasi berpikir kritis dan digunakan sebagai rujukan untuk
menyelesaikan permasalah dalam Skripsi.
Menurut Doyle (Apriyani, 2006:11), literasi informasi dapat dengan
cara mengintegrasikan informasi yang baru didapat dengan pengetahuan
lama yang telah dimilikinya. Identifikasi ini didapat dari usia pustaka
yang digunakan sebagai sumber literasi. Jika dilihat dari usia pustaka yang
digunakan mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi yang menyusun
skripsi menggunakan sumber pustaka dengan usia pustaka lebih dari 10
tahun dengan persentase 35.71%. Sedangkan rujukan pustaka di bawah 5
tahun sebanyak 32.14%. Kemudian sumber pustaka yang memiliki usia 6
hingga 10 tahun sebanyak 29.56%. Sedangkan 2.59% tidak mencatumkan
usia pustaka di daftar pustakanya. Dari hasil ini menunjukkan bahwa
pemanfaatan sumber pustaka dengan usia di bawah 5 tahun belum
optimal.

b. Sitasi Penelitian sebagai Komunikasi Ilmiah


Komunikasi (Stacks, 1991:10) adalah proses simbolis dimana
manusia saling berinteraksi untuk bertukar persepsi dan saling
membangun pengetahuan bersama yang awalnya diketahui maupun yang
belum diketahui untuk mengambil tindakan di masa depan. Berdasarkan
pengertian ini ada tiga cara pandang yaitu adalah teori mengenai
pengetahuan, teori tindakan, dan teori perilaku. Hal ini menunjukkan

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 75


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
bahwa komunikasi adalah bagaimana kita memiliki pengetahuan
terhadap suatu realitas, bagaimana kita mempersuasinya dan bagaimana
kita mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu.
Griffin menyatakan komunikasi adalah proses yang berhubungan
dari mengkreasikan dan menginterpretasikan pesan yang menimbulkan
respon. Sedangkan Robert Craig memberikan definisi komunikasi
melibatkan bicara dan mendengarkan, menulis dan membaca,
menampilkan dan menonton atau secara umum melakukan apapun
yang didalamnya ada pesan dalam medium atau situasi apapun (Griffin,
2012: 6). Dari semua pengertian ahli di atas terdapat beberapa elemen
komunikasi (West, 2007) yaitu komunikator (sender), pesan (message),
fungsi pengiriman (encoding), media/saluran (channel), fungsi
penerimaan (decoding), komunikan (receiver), response, dan umpan balik
(feedback). Berdasarkan pemahaman komunikasi inilah peneliti (sender)
menjadikan sitasi sebagai cara (proses encoding-decoding) menyampaikan
topik penelitian (pesan) kepada pembaca penelitian (receiver).
Sitasi mengarah pada asal usul atau sumber suatu kutipan, mengutip
pernyataan atau menyalin/ mengulang pernyataan sesorang serta
mencantumkannya dalam suatu karya yang telah dibuat dengan tetap
mengindikasikan bahwa kutipan tersebut adalah pernyataan sumber yang
diambil. (Sophia S.dalam http://fia.ub.ac.id/katalog/diakses pada 17 April
2019). Dalam melakukan sitasi, peneliti melakukan komunikasi ilmiah
melalui sumber pustakanya. Komunikasi ilmiah tercipta dari adanya
saling bertukar pengetahuan dari peneliti. Peneliti sebagai komunikator
berupaya untuk menyampaikan gagasannya sebagai pesan dengan media
berupa tulisan kepada pembacanya sebagai komunikan yang kemudian
memiliki dampak secara akademis, praktis maupun sosial. Ketika peneliti
memiliki ide dan gagasan baru dari hasil bacaannya menjadi pengetahuan
yang kemudian berkomunikasi melalui tulisan ilmiah. Hal ini yang disebut
dengan komunikasi ilmiah formal, dimana dalam komunikasi ilmiah formal
buku memegang peran penting karena buku adalah media pertama dalam
mengkomunikasikan pengetahuan yang dimiliki peneliti (A. I. Mikhailov,
A.I. Chernyi dan R.S. Giliarevski (1984) dalam Ambarani (2009: 10).
Merujuk pada tabel 1 mengenai sebaran topik penelitian, sebagian
besar mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Dian
Nuswantoro meneliti tentang konten digital dan marketing communication.
Untuk membahas topik-topik tersebut, mahasiswa menggunakan
pustaka mengenai metodologi penelitian. Sebanyak 14.13% buku, jurnal

76 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
dan sumber lainnya adalah metodologi penelitian. Kemudian, sumber
pustaka terbanyak kedua merujuk pada sumber pustaka mengenai
komunikasi pemasaran dengan persentase 10.31%. Sementara sebagai
rujukan dalam penelitian teori komunikasi juga menjadi sumber pustaka
terbanyak ketiga yang dipilih yaitu dengan persentase 10.17%. Sumber
sitasi lainnya adalah sebagai berikut : konten digital (9.97%), psikologi
komunikasi (7.92%), media penyiaran radio dan tv (6,42%), pengantar
ilmu komunikasi (6.08%), statistika (5.32%), new media (4.98%), public
relations (3.82%), sosiologi komunikasi (3.55%), teori ekonomi (3.42%),
advertising (3,35%), digital culture (2.80%), komunikasi budaya (2.59%),
komunikasi interpersonal (2.32%), event management (1.37%), kebijakan
media dan branding&media promosi (1.09%), sejarah (0.34%) dan
komunikasi pariwisata (0.20%).
Dari sitasi penelitian yang digunakan tersebut, mahasiswa sebagai
peneliti mencoba mengkomunikasikan topik-topik penelitian berdasarkan
kesesuaian metodologi, kajian ilmu komunikasi, dan kajian terapan ilmu.
Sumber pustaka inilah yang menjadi bahan untuk mengembangkan
ide penelitian sebagai bentuk komunikasi ilmiah formal. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Weinstock (1971:19), manfaat melakukan sitasi
terhadap karya sebelumnya yaitu antara lain memberikan penghargaan
atas karya terdahulu, dapat dilakukan identifikasi metodologi, angka dan
lain-lain, sebagai bahan latarbelakang, mengoreksi karya, mendukung
atau menolak klaim sebelumnya, mengidentifikasi publikasi asli tempat
sebuah ide atau gagasan dan lain-lain.
Kemudian Lacy dan Bush (Ambarani, 2009: 11), membagi bentuk
komunikasi ilmiah formal diantaranya adalah artikel jurnal, buku, laporan,
buletin, makalah, prosiding. Sebagai referensi dalam penelitian, mahasiswa
Program Studi Ilmu Komunikasi menggunakan buku untuk mengutip teori
dan konsep sebagai sumber informasi. Sebanyak 64.55% dari 976 pustaka
yang dibuat oleh mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi. Selain
mendapatkan kutipan dari buku, sumber informasi seperti website masih
menjadi referensi kutipan dengan persentase sebesar 21.16%. Mahasiswa
Program Studi Ilmu Komunikasi yang memilih website sebagai jenis sumber
informasi untuk kutipan berjumlah 320 pustaka. Pilihan bentuk sumber
informasi berupa jurnal menduduki peringkat ketiga untuk mengutip
dengan persentase 9.30% dan dilakukan oleh sebanyak 140 mahasiswa
Program Studi Ilmu Komunikasi. Jenis sumber data sebagai pengutipan juga
berasal dari skripsi, laporan, tesis hingga kamus.

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 77


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Penutup
Perkembangan ilmu pengetahuan dalam kajian Ilmu Komunikasi dapat
dilihat dari kajian sitasi sebagai literasi informasi. Di dalam literasi informasi
terdapat beberapa hal penting, diantaranya adalah pengalaman menggunakan
teknologi informasi, sumber informasi, proses informasi, relevansi informasi,
membangun pengalaman, membangun pengetahuan, nilai informasi.
Penelitian mengenai Kajian Sitasi Sebagai Literasi Informasi Rujukan Pada
Penelitian Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Dian
Nuswantoro menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa di Program
Studi Ilmu Komunikasi membangun kompetensi melalui penelitiannya
dengan topik konten digital dan komunikasi pemasaran.
Karakteristik karya ilmiah yang disitir pada Skripsi mahasiswa
antara lain rujukan berbentuk cetak masih dianggap sebagai sumber yang
akurat dan lengkap merupakan dasar dalam membuat suatu keputusan
yang benar. Kemudian Bahasa Indonesia digunakan karena lebih mudah
dimengerti untuk memenuhi kebutuhan informasi sehingga menjadi
strategi pencarian yang tepat yang sesuai dengan kebutuhan. Informasi
berbahasa Indonesia lebih mudah menstimulasi berpikir kritis dan
digunakan sebagai rujukan untuk menyelesaikan permasalahan dalam
Skripsi. Sedangkan pemanfaatan sumber pustaka dengan usia di bawah
5 tahun belum optimal.
Dari sitasi penelitian yang digunakan tersebut, mahasiswa sebagai
peneliti mencoba mengkomunikasikan topik-topik penelitian berdasarkan
kesesuaian metodologi, kajian ilmu komunikasi, dan kajian terapan ilmu.
Sumber pustaka inilah yang menjadi bahan untuk mengembangkan ide
penelitian sebagai bentuk komunikasi ilmiah formal. Sebagai bentuk
komunikasi ilmiah formal dalam penelitian, mahasiswa Program Studi
Ilmu Komunikasi menggunakan buku dibanding website dan jurnal
untuk mengutip teori dan konsep sebagai sumber informasi.

Daftar Pustaka
Ambarani, Dias. (2009). Komunikasi Ilmiah di antara Peneliti Fakultas
Ilmu Komputer Universitas Indonesia. Skripsi. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Apriyani, Mega . (2006). Literasi Informasi Pemustaka: Studi Kasus
di Perpustakaan Umum Daerah Provinsi DKI Jakarta. Jakarta:
Universitas Indonesia. Fakultas Ilmu Budaya

78 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Bruce, Christian Susan. (2003). The Seven Faces of Information Literacy.
Australia: Queensland University of Technology.
Erwina, Wina dan Yulianti. (2012). Kajian Sitasi Karya Ilmiah Dosen
Fikom Unpad dalam Skripsi Mahasiswa : Analisis Sitasi Karya Ilmiah
Dosen dalam Skripsi Mahasiswa pada Database GDL di Fikom
Library and Knowledge Center (FLKC) Universitas Padjajaran pada
Semester Genap Tahun 2011. EduLib Tahun 2 Vol. 2 November
2012, hal 139-157.
Eisenberg, M,Lowe, Spitzer,K.L.(2004). Informations Literacy: Essential
Skills For The Informations Age. Connecticut: Libraries Unlimiteed.
Griffin, EM. (2012). A First Look At Communication Theory. New York:
McGraw Hill.
Husaebah Fattah, Sitti,(2014). Literasi Informasi: Peningkatan Kompetensi
Informasi dalam Proses Pembelajaran Jurnal Khizanah Al Hikmah
Vol 2 No.2 Juli Desember 2014
Lasa, Hs. (2006). Studi Kepustakaan Jurnal Sebagai Bahan Rujukan dalam
Penyusunan Tesis Pascasarjana UGM Bidang Teknologi Pertanian
Tahun 2008. Yogyakarta: UGM
Sophia S. (2019). Petunjuk Sitasi Serta Cantuman Daftar Pustaka Bahan
Pustaka Online : Seri Pengembangan Perpustakaan Pertanian No.
25.
Stacks, Don W, Sidney R. Hill, Jr, Mark Hickson. (1991). Introduction to
Communication Theory. USA: Holt, Rinehart and Winston Inc.
Weinstock,Melvin.(1971)..Citation Indexes, dalam Kent A (ed),
EncyClopedia Of Library And Information Sciences, New York:
Marcel Dekker, 16-41
West, Richard dan Turner, Lynn H. (2007). Introduction Communication
Theory: Analysis and Application 3rd Edition. USA: McGraw Hill.

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 79


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
80 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi
Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Humas Pendidikan Sekolah Di Era Digital

E. Nugrahaeni P, dan Titi Widaningsih

E-mail enugrahaenip@gmail.com, titi_widaningsih@yahoo.com

Pendahuluan
Humas (Hubungan Masyarakat) atau Public Relations di lembaga
pendidikan khususnya di sekolah sekolah tingkat dasar dan menengah
akan memberikan efek yang berarti bagi pengembangan dunia pendidikan,
khususnya bagi lembaga pendidikan dalam mempertahankan jasa dan
bisnisnya di tengah tengah masyarakat. Humas lembaga pendidikan
memang jarang disebut sebut dibanding dari humas di perusahaan dan
instansi pemerintah. Tetapi peran dari humas lembaga pendidikan sangat
dibutuhkan. Informasi tentang lembaga pendidikan tersebut sangat
memerlukan kehadiran humas lembaga pendidikan.
Permasalahan yang terjadi di sekolah di era digital saat ini jauh lebih
beragam daripada pada masa masa dua hingga sau dekade yang lalu. Anak
anak dan remaja jauh lebih mengalami tantangan dalam menyelesaikan
berbagai masalah pendidikan dan masalah pergaulan di lingkungan sekolah.
Kasus bullying baik secara langsung maupun melalui media sosial juga menjadi
perhatian dalam dunia pendidikan, selain itu juga kasus yang berkaitan
dengan tantangan para guru dalam menghadapi siswanya. Tantangan yang
dihadapi sekolah dalam menghadapi publik atau khalayaknya.
Berdasarkan dengan pemberitaan yang pernah ditulis oleh Republika
pada tahun 2017 menyebutkan bahwa masalah pendidikan yang cukup
krusial adalah Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bersama
Results Internasional menyebut ada tiga permasalahan utama pendidikan
di Indonesia. Masing-masing, yakni kualitas guru, sekolah yang tidak
ramah anak dan diskriminasi terhadap kelompok marginal. Diskriminasi
pada terhadap golongan marginal ini yang akan membuat para murid
di sekolah dasar dan menengah banyak memperoleh bullying. Apalagi
penggunaan internet dan media sosial semakin marak di lingkungan
siswa sekolah dasar hingga sekolah (https://www.republika.co.id/
berita/pendidikan/eduaction/17/03/23/on9feb384-ini-3-isu-utama-
pendidikan-di-indonesia).

Public Relations dan Periklanan | 81


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Dalam organisasi lembaga pendidikan maka peranan dari hubungan
masyarakat di merupakan bagian terpenting dalam menjadi sarana
komunikasi antara lembaga pendidikan dengan publik internal dan publik
eksternal sekolah. Peranan Humas menjembatani ketidak seimbangan
komunikasi. Lima jenis komunikasi yang perlu diperhatikan oleh Humas
yakni komunikasi formal, komunikasi non formal, komunikasi informal,
komunikasi teknis dan komunikasi prosedural. Secara lebih lengkap
dapat dijelaskan bahwa komunikasi formal adalah komunikasi yang
dilakukan dalam jalur organisasi yang formal yang memiliki wewenang
dan tanggung jawab, komunikasi non formal adalah komunikasi yang
dilakukan diluar jalur formal secara fungsional, komunikasi informal
adalah komunikasi yang dilakukan karena terjadinya kontak hubungan
antarmanusia lebih dominan yang terkait dengan aspek-aspek kejiwaan,
lebih sensitif, dan sentimental, komunikasi teknis adalah komunikasi
yang bersifat teknis yang dapat dipahami oleh tenaga kerja tertentu, dan
komunikasi prosedural merupakan komunikasi yang formal berkaitan
dengan pedoman teknis serta peraturan kelembagaaan (Nasution,
2006). Hal ini yang merupakan keterampilan berkomunikasi yang harus
menjadi kemampuan dari seorang humas.
Saat ini, lembaga pendidikan mulai memperhatikan pentingnya
fungsi humas di sekolah mereka. Sehingga peran dari para humas
mulai memerlukan perhatian ekstra. Humas tidak hanya sekadar tugas
fungsional tambahan selain sebagai pendidik di lembaga pendidikan
tersebut, tetapi humas merupakan merupakan suatu unit kerja atau
profesi yang sangat dibutuhkan dalam lembaga pendidikan dan
haruslah memiliki kedudukan dan keahlian yang khusus. Bahkan saat
ini Kementerian Pendidikan Nasional secara konsisten memberikan
perhatian khusus bagi peningkatan mutu lembaga pendidikan melalui
Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah sejak tahun 1999
dikenalkan pola baru pengelolaan pendidikan dengan judul Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Pola ini pada tahun 2007 digencarkan
lagi pelaksanaannya dengan istilah baru Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS). Dengan adanya pola tersebut merupakan perhatian besar dari
lembaga pendidikan yaitu sekolah untuk dapat menjalin relasi dengan
publiknya, baik eksternal maupun internal. Sehingga dengan MBS
lembaga pendidikan dapat memiliki otonomi yang lebih baik dalam
mengelola sekolah, memperoleh dan memberikan informasi serta
melakukan kerjasama dengan masyarakat.

82 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Pembahasan
Berdasarkan dengan data yang diperoleh, humas di lembaga
pendidikan, khususnya di sekolah masih memiliki model pengelolaan
manajemen humas yang berbeda-beda, hal ini dikarenakan tingkat
pengetahuan dari pihak sekolah dan wakil kepala sekolah bidang
kehumasan. Pentingnya memanfaatkan peran dari teknologi digital
untuk pengelolaan pesan bagi sekolah sekolah. Dan pendampingan
untuk siswa dalam mempergunakan teknologi digital. Peran website
digital diperlukan dalam penyampaian pesan. Keseragaman program
digital dalam pengelolaan website dari pemerintah. Program kehumasan
memiliki tata cara yang berbeda satu sama lain. Seperti contoh di sekolah
menengah tertentu dibutuhkan manajemen kehumasannya mereka
lebih terfokus pada pengembangan dari relasi eksternal dari lembaga
pendidikan. Dengan menyelenggarakan kerjasama dengan berbagai
khalayak untuk pengembangan sekolah ke depan. Menerapkan informasi
sekolah berbasis TIK.
Kerjasama yang dijalin dengan lembaga pendidikan internasional
membuat semakin menunjukkan kemampuan dalam pengelolaan
kehumasan dari lembaga tersebut. Untuk sekolah menengah atas, selain
penerapan program program kehumasan melalui kemampuan digital,
diperlukan juga kerjasama dengan pihak Perguruan Tinggi Negeri juga
menjadi perhatian pihak sekolah bagi pengembangan lembaganya.
Proses penyampaian informasi sekolah yang berbasis TIK juga menjadi
andalan utama dalam penyampaian pesan kepada khalayak.
Layanan bimbingan konseling disekolah ini juga merupakan salah
satu pendekatan interpersonal kepada siswa untuk membuat para siswa
merasa nyaman dalam bersekolah. Suasana belajar dari sekolah sangat
terjaga, sehingga para siswa dapat berkonsetrasi dalam pelajaran di
sekolah. Sesuai dengan tujuan layanan bimbingan konseling agar setiap
siswa dapat memiliki pribadi yang takwa, mandiri dan bertanggungjawab.
Bimbingan sosial juga memberikan bimbingan agar para siswa dapat
berkomunikasi dengan baik secara interpersonal dengan siswa lain. Bahkan
setiap kelas memilki guru pembimbing konseling. Bimbingan konseling
dapat juga dilakukan dengan melalui teknologi digital. Komunikasi lebih
cepat dan efektif, walaupun juga diperlukan tatap muka. Sehingga para
siswa dapat memperoleh kesempatan untuk berkomunikasi dengan para
gurunya. Kerjasama yang sudah dibina dengan para orang tua siswa

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 83


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
adalah dengan melakukan melakukan pertemuan rutin setiap tahun
diawal pelajaran sekolah dan apabila ada program-program sekolah
yang akan disampaikan kepada para orang tua. Selain itu juga kerjasama
untuk dapat berkomunikasi secara kontinyu terkait dengan penerimaan
raport. Kerjasama dengan lingkungan selama ini masih dalam tataran
komunikasi dengan lingkungan di sekitar sekolah, tetapi kalau untuk
lingkungan sekolah menengah pertama lebih kontinyu karena berkaitan
dengan penyeleksian siswa baru.
Berkaitan dengan kegiatan promosi juga dilakukan dengan pihak
sekolah dengan melalui kegiatan datang ke sekolah-sekolah dan
menyampaikan informasi mengenai sistem penerimaan siswa baru,
termasuk prosesnya. Pihak wakil kepala sekolah bidang kehumasan
juga menyampaikan bahwa dukungan pimpinan yang besar dalam
menjalankan tugasnya sebagai humas. Terutama dengan secara rutin
mengadakan pengarahan. Pengkoordinasian dengan menerapkan
manajemen kehumasan sudah mulai dijalankan di sekolah ini. Sehingga
pencitraan sekolah menjadi lebih baik dan mengalami peningkatan.
Tantangan berat yang dialami oleh bidang humas, dapat diantisipasi
dengan banyaknya koordinasi dengan pimpinan dan rekan kerja.
Memang menurut pengakuan dari wakil kepala sekolah bidang
kehumasan, informasi masih terkadang berjalan dengan sendiri-sendiri,
sehingga pengkoordinasian manajemen antar unit kerja perlu menjadi
perhatian banyak pihak.
Dengan pihak internal terutama dengan para guru berkaitan
dengan koordinasi pekerjaan, yaitu melalui surat-surat yang masuk
ke bagian humas disampaikan juga ke bidang-bidang yang berkaitan.
Dengan pihak orang tua murid secara rutin pihak sekolah mengadakan
pertemuan, khususnya diawal tahun ajaran baru untuk menyampaikan
program-program sekolah. Dengan adanya program tersebut, maka akan
memudahkan komunikasi dengan orang tua murid. Mengenai kerjasama
dengan para siswa, wakil kepala sekolah bagian sarana dan humas ini
mengatakan bahwa rata-rata siswa datang juga untuk berkonsultasi
permasalahan mereka tidak hanya dengan bagian bimbingan dan
konseling tetapi juga dengan bagian humas. Oleh sebab itu sempat beliau
menyarankan agar bagian humas juga diisi oleh orang yang memiliki
latar belakang bimbingan dan konseling. Sehingga memiliki kemampuan
interpersonal yang baik dan luwes menghadapi siswa yang bermasalah.
Kerjasama antara sekolah menengah atas dengan pihak universitas yang

84 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
telah diadakan oleh secara rutin menyelenggarakan pameran pendidikan
di sekolah dengan mengundang universitas negeri dan swasta untuk
ikut bergabung didalamnya. Dengan adanya pameran pendidikan selain
membuka relasi dengan lembaga pendidikan juga memberikan wawasan
kepada para siswa, akan melanjutkan ke perguruan tinggi yang sesuai
dengan bidang dan kemampuannya.
Kerjasama lain yang dibina dengan pihak perguruan tinggi adalah
melakukan kunjungan studi banding ke perguruan tinggi yang lain.
Proses kerjasama yang berlangsung juga masih melibatkan orang tua
siswa. Sehingga para siswa dapat memperoleh dukungan penuh dari
orang tua. Selain kerjasama itu diadakan kerjasama dengan alumni.
Alumni juga membantu pengembangan sekolah. Pengembangan jalinan
kerjasama dengan orang tua siswa adalah dengan rencana pembuatan
komite sekolah. Selama ini orang tua murid yang menjadi komite sekolah
hanya merupakan pilihan dari pihak kepala sekolah. Sehingga perlunya
humas mencoba membuat terobosan baru dengan membentuk komite
sekolah yang dibuat oleh bagian humas dan disetujui oleh pihak kepala
sekolah.

Penutup
Peranan Public Relations atau Hubungan Masyarakat di lembaga
pendidikan atau sekolah sangat penting. Karena bisa menjadi penyampai
informasi dari sekolah. Public Relations di lembaga pendidikan tidak
hanya memegang fungsi internal tetapi juga fungsi ekternal. Di era
digital saat ini pemanfaatan dari teknologi digital sangat penting mulai
dari penggunaan website yang berisi konten menarik sekaligus juga
komunikasi kepada publik baik siswa maupun orang tua melalui media
sosial. Kesadaran sekolah untuk tidak ragu dalam menyampaikan
berbagai informasi baik yang bersifat eksternal untuk publikasi sekolah
sangat diperlukan. Khususnya melalui media sosial untuk memberikan
peningkatan pelayanan kepada masyarakat.

Daftar Pustaka
Davis, Anthony (2005). Eveerything You Should Know About Public
Relations. Jakarta : PT Elex Komputindo
Effendy, Onong Uchjana (2000). Pengantar Ilmu Komunikasi. Bandung :
PT Rosdakarya

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 85


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Littlejohn, Stephen W (2009). Theories of Human Communication.
London :Wadswoth
Mulyana, Deddy (2008). Pengantar Ilmu Komunikasi, Bandung : PT
Rosdakarya
Moleong, Lexy (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT
Rosdakarya
Nasution, Zulkarnain (2006). Manajemen Humas di Lembaga Pendidikan,
Malang : UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang
Rumanti, Assumpta Maria (2002). Dasar-Dasar Public Relations. Jakarta
: Grasindo
Ritonga, Jamaludin (2004). Riset Kehumasan. Jakarta : PT Grasindo
Reck, Emerson (2001). Public Relations. New York and London : Harper
& Brother Publisher
Simandjuntak, John (2003). Public Relations. Yogyakarta : Graha Ilmu

86 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Upaya Adaptif Tenaga Pendidik Pada Gaya Belajar
Generasi Z

Ita Musfirowati Hanika, Ilham Ayatullah Syamtar


Universitas Pertamina
E-mail ita.mh@universitaspertamina.ac.id, ilhamayatullahs@gmail.com

Pendahuluan
Eksistensi pendidikan senantiasa menuai tantangan yang berbeda
seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan perubahan demografi
dalam skala yang begitu besar. Sebagaimana hakikat pendidikan dalam
pandangan Ki Hajar Dewantara, bahwa pendidikan merupakan suatu
usaha untuk membentuk manusia yang peka akan budi pekerti agar
manusia tidak menjadi asing dengan realitasnya (Samho & Yasunari,
2010). Dengan begitu, pendidikan perlu terus melakukan penyesuaian
dengan perkemabangan zaman, sebab generasi yang berbeda akan
menghadapi tantangan yang berbeda pula. Pendidikan tidak akan
berjalan optimal tanpa menempatkan pemahaman terhadap karakteristik
peserta didik sebagai hal yang utama.
Pesatnya perkembangan teknologi khususnya dalam aspek
komunikasi dan informasi dengan Internet of Things (IoT) sebagai motor
penggeraknya telah mendorong lahirnya generasi baru yang hari ini
dikenal dengan istilah Generasi Z atau iGeneration (Generasi Internet).
Generasi Z adalah generasi yang lahir pada kurun waktu tahun 1995 –
2010 (Bencsik, dkk., 2016 dalam Putra, 2016). Sebagai generasi pertama
yang terhubung dengan teknologi digital secara intensif tentu berimplikasi
pada perbedaan karakteristik yang signifikan dengan generasi-generasi
sebelumnya menyangkut nilai-nilai, pandangan dan tujuan hidup (Putra,
2016). Elizabeth T. Santosa (2015) dalam Rini (2016) secara lebih rinci
menyebutkan beberapa indikator yang erat kaitannya dengan mereka
yang termasuk dalam Generasi Z, diantaranya: 1) Memiliki ambisi besar
untuk sukses; 2) Cenderung praktis dan berperilaku instan, sebagai
konsekuensi logis dari aksesibilitas teknologi yang memungkinkan
segala aktifitas dapat dilakukan secara instan; 3) Menyukai Kebebasan
dan kepercayaan diri yang tinggi; 4) Cenderung menyukai hal yang

Public Relations dan Periklanan | 87


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
detail; 5) Berkeinginan besar untuk mendapatkan pengakuan; 6) Fasih
menggunakan teknologi digital.
Dalam tatanan pendidikan kita hari ini, subjek-subjek yang terlibat di
dalamnya berasal dari generasi yang berbeda-beda. Para tenaga pendidik
di tataran Universitas misalnya berasal dari generasi Y, X, bahkan Baby
Boomer. Sedangkan yang menjadi peserta didik dalam hal ini sebagian besar
berasal dari generasi Z yang tentu membutuhkan pola dan pendekatan
yang berbeda pula dalam pelaksanaan proses belajar mengajar. Sehingga
dapat dipastikan bahwa strategi dan metode pembelajaran yang efektif
sebagaimana yang diterapkan pada generasi sebelumnya, pada umumnya
akan tidak berdampak begitu besar apabila dipaksakan pada Generasi Z.
Perbedaan antargenerasi ini dapat mempengaruhi proses pembelajaran
dalam 3 hal, yakni : perbedaan cara belajar, pendekatan dosen terhadap
pembelajaran, dan level pengembangan intelektual mahasiswa (Felder &
Brent, 2005 dalam Suganda, 2018).
Perihal proses pembelajaran ini, Soren Kierkegaard (1813-1855)
menyatakan bahwa pengajaran dimulai ketika seorang guru belajar dari
muridnya, menempatkan dirinya di posisi muridnya, sehingga ia faham
apa yang dipeajari dan bagaimana cara memahaminya. (Suganda, 2018).
Pemahaman terhadap adanya perbedaan dalam perilaku, motivasi, dan
pendekatan terhadap bagaimana suatu generasi peserta didik belajar
adalah hal yang esensial guna meningkatkan mutu pembelajaran
(Worley, 2015 dalam Suganda, 2018). Oleh karena itu, dalam rangka
meminimalisir potensi kesenjangan yang ada, para tenaga pendidik
dalam hal ini adalah Generasi Baby Boomer, Generasi X, dan sebagian
Genereasi Y dituntut untuk mampu mentransformasikan baik metode
maupun pendekatan pembelajaran yang kompatibel dengan kebutuhan
mereka, dan pemahaman yang baik atas karakteristik para mahasiswa
Generasi Z sebagai peserta didik yang unik.
Melalui pemahaman mendalam mengenai gaya belajar Generasi Z,
penilitian ini berusaha untuk menjawab tantangan sekaligus peluang bagi
para peserta didik dalam dalam mempersepsikan gaya belajar yang ideal
bagi mereka, sehingga tenaga pendidik memiliki referensi dan panduan
mendesain rencana pembelajaran yang efektif dan efisien.

Komunikasi Instruksional
Di dalam dunia pendidikan, kata instruksional tidak diartikan perintah
tetapi lebih mendekati kedua arti yang pertama, yakni pengajaran dan/

88 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
atau pelajaran. Bahkan belakangan ini kata tersebut diartikan sebagai
pembelajaran. Istilah pengajaran lebih bermakna pada pemberian ajar.
Mengajar artinya memindahkan sebagian pengetahuan pendidik kepada
murid-muridnya. Pada pengajaran yang dominan adalah pendidik. Tenaga
pendidik dianggap sebagai satu-satunya sumber belajar, sedangkan yang
lain dianggap kurang penting. Padahal, dalam konsep pendidikan modern,
factor tenaga pendidik hanyalah dianggap sebagai salah satu sumber belajar
saja di samping sumber-sumber belajar yang lainnya seperti pesan, media,
alat, teknik dan latar. Semua sumber belajar tersebut turut memengaruhi
proses belajar pada sasaran didik (Pawit, 2010: 59).
Arti pelajaran lebih menitikberatkan pada bahan belajar atau materi
yang disampaikan atau diajarkan oleh guru atau dosen. Informasi yang
mengandung pesan belajar itulah yang diutamakan. Dalam komunikasi,
mata pelajaran di dalam kurikulum disebut sebagai pesan. Namun, bukan
wadah mata pelajaran itu sendiri yang dinamakan pesan. Pesan adalah
informasi yang ditransmisikan atau diteruskan oleh komponen lain
dalam bentuk ide, ajaran, makna, nilai ataupun data. Jadi, informasi yang
terkandung dalam setiap mata pelajaran itulah yang namanya pesan. Dalam
hal ini tentunya pesan belajar, pesan yang dirancang khusus untuk tujuan
belajar dan mempermudah terjadinya proses belajar (Pawit, 2010: 61).
Pada komunikasi instruksional, tenaga pendidik dan peserta secara
bersama melakukan interaksi yang nantinya diharapkan dapat berdampak
para perubahan pengetahuan hingga perilaku. Suasana belajar mengajar
di kelas menuntut terjadinya pertukaran informasi secara formal melalui
komunikasi yang dimulai ketika tenaga pendidik membuka kata pertama dan
ditanggapi oleh peserta didik dan terjadi secara terus menerus dengan adanya
umpan balik untuk melihat keberhasilan kegiatan pembelajaran tersebut.

Gaya Belajar
Proses pembelajaran pada dasarnya berkaitan dengan interaksi
antara peserta didik dan lingkungannya dapat menciptkan perubahan
perilaku kearah yang lebih baik (Mintasih, 2016). Mulyasa (2007)
menyebutkan bahwa tugas tenaga pendidik yang paling utama adalah
mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan
perilaku dan pembentukan kompetensi peserta didik (Mintasih, 2016).
Guna mencapai tujuan, pengetahuan menyangkut karakteristik siswa
sangatlah dibutuhkan, sebab hal tersebut akan berpengaruh terhadap
tepat/sesuai tidaknya strategi pembelajaran yang dipilih oleh tenaga

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 89


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
pendidik (Slavin, 1997 dalam Marzoan, 2016).
Salah satu karakteristik utama dalam memahami karakteristik
peserta didik adalah gaya belajarnya (Learning Style) (Davles dan
Charles, 1984 dalam Marzoan2016). Pengertian tentang Gaya Belajar
telah didefinisikan oleh banyak peneliti, akan tetapi dalam konteks ini,
Gaya Belajar dapat dengan mudah dipahami melalui pengertian yang
dikemukakan oleh James and Gardner (1995) bahwa gaya belajar adalah
cara yang kompleks di mana para peserta didik menganggap dan merasa
mampu, memproses, menyimpan dan memanggil kembali apa yang telah
mereka pelajari secara efektif dan efisien (Mutiaraningsih, 2016).
Dalam mengidentifikasikan gaya belajar yang dimaksud, peneliti
menggunakan pendekatan Felder-Silverman (1994) yang disebut dengan
Learning Style Model (Setiawan, 2015). Pendekatan ini menganalisis gaya
belajar memalui dimensi-dimensi yang dibutuhkan, yakni: Pemrosesan
(aktif atau reflektif) yang mana gaya belajar aktif mensyaratkan adanya
kegiatan yang bersifat aktif atas materi pembelajaran seperti membahas
materi ajar bersama-sama, menjelaskan kepada orang lain, atau diskusi.
Sedangkan gaya belajar reflektif menuntut peserta didik lebih mudah
memahami informasi dengan cara berfikir dan merefleksikan materi
pembelajaran secara mandiri atau dalam sebuah kelompok kecil dengan
teman baiknya (Marzoan, 2016); Persepsi (penginderaan atau intuisi)
yang mana gaya belajar penginderaan ini lebih tertarik pada materi
pembelajaran yang konkrit/nyata, dan lemah pada hal-hal yang imajinatif
sedangkan gaya belajar intuisi cenderung bekerja lebih cepat dan
inovatif, menyukai materi pembelajaran abstrak dan tidak suka hapalan.
Gaya belajar Intuisi juga disebut gaya belajar imajinatif (Setiawan, 2015);
Input (visual atau verbal) yang mana gaya belajar visual mengedepankan
materi pembelajaran yang menonjolkan warna-warni, garis dan bentuk
seperti gambar, diagram, video, dan peta (Setiawan, 2015) sedangkan
verbal cenderung lebih menyukai metode penyampaian materi
pembelajaran dengan metode ceramanb dan membaca bacaan tertulis
(Setiawan, 2015); Pemahaman (Sequential atau GlobaI) yang mana gaya
belajar sequential atau berurutan berorientasi pada tahapan atau urutan
dalam menyelesaikan suatu pekerjaan sedangkan gaya belajar global atau
menyeluruh menggunakan proses berfikir secara holistik dan belajar
dengan lompatan yang besar, menyerap materi pembelajaran secara acak
lalu menemukan koneksinya setelah materi pembelajaran dirasa telah
cukup (Marzoan, 2016).

90 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Metode Penelitian
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif
deskriptif dengan menggunakan survey yang disebarkan secara online
untuk mengumpulkan data yang ada. Penelitian survei dilakukan dengan
tidak melakukan perubahan (tidak ada perlakukan khusus) terhadap
variabel-variabel yang diteliti dan pada umumnya dilakukan untuk
mengambil suatu generalisasi dari pengamatan yang tidak mendalam
(Siregar, 2013). Penelitian survei mengambil sampel dari satu populasi
dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok
(Singarimbun, 2006).
Survey yang disebarkan secara online ini mengadaptasi kuesioner
yang disusun oleh Felder dan Soloman (1994) dengan memuat 4 dimensi
yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu Pemrosesan (Aktif atau Reflektif);
Input (Visual atau Verbal); Persepsi (Penginderaan atau Intuisi); dan
Pemahaman (Sequential atau GlobaI) (Marzoan, 2016). Untuk menjawab
pertanyaan yang diajukan, sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah kelompok usia yang lahir pada kurun waktu tahun 1995 – 2010,
pengguna internet aktif, dan tinggal di Jakarta. Adapun total jumlah
sampel yang didapatkan adalah sebesar 105. Menurut Roscoe, ukuran
sampel yang layak dalam penelitian sebanyak 30 hingga 500 (Sugiyono,
2008: 129). Dengan pengertian tersebut, peneliti mengasumsikan bahwa
sampel penelitian sudah terpenuhi dengan baik.

Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang didapati secara online maka profil
responden diklasifikasikan ke dalam kelompok jenis kelamin dan usia
yang terdiri dari perempuan (62) dan laki-laki (43) mayoritas responden
berusia 20-22 tahun (64,8%) kemudian disusul kelompok usia 17-19
tahun (26,7%) dan 22-24 tahun (7,6%). Temuan lain dalam penelitian
juga menampilkan data secara umum bahwa dari 105 orang responden
yang diteliti sebesar 57% nya memiliki pola pemrosesan dalam kategori
aktif (active), 68% dengan memiliki kecenderungan untuk menggunakan
kemampuan penginderaan (sensing) dalam mempersepsikan pelajaran,
85% memiliki perhatian yang besar terhadap informasi berbentuk visual,
dan 54% dari responden memiliki kecenderungan pada pola global
dalam hal pemahaman terhadap pelajaran.

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 91


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Peneliti juga memberikan kesempatan bagi responden untuk
mendeskripsikan secara bebas hal yang menjadi hambatan dalam proses
belajar. Secara umum, peneliti melihat adanya permasalahan yang tertumpu
pada lingkungan belajar yang tidak memenuhi kebutuhan peserta didik
dengan tepat. Suasana kelas yang membosankan dan kurang menarik
merupakan aspek yang menjadi perhatian utama. Hal ini mengindikasikan
adanya upaya yang kurang optimal dalam membentuk lingkungan dan
kondisi yang sesuai dengan peserta didik dalam Generasi Z.
Dalam upaya meningkatkan hasil belajar atau mengubah perilaku
seseorang dalam hal ini peserta didik, tenaga pendidik perlu memahami
bahwa proses belajar dilakukan dengan cara mengamati atau pemodelan
terhadap perilaku, sikap, dan reaktif. Disebutkan dalam teori kognitif
sosial bahwa sebagian besar pembelajaran manusia terjadi dalam sebuah
lingkungan sosial dengan adanya interaksi timbal balik antara perilaku,
variabel lingkungan, dan faktor personal (Bandura, 1986:50). Gaya
belajar menjadi salah satu komponen dalam faktor personal yang dapat
memengaruhi keberhasilan proses belajar mengajar mengingat gaya
belajar bersifat individual bagi setiap orang sesuai dengan kebiasaan
orang tersebut dalam menyerap, mengatur, dan mengolah informasi
(Ghufron, 2011:42). Jika tenaga pendidik mengenali dan memahami
gaya belajar peserta didik maka tenaga pendidik dapat mengubah
variabel lingkungan dengan memasukan metode pembelajaran yang
menyenangkan dan kondusif sesuai dengan gaya belajar peserta didik.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pada dimensi pemrosesan
informasi, Generasi Z merupakan peserta didik dengan gaya belajar
aktif (58%) yang mengedepankan analisa secara kritis dan mendalam
serta ingin terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Sayangnya di
Indonesia sendiri, aktifitas kelas biasanya memberikan ruang lebih besar
kepada tenaga pendidik bukan para peserta didik sehingga seringkali
guru maupun dosen masih menggunakan metode konvensional melalui
pengulangan melalui penghafalan bukan pada analisa mendalam. Ilmu
yang diberikan biasanya dituangkan dalam buku ataupun teks dengan
materi yang tidak beragam (BHP UMY, 2011).
Dengan memahami gaya belajar Generasi Z yang mengedepankan
keterlibatan aktif peserta didik, tenaga pendidik dapat mencoba untuk
memaksimalkan ruang diskusi antar para peserta didik maupun antara
tenaga pendidik dengan peserta didik terkait materi yang diajarkan.
Lebih lanjut tenaga pendidik juga dapat memberikan tugas yang bersifak

92 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
kolaboratif atau diselesaikan secara bersama sehingga potensi diri
peserta didik dapat berkembang dengan maksimal. Namun dari hasil
penelitian yang ada, terdapat pula temuan bahwa sejumlah responden
(42%) mengadopsi gaya belajar reflektif yang lebih menyenangi belajar
secara individu dan mendengarkan informasi secara searah. Berdasarkan
persentase antara gaya belajar aktif dan reaktif tidak terdapat perbedaan
yang begitu siginfikan dalam pemrosesan secara aktif maupun reflektif
sehingga temuan tersebut sebaiknya perlu dicermati oleh tenaga pendidik.
Tenaga pendidik perlu mengkombinasikan gaya belajar aktif dan reflektif
misalkan tenaga pendidik tetap melakukan transfer knowledge dan
dilanjutkan dengan memaksimalkan ruang diskusi bersama atau dengan
pemberian tugas kelompok di kelas dan melakukan review secara mandiri
sebagai tugas rumah.
Dimensi yang kedua dalam mendalami gaya belar Generasi Z
adalah dengan memperhatikan persepsi peserta didik dalam proses
pembelajaran. Hasil penelitian menyebutkan bahwa responden memiliki
kecenderungan yang cukup besar (68%) dalam mempersepsikan
pelajaran dengan gaya belajar sensing atau kepekaan. Responden
lebih mudah memahami informasi dengan melakukan pengamatan
secara langsung dan menghubungkan materi yang dipelajari dengan
dunia nyata. Sebagaimana disebutkan oleh Pawit (2010:219) bahwa
pengalaman langsung atau pengalaman konkret tidak memerlukan
penjelasan komunikasi secara panjang lebar. Lebih lanjut Pawit (2010)
mengilustrasikan peserta didik yang baru mempelajari lumba-lumba.
Pada pembelajaran yang mengedepankan pengalaman konkret, maka
tenaga pendidik hanya perlu menyebutkan namanya saja sambil
menunjukkan lumba-lumba tersebut kepada anak. Hal tersebut tentunya
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dale (1969) bahwa
individu yang mendapatkan stimulus berupa pengalaman secara nyata
dapat mengingat informasi hingga 90% dibandingkan dengan mereka
yang membaca text atau mendengarkan semata. Lingkungan yang kaya
dengan stimulus akan memberikan perkembangan persepsi yang lebih
besar mulai dari pengalaman masa lalu ataupun pada kondisi tertentu
akan memengaruhi proses pengamatan para peserta didik (Bandura,
1977:24).
Selain menyelipkan pengalaman yang didapatkan secara langsung
atau melalui penerapan studi kasus dalam kegiatan belajar mengajar,
tenaga pendidik juga dapat menyampaikan fakta atau pengalaman yang

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 93


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
relevan dan dekat dengan kehidupan para peserta didik, konten yang
disampaikan juga harus ringkas dan spesifik agar sehingga para peserta
didik dapat lebih mudah memahami pengetahuan yang disampaikan.
Sejalan dengan dimensi kedua, dari aspek input atau dari sisi
bagaimana sebuah pelajaran dikemas, kecenderungan responden
terhadap input dalam bentuk visual sangatlah signifikan dibandingkan
dalam bentuk verbal saja. Terlihat 85% responden lebih menyukai materi
pembelajaran yang penyajiannya lebih kaya akan bentuk-bentuk visual
seperti gambar, video, grafik, dan bentuk-bentuk lain yang interaktif.
Angka ini menjadi refleksi dari karakteristik responden—yang dalam hal
ini merupakan Generasi Z, adalah generasi yang sangat mencintai dan
telah terbiasa dengan berbagai efek visual, sebab teknologi komunikasi
yang mereka miliki hari ini mampu menyediakannya.
Mendukung pembahasan tersebut, Edgar Dale (dalam Pawit,
2010:220) melalui kerucut pengalaman bahwa semakin tinggi
verbalismenya, semakin abstrak konsep yang dijelaskannya. Juga
sebaliknya semakin rendah tingkatan verbalismenya, semakin konkret
objeknya. Namun menurut Edgar bahwa kerucut pengalaman tersebut
sangat bergantung pada situasi dan kondisi tempat akan dilakukannya
tindakan instruksional. Dalam belajar untuk mencapai kemampuan
praktis seperti naik sepeda, menyetir mobi, dan berolah raga, jenis
pengalaman langsung akan lebih membantu. Meskipun demikan, konsep
“ilmu” maupun “atom” bukan berarti tidak bisa disampaikan secara
konkret atau memaksimalkan panca indera tapi terdapat teknik tertentu
yang dapat membantu memperjelas konsep abstrak seperti teknik visual,
pengutaraan grafik, teknik bantuan peragaan, dan teknik nonverbal
lainnya.
Mengkombinasikan komunikasi verbal dan visual tentunya akan
memberikan kemudahan bagi para tenaga pendidik untuk menjelaskan materi
kepada sasaran didik tanpa perlu menyampaikannya secara panjang lebar.
Panduan verbal dan visual nyatanya dapat menghasilkan pembelajaran efektif
karena kemampuan belajar paling besar didapatkan dari indera penglihatan
(83%) dan disusul dengan indera pendengaran (11%). Sedangkan indera
lainnya hanya memberikan sumbangsih yang kecil seperti indera penciuman
(3,5%), indera peraba (1,5%) dan indera perasa (1%).
Hal tersebut tentunya menjadi peluang bagi tenaga pendidik
untuk bisa memaksimalkan media pembelajaran audiovisual berbasis

94 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
teknologi yang sesuai dengan kebutuhan Generasi Z yang notabennya
merupakan kelompok usia yang terpapar dengan perkembangan
teknologi telah mengalami perubahan dalam mengkonsumsi media.
Teknologi pembelajaran memanfaatkan media komunikasi yang berbasis
pengembangan teknologi komunikasi. Kawasasan pengembangan ini
meliputi: (1) teknologi cetak, (2) teknologi audiovisual; (3) teknologi
berbasis komputer; dan (4) multimedia (Warsita, 2008:28).
Meskipun media konvensional masih diminati di Indonesia,
media belajar berbasis teknologi dapat memfasilitasi terjadinya proses
belajar dengan harapan bahwa pemahaman siswa akan meningkat dan
memengaruhi prestasi belajar mereka secara subtantif, taraf prestasi
atau kualitas pendidikan dikategorikan baik didasari atas prestasi atau
tingkat kecerdasan siswa yang secara umum baik (Daryanto, 2010: 63).
Undang-Undang Nomor 14/2005 juga menyebutkan bahwa setiap tenaga
pendidik diharuskan untuk memanfaatkan kemampuan teknologi
informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan
pengembangan yang mendidik.
Pada dimensi terakhir yaitu aspek pemahaman peserta didik tidak
terdapat perbedaan yang signifikan antara gaya belajar sequential (45%)
dan global (54%). Cara responden sebagai peserta didik untuk memahami
pelajaran, baik sequential maupun global, cenderung sama-sama dapat
digunakan bergantung pada situasi. Kombinasi dari kedua pendekatan
ini dalam situasi tertentu akan sangat membantu tenaga pendidik agar
inti pembelajaran dapat diserap peserta didik secara efektif dan efisien.
Pemahaman terhadap kecenderungan gaya belajar peserta didik generasi
merupakan urgensi yang harus menjadi perhatian bagi tenaga pendidik
guna mengoptimalkan proses belajar mengajar di kelas. Upaya ini sejalan
dengan teori pembelajaran yang dikemukakan oleh Bandura mengenai
Teori Belajar Sosial yang menyebutkan bahwa Individu terbentuk
melalui aktivitas peniruan terhadap perilaku di lingkungannya, dan
pembelajaran meruapakan suatu proses membuat peniruan yang sebaik-
baiknya sehingga apa yang ditiru oleh individu tersebut dapat bersesuaian
dengan keadaan dirinya dan tujuannya (Laila, 2015).
Lebih lanjut, Bandura mengatakan bahwa proses pembelajaran
peserta didik akan selalu terikat pada tiga unsur utama, yakni : Perilaku
Model (yang menjadi contoh), pengaruh perilaku model, dan proses
internal pelajar atau hasil pembelajarannya. Dengan kata lain, peserta
didik akan berusaha mengenal perilaku modelnya, untuk kemudian

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 95


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
mempertimbangkan mana perilaku yang akan diinternalisasikan—
sesuai dengan minat,pengalaman, cita-cita, tujuan, dsb (Surya, 2004
dalam Laila,2015).
Masalah yang ditangkap peniliti dalam pembahasan ini adalah
adanya perbedaan pemahaman antara tenaga pendidik dan peserta
pendidik dalam memaknai bagaiamana belajar yang efektif dan menarik.
Akan tetapi, tugas dan tanggung untuk memahami perubahan kondisi
ini dan membuat perubahan terhadap hal tersebut tetaplah menjadi
tanggung jawab peserta didik sebagaiamana yang dipahami oleh Bandura
bahwa tenaga pendidik adalah model yang menjadi contoh sekaligus
unsur yang berperan dalam mengkondisikan lingkungan belajar yang
menyenangkan bagi peserta didik.

Penutup
Penelitian yang dilatarbelakangi perkembangan teknologi yang
mendorong lahirnya generasi baru yaitu Generasi Z atau iGeneration
(Generasi Internet) menjadi tantangan sekaligus peluang bagi para
tenaga pendidik yang kedatangan kelompok usia yang memiliki pola dan
perilaku berbeda dari generasi sebelumnya. Jika Generasi X atau Y merasa
cukup dengan menggunakan media pembelajaran konvensional seperti
komunikasi lisan dan pembelajaran dua dimensi (grafis, papan tulis,
LKS, ensiklopedi, dan lain sebagainya), maka pada masa sekarang para
pendidik harus membuka ruang untuk terus adaptif pada perkembangan
zaman yang sesuai dengan peserta didiknya.
Para pendidik juga harus memahami karakteristik peserta didik
yang menjadi faktor personal bagi perubahan perilaku sebagaimana
yang disebutkan oleh Bandura dalam teori belajar sosial. Gaya belajar
yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini setidaknya memberikan
pengayaan terhadap karakter Generasi Z dalam belajar. Berdasarkan
hasil penelitian yang ada didapati temuan bahwa terdapat dua dimensi
gaya belajar Generasi Z yang menjadi perhatian bagi para tenaga
pendidik yaitu gaya belajar yang mengedepankan sensing dan verbal.
Keduanya memiliki dimensi yang serupa dengan menitikberatkan pada
pembelajaran yang mengedepankan kemampuan afektif yang mana para
peserta didik harus dilibatkan secara aktif.
Pada dasarnya peserta didik baik yang berasal dari Generasi X, Y,
atau Baby Boomer menyukai pembelajaran yang menyenangkan dengan

96 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
menggunakan media pembelajaran interaktif atau pembelajaran aktif
sesuai dengan kebutuhan mereka. Namun yang harus perlu diperhatikan
bagi para tenaga pendidik adalah proses belajar tidak hanya berfokus
pada faktor lingkungan seperti penggunaan media pembelajaran
namun juga faktor personal sehingga penting bagi para pendidik untuk
mendalami karakter peserta didik karena generasi yang sama bisa saja
memiliki perbedaan gaya belajar.
Penelitian ini memberikan saran bagi peneliti selanjutnya untuk
melihat pengaruh gaya belajar terhadap hasil belajar atau prestasi peserta
didik dengan menggunakan metode penelitian yang lebih akurat seperti
eksperimen atau memperluas sampel penelitian. Peneliti dalam hal ini
juga menyarankan agar lebih banyak mengadakan studi tentang efek
media baru terhadap komunikasi pembelajaran.

Daftar Pustaka
Bandura, A. (1977). Social Learning Theory: Englewood Cliffs. NJ:
Pretince Hall
Daryanto. (2013). Media Pembelajaran: Peranannya Sangat Penting
dalam Mencapai Tujuan Pembelajaran. Yogyakarta: Gava Media
Ghufron & Risnawita. (2011). Teori-Teori Psikologi. Yogyakarta: Ar-
Ruzz Madi
Laila, Qumru’in. (2015). Jurnal:  Pemikiran Pendidikan Moral Albert
Bandura. STITNU Al Hikmah Mojokerto
Singarimbun, Masri. (2006). Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta
Yusuf, M. Pawit. (2010). Komunikasi Instruksional, Teori dan Praktik.
Jakarta: Bumi Aksara
Humas. Metode Pengajaran Konvensional Sebabkan Siswa Kurang
Berpikir Kritis. http://www.umy.ac.id/metode-pengajaran-
konvensional-sebabkan-siswa-kurang-berpikir-kritis.html/
Putra, Yanuar Surya. (2016). Theoritical Review : Teori Perbedaan
Generasi. Among Makarti Vol.9 No. 18. Diakses melalui : http://
jurnal.stieama.ac.id/index.php/ama/article/viewFile/142/133
Rini, Puspita Sari. (2016). Pengaruh Karakter Generasi Z dan Peran Guru
dalam Pembelajaran Terhadap Motivasi Belajar Akuntansi Siswa
Kelas X Akuntansi SMK Negeri 1 Godean. Yogyakarta : Universitas
Negeri Yogyakarta. Diakses melalui : https://eprints.uny.

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 97


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
ac.id/29891/1/SKRIPSI%20FULL%20_DIYAH%20PUSPITA%20
RINI _
Samho, B. & Yasunari, O. (2010). Konsep Pendidikan Ki Hadjar
Dewanttara dan Tantangan-Tantangan Implementasinya di
Indonesia Dewasa Ini. Bandung : Universitas Katolik Parahyangan.
Diakses melalui : http://journal.unpar.ac.id/index.php/Sosial/
article/view/1912803241004.pdf
Suganda, Tarkus. (2018). Pengelolaan Pembelajaran Generasi Z. Universitas
Padjajaran. Diakses melalui : https://www.researchgate.net/
publication/323259147_PENGELOLAAN_PEMBELAJARAN_
GENERASI_Z

98 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Tantangan Ilmu Komunikasi dari Aspek Komunikasi
Bisnis dalam Ilmu Multidisipliner

Kinkin Yuliaty Subarsa Putri, Maulina Larasati Putri, Tuti Widiastuti,


S Bekti Istiyanto, dan Salsabila Ardiningrum

Pendahuluan
Ilmu komunikasi adalah ilmu yang mempelajari bagaimana orang
menciptakan dan menyampaikan pesan. Dalam penyampaiannya, pesan
disampaikan tidak hanya dengan kata-kata saja, tetapi juga menggunakan
simbol, seperti kata-kata, angka, gambar, dan lain-lain. Inti dari setiap
komunikasi adalah ingin membentuk, menerima, mengolah, dan yang
akhirnya dapat menyampaikan pesan. Di mana pesan yang berupa
lambang atau simbol-simbol dapat menjelaskan ide, gagasan, atau
informasi. Menurut Prof. Dr. Alo Liliweri, definisi ilmu komunikasi ialah
ilmu nan berhubungan dengan pengalihan suatu pesan dari satu sumber
kepada penerima agar bisa dipahami. Komunikasi merupakan ilmu
yang tidak terlepas dari gagasan atau persepsi yang mendasari terjadinya
komunikasi.
Komunikasi bisnis adalah suatu kegiatan pertukaran sebuah gagasan,
informasi, atau pendapat yang disampaikan baik secara personal atau
impersonal sehingga terjadi kesepahaman antar pihak-pihak yang
berkomunikasi dengan tujuan membantu dalam proses pengambilan
keputusan pada suatu bisnis. Menurut Rosenbalt, definisi komunikasi
bisnis adalah suatu tindakan pertukaran informasi, ide/ opini, intruksi,
dan sebagainya, yang disampaikan secara personal maupun non-personal
melalui lambang dan sinyal untuk mencapai target perusahaan (Muqtadir,
2017). Komunikasi bisnis biasanya bertujuan untuk mengembangkan
bisnis dan mengangkat nama baik sebuah perusahaan. Selain itu,
komunikasi bisnis juga digunakan untuk meningkatkan hubungan baik
antara sebuah perusahaan dengan pihak lain yang memiliki urusan
atau bisnis dengan perusahaan tersebut, dan dapat meningkatkan
fungsi kepemimpinan dari sebuah perusahaan. Dalam pelaksanaannya,

Public Relations dan Periklanan | 99


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
komunikasi bisnis memiliki fungsi informatif, regulatori, persuasif, dan
integratif. Komunikasi bisnis adalah pertukaran gagasan dan informasi
yang memiliki tujuan tertentu yang disajikan secara personal atau
impersonal melalui simbol-simbol atau sinyal. Komunikasi bisnis harus/
ada melibatkan pertukaran informasi yang terus-menerus. Lebih banyak
bisnis diperluas, lebih besar tekanannya pada bisnis tersebut untuk
menemukan cara komunikasi yang lebih efektif – bersama para pekerja
dan dengan dunia di luar. Dengan demikian, bisnis dan komunikasi
berjalan bergandengan tangan.
Ilmu multidisipliner adalah ilmu yang pendekatannya dalam
pemecahan suatu masalah dengan menggunakan tinjauan berbagai
sudut pandang banyak ilmu yang relevan. Ilmu ilmu yang relevan
digunakan bisa dalam rumpun Ilmu Ilmu Kealaman (IIK), rumpun
Ilmu Ilmu Sosial (IIS), atau rumpun Ilmu Ilmu Humaniora (IIH) secara
alternatif. Penggunaan ilmu-ilmu dalam pemecahan suatu masalah
melalui pendekatan ini dengan tegas tersurat dikemukakan dalam suatu
pembahasan atau uraian termasuk dalam setiap urain sub-sub uraiannya
bila pembahasan atau uraian itu terdiri atas sub-sub uraian, disertai
kontribusinya masing masing secara tegas bagi pencarian jalan keluar
dari masalah yang dihadapi. Ciri pokok atau kata kunci dari pendekatan
multidisipliner ini adalah multi (banyak ilmu dalam rumpun ilmu yang
sama) (Sudikan, 2015).
Komunikasi merupakan bidang ilmu yang sangat multidisiplin pada
berbagai aspek kehidupan manusia. Dari beberapa penelitian sebelumnya
mengenai komunikasi adalah bagian dari multidisiplin pengetahuan.
Dewasa ini teori komunikasi terus mengalami perkembangan. Hal
ini tidak terlepas dari karakteristik yang dimiliki oleh ilmu tersebut,
yaitumultidisipliner dan bidang kajiannya sangat luas. Pemikiran-
pemikiran teoritis yang dikemukakan dalam ilmu komunikasi berasal
dari dan berkenaan dengan berbagai disiplin ilmu seperti sosiologi,
psikologi sosial, politik, antropologi, ekonomi, hukum, dan ilmu-ilmu
lainnya termasuk ilmu eksakta (Sikumbang, 2017).
Komunikasi disebut sebagai bagian dari ilmu multidisiplin karena
komunikasi meliputi pemahaman bagaimana cara orang membuat dan
menyampaikan pesan. Sehingga ada beberapa penelitian dari komunikasi
yang menggabungkan antara penelitian ilmiah dan sastra, dari segi sastra
cara orang menyampaikan pesan disebut dengan retorika. Selanjutnya,
pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam ilmu komunikasi juga

100 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
bukan hanya dari 1 pengetahuan saja, ilmu politik misalnya. Tetapi
juga berasal dari berbagai disiplin ilmu. Sifat ilmu komunikasi yang
multidisiplin ini tidak bisa dihindari, karena dalam pengamatannya,
ilmu komunikasi juga mengamati objek dari banyak aspek, contoh dari
aspek politik, budaya, ekonomi, dan sosial dari kehidupan manusia.
Penelitian ini dilakukan dengan mixed method. Mixed method
adalah metode penelitian yang diaplikasikan bila peneliti memiliki
pertanyaan yang perlu diuji dari segi outcomes dan prosesnya, serta
menyangkut kombinasi antara metode kuantitatif dan kualitatif dalam
satu penelitian. Karena berfokus pada outcomes dan proses, maka desain
MMR biasa digunakan dalam penelitian evaluasi program. Namun
sekarang, MMR sudah sering digunakan untuk ilmu-ilmu sosial, seperti:
konseling, psikologi sosial, manajemen,dan pengorganisasian perilaku
(Masrizal, 2016). Penelitian mix method menggabungkan metode
penelitian kualitatif dan kuantitatif untuk memperoleh data yang lebih
komprehensif, valid, reliabel, dan objektif. Diawali dengan pengumpulan
data dan menganalisis data kuantitatif, kemudian dilanjutkan dengan
pengumpulan dan menganalisis data kualitatif. Dan diakhiri dengan
menganalisis kedua jenis data tersebut secara keseluruhan lalu diambil
kesimpulan dari analisis tersebut. Mixed Method berfokus kepada
pengumpulan, analisis, dan pencampuran antara data kuantitatif dan
kualitatif yang dilakukan dalam rangkaian penelitian. Inti dari Mixed
Method ini adalah untuk memberikan pemahaman yang lebih baik
terhadap masalah dari suatu penelitian. Responden yang dilakukan oleh
peneliti adalah masyarakat yang berumur 17-25 tahun, memiliki gadget
dalam melakukan transaksi dalam kehidupannya.
Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Kevin J. Calderwood
dengan judul Going Global: Climate Change Discourse In Presidential
Communication. Penelitian ini merefleksikan bahwa perubahan
iklim merupakan satu wacana pembahasan dalam interdispliner
dalam ilmu komunikasi. Ilmu komunikasi dapat bermanfaat dengan
baik jika berintegrasi dengan berbagai aspek ilmu lainnya. Dan ini
sudah dibuktikan dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Calderwood. (Calderwood, 2019). Penelitian sejenis sebelumnya juga
pernah dilakukan oleh Canclise Howarth dan Alison Anderson dalam
judul Increasing Local Salience Of Climate Change: The Un-Tapped Impact
Of The Media Science Interface. Penelitian ini mengenai perubahan iklam
dapat juga disebabkan oleh penggunaan frekuensi dalam teknologi

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 101


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
informasi. Penggunaan teknologi informasi yang digunakan secara
sering oleh para pengguna media dapat juga membuat kesimbangan alam
terganggu. Oleh karena itu ilmu komunikasi dapat memberikan advokasi
kepada para pengguna media baru dalam menggunakan frekuensi yang
digunakan dalam penggunaan media baru (Howarth, 2019).
Penelitian sejenis juga dilakukan oleh Naoyuki Clara dan Yasuhiro
Yamanaka dan Gregory Trencher dalam judul Understanding Nature
Through Photography: An Empirical Analysis Of The Intens Of Nature
Photographers And The Preparatory Process. Penelitian ini merefleksikan
bahwa ketidakseimbangan iklim dapat dilihat dari berbagai sumber
fotografi yang dihasilkan oleh para fotografer. Penelitian ini menyarankan
bahwa penelitian berikutnya dapat mengambil ketidakseimbangan
alam dalam foto yang akan dimaknai dan diteliti oleh para peneliti
ilmu komunikasi namun juga dari berbagai ilmu lainnya. Sehingga
multidisipliner dapat terjaga dengan baik. (Ohara, Yamanaka, & Tencher,
2019)

Pembahasan
Hasil penelitian menyatakan bahwa ilmu komunikasi merupakan
kajian ilmu multidisipliner dalam mengembangkan pemanfaatannya
dalam bidang ilmu lainnya. Pengukuran alat ukur penelitian dalam
validitas dan reliabilitas penelitian dapat direfleksikan dengan hasil
berikut;
Tabel 1
Validitas dan reliabilitas ilmu komunikasi

Validitas KMO = .89


Sign = .000
Reliabilitas Cronbach alpha = .87

Hasil instrument penelitian adalah valid dan reliable. Penelitian ini meli-
hat instrument dalam penelitian ini hasilnya adalah positif. Artinya alat
ukur penelitian ini dapat dilanjutkan dalam beberapa tahapan berikutn-
ya. Namun penelitian ini penelitian deskriptif. Hanya melihat gambaran
dalam perspektif ilmu komunikasi dapat bersinergi dengan bidang ilmu
lainnya dan dapat memberikan kontribusi lainnya pada kehidupan ma-
nusia.

102 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Table 2
Deskripsi ilmu komunikasi

1. gagasan 4= 71%
3 = 5%
2 = 10%
1= 14%
2. inform 4= 69%
3 = 18%
2 = 7%
1 = 6%
3. Personal 4= 61%
3 = 22%
2 = 5%
1= 12%
4. Impersonal 4= 53%
3= 31%
2= 11%
1= 5%
5. Mutual understanding 4 = 51%
3= 29%
2= 13%
1= 7%

Hasil deskripsi penelitian ini menyatakan bahwa ilmu positif secara


menyeluruh dapat berintegrasi dengan bidang ilmu lainnya. Pada dimensi
gagasan, secara menyeluruh positif menggambarkan dapat berintegrasi
dengan ilmu lainnya. Pada dimensi inform responden menggambarkan
hal positif pada ilmu lainnya. Sehingga ilmu komunikasi dapat berintegrasi
dengan ilmu lainnya. Pada dimensi lainnya yaitu personal juga responden
merefleksikan ilmu komunikasi dapat bersinergi dengan bidang ilmu
lainnya. Ilmu komunikasi saat ini sangat personal dalam berinteraksi dengan
manusia atau organisasi dari komunikator. Pada dimensi impersonal, ilmu
komunikasi dapat berintegrasi dengan ilmu lainnya. Saat ini media sangat
impersonal. Dan responden merefleksikan alat ukur penelitian ini sangat
positif. Memang hampir semua media baru saat ini sangat impersonal dalam
mendistribusikan informasi kepada masyarakat. Begitu juga pada dimensi
mutual understanding, ilmu komunikasi dapat membantu pihak-pihak yang
ingin berinteraksi dengan pihak lainnya. Responden merefleksikan bidang
ilmu komunikasi dalam mutual understanding dengan ilmu lainnya.
Hasil penelitian ini juga mendukung penelitian sebelumnya melalui
penelitian Kristen R. Victorino pada judul Navigating Terminology
And Promoting Evidence-Based Practice For Child Language Disorders

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 103


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Challenges And Solutions For Educators. Ilmu komunikasi dapat
merefleksikan kajian ilmu ini pada bidang ilmu lainnya (Victorino &
Magaldi, 2019). Penelitian sejenis sebelumnya juga mendukung penelitian
ini yang dilakukan oleh Jacqeline Townson pada judul Adolescent
Mothers’ Implementation Of Strategies To Enhance Their Children’s
Early Language And Emergent Literacy Skills. Penelitian ini melihat
sosok ibu dalam keluarga merupakn suatu model generasi berikutnya.
Model ibu dalam keluarga dapat membantu kajian ilmu komunikasi
dapat berlangsung baik atau tidakanya dalam keluarga dan lingkungan.
(Townson, 2019) Penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya
bahwa ilmu komunikasi dapat berintegrasi denga bidang ilmu lainnya.
Pemanfaatan ilmu komunikasi dapat berintegrasi dengan ilmu lainnya
dalam kehidupan manusia.

Penutup
Kesimpulan hasil penelitian ini adalah masyarakat Indonesia sudah
menggunakan kajian ilmu komunikasi dalam perspektif kehidupannya
dengan menggunakan ilmu-ilmu lain dalam melengkapi kehidupannya.
Ilmu komunikasi dapat mengembangkan dan bermanfaat bagi bidang
ilmu dan aspek kehidupan masyarakat saat ini. Namun akademisi ilmu
komunikasi hendaknya melakukan kajian penelitian bersama-sama
dengan bidang ilmu lainnya. Agar masyarakat dapat memahami bahwa
perspektif ilmu komunikasi dapat bermanfaat bagi ilmu lainnya.
Saran dari penelitian ini adalah akademisi ilmu komunikasi
khususnya komunikasi bisnis dapat melakukan kajian penelitian dan
pengabdian pada masyarakat dalam menrapkan teknologi informasi
tidak saja dapat mengembangkan kajian ilmu komunikasi namun dapat
bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.

Daftar Pustaka
Calderwood, K. J. (2019). Going Global: Climate Change Discourse in
Presidential Communications. Environmental Communication.
Howarth, C. (2019). Increasing Local Salience of Climate Change: The
Un-tapped Impact of the Media-science Interfac. Environmental
Communication.
Masrizal, M. (2016). Mixed Method Research. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Andalas, Vol 6, No. 2.

104 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Muqtadir, M. (2017, 10). Galinesia. Retrieved from https://www.galinesia.
com/2017/10/komunikasi-bisnis-pengertian-tujuan.html
Ohara, N., Yamanaka, Y., & Tencher, G. (2019). Understanding Nature
through Photography: An Empirical Analysis of the Intents of
Nature Photographers and the Preparatory Process. Environmental
Communication.
Victorino, K. R., & Nicole M Magaldi, P. (2019). Navigating Terminology
and Promoting Evidence-Based Practice for Child Language
Disorders: Challenges and Solutions for Educators . SAGE Journals.
Sikumbang, A. T. (2017). Teori Komunikasi (Pendekatan, Kerangka
Analisis, dan Perspektif). Analyctica Islamica, Vol 6, No. 1.
Sudikan, S. Y. (2015). PENDEKATAN INTERDISIPLINER,
MULTIDISIPLINER, DAN TRANSDISPLINER DALAM STUDI
SASTRA. PARAMASASTRA.
Townson, J. (2019). Adolescent Mother’s Implementation of Strategis
to Enhance Their Children’s Early Language and Emgent Literacy
Skills. SAGE Journals.

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 105


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
106 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi
Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Pengembangan Pendidikan Komunikasi di Era Millenial
(Studi Kasus Pelaksanaan Candradimuka Film Festival
2019 untuk Praktek Mata Kuliah Sinematografi)

Lishapsari Prihatini, Sumarni Bayu Anita


Jurusan Ilmu Komunikasi STISIPOL Candradimuka Palembang
E-mail sb.anita@gmail.com

Pendahuluan
Jurusan Ilmu Komunikasi adalah jurusan pertama di Sekolah Tinggi
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIPOL) Candradimuka Palembang
(Rokian, 2014:22-23). Dimulai sejak 28 Oktober 1967, yakni ketika
berdirinya Akademi Publisistik Candradimuka Palembang (APCP).
Akademi ini menjadi inspirasi berdirinya Jurusan Ilmu Komunikasi
STISIPOL Candradimuka Palembang sekarang melalui berbagai
perkembangan dan perubahan, yakni menjadi APCP tahun 1972, Sekolah
Tinggi Ilmu Sosial (STIS) Candradimuka Palembang tahun 1979, dan
STISIPOL Candradimuka Palembang tahun 1984. Setiap perkembangan
itu, melalui dinamika nama, penambahan jurusan, dan lokasi kampus
yang berpindah-pindah, Jurusan Ilmu Publikasi yang sekarang menjadi
Jurusan Ilmu Komunikasi selalu ada dan terus diminati masyarakat.
STISIPOL Candradimuka sendiri sekarang beralamat di Jl. Swadaya
Sekip Ujung Palembang dengan memiliki 4 Jurusan S1 dan 2 Jurusan S2.
Dalam perkembangan selama 52 tahun ini, Jurusan Ilmu Komunikasi
STISIPOL Candradimuka juga terus melakukan pembaharuan
kurikulum. Saat ini, ada dua kurikulum yang berjalan, yakni Kurikulum
2011/2012 dan Kurikulum 2017/2018. Kurikulum 2017/2018 sendiri
mulai berlaku untuk mahasiswa angkatan tahun 2017. Adapun mata
kuliah Sinematografi sendiri adalah mata kuliah yang baru diterapkan
pada Kurikulum 2017/2018, yang di kurikulum sebelumnya tidak ada
mata kuliah Sinematografi di dalamnya. Mata kuliah yang mempelajari
tentang dunia sinematografi atau perfilman ini pun baru dilaksanakan
pada Semester Genap tahun ajaran 2018/2019, yakni untuk mahasiswa
yang menempuh semester 4. Mata kuliah ini dianggap mampu mendukung
salah satu konsentrasi, yakni Broadcasting. Adapun konsentrasi yang lain

Public Relations dan Periklanan | 107


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
adalah Jurnalistik, Public Relations, dan Advertising.
Mata kuliah Sinematografi dianggap akan mampu menambah
kemampuan mahasiswa dalam memahami Broadcasting. Sebelumnya
di kurikulum lama, khusus yang berkaitan dengan Broadcasting, hanya
ada mata kuliah Dasar-Dasar Broadcasting, Praktek Produksi Audio
Visual, dan Creative Design Broadcast. Pada akhirnya, di Semester 4 mata
kuliah Sinematografi perdana diajarkan di Jurusan Ilmu Komunikasi
STISIPOL Candradimuka dengan dosen pengampu Sumarni Bayu Anita,
S.Sos, M.A pada 3 kelas yang ada, yakni Reguler Pagi, Reguler Sore dan
Non Reguler yang kesemuanya berjumlah 82 mahasiswa. Sebagaimana
mata kuliah lainnya, mata kuliah ini juga mendapatkan jatah 16 sesi
pertemuan, termasuk Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir
Semester (UAS).
Menjadi menarik bahwa meski hanya mata kuliah yang sebenarnya
bisa selesai dengan melaksanakan UAS tertulis di ruang kelas, namun
khusus di mata kuliah Sinematografi ini dosen pengampu ikut
menerapkan pelaksanaan event Candradimuka Film Festival (CAFIFEST)
2019 sebagai tugas akhir. CAFIFEST 2019 sendiri merupakan event
perdana yang dilaksanakan di STISIPOL Candradimuka Palembang dan
langsung terindikasi sukses karena berhasil diikuti oleh 53 judul film.
Maka dari penelitian ini, peneliti ingin melihat sekaligus memaparkan
bagaimana keterhubungan antara mata kuliah Sinematografi dengan
proses pengembangan pendidikan di era millennial. Juga karena salah
satu peneliti sekaligus berperan sebagai dosen pengampu mata kuliah
Sinematografi tersebut sehingga diharapkan dapat lebih detil dikaji
melalui Analisis Media Siber (AMS) dalam Etnografi Virtual.

Pembahasan
Mengkaitkan antara pelaksanaan perkuliahan Sinematografi
di Jurusan Ilmu Komunikasi STISIPOL Candradimuka Palembang
dan pengembangan pendidikan komunikasi di era millennial, maka
dibutuhkan metode khusus dalam penelitiannya. Etnografi virtual
merupakan pendekatan (metode) baru dalam melihat budaya dan
artefak budaya di dunia virtual. Menurut Nasrullah (2017:43), sebagai
sebuah metode, etnografi virtual mengungkap bagaimana budaya siber
diproduksi, makna yang muncul, relasi dan pola, hingga bagaimana hal
tersebut berfungsi melalui medium internet. Sebuah realitas budaya

108 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
melalui etnografi virtual setidaknya bisa mendeskripsikan perangkat dan
konten yang dibangun, juga melihat bentuk (form) media di internet, apa
yang tampak dari yang disampaikannya.
Pada prinsipnya, dalam menganalisis budaya di internet, Analisis
Media Siber (AMS) memerlukan unit analisis, baik pada level mikro
maupun makro. Dua unit analisis ini dapat disederhanakan dalam teks
dan konteks. Di level mikro peneliti menguraikan bagaimana perangkat
internet, tautan yang ada, sampai hal-hal yang bisa dilihat di permukaan.
Sementara di level makro peneliti melihat konteks yang ada dan
menyebabkan teks itu muncul serta alasan yang mendorong jadi empat
level, yakni ruang media (media space), dokumen media (media archive),
objek media (media object), dan pengalaman (experiental stories). Secara
garis besar, level-level dalam Analisis Media Siber (AMS) sebagaimana
dapat dilihat di bawah ini:
Tabel 1. Analisis Media Siber

Level Objek
Ruang Media (Media Space) Struktur perangkat media dan penampilan,
terkait dengan prosedur perangkat atau aplikasi
yang bersifat teknis.
Dokumen Media (Media Archive) Isi, aspek pemaknaan teks/grafis sebagai artefak
budaya.
Objek Media (Media Object) Interaksi yang terjadi di media siber, komuni-
kasi yang terjadi antaranggota komunitas.
Pengalaman (Experiental Stories) Motif, efek, manfaat atau realitas yang ter-
hubung secara offline maupun online termasuk
mitos.

Sumber: Nasrullah (2017:45)

Dalam setiap level di atas diterangkan secara jelas oleh Nasrullah


dalam bukunya Etnografi Virtual (2017:45-59). Adapun dalam penelitian
ini, peneliti juga akan mencoba menganalisis objek kajian dengan
mempergunakan empat level tersebut sebagai dimensi pembahasan.
Berikut ini skema kerangka pemikiran yang muncul untuk penelitian
ini, yaitu:

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 109


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
Sumber: Diolah Peneliti

Mata Kuliah Sinematografi bernilai 3 SKS dan dilaksanakan pada


Semester Genap 2018/2019 di Jurusan Ilmu Komunikasi STISIPOL
Candradimuka Palembang. Terdata 82 mahasiswa aktif yang mengikuti
mata kuliah Sinematografi yang terbagi pada tiga kelas. Berikut tabel
mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Sinematografi yang kesemuanya
diampu oleh dosen Sumarni Bayu Anita, S.Sos, M.A:
Tabel 2. Mahasiswa Mata Kuliah Sinematografi JIK SC 2018/2019

Kelas Mahasiswa Jumlah


Laki-laki Perempuan
Reguler Pagi 24 18 42
Reguler Sore 14 6 20
Non Reguler 12 8 20
Jumlah 50 32 82

Sumber: Diolah Peneliti

Mata kuliah ini membahas mengenai teknik-teknik yang ada dalam


sistem perfilman. Pembuatan film dan karakterisasi dalam penokohan
merupakan bagian yang terdapat dalam sinematografi, di samping
teknik-teknik pengambilan gambar. Kamera dan berbagai kelengkapan
lain yang dibutuhkan dalam produksi pembuatan film merupakan aspek-
aspek yang dikaji juga dalam sinematografi. Dengan 16 kali pertemuan
tatap muka, adapun pokok pembelajaran mengacu pada modul bahan
ajar mata kuliah yang sama, yakni Sinematografi yang disusun oleh
Novi Kurnia (2002) pada Program D3 Komunikasi FISIPOL Universitas
Gadjah Mada, yaitu:
1. Ada Apa Dengan Sinematografi?

110 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
2. Membedah Unsur-unsur Film
3. Ada Apa (saja) Dengan Film
4. The Production Team: A Teamwork
5. Tahapan Produksi Film
6. Tahap Perencanaan Produksi: Menyiapkan Setumpukan List
7. Tahap Produksi: Bermain Dengan Kamera
8. Tahap Paska Produksi: Menyutradarai Gambar
9. Ujian Tengah Semester (UTS)
10. Memahami (lagi) Gerakan Kamera (juga) Gambar
11. Manipulasi Waktu dalam Film
12. Konvensi dalam Film
13. Konvensi dalam Tata Suara
14. Struktur Bercerita Dalam Film
15. Belajar Mengapresiasi Film
16. Ujian Akhir Semester (UAS)
Dalam pengaplikasiannya, tentu pengajaran mengalami pengembangan
yang disesuaikan dengan perubahan zaman yang kini sudah tahun 2019.
Secara kreatif dosen pengampu memberikan tugas-tugas berikut untuk
menjadi poin penilaian akhir mahasiswa yang mengikuti mata kuliah
Sinematografi, yaitu:
Tabel 3. Tugas Mata Kuliah Sinematografi JIK SC 2018/2019

No. Kategori Tugas Persentase


Nilai
1 Kuis 1 Membuat script film pendek yang akan dibuat sebagai 20%
tugas akhir
2 UTS Nobar Film Shazam di OPI Mall (naik LRT bersama, 25%
nonton film di Cinema XXI, dan makan siang) dan
membuat review atas film tersebut
3 Kuis 2 Menulis 20 judul artikel di blog pribadi masing-mas- 20%
ing dengan rincian: 14 materi pokok pembelajaran
sesuai modul, 6 materi tambahan sesuai dengan dina-
mika kegiatan dan masalah selama perkuliahan
4 UAS Membuat film pendek 5-10 menit secara berkelom- 35%
pok (5 orang) dengan lima genre pilihan, yakni:
Drama, Horor, Action, Legenda, dan Humor. Film itu
kemudian dikompetisikan dalam CAFIFEST 2019.
TOTAL 100%

Sumber: Diolah Peneliti

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 111


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Dari semua tugas, pembuatan film pendek untuk dikompetisikan
dalam Candradimuka Film Festival (CAFIFEST) 2019 mendapat
persentase nilai terbesar, yakni 35%. Hal ini karena tugas ini menuntut
kerja keras yang memang lebih besar.

Gambar 2. Poster CAFIFEST 2019


Sumber: IG @cafifest19

Candradimuka Film Festival (CAFIFEST) 2019 adalah event Jurusan


Ilmu Komunikasi STISIPOL Candradimuka dan Himpunan Mahasiswa
Komunikasi (HIMAKOM) STISIPOL Candradimuka yang pertama kali
diadakan di tahun 2019 tepatnya pada hari Selasa, 30 April 2019, pukul
08.00-22.00 WIB. Event yang direncanakan akan berlangsung tiap tahun
ini terdiri dari berbagai kegiatan. Menurut Ketua Pelaksana CAFIFEST
2019, Muhammad Novriadi Saputra pada 20 Juni 2019:
“Adapun kegiatan CAFIFEST 2019 yang berkaitan dengan
Broadcasting, seperti Kompetisi Film Pendek durasi 5-10 menit
untuk kategori Pelajar dan Mahasiswa/Umum se-Sumatera Selatan,
Talk Show Film, Screening Film, Pengumuman dan Pembagian
Hadiah kompetisi film, serta event komunikasi lainnya seperti
Pameran Periklanan & Pemasaran Produk, Pameran Foto Jurnalistik,
juga Cek Kesehatan Gratis.”

112 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Informasi mengenai kegiatan CAFIFEST 2019 sendiri dapat
diperoleh secara langsung di Sekretariat HIMAKOM STISIPOL
Candradimuka atau dengan meng-update informasinya dengan mem-
follow akun Instagramnya di @cafifest19 dengan postingan pertamanya
pada 29 Maret 2019 dan kini memiliki 341 pengikut.

Analisis Siber Media Pada CAFIFEST 2019


Setelah memaparkan tentang deskripsi mata kuliah Sinematografi di
Jurusan Ilmu Komunikasi STISIPOL Candradimuka di atas, berikut ini
analisis siber media pada event Candradimuka Film Festival (CAFIFEST)
2019 dengan menggunakan metode yang digunakan adalah Analisis
Media Siber (AMS) sebagaimana yang ditulis oleh Dr. Rulli Nasrullah,
M.Si dalam bukunya Etnografi Virtual Riset Komunikasi, Budaya dan
Sosioteknologi di Internet (2017).

1. Level Ruang Media


Dalam ruang media, level ini dapat mengungkap bagaimana struktur
yang ada dari medium di internet. Medium ini merupakan lokasi atau
tempat budaya terjadi dan komunitas berinteraksi. Digambarkan oleh
Nasrullah (2017:45), jika mengambil contoh media sosial, prosedur
membuat akun, mempublikasikan konten, maupun aspek grafis dari
tampilan media menjadi salah satu deskripsi yang perlu dijelaskan dalam
laporan penelitian. Maka, jika mengamati pada event CAFIFEST 2019,
berikut ini level ruang media pada mata kuliah Sinematografi tersebut:
1) Telepon
Dalam setiap poster yang dibuat oleh panitia CAFIFEST 2019, selalu
disertakan no telepon contact person, yakni Boya (0853-6876-9575)
dan Sonia (0896-1685-274) untuk langsung menjawab pertanyaan
orang-orang yang ingin tahu lebih lanjut tentang lomba film pendek
(29 Maret 2019-25 April 2019) maupun event CAFIFEST 2019 (30
April 2019) itu sendiri,
2) Aplikasi Pesan (WhatsApp)
Pada konteks komunikasi antar dosen pengampu dan mahasiswa
Sinematografi, serta antar panitia dan peserta CAFIFEST 2019,
pertama kali yang dimunculkan adalah komunikasi via WhatsApp
Personal maupun WhatsApp Group (WAG) CAFIFEST 2019.
Sejak perkuliahan Sinematografi dimulai pada awal Maret 2019,
dosen pengampu sembari mengajar sesuai pokok pembelajaran

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 113


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
tiap minggunya, juga menjelaskan tentang tugas-tugas yang akan
dikerjakan oleh mahasiswa sebagaimana terdata pada tabel 3,
termasuk tentang akan dilaksanakannya event CAFIFEST 2019.
3) Situs Jejaring Sosial Instagram
Ada empat akun Instagram utama yang membantu mempublikasikan
tentang CAFIFEST 2019, yakni akun Instagram STISIPOL
Candradimuka @stisipolcandradimuka, Jurusan Ilmu Komunikasi
STISIPOL Candradimuka @ilkom_stcandradimuka, HIMAKOM
STISIPOL Candradimuka @himakomstc, namun paling utama
adalah CAFIFEST 2019 @cafifest19. Akun ini dikelola oleh admin
yang berbeda dan bertugas untuk memposting foto/video sesuai
nama akunnya. Foto/video yang diposting oleh akun @cafifest19
sendiri sangat beragam dengan jumlah total 72 postingan sejak 29
Maret 2019 sampai dengan 16 Mei 2019, seperti susunan panitia,
informasi tentang persyaratan lomba, pelaksanaan CAFIFEST 2019
hingga pemenang lomba film pendek.

2. Level Dokumen Media


Level dokumen media digunakan untuk melihat bagaimana ini—
sebagai sebuah teks dan makna yang terkandung di dalamnya—diproduksi
dan disebarkan melalui internet. Menurut Nasrullah (2017:51), level
ini pada dasarnya menjawab faktor apa (what) yang menjadi artefak
budaya dalam penelitian etnografi virtual. Teks yang dibangun pengguna
(encoding) menjadi sorotan penting dalam level ini untuk diterjemahkan
(decoding). Di level ini etnografer bisa mengeksplorasi artefak-artefak
budaya dan bagaimana entitas itu memproduksi sebagai bagian dari
interaksi dalam komunikasi virtual. Dalam penerapan di CAFIFEST
2019, level ini banyak tergambar dalam situs jejaring sosialnya, yaitu
Instagram. Saat dianalisis pada akun IG @cafifest19 selama 3 bulan aktif,
akun ini terlihat paling massif melakukan posting saat hari H. Namun
yang menarik, kegiatan event CAFIFEST 2019 ini tidak hanya dilakukan
oleh akun @cafifest19 tapi juga para mahasiswa yang mengikuti mata
kuliah Sinematografi. Pada level ini, media informasi juga sekaligus
menjadi media dokumentasi, seperti dalam publikasi nama-nama
pemenang Lomba Film Pendek CAFIFEST 2019, yang lebih jelasnya
pada tabel berikut:

114 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Tabel 4. Pemenang Lomba Film Pendek CAFIFEST 2019

Kategori Genre Juara Judul Rumah Produksi


Pelajar Drama 1 Noise Dionisius Brisko
Horor 1 Bell Chan NA Team
Action 1 Kos-Ong Muhsafa Production
Mahasiswa Drama 1 Last CnB Production

/Umum
Nom Kampanye RVang Cahaya
Horor 1 Paranoid Papulolo Production
Nom Mata Batin Haw Production
Action 1 Tekanan Iseng-Iseng Production
Nom Si Putih yang Menyesat- Holfaz Production
kan
Legenda 1 Si Pahit Lidah Holfaz Production
Nom Kemaro Island Tralala Entertainment
Comedy 1 Enggak Ori Tak Lakoni
Nom Mutiara & Terumbu Content Creator Ba-
Karang turaja

Sumber: Arsip Panitia CAFIFEST 2019

3. Level Objek Media


Pada level objek media ini, menurut Nasrullah (2017:54), objek
media merupakan unit yang spesifik karena peneliti bisa melihat
bagaimana aktivitas dan interaksi pengguna atau antarpengguna,
baik dalam unit mikro maupun unit makro. Dalam level ini data
penelitian bisa berasal dari teks yang ada di media siber maupun
konteks yang berada di sekitar teks tersebut. Jika pada level dokumen
media penelitia hanya memfokuskan pada teks dari produser, pada
level ini peneliti mengalihkan pada bagaimana teks itu ditanggapi atau
berinteraksi dengan pengguna siber lainnya. Dipahami bahwa teks tidak
hanya tulisan, namun juga foto, video, simbol dan lain-lain. Dalam
organisasi komunitasnya, Jurusan Ilmu Komunikasi juga didukung oleh
HIMAKOM dan Panitia CAFIFEST 2019 bertugas mendesain produk-
produk teks yang beridentitaskan CAFIFEST 2019 untuk kemudian bisa
digunakan oleh para anggotanya sebagai teks bersama. Contohnya pada
teks produksi poster, plakat, sticker, spanduk, backdrop dan lain-lain.

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 115


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Gambar 3. Foto Plakat, Pin, Talk Show dan Para Pemenang CAFIFEST 2019
Sumber: Arsip Jurusan Ilmu Komunikasi STISIPOL Candradimuka

4. Level Pengalaman
Level pengalaman atau experiential stories merupakan gambaran
secara makro bagaimana masyarakat atau anggota komunitas itu di
dunia offline. Menurut Nasrullah (2017:55), ini dimaksudkan bahwa apa
yang muncul di online memiliki relasi dengan dunia nyata. Pada level
ini, etnografer mengungkap realitas di balik teks yang diunggah atau
dikreasikan dan melihat bagaimana, sebagaimana misal, motivasi atau
efek. Di level ini peneliti bisa menghubungkan realitas yang terjadi di
dunia virtual (online) dengan realitas yang ada di dunia nyata (offline).
Di dunia online yang muncul serentak dan masif seperti yang dilakukan
pada 30 April 2019, seluruh peserta CAFIFEST 2019 diminta secara
serentak meng-upload foto kegiatan CAFIFEST 2019. Penggunaan hastag
bersama #candradimukafilmfestival2019 dan #cafifest2019 menjadi alat
untuk mengukur kerja posting yang dilakukan peserta.

Penutup
Dari paparan di atas, dengan menggunakan Analisis Media Siber
(AMS) dalam Etnografi Virtual terhadap CAFIFEST 2019, ditemukan
bahwa mata kuliah Sinematografi yang baru dilaksanakan satu semester
ini mampu ikut mengembangkan pendidikan di era millennial khususnya
di Jurusan Ilmu Komunikasi STISIPOL Candradimuka pada mata kuliah
Sinematografi yang dilaksanakan pada Semester Genap 2018/2019. Dari
hasil analisis ditemukan bahwa mata kuliah Sinematografi akan sangat

116 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
efektif dalam pengembangannya dengan menuntut keaktifan dosen
pengajar dalam mengajar dan memberikan tugas kepada mahasiswanya.
Meski disadari dinamika pengajaran tidak lepas dari konsistensi dunia
akademik sehingga perlu terus menjaga kekompakan antarpihak yang
berkaitan dan terus aktif dalam pengembangan pendidikan.

Daftar Pustaka
Kurnia, Novi. (2002). Bahan Ajar Mata Kuliah Sinematografi (Diktat).
Yogyakarta: Program D3 Komunikasi FISIPOL Universitas Gadjah
Mada.
Nasrullah, Rulli. (2017). Etnografi Virtual Riset Komunikasi, Budaya dan
Sosioteknologi di Internet. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Rokian, Ajmal. (2014). Mengenal Lebih Dekat STISIPOL Candradimuka
Palembang. Palembang: YASIP dan STISIPOL Candradimuka.

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 117


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
118 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi
Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Keterampilan Content Writer Sebagai Penunjang Profesi
Hubungan Masyarakat di Era Cyber

Rachmawati Windyaningrum
Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Informatika dan Bisnis Indonesia
E-mail rachma.ningrum@unibi.ac.id

Pendahuluan
Content writer menjadi fenomena profesi yang diminati kalangan
profesional muda pada era digital. Content writer sendiri merupakan
bagian dari profesi pemasaran maupun periklanan yang bersifat
digital. Hal tersebut dibutuhkan karena munculnya platform digital
yang menyediakan ruang maya untuk kebutuhan pemasaran dan
bisnis. Terlepas dari kebutuhan pemasaran dan bisnis, content writer
dalam dunia komunikasi sangat dibutuhkan pada kegiatan penulisan
media. Tentu saja yang menjadi fokus dalam kegiatan penulisan media
mengerucut pada penggunaan media digital, seperti situs (website), blog,
portal berita, market place, hingga jejaring sosial. Menurut Dominikus
Juju dan Feri Sulianta (2010, p. 195-196) mengatakan bahwa saat ini
banyak portal-portal berita yang membutuhkan jasa content writer
untuk mengisi konten pada situs. Dengan adanya jasa content writer
sebenarnya dapat membantu pemilik situs atau blog agar selalu baru
(update). Dengan demikian jumlah pengunjung (situs atau blog) akan
tetap atau bertambah. Jasa content writer ini didasari atas keterampilan
seseorang dalam membuat penulisan konten berita maupun artikel pada
situs digital.
Banyak artikel populer di media digital membahas keterampilan
content writer sebagai bidang profesi baru yang menjanjikan. Salah
satunya menurut Himam Miladi seorang freelancer content writer dan
penulis kompasiana, menjelaskan bahwa secara umum content writer
atau penulis konten adalah penulis profesional yang menghasilkan
konten menarik untuk digunakan secara online. Konten yang ditulis ini
termasuk naskah untuk marketing (sales copy), e-book, podcast atau
teks untuk grafik. Penulis konten menghasilkan konten untuk berbagai
jenis situs web, blog, jejaring sosial, situs e-commerce, agregator berita,
hingga situs web perguruan tinggi (https://www.kompasiana.com/

Public Relations dan Periklanan | 119


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
primata/5c302ee512ae947a5848a8e5/rahasia-tentang-content-writer-
yang-tak-banyak-terungkap?page=all#, diakses pada 05 Mei 2019, pukul
19.00 wib).
Pernyataan di atas dapat terlihat keterampilan content writer sangat
diperlukan bagi perusahaan, instansi atau lembaga. Berdasarkan hasil
situs pencari kerja jobstreet.co.id terdapat 746 lowongan pekerja terkait
content jobs untuk perusahaan, lembaga kreatif, dan freelance. Selain itu,
hingga bulan Juli 2019 pada situs id.linkenidn.com terdapat 114 posting
terkait pekerjaan content writer di Indonesia. Antusias perusahaan
maupun instansi kepada keterampilan ini cukup diminati, hal ini tidak
terlepas dari keterampilan menulis sebuah konten. Keterampilan menulis
konten dikemukakan Nielsen menulis konten sebenarnya adalah proses
yang cukup rumit dan umumnya membutuhkan keahian yang signifikan
untuk sebuah ide, memberikan petunjuk yang menarik, memberikan
arah perasaan pembaca dan mengakhiri dengan kesimpulan yang
memuaskan (Nielsen, 2009). Dengan penjelasan tersebut, tidak salah
jika keterampilan tersebut kini menjadi profesi yang dibutuhkan oleh
perusahaan atau lembaga, seperti Go-Jek Indonesia, Dana Indonesia,
Tiket.com, PT. Redbuzz Mediatama, dan sebagainya. Namun tidak
hanya perusahaan industri kreatif yang membutuhkan jasa tersebut, bagi
beberapa instansi pemerintah maupun perusahaan konvensional juga
melakukan pengembangan keterampilan pekerjanya untuk memiliki
keterampilan tersebut. Keterampilan content writer menandai pula
hadirnya pengembangan profesi Hubungan Masyarakat (Humas) yang
memasuki era 4.0. Humas 4.0 yang disampaikan Ketua Umum BPP
Perhumas Indonesia, bahwa pada era Humas 4.0 adalah era artificial
intelligent (AI) dan era big data hadir. Di era ini, tugas humas menjadi 7
x 1.440 menit, sehingga Humas harus selalu aware dengan situasi yang
terjadi (https://m.wartaekonomi.co.id/berita182081/humas-indonesia-
menuju-industri-40.html diakses pada 05 Mei 2019, pukul 19.00 wib),
Era Humas 4.0 ini, juga sudah mulai diberlakukan pada Humas
instansi pemerintah, hanya saja Humas instansi pemerintah baik pusat
maupun daerah masih mengadopsi Humas 2.0. dan Humas 3.0. Seperti
pada Pemerintah Kota Bandung maupun Pemerintah Kabupaten
Bandung yang telah menerapkan cyber humas melalui beberapa
platfrom digital yakni situs resmi hingga jejaring sosial. Cyber humas
pada instansi pemerintah diawali dengan hadirnya Undang-Undang
Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008. Sejak tahun 2010,

120 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Pemerintah Kota Bandung maupun Kabupaten Bandung sudah mencoba
menerapkan situs resmi yang dikelola pada bagian Humas. Seiring
dengan hadirnya jejaring sosial yang makin marak digunakan oleh
masyarakat muda (generasi milenial), pada tahun 2014 Pemerintah Kota
Bandung melakukan integrasi situs resmi dengan jejaring sosial, yakni
Twitter, Facebook, dan Instagram sebagai media informasi dan publikasi
kegiatan pemerintah kota. Di tingkat Kabupaten Bandung pun dilakukan
hal yang sama yakni integrasi situs dengan jejaring sosial. Integrasi dan
aktivisi situweb maupun jejaring sosial tidak terlepas dari program Kota
Bandung sebagai Bandung Smart City serta Peraturan Walikota Bandung
Nomor 1352 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengelolaan Informasi dan
Dokumentasi di Lingkungan Pemerintah Kota Bandung.
Adanya aktivitas cyber Humas tersebut, pemerintah Kota Bandung
maupun pemerintah Kabupaten Bandung menyediakan bagian khusus di
dalam bidang Humas dengan tugas sebagai content writer untuk kebutuhan
situs maupun jejaring sosial. Fungsi content writer untuk membantu
penyebaran informasi kepada masyarakat maupun stake holder melalui
media digital. Content writer juga dijadikan bagian yang mengelola situs dan
jejaring sosial terutama instagram. Pada situs content writer harus memastikan
isi konten yang menarik dari segi penulisan berita kegiatan pemerintah,
pengemasan siaran pers terkait kebijakan dan pencapaian kinerja pemerintah,
galeri foto dan video. Aktivitas content writer pada jejaring sosial terutama
Instagram menekankan pada pembuatan konten atau feeds yang ditampilkan
pada Instagram. Konten tersebut mulai dari pengemasan berita kegiatan
pimpinan pemerintah kota atau kabupaten, para pejabat pemerintah kota atau
kabupaten, sosialisasi program pemerintah, ucapan selamat, iklan layanan
masyarakat, peringatan hari-hari besar, dan informasi potensi wisata atau
trade mark dari Kota Bandung maupun Kabupaten Bandung. Berdasarkan
penjelasan tersebut, keterampilan menulis dan fotografi menjadi komoditas
utama profesi Humas di era cyber. Lebih lanjut, tulisan ini akan menjelaskan
bagaimana keterampilan content writer, cyber Humas, dan keterampilan
content writer pada Humas pemerintah.

Pembahasan
Keterampilan Content Writer
Content writer atau penulis konten istilah yang sudah tidak asing bagi
kalangan media. Sebelum hadirnya media digital, content writer banyak

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 121


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
dijumpai pada agensi periklanan, surat kabar maupun majalah. Pada
media tersebut (offline media) content writer difungsikan sebagai penulis
konten-konten untuk artikel. Diungkapkan oleh Roger W. Nielsen,
pergeseran menuju komunikasi elektronik berarti penulis konten,
sekarang harus mengembangkan keterampilan baru dan memperoleh
pengetahuan baru untuk menulis konten tidak hanya untuk edisi tercetak
tetapi untuk situs, e-mail, perangkat genggam, perangkat e-book portable,
internet pada mobile phone, dan pemutar musik digital (Nielsen, 2009, p.
xv). Lebih lanjut sebagai content writer untuk penulisan konten menurut
Melody Y.Ivory, panduan penulisan konten yang ada belum dapat
dimengerti penulis, penulis membutuhkan alat untuk membantu mereka
menyesuaikan diri dengan panduan yang sering tidak jelas, banyak
kontradiktif, atau sulit diterapkan. Hal ini berkaitan dengan kerumitan
navigasi situs, fungsi, dan desain grafis (Waes, Leijten & Neuwirth,
2006). Dengan demikian content writer lebih banyak disesuaikan dengan
kebutuhan perusahaan ataupun instansi sebagai pengguna jasa.
Kunci terpenting dari keterampilan content writer pada media
digital dengan menggunakan prinsip dan teknik untuk menulis konten
pada dasarnya sama yang terpenting jelas, ringkas, dan kredibel. Content
writer harus mampu menemukan orang yang menarik untuk dijadikan
narasumber dan subjek yang menarik serta menghibur pembaca (Nielsen,
2009, p. xv). Ada empat langkah untuk menulis konten, diantaranya :
1. Menemukan ide, mencari ide semenarik mungkin, agar mampu
menarik minat pembaca.
2. Mengumpulkan informasi, mengumpulkan informasi dari berbagai
sumber terpercaya, ahli, serta bidangnya sesuai dengan topik yang
akan disajikan.
3. Mengumpulkan bahan atau data. Data dikumpulkan sesuai dengan
informasi yang didapatkan.
4. Mulai menulis.Tentukan judul headline semenarik mungkin pada
tulisan yang akan di publikasi.
Selain langkah untuk menulis konten terdapat pula keterampilan
yang wajib dimiliki seorang content writer, diantaranya (Juju dan Sulianta,
2010, p. 212-214) :
1. Harus Orisinal. Keorisinalan sebuah konten tentu saja sangat
diharapkan, terlebih isi sangat fresh dan unik. Bangunlah Trust
dengan menciptakan sesuatu yang memang orisinal. Jangan

122 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
menggunakan sistem copas (copy-paste).
2. Tingkatkan kemampuan berbahasa Inggris.
3. Tulis topik sesuai kemampuan.
4. Tingkatkan kemampuan pengetahuan.
5. Kemampuan EYD (Ejaan yang Disesuaikan).
Sebagai content writer yang kini tidak hanya menulis konten pada
situs, namun juga pada jejaring sosial semakin banyak dicari oleh
perusahaan ataupun instansi. Mengutip dari situs penyedia jasa informasi
persiapan karir www.youthmanual.com, menjelaskan syarat dan tugas
content writer sebagai berikut (https://www.youthmanual.com/profesi/
media-dan-periklanan/content-writer, diakses pada 06 Mei 2019, pukul
19.30 wib) :
1. Syarat content writer : memiliki jenjang pendidikan minimal
Sarjana (S1); memiliki pengetahuan tentang komunikasi dan
media (pengetahuan tentang media produksi, komunikasi, serta
teknik dan metode penyebaran termasuk cara alternatif untuk
menginformasikan dan menghibur melalui tulisan, lisan maupun
media visual); pengetahuan tentang struktur dan isi dari Bahasa
Inggris, termasuk arti dan ejaan dari setiap kata, aturan komposisi,
dan tata bahasa. Pengetahuan psikologi, penjualan dan pemasaran;
memiliki kemampuan kelancaran ide (kemampuan menghasilkan
banyak ide untuk satu topik), pemahaman lisan (kemampuan untuk
mendengarkan dan memahami informasi dan ide yang disampaikan
melalui kata dan kalimat lisan), sensitvitas masalah (kemampuan
untuk memberitahu ketika terdapat sesuatu yang salah atau mungkin
salah), pemahaman tertulis (kemampuan untuk membaca dan
memahami informasi dan ide yang disampaikan melalui tulisan), dan
ekspresi tertulis (kemampuan untuk mengomunikasikan informasi
dan ide dalam penulisan sehingga orang lain dapat mengerti).
2. Tugas content writer : mengumpulkan ide, data, serta melakukan
riset untuk bahan tulisan; menghasilkan tulisan yang sesuai dengan
identitas, ciri dan branding yang ingin ditampilkan; berusaha
memenuhi tujuan yang disepakati melalui tulisan yang dihasilkan
(misalnya, tujuan promosi, edukkasi, menghibur, atau memberi
informasi); menyesuaikan tulisan dengan platform yag dipilih,
apakah format blog, microblog, media sosial,cetak, dan lainnya
(dalam hal ini seorang content writer dapat menghasilkan karya

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 123


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
untuk multi-platform); mencari atau memilih atau menghasilkan
visual yang sesuai dengan tulisan.
Merujuk pada syarat dan tugas yang telah dijelaskan di atas, menurut
Tsalis Annisa seorang author penyedia jasa lowongan pekerjaan digital
www.ekrut.com menjelaskan bahwa terdapat delapan keterampilan
content writer yang terdiri dari hard skill dan soft skill. Adapun
keterampilan tersebut yakni (https://www.ekrut.com/media/skill-yang-
dibutuhkan-content-writer, diakses pada 06 Mei 2019, pukul 19.45 wib) :
1. Hard Skill
a. Pengetahuan SEO (Search Engine Optimalization), bagaimana
kriteria konten yang SEO – friendly, mampu menggunakan kata
kunci secara efektif, dan mampu mengikuti setiap perubahan
algoritma Google.
b. Paham format penulisan yang baik. Seorang penulis konten
harus mampu melakukan self-editing serta memahami struktur
kalimat, ejaan Bahasa Indonesia yang sesuai dan peletakkan
tanda baca yang sesuai.
c. Kemampuan riset terhadap topik yang akan dibahas. Seorang
penulis konten perlu memiliki kemampuan riset yang baik
agar mudah menemukan informasi penting dan menarik dari
sumber terpercaya.
d. Kemampuan meringkas. Seorang penulis konten seharusnya
mampu merangkum hal-hal yang telah diriset menjadi sebuah
artikel utuh yang berkesinambungan.
2. Soft skill
a. Fokus
b. Komunikasi
c. Memahami pembaca
d. Mampu memberikan jawaban dari pertanyaan melalui artikel
Berdasarkan penjelasan keterampilan, syarat, dan tugas seorang
content writer dapat terlihat ada suatu kesamaan dengan profesi Humas
terutama di era digital. Di era digital, peran Humas tidak hanya
menjalankan fungsi manajemen secara konvensional, tetapi menjalankan
fungsi pengelolaan citra kepada khalayak digital melalui penyedian
informasi yang selalu terbaru, teraktual, dan menarik. Hal ini sejalan
dengan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) sektor

124 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Kehumasan (2008, p. 4), bahwa kompetensi khusus yang dibutuhkan
dalam bidang Humas sesuai dengan kebutukan tugas-tugas tertentu,
yakni komunikasi lisan, komunikasi tertulis, teknik kehumasan,
management issue, penelitian, manajerial, kempemimpinan, bahasa dan
teknologi. Oleh karena itu, keterampilan content writer dapat menunjang
profesi Humas terutama pada sektor media humas yang menggunakan
jaringan virtual atau digital.

Cyber Humas
Cyber Humas atau yang lebih dikenal dengan istilah Cyber Public
Relations merupakan hasil revolusi industri yang telah mengarah pada
industri 4.0. Dengan berlangsungnya industri yang banyak menggunakan
media digital sebagai media informasi sekaligus media interaksi publik,
profesi Humas pun telah memasuki Humas 2.0 atau Electronic Public
Relations. E-PR adalah inisiatif PR atau public relation yang menggunakan
media internet sebagai sarana publisitasnya, (Onggo, 2004:1). Lebih rinci
, E-PR dapat diartikan sebagai berikut:
E adalah electronic. “E” di dalam E-PR sama halnya dengan “e”
sebelum kata mail atau commerce yang mengacu pada media
elektronik internet. Mengingat popularitas dan multifungsi media
internet, media ini dimanfaatkan pula oleh para pelaku PR untuk
membangun merk (brand) dan memelihara kepercayaan (trust).
P adalah Public. “Public” disini mengacu bukan hanya pada public,
namun pasar konsumen. Public juga tidak mengacu hanya pada
satu jenis pasar konsumen, namun pada berbagai pasar atau public
audience.
R adalah Relations. Relations merupakan sebuah hubungan yang
dipupuk antara pasar dan bisnis anda. Itulah kunci kepercayaan
pasar agar suatu bisnis berhasil.

Cyber humas atau Cyber Public Relations dijelaskan dalam SKKNI (2008,
p 208) bahwa media Humas atau Public Relations yang dilakukan melalui
jaringan virtual atau maya. Dalam SKKNI juga dijelaskan kompetensi
seorang Humas harus meliputi kompetensi penggunaan teknologi,
sehingga profesi Humas sudah memasuki kualifikasi jenjang V atau
ahli. Penyelenggaraan Cyber Public Relations wajib memiliki elemen
kompetensi dan kriteria unjuk kerja berdasarkan SKKNI (2008, p. 176)
sebagai berikut :

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 125


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Tabel 1. Kompetensi Unit Menyelenggarakan Cyber Public Relations

ELEMEN KOMPETENSI KRITERIA UNJUK KERJA


1. Menyiapkan penyelenggaraan 1.1 Proposal Cyber Public Relations disiapkan
Cyber Public Relations 1.2 Design,kapasitas dan konten didiskusikan
kepada mitra, bila diperlukan
1.3 Perangkat keras dan lunak disiapkan
1.4 Tim penyelenggara diusulkan
1.5 Anggaran diusulkan
2. Membuat Cyber Public 2.1. Design, konten dibuat dan provider
Relations dihubungi
2.2. Simulasi operasional dilakukan
2.3. Fasilitas Feedback disiapkan
3. Mengelola cyber public 3.1. Materi untuk cyber sesuai dengan konteks
relations public relations dibuat
3.2. Up-dating isi secara berkala sesuai
kebutuhan dilakukan
3.3 Jumlah pengunjung dan feedback
dikumpulkan, dievaluasi dan ditindaklanjuti
bila diperlukan
4. Melakukan evaluasi 4.1. Evaluasi terhadap penyelenggaraan cyber
public relations dilakukan
4.2. Evaluasi terhadap masukan dari pengunjung
dilakukan
4.3. Evaluasi terhadap perangkat keras dan
lunak dilakukan
4.4. Evaluasi terhadap mitra kerja dilakukan
4.5. Rekomendasi dan tindak lanjut
penyelenggaraan cyber public relations
dilaksanakan

Sumber : SKKNI (2008, p. 176)

Dari beberapa kriteria unjuk kerja terdapat delapan kriteria unjuk


kerja yang memiliki irisan dengan keterampilan seorang content writer.
Delapan kriteria unjuk kerja tersebut yakni, design, kapasitas dan
konten, simulasi operasional, materi untuk cyber sesuai konteks, up-
dating isi secara berkala, pengelolaan jumlah pengunjung dan feedback
dikumpulkan. Dengan demikian keterampilan content writer yang
dibutuhkan perusahaan maupun instansi pemerintah dapat difungsikan
dalam tugas pokok dan fungsi Humas.

Keterampilan Content Writer Pada Humas Pemerintah


Humas pemerintah baik pusat maupun daerah secara tugas pokok dan
fungsi memiliki kesamaan. Terlebih kini profesi Humas sudah memasuki

126 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
era 2.0 (Cyber Humas), yang diseleraskan dengan kebijakan keterbukaan
informasi publik dan e-government (electronic government). Secara umum
fungsi pokok Humas pemerintahan pada dasarnya adalah sebagai berikut:
1. Mengamankan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintahan.
2. Memberi pelayanan dalam penyebarluasan pesan atau informasi
yang berkaitan dengan kebijakan ataupun program-program
kerja secara nasional pada masyarakat
3. Berperan dalam menciptakan suasana yang kondusif dan juga
dinamis guna mengamankan dan menstabilkan keamanan
politih pembangunan nasioanal, baik dalam jangka panjang
ataupun dalam jangka pendek.
4. Menjadi sosok komunikator dan juga sekaligus menjadi
mediator yang proaktif dalam menghubungkan kepentingan
instansi Pemerintah disatu pihak dan juga menampung aspirasi
pendapat, serta memperhatikan keinginan dan tuntutan publik
di lain pihak. (Ruslan, 2005, p. 345)
Menjalankan fungsi pokok Humas tersebut dilaksanakan dalam bentuk
kegiatan rutin antara lain sebagai berikut:
1. Kemampuan menjalin dan membina saling pengertian yang
hendaknya timbul antara public internal dan juga eksternal.
2. Menjadi pusat pelayanan dan pemberian infromasi, baik yang
berasal dari pihak lembaga Pemerintah sendiri ataupun dari
khalayak yang menjadi publiknya.
3. Mengumpulkan berbagai sumber data informasi yang didapat
dari berbagai sumber, khususnya yang sangat berkaitan dengan
kepentingan lembaga tersebut untuk menciptakan opini publik.
4. Kemampuan dalam membuat berbagai produk publikasi Humas
misalnya kliping, press release, news letter, majalah internal, bulletin,
brosur, poster, dan lain sebagainya. (Ruslan, 2005, p. 345)
Semenjak hadirnya Cyber Humas dan e-government, kegiatan rutin
tersebut tidak hanya dilakukan secara konvesional, tetapi kini lebih
memanfaatkan media digital sebagai informasi terkait pemerintah.
Pemanfaatan media digital baik menggunakan konsep cyber Humas dan
e-government ini menjadi suatu sinergi dalam proses pelaksanaan good
public governence. Seperti pada Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung
yang sejak 2014 sudah aktif menggunakan platform situs dengan domain

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 127


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
.go.id dan jejaring sosial (Twitter, Facebook, dan Instagram) yang saling
terintegrasi satu sama lain. Menurut Muhammad Solihin yang pernah
menjabat sebagai Pjs Walikota Bandung tahun 2018, menjelaskan tugas
kehumasan sangat penting dalam menginformasikan berbagai hal yang
berkaitan dengan pembangunan dan pemerintahan. Penyampaian
informasi yang tepat, bisa mengangkat citra pemerintahan. Itulah
pentingnya peranan Humas dalam pelaksanaan pembangunan (http://
humas.bandung.go.id/humas/berita/2018-05-08/humas-2-0-ujung-
tombak-informasi-pemkot-bandung, diakses pada 25 Mei 2019, pukul
17.14 wib).
Pernyataan tersebut dapat dibuktikan melalui situs humas.bandung.
go.id yang menawarkan fitur-fitur untuk mengakses informasi seputar
Kabar Terkini Kota Bandung, informasi rutin praktiraan cuaca dan
informasi kebutuhan pokok masyarakat, Agenda Pimpinan Daerah,
Unduh Foto dan Video Kegiatan, Layanan Aspirasi dan Pengaduan
Online Rakyat, dan integrasi link jejaring sosial. Kelengkapan fitur
yang tersedia pada situs humas.bandung.go.id dan aktivitas yang selalu
terbaru, situs tersebut pada tahun 2018 mendapatkan nominasi untuk
tiga kategori di Ajang Media Humas. Kategori tersebut terdiri dari
kategori siaran pers (pemberitaan), pelayanan informasi melalui website,
dan media sosial. Hal ini tidak terlepas dari Bagian Humas Pemkot
Bandung yang memiliki Sub Bagian Humas, Peliputan dan Dokumentasi
Humas Kota Bandung, serta Sub Bagian Kemitraan Media dan Publikasi
Humas Kota Bandung. Kedua bagian tersebut memiliki tugas yang saling
bersinergi, seperti pada bagian peliputan dan dokumentasi melakukan
peliputan untuk kegiatan eksekutif, legislatif, konferensi pers, dan press
release. Selanjutnya, bagian kemitraan media dan publikasi melakukan
pengembangan media publikasi cetak dan elektronik.
Tugas tersebut sangat memerlukan keterampilan penulisan konten
untuk dapat menghasilkan artikel atau berita yang dapat menarik
perhatian masyarakat Kota Bandung. Terlihat pada situs humas.
bandung.go.id yang tampilannya dibuat tidak kaku seperti situs instansi
pemerintahan pada umumnya. Banyak foto-foto kegiatan maupun
program pemerintah terbaru yang dipublikasi. Secara umum tampilan
situs ini lebih terlihat sebagai portal berita yang mengangkat pemberitaan
lokal. Hal ini memang disesuaikan dengan fungsi situs tersebut sebagai
media informasi sekaligus media penyeimbang atas pemberitaan yang
tidak sesuai dengan program Pemkot Bandung. Di sinilah keterampilan

128 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
content writer diperlukan untuk menuliskan headline yang menjual
dimata masyarakat. Selain headline, dari segi penulisan dikemas
layaknya penulisan berita langsung yang mengandung struktur 5W+1H
(What, Where, When, Who, Why, dan How).

Gambar 1. Tampilan Situs Humas Pemkot Bandung


Sumber : humas.bandung.go.id, 2019

Selain situs humas.bandung.go.id, keterampilan content writer juga


diterapkan pada produksi konten pada jejaring sosial Instagram, Twitter,
dan Facebook. Konten yang disajikan serupa dengan konten pada situs
resmi, akan tetapi yang membedakan dilihat dari desain tampilannya
yang lebih dinamis dan mengikuti kebutuhan generasi muda. Hal ini
tercermin pada logo humasbdg yang dibuat minimalis dengan dominan
warna pastel. Selanjutnya, terdapat desain template pada setiap foto
yang dipublikasi, dan isi pesan atau captions yang diberikan sangat
ringkas, jelas, dan kredibel memenuhi aspek 5W+1H. Dalam penulisan
captions, Instagram humasbdg tidak menggunakan tanda tagar, yang

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 129


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
sering digunakan adalah fungsi mention untuk menyebut nama (akun
Instagram) yang terlibat pada acara atau produksi konten tersebut.

Gambar 2. Tampilan Jejaring Sosial Instagram Humas Pemkot Bandung


Sumber : @humasbdg, 2019

Hampir serupa dengan pemerintah Kota Bandung, di tingkat daerah pun


Humas Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung sudah memasuki cyber
humas. Pemkab Bandung memiliki bagian khusus yang sudah melembaga
dalam pengelolaan jejaring sosial. Content writer pada Pemkab Bandung di
bawah tanggungjawab Sub-Bagian Humas yang berperan dalam mengelola
akun media sosialnya. Berdasarkan hasil penelitian Putriyanti (2019, p.2)
Content writer Pemkab Bandung berawal dari pembagian tugas pada tim
Publikasi Humas. Tim publikasi membagi menjadi tiga bagian tugas yakni
content creator, fotografer, dan content writer. Tidak jauh berbeda dengan
jejaring media sosial Instagram milik Pemkot Bandung, pada Pemkab
Bandung content writer menentukan konten maupun headline pada rilis serta
dapat dijadikan konten penting pada captions yang tercantum pada Instagram.
Content writer menulis captions di media sosial dalam bentuk pemberitahuan
ataupun ajakan kepada masyakat, juga disertai dengan tagar agar lebih
menarik dan mudah dalam sistem SEO (Search Engine Optimalization) untuk
pencarian berita terkait dengan tagar.
Dengan demikian, kini keterampilan content writer tidak lagi
hanya pada kebutuhan bisnis dan pemasaran. Namun keterampilan

130 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
tersebut sudah berkembang merambah pada keperluan penyebaran
informasi kegiatan pemerintah dan peningkatan citra pemerintah di
kalangan masyarakat. Keterampilan content writer dijadikan alat untuk
menjalankan fungsi Humas sesuai dengan kompetensi menyelenggarakan
cyber public relations di sebuah instansi pemerintah.

Penutup
Content writer memasuki era digital menjadi komoditas utama
dalam membuat konten publikasi digital. Tidak salah kini banyak
generasi muda yang mendalami keterampilan penulisan konten serta
pembuatan ide publikasi digital untuk menarik antusias warga digital. Hal
tersebut ditandai dengan banyaknya penyedia jasa penulis konten lepas.
Perusahaan besar maupun instansi pemerintah pun kini membutuhkan
jasa tersebut sebagai penunjang salah satu bagian Humas, agar dapat
mempertahankan citra. Oleh karena itu, sudah seharusnya keterampilan
content writer mulai keterampilan hard skill dan soft skill telah dimiliki
seorang profesi Humas. Keterampilan tersebut sangat diperlukan bagi
instansi pemerintah untuk menunjang tugas pokok dan fungsi humas
sebagai pengaman kebijakan pemerintah, fasilitator sosialisasi program
pemerintah, pelayanan keterbukaan informasi, pencipta opini publik
yang saling pengertian diantara publik eksternal dengan publik internal
perusahaan atau instansi pemerintah.

Daftar Pustaka
Juju, Dominikus, dan Sulianta, Feri. (2010). Kiat Sukses Menjadi IT
Freelance. Jakarta: Elex Media Komputindo. s
Luuk Waes, . L. (2006). Writing and Digital Media. Amsterdam: Elsevier.
Nielsen, R. W. (2009). Writing Content. United State of America: RW.
Nielsen Company.
Onggo, Bob Julius. (2004). E-PR Menggapai Publisitas di Era Interaktif
Lewat Media ONLINE. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta.
Putriyanti, Fitri. (2019). Peran Content Writer Sub-Bagian Hubungan
Masyarakat Sekretariat Daerah Kabupaten Bandung (Sub-Bagian
Humas Setda Kabupaten Bandung) dalam Penyebaran Informasi
Kegiatan Pemerintahan Daerah Di Instagram dan Facebook).
Bandung: Universitas Informatika dan Bisnis Indonesia.

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 131


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Ruslan, Rosady. (2005). Manajemen Public Relation dan Media
Komunikasi: Konsep dan Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.

Referensi lain
Kementrian Komunikasi dan Informatika. (2008).Standar Kompetensi
Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) sektor Kehumasan. Jakarta.
https://www.kompasiana.com/primata/5c302ee512ae947a5848a8e5/
rahasia-tentang-content-writer-yang-tak-banyak-
terungkap?page=all#, diakses pada 05 Mei 2019, pukul 19.00 wib
https://m.wartaekonomi.co.id/berita182081/humas-indonesia-menuju-
industri-40.html diakses pada 05 Mei 2019, pukul 19.00 wib
https://www.youthmanual.com/profesi/media-dan-periklanan/content-
writer, diakses pada 06 Mei 2019, pukul 19.30 wib
https://www.ekrut.com/media/skill-yang-dibutuhkan-content-writer,
diakses pada 06 Mei 2019, pukul 19.45 wib
http://humas.bandung.go.id/humas/berita/2018-05-08/humas-2-0-
ujung-tombak-informasi-pemkot-bandung, diakses pada 25 Mei
2019, pukul 17.14 wib

132 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Strategi Pendidikan Tinggi Pesantren
Dalam Pengembangan Konten Pembelajaran E-Learning
Di Era Industri 4.0

Rila Setyaningsih1, Abdullah2, Edy Prihantoro3, Hustinawaty4


Universitas Darussalam Gontor1,2, Universitas Gunadarma3,4
1
Email : rilasetya@unida.gontor.ac.id1, abdullah@unida.gontor.ac.id2,
edipri@staff.gunadarma.ac.id3, hustina@staff.gunadarma.ac.id4

Pendahuluan
Era revolusi industri 4.0 membawa berbagai pengaruh terhadap
aspek kehidupan manusia termasuk dalam aspek pendidikan. Perguruan
tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan di Indonesia dituntut untuk
melakukan penyesuaian-penyesuaian di era revolusi industri 4.0. Misi
utama pendidikan tinggi di era revolusi industri 4.0 adalah menghasilkan
lulusan yang memiliki kompetensi yang mumpuni untuk bersaing secara
global (Melinda, 2011). Pendidikan tinggi harus mampu menyesuaikan
diri dalam menghadapi era revolusi industri 4.0. Mau tidak mau
penyesuaian diri harus dilakukan, karena jika tidak maka pendidikan
tinggi tersebut akan tertinggal. Perubahan yang terjadi di era revolusi
industri 4.0 harus disikapi dengan bijaksana agar pendidikan tinggi
mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan zaman.
Pendidikan tinggi berbasis pesantren sebagai bagian dari sistem
pendidikan di Indonesia juga menghadapi tantangan yang sama yaitu
harus mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan era revolusi industri
4.0. Pemanfaatan berbagai metode pembelajaran yang bersinggungan
dengan teknologi digital (e-learning) penting dilakukan. Tujuannya adalah
agar pendidikan tinggi pesantren mampu memiliki daya saing dengan
lembaga pendidikan tinggi lain. Di samping itu, penyesuaian diri penting
dilakukan karena pesantren adalah “bapak” dari pendidikan Islam di
Indonesia yang didirikan karena adanya tuntutan dan kebutuhan zaman
(Mar’ati, 2014). Eksistensi pendidikan pesantren haru tetap terjaga.
Dalam perspektif pesantren modern, santri dididik untuk memiliki
pengetahuan umum, menguasai teknologi dan soft skill, disamping
pengetahuan agama sebagai inti keilmuannya. Imam Zarkasyi

Public Relations dan Periklanan | 133


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
menyatakan bahwa dalam bidang kurikulum pesantren tradisional hanya
mengajarkan pengetahuan agama, sehingga lulusannya tidak dapat
memasuki lapangan kerja yang mensyaratkan memiliki pengetahuan
umum, penguasaan teknologi dan keterampilan (Nurhakim, 2011).
Konsep e-learning membawa pengaruh terjadinya proses transformasi
pendidikan konvensional ke dalam bentuk digital baik secara isi (content)
maupun sistemnya (Agustina, 2015). Pendidikan konvensional dengan
metode sorogan dan ceramah dapat diinovasi dengan pemanfaatan
teknologi pendidikan yang lebih kreatif dan inovatif sesuai perkembangan
teknologi pendidikan. Hal ini karena kemajuan teknologi saat ini benar-
benar telah diakui dan dirasakan memberikan banyak kemudahan bagi
kehidupan umat manusia.
Kondisi yang dialami Universitas Darussalam Gontor khususnya
pada program studi Ilmu Komunikasi adalah memiliki kampus yang
berada pada 2 lokasi berbeda, kampus pusat (Siman) dan kampus cabang
(Gontor), juga materi perkuliahan dosen yang belum terdokumentasi
dengan baik. Disamping itu ada kecenderungan jika suatu lembaga
pendidikan tinggi tidak memasuki ranah teknologi digital akan digilas
oleh persaingan lulusan yang memiliki keterampilan bervariasi. Daya
saing yang harus dimiliki adalah penguasaan teknologi, hal ini sejalan
dengan pernyataan bahwa di abad 21 pendidikan harus senantiasa
bergerak sejalan dengan kemajuan zaman (Trilling & Fadel, 2009).
Pergerakan ini didasarkan pada perubahan paradigma pendidikan dari
yang bersifat konvensional menuju pendidikan abad modern.
Pemanfaatan e-learning dalam dunia pendidikan termasuk juga
pendidikan tinggi pesantren menjadi sebuah tuntutan di era IoT
(Internet of Things) sekarang ini. E-learning merupakan cara baru dalam
proses belajar mengajar dengan menggunakan teknologi informasi dan
komunikasi sebagai sistem pembelajarannya (Khamidah & Triyono,
2013). Banyak ditemukan artikel yang membahas pemanfaatan e-learning
dalam pembelajaran diantaranya tentang pemanfaatan e-learning sebagai
media pembelajaran. Hasil dan pembahasan artikel tersebut menunjukkan
bahwa kondisi pemanfaatn e-learning sebagai media pembelajaran di
Universitas Bina Darma berada pada kondisi cukup baik dengan tingkat
presentase sebesar 60% (Agustina, 2015). Artikel lain tentang pesantren
di era revolusi industri 4.0 juga pernah dilakukan dengan topik pesantren
di antara generasi alfa dan tantangan dunia pendidikan era revolusi
industri 4.0. Hasil analisis menunjukkan bahwa diantara upaya yang

134 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
bisa dikembangkan adalah membangun literasi digital di pesantren dan
membuat kanal (channel) kajian keislaman (Gazali, 2018).
Sejalan dengan kedua artikel sebelumnya, artikel ini bertujuan untuk
menganalisis strategi yang dilakukan Universitas Darussalam Gontor
sebagai sebuah lembaga pendidikan pesantren dalam mengembangkan
konten pembelajaran e-learning mata kuliah dasar Ilmu Komunikasi
sebagai bentuk penyesuaian diri di era revolusi industri 4.0. Inovasi dan
modernisasi pendidikan adalah suatu yang penting dalam melahirkan
sebuah peradaban Islam yang modern (Baidlawi, 2006). Disisi lain,
pesantren menjadi sarana penting yang memiliki andil besar dalam
membangun peradaban Islam. Oleh karena itu, pembahasan tentang
strategi penyesuaian diri pesantren terhadap era revolusi industri 4.0
dalam pembelajaran menjadi penting dan menarik untuk dilakukan.

Pembahasan
Tahap pertama analisis kebutuhan, yaitu memperkiraan dan
mengukur urgensi penggunaan e-learning. Dalam tahap analisis
kebutuhan, dilakukan juga studi kelayakan pemanfaatan e-learning
dengan cara 1).mempertimbangkan hal-hal teknis seperti ketersediaan
jaringan internet, infrastruktur pendukung seperti komputer, dan tenaga
teknis yang mampu mengoperasikan e-learning, 2).keuntungan ekonomis,
3).faktor sosial tentang penerimaan e-learning oleh masyarakat. Faktor
utama yang menjadi latar belakang pengembangan konten pembelajaran
e-learning di Universitas Darussalam Gontor adalah karena letak kampus
yang berada di lokasi yang berbeda dan materi pembelajaran dosen yang
belum terdokumentasi dengan baik.
Berkaitan dengan studi kelayakan, Universitas Darussalam Gontor
telah melakukan berbagai pertimbangan sebelum mengembangkan
e-learning. Hal teknis berupa ketersediaan internet, infrastruktur
pendukung dan tenaga teknis telah disiapkan. Pengelolaan e-learning
di Universitas Darussalam Gontor dikelola oleh PPTIK UNIDA Gontor.
E-learning dapat menjadi media pembelajaran yang dianggap lebih efektif
dan menguntungkan secara ekonomis, ini karena kegiatan pembelajaran
dosen terutama di kampus cabang dapat dilakukan secara daring. Sehingga
menghemat waktu dan biaya dosen dalam melakukan perjalanan ke
kampus cabang meskipun tidak semua kegiatan pembelajaran dilakukan
secara daring.

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 135


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Pertimbangan tentang penerimaan e-learning di lingkungan
Universitas Darussalam Gontor mengalami beberapa dinamika.
Berkembangnya pola pikir bahwa pembelajaran di pesantren harus
dilakukan secara tatap muka karena bertemu dengan guru/ustad (dosen)
adalah keberkahan, menjadi sebuah kendala. Akan tetapi ketaatan
kepada kyai (rektor) di Universitas Darussalam Gontor menjadi peluang
dalam pengembangan e-learning. Rektor sebagai central figure dapat
mempengaruhi semua civitas akademik di Universitas Darussalam
Gontor untuk patuh dan taat menjalankan berbagai keputusan. Kondisi
ini mendorong kemudahan dalam pengembangan e-learning di
Universitas Darussalam Gontor.
Tahap kedua dalam strategi pengembangan e-learning di Universitas
Darussalam Gontor adalah rancangan instruksional. Dalam menentukan
rancangan instruksional dilakukan pertimbangan tentang course analysis
and learning unit analysis. Pengembangan 10 konten pembelajaran
e-learning pada mata kuliah dasar Ilmu Komunikasi di Universitas
Darussalam Gontor telah melalui berbagai pertimbangan dan kesepakatan
dengan berbagai pihak. Lima mata kuliah dasar dikembangkan di tahun
pertama terdiri dari Pengantar Ilmu Komunikasi, Psikologi Komunikasi,
Teori Komunikasi, Komunikasi Massa, dan Komunikasi Kontekstual.
Selanjutnya pada tahun kedua dikembangkan juga konten pembelajaran
mata kuliah dasar islamisasi kekhasan prodi yang terdiri dari Islamic PR,
Islamic Broadcasting, Islamic Cybermedia, Public Speaking, dan TOAFL.
Secara umum perbaikan dan pengembangan mata kuliah ditujukan pada
rekonstruksi mata kuliah tersebut. Hal ini dilakukan dengan pemikiran
bahwa suatu mata kuliah memiliki relevansi yang tinggi dengan
kemajuan dan perkembangan informasi, sehingga perlu memperhatikan
dan menangkap kecenderungan atau trend perubahan yang terjadi.
Tahap selanjutnya berupa tahap pengembangan, ini dilakukan
secara bertahap di Universitas Darussalam Gontor. Diawali dengan tahap
penyiapan fasilitas dan konten pembelajaran yang di upload di website
e-learning melalui workshop penyusunan konten pembelajaran yang
kreatif dan inovatif. Selanjutnya proses upload konten dan persiapan
implementasi e-learning kepada mahasiswa. Konten pembelajaran
dan rancangan instruksional yang digunakan dievaluasi secara
berkesinambungan. Proses pengambangan e-learning di Universitas
Darussalam Gontor juga mengalami proses difusi inovasi. Difusi inovasi
adalah proses bagaimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran

136 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
komunikasi tertentu sepanjang waktu kepada anggota kelompok dari
suatu sistem sosial (Rusmiarti, 2015). Pengembangan e-learning tidak
begitu saja langsung diterima tetapi mengalami berbagai tahap dan
dinamika dalam pengembangannya.
Tahap keempat adalah pelaksanaan yang dilakukan dengan
beberapa proses. Diawali dengan penyiapan insfrastruktur berupa
website e-learning moodle, penyusunan konten pembelajaran mata
kuliah dasar Ilmu Komunikasi, upload konten pembelajaran, dan uji
coba kepada mahasiswa. Tahap pelaksanaan pengembangan konten
pembelajaran e-learning mata kuliah dasar Ilmu Komunikasi di
Universitas Darussalam Gontor ini baru sampai pada uji coba dan belum
sepenuhnya diimplementasikan kepada mahasiswa. E-learning memiliki
tiga fungsi yaitu sebagai suplemen yang sifatnya pilihan, komplemen
atau pelengkap, dan subtitusi atau pengganti (Khamidah & Triyono,
2013). Fungsi e-learning di Universitas Darussalam Gontor lebih sebagai
komplemen yang melengkapi model pembelajaran tatap muka sebagai
model pembelajaran utama di pesantren.
Tahap terakhir dalam strategi pengembangan konten pembelajaran
e-learning di Universitas Darussalam Gontor adalah evaluasi. Tahap
ini penting dilakukan untuk mengukur kelayakan dan keberlanjutan
e-learning yang dikembangkan. Selain itu dilakukan pula evaluasi
terhadap materi atau konten pembelajaran yang diupload dalam website
e-learning. Meskipun demikian proses evaluasi belum final, hal ini
karena tahap implementasi kepada mahasiswa juga baru sampai pada
tahap uji coba dan belum diimplementasikan secara keseluruhan.
Kegiatan evaluasi akan terus dilakukan sehingga pengembangan
konten pembelajaran e-learning mata kuliah dasar Ilmu Komunikasi di
Universitas Darussalam Gontor dapat dilaksanakan secara optimal.
Lima tahap strategi pengembangan konten pembelajaran
e-learning di Universitas Darussalam Gontor merupakan proses yang
berkesinambungan. Strategi pengembangan konten pembelajaran
mata kuliah dasar Ilmu Komunikasi di Universitas Darussalam Gontor
dilakukan untuk mendokumentasikan materi pembelajaran dosen yang
lebih baik dan memudahkan proses pembelajaran dikampus cabang yang
dapat dilakukan secara daring.

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 137


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Penutup
Artikel ini menganalisis strategi pengembangan konten pembelajaran
e-learning mata kuliah dasar Ilmu Komunikasi Universitas Darussalam
Gontor dalam menghadapi era revolusi industri 4.0. Konten pembelajaran
yang dikembangkan terdiri dari 5 mata kuliah dasar Ilmu Komunikasi
(Pengantar Ilmu Komunikasi, Psikologi Komunikasi, Teori Komunikasi,
Komunikasi Massa, dan Komunikasi Kontekstual) dan lima mata kuliah
islamisasi kekhasan prodi (Islamic PR, Islamic, Broadcasting, Iscalic
Cyber Media, Public Speaking, dan TOAFL). Strategi pengembangan
konten pembelajaran dilakukan melalui 5 tahap yaitu analisis kebutuhan,
rancangan instruksional, tahap pengembangan, pelaksanaan dan
evaluasi. Kontribusi penelitian ini berupa strategi pengembanagn
konten pembelajaran e-learning di era revolusi industri 4.0 yang dapat
dilakukan oleh lembaga pendidikan tinggi pesantren. Penelitian tentang
efektivitas strategi pengembangan konten pembelajaran e-learning
mata kuliah dasar Ilmu Komunikasi di Universitas Darussalam Gontor
perlu dilakukan. Rekomendasi penelitian juga ditujukan bagi pemangku
kebijakan di Universitas Darussalam Gontor untuk memaksimalkan
pemanfaatan e-learning sebagai sebuah inovasi teknologi pendidikan
dan terus melakukan inovasi untuk memperkuat eksistensinya di era
revolusi industri 4.0.

Daftar Pustaka
Agustina, M. (2015). Pemanfaatan E-Learning sebagai Media
Pembelajaran. Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi
(SNATI), 8–12.
Baidlawi, H. M. (2006). Modernisasi Pendidikan Islam ( Telaah Atas
Pembaharuan Pendidikan di Pesantren). Tadris, 1(2), 154–167.
Gazali, E. (2018). Pesantren Di Antara Generasi Alfa Dan Tantangan
Dunia Pendidikan Era Revolusi Industri 4.0. OASIS : Jurnal Ilmiah
Kajian Islam.
Khamidah, K., & Triyono, R. A. (2013). Pengembangan Aplikasi
E-Learning Berbasis Web Dengan Php Dan MySql Studi Kasus
SMPN 1 Arjosari. IJNS-Indonesian Jurnal on Networking and
Security, 2(2), 1–7.
Kusmana, A. (2011). E-Learning Dalam Pembelajaran. Lentera
Pendidikan : Jurnal Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan, 14(1), 35–51.

138 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Mar’ati, R. (2014). Pesantren Sebagai Basis Pendidikan Karakter ;
Tinjauan Psikologis. AL-MURABBI: Jurnal Studi Kependidikan
Dan Keislaman, 1(1), 1–15.
Melinda, C. (2011). Challenges of Lecture in Industrial Era 4.0. In Seminar
Nasional Universitas Pasir Pengairan (pp. 33–36).
Nurhakim, M. (2011). Imam Zarkasyi Dan Pembaharuan Pesantren :
Rekonstruksi Aspek Kurikulum, Menejemen Dan Etika Pendidikan.
Progresiva, 5(1), 83–96.
Rusmiarti, D. . (2015). Analisis difusi Inovasi dan Pengembangan Budaya
Kerja Pada Organisasi Birokrasi. Jurnal Masyarakat Telematika
Dan Informasi, 6(2), 85–100.
Trilling, B., & Fadel, C. (2009). Learning Past and Future. In 21st century
skills : learning for life in our times.

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 139


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
140 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi
Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Optimalisasi Metode Social Learning dalam Kegiatan
Praktikum Berbasis Media Sosial pada Laboratorium
Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Halu Oleo

Sitti Utami Rezkiawaty Kamil, Sutiyana Fachruddin, Ikrima Nurfikria,


Marsia Sumule G, Fera Tri Susilawaty
Universitas Halu Oleo Kendari
e-mail : timtam.kamil@gmail.com, Infokreasi77@gmail.com,
Ikrima80@gmail.com, anak_kendari@yahoo.com, feralawata@gmail.com

Pendahuluan
Perkembangan teknologi yang semakin canggih dan tidak
terbendung membawa dunia mempersiapkan diri demi memenuhi
tuntutan dan tantangan revolusi industri 4.0. Era ini turut mengubah
sistem pembelajaran dan proses pengajaran di perguruan tinggi.
Berdasaran evaluasi awal tentang kesiapan Negara dalam menghadapi
revolusi industri 4.0, Indonesia dinilai memiliki potensi yang cukup
diperhitungkan, dalam global competitiveness index pada world
economic forum 2017-2018 menempati posisi ke-36 dari 137 negara,
sehingga sasaran strategis ikut berubah temasuk dalam perguruan
tinggi. Kementrian riset dan teknologi (Kemenristekdikti) dalam hal ini
menyusun strateginya dengan melakukan perubahan pada program dan
model layanannya yang lebih banyak menyediakan dan menggunakan
teknologi digital (online). Meski demikian masih banyak perguruan
tinggi yang harus menyesuaikan dengan kondisi revolusi indusri 4.0
sebab terdapat banyak perubahan kebijakan dan program yang terkait
dengan sumber daya ilmu pengetahuan pendidikan tinggi, kelembagaan,
pembelajaran, dan kemahasiswaan serta riset dan pengembangan inovasi.
Memasuki era Revolusi industri 4.0 mengharuskan civitas akademika
untuk mengarungi dua dunia yaitu dunia riil dan dunia virtual. Internet
of things yang menjadi hal terpenting sebab di era ini mengkondisikan
manusia secara personal dan komunal sangat bergantung kepada dunia
virtual yang semakin complicated dan serba menggunakan istilah smart.
Berdasarkan laporan the future of jobs dari world economic forum dijelaskan
bahwa terdapat lima keterampilan sumber daya manusia (SDM) dalam

Public Relations dan Periklanan | 141


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
era industri 4.0 dalam rentang waktu 2015-2020. Keterampilan tersebut
adalah complex problem solving, social skill, process skill, system skill dan
cognitive ability. Kelima keterampilan tersebut setidaknya memberikan
gambaran bahwa untuk menghadapi revolusi industri 4.0, dibutuhkan
sumber daya manusia yang berkemampuan kognitif yang fleksibel,
logika berpikir yang baik, sensitif terhadap masalah, berkemampuan
dalam hitungan atau matematika dan visualisasi. Pendidikan tinggi
dalam hal ini perguruan tinggi harus dapat memenuhi tuntutan untuk
mempersiapkan sumber daya manusia yang unggul dan berdaya saing
dalam era revolusi industri 4.0, membentuk mahasiswa yang nantinya
akan menjadi pelaku industri.
Perguruan tinggi harus dapat menyikapi setiap perubahan dengan
bijaksana sehingga dapat menghasilkan output yang positif, sebuah
kondisi dimana mengharuskan perubahan mindset, cara kerja dan pola
membangun hubungan yang harmonis antar kelompok masyarakat dan
organisasi. Yang bertahan di era revolusi industri 4.0 yakni mereka yang
berhasil membangun dirinya dan menyesuaikan diri dengan perubahan-
perubahan tersebut. Pemanfaatan teknologi adalah hal mutlak dalam
pelaksanaan revolusi industri 4.0 tak terkecuali pula dalam dunia
pendidikan. Pada dasarnya teknologi diciptakan untuk memudahkan
manusia akan tetapi menjadi masalah ketika sumberdaya manusia di
perguruan tinggi tidak siap.
Terdapat 87% mahasiswa baru Jurusan Ilmu Komuikasi Universitas
Halu Oleo ditahun 2017 yang tidak mengetahui cara mengoperasikan
email. Ditahun 2018, 78% mahasiswa mengaku tidak tahu mengoperasikan
email dan tidak memiliki email. Pernyataan tersebut merupakan hasil
penelitian tentang pemanfaatan teknologi komunikasi pada mahasiswa
baru di Jurusan Ilmu Komunikasi yang dilakukan oleh Laboratorium
Ilmu Komunikasi Universitas Halu Oleo dalam kurun dua tahun
berturut-turut sejak tahun 2017 dan tahun 2018 setiap awal tahun ajaran
baru, fakta ini sekaligus pula menunjukkan bahwa untuk pemanfaatan
teknologi komunikasi masih belum optimal dikalangan mahasiswa.
Fakta ini pula yang menjadi permasalahan dari jurusan ilmu komunikasi
dalam melaksanakan e-learning untuk menjawab tantangan pelaksanaan
revolusi industry 4.0. Fakta lain yang cukup menarik yang ditemukan
dalam penelitian yang sama yang dilakukan saat pra penelitian tersebut
adalah 100% responden ditahu 2017 dan 2018 mengakui memiliki media
sosial dan aktif menggunakan media sosial setiap harinya.

142 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Pada dunia pendidikan khususnya pada jenjang perguruan tinggi,
proses belajar tidak hanya terfokus pada penyampaian informasi di kelas,
akan tetapi seiring perkembangan zaman muncul media sosial yang
memungkinkan proses pendidikan dilakukan dalam ruang lain secara
maya. Penggunaan media sosial secara formalnya dapat diartikan sebagai
kombinasi antara belajar secara analog maupun secara online. Media
sosial dalam dunia pendidikan secara fungsinya dikondisikan sebagai
bentuk kolaborasi dan kreativitas penggunanya. Kondisi yang terjadi saat
ini, masih banyak pihak yang belum menyadari pentingnya kebutuhan
media sosial dan internet dalam dunia pendidikan. Komunikasi media
sosial yang terintegrasi dengan baik melahirkan lingkungan belajar yang
baru dan peran dosen perlahan berubah karena adanya teknologi media
yang berkembang, sebab posisi dosen di era revolusi industri 4.0 tidak
hanya berperan sebagai pemberi pengetahuan saja tetapi juga sebagai
pihak yang memfasilitasi pemberian pengetahuan serta optimalisasi
pembelajaran.
Untuk mewujudkan optimalisasi pembelajaran dalam praktikum
laboratorium Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Halu Oleo maka
tulisan ini mencoba memaparkan optimalisasi kegiatan praktikum
berbasis media sosial pada laboratorium Jurusan Ilmu Komunikasi
Universitas Halu Oleo.

Pembahasan
Media sosial meurut Boyd dalam Nasrullah (2015) disebut sebagai
kumpulan perangkat lunak yang memungkinkan individu maupun
komunitas untuk berkumpul, berbagi, berkomunikasi dan dalam kasus
tertentu saling berkolaborasi atau bermain. Boyd dalam pengertiannya
hendak menjabarkan bahwa media sosial memiliki keunggulan yakni
user-generated content, yang berarti bahwa berbeda dengan institusi
media massa pada umumnya, media sosial menghasilkan konten bukan
dari editor. Van Dijk (2013) mendefinisikan media sosial sebagai platform
media yang memfokuskan pada eksistensi pengguna dan memfasilitasi
mereka dalam beraktivitas dan berkolaborasi. Merujuk pada pengertian-
pengertian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa media sosial
adalah suatu sarana representasi diri bagi penggunanya untuk menjalin
ikatan sosial yang virtual dengan saling berinteraksi dan berkomunikasi
baik melalui teks, gambar, audio maupun video.

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 143


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Berdasarkan data riset WeAreSocial Hootsuite yang dirilis pada
Januari 2019, pengguna media sosial di Indonesia mencapai 150 Juta atau
sebesar 56% dari total populasi. Lebih dari setengah peduduk Indonesia
aktif bermedia sosial, ini mengindikasikan bila pengaruh media sosial
telah masuk hingga berbagai lini kehidupan tak terkecuali dunia
pendidikan. Dalam dunia pendidikan, media sosial ikut berperan aktif
dalam meningkatkan kualitas peserta belajar dengan memanfaatkan
kemudahan berkomunikasi dan berbagi informasi yang dimiliki media
tersebut sehingga untuk proses pendidikan dan pembelajaran sehingga
proses belajar menjadi lebih mudah, cepat, efektif dan efisien.
Dewasa ini, dalam lingkup pendidikan tinggi sedang ngetrend
istilah e-learning yang merupakan kepanjangan dari electronic learning.
Menurut Derek Stockley (2013) e-learning adalah metode yang digunakan
untuk menjalankan pembelajaran, pendidikan dan pelatihan melalui
perangkat elektronik (misalnya: telepon genggam) dengan cara-cara
tertentu untuk menyediakan materi-materi pelatihan, pendidikan dan
pembelajaran. Dunia pendidikan saat ini tidak bisa melepaskan diri dari
tuntutan revolusi industri 4.0. Perguruan tinggi dituntut harus mengikuti
perkembangan dan perubahan yang sangat cepat tak terkecuali daam hal
proses belajar mengajar baik dikelas maupun di laboratorium. E-learning
disebut dapat menjadi jawaban atas itu.

Sumber Daya Manusia dalam Pelaksanaan E-learning


Dalam pembelajaran berbasis e-learning, hal paling utama yang
harus siap adalah sumber daya manusia (SDM), sebab dalam pelaksanaan
metode ini, yang menjadi subjek sekaligus objek adalah manusia. Dalam
bahasan SDM yang dimaksud disini adalah dosen dan mahasiswa.
Penguasaan teknologi adalah hal mutlak yang harus dimiliki keduanya
dalam penyelenggaraan metode pembelajaran e-learning. Penerapan
e-learning dari sisi SDM selalu berkutat pada Dosen/Pendidik sebagai
pihak pertama yang menjadi aktor penggerak e-learning. Dosen haruslah
memiliki kemampuan menguasai komputer dan internet. Penguasaan
computer seorang dosen yang paling dasar haruslah tidak hanya pada
aplikasi pengolah kata tetapi aplikasi komputer lainnya. Untuk penguasaan
internet minimal seorang dosen harus memiliki pengetahuan mulai dari
searching, browsing, upload, download serta wajib memiliki email sebagai
sarana pendukung pembelajaran. Aktor Kedua, mahasiswa, yang harus
senantiasa mengikuti perkembangan pembelajaran yang diterapkan

144 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
oleh dosen. Mahasiswa tidak boleh gagap teknologi, bisa menggunakan
teknologi dan familier dengan internet. Realita yang terjadi saat ini
adalah saat sistem, infrastruktur dan sosialisasi pembelajaran e-learning
mulai dijalankan, masih banyak kendala didapati dalam penerapannya.

Social Learning dalam Praktikum Berbasis Media Sosial


Teori social learning ditemukan pertama kalinya oleh Albert Bandura
ditahun 1971. Bandura berpendapat bahwa faktor lingkungan dan
kognitif seseorang dapat mempengaruhi poses belajar. Disaat seseorang
sedang berinteraksi dengan lingkungannya, sebenarnya sedang terjadi
proses belajar yang mungkin tidak disadari oleh pelaku. Dari pendapat
teori belajar sosial serta perkembangan teknologi yang kian melaju pesat
ditambah lagi era internet of things, maka muncul inovasi menggabungkan
kegiatan di internet dengan hal-hal positif seperti belajar dan mencari
informasi yang mampu meningkatkan kemampuan dan pengetahuan.
Social learning dikenal sebagai hal baru dan sedang banyak
dibicarakan jika membahas teori belajar. Menurut Horton (2012) social
learning adalah belajar melalui interaksi dengan komunitas ahli dan
sesama peserta didik. Dalam hal ini, komunikasi yang terjadi antara
peserta bergantung pada media jejaring sosial (media sosial) yang
digunakan. Seperti diketahui bahwa saat ini ada banyak media sosial
yang digunakan oleh masyarakat Indonesia, data Wearesocial hootsuite
yang dirilis tahun 2019 menyebutkan bahwa lima besar media sosial yang
paling sering diakses oleh orang Indonesia adalah Youtube, Whatsapp,
Facebook, Instagram dan Line.
Horton (2012) menyebutkan 11 pattern dalam pelaksanaan social
learning yaitu; Tutoring interaction, Presentation pattern, Question-
and-answer pattern, Post-and-coment pattern, Collaborative-document
pattern, Group discussion pattern, Small-group pattern, Panel-discussion
pattern, Symposium pattern, Ask-expert-community pattern, Ask-peers
pattern.

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 145


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Gambar 1. Penerapan Metode Social learning dalam Praktikum Laboratorium Ilmu
Komunikasi Universitas Halu Oleo

Social learning adalah metode yang lahir untuk mendukung


pelaksanaan e-learning. Untuk menerapkan social learning maka kita
harus melihat terlebih dahulu fitur-fitur yang dapat digunakan dari
masing-masing media sosial tersebut agar dapat mendukung proses
pembelajaran serta memungkinkan untuk menentukkan media sosial
yang tepat dengan proses pembelajaran yang ingin dibangun dalam
praktikum laboratorium. Menurut Horton, dalam social learning ada
banyak cara untuk berinteraksi antara pengajar dan pelajar yang disebut
dengan patterns of interaction, yaitu:
1. Tutoring interaction; interaksi yang terjadi dapat berupa mentoring
maupun konseling dengan menggunakam email, telepon ataupun
video call.
2. Presentation pattern; interaksi yang terjadi dari satu orang yang
memberikan informasi secara langsung kepada orang lain dalam
bentuk pidato, presentasi ataupun demonstrasi. Interaksi ini dapat
dilakukan melalui video conference atau fitur live pada beberapa
media sosial yang ada saat ini.
3. Question-and-answer pattern; interaksi ini dapat terjadi melalui
e-mail, chatroom, forum diskusi, telpon audio maupun video

146 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
call disaat mahasiswa hendak mengajukan pertanyaan kepada
dosennnya.
4. Post-and-coment pattern; interaksi yang terjadi di media sosial
dimana pengajar dapat membuat tautan atau postingan dan dapat
dikomentari oleh mahasiswa. Disini mahasiswa sekaligus dapat
berpartisipasi menganalisa jawaban dari peserta lain.
5. Collaborative-document pattern, para peserta pembelajaran secara
bersama-sama membuat dan mengedit sebuah dokumen seperti
wiki dan dapat dilakukan melalui google doc.
6. Group discussion pattern; di sini interaksi yang terjadi di media sosial
adalah peserta menjadi satu dalam sebuah grup dan saling berdiskusi,
dan dapat dilakukan secara langsung atau via chat ataupun dengan
audio/video call
7. Small-group pattern; diterangkan bahwa dalam pola interaksi ini
terjadi layaknya kerja kelompok dimana para pesertanya dibagi
kedalam beberapa kelompok kecil dan melakukan diskusi. Interaksi
ini dapat menggunakan multiple chat room
8. Panel-discussion pattern; dosen atau narasumber saling berdiskusi
sebuah topik dan peserta belajar bertindak sebagai pendengar sekaligus
melihat jalannya diskusi yang terjadi. Diskusi ini sendiri dapat pula
berupa debat, interview atau permainan peran. Interaksi ini dapat
dilakukan dalam siaran live radio dan/atau audio/video podcast
9. Symposium pattern, dosen atau narasumber mendiskusikan materi
dengan mahasiswa dan memungkinkan komunikasi dua arah dapat
terjadi dalam interaksi ini, selain dapat dilakukan melalui audio/
video conference juga dapat dilakukan melalui siaran live streaming
ataupun fitur live di media sosial.
10. Ask-expert-community pattern; mahasiswa memiliki kesempatan
untuk berinteraksi dan berkonsultasi dengan dosen atau narasumber
yang berasal dari luar komunitas. Peserta belajar diluar komunitas
yang sama sangat dimungkinkan untuk ikut berpartisipasi.
11. Ask-peers patterns, disini peserta pembelajaran berdiskusi dengan
narasumber yang berasal dari komunitas atau lingkup yang sama.
Sebelas model interaksi tersebut yang kemudian dipilih untuk
dterapkan dalam pelaksanaan praktikum laboratorium ilmu komunikasi
berbasis media sosial. Tentu saja ada kolaborasi media sosial yan

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 147


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
digunakan dan tentu pula tiap-tiap dosen berbeda dalam hal pemilihan
media sosial yang hendak digunakan. Dalam kasus Laboratorium
Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Halu Oleo, kebanyakan interaksi
media sosial digunakan melalui Instagram yang dikolaborasikan dengan
google, google docs, google form dan email. Adapula sebagian kecil dosen
pada mata kuliah praktikum yang menggunakan facebook dan email.
Sebagai langkah awal, diterapkan metode pembelajaran blended
learning yang menggabungkan sistem online dan onsite dalam proses
pembelajaran praktikum yang berlangsung di laboratorium Jurusan Ilmu
Komunikasi. Pembelajaran Online lebih difokuskan pada pembelajaran
social learning berbasis media sosial. Fakta bahwa pengguna media
sosial adalah mayoritas berasal dari kalangan umur mahasiswa seperti
yang diungkapkan Sitti Utami Rezkiawaty Kamil (2018) dalam tulisan
berjudul meneropong perilaku digital generasi millennial pada buku
literasi digital generasi millennial bahwa dari survey APJI (Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) rentang usia 19-34 tahun adalah
pengguna internet terbanyak.
Dalam social learning berbasis media sosial, dipilih media sosial yang
paling banyak digunakan oleh mahasiswa di Jurusan Ilmu Komunikasi
Universitas Halu Oleo, yaitu; facebook, instagram dan youtube. Fitur dari
ketiga media sosial tersebut didukung dengan fitur-fitur google seperti
email, google docs dan google form.

148 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Features Pattern of Interaction

Create group

Tutoring Interaction
Presentation Pattern
Pattern
Question & Answer

Pattern
Post and Comment

ment pattern
Collaborative docu-
pattern
Group discussion

Small-group pattern

pattern
Panel-discussion

Symposium pattern

nity pattern
Ask-expert-commu-
Ask-peers pattern
Write post x x x X X x
Add photo x X x x
Add photo comment X x x x X x x X x
Add files X x X
Send messages/chat X x X x X X x
Tag member x x X x X x
gogle docs
Live X X X x x x
hastag x x x X x x X x
story x
Share link X X x X
Video Post/streaming X X x x x
Google form x x
email X X x X X x

Gambar 2. perbandingan fitur media sosial dan model interaksi pembelajaranyang


terjadi

Fitur dan bentuk interaksi pembelajaran dapat disesuaikan dengan


kebutuhan yang diinginkan namun tidak menutup kemungkinan dapat
menggunakan keseluruhan model interaksi tersebut. Social learning yang
diterapkan baik pada institusi pendidikan tinggi secara formal dan non-
formal dapat membantu dosen atau pengajar merancang dan mengelola
kelasnya secara virtual tanpa melakukan tatap muka untuk mendukung
proses pebelajaran tatap muka yang dilakukan.

Penutup
Perguruan tinggi diharapkan dapat melahirkan luaran yang siap dan
berkompeten bagi dunia kerja yang kian berkembang seiring dengan
kemajuan teknologi, keahlian kerja serta kemampuannnya melakukan
adaptasi terhadap berbagai perubahan dengan poa pikir yang dinamis.
Salah satu cara mempersiapkan luaran yang siap kerja, maka peruruan

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 149


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
tinggi harus dapat menyelenggarakan pola pembelajaran yang adaptif
dengan perubahan zaman, praktikum dilaboratorium adaah salah
satunya.
Tuntutan era revolusi industri 4.0 terhadap penguasaan teknologi
dan penerapannya dalam proses pembelajaran harus disikapi secara
bijak. Teknologi haruslah diterapkan dengan melakukan adaptasi dan
disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki. Penerapan metode Social
learning dalam kegiatan praktikum berbasis sosial media di laboratorium
ilmu komunikasi dapat menjadi solusi alternatif bagi perguruan tinggi
dengan karakteristik mahasiswa seperti yang ada pada Jurusan Ilmu
Komunikasi Universitas Halu Oleo. Pendekatan metode ini sangat sesuai
dengan pemenuhan tantangan dunia pendidikan yang serba e-learning
saat ini tetapi juga disesuaikan dengan budaya digital mahasiswa.
Mudahnya akses bagi mahasiswa akan meningkatkan interaksi sosial
dan responsif sebab berbasis media sosial yang dengan mudah diakses setiap
hari melalui smartphone (gawai). Akan tetapi pada akhirnya, optimalisasi
metode social learning pada kegiatan praktikum terjadi bila didukung oleh
budaya digital yang baik, dari pengguna, pengelola serta pengembang.

Daftar Pustaka
Djik, Van. 2013. The network Society. London:SAGE Publications
Horton, W. 2012. E-learning by design. USA: Pfeiffer.
Nasrullah, Rulli. 2015. Media Sosial Prespektif Komunikasi, Budaya dan
Sosioteknologi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Stockley, Derek. 2013. E-Learning Definition and Explanation. Diakses pada
laman www.serekstockley.com pada 29 Juni 2019 pukul 18.46 WITA
Syafiti. A. 2010. Diakses melalui laman Kompasiana: https://www.google.
com/url?sa=i&source=web&cd=&ved=2ahUKEwjZ-cnMvJzjAhV
m6nMBHWlADhIQzPwBegQIARAC&url=https%3A%2F%2Fw
ww.kompasiana.com%2Fanita_syafitri%2F55003422a33311e77251
00cc%2Fsocial-learning-menurut-albert-bandura&psig=AOvVaw
22E2JE9710fMoOjCb0yg-p&ust=1562371250847465 pada 30 Juni
2019 pukul 07.12 WITA
Yendri, Dodon. 2005. Blended learning: Model Pembelajaran Kombinasi
E-Learning Dalam Pendidikan Jarak Jauh. Diakses melalui laman
fti.unand.ac.id/images/blendedlearning.pdf, pada 27 Juni 2019
pukul 16.00 WITA

150 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Peran Komunikasi di Era Industri 4.0

Vera Hermawan, H. Rasman Sonjaya

e-mail : vera.hermawan@gmail.com

Pendahuluan
Indonesia telah melakukan upaya adaptasi terhadap Industri 4.0,
salah satunya dengan meningkatkan kompetensi Sumber Daya Manusia
melalui program link and match, antara pendidikan dengan industri.
Untuk menopang dan mensukseskan program ini, upaya ini dilaksanakan
secara sinergis antara Kementerian Perindustrian dengan kementerian
dan lembaga-lembaga terkait, mulai dari Bappenas, Kementerian
BUMN, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, serta Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Selain melakukan koordinasi dengan pihak lain, Kementerian
Perindustrian sendiri telah menetapkan empat langkah strategis dalam
menghadapi Industri 4.0 ini, yaitu: Pertama, mendorong agar angkatan
kerja di Indonesia terus meningkatkan kemampuan dan keterampilannya,
terutama dalam menggunakan teknologi internet. Upaya ini bisa dilihat
dengan terintegrasinya antara internet dan lini produksi di industri.
Kedua, pemanfaatan teknologi digital untuk memacu produktivitas
dan daya saing bagi industri kecil dan menengah (IKM), agar mampu
menembus pasar ekspor melalui program E-smart IKM. Ketiga,
pemanfaatan teknologi digital yang lebih optimal dalam perindustrian
nasional seperti big data, autonomous robots, cybersecurity, cloud, dan
augmented reality. Keempat, mendorong inovasi teknologi melalui
pengembangan start up dengan memfasilitasi inkubasi bisnis agar lebih
banyak wirausaha berbasis teknologi di wilayah Indonesia.
Lima teknologi utama yang menopang pembangunan sistem
Industri 4.0 pun terus digalakkan, yaitu: internet of things, artificial
intelligence, human-machine interface, teknologi robotik dan sensor, serta
teknologi 3D printing. Kelima unsur tersebut harus mampu dikuasai oleh
perusahaan manufaktur Indonesia agar dapat bersaing.
Kalau melihat beberapa program dan strategi yang akan dan sudah
dilakukan pemerintah dalam menopang keberhasilan menghadapi

Public Relations dan Periklanan | 151


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
era industri 4.0, kebanyakan lebih kepada hardskill tetapi kurang pada
softskill. Padahal idealnya dalam pembangunan harus berimbang,
antara keahlian-keahlian fisik dengan keterampilan-keterampilan
lainnya. Di sini pemerintah belum menyentuh sama sekali pentingnya
bidang komunikasi dalam pembangunan atau persiapan menghadapi
era industri. Tentu ini pekerjaan dan tugas para praktisi dan akademisi
komunikasi di era industri. Bagaimana caranya agar ilmu komunikasi ini
dilirik dan dianggap penting perannya dalam melewati fase-fase industri
4.0 yang kedepan tentunya akan lahir era industri baru.
Pemerintah, yang diwakili kementerian perindustrian, mungkin
lupa kalau komunikasi yang digunakan sehari-hari merupakan syarat
mutlak dalam meraih keberhasilan. Pemerintah juga membuat program
dan mensosialisasikannya menggunakan komunikasi, tanpa komunikasi
tidak mungkin berhasil diseminasi program-programnya di era industri
4.0.

Pembahasan
Peran ‘Vital’ Komunikasi
Ciri utama Era Revolusi Industri 4.0 (four point zero) ini adalah
berkurangnya peran manusia dalam berbagai aktivitas. Hanya manusia
kreatiflah yang bisa bertahan. Dialah manusia yang kreatif dalam hal
empat literasi utama, yaitu: literasi data (data literacy), yaitu memahami
dan menguasai data; literasi teknologi (technology literacy), mahir
menggunakan teknologi; dan literasi komunikasi (communication
literacy) yaitu pandai melakukan komunikasi.
Komunikasi menjadi bagian penting yang harus disiapkan manusia
dalam menjalani kehidupan di era revolusi industri. Di berbagai sendi
kehidupan, banyak pihak yang mengatakan bahwa penting untuk
menguasai keterampilan komunikasi. Di setiap perguruan tinggi, sudah
mensyaratkan kepada setiap lulusannya harus memiliki kompetensi
komunikasi dari ketiga kompetensi lainnya, yaitu: academic knowledge
(pengetahuan akademik), skill of thinking (keterampilan dalam berfikir),
management skills (keterampilan-keterampilan manajerial), dan
communication skills (keterampilan-keterampilan komunikasi). Keempat
kompetensi ini harus menyatu dalam diri lulusan perguruan tinggi. Jika
tidak lengkap, maka akan berpengaruh terhadap kualitas lulusannya
(www.simbelmawa.ristekdikti.go.id).

152 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Secara tegas, Levy & Murnane (2005), mengungkapkan bahwa ke
depan akan banyak tugas yang berat dan memerlukan keahlian berpikir
(expert thinking), dan keahlian komunikasi yang kompleks (complex
communication) menjadi sangat penting bagi setiap orang. Keahlian
berfikir untuk mencari solusi, memikirkan jawaban atas masalah atau
tugas yang diembannya, kemudian ketika solusi itu atau jawaban atas
tugasnya ditemukan, maka tugas komunikasilah yang menyampaikan
agar temuan-temuannya itu sampai pada orang yang tepat dengan cara
yang tepat pula.
Pentingnya penguasaan keterampilan komunikasi juga disebutkan
Tony Wagner (2008) dalam The Global Achievement Gap, bahwa ada
tujuh keterampilan yang harus dikuasai di abad 21, yaitu: critical thinking
and problem solving, collaboration, agility and adaptability, initiative
and entrepreneurialism, effective oral and written communication,
accessing and analyzing information, curiosity and imagination
(www.21stcenturyschool.com). Tony Wagner lebih lengkap lagi dalam
menyuruh manusia yang hidup di era idustri 4.0 ini untuk menguasai
komunikasi tidak hanya sebatas lisan, tetapi juga bagaimana mampu
berkomunikasi dengan tulisan. Karena orang dalam berkomunikasi tidak
akan bertumpu pada lisan semata, tetapi juga menggunakan tulisan. Hal
yang mudahnya adalah bagaimana di era digital dan banyaknya orang
menggunakan media sosial, secara tidak langsung menuntut kita pandai
juga berkomunikasi secara tulisan.
Pada tahun 2002, National Association of Colleges and Employers di
Amerika Serikat melakukan survey kepada 457 pimpinan perusahaan,
hasilnya cukup mengagetkan bahwa ternyata Indeks Prestasi Kumulatif
(IPK), bukanlah hal yang dianggap penting di dalam dunia kerja, namun
yang jauh lebih penting adalah softskill yaitu kemampuan berkomunikasi,
kejujuran dan kerja sama, motivasi, kemampuan beradaptasi, kompetensi
interpersonal, orientasi nilai yang menjunjung kinerja yang efektif.
Kenapa komunikasi dianggap penting dikuasai para pemimpin
perusahaan? Bukan modal yang besar, asset yang luas, tetapi kecakapan
dalam berkomunikasi dengan orang lain. Karena para pemimpin akan
berinteraksi, akan terjadi loby dan negosiasi, dan itu semua membutuhkan
keterampilan komunikasi. Kemampuan berkomunikasi juga dianggap
penting dan menjadi salah satu rahasia sukses orang kaya di dunia, juga
disinggung oleh Neff dan Citrin (1999) bahwa ada 10 rahasia sukses 50
orang terkaya dan tersukses di dunia, di antaranya semangat atau gairah,

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 153


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
kemampuan berkomunikasi, kemampuan berfikir analitis, motivasi dan
energi, dukungan keluarga, pengalaman, sikap positif dan fokus pada
perkataan dan pikiran yang benar.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh negara-negara Inggris,
Amerika dan Kanada, ada 23 atribut softskills yang dominan di lapangan
kerja, salah satunya adalah kemampuan berkomunikasi. Kemampuan
berkomunikasi tentu akan sangat diperlukan saat berhadapan dengan
orang lain, baik kepada 1, 2 atau banyak orang.

Penutup
Data-data di atas memperlihatkan kepada kita bahwa komunikasi
memiliki peran yang besar dalam keberhasilan seseorang, lembaga,
termasuk pemerintah. Kurang lebih kontribusi komunikasi dalam proses
pencapaian prestasi ialah 82 %. Ini artinya sangat besar dibanding hal
lain dalam upaya manusia meraih tujuannya. Komunikasi merupakan
modal besar dan salah satu alat untuk meraih berbagai peluang dan
memenangkan berbagai kompetisi dalam kehidupan, termasuk dalam
kehidupan di era industri 4.0. Oleh karenanya, salah besar kalau bidang
komunikasi ini tidak dimasukkan dalam program pengembangan
dan peningkatan sumber daya manusia, sebagai bentuk persiapan
menghadapi industri 4.0.

Daftar Pustaka
Neff. T.J & Citrin. J.M. (1999). Lesson From The Top. New York: Currency
Doubleday.
Lucas. S. E. (2012). The Art of Public Speaking, cet. Ke-11. New York:
McGraw Hill.
Tony Wagner. (2008). The Global Achievement Gap. New York: Basic
Book.
Frank Levy & Richard J. Murnane. (2005). The New Division of Labor How
Computers Are Creating the Next Job Market. Princeton University
Press.
www.simbelmawa.ristekdikti.go.id

154 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Penerapan Literasi dalam Ketrampilan Komunikasi
sebagai Unsur Penyusunan Kurikulum Program Studi
Penerbitan

Diah Amelia, Bayu Dwi Nurwicaksono


Program Studi Penerbitan Politeknik Negeri Media Kreatif
E-mail diahamelia@polimedia.ac.id, bayudn@polimedia.ac.id

Pendahuluan
Politeknik Negeri Media Kreatif didirikan berdasarkan
Permendiknas Nomor 60 tahun 2008 pada tanggal 8 Oktober 2008.
Politeknik Negeri Media Kreatif adalah restrukturisasi dari Pusgrafin
(Pusat Grafika Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).
Pusgrafin merupakan pusat pengembangan sumber daya manusia
kegrafikaan dan penerbitan sejak tahun 1977. Politeknik Negeri
Media Kreatif mengemban tugas dan fungsi perguruan tinggi dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa, khususnya dalam penyelenggaraan
pendidikan vokasi dalam sejumlah bidang pengetahuan, teknologi dan
seni, dengan mengutamakan peningkatan kemampuan penerapannya
sehingga mampu mendukung pengembangan industri kreatif nasional.
Kurikulum Program Studi D3 Penerbitan Politeknik Negeri
Media Kreatif saat ini merupakan kurikulum revisi tahun 2013 yang
dikembangkan berdasarkan standar nasional yang mengacu pada
pada SK Mendiknas No. 232/U/2000 perihal Pedoman Penyusunan
Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa,
SK Mendiknas No. 45/U/2002 perihal Kurikulum Perguruan Tinggi,
Peraturan Pemerintah RI Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi. Pengelompokan
mata kuliah terdiri dari Mata Kuliah Pengembangan kepribadian
(MPK), keilmuan dan ketrampilan (MKK), keahlian Berkarya (MKB),
berkehidupan bersama (MBB) dan Perilaku berkarya (MPB).
Penyusunan kurikulum Program Studi D3 Penerbitan Politeknik
Negeri Media Kreatif didasarkan pada visi dan misi program studi
dan institusi. Kurikulum dirancang berdasarkan relevansinya dengan
tujuan, cakupan dan kedalaman materi, pengorganisasian sehingga

Public Relations dan Periklanan | 155


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
mendorong terbentuknya hard skills maupun soft skill yang dapat
diterapkan dalam berbagai situasi dan kondisi. Penyusunan kurikulum
juga mempertimbangkan kebutuhan dunia kerja dengan keseimbangan
antara pengembangan kemampuan keahlian dan sikap-sikap lulusan
dengan tuntutan dunia kerja sekarang dan di masa yang akan datang.
Kurikulum Program Studi D3 Penerbitan Politeknik Negeri Media
Kreatif saat ini adalah sudah tidak relevan dengan kebutuhan lulusan.
Oleh sebab itu rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana
rekontruksi kurikulum Program Studi D3 Penerbitan Politeknik Negeri
Media Kreatif dengan menerapkan kurikulum melalui penerapan literasi
dalam keterampilan komunikasi yang mengacu pada SN Dikti guna
menghasilkan lulusan yang memiliki kualifikasi sesuai dengan kualifikasi
KKNI. Untuk merekonstruksi kurikulum Program Studi D3 Penerbitan
Politeknik Negeri Media Kreatif dengan menerapkan kurikulum melalui
penerapan literasi dalam keterampilan komunikasi yang mengacu pada
SN Dikti guna menghasilkan lulusan yang memiliki kualifikasi sesuai
dengan kualifikasi KKNI.
Penelitian ini mempunyai manfaat teoretis dan praktis. Secara teoretis
penelitian ini bermanfaat untuk memberikan sumbangan pemikiran
dalam pengembangan kurikulum berbasis KKNI yang berorientasi
produksi dan kewirausaahaan dengan proses pembelajaran berbasis
kreativitas. Selain itu, diharapkan penelitian ini dapat memberikan
masukan bagi pengembangan pengetahuan yang berhubungan dengan
kreativitas serta menjadi bahan acuan bagi penelitian selanjutnya.

Pembahasan
Pengembangan kurikulum adalah proses perencanaan dan
penyusunan kurikulum oleh pengembang kurikulum (curriculum
developer) dan kegiatan yang dilakukan agar kurikulum yang dihasilkan
dapat menjadi bahan ajar dan acuan yang digunakan untuk mencapai
tujuan pendidikan nasional. Definisi yang dikemukakan terdahulu
menggambarkan pengertian yang membedakan antara apa yang
direncanakan (kurikulum) dengan apa yang sesungguhnya terjadi di
kelas (instruction atau pengajaran). Memang banyak ahli kurikulum yang
menentang pemisahan ini tetapi banyak pula yang menganut pendapat
adanya perbedaan antara keduanya. Kelompok yang menyetujui
pemisahan itu beranggapan bahwa kurikulum adalah rencana yang

156 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
mungkin saja terlaksana tapi mungkin juga tidak sedangkan apa yang
terjadi di sekolah/kelas adalah sesuatu yang benar-benar terjadi yang
mungkin berdasarkan rencana tetapi mungkin juga berbeda atau bahkan
menyimpang dari apa yang direncanakan. Perbedaan titik pandangan
ini tidak sama dengan perbedaan cara pandang antara kelompok ahli
kurikulum dengan ahli teaching (pengajaran).
Unruh dan Unruh (1984:97) mengatakan bahwa proses
pengembangan kurikulum a complex process of assessing needs, identifying
desired learning outcomes, preparing for instruction to achieve the outcomes,
and meeting the cultural, social, and personal needs that the curriculum is
to serve. Berbagai faktor seperti politik, sosial, budaya, ekonomi, ilmu,
teknologi berpengaruh dalam proses pengembangan kurikulum. Oleh
karena itu Olivia (1992:39—41) selain mengakui bahwa pengembangan
kurikulum adalah suatu proses yang kompleks lebih lanjut mengatakan
curriculum is a product of its time. curriculum responds to and is changed by
social forced, philosophical positions, psychological principles, accumulating
knowledge, and educational leadership at its moment in history. Secara
singkat dapat dikatakan bahwa dalam pengembangan kurikulum fokus
awal memberi petunjuk jelas apakah kurikulum yang dikembangkan
tersebut kurikulum dalam pandangan tradisional atau modern.
Menurut Peraturan Menteri Ristekdikti Nomor 44 Tahun 2015 tentang
Standar Nasional Pendidikan Tinggi, yang dimaksud kurikulum adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai capaian pembelajaran
lulusan, bahan kajian, proses, dan penilaian yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan program studi. Kurikulum pendidikan tinggi
merupakan program untuk menghasilkan lulusan, sehingga program
tersebut seharusnya menjamin agar lulusannya memiliki kualifikasi yang
setara dengan kualifikasi yang disepakati dalam Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia (KKNI).
Berdasarkan analisis kondisi pondasi dan pilar setiap subsektor di
industri kreatif seperti yang termuat dalam buku induk Pengembangan
Industri Kreatif Menuju Visi Ekonomi Kreatif Indonesia 2025 yang
diterbitkan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (2008)
dipaparkan bahwa terdapat lima permasalahan utama pengembangan
ekonomi kreatif, dua di antaranya ialah (1) sedikitnya kuantitas dan
terbatasnya kualitas sumber daya insani sebagai pelaku dalam industri
kreatif, (2) belum terbentuknya iklim kondusif untuk memulai dan
menjalankan usaha di industri kreatif. Penerbitan sendiri masuk ke

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 157


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
dalam subsektor di industri kreatif dengan demikian memiliki tantangan
yang sama dengan subsector lainnya.
Dikaitkan dengan pembaharuan dalam hal konsep kurikulum
perguruan tinggi, Dirjen Pendidikan Tinggi mengeluarkan buku
pedoman penyusunan kurikulum, yang di dalamnya memuat beberapa
pembaharuan konsep kurikulum, antara lain: (1) Luaran hasil
pendidikan tinggi yang semula berupa kemampuan minimal penguasaan
pengetahuan, ketrampilan, dan sikap sesuai dengan sasaran kurikulum
suatu Program studi, diganti dengan kompetensi seseorang untuk dapat
melakukan seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab sebagai
syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan
tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu. Luaran hasil pendidikan tinggi
ini yang semula penilaiannya dilakukan oleh penyelenggara pendidikan
tinggi sendiri, dalam konsep yang baru penilaian selain oleh perguruan
tinggi juga dilakukan oleh masyarakat pemangku kepentingan. (2)
Kurikulum program studi yang semula disusun dan ditetapkan oleh
Pemerintah lewat sebuah Konsorsium (Kurikulum Nasional), diubah,
yakni kurikulum inti disusun oleh perguruan tinggi bersama-sama
dengan pemangku kepentingan dan kalangan profesi, dan ditetapkan oleh
perguruan tinggi yang bersangkutan. (3) Berdasarkan Kepmendikbud
No. 056/U/1994 komponen kurikulum tersusun atas Kurikulum Nasional
(Kurnas) dan Kurikulum Lokal (Kurlok) yang disusun dengan tujuan
untuk menguasai isi ilmu pengetahuan dan penerapannya (content based),
sedangkan dalam Kepmendiknas No. 232/U/2000 disebutkan bahwa
kurikulum terdiri atas Kurikulum Inti dan Kurikulum Institusional. 4)
Dalam Kurikulum Nasional terdapat pengelompokan mata kuliah yang
terdiri atas: Mata Kuliah Umum (MKU), Mata Kuliah Dasar Keahlian
(MKDK), dan Mata Kuliah Keahlian (MKK).
Sedangkan dalam Kepmendiknas no 232/U/2000, Kurikulum terdiri
atas kelompok-kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian
(MPK), Mata Kuliah Keilmuan dan Ketrampilan (MKK), Mata Kuliah
Keahlian Berkarya (MKB), Mata Kuliah Perilaku Berkarya (MPB),
serta Mata Kuliah Berkehidupan Bersama (MBB). Namun, pada
Kepmendiknas No.045/U/2002, pengelompokkan mata kuliah tersebut
diluruskan maknanya agar lebih luas dan tepat melalui pengelompokkan
berdasarkan elemen kompetensinya, yaitu (a) landasan kepribadian; (b)
penguasaan ilmu dan keterampilan; (c) kemampuan berkarya; (d) sikap
dan perilaku dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan ilmu

158 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
dan keterampilan yang dikuasai; (e) pemahaman kaidah berkehidupan
bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya (Ditjen
Dikti, 2008).
Konsep tersebut untuk dapat mengakomodasi kebutuhan
masyarakat yang menjadikan perguruan tinggi menjadi tempat
pembelajaran dan suatu sumberdaya pengetahuan, pusat kebudayaan,
serta tempat pembelajaran terbuka untuk semua, maka dimasukkan
strategi kebudayaan dalam pengembangan pendidikan tinggi (Ditjen
Dikti, 2008). Selanjutnya untuk melakukan kualifikasi terhadap
lulusan perguruan tinggi, pemerintah dengan mengeluarkan Perpres
No. 08 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
(KKNI) yang menjadi acuan dalam penyusunan capaian pembelajaran
lulusan dari setiap jenjang pendidikan secara nasional, hal tersebut
akan berdampak pada kurikulum yang pada awalnya mengacu pada
pencapaian kompetensi menjadi mengacu pada capaian pembelajaran
(learning outcomes). Dengan demikian adanya KKNI ini diharapkan akan
mengubah cara melihat kompetensi seseorang, tidak lagi semata Ijazah
tapi dengan melihat kepada kerangka kualifikasi yang disepakati secara
nasional sebagai dasar pengakuan terhadap hasil pendidikan seseorang
secara luas (formal, non formal, atau in formal) yang akuntanbel dan
transparan (www.kopertis12.go.id)
Terkait dengan perkembangan industri kreatif di Indonesia dan
diwajibkannya pelaksanaan kurikulum berbasis KKNI di perguruan
tinggi pada tahun 2016, Politeknik Negeri Media Kreatif harus melakukan
penyesuaian kurikulum agar dapat menghasilkan lulusan yang memiliki
kompetensi, kreatif, inovatif, kompetitif dan berjiwa kewirausahaan.
Mengutip tujuan pendiriannya, seperti yang tercantum pada Prospectus
(2014) disebutkan pula bahwa Polimedia bertujuan (1) membangun
kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia berdasarkan pada Tri
Dharma Perguruan Tinggi, (2) membangun iklim akademik untuk
mendorong bakat, minat, dan kreativitas dalam rangka menunjang
pengembangan industri kreatif. Penyusunan kurikulum itu sendiri dapat
dilaksanakan dengan berlandaskan dua hasil studi tentang penelusuran
alumni (tracer study) dan analisis SWOT Program Studi.
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) memberikan
parameter ukur berupa jenjang kualifikasi dari jenjang 1 terendah sampai
jenjang 9 tertinggi. Setiap jenjang KKNI bersepadan dengan level Capaian
Pembelajaran (CP) program studi pada jenjang tertentu, yang mana

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 159


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
kesepadannya untuk pendidikan tinggi adalah level 3 untuk D1, level 4
untuk D2, level 5 untuk D3, level 6 untuk D4/S1, level 7 untuk profesi
(setelah sarjana), level 8 untuk S2, dan level 9 untuk S3. Kesepadanan ini
diperlihatkan pada Gambar berikut.

Penataan Jenis dan Strata Pendidikan Tinggi


Sumber: Buku Kurikulum Pendidikan Tinggi, 2014

Menurut Teale dan Sulzby (dalam Gipayana, 2010: 9) konsep


pengajaran literasi diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis.
Seseorang disebut literate apabila ia memiliki pengetahuan yang hakiki
untuk digunakan dalam setiap aktivitas yang menuntut fungsi literasi
secara efektif dalam masyarakat dan pengetahuan yang dicapainya dengan
membaca, menulis, dan arithmetic memungkinkan untuk dimanfaatkan
bagi dirinya sendiri dan perkembangan masyarakat (Gipayana, 2010:
9—10).
Ada dua hal yang menjadi rujukan penting dalam konsep pengajaran
literasi, yaitu pengajaran literasi yang berdimensi praktik sosial dan
pengajaran literasi yang berdimensi proses sosial. Berbagai teori muncul
dari para ahli mengenai perubahan pandangan terhadap pemahaman
yang salah satunya dikenal dengan teori Rosenbalt. Menurut Clay (1985),

160 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Teale & Sulzby (1986), para peneliti mulai mengarahkan guru-guru untuk
menyajikan pengajaran membaca pemahaman pada perspektif yang lebih
luas, yakni pengajaran literasi (dalam Gipayana, 2010:18). Perspektif itu
sendiri berpijak pada (1) teori perkembangan literasi (emergent literacy),
(2) pemerolehan bahasa (language acquisition), dan (3) skemata (schema)
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dituangkan dalam
Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 yang merupakan pernyataan
kualitas sumber daya manusia Indonesia yang penjenjangan kualifikasinya
didasarkan pada tingkat kemampuan yang dinyatakan dalam rumusan
Capaian Pembelajaran (CP). Perguruan tinggi sebagai penghasil sumber
daya manusia terdidik perlu mengukur lulusannya, apakah lulusan
yang dihasilkan memiliki kemampuan yang telah dirumuskan dalam
jenjang kualifikasi KKNI. Dengan adanya KKNI rumusan kemampuan
mahasiswa dinyatakan dalam CP.
Setiap program studi diwajibkan melengkapi target capaian
pembelajaran sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan program studi
terhadap para pemangku kepentingan. Selain itu capaian pembelajaran
juga bermanfaat untuk mengarahkan program studi agar mencapai target
mutu lulusan serta memberikan informasi kepada masyarakat tentang
pernyataan mutu lulusan program studi di perguruan tinggi. Penyusunan
kompetensi pun direncanakan berdasarkan penerapan literasi dalam
keterampilan komunikasi.

Profil Lulusan Prodi Penerbitan

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 161


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Kurikulum program studi Penerbitan harus mengutamakan
matakuliah Yang berfokus pada penerapan literasi dalam keterampilan
komunikasi yaitu membaca dan menulis. Matakuliah itu diberi
pengertian sebagai program untuk membangkitkan pengetahuan,
keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap keilmuan penerbitan.
Kurikulum yang disusun pun harus berdasarkan program Diploma 3 yang
mengutamakan praktik dibandingkan teori. Berikut adalah beberapa
kompetensi utama dan kompetensi pendukung yang dapat dimiliki oleh
seorang lulusan Program Studi Penerbitan.

Kompetensi utama lulusan adalah


t EBQBUNFMBLVLBOEBTBSEBTBSQSPTFTQFOFSCJUBO
t EBQBUCFSCBIBTB*OEPOFTJBQFOFSCJUBO
t EBQBUCFSCBIBTB*OHHSJTQFOFSCJUBO
t EBQBUNFMBLVLBOEBTBSEBTBSLPNVOJLBTJ
t EBQBUNFMBLVLBOQSPTFTLPNVOJLBTJEBMBNQFOFSCJUBO
t NBNQVNFOZVOUJOHOBTLBI
t NBNQVNFOHFMPMBOBTLBICVLV
t NBNQVNFOHFMPMBOBTLBIĕLTJ
t NBNQVNFOHFMPMBOBTLBIOPOĕLTJ
t NBNQVNFOHFMPMBOBTLBIKVSOBMJTUJL
t NFNBIBNJUFLOPMPHJ*OGPSNBTJEBO,PNVOJLBTJ
t NBNQVNFOHIJUVOHCJBZBQFOFSCJUBO
t NFNBIBNJ EBO NFOHFUBIVJ UFOUBOH QFOHFMPMBBO FEJUPSJBM
naskah;
t NBNQVNFOHFMPMBEBONFNBTBSLBOQSPEVLQFOFSCJUBO
t NBNQV NFOZVOUJOHNFOHFEJU JMVTUSBTJ EBO UFLT OBTLBI
penerbitan;
t NBNQV NFOZVOUJOH EBO NFSFLPNFOEBTJ OBTLBI MBZBL UFSCJU
baik dari segi materi maupun bahasa;
t NBNQVNFOHVBTBJUFLOJLGPUPHSBĕ
t NBNQVNFNCVBUSBODBOHBOHSBĕT
t NBNQVNFOHFMPMBVTBIBQFOFSCJUBO
t NFNBIBNJQVCMJTJTUJL

162 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
t NBNQVNFNBTBSLBOQSPEVLQFOFSCJUBO
t NFOHFUBIVJIBMIBMZBOHCFSLBJUBOEFOHBOQFSJLMBOBO
t NBNQVNFOHHVOBLBOTPęXBSFZBOHCFSLBJUBOEFOHBOCJEBOH
penerbitan;
t EBQBU NFOHBQMJLBTJLBO EBO NFOUSBOTGFS QFOHFUBIVBO UFSBQBO
di industri;
t NBNQVNFNFSJLTBLVBMJUBTIBTJMIBTJMQFOFSCJUBO
t NBNQVNFNCVBUQSPZFLTQFTJBMJTBTJUVHBTBLIJS
t NBNQVCFSQFSJMBLVTFTVBJEFOHBOFUJLB1SPGFTJEBONFNBIBNJ
HAKI
t QFEVMJUFSIBEBQMJOHLVOHBO
t NBNQVCFSXJSBVTBIBVOUVLVTBIBEJCJEBOHQFOFSCJUBO

Kompetensi pendukung lulusan


t %BQBUNFMBLVLBOQFLFSKBBOQSPTFT1SBDFUBL
t .FSBODBOH8FCQBHF
t .FOHHVOBLBOKBSJOHBOLPNQVUFSVOUVLLFQFSMVBOQFOFSCJUBO
jarak jauh;
t .FNFMJIBSBEBONFOHBUVSBENJOTUSBTJ'JMFTFSWFS
t %BQBUNFOHBQMJLBTJLBOCBIBTB*OHHSJTZBOHTFSJOHEJHVOBLBO
pada proses mencetak dan menerbitkan produk;
t %BQBUNFOHFMPMBEBONFNBTBSLBOIBTJMQSPEVLTJ
t .FNJMJLJ QFSJMBLV ZBOH CBJL TFTVBJ EFOHBO OPSNB ZBOH
berlaku baik pada dunia grafika dan penerbitan maupun pada
masyarakat secara umum;
t .FNJMJLJLFNBNQVBOVOUVLNFNBIBNJLFJOHJOBOQFMBOHHBO
dan menerapkannya dalam usaha penerbitan;
t .FNBIBNJLFTFMBNBUBOLFSKBQBEBTBBUCFLFSKB

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 163


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Kurikulum Semester 1
REVISI KURIKULUM PROGRAM STUDI PENERBITAN
TAHUN AKADEMIK 2018/2019

SKS JAM PELAJARAN


NO SMTR KODE MATA KULIAH PRODI PENERBITAN
TOTAL T P TOTAL T P
1 I PMK03001 Pendidikan Pancasila 2 SKS 3 0 3 JP 3 0
2 I PMK02002 Pendidikan Agama 2 SKS 2 0 3 JP 3 0
3 I PMK02003 Bahasa Indonesia 2 SKS 1 1 3 JP 3 0
4 I PMK02004 General English 2 SKS 1 1 4 JP 1 3
5 I KOM02001 Pengantar Ilmu Komunikasi 2 SKS 1 1 4 JP 1 3
6 I PNB13001 Dasar-Dasar Penulisan 3 SKS 1 2 7 JP 1 6
7 I PNB12002 Pengantar Ilmu Penerbitan 2 SKS 0 2 6 JP 0 6
8 I PNB12003 Grafika dan Teknologi Cetak 3 SKS 1 2 7 JP 1 6
JUMLAH 18 SKS 10 9 37 JP 13 24
PERSENTASE 106% SKS 56% 50% 100% JP 35% 65%

Penutup
Kurikulum Program Studi D3 Penerbitan Politeknik Negeri
Media Kreatif saat ini merupakan kurikulum revisi tahun 2013. Untuk
merekonstruksi kurikulum Program Studi D3 Penerbitan Politeknik
Negeri Media Kreatif dengan menerapkan kurikulum melalui penerapan
literasi dalam keterampilan komunikasi yang mengacu pada SN Dikti
guna menghasilkan lulusan yang memiliki kualifikasi sesuai dengan
kualifikasi KKNI. Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan
sumbangan pemikiran dalam pengembangan kurikulum berbasis
KKNI yang berorientasi produksi dan kewirausaahaan dengan proses
pembelajaran berbasis kreativitas. Ada beberapa kompetensi utama
dan kompetensi pendukung yang dapat dimiliki oleh seorang lulusan
Program Studi Penerbitan. Seperti dapat melakukan dasar-dasar proses
penerbitan, dapat melakukan dasar-dasar komunikasi, dapat melakukan
proses komunikasi dalam penerbitan, mampu menyunting naskah,
mampu mengelola naskah buku, mampu mengelola naskah fiksi, mampu
mengelola naskah non fiksi, mampu mengelola naskah jurnalistik, dan
memahami teknologi Informasi dan Komunikasi. Dengan menetapkan
CP yang sesuai maka penyusunan kurikulum program studi penerbitan
akan menjadi lebih relevan dengan kebutuhan industri.
Penelitian ini dirancang untuk menguatkan dasar pengembangan
kurikulum berbasis KKNI. Merujuk pada dasar pendirian Politeknik
Negeri Media Kreatif maka ancangan strategi pengembangan kurikulum
ini pun nantinya harus dikaji dari perspektif quard helix pengembangan
industri kreatif yakni menyinergikan keempat unsur penyokong yakni (1)
intellectual dalam hal ini akademisi di pendidikan tinggi yang menyiapkan

164 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
sumber daya manusia kreatif, (2) bussines dalam hal ini industri kreatif
sebagai penampung dan/atau pencipta industri baru berbasis kreativitas,
(3) government dalam hal ini pemerintah sebagai fasilitator triple helix
lainnya (intelektual, bisnis, komunitas), (4) community dalam hal ini
masyarakat tempat bersemainya calon/pelaku industri kreatif.

Daftar Pustaka
Buku
Arifin, Zaenal. (2010). Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Rosda cet. 2.
Eneste, Pamusuk. (2005). Penyuntingan Naskah Edisi Kedua, Jakarta:
GPU
Gipayana, Muhana. (2010). Pengajaran Literasi. Malang: Asih Asah Asuh.
Jacob, Henry. (2013). Kamus Penerbitan dan Grafika, Bandung: Nuansa
Cendekia
Olivia (1992). Developing The Curriculum. (Third Edition). United States:
HarperCollins Publisher.
Ornstein, A.C. and Hunkins, F.P. (2009). Curriculum: Foundations,
Principles, and Issues (5th ed). Boston: Pearson Education.
Riyadhi, Noor dan Tri Marganingsih. (2006). Profesi di Penerbitan,
Jakarta: Pusat Grafika Indonesia
Saylor J.G. dan kawan-kawan. (1981). Curriculum development and
design (second edition). Sidney: Allen & Unwin.
Sprigge, Samuel Squire. (2010). The Methods of Publishing, Inggris:
Cambridge University Press

Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2013.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 73 Tahun 2013 tentang Penerapan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi. Jakarta, Indonesia:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2014.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
Jakarta, Indonesia: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia.

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 165


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Presiden Republik Indonesia. 2012. Undang Undang Republik Indonesia
Nomor 08 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia (KKNI). Jakarta, Indonesia: Menteri Hukum dan hak
Asasi Manusia Republik Indonesia.
Tim Kerja. 2005. Kurikulum Berbasis Kompetensi Bidang-Bidang Ilmu.
Jakarta: Direktorat Pembinaan Akademik dan Kemahasiswaan -
DIKTI – Departemen Pendidikan Nasional.
Tim Kerja. 2005. Tanya Jawab Seputar Unit Pengembangan Materi dan
Proses Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Jakarta: Direktorat
Pembinaan Akademik dan Kemahasiswaan - DIKTI - Departemen
Pendidikan Nasional.
Tim Kerja. 2014. Buku Kurikulum Pendidikan Tinggi. Jakarta: Direktorat
Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Tim Studi Rencana Pengembangan 14 Subsektor Industri Kreatif. 2008.
Buku Pengembangan Industri Kreatif Menuju Visi Ekonomi Kreatif
2025. Jakarta: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

166 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Memahami Permasalahan Komunikasi
dalam Sistem Pembelajaran Jarak Jauh (Online)

Errika Dwi Setya Watie, Fajriannoor Fanani


Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Semarang (USM)
e-mail errika@usm.ac.id, fajrian@usm.ac.id

Pendahuluan
Masalah pendidikan hingga saat ini masih menjadi masalah klasik
yang belum mendapatkan formula penyelesaian yang paling tepat.
Perkembangan di dunia pendidikan, berpengaruh pada kondisi ekonomi
negara. Data Badan Pusat Statistik Indonesia menyebutkan, bahwa
jumlah pengangguran di Indonesia per Februari 2019 ini turun 0.12%
(Badan Pusat Statistik, 2019). Namun kenyataan lain dari berita gembira
ini adalah kabar menyedihkan yang menunjukan naiknya pengangguran
di tahun 2019 ini yang berasal dari lulusan universitas sebesar 25%
(Pusparisa, 2019). Realita ini tentu menjadi pekerjaan rumah besar
bagi Kementrian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi (Kemenristek
DIKTI) untuk menciptakan strategi baru guna membuka kesempatan
besar bagi masyarakat Indonesia untuk memperoleh pendidikan tinggi
dnegan lebih mudah dan mendorong pengelola pendidikan tinggi
untuk terus meningkatkan kualitas pengajarannya sehingga mampu
menghasilkan lulusan yang berdaya saing tinggi sesuai dengan bidang
ilmu masing – masing.
Menanggapi permasalahan di atas, kemenristek dikti sejak 2018
telah mengajukan rencana pengembangan sistem pendidikan jarak
jauh dan online learning (Ristekdikti, 2018). Akan tetapi perkembangan
pendidikan jarak jauh di Indonesia hingga saat ini belum bisa
dimaksimalkan mengingat syarat penyelenggaraan pendidikan jarak
jauh harus berasal dari program studi yang terakreditasi A, sementara
status akreditasi tersebut, terutama di PTS masih menjadi masalah
besar. Terlepas dari masalah akreditasi dan sistem seperti apa yang
paling pas diterapkan di pendidikan di Indonesia, yang tidak boleh juga
dilupakan adalah bagaimana kesiapan masyarakat kita dalam menyikapi
perkembangan dan perubahan yang mungkin muncul nantinya. Pada

Public Relations dan Periklanan | 167


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
dasarnya pengembangan dunia pendidikan hendaknya memang bisa
diselaraskan dengan perkembangan teknologi.
Saat ini pengembangan teknologi, terutama teknologi komunikasi
menunjukkan peningkatan positif dalam angka yang besar. Berdasarkan
jumlah penggunanya, jumlah pengguna internet di Indonesia berdasar
data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, hingga bulan mei
2019 mencapai 171 juta jiwa, dengan kata lain mencapai 64.8% warga
negara Indonesia telah terhubung dengan internet. Potensi ini jelas
bisa dan mampu dimanfaatkan dunia pendidikan, jika memang akan
dilaksanakan sistem pendidikan jarak jauh (KOMPAS, 2019). Namun
demikian, pemanfaatan pengembangan internet ini kiranya perlu untuk
dipertimbangkan lagi, terkait dengan kesiapan masyarakat Indonesia
dalam menggunakan internet untuk penyebaran informasi. Kondisi
ini penting dipertimbangkan mengingat penyebaran kabar yang tidak
benar (hoax) masih masif dilakukan oleh pengguna internet (netizen) di
Indonesia, sebagaimana yang dituliskan dalam detik.com, bahwa kominfo
sepanjang maret 2019 mendeteksi sebanyak 453 hoax menyebar (Detik,
2019). Dari sudut pandang ilmu komunikasi, kajian mengenai keterkaitan
sosial dan pengembangan teknologi ini kiranya membutuhkan perhatian
menjadi bagian dari kajian ilmu komunikasi.

Pembahasan
Teori Ekologi Media yang disampaikan Marshall Mc.Luhan
menjelaskan bahwa perubahan dalam teknologi, merubah pandangan
akan dunia yang dikonstruksikan secara sosial di masyarakat luas. Ini
artinya, bahwa perkembangan teknologi komunikasi yang ada cepat atau
lambat akan merubah bagaimana cara manusia menggunakannya. Yang
pada akhirnya perubahan ini akan membawa pada perubahan persepsi,
perubahan sikap, perubahan perilaku, dan perubahan pengalaman.
(Griffin, A First Look Of Communication Theory 8th edition, 2011, p. 321).
Penerimaan manusia akan perkembangan teknologi bukanlah
perkara yang mudah. Tingkatan bagaimana masyarakat menerima
perkembangan teknologi pun juga tidak bisa disamakan. Dalam teori
difusi inovasi, perkembangan televisi dan internet tidak bisa secara instan
memaksa penerimaan akan teknologi oleh manusia (Griffin, A First
Look Of Communication Theory 8th edition, 2011, p. 355) tahap pertama
manusia sekedar menerima perkembangan yang ada, selanjutnya tahap

168 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
kedua perkembangan tersebut haruslah diakui validitasnya dan terbukti
manfaatnya oleh mereka yang menjadi pengguna awal, yang adalah pihak
– pihak yang dihormati dan ditiru masyarakat.
Jika dikaitkan dengan rencana pengembangan sistem pendidikan
jarak jauh, masyarakat Indonesia perlu disiapkan terlebih dahulu baik
secara pribadi maupun secara infrastruktur. Sistem pendidikan jarak
jauh menuntut perubahan dari setiap pihak dalam dunia pendidikan.
Dari segi sistem pendidikan, perlu tersebih dahulu sistem dan perangkat
pendukung yang benar-benar mumpuni untuk bisa menjalankannya.
Disamping itu, sistem yang ada hendaknya juga bisa dan mampu
mengukur kualitas pembelajaran yang terjadi, jangan sampai hanya
sekedar mengugurkan kewajiban belaka. Kesiapan yang lain yang perlu
disiapkan adalah sistem regulasi pemerintah, dari hulu hingga hilir
yang sinergi dalam mendukung kelancaran pendidikan jarak jauh yang
dilakukan.
Selanjutnya, kesiapan dari pendidik pun juga wajib dikuatkan,
bukan hanya memenuhi persyaratan untuk bisa menyelenggarakan,
namun juga memiliki wawasan keilmuan yang cakap. Disamping itu, tak
bisa dipungkiri masih banyak dosen yang masih gagap akan teknologi.
Berdasarkan observasi yang dilakukan penulis, tampak bahwa meleknya
dosen dalam teknologi ini perlu dilakukan secara cepat. Berdasarkan
pengamatan, hal ini terjadi terutama pada dosen dosen yang bidang
keilmuannya tidak terkait langsung dengan perkembangan teknologi,
dan juga bagi dosen – dosen yang sudah berusia senior. Pemaksaan
untuk keluar dari zona nyaman kepada para dosen tentunya hendaknya
dibarengi dengan penciptaan teknologi yang sistem pengoperasiannya
user friendly. Selain itu juga perlu dilaksanakan sosialisasi kepada mereka,
supaya mau menerima dengan baik perkembangan teknologi yang
ada, yang menuntut mereka untuk berubah. Para pemangku kebijakan
hendaknya menyadari realita adanya jarak wawasan dan pengetahuan
yang besar terkait penggunaan teknologi, antara mereka yang ada dalam
bidang keilmuan terkait teknologi dengan mereka yang bidang ilmunya
tidak terkait langsung dengan teknologi, antara mereka yang ada di
perguruan tinggi negeri dengan mereka yang ada di perguruan tinggi
swasta, antara dosen yunior yang masih update teknologi dengan dosen
senior yang tidak terlalu update dengan perkembangan teknologi.
Dalam observasi di sebuah universitas oleh penulis, teramati bahwa
penggunaan aplikasi pembelajaran online yang sudah ada selama ini,

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 169


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
tampak bagaimana dosen sulit menerima dan lambat dalam penyesuaian
dirinya. Jangankan menggunakan aplikasi pembelajaran online, bahkan
penggunaan email sebagai cara registrasi saja masih banyak dosen yang
tampak gagap melakukannya. Yang pada akhirnya, jika dipaksa berubah
dan mahir dalam penggunaan aplikasi pembelajaran online secara cepat,
maka dosen yang gagap teknologi ini mengalami kesulitan yang lebih
besar, sebab harus menghadapi tekanan sosial, dimana dosen sebagai
pengajar harus menjadi pihak yang awal dalam penguasaannya.
Dari sisi mahasiswa, penggunaan aplikasi pembelajaran online
pun mendapatkan reaksi yang kurang lebih hampir sama dengan apa
yang terjadi pada dosen. Meskipun mahasiswa berada pada usia yang
lebih mudah dalam penyesuaian diri akan teknologi, kenyataannya,
mahasiswa juga banyak yang mengalami gagap teknologi. Dalam
pengamatan yang dilakukan penulis melalui eksperimen yang dilakukan,
ternyata keberagaman latar belakang dan keberagaman motivasi
mahasiswa dalam menempuh pendidikan, menunjukkan perbedaan
reaksi mahasiswa dalam kecepatannya menyesuaikan dengan teknologi.
Berdasar pengamatan dan wawancara yang dilakukan, tampak bahwa
kondisi mahasiswa ini lebih banyak karena tidak adanya paksaan mereka
untuk menggunakannya. Selain itu juga tekanan kebutuhan ekonomi
yang juga membuat mereka terpaksa tidak bisa mengikuti pembelajaran
online ini karena kendala pada perangkat dan jaringan yang dimiliki
yang membutuhkan biaya besar jika diminta untuk menyesuaikan.
Disamping itu juga belum adanya role model yang terlihat berhasil dalam
penggunaan aplikasi pembelajaran online, membuat motivasi mahasiswa
dalam menggunakannya juga tidak maksimal. Kondisi ini sejalan dengan
apa yang diungkapkan dalam teori difusi inovasi, bahwa early user
merupakan mereka yang menggunakan pertama kali dan menampakkan
manfaat positif dari penggunaan perkembangan teknologi yang ada. Dan
karena pengguna awal merupakam mereka yang berpengaruh, maka apa
yang dilakukannya akan dengan mudah ditiru, hingga yang terakhir late
user juga turut menggunakannya.

170 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Gambar 1. Kurva S Difusi dari Gabriel Tarde

Pada kurva S Gabriel Tarde yang menggambarkan komitmen


pengguna terhadap teknologi baru juga terlihat bagaimana pengguna
awal membutuhkan waktu yang lebih lama untuk secara penuh dan rutin
menggunakan teknologi baru tersebut. Pada kasus ini dapat diasumsikan
bahwa mahasiswa sekalipun tidak akan dapat secara langsung mengadopsi
sistem pembelajaran jarak jauh yang mensyaratkan penggunaan teknologi
tertentu. Mahasiswa diprediksi akan mulai secara eksponensial mau dan
mampu menggunakan teknologi tersebut dalam fase yang disebut sebagai
trial-use, yaitu saat mereka telah mulai mencoba teknologi tersebut dan
merasakan manfaatnya bagi proses belajar dan mengajar.
Sementara itu di luar kendala sumber daya manusia masih terdapat
juga kendala pada aspek sarana dan prasarana. Sistem pembelajaran jarak
jauh tentunya membutuhkan sarana internet dengan bandwith yang
besar agar proses perkuliahan secara online dapat berlangsung dengan
lancar. Selain itu mahasiswa harus memiliki laptop/PC atau setidaknya
smartphone yang berteknologi cukup tinggi agar bisa mengikuti
perkuliahan secara online. Untuk penyelenggara pendidikan tinggi
besar dengan modal yang kuat dan mahasiswa dari kalangan menengah
keatas ini tentu bukan sesuatu hal yang sulit, akan tetapi sebaliknya akan
menjadi permasalahan bagi penyelenggara pendidikan tinggi dengan
modal yang kecil dan mahasiswa dari kalangan menengah ke bawah.

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 171


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Berdasar pemaparan diatas, jelas kiranya jika memang ide dan rencana
penerapan sistem pembelajaran jarak jauh baik dan perlu dilakukan.
Pemerintah melalui regulasi pelaksanaan pembelajaran jarak jauh, telah
menciptakan pembatasan kualifikasi pelaksana. Namun hendaknya,
perhatian pemerintah bukan hanya pada ranah regulasi, namun juga
penyiapan sumber daya yang ada. Hingga semangat penyebaran kesempatan
pendidikan akan tercapai. Pada kondisi saat ini, pembelajaran jarak jauh,
hanya mampu dilakukan pihak tertentu saja, yang jika tidak dievaluasi, sistem
ini justru mengembalikan pendidikan hanya fokus dan diperuntukkan untuk
kalangan tertentu saja. Indonesia dengan keberagamannya hendaknya juga
diberlakukan strategi pengembangan kualitas sumber daya manusia yang
juga memiliki beragam tingkat. Tidak bisa langsung dipukul rata, semua
tingkatan kemampuan dituntut memiliki output yang sama pada satu waktu
yang pendek.

Penutup
Perkembangan manusia, menurut ekologi media, dipengaruhi
dengan bagaimana media membentuk dan menuntut manusia untuk
berubah. Kehadiran media memang cepat atau lambat akan menuntut
perubahan dilakukan oleh manusia itu sendiri, hingga terbentuk ekologi
yang saling mendukung. Namun demikian kecepatan perubahan dalam
perkembangan sumber daya manusia, menuntut pula adanya pemicu
yang kuat, yang salah satunya bisa dilakukan dengan dihadirkannya sosok
pengguna awal, yang menjadi contoh sukses bagi pengguna berikutnya,
sebagaimana disampaikan dalam difusi inovasi. Tentunya dukungan
insfrastruktur juga berpengaruh besar dalam kesuksesan sistem yang
dibangun. Sistem baru yang diciptakan merupakan media dan ekologi
media akan terbentuk mensyaratkan adanya perubahan pada manusia.
Realitanya, di masyarakat Indonesia saat ini, perubahan yang ada tidak
bisa dilakukan dengan cepat, mengingat kecepatan dalam menyesuikan
diri dengan perubahan tidak dimiliki dalam tingkat yang sama pula.
Dalam hal rencana sistem pembelajaran jarak jauh, hendaknya
dipertimbangkan pula kondisi pendidikan di Indonesia. Keberagaman
variabel yang menyertai, membuat pelaksanaan sistem ini juga perlu
melalui berbagai pertimbangan dan kajian terlebih dahulu, supaya jika
aturan sudah diterapkan secara penuh, maka pelaksanaannya pun juga
maksimal.

172 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. (2019, Mei 06). februari 2019 tingkat pengangguran
terbuka tpt sebesar 5.01 persen. Retrieved from www.bps.go.id
Detik. (2019, April 1). 453 hoax teridentifikasi kominfo sepanjang maret
2019. Retrieved from www.detik.com
Griffin, E. (2011). A First Look Of Communication Theory 8th edition.
New York: McGraw-Hill.
KOMPAS. (2019, Mei 16). apjii jumlah pengguna internet di indonesia
tembus 171 juta jiwa. Retrieved from www.kompas.com
Pusparisa, Y. (2019, Mei 17). angka pengangguran lulusan perguruan
tinggi meningkat. Retrieved from www.katadata.co.id
Ristekdikti. (2018, April 16). menristekdikti kumpulkan pimpinan 90 ptn
bahas sistem pendidikan jarak jauh dan online learning. Retrieved
from www.ristekdikti.go.id

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 173


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
174 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi
Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Youtube sebagai Media pembelajaran Alternatif
di Era Digital

Haryo Kusumo Aji


Universitas Slamet Riyadi Surakarta
E-mail: haryokusumoaji@yahoo.com

Pendahuluan
Pendidikan adalah hak dari setiap warga negara di Indonesia oleh
karena itu merupakan kewajiban Negara untuk menyediakan pendidikan
yang layak bagi seluruh warganya. Namun dengan perkembangan
teknologi, memungkinkan bentuk pendidikan tidak lagi terbatas di ruang
kelas, namun dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja. Hadirnya
internet di dalam dunia merubah paradigma tentang pendidikan yang di
dalam kelas menjadi pendidikan yang tak terbatas. Segala arus informasi
dapat diperoleh melalui media massa dan internet dengan mudah dan
cepat. Gerbner berpendapat bahwa media massa menanamkan nilai dan
sikap tertentu. Media juga turut menyebarkan sikap dan nilai itu kepada
anggota masyarakat yang lain (Nurudin, 2004:159).
Youtube yang adalah salah satu media sosial berbasis video telah
menjadi media yang paling populer untuk mengunduh atau mengunggah
video. Para pengguna dapat memuat, menonton dan berbagi video klip
secara gratis. Pada umumnya video di Youtube adalah video klip musik,
laporan peristiwa, berita, film, TV, dan video buatan para penggunanya
sendiri yang disebut kreator. Selain itu, Youtube juga menampilkan
video suatu peristiwa yang diunggah oleh masyarakat awam atau disebut
amatir, yang biasa disebut dengan citizen journalism. Youtube menjadi
populer oleh karena fitur share, dimana warganet dapat membagikan apa
yang telah dilihatnya sehingga dapat disaksikan oleh warganet lainnya.
Hal ini yang dimanfaatkan oleh seorang content creator untuk membuat
tayangan video pembelajaran atau tutorial dalam topik bahasan tertentu.
Oleh karena itu informasi dapat dengan mudah disebarkan melalui video
yang di upload melalui youtube.
Dengan demikian semakin banyak materi-materi pembelajaran yang
dibuat praktek dan direkam menggunakan video kemudian disebarkan di

Public Relations dan Periklanan | 175


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
youtube. Hal ini menjadikan pembelajaran tidak hanya bisa dilakukan oleh
orang yang menempuh pendidikan formal, namun dengan bermodalkan
gawai dan internet dapat memperoleh pendidikan alternatif dimana
menggunakan tampilan dan sesuatu yang lebih menarik. Oleh karena itu
penting untuk melihat bagaimana persepsi informan, yang dalam hal ini
adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi saat menggunakan youtube sebagai
media pembelajaran alternatif dalam mencari informasi. Mahasiswa
dianggap sudah mampu untuk menggunakan media youtube secara bijak
dan tepat sesuai kebutuhan. Demikian juga melihat pembelajaran yang
diperoleh mahasiswa di dalam perkuliahan terkadang kurang cukup
untuk mempraktekkan teori yang sudah diperoleh.
Persepsi adalah proses dimana sensasi yang diterima oeh seseorang
dipilih dan dipilih, kemudian diatur dan kemudian di interpretasikan
(Prasetijo, 2005:67). Menurut Jenifer Foller persepsi adalah proses mental
yang digunakan untuk mengenali rangsangan (Mulyana, 2007 :180). Alex
Sobur membagi proses persepsi menjadi 3 tahap, yaitu: seleksi, interpretasi
dan reaksi: (Sobur, 2003:446) (1) Seleksi, adalah proses penyaringan
rangsangan dari luar oleh indra, jumlah dan jenisnya dapat lebih banyak
atau lebih sedikit. (2) Interpretasi, yaitu proses mengorganisasikan
informasi sehingga mempunyai arti bagi seseorang. Dalam fase ini
rangsangan yang diterima selanjutnya diorganisasikan dalam suatu
bentuk. Interpretasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni pengalaman
masa lalu, system nilai yang dianut, motivasi, kepribadian dan kecerdasan.
Namun, persepsi juga bergantung pada kemampuan seseorang untuk
mengadakan pengkategorian informasi yang diterimanya, yaitu proses
mereduksi informasi yang kompleks menjadi sederhana.
Reaksi, yaitu tingkah laku setelah berlangsung proses seleksi dan
interpretasi. Jadi, persepsi adalah melakukan seleksi, interpretasi dan
pembulatan terhadap informasi yang sampai serta melakukan reaksi atas
informasi tersebut.
Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang
tersebut yaitu:
1. Atensi, yang terdiri dari dua hal: (a) Motif; dalam Prasetijo (2005:
79), menyebutkan bahwa motif adalah dorongan untuk memenuhi
kebutuhan. Motif mempengaruhi apa yang kita perhatikan.
Sementara itu, Rahmat (2009: 52), membagi motif menjadi dua
yaitu motif biologis yaitu kebutuhan yang saat itu harus dipenuhi

176 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
saat itu. dan faktor sosiopsikologis yang meliputi sikap, kebiasaan
dan kemauan seseorang mempengaruhi apa yang diperhatikan. (b)
Faktor eksternal penarik perhatian. Adanya faktor seperti intensitas
stimuli, kebaruan, perulangan (Rahmat 2009: 53).
2. Interpretasi, yang terdiri dari: (a) Pengalaman; Dalam Mulyana
(2001:198), persepsi berdasarkan pengalaman yaitu persepsi
manusia terhadap seseorang, objek atau kejadian dan reaksi mereka
terhadap hal-hal itu berdasarkan pengalaman dan pembelajaran
masa lalu mereka berkaitan dengan orang, objek atau kejadian
serupa. (b) Nilai-nilai yang dianut; Nilai adalah komponen evaluator
dari kepercayaan yang dianut meliputi kegunaan, kebaikan, estetika,
dan kepuasan. Nilai bersifat normatif, memberitahu suatu anggota
budaya mengenai apa yang baik dan buruk, benar dan salah, apa
yang harus diperjuangkan dan sebagainya (Mulyana, 2001:198). (c)
Expectation (pengharapan); Orang biasanya mempunyai harapan
tentang apapun yang dihadapi baik obyek maupun orang, harapan
ini dibentuk oleh pengalaman sebelumnya, dari informasi yang
dia peroleh dari media massa dan dari kenalannya atau dari apa
yang dilihat, didengar dan diraba saat itu (Prasetijo, 2005: 79). (d)
Kebudayaan; Persepsi juga didasarkan pada kebudayaan, yaitu
didasarkan pada kepercayaan dan pemahaman individu berdasarkan
kebudayaan mereka (Liliweri, 2011: 155).

Pembahasan
Artikel yang merupakan hasil penelitian ini mencari persepsi
dari akademisi yang menggunakan media sosial youtube untuk media
pembelajaran. Akademisi yang dimaksud adalah seorang mahasiswa
yang dapat menggunakan media sosial, terutama youtube dengan tujuan
untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan.

Atensi
a. Motif
Motif seseorang dalam melakukan sesuatu bisa berbagai hal,
dan mungkin tidak sama antar individu walaupun kegiatan yang
dilakukan sama. Motif seorang yang melakukan kejahatan di mata
hukum dapat mempengaruhi vonis yang dijatuhkan. Bahkan motif
ini dapat menjadi acuan seorang dalam memutuskan suatu perkara.

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 177


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Ketika seseorang menggunakan media massa dalam berekspresi
ataupun aktualisasi diri maka ada motif yang melatarbelakanginya
dan bisa bermacam-macam tergantung dari individu itu sendiri.
Hasil wawancara dengan narasumber mendapatkan motif ketika
menggunakan kanal youtube yaitu sebagai media pembelajaran dan
mencari informasi.
Berangkat dari kurang adanya contoh riil dalam sebuah
pembelajaran, maka mahasiswa menggunakan youtube sebagai
media yang berbasis audio visual untuk mencari contoh dari suatu
informasi atau pembelajaran. Kemudian juga untuk menambah
wawasan dari sebuah teori atau pengetahuan tertentu dan menambah
keterampilan, karena melalui youtube dijelaskan secara audio visual
sehingga bisa langsung dipraktekkan dan cepat untuk dipahami.
Mahasiswa beranggapan bahwa melihat tutorial menggunakan
sebuah video lebih efektif dan mudah dimengerti daripada hanya
sekedar membaca.
b. Faktor Eksternal
Adanya faktor lain di luar motif dari dalam diri seseorang dapat juga
mempengaruhi atau menarik minat seseorang dalam menyaksikan
tayangan di youtube. Faktor eksternal bisa bermacam-macam bisa
berupa interaktivitas, portabilitas, shareable, dll. Faktor eksternal ini
bisa memungkinkan seseorang memiliki ketertarikan untuk melihat
youtube lebih besar daripada faktor internal itu sendiri, karena begitu
banyak dan menariknya tampilan dan kegunaan yang bisa terwujud
dari media sosial ini, sehingga kebutuhan itu bisa diciptakan.
Mahasiswa komunikasi berpendapat bahwa menggunakan media
sosial berbasis video ini memang sesuatu yang memudahkan
masyarakat dalam mencari informasi. Mudahnya akses yang
disediakan situs ini menjadi daya tarik tersendiri sehingga mahasiswa
tidak memerlukan effort besar dalam mencari sebuah informasi.
Tersedianya aplikasi khusus yang terbenam dalam gawai yang
dimiliki oleh mahasiswa menjadikan situs ini lebih mudah lagi untuk
diakses dan dijangkau. Kemudian adanya fitur untuk membagikan
atau share ke beberapa platform menjadi daya tarik tersendiri juga
karena memenuhi salah satu kebutuhan manusia sebagai makhluk
sosial untuk membagikan informasi kepada orang lain. Adanya fitur
share ini menjadikan mahasiswa dapat membagikan informasi yang
sudah diperoleh kepada masyarakat lain sehingga fakta menjadi

178 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
lebih jelas.
Mahasiswa mendapat informasi tentang youtube pun salah satunya
karena share yang dilakukan oleh teman mahasiswa lain. Kemudahan
di dalam membagikan informasi pembelajaran yang didapat
menjadi nilai tersendiri untuk menggunakan youtube sebagai media
pembelajaran alternatif. Tampilan yang lebih menarik daripada
membaca buku cetak memang menjadi daya tarik yang kuat, karena
dengan memanjakan mata dapat memudahkan dan lebih cepat
untuk menyerap informasi yang didapat.

Interpretasi
1. Nilai-Nilai yang dianut
Seseorang yang menggunakan media sosial berbasis video youtube
pasti memiliki latar belakang yang beraneka ragam. Latar belakang
seseorang sedikit banyak akan mempengaruhi nilai apa yang
dianut selama ini, karena apa yang dianggap penting, benar, salah
tergantung dari apa yang sudah dialami selama ini, termasuk
lingkungan tempatnya berada. Penilaian tentang tayangan yang
beredar di youtube juga berbeda-beda antar individu.
Tayangan penambah informasi yang menyajikan cara-cara seperti
tutorial atau cara-cara melakukan sesuatu memberikan perspektif
yang berbeda tentang media sosial, dimana sebelumnya youtube
hanya dianggap sebagai tempat hiburan saja dengan tayangan
entertainment, namun berubah nilai menjadi tempat untuk belajar
dan sarana edukasi alternatif disamping buku atau perkuliahan.
Informan yang dalam hal ini adalah mahasiswa memang memiliki
maksud ketika melihat tayangan youtube, yaitu salah satunya
menambah pengetahuan, seperti seorang akademisi seharusnya.
Hal ini yang menjadi nilai kegunaan yang dicari, yaitu pengetahuan
dan informasi. Disamping itu juga dalam mencari nilai kepuasan,
mahasiswa juga menggunakan media ini untuk sarana hiburan
karena banyak segi hiburan yang ditawarkan oleh platform ini.
2. Pengalaman
Dalam variabel pengalaman ini hendak melihat hal yang sudah dilalui
atau dilaksanakan oleh seseorang. Pengalaman dan pembelajaran
kejadian serupa di masa lalu individu menjadi hal yang mendasari
seseorang menginterpretasi suatu kejadian tertentu. Informan

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 179


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
yang ditunjuk dalam penelitian ini memiliki latar belakang sebagai
akademisi, oleh karena itu pengalaman dan pembelajaran sebagai
akademisi sedikit banyak akan mempengaruhi penilaian terhadap
suatu tayangan.
Beberapa mahasiswa mengenal youtube karena mengetahui
informasi dari seorang teman, tetapi ada juga yang mencari tahu
sendiri. Kemudian setelah mendapatkan tayangan yang tepat maka
mahasiswa akan mencari kanal dari tayangan tersebut. Mahasiswa
kemudian mengikuti (subscribe) kanal youtube yang sesuai dengan
minat mereka, yaitu mencari informasi dan pembelajaran dengan
cara yang mudah dan menarik.
Mahasiswa menganggap dengan mengikuti sebuah kanal youtube
tertentu akan lebih mudah mendapatkan update terbaru dari video
yang di upload, sehingga informasi yang didapat juga semakin cepat
diperoleh.
Berangkat dari latar belakang mahasiswa komunikasi, maka
sebagian besar narasumber lebih mencari video pembelajaran atau
tutorial yang berkaitan dengan minat atau konsentrasi perkuliahan,
yaitu tentang sinematografi, fotografi, editing video, animasi, dan
lain sebagainya. Mahasiswa di dalam perkuliahan mendapatkan
materi dan tugas tentang sinematografi dan sejenisnya, dan ada
beberapa teknik dalam ptaktek yang belum dimengerti, maka akan
mencari cara-cara mudah melalui kanal yang fokus kepada tutorial
sinematografi yang baik.
3. Kebudayaan yang Dianut
Latar belakang kebudayaan individu menjadi salah satu variabel
yang menjadi tolok ukur seseorang dalam menilai dan mencari suatu
tayangan. Latar belakang kebudayaan bisa terdiri dari: kepercayaan
dari seseorang dan pemahaman dari seseorang tentang sesuatu hal.
Dalam hal ini, narasumber berasal dari kalangan akademisi yang
berkebangsaan Indonesia, oleh karena itu memiliki keterbatasan
dalam penguasaan bahasa sehari-hari. Bahasa yang digunakan
di dalam percakapan adalah bahasa Indonesia sehingga akan ada
kesulitan pemahaman jika mendapatkan informasi a tertentu
menggunakan bahasa asing.
Dengan latar belakang tersebut mahasiswa lebih memilih untuk
mengikuti video tutorial pembelajaran yang menggunakan bahasa

180 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Indonesia atau yang dibuat oleh orang Indonesia. Sekalipun
menurut informan kanal dari negara asing lebih lengkap dan
lebih detail dalam menyampaikan informasi juga memiliki trik-
trik khusus dalam memberikan pelatihan, namun kesulitan dalam
menerjemahkan bahasa adalah hal yang akan terjadi, sehingga harus
tetap mencari dengan latar belakang bahasa dan budaya yang sama
dengan informan.
Kemudian dengan melihat latar belakang budaya pendidikan di
Indonesia yang lebih banyak mengajarkan teori daripada praktek,
maka mahasiswa harus belajar mengimplementasikan teori menjadi
praktek dengan melihat nya dari youtube. Banyak kanal youtube
yang memang khusus menyajikan cara penggunaan suatu alat atau
praktek dari suatu metode tertentu.
Pemahaman juga menjadi tolok ukur dalam melihat mencari
informasi. Pemahaman mahasiswa mengenai suatu pengetahuan
atau teori membuatnya harus mencari informasi dengan sumber
lain yang mudah untuk dipahami dan dipraktekkan, yaitu dengan
media video dimana merupakan fasilitas dari youtube karena dirasa
gambar video lebih dapat mudah dipahami daripada hanya sekedar
materi secara tertulis dan lisan di dalam kelas.
4. Expectation atau Pengharapan
Pengharapan dari individu terhadap tayangan menjadi salah satu
variabel dalam melihat persepsi seseorang ketika menyaksikan video
dari media sosial berbasis video youtube. Harapan ini dibentuk dari
informasi yang sudah didapat dari variabel sebelumnya. Banyaknya
video pembelajaran yang dibuat baik itu dalam negeri maupun
luar negeri membuat pengharapan tertentu dari mahasiswa, yaitu
salah satunya adalah semakin diperbanyak membuat konten untuk
pembelajaran dan semakin dibuat menarik, sehingga akan mudah
untuk mempraktekkan dalam implementasi sehari-hari maupun
guna memahami penggunaan dari teori yang sudah diajarkan di
dalam pendidikan formal.
Kemudian diharapkan seorang content creator menyajikan trik-trik
khusus yang lebih mudah dipahami dalam sebuah pembelajaran
tertentu, dimana trik ini dapat digunakan supaya mahasiswa dapat
mempraktekkan materi lebih cepat dan mudah. Lalu hendaknya
tidak banyak basa-basi di dalam penyampaian dan menggunakan
bahasa yang mudah dipahami.

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 181


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Harapan dari informan yang dalam hal ini sebagai akademisi adalah
supaya content creator memperbanyak tayangan yang memiliki
konten edukasi sehingga media ini dapat digunakan sebagai media
alternatif dalam pembelajaran, karena dapat diakses dari mana saja
dan kapan saja serta tidak memerlukan banyak biaya. Kemudian dari
sisi penonton harus bijak dan tepat dalam memilih kanal youtube
yang memang bermanfaat untuk saran penunjang pembelajaran,
tidak hanya sekedar hiburan namun dapat memberikan pemanfaatan
yang positif.

Penutup
Perkembangan teknologi terutama internet telah mengubah
paradigma pendidikan menjadi lebih dinamis. Pendidikan tidak lagi
hanya didapatkan di ruang kelas secara formal, namun dapat diperoleh
darimana saja melalui internet. Youtube sebagai sarana media berbasis
video memberikan akses yang mudah dan praktis dalam menyampaikan
pembelajaran, dikarenakan media ini menggunakan media audio visual.
Mahasiswa komunikasi yang seharusnya membutuhkan keahlian
praktek dalam pembelajaran membutuhkan sarana belajar alternatif
untuk menunjang materi yang didapat di bangku perkuliahan formal.
Untuk itu penelitian ini melihat bagaimana persepsi mahasiswa
komunikasi dalam menggunakan youtube sebagai media pembelajaran
alternatif dalam memperoleh informasi/ pengetahuan.
Dari hasil penelitian didapat bahwa motif mahasiswa dalam
menggunakan youtube sebagai media pembelajaran alternatif oleh karena
kurangnya contoh praktek riil dalam materi perkuliahan kemudian
mencari dari youtube. Dan untuk menambah menambah wawasan
karena melihat dari video lebih mudah dipahami. Kemudian faktor
eksternal yang membuat seseorang menggunakan youtube untuk belajar
adalah karena mudah dan menariknya situs ini untuk diakses dan dapat
dibagikan oleh orang lain melalui fitur share.
Lalu untuk nilai yang dianut oleh mahasiswa adalah adanya
perubahan cara pandang dari youtube yang awalnya digunakan untuk
hiburan saja menjadi tempat untuk mencari bahan materi pembelajaran
secara lebih lengkap dan terperinci. Lalu dari segi pengalaman
menggunakan media ini oleh karena informasi dari teman dan mencari
tahu sendiri, kemudian setelah mendapatkan kanal yang tepat sesuai

182 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
dengan latar belakang pendidikan akan di subscribe sehingga cepat
mendapatkan update.
Dari sisi kebudayaan yang dianut, mahasiswa mayoritas berasal
dari bangsa Indonesia, oleh karena itu lebih banyak mengikuti kanal
yang menggunakan bahasa Indonesia yang lebih mudah dipahami. Lalu
yang terakhir adalah pengharapan, mahasiswa berharap semakin banyak
konten informatif yang di upload di youtube supaya pembelajaran dapat
diperoleh oleh semua orang tanpa batasan.

Daftar Pustaka
Devito, J.A, 2002. Komunikasi Antar Manusia. Jakarta : Profesional Books
McQuail, Dennis. 2011. Teori Komunikasi Massa. Jakarta : Salemba
Humanika
Mulyana, Dedy.2009.Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya
Nurudin. 2004. Pengantar Komunikasi Massa. Malang : Cespur
Liliweri, Alo.2011. KOMUNIKASI : Serba Ada Serba Makna. Jakarta:
Kencana
Prasetijo, Ristiyanti.2005 .Perilaku Konsumen. Yogyakarta: Andi Offset
Rahmat, Jalaludin.2003. Psikologi Komunikasi. Bandung : PT.Remaja
Rosdakarya
Sobur, Alex. 2003. Psikologi Umum. Bandung : Pustaka Setia

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 183


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
184 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi
Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Aktualisasi Ilmu Komunikasi Dalam Pendidikan
Masyarakat Melek Media Literasi

Iskandar Zulkarnain1, dan Febry Ichwan Butsi2


1
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Sumatera Utara
2
Program Studi Ilmu Komunikasi, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi
Pembangunan-Medan
e-mail: iskandar.zulkarnain@usu.ac.id

Pendahuluan
Era reformasi yang bergulir pada medio 1998 telah menghadirkan
banyak perubahan pada hampir semua konfigurasi masyarakat di
Indonesia. Satu perubahan yang paling signifikan dan bertahan pasca
gelombang reformasi ini adalah konfigurasi media massa di Indonesia.
Pada rezim Orde Baru hampir semua wajah media massa di Indonesia
tampak santun, seragam dan satu suara dalam pemberitaan khususnya
pemberitaan tentang pemerintahan. Sekarang media di Indonesia
mendadak berubah menjadi galak, meledak-ledak dan kritis serta
membeberkan fakta secara terbuka pada pembaca. (H.A Saripudin dan
Qusyaini Hasan. 2003: 8). Bagaimanapun ceritanya, tipografi media
massa Indonesia saat ini adalah sesuatu yang sangat memberangsangkan
bagi menyemai benih demokrasi dan kemerdekaan berpendapat sebagai
satu aspek utama dalam implementasi demokrasi yang sesungguhnya.
Keberagaman informasi baik dari segi isi dan penyajian menjadi sangat
dinikmati konsumen informasi di Indonesia yang lebih dari 250 juta jiwa
ini.
Kebebasan dalam menyiarkan informasi kepada pembaca
membuat para pelaku dunia media berlomba-lomba menyuguhkan
informasi seaktual, secepat dan sedalam mungkin pada pembaca. Terpaan
informasi ini tidak hanya datang dari media konvensional semacam surat
kabar, radio maupun televisi tapi masyarakat Indonesia juga dibanjiri
dengan melimpahnya informasi dari media siber hingga layanan berita
berlangganan melalui telepon selular. Namun, perlu dipahami bahwa
produk media termasuk diantaranya adalah berita adalah produk

Public Relations dan Periklanan | 185


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
konstruksi makna, yang melibatkan proses kerja terorganisir secara
sistemik dan terstruktur dan boleh jadi sarat akan kepentingan dalam
menyajikan informasi dan fakta yang diperlukan oleh khalayak.
Kemawasan dalam memandang media sebagai institusi yang
tidak bebas nilai, dalam arti memiliki tujuan tertentu dalam kerja
profesionalnya. Segala bentuk kepentingan hingga ke nilai-nilai yang
diusung media ini dapat ditelusuri dengan memakai Tiga Model
Media, model yang dikembangkan oleh Wolfgang Donsbach (2010) ini
memandang bahwa ada tiga model media yang lazim berlaku di dunia
ini. Yaitu Tradisi Subjektif, Tradisi Pelayanan Publik dan Tradisi Komersil.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel berikut ini:
Tabel 1: Tiga Tradisi Pelayanan Media

Tradisi Subjektif Tradisi Tradisi Komersil


Pelayanan Publik

Mendapatkan tujuan Menyediakan Memberikan apa


pribadi informasi yang yang masyarakat
valid inginkan
Adaptasi
Kepentingan
seseorang tentang
Tujuan Aktualisasi diri ekonomi dari
realitas dan fungsi
pemilik media
masyarakat
Hubungan Media- Media-Pasar/
Jurnalis-Penguasa
Dominan Masyarakat Shareholders
Subjektifitas/
Objektifitas- Keuntungan/Nilai
Nilai Dominan Kebebasan
Pluralitas Shareholders
berekspresi
Kandungan Fakta dahulu baru Apapun yang
Opini dulu baru fakta
Dominan opini menjual
Posisi Wartawan Penulis individual Profesional Pekerja
Prototipe Jhon Milton Joseph Pulitzer Rupert Murdoch

(diadaptasi dari Wolfgang Donsbach dalam Stuart Alan, 2010:41)

Dari tabel di atas, dapat dipahami bahwa tiga tipologi dari model
media tersebut menguraikan secara gamblang bagaimana kedudukan
institusi media dalam beberapa sudut pandang. Media di satu sisi bisa
merupakan alat untuk mengaktualisasikan dirinya, terutama dalam
mendukung kepentingan dirinya dalam kehidupan masyarakat. Baik
kepentingan politik praktis atau kepentingan bisnisnya. Di satu sisi media
memiliki pilihan membina hubungan dengan penguasa, masyarakat atau

186 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
membina hubungan dengan kehendak pasar. Kandungan dari materi
media pun beragam, media terkadang mendahulukan opini daripada
data dan fakta. Adapula media yang mengutamakan data dan fakta
daripada opini, sebagian media terkadang tidak ambil peduli antara fakta
dan opini karena mereka hanya melihat apapun yang menjual itu lebih
diutamakan.
Proses konstruksi ini bukanlah sekedar proses yang terorganisir
secara kaku dan mekanik seperti pembuatan pabrik pupuk urea yang
merekonstruksi beberapa bahan kimia mentah menjadi pupuk siap guna.
Media massa dikendalikan dan dioperasikan oleh manusia yang sejatinya
juga memiliki perasaan (subjektifitas), pikiran, logika, orientasi standar
nilai yang berbeda satu sama lainnya.
Wartawan selaku ujung tombak media dalam mengumpulkan
fakta, data dan informasi untuk dikonstruksi menjadi berita akan turut
melibatkan banyak pertimbangan dalam proses reportase ini. Siapa yang
diwawancara, pertanyaan seperti apa, pernyataan mana yang dikutip
dan mana yang dibuang, pemilihan kata untuk menulis berita, alokasi
space untuk berita adalah sedikit dari kompleksnya proses konstruksi
wartawan dalam menulis berita (Entman, 1993: 4). Proses konstruksi
berita ini dapat dimaknai bahwa penulisan berita merupakan satu proses
yang panjang. Tidak seperti mengambil fakta di lapangan dan langsung
menuliskan dengan seutuh fakta yang didapat itu tanpa memasukkan
pandangan wartawan (Febry Ichwan Butsi, 2019: 55).
Sebagai salah satu produk media, berita merupakan produk makna,
setiap berita memiliki pesan atau orientasi yang menggiring pembaca
memahami isi berita baik secara implisit dan eksplisit. Memahami
mana yang benar dan mana yang salah, mengerti mana yang baik dan
mana yang buruk, mendukung mana yang perlu dan mana yang tidak.
Contoh kecilnya adalah penelitian yang pernah dilakukan oleh Anne
Marie Hildson pada tahun 2003. Hildson meneliti pemberitaan media
dari dua negara Filipina dan Singapura tentang kasus dijatuhkannya
hukuman mati oleh Mahkamah Singapura kepada Flor Contemplacion
seorang pembantu rumah tangga dari Filipina. Flor dituduh membunuh
pembantu rumah tangga Dalian Maga temannya dari Filipina dan
Nicholas Huang anak majikan Maga. Fakta kematian Maga dan Huang
ini diberitakan dan dikonstruksi berbeda oleh kedua media dari Negara
Singapura dan Filipina.

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 187


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Media Filipina sepakat bahwa Flor tidak bersalah dan dia dipaksa
mengaku oleh Polisi Singapura atas kejahatan yang tidak dilakukannya
sehingga hukuman mati ini tidak benar dan patut dihentikan karena
menurut fakta yang didapatkan oleh media Filipina selama reportase
mendapati kematian Huang disebabkan dia menderita penyakit epilepsi
dan meninggal dunia karena terjerembab ke dalam bak air sewaktu Flor
bertamu menjumpai Maga. Mendapati Huang meninggal, ayah Nicholas
membunuh Maga karena dianggap lalai menjaga anaknya.
Sementara itu media Singapura bersikukuh pada fakta yang
menunjukan Maga meninggal karena dia menolak bingkisan dari
Flor semasa bertandang ke rumah majikan Maga. Karena berang, Flor
membunuh Maga dan Huang yang merupakan saksi mata kejadian itu
(Anne Marie Hildson, 2003: 699-704). Akibat pemberitaan dua versi dari
dua negara ini memperparah hubungan antara Filipina dan Singapura,
kedua sempat memutuskan hubungan diplomatik dan pembatalan
berbagai kerjasama bilateral.
Penelitian yang dilakukan oleh Hildson itu merupakan satu contoh
kecil tentang mengapa media bisa berbeda dalam mengkonstruksi data,
fakta dan isu yang tunggal (empirik) satu menolak dan satu menyetujui.
Pertanyaannya, apakah karena dikendalikan oleh manusia yang memiliki
perasaan atau juga karena media turut melibatkan ideologi nasionalisme
mereka dalam memandang kasus ini sehingga menghasilkan dua bentuk
berita yang sama sekali berbeda jauh.
Fenomena yang berlaku dalam peristiwa ini terutama sewaktu
diusung media ini bisa dipahami dengan menggunakan konsep Framing.
Framing dapat diartikan sebagai suatu perangkat media menyeleksi data
dan fakta lapangan yang sistemik dipakai oleh media dalam konstruksi
penyajian berita menjadi data dan fakta media dengan sudut pandang
tertentu. Konsep framing ini secara sadar atau tidak sadar selalu melekat
sebagai acuan media dalam memandang realitas yang kompleks
disederhanakan oleh media ketika menuliskannya dalam berita. Dan dari
aspek mana (news angle) berita ini ditulis menjadi pertimbangan utama
media dalam konsep framing.
Penentuan cara pandang media dan wartawan dalam memandang
dan mempresepsikan realitas empirik akan menentukan bagaimana
realitas ini berubah realitas media. Prosesnya serupa dengan cara
pandang pada gambar ilustrasi diatas, media dapat memandang dalam

188 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
sudut pandang tertentu dan akhirnya menghasilkan realitas tertentu
pula. Tak heran jika media terkadang tidak satu suara dalam memandang
realitas lapangan yang sama.
Pemakaian strategi framing dalam berita ini antara satu media
dan media yang lainnya dan itu adalah sesuatu yang sangat wajar dan
lazim karena media tidak terlepaskan kepada konteks sosial yang ada
disekelilling mereka. Sebagaimana yang dikatakan oleh Shoemaker
dan Resse (1993) bahwa ideologi, kekuatan intra dan ekstra media,
pendidikan, pertimbangan ekonomi bahkan agama tidak terlepaskan
dalam kerja media. Maka hendaknya dipahami bahwa media bisa jadi
merepresentasikan diri sebagai agen kekuasaan tertentu baik sebagai
agen hegemonik ataupun sebagai Ideological State Apparatus.
Implikasi logis dari kebebasan media ini harus menjadi perhatian
semua pihak di Indonesia. Telah banyak contoh media malah
memperkeruh situasi di masyarakat yang terprovokasi dan menelan
mentah-mentah pemberitaan media yang dikonsumsi, sebagaimana
dalam penelitian yang pernah dilakukan oleh Syafruddin Pohan (2011)
terhadap isi pemberitaan surat kabar di Sumatera Utara yang mengangkat
isu pembentukan provinsi Tapanuli yang berujung kematian ketua DPRD
Sumatera Utara Almarhum Aziz Angkat yang dipukuli dengan beringas
massa pro pembentukan Propinsi Tapanuli yang merengsek masuk ke
ruang sidang DPRD-SU untuk mendesak segera disahkannya usulan
pembentukan Propinsi Tapanuli. Massa ini terkooptasi oleh pemberitaan
salah satu media lokal yang mendukung pembentukan Propinsi Tapanuli,
dengan menyatakan bahwa pembentukan Propinsi Tapanuli ini adalah
harga mati dan wajib diperjuangkan.

Pembahasan
Peristiwa meninggalnya Ketua DPRD Sumatera Utara Aziz Angkat
pada tahun 2009, merupakan secuil contoh betapa masyarakat sebagai
konsumen media mampu “digerakkan” oleh media untuk melegitimasi
kepentingan tertentu. Fakta media yang disajikan oleh salah satu surat
kabar di Sumatera Utara diyakini sebagai sebuah kebenaran mutlak
dan wajib dipercayai. Ujungnya, massa yang mendukung pembentukan
Propinsi Tapanuli meyakini bahwa pembentukan propinsi baru ini
adalah harga mati dan sebuah kewajiban memperjuangkannya dengan
segala cara.

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 189


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Terkooptasinya pemikiran konsumen media ini adalah salah satu
bentuk kurangnya bahkan ketidakmampuan mereka saat berhadapan
dengan serbuan informasi yang berhubungan dengan realitas
sekelilingnya. Kurangnya cara berfikir yang kritis dan skeptis dalam
memahami bahwa produk media adalah sebuah konstruksi media
menjadikan masyarakat Indonesia rentan menjadi ‘korban’ media.
Tidak hanya produk berita, tetapi masyarakat diserbu berbagai
informasi dari iklan, film, sinetron, reality show, talk show, hingga
infotaiment membuat masyarakat Indonesia pasif, lemah, tak berdaya
dan pasrah serta menganggap semua yang dilihatnya adalah sebuah
kebenaran yang hakiki. Tipologi masyarakat yang menjadi korban
media ini sebenarnya bisa ditanggulangi dengan membekali masyarakat
sekaligus membentuk karakter masyarakat yang melek media literasi.
Media literasi atau kecakapan media dapat dijadikan panduan bagi
masyarakat terutama dalam mengkonsumsi media sehingga tipologi
masyarakat yang pasif dan menelan bulat semua yang ia baca, dengar
dan lihat di media. Tetapi dia mampu bicara dan memilah informasi
antara yang mencerdaskan dan membodohi. Mengacu kepada National
Leadership Conference on Media Literacy (1993) yang mendefinisikan
media literasi adalah:
“Media literacy is the ability to access, analyze, evaluate, and produce
communication in a variety of forms....”

Intinya adalah, dengan kemampuan mengamalkan (karakter) media


literasi seseorang dapat memandang secara kritis semua yang dia lihat dan
dengar dalam media komunikasi baik itu suratkabar, majalah, televisi,
film hingga konten media siber. Selain itu juga termasuk kemampuan
dalam mengkomunikasikan pesan dengan berbagai media komunikasi
dengan bijak. Kecerdasan kecakapan media ini menurut Art Silverblatt
(2015) adalah:
1. Suatu kesadaran atas dampak apa saja yang bisa dihasilkan
media.
2. Suatu pemahaman mengenai proses komunikasi massa.
3. Strategi untuk meneliti dan mendiskusikan pesan-pesan media.
4. Pemahaman isi media sebagai teks yang menyediakan
pemahaman yang mendalam ke dalam budaya dan hidup.
5. Kemampuan untuk menikmati, memahami, dan menghargai isi
media.

190 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
6. Pemahaman terhadap etika dan kewajiban moral praktisi media.
7. Pengembangan tentang keterampilan produksi yang efektif dan
sesuai.
Pemahaman dan diseminasi media literacy pada masyarakat
Indonesia masih rendah jauh dibandingkan dengan negara lainnya
semisal Kanada, Inggris apalagi Amerika Serikat. Kecakapan dalam
memilah informasi yang bermanfaat dan baik untuk dirinya belum
menjadi bagian masyarakat Indonesia. Berkaca dari Amerika Serikat
masyarakat di sana jelas lebih tahu dan bijak dalam menerima terpaan
informasi media massa. Bahkan konsep media literacy telah menjadi
kurikulum wajib sejak pendidikan dasar. Indonesia jelas masih
membutukan beberapa puluh tahun lagi untuk mempunyai masyarakat
yang melek dan cakap media.
Untuk Indonesia, kebanyakan usaha pembentukan karakter media
literasi ini lebih banyak disemai oleh kalangan LSM seperti LSM
Media Ramah Anak di Jakarta, sementara itu institusi pendidikan ilmu
komunikasi belum banyak memberikan sumbangsih yang nyata dalam
pembentukan karakter media literasi pada masyarakat. Tanggung jawab
dalam membentuk karakter masyarakat yang melek media literasi ini jelas
menjadi beban semua pihak. Terutama kemampuan untuk menganalisis,
meneliti dan mengawal media menjadi tugas wajib bagi para akademisi
dan mahasiswa dalam mengawal media melakukan kerja jurnalistiknya
dengan sebaik-baiknya dan demi kepentingan publik.
Ilmu komunikasi sebagai salah satu bagian dari institusi pendidikan
tinggi di Indonesia haruslah dapat menjawab tantangan tersebut.
Mayoritas pekerja media adalah kebanyakan alumni ilmu komunikasi.
Beban moral ini dasarnya melekat pada Ilmu komunikasi itu sendiri,
karena esensi ilmu komunikasi mengkaji masalah pertukaran informasi
dan akibat yang dihasilkan dari komunikasi tersebut. Alasan utama
dalam pembentukan karakter media literasi pada masyarakat adalah
terletak pada tujuan inheren dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu
pendidikan, penelitian dan pengabdian.
Merujuk pada pemikiran Ashadi Siregar (2002:3) yang mengatakan
bahwa Tujuan pendidikan dalam ilmu komunikasi berada dalam dua
level, ideal dan praktikal yaitu:

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 191


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Gambar 1: Disarikan dari Ashadi Siregar (2002) dalam tulisan “Pendidikan Ilmu
Komunikasi di Indonesia”

Dari ilustrasi di atas dapat diintepretasikan bahwa tujuan ilmu


komunikasi terutama pada level pertama adalah harus mampu
mengembangkan sekaligus meningkatkan kemampuan akademik dalam
mengenali dan menganalisis fenomena komunikasi. Pengembangan dan
peningkatan kemampuan ini tidak bisa diplot hanya untuk mahasiswa
dan dosen juga, semestinya melintasi batas demarkasi akademik
perguruan tinggi itu sendiri.
Universalitas pendidikan mestinya berdaya guna dan bisa dirasakan
langsung kepada komunitas disekeliling institusi pendidikan. Karena
itu Tri Dharma Perguruan Tinggi mewajibkan tidak hanya elemen
pendidikan dan penelitian saja, tapi elemen Pengabdian Pada Masyarakat
adalah hal yang utama. Pengabdian pada masyarakat dalam konteks
kontribusi Ilmu Komunikasi pada pembentukan karakter masyarakat
melek media literasi ini, bisa dilakukan dalam berbagai cara, mulai
dari mendiseminasikan hasil kajian dan penelitian baik akademisi dan
mahasiswa tentang produk media. Ilmu Komunikasi juga harus mampu
memberikaan sumbangan penguatan pada kapasitas pembentukan
karakter melek media literasi pada masyarakat tersebut, misalnya dengan
melakukan pendampingan pada masyarakat untuk pemahaman media
literasi yang bisa dilakukan dengan cara diskusi, seminar, pelatihan
bahkan membuat konsep acara goes to school.
Selanjutnya, dan juga semestinya ilmu komunikasi harus mampu
membuat lembaga yang khusus mendidikasikan pada pembentukan
karakter masyarakat melek media literasi tersebut. Terakhir, para
akademisi ilmu komunikasi di Indonesia mesti memberikan pandangan,
saran dan sedikit ‘pressure’ pada Pemerintah Indonesia untuk

192 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
memasukkan kurikulum mata pelajaran media literasi di bangku sekolah.
Untuk itu, diperlukannya sebuah skema yang jelas bagaimana
peranan ilmu komunikasi dalam pembentukan karakter media literasi
ini ke semua pihak, mulai dari institusi pendidikan ilmu komunikasi,
pelaku media hingga masyarakat sendiri. Strategi dalam pembentukan
karakter media literasi ini adalah sebagai berikut:

Gambar 2: Strategi Aktualisasi Ilmu Komunikasi dalam Pembentukan Karakter


Masyarakat Melek Media Literasi

Penutup
Mengkritisi media merupakan hal yang perlu dilakukan, dengan
output terciptanya sebuah ekosistem demokratisasi yang berimbang.
Dalam arti terciptanya sebuah situasi keseimbangan dan kesetaraan
antara institusi sosial politik di suatu negara. Tanpa ada dominasi wacana
oleh satu pihak ke atas pihak lainnya, kesetaraan menjadi hal yang paling
didambakan. Karakter kritis ini harus disemai terus menerus, penguatan
kapasitas kritis dapat dimulai dari kampus hingga masyarakat itu sendiri.
Belajar dari Amerika Serikat, pada tahun 1960-an gairah mengkritisi
media menjadi hal yang popular dikalangan akademisi dan pelaku media
itu sendiri, diawali dengan terbitnya 2 jurnal yang memfokuskan pada
kajian isi media yaitu The Montana Journalism Review dan The Colombia
Journalism Review. Kemunculan dua penerbitan ini menginspirasi sekitar
40-an penerbitan yang mengkritisi isi media antara tahun 1960-1975.

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 193


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
(William Hacten, 2005:52-53).
Pemikiran lainnya yang menggugah semua pihak untuk mengawal
media ini juga terinspirasi pernyataan Jhonston (1979), yang mengatakan
bahwa perkembangan media sangat pesat dan hal itu perlu diimbangi
oleh kecerdasan masyarakat sebagai konsumen dari media itu sendiri.
Beberapa alasan yang dikemukaan oleh Jhonston antara lain adalah:
(a) Semakin banyak media besar dan berkuasa; (b) terlalu besar untuk
dikontrol masyarakat yang sedikit; (c) Media banyak “mengakali”
kandungan materi produknya; (d) terlalu banyak memasukkan gosip,
seks dan kekerasan (Jhonston, 1973: 78).
Tentunya output dari skema pembentukan karakter masyarakat
melek media literasi ini bisa menjadi rekomendasi sumbangsih dunia
akademik bagi pencerdasan masyarakat, paling tidak memberikan
pencerahan kepada para peneliti untuk makin menegaskan bahwa kerja
media adalah kerja yang subjektif, sarat nilai dan kepentingan.

Daftar Pustaka
Aufderheide, P. (1993). Media Literacy. A Report of the National Leadership
Conference on Media Literacy. Aspen Institute, Communications
and Society Program, 1755 Massachusetts Avenue, NW, Suite 501,
Washington, DC 20036..
Butsi, F. I. (2019). MENGENAL ANALISIS FRAMING: SEJARAH DAN
METODOLOGI. Jurnal Ilmiah Komunikasi Communique, 1(2), 52-
58.
Donsbach, Wolfgang., (2010). Journalist and Their Professional Identities.
Dalam Stuart Allan., (ed). (2010). The Routledge Companion to
News and Journalism. London, Routledge
Hachten, William A., (2005). The Troubles of Journalism: a Critical at
What’s Right and Wrong with the Press. New Jersey, Lawrence
Erlbaum Associates, Inc Publishers.
Hildson, Anne-Marie. (2003). What the Papers Say Representing
Violence Against Overseas Contract Workers. Violence Against
Women Journal. Hal: 2-5
Jhonston,D.H,. (1979). Journalism and the Media. New York, Barnes &
Noble.
Pohan, Syafruddin., (2011). Wacana Penubuhan Provinsi Tapanuli Dalam
Akhbar Indonesia : Satu Kajian Terhadap Berita Di Dalam Akhbar

194 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Sinar Indonesia Baru Dan Waspada. Tesis pada Pusat Pengajian
Komunikasi Universiti Sains Malaysia.
Resse, Stephen D., (e.d). (2001). Framing Public Life. New Jersey,
Lawrence Erlbaum Associates, Inc Publishers.
Saripudin H.A dan Hasan, Qusyaini., (2003). Tomy Winata Dalam Citra
Media, Analisis Berita Pers Indonesia. Jakarta, Jari.
Silverblatt, A., Ferry, J., & Finan, B. (2015). Approaches to Media Literacy:
A Handbook: A Handbook. Routledge.
Shoemaker, P.J. dan Reese, Stephen., (1991). Mediating the Message:
Theories of Influences on Mass Media Content. New York & London,
Longman.
Siregar, A. (2002, July). Pendidikan Ilmu Komunikasi di Indonesia. In
Makalah disampaikan pada Seminar Temu Alumni Jurusan Ilmu
Komunikasi UGM, Yogyakarta (Vol. 6).

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 195


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
196 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi
Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Laboratorium Konten Untuk Generasi
Millenials Era 4.0

Louisa Christine Hartanto


Fakultas Ilmu Komunikasi dan Bisnis Media, Universitas Ciputra
christine.hartanto@ciputra.ac.id

Pendahuluan
Laboratorium. Saat mendengar satu kata tersebut, banyak orang
kerap mengasosiasikan kata tersebut dengan sebuah tempat untuk
melakukan pemeriksaan atau analisis darah. Ada pula yang bepikir
mengenai pengujian bahan-bahan kimia seperti anak SMA. Namun,
sangat sedikit yang bepikir mengenai sebuah ruangan dengan fasilitas
broadcasting.
Memang perlu diakui bahwa tidak banyak orang yang memahami
fasilitas laboratorium yang dimiliki oleh bidang studi ilmu komunikasi.
Padahal, sejatinya sebuah laboratorium dapat dibedakan menjadi 2, yakni
laboratorium pengujian dan laboratorium pembelajaran. Penggunaan
laboratorium sebagai media pembelajaran, tentu saja sangat menarik.
Pelajar menjadi dituntut untuk lebih aktif, dengan demikian apa yang
mereka pelajari akan dipahami dengan lebih mudah (Dananjaya, 2010).
Proses belajar mengajar yang bertitik berat pada pelajar, cenderung
lebih menarik dan mudah dipahami. Setiap solusi yang datang dari
pelajar sendiri, akan lebih mudah diingat sebagai sebuah pengalaman,
ketimbang pemaparan materi di dalam ruang kelas.
Ilmu komunikasi sebagai salah satu bidang studi yang kerap
bersentuhan dengan teknologi, cenderung menggunakan laboratorium
sebagai media pembelajaran semata. Mahasiswa ilmu komunikasi,
melalui laboratorium diajak untuk melatih kemampuannya dalam
bidang broadcasting, maupun public speaking. Ada yang menggunakan
fasilitas laboratorium untuk melancarkan kemampuannya dalam bidang
olah vokal guna menjadi penyiar yang baik. Ada juga yang berlatih
melancarkan kemampuannya dalam memilih diksi, lalu merangkainya
menjadi kalimat-kalimat indah untuk dikonsumsi indera publik. Serta
masih ada banyak hal teknis lain seputar dunia penyiaran dan public

Public Relations dan Periklanan | 197


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
speaking yang dilatih dalam laboratorium ini. Namun, bisakah studi
ilmu komunikasi memiliki laboratorium yang sifatnya berfungsi untuk
penelitian, atau eksperimen?
Mungkin saja hal itu dapat terjadi, mengingat semakin maju zaman,
semakin besar juga tuntutan yang hadir. Kemajuan zaman, menciptakan
lingkungan yang berbeda dengan zaman terdahulu. Pesatnya kemajuan
teknologi, membuat lingkungan hidup manusia menjadi luas, serta
serba instant (mudah dan cepat). Sesuai dengan teori survival of the
fittest yang dikemukakan oleh Charles Darwin pada tahun 1866, bahwa
makhluk hidup akan senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungan
untuk bertahan hidup. Manusia juga beradaptasi, sehingga menciptakan
manusia yang memiliki perbedaan karakter, kebutuhan, dan keinginannya
dengan manusia pada zaman terdahulu.
Era 4.0 atau industrialisasi ditandai dengan semakin bergesernya
penggunaan tenaga manusia, dan masuknya teknologi atau robot
hampir pada segala lini kehidupan manusia. Hal ini tentu menciptakan
perubahan kondisi kebutuhan manusia. Di mana hal terbesar yang dapat
diberikan oleh manusia untuk manusia yang lain, bukan lagi tenaganya.
Pikiran dan daya kreatif mereka adalah salah satu nilai jual yang dapat
mereka tawarkan antar manusia, karena merupakan hal yang tak dimiliki
oleh sebuah mesin atau robot.
Tulisan ini akan memaparkan situasi dan kondisi masyarakat sesuai
dengan perkembangan zaman, lalu implikasinya pada bidang studi ilmu
komunikasi, dan bagaimana laboratorium yang dimiliki oleh sebagian
besar program studi ilmu komunikasi dapat mendukung daya saing
lulusan di masa depan.

Pembahasan
Era industrialisasi atau yang kerap disebut sebagai era 4.0 semakin
sering terdengar setahun terakhir semenjak Presiden Jokowidodo
meresmikan roadmap Making Indonesia 4.0 (Rachman, 2018). Lalu
apa sebenarnya Industri 4.0 ini? Industri 4.0 adalah sebuah reformasi
yang ditandai dengan masuknya teknologi untuk menggantikan sumber
daya manusia atau meningkatkan efisiensi kerja melalui penggunaan
teknologi. Era ini juga ditandai dengan penggunaan internet secara
masif, baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun kebutuhan industri.
Salah satu yang paling mudah diamati adalah penggunaan mesin-

198 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
mesin otomasi pada pabrik yang menggantikan tenaga kerja manusia.
Mesin-mesin ini memberikan efisiensi kerja dan biaya yang jauh lebih
baik ketimbang menggunakan tenaga kerja manusia. Selain itu, internet
juga dilihat telah merubah gaya hidup manusia pada umumnya. Internet
berhasil mendekatkan mereka yang jaraknya jauh, dan memecah sekat-
sekat yang dahulu sulit untuk diatasi.
Dunia internet, benar-benar memecah sekat antar wilayah. Kini
Anda tidak lagi memperlukan paspor dan visa untuk melihat-lihat negara
lain, juga tidak perlu membayar tagihan telpon yang sangat mahal untuk
dapat berkomunikasi dengan orang yang berada di luar negeri. Setiap
kemudahan yang diberikan oleh internet dalam industri 4.0 berperan
merubah banyak hal, termasuk gaya hidup, budaya, dan pola konsumsi
masyarakat.
Masyarakat Indonesia, tentu tak luput dari perubahan gaya hidup
dan pola konsumsi seperti warga dunia lainnya. Meski tidak semua,
namun sebagian besar masyarakat Indonesia dalam usia produktif
merupakan orang-orang yang terpengaruh perubahan industri 4.0. Hal
ini juga dinyatakan oleh Yoris Sebastian (2018) dalam bukunya yang
menceritakan mengenai kebiasaan generasi langgas. Generasi langgas
atau yang kerap dikenal dengan millenials ini merupakan generasi yang
lahir pada tahun 1980-2000, dan kini tengah mengisi lebih dari 50% usia
produktif di Indonesia. Artinya, kebutuhan dan keinginan masyarakat
tentunya juga berubah. Bukan hanya kebutuhan pokok yang berubah,
melainkan juga kebutuhan sekunder dan tersier masyarakat.
Misalnya saja permainan yang dulu menggunakan layangan, mobil-
mobilan, dan lain sebagainya, kini berubah menjadi permainan berbasis
smartphone atau komputer. Bahkan permainan-permainan tersebut
yang menggunakan teknologi dan internet, telah diakui sebagai e-sports
(electronic sports). E-sports hanya sebuah contoh yang begitu mencolok
mata telah merubah pola konsumsi publik. Di level kebutuhan yang
lebih serius, seperti kebutuhan akan informasi. Internet juga menjadi
salah satu senjata millenials untuk memburu informasi. Baik untuk
menambah wawasan, atau hanya sekedar untuk membunuh waktu.
Generasi millenials menjadi lebih bebas untuk menentukan pilihan-
pilihan mereka, karena ketersediaan sumber yang semakin beragam.
Informasi-informasi yang kurang menarik bagi mereka, akan dilewatkan.
Mereka hanya akn berfokus pada apa yang dianggap penting atau yang
menarik minatnya semata.

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 199


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Salah satu platform yang kerap digunakan oleh kelompok millenials
untuk mencari informasi dan hiburan saat ini adalah platform media
sosial. Mungkin yang paling mudah untuk diamati adalah YouTube.
Beberapa waktu yang lalu, YouTube sempat memberikan rilis mengenai
angka-angka fantastis yang mereka temukan (https://www.youtube.com/
yt/about/press/). Jumlah pemilik akun YouTube yang aktif ada lebih dari
1 milyar, dan ada lebih 800 milyar video telah diunggah di YouTube.
Mereka bahkan mencatat bahwa total durasi video yang diunggah pada
kanal YouTube mencapai 300 jam per menit.
Data yang dirilis oleh YouTube tersebut, tentunya membuat dunia
semakin sadar bahwa kebebasan memang ada di tangan generasi
millenials. Maka tak salah, bila salah satu karakter generasi millenials
adalah kebebasan. Mereka bebas untuk belajar, bekerja, dan berbisnis.
Internet telah memungkinkan mereka untuk melakukan setiap
aktivitasnya dengan fleksibel di mana saja dan kapan saja, selama akses
internet tersedia. Menyadari hal ini, maka menjadi tantangan baru bagi
dunia akademis formal untuk mempersiapkan diri. Generasi berikutnya,
yang lahir di atas tahun 2000 akan memiliki gaya hidup yang semakin
bebas.
Maka pelaku industri di bidang ilmu komunikasi, terutama
pendidikan ilmu komunikasi harus menyadari perubahan ini. Bukan lagi
hal teknis semata yang menjadi ancaman apakah sebuah produk akan
dikonsumsi atau tidak. Melainkan konten yang disajikan, apakah tepat
sasaran, apakah sesuai dengan selera atau trend. Tantangan-tantangan
yang bersumber dari perkembangan teknologi ini, tentu memiliki
solusi juga berasal dari sumber yang sama. Pemanfaatan perkembangan
teknologi harus menjadi senjata utama institusi pendidikan, utamanya di
bidang ilmu komunikasi.
Laboratorium pada bidang studi ilmu komunikasi yang selama ini
hanya menjadi media pembelajaran, sudah waktunya untuk berkembang.
Sekedar menjadi media atau sarana pembelajaran tidak lagi cukup,
laboratorium harus berkembang menjadi tempat untuk melakukan riset,
eksperimen, dan pengujian. Mahasiswa tidak lagi hanya perlu berlatih hal-
hal teknis, tapi mereka sudah sepatutnya berfokus pada pengembangan
konten. Peserta didik atau pelajar sudah seharusnya mulai berfokus pada
pembuatan konten yang sesuai dengan pasar atau trend, sehingga mereka
tetap dapat berkarya secara mandiri setelah lulus.

200 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Kampus sebagai tempat menuntut ilmu secara ilmiah, sudah
selayaknya menyiapkan fasilitas yang memadai. Kebutuhan utama dalam
pembuatan konten yang tepat adalah riset, dan pada zaman sekarang
riset sangat mudah dilakukan. Utamanya bila institusi pendidikan dapat
menyediakan laboratorium big data, di mana pelajar dapat mencari
tahu trend-trend terkini dari seluruh dunia dengan hitungan jam
bahkan menit. Berdasarkan data tersebut, pelajar dapat diarahkan untuk
menciptakan konten yang menarik dengan segi teknis mumpuni.
Perkembangan teknologi yang mendukung isi konten, diuraikan
oleh Lever-Duffy & McDonald (2011) secara jelas dalam bukunya. Ia
menunjukkan bagaimana perkembangan teknologi, terutama audio
visual digunakan dalam dunia pendidikan di Amerika. Secara jelas
digambarkan bagaimana media-media tersebut berfungsi dan digunakan
dalam proses pembelajaran. Dilihat secara jeli, sebenarnya bukan
teknologi yang menjadi landasan utama dan pertama bagi mereka dalam
proses belajar mengajar. Konten dari media tersebut yang menjadi titik
tumpunya. Teknologi, baik dalam bentuk hardware maupun software
adalah pendukung dari sebuah konten yang ada. Semakin modern
sebuah teknologi, semakin kompleks dan menarik konten yang dapat
dihadirkan. Konten yang diproduksi juga menjadi semakin dekat atau
semakin menjawab kebutuhan.

Penutup
Melalui pembahasan berkaitan dengan perkembangan teknologi,
perubahan gaya hidup dan pola konsumsi generasi millenials,
maka penting untuk memberikan perhatian tambahan pada konten
pembelajaran yang disajikan pada peserta didik. Pembelajaran saat ini,
sebaiknya difokuskan pada pembuatan konten-konten kreatif yang sesuai
dengan kebutuhan dan keinginan publik. Di mana kebutuhan serta
keinginan publik dapat dengan mudah diketahui dengan keberadaan big
data.
Hal lain yang perlu diberi perhatian khusus adalah pengembangan
laboratorium dalam bidang ilmu komunikasi, khususnya untuk bidang
penyiaran. Pengembangan laboratorium penyiaran ke depan tidak bisa
hanya sekedar sebagai media pembelajaran, namun juga harus menjadi
laboratorium yang menyediakan data, juga mendukung uji kelayakan
konten. Mungkin lebih baik bila di masa yang akan datang, laboratorium

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 201


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
yang hadir bukan lagi sekedar laboratorium fotografi, televisi, radio,
editing, atau public relations. Melainkan dilengkapi dengan laboratorium
big data, dan YouTube.
Harapannya kedua laboratorium tersebut dapat memberikan
gambaran konten yang diinginkan publik, sekaligus dapat menguji sejauh
mana produk tersebut diterima oleh publik.

Daftar Pustaka

Buku
Dananjaya, Utomo. (2010). Media Pembelajaran Aktif. Bandung: Penerbit
Nuansa
Lever-Duffy, Judy & McDonald, Jean B. (2011). Teaching and Learning
with Technology (4th Edition). Boston, USA: Pearson
Sebastian, Yoris. (2018). Generasi Langgas Millenials Indonesia. Jakarta:
Gagas Media

Artikel Internet
Rachman, Fadhly Fauzi. (2018). Apa Itu Revolusi Industri 4.0?. Available
at: https://finance.detik.com/industri/d-3952668/apa-itu-revolusi-
industri-40
YouTube for Press. (2019). Available at : https://www.youtube.com/yt/
about/press/

202 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Pendidikan Tinggi Komunikasi, Disrupsi dan Inovasi

Setio Budi H. Hutomo


Progam Studi Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Pengantar
Dinamika pendidikan tinggi tidak bisa lepas dari pengaruh faktor
ekonomi, sosial, politik, budaya, sampai aspek teknologi. Secara
praktik, pengelolaan pendidikan tinggi mempertimbangkan faktor-
faktor pengaruh yang relevan tersebut untuk mengembangkan visi dan
misi, serta aspek “bisnis” untuk keberlanjutan. Demikian pula untuk
pendidikan tinggi Ilmu Komunikasi, bidang ilmu yang saat ini masih
dianggap favorit bagi mahasiswa, ditandai dengan banyaknya peminat
dan semakin banyak pergururuan tinggi yang mendirikan program studi
ilmu komunikasi, dari diploma III/IV sampai pascasarjana.
Tentu minat akan ilmu komunikasi berkorelasi dengan kebutuhan
tenaga kerja dan profesi komunikasi, dari industry media, perusahaan,
pemerintahan (sipil/militer), organisasi non pemerintah, berbagai
industry kreatif, konsultan komunikasi sampai lembaga pendidikan.
“Platform” kerjanya pun juga berkembang dari konvensional ke digital.
Sebagaimana dunia komunikasi saat ini ada dalam dua ruang yaitu,
dunia nyata dan maya, fenomena yang memiliki ciri dan keunikan
sendiri. Selain itu perkembangan pendidikan tinggi komunikasi juga
dipengaruhi oleh dinamika riset yang dikembangkan perguruan tinggi
dan termasuk berbagai hasil kegiatan akademik yang diselenggarakan
oleh berbagai asosiasi komunikasi, jurnalisme, media, public relations,
advertising dan sebagainya.
Di Indonesia, secara khusus pendidikan tinggi komunikasi, yang
dikatakan berkembang dan favorit, masih mencatat berbagai isu penting,
yang masih merupakan selain kritik, juga tantangan, sebagai berikut :

Public Relations dan Periklanan | 203


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Tabel 1.
Catatan Kritis Pendidikan Tinggi Komunikasi

KRITIK CATATAN
Profesi terbuka Komunikasi bidang yang eksklusif, bidang lain bias
masuk, selama memiliki skill yang diminta.
Interdisipliner dan multidipliner Ilmu komunikasi, atau khususnya mata kuliah ko-
munikasi juga dipelajari sebagai sub bahasan dan
juga sebagai mata kuliah pada disiplin ilmu lain
(manajemen, marketing, kedokteran, politik, psi-
kologi, kesehatan dan sebagainya). Jumlah mata
kuliah berlabel komunikasi semakin banyak ? Se-
baliknya juga berbicara tentang bagaimana ilmu
bidang lain, diklaim sebagai bagian ilmu komuni-
kasi.
Formulasi teori/praktik Perdebatan yang tidak kunjung selesai, apakah
komunikasi masuk ranah akademik atau terapan.
Implikasinya adalah formulasi kurikulum dan
prosentasi antara teori dan praktek.
Kurikulum Adakah “rumusan” kurikulum standar bagi pen-
didikan ilmu komunikasi ? Jika membandingkan
dengan psikologi, sosiologi atau antropologi, atau-
pun ilmu ekonomi, manajemen atau hukum, yang
memiliki rumusan standar ? atau dasar kurikulum
Kompetensi Adalah konsekuensi dari sistem manajemen
mutu dan industri, bahwa kualitas SDM memili-
ki standar minimum yang ditentukan. Sekaligus
pertanyaan apakah output pendidikan tinggi
komunikasi (kompetensi apa ?), fit dengan stan-
dar kompetensi ? Jika mahasiswa dituntut untuk
memiliki kompetensi, bagaimana dengan dosen
dan sertifikasi kompetensi yang relevan.
Kualifikasi/jenjang Jika lembaga sertifikasi atau standar kompeten-
si yang ada biasanya menentukan jenjang : oper-
ator, analis – sampai yang tertinggi manajerial,
bagaimana kurikulum pendidikan tinggi komuni-
kasi memformulasikan pendidikan/ jenjang DIII –
S3 ?, apakah menunjukkan jenjang dan kualifikasi
yang diinginkan ?
Laboratorium Laboratorium dengan standar apa yang diperlu-
kan, ini berhubungan percepatan dinamika dunia
kerja/ industri.

Catatan dan kritik tersebut sebenarnya sudah sejak lama muncul, berbagai
upaya dilakukan oleh perguruan tinggi, setidaknya untuk mengevaluasi
kurikulum, “update” isi mata kuliah, untuk melakukan penyesuaian

204 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
atau kondisi kekinian. Upaya untuk meng “update” pendidikan tinggi
komunikasi terus dilakukan secara periodik, hal inipun tetap menyisakan
pertanyaan : apakah sudah ada inovasi dan atau lompatan konsep dan
pendidikan tinggi komunikasi untuk menghadapi kompleksitas dunia
dan masyarakat ?

Tantangan : ilmu komunikasi dan teknologi


Berbagai topik mengenai disrupsi, industry 4.0, ekosistem baru dan
landscape digital terus menggema sampai ini, untuk menggambarkan
bahwa ada fenomena perubahan yang cepat dan mendasar dan
berimplikasi pada berbagai aspek dimasyarakat. Mari kita lihat contoh
sederhana, pertama GOJEK dan GRAB, perusahaan aplikasi yang berbasis
pada transportasi awalnya, sekarang merambah ke pelayanan antar
makanan, pengiriman barang, isi pulsa, belanja, farmasi, pembelian tiket
bioskop – sampai jasa pijat, bengkel dan pembayaran digital. Traveloka
dan Tiket.Com, merambah ke pelayanan pesan hotel, tour, makanan,
pembayaran tagihan, asuransi, pembayaran digital, pembelian pulsa,
dan seterusnya. Masih banyak contoh lain, perusahaan berbasis digital –
aplikasi, yang mengambil alih proses bisnis antara (toko, mall, distribusi,
jasa pemasaran lainnya, sampai perbankan), mereka memotong rantai
distribusi. Mulai banyak universitas membuka layanan online bahkan
gratis untuk belajar bidang apapun dan baru membayar jika peserta
memerlukan sertifikat kelulusan atau kompetensi. Apa implikasinya ?,
mall atau pusat perbelanjaan : tutup atau merubah orientasi bisnisnya.
Dunia bisnis dengan cepat atau tergopoh-gopoh mengadopsi platform
digital.
Dunia berubah, cara konsumsi, mobilitas orang, dan transaksi
mengalami pergeseran dengan cepat, yaitu kendali ada ditangan melalui
telepon pintar untuk melakukan transaksi dan berbagai urusan bisnis.
Konsumen dan pelanggan tidak perlu hadir dalam transaksi fisik, ini
tentu merubah pola konsumsi dan bisnis. Platform digital, komunikasi
elektronik/ melalui aplikasi menjadi andalan orang untuk berkomunikasi
dan berbisnis. Sebagaimana media sosial telah merubah platform
komunikasi sosial orang dari tatap muka ke dunia maya. Bagaimana
pendidikan tinggi komunikasi sebaiknya merespon fenomena tersebut
? Jawaban sederhana ada 2, yaitu adaptasi, yaitu sebagaimana yang
selama ini dilakukan melalui evaluasi dan rekonstruksi kurikulum secara

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 205


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
periodik. Kedua adalah inovasi, yaitu menemukan cara baru, termasuk
konsep pendidikan, kurikulum dan pembelajaran sebagai antisipasi
kedepan perubahan dimasyarakat. Apakah inovasi tersebut berdasar
“benchmarking” atau murni adalah persoalan lain. Tetapi yang mendasar
adalah bahwa dinamika kekinian pendidikan tinggi komunikasi sangat
dipengaruhi oleh teknologi/digitalisasi.
Maringe (2010) menggambarkan bahwa “world system theory”
menggambarkan dunia terbagi pada 3 lapisan, yaitu “pusat”, yang dalam
pengertian pendidikan tinggi “factor penentu” adalah elite universitas,
yaitu the Ivy League (USA) dan the Russell Group (UK), mereka menjadi
“penentu” tentang apa yang disebut pendidikan tinggi, oleh karenanya
menjadi acuan dan atau “pemegang” kendali atas aturan main tentang
pendidikan tinggi. Yang kedua adalah periferi, dimana pada umumnya
berisi negara-negara miskin (yang sebagian besar ekonominya adalah :
menjual bahan mentah dan tenaga kerja/ imigran), yang menarik adalah
“elit-elit” mereka adalah lulusan dari universitas ternama (pusat) dan
menjadi pengendali proses-proses ekonomi tersebut, dengan sistem-
sistem yang diberlakukan. Sementara diantara pusat dan periferi adalah
kelompok negara yang tidak kaya namun juga tidak miskin. Maringe,
mengambil poin bahwa :
The world systems theory thus explains the flows of capital, good and
services across nations and the need to preserve economic and poverty
differentials in service of the core. (2010 : 21)
Agar bias beradaptasi, secara ringkas Foskett (2010 : 40) menyebutkan
beberapa poin :
1. Redevelopment of the curriculum to ensure international coverage
and focus, and relevance for international students as well as
‘home’ students;
2. Internationalizing teaching and learning, by recognizing different
cultural perspectives on learning styles and employing a diverse
international staff;
3. Providing student services that meet the practical and cultural
needs of international students as well as ‘home’ students;
4. Benchmarking educational provision not just against national
comparator institutions, but against comparators in other
countries.

206 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Konteks Foskett adalah ketika pendidikan tinggi menghadapi tekanan
internasionalisasi yang makin kuat, terutama jika isu masuknya perguruan
tinggi asing semakin terbuka di Indonesia, sebagaimana variasi tawaran
pendidikan seperti “online learning”.
Niman (2014) menyebut setidaknya 2 hal, apakah perubahan
mendasar yang terjadi di industry akan juga melanda universitas/
perguruan tinggi ?, yang kedua fenomena MOOC (Massively Open Online
Course) adalah tantangan yang tidak bisa dianggap remeh jika berkaitan
dengan eksistensi perguruan tinggi, karena cepat atau lambat, definisi
belajar tidak lagi berarti kehadiran fisik, selain aspek kebutuhan personal
individu yang yang makin beragam (dan tidak selalu bisa dipenuhi
oleh perguruan tinggi). Berita mengenai penutupan program studi2
dan perguruan tinggi, atau penurunan minat atas program studi adalah
catatan penting sebagai peringatan. Jika ada perusahaan-perusahaan
tumbang karena fenomena disrupsi/ perubahan platform bisnis dan
perilaku konsumen, itu juga menggambarkan perusahaan-perusahaan
lain yang justru berkembang karena hal tersebut. Apakah perguruan
tinggi memiliki kesamaan peluang atau kemampuan untuk merespon
berbagai fenomena perubahan tersebut, sebagaimana perusahaan
beradaptasi/ berubah ?.

Pendidikan Tinggi Komunikasi Masa Depan ?


Apakah ada model, standar atau acuan untuk pengembangan
pendidikan tinggi komunikasi dan kurikulumnya. Model pendidikan
jurnalisme UNESCO (2007), naskah pendidikan periklanan yang
disusun oleh Perguruan Periklanan Indonesia (2019), terutama
bagaimana pendidikan periklanan dan perubahan platform yang serba
digital, adalah acuan yang bias digunakan, sementara untuk public
relations, ilmu komunikasi, kajian televisi – film, komunikasi massa,
komunikasi pembangunan, media dan komunikasi dan bidang-
bidang serumpun komunikasi (ilmu terapan) yang tercantum dalam
nomenklatur pendirian program studi komunikasi (Keputusan Menteri
Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor
257/M/Kpt/2017 Tentang Nama Program Studi Pada Perguruan Tinggi).
Selain itu usaha untuk “benchmarking” pada perguruan tinggi yang
dianggap memiliki keunggulan dan bisa sebagai model acuan, adalah
pilihan. Selain itu upaya dari asosiasi pendidikan tinggi serumpun

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 207


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
bisa menjadi jalan terbaik, secara kolaboratif mengembangkan model
pendidikan tinggi komunikasi dan kurikulumnya. Dibawah ini saya coba
digambarkan secara sederhana :

Gambar di atas adalah fenomena yang harus dipertimbangkan dalam


penyusunan kurikulum kedepan. Batas lingkaran juga menyiratkan
fenomena ekonomi, politik, sosial, budaya secara kompleks mempengaruhi
dinamika pendidian tinggi komunikasi khususnya. Teknis pendidikan
dan kurikulum perlu didiskusikan secara matang, terutama pada konsep
profile dan disain kurikulum komunikasi. Pertanyaan dasar yang harus
dijawab, pada akhirnya ketrampilan apa yang harus dimiliki oleh seorang
lulusan pendidikan tinggi komunikasi, dan ketrampilan tersebut tentu
mencakup : menulis, mendengar, membaca, dan berbicara. Konteks dan
level komunikasi akan menajamkan bagaimana 4 ketrampilan tersebut

208 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
dipelajari dan dikembangkan. Sebagai contoh urutan : public speaking –
presentasi negosiasi – debat – presentasi bisnis, dst, atau penulisan ilmiah
– dasar-dasar jurnalisme – jurnalisme online - jurnalisme investigasi,
dst. Orientasi proses akan bermuara pada hasil.
Pertimbangan penting lain adalah kolaborasi – interdispliner dengan
disiplin lain, seperti Informatika, Marketing dan seterusnya untuk
memperkuat bangunan kurikulum dan output yang kompeten. Persoalan
yang mendasar lain adalah, faktor SDM, yaitu dosen, apakah sudah
kompeten, terutama menghadapi cepatnya perubahan dunia, karena
kurikulum yang disusun saat ini adalah untuk mempersiapkan mahasiswa
lulus pada masa depan. Kompetensi dosen bisa dengan berbagai cara atau
jalur : sertifikasi profesi, konsistensi riset yang menghasilkan karya yang
bisa dipakai dikelas dan pengalaman professional.
Kritik terhadap pendidikan ilmu komunikasi sebenarnya tidak hanya
bersifat internal, namun juga sebagai catatan untuk bersaing dengan
disiplin ilmu lain yang juga belajar tentang komunikasi. Kemampuan
pendidikan tinggi ilmu komunikasi untuk mengembangkan ilmu-ilmu
yang “lokal” juga menjadi nilai yang baik sebagai ciri khas.

Penutup
Dunia pendidikan tinggi ilmu komunikasi, sebagai ilmu yang
interdipliner, sangat rentan atas dinamika perubahan dunia. Determinasi
teknologi sebagai contoh, adalah bagaimana ilmu komunikasi harus
menghadapi “bentuk baru” komunikasi karena perkembangan internet
dan atau dunia digital yang memiliki pengaruh signifikan terhadap
kehidupan masyarakat.
Konservatisme pendidikan tinggi ilmu komunikasi perlu dihindari
dengan inovasi kurikulum yang adaptif namun juga berorientasi maju.
Tantangan dunia yang serba terkomputerisasi, terkoneksi dan bantuan
Artificial Intellegence, menjadi tantangan tersendiri.

Daftar Pustaka
Maringe, Felix & Foskett, Nick (Eds). 2010. Globalization and
Internationalization in Higher Education Theoretical, Strategic and
Management Perspectives. MPG Books Group

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 209


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Niman, Neil B. 2014. The Gamification of Higher Education Developing
a Game-Based Business Strategy in a Disrupted Marketplace. New
York : Palgrave Macmillan
Model Curricula for Journalism Education, 2007, UNESCO
LAMPIRAN I KEPUTUSAN MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN
PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR
257/M/KPT/2017 TENTANG NAMA PROGRAM STUDI PADA
PERGURUAN TINGGI. Dokumen.
Dokumen/ naskah Pendidikan Periklanan, Dewan Perguruan Periklanan,
2019

210 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Implementasi Kurikulum Ilmu Komunikasi
melalui Pengerjaan Proyek Program Talkshow TV
pada Mata Kuliah Terpadu di STIKOM “AKINDO”
Yogyakarta

Supadiyanto
Program Studi S1 Ilmu Komunikasi STIKOM Yogyakarta

Pendahuluan
Industri media penyiaran khususnya televisi dipenuhi dengan
program hiburan saat ini. Bahkan banyak tayangan yang melanggar
sejumlah regulasi media penyiaran. Buruknya lagi, lembaga penyiaran
didominasi program “Jakarta” dan program asing. Program siaran lokal
minimalis (Supadiyanto, 2015: 66). Di tengah banyaknya program acara
televisi yang sekadar menghibur, masyarakat merindukan program
tayangan yang mencerdaskan publik. Program talkshow menjadi salah
satu alternatif program televisi yang diharapkan bisa mencerdaskan
publik.
Kurikulum pada Program Studi S1 Ilmu Komunikasi maupun
Diploma Tiga Program Studi Penyiaran, Periklanan, Hubungan
Masyarakat, dan sejenisnya yang diajarkan di berbagai PTN/S di
Indonesia harus selalu dilakukan penyempurnaan secara kontinum.
Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan tuntunan dunia industri bidang
perkomunikasian yang berjalan sangat dinamis, cepat, masif, dan
universal. Tanpa adanya penyesuaian kurikulum pada Program Studi S1
Ilmu Komunikasi Diploma Tiga Program Studi Penyiaran, Periklanan,
Hubungan Masyarakat, dan sejenisnya; maka lulusan pada Prodi S1 Ilmu
Komunikasi dan Diploma Tiga Program Studi Penyiaran, Periklanan,
Hubungan Masyarakat, dan sejenisnya mengalami hambatan dan
kesulitan dalam menjawab tantangan dunia kerja di era Revolusi Industri
4.0. Sejatinya Revolusi Industri 4.0 merupakan esensi dari perjumbuhan
antara teknologi telekomunikasi, media, informasi, grafika, dan
transportasi (Telematikagratrans), keterampilan (skills), pesona kapital,
dan konstelasi geopolitik dunia. Perguruan tinggi sebagai lembaga

Public Relations dan Periklanan | 211


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
pendidikan yang memikul tanggungjawab dalam mengemban amanah
Tri Dharma Perguruan Tinggi (pilar pendidikan dan pengajaran, pilar
penelitian, dan pilar pengabdian kepada masyarakat). Komitmen dalam
menjalankan amanah tersebut, sejatinya yang menjadi keunggulan
dari Perguruan Tinggi. Hanya saja, para dosen di berbagai perguruan
tinggi saat ini dibebani dengan beragam pekerjaan administratif,
bahkan ditambah pekerjaan struktural pada institusi Perguruan Tinggi
bersangkutan, dan atau pekerjaan luar lainnya.
Profesionalitas para dosen dalam menjalankan tugas Tri Dharma
Perguruan Tinggi menjadi tidak optimal sebab para dosen memiliki
banyak pekerjaan. Apalagi nasib para dosen yang bekerja pada perguruan
tinggi swasta kecil (gurem) yang mendapatkan pendapatan bulanan (gaji)
yang pas-pasan. Tantangan para dosen dalam mengimplementasikan
kurikulum dengan segala pernak-pernik dan suka dukanya, menjadi
pengalaman yang sangat berharga bagi mereka untuk memajukan dunia
pendidikan tinggi. Untuk memajukan pendidikan Ilmu Komunikasi,
berbagai perguruan tinggi membutuhkan kreativitas dan seni yang
tinggi dalam meracik dan mengimplementasikan kurikulum disesuaikan
dengan tantangan zaman dan kemampuan serta potensi yang dimiliki
oleh para mahasiswa pada kampus bersangkutan. STIKOM Yogyakarta,
merupakan salah satu perguruan tinggi swasta nasional di Yogyakarta
yang berkhidmat pada kajian ilmu komunikasi di Indonesia. STIKOM
Yogyakarta merupakan hasil perubahan bentuk AKINDO YPK yang
berdiri pada 17 Januari 1995 menjadi STIKOM Yogyakarta mulai pada
2 Februari 2018.
Ada dua rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimanakah implementasi kurikulum Ilmu Komunikasi melalui
Pengerjaan Proyek Program Talkshow TV pada Mata Kuliah
Terpadu: Jurnalistik Televisi II, Manajemen Produksi Televisi, dan
Tata Artistik di STIKOM Yogyakarta?
2. Bagaimanakah evaluasi dan hambatan yang terjadi dalam
implementasi kurikulum Ilmu Komunikasi melalui Pengerjaan
Proyek Program Talkshow TV pada Mata Kuliah Terpadu: Jurnalistik
Televisi II, Manajemen Produksi Televisi, dan Tata Artistik di
STIKOM Yogyakarta?
Paradigma penelitian ini adalah kualitatif-diskriptif. Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan cara: praktik kuliah terpadu

212 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
(terapan), wawancara, observasi, dan kajian pustaka. Ada dua jenis
data yang dikelola dalam penelitian partisipatif-interaktif ini. Data
yang dimaksudkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer
bersumber pada wawancara, observasi, dan praktik terintegratif. Sumber
data sekunder diperoleh dari kajian literatur terhadap sumber-sumber
referensi yang relevan dibahas sesuai dengan topik penelitian ini. Untuk
lebih menspesifikkan hasil penelitian yang diperoleh, maka peneliti
sengaja membatasi kajian dalam penelitian ini yakni pada wilayah
implementasi pada mata kuliah jurnalistik TV II. Hal ini dilakukan
dengan maksud mengoptimalisasikan hasil penelitian agar sesuai dengan
kajian dan keahlian yang dimiliki oleh peneliti dalam bidang jurnalistik.
Analisis data sendiri dilakukan dengan cara melakukan gagasan-
gagasan pokok dan intisari dari setiap data primer dan sekunder yang
didapatkan di lapangan. Kemudian peneliti melakukan analisis situasi
kondisional terhadap implementasi pada kurikulum pada mata kuliah
Jurnalistik TV II, yang diintegrasikan dengan mata kuliah lain yaitu:
Manajemen Produksi Siaran, dan Tata Artistik. Kegiatan penelitian ini
berlangsung sejak Februari-Juli 2019. Tempat berlangsungnya penelitian
ini berada di empat lokasi terpisah yaitu: STIKOM Yogyakarta, SMA
BOPKRI 1 Yogyakarta, Ballroom Hotel Jambuluwuk, SMA Negeri 1
Pakem, dan Gedung Jogja Tronik. Lima lokasi di atas dipilih berdasarkan
kebutuhan dan kondisi di lapangan, di mana STIKOM Yogyakarta sebagai
basis atau tempat para mahasiswa yang menjadi subjek penelitian ini
menuntut ilmu, dan empat lokasi lainnya dipilih sebagai hasil kerjasama
yang telah berhasil dijalin oleh masing-masing produser dari empat
kelompok mahasiswa yang terbentuk.
Dalam penelitian ini, jumlah mahasiswa yang mengerjakan proyek
Program Talkshow TV pada Mata Kuliah Terpadu: Jurnalistik Televisi
II, Manajemen Produksi Siaran Televisi, dan Tata Artistik sebanyak 39
mahasiswa Semester IV pada Program Studi D3 Penyiaran STIKOM
Yogyakarta.

Pembahasan
Program talkshow menjadi salah satu program yang banyak digemari
penonton TV. Karena model sajian yang menarik, informasi yang
menarik, interaktif, dan mampu memberikan hiburan bagi pemirsa.
Program talkshow seperti Mata Najwa, Kick Andy, Indonesia Lawyer

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 213


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Club, dan semacamnya adalah model-model program talkshow yang
mampu menyedot perhatian publik. Termasuk kalangan menengah ke
atas. Di kalangan akademisi kampus, program-program talkshow di atas
sangat digandrungi pemirsa di tanah air karena mampu mendiskusikan
masalah-masalah aktual-kekinian, nilai-nilai kemanusiaan (human
interest), dan memberikan hiburan cerdas. Menurut hasil survei KPI Pusat
pada September sampai Oktober 2015, Mata Najwa dan Kick Andy
bahkan pernah dinyatakan sebagai program televisi paling berkualitas
nomor 1 dan 2 di Indonesia. Hasil penelitian yang pernah dilakukan
oleh Aris Santoso (2016), menunjukkan bahwa Program Mata Najwa
merupakan program yang baik yang terbebas dan tidak dipengaruhi
unsur politik meskipun pemilik Metro TV adalah Surya Dharma Paloh
yang terkoneksi pada Partai Nasional Demokrat. Program Mata Najwa
dinilai tetap mampu bersikap kritis dan netral baik sebelum maupun
sesudah Pemilu 2014.
Talkshow menjadi bagian dari keterampilan pemandu acara dalam
mewawancarai narasumber terhadap suatu permasalahan aktual/sedang
menjadi sorotan, interaktif dengan narasumber dengan seimbang dan
menghasilkan kesimpulan terbuka (Harley Prayudha, 2004). Pesona
program talkshow terletak pada kemampuan pemandua acara (host),
para narasumber, penonton di studio maupun luar studio yang bisa
saling berinteraksi dengan host maupun narasumber, tata panggung, dan
isu atau konten yang didiskusikan dalam acara tersebut. Dalam konteks
jurnalistik, talkshow bisa diangkat menjadi program yang teratur maupun
spontanitas; merespons perkembangan situasi terkini yang berkembang
di tengah masyarakat. Misalnya, persis setelah Hari H Pemilu 2019 selesai
dihelat, sejumlah stasiun televisi menghelat acara program talkshow
dengan menghadirkan para narasumber dari tim sukses dua poros
(Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandi), serta para pengamat politik
atau akademisi. Hasilnya, banyak penonton yang menyimak tayangan
tersebut, karena isu yang dimainkan sangat dibutuhkan penjelasannya
oleh publik.
Masih minimnya ketersediaan media massa memberikan ruang
bicara dan partisipasi masyarakat menjadi peluru bagi media massa
untuk berperan lebih aktif menjemput ekspresi khalayak atau massa
yang jumlahnya tidak terbatas ruang dan waktu ini untuk kemudian
memberikan poin-poin positif bagi pemerintah, media maupun
masyarakat lewat program perbincangan atau talk show (Juniawati,

214 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
2014).
Untuk membuat program talkshow yang menarik, sangat dibutuhkan
dukungan Sumber Daya Manusia (SDM) yang memadai, dukungan riset
data yang mendukung, dan ketersediaan peralatan dan pendanaan yang
memadai.
Perguruan tinggi sebagai tempat mendidik para praktisi yang siap
bekerja dalam industri media penyiaran, memiliki tantangan berat untuk
melakukan semua pekerjaan kreatif dalam panggung dunia penyiaran.
Perguruan tinggi harus memiliki kurikulum yang adaptatif dalam
membekali para mahasiswa berbagai kompetensi yang dibutuhkan
dalam dunia industri media penyiaran. Dengan merujuk Peraturan
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi RI Nomor 50 Tahun
2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional
Pendidikan Tinggi Pasal 1 ayat 6: “Kurikulum adalah seperangkat rencana
dan pengaturan mengenai capaian pembelajaran lulusan, bahan kajian,
proses, dan penilaian yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
program studi”. Sedangkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun
2013 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 1 ayat 16 menyatakan
bahwa: “kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu”. Untuk itu dibutuhkan kurikulum yang adaptif
terhadap perkembangan zaman.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, kurikulum Ilmu
Komunikasi di perguruan tinggi harus mampu mengakomodasi
kebutuhan nyata di dunia industri, dan pada saat yang sama juga
dirancang untuk mendorong perkembangan Ilmu Komunikasi
itu sendiri. Untuk maksud itu, ada sejumlah tren di industri media
yang patut dicermati. Ada dua aspek yang perlu kita perhatikan.
Aspek pertama, menyangkut perangkat keras (hardware) atau produk
teknologi informasi dan komunikasi. Berbagai produk teknologi yang
berkembang pesat akhir-akhir ini praktis telah menjelma menjadi
medium-medium baru dalam penyampaian informasi. Aspek kedua,
menyangkut pergeseran struktur dan mekanisme dalam industri
media itu sendiri, yang mengakibatkan perubahan pula dalam pola
kerja dan operasional industri media. Pergeseran ini terjadi terutama

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 215


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
karena didorong oleh faktor-faktor lingkungan global, seperti proses
globalisasi, yang imbasnya mempengaruhi industri media di Indonesia.
Globalisasi pada intinya ingin menjadikan dunia sebagai satu pasar
global. Ciri-ciri pokok globalisasi adalah: pergerakan bebas bagi gagasan,
informasi, uang, tenaga kerja, produk dan jasa di tingkat global;
makin tipisnya batas-batas teritorial antarnegara; serta terjadinya saling
keterkaitan (interconnectedness) antara satu unsur dengan yang lain
(Satrio Arismunandar, 2007: 39).
Dalam penelitian ini, peneliti bermaksud melakukan kajian dalam
implementasi kurikulum ilmu komunikasi melalui pengerjaan proyek
program talkshow pada mata kuliah terpadu di STIKOM Yogyakarta.

Pengerjaan Proyek Program Talkshow TV pada Mata Kuliah Terpadu


Gagasan besar untuk mengadakan kuliah terpadu, yakni
Jurnalistik Televisi II, Manajemen Produksi Siaran Televisi, dan Tata
Artistik; dimaksudkan untuk melakukan integrasi antar mata kuliah
sehingga kemampuan dosen dan mahasiswa dalam menggapai capaian
pembelajaran dengan baik sesuai dengan kebutuhan dunia industri.
Bahwa kebutuhan industri dunia pertelevisian khususnya program
talkshow masih sangat tinggi, sebab sebagian besar stasiun televisi di
Indonesia hanya mengandalkan program hiburan berupa film, drama,
sinetron, dan musik. Sedangkan stasiun televisi yang menggarap serius
program talkshow masih terbatas.
Adanya mata kuliah terpadu yang diselenggarakan pada Program
Studi D3 Penyiaran STIKOM Yogyakarta, khususnya lagi pada semester
IV dengan menggabungkan tiga mata kuliah sekaligus yakni: Jurnalistik
Televisi II (diampu oleh Supadiyanto, M.I.Kom.), Produksi Siaran Televisi
(diampu oleh Herry Abdul Hakim, M.M.), dan Tata Artististik (diampu
oleh Drs. H. Riyoto) bermanfaat ganda dalam mempratikkan semua teori
yang sudah didapatkan dikelas, dengan pengalaman praktik di lapangan.
Bahwa target akhir dari tiga mata kuliah tersebut adalah setiap
kelompok mahasiswa mampu memproduksi dan menayangkan program
talkshow yang layak ditayangkan di stasiun televisi. Bahwa pengalaman
peneliti dalam mendampingi produksi program talkshow ini terhitung
sejak tahun 2015, terhitung setelah 1 tahun peneliti bergabung untuk
pertama kali mengajar di STIKOM Yogyakarta (dulu bernama AKINDO
YPK) sampai sekarang. Sebelumnya, kegiatan tersebut sudah dijalankan
di Kampus AKINDO YPK. Ada empat kelompok yang terbentuk, di

216 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
mana masing-masing kelompok terdiri atas 9-10 orang. Masing-masing
kelompok mengusung topik talkshow yang berbeda-beda.
Berikut ini dijelaskan implementasi tahapan-tahapan yang dilalui
oleh para mahasiswa dalam mengerjakan proyek program talkshow
tersebut, yaitu:
Pertama, mahasiswa mengikuti perkuliahan dari tiga mata kuliah
tersebut sebanyak 6 kali pertemuan, di mana waktu dan ruangnya sudah
ditentukan sesuai dengan jadwal dari STIKOM Yogyakarta. Waktu
perkuliahan berlangsung sejak tanggal 7 Maret 2019 sampai 25 Maret
2019. Ujian Tengah Semester (UTS) pada mata kuliah Jurnalistik TV II
digunakan untuk membuat Proposal Proyek Program Talkshow tersebut
yang dibuat secara berkelompok. Masing-masing orang menduduki
jabatan mulai dari posisi produser, sutradara (direktur program), penulis
naskah, unit manager, kamerawan, artistik, penata cahaya, penata
suara, direktur lapangan (floor director), koordinator narasumber dan
pembawa acara, wardrobe, time keeper, make up, switcher, dan lain-lain.
Posisi penulis naskah sangat penting dalam meramu semua gagasan yang
dimiliki oleh seluruh anggota kelompok, sehingga dihasilkan naskah
proposal yang menarik.
Proposal yang dibuat harus memenuhi kelayakan yang sudah
ditetapkan oleh dosen pengampu, sehingga layak dan logis untuk
diproduksi (dieksekusi) dalam waktu 2-3 bulan (dengan asumsi 6 kali
pertemuan).
Riset sangat dibutuhkan untuk menguatkan basis data sehingga
proposal yang dibuat menarik perhatian dan layak didanai oleh para
sponsor. Riset ini dilakukan dengan berbagai model, yakni: riset lapangan,
riset melalui kajian pustaka, riset melalui wawancara atau interview.
Kedua, pada saat UTS, setiap kelompok mengumpulkan proposal
yang sudah selesai dibuat dan dijilid dengan baik. Mereka mencetak dua
buah, satu buah dipegang oleh kelompok, dan satu buah lagi diserahkan
ke bagian akademik.
Ketiga, pada tahap selanjutnya, yakni pada perkuliahan ke-7 sampai
ke-12, para mahasiswa yang tergabung dalam setiap kelompok melakukan
bedah naskah dan bedah proposal.
Mereka mempresentasikan proposal yang sudah dibuat di hadapan
dosen pengampu, sehingga mendapatkan kritisi, penyempurnaan, dan
perbaikan sehingga proposal yang terbentuk lebih sempurna. Dosen dan

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 217


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
kelompok lain yang terbentuk, diperkenankan saling mengkritik dan
memberikan masukan dan saran untuk menyempurnakan gagasan yang
terbentuk dalam proposal yang dipresentasikan.
Keempat, ketika proposal sudah dinilai layak untuk diproduksi,
proposal tersebut segera diperbanyak untuk diberikan kepada para calon
sponsor yang dinilai berpotensi untuk tertarik dengan acara tersebut.
Mahasiswa dilatih untuk melakukan seni lobi, negosiasi, dan komunikasi
untuk mampu menjual gagasan yang mereka miliki sehingga mampu
mendapatkan sponsor baik berupa: uang, barang/produk/peralatan,
jasa, tempat produksi, maupun bentuk kerjasama lainnya yang saling
menguntungkan dua belah pihak.
Selain itu, tim yang terbentuk juga harus segera menemukan para
narasumber dan pembawa acara yang cocok dengan topik program
talkshow yang telah dibuat. Tim juga harus segera mencari, memastikan
persiapan peralatan dan segala perlengkapan yang digunakan untuk
memproduksi program tersebut sesuai dengan agenda produksi yang
sudah ditetapkan sebelumnya. Lokasi tempat acara, sekaligus para
penonton yang akan dihadirkan juga harus bisa dimanajemen dengan
baik, sehingga dalam waktu yang singkat, semuanya bisa terkondisikan
dengan baik.
Kelima, waktu intensif yang digunakan untuk melobi berbagai pihak
guna mendukung terlaksananya program talkshow tersebut adalah 2
minggu. Tim juga harus rutin melakukan rapat koordinasi dan persiapan
sebelum produksi untuk menyamakan persepsi dan tujuan dari proyek
tersebut.
Keenam, tim artistik bertugas untuk menyiapkan tata panggung dan
kebutuhan semua orang yang berada di atas panggung, di lokasi acara.
Ketujuh, pada tahapan selanjutnya, ketika semua persiapan produksi
sudah selesai dilakukan; waktunya untuk produksi di lapangan. Sebelum
itu, mereka harus melakukan rehearseal (ujicoba produksi) untuk
mengamankan perangkat peralatan yang digunakan maupun konten
atau substansi acara yang akan dilakukan, sebelum memproduksi acara
yang sesungguhnya.
Kedelapan, tim memproduksi program talkshow sesuai dengan
proposal yang sudah di susun, di mana dalam produksi tersebut dipimpin
oleh direktur program (sutradara) yang mengendalikan jalannya
produksi. Dalam hal ini, para dosen pengampu mata kuliah turut hadir

218 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
di lokasi acara, yang berperan sebagai pihak yang melakukan “advokasi”
jika ada kendala teknis maupun kendala lainnya, berhubungan dengan
kelancaran program tersebut. Program talkshow tersebut ditayangkan
langsung sekaligus di AKINDO TV, sebuah stasiun televisi komunitas
yang dimiliki oleh Kampus STIKOM Yogyakarta.
Kesebilan, tim membuat laporan pertanggungjawaban dan
menyunting (mengedit) hasil akhir dari program talkshow yang sudah
diproduksi pada tahap di atas.
Kesepuluh, setiap kelompok mengikuti Ujian Akhir Semester dengan
melakukan presentasi karya program talkshow di hadapan 3 dosen
pengampu mata kuliah. UAS tersebut diadakan pada Rabu, 22 Mei 2019
pukul 09.00-17.30 WIB di Ruang BII-1 dan pada Selasa, 28 Mei 2019 pukul
14.00-16.30 WIB di Ruang BII-1. Para dosen pengampu memberikan
evaluasi bersama berupa kritisi, masukan, saran, dan rekomendasi demi
perbaikan program serupa di masa mendatang. Pada akhir sesi, setiap
mahasiswa juga diberikan kesempatan untuk melakukan refleksi dan
kritik, serta masukan dalam pelaksanaan kuliah terpadu tersebut—yang
sangat bermanfaat bagi pengembangan kurikulum di masa mendatang.
Kesebelas, setelah diadakan ujian presentasi, setiap kelompok
diperbolehkan untuk menyempurnakan (merevisi) laporan
pertanggungjawaban setiap anggota kelompok sesuai dengan
kedudukan dan tugas, pokok, dan fungsinya masing-masing relevan
dengan kontribusinya pada program talkshow tersebut. Tim juga
harus menyerahkan karya dalam bentuk CD/VCD untuk dokumentasi
program studi, sekaligus diunggah melalui You Tube. Hal ini agar karya
mereka semakin dikenal luas publik.

Evaluasi Implemantasi Proyek Program Talkshow TV pada Mata


Kuliah Terpadu
Sebagai catatan tambahan, semua tahapan di atas dilakukan secara
konsisten dan penuh tanggungjawab dari setiap anggota kelompok.
Berdasarkan evaluasi yang dilakukan, berikut ini ditemukan sejumlah
kendala yang dialami oleh kelompok dalam memproduksi program
talkshow, yaitu:
Satu, keberhasilan semua kelompok dalam memproduksi program
talkshow layak mendapatkan apresiasi.
Kedua, keberhasilan semua kelompok dalam mendapatkan para

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 219


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
narasumber dan pembawa acara yang menarik juga pantas menjadi poin
penting.
Ketiga, keberhasilan para produser dalam menjalin kerjasama
dengan berbagai sponsor sehingga mendapatkan dana segar yang
besarnya ratusan ribu sampai jutaan rupiah, layak untuk dikembangkan
lebih luas lagi. Sehingga di masa mendatang, keterampilan mereka dalam
melakukan seni lobi dan negosiasi semakin baik. Keberhasilan tim dalam
menjadikan Hotel Jambu Luwuk, Gedung Jogja Tronik, SMA BOPKRI 1
Yogyakarta, dan SMA Negeri 1 Pakem sebagai lokasi acara tersebut juga
layak diapresiasi.
Keempat, adanya dukungan dari pihak kampus yang sudah
memberikan bantuan berupa peminjaman alat produksi, pendanaan,
dan surat-menyurat, advokasi dan pendampingan para dosen pengampu
mejadi modal besar untuk meningkatkan performa atau luaran dari mata
kuliah terpadu tersebut.
Kelima, adanya keterbatasan dana yang dimiliki oleh setiap kelompok
mengakibatkan kendala teknis-operasional. Hal ini diatasi dengan iuaran
anggota kelompok, dalam rangka untuk menutup kekurangan dana/
anggaran yang habis dikeluarkan untuk membiayai terselenggaranya
program tersebut.
Keenam, adanya “insiden” di mana salah satu narasumber marah
karena produksi program talkshow yang mundur cukup lama dari waktu
yang sudah ditentukan, dapat menjadi pembelajaran bersama, sehingga
dilain kesempatan, setiap orang yang terlibat dalam produksi program
talkshow lebih mendisiplinkan diri lagi.
Ketujuh, biaya produksi/anggaran yang dihabiskan oleh 4 kelompok
yang mengeluarkan biaya sebesar Rp 6-15 juta per kelompok, dapat
diefektifkan lagi dengan meningkatkan model dan varian kerjasama yang
bisa dilakukan dengan berbagai pihak.

Penutup
Keberhasilan para mahasiswa Program Studi D3 Penyiaran STIKOM
Yogyakarta Semester IV yang sudah mampu memproduksi Program
Talkshow dan dinyatakan relatif layak tayang di stasiun televisi, dapat
dijadikan modal utama bagi mereka untuk bekerja di stasiun televisi
khususnya pada program talkshow. Adanya sejumlah kelemahan yang
dimiliki oleh setiap kelompok, dapat diatasi lebih dini dengan persiapan

220 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
produksi yang lebih matang. Pelaksanaan rehearsel, sejatinya bisa
dilakukan sebelum hari H, atau saat Hari H yang waktu amannya 3-6
jam sebelum produksi yang sesungguhnya di mulai. Namun selalu ada-
ada saja problematika teknis maupun non teknis yang muncul di tengah
persiapan produksi program talkshow. Untuk itu, sebaiknya rehearseal
dapat dilakukan oleh setiap tim maksimal pada H-1 sebelum acara
produksi yang sesungguhnya dilakukan. Rehearseal bisa dilakukan di
dalam kampus, sebagai sarana “latihan yang sesungguhnya”, sebelum
keluar kandang. Sehingga mereka benar-benar fasih dan terampil dalam
menggunakan peralatan yang dibutuhkan dan mematangkan komunikasi
dan koordinasi lintas bidang/bagian dalam tim tersebut.
Peneliti menyarankan agar di masa mendatang, proyek pengerjaan
Program Talkshow tersebut bisa dikerjasamakan dengan stasiun televisi
swasta yang ada di DIY dan atau di Jawa Tengah. Tidak menutup
kemungkinan, stasiun televisi lainnya yang ada di Indonesia. Bahkan
akan lebih bagus lagi, jika ada sebuah stasiun televisi yang memiliki
program khusus talkshow yang digarap oleh mahasiswa-mahasiswa yang
masih aktif pada kampus-kampus komunikasi di Indonesia, sehingga
hal tersebut sangat bermanfaat bagi peningkatan keterampilan dan
pengalaman kerja yang luar biasa bagi mereka. Adanya keterbatasan
waktu yang dimiliki oleh para dosen pengampu mata kuliah di atas, dapat
diatasi dengan adanya konsultasi, bimbingan, dan pendampingan secara
online; sehingga semuanya bisa berjalan lebih baik lagi. Implementasi
kurikulum yang berbasis pada praktik mata kuliah terpadu lintas mata
kuliah semacam ini yang sangat dibutuhkan industri penyiaran saat ini.
Akan lebih bagus lagi, para mahasiswa juga dikader atau disiapkan untuk
menjadi host sekaligus narasumber yang tampil di atas panggung. Bukan
sekadar menjadi tim di belakang panggung saja.

Daftar Pustaka
Harley Prayudha. (2004). Radio, Suatu Pengantar untuk Wacana dan
Praktik Penyiaran. Bayu Media Publishing
Juniawati. (2014). Program Talkshow dan Ruang Public Sphere: Upaya
Media sebagai Industri Pro Publik. Jurnal Dakwah Al-Hikmah
Volume 8 No. 2 (2014) IAIN Pontianak. P-ISSN: 1978-5011,
E-ISSN: 2502-8375.

Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi | 221


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi RI Nomor
50 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 44 Tahun 2015 tentang
Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan.
Santoso, Aris. (2016). Persepsi Mahasiswa terhadap Program Talkshow
Mata Najwa di Metro TV (Studi Diskriptif Kuantitatif pada
Mahasiswa LPM Pabelan UMS terhadap Mata Najwa Periode 18
November 2015-15 Maret 2016). Skripsi pada Program Studi Ilmu
Komunikasi Fakultas Komunikasi dan Informatika UMS Surakarta.
Satrio Arismunandar. (2007). Perkembangan Terkini dalam Industri
Media dan Hubungannya dengan Kurikulum Ilmu Komunikasi di
Perguruan Tinggi. Jurnal Ilmiah SCRIPTURA Vol. I No. 1 Januari
2007 ISSN: 1978-385X.
Supadiyanto. (2015). Implementasi Program Siaran Lokal pada Berbagai
Stasiun Televisi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Komunikasi
Islam AN-NIDA Volume 7, Nomor 2, Juli-Desember 2015.
Survei KPI 2015.

222 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Tentang Editor

Fajar Junaedi, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah


Yogyakarta (UMY) dan pengurus pusat ASPIKOM pada divisi
publikasi. Menulis buku tentang komunikasi dan sepakbola, diantaranya
Komunikasi Politik : Teori, Aplikasi dan Strategi (2013), Manajemen
Media Massa : Teori, Aplikasi dan Riset (2014), Komunikasi Multikultur
: Melihat Multikulturalisme dalam Genggaman Media (2014), Jurnalisme
Penyiran dan Reportase (2015), Jurnalisme Sensistif Bencana : Panduan
Peliputan Bencana (2017), Komunikasi Kesehatan (2018), Merayakan
Sepakbola : Fans, Identitas dan Media edisi 1 dan 2 (2015/2017), Buku
terbarunya berjudul Etika Komunikasi di Era Siber (2019). Lebih dari 250
artikelnya telah terbit di berbagai jurnal, buku dan media massa. Aktif
melakukan riset tentang sepakbola. Alamat e-mail di fajarjun@gmail.
com dan fajarjun@umy.ac.id

Irwa R. Zarkasi, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas


Al Azhar Indonesia, Jakarta. Mengemban tugas sebagai Wakil Sekjen
ASPIKOM Pusat periode 2016-2019 dan juga aktif dalam Dewan
Perguruan Periklanan. Bersama para praktisi serta akademisi lainnya
sedang menyusun buku panduan kurikulum Periklanan, yang merupakan
kerjasama DPP, PPPI dan DPI. Selain itu, juga aktif dalam berbagai koalisi
dan komunitas pegiat media.

Public Relations dan Periklanan | 223


Menghadapi Revolusi Industri 4.0
224 | Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi
Menghadapi Revolusi Industri 4.0

Anda mungkin juga menyukai