Anda di halaman 1dari 209

ARAH BARU PEMBANGUNAN

KESEJAHTERAAN SOSIAL INDONESIA


TAHUN 2020 -2024
ARAH BARU PEMBANGUNAN
KESEJAHTERAAN SOSIAL INDONESIA
2020-2024

Tim Peneliti
Mu’man Nuryana, Nyi R Irmayani, Badrun Susantyo, B. Mujiyadi,
Suradi, Togiaratua Nainggolan, Sugiyanto, Habibullah

Konsultan
Bagus Aryo, MSW, Ph.D

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEJAHTERAAN SOSIAL


BADAN PENDIDIKAN, PENELITIAN, DAN PENYULUHAN SOSIAL
KEMENTERIAN SOSIAL RI
TAHUN 2019
ARAH BARU PEMBANGUNAN PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
INDONESIA 2020 -2024,- Jakarta,- Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kesejahteraan Sosial, Badan Pendidikan, Penelitian, dan Penyuluhan Sosial,
Kementerian Sosial RI, 2019. xii + 196 hlm. 14,8 cm x 21 cm.

Konsultan
Bagus Aryo, MSW, Ph.D

Penulis:
Mu’man Nuryana
Nyi R Irmayani
Badrun Susantyo
B. Mujiyadi,
Suradi
Togiaratua Nainggolan
Sugiyanto
Habibullah

Cetakan : 2019

ISBN : 978-602-53459-8-2

Diterbitkan oleh:
PUSLITBANGKESOS KEMENTERIAN SOSIAL RI.
Jl. Dewi Sartika No. 200 Cawang III Jakarta- Timur. Telp. (021) 8017126
E-mail: puslitbangkesos@kemsos.go.id; Website: puslit.kemsos.go.id

Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak buku sebagian atau selu-
ruhnya tanpa izin dari Puslitbangkesos, Kementerian Sosial RI.
KONTRIBUTOR
Akademisi
Muhammad Fedryasyah, Bagus Adityawan, Gandung Ismanto, Masykur,
Nur Hidayanti, Efri Novianto, Heru Suprapto, Mohamad Fadil, Rosdiana,
Asep Jahidin, MC. Candra Rusmala, Ida Bagus Wirawan, Rinikso Kartono,
Sugeng Pujileksono, Jarkawi, Muzdalifah, Nasrul Z, Sabirin, Sulaiman
Usman, Teuku Syarifuddin, Albiner Siagian, Fikarwin Zuska, Meutia Nauly,
Kornelis Balak, Marthina Tjoa, Aholiab Watloly, Agustinus Kastanya, David
Victor Mamengko, Mukti Jazir, Febriana FM Sorentou, Hasanudin Haruka,
Bogga Pasilong, Rusman, Salim HS, Abdul Wahid, Arsyad Abd Gani, Safrudin
ABD Rahman, Amrul Djana, Novaty Eny Dungga, Lomba Sultan, Jayadi Nas,
Lasarus Jehamat, Yohannes Jimmy Nami, Didimus Dedi Dhosa, Hendrik
Kubela, La Alimuddin, Sunarko

Praktisi
Andi Agustiana, Atik Nurhayati, Yuyun Bahtiar, Ahmad Yani, Dinar
Tricahyani, Ratu Ani Nur’aeni, A.S. Fitriannur Azim, Joni Saputra Dias,
Sunarko, CH. Tri Muryatun, Ratnaningtyas, Tyasning Handayani, Sumitro,
Ahmad Misbahul Munir, Ardi Anindita, Fahrurrazi, Muhammad Hilmi,
Nurhayani, Syamsudin , Hasanudin, Rusdi, Angelina BR Sembiring, Ridha
Valenta Yetta, Amrah Sakti, Aprizal, M. Arif Nur, Usman, Norman Sitindaon,
Maxmillian R. Hattu, Tajuddin, Philipus Pattikayhatu, Harjanto Ombesapu,
Muhamad Mansyur, Muhammad Hasrul, Septiyanti, Muh. Ali Rahman,
Khalid SKM, Khalik Saifullah, Muktasimbillah, Lilik Wasis Widiono, Asbullah
Iskandar Alam, Asep Heriawan, Abson Pippa, Azis Ajarat, Tamrin Bahara ,
Azhar Soleman, Heri Purnomo, Victor Frans Hattu, Ulfah, M. Iskandar Lewa,
Retnowati, Matheus B.L. Rdjah, Clementina RN Soengkono, Agustinus Hake,
Rudy Priyono, Purwanto, Jepry CH. Koloay, Khairul Lie, Frans Y.R. Pepuho,
Abdullah M Somara, Achmad Khusairi, Andi Sangkawana, Cepi Setiawan,
Diyah Anur Yani, Edi Syahputra Barus, Hoirun Nawalah, Ida Yulisnawati,
Josia Jonlie, Martalena, Miznan, Padli Saleh, Agung Priyono, Saifuddin,
Saprudin Saida Panda, Suheryanta, Mia Hermini, Abdullah M Somara, A.
Shernylia Maladevi, Naharuddin
CSO
Adam Pratama, Ali Nurjaman, Juanta, Lis Gistiani, Nandang Suherman,
Nurlaela, Achmad, Irfan Hadiyana, Bahrul Alam, Irfan, Jepri Ardian, Rauhah,
Kariyati, Muslim Gunawan, Nanang Prayitno, Indiah Wahyu Andari,
Haryanto, Sri Widodo, Suyanta, Achmad Nur Falakhudin, Dharmayanti,
Dulyakin, Dwi Antini Sunarsih, Sugiono, Sukardi, Badi’ah, Ilyan Noor,
Muhammad Aripin, Paizah, Rachmah Norlias, Ferry Hariawan, Khairat,
Muhammad Iswanto, Nuraida, Rinaldi Hasan, Ferry Wira Padang, Hotmauli
Simanullang, Musaddat Lubis, Rafdinal, Todo Agustinus Pasaribu, ABD
Rauf, Wilem Joseph, Franky Tutupary, Mustari A. Muhammad, Mulia Sahatta
Saragih, Ronny Tamaela, Nur Rahimi Hastuti, Thresje J. Gaspersz, Risdianto,
Mohammad Ugik Sanjaya, Darmawi Darman, Naharuddin, Firdaus, Ruslan,
Aminulah, Nurjanah, Joko Jumadi, Yudi Kusnagin, Apip Sutardi, Sadikin
Amir, Kinanti Estu Linadi, Arisyono, Edy JusparEdi, Edi Ariadi, A. Syamsari,
A. Shernylia Maladevi, Rudi Satria, Sudirman, Emy Rachmi Nurdin, Libby
Sinlaeloe, Daud Haga Kore, Yaksih Abelmisraim Nuban Timo, RD. Hadrianus
Lahus, Dodik Kurniawa, Roy Marthen Wadi, Raimond Rumere, Naftali
Okoseray, Mansur Alkafi

Asisten Peneliti/Notetaker
Atiek Difa Mufidah, Rati Afina, Tedy Setiadi, Hendi Irawan,
Fajrin Kurnia Putra, Lendi Andita
KATA PENGANTAR

Laporan penelitian ini memuat data dan informasi tentang


pembangunan kesejahteraan sosial dengan pokok bahasan:
kondisi saat ini, tantangan dan prospek ke depan (arah baru).
Penelitian terhadap trend perubahan yang terjadi di tingkat lokal,
nasional dan internasional. Lima aspek kunci yang tercakup di
dalam pokok bahasan, yaitu pendekatan developmental, investasi
sosial, peran tiga sektor (pemerintah, dunia usaha dan organisasi
masyarakat sipil), Kementerian Sosial sebagai regulator atau
operator dan identifikasi permasalahan kesejahteraan sosial.
Berbeda dari penelitian yang selama ini dilaksanakan
Puslitbangkesos, penelitian ini menggunakan metode workshop
yang di dalamnya dilaksanakan focus group discussion (FGD),
dengan peserta dari kalangan akademisi, praktisi, dan organisasi
masyarakat sipil, di wilayah Indonesia Barat dan wilayah
Indonesia Timur. Partisipasi dari kalangan akademisi, praktisi dan
organisasi masyarakat sipil tersebut dimaksudkan dalam upaya
memperoleh informasi yang obyektif dan mendalam berkaitan
dengan arah pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia.
Untuk memperkuat informasi yang dihasilkan melalui FGD,
dilaksanakan survey online kepada masyarakat umum, dan review
terhadap hasil-hasil penelitian terdahulu.
Berdasarkan pendapat dan pemikiran-pemikiran partisipan
FGD, survey online dan review literatur, diperoleh informasi
bahwa arah pembangunan kesejahteraan sosial, hingga kini
belum adaptif dan responsif terhadap perkembangan yang sangat
dinamis di masyarakat, hal ini ditandai program belum didukung
data yang akurat dan kecenderungan belum didukung Kelompok
Penerima Manfaat (KPM) determinasi, dan justru semakin

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 v


menikmati statusnya sebagai orang miskin. Potensi sosial di
tingkat komunitas secara optimal. Demikian juga sumber daya
yang ada di badan usaha dan organisasi masyarakat sipil, belum
dimanfaatkan secara optimal karena belum terjadi kolaborasi
yang baik dengan pemerintah.
Merespon perkembangan yang sangat dinamis di masyarakat,
dan tantangan yang dihadapi pembangunan kesejahteraan sosial,
baik nasional, regional maupun innternasional, maka diperlukan
transformasi pemikiran dari para pemangku kepentingan dan
para penyelenggara pembangunan kesejahteraan sosial. Ke depan
diperlukan perubahan mendasar menuju program kesejahteraan
sosial yang adaptif dan responsif terhadap perkembangan dan
dinamika yang terjadi di masyarakat.

Jakarta, Juli 2019


Kapuslitbangkesos,

Harry Z. Soeratin

vi Laporan Hasil Penelitian


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................... v


DAFTAR ISI ........................................................................... vii
DAFTAR TABEL ..................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR/DIAGRAM ............................................... ix
BAB I : PENDAHULUAN ....................................................... 1
A. Latar Belakang ....................................................... 1
B. Urgensi Penelitian ................................................... 8
C. Rumusan Masalah .................................................... 11
d. Tujuan ..................................................................... 13
e. Manfaat ..................................................................... 14
f. Metodologi Penelitian ............................................ 14
G. Kerangka Konseptual ........................................... 20
H. Organisasi Penelitian .............................................. 26
I. Tahapan dan Jadwal Penelitian ............................. 27
J. Sistematika Pelaporan ............................................ 28

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA ................................................ 29


1. Program Bantuan Pangan ........................................ 29
2. Program Kelompok Usaha bersama (KUBE) ......... 32
3. Progam Program Keluarga Harapan (PKH) ........... 35
4. Program Pemberdayaan Komunitas
Adat Terpencil .......................................................... 38
5. Program Rehabilitasi Sosial Rumah
Tidak Layak Huni ...................................................... 39
6. Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) .......... 40
7. Program Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia ................. 43

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 vii


8. Program Pemberdayaan Remaja ............................ 45
9. Program Rehabilitasi Sosial Korban
Penyalahgunaan Napza ........................................ 47
10. Program Rehabilitasi Sosial Disabilitas .................. 48
11. Program Rehabiliatsi Sosial Orang
Dengan HIV/AIDS ................................................... 49
12. Program Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial
dan Korban Tindak Kekerasan ................................ 50

Bab III: HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................... 52


A. Gambaran Informan dan Responden .................... 52
B. Hasil dan Pembahasan ........................................... 59

BAB IV: PENUTUP ................................................................... 103


A. Kesimpulan .............................................................. 103
B. Rekomendasi ............................................................ 104
DAFTAR PUSTAKA ................................................................... 107

viii Laporan Hasil Penelitian


DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 : Peserta Lokakarya Arah Baru Pembangunan


Kesejahteraan Sosial 2019 ................................... 16
Tabel 1.2 : Jenis Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial 25
Tabel 1.3 : Tahapan dan Jadwal Penelitian .......................... 27
Tabel 3.1 : Rekapitulasi Peserta FGD Wilayah
Barat dan Timur .................................................... 52

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 ix


DAFTAR GAMBAR/DIAGRAM

Gambar 1.1. Dari Model Residual-Institusional


Menuju Model Pengembangan ..................... 7
Gambar 1.2 Strategi Triangulasi dalam Penelitian ............. 18
Diagram 3.1 Peserta FGD Wilayah Barat dan Timur ............. 54
Diagram 3.2. Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ........... 56
Diagram 3.3. Responden Berdasarkan Provinsi ...................... 57
Diagram 3.4. Tingkat Pendidikan Responden ........................ 58
Diagram 3.5. Jenis Pekerjaan Responden .............................. 58
Diagram 3.6. Bantuan Sosial Menimbulkan
Ketergantungan ................................................. 64
Diagram 3.7. Bansos Memperlemah Tradisi .......................... 65
Diagram 3.8. Pemerintah lebih banyak berperan dalam
Penanganan Masalah Sosial .............................. 72
Diagram 3.9. Program untuk Mengurangi Resiko Bencana ... 75
Diagram 3.10. Penyediaan Pendapatan bagi Penyandang
Masalah Sosial .................................................... 76
Diagram 3.11. Program Penguatan Masyarakat
untuk Menangani Masalah ............................ 76
Diagram 3.12. Program Penanggulangan Kemiskinan ........... 77
Diagram 3.13. Penilaian Terhadap Keberhasilan
Kementerian Sosial RI ....................................... 77
Diagram 3.14. Permasalahan Sosial Baru sehubungan
dengan Perkembangan Teknologi ..................... 92
Diagram 3.15. Pencegahan lebih diutamakan dalam
pencegahan Masalah Sosial .............................. 93
Diagram 3.16. Terobosan Baru dalam peningkatan kapasitas
individu, keluarga, komunitas, masyarakat
dan Lembaga Kesejahteraan Sosial .................. 94

x Laporan Hasil Penelitian


Diagram 3.17. Menyatukan pembangunan ekonomi
dan sosial diperlukan terobosan baru
agar tidak membebani masyarakat ................. 96
Diagram 3.18. Peran Kementerian Sosial kedepan lebih
berorientasi pada penguatan masyarakat
untuk menangani masalah sosial ...................... 97
Diagram 3.19. Bantuan Keuangan dari Pemerintah
Dana Desa/Kelurahan sebaiknya dapat
digunakan untuk mengatasi masalah sosial .... 98
Diagram 3.20. Bantuan Sosial dari Pemerintah sebaiknya
terus dilakukan tanpa ada pelatihan
keterampilan ...................................................... 101
Diagram 3.21. Prioritas yang perlu ditangani
Kementerian Sosial ............................................ 102
Gambar 4.1 Roadmap Arah Baru Pembangunan
Kesejahteraan Sosial Tahun 2020-2024 ............ 106

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 xi


Bab

I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) adalah dokumen perencanaan untuk periode
5 (lima) tahun, dan merupakan bagian dari Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional. Saat ini, kita
berada di penghujung periode RPJMN periode 2015-2019,
yang merupakan tahapan ketiga dari Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 (UU No. 17
Tahun 2007).
RPJMN 2015-2019, disusun sebagai penjabaran dari Visi,
Misi, dan Agenda Presiden/Wakil Presiden terpilih (Joko
Widodo dan M. Jusuf Kalla), yang dikenal dengan Nawa Cita.
Untuk menjamin pencapaian visi dan misi serta konsistensi
arah pembangunan nasional, agenda pembangunan
nasional ini didistribusikan melalui Kabinet pemerintahan
yang telah disusun. Susunan Kabinet ini terjabarkan ke
dalam Kementerian maupun Lembaga. Kementerian Sosial
merupakan salah satu pilar pencapaian visi dan misi ini,
khususnya terkait Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 1


Di dalam dokumen RPJMN (I-III), khususnya dalam
bidang penyelenggaraan kesejahteraan sosial, bagian
terbesarnya masih terfokus pada penyelesaian risiko-risiko
sosial lama. Walaupun memang, diakui, ada juga yang
sudah mulai merespon permasalahan sosial kontemporer
faktual yang boleh jadi sudah merupakan fenomena adanya
permasalahan sosial baru, sebagai bagian dari risiko sosial
baru. Permasalahan dalam koridor risiko sosial lama, oleh
Kementerian Sosial memasukkannya ke dalam Permasalahan
Kesejahteraan Sosial (PMKS), yang terdiri atas 26 (dua puluh
enam) dengan tetap mengedepankan penguatan Potensi dan
Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS).
RPJMN III belum secara eksplisit memberikan arahan atas
apa dan bagaimana menyikapi masuknya era Revolusi Industri
4.0. Bagaimana dan apa yang harus dilakukan, baik oleh negara
(melalui pemerintah), masyarakat dan dunia usaha.
Pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial dewasa
ini, terasa dan kasat mata hampir dalam segala lini masih
didominasi oleh peran pemerintah pusat. Mulai dari regulasi,
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, monitoring
hingga evaluasi. Padahal diakui, bahwa pemerintah memiliki
keterbatasan pada banyak hal, khususnya Sumber Daya
Manusia (SDM) dan alokasi anggaran. Beban pemerintah
yang lebih dominan, pada akhirnya membebani tugas-tugas
pemerintah sendiri dalam penyelenggaraan pembangunan
nasional, termasuk di bidang kesejahteraan sosial.
Hingga saat ini, pembangunan kesejahteraan sosial di
Indonesia, lebih fokus pada penyelesaian Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)1 yang terdiri atas 26

1 Kementerian Sosial RI. (2012). Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 08 tahun


2012 tentang PMKS. Jakarta : Kementerian Sosial RI.

2 Laporan Hasil Penelitian


(dua puluh enam) kategori, dengan tetap mengoptimalkan
penguatan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS).
Rumusan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) III tahun 2015-2019 masih fokus pada perlindungan
sosial dan penanggulangan kemiskinan. Hal tersebut
terlihat dari penganggaran Kemensos 2015-2018. Namun
demikian, pemerintah sudah merespon permasalahan sosial
kontemporer walau hanya dalam skala kecil.

Grafik 1. Anggaran Kemensos 2015-2018

Sumber: Biro Perencanaan Kemsos, 2018

Pasca reformasi, Indonesia dihadapkan pada trend


dikotomis antara otonomi daerah dan globalisasi dengan
segala konsekuensinya. Otonomi daerah membuka peluang
yang besar bagi pengembangan sumber daya lokal. Namun
pada saat yang bersamaan, juga memunculkan ekses negatif
yang justru kontra produktif dengan makna dan tujuan
pembangunan seperti munculnya hegemoni daerah yang
berlebihan. Sementara pada level global, perkembangan
industri telematika yang diserap arus pasar bebas, memaksa

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 3


warga dunia membuka diri dengan segala implikasinya.
Arus informasi yang deras memunculkan benturan nilai,
keterasingan, sikap permisif hingga perilaku anti sosial.
Memasuki era otonomi daerah, pembangunan kesejahteraan
sosial masih didominasi pemerintah pusat. Dominasi ini
terlihat dalam peran pemerintah pusat sebagai aktor utama
dalam perumusan regulasi, perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, monitoring hingga evaluasi. Pemerintah pusat
menjalankan peran rangkap sebagai regulator sekaligus
operator. Sebaliknya, secara umum pemerintah daerah
belum mandiri dan masih sangat tergantung ke pemerintah
pusat. Hal ini sejalan dengan hasil studi Background Study
Biro Perencanaan Kemensos (2018) yang menyatakan masih
lemahnya keberpihakan penganggaran daerah. Di sisi lain
penyelenggaraan kesejahteraan sosial merupakan urusan
wajib namun belum dijalankan dengan baik sehingga
penyelenggaraan kesejahteraan sosial dan pelayanan dasar
tidak menjadi prioritas dalam penganggaran daerah.
Sarana prasarana masih menjadi kendala dalam
penyelenggaran kesejahteraan sosial khususnya terkait
manajemen data yang meliputi belum efektifnya mekanisme
pemutahiran data baik dari sisi sistem maupun sisi SDM
pelaksana. Aspek lain yang masih menjadi kendala adalah
masih terbatasnya kuantitas dan kualitas kelembagaan
kesejahteraan sosial sebagai wadah dalam pemberian layanan
dan penanganan masalah sosial baik milik pemerintah
provinsi, kabupaten/kota maupun masyarakat. Sedangkan
masyarakat cenderung berperan sekedar pengikut atas apa
yang sudah digariskan oleh pemerintah pusat dan daerah.
Pada level kebijakan, perlindungan sosial di Indonesia
sudah diarahkan pada perlindungan sosial komprehensif

4 Laporan Hasil Penelitian


dengan menata asistensi sosial berbasis keluarga dan siklus
hidup, perluasaan cakupan sistem jaminan sosial nasional,
pemenuhan hak dasar penyandang disabililitas, lansia dan
kelompok masyarakat marginal dan penguatan kelembagaan
sosial.
Namun pada tataran implementasi, program-program
perlindungan sosial tersebut belum secara penuh mengarah
pada sistem perlindungan sosial komprehensif dan adaptif,
sehingga masih menyisakan beberapa persoalan yang
menyangkut capaian dampak dari program perlidungan
sosial yang belum secara signifikan menuntaskan persoalan
kemiskinan.
Jumlah penduduk miskin terus mengalami penurunan
menurut BPS sebesar 9,4 % (Maret 2019). Namun demikian
sebagian besar penduduk lainnya masih menghadapi
kerentanan terhadap berbagai risiko sepanjang siklus hidup.
Dengan kata lain capaian program perlindungan sosial masih
terkotak-kotak pada capaian per-jenis program/kegiatan dan
belum menunjukan dampak berbagai jenis program secara
komprehensif.

Grafik 2. Prosentase Penduduk Miskin Tahun 2015-2019

Sumber : BPS, 2019

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 5


Grafik diatas mengindikasikan bahwa program penanganan
fakir miskin yang dilaksanakan selama ini realtif mampu
menurunkan angka kemiskinan. Namun demikian hal ini
bukan berarti telah mampu mendorong pengembangan
skema program penghidupan berkelanjutan yang diarahkan
pada upaya pemberdayaan masyarakat. Terlebih, mampu
meningkatkan taraf hidup masyarakat menjadi lebih layak dan
berkelanjutan, antara lain melalui peningkatan akses terhadap
kegiatan ekonomi produktif, akses terhadap peningkatan
keterampilan kewirausahaan, dan akses permodalan yang
disertai dengan bimbingan dan pendampingan usaha serta
pemasaran produk.
Skema penyelenggaraan pembangunan kesejahteraan
sosial, idealnya lebih mengedepankan upaya-upaya preventif
(prevention service) sebagai arus utama. Namun pada
kenyataannya, kita masih lebih mengedepankan pelayanan
rehabilitasi dengan basis institusi/panti (alternative state
care). Skema penyelenggaraan pelayanan sosial semacam ini
jelas memerlukan anggaran yang jauh lebih besar. Sehingga
dalam banyak kasus masih ditemukan inefisiensi, efektifitas
pelayanan yang belum optimal bahkan adanya penyimpangan
(anggaran).
Skema penyelenggaraan pembangunan kesejahteraan
sosial modern dan ideal, mengedepankan upaya pencegahan
(prevention service) sebagai pilar utamanya. Kemudian diikuti
dengan pelayanan primer (early intervention service), dan
dilanjutkan dengan sistem perlindungan (protection service).
Sedangkan pelayanan berbasis institusi, misalnya dalam
bentuk panti atau lembaga-lembaga lainnya, merupakan
pelayanan alternatif terakhir (alternative state care).
Keempat komponen skema penyelenggaraan kesejahteraan

6 Laporan Hasil Penelitian


sosial modern ini pada dasarnya telah terbangun dalam
sistem penyelenggaraan kesejahteraan sosial di Indonesia
(yang utamanya dilaksanakan oleh Kementerian Sosial).
Meskipun demikian dalam konstruksi piramida terbalik,
dimana pelayanan alternatif akhir (alternative state care)
menjadi bagian terbesarnya, sedangkan upaya pencegahan
(prevention service), masih mendapatkan proporsi yang
relatif kecil. Di dalam konstruksi ini dikenal dengan istilah
Residual-Institutional Dichotomy Model (Dutschke, 2007).
Sementara itu, penyelenggaraan pembangunan kesejahteraan
sosial modern dan ideal mengarah ke model pengembangan
(Developmental Model of Sosial Welfare), sebagaimana tampak
pada gambar di bawah ini.

Gambar 1.1. Dari Model Residual-Institusional


Menuju Model Pengembangan

Pada konstruksi penyelenggaraan pembangunan


kesejahteraan sosial Residual-Institutional Dichotomy Model,
alternative state care menempati posisi atas, dengan salah
satu konsekuensinya adalah terjadi penumpukan “activities”

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 7


dengan segala konsekuensinya (anggaran besar, perlu SDM
banyak, sistem pengelolaan yang rumit dan panjang dan lain-
lain). Sementara itu, dalam konstruksi Developmental Model of
Sosial Welfare memiliki unsur (komponen) yang sama, hanya
posisi strukturnya yang berbeda. Sementara untuk mengubah,
menuju struktur yang ideal, langkah transformasi, adalah
sebuah keniscayaan.
Bercermin dari kondisi sebagaimana diuraikan di atas,
maka ada pertanyaan menggelitik apakah masih ada ruang
untuk melakukan transformasi dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial ini? Atau secara lebih mendasar, apakah
mungkin delivery dalam pelayanan sosial dilaksanakan
oleh pihak ketiga, yang bahkan dilakukan oleh bukan
instansi pemerintah? Dengan demikian pemerintah pusat
(Kementerian Sosial) benar-benar menempatkan diri sebagai
regulator dan pembuat kebijakan?
Sebuah contoh proses perjalanan transformasi ini
sebenarnya sudah mulai dilakukan oleh Kementerian
Sosial. Penyerahan sebagian anggaran untuk pelayanan
sosial ke pihak lain (Pemerintah Daerah ataupun Lembaga
Kesejahteraan Sosial) melalui skema Dana Alokasi Khusus
(DAK) dalam Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) atau
penyaluran Bantuan Sosial bagi Penerima Manfaat melalui
Himpunan Bank Negara (Himbara) dalam Program Keluarga
Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).

B. Urgensi Penelitian
Arah pembangunan nasional di Indonesia era reformasi ini
mengacu pada visi dan misi Presiden terpilih sebagaimana
disusun dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM). Namun visi dan misi dimaksud sudah tidak bisa

8 Laporan Hasil Penelitian


dijadikan pedoman bagi pembangunan nasional karena
memiliki keterbatasan waktu. Sementara itu penyusunan
RPJM dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)
kurang mewakili kepentingan lintas-generasi karena disusun
untuk kepentingan politik Presiden terpilih.
Pembangunan yang dilengkapi dengan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) mencerminkan tingkat
kesehatan, kesejahteraan dan pendidikan. Selain itu IPM dapat
digunakan untuk melihat tingkat ketimpangan yang terjadi
pada yang akan menjadi indikator pembangunan di Indonesia.
Saat ini, telah terjadi perubahan mendasar pada pengukuran
indikator pembangunan, yaitu adanya penambahan dimensi
yang diukur pada suatu masa atau ada yang sudah mengarah
pada pengukuran seberapa baik masa depan kesejahteraan
suatu bangsa. Penambahan dimensi kesejahteraan ini
bertujuan mengukur kesejahteraan warga seperti rasa aman
dan ketenangan. Sebagai misal, mengukur keberhasilan
pembangunan dilihat dari tingkat keberlanjutan ekonomi,
tata kelola yang baik, pengembangan kultur, dan pelestarian
lingkungan. Kemudian, ada istilah Sustainable Development
Goals (SDGs) yang merupakan seperangkat program dan target
pembangunan untuk semua negara anggota PBB dan termasuk
Indonesia. Indonesia terikat secara sosial dan moral untuk
melaksanakannya. Indonesia akan menentukan kemampuan
dalam memenuhi target pembangunan berkelanjutan mulai
tahun 2016 sampai dengan tahun 2030 memiliki cakupan
berupa 17 tujuan, 169 target, dan 230 indikator.
Dalam lingkup pembangunan kesejahteraan sosial di
Indonesia, negara telah memandatkan kepada Kementerian
Sosial untuk mengelola penyelenggaraan kesejahteraan
sosial bagi seluruh warga Negara Indonesia, khususnya

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 9


warga miskin dan rentan. Oleh Kementerian Sosial,
penyelenggaraan kesejahteraan sosial ini terdistribusi melalui
empat fungsi: rehabilitasi sosial, perlindungan dan jaminan
sosial, pemberdayaan sosial, dan penanganan fakir miskin.
Implementasi program kegiatannya dilakukan oleh instansi/
dinas sosial secara berjenjang, dari pusat, provinsi, hingga
ke kabupaten/kota, yang selanjutnya didistribusikan kepada
para Penerima Manfaat (PM) melalui Pendamping Sosial pada
setiap Kecamatan/Desa/Kelurahan. Proses penyelenggaraan
kesejahteraan sosial yang berjenjang ini diharapkan mampu
meningkatkan kesejahteraan Penerima Manfaat (warga
miskin dan rentan) baik dilakukan secara mandiri atau dengan
bantuan kelompok tertentu.
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial dalam
memberdayakan kehidupan sosial adalah peluang dan menjadi
penting dalam penanganan dan pengentasan kemiskinan.
Khususnya fakir miskin yang memerlukan bantuan sosial dan
pemberdayaan sosial. Sebenarnya peluang disesuaikan dengan
situasi dan kondisi keluarga fakir miskin, sehingga fakir miskin
layak dibantu dalam kurun waktu tertentu atau berjangka
yang memungkinkan mereka akan mandiri. Bantuan sosial
sebagai aspek penting penyelenggaraan kesejahteraan sosial,
diperlukan bagi penanganan kemiskinan. Bantuan berupa
dana untuk perorangan dan kelompok yang sudah memiliki
usaha yang dijalankan sejak lama. Jika mereka berhasil, maka
akan dilanjutkan dengan program lainnya. Bantuan berupa
sarana untuk mendukung kegiatan yang dilakukan dalam
bidang yang menghasilkan bagi kehidupan diri sendiri dan
keluarga.
Setidaknya ada empat empat pilar yang menjadi tumpuan
dalam pengentasan kemiskinan yaitu: penyelenggara,

10 Laporan Hasil Penelitian


pendamping, orang/pihak yang peduli, dan penerima
manfaat. Penyelenggara menyusun program kegiatan yang
dilakukan dan didukung dengan proses pemberdayaan sosial
secara berkesinambungan. Pendamping merupakan orang-
orang terdepan yang akan melaksanakan kegiatan terhadap
penerima manfaat, sehingga ia memiliki kemampuan
dalam memberdayakan atau melakukan perubahan di
masyarakat. Pelaku di lapangan lain yang sangat penting
yaitu orang peduli yang akan memberikan bantuan sesuai
dengan kemampuannya dengan memberi bantuan langsung
atau tidak langsung. Keempat pilar ini ternyata tidak hanya
diperlukan dalam penanganan kemiskinan saja, melainkan
juga dalam proses dan sistem penyelenggaraan kesejahteraan
sosial. Ini merupakan tantangan strategis dan sistemik dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial di Indonesia. Bagaimana
pemerintah yang merupakan kepanjangan tangan dari negara
memfasilitasi, memediasi serta memberikan dukungan
kepada empat pilar ini untuk penyelenggaraan kesejahteraan
sosial di Indonesia yang lebih efektif, lebih efisien serta lebih
tepat sasaran. Apakah kiranya diperlukan skema, sistem
bahkan arah baru dalam pembangunan kesejahteraan sosial
di Indonesia?

C. Rumusan Masalah
Walau sudah ada rujukan seperti Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, namun kenyataaan
menunjukkan kesejahteraan sosial dimaknai berbeda-beda
oleh akademisi, praktisi, klien dan komunitas serta masyarakat
pada umumnya. Ini terjadi karena perbedaan latar belakang
pendidikan, sosial-budaya, ekonomi, dan politik. Perbedaan
ini mempengaruhi implementasi hingga kinerja program
kesejahteraan sosial.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 11


Pada tingkat daerah, kecenderungan otonomi daerah
membuka peluang yang besar bagi pengembangan sumber
daya lokal, baik sumber daya manusia, sumber daya alam
maupun sosial. Namun pada saat yang bersamaan, otonomi
daerah juga memunculkan ekses negatif yang justru kontra
produktif dengan makna dan tujuan pembangunan nasional
seperti munculnya dengan munculnya hegemoni daerah yang
berlebihan.
Selanjutnya pada level global, perkembangan industri
telematika yang diserap arus pasar bebas, memaksa
warga dunia membuka diri dengan segala implikasinya.
Arus informasi yang deras memunculkan benturan nilai,
keterasingan, sikap permisif hingga perilaku anti sosial dalam
bermasyarakat.
Situasi ini membutuhkan arah dan kebijakan yang lebih
antisipatif dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Arah
dan kebijakan tersebut diharapkan mampu mengantisipasi
kompleksitas permasalahan kesejahteraan sosial masa depan.
Sejalan dengan hal ini, permasalahan penelitian ini adalah
bagaimana arah baru pembangunan kesejahteraan sosial
dalam RPJMN tahun 2020-2024.
Penelitian ini berupaya mengungkapkan dan mendalami
aspek-aspek kunci yang sangat menentukan arah pembangunan
kesejahteraan ke depan, yang terdiri dari lima aspek yaitu (1)
pendekatan developmental, (2) investasi sosial oleh negara, (3)
partisipasi tiga sektor (pemerintah, dunia usaha dan CSO), (4)
peran Kementerian Sosial sebagai regulator atau operator, dan
(5) identifikasi permasalahan kesejahteraan sosial 2.

2 Midgley & Conley (2010). Social work and Social Development: Theories and
Skills for Developmental Social Work. New York. USA: Oxford University Press.

12 Laporan Hasil Penelitian


Penentuan kelima aspek ini modifikasi dari teori yang
diungkapkan oleh Midgley & Conley (2010) tentang Social
Work and Social Development; Ferguson (2010) tenang Social
Development, Social Enterprise and Homeless Youth; serta
Kaplan (2010) tentang Social Invesment and Mental Health:
The role of Social Enterprise.
Modifikasi ini didasarkan pada pertimbangan tuntutan
global seperti Revolusi Industri 4.0, komitmen global SDGs,
HAM dan VUCA World (Volatility Uncertainty Complexity
and Ambiguity); serta berbagai peraturan perundangan
yang berlaku. Selain itu amanat Undang-Undang menyebut
pembangunan kesejahteraan sosial dilakukan oleh pemerintah
bersama masyarakat (public partnership).
Untuk itu dalam penelitian ini dirumuskan pertanyaan
penelitian yang meliputi :
1. Bagaimana implementasi pendekatan pembangunan
kesejahteraan sosial saat ini?
2. Bagaimana bentuk investasi sosial oleh negara ?
3. Bagaimana partisipasi tiga sektor yaitu pemerintah, dunia
usaha dan CSO?
4. Bagaimana peran Kementerian Sosial dalam pembangunan
kesejahteraan sosial?
5. Bagaimana permasalahan kesejahteraan sosial saat ini?
Dari lima rumusan ini akan dikemas dari 3 sudut pandang
yaitu: kondisi saat ini, tantangan dan prospek.

d. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan arah baru
pembangunan kesejahteraan sosial sebagai masukan bagi
penyusunan RPJM 2020-2024, yang akan memberikan arahan

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 13


kepada pemangku kepentingan utama dalam merumuskan
kebijakan sosial inovatif untuk mencapai masyarakat sejahtera.

e. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Untuk memperluas wawasan dan pengetahuan tentang
ilmu kesejahteraan sosial dan pekerjaan sosial.
2. Manfaat Praktis

Sebagai bahan masukan bagi perumusan dan/atau
pengembangan kebijakan sosial yang inovatif yang mampu
mengantisipasi isu-isu sosial strategis ke depan dan
terutama untuk memberikan masukan bagi perumusan
RPJM 2020-2024.

f. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kombinasi­
kualitatif dan kuantitatif. Menurut Sugiyono (2011) bahwa,
metode penelitian kombinasi adalah suatu metode
penelitian yang mengkombinasikan atau menggabungkan
antara metode kuantitatif dan metode kualitatif
untuk digunakan secara bersama-sama dalam suatu
kegiatan penelitian sehingga diperoleh data yang lebih
komprehensif, valid, reliabel dan objektif. Berdasarkan
pendapat di atas bahwa, metode penelitian kombinasi
adalah metode penelitian yang menggunakan dua metode
yaitu metode penelitian kuantitatif dan kualitatif untuk
digunakan dalam suatu kegiatan penelitian. Sehingga
diperoleh data yang lebih lengkap dan menyeluruh.
Pendekatan kualitatif dilakukan melalui lokakarya sebagai
metode penggerak utamanya. Melalui lokakarya ini
diharapkan akan mampu menggali isu-isu strategis dalam

14 Laporan Hasil Penelitian


domain sosial beserta alternatif solusi. Hasilnya akan
menjadi masukan untuk memperbaharui kebijakan sosial
ke depan yang tercantum dalam dokumen RPJM 2020-
2024.

Penelitian dengan pendekatan lokakarya ini
memungkinkan terjadinya peristiwa experience of shared
place di antara para peserta di mana hal ini sangat berbeda
dengan experience of space yang dipisahkan oleh lokasi
fisik dalam jenis penelitian lainnya yang biasa dilakukan
di lapangan. Experience of place memungkinkan peserta
lokakarya untuk mengalami community of practice shared
di antara peserta dalam setting sebuah ruang pertemuan.
Pendekatan kuantitatif, secara teknik dilakukan melalui
online survey dengan menggunakan aplikasi Survey
Monkey. Survei online dilakukan kepada masyarakat umum
melalui pengisian formulir survei yang bisa dilakukan pada
masing-masing gadget, smart phone responden.
2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data kualitatif dilakukan melalui pendekatan
lokakarya dalam penelitian ini, pengumpulan data dan
informasi dilakukan melalui teknik Focus Group Discussion
(FGD), yang akan mengeksplorasi isu-isu sosial strategis
dan alternatif solusi dari perspektif peserta lokakarya
regional dan konvensi nasional.
Data kuantitatif, diperoleh melalui online survey. Dari data
kuantitatif ini nantinya akan dilakukan proses analisis
deskriptif.
3. Peserta Lokakarya
Berdasarkan pendekatan ini, penentuan peserta
menggunakan pendekatan kewilayahan pulau-pulau
terbesar se-Indonesia sebanyak 9 kabupaten dan 8 kota.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 15


Tabel 1.1 Peserta Lokakarya Arah Baru Pembangunan
Kesejahteraan Sosial 2019
No Pulau Kota/Provinsi Kabupaten/Provinsi
1 Sumatera Medan (Sumut) Aceh Besar (Aceh)
Pangkal Pinang (Babel)
2 Jawa Serang (Banten) Sumedang (Jabar)
Yogyakarta (DIY) Sidoarjo (Jatim)
3 Kalimantan Banjarmasin (Kalsel) Kutai Kertanegara
(Kaltim)
4 Sulawesi Makassar (Sulsel) Mamuju (Sulbar)
5 Nusa Tenggara Kupang (NTT) Lombok Barat (NTB)
6 Maluku Ambon (Maluku) Halmahera Timur
(Maluku Utara)
7 Papua Sentani (Papua)
Manokwari (Papua
Barat)

Informan atau peserta penelitian berperan sebagai


narasumber dan akan mengikuti proses FGD dalam setiap
sesi lokakarya. Ketepatan informan adalah kunci validitas
data penelitian. Oleh sebab itu penentuan informan harus
diseleksi dengan tepat. Seleksi ini harus didasarkan atas
kesepakatan tim peneliti, konsultan, dinas sosial dengan
mempertimbangkan kiprah atau kinerja calon peserta.
a. Peserta FGD berasal dari masing-masing provinsi
terdiri dari akademisi, praktisi dan Civil Society
Organization (CSO).
b. Akademisi sebanyak 3 (tiga) orang yang menekuni
bidang ekonomi, sosial, budaya, agama, pendidikan,
kesehatan yang berasal dari Perguruan Tinggi/Fakultas
berbeda di kabupaten/kota atau ibukota provinsi.

16 Laporan Hasil Penelitian


c. Praktisi sebanyak 4 (empat) orang terdiri dari praktisi
kesejahteraan sosial unsur pemerintah swasta yang
terdiri dari Dinas Sosial Kota/Kabupaten, Bappeda
Kota/Kabupaten Bidang Sosial Budaya, Dinas Tenaga
Kerja, Dinas Kesehatan, UPT Pusat (kalau ada), Forum
Corperate Sosial Responsibility (CSR) Provinsi dan
BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah).
d. Civil Society Organization (CSO) di tingkat bawah (grass
root) sebanyak 5 (lima) orang, disesuaikan dengan
kondisi daerah masing-masing, seperti: Yayasan
bidang kesos berskala lokal/regional, KADIN provinsi/
kabupaten/kota, Bazda/Komsos (Keuskupan) dan
Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial (K3S) Kab/
Kota.
4. Responden Online Survey
SurveyMonkey merupakan salah satu alat survei online
paling populer di dunia (https://www.surveymonkey.
com). Mengumpulkan data penelitian melalui pendekatan
tradisional (tatap muka, survei pos, atau telepon) memakan
biaya dan waktu. Munculnya pendekatan pengumpulan
data berbasis internet (misalnya online platform dan email),
merupakan sebuah survei alternatif relatif hemat biaya.
Strategi baru pengumpulan data ini bisa mengumpulkan
data dalam jumlah besar dari para responden dalam jangka
waktu singkat.

Strategi pengumpulan data berbasis internet ini juga
layak dan efektif dalam mengumpulkan data tentang
isu-isu sensitif atau dengan sampel yang umumnya sulit
dijangkau. Karena proporsi signifikan dari populasi di
dunia terhubung secara digital, pergeseran dari postal
(kertas-pensil) atau telepon kepada penggunaan survei
online dalam penelitian adalah untuk kepentingan para
peneliti di dunia akademisi maupun dunia komersial.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 17


Dibandingkan dengan desain dan melaksanakan versi
kertas (kuesioner), ada keterbatasan literatur untuk
membantu peneliti dengan rancangan dan penggunaan
kuesioner online.
Responden pada survei online adalah masyarakat umum,
juga para peserta/narasumber pada saat penyelenggaraan.
Semua memiliki kesempatan yang sama untuk mengisi
formulir online survey ini. Formulir survei menggunakan
sejenis SurveyMonkey. Waktu pelaksanaan survey selama
1 (satu) bulan, sejak pelaksanaan advance. Pelaksanaan
survei dimulai sejak 7 Maret 2019 sampai dengan 7 April
2019.
Lokakarya: Suatu penyiapan dengan mana sekelompok
orang belajar, mengumpulkan Pengetahuan baru,
melakukan pemecahan-masalah, atau berinovasi dalam
kaitannya dengan sebuah isu domain-spesifik. (Orngreen
dan Levinsen, 2017)
Gambar 1.2 Strategi Triangulasi dalam Penelitian

18 Laporan Hasil Penelitian


Triangulasi: Penggunaan berbagai metode atau sumber
data dalam penelitian kualitatif untuk mengembangkan
pemahaman komprehensif tentang fenomena (Patton,
1999). Triangulasi dipandang sebagai strategi penelitian
kualitatif untuk menguji validitas melalui konvergensi
informasi dari berbagai sumber. Denzin (1978) dan Patton
(1999) mengidentifikasi 4 jenis triangulasi: (a) triangulasi
metode, (b) triangulasi peneliti, (c) triangulasi teori, dan (d)
triangulasi sumber data. Pada penelitian ini menggunakan
trianglasi sumber data yaitu lokakarya, SurveyMonkey dan
kajian literatur.
5. Limitasi Penelitian
Penelitian ini tidak terlepas dari sejumlah keterbatasan.
Kelemahan yang dirasakan oleh peneliti perlu untuk
diungkapkan demi kesempurnaan penelitian selanjutnya
dalam bahasan yang sama. Diantaranya adalah: 
a. Penelitian ini dibatasi pada 3 jenis informan yaitu
akademisi, praktisi dan organisasi sosial masyarakat
yang dianggap dapat mewakili ketiga sektor
pembangunan kesejahteraan sosial yang berasal dari
19 provinsi wilayah barat dan timur Indonesia.
b. Aspek-aspek kunci yang didiskusikan dalam FGD di
workshop dibatasi pada 5 aspek yang menentukan arah
pembangunan kesejahteraan sosial ke depan yaitu
(1) pendekatan developmental, (2) investasi sosial
oleh negara, (3) partisipasi tiga sektor (pemerintah,
dunia usaha dan CSO), (4) peran Kementerian Sosial
sebagai regulator atau operator, dan (5) identifikasi
permasalahan kesejahteraan sosial yang dianalisis
melalui 3 sudut pandang yaitu kondisi saat ini,
tantangan dan prospek.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 19


c. Penyebaran survey online hanya dilakukan melalui
jejaring Kemensos saja tidak dilakukan sosialisasi
secara formal.

G. Kerangka Konseptual
Penelitian tentang Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan
Sosial, berupaya mengungkapkan dan mendalami aspek-
aspek kunci yang merupakan aspek yang sangat menentukan
arah pembangunan kesejahteraan ke depan. Ada lima aspek
yang diungkap dan didalami dalam penelitian ini, yaitu (1)
pendekatan developmental, (2) investasi sosial oleh negara,
(3) partisipasi tiga sektor (pemerintah, dunia usaha dan CSO),
(4) peran Kementerian Sosial sebagai regulator atau operator,
dan (5) identifikasi permasalahan kesejahteraan sosial. Kelima
aspek tersebut sebagaimana diuraikan di bawah ini:
1. Developmental Approach (Pendekatan Perkembangan)
Pada pendekatan ini yang mengutamakan pentingnya
pemberdayaan, pencegahan dan investasi sosial (Midgley
& Conley, 2010):
a. Pemberdayaan, preventif dan sosial investment
(investasi sosial). Developmental Sosial Work: client
strengths, importance empowerment, provide tangible
sosial investments that enhance their capability and
facilitate their participation in community life and the
productive economy, artinya bahwa kekuatan klien,
pentingnya pemberdayaan, menyediakan investasi
sosial nyata yang meningkatkan kemampuan mereka
dan memfasilitasi partisipasi mereka dalam kehidupan
masyarakat dan ekonomi produktif
b. Developmentasl sosial work stresses the role of
community-based practice interventions, artinya
bahwa pengembangan pekerjaan sosial menekankan
peran intervensi praktik berbasis masyarakat

20 Laporan Hasil Penelitian


c. Poverty/deprivation and despair addressing these
challenges is a key element in developmental practice,
artinya bahwa adanya kesenjangan/kekurangan dan
keputusasaan/kehilangan harapan untuk mengatasi
tantangan-tantangan ini melalui elemen kunci dalam
praktik pembangunan
d. Bagaimana program bantuan sosial yang dilaksanakan
Kementerian Sosial saat ini (seperti: PKH, Rastra,
KUBE), keunggulan dan kelemahannya. Dan
bagaimana program bantuan sosial ini ke depan,
apakah terus dilanjutkan seperti saat ini, atau perlu
dilakukan perbaikan-perbaikan.
e. Kementerian Sosial saat ini memberikan perhatian
lebih besar pada upaya penanganan (kuratif,
rehabilitatif). Bagaimana ke depan, apakah model
ini masih relevan, atau diperlukan model baru yang
berorientasi pada upaya pemberdayaan.
f. Penanganan permasalahan sosial oleh Kementerian
Sosial (mis: kemiskinan, ketelantaran, kecatatan,
ketunasusilaan, dan lain-lain) saat ini lebih bersifat
residual (lebih fokus pada penyandang masalah
sosial). Upaya pencegahan terjadi dan meluasnya
permasalahan sosial masih kurang memperoleh
perhatian. Bagaimana model penanganan
permasalahan sosial ke depan?
g. Partisipasi sebagai kata kunci dalam pembangunan
kesejahteraan sosial. Apakah program Kementerian
Sosial telah memberi ruang partisipasi secara luas
kepada penerima manfaat program? Bagaimana
model pembangunan kesejahteraan sosial ke depan,
sehingga memperkuat partisipasi penerima program?

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 21


2. Investasi negara bidang sosial
a. Sosial investment include: job training, employment
placement, adult literacy, micro-enterprise, asset
savings account, community development etc, artinya
Investasi sosial meliputi: pelatihan kerja, penempatan
kerja, literasi orang dewasa, usaha mikro, aset rekening
tabungan, pengembangan masyarakat dan sebagainya.
b. Sosial Investment State Lifelong education and an
increased government role in the sosial economy as
leading sosial investment strategies (Giddens, 1998).
Pendidikan sepanjang hayat dan peningkatan peran
pemerintah dalam sosial ekonomi sebagai strategi
investasi sosial terkemuka
c. Investments in human capital, sosial capital, cost
effective programs, employment, individual and
community assets, removal of barriers to economic
participation that are indeed consistent with a sosial
investment approach artinya bahwa investasi dalam
sumber daya manusia, modal sosial, program yang
hemat biaya, lapangan kerja, aset individu dan
masyarakat, penghapusan hambatan partisipasi
ekonomi yang memang konsisten dengan pendekatan
investasi sosial (Midgley & Sherraden, 2000).
d. Sosial investment aims to offer an effective answer to
neo-liberal critiques of sosial spending as wasteful and
a source of dependency. For example, Midgley explicitly
views the sosial investment state as a model to ‘legitimate’
sosial welfare. Because it attempts to integrate sosial
and economic needs, sosial investment seeks sosial
programs that advance economic development, artinya
bahwa investasi sosial bertujuan untuk menawarkan
jawaban efektif terhadap kritik neoliberal tentang
pengeluaran sosial sebagai pemborosan dan sumber

22 Laporan Hasil Penelitian


ketergantungan. Misalnya, Midgley secara eksplisit
memandang keadaan investasi sosial sebagai
model untuk “melegitimasi” kesejahteraan sosial.
Karena berusaha memadukan kebutuhan sosial dan
ekonomi, investasi sosial mencari program sosial yang
memajukan pembangunan ekonomi.
3. Partisipasi 3 sektor (pemerintah, dunia usaha dan
masyarakat)
Memperkuat pelaku kebijakan sosial dari segi regulasi
(termasuk insentif), mendorong partisipasi aktif, (bila ada)
menghilangkan regulasi yang menghambat partisipasi
dalam perlindungan sosial. Kondisi saat ini:
a. Pemerintah mendominasi penyelenggaraan
kesejahteraan sosial saat ini.
b. Swasta dan masyarakat kurang berkontribusi dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
c. Bantuan sosial dari pemerintah memberikan efek
negatif terhadap nilai-nilai kearifan lokal.
d. Dana desa/kelurahan sebagian/keseluruhan belum
digunakan untuk mendukung kegiatan kesejahteraan
sosial berbasis-komunitas.
4. Peran Kementerian Sosial: regulator atau operator
a. Desain pembagian peran antara pusat dan daerah
(UU Pemda no 23 th 2014) masih relevan atau tidak?
Bagaimana implementasinya?
b. Saat ini Kementerian Sosial berperan sebagai regulator
sekaligus operator, apa kelebihan dan kekurangannya?
c. Peran rangkap Kementerian Sosial menimbulkan
ambigusitas dalam hal perencanaan, pelaksana dan
evaluator (dinikmati sendiri).
d. Bagaimana sebaiknya pembagian peran ini?

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 23


5. Karakteristik masalah sosial
Kondisi yang dirasakan banyak orang. Suatu masalah baru
dapat dikatakan sebagai masalah sosial apabila kondisinya
dirasakan oleh banyak orang. Namun, tidak ada batasan
mengenai berapa jumlah orang yang harus merasakan
masalah tersebut. Jika suatu masalah mendapat perhatian
dan pembicaraan yang lebih dari satu orang, masalah
tersebut adalah masalah sosial.
Kondisi yang dinilai tidak menyenangkan. Menurut paham
hedonisme, orang cenderung mengulang sesuatu yang
menyenangkan dan menghindari sesuatu yang tidak
mengenakkan. Orang senantiasa menghindari masalah,
karena masalah selalu tidak menyenangkan. Penilaian
masyarakat sangat menentukan suatu masalah dapat
dikatakan sebagai masalah sosial.
Kondisi yang menuntut perpecahan. Suatu kondisi yang
tidak menyenangkan senantiasa menuntut pemecahan.
Umumnya, suatu kondisi dianggap perlu dipecahkan
jika masyarakat menganggap masalah tersebut perlu
dipecahkan. Pada waktu lalu, masalah kemiskinan tidak
dikategorikan sebagai masalah sosial, karena waktu itu
masyarakat menganggap kemiskinan sebagai sesuatu yang
alamiah dan masyarakat belum mampu memecahkannya.
Sekarang, setelah masyarakat memiliki pengetahuan dan
keterampilan untuk menggulangi kemiskinan, kemiskinan
ramai diperbicangkan dan diseminarkan, karena dianggap
sebagai masalah sosial.
Pemecahan masalah tersebut harus diselesaikan melalui
aksi secara kolektif. Masalah sosial berbeda dengan
masalah individual. Masalah individual dapat diatasi
secara individual, tetapi masalah sosial hanya dapat diatasi
melalui rekayasa sosial seperti aksi sosial, kebijakan sosial
atau perencanaan sosial, karena penyebab dan akibatnya

24 Laporan Hasil Penelitian


bersifat multidimensional dan menyangkut banyak orang
Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2012 menyebutkan
adanya (26) dua puluh enam jenis permasalahan yang
berkembang dalam masyarakat, yang dikenal dengan
istilah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).

Tabel 1.2 Jenis Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial


1. Anak Balita Terlantar 14. Bekas Warga Binaan
Lembaga Pemasyarakatan
2. Anak Terlantar 15. Orang dengan HIV/AIDS
3. Anak yang Berkonflik dengan 16. Korban Penyalahgunaan
Hukum NAPZA
4. Anak Jalanan 17. Korban trafficking
5. Anak Disabilitas 18. Korban tindak kekerasan
6. Anak korban tindak kekerasan 19. Pekerja Migran
Bermasalah Sosial
7. Anak yang memerlukan 20. Korban bencana alam
perlindungan khusus
8. Lanjut usia telantar 21. Korban bencana sosial
9. Penyandang disabilitas 22. Perempuan rawan sosial
ekonomi
10. Tuna Susila 23. Fakir Miskin
11. Pengemis 24. Keluarga bermasalah
sosial psikologis
12. Pemulung 25. Gelandangan
13. Kelompok Minoritas 26. Komunitas adat terpencil

Berdasarkan 26 jenis PMKS diatas, hal yang perlu
dipertanyakan adalah:
1. Apakah masih relevan dengan permasalahan sosial yang
berkembang saat ini?

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 25


2. Apa masalah sosial yang sedang berkembang saat ini?
3. Bagaimana kecenderungan permasalahan sosial ke depan?

H. Organisasi Penelitian
Penelitian Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial
dilaksanakan dengan susunan organisasi sebagai berikut:
Pengarah Kepala Badan Pendidikan, Penelitian dan
Penyuluhan Sosial
Penanggung Jawab Kepala Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kesejahteraan Sosial
Konsultan Bagus Aryo, Ph.D.
Ketua Tim Mu’man Nuryana, Ph.D
Sekretaris Nyi R. Irmayani, SH, M.Si
Anggota Drs. Suradi, M.Si
Drs. Benedictus Mujiyadi, MSW
Badrun Susantyo, Ph.D.
Drs. Togiaratua Nainggolan, M.Si
Sugiyanto, S.Pd, M.Si
Habibullah, S.Sos, M. Kesos
Asisten Peneliti/ Atiek Difa Mufidah S. Kesos., M. Kesos
Notetaker Rati Afina S.Kesos., M.Kesos
Tedy Setiadi S.Sos
Hendi Irawan, S.Pd., M.Kessos.
Fajrin Kurnia Putra, S.H., M.Kesos.
Lendi Andita S. Kesos
Sekretariat Kepala Bagian Tata Usaha
Kepala Bidang Penelitian Perlindungan dan
Jaminan Sosial dan Penunjang

26 Laporan Hasil Penelitian


I. Tahapan dan Jadwal Penelitian
Penelitian Arah baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial
dimulai sejak Akhir tahun 2018 sampai dengan tahun 2019,
dengan rincian sebagai berikut:

Tabel 1.3 Tahapan dan Jadwal Penelitian


No Tahapan Penelitian Bulan Tahun
1. Penyusunan Rancangan September 2018
2. Penyusunan Instrumen Oktober 2018
3. Pembahasan Rancangan dan Instrumen Oktober 2018
4. Uji Publik di Bandung Nopember 2018
5. Uji Publik di Yogyakarta Desember 2018
6. Brainstorming antar K/L Januari 2019
7. Penyempurnaan Rancangan dan Februari 2019
Instrumen
8. Pengumpulan dan Review Literatur Februari – 2019
Maret
9. Penjajagan Lokasi/Advance Maret 2019
10. Pengumpulan Data Survey Online Maret – April 2019
11. Lokakarya Regional Barat di Jakarta 25 – 29 Maret 2019
12. Lokakarya Regional Timur di Makassar 3 – 6 April 2019
13. Pengolahan Data FGD Mei 2019
14. Pengolahan Data Survey Online Mei 2019
15. Pengolahan Data Literatur Mei 2019
16. Penyusunan Draft Laporan I Juni 2019
17. Penyusunan Draft Laporan II Juni 2019
No Tahapan Penelitian Bulan Tahun
18. Konvensi Nasional 30 Juni – 3 Juli 2019
19. Penyampaian Laporan Terbatas Ke 11 Juli 2019
Menteri Sosial dan Pejabat Eselon I

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 27


20. Penyusunan Draft Laporan III 22 – 26 Juli 2019
21. Finalisasi Laporan Agustus 2019
22. Penyusunan Executive Summary Agustus 2019
23. Penyusunan Policy Brief Agustus 2019
24. Pencetakan Laporan September 2019
25. Diseminasi Laporan September 2019

J. Sistematika Pelaporan
Bab I : Pendahuluan, mendeskripsikan tentang latar
belakang, rumsuan masalah, tujuan, metode,
kerangka konseptual, tahapan dan jawal, organisasi
penelitian dan sistematika laporan.
Bab II : Tinjauan Pustaka, menyajikan hasil-hasil
penelitian terdahulu terkiat dengan program yang
dilaksanakan oleh Kementerian Sosial.
Bab III : Temuan dan Pembahasan, mendeskripsikan data
dan informasi hasil FGD dan survey online tentang
Kondisi Saat Ini, Tantangan dan Prospek ke Depan
pembangunan kesejahteraan sosial.
Bab IV : Kesimpulan dan Rekomendasi, mendeskripsikan
kesimpulan hasil penelitian dan rekomendasi serta
implikasi kebijakan.
Lampiran
Laporan FGD wilayah Barat
Laporan FGD wilayah Timur
Laporan FGD Konvensi
Kontributor Penelitian (Akademisi, Praktisi dan CSO)

28 Laporan Hasil Penelitian


Bab

II TINJAUAN
PUSTAKA

Tinjauan pustaka ini menyajikan hasil-hasil penelitian terdahulu


yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kesejahteraan Sosial (Puslitbangkesos) dan lembaga-lembaga
penelitian lain, yang relevan dengan tujuan penelitian arah
baru pembangunan kesejahteraan sosial. Hasil-hasil penelitian
terdahulu tentang program-program yang dilaksanakan oleh
Kementerian Sosial menjadi background study, dan sebagai
dasar untuk menentukan aspek-aspek kunci dalam penelitian
ini. Program dan kegiatan yang menjadi background study dalam
penelitian ini, yaitu:

1. Program Bantuan Pangan


Program bantuan pangan yang dikelola oleh Kementerian
Sosial RI telah mengalami beberapa pergantian nama.
Program Subsidi Beras Miskin (Raskin) kemudian berubah
menjadi Beras Sejahtera (Rastra) dan saat ini bertranformasi
menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Berdasarkan
hasil penelitian mengenai program bantuan pangan yang
pernah dilakukan (Sitepu, dkk. 2014; Jayaputra, dkk. 2017;
World Bank, 2017; Wahyudi, dkk, 2018), menyebutkan bahwa

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 29


masih terdapat beberapa permasalahan di lapangan, antara
lain:
a. Belum ada basis data terpadu untuk penerima program
bantuan pangan, sehingga masih sering terjadi kesalahan
pada sasaran penerima bantuan.
b. Kuantitas bantuan pangan dalam hal ini beras, yang
diterima oleh Rumah Tangga Penerima Manfaat (RTPM)
tidak sesuai dengan kuantitas jumlah yang telah ditentukan.
Misalnya RTPM hanya mendapatkan 5,5 Kg beras yang
seharusnya setiap RTPM mendapatkan kuota beras sebesar
10 Kg.
c. Alokasi dan distribusi Rastra berbeda menurut wilayah.
d. Harga tebus raskin di masyarakat sangat variatif bahkan
cenderung lebih mahal dan tidak sesuai dengan harga yang
telah ditetapkan.
e. Kualitas raskin yang diterima oleh RTPM sebagian besar
kurang baik dan layak.
f. Waktu pendistribusian tidak sesuai dengan jadwal yang
telah ditentukan.
g. Prosedur penyaluran Rastra dipersulit oleh pemberian
kewenangan pengelolaan yang cukup besar kepada para
pelaku di daerah.
h. Sistem pelaporan pertanggungjawaban yang buruk
sehingga tidak dapat merepresentasikan pelaksanaan
program yang dijalankan dengan semestinya.
i. Adanya daerah yang menetapkan waktu pengambilan
bantuan, sehingga masyarakat memiliki keterbatasan
waktu untuk mengambil bantuan sehingga bantuan tidak
optimal diserap oleh masyarakat.
j. Program bantuan pangan belum dapat mencukupi
kebutuhan gizi masyarakat.

30 Laporan Hasil Penelitian


k. Masih banyak ditemukan saldo yang masih kosong pada
bantuan non tunai.
l. Signal GPRS masih sulit dijangkau terutama untuk wilayah
terpencil.
Adapun rekomendasi untuk mengatasi permasalahan-
permasalahan yang terjadi pada program bantuan pangan
adalah sebagai berikut:
a. Redisain program seperti: mengganti komoditi dengan
kartu, menyesuaikan jumlah raskin sesuai dengan jumlah
anggota keluarga, dan melanjutkan program raskin dengan
dana APBD.
b. Penyaluran bahan pangan perlu melibatkan satu agen
penjualan yang ditetapkan dengan jumlah sesuai dengan
pedoman.
c. Mengirimkan surat undangan kepada penerima sebagai
bentuk sosialisasi dan edukasi tentang program.
d. Pemda perlu melakukan pemantauan secara lebih
menyeluruh agar dapat berjalan secara optimal.
e. Sosialisasi dan pengawasan dalam penentuan Keluarga
Penerima Manfaat (KPM).
f. Pemutakhiran basis data terpadu yang digunakan sebagai
dasar untuk menetapkan KPM.
g. Modal/alat transaksi, registrasi dan aktivasi: yaitu KK dan
KTP saja.
h. Membuat aturan yang jelas tentang titik distribusi Bulog ke
KPM.
i. Meningkatkan pelibatan peran pemerintah daerah dari
titik distribusi Bulog ke KPM.
j. Pengawasan pelaksanaan penyaluran Rastra dari titik
distribusi Bulog sampai ke KPM.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 31


k. Melakukan pengecekan di lokasi akhir titik distribusi
(warung desa/kelurahan atau ketua RT setempat) terhadap
beras sebelum diserahkan kepada KPM
l. Adanya layanan untuk penerima jika ada keluhan seperti
adanya perlakukan khusus bagi Lansia.
m. Ketersediaan dan penyebaran merchant/agen/toko perlu
ditambahkan dan terdata.
n. Perdagangan voucher makanan dan pencairan pembayaran
digital.
o. Meningkatkan efektivitas pelaksanaan pembayaran digital.
p. Penambahan jumlah dan sebaran e-warong.
q. Fasilitasi signal GPRS yang memadai dari provider.
r. Peningkatan keterlibatan pemerintah daerah.
Meskipun mekanisme bantuan pangan sering berganti-ganti
mekanisme program padahal intinya sama, ketidaktepatan
sasaran penerima bantuan masih tinggi, pencairan program
yang terlambat, kualitas beras banyak yang kurang baik,
jumlah bantuan yang diterima tidak sesuai dengan jumlah
yang seharusnya, beras belum memenuhi standar gizi karena
kualitas beras banyak yang kurang baik. Bantuan pangan
belum mencukupi kebutuhan gizi masyarakat. Penelitian
sebelumnya merekomendasikan perlu pendampingan yang
lebih mengenai kondisi sosial yang kurang mendukung
dengan diadakannya program Bantuan Pangan Non Tunai
(BPNT) dan perlu transparansi dan pangawasan yang lebih
ketat agar tidak terjadi penyimpangan.

2. Program Kelompok Usaha bersama (KUBE)


Dari beberapa kajian mengenai KUBE yang pernah
dilakukan (Shrader, Leesa W, et. al., 2007; Roebyantho,
dkk. 2011; Widiyanti, SYM & Hidayatulloh, Nurrochman,

32 Laporan Hasil Penelitian


A, 2015; Sitepu, A, 2017), terdapat beberapa permasalahan
dari program KUBE yang telah dijalankan oleh Kementerian
Sosial. Beberapa Permasalahan tersebut antara lain:
a. Masih rendahnya tingkat pendidikan anggota kelompok
sehingga kemampuan mengelola KUBE menjadi kurang.
b. Kemampuan mengembangkan usaha di dalam kelompok
KUBE masih kurang.
c. Masih rendahnya mobilitas anggota KUBE sehingga
menghambat pemasaran.
d. Masih terdapat dana bantuan yang digunakan untuk
keperluan konsumsi rumah tangga.
e. Masih kurangnya keterbukaan antar pengurus dan anggota
KUBE.
f. Permasalahan geografis dan budaya yang dihadapi antara
kelompok KUBE dengan pendamping.
g. Kurangnya assessment terhadap potensi dan kebutuhan
anggota KUBE pada saat pertama kali membentuk KUBE.
h. Sistem kerja dalam kelompok yang belum berjalan dengan
baik.
i. Manajemen pengelolaan dan sistem administrasi KUBE
yang masih sangat sederhana.
j. Peran pendampingan kepada peserta KUBE belum
dilakukan secara optimal.
k. Kapasitas SDM tenaga pendamping untuk program KUBE
masih rendah dalam menjalankan tugas pendampingan
kepada peserta KUBE.
l. Program KUBE masih bersifat top down dan belum banyak
menyentuh aspek pemberdayaan masyarakat khususnya
pemberdayaan ekonomi.
m. Bantuan dana yang diberikan tidak diberikan sepenuhnya
dan dilakukan oleh pihak ketiga.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 33


n. Pengawasan terhadap program KUBE masih kurang
optimal.
o. Pembagian tugas dan wewenang antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah yang masih kurang.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, ada
beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan dalam rangka
perbaikan dalam penyelenggaran program KUBE diantaranya
adalah:
a. Perlu ditekankan pada perbaikan aspek ekonomi dan
kelembagaan dalam pengelolaan KUBE.
b. Perlu ditingkatkan pendampingan bagi kelompok KUBE
agar lebih profesional.
c. Dinas Sosial setempat diharapkan dapat meningkatkan
koordinasi dengan instansi terkait lainnya.
d. Perlunya peningkatan kualitas SDM bagi anggota dan
pengurus KUBE.
e. Komitmen bersama antar stakeholder terkait, seperti
komitmen antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah
Daerah mengenai pelaksanaan program KUBE secara
optimal sesuai dengan potensi, kondisi dan kebutuhan
daerah.
f. Sosialiasi program KUBE kepada masyarakat dengan
memperhatikan potensi sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan yang ada di masyarakat.
g. Strategi perencanaan program KUBE yang baik dan
matang, sehingga pelaksanaan KUBE lebih terarah dan
terukur kinerjanya.
h. Meningkatkan peran pendampingan sejak proses
perencanaan dan pelaksanaan sehingga KUBE dapat
berkembang dan berkelanjutan.

34 Laporan Hasil Penelitian


i. Seluruh proses kegiatan, mulai dari sosialiasi hingga
evaluasi, perlu dilakukan secara matang dan terarah.
j. Diharapkan setiap pihak yang terlibat dalam program
KUBE merupakan seorang profesional.

3. Progam Program Keluarga Harapan (PKH)


Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yaitu Bappenas,
2009; Nazara, S & Rahayu, SK, 2013; UNICEF, 2016; World Bank,
2017; Cahyadi, N, 2018 mengenai Program Keluarga Harapan
(PKH) permasalahan yang muncul adalah sebagai berikut:
a. Terkait ekspansi PKH, program akan jauh lebih sulit untuk
dikelola dari tingkat pusat, dan merevisi strategi sumber
daya manusia (SDM) saat ini, khususnya yang berkaitan
dengan peran dan fungsi lembaga fasilitator program.
b. PKH dapat menimbulkan kecemburuan sosial antara
masyarakat yang menerima program dan yang tidak
menerima program.
c. Kurangnya sistem pengaduan atau mekanisme GRS
(Grievance Redress System) terutama di tingkat lokal.
Sebetulnya Penerima PKH dapat menyampaikan
pengaduan ke fasilitator namun hal ini tidak efektif.
Keluhan hanya dicatat di lembaga sosial namun tidak ada
tindakan lanjutan yang efektif.
d. Terkait dengan sistem pembayaran melalui bank, masih
banyak penerima program yang tidak memiliki dokumen
legal seperti NIK. Masyarakat nomaden, pelaut, dan petani
serta pekerja temporer dan pekerja migran merupakan
masyarakat yang dapat terkendala hal ini.
e. PKH tidak secara signifikan memberikan dampak pada
pemberdayaan perempuan dan status sosialnya dalam
rumah tangga.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 35


f. Hasil Program Keluarga Harapan paling terlihat di aspek
pendidikan dan kesehatan. Meski begitu, salah satu
penelitian menyebutkan bahwa PKH tidak memiliki
dampak apapun terhadap konsumsi rumah tangga,
meningkatnya aset dan pekerjaan penerima program. Ini
menunjukkan PKH belum memiliki efek pengentasan
kemiskinan yang transformasional bagi penerima manfaat.
g. Pelaksanaan PKH terutama di bidang kesehatan dan
pendidikan amat tergantung pada sarana dan prasarana di
wilayah masing-masing seperti keberadaan sekolah (untuk
wajib belajar 9 tahun), lokasi puskesmas dan fasilitas
kesehatan lainnya sehingga perlu kordinasi yang baik
dengan pemerintah daerah.
h. Secara teoritis, sasaran PKH adalah keluarga yang sangat
miskin. Sedangkan dalam pelaksanannya, penerima PKH
masih tetap berada di program yang sama meskipun
kondisi ekonomi mereka telah meningkat. Padahal di sisi
lain, masih ada masyarakat yang berada pada bottom decile
tidak terjangkau oleh PKH
i. Kelompok tahun 2007 (gelombang pertama penerima PKH)
seharusnya tidak lagi menjadi sasaran program sejak 2013
(batas 6 tahun) namun hal ini belum bisa dilakukan karena
belum adanya strategi pengakhiran (exit strategy) dan lepas
dari program. Kementerian Sosial perlu membuat strategi
transformasi untuk mempersiapkan penerima bantuan
lepas dari program
j. Fasilitator seringkali memiliki kekurangan pengetahuan
serta keterampilan baik keterampilan teknik maupun
soft skill seperti kemampuan komunikasi, fasilitator dan
konseling. Sehingga perlu adanya upaya peningkatan
kapasitas. Tenaga kesehatan, kader serta tokoh masyarakat
juga dapat menjadi salahsatu stakeholder yang perlu
diberikan pemahaman dan peningkatan kapasitas terkait
program PKH.

36 Laporan Hasil Penelitian


k. PKH juga tidak memiliki dampak apapun terhadap
berkurangnya jumlah pekerja anak karena mekanisme
PKH kurang memadai dalam mengatasi persoalan ini.
l. Jumlah bantuan PKH tidak cukup memberikan insentif bagi
pekerja anak untuk berhenti kerja dan kembali sekolah.
Adapun rekomendasi untuk mengatasi permasalahan yang
terjadi selama pelaksanaan PKH di lapangan adalah sebagai
berikut:
a. Kementerian Sosial harus membuat roadmap yang jelas
untuk mengidentifikasi dan memastikan inklusivitas
penerima bantuan terutama yang berada di daerah-daerah
terpencil di Papua dan kelompok penerima manfaat yang
baru (lansia dan disabilitas).
b. Perlu peninjauan manajemen sistem data terkait ekspansi
program PKH dan memastikan bahwa sistem data yang
dimiliki mampu mendukung pelaksanaan program PKH
yang diperluas sasarannya tersebut.
c. Kementerian Sosial perlu segera memperkenalkan sistem
pembayaran berbasis bank.
d. Perubahan aturan dan peningkatan program,
membutuhkan sistem pengaduan yang lebih baik.
e. Perlu strategi yang menyeluruh agar perubahan yang terjadi
dalam Program PKH dapat dikomunikasikan dengan baik
pada penerima manfaat.
f. Diperlukan training untuk meningkatkan kapasitas
fasilitator, pekerja kesehatan dan kader baik hard skill
maupun soft skill.
g. Perlu adanya capacity building kepada tokoh agama melalui
NU terkait pemahaman mengenai gizi dan kesehatan.
h. Perlu peningkatan jumlah fasilitator.
i. Memperluas cakupan dan pendirian kelembagaan

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 37


j. Perlu adanya strategi pengakhiran dan lepas dari program
(exit strategy).
k. Ada resertifikasi pada tahun kelima program.
l. Terkait sarana dan prasarana bagi terlaksananya program
PKH, Dalam banyak kasus, prasarana juga merupakan
tanggung jawab pemerintah daerah; karenanya, kerja
sama dengan pemerintah daerah merupakan langkah yang
sangat penting.

4. Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil


Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya oleh
Puslitbangkesos, 2015 dan B2P3KS Yogyakarta, 2018
menyimpulkan terdapat beberapa permasalahan selama
pelaksanaan Program Pemberdayaan Komunitas Adat
Terpencil, yaitu sebagai berikut:
a. Cakupan Program Pemberdayaan Komunitas Adat
Terpencil masih sangat rendah jika dibandingkan dengan
jumlah PMKS yang ada di lokus penelitian.
b. Cakupan program masih rendah, di mana salah satu
penelitian menyatakan cakupan program per tahun pada
lokus penelitiannya hanya sebesar 3% dari keseluruhan
PMKS, ditambah dengan asumsi adanya pertambahan
jumlah PMKS per tahun, maka tanpa perubahan rancangan
program, dapat dipastikan PPKAT tidak akan mampu
untuk menyelesaikan masalah sosial yang terjadi di lokus
penelitian.
Rekomendasi utama yang dihasilkan dalam penelitian-
penelitian di atas, antara lain:
a. Integrasi program-program yang diterima PMKS.
b. Koordinasi antar struktur Pusat dan Daerah.
c. Pelibatan unsur lain di luar Pemerintah, termasuk di

38 Laporan Hasil Penelitian


dalamnya integrasi program yang diterima PMKS yang
dilakukan oleh unsur lain di luar Pemerintah.
d. Peningkatan peran dan kontribusi Pemerintah Daerah
dalam mendukung program Pemerintah Pusat, dalam hal
ini PPKA.
e. Meningkatkan profesionalitas Sumber Daya Manusia
yang berinteraksi langsung dengan penerima manfaat
(benificiaries), seperti Sakti Peksos dan/atau LKSA dalam,
dan tenaga pendamping (fasilitator pemberdayaan
masyarakat) dalam PPKAT.

5. Program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni


Pelaksanaan program rehabilitasi rumah tidak layak huni
di daerah tidak hanya dijalankan oleh Kementerian Sosial
melalui Dinas Sosial. Program serupa juga dijalankan oleh
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat,
program CSR maupun program daerah terkait. Adapun
rehabilitasi rumah yang dilakukan oleh Dinas Sosial di
beberapa daerah memiliki beberapa evaluasi. Evaluasi yang
umumnya disebutkan dalam penelitian Roebyantho, H &
Unayah, N, 2012; Suradi, 2012; Nugraha, 2014; Heny, 2017 di
beberapa daerah adalah sebagai berikut:
a. Komunikasi mengenai program RS-RTLH tidak terjalin
dengan baik. Hal ini melemahkan koordinasi antar instansi
baik dari pihak pusat yaitu Kementerian Sosial maupun
dari pihak daerah yaitu Dinas Sosial dengan instansi
terkait lainnya. Masyarakat penerima bantuan dan non
penerima bantuan juga belum memiliki pemahaman yang
baik mengenai program. Bahkan penerima program tidak
mengetahui berapa jumlah bantuan yang seharusnya
mereka terima

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 39


b. Beberapa daerah yang dijadikan lokasi penelitian seperti
Banjarmasin dan Garut tidak memiliki pedoman teknis bagi
pelaksanan RTLH sehingga mereka umumnya. Instrument
kerja juga masih bersifat general tidak disesuaikan dengan
wilayah masing-masing.
c. Kualifikasi pendamping masih kurang baik dari segi
pengetahuan maupun keterampilan.
d. Dana yang diberikan sebanyak Rp.10.000.000,- yang tidak
mencukupi untuk memperbaiki rumah hingga tuntas.
Sehingga masyarakat masih harus berhutang dengan pihak
lain atau menggunakan alternatif bahan lain yang tidak
sesuai standar namun lebih murah harganya. Hal ini justru
menimbulkan masalah baru.
e. Tidak ada petunjuk operasional yang rinci dan sosialisasi
program mengenai pemahaman fungsi rumah sehingga
pelaksana kegiatan biasanya hanya memperhatikan aspek
fisik dari rumah sedangkan aspek sosial dan psikologis
dari fungsi rumah belum tercapai. Kurangnya dana juga
menyebabkan hanya target fisik yang terkejar.
f. RTLH dianggap melunturkan kearifan lokal karena
mengganti rumah panggung dengan rumah konvensional
sesuai dengan standar program.

6. Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA)


Dalam hal efektivitas, PKSA telah menunjukkan bahwa
pendekatan dasarnya, yaitu kombinasi bantuan uang tunai
dengan panduan intensif dan pengasuhan melalui pekerja
sosial dan lembaga-lembaga pengasuhan anak, yang
memfasilitasi akses pada layanan sosial dan mempromosikan
pengasuhan berbasis keluarga, cukup baik. Bila pendekatan
ini telah diimplementasikan sesuai dengan panduan dan
secara profesional, maka hal ini akan membuahkan hasil yang
positif. Pendekatan ini meningkatkan pemanfaatan layanan

40 Laporan Hasil Penelitian


sosial dasar, meningkatkan perilaku anak dan pengasuh dan
berkontribusi pada kesejahteraan anak dalam hal kesehatan,
nutrisi, dan pendidikan. Tetapi PKSA hanya memiliki 686
pekerja sosial untuk 5.563 Lembaga Kesejahteraan Sosial anak
(LKSA) yang mengimplementasikan PKSA. LKSA memiliki
sejumlah pekerja sosial sementara kebanyakan tidak memiliki
latar belakang pekerja sosial. Ini berarti bahwa kurang dari
10 persen penerima manfaat PKSA yang bisa dijangkau oleh
pendekatan PKSA secara utuh yaitu – integrasi uang tunai,
pekerja sosial, dan akses pada layanan sosial.
Anak-anak yang menjadi penerima bantuan tunai tanpa
dukungan kesejahteraan sosial yang memadai telah kehilangan
layanan rehabilitatif yang diberikan untuk memfasilitasi
keluarga dan anak untuk mendapatkan kembali kemampuan
untuk berfungsi – elemen utama dari rancangan program.
Kenyataan bahwa jumlah anak yang tidak terlayani oleh
pekerja sosial relatif besar dibandingkan dengan kelompok
yang menerima dukungan penuh dari PKSA menimbulkan
pertanyaan serius tentang efektivitas program.
Tujuan utama PKSA, yaitu penurunan persentase anak
yang memiliki masalah sosial (Kementerian Sosial, 2011),
masih belum tercapai. PKSA hanya mencakup 3 persen
dari kelompok targetnya yang sebesar 4,3 juta anak kurang
beruntung. Berdasarkan asumsi bahwa jumlah anak yang
berisiko dan anak dalam krisis telah meningkat lebih dari
3 persen sejak tahun 2010 (populasi meningkat sebesar 8
persen), kita dapat menyimpulkan bahwa persentase anak
yang memiliki masalah sosial justru meningkat, bukannya
menurun. Hal ini ditambah lagi dengan kenyataan bahwa 3
persen anak-anak yang terjangkau oleh PKSA bukanlah anak
yang betul-betul membutuhkan perlindungan sosial.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 41


Rendahnya cakupan dan kekeliruan dalam menetapkan
target sebagian disebabkan oleh tidak tercapainya tujuan lain
dari PKSA, yaitu meningkatnya jumlah pemerintah daerah
(provinsi/kabupaten/kota) yang mensinergikan PKSA dengan
program-program kesejahteraan yang ada dan perlindungan
untuk anak yang didanai oleh APBD (Kementerian Sosial,
2011).
Beberapa LKSA ditemukan tidak memiliki infrastruktur dan
fasilitas dasar yang memadai untuk memberikan layanan dan
pengasuhan yang memadai untuk anak, meskipun mereka
telah lama terlibat dalam PKSA. Beberapa dari mereka juga
beroperasi tanpa transparansi dan akuntabilitas. Banyak
anak-anak yang direkrut itu masih memiliki orangtua dan
keluarga yang masih mampu mengasuh mereka. Bekerja
dengan LKSA semacam itu jelas tidak konsisten dengan
tujuan mempromosikan pengasuhan berbasis keluarga.
Kebanyakan LKSA melaksanakan program tanpa pekerja sosial
professional. Secara ringkas, tujuan untuk mensinergiskan
PKSA dengan program kesejahteraan Pemerintah Daerah
belum tercapai.Tujuan PKSA untuk memperkuat kerangka
hukum hanya baru bisa dicapai sebagian. Program ini perlu
mengembangkan, melalukan advokasi, dan memberlakukan
lebih banyak aturan/regulasi baik di tingkat pusat maupun
tingkat lokal yang melindungi dan mempromosikan hak-hak
anak (Schubert, 2015).
Dampak PKSA terhadap Penguatan Kelembagaan
Kesejahteraan Sosial Anak jumlah LKSA yang telah
diintervensi untuk mengelola PKSA jauh lebih banyak
dibandingkan jumlah Sakti Peksos (SDM) yang difasilitasi
sebagai pelaksana pendampingan dalam melaksanakan
PKSA. Pada tahun 2012 terdapat 6.728 PKSA pelaksana PKSA,

42 Laporan Hasil Penelitian


sedangkan pendampingnya yang berasal dari Sakti Peksos
hanya 1.111 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar LKSA
tidak memiliki pendamping yang berasal dari Sakti Peksos.
Bagi mereka yang tidak memiliki Sakti Peksos, pendampingan
dilakukan oleh SDM yang dimiliki dan difasilitasi oleh LKSA
jumlahnya cukup banyak yaitu sekitar 83,5 %. Hal ini akan
berpengaruh pada hasil yang dicapai (Astuti, dkk 2015)

7. Program Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia


Pada beberapa hasil penelitian mengenai program
Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia yaitu Sumarno, dkk. 2011;
Kusuma, W, 2012; TNP2K, 2013; Bappenas, 2014; Astuti, dkk.
2016; TNP2K, 2017 menyebutkan beberapa permasalahan-
permasalahan yang terjadi sebagai berikut:
a. Lansia sering mengalami stress karena panti tidak memiliki
kegiatan yang produktif. Seperti minimnya kegiatan yang
mengasah keterampilan lansia.
b. Semakin banyaknya lansia terlantar karena kapasitas panti
semakin sempit.
c. Sangat minimnya SDM yang professional mengakibatkan
pelayanan panti tidak optimal. Kebijakan sosial khusus
untuk lanjut usia belum tersedia, akibatnya kebijakan
yang ada masih sangat parsial dan tumpang tindih dengan
kebijakan kemiskinan sehingga pelaksanaannya tidak
sensitif lansia.
d. Dana dan infrastruktur yang tersedia baik di panti dan non
panti masih sangat minim dibandingkan dengan jumlah
total LUT.
e. Evaluasi setiap kegiatan jarang dilakukan dan hasil yang
dilakukan kurang menyeluruh.
Sementara rekomendasi yang ditawarkan untuk perbaikan
ke depannya adalah sebagai berikut:

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 43


a. Pengembangan kebijakan sosial yang bersifat integratif
dan kolaboratif secara multisektoral serta melibatkan
pemangku kepentingan dari pemerintah, swasta, keluarga,
dan masyarakat. Seperti menginisiasi program-program
pengelolaan dan pelayanan lansia berbasis keluarga dan
masyarakat sekitar.
b. Kebijakan sosial terkait jaminan sosial, jaringan pengaman
sosial, asuransi sosial, dan pendampingan sosial adalah
model kebijakannya perlu ditingkatkan agar di masa tua
para lansia dapat terjamin. Seperti dengan merumuskan
kebijakan tunjangan hari tua bagi semua lansia karena
setiap orang berhak menerima tunjangan hari tua secara
layak. Jaring pengaman sosial diorientasikan untuk
pemenuhan kebutuhan fisik. Asuransi sosial diorientasikan
untuk perlindungan sosial dalam kondisi kegawatdaruratan
seperti penurunan kondisi kesehatan drastis yang
membutuhkan pengobatan yang mahal, kebutuhan
peralatan yang spesifik ketika terjadi kecelakaan, dan
biaya perubahan lingkungan untuk disesuaikan dengan
kondisi lanjut usia. Pendampingan sosial berkaitan dengan
pengadaan tenaga pendamping khusus maupun relawan
baik dari keluarga atau masyarakat sekitar yang mampu
melakukan pendampingan baik fisik, sosial maupun
kebutuhan lainnya agar lansia dapat tersejahterakan secara
sosial serta pentingnya penguatan tenaga pendamping
yang ada.
c. Sangat perlu diterbitkannya peraturan daerah dan
peningkatan kualitas pelayanan kesejahteraan sosial bagi
lansia.
d. Inovasi kebijakan lansia sangat dibutuhkan karena
peraturan perundang-undangan terakhir dikeluarkan pada
tahun 1998 (Undang-Undang No. 13 Tahun 1998) sehingga
dinilai kurang akomodatif dalam merespons permasalahan
lansia terkini.

44 Laporan Hasil Penelitian


e. Menilai pengelolaan lansia sebagai beban dan bukan
investasi sosial yang menguntungkan dalam kebijakan
karena hanya melihat lansia dari perspektif produktivitas
dan jaminan perlindungan sosial.
f. Moral will dan political will dari setiap pemangku
kepentingan sangat dibutuhkan untuk dapat menjadi
komitmen bersama dalam mengelola lansia dengan
melibatkan pemerintah, organisasi kemasyarakatan,
swasta dan masyarakat secara kolaboratif serta integratif.
g. Lansia dimasukkan sebagai prioritas dalam proyeksi model
kebijakan meliputi peningkatan: prioritas alokasi anggaran
yang pro lansia khususnya untuk penanganan lansia,
kualitas pelayanan publik dan fasilitas publik yang ramah
lansia.
h. Edukasi dan pendampingan terhadap keluarga lansia dan
masyarakat dalam memberikan pelayanan kesejahteraan
sosial dan asistensi lanjut usia terlantar.
i. Menginisiasi dan mendukung pembangunan nursing home
(rumah sakit yang khusus menangani lansia dalam kondisi
apapun secara paripurna) di tingkat kabupaten dan kota.
j. Mengintegrasikan kerjasama antar daerah dalam
menangani lansia karena penanganan lansia bersifat
multisektoral dan borderless.

8. Program Pemberdayaan Remaja


Hasil laporan penelitian sebelumnya terkait dengan
program pemberdayaan remaja adalah sebagai berikut:
a. Data alumni tidak terkelola bahkan tidak terdata dengan
baik padahal banyak alumni yang sukses.
b. Kurangnya pembina atau pelatih dalam panti untuk
mengembangkan remaja binaan.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 45


c. Kurangnya jaringan dan kerjasama dengan pihak luar atau
lembaga kerja guna membuka peluang masyarakat untuk
memberikan kontribusi membina remaja binaan.
d. Metode bimbingan keterampilan dan bimbingan sosial
yang menyebabkan proses pembinaan belum berjalan
optimal dan terkesan masih sangat tradisional.
e. Rendahnya kualitas dan minimnya alat/kelengkapan/
fasilitas pada panti sehingga membuat keterampilan klien
kurang terasah dengan baik.
f. Masih sangat minimnya pelibatan masyarakat sekitar atau
lingkungan panti dalam kegiatan yang ada dalam panti dan
tidak berbasis pendidikan kesejahteraan sosial.
g. Masih rendahnya kualitas SDM dalam panti membuat
panti tidak berjalan dengan maksimal.
h. Kurangnya pro aktif dan perhatian dari dinas sosial
kabupaten/kota dalam menyalurkan eks binaan ke tempat
kerja setalah pulang ke orang tua.
Rekomendasi yang ditawarkan untuk perbaikan ke
depannya di antaranya adalah:
a. Peningkatan sosialisasi pada masyarakat sekitar dan
melibatkan masyarakat sekitar dalam kegiatan yang
ada pada panti. Hal ini dalam rangka meningkatkan
pemahaman peran yang dilakukan panti sosial bina remaja
dalam pemberdayaan remaja terlantar.
b. Perlu pembuatan data alumni yang berfungsi untuk
meningkatkan tali silaturahmi terhadap alumni guna
untuk membantu mengarahkan remaja binaan agar dapat
menjadi remaja yang sukses dan saling bekerjasama
dengan baik.
c. Rutin melakukan monitoring dan evaluasi untuk
mendapatkan informasi perkembangan eks binaan, serta
untuk menjadi bahan evaluasi dan kebijakan bimbingan

46 Laporan Hasil Penelitian


lanjut apabila tidak sesuai dengan tujuan dari pelayanan
panti.
d. Melakukan banyak kerjasa dengan eksternal mitra seperti
dunia usaha untuk membantu dalam pelatihan dan
penyerapan tenaga kerja.
e. Peningkatan program “pelatihan di tempat kerja” dengan
biaya rendah melalui pengusaha, melalui sekolah, atau
melalui lembaga kemasyarakatan dapat memberi jalur
pendidikan selepas pendidikan dasar untuk mendapatkan
pekerjaan yang berkualitas lebih tinggi (Anam, 2016;
Ikhsan, 2016; Harun 2018; Yossi, 2018).

9. Program Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Napza


Komponen kegiatan pada IPWL, yang meliputi aspek
kelembagaan, sumber daya manusia, sarana prasarana dan
dana membuktikan bahwa IPWL sudah memiliki kapasitas
sebagai lembaga pelaksana rehabilitasi sosial korban
penyalahgunaan napza. Meskipun demikian, untuk pekerja
sosial masih diperlukan penambahan jumlah, sehingga
memehuhi rasio, dan mutunya pun perlu ditingkatkan di bidang
konseling dan pendampingan. IPWL dalam melaksanakan
rehabilitasi sosial telah mengembangkan metode, teknik,
pendekatan dan tahapan kegiatan yang bervariasi. Secara
substantif kegiatan yang dilaksanakan sudah sesuai dengan
upaya pemulihan korban. Pada pelaksanaan kegiatan, IPWL
membangun kemitraan dengan sistem sumber, seperti rumah
sakit, perguruan tinggi, lembaga profesi, instansi pemerintah
terkait, tokoh masyarakat dan orang tua/keluarga korban.
Sehubungan dengan itu, IPWL sudah siap sebagai lembaga
pelaksana rehabilitasi sosial korban penyelahgunaan napza.
Korban yang mendapatkan pelayanan IPWL mengalami
perubahan pada kondisi fisik, sikap mental dan perilaku

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 47


sosialnya berkisar 70 persen. Hal ini membuktikan, bahwa
IPWL berhasil dalam melaksanakan rehabilitasi sosial korban
penyelahgunaan napza (Suradi dkk, 2015).
Dalam kerangka penanggulangan penyalahgunaan NAPZA
program RBM lebih efektif diselenggarakan di tingkat desa
dibandingkan dengan penyelenggaraan RBM di tingkat
provinsi. Penyelenggaraan RBM di tingkat desa/kelurahan
mempunyai keuntungan:
a. Ada akses untuk hubungan lembaga RBM dengan
pemerintah desa/kelurahan;
b. Ada akses hubungan RBM dengan masyarakat;
c. Mempermudah pelaksanaan fungsi lembaga dalam
menggerakkan masyarakat sebagai kontrol sosial
dalam perkembangan penyalahgunaan NAPZA dan
penanggulangannya;
d. Ada akses untuk penghimpunan dana dari masyarakat;
e. Masyarakat sebagai basis kekuatan (energi) baik dalam
penghimpunan dana RBM RBM, penyelenggaran RBM
maupun kontrol sosial atas aktivitas dan alokasi dana yang
disalurkan masyarakat;
f. Lembaga RBM dapat menyelenggarakan program
pemberdayaan dari instansi sektoral sebagai kegiatan
penunjang dalam penanggulangan penyalahgunaan
NAPZA (Gunawan dkk, 2013).

10. Program Rehabilitasi Sosial Disabilitas


Isu disabilitas masih belum banyak dipahami oleh seluruh
lapisan masyarakat dan pelaksana program, sehingga
cakupan program masih belum dapat meluas ke seluruh
wilayah Indonesia. Sarana dan prasarana yang aksesibel
bagi penyandang disabilitas masih sangat terbatas. Aspek

48 Laporan Hasil Penelitian


kelembagaan, anggaran dan kualitas SDM pelaksana masih
sangat terbatas. Peran pemerintah masih sangat dominan dalam
penyelenggaraan program, sehingga keterlibatan keluarga dan
masyarakat masih rendah. Implementasi peraturan perundang-
undangan masih belum optimal. Anggaran untuk rehabilitasi
sosial di pemerintah daerah masih belum memadai. Peran
sektor swasta (CSO dan dunia usaha) masih belum dapat
optimal (Kemensos, 2019). Program kurang efisien dari segi
waktu pemberian dana dan jumlah yang dirasakan tidak
sesuai dengan kebutuhan hidup sehari-hari bagi klien. Masih
belum ada keterlibatan bantuan dari APBD maupun dunia
usaha dalam program ini (Puslitbangkesos, 2014).

11. Program Rehabiliatsi Sosial Orang Dengan HIV/AIDS


Kurang optimalnya praktik manajemen kasus di Rumah
Perlindungan Sosial ODHA Phala Martha Sukabumi adalah
akibat dari beberapa faktor yaitu:
a. Belum adanya SOP pelaksanaan manajemen kasus.
b. Kurangnya tenaga pekerja sosial yang memiliki kompetensi
dalam melakukan praktik manajemen kasus.
c. Kurangnya fasilitasi departemen pusat mengenai manual
pelaksanaan manajemen kasus dalam lembaga pelayanan
sosial terkit HIV/AIDS.
d. Tidak ada pemahaman mengenai manajemen kasus yang
seharusnya dilakukan untuk kelompok berkebutuhan
khusus seperti ODHA terlantar.
Oleh karena itu, berdasarkan hasil analisis, maka dibuatlah
beberapa rekomendasi yang ditujukan untuk Kementerian
Sosial bagian Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial, Kepala dan
Staf Pengelola RPS serta para pekerja sosial pada umumnya
(Susilawati, 2012).

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 49


12. Program Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial dan Korban Tindak
Kekerasan
Dari Laporan Kinerja Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna
Sosial dan KPO yang telah disusun ini, dapat disimpulkan
bahwa: 1) Pelaksanaan program dan kegiatan Direktorat
Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial dan KPO dapat berjalan dengan
baik, lancar dan mencapai hasil yang diharapkan. 2) Program
dan kegiatan yang dilaksanakan Direktorat Rehabilitasi Sosial
Tuna Sosial dan KPO telah meletakkan dasar-dasar bagi
pengembangan program di masa yang akan datang. 3) Kinerja
Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial dan KPO pada tahun
2018 ini cukup baik yaitu dengan realisasi progam mencapai
100% dengan realisasi keuangan mencapai 90, 92 %.
Berdasarkan telaah hasil-hasil penelitian, secara umum
pembangunan kesejahteraan sosial mengalami perkembangan
yang sangat dinamis, seiring dengan perkembangan
permasalahan kesejahteraan sosial, baik disebabkan
situasi nasional, regional dan internasional. Perkembangan
permasalahan kesejahteraan sosial tersebut membawa
implikasi pada aspek regulasi, program, data, kelembagaan,
sumber daya manusia, manajemen pelayanan, evaluasi,
pendanaan dan pembagian kewenangan mulai tingkat pusat,
provinsi dan kabupaten/kota. Kontribusi dunia usaha dan
organsiasi masyarakat sipil juga menuntut lebih dioptimalkan,
dan potensi masyarakat di akar rumput didayagunakan secara
efektif, sehingga terbangun kolaborasi yang semakin kokoh
antara pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan
kesejahteraan sosial.
Kajian terhadap hasil-hasil penelitian terdahulu
menyadarkan bagi semua pihak, bahwa “pembangunan
kesejahteraan sosial arah lama”, sudah tidak relevan lagi pada

50 Laporan Hasil Penelitian


zaman yang mengalami perubahan yang sangat dinamis ini.
Pemikiran-pemikiran yang berorientasi pada proyek atau
penyerapan anggaran semata, sudah saatnya dikurangi.
Selain diperlukan transformasi pemikiran, program
kesejahteraan sosial hendaknya disusun berbasis pada
hasil-hasil penelitian. Hal ini dengan harapan, bahwa
program-program tersebut adaptif dan responsif terhadap
perkembangan yang sangat dinamis, dan kebutuhan riil
masyarakat. Sehubungan dengan itu, perlunya revitalisasi
lembaga kelitbangan yang didukung oleh SDM peneliti yang
profesional dan teknologi informasi yang modern. Pada
konteks ini, maka dukungan pada aspek investasi sosial,
secara khusus untuk peningkatan kompetensi SDM peneliti -
sebaiknya menjadi prioritas kementerian.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 51


Bab

III
HASIL DAN
PEMBAHASAN

A. GAMBARAN INFORMAN DAN RESPONDEN


1. Informan
Penelitian Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial
2020-2024 ini melibatkan setidaknya 193 Informan, yang
tersebar dari delapan belas daerah sampel. Daerah sampel
ini mewakili wilayah Indoesia Barat dan Indonesia Timur
(sebagaiamana Tabel 3.1). Informan yang dimaksud adalah
peserta Workshop atau FGD yang diambil dari 17 provinsi, dan
dibagi dalam 2 wilayah (barat dan timur) sebagaimana terlihat
dalam tabel 3.1.

Tabel 3.1 Rekapitulasi Peserta FGD Wilayah Barat dan Timur

No. Propinsi/Kabupaten/Kota Akademisi Praktisi CSO


1 Yogyakarta/Kota Yogyakarta 3 4 5
2 Banten/Kota Serang 3 4 5
3 Kalsel/Kota Banjarmasin 4 3 5
4 Jabar/Kabupaten Sumedang 3 4 5
No. Propinsi/Kabupaten/Kota Akademisi Praktisi CSO

52 Laporan Hasil Penelitian


5 Kaltim/Kab.Kutai Kartanegara 5 6 2
6 Jatim/Kab. Sidoarjo 3 3 5
7 Nangrou Aceh/Kab.Aceh Besar 4 3 5
8 Sumut/Kota Medan 3 4 5
9 Babel/Kota Pangkal Pinang 0 2 0
10 Maluku/Kota Ambon 3 6 4
Maluku Utara/Kab.Halmahera
11 1 6 3
Timur
12 NTB/Kab.Lombok Barat 3 5 3
13 NTT/Kota Kupang 3 5 4
14 Papua/Kab.Jayapura 3 4 5
15 Papua Barat/Kab.Manukwari 5 4 5
16 Sulawesi Barat/Kab.Mamuju 3 4 4
17 Sulawesi Selatan/Kota Makasar 3 4 5
JUMLAH 52 71 70
Sumber : Hasil Penelitian 2019

Pemilihan peserta didasarkan pada perwakilan pulau-


pulau besar di Indonesia, karakteristik sosial budaya
(permasalahan dan kebutuhan). Proses penentuan peserta
dipilih berdasarkan rekomendasi Dinas Sosial Provinsi,
yang kemudian diwawancarai oleh tim peneliti untuk
mempertimbangkan kelayakannya sebagai sumber informasi.
Wilayah Barat terdiri dari 9 lokasi: Yogyakarta/Kota Yogyakarta,
Banten/Kota Serang, Kalsel/Kota Banjarmasin, Jabar/
Kabupaten Sumedang, Kaltim/Kab.Kutai Kartanegara, Jatim/
Kab. Sidoarjo, Nangrou Aceh/Kab.Aceh Besar, Babel/Kota
Pangkal Pinang. Wilayah Timur terdiri dari 8 lokasi: Maluku/
Kota Ambon, Maluku Utara/Kab.Halmahera Timur, NTB/
Kab.Lombok Barat, NTT/Kota Kupang, Papua/Kab.Jayapura,

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 53


Papua Barat/Kab. Manukwari, Sulawesi Barat/Kab.Mamuju,
dan Sulawesi Selatan/Kota Makasar. Dengan jumlah peserta
wilayah Barat 98 orang (28 orang Akademisi, 33 orang Praktisi,
37 orang CSO), wilayah Timur 95 orang (24 orang Akademisi,
38 orang Praktisi, 33 orang CSO).
Dalam workshop di wilayah Barat dan Timur masing-
masing FGD dilakukan dalam 6 kelompok (Akademisi 1 dan 2,
Praktisi 1 dan 2, dan CSO 1 dan 2) dipimpin oleh tim peneliti
didampingi notetaker. Hasil FGD diplenokan dan ditanggapi
oleh perwakilan dari unit kerja di lingkungan Kementerian
Sosial sebagai penyelenggara utama pembangunan
kesejahteraan sosial di Indonesia.
Gambaran informan peserta Workshop atau FGD wilayah
Barat dan Timur berdasar pendidikan, adalah sebagaimana
terlihat pada diagram 3.1 sebagai berikut:

Diagram 3.1. Peserta FGD Wilayah Barat dan Timur

Sumber: Hasil Penelitian 2019

Diagram 3.1 Persebaran Informan Peserta Workshop


atau FGD Wilayah Barat Dan Timur Berdasarkan Tingkat
Pendidikan.

54 Laporan Hasil Penelitian


Berdasarkan data persebaran informan peserta workshop
atau FGD wilayah Barat dan Timur berdasarkan tingkat
pendidikan, dari kalangan Akademisi yang berpendidikan
paling tinggi, dari 52 peserta sebagian besar (53,85%)
berpendidikan S2, berpendidikan S3 (28,85%), serta Profesor
(13,46%), dan berpendidikan S1 (3,84%). Sedangkan dari
kalangan Praktisi dari 71 peserta sebagian besar (49,30)
berpendidikan S1, selanjutnya yang berpendidikan S2
(46.47%), dan yang berpendidikan S3 (4,23%). Demikian
juga dari kalangan CSO 70 peserta, sebagian besar (42,86%)
berpendidikan S1, berikutnya berpendidikan SLTA (40,00%),
dan berpendidikan S3 (1,43%).
Sedangkan persebaran informan peserta workshop atau FGD
wilayah Barat dan Timur berdasarkan tingkat asal pekerjaan dan
jabatannya, sebanyak 52 peserta dari Akedemisi berasal dari
kalangan dunia pendidikan Perguruan Tinggi baik negeri (PNS.
Sebesar 78,85%) maupun swasta (Non PNS. sebesar 21,15%).
Dengan jenis jabatanya sebagian besar (48,08%) menjadi dosen,
seterusnya menjabat sebagai rektor (25.00%), menjabat sebagai
Kepala LPM (13,46%), menjabat sebagai Guru Besar (9,62%),
dan menjabat sebagai Dekan (3,84%).
Persebaran informan peserta workshop atau FGD wilayah
Barat dan Timur berdasarkan tingkat asal pekerjaan dan
jabatannya, sebanyak 71 peserta dari Praktisi berasal dari
kalangan SKPD kabupaten/kota setempat dan pekerjaan
terkait dengan kegiatan pengembangan masyarakat dengan
istilah Community Development Suplerintendent (CDS), 100%
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dengan jenis jabatanya
sebagian besar (39,44%) menjadi Kepala Seksi di berbagai
SKPD, seterusnya menjabat sebagai Kepala Bidang (32,39%),
menjabat sebagai Kepala Dinas (18,31%), menjabat sebagai

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 55


Sekretaris (7,04%), dan menjabat di lingkungan CSD (2,82%).
Demikian juga persebaran informan peserta workshop
atau FGD wilayah Barat dan Timur berdasarkan tingkat asal
pekerjaan dan jabatannya, sebanyak 70 peserta CSO berasal
dari kalangan Yayasan atau Panti Sosial. Sebagian besar
(95,71%) non PNS, namun ada sebagian kecil (4,29%) PNS
yang diperbantukan. Dengan jenis jabatanya sebagian besar
(70,00%) sebagai pimpinan atau ketua yayasan atau panti
sosial, seterusnya menjadi karyawan (22,86%), dan menjabat
sebagai skretaris atau wakil (7,14%).

2. Gambaran Responden
Responden pada survey online adalah masyarakat umum.
Mereka mengisi formulir online survey (link survey monkey)
yang diadakan selama 1 bulan ( periode 7 Maret - 7 April
2019) di seluruh Indonesia. Respondennya, mencapai 4.754
responden (dengan 3.931 komplet respon), terdiri dari 58
persen laki-laki dan 42 persen perempuan, seperti terdapat
dalam diagram 3.2 tersebut di bawah ini.
Diagram 3.2. Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Sumber : Hasil Penelitian, 2019

56 Laporan Hasil Penelitian


Sedangkan persebaran responden pada survey online ini
meliputi seluh wilayah provinsi di Indonesia (33 provinsi).
Secara rinci seperti pada diagram 3.3 di bawah ini.
Diagram 3.3. Responden Berdasarkan Provinsi

Sumber : Hasil Penelitian, 2019

Diagram 3.3 menunjukkan bahwa responden kebanyakan


berasal dari Pulau Jawa, khususnya Provinsi Jawa Barat, Jawa
Timur, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta. Gambaran responden
berdasarkan pendidikan dapat dilihat dalam diagram 3.4
berikut :

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 57


Diagram 3.4. Tingkat Pendidikan Responden

Sumber : Hasil Penelitian, 2019

Diagram 3.4 menunjukkan bahwa sebagian besar


responden (hampir 78 persen) tamat pergurun tinggi dan SLTA
(hampir 21 persen). Ini berarti bahwa responden memberikan
tanggapannya dengan pertimbangan pemikiran yang relatif
memadai.
Selanjutnya gambaran persebaran responden berdasarkan
jenis pekerjaan dapat digambarkan dalam diagram berikut.
Diagram 3.5. Jenis Pekerjaan Responden

Sumber : Hasil Penelitian, 2019

58 Laporan Hasil Penelitian


Diagram ini menggambarkan bahwa sebagian besar
responden berasal dari sektor non PNS, walau sebagian
diantaranya bekerja sebagai pegawai pemerintah non PNS
(26,99 persen) dan pegawai swasta 12,16 persen. Sementara
PNS/TNI/Polri hanya 22,04 persen.

B. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Arah Lama
Kementerian Sosial sudah berusaha optimal menjadi
penyelenggara pembangunan kesejahteraan sosial. Namun
kenyataannya belum sepenuhnya memberikan respons yang
tepat dan memadai terhadap kebutuhan riil masyarakat sesuai
dengan harapan dan tuntutan masyarakat. Meskipun masyarakat
membuat usulan kebutuhan (proposal), pada akhirnya otoritas
keputusan masih didominasi dari Pemerintah Pusat dan atau
instansi sosial di daerah, sehingga pada hakikatnya program
masih bersifat top down dan non partisipatif. Akibatnya, manfaat
program yang dilaksanakan tidak sesuai.
Program pembangunan kesejahteraan sosial sudah
memiliki indikator output dan outcome, namun pencapaiannya
masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Ruang lingkup
dan sasaran pelayanan program pembangunan kesejahteraan
sosial terlalu luas dan variatif sehingga tidak semua
permasalahan dapat ditangani dengan baik atau tidak intensif.
Kemanfaatan program pembangunan kesejahteraan sosial
tidak dapat dirasakan secara segera melainkan butuh waktu
karena menyangkut perubahan perilaku manusia, sedangkan
penilaian keberhasilan program lebih menekankan pada
output karena didasarkan pada periode tahun anggaran,
terbukti dari keberfungsian sosial dan peran peserta program
yang belum maksimal ketika dievaluasi.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 59


Kelembagaan kesejahteraan sosial sudah terbentuk di
tingkat desa/kelurahan atas inisiasi Kementerian Sosial.
Namun demikian, kelembagaan tersebut belum memperoleh
penguatan secara optimal sehingga kelembagaan tersebut
belum berfungsi secara optimal dalam mendekatkan layanan
sosial kepada masyarakat.
Infrastruktur sosial, tenaga kesejahteraan sosial, dan tenaga
pendamping berbagai program pembangunan kesejahteraan
sosial telah terbangun dengan segala kelengkapan yang telah
diinvestasikan. Namun demikian belum tertata dengan baik,
belum sistematis, dan tanpa didukung SOP dan Panduan yang
aplikatif. Program kesejahteraan sosial banyak beririsan dengan
program lain seperti pendidikan, kesehatan, perlindungan
hukum, pemberdayaan keluarga dan masyarakat, tetapi upaya
ini masih dipandang ‘sebelah mata’.
Sementara itu, peran Kementerian Sosial menjalankan
fungsi sebagai regulator sekaligus operator sehingga bebannya
sangat berat. Akibatnya implementasi kebijakannya tidak
optimal, SOP tidak berjalan/ dikerjakan dengan baik oleh
Dinas Sosial, dan tidak memungkinkan melakukan pelayanan
pencegahan karena sumber daya sudah habis terkuras untuk
melakukan rehabilitasi sosial dan intervensi lainnya yang
bersifat karitatif.
Data merupakan bahan dasar (row material) dalam
proses perencanaan hingga evaluasi suatu kegiatan. Data
yang tidak valid akan menghasilkan dokumen perencanaan
yang tidak optimal. Saat ini Kementerian Sosial sudah
mempunyai Aplikasi Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial
Next Generation (SIKS-NG), yang dikelola oleh oleh Pusdatin
Kesos. Aplikasi ini dimanfaatkan untuk pembaharuan Data
Terpadu yang memuat data penduduk yang membutuhkan

60 Laporan Hasil Penelitian


pelayanan sosial. Saat ini penetapan sasaran pembangunan
kesejahteraan sosial lebih didasarkan pada data terpadu ini.
Namun mekanisme atau prosedur pembaharuan datanya
belum bisa menjawab tuntutan perubahan atau dinamika
yang terjadi di masyarakat secara tepat. Akibatnya aksesibilitas
pada distribusi pelayanan sosial menghadapi permasalahan,
di mana warga masyarakat yang memenuhi kriteria, justru
belum memperoleh pelayanan sosial, dan sebaliknya
masyarakat yang sesungguhnya belum memenuhi kriteria
malah memperoleh bantuan sosial. Hal ini disebabkan
oleh lambatnya pemutakhiran data dalam verifikasi dan
validasi yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kabupaten/Kota.
Hal ini terkait dengan tuntutan pengalokasian sumberdaya
(finansial dan sumber daya manusia) yang sangat besar untuk
mendukung pelaksanaan verifikasi dan validasi yang canggih
untuk melakukan pembaharuan (updating data), sementara
sumber daya yang tersedia sangat terbatas.
Keterbatasan juga terlihat dalam alokasi anggaran
untuk mendukung pembangunan kesejahteraan sosial
lebih menekankan pelayanan residual, dan cenderung
menyamaratakan atau menyeragamkan masalah
kesejahteraan sosial antar wilayah tanpa memperhatikan
perbedaan karakteristik, kondisi, dan lokalitas sehingga
membatasi inovasi pemerintah daerah dan menyulitkan
individu, keluarga, komunitas, dan masyarakat dalam
memberikan dukungan.
Waktu dan proses intervensi pekerjaan sosial terhadap
mereka yang membutuhkan pelayanan sosial lebih banyak
ditentukan oleh siklus anggaran dari pada mekanisme
standar proses intervensi sosial itu sendiri. Kebijakan dan
program kesejahteraan sosial lebih bersifat karitatif sehingga

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 61


menimbulkan ketergantungan penerima manfaat terhadap
bantuan sosial dari pada pemberdayaan sosial.
Menyiasati keterbatasan anggaran ini, program
pemerintah pusat seringkali mensyaratkan adanya cost
sharing dari pemerintah daerah. Beberapa daerah siap untuk
menyediakan tersebut, sementara sebagian lainnya belum
mengalokasikannya. Akibatnya program dijalankan apa
adanya.
Secara umum pembangunan kesejahteraan dengan
pendekatan residual yang dominan. Pendekatan tersebut
belum mampu mengantisipasi ‘risiko sosial baru’ karena
intervensinya bersifat reaktif dan tidak proaktif. Sementara
perubahan sosial, ekonomi, dan budaya yang terjadi saat ini
berlangsung sangat cepat, disruptif, dan memunculkan ‘risiko
sosial baru’ yang tidak diperkirakan sebelumnya. Pendekatan
developmental yang dianggap ideal untuk pembangunan
kesejahteraan sosial, belum berjalan optimal dengan porsi
yang memadai. Ide dasar program pemberdayaan belum
sejalan dengan pelaksanaannya. Situasi ini sedikit banyak
justru mengakibatkan lemahnya modal sosial, menimbulkan
kecemburuan antar kelompok, hingga ketergantungan
masyarakat pada bantuan sosial pemerintah. .
Program Kementerian Sosial lebih didominasi pemberian
bantuan sosial dalam bentuk barang dan/atau uang.
Sementara peningkatan kapasitas masyarakat sangat kurang.
Kalau pun ada pelatihan bagi penerima manfaat program,
kurang optimal karena tidak dapat digunakan di lokasi/daerah
asal penerima prorgam. Akibatnya, penerima prorgam tidak
mengalami peningkatan kesejahteraan sosial yang signifikan.

62 Laporan Hasil Penelitian


Pilar-pilar sosial di masyarakat, seperti Tokoh Agama,
Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat, Karang Taruna, Pekerja
Sosial Masyarakat, Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan,
Taruna Siaga Bencana, dan Penyuluh Sosial Masyarakat;
belum diberdayakan secara optimal. Padahal posisi mereka
sangat strategis, terutama dalam pelayanan sosial dini atau
pencegahan terjadinya permasalahan sosial di akar rumput.
pelayanan dengan pelibatan masyarakat, dan pemerintah
memberikan stimulans saja.
Paradigma perundang-undangan dan peraturan
pemerintah mengarah kepada pembangunan kesejahteraan
sosial model residual, sehingga kurang memberikan ruang
untuk melakukan pelayanan pencegahan, pelayanan intervensi
dini dan pelayanan perlindungan. Eksistensi lembaga
kesejahteraan sosial yang ada tidak terjamin keberlanjutannya
karena lebih banyak mengandalkan dukungan dan bantuan
pemerintah untuk memberikan pelayanan sosial kepada
mereka yang rentan dan membutuhkan pelayanan khusus.
Dinas Sosial provinsi dan kabupaten/kota belum optimal
dalam mensinergikan kegiatan Kementerian Sosial, CSO dan
badan usaha/swasta. Bahkan saat ini masih ada anggota forum
CSR yang belum mengetahui program dinas sosial kabupaten/
kota atau sebaliknya. Kemudian, masih ada sebagian CSO
yang belum mengetahui bahwa legalitas organisasinya harus
didaftarkan di dinas sosial setempat (kabupaten/kota). Hal
ini mengakibatkan kebijakan dan program Kementerian
Sosial kurang dipahami dengan baik oleh CSO maupun badan
usaha. Pada sisi lain peran CSO belum dianggap sebagai mitra
strategis oleh pemerintah
Individu dengan perilaku menyimpang cenderung
ditempatkan sebagai korban/masalah, yang bertentangan

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 63


dengan pendekatan developmental. Model pemberdayaan
yang dilakukan untuk individu dengan perilaku menyimpang
belum tepat karena masih memerlukan pelayanan sosial
(rehabilitasi) untuk menghilangkan stigma.
Dalam aspek regulasi, masih terdapat ketidakharmonisan
antar regulasi kesejahteraan sosial sehingga menimbulkan
kesalahpahaman, bahkan menghambat inovasi dalam
pelayanan sosial. Di sisi lain, bantuan sosial belum sepenuhnya
sesuai dengan kebutuhan, baru sebatas pemenuhan kebutuhan
dasar, dan belum memandirikan penerima manfaat, bahkan
dapat mengakibatkan ketergantungan penerima manfaat.
Hal ini didukung hasil survey online, dimana 35,26 persen
responden menyatakan setuju dan 10,37 persen menyatakan
sangat setuju bahwa bantuan sosial yang diterima oleh para
penerima manfaat menimbulkan ketergantungan.

Diagram 3.6. Bantuan Sosial Menimbulkan Ketergantungan

Sumber : Hasil Penelitian, 2019

Diagram 3.6 Bantuan sosial dari pemerintah menimbulkan


ketergantungan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan
dasar (pangan, pendidikan, kesehatan,dan lain-lain)

64 Laporan Hasil Penelitian


Bahkan dalam beberapa kasus, justru memperlemah
nilai-nilai kearifan lokal sebagaimana hasil survey dimana
22,73 persen responden menyatakan setuju dan 8,04 persen
menyatakan sangat setuju bahwa Bantuan sosial dari
Pemerintah memperlemah tradisi/kebiasaan setempat seperti
gotong royong, tolong menolong, tenggang rasa dan lain-lain.

Diagram 3.7. Bansos Memperlemah Tradisi

Sumber : Hasil Penelitian, 2019

Diagram 3.7 Bantuan sosial dari Pemerintah memperlemah


tradisi/kebiasaan setempat seperti gotong royong, tolong
menolong, tenggang rasa dan lain-lain.
Masalah kesejahteraan sosial menjadi tanggung jawab
bersama, antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Masing-
masing memiliki potensi dan strategi yang berbeda-beda,
namun sinergi dan kolaborasi belum maksimal. Bahkan di
lingkungan Kementerian Sosial, sinkronisasi dan sinergi
program antar satuan kerja (satker) belum optimal. Ada kesan
satker tidak mau tahu kelanjutan program dari satker yang
lain, padahal masih dalam satu alur dan memungkinkan
untuk disinergikan.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 65


Kementerian Sosial belum memberikan respons secara
tepat terhadap kebutuhan riil penerima program. Meskipun
penerima program membuat usulan kebutuhan (proposal),
pada akhirnya keputusan ditentukan dari Pusat dan atau
instansi sosial di daerah, sehingga pada hakikatnya program
masih bersifat top down dan non partisipatif. Akibatnya,
program yang dilaksanakan tidak sesuai dengan kebutuhan
penerima program, dan akhirnya program tidak dikelola
dengan baik dan tidak berkelanjutan.
Program yang berkelanjutan memerlukan dukungan
pendamping sosial yang memadai dari sisi kuantitas dan
kualitas sekaligus. Kementerian Sosial dalam rekrutmen
pendamping sosial belum sepenuhnya menunjukkan
keberpihakan pada keilmuan pekerjaan sosial. Di lapangan,
banyak pendamping sosial dari berbagai latar belakang
pendidikan non pekerjaan sosial kurang memahami
intervensi pekerjaan sosial dengan baik, meskipun mereka
memperoleh pelatihan dan bimbingan teknis. Akibatnya, di
lapangan ditemukan berbagai kendala dalam melaksanakan
intervensi sosial. Selain permasalahan kompetensi, insentif
yang diberikan kepada pendamping sosial berbeda secara
signifikan pada setiap program. Hal ini dapat memengaruhi
situasi psikis dan kinerja pendamping sosial.
Kelembagaan kesejahteraan sosial sudah terbentuk di
tingkat desa/kelurahan atas inisiasi Kementerian Sosial.
Namun demikian, kelembagaan tersebut belum memperoleh
penguatan secara optimal sehingga kelembagaan tersebut
belum berfungsi secara optimal dalam mendekatkan layanan
sosial kepada masyarakat.
Sudah ada inisiasi pendekatan developmental yang
dianggap ideal untuk pembangunan kesejahteraan sosial,

66 Laporan Hasil Penelitian


namun saat ini pelaksanaannya masih bersifat simbolis dan
insidental. Masih dimaknai sebagai proyek (bersifat insidental
dan hanya mengikuti siklus penganggaran) belum sebagai
pemberdayaan yang sesungguhnya dan dapat menyebabkan
ketergantungan masyarakat
Ide dasar program pemberdayaan di Kementerian sosial
belum sejalan dengan pelaksanaannya sehingga masih ada
yang mengakibatkan melemahnya modal sosial, menimbulkan
kecemburuan, berpotensi konflik, dan menimbulkan
individualisme dan ketergantungan.
Individu dengan perilaku menyimpang cenderung
ditempatkan sebagai korban/masalah, yang bertentangan
dengan pendekatan developmental. Model pemberdayaan
yang dilakukan untuk individu dengan perilaku menyimpang
belum tepat karena masih memerlukan pelayanan sosial
(rehabilitasi) untuk menghilangkan stigma.
Program pembangunan kesejahteraan sosial sudah
memiliki indikator output dan outcome, namun pencapaiannya
masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Ruang lingkup
dan sasaran pelayanan program pembangunan kesejahteraan
sosial terlalu luas dan variatif sehingga tidak semua
permasalahan dapat ditangani dengan baik atau tidak intensif.
Kemanfaatan program pembangunan kesejahteraan sosial
tidak dapat dirasakan secara segera melainkan butuh waktu
karena menyangkut perubahan perilaku manusia, sedangkan
penilaian keberhasilan program lebih menekankan pada
output karena didasarkan pada periode tahun anggaran,
terbukti dari keberfungsian sosial dan peran peserta program
yang belum maksimal ketika dievaluasi.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 67


Infrastruktur sosial, tenaga kesejahteraan sosial, dan tenaga
pendamping berbagai program pembangunan kesejahteraan
sosial telah terbangun dengan segala kelengkapan yang
telah diinvestasikan. Namun demikian belum tertata
dengan baik, belum sistematis, dan tanpa didukung SOP
dan Panduan yang aplikatif. Program kesejahteraan sosial
banyak beririsan dengan program lain seperti pendidikan,
kesehatan, perlindungan hukum, pemberdayaan keluarga
dan masyarakat, tetapi upaya ini masih dipandang ‘sebelah
mata’. Perlu adanya peningkatan alokasi dana khusus untuk
mendukung pembangunan kesejahteraan sosial model
developmental yang mengedepankan pelayanan pencegahan
pada tingkat komunitas di daerah melalui pemberdayaan.
Program-program yang dilaksanakan Kementerian Sosial
lebih banyak melalui pendekatan bantuan sosial, yang
mengutamakan distribusi bantuan dalam bentuk barang
dan/atau uang. Sementara itu, program dengan pendekatan
pemberdayaan yang di dalamnya diikuti dengan bantuan
stimulan, tidak diikuti dengan peningkatan kapasitas penerima
program. Kalau pun ada pelatihan bagi penerima program,
kurang memberikan manfaat karena tidak dapat digunakan
di lokasi/daerah asal penerima prorgam. Akibatnya, penerima
program tidak mengalami peningkatan kesejahteraan sosial
yang signifikan.
Informasi yang berkaitan dengan kebijakan, regulasi dan
program pelayanan sosial dari Kementerian Sosial masih
terbatas atau lambat. Hal ini berakibat pada lambatnya
respons daerah terhadap kebijakan dan program Kementerian
Sosial. Program perlindungan sosial bagi masyarakat yang
tinggal di daerah rawan bencana (alam dan sosial) belum
melahirkan komunitas tanggap bencana, bahkan gagap dalam

68 Laporan Hasil Penelitian


menghadapi bencana karena masih mengandalkan pada
pendekatan residual.
Kapasitas SDM kesejahteraan sosial di lembaga pelayanan
sosial belum memadai. Hal ini disebabkan oleh latar
belakang pendidikan yang sebagian besar non pekerjaan
sosial/Kesejahteraan sosial. Mereka pada umumnya baru
memperoleh pelatihan pelayanan sosial tingkat dasar.
Sementara, permasalahan sosial bersifat dinamis dan
kompleks yang memerlukan kompetensi intervensi sosial
terkini.
Pilar-pilar sosial di masyarakat, seperti Tokoh Agama,
Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat, Karang Taruna, Pekerja Sosial
Masyarakat, Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan, Taruna
Siaga Bencana, dan Penyuluh Sosial Masyarakat; belum
diberdayakan dan didayagunakan secara optimal. Padahal
posisi mereka sangat strategis, terutama dalam pelayanan
sosial dini atau pencegahan terjadinya permasalahan sosial
di akar rumput. Pemerintah mestinya bisa memperluas
jangkauan pelayanan dengan pelibatan masyarakat, dan
pemerintah memberikan stimulans saja.
Paradigma perundang-undangan dan peraturan pemerintah
mengarah kepada pembangunan kesejahteraan sosial model
residual, sehingga kurang memberikan ruang untuk melakukan
pelayanan pencegahan, pelayanan intervensi dini dan
pelayanan perlindungan. Eksistensi lembaga kesejahteraan
sosial yang ada tidak terjamin keberlanjutannya karena lebih
banyak mengandalkan dukungan dan bantuan pemerintah
untuk memberikan pelayanan sosial kepada mereka yang
rentan dan membutuhkan pelayanan khusus. Karena regulasi
(perundang-undangan) sebagai basis dalam merencanakan
kebijakan kesejahteraan sosial di Indonesia, ada kesan tarik

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 69


ulur antara prespektif sosialis versus konvensional, dalam
konsepsi Negara Kesejahteraan (welfare state) dalam Undang
Undang Dasar 1945, antara yang sebelum diamanademen
dengan pasca amandemen sebagaiamana kajian Susetio
(2007).
Dana Desa hampir secara eksklusif digunakan untuk
pembangunan infrastruktur desa/kelurahan dan pembayaran
honorarium aparatur atau ‘elite’ desa/kelurahan karena
lemahnya kualitas sumber daya manusia desa, dan tidak
adanya arahan dan pedoman/panduan bagi komunitas untuk
menangani masalah kesejahteraan sosial.
Sebagian badan usaha sudah menyelenggarakan program
Corporate Sosial Responsibility (CSR) untuk penanganan
kemiskinan dan permasalahan sosial lainnya. Sebagian
badan usaha sudah menjalin kerjasama dengan perguruan
tinggi dalam pemberdayaan. Namun demikian, masih banyak
badan usaha tersebut yang menyelenggarakan program CSR
berdasarkan visi dan misinya sendiri, belum disinergikan
secara optimal dengan program pemberdayaan oleh
pemerintah.
Kementerian Sosial RI telah memberikan kesempatan
yang seluas-luasnya kepada Organisasi Masyarakat Sipil/
CSO untuk berpartisipasi dalam implementasi kebijakan
di bidang kesejahteraan sosial. Berkenaan dengan itu
Kementerian Sosial telah menetapkan berbagai regulasi
terkait dengan pemberdayaan dan pendayagunaan CSO
dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Partisipasi
CSO ini dinilai telah memberikan dampak positif terhadap
peningkatan kepercayaan masyarakat pada program-
program Kementerian Sosial. Sebagian CSO belum
secara optimal membangun hubungan yang baik dengan

70 Laporan Hasil Penelitian


Dinas Sosial di wilayah setempat (Provinsi/Kabupaten/
Kota). Hal ini menyebabkan terjadinya mispersepsi
dalam mengimplementasikan kebijakan dan program
kesejahteraan sosial.
Dinas Sosial provinsi dan kabupaten/kota belum optimal
dalam mensinergikan kegiatan Kementerian Sosial, CSO dan
badan usaha/swasta. Bahkan saat ini masih ada anggota forum
CSR yang belum mengetahui program dinas sosial kabupaten/
kota atau sebaliknya. Kemudian, masih ada sebagian CSO
yang belum mengetahui bahwa legalitas organisasinya harus
didaftarkan di dinas sosial setempat (kabupaten/kota). Hal
ini mengakibatkan kebijakan dan program Kementerian
Sosial kurang dipahami dengan baik oleh CSO maupun badan
usaha. Pada sisi lain peran CSO belum dianggap sebagai mitra
strategis oleh pemerintah.
Hampir seluruh permasalahan sosial ditangani oleh
pemerintah, hal demikian menjadikan penanganan belum
maksimal. Oleh sebab itu pelibatan sektor swasta dan
masyarakat diharapkan dapat lebih menjangkau luas, serta
dapat membagi beban tanggungjawab yang selama ini
dijalankan oleh pemerintah. Baik pemerintah, swasta dan
masyarakat masing-masing memiliki sumberdaya manusia,
dana, data dan informasi dalam menangani masalah sosial,
hanya saja kerjasama belum dapat terwujud dengan baik.
Organisasi sosial di masyarakat sangat memahami kondisi dan
situasi sekitar sehingga mempunyai kepedulian dan komitmen
dalam hal melakukan kegiatan pencegahan dan penanganan
masalah sosial. Kuatnya dominasi Negara/pemerintah ini
tercermin juga dalam hasil survey online dimana 56,74 persen
menyatakan setuju dan 13,53 persen menyatakan sangat
setuju yang ditunjukkan pada diagram 3.8.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 71


Selama ini, pemerintah/negara lebih banyak berperan
dalam penanganan masalah sosial  (kemiskinan, ket-
erlantaran, gelandangan, cacat/disabilitas, jompo/
lansia, korban bencana)
Diagram 3.8. Pemerintah lebih banyak berperan
dalam Penanganan Masalah Sosial

Sumber : Hasil Penelitian, 2019

Diagram 3.8 pemerintah/negara lebih banyak berperan


dalam penanganan masalah sosial (kemiskinan, keterlantaran,
gelandangan, cacat / disabilitas, jompo / lansia, korban
bencana)
Dalam penentuan indikator kemiskinan, target dan sasaran
bantuan sosial, masyarakat perlu dilibatkan agar memperoleh
pemahaman dan persepsi yang sama, karena terkadang data
yang ada sudah tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
Pelibatan sektor swasta dan masyarakat masih sebatas di
perencanaan (musrenbang) tetapi implementasi program di
lapangan belum sesuai yang diharapkan.
Kementerian Sosial menjalankan peran sebagai Regulator
sekaligus sebagai Operator sehingga bebannya sangat berat.
Akibatnya implementasi kebijakannya tidak optimal, SOP
tidak berjalan/ dikerjakan dengan baik oleh Dinas Sosial,
dan tidak memungkinkan melakukan pelayanan pencegahan

72 Laporan Hasil Penelitian


karena sumber daya sudah habis terkuras untuk melakukan
rehabilitasi sosial dan intervensi lainnya yang bersifat karitatif.
Karena sebagian tugas Kementerian Sosial dalam
pembangunan kesejahteraan sosial didelegasikan kepada
Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten/Kota. Tetapi tidak
semua Pemerintah daerah memiliki komitmen yang tinggi
dan siap melaksanakan tugas tersebut karena kualitas dan
kemampuan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya
yang sangat terbatas. Ini menjadi salah satu alasan rekrutmen
pendamping sosial belum mengikutsertakan dinas sosial
kabupaten/kota. Hal ini menciptakan hubungan kerja yang
kurang kondusif. Karena merasa tidak diikutisertan dari
awal rekrutmen, maka dinas sosial kabupaten/kota lepas
tangan ketika ada permasalahan pada pendamping sosial.
Konsekuensinya Kemensos harus melakukan monev, bantuan
teknis, supervisi, pengawasan, perencanaan, pelaksanaan,
dan penilaian sehingga semua program seolah-olah dapat
dilaksanakan dengan ‘berhasil’. Oleh karena itu, Kementerian
Sosial perlu menyerahkan tugas dan fungsi sebagai Operator
kepada pihak ketiga yang dapat dipercaya dan memiliki
kemampuan profesionalisme yang tinggi, dalam bentuk Quasi
Autonomous Non-Government Organisations (QUANGOs)
seperti Centrelink di Australia, atau Non-Departmental Public
Bodies (NDPBs) atau Arms Length Bodies (ALBs) di Inggris.
Terkait dengan QUANGO atau QUANGOS ini, tidak
ditemukan satu definisi yang universal yang diakui secara
internasional. Di Indonesia sendiri, istilah QUANGO tidak
dikenal secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan
yang ada. Van Thiel (2004) menyebutkan QUANGO atau quasi
autonomous non government adalah sebagai “organizations
which as their main task, are charged with the implementation

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 73


of one or more public policies, and which are funded publicly
but operate at arm’s length from the central goverment, without
an immediate hierarchical relationship existing with a minister
or a parent department”
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa
QUANGO adalah sebuah organisasi yang memiliki tugas
utama untuk melaksanakan satu atau lebih fungsi kebijakan
publik dan didanai oleh publik namun bekerja sebagai
perpanjangan tangan dari pemerintah pusat, tanpa memiliki
hubungan hierarkis secara langsung dengan kementerian
yang ada diatasnya. Definisi lain dari Quango adalah lembaga
yang menerima sebagian besar sumber dayanya dari dana
masyarakat atau publik. Sumber daya manusia organisasi
selalu menegaskan bahwa selama dukungan finansial mereka
tanpa ikatan dan prioritas mereka sendiri dengan tidak
mengikuti arahan dan didominasi oleh pemerintah sebagai
donor, tidak akan menjadikan arahan donor menjadi sebuah
masalah yang berarti.
Salah satu bentuk penting dari QUANGO adalah lembaga
ini dikenal sebagai badan publik atau public body. Organisasi-
organisasi tersebut dikenal di Inggris sebagai British Non
Deparmental Public Bodies dan Belanda sebagai Dige
Bestuursorganen atau organ pemerintahan independen yang
tidak memiliki keterikatan menjadi bagian dari pemerintah.
Meskipun demikian, mereka didanai publik melalui
alokasi anggaran, pajak atau fees. Di Belanda, badan publik
dibiayai melalui anggaran pemerintah. Hal tersebut pada
perkembangannya dapat diatur oleh negara atau badan publik
Setidaknya terdapat empat jenis organisasi yang bisa
diklasifikasikan sebagai QUANGO (Van Thiel, 2004), yaitu:

74 Laporan Hasil Penelitian


1) Agen kontrak atau conctract agencies (contoh: British Next
Steps Agencies), 2) Badan publik atau public bodies (contoh:
non departmental public bodies, the Dutch zelfstandige
bestuursorganen atau ZBO), 3) Organisasi sukarela atau amal,
dan 4) Badan Usaha Milik Negara atau State-owned enterprises
(BUMN atau SOEs).

Diagram 3.9. Program untuk Mengurangi Resiko Bencana

Sumber : Hasil Penelitian, 2019

Penanggulangan bencana diperlukan model yang lebih


bernuansa mitigasi. Selama ini penggulangan bencana lebih
diutamakan pada waktu setelah terjadi bencana. Untuk
mengurangi resiko diperlukan penanganan dini seperti
pemetaan daerah rawan bencana, Kampung Siaga Bencana,
peyiapan petugas yang tanggap darurat. Hal ini terkuatkan
dengan hasil survey bahwa penaggulangan saat ini dianggap
kurang berhasil seperti diagram 3.9

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 75


Diagram 3.10. Penyediaan Pendapatan bagi
Penyandang Masalah Sosial

Sumber : Hasil Penelitian, 2019

Program perlindungan sosial yang ada, lebih bernuansa


konsumtif bahkan menimbulkan ketergantungan. Program
yang demikian dinyatakan oleh responden kurang berhasil.
Hal ini berkaitan dengan jenis bantuan langsung habis.
Penyandang 3.11. Program Penguatan Masyarakat
untuk Menangani Masalah

Sumber : Hasil Penelitian, 2019

Terkesan bahwa program pemberdayaan sama dengan


program bantuan sosial dan hanya terbatas pada bantuan
ekonomi. Selain itu program penguatan masyarakat terkesan
disamakan untuk seluruh wilayah baik jenis maupun
jumlahnya. Idealnya bantuan disesuaikan dengan kondisi
wilayah dan nominalnya, untuk jenis panen jangka panjang

76 Laporan Hasil Penelitian


(long yielding) dan cepat menghasilkan (quick yielding).
Misalnya bantuan untuk wilayah perdesaan dipilih bantuan
yang lama menghasilkan seperti ternak kambing atau sapi.
Untuk wilayah perkotaan dipilih jenis bantuan yang cepat
menghasilkan seperti tambal ban, jualan bakso.
Diagram 3.12. Program Penanggulangan Kemiskinan

Sumber : Hasil Penelitian, 2019

Selama program penganggulangan kemiskisan terkesan


hanya memberikan bantuan sosial yang langsung habis, tidak
mengubah perilaku dan pengembangan usaha.
Diagram 3.13. Penilaian Terhadap Keberhasilan
Kementerian Sosial RI

Sumber : Hasil Penelitian, 2019

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 77


Berdasarkan penilaian respoden terhadap seluruh program
Kementerian Sosial diagram 3.6 sampai 3.12, persepsi
responden hingga saat ini baru mencapai 62,18 persen.
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa bidang sosial
merupakan urusan wajib dan merupakan pelayanan dasar
yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Sementera
Kemensos hanya menetapkan norma, standar dan prosedur
kerja (NSPK) dan melaksanakan urusan konkuren (yang
dikerjakan bersama). Sudah ada PP pembagian kewenangan
dan Permensos tentang SPM sosial sudah ada. Meskipun sudah
ada berbagai peraturan yang mendukung untuk pemerintah
daerah lebih berperan dalam pembangunan kesejahteraan
sosial namun dalam implementasinya komitmen pemerintah
daerah masih rendah. Kemampuan SDM kesos di daerah juga
masih rendah, bahkan masih banyak yang tergantung pada
Kementerian Sosial dan atau Pemerintah Pusat.
Program pemerintah pusat seringkali mensyaratkan cost
sharing dari pemerintah daerah. Beberapa daerah siap untuk
menyediakan dana cost sharing sedangkan daerah yang lain
belum mengalokasikannya.
Penamaan atau pemberian istilah pada penduduk rentan
dan kurang beruntung dan kemudian disebut Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) sesuai Permensos
Nomor 8 Tahun 2012 sangat dipengaruhi oleh pendekatan
residual dan medical model of disability sehingga menimbulkan
banyak tumpang-tindih dan stigmatisasi kepada penerima
manfaat. Penamaan ini juga menghambat kemungkinan
diakui dan diakomodasinya jenis-jenis ‘risiko sosial baru’
untuk dilayani. Oleh karena penanganan masalah sosial ini
selalu bertumpu penerima manfaat yang sudah terpapar,

78 Laporan Hasil Penelitian


maka pembangunan kesejahteraan sosial tidak pernah bisa
menyentuh akar masalahnya.
Penyebutan sebagai penyandang masalah, masih berkesan
bahwa pembangunan kesejahteraan sosial adalah hanya
merupakan usaha kuratif atas orang yang sudah terkena
masalah. Penyebutan ini masih seperti warisan dari awal
dirintisnya Kementerian Sosial yang hanya menangani
korban perang. Masalah sosial terus berubah, seiring dengan
perkembangan zaman. Untuk Negara yang menganut sistem
kesejahteraan, maka mestinya juga memikirkan orang yang
rentan. Pembangunan sosial mestinya merupakan usaha
preventif, yang berupaya mencegah terjadinya masalah.
Untuk itu, maka perlu sentuhan yang bersifat pemberdayaan.
Meskipun demikian, upaya pemberdayaan dan upaya
perlindungan sosial dapat berjalan seiring. Pembangunan
kesejahteraan sosial yang bersifat perlindungan dimaksud
tetap menempatkan seluruh warga Negara mendapatkan
perlindungan dari Negara.
Pengalaman menunjukkan, bahwa negara-negara yang
memiliki program perlindungan sosial (berlaku secara
nasional) cenderung memiliki posisi yang lebih baik dalam
mengatasi krisis, dibandingkan yang belum/tidak (Davies
dan McGregor, 2009). Peningkatan pengeluaran sosial dan
peningkatan system perlindungan sosial secara empiris
mampu meredam dampak di banyak negara (UNDESA,
2011). Bahkan, pada saat kondisi krisis sekalipun, sebenarnya
masih terbuka ruang (dan kesempatan) untuk merealisasikan
program perlindungan sosial universal. Hal ini untuk
mencapai kemajuan sosial yang inklusif, yang sejalan dengan
pembangunan berkelanjutan dan komitmen untuk mencapai
pembangunan ekonomi, sosial dan kelestarian lingkungan

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 79


(UNDESA, 2011). Pun demikian, perlindungan sosial juga
memainkan peran penting dalam memperkuat resiliensi anak-
anak, keluarga dan masyarakat dalam mencapai kesetaraan
yang lebih baik, dan dukungan terhadap pembangunan
manusia dan juga pembangunan ekonomi nasional (Winder
dan Yablonski, 2012).
2. Tantangan
ASEAN Declaration on Strengthening Sosial Protection 2013.
Deklarasi ini memfasilitasi tindakan nyata menuju peningkatan
kualitas, cakupan, dan keberlanjutan perlindungan sosial di
negara-negara anggota ASEAN, termasuk untuk menggali dan
mengembangkan alat penilaian dan indikator statistik regional
yang sesuai untuk mengukur secara holistik dan akurat
dampak perlindungan sosial terhadap kelompok rentan (The
ASEAN Secretariat, 2018).
Sustainable Development Goals 2015 – 2030. Pemimpin
dari 193 negara di dunia pada tahun 2015 berkumpul untuk
menghadapi masa depan, menciptakan rencana yang disebut
tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Mereka mengetahui
memiliki cukup makanan untuk memberi makan manusia di
dunia, tetapi itu tidak dibagikan. Mereka mengetahui ada obat
untuk HIV dan penyakit lain, tetapi harganya sangat mahal.
Mereka tahu bahwa gempa bumi dan banjir tidak dapat dihindari,
tetapi jumlah kematian yang tinggi tidak dapat dihindari. Maka
para pemimpin negara-negara di dunia tersebut, menyusun
rencana menetapkan 17 agenda yang dalam jangka 15 tahun
(2015-2030) akan menghilangkan kemiskinan dan kelaparan,
dan aman dari dampak terburuk perubahan iklim. Ketujuh belas
tujuan tersebut berkenaan dengan kemiskinan, kelaparan,
kesehatan dan kesejahteraan, pendidikan, kesetaraan
jender, air bersih dan sanitasi, energi, pekerjaan yang layak,

80 Laporan Hasil Penelitian


pertumbuhan ekonomi, industri, inovasi dan infrastruktur,
ketidaksetaraan, keberkelanjutan kota dan masyarakat,
konsumsi dan distribusi, iklim, air dan tanah, perdamaian,
keadilan, institusi yang kuat dan kemitraan (United National,
2015). Hal demikian dipertegas lagi oleh Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam Arah dan Strategi
Penanggulangan Kemiskinan 2020 – 2024; Menuju Indonesia
Bebas Kemiskinan (Bappenas, 2019). Ini merupakan estafet
ke 4 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) tahun 2020-2024, dengan tujuan untuk mewujudkan
masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur
melalui percepatan pembangunan di segala bidang dengan
struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan
kompetitif.
Globalisasi dan revolusi teknologi. Teknologi mengakibatkan
pergerakan orang, barang dan jasa berlangsung sangat cepat,
dan dipertegas dengan sarana transportasi dan komunikasi
digital. Teknologi terus menerus mengalami kemajuan seiring
dengan perkembangan pemikiran di tingkat global. World
Economic Forum pada 22-25 Januari 2019 mengadakan Annual
Meeting, di Davos-Klosters, Switzerland. Pada konvensi
tersebut dilakukan pembasan: power, community engagement,
insight generation, platform technology, untuk membentuk
kerangka kerja baru kerjasama global. Pertemuan fokus pada
konsekuensi strategis dari “Globalization 4.0” dan dampaknya
terhadap kerjasama global dan Fourth Industrial Revolution
(4IR) (Feby Novalius, 2019). Fourth Industrial Revolution
(4IR) adalah revolusi teknologi yang dapat mengubah ummat
manusia menjadi lebih baik. Manusia akan memperoleh
manfaat dari revolusi industri ini. Pekerjaan menjadi mudah,
target tercapai secara maksimal dan masif serta terjadi
penghematan waktu yang sangat besar. Manusia dengan robot

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 81


akan ” berteman” baik untuk menghasilkan sebuah barang
dan jasa tertentu. Di samping bermanfaat bagi manusia,
revoluasi teknologi juga membawa ekses dalam kehidupan
manusia. Kehangatan dalam relasi sosial akan sulit dijumpai
manakala manusia sudah menyatukan diri sepenuhnya
dengan teknologi, terjadinya dekadensi moral, perubahan
sikap dan perilaku hedonisme dan destruktif. Maka, revolusi
industri juga merupakan revolusi sosial inheren, karena baik
masyarakat maupun teknologi menjadi semakin erat. Ini
berarti bahwa orang, dengan segala keyakinan, nilai, persepsi,
aspirasi, keinginan, ketakutan dan kerinduan, adalah bagian
integral dari bagaimana revolusi itu akan berlangsung.
Situasi yang berubah-ubah (Volatility), Ketidakpastian
(Uncertainity), Kompleksitas (Complexity), Ambiguitas
(Ambiguity)/VUCA, adalah situasi yang dibawa oleh globalisasi
dan revoluasi teknologi (U.S. Army Heritage and Education Center,
2018). Teknologi, desentralisasi, kebangkitan aktor-aktor dari
non-pemerintah dan faktor-faktor lain telah mempercepat
kebangkitan VUCA di setiap domain. Tantangannya adalah
bagaimana sektor publik agar tetap gesit dan bisa melewati krisis
dengan mulus. Ketika ekonomi manufaktur zaman industri
diubah menjadi ekonomi digital dari era informasi, maka
organisasi sektor publik menghadapi banyak sekali tekanan baru
yang semakin meningkat. Kita merasakan tekanan “do more with
less”, untuk mengatasi berbagai masalah yang kompleks dan terus
berkembang, serta untuk mengatasinya lebih cepat daripada
sebelumnya. VUCA yang menyusup ke semua dimensi kehidupan
manusia, menyebakan kita adanya ‘perubahan yang melelahkan’.
Sepertinya ada rentetan prakarsa perubahan terus-menerus satu-
demi-satu yang tiada henti. Untuk mengatasi hal ini, dibutuhkan
pergeseran pikiran seismik dari change management kepada

82 Laporan Hasil Penelitian


pendekatan platform perubahan itu sendiri yang tentunya harus
lebih gesit dan lebih cepat. Dalam merespons situasi VUCA
sebagaimana disebutkan diatas, perlu dilawan dengan VUCA
juga. Namun VUCA dalam hal ini adalah VUCA Skills (Johansen,
2019), yang meliputi Vision (visi), Understanding (pemahaman),
Clarity (jelas) , dan Agility (lincah/gesit).
Konsep Anthropocene didasarkan pada asumsi,
bahwa karena efek peningkatan jumlah penduduk dan
perkembangan ekonomi di lingkungan global, manusia
dianggap sebagai faktor geologis dan geobiologis utama di
bumi. Perubahan yang disebabkan oleh manusia dalam
sistem bumi memiliki dampak yang mendalam dengan durasi
panjang, sehingga orang dapat berbicara tentang ‘zaman baru’
dalam sejarah bumi. Anthropocene memberikan perspektif
yang lebih komprehensif dengan memperhatikan semua
dampak yang mungkin terjadi dari tindakan manusia di masa
lalu, sekarang, dan yang akan datang. Saat ini, para pakar
lingkungan memandang konsep ini sebagai pendekatan yang
baik untuk menggabungkan tindakan perlindungan dengan
strategi mitigasi dan adaptasi dalam menghadapi perubahan
global dan regional. Karakteristik kunci Anthropocene adalah
dampak yang signifikan pada geologi dan ekosistem yang akan
mengancam kelangsungan hidup manusia di bumi. Kita telah
banyak berhasil memanfaatkan energi penggunaan batubara,
minyak bumi, dan nuklir, tetapi energi yang dihasilkan
tidak ramah lingkungan. Di negara-negara berkembang
cenderung menggunakan bahan bakar yang lebih murah,
cepat, dan merusak lingkungan, daripada alternatif yang
ramah lingkungan. Manusia dewasa ini telah mengubah cara
menggunakan bahan bakar fosil, di mana pemakainnya tanpa
memikirkan konsekuensi jangka-panjang. Tiga abad yang

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 83


lalu kita melihat bahwa tidak ada polusi dalam jumlah besar
dibandingkan dengan saat ini dan itu sama dengan deforestasi.
Perubahan struktur usia penduduk dapat memberikan
stimulus bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan.
Kondisi demografis Indonesia saat ini sudah matang
untuk mengambil keuntungan dari “demographic bonus”
atau “demographic dividend’. Faktanya, kondisi yang
menguntungkan telah terjadi selama beberapa waktu, tetapi
peluang akan mulai menutup setelah satu dekade atau lebih.
Jika kita ingin memperoleh manfaat dari kondisi demografis
(bonus demografi), maka pemerintah hendaknya memastikan,
bahwa kondisi dan kebijakan pendukung tertentu sudah ada
dan beroperasi secara efektif.
Berkaitan dengan struktur usia penduduk Indonesia, di
mana 73 persen berada pada usia sangat produktif, bahwa
pembangunan manusia di Indonesia terus mengalami
kemajuan. Pada tahun 2017, Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) Indonesia mencapai 70,81 (BPS, 2017). Angka ini
meningkat sebesar 0,63 poin atau tumbuh sebesar 0,90 persen
dibandingkan tahun 2016.  Meskipun demikian, IPM Indonesia
tersebut masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara
lain. Untuk itu, investasi sosial dalam rangka membangun SDM
(termasuk SDM bidang Kesos) yang berdaya saing hendaknya
tetap menjadi prioritas nasional.
Generasi Milenial mendominasi segalanya dalam beberapa
tahun mendatang, sebagaimana Baby Boomer dalam tiga
dekade terakhir. Milenial adalah generasi yang paling banyak
dipelajari dan dibicarakan orang saat ini. Mereka adalah
generasi pertama dalam sejarah yang berkembang penuh
dalam dunia teknologi digital, membentuk identitas mereka
dan menciptakan sikap politik, sosial dan budaya yang

84 Laporan Hasil Penelitian


berbeda dengan generasi sebelumnya. Seperti setiap generasi
lainnya, generasi milenial menampilkan sifat-sifat umum dan
unik yang membuat mereka berbeda dari pendahulunya.
Kondisi geografi Indonesia masih banyak yang sulit dijangkau
dengan moda transportasi apapun seperti: pulau-pulau kecil,
pulau terluar dan perbatasan antar negara. Penduduk di
lokasi-lokasi tersebut banyak yang belum memperoleh akses
terhadap program pemerintah, sehingga mereka itu hidup
dalam kondisi marginal. Untuk memenuhi kebutuhan dasar
dan pelayanan sosial, mereka tidak sedikit yang melakukan
transaksi dengan warga negara lain. Hal ini membuka
kemungkinan tumbuh dan berkembangnya permasalahan
sosial antar negara. Berkaitan dengan kondisi geografi, pada
Potensi Desa (Podes) 2018 terdapat Indeks Pembangunan
Desa (IPD) yang merupakan satuan untuk menunjukkan
tingkat perkembangan desa dengan tiga status, yaitu
tertinggal, berkembang, dan mandiri. Suatu desa ditetapkan
sebagai desa tertinggal berdasarkan kriteria perekonomian
masyarakat, sumber daya manusia, sarana dan prasarana,
kemampuan keuangan, aksesibililitas dan karakterisitik desa.
Melalui Podes 2018, kemudian dikategorikan IPD menjadi tiga
dan diperoh data desa tertinggal sebanyak 14.461 desa (19,17
persen), desa berkembang sebanyak 55.369 desa (73,4 persen),
dan desa mandiri sebanyak 5.606 desa (7,43 persen). Desa
tertinggal tersebut tersebar di 122 kabupaten (BPS, 2018). Data
tersebut menunjukkan, bahwa masih banyak permasalahan
kesejahteraan sosial yang dihadapi pemerintah, dan hal ini
tentu akan membebani keuangan negara. Kondisi geografi
ini juga memengaruhi sistem informasi berbasis teknologi.
Banyak wilayah di Indonesia yang masih blankspot, sehingga
penduduk di wilayah itu terhambat memperoleh informasi dan
mengakses berbagai pelayanan. Terjadi disparitas yang cukup

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 85


signifikan, antara penduduk di wilayah yang sudah memiliki
jaringan sistem informasi, dengan penduduk di wilayah lain.
Program kesejahteraan sosial yang didesain berbasis teknologi
(mis, bantuan sosial non tunai), belum menjangkau warga
masyarakat yang berada di wilayah tanpa jaringan informasi.
Kondisi geologi Indonesia menempatkan Indonesia
sebagai negara yang akrab dengan bencana alam, seperti:
gunung api, likuifaksi, tsunami dan gempa bumi. Jenis
bencana tersebut ditambah dengan tanah lonsor dan banjir
akibat kesalahan pengelolaan lingkungan hidup. Kesalahan
pengelolaan lingkungan hidup juga mengakibatkan terjadinya
pemanasan global, dan perubahan iklim secara ekstrem
yang menyebabkan gelombang pasang dan banjir bandang
menyebabkan kerugian sangat besar dan berlangsung
dalam waktu lama bagi manusia. Bencana-bencana tersebut
memerlukan manajemen mitigasi dan pengendalian risiko
bencana yang adaptif dengan dukungan sumber daya manusia
(SDM Kesos) yang profesional.
Masyarakat Indonesia hidup dalam keragaman suku, ras
dan budaya yang merupakan warisan leluhur. Keragaman
tersebut menjadi modal sosial yang besar dalam memperkokoh
kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Kondisi ini sekaligus menyemai
benih-benih konflik sosial, ketika hak-hak masyarakat
atas identitas dan budayanya tersebut tidak memperoleh
pengakuan dan perlindungan dari pihak lain. Oleh karena itu,
menghendaki pendekatan budaya, atau tidak menasionalisasi
pendekatan dalam mendistribusikan pelayanan sosial.
Kolaborasi, negosiasi dan pertukaran sumber daya
dalam implementasi kebijakan kesejahteraan sosial pada
tingkat Pusat, Pusat dengan Daerah maupun di tingkat

86 Laporan Hasil Penelitian


Daerah, sampai saat ini belum dapat diselenggarakan secara
optimal. Ada kesan kuat, bahwa masing-masing instansi
pada semua tingkatan “merasa mampu” bekerja sendiri-
sendiri dengan sumber daya dan instrumen yang dikuasai.
Padahal, sumber daya dan instrumen yang dikuasai itu tidak
cukup menghadapi kompleksitas permasalahan sosial yang
domainnya senanatiasa beririsan pada beberapa instansi.
Perilaku birokrasi yang demikian ini tentu tidak akan efektif
dalam kerangka pembangunan berkelanjutan.
Sistem informasi antara Pusat dengan Daerah belum
dibangun dengan baik, sehingga masih terjadi pemahaman
yang tidak sama antara dua pihak. Masih terjadi, di mana
daerah berupaya mencari tafsir sendiri terhadap regulasi yang
disusun Pusat (Kementerian Sosial) berdasarkan kapasitas
nalarnya. Terjadinya keterlambatan pelaporan kegiatan,
kesalahan adminisrtasi pertanggungjawaban, program tidak
terealisasi dan lain-lain, ditengarai dari sistem informasi yang
tidak optimal ini.
Perilaku birokrasi di Pusat maupun di Daerah yang tidak
efektif juga terjadi dengan badan usaha dan organisasi
masyarakat sipil. Hal ini terjadi karena birokrasi merasa paling
mengetahui dan merasa paling mampu untuk menangani
semua permasalahan sosial yang ada di masyarakat. Maka
sumber daya pada badan usaha dan organisasi masyarakat
sipil di bidang kesejahteraan sosial tidak optimal, karena
persoalan administratif maupun sosiologis. Intinya, bahwa ada
perilaku birokrasi saat ini yang menekan hadirnya partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Program Kementerian Sosial dengan pendekatan bantuan
sosial, pada akhirnya menjadi bumerang bagi Kementerian
Sosial sendiri. Masyarakat sebagai penerima program

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 87


kesejahteraan sosial atau Kelompok Penerima Manfaat
(KPM), menjadi bergantung pada bantuan sosial tersebut, dan
tidak merasa berdaya ketika exit program. Tentu ini menjadi
dasar untuk mengembangkan pendekatan baru yang mampu
membantu KPM semakin berdaya setelah menerima program.
Pekerjaan Sosial Fungsional dan Penyuluh Sosial
Fungsional, belum memiliki daya tarik bagi pegawai di
instansi sosial Daerah. Bahkan sebagian dari mereka memilih
untuk melepaskan jabatan fungsional tersebut karena
dirasa kurang menguntungkan sebagai pilihan karier. Tidak
berkembangnya dua jabatan fungsional yang menjadi urusan
Kementerian Sosial tersebut tentu menjadi persoalan, karena
dapat memengaruhi distribusi pelayanan sosial di masyarakat.
Hal demikian diperkuat hasil penelitian Habibullah dkk
(2018), dimana memang kedua jabatan fungsional dalam
lingkup pembinaannya oleh Kementerian Sosial tersebut
kurang mendapat respon minat dari kalangan Aparatur
Sipil Negara (ASN). Walaupun telah dikeluarkan kebijakan
tentang Impassing Pegawai Negeri Sipil ke Jabatan fungsional,
khususnya Jabatan Fungsional Pekerja Sosial dan Jabatan
Fungsional Penyuluh Sosial.
Otonomi Daerah dimaksudkan untuk mendekatkan
berbagai pelayanan yang disediakan oleh negara kepada warga
negaranya. Kebijakan ini tidak akan dapat diwujudkan apabila
tidak ada komitmen Daerah. Pada saat ini masih berkembang
isu yang menandai ada tidaknya komitmen Daerah, dan ini
menjadi tantangan tersendiri terkait distribusi pelayanan
sosial. Berbagai isu dimaksud, seperti: politisasi program,
instansi sosial belum didukung sumber daya manusia (SDM
Kesos) yang memadai, sasaran program tidak tepat, program
berorientasi pada kepentingan, implementasi pembagian

88 Laporan Hasil Penelitian


kewenangan Pusat – Daerah dan rendahnya komitmen
pemerintah Daerah. Rendahnya komitmen pemerintah Daerah
dapat ditengarai dari sebagian besar pemerintah Daerah belum
memiliki regulasi penyelenggaraan kesejahteraan sosial,
rendahnya alokasi APBD untuk program kesejahteraan sosial,
penempatan SDM tidak mempertimbangkan pendidikan,
pengisian formasi dan dukungan terhadap pekerja sosial dan
penyuluh sosial fugsional.
Bidang Sosial (Kesejahteraan Sosial) merupakan salah
satu urusan wajib pemerintah daerah, dan tentunya menjadi
proiritas pembangunan daerah. Faktanya, masih ada pemikiran
pada elite di Daerah, bahwa bidang kesejahteraan sosial
tidak memberikan dampak langsung terhadap petumbuhan
ekonomi, sehingga belum ditempatkan sebagi prioritas
program. Meskipun perataruran perundang-undangan dan
Standar Pelayanan Minimal telah disiapkan oleh Kementerian
Sosial, tetapi masih banyak Daerah yang belum memberikan
respon yang menggembirakan.
Data kemiskinan dan PMKS lain perlu tersedia secara valid
untuk menghasilkan sebuah kebijakan kesejahteraan sosial
dan rencana intervensi sosial yang tepat. Isu yang terkait
dengan data saat ini adalah akurasi data, validasi dan verifali,
kualitas SDM pengelola data dan manajemen pengelolaan
data, serta unit organisasi pengelola data di Pusat. Berbagai
isu tersebut sebenarnya lebih tepat disebut sebagai ‘masalah’,
karena terus menerus disuarakan oleh mitra kerja, klien/KPM
dan pihak-pihak terkait lainnya.
Masyarakat merupakan subyek/pelaku utama dalam
paradigma pembangunan berkelanjutan. Di masyarakat
masih terlembaga dengan baik nilai, norma dan kearifan
lokal, meskipun ada gejala-gejala mengalami pelemahan.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 89


Penempatan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan
menghendaki sumber daya manusia dengan kapasitas
yang baik. Faktanya, masih banyak sumber daya manusia di
masyarakat yang belum memiliki kapasitas yang memadai
sebagai pelaku utama pembangunan. Hal ini merupakan
bagian dari investasi sosial dalam Pembangunan Sosial.
Investasi sosial ini sebe4narnya merupakan bagian dari
bidang praktik dalam Pekerjaan Sosial, dimana hal ini
merupakan merupakan strategi investasi sosial (Conley,
2010). Rendahnya sumber daya manusia di masyarakat, dapat
diketahui dari rata-rata lama pendidikan di Indonesia adalah
7,6 tahun. Artinya, rata-rata masyarakat Indonesia tidak lulus
SMP. Pada tahun 2010, hanya 7,2 persen masyarakat yang
lulus pendidikan tinggi, 22 persen pendidikan menengah
dan sisanya berpendidikan dasar. Data ini menunjukkan,
bahwa rata-rata pendidikan penduduk Indonesia masih
jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain.
Padahal, suatu negara bisa dikatakan maju apabila 40 persen
penduduknya berpendidikan tinggi 30 persen, berpendidikan
menengah dan 20 persen berpendidikan dasar.
Pada 2018, jumlah angkatan kerja sebanyak 131,01 juta
orang, dan penduduk yang bekerja sebanyak 124,01 juta orang.
Dari jumlah penduduk yang bekerja tersebut, sebanyak 70,49
juta orang (56,84 persen) bekerja pada kegiatan informal.
Tingkat  Pengangguran Terbuka (TPT) per Februari 2019
masih cukup tinggi, yaitu sebesar 5,01 persen. Penggangguran
yang tinggi dan tidak dapat diatasi, tentu akan menjadi penyebab
lahirnya permasalahan sosial (BPS, 2018).
Berbagai tantangan dalam penyelenggaraan kesejahteraan
sosial tersebut di atas, perlu tanggapan dengan cepat oleh
pemerintah (Kementerian Sosial) yang melibatkan para

90 Laporan Hasil Penelitian


pemangku kepentingan. Pada konteks ini, maka kolaborasi
dan pertukaran sumber daya antara pemerintah dengan
para pemangku kepentingan, merupakan kata kunci untuk
menemukan solusi yang tepat.
3. Prospek
Program pembangunan kesejahteraan sosial diutamakan ke
kegiatan preventif, promotif, dan developmental yang bersifat
suistainable serta terkoneksi dengan program Suistanable
Development Goals (SDGs). Hal ini mendorong pergeseran
pembangunan kesejahteraan sosial dari pendekatan residual
kepada pendekatan developmental yang memprioritaskan
pelayanan pencegahan pada basis keluarga, komunitas dan
masyarakat pada tingkat desa/kelurahan, kecamatan dan
kabupaten/ kota dengan tujuan untuk mencegah muncul
dan berkembangnya ‘risiko sosial baru’ maupun ‘risiko
sosial lama’. Pendekatan pemberdayaan sebaiknya menjadi
pendekatan utama dalam penyelenggaraan kesejahteraan
sosial. Pendekatan ini akan mengantarkan penerima program
lepas dari ketergantungan dan siap hidup secara mandiri di
masyarakat.
Pendekatan pemberdayaan memberikan kesempatan
yang luas kepada penerima program untuk berpartisipasi di
dalam tahapan dan pelaksanaan program, dilakukan dengan
berbasis pada kearifan lokal dan potensi wilayah dalam
rangka peningkatan kondisi ekonomi masyarakat. Pendekatan
pemberdayaan mempunyai prospek diselenggarakan secara
kolaboratif antara pemerintah, swasta dan masyarakat.
Optimalisasi peran relawan dan potensi sumber kesejahteraan
sosial dengan Kementerian Sosial tidak melaksanakan
secara langsung program pemberdayaan tetapi lebih kepada
pembuatan regulasi, kebijakan dan standar prosedur kerja

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 91


yang berkaitan dengan program pemberdayaan sosial.
Strategi pemberdayaan dilakukan dalam lingkup kecil dan
memperhatikan kearifan lokal, dengan melakukan penguatan
kelembagaan masyarakat sampai struktur paling rendah/
bawah (RT/Dusun/Nagari).
Perlunya merumuskan regulasi baru untuk mendukung
pergeseran paradigma pembangunan kesejahteraan sosial dari
residual kepada developmental dan regulasi yang mendorong
investasi sosial. Regulasi ini mendorong partisipasi masyarakat
pada tingkat komunitas dalam pembangunan kesejahteraan
sosial. Khususnya dalam berbagai upaya pencegahan atas
kemungkinan munculnya ‘risiko sosial lama’ maupun ‘risiko
sosial baru’, termasuk ekses dari perkembangan teknologi.
Hal serupa didapat dari survey online yang menyatakan
Kementerian Sosial RI perlu menangani permasalahan sosial
baru sehubungan dengan perkembangan teknologi. Dari 3.934
responden sebanyak 59,81 persen setuju dan 31,09 persen
sangat setuju
Diagram 3.14. Permasalahan Sosial Baru sehubungan
dengan Perkembangan Teknologi

Sumber : Hasil Penelitian, 2019

Pencegahan perlu memperoleh perhatian besar di dalam


arah kebijakan dan program Kementerian Sosial. Pencegahan

92 Laporan Hasil Penelitian


agar tidak terjadi dan meluas permasalahan sosial dapat
dilakukan dengan memberdayakan potensi dan sumber
yang ada di masyarakat akar rumput. Dari 3.934 responden
sebanyak 49,49 persen setuju dan 44,91 persen sangat setuju
Pencegahan lebih diutamakan dalam penanganan masalah
sosial  (kemiskinan, keterlantaran, gelandangan, cacat/
disabilitas, jompo/lansia, korban bencana).
Diagram 3.15. Pencegahan lebih diutamakan
dalam pencegahan Masalah Sosial

Sumber : Hasil Penelitian, 2019

Sehubungan dengan itu, maka kader-kader penyuluh


sosial masyarakat perlu dihadirkan bersama dengan potensi
dan sumber kesejahteraan sosial yang lain untuk melakukan
pencegahan. Optimalisasi peran potensi dan sumber
kesejahteraan sosial (Karang Taruna, Pekerja Sosial Masyarakat,
Taruna Siaga Bencana, dan Penyuluh Sosial Masyarakat) dalam
pembangunan kesejahteraan sosial. Masyarakat terutama
komunitas perlu diberikan kepercayaan dan didorong untuk
lebih bertanggung jawab. Komunitas memiliki berbagai
indikator keberhasilan pembangunan kesejahteraan sosial
sesuai dengan persepsi dan kepentingan komunitas. Intervensi
pemerintah lebih diarahkan dan ditekankan pada peningkatan
capacity building dan investasi sosial.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 93


Merumuskan kembali sistem rekrutmen dan metode
pelatihan pendamping untuk mendapatkan pendamping sosial
yang kompeten sehingga bisa memberikan pendampingan
pada program pengentasan kemiskinan dan PMKS yang lain.
Rekrutmen pendamping sosial dari orang-orang dengan
latar belakang pendidikan pekerjaan sosial dan/atau non
pekerjaan sosial. Rekruitmen pendamping sosial melibatkan
Dinas Sosial kabupaten/kota dengan mengedepankan
prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas. Dalam rangka
melakukan integrasi program, maka diperlukan sinergitas
antar pendamping sosial (PKH, BPNT, Desa, dll) melalui
Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT).
Pilar-pilar partisipan masyarakat perlu diberikan
pengetahuan dan keterampilan serta teknologi dalam rangka
meningkatkan ketahanan sosial keluarga dan komunitas
dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Pernyataan ini
diperkuat oleh hasil survey online yang menyatakan bahwa
dari 4.302 responden sebanyak 53,63 persen setuju dan
42,91 persen sangat setuju bahwa salah satu terobosan baru
tersebut adalah peningkatakan kapasitas individu, keluarga,
komunitas, masyarakat, dan lembaga kesejahteraan sosial
Diagram 3.16. Terobosan Baru dalam peningkatan
kapasitas individu, keluarga, komunitas, masyarakat
dan Lembaga Kesejahteraan Sosial

Sumber : Hasil Penelitian, 2019

94 Laporan Hasil Penelitian


Diperlukan adanya penguatan nilai-nilai sosial budaya
lokal yang mendukung pencapaian tujuan pembangunan
kesejahteraan sosial yang disesuaikan dengan kondisi
setempat. Pelatihan dan bimbingan teknis bagi pekerja sosial
dan penyuluh fungsional di Dinas Sosial provinsi dan Dinas
Sosial kabupaten/kota, sehingga mereka dapat terus berkarier
di jabatan fungsional tertentu.
Mengoptimalkan balai besar pendidikan dan pelatihan
(Diklat) kesejahteraan sosial sebagai pusat pengembangan
kapasitas sumber daya manusia kesejahteraan sosial di daerah.
Diklat melalui model e-learning dapat dikembangkan dengan
dukungan SDM dan peralatan yang memadai. Melalui model
ini setiap SDM kesos daerah akan mendapatkan kemudahan
mengakses pengetahun baru yang berkaitan dengan bidang
kesejahteraan sosial. Selain sebagai pusat diklat, balai besar
diklat ke depan ditingkatkan fungsinya sebagai penghubung
antara Kementerian Sosial dengan pemerintah daerah di
wilayah regional.
Pembangunan kesejahteraan sosial perlu dilaksanakan
secara terpadu dengan prinsip ketuntasan. Keterpaduan
dimaksud, bahwa pada tahap perencanaan dan pelaksanaan
ditetapkan sasaran dan wilayah yang dikoordinasikan bersama
secara lintas program. Kemudian ketuntasan dimaksud
bahwa pada satu keluarga dapat diberikan beberapa program
bagi ayah, ibu dan anak disesuaikan dengan kebutuhan.
Hal tersebut sesuai dengan hasil survey online dari 4.302
responden sebanyak 58,81 persen setuju dan 34,40 persen
sangat setuju untuk menyatukan pembangunan ekonomi
dan sosial diperlukan terobosan baru agar tidak membebani
negara.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 95


Diagram 3.17. Menyatukan pembangunan ekonomi
dan sosial diperlukan terobosan baru agar
tidak membebani masyarakat

Sumber : Hasil Penelitian, 2019

Sistem rehabilitasi sosial berbasis masyarakat dengan


mengedepankan peran kelembagaan adat dan agama.
Pendekatan developmental bisa dilakukan pada sistem
rehabilitasi sosial dengan melibatkan semua pihak, keluarga
selaku family support. Program dan bantuan sosial dari
pemerintah maupun dari dunia usaha, berbasis pada keluarga,
dengan melaksanakan pembinaan dan penguatan keluarga
menjadi fondasi dasar dalam menanggulangi masalah sosial.
Pendekatan pemberdayaan mengutamakan pengembangan
kapasitas dan peningkatan pendapatan penerima program.
Oleh karena itu, Kementerian Sosial RI perlu mengalokasikan
sumber dayanya dalam pengembangan kapasitas penerima
program dalam bentuk pelatihan, bimbingan teknis atau
magang kerja.Kondisi ini sesuai dengan hasil survey online
dari 3.934 responden sebanyak 58,90 persen menyatakan
dan bahkan 37,11 persen menyatakan sangat setuju dengan
Peran Kementerian Sosial RI ke depan lebih berorientasi
pada penguatan masyarakat untuk menangani masalah sosial.

96 Laporan Hasil Penelitian


Mengikuti alur pemikiran bahwa penetapan kebijakan
berbasis riset, maka penyusunan program ditetapkan dari
hasil assesmen. Selanjutnya pendanaan mengikuti program,
bukan sebaliknya.
Diagram 3.18. Peran Kementerian Sosial kedepan
lebih berorientasi pada penguatan masyarakat
untuk menangani masalah sosial

Sumber : Hasil Penelitian, 2019

Pendanaan dari sebuah program, dapat melibatkan dunia


usaha dan masyarakat pada umumnya. Badan pengelola zakat,
infaq dan sodaqoh bisa berpartisipasi dalam program bagi
masyarakat. Sedangkan bantuan keuangan dari pemerintah
(dana desa/kelurahan) sebaiknya dapat digunakan untuk
mengatasi masalah sosial. Hal tersebut diperkuat dengan
hasil survey online dari sebanyak 4.302 responden sebesar
51,93 persen setuju dan 37,54 persen sangat setuju bantuan
keuangan dari pemerintah (dana desa/kelurahan) sebaiknya
dapat digunakan untuk mengatasi masalah sosial.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 97


Diagram 3.19. Bantuan Keuangan dari Pemerintah
Dana Desa/Kelurahan sebaiknya dapat digunakan
untuk mengatasi masalah sosial

Sumber : Hasil Penelitian, 2019

Mengembangkan bisnis sosial dengan memanfaatkan


kemajuan teknologi komunikasi dan informasi membuka
peluang bagi masyarakat secara individu, keluarga dan
komunitas untuk berpartisipasi dan berkolaborasi dalam
pembangunan kesejahteraan sosial. Perlu ada jejaring
kelembagaan lokal sehingga membentuk sebuah sistem
jaringan kerja dan mampu memberikan kontribusi dalam
pelayanan sosial di tingkat lokal. Kearifan lokal akan sangat
berperan dalam pemberdayaan sosial. Pelibatan masyarakat
seperti di Yogyakarta dengan “sistem gandeng gendong”.
Pelibatan banyak pihak dalam pengentasan masalah dan
pemberdayaan masyarakat. Dalam prakteknya menggandeng
pihak dunia usaha dan masyarakat mampu untuk menggandeng
masyarakat lemah, akan dapat mewujudkan kesetiakawanan
sosial serta penguatan yang lemah. Pembagian peran (sektor
publik, sektor swasta, sektor organisasi masyarakat sipil)
sebagai delivery service system untuk memberikan pelayanan
sosial dengan cara-cara lebih efisien, efektif, cepat, tepat,
tanggap, transparan, akuntabel dan berkelanjutan.

98 Laporan Hasil Penelitian


Kementerian Sosial perlu melakukan perubahan mendasar
pada arah kebijakan dan strategi, dari bertindak reaktif,
menuju kebijakan dan strategi yang responsif terhadap
dinamika yang berkembang di masyarakat karena perubahan
di tingkat nasional maupun global. Peningkatan anggaran
dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK) sehingga Dinas
Sosial memiliki keleluasaan dalam mengelola program dan
anggaran untuk program kesejahteraan sosial. Memperkuat
sistem koordinasi pusat dengan daerah untuk mendorong
respon daerah terhadap kebijakan dan program Kementerian
Sosial RI. Kementerian Sosial perlu melakukan sosialisasi
kepada daerah tentang arah baru kesejahteraan sosial agar
memiliki pemahaman yang tepat terkait kebijakan dan
program kesejahteraan sosial.
Kementerian Sosial diharapkan mendorong pemerintah
daerah untuk menerbitkan regulasi tentang penyelenggaraan
kesejahteraan sosial. Seiring dengan terjadinya permasalahan
kesejahteraan sosial yang cenderung kompleks, maka
Kementerian Sosial perlu mengembangkan kebijakan
(Peraturan Menteri Sosial RI) dalam kerangka sinergitas antara
instansi sosial, badan usaha dan CSO, baik di pusat maupun di
daerah. Berdasarkan kebijakan itu, maka daerah juga sebaiknya
memiliki regulasi sebagai turunannya, yang mengatur secara
spesifik sesuai dengan kondisi daerah masing-masing.
Kementerian Sosial RI sebagai penanggung jawab
pembangunan kesejahteraan sosial berperan sebagai policy
maker, regulator, pemantau dan evaluator dan auditor.
Sedangkan peran sebagai operator sebagian besar diserahkan
kepada pemerintah daerah, lembaga kesejahteraan sosial,
organisasi sosial kemasyarakatan, dan unit pelayanan teknis.
Pergeseran peran ini membawa implikasi pada reorganisasi

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 99


instansi bersangkutan. Adanya peluang lebih besar bagi
instansi penanggung jawab pembangunan kesejahteraan
sosial untuk meningkatkan peranannya kepada kolaborasi
dan negosiasi untuk mendorong partisipasi lebih besar dari
pemerintah daerah, sektor swasta dan CSO.
Perubahan dari dua peran (regulator dan operator) menjadi
satu peran sebagai regulator, menghendaki pelimpahan
pembiayaan penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Sehubungan dengan itu, maka distribusi anggaran melalui
Dana Alokasi Khusus (DAK) ke Dinas Sosial Kabupaten/
Kota merupakan konsekuensi yang harus dipenuhi oleh
Kementerian Sosial. Kementerian Sosial juga dituntut
untuk mengontrol pemerintah daerah dalam pelaksanaaan
pembangunan kesejahteraan sosial dengan cara memberikan
sanksi dan penghargaan kepada daerah.
Kementerian Sosial sudah menetapkan Peraturan Menteri
Sosial No. 9 tahun 2018 tentang standar teknis pelayanan
dasar pada Standar Pelayanan Minimal Bidang Sosial di
daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota, namun untuk
penerapannya diperlukan asistensi ke daerah agar SPM
dapat dicapai. Kementerian Sosial berkomitmen untuk
melaksanakan mandat peraturan perundang-undangan terkait
dengan PMKS yang menjadi sasaran program kesejahteraan
sosial. Struktur organisasi di Kementerian Sosial yang
menjadi rujukan penyusunan struktur organisasi di daerah,
sebaiknya mewadahi semua PMKS yang sudah dimandatkan
oleh peraturan perundang-undangan. Kesesuaian struktur
organisasi pusat dengan daerah ini merupakan salah satu
komponen yang mendukung pencapaian tujuan program
kesejahteraan sosial secara optimal.

100 Laporan Hasil Penelitian


Kementerian Sosial bersama-sama dengan Badan Pusat
Statistik (BPS) merumuskan kembali indikator kemiskinan,
dengan mempertimbangkan karakterisitik wilayah dan
sosial budaya penduduk Indonesia di wilayah barat dan
timur. Indikator kemiskinan perlu mengakomodasi indikator
lokal, sehingga dapat memotret kemiskinan di masyarakat.
Indikator kemiskinan disesuaikan dengan kondisi daerah
masing-masing. Dalam mengatasi permasalahan sosial agar
tidak sentralistik, disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi
masyarakat setempat. Pendekatan bantuan dalam menangani
kemiskinan dan permasalahan sosial lain sebaiknya diperkecil,
karena tidak sesuai dengan filosafi intervensi pekerjaan sosial
“help people, help themselve”.
Diagram 3.20. Bantuan Sosial dari Pemerintah sebaiknya
terus dilakukan tanpa ada pelatihan keterampilan

Sumber : Hasil Penelitian, 2019

Bantuan sosial diperlukan untuk orang-orang dalam


kondisi kedaruratan sosial atau situasi kritis dan bersifat
sementara atau jangka pendek. Hal tersebut sesuai dengan
hasil survey online dari 4.302 responden menyatakan bahwa
34,52 persen sangat tidak setuju dan 35,63 persen tidak setuju.
Persyaratan penerima program mempertimbangkan kondisi

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 101


geografis dan karakteristik sosial budaya masyarakat, sehingga
dimungkinkan ada kebijakan atau diberlakukan persyaratan
khusus untuk masyarakat tertentu.
I. Perlu dilakukan kajian tentang bagaimana mengidentifikasi
dan mendefinisikan ‘risiko sosial baru’ untuk mendukung
pelayanan pencegahan. Puslitbang kesejahteraan sosial
diharapkan mengambil peranan yang besar dalam
merumuskan kebijakan sosial ini. Perlunya interagency
meeting, agar bisa merumuskan kebijakan sosial yang
komprehensif dan partisipatif.
II. Prioritas yang perlu ditangani Kementerian Sosial RI di
masa mendatang menurut hasil survey online tampak
kemiskinan menjadi prioritas. Secara berurutan dapat
dilihat pada diagram 3.21
Diagram 3.21. Prioritas yang perlu ditangani
Kementerian Sosial

Sumber : Hasil Penelitian, 2019

102 Laporan Hasil Penelitian


Bab

IV PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan
bahwa:
1. Program Pembangunan Kesejahteraan Sosial masih
bersifat parsial, dan belum memiliki indikator outcome
dan dampak yang dapat diukur.
2. Pendekatan residual dalam pembangunan kesejahteraan
sosial tidak mampu mengantisipasi “risiko sosial baru”,
karena intervensinya bersifat reaktif dan tidak proaktif
3. Pemberdayaan masih dimaknai sebagai proyek,
bukan sebagai pemberdayaan yang sesungguhnya dan
menyebabkan ketergantungan masyarakat
4. Pembentukan KUBE pada kenyataannya melemahkan
modal sosial karena penunjukan didasarkan pada
kesamaan marga, kerabat, dan kedekatan wilayah.
5. Kementerian Sosial menjalankan peran sebagai regulator
sekaligus operator sehingga bebannya sangat berat.
6. Masih banyak badan usaha yang menjalankan CSR
berdasarkan visi dan misinya sendiri, lepas dari target /
tujuan yang ditetapkan Pemerintah.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 103


7. Komitmen Pemerintah Daerah (Dinsos) masih sangat
rendah dalam implementasi program pembangunan
kesejahteraan sosial.
8. Model pemberdayaan kelompok rentan dan mereka yang
membutuhkan perlakuan khusus harus disesuaikan
dengan kondisi penerima manfaat. Bantuan sosial
belum sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas
dan hanya sebatas untuk pemenuhan kebutuhan dasar
yang kadang tidak sesuai dengan kondisi lokal.
9. Pemberian bantuan sosial selama ini tidak memandirikan
rumah tangga miskin bahkan menyebabkan
ketergantungan pada bantuan sosial yang diberikan
pemerintah. Program pemberdayaan yang didalamnya
diikuti dengan bantuan stimulan tidak diikuti dengan
peningkatan kapasitas penerima program.
10. Belum optimalnya sinkronisasi dan sinergi program antar
Satuan Kerja di lingkungan Kementerian Sosial.
11. Pemerintah kurang melibatkan kearifan lokal (melalui
musyawarah desa/kelurahan) dalam menentukan
penerima manfaat dan penanganannya.
12. Belum ada standar kompetensi pendamping sosial oleh
Kementerian Sosial.

B. Rekomendasi
Berdasarkaan kesimpulan penelitian ini maka
direkomendasikan sebagai berikut:
1. Pendekatan pemberdayaan sebaiknya menjadi pendekatan
utama dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial agar
penerima program lepas dari ketergantungan dan siap
hidup secara mandiri di masyarakat; tanpa mengabaikan
pendekatan residual kepada penerima manfaat yang
memang perlu layanan secara khusus.

104 Laporan Hasil Penelitian


2. Pendekatan developmental dengan didukung oleh
semangat kolaborasi dan keterlibatan antara pemerintah,
swasta dan masyarakat membuat pelaksanaan
pemberdayaan semakin baik. Salah satunya melalui
pencegahan terutama dalam penanganan sosial.
3. Kementerian Sosial perlu merumuskan regulasi dalam
menangani permasalahan sosial baru sehubungan dengan
perkembangan teknologi.
4. Optimalisasi sistem rehabilitasi sosial berbasis masyarakat.
5. Kementerian Sosial sebagai regulator, pembuat kebijakan,
pemantau dan evaluator, sedangkan operatornya
diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, Lembaga
Kesejahteraan Sosial, Organisasi Masyarakat Sipil dan Unit
Pelaksana Teknis Daerah.
6. Pembangunan Kesejahteraan Sosial dilaksanakan secara
terpadu dengan prinsip ketuntasan.
7. Merumuskan kembali metode dan sistem perekrutan dan
pelatihan pendamping untuk mendapatkan pendamping
sosial yang kompeten dan sesuai latar pendidikan.
8. Sinkronisasi dan sinergi progam antar satuan kerja di
lingkungan Kementerian Sosial dan koordinasi dengan
pemerintah daerah.
9. Konstruksi Model Pengembangan (Model of Sosial Welfare)
dalam pelayanan kesejahteraan sosial, digambarkan
sebagai berikut:

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 105


Gambar 4.1 Roadmap Arah Baru
Pembangunan Kesejahteraan Sosial Tahun 2020-2024

106 Laporan Hasil Penelitian


DAFTAR PUSTAKA

Adioetomo, S. M., Howell, F., McPherson, A., & Priebe, J.


(2013). Asistensi Sosial Untuk Usia Lanjut Di Indonesia:
Kajian Empiris Program Aslut (TNP2K Working Paper 05 -
2013). Jakarta: TNP2K.

Amalia, A. D. (2014). Evaluasi Outcomes Bagi Individu Program


Rehabilitasi Sosial Disabilitas Netra: Studi Kasus Empat
Alumni PSBN Wiyata Guna Bandung. Sosio Informa, 19(3),
260-283.

Anam, W. A. (2016). Peran Panti Sosial Bina Remaja Dalam Pem-


berdayaan Remaja Terlantar Di Daerah Istimewa Yogya-
karta (Skripsi sarjana tidak dipublikasikan). Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Indonesia.

Andari, S. (2014). Efektivitas Program Asistensi Sosial Orang dengan


Kecacatan. Yogyakarta: Balai Besar Penelitian dan Pengem-
bangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial.

Andri, A., & Harun, A. (2018). Evaluasi Pelaksanaan Fungsi Unit


Pelaksana Teknis Panti Sosial Bina Remaja Rumbai Kota Pe-
kanbaru. KEMUDI: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 2(2), 42-59.

Astuti, M. (2013). Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak:


Studi Kasus Evaluasi Program Kesejahteraan Sosial Anak di
Provinsi DKI Jakarta, DI. Yogyakarta, dan Provinsi Aceh. Ja-
karta: P3KS Press.

Astuti, M., Sauqi, & Ariani, D. (2015). Implementasi Kebijakan Asis-


tensi Sosial Lanjut Usia Terlantar. Sosio Konsepsia, 5(1),
248-259.

Azhar, M. (2017). Evaluasi Program Pelayanan Sosial Dasar Pada


Lanjut Usia Di Balai Pelayanan dan Penyantunan Lanjut

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 107


Usia Pagar Dewa Kota Bengkulu (Skripsi sarjana tidak di-
publikasikan). Universitas Bengkulu, Bengkulu, Indonesia.

Badan Pusat Statistik. (2017). Indeks Pembangunan Manusia (IPM)


Indonesia pada tahun 2017. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik. (2018). Jumlah Angkatan Kerja Indonesia
pada tahun 2018. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik. (2018). Potensi Desa (Podes) Indonesia pada
tahun 2018. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Bappenas (2019). Menuju Indonesia Bebas Kemskinan. Arah dan
Strategi Penanggulangan Kemiskinan 2020 – 2024. Dipub-
likasikan oleh Direktorat Penanggulangan Kemiskinan dan
Kesejahteraan Sosial, Kementerian PPN/Bappenas.
Cahyadi, N., Hanna, R., Olken, B. A., Prima, R. A., Satriawan, E., &
Syamsulhakim, E. (2018). Cumulative Impacts of Condition-
al Cash Transfer Programs: Experimental Evidence from In-
donesia (NBER Working Paper No. 24670). Cambridge: The
National Bureau of Economic Research.
Conley, A. (2010). Sosial Development, Sosial Investment, and
Child Welfare. Dalam bunga Rampai, Sosial Work and So-
ciaol Development. Theories and Skills for Develoipmental
Sosial Work. Migdley, J. dan Conley, A (Ed.). Oxford Univer-
sity Press, 2010.
Davies, M., & McGregor, J. A. (2009). Sosial Protection: Responding
to a Global Crisis. Retrieved from Institute of Development
Studies: http://www.ids.ac.uk/files/dmfile/SosialProtec-
tionDaviesandMcGregor.pdf
Denzin, N. K. (1978). Sociological Methods. New York: McGraw-Hill.

Dutschke, M. (2007). Rights in Brief: Defining Childrens Constitu-


tional Right to Sosial Services. Cape Town: Children’s Insti-
tute, UCT.

108 Laporan Hasil Penelitian


Fickiansyah, N. (2016). Evaluasi Proses Tahapan Pelaksanaan Re-
habilitasi Sosial Bagi Anak Terlantar Di Panti Sosial Asuhan
Anak Putra Utama 1 Klender (Skripsi sarjana tidak dipub-
likasikan). Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ja-
karta, Indonesia.

Fuady, R. L., & Abadi, A. M. (2017). Penentuan Penerimaan Ban-


tuan Pangan Non Tunai (BPNT). Seminar Matematika dan
Pendidikan Matematika Universitas Negeri Yogyakarta (pp.
203-210). Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta .

Gunawan, Sugiyanto, & Roebyantho, H. (2013). Eksistensi Rehabili-


tasi Sosial Berbasis Masyarakat bagi Korban Penyalahgu-
naan NAPZA. Jakarta: P3KS Press.

Habibulah, Irmayani, Mujiyadi, B., Susantyo, B., Sugiyanto, Naing-


golan, T., & Suradi (2018). Kinerja Sumber Daya Kesejahter-
aan Sosial di Daerah. Studi di empat Provinsi. Puslitbangke-
sos.

Herunnisa. (2016). Peranan Panti Asuhan Dalam Membina Ke-


mandirian Anak (Studi Kasus UPTD Panti Sosial Asuhan
Anak Harapan Kota Samarinda). eJournal Ilmu Administra-
si Negara Fisip Universitas Mulawarman, 4(3), 4560-4570.

Ikhsan, M. F. (2016). Evaluasi Dampak Pelatihan Keterampilan Ser-


vis Sepeda Motor Berdasarkan Pengguna Jasa Dari Lulusan
PSBR Bambu Apus Jakarta Timur (Skripsi sarjana tidak di-
publikasikan). Universitas Negeri Jakarta, Jakarta, Indone-
sia.

Irmansyah, Darwis, H., & Muhammad, H. R. (2012). Evaluasi Pro-


gram Pelayanan Sosial Anak di Panti Sosial Asuhan Anak
Seroja Kabupaten Bone. Jurnal Analisis, 1(1), 92-100.

Irmawan. (2018). Pemberdayaan Suku Kaili Da’a Di Kabupaten Sigi.


Sosio Konsepsia, 7(2), 91-100.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 109


Irwanto, Kasim, E. R., Fransiska, A., Lusli, M., & Okta, S. (2010).
Analisis Situasi Penyandang Disabilitas di Indonesia: Se-
buah Desk Review. Depok: Pusat Kajian Disabilitas Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.

Jayaputra, A., Muhtar, Syawie, M., Pudjianto, B., Amalia, A. D., &
Belanawane, M. (2017). Kepuasan Keluarga Penerima Man-
faat Bantuan Tunai dan Non Tunai: Kajian Tiga Kota. Ja-
karta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan
Sosial.

Jelita, I. (2015). Evaluasi Pelaksanaan Program Pendidikan Non


Formal di Panti Asuhan Uswatun Hasanah Samarinda.
eJournal Sosiatri-Sosiologi Fisip Universitas Mulawarman,
3(3), 65-78.

Junaidi, M. S. (2017). The Satisfaction Comparison Of Bantuan Pan-


gan Non Tunai Recipients And Rastra Recipients In Cakung
District, East Jakarta. Jurnal Ilmiah Econosains, 15(2), 273-
288.

Johansen, B. (2009). Leaders Make The Future: Ten New Leadership


Skills for Uncertain World. San Fransisco. 2009.

Kementerian Keuangan. (2015). Kajian Program Keluarga Hara-


pan: Efektifitas Penggunaan Anggaran PKH. Jakarta: Direk-
torat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan RI.

Kementerian PPN/Bappenas. (2013). Masyarakat Adat di Indone-


sia: Menuju Perlindungan Sosial yang Inklusif. Jakarta: Di-
rektorat Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat Ke-
menterian PPN/Bappenas.
Kementerian PPN/Bappenas. (2014). Evaluasi Pelaksanaan Pem-
bangunan Sosial Tahun 2010-2014: Capaian Prioritas Na-
sional Kinerja Kementerian dan Daerah. Jakarta: Kement-
erian PPN/Bappenas.

110 Laporan Hasil Penelitian


Kementerian Sosial. (2017). Monitoring Dan Evaluasi Bantuan Sos-
ial Non Tunai PKH 2017. Jakarta: Direktorat Jaminan Sosial
Keluarga Kementerian Sosial RI.

Kementerian Sosial. (2018). Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi


Pemerintah. Laporan. Jakarta: Direktorat Rehabilitasi Sos-
ial Lanjut Usia Kementerian Sosial RI.

Kementerian Sosial. (2018). Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi


Pemerintah. Laporan Kinerja. Jakarta: Direktorat Rehabili-
tasi Sosial Penyandang Disabilitas Kementerian Sosial RI.

Kharismawati, I. S., & Rosdiana, W. (2018). Implementasi Bantuan


Pangan Non-Tunai (BPNT) Melalui E-Warung Di Kelura-
han Sidosermo Kecamatan Wonocolo Kota Surabaya. Pub-
lika: Jurnal Ilmu Administrasi Negara, 6(8), 1-7.

Kurniasih, D. (2016). Pembinaan Lanjut Usia Melalui Day Care Ser-


vice Di Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha Yogyakarta
Unit Budi Luhur. Jurnal Elektronik Mahasiswa PLS Univer-
sitas Negeri Yogyakarta, 5(5), 69-77.

Maulidina, S. (2018). Analisis Korelasi Program Bantuan Pangan


Non Tunai Terhadap Pengeluaran Konsumsi Rumah Tang-
ga Miskin (Studi Kasus Pada Masyarakat Penerima Pro-
gram Bantuan Pangan Non Tunai Di Kecamatan Bojongloa
Kaler) (Skripsi sarjana tidak dipublikasikan). Universitas
Pasundan, Bandung, Indonesia.

Mawardi, M. S., Ruhmaniyati, Tamyis, A. R., Usman, S., Kurniawan,


A., & Budiani. (2017). Kajian Awal Pelaksanaan Program e-
Warong Kube-PKH. Jakarta: The SMERU Research Institute,
Bappenas, & KOMPAK.

Midgley, J., & Conley, A. (Eds.). (2010). Sosial Work and Sosial De-
velopment: Theories and Skills for Developmental Sosial
Work. New York: Oxford University Press.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 111


Naibaho, O. (2017). Evaluasi Pelaksanaan Program BPSS (Bio,
Psiko, Sosial, Spritual) Holistik Terhadap Residen Penyalah-
gunaan NAPZA Di IPWL (Institusi Penerima Wajib Lapor)
Yayasan NAZAR Medan (Skripsi sarjana tidak dipublikasi-
kan). Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia.

Nainggolan, T. (2014). Pemberdayaan Diri Lanjut Usia Peserta Pro-


gram Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar di Kabupaten
Bangli. Sosio Konsepsia, 3(3), 142-156.

Nazara, S., & Rahayu, S. K. (2013). Program Keluarga Harapan


(PKH): Program Bantuan Dana Tunai Bersyarat di Indone-
sia. Research Brief. Brasília: International Policy Centre for
Inclusive Growth.

Novalius, F. (2019, Januari 23). Pertemuan WEF 2019, RI Dorong


Investasi di Industri 4.0. Retrieved from Okezone: https://
economy.okezone.com/read/2019/01/23/320/2008493/
pertemuan-wef-2019-ri-dorong-investasi-di-industri-4-0

Nugraha, A. F. (2014). Implementasi Program Rehabilitasi Sosial


Rumah Tidak Layak Huni (RS-RTLH) di Kota Serang (Skrip-
si sarjana tidak dipublikasikan). Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa, Serang, Indonesia.

Ørngreen, R., & Levinsen, K. (2017). Workshops as a Research


Methodology. The Electronic Journal of e-Learning, 15(1),
70-81.

Patton, M. Q. (1999). Enhancing the Quality and Credibility of Qual-


itative Analysis. HSR: Health Services Research, 34(5), 1189-
1208.
Pramuwito, C. (1999). Penelitian Ujicoba Model Pelayanan Kes-
ejahteraan Sosial Lanjut Usia Berbasis Masyarakat. Yogya-
karta: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan
Kesejahteraan Sosial.

112 Laporan Hasil Penelitian


Pratama H.R., A. (2017). Evaluasi Program Pembinaan Anak Ter-
lantar Putus Sekolah di PPSBR Makkareso Kabupaten Ma-
ros (Tesis master tidak dipublikasikan). Universitas Negeri
Makassar, Makassar, Indonesia.

Purwanto, S. A., Sumartono, & Makmur, M. (2013). Implementasi


Kebijakan Program Keluarga Harapan (PKH) Dalam Me-
mutus Rantai Kemiskinan (Kajian di Kecamatan Mojosari
Kabupaten Mojokerto). Wacana: Jurnal Sosial dan Hu-
maniora, 16(2), 79-96.

Puslitbangkesos. (2015). Evaluasi Kebijakan Pemberdayaan Sosial


bagi Peserta Program Keluarga Harapan melalui Kelompok
Usaha Bersama. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengemban-
gan Kesejahteraan Sosial.

Rachman, B., Agustian, A., & Wahyudi. (2018). Efektivitas Dan Per-
spektif Pelaksanaan Program Beras Sejahtera (Rastra) Dan
Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT). Analisis Kebijakan
Pertanian, 16(1), 1-18.

Roebyantho, H., & Unayah, N. (2015). Implementasi Kebijakan


Penanggulangan Kemiskinan melalui Program Rehabili-
tasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni (RTLH), Di Kota Garut,
Provinsi Jawa Barat. Sosio Konsepsia, 4(1), 311-330.

Roebyantho, H., Setiti, S. G., & Rahman, A. (2013). Dampak Sosial


Ekonomi Program Penanganan Kemiskinan Melalui KUBE.
Jakarta: P3KS Press.

Roebyantho, H., Sitepu, A., Widodo, N., & Amalia, A. D. (2017).


Dampak KUBE dalam Penangulangan Kemiskinan. Ja-
karta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan
Sosial.

Rohmah, Y. A. (2015). Analisis Akuntabilitas Program Keluarga Ha-


rapan (Studi Deskriptif Akuntabilitas Administrasi Pelak-

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 113


sanaan Program Keluarga Harapan Bidang Pendidikan di
Kecamatan Semampir Surabaya). Jurnal Aplikasi Adminis-
trasi, 18(1), 1-9.

Sari, A. F., Yanzi, H., & Nurmalisa, Y. (2017). Peran Orang Tua Me-
manfaatkan Dana Bantuan Program Asistensi Sosial Pe-
nyandang Disabilitas Berat. Jurnal Kultur Demokrasi, 5(4),
1-14.

Sari, W. Y., & Nurhamlin. (2018). Peran Panti Sosial Bina Remaja
(PSBR) Rumbai Dalam Pembinaan Remaja Putus Sekolah.
Jurnal Online Mahasiswa FISIP Universitas Riau, 5(1), 1-15.

Savica. (2106). Report to UNICEF: Monitoring and Evaluation of


PKH Prestasi, Pilot Project Brebes, Central Java. Jakarta:
Savica Public Health and Communication Consultancy.

Schubert, B., Rusyidi, B., Pratiwi, A. P., & Halim, M. A. (2015). Pe-
nilaian Cepat Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA).
Jakarta: Kementerian Sosial RI & UNICEF.

Siswoyo, M. E., & Hardi, J. (2016). Evaluasi Pasca Huni Pada Panti
Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 3 Jakarta Selatan. Jurnal
Arsitektur, Bangunan, & Lingkungan, 5(3), 105-162.

Sitepu, A. (2016). Analisis Efektivitas Kelompok Usaha Bersama Se-


bagai Instrumen Program Penanganan Fakir Miskin. Sosio
Informa, 2(1), 53-68.

Sitepu, A., Sumarno, S., Nainggolan, T., & Murni, R. (2014). Evaluasi
Implementasi Kebijakan Raskin 2014. Jakarta: Pusat Peneli-
tian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial.
Sugina, P. M. (2012). Implementasi Kebijakan Penanggulangan Ke-
miskinan Melalui Program Pemberdayaan Ekonomi Kelom-
pok Usaha Bersama (KUBE) di Jakarta Selatan (Tesis mas-
ter tidak dipublikasikan). Universitas Indonesia, Depok,
Indonesia.

114 Laporan Hasil Penelitian


Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D. Bandung : CV Alfabeta.

Sumarno, S., Nainggolan, T., Gunawan, & Murni, R. (2011). Evaluasi


Program Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU). Jakarta: P3KS
Press.

Sunge, N. W. (2017). Perbandingan Implementasi Program Beras


Sejahtera (Rastra) dengan Program Bantuan Pangan Non
Tunai (BPNT) di Sumatera Barat (Tesis master tidak dipub-
likasikan). Universitas Andalas, Padang, Indonesia.

Supriyanto, R. W., Ramdhani, E. R., & Rahmadan, E. (2014). Perlind-


ungan Sosial Di Indonesia: Tantangan dan Arah ke Depan.
Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.

Suradi. (2017). Studi Evaluasi Dampak Kebijakan Sosial: Rehabili-


tasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni bagi Keluarga Miskin
Di Kota Banjarmasin. Sosio Konsepsia, 17(2), 205-220.

Suradi, Sumarno, S., Roebyantho, H., SUgiyanto, & Unayah, N.


(2015). Kapasitas Institusi Wajib Lapor Dalam Penanganan
Korban Penyalahgunaan Napza. Jakarta: Pusat Penelitian
dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial.

Susetio, W. (2007). Konsep Welfare State dalam Amandemen UUD


1945: Implementasinya dalam Peraturan Perundang-Un-
dangan (Beberapa Tinjauan dari Putusan MKRI). Lex Jurn-
alica, 4(2), 56-69.

Susilowati, E. (2015). Pekerjaan Sosial pada Program Kesejahteraan


Sosial Anak (PKSA) di Kota Bandung. Sosio Konsepsia, 5(1),
237-247.
Susilowati, E., Rinda, R. H., Sutisna, N., & Irianti, D. (2012). Mana-
jemen Kasus Bagi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) Di
Rumah Perlindungan Sosial Phalamartha Sukabumi. Jurnal
Ilmiah Pekerjaan Sosial, 11(2), 1-17.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 115


Suyanto, & Mujiyadi, B. (2015). Pemberdayaan Komunitas Adat Ter-
pencil Melalui Pelayanan Terpadu Di Rote Ndao, Provinsi
Nusa Tenggara Timur. Sosio Konsepsia, 4(2), 15-36.

The ASEAN Secretariat. (2018). ASEAN Declaration on Strengthen-


ing Sosial Protection and Regional Framework and Action
Plan to Implement the ASEAN Declaration on Strengthening
Sosial Protection. Jakarta: The ASEAN Secretariat.

TNP2K. (2017). Penduduk Lanjut Usia dan Keterjangkauan Pro-


gram Perlindungan Sosial bagi Lansia. Jakarta: TNP2K.

U.S. Army Heritage and Education Center. (2018, Juli 10). “Who first
originated the term VUCA (Volatility, Uncertainty, Com-
plexity and Ambiguity)?” USAHEC Ask Us a Question. Re-
trieved from libanswers: http://usawc.libanswers.com/
faq/84869

United Nations. (2015). Transforming Our World: The 2030 Agenda


For Sustainable Development. New York: United Nations.

United Nations Department of Economic and Sosial Affairs. (2011).


The Global Sosial Crisis: Report on the World Sosial Situa-
tion 2011 (ST/ESA/334). Retrieved from United Nations:
http://sosial.un.org/index/LinkClick.aspx?fileticket=
v0LQqd2FT3k%3d&tabid=1561

Utami, S. H. (2012). Implementasi Kebijakan Program Bantuan


Rehabilitasi Sosial Rumah Tak Layak Huni (RS-RTLH) Di
Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau (Tesis master
tidak dipublikasikan). Universitas Terbuka, Batam, Indo-
nesia.
Van Thiel, S. (2004). Trend in The Public Sector, Why Policitians Pre-
fer Quasi Autonomous Organization. Journal of Theoritical
Politics, 16(2), 175-201.

116 Laporan Hasil Penelitian


Wediawati, B., & Setiawati, R. (2015). IbM Kelompok Usaha Ber-
sama Perempuan Kepala Keluarga (KUBE-PEKKA) di Ke-
camatan Telanai Pura Kota Jambi. Jurnal Pengabdian Pada
Masyarakat, 30(1), 10-17.

Widiyanti, S. Y., & Hidayatulloh, A. N. (2015). Kinerja Kelompok


Usaha Bersama (KUBE) dalam Pengentasan Kemiskinan.
Jurnal PKS, 14(2), 163 - 180.

Widodo, N. (2015). Evaluasi Program Subsidi Panti dalam Mendu-


kung Kelangsungan Pelayanan Panti Sosial. In P. Kessos,
Evaluasi Program Subsidi Panti (pp. 129-151). Jakarta: Pus-
litbang Kessos.

Widyakusuma, N. (2013). Peran Pendamping Dalam Program


Pendampingan Dan Perawatan Sosial Lanjut Usia Di Ling-
kungan Keluarga (Home Care): Studi Tentang Pendamping
Di Yayasan Pitrah Sejahtera, Kelurahan Cilincing, Keca-
matan Cilincing Jakarta Utara. Sosio Informa, 18(3), 211-
224.

Wigianti, E., & Marom, A. (2018). Evaluasi Program Pembinaan


Anak Terlantar Di Sasana Pelayanan Sosial Anak Kasih
Mesra Demak. Journal of Public Policy and Management
Review, 6(3), 115-127.

Winder, M., & Yablonski, J. (2012). Integrated Sosial Protection


Systems: Enhancing Equity for Children (Sosial Protection
Strategic Framework). Retrieved from UNICEF: http://
www. unicef.org/sosialprotection/framework/files/ UNI-
CEF_Sosial_Protection_Strategic_Framework_full_doc_
std%281%29.pdf
World Bank. (2007). Laporan kajian cepat terhadap government
community development operations: microfinance and mi-
crocredit projects - dipresentasikan kepada Bappenas dan

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 117


World Bank - decentralization support facility. Jakarta: MI-
CRA.

World Bank. (2017). Menuju sistem bantuan sosial yang menyelu-


ruh, terintegrasi, dan efektif di Indonesia. Washington, D.C.:
World Bank Group.

Yanti, R. D. (2013). Studi Tentang Pelayanan Lanjut Usia Pada Unit


Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Panti Sosial Tresna Werd-
ha Nirwana Puri Di Kota Samarinda. eJournal Ilmu Admin-
istrasi Negara Fisip Universitas Mulawarman, 1(2), 749-762.

Yanuardi, Fitriana, K. N., & Ahdiyana, M. (2017). Evaluasi Kebijakan


Sosial Peningkatan Kesejahteraan Lanjut Usia Terlantar
(LUT). Jurnal PKS, 16(1), 1-10.

Yossi, S. (2018). Evaluasi Pelaksanaan Peraturan Menteri Sosial


Nomor 106/HUK 2009 Tentang Organisasi dan Tata Kerja
Panti Sosial di Lingkungan Departemen Sosial (Tesis mas-
ter tidak dipublikasikan). Universitas Islam Riau, Pekan-
baru, Indonesia.

118 Laporan Hasil Penelitian


LAPORAN HASIL FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD)
PENELITIAN ARAH BARU PEMBANGUNAN
KESEJAHTERAAN SOSIAL TAHUN 2020 – 2024
WILAYAH BARAT
DI HOTEL REDTOP, JAKARTA
TANGGAL 25-28 MARET 2019

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 119


BAB I
PENDAHULUAN

Dalam dokumen RPJMN (I-III), khususnya dalam bidang


penyelenggaraan kesejahteraan sosial, bagian terbesarnya
masih terfokus pada penyelesaian resiko-resiko sosial lama.
Walaupun memang, diakui, ada juga yang sudah mulai merespon
permasalahan sosial kontemporer faktual yang boleh jadi sudah
merupakan fenomena adanya permsalahan sosial baru, sebagai
bagian dari resiko rosial baru. Permasalahan dalam koridor resiko
sosial lama, oleh Kementerian Sosial memasukkannya kedalam
Permasalahan Kesejahteraan Sosial (PMKS), yang terdiri atas 26
(dua puluh enam) dengan tetap mengedepankan penguatan
Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS). RPJMN III
belum secara eksplisit memberikan arahan atas apa dan bagaimana
menyikapi masuknya era Revolusi Industri 4.0. Bagaimana dan apa
yang harus dilakukan, baik oleh Negara (melalui pemerintah)
masyarakat juga dunia usaha?
Pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial dewasa ini,
masih terasa dan kasat mata akan adanya didominasi peran
pemerintah pusat, hampir dalam segala lini. Mulai dari regulasi,
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, monitoring hingga
evaluasi. Walaupun kita sadari bersama pemerintah memiliki
keterbatasan, khususnya SDM disamping pembiayaan.
Idealnya, skema penyelenggaraan pembangunan kesejahteraan
sosial lebih mengedepankan upaya-upaya prefentif (prevention
service) sebagai arus utama. Namun pada kenyataannya, kita masih
lebih mengedepankan pelayanan rehabilitasi dengan basis
institusi/panti (alternate state care). Skema penyelenggaraan

120 Laporan Hasil Penelitian


pelayanan sosial semacam ini jelas memerlukan anggaran yang
jauh lebih besar. Sehingga dalam banyak kasus masih ditemukan
inefisiensi, efektifitas pelayanan yang belum optimal bahkan adanya
penyimpangan (anggaran). Skema penyelenggaraan pembangunan
kesejahteraan sosial modern secara ideal semestinya
mengedepankan upaya pencegahan (prevention service) sebagai
pilar utamanya, baru disusul pelayanan primer (early intervention
service), yang dilanjutkan dengan adanya system perlindungan
(protection service). Sedangkan pelayanan dalam basis institusi
oleh Negara/pemerintah (entah dalam bentuk panti atau
lembaga-lembaga lainnya) merupakan pelayanan alternatif akhir
(alternate state care). Keempat komponen skema penyelenggaraan
kesejahteraan sosial modern ini pada dasarnya telah terbangun
dalam sitem penyelenggaraan kesejahteraan sosial di Indonesia
(yang utamanya dilaksanakan oleh Kementerian Sosial), namun
dalam konstruksi piramida terbalik, dimana pelayanan alternatif
akhir (alternate state care) menjadi bagian terbesarnya. Sedangkan
upaya pencegahan (prevention service), masih mendapatkan
proporsi yang relatif kecil. Dimana dalam konstruksi ini dikenal
dengan istilah Residual-Institutional Dichotomy Model (Duetsche
M, 2007). Konstruksi penyelenggaraan kesejahteraan sosial modern
idealnya mengarah ke Model pengembangan (Developmental
Model of Social Welfare).

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 121


BAB II
KONDISI PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
SAAT INI

A. Aspek Developmental Approach

Perubahan kondisi masyarakat yang terjadi saat ini begitu cepat


menimbulkan berbagai permasalahan sosial dalam masyarakat.
Proses penyelesaian permasalahan sosial tidak jarang diselesaikan
dengan menggunakan penyamarataan metode pendekatan.
Pendekatan yang digunakan cenderung bersifat rehabilitatif,
residual, karitatif, preventif (sangat minim), atau seperti “pemadam
kebakaran” contohnya bantuan sosial. Dalam perkembangnya
zaman, pendekatan tersebut dianggap belum efektif, membuat
orang ketergantungan pada program, dan tidak partisipatif.
Berdasarkan fakta tersebut, maka pendekatan residual dianggap
belum sepenuhnya bisa menangani permasalahan kemiskinan di
Indonesia

122 Laporan Hasil Penelitian


Praktisi Akademisi CSO
Kondisi saat ini dipan- Kondisi saat ini dipan- Kondisi saat ini
dang sebagai suatau dang sebagai suatau dipandang sebagai
masalah : masalah : suatau masalah :
1. Perubahan yang 1. Pendekatan Cen- 1. Mindset Pember-
cepat menimbul- derung Residual dayaan masih
kan masalah baru atau seperti “pem- simbolis/belum
dan sering terjadi adam kebakaran” menyentuh sub-
Penyamarataan contohnya bantuan tansi
masalah dan loka- sosial. 2. Kapasitas SDM
litas 2. Keterbatasan ke- pada aparat
2. Pendekatan cender- wenangan daerah masih rendah
ung Rehabilitative, dan pembagian untuk menyusun
Residual, Karitatif, kewenangan belum kegiatan pember-
Preventif (sangat jelas atau masih dayaan
minim), Non parti- ada ego sektoral 3. Rendahnya
sipatif 3. Data kemiskinan komitmen pemda
3. Akurasi data ren- yang masih memb- dalam urusan
dah ingungkan, banyak sosial
4. Belum ada evalu- yang tidak valid,
asi pada program belum sinkron
dan meantest data antar lembaga
pada penerima terkait.
bantuan. Pember- 4. Anggaran program
dayaan SDM dan terbatas
kelembagaan serta 5. Banyak program
program overlap- yang tidak member-
ping, jangka waktu, dayakan dan terke-
tujuan dan capaian san hanya “proyek”
target belum jelas saja.
5. Terjadi ketergantun- 6. Terjadi ketergantun-
gan pada penerima gan pada penerima
manfaat terhadap manfaat terhadap
program program

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 123


Praktisi Akademisi CSO
Kondisi saat ini Kondisi saat ini Kondisi saat ini
dipandang sebagai dipandang sebagai dipandang sebagai
suatau potensi : suatau potensi yaitu suatau potensi :
1. Sudah ada adanya Kampung 1. Program edukasi
SIKS (Sistem Batik, Kampung dan pencegahan
Informasi Kuliner, dan sudah berlangsung
Kesos) dan BDT Gandeng Gendong di di CSO
(Sensus 2010, Yogyakarta 2. Pihak CSO sudah
update terakhir bekerjasama
2015) dengan PMKS dan
2. Sudah keluarga
tersedianya 3. Eksistensi
program dan CSO:Kredibel,
anggaran khusus akuntabel, dan
program, serta terpercaya,
sistem Monev. memiliki sumber
daya (dana dan
manusia), dan
mewadahi PMKS
B. Aspek Investasi Negara di Bidang Sosial

Pemerintah Indonesia belum memiliki pemetaan sosial


yang menggambarkan permasalahan sosial dan potensi (SDM
dan Modal Sosial) yang terdapat di daerah serta mendukung
pembangunan kesejahteraan sosial. Kondisi tersebut menyebabkan
investasi sosial yang dilakukan oleh pemerintah melalui program-
program pembangunan kesejahteraan sosial masih menggunakan
pendekatan residual yang penanggulannnya bersifat parsial, reaktif
dan cenderung kuratif.
Masih banyak ditemukan tumpang tindih terkait program-
program serupa yang ada di lembaga pemerintah lainnya.
Sementara program-program yang sudah ada tersebut terkadang
sulit diakses oleh penerima manfaat. Namun disisi lain terdapat
penerima manfaat yang tidak sesuai dengan kriteria dari sasaran

124 Laporan Hasil Penelitian


program, namun mendapatkan layanan program tersebut (tidak
tepat sasaran).

Praktisi Akademisi CSO


• Pelatihan yang • Program-program • Negara sudah
diadakan kurang pembangunan melaksanakan
tepat sasaran kesejahteraan sosial investasi
(program dan masih bersifat parsial sosial, namun
objeknya) dan reaktif. Salah satu pendekatannya
• Kurangnya contohnya: Investasi masih kuantitatif.
pendamping sosial belum menjadi Namun porsinya
yang kompeten prioritas, Rendahnya lebih banyak
untuk bisa akses masyarakat untuk birokrasi.
mendampingi dalam mengakses • Isu Pendidikan:
didalam program layanan-layanan Investasi sosial
pengentasan sosial yang berbentuk tidak mudah
kemiskinan. investasi sosial seperti diakses dan belum
pelatihan dan layanan- membuat anak
layanan pengembanga nyaman untuk
SDM lainnya. sekolah.
Praktisi Akademisi CSO
• Belum adanya • Isu Kesehatan:
pemetaan potensi lebih bersifat
daerah (modal kuratif
manusia, modal (pengobatan)
social) dalam dan belum
mendukung mengedepankan
pembangunan pencegahan
kesos (preventif dan
promotif )
• Masih banyak
tumpang tindih
kegiatan sesama
Lembaga
pemerintah

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 125


C. Aspek Partisipasi 3 Sektor (Pemerintah, Dunia Usaha dan
Masyarakat)

Saat ini integrasi peran Pemerintah, Swasta dan CSO dalam


pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia masih lemah, baik
pada tingkat Pusat maupun Daerah. Lemahnya integrasi peran
sektor CSO dapat terlihat dari bervariasinya kegiatan CSO yang
tidak dikoordinasikan dengan instansi terkait. Selain itu, peran
CSO juga dipandang masih terbatas dan tidak berkelanjutan,
mengingat belum semua CSO memiliki kapasitas dan performa
organisasi yang baik.
Sedangkan lemahnya integrasi sektor swasta dapat terlihat dari
masih adanya program-program CSR yang belum mendukung
sasaran/tujuan Pemerintah dan masih adanya daerah yang belum
tersentuh dana CSR. Umumnya program CSR yang digulirkan
perusahaan di daerah hanya menyentuh isu-isu lingkungan
yang dilakukan di daerah operasinya, belum ditujukan untuk
menyelesaikan masalah sosial di masyarakat. Tidak dipungkiri
bahwa ada juga perusahaan yang telah menyelaraskan program
CSR-nya dengan sasaran/tujuan Pemerintah dan bahkan
melakukan pemberdayaan. Namun program-program tersebut
memiliki kriteria dan aturannya sendiri, yang membatasi program
CSR tersebut dalam menjangkau penerima manfaat.

126 Laporan Hasil Penelitian


Praktisi Akademisi CSO
Kondisi saat ini Kondisi saat ini Kondisi saat ini
dipandang sebagai dipandang sebagai dipandang sebagai
masalah : masalah : masalah :
• Sinergitas dan • Koordinasi yang • Pemerintah:
partisipasi 3 lemah antar 3 Pendekatan yang
sektoral masih sektor dipakai oleh
kurang optimal • Masih banyak Negara masih
• Selama ini yang lembaga non residual.
lebih dominan pemerintah • Belum semua
untuk upaya keberadaanya tidak CSO memiliki
pengentasan sustain kapasitas dan
kemiskinan hanya • Kelembagaan performa
kemensos atau sosial yang tumbuh organisasi yang
pemerintah pusat dari inisiatif lokal, baik.
saja perannya masih • Mayoritas
• Terdapat beberapa terbatas CSR diberikan
daerah yang belum • Rendahnya hanya fokus
mendapatkan partisipasi dunia menyelesaikan
bantuan dari dunia usaha dalam isu-isu lingkungan
usaha (CSR) penyelesaian alam
masalah sosial.
KondisiKondisi saat Kondisi saat ini Kondisi saat ini
ini dipandang sebagi dipandang sebagi dipandang sebagi
potensi : potensi : potensi :
• Astra memiliki • Sudah adanya • Forum CSR baru
kontribusi terhadap aturan dalam terbentuk di
pemberdayaan regulasi mengenai tingkat provinsi
masyarakat di TJSP yang kabupaten/ kota
berbagai daerah di mendukung belum terbentuk.
Indonesia program sosial • Dana Desa: Rata2
• Sudah mulai ada • Organisasi sosial dana desa 1,4M
kolaborasi dari tiga yang berpartisipasi
sektor (Pemerintah, dalam usaha
dunia usaha dan kesejahteraan
masyarakat) sosial, sangat
variatif motif dan
kondisinya

D. Aspek Peran Kemensos

Saat ini Kementerian Sosial menjalankan peran rangkap sebagai

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 127


regulator sekaligus operator. Kementerian Sosial melakukan
perencanaan, merumuskan, melaksanakan, memonitor, sekaligus
melakukan evaluasi kebijakan. Pernyataan ini didukung oleh hasil
diskusi dengan beberapa kelompok baik praktisi, akademisi, dan
CSO sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini :
Praktisi Akademisi CSO
• Kemensos • Kemensos selaku • Arah kebijakan
masih berperan regulator juga nasional.
sebagai merencanakan, • Fungsi
regulator, melaksanakan program- koordinator
operator. programnya, sekaligus menjadi lebih
• Biasnya melakukan monitoring efektif.
regulasi antara dan evaluasi (UU Kesos • Pemerintah
stakeholder Pasal 25), sehingga Pusat sebagai
terkait dengan program-program yang pembuat
kemensos dilaksanakan seolah- regulasi dan
olah semuanya ‘berhasil’. menjadi
• Adanya peran ganda dari operator.
Kemensos membuat
implementasi program-
program belum optimal
dan belum banyak
terlaksananya program-
program yang berbentuk
pencegahan.

E. Aspek Karakteristik Masalah Sosial

Dengan perkembangan informasi dan teknologi yang semakin


pesat, secara langsung maupun tidak langsung turut menambah
munculnya permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di
dalam masyarakat. Dalam proses diskusi kelompok yang telah
dilakukan pada workshop di Jakarta, dijelaskan bahwa pada saat
ini permasalahan ketergantungan dengan gadget, korban terpapar
sosial media, permasalahan terorisme, dan permasalahan sosial
lainnya belum dimasukkan kategori Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS). Dalam Peraturan Menteri Sosial

128 Laporan Hasil Penelitian


(Permensos) No. 8 Tahun 2012 telah dijelaskan bahwa terdapat
26 jenis PMKS yang dijadikan dasar pelaksanaan bagi program-
program Kementerian Sosial. Namun dengan munculnya
permasalahan-permasalahan sosial yang baru menyebabkan
kategorisasi jenis PMKS dianggap sudah tidak relevan dengan
kondisi pada masyarakat saat ini sehingga perlu dilakukan
evaluasi.
Praktisi Akademisi CSO
• Dari 26 jenis PMKS • Penggunaan istilah • Penerima
sebagaimana yang “masalah sosial” manfaat
diatur di dalam seringkali masih mendapatkan
Permensos No. 8 tumpang tindih stigma dengan
Tahun 2012 perlu dengan instansi lain. adanya
dilakukan evaluasi • Karakteristik 26 pengkategorian
dan perlu dirubah PMKS sebagaimana 26 jenis PMKS
penyebutan yang diatur di dalam sebagaimana
istilah yang ada di Permensos No. 8 yang diatur
dalamnya Tahun 2012 masih dalam
• Beberapa jenis kurang relevan dan Permensos No.8
PMKS yang perlu ditambahkan Tahun 2012 serta
ditangani oleh masalah-masalah adanya jenis-
Dinsos atau sosial yang jenis PMKS baru
Kemensos kontemporer yang belum
sebenarnya juga dimasukkan ke
dapat ditangani dalamnya.
oleh lembaga lain.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 129


BAB III
TANTANGAN PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
SAAT INI

A. Aspek Developmental Approach

Terdapat tantangan yang harus dihadapi oleh Kemensos ketika


terjadi pergeseran pendekatan yaitu tantangan secara global
misalnya saja menghadapi Revolusi Industri 4.0, Generasi Millenial,
dan Otonomi Daerah (Koordinasi antar stakehorlder). Tantangan
dari internal Kemensos seperti terjadi resistensi menghadapi
pergeseran dan perubahan pendekatan, membuat Basis Data
Terpadu yang kredible. Kemudian tantangan yang berasal dari
budaya masyarakat itu sendiri.

130 Laporan Hasil Penelitian


Praktisi Akademisi CSO
Tantangan Bagi
Internal Kemensos: • Pembuatan data faktual • Menyatukan/
• Resistensi • Menyamakan pemikiran, memetakan
menghadapi pendapat, dan metode terkait
pergeseran antara pusat dan daerah banyaknya
dan perubahan terkait penanganan berbagai
pendekatan kemiskinan, mengurangi macam model
dari residualè ego sektoral dan metode
development, • Memperjelasn pendekatan
rehabilitatiè kewenangan yang yang untuk
preventif dan diberikan oleh Kemensos menangani
supportif, pada daerah/kota masalah sosial
(data dan regulasi) dan • Tingkat
karitatifè kepedulian
pengembangan sebaliknya
• Angka kemiskinan tidak dan kontribusi
kapasitas masyarakat
• Merubah mindset kunjung turun karena
belum tertangani secara dalam
penerima dan penanganan
pemberi maksimal
• Anggaran untuk honor PMKS
• Rendahnya meningkat
kepercayaan yang harus diperbanyak
karena jumlah karena
penerima kepercayaan
manfaat pendamping akan
diperbanyak terhadap CSO
terhadap institusi dibandingkan
pelaksana • Peningkatan kualitas
pendamping dan TKSK kepada
program pemerintah
Lingkungan Sosial
• Aspek budaya
yang kurang
mendukung maka
perlu merubah
budaya yang
cukup sulit

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 131


Praktisi Akademisi CSO
Global
• Tuntutan
kesepakatan
internasional dan
regional terkait
pembangunan
sosial (SDG’s,
WSSD, WEF
2019, ASEAN
EM, ASEAN CP),
Globalisasi 4.0
dan Revolusi
Industri 4.0,
Generasi
Millenial, Bonus
Demografis,
VUCA dan
Otonomi Daerah
(Koordinasi antar
stakehorlder).

B. Aspek Investasi Negara di Bidang Sosial

Investasi pemerintah dalam bidang sosial tidak hanya


dibahas dalam rapat kordinasi saja, melainkan harus secara
nyata dimasukkan ke dalam penganggaran pemerintah. Untuk itu
diperlukan pemetaan sosial yang melibatkan semua pemangku
kepentingan baik yang ada di pusat maupun di daerah dengan
tetap memperhatikan keragaman kondisi daerah dan kearifan
lokal. Untuk itu, diperlukan regulasi pembangunan kesejahteraan
sosial( baik di tingkat pusat maupun di daerah) berdasarkan
kebutuhan sesungguhnya di masyarakat (pemetaan sosial), sumber
daya manusia pendamping program yang memiliki kompetensi,
menyesuaikan kondisi kekinian dengan menggunakan literasi
media sosial dan pemanfaatan IT untuk menunjang keberfungsian
sosial dan membangun jejaring, serta program yang tidak “project
oriented”.

132 Laporan Hasil Penelitian


Praktisi Akademisi CSO
• Pemetaan terhadap • Egosektoral dari Investasi
kebutuhan pelatihan lembaga Internal sosial tidak
(need assessment) maupun antar hanya dibahas
• Proses pemetaan kementerian dalam Rakor,
yang harus • Project oriented melainkan
melibatkan unsur • Regulasi harus
wilayah pembangunan dilaksanakan
• Edukasi yang kesejahteraan dalam peng-
dilakukan secara sosial kurang anggaran.
terus menerus pada memperhatikan
pendamping. keragaman kondisi
• Pembuatan regulasi daerah dan kearifan
yang bisa mendorong lokal.
wilayah melakukan • Kompetensi SDM
pemetaan potensin penyelenggara
wilayah kesejahteraan sosial
masih rendah.
• Literasi media sosial
dan pemanfaatan IT
untuk menunjang
keberfungsian sosial
dan membangun
jejaring sosial.

C. Aspek Partisipasi 3 Sektor (Pemerintah, Dunia Usaha dan


Masyarakat)

Dalam arah baru pembangunan kesejahteraan sosial yang


mengedepankan partisipasi dari ketiga sektor, tantangan ego sektoral
dan koordinasi pusat-daerah menjadi tantangan yang perlu segera
diselesaikan. Berdasarkan sektornya, tantangan pembangunan
kesejahteraan sosial dapat diperinci sebagai berikut:
1. Pada sektor Pemerintah, Kementerian Sosial di tingkat
Pusat dipandang masih kaku dalam merespon perubahan
dan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Sedangkan
Kepala Daerah dinilai banyak yang belum memiliki
kepedulian dan komitmen dalam menangani masalah
sosial di wilayahnya.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 133


2. Pada sektor swasta, perusahaan dipandang masih belum
seluruhnya concern/ peduli dan belum seluruhnya
menggulirkan dana CSR untuk mengatasi masalah sosial
yang terjadi di Daerah.
3. Sedangkan pada sektor CSO, masih banyak CSO yang belum
memiliki kapasitas pengelolaan program kesejahteraan
sosial yang mumpuni, baik dari sisi profesionalisme hingga
sisi akuntabilitasnya.
Praktisi Akademisi CSO
• Masih terdapatnya ego • Permasalahan • Perlu
sektoral pada masing- koordinasi antara dilakukan
masing Kementerian/ Pemerintah Pusat audit terhadap
Lembaga dengan Pemerintah dana CSR
• Tidak seluruh daerah Daerah dirasakan yang telah
memiliki perusahaan masih sangat dikeluarkan
yang dapat menjalankan kaku dan terlalu oleh pihak
program CSR dalam birokratis dalam swasta
jumlah yang cukup memberikan respon • Masih
besar terhadap setiap banyak CSO
• Permasalahan data perubahan dan yang belum
dirasakan cukup perkembangan yang professional
menyulitkan sehingga terjadi di dalam dalam
tidak jarang pihak masyarakat menjalankan
perusahaan melakukan • Permasalahan program dan
pendataan secara door akuntabilitas pada kegiatannya
to door. CSO yang masih
• Masih banyak Lembaga belum dapat
Kesejahteraan Sosial ditangani dengan
yang belum memiliki baik
kualitas yang baik • Belum seluruh
dalam penyelenggaraan perusahaan
program dan mengeluarkan
kegiatannya anggaran CSR untuk
• Belum seluruh Kepala kepentingan sosial
Daerah memiliki seperti pendidikan,
komitmen yang tinggi kesehatan,
di dalam penanganan perbaikan
masalah sosial yang ada lingkungan hidup,
di wilayahnya. dan lainnya.

134 Laporan Hasil Penelitian


D. Aspek Peran Kemensos

Peran ganda sebagai regolator dan operator yang dimiliki


oleh Kementerian Sosial tidak sedikit menimbulkan kekurangan
dalam mencapai target. Hal ini menjadi tantangan tersendiri
bagi Kementerian Sosial dalam melaksanakan program untuk
pengentasan kemiskinan. Dari tantangan inilah diperlukan
penataan peraturan undang-undang yang mendukung peran
Kementerian Sosial sebagai regulator tanpa meninggalkan peran
kemensos sebagai operator untuk kasus-kasus tertentu. Dengan
kata lain kemensos dapat memberikan kepercayaan lebih terhadap
pihak lain baik sektor swasta maupun pemerintah daerah dalam
melaksanakan program.
Sejalan dengan aspirasi berbagai pihak untuk beralih dari
pendekatan residual ke developmental, terdapat beberapa
tantangan yang dikemukakan oleh kalangan praktisi, CSO, dan
akademisi. Tantangan tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut :
Praktisi Akademisi CSO
- Kemensos harus - Melibatkan semua - Diperlukan
memberikan sektor dalam penataan peraturan
kepercayan penyusunan undang-undang
kepada daerah regulasi dan untuk memperkuat
sebagai program, termasuk peran Kemeterian
operator dengan penerima manfaat Sosial sebagai
disupport - Pemilahan tugas regulator tanpa
anggaran dari harus jelas/ meninggalkan
pusat diperlukan, dalam peran operator
peran mana untuk kasus-
Kemensos menjadi kasus tertentu,
regulator dan mana namun tetap
operator. dalam semangat
pemberdayaan.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 135


E. Aspek Karakteristik Masalah Sosial

Terjadinya permasalahan sosial baru di dalam masyarakat juga


menjadi tantangan bagi pihak Kementerian Sosial maupun Dinas-
Dinas Sosial (Dinsos) yang ada di tingkat Kabupaten dan Kota.
Hal ini dikarenakan, permasalahan sosial baru tersebut belum
dimasukkan ke dalam 26 jenis PMKS sebagaimana yang diatur
dalam Permensos No. 8 Tahun 2012. Dalam hal ini, permasalahan
sosial yang baru tersebut dalam hal penanganannya lebih
dibebankan kepada pihak Dinsos yang ada di Kabupaten/Kota.
Selain itu dengan adanya perubahan-perubahan istilah yang
terjadi di dalam peraturan perundang-undangan seringkali
membuat kesulitan dalam masyarakat. Hal tersebut terjadi
dikarenakan kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah
kepada masyarakat. Dalam hal ini dicontohkan adanya perubahan
istilah dari “Panti” menjadi “Lembaga Kesejahteraan Sosial” pada
saat ini.
Praktisi Akademisi CSO
• Banyak • Kementerian • Seringkali terjadi
permasalahan Sosial sebagai perubahan istilah
sosial yang terjadi operator, dalam peraturan
namun bukan memiliki namun tidak
berasal dari wilayah keterbatasan tersosialisasikan
yang ditangani dalam dengan
oleh Dinsos Kab/ melakukan baik kepada
Kota setempat serta penanganan 26 masyarakat.
secara kasuistik jenis PMKS, baik Sebagai contoh
juga terdapat dari finansial, perubahan
permasalahan SDM serta sarana istilah dari Panti
di luar kriteria dan prasarana menjadi Lembaga
PMKS namun Kesejahteraan
penangananya juga Sosial
dilakukan oleh
Dinsos Kab/Kota.

136 Laporan Hasil Penelitian


BAB IV
PROSPEK PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

A. Aspek Developmental Approach

Di masa yang akan datang, program pembangunan


Kesejahteraan Sosial diharapkan dapat mengarah ke
developmental approach yang mengutamakan program-program
yang bersifat pemberdayaan dan preventif. Untuk mendukung
upaya ini pemerintah tidak bisa berdiri sendiri. Diperlukan
partisipasi dari masyarakat dan dunia usaha dengan menguatkan
modal sosial dan kelembagaan yang ada di masyarakat. Selain
itu, untuk mendukung perubahan arah pembangunan, harus ada
pembenahan data. Data ini harus terus diperbaharui agar program
efisien dan tepat sasaran.
Praktisi Akademisi CSO
• Kemensos tidak • Program pembangunan • Pemberdayaan
lagi bertindak kesejahteraan sosial dan penguatan
seperti pemadam diarahkan ke preventif, kelembagaan
kebakaran promotif, dan masyarakat
melainkan lebih developmental yang harus dilakukan
banyak melakukan bersifat sustainable sampai struktur
tindakan serta terkoneksi dengan paling rendah/
pencegahan program SDGs bawah (RT/
• Kemensos Dusun/Nagari)
mengedepankan
konsep
pemberdayaan
yang didukung
oleh data yang
tepat dan terus
diperbaharui

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 137


• Pembaharuan • Program pembangunan • Pemberdayaan
data agar program mengutamakan dilakukan
pengentasan pemberdayaan dengan
kemiskinan dan penguatan kesepakatan
tepat dan efisien lembaga dengan kerjasama
sehingga tingkat mengedepankan antar sektor
kemiskinan dapat potensi/modal sosial di publik, privat,
diselesaikan dan masyarakat. dan CSO, agar
juga program • Memperkuat nilai- mekanisme
pemberdayaan nilai sosial budaya berjalan baik.
masyarakat dapat lokal yang mendukung
berhasil pencapaian tujuan
pembangunan
sosial. Pemanfaatan
potensi dan sumber-
sumber lokal yang
dapat digunakan
dalam menangani
permasalahan sosial.

B. Aspek Investasi Negara di Bidang Sosial

Dengan adanya pemetaan sosial, program pembangunan


kesejahteraan sosial sesuai kebutuhan, lebih tepat sasaran ,
berkelanjutan, pengentasan kemiskinan dapat dipercepat,
sinergitas program antar lembaga lebih terarah (tidak tumpang
tindih anggaran), dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi
daerah. Pemetaan sosial juga dapat meningkatkan kompetensi
dan kualifikasi SDM melalui lembaga sertifikasi profesi.
Selain itu adanya regulasi yang mendukung pembangunan
kesejahteraan sosial secara holistik dengan melibatkan semua
pemangku kepentingan, maka indikitaor keberhasilan dan dampak
program dapat terukur. Sehingga negara lain yang memiliki modal
sosial besar mau ikut berinvestasi secara sosial untuk mendukung
program.

138 Laporan Hasil Penelitian


Praktisi Akademisi CSO
• Program tersebut • Ada lembaga lain di • Sinergi antar
akan lebih luar negara yang mau kementerian
tepat sasaran ikut berinvestasi dalam investasi
dan sesuai • Regulasi yang bidang
kebutuhan mendukung investasi sosial harus
• Mempercepat sosial secara holistic. ditingkatkan.
Pengentasan • Tersusunnya • Program (sebagai
kemiskinan indikator outcome realisasi investasi
(PMKS) dan dampak yang sosial) harus
• Peningkatan terukur. menyentuh
kapasitas SDM • Meningkatnya kebutuhan
dan kelompok kompetensi dan penerima
masyarakat kualifikasi SDM manfaat, harus
• Meningkatkan melalui Lembaga berkelanjutan.
pertumbuhan Sertifikasi Profesi dan • Pelatihan dari
ekonomi di Person. kemensos tidak
daerah tersebut. • Meningkatnya peran hanya tergantung
• Sinergitas organisasi dan dengan dana
program antar layanan sosial sesuai • System gandeng
Lembaga standar pelayanan –gendong
sehingga tidak dan terakreditasi • Setelah pelatihan
ada tumpang oleh Badan dikoordinasikan
tindih anggaran Akreditasi Lembaga dengan Kadin
Kesejahteraan Sosial. • Peserta pelatihan
harus sesuai
dengan minat

C. Aspek Partisipasi 3 Sektor (Pemerintah, Dunia Usaha dan


Masyarakat)

Peningkatan peran Pemerintah, Swasta dan CSO dalam


pembangunan kesejahteraan sosial bukanlah merupakan hal
yang mustahil untuk diwujudkan. Berdasarkan pengalaman dan
pengamatan di Daerah, saat ini mulai terlihat munculnya beberapa
Daerah yang memiliki tingkat kesadaran penanganan masalah sosial
yang baik, seperti terlihat dari komitmen Kepala Daerah dalam
bentuk kebijakan dan komitmen perusahaan dalam bentuk
pemberian dana CSR. Namun demikian, peningkatan peran ini

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 139


perlu dipelihara dan diperkuat, yaitu dengan segera memperbaiki
koordinasi dan sinergi antar instansi maupun antar sektor yang
menjadi permasalahan/tantangan pembangunan kesejahteraan
sosial saat ini. Perbaikan koordinasi dan sinergi tersebut dapat
diupayakan dengan mengoptimalkan fungsi Forum CSR yang ada
saat ini.
Dalam arah baru pembangunan kesejahteraan sosial,
Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Sosial, diharapkan
mengurangi fungsinya sebagai operator dan mulai memaksimalkan
perannya sebagai regulator, yaitu dengan melakukan koordinasi
dan memperkuat jejaring dengan Pemerintah Daerah. Selain itu,
kedepannya diharapkan Kementerian Sosial dapat melibatkan sektor
lainnya dalam menyusun sasaran (goals) program-programnya,
sehingga nantinya dapat terwujud program-program kesejahteraan
sosial yang bersifat program sharing, cost sharing, dan knowledge
sharing (khususnya transfer keahlian dari sektor swasta). Pada
sektor CSO secara khusus, untuk mewujudkan perbaikan kualitas
layanan sosial oleh CSO dapat dilakukan dengan mendorong
akreditasi CSO. Di sisi lain, diperlukan juga adanya sistem
reward and punishment bagi sektor Swasta dan sektor CSO yang
menyelenggarakan program-program kesejahteraan sosial.

140 Laporan Hasil Penelitian


Praktisi Akademisi CSO
• Diperlukan • Kementerian • Dengan melibatkan
adanya kerjasama Sosial diharapkan peranan
lintas sektor serta dapat mengurangi CSO dalam
lebih melibatkan peranan sebagai penanggulangan
peranan operator masalah sosial
akademisi dan program dan diharapkan mampu
komunitas memaksimalkan mengurangi angka
• Pemerintah peranan sebagai PMKS dan dapat
Daerah regulator dengan berjalan lebih
diharapkan memperkuat efektif dan efisien
dapat melakukan koordinasi dan • Diharapkan dapat
penyusunan kerjasama dengan terwujudnya
sasaran program pemerintah daerah forum pertemuan
(goals) dengan • Diperlukan antara pemerintah,
melibatkan adanya akreditasi swasta dan CSO
peranan seluruh organisasi dalam melakukan
pihak, salah sosial (CSO) pengawasan,
satunya Forum sebagai bentuk evaluasi dan
CSR pertanggung- pengembangan
• Baik Pemerintah jawaban lembaga sistem kerjasama
Pusat maupun • Perlu diarahkannya yang difasilitasi
Pemerintah program-program oleh pihak
Daerah, pada CSR supaya pemerintah
diharapkan dapat lebih menunjang • Perlunya
membentuk SDG`s sebuah regulasi
sebuah program baru di dalam
yang bersifat mensinergiskan
sharing program kerjasama diantara
& sharing cost tiga pihak, sehingga
dengan pihak tidak hanya
swasta ataupun bertumpu kepada
dunia usaha. CSR semata.
• Adanya apresiasi
kepada pihak
perusahaan
(swasta) maupun
CSO yang telah
melakukan usaha
kesejahteraan
sosial.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 141


E. Aspek Peran Kemensos

Seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan yang


dihadapi masyarakat, Kementerian Sosial diharapkan lebih
konsisten dalam melaksanakan perannya sebagai regulator,
sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang No. 23
Tahun 2014 dan undang-undang No. 11 Tahun 2009. Sejalan
dengan konsep arah baru pembangunan kesejahteraan sosial
ini juga, maka kemensos dapat melibatkan pihak-pihak terkait
selaku pemangku kepentingan sehingga implementasi program
terlaksana secara berkelanjutan. Harapan ini muncul dalam
diskusi kelompok yang melibatkan kalangan praktisi, akademisi,
dan CSO sebagaimana tabel di bawah ini :

Praktisi Akademisi CSO


- Kemensos - Porsi regulator lebih - Kebijakan yang
berperan diperbesar dan peran berbasis riset
sebagai operator dikurangi melibatkan
regulator dan dilimpahkan seluruh pemangku
- Kemensos pada dinas terkait/ kepentingan.
menyusun UPT Layanan Sosial. - Hubungan
regulasi Tanpa menghilangkan kerjasama bersifat
mengenai peran operator kemitraan.
program yang dalam kasus/situasi - Harus ada
dilakukan oleh tertentu. Kemensos penegasan yang
Daerah juga berperan dalam jelas kewenangan
melakukan MONEV. antara pusat dan
- Peran operator juga daerah.
dapat dilimpahkan - Kemensos
kepada lembaga atau menetapkan NSPK
organisasi masyarakat
sipil.

F. Aspek Karakteristik Masalah Sosial

Dengan adanya perkembangan teknologi pada saat ini,


merupakan salah satu modal bagi Kementerian Sosial dalam
menangani permasalahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat

142 Laporan Hasil Penelitian


pada masa yang akan datang. Salah satunya adalah dengan
mengembangkan Sistem Informasi Manajemen (SIM) sebagai
sumber pendataan PMKS di Indonesia.
Kemudian juga diharapkan bahwa pada masa yang akan datang,
dalam melakukan penanganan masalah sosial juga turut melibatkan
peranan dari pihak di luar pemerintah. Dalam hal ini, dapat dilakukan
dengan cara penguatan terhadap keluarga, lembaga-lembaga adat
serta CSO yang ada di setiap daerah. Serta diharapkan juga bahwa
program bantuan yang diberikan tidak lagi bersifat charity namun
lebih kepada upaya pemberdayaan bagi penerima manfaat.

Praktisi Akademisi CSO


• Dapat dibangun • Diharapkan pada • Meningkatkan
sebuah Sistem masa yang akan peranan keluarga
Informasi mendatang ada sebagai basis
Manajemen (SIM) kajian (study) penanganan masalah
sebagai sumber yang membahas sosial.
pendataan PMKS mengenai • Penanganan
di Indonesia jenis-jenis masalah sosial
• Penanganan permasalahan dapat dilakukan
masalah sosial baru dengan melakukan
sosial tidak yang dapat inovasi program
lagi ditangani dimasukkan ke yang terintegrasi
oleh Dinas dalam kategori serta dapat
Sosial ataupun PMKS mentransformasikan
Kementerian bantuan menjadi
Sosial saja tetapi program yang lebih
juga oleh lembaga memberdayakan
lainnya.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 143


BAB V
KESIMPULAN

A. Aspek Developmental Approach

Kesimpulan dari hasil diskusi di antara praktisi, akademisi


dan CSO mengenai developmental approach adalah diperlukan
perubahan konsep pemberian bantuan dengan mengurangi porsi
bantuan yang bersifat residual dan mulai mengarahkan kepada
upaya pencegahan dan pemberdayaan. Upaya ini diharapkan
mampu mengurangi efek ketergantungan dari bantuan sosial.

Praktisi Akademisi CSO


- Konsep - Kemensos lebih terbuka - Pembangunan
pemberian terhadap usulan kesejahteraan
bantuan dalam perubahan pendekatan sosial tidak
menangani dan model pembangunan meninggalkan
permasalahan kesejahteraan sosial. pendekatan
sosial harus Pembangunan residual
mulai diarahkan kesejahteraan sosial namun
kepada usaha lebih diarahkan pada proporsi
pencegahan developmental approach. pendekatan
dan - Mengurangi program- developmental
pemberdayaan program karitatif, lebih
agar tidak mengembangkan sistem diperbesar
terjadi perlindungan sosial, dan tidak
ketergantungan mengembangkan pelayanan hanya bersifat
sasaran intervensi dini dan karitatif
penerima memperbesar program
bantuan layanan yang bersifat
preventif.
- Pembangunan
kesejahteraan sosial
melibatkan partisipasi
masyarakat dengan
mengoptimalkan
kelembagaan masyarakat
dan modal sosial yang ada

144 Laporan Hasil Penelitian


B. Aspek Investasi Negara di Bidang Sosial

Perlu adanya revisi peraturan perundang-undangan yang


mendukung investasi sosial untuk kemudahan dan keterbukaan
akses layanan program, penguatan kelembagaan, peningkatan
SDM penyelenggara (pendamping) yang berkualitas/kompeten,
program yang mengutamakan kemandirian masyarakat dengan
pendekatan developmental.
Praktisi Akademisi CSO
Investasi bidang - Revitalisasi peraturan Investasi
social perlu perundang-undangan sosial tidak
ditingkatkan, yang mendukung hanya dibahas
dimulai dari investasi sosial untuk dalam Rakor,
pemetaan meningkatkan kapasitas melainkan
kebutuhan dan kemandirian individu, harus
program/ kapasitas kelembagaan, dilaksanakan
kegiatan, kemandirian masarakat dalam peng-
penyedian SDM dan keberlangsungan anggaran.
pendamping program yang bersifat
yang kompeten developmental.
dan sinergitas - Adanya penguatan
program antar kelembagaan, peningkatan
lembaga.  SDM Kesejahteraan Sosial
yang berhubungan dengan
layanan-layanan investasi
sosial.
- Peningkatan akses
masyarakat pada layanan
yang berbentuk investasi
sosial dipermudah,
diperjelas dan terbuka.

C. Aspek Partisipasi 3 Sektor (Pemerintah, Dunia Usaha dan


Masyarakat

Peran Pemerintah, Swasta dan CSO dalam pembangunan


sosial kedepannya tetap membutuhkan Negara/Pemerintah
sebagai penanggung jawab utamanya. Sektor Pemerintah dalam
hal ini Kementerian Sosial dapat berperan dalam menetapkan

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 145


regulasi, serta melakukan monitoring dan evaluasi terhadap
program-program dan isu kesejahteraan sosial. Sektor swasta
dapat didorong perannya untuk mendukung program melalui
pendanaan dan keahlian. Sedangkan peran CSO dapat diarahkan
untuk membantu Pemerintah dalam melakukan program-
program yang sifatnya karitatif dan residual.

Guna mendukung keberhasilan pembangunan kesejahteraan


sosial kedepannya, maka diperlukan hal-hal sebagai berikut:
1. Memperbaiki sinergi dan koordinasi antara ketiga sektor
yang disertai dengan peningkatan pemahaman atas definisi
kesejahteraan sosial secara komprehensif/ tidak parsial;
2. Menegakkan sistem reward and punishment untuk
merangsang partisipasi aktif dari ketiga sektor dalam
penanganan masalah sosial, seperti dengan memberikan
insentif atau stimulan kepada dunia usaha dan/atau cso
yang menyelenggarakan program-program kesejahteraan
sosial;
3. Menerbitkan payung hukum yang mengatus secara jelas
dan tegas mengenai bagaimana sektor pemerintah, swasta
dan cso berkolaborasi dalam pembangunan kesejahteraan
sosial;
4. Melibatkan akademisi, komunitas dan media dalam tahap
rancangan, penerapan dan pengawasan program-program
kesejahteraan sosial;

146 Laporan Hasil Penelitian


Praktisi Akademisi CSO
• Melibatkan/ • Meningkatkan • Kepala Daerah
menumbuhkan koordinasi antar perlu didorong
sinergi dan pemerintah, untuk berkomitmen
partisipasi usaha, dan menekan dunia
5 sektor masyarakat usaha dalam
(pemerintah, • Penguatan pengentasan
swasta/ peran daerah masalah sosial dan
dunia usaha, dalam mengatasi pembangunan
masyarakat, permasalahan kesejahteraan sosial
perguruan tinggi sosial • Dibuatkan Per UU
dan komunitas) • Lebih intens sebagai payung
untuk menekan hukum bagi Pemda,
dunia usaha untuk dunia usaha maupun
berpartisipasi masayarakat
dalam masalah dalam melakukan
sosial kolaborasi dalam
• Negara upaya peningkatan
memberikan pembangunan
stimulant/ kesejahteraan sosial
pengurangan • Pemerintah bertugas
pajak pada membuat regulasi,
perusahaan yang monev
mengelola dana • Swasta lebih pada
CSR nya lebih support pendanaan,
banyak. keahlian,

D. Aspek Peran Kemensos

Kesimpulan yang dapat ditarik alam aspek peran Kementerian


Sosial Republik Indonesia secara umum dapat dikatakan saat ini
masih sebagai regulator sekaligus operator. Peran ganda yang
dimiliki oleh Kemensos berdampak pada kurang maksimalnya
implementasi program sehingga urgensi permasalahan di
masyarakat belum selesai. Porsi Kemensos sebagai regulator saat
ini dapat dimanfaatkan secara lebih efisien dengan melibatkan
dan melimpahkan wewenang pada pemerintah daerah atau
dinas terkait, pihak swasta, CSO, dan bahkan akademisi guna
mewujudkan implementasi program yang berkelanjutan.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 147


Dalam mendukung Kementerian Sosial sebagai regulator,
tentunya Kementerian Sosial diharapkan lebih konsisten dalam
melaksanakan perannya sebagai regulator, sebagaimana yang
diamanatkan dalam undang-undang No. 23 Tahun 2014 dan
undang-undang No. 11 Tahun 2009. Walaupun peran kemensos
saat ini sebagai regulator, namun juga tidak meninggalkan
perannya sebagai operator dalam kasus-kasus tertentu.
Praktisi Akademisi CSO
- Saat ini - Peran ganda yang - Kementerian
Kementerian dimiliki pemerintah Sosial dapat lebih
Sosial dalam hal ini konsisten dalam
menjalankan Kementerian Sosial melaksanakan
peran rangkap merdampak pada undang-undang
sebagai regulator implementasi No. 23 Tahun 2014
sekaligus program belum sebagai regulator
operator. maksimal. - Dalam menyusun
- Dapat - Pemerintah kebijakan harus
melimpahkan dapat melibatkan berbasis riset dan
wewenang berbagai macam dapat melibatkan
terhadap sektor mulai seluruh pemangku
daerah sehingga pemerintah daerah, kepentingan
BDT dapat di akademisi, dan serta melakukan
sinkronkan dalam lembaga lain yang kerjasama berbasis
pelaksanaan konsen terhadap kemitraan
program permasalahan di
masyarakat

E. Aspek Karakteristik Masalah Sosial

Kesimpulan yang dapat diambil diantaranya adalah kategorisasi


Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) sebanyak 26
jenis sebagaimana yang diatur di dalam Permensos No. 8 Tahun
2012, perlu dilihat dan dilakukan pengkajian kembali karena
dianggap sudah tidak relevan dengan kondisi dan kebutuhan yang
ada pada saat ini. Kementerian Sosial juga perlu meningkatkan
kerjasama multisektor, baik dengan Kementerian/Lembaga
lain maupun CSO, yang memiliki kesamaan program dengan

148 Laporan Hasil Penelitian


Kementerian Sosial.
Kemudian Kementerian Sosial juga diharapkan dapat lebih
responsif dalam menanggapi perubahan-perubahan dan
perkembangan permasalahan sosial yang terjadi pada saat ini.
Selain itu diharapkan juga bahwa penanganan masalah PMKS
dapat lebih jelas serta mudah dipahami oleh seluruh lapisan
masyarakat serta dapat berjalan lebih efektif dan efisien.

Praktisi Akademisi CSO


• Perlu dilakukan • Perlu dilakukan • Penanganan
pengkajian peninjauan dan PMKS
ulang terhadap kajian kembali diharapkan
Permensos No.8 mengenai definisi dapat lebih
Tahun 2012, terkait dari Penyandang mudah
dengan jenis dan Masalah Kesejahteraan dipahami
karakteristik PMKS. Sosial (PMKS) serta oleh
• Perlunya perlu dilakukan masyarakat
meningkatkan juga penelitian serta dapat
kerjasama lintas dasar mengenai berjalan
sektor, baik dengan permasalahan sosial secara efektif
Kementerian/ • Kemensos diharapkan dan efisien
Lembaga maupun dapat lebih responsif
CSO yang memiliki dalam menanggapi
kesamaan program perkembangan
dengan Kemensos. permasalahan sosial
yang terjadi pada saat
ini

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 149


BAB VI
REKOMENDASI

Dari hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan, telah banyak


masukan dan pendapat dari berbagai akademisi, praktisi maupun
para ahli di bidang kesejahteraan sosial. Sehingga dalam laporan
ini, akan dijelaskan beberapa rekomendasi dari hasil diskusi yang
telah dilakukan :
a. Perlu dikembangkan penanganan masalah sosial
dari yang bersifat kuratif dan rehabilitatif menjadi
kepada penanganan yang lebih memfokuskan kepada
pemberdayaan (developmental)
b. Perlunya meningkatkan kegiatan-kegiatan pelatihan, baik
bagi penerima program bantuan maupun bagi pelaksana
program, untuk mengoptimalisasikan kualitas SDM agar
lebih bermutu dan berdaya saing.
c. Perlunya meningkatkan sinergitas antara pihak pemerintah,
swasta dan CSO dalam melakukan penanganan masalah
sosial dengan membuat komitmen bersama diantara
seluruh pihak.
d. Kementerian Sosial diharapkan dapat bertransformasi
menjadi regulator program dengan lebih mendorong
peranan sektor swasta dan CSO
e. Perlunya dilakukan pengkajian kembali mengenai
karakteristik Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS) agar lebih relevan dan sesuai dengan permasalahan
dan kebutuhan yang ada pada saat ini.

150 Laporan Hasil Penelitian


LAPORAN HASIL FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD)
PENELITIAN ARAH BARU PEMBANGUNAN
KESEJAHTERAAN SOSIAL TAHUN 2020 – 2024
WILAYAH TIMUR
DI HOTEL FOUR POINT, MAKASAR
TANGGAL 3-6 APRIL 2019

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 151


BAB I
PENDAHULUAN

Dalam dokumen RPJMN (I-III), khususnya dalam bidang


penyelenggaraan kesejahteraan sosial, bagian terbesarnya
masih terfokus pada penyelesaian resiko-resiko sosial lama.
Walaupun memang, diakui, ada juga yang sudah mulai merespon
permasalahan sosial kontemporer factual yang boleh jadi sudah
merupakan fenomena adanya permsalahan sosial baru, sebagai
bagian dari resiko rosial baru. Permasalahan dalam koridor resiko
sosial lama, oleh Kementerian Sosial memasukkannya kedalam
Permasalahan Kesejahteraan Sosial (PMKS), yang terdiri atas
26 (dua puluh enam) dengan tetap mengedepankan penguatan
Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS).RPJMN III belum
secara eksplisit memberikan arahan atas apa dan bagaimana
menyikapi masuknya era Revolusi Industri 4.0. Bagaimana dan
apa yang harus dilakukan, baik oleh Negara (melalui pemerintah)
masyarakat juga dunia usaha?
Pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial dewasa ini,
masih terasa dan kasat mata akan adanya didominasi peran
pemerintah pusat, hampir dalam segala lini. Mulai dari regulasi,
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, monitoring hingga
evaluasi. Walaupun kita sadari bersama pemerintah memiliki
keterbatasan, khususnya SDM disamping pembiayaan.
Idealnya, skema penyelenggaraan pembangunan kesejahteraan
sosial lebih mengedepankan upaya-upaya prefentif (prevention
service) sebagai arus utama. Namun pada kenyataannya, kita
masih lebih mengedepankan pelayanan rehabilitasi dengan basis
institusi/panti (alternate state care). Skema penyelenggaraan

152 Laporan Hasil Penelitian


pelayanan sosial semacam ini jelas memerlukan anggaran yang
jauh lebih besar. Sehingga dalam banyak kasus masih ditemukan
inefisiensi, efektifitas pelayanan yang belum optimal bahkan
adanya penyimpangan (anggaran). Skema penyelenggaraan
pembangunan kesejahteraan sosial modern secara ideal semestinya
mengedepankan upaya pencegahan (prevention service) sebagai
pilar utamanya, baru disusul pelayanan primer (early intervention
service), yang dilanjutkan dengan adanya system perlindungan
(protection service). Sedangkan pelayanan dalam basis institusi
oleh Negara/pemerintah (entah dalam bentuk panti atau
lembaga-lembaga lainnya) merupakan pelayanan alternatif akhir
(alternate state care). Keempat komponen skema penyelenggaraan
kesejahteraan sosial modern ini pada dasarnya telah terbangun
dalam sitem penyelenggaraan kesejahteraan sosial di Indonesia
(yang utamanya dilaksanakan oleh Kementerian Sosial), namun
dalam konstruksi piramida terbalik, dimana pelayanan alternatif
akhir (alternate state care) menjadi bagian terbesarnya. Sedangkan
upaya pencegahan (prevention service), masih mendapatkan
proporsi yang relatif kecil. Dimana dalam konstruksi ini dikenal
dengan istilah Residual-Institutional Dichotomy Model (Duetsche
M, 2007). Konstruksi penyelenggaraan kesejahteraan sosial modern
idealnya mengarah ke Model pengembangan (Developmental
Model of Social Welfare).

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 153


BAB II
KONDISI PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
SAAT INI

A. Aspek Developmental Approach

Permasalahan sosial yang semakin komples dan besarnya


tanggungjawab yang dimiliki pemerintah membuat pemerintah
melakukan berbagai macam upaya untuk menyelesaikannya
sehingga terlihat adanya dominasi peran dari pemerintah
dalam upaya tersebut. Adanya dominasi peran yang dilakukan
pemerintah menimbulkan berbagai macam dampak di antaranya
pemerintah cenderung menggunakan metode pendekatan
residual jadi bantuan sosialnya terkesan lebih bersifat kuratif,
melahirkan ketergantungan, rendahnya tingkat ke validtan data,
banyak program yang salah sasaran, kurangnya upaya pada
tingkatan pencegahan dan hanya fokus pada penanganan PMKS
dan masih banyak lagi.
Adanya fokus pemerintah untuk menangani permasalahan
tersebut membuat pemerintah tidak melihat atau mengabaikan
banyaknya potensi yang dimiliki oleh setiap daerah yang berbeda-
beda. Potensi ini dapat berbentuk kearifan lokal, selain itu dapat
juga dengan cara membuat program pemberdayaan (pendekatan
developmental) yang tidak hanya berorientasi ekonomi,
melakukan perencanaan hingga monev dengan baik, membuat
regulasi bagi semua sektor agar terbangun kerjasama dan integrasi
data melalui BDT, dan masih banyak lagi.

154 Laporan Hasil Penelitian


Akademisi Praktisi CSO
Kondisi saat ini Kondisi saat ini Kondisi saat ini
dipandang sebagai dipandang sebagai dipandang sebagai
suatu masalah: suatu masalah: suatu masalah:
• Masalah • Adanya • Pemerintah selalu
sosial menjadi fragmentasi mendominasi dalam
tanggungjawab horizontal hal penanganan
negara dan vertikal, masalah sosial dan
• Bantuan sosial penurunan angka menyeragamkan
yang melahirkan kemiskinan strategi penyelesaian
ketergantungan lamban masalah
• Mengabaikan • Kurangnya upaya • Masih banyak
Kearifan pada tingkatan permasalahan sosial
Lokal dan pencegahan terkait perempuan,
keikutsertaan dan fokus pada napza, ODHA,
masyarakat. penanganan PMKS disabilitas, lansia,
• Data dan • Penanganan keluh anak.
identifikasi kesah masyarakat • Ketergantungan
masalah sosial belum terintegrasi terhadap bantuan
sangat eksklusif. • Bantuan sosial pemerintah dan
• Tidak ada yang melahirkan swasta seperti
regulasi yang ketergantungan bantuan uang dan
berkesinam- • Bentuk bantuan infrastruktur fisik.
bungan adalah residual • Rendahnya komitmen
jadi terkesan lebih masyarakat dalam
bersifat kuratif mengikuti program
dan pemahanan
terkait indikator
yang digunakan
oleh semua pihak
berbeda-beda

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 155


Akademisi Praktisi CSO
Kondisi saat ini • Pemahaman
dipandang sebagai Masyarakat
suatau potensi: terhadap program
• Basis data terpadu pemberdayaan
menjadi rujukan hanya terbatas
oleh semua sektor, kepada bantuan
dan sudah ada ekonomi (finansial)
pemutakhiran data bukan pada makna
oleh PUSDATIN pemberdayaan
KEMENSOS sesungguhnya
melalui inovasi Kondisi saat ini
aplikasi SIKS NG, dipandang sebagai
Webgis suatu potensi:
• Perda hak pengakuan
tanah adat.
• Adanya perseketuan
berupa Latu pati di
masyarakat Ambon
yang merupakan
persekutuan
masyarakat adat yang
melestarikan tradisi
dan budaya adat
maluku.
B. Aspek Investasi Negara di Bidang Sosial
Investasi negara dalam bidang sosial sudah dilakukan oleh
pemerintah dalam bentuk regulasi, program-program, tempat
rehabilitasi serta prasarana lain yang mendukung penanganan
masalah PMKS seperti pendamping PMKS. Bantuan yang diberikan
pemerintah atau negara dalam pembangunan kesejahteraan sosial
sangat dominan. Dalam membuat regulasi tentang PMKS, pemerintah
tidak melibatkan pemerintah daerah dan tidak mempertimbangkan
kondisi masyarakat di masing-masing daerah. Sehingga regulasi
tersebut menempatkan negara sangat dominan dalam penyusunan
program dan pelaksanaan program.

156 Laporan Hasil Penelitian


Beberapa program-program PMKS yang dibuat oleh pemerintah
atau negara saat ini masih banyak yang belum dipahami oleh
masyarakat. Informasi dan sosialisasi mengenai program-program
yang dibuat oleh pemerintah tidak dilakukan secara optimal.
Adanya kesenjangan kapasitas yang lebar antara masyarakat
desa dan masyarakat kota membuat pemahaman masyarakat
pada masing-masing daerah tidak sama terhadap program yang
diberikan. Program yang dibuat oleh pemerintah sebagian besar
melihat penerima manfaat sebagai obyek tidak sebagai subyek
yang dilibatkan dalam penyusunan maupun pelaksanaan program.
Selain itu, program yang dibuat oleh pemerintah lebih banyak
kepada bantuan yang bersifat sosial, sehingga sering membuat
penerima manfaat merasakan ketergantungan, menimbulkan
kecemburuan bahkan kesenjangan sosial. Permasalahan lainnya
adalah basis data penerima program yang masih belum tepat
sasaran akibat dari kepemilikan identitas dari penerima manfaat
yang belum memiliki dokumen identitas.
Investasi negara bidang sosial lainnya yang sudah dilakukan
oleh pemerintah adalah membangun tempat-tempat rehabilitasi
sosial. Namun tempat-tempat rehabilitasi sosial ini letaknya
sebagian besar berada di kota besar. Sehingga keterjangkauan
distribusi pelayanan sosial secara nasional masih sangat terbatas.
Disamping itu, permasalahan pendamping program juga banyak
ditemukan di lapangan. Kapasitas pendamping lapangan yang
masih rendah dan tidak kompeten bahkan bukan berasal dari latar
belakang kesejahteraan sosial; sehingga program tidak berjalan
secara efektif dan efisien.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 157


AKADEMISI PRAKTISI CSO
• Distribusi pelayanan sosial dari • Pemerintah pusat sudah

158
Individu
• Kapasitas individu: kemensos masih terbatas melakukan sistem pendataan
Kemampuan orang per orang • Informasi ttg program terpadu sampai ke tingkat
dalam mengurus dirinya. perlindungan sosial belum desa.
• Kapasitas individu kurang, maksimal • Pemerintah pusat sudah
misalkan: gap antara • Kualitas SDM di lembaga melakukan rekrutmen tenaga
kapasitas masyarakat desa pelayanan sosial masih pendamping untuk program-
dengan masyarakat kota terbatas mengakibatkan kurang program di masyarakat.
• Individu pada dasarnya maksimalnya pelayanan • Program-program
punya potensi sosial yang dirasakan oleh pemerintah masih banyak
• Kualitas SDM lemah di masyarakat(masih banyak yang yang menempatkan sasaran

Laporan Hasil Penelitian


bidang Kesosek, berdampak belum paham tentang program- program sebagai obyek, tidak
pada investasi negara program perlindungan sosial dari sebagai subyek.
• Literasi individu lemah kemensos) • Regulasi untuk mengakomodir
• Intensifikasi pendidikan • Banyak SDM di lembaga PMKS sudah ada.
lemah dan tidak merata sosial dan pendamping sosial • Pemerintah pusat sudah
• Punya kecerdasan potensial yang tidak berlatar belakang membangun Rehsos PMKS di
tapi tidak punya kecerdasan kessos(pendamping sosial berlatar beberapa daerah.
aktual kessos terbatas) • Program pemerintah yang baik
• Akses terhadap • Kurangnya pelibatan Pemda di masyarakat dihapuskan
pembangunan ekonomi dan dalam proses perekrutan oleh pemerintah sendiri.s
sosial terbatas pendamping sosial (Rehabilitas Berbasis
Negara • Kurangnya koordinasi antara Masyarakat/RBM)
• Negara (Goverment) pendamping sosial dengan • Investasi negara di bidang
terlalu Dominan dalam pemerintah setempat sosial tidak semuanya gagal
pembangunan Kesos • Masih kurangnya apresiasi
kemensos untuk TKSK dan
pendamping sosial lainnya
Masyarakat • Pendamping PKH terkesan • Sifat komplementaritas
• Respon dan peran eksklusif dibandingkan dengan program dalam PKH, dalam
masyarakat dalam pendamping sosial lainnya karena prakteknya menimbulkan
peningkatan kesos blm perekrutannya langsung oleh kecemburuan sosial,
optimal. Kemensos kesenjangan sosial, diperparah
• Ketergantungan masyarakat • Belum adanya penyuluh sosial dengan penerima manfaat
terhadap negara terlalu besar yang bisa memberikan informasi yang belum tepat sasaran (data
• Prilaku individu dan lengkap tentang program-program tidak seluruhnya valid)
masyarakat dalam dari kemensos • Jumlah PBI JKN sudah sangat
menjalankan program • Masih kurangnya pengembangan besar, namun cakupan
kadang menyimpang kapasitas dan pendayagunaan program BPJS masih rendah,
Komunitas pilar-pilar sosial, misalnya misalnya di Halmahera Timur
• Ketergantungan komunitas PSM, tokoh-tokoh lokal dalam masih ada 35% warga belum
terhadap negara terlalu besar paguyuban, tokoh-tokoh adat dan memiliki jaminan kesehatan,
Lembaga Kesos lembaga keagaamaan sehingga baik karena tidak terjangkau
Rendahnya sinergitas antar LKS pelibatan masyarakat dalam PBI maupun karena rendahnya
(Swasta, lambaga adat) layanan kessos masih kurang kesadaran atas pentingnya
• Negara: dominasi negara maksimal jaminan kesehatan
pada investasi sosial, • Belum ada keterpaduan program • Investasi negara di bidang
baik dalam regulasi dan dan kegiatan lintas sektor antar sosial belum didukung dengan
implementasi. lembaga dan kementerian data yang valid
• Kehidupan sosial yang • Gerakan sadar administrasi • Masih ditemukan warga
semakin individualistik. kependudukan (Akte kelahiran, yang belum memiliki data
• Komunitas dan lembaga KTP, KK, KIA). Kependudukan (Akta

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024


kesejahteraan sosial: yang Kelahiran, NIK/KTP),
kurang berperan dan tidak sehingga hak masyarakat tidak
fungsional. terpenuhi

159
• Kerjasama antara pemerintah dan • Investasi kemensos di

160
dunia usaha dalam menerapkan kelembagaan kesejahteraan
program pemberdayaan dibidang sosial dinilai sudah tepat
pendidikan dan kesehatan yang • PSM di lapangan hampir
dapat menunjang peningkatan mati suri, membutuhkan
ekonomi masyarakat regenerasi/perekrutan baru
• Karang taruna sebagai sarana
politik (makassar)
• Investasi sosial belum
terdokumentasi dengan baik

Laporan Hasil Penelitian


C. Aspek Partisipasi 3 Sektor (Pemerintah, Dunia Usaha dan
Masyarakat)

Peran pemerintah, dunia usaha dan masyarakat dinilai belum


sinergis satu sama lain. Saat ini Kementerian Sosial masih menjadi
pihak yang dominan dalam pelaksanaan pembangunan. Hal
tersebut dianggap melemahkan kemampuan masyarakat dalam
menyelesaikan permasalahannya sendiri. Terkait peran CSO,
pemerintah telah memberikan peluang bagi CSO untuk terlibat
dalam pembangunan. Kelompok praktisi berpendapat bahwa
peluang ini sudah dimanfaatkan dengan baik sehingga keberadaan
CSO telah menimbulkan dampak positif bagi masyarakat.
Sedangkan kelompok akademisi sepakat bahwa selama ini pihak
CSO masih belum maksimal dalam melaksanakan perannya.
Begitu pula dengan kegiatan CSR yang dilakukan dunia usaha.
Meskipun begitu, terdapat salah satu wilayah yang peran ketiga
sektornya sudah berjalan baik yaitu Halmahera Timur. Terkait dana
desa, saat ini penggunaannya masih dominan pada pembangunan
infrastruktur dan honorarium aparatur. Penggunaan dana desa untuk
pemberdayaan sudah dijalankan namun tidak ada keberlanjutan
program.

Praktisi
• Kordinasi antara dunia usaha, organisasi sosial dan
pemerintah belum optimal. Dinas sosial belum optimal
untuk mensinergikan kegiatan Kemensos, CSO, dan dunia
usaha
• Sudah ada kontribusi dunia usaha melalui CSR misalnya
bekerjasama dengan perguruan tinggi untuk melakukan
pemberdayaan UKM namun masih ada pemanfaatan dana
CSR yang tidak sesuai peruntukannya
• CSO sudah diberikan peluang untuk terlibat dalam
pembangunan kesos. CSO juga telah memberikan dampak

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 161


positif terhadap keepercayaan masyrakat pada program-
program Kemensos namun masih terdapat CSO yang
kurang berkoordinasi dengan Dinas Sosial
• Dana Desa lebih banyak digunakan bagi pembangunan
infrastruktur
Akademisi
• Selama ini peran negara masih mendominasi dalam
pembangunan. Hal ini melemahkan kapasitas masyarakat
dalam menyelesaikan masalah
• Kordinasi antara 3 aktor masih rendah
• Dunia usaha kurang terlibat dalam usaha pembangunan
• Organisasi kemasyarakatan, LSM belum maksimal
menjalankan peran pembangunan
• Dalam penggunaan dana desa, persentase dana bagi
infrastruktur dan honorarium aparatur masih dominan.
Selain itu SDM dan pemahaman aparatur desa mengenai
regulasi dana desa masih rendah
CSO
• Peran sektor belum terintegrasi. Peran Kemensos masih
dominan. Namun di Halmahera timur, peran 3 sektor
sudah berjalan baik
• Peran 3 sektor yang hanya sekedar “slogan” dimana
masyarakat merasa sudah terlibat di perencanaan daerah
tetapi implementasi di lapangan tidak sesuai yang
diharapkan.
• Kasus di Kupang: tenaga kesehatan yang tradisional bisa
bekerjasama dengan tenaga kesehatan pemerintah.
• Forum CSR sudah terbentuk di provinsi, tapi belum memiliki
mekanisme kerja dalam pencapaian kesejahteraan sosial.
Selain itu, CSR lebih mengutamakan ring 1
• Kurangnya sosialisasi dari setiap sektor terkait program

162 Laporan Hasil Penelitian


kesejahteraan sosial, misalnya dunia usaha tidak
mengkomunikasikan penerima manfaatnya, dst.
• Di beberapa daerah, peran Pemda kurang justru TNI lebih
berperan
• Dana desa sudah ada pemberdayaan tapi tidak ada kegiatan
berkelanjutan

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 163


LAPORAN HASIL DISKUSI PADA KONVENSI
PENELITIAN ARAH BARU PEMBANGUNAN
KESEJAHTERAAN SOSIAL TAHUN 2020 – 2024
DI HOTEL CROWN, BANDUNG
TANGGAL 3O JUNI – 3 JULI 2019

164 Laporan Hasil Penelitian


HASIL DISKUSI KONVENSI
ARAH BARU PEMBANGUNAN KESEJAHETRAAN
SOSIAL INDONESIA 2020-2024: PENGARUSUTAMAAN
PENDEKATAN DEVELOPMENTAL
(INDONESIA NEW DIRECTION OF SOCIAL WELFARE
DEVELOPMENT 2020-2024: MAINSTREAMING
DEVELOPMENTAL APPROACH)

A. ARAH LAMA
1. Penetapan sasaran pembangunan kesejahteraan sosial
di Indonesia saat ini, lebih didasarkan pada basis data
terpadu yang memuat data penduduk yang membutuhkan
pelayanan sosial terutama rehabilitasi sosial melalui
perawatan negara alternatif (panti sosial). Perawatan
negara alternatif (basis residensial) masih sangat
diperlukan, tetapi lebih sebagai ‘the last resort’ apabila
jalan lain (pelayanan perlindungan, pelayanan intervensi
dini, pelayanan pencegahan) yang dilakukan oleh keluarga,
komunitas dan masyarakat pada tingkat desa/ kelurahan,
kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi sudah tidak
mampu mengatasinya.
2. Data merupakan bahan dasar (row material) dalam proses
perencanaan dan evaluasi. Data yang tidak valid akan
menghasilkan dokumen perencanaan yang tidak optimal.
Evaluasi program akan sulit memperoleh data yang
obyektif. Aplikasi Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial
Next Generation (SIKS’NG) yang disediakan oleh Pusdatin
Kesos Kementerian Sosial masih belum bisa menjawab
perubahan data yang dinamis di daerah. Akibatnya sasaran

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 165


penerima program di lapangan kurang tepat.
3. Aksesibilitas pada distribusi pelayanan sosial menghadapi
permasalahan, di mana warga masyarakat yang memenuhi
kriteria tidak memperoleh pelayanan sosial, dan begitu
pula sebaliknya. Hal ini disebabkan oleh lambatnya
pemutakhiran data dan kegiatan verifikasi dan validasi
yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kabupaten/Kota belum
memenuhi standar.
4. Hal tersebut mendorong pengalokasian sumberdaya
(finsansial dan sumber daya manusia) yang sangat besar
untuk mendukung pelaksanaan verifikasi dan validasi
yang canggih untuk melakukan pembaharuan (updating
data), sementara alokasi sumber daya yang tersedia sangat
terbatas. Alokasi dana yang besar untuk proses verifikasi dan
validasi ternyata belum secara signifikan meminimalisir
terjadinya bias (inclussion/exclusion errors), sehingga
berpotensi menimbulkan instabilitas sosial terkait dengan
keadilan sosial.
5. Sistem penganggaran untuk mendukung pembangunan
kesejahteraan sosial lebih menekankan pelayanan
residual yang menyamaratakan dan menyeragamkan
masalah kesejahteraan sosial tanpa memperhatikan
perbedaan karakteristik, kondisi, dan lokalitas sehingga
membatasi inovasi pemerintah daerah dan menyulitkan
individu, keluarga, komunitas, dan masyarakat dalam
memberikan dukungan upaya pencegahan, intervensi
dini, perlindungan, dan perawatan yang diperlukan
6. Waktu dan proses intervensi pekerjaan sosial terhadap
mereka yang membutuhkan pelayanan sosial lebih banyak
ditentukan oleh siklus anggaran dari pada mekanisme
standar proses intervensi sosial itu sendiri. Kebijakan
dan program kesejahteraan sosial lebih bersifat karitatif
sehingga menimbulkan ketergantungan penerima manfaat

166 Laporan Hasil Penelitian


terhadap bantuan sosial daripada pemberdayaan sosial.
7. Perubahan sosial, ekonomi, dan budaya yang terjadi
saat ini berlangsung sangat cepat, disruptive, dan
memunculkan ‘risiko sosial baru’ yang tidak diperkirakan
sebelumnya. Sementara itu, pendekatan residual dalam
sistem kesejahteraan sosial tidak mampu mengantisipasi
‘risiko sosial baru’ karena intervensinya bersifat reaktif dan
tidak proaktif.
8. Masih terdapat ketidaksinambungan dalam regulasi
kesejahteraan sosial sehingga menimbulkan
kesalahpahaman, bahkan menghambat inovasi dalam
pelayanan sosial. Di sisi lain, bantuan sosial belum
sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan, baru sebatas
pemenuhan kebutuhan dasar, dan belum memandirikan
penerima manfaat, bahkan dapat mengakibatkan
ketergantungan penerima manfaat. Hal ini didukung hasil
survey online, dimana 45,63% responden menyatakan
bahwa bantuan sosial yang diterima oleh para penerima
manfaat menimbulkan ketergantungan. Bahkan dalam
beberapa kasus, justru memperlemah nilai-nilai kearifan
lokal sebagaimana hasil survey dimana 30,77 persen
responden menyatakan persetujuannya. Pemerintah
belum mengoptimalkan kearifan lokal dalam penanganan
PMKS.
9. Masalah kesejahteraan sosial menjadi tanggung jawab
bersama, antara pemerintah, swasta dan masyarakat.
Masing-masing memiliki potensi dan strategi yang
berbeda-beda, namun sinergi dan kolaborasi belum
maksimal. Bahkan di lingkungan Kementerian Sosial,
sinkronisasi dan sinergi program antar satuan kerja (satker)
belum optimal. Ada kesan satker tidak mau tahu kelanjutan
program dari satker yang lain, padahal masih dalam satu
alur dan memungkinkan untuk disinergikan.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 167


10. Kementerian Sosial belum memberikan respons secara
tepat terhadap kebutuhan riil penerima program.
Meskipun penerima program membuat usulan kebutuhan
(proposal), pada akhirnya keputusan ditentukan dari Pusat
dan atau instansi sosial di daerah, sehingga pada hakikatnya
program masih bersifat top down dan non partisipatif.
Akibatnya, program yang dilaksanakan tidak sesuai dengan
kebutuhan penerima program, dan akhirnya program tidak
dikelola dengan baik dan tidak berkelanjutan.
11. Program yang berkelanjutan memerlukan dukungan
pendamping sosial yang memadai dari sisi kuantitas dan
kualitas sekaligus. Kementerian Sosial dalam rekrutmen
pendamping sosial belum sepenuhnya menunjukkan
keberpihakan pada keilmuan pekerjaan sosial. Di
lapangan, banyak pendamping sosial dari berbagai
latar belakang pendidikan non pekerjaan sosial kurang
memahami intervensi pekerjaan sosial dengan baik,
meskipun mereka memperoleh pelatihan dan bimbingan
teknis. Akibatnya, di lapangan ditemukan berbagai
kendala dalam melaksanakan intervensi sosial. Selain
permasalahan kompetensi, insentif yang diberikan kepada
pendamping sosial berbeda secara signifikan pada setiap
program. Hal ini dapat memengaruhi situasi psikis dan
kinerja pendamping sosial.
12. Kelembagaan kesejahteraan sosial sudah terbentuk
di tingkat desa/kelurahan atas inisiasi Kementerian
Sosial. Namun demikian, kelembagaan tersebut belum
memperoleh penguatan secara optimal sehingga
kelembagaan tersebut belum berfungsi secara optimal
dalam mendekatkan layanan sosial kepada masyarakat.
13. Sudah ada inisiasi pendekatan developmental yang
dianggap ideal untuk pembangunan kesejahteraan sosial,
namun saat ini pelaksanaannya masih bersifat simbolis
dan insidental. Masih dimaknai sebagai proyek (bersifat

168 Laporan Hasil Penelitian


insidental dan hanya mengikuti siklus penganggaran)
belum sebagai pemberdayaan yang sesungguhnya dan
dapat menyebabkan ketergantungan masyarakat
14. Ide dasar program pemberdayaan di Kementerian sosial
belum sejalan dengan pelaksanaannya sehingga masih
ada yang mengakibatkan melemahnya modal sosial,
menimbulkan kecemburuan, berpotensi konflik, dan
menimbulkan individualisme dan ketergantungan.
15. Individu dengan perilaku menyimpang cenderung
ditempatkan sebagai korban/ masalah, yang bertentangan
dengan pendekatan developmental. Model pemberdayaan
yang dilakukan untuk individu dengan perilaku
menyimpang belum tepat karena masih memerlukan
pelayanan sosial (rehabilitasi) untuk menghilangkan
stigma.
16. Program pembangunan kesejahteraan sosial sudah
memiliki indikator output dan outcome, namun
pencapaiannya masih belum sesuai dengan yang
diharapkan. Ruang lingkup dan sasaran pelayanan
program pembangunan kesejahteraan sosial terlalu luas
dan variatif sehingga tidak semua permasalahan dapat
ditangani dengan baik atau tidak intensif. Kemanfaatan
program pembangunan kesejahteraan sosial tidak dapat
dirasakan secara segera melainkan butuh waktu karena
menyangkut perubahan perilaku manusia, sedangkan
penilaian keberhasilan program lebih menekankan pada
output karena didasarkan pada periode tahun anggaran,
terbukti dari keberfungsian sosial dan peran peserta
program yang belum maksimal ketika dievaluasi.
17. Infrastruktur sosial, tenaga kesejahteraan sosial, dan
tenaga pendamping berbagai program pembangunan
kesejahteraan sosial telah terbangun dengan segala
kelengkapan yang telah diinvestasikan. Namun demikian

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 169


belum tertata dengan baik, belum sistematis, dan tanpa
didukung SOP dan Panduan yang aplikatif. Program
kesejahteraan sosial banyak beririsan dengan program
lain seperti pendidikan, kesehatan, perlindungan
hukum, pemberdayaan keluarga dan masyarakat, tetapi
upaya ini masih dipandang ‘sebelah mata’. Perlu adanya
peningkatan alokasi dana khusus untuk mendukung
pembangunan kesejahteraan sosial model developmental
yang mengedepankan pelayanan pencegahan pada tingkat
komunitas di daerah melalui pemberdayaan.
18. Program-program yang dilaksanakan Kementerian
Sosial lebih banyak melalui pendekatan bantuan sosial,
yang mengutamakan distribusi bantuan dalam bentuk
barang dan/atau uang. Sementara itu, program dengan
pendekatan pemberdayaan yang di dalamnya diikuti
dengan bantuan stimulan, tidak diikuti dengan peningkatan
kapasitas penerima program. Kalau pun ada pelatihan bagi
penerima program, kurang memberikan manfaat karena
tidak dapat digunakan di lokasi/daerah asal penerima
prorgam. Akibatnya, penerima prorgam tidak mengalami
peningkatan kesejahteraan sosial yang signifikan.
19. Informasi yang berkaitan dengan kebijakan, regulasi dan
program pelayanan sosial dari Kementerian Sosial masih
terbatas atau lambat. Hal ini berakibat pada lambatnya
respons daerah terhadap kebijakan dan program
Kementerian Sosial. Program perlindungan sosial bagi
masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana (alam
dan sosial) belum melahirkan komunitas tanggap bencana,
bahkan gagap dalam menghadapi bencana karena masih
mengandalkan pada pendekatan residual.
20. Kapasitas SDM kesejahteraan sosial di lembaga pelayanan
sosial belum memadai. Hal ini disebabkan oleh latar
belakang pendidikan yang sebagian besar non pekerjaan
sosial/Kesejahteraan sosial. Mereka pada umumnya baru

170 Laporan Hasil Penelitian


memperoleh pelatihan pelayanan sosial tingkat dasar.
Sementara, permasalahan sosial bersifat dinamis dan
kompleks yang memerlukan kompetensi intervensi sosial
terkini.
21. Pilar-pilar sosial di masyarakat, seperti Tokoh Agama,
Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat, Karang Taruna, Pekerja
Sosial Masyarakat, Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan,
Taruna Siaga Bencana, dan Penyuluh Sosial Masyarakat;
belum diberdayakan dan didayagunakan secara optimal.
Padahal posisi mereka sangat strategis, terutama dalam
pelayanan sosial dini atau pencegahan terjadinya
permasalahan sosial di akar rumput. Pemerintah mestinya
bisa memperluas jangkauan pelayanan dengan pelibatan
masyarakat, dan pemerintah memberikan stimulans saja.
22. Paradigma perundang-undangan dan peraturan
pemerintah mengarah kepada pembangunan
kesejahteraan sosial model residual, sehingga kurang
memberikan ruang untuk melakukan pelayanan
pencegahan, pelayanan intervensi dini dan pelayanan
perlindungan. Eksistensi lembaga kesejahteraan sosial
yang ada tidak terjamin keberlanjutannya karena lebih
banyak mengandalkan dukungan dan bantuan pemerintah
untuk memberikan pelayanan sosial kepada mereka yang
rentan dan membutuhkan pelayanan khusus.
23. Dana Desa hampir secara eksklusif digunakan untuk
pembangunan infrastruktur desa/kelurahan dan
pembayaran honorarium aparatur atau ‘elite’ desa/
kelurahan karena lemahnya kualitas sumber daya manusia
desa, dan tidak adanya arahan dan pedoman/panduan
bagi komunitas untuk menangani masalah kesejahteraan
sosial.
24. Sebagian badan usaha sudah menyelenggarakan program
Corporate Social Responsibility (CSR) untuk penanganan

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 171


kemiskinan dan permasalahan sosial lainnya. Sebagian
badan usaha sudah menjalin kerjasama dengan perguruan
tinggi dalam pemberdayaan. Namun demikian, masih
banyak badan usaha tersebut yang menyelenggarakan
program CSR berdasarkan visi dan misinya sendiri,
belum disinergikan secara optimal dengan program
pemberdayaan oleh pemerintah.
25. Kementerian Sosial RI telah memberikan kesempatan
yang seluas-luasnya kepada Organisasi Masyarakat Sipil/
CSO untuk berpartisipasi dalam implementasi kebijakan
di bidang kesejahteraan sosial. Berkenaan dengan itu
Kementerian Sosial telah menetapkan berbagai regulasi
terkait dengan pemberdayaan dan pendayagunaan CSO
dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Partisipasi
CSO ini dinilai telah memberikan dampak positif terhadap
peningkatan kepercayaan masyarakat pada program-
program Kementerian Sosial. Sebagian CSO belum
secara optimal membangun hubungan yang baik dengan
Dinas Sosial di wilayah setempat (Provinsi/Kabupaten/
Kota). Hal ini menyebabkan terjadinya mispersepsi
dalam mengimplementasikan kebijakan dan program
kesejahteraan sosial.
26. Dinas Sosial provinsi dan kabupaten/kota belum optimal
dalam mensinergikan kegiatan Kementerian Sosial, CSO
dan badan usaha/swasta. Bahkan saat ini masih ada
anggota forum CSR yang belum mengetahui program dinas
sosial kabupaten/kota atau sebaliknya. Kemudian, masih
ada sebagian CSO yang belum mengetahui bahwa legalitas
organisasinya harus didaftarkan di dinas sosial setempat
(kabupaten/kota). Hal ini mengakibatkan kebijakan dan
program Kementerian Sosial kurang dipahami dengan baik
oleh CSO maupun badan usaha. Pada sisi lain peran CSO
belum dianggap sebagai mitra strategis oleh pemerintah.
27. Hampir seluruh permasalahan sosial ditangani oleh

172 Laporan Hasil Penelitian


pemerintah, hal demikian menjadikan penanganan belum
maksimal. Oleh sebab itu pelibatan sektor swasta dan
masyarakat diharapkan dapat lebih menjangkau luas, serta
dapat membagi beban tanggungjawab yang selama ini
dijalankan oleh pemerintah. Baik pemerintah, swasta dan
masyarakat masing-masing memiliki sumberdaya manusia,
dana, data dan informasi dalam menangani masalah sosial,
hanya saja kerjasama belum dapat terwujud dengan baik.
Organisasi sosial di masyarakat sangat memahami kondisi
dan situasi sekitar sehingga mempunyai kepedulian dan
komitmen dalam hal melakukan kegiatan pencegahan dan
penanganan masalah sosial. Kuatnya dominasi Negara/
pemerintah ini tercermin juga dalam hasil survey online
dimana 70,27 persen menyatakan hal senada.
28. Dalam penentuan indikator kemiskinan, target dan
sasaran bantuan sosial, masyarakat perlu dilibatkan agar
memperoleh pemahaman dan persepsi yang sama, karena
terkadang data yang ada sudah tidak sesuai dengan kondisi
di lapangan. Pelibatan sektor swasta dan masyarakat masih
sebatas di perencanaan (musrenbang) tetapi implementasi
program di lapangan belum sesuai yang diharapkan.
29. Kementerian Sosial menjalankan peran sebagai Regulator
sekaligus sebagai Operator sehingga bebannya sangat
berat. Akibatnya implementasi kebijakannya tidak optimal,
SOP tidak berjalan/ dikerjakan dengan baik oleh Dinas
Sosial, dan tidak memungkinkan melakukan pelayanan
pencegahan karena sumber daya sudah habis terkuras
untuk melakukan rehabilitasi sosial dan intervensi lainnya
yang bersifat karitatif.
30. Karena sebagian tugas Kementerian Sosial dalam
pembangunan kesejahteraan sosial didelegasikan kepada
Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten/Kota. Tetapi tidak
semua Pemerintah daerah memiliki komitmen yang tinggi
dan siap melaksanakan tugas tersebut karena kualitas

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 173


dan kemampuan sumber daya manusia dan sumber daya
lainnya yang sangat terbatas. Ini menjadi salah satu alasan
rekrutmen pendamping sosial belum mengikutsertakan
dinas sosial kabupaten/kota. Hal ini menciptakan
hubungan kerja yang kurang kondusif. Karena merasa
tidak diikutisertan dari awal rekrutmen, maka dinas sosial
kabupaten/kota lepas tangan ketika ada permasalahan
pada pendamping sosial. Konsekuensinya Kemensos
harus melakukan monev, bantuan teknis, supervisi,
pengawasan, perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian
sehingga semua program seolah-olah dapat dilaksanakan
dengan ‘berhasil’. Oleh karena itu, Kementerian Sosial
perlu menyerahkan tugas dan fungsi sebagai Operator
kepada pihak ketiga yang dapat dipercaya dan memiliki
kemampuan profesionalisme yang tinggi, dalam bentuk
Quasi Autonomous Non-Government Organisations
(QUANGOs) seperti Centrelink di Australia, atau Non-
Departmental Public Bodies (NDPBs) atau Arms Length
Bodies (ALBs) di Inggris. Menurut hasil suvey online,
keberhasilan program Kementerian Sosial ini tidak sampai
50 persen (49, 24 persen, Survey Online, 2019).
31.
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa bidang sosial
merupakan urusan wajib dan merupakan pelayanan
dasar yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
Sementera Kemensos hanya menetapkan norma, standar
dan prosedur kerja (NSPK) dan melaksanakan urusan
konkuren (yang dikerjakan bersama). Sudah ada PP
pembagian kewenangan dan Permensos tentang SPM
sosial sudah ada. Meskipun sudah ada berbagai peraturan
yang mendukung untuk pemerintah daerah lebih berperan
dalam pembangunan kesejahteraan sosial namun dalam
implementasinya komitmen pemerintah daerah masih
rendah. Kemampuan SDM kesos di daerah juga masih

174 Laporan Hasil Penelitian


rendah, bahkan masih banyak yang tergantung pada
Kementerian Sosial dan atau Pemerintah Pusat.
32. Program pemerintah pusat seringkali mensyaratkan cost
sharing dari pemerintah daerah. Beberapa daerah siap
untuk menyediakan dana cost sharing sedangkan daerah
yang lain belum mengalokasikannya.
33. Penamaan atau pemberian istilah pada penduduk rentan
dan kurang beruntung dan kemudian disebut Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) sesuai Permensos
Nomor 8 Tahun 2012 sangat dipengaruhi oleh pendekatan
residual dan medical model of disability sehingga
menimbulkan banyak tumpang-tindih dan stigmatisasi
kepada penerima manfaat. Penamaan ini juga menghambat
kemungkinan diakui dan diakomodasinya jenis-jenis
‘risiko sosial baru’ untuk dilayani. Oleh karena penanganan
masalah sosial ini selalu bertumpu penerima manfaat yang
sudah terpapar, maka pembangunan kesejahteraan sosial
tidak pernah bisa menyentuh akar masalahnya.
34. Penyebutan sebagai penyandang masalah, masih berkesan
bahwa pembangunan kesejahteraan sosial adalah hanya
merupakan usaha kuratif atas orang yang sudah terkena
masalah. Penyebutan ini masih seperti warisan dari awal
dirintisnya Kementerian Sosial yang hanya menangani
korban perang. Masalah sosial terus berubah, seiring dengan
perkembangan zaman. Untuk Negara yang menganut sistem
kesejahteraan, maka mestinya juga memikirkan orang yang
rentan. Pembangunan sosial mestinya merupakan usaha
preventif, yang berupaya mencegah terjadinya masalah.
Untuk itu, maka perlu sentuhan yang bersifat pemberdayaan.
Meskipun demikian, upaya pemberdayaan dan upaya
perlindungan sosial dapat berjalan seiring. Pembangunan
kesejahteraan sosial yang bersifat perlindungan dimaksud
tetap menempatkan seluruh warga Negara mendapatkan
perlindungan dari Negara.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 175


B. TANTANGAN
1. ASEAN Declaration on Strengthening Social Protection
2013. Deklarasi ini memfasilitasi tindakan nyata menuju
peningkatan kualitas, cakupan, dan keberlanjutan
perlindungan sosial di negara-negara anggota ASEAN,
termasuk untuk menggali dan mengembangkan alat
penilaian dan indikator statistik regional yang sesuai untuk
mengukur secara holistik dan akurat dampak perlindungan
sosial terhadap kelompok rentan.
2. Pemimpin dari 193 negara di dunia pada tahun 2015
menyusun rencana yang disebut tujuan pembangunan
berkelanjutan (Sustainable Developmetn Goals). Mereka
mengetahui memiliki cukup makanan untuk memberi
makan manusia di dunia, tetapi itu tidak dibagikan. Mereka
mengetahui ada obat untuk HIV dan penyakit lain, tetapi
harganya sangat mahal. Mereka tahu bahwa gempa bumi
dan banjir tidak dapat dihindari, tetapi jumlah kematian
yang tinggi tidak dapat dihindari. Maka para pemimpin
negara-negara di dunia tersebut, menyusun rencana
menetapkan 17 tujuan yang dalam jangka 15 tahun (2015-
2030) akan menghilangkan kemiskinan dan kelaparan,
dan aman dari dampak terburuk perubahan iklim. Ketujuh
belas agenda tersebut berkenaan dengan kemiskinan,
kelaparan, kesehatan dan kesejahteraan, pendidikan,
kesetaraan jender, air bersih dan sanitasi, energi, pekerjaan
yang layak, pertumbuhan ekonomi, industri, inovasi dan
infrastruktur, ketidaksetaraan, keberkelanjutan kota dan
masyarakat, konsumsi dan distribusi, iklim, air dan tanah,
perdamaian, keadilan, institusi yang kuat dan kemitraan.
3. Teknologi mengakibatkan pergerakan orang, barang dan
jasa berlangsung sangat cepat, dan dipertegas dengan
sarana transportasi dan komunikasi digital. Teknologi
terus menerus mengalami kemajuan seiring dengan

176 Laporan Hasil Penelitian


perkembangan pemikiran di tingkat global. World
Economic Forum pada 22-25 Januari 2019 mengadakan
Annual Meeting, di Davos-Klosters, Switzerland. Pada
konvensi tersebut dilakukan pembasan: power, community
engagement, insight generation, platform technology,
untuk membentuk kerangka kerja baru kerjasama
global. Pertemuan fokus pada konsekuensi strategis dari
“Globalization 4.0” dan dampaknya terhadap kerjasama
global dan Fourth Industrial Revolution (4IR). Fourth
Industrial Revolution (4IR) adalah revolusi teknologi
yang dapat mengubah umat manusia menjadi lebih baik.
Manusia akan memperoleh manfaat dari revolusi industri
ini. Pekerjaan menjadi mudah, target tercapai secara
maksimal dan masif serta terjadi penghematan waktu yang
sangat besar. Manusia dengan robot akan ”berteman” baik
untuk menghasilkan sebuah barang dan jasa tertentu. Di
samping bermanfaat bagi manusia, revoluasi teknologi juga
membawa ekses dalam kehidupan manusia. Kehangatan
dalam relasi sosial akan sulit dijumpai manakala manusia
sudah menyatukan diri sepenuhnya dengan teknologi,
terjadinya dekadensi moral, perubahan sikap dan perilaku
hedonisme dan destruktif. Maka, revolusi industri juga
merupakan revolusi sosial inheren, karena baik masyarakat
maupun teknologi menjadi semakin erat. Ini berarti bahwa
orang, dengan segala keyakinan, nilai, persepsi, aspirasi,
keinginan, ketakutan dan kerinduan, adalah bagian
integral dari bagaimana revolusi itu akan berlangsung.
4. Situasi yang berubah-ubah (Volatility), Ketidakpastian
(Uncertainity), Kompleksitas (Complexity), Ambiguitas
(Ambiguity)/VUCA, adalah situasi yang dibawa
oleh globalisasi dan revoluasi teknologi. Teknologi,
desentralisasi, kebangkitan aktor-aktor dari non-
pemerintah dan faktor-faktor lain telah mempercepat
kebangkitan VUCA di setiap domain. Tantangannya adalah

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 177


bagaimana sektor publik agar tetap gesit dan bisa melewati
krisis dengan mulus. Ketika ekonomi manufaktur zaman
industri diubah menjadi ekonomi digital dari era informasi,
maka organisasi sektor publik 5menghadapi banyak sekali
tekanan baru yang semakin meningkat. Kita m6erasakan
tekanan “do more with less”, untuk mengatasi berbagai
masalah yan7g kompleks dan terus berkembang, serta
untuk mengatasinya lebih cepat8 daripada sebelumnya.
VUCA yang menyusup ke semua dimensi kehidu9pan
manusia, menyebakan kita adanya ‘perubahan yang
melelahkan’. Sepertinya ada rentetan prakarsa perubahan
terus-menerus satu-demi-satu yang tiada henti. Untuk
mengatasi hal ini, dibutuhkan pergeseran pikiran seismik
dari change management kepada pendekatan platform
perubahan itu sendiri yang tentunya harus lebih gesit dan
lebih cepat.
5. Konsep Anthropocene didasarkan pada asumsi bahwa
karena efek peningkatan jumlah penduduk dan
perkembangan ekonomi di lingkungan global, manusia
dianggap sebagai faktor geologis dan geobiologis utama
di bumi. Perubahan yang disebabkan oleh manusia
dalam sistem bumi memiliki dampak yang mendalam
dengan durasi panjang, sehingga orang dapat berbicara
tentang ‘zaman baru’ dalam sejarah bumi. Anthropocene
memberikan perspektif yang lebih komprehensif dengan
memperhatikan semua dampak yang mungkin terjadi dari
tindakan manusia di masa lalu, sekarang, dan yang akan
datang. Saat ini, para pakar lingkungan memandang konsep
ini sebagai pendekatan yang baik untuk menggabungkan
tindakan perlindungan dengan strategi mitigasi dan
adaptasi dalam menghadapi perubahan global dan
regional. Karakteristik kunci Anthropocene adalah dampak
yang signifikan pada geologi dan ekosistem yang akan
mengancam kelangsungan hidup manusia di bumi. Kita

178 Laporan Hasil Penelitian


telah banyak berhasil memanfaatkan energi penggunaan
batubara, minyak bumi, dan nuklir, tetapi energi yang
dihasilkan tidak ramah lingkungan. Di negara-negara
berkembang cenderung menggunakan bahan bakar yang
lebih murah, cepat, dan merusak lingkungan, daripada
alternatif yang ramah lingkungan. Manusia dewsa ini telah
mengubah cara menggunakan bahan bakar fosil, di mana
pemakainnya tanpa memikirkan konsekuensi jangka-
panjang. Tiga abad yang lalu kita melihat bahwa tidak ada
polusi dalam jumlah besar dibandingkan dengan saat ini
dan itu sama dengan deforestasi.
6. Perubahan struktur usia penduduk dapat memberikan
stimulus bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan.
Kondisi demografis Indonesia saat ini sudah matang
untuk mengambil keuntungan dari “demographic bonus”
atau “demographic dividend’. Faktanya, kondisi yang
menguntungkan telah terjadi selama beberapa waktu,
tetapi peluang akan mulai menutup setelah satu dekade
atau lebih. Jika kita ingin memperoleh manfaat dari
kondisi demografis (bonus demografi), maka pemerintah
hendaknya memastikan, bahwa kondisi dan kebijakan
pendukung tertentu sudah ada dan beroperasi secara
efektif.
7. Berkaitan dengan struktur usia penduduk Indonesia, di
mana 73 persen berada pada usia sangat produktif, bahwa
pembangunan manusia di Indonesia terus mengalami
kemajuan. Berdasarkan data BPS (2018), pada tahun 2017,
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia mencapai
70,81. Angka ini meningkat sebesar 0,63 poin atau tumbuh
sebesar 0,90 persen dibandingkan tahun 2016.  Meskipun
demikian, IPM Indonesia tersebut masih tertinggal
dibandingkan dengan negara-negara lain. Untuk itu,
investasi sosial dalam rangka membangun SDM (termasuk
SDM bidang Kesos) yang berdaya saing hendaknya wajib

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 179


menjadi prioritas nasional.
8. Generasi Millennial mendominasi segalanya dalam
beberapa tahun mendatang, sebagaimana Baby Boomer
dalam tiga dekade terakhir. Millennial adalah generasi
yang paling banyak dipelajari dan dibicarakan orang
saat ini. Mereka adalah generasi pertama dalam sejarah
yang berkembang penuh dalam dunia teknologi digital,
membentuk identitas mereka dan menciptakan sikap
politik, sosial dan budaya yang berbeda dengan generasi
sebelumnya. Seperti setiap generasi lainnya, generasi
Millennial menampilkan sifat-sifat umum dan unik yang
membuat mereka berbeda dari pendahulunya.
9. Kondisi geografi Indonesia masih banyak yang sulit
dijangkau dengan moda transportasi apapun seperti:
pulau-pulau kecil, pulau terluar dan perbatasan antar
negara. Penduduk di lokasi-lokasi tersebut banyak yang
belum memperoleh akses terhadap program pemerintah,
sehingga mereka itu hidup dalam kondisi marginal. Untuk
memenuhi kebutuhan dasar dan pelayanan sosial, mereka
tidak sedikit yang melakukan transaksi dengan warga
negara lain. Hal ini membuka kemungkinan tumbuh
dan berkembangnya permasalahan sosial antar negara.
Berkaitan dengan kondisi geografi, pada Potensi Desa
(Podes) 2018 terdapat Indeks Pembangunan Desa (IPD)
yang merupakan satuan untuk menunjukkan tingkat
perkembangan desa dengan tiga status, yaitu tertinggal,
berkembang, dan mandiri. Suatu desa ditetapkan sebagai
desa tertinggal berdasarkan kriteria perekonomian
masyarakat, sumber daya manusia, sarana dan prasarana,
kemampuan keuangan, aksesibililitas dan karakterisitik
desa. Melalui Podes 2018, IPD dikategorikan menjadi
tiga dan diperoleh data desa tertinggal sebanyak  14.461
desa (19,17 persen), desa berkembang sebanyak 55.369
desa (73,4 persen), dan desa mandiri sebanyak 5.606 desa

180 Laporan Hasil Penelitian


(7,43 persen). Desa tertinggal tersebut tersebar di 122
kabupaten. Data tersebut menunjukkan bahwa masih
banyak permasalahan kesejahteraan sosial yang dihadapi
pemerintah, dan hal ini tentu akan membebani keuangan
negara. Kondisi geografi ini juga mempengaruhi sistem
informasi berbasis teknologi. Banyak wilayah di Indonesia
yang masih blankspot, sehingga penduduk di wilayah itu
terhambat memperoleh informasi dan mengakses berbagai
pelayanan. Terjadi disparitas yang cukup signifikan, antara
penduduk di wilayah yang sudah memiliki jaringan sistem
informasi, dengan penduduk di wilayah lain. Program
kesejahteraan sosial yang didesain berbasis teknologi
(misal: bantuan sosial non tunai), belum menjangkau
warga masyarakat yang berada di wilayah tanpa jaringan
informasi.
10. Kondisi geologi Indonesia menempatkan Indonesia sebagai
negara yang akrab dengan bencana alam, seperti: gunung
api, likuifaksi, tsunami dan gempa bumi. Jenis bencana
tersebut ditambah dengan tanah longsor dan banjir akibat
kesalahan pengelolaan lingkungan hidup. Kesalahan
pengelolaan lingkungan hidup juga mengakibatkan
terjadinya pemanasan global, dan perubahan iklim secara
ekstrem yang menyebabkan gelombang pasang dan
banjir bandang menyebabkan kerugian sangat besar dan
berlangsung dalam waktu lama bagi manusia. Bencana-
bencana tersebut memerlukan manajemen mitigasi
dan pengendalian risiko bencana yang adaptif dengan
dukungan sumber daya manusia (SDM Kesos) yang
profesional.
11. Masyarakat Indonesia hidup dalam keragaman suku, ras
dan budaya yang merupakan warisan leluhur. Keragaman
tersebut menjadi modal sosial yang besar dalam
memperkokoh kehidupan berbangsa dan bernegara dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kondisi ini

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 181


sekaligus menyemai benih-benih konflik sosial, ketika hak-
hak masyarakat atas identitas dan budayanya tersebut tidak
memperoleh pengakuan dan perlindungan dari pihak lain.
Oleh karena itu, menghendaki pendekatan budaya, atau
tidak menasionalisasi pendekatan dalam mendistribusikan
pelayanan sosial.
12. Kolaborasi, negosiasi dan pertukaran sumber daya dalam
implementasi kebijakan kesejahteraan sosial pada tingkat
Pusat, Pusat dengan Daerah maupun di tingkat Daerah,
sampai saat ini belum dapat diselenggarakan secara
optimal. Ada kesan kuat, bahwa masing-masing instansi
pada semua tingkatan “merasa mampu” bekerja sendiri-
sendiri dengan sumber daya dan instrumen yang dikuasai.
Padahal, sumber daya dan instrumen yang dikuasai itu
tidak cukup menghadapi kompleksitas permasalahan
sosial yang domainnya senantiasa beririsan pada beberapa
instansi. Perilaku birokrasi yang demikian ini tentu tidak
akan efektif dalam kerangka pembangunan berkelanjutan.
13. Sistem informasi dan komunikasi antara Pusat dengan
Daerah belum dibangun dengan baik, sehingga masih
terjadi pemahaman yang tidak sama antara dua pihak.
Masih terjadi, di mana daerah berupaya mencari tafsir
sendiri terhadap regulasi yang disusun Pusat (Kementerian
Sosial) berdasarkan kapasitas nalarnya. Terjadinya
keterlambatan pelaporan kegiatan, kesalahan adminisrtasi
pertanggungjawaban, program tidak terealisasi dan lain-
lain, ditengarai dari sistem informasi dan komunikasi yang
efektif.
14. Perilaku birokrasi di Pusat maupun di Daerah yang tidak
efektif juga terjadi dengan badan usaha dan organisasi
masyarakat sipil. Hal ini terjadi karena birokrasi merasa
paling mengetahui dan merasa paling mampu untuk
menangani semua permasalahan sosial yang ada di
masyarakat. Maka sumber daya pada badan usaha dan

182 Laporan Hasil Penelitian


organisasi masyarakat sipil di bidang kesejahteraan sosial
tidak optimal, karena persoalan administratif maupun
sosiologis. Intinya, bahwa ada perilaku birokrasi saat ini
yang menekan hadirnya partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
15. Program Kementerian Sosial dengan pendekatan bantuan
sosial, pada akhirnya menjadi bumerang bagi Kementerian
Sosial sendiri. Masyarakat sebagai penerima program
kesejahteraan sosial atau Kelompok Penerima Manfaat
(KPM), menjadi bergantung pada bantuan sosial tersebut,
dan tidak merasa berdaya ketika exit program (memasuki
tahap graduasi). Hal ini menjadi alasan yang mendasar
untuk mengembangkan pendekatan baru yang mampu
membantu KPM semakin berdaya dan mandiri setelah
terminasi.
16. Pekerjaan Sosial Fungsional dan Penyuluh Sosial
Fungsional belum memiliki daya tarik bagi pegawai di
instansi sosial Daerah. Bahkan sebagian dari mereka
memilih untuk melepaskan jabatan fungsional tersebut
karena dirasa kurang menguntungkan sebagai pilihan
karier. Tidak berkembangnya dua jabatan fungsional
yang menjadi urusan Kementerian Sosial tersebut tentu
menjadi persoalan, karena dapat memengaruhi distribusi
pelayanan sosial di masyarakat.
17. Otonomi Daerah dimaksudkan untuk mendekatkan
berbagai pelayanan yang disediakan oleh negara
kepada warga negaranya. Kebijakan ini tidak akan dapat
diwujudkan apabila tidak ada komitmen Daerah. Pada saat
ini masih berkembang isu yang menandai ada tidaknya
komitmen Daerah, dan ini menjadi tantangan tersendiri
terkait distribusi pelayanan sosial. Berbagai isu dimaksud,
seperti: politisasi program, instansi sosial belum didukung
sumber daya manusia (SDM Kesos) yang memadai,
sasaran program tidak tepat, program berorientasi pada

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 183


kepentingan, implementasi pembagian kewenangan
Pusat–Daerah dan rendahnya komitmen pemerintah
Daerah. Rendahnya komitmen pemerintah Daerah dapat
ditengarai dari sebagian besar pemerintah Daerah belum
memiliki regulasi penyelenggaraan kesejahteraan sosial,
rendahnya alokasi APBD untuk program kesejahteraan
sosial, penempatan SDM tidak mempertimbangkan
pendidikan, pengisian formasi dan dukungan terhadap
pekerja sosial dan penyuluh sosial fungsional.
18. Bidang Sosial (Kesejahteraan Sosial) merupakan salah
satu urusan wajib pemerintah daerah, dan tentunya
menjadi prioritas pembangunan daerah. Faktanya,
masih ada pemikiran pada elite di Daerah, bahwa
bidang kesejahteraan sosial tidak memberikan dampak
langsung terhadap petumbuhan ekonomi, sehingga
belum ditempatkan sebagi prioritas program. Meskipun
perataruran perundang-undangan dan Standar Pelayanan
Minimal telah disiapkan oleh Kementerian Sosial, tetapi
masih banyak Daerah yang belum memberikan tanggapan
yang menggembirakan.
19. Data kemiskinan dan PMKS lain perlu tersedia secara
valid untuk menghasilkan sebuah kebijakan kesejahteraan
sosial dan rencana intervensi sosial yang tepat. Isu yang
terkait dengan data saat ini adalah akurasi data, validasi
dan verivali, kualitas SDM pengelola data dan manajemen
pengelolaan data, serta unit organisasi pengelola data di
Pusat. Berbagai isu tersebut sebenarnya lebih tepat disebut
sebagai ‘masalah’, karena terus menerus disuarakan oleh
mitra kerja, klien/KPM dan pihak-pihak terkait lainnya.
20. Masyarakat merupakan subyek/pelaku utama dalam
paradigma pembangunan berkelanjutan. Di masyarakat
masih terlembaga dengan baik nilai, norma dan kearifan
lokal, meskipun ada gejala-gejala mengalami pelemahan.
Penempatan masyarakat sebagai pelaku utama

184 Laporan Hasil Penelitian


pembangunan menghendaki sumber daya manusia dengan
kapasitas yang baik. Faktanya, masih banyak sumber daya
manusia di masyarakat yang belum memiliki kapasitas
yang memadai sebagai pelaku utama pembangunan.
Rendahnya sumber daya manusia di masyarakat, dapat
diketahui dari rata-rata lama pendidikan di Indonesia
adalah 8,23 tahun. Artinya, rata-rata masyarakat Indonesia
tidak lulus SMP (BPS, 2018). Dikemukakan oleh Prof
Akhmaloka dari Universitas Pertamina (2016), bahwa suatu
negara bisa dikatakan maju apabila 40 persen penduduknya
berpendidikan tinggi, 30 persen berpendidikan menengah
dan 20 persen berpendidikan dasar.
21. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2018 jumlah angkatan
kerja sebanyak 131,01 juta orang, dan penduduk
yang bekerja sebanyak 124,01 juta orang. Dari jumlah
penduduk yang bekerja tersebut, sebanyak 70,49 juta
orang (56,84 persen) bekerja pada kegiatan informal.
Tingkat  Pengangguran  Terbuka (TPT) per Februari
2019 masih cukup tinggi, yaitu sebesar 5,01 persen.
Penggangguran yang tinggi dan tidak dapat diatasi, tentu
akan menjadi penyebab lahirnya permasalahan sosial.
22. Berbagai tantangan dalam penyelenggaraan kesejahteraan
sosial tersebut di atas, perlu tanggapan dengan cepat oleh
pemerintah dan pemerintah daerah yang melibatkan para
pemangku kepentingan. Pada konteks ini, maka kolaborasi
dan pertukaran sumber daya antara pemerintah dan
pemerintah daerah dengan para pemangku kepentingan,
merupakan kata kunci untuk menemukan solusi yang
tepat.

C. PRPSPEK KE DEPAN
1. Program pembangunan kesejahteraan sosial diutamakan
ke kegiatan preventif, promotif, dan developmental yang

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 185


bersifat suistainable serta terkoneksi dengan program
Suistanable Development Goals (SDGs). Hal ini mendorong
pergeseran pembangunan kesejahteraan sosial dari
pendekatan residual kepada pendekatan developmental
yang memprioritaskan pelayanan pencegahan pada basis
keluarga, komunitas dan masyarakat pada tingkat desa/
kelurahan, kecamatan dan kabupaten/kota dengan tujuan
untuk mencegah muncul dan berkembangnya ‘risiko sosial
baru’ maupun ‘risiko sosial lama’.
2. Pendekatan pemberdayaan sebaiknya menjadi pendekatan
utama dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Pendekatan ini akan mengantarkan penerima program
lepas dari ketergantungan dan siap hidup secara mandiri
di masyarakat. Pendekatan pemberdayaan memberikan
kesempatan yang luas kepada penerima program untuk
berpartisipasi di dalam tahapan dan pelaksanaan program,
dilakukan dengan berbasis pada kearifan lokal dan potensi
wilayah dalam rangka peningkatan kondisi ekonomi
masyarakat.
3. Pendekatan pemberdayaan mempunyai prospek
diselenggarakan secara kolaboratif antara pemerintah,
swasta dan masyarakat. Optimalisasi peran relawan dan
potensi sumber kesejahteraan sosial dengan Kementerian
Sosial tidak melaksanakan secara langsung program
pemberdayaan tetapi lebih kepada pembuatan regulasi,
kebijakan dan standar prosedur kerja yang berkaitan
dengan program pemberdayaan sosial.
4. Strategi pemberdayaan dilakukan dalam lingkup kecil
dan memperhatikan kearifan lokal, dengan melakukan
penguatan kelembagaan masyarakat sampai struktur
paling rendah/bawah (RT/Dusun/Nagari).
5. Perlunya merumuskan regulasi baru untuk mendukung
pergeseran paradigma pembangunan kesejahteraan

186 Laporan Hasil Penelitian


sosial dari residual kepada developmental dan regulasi
yang mendorong investasi sosial. Regulasi ini mendorong
partisipasi masyarakat pada tingkat komunitas dalam
pembangunan kesejahteraan sosial. Khususnya dalam
berbagai upaya pencegahan atas kemungkinan munculnya
‘risiko sosial lama’ maupun ‘risiko sosial baru’, termasuk
ekses dari perkembangan teknologi.1
6. Pencegahan perlu memperoleh perhatian besar di
dalam arah kebijakan dan program Kementerian Sosial.
Pencegahan agar tidak terjadi dan meluas permasalahan
sosial dapat dilakukan dengan memberdayakan potensi
dan sumber yang ada di masyarakat akar rumput.2
Sehubungan dengan itu, maka kader-kader penyuluh
sosial masyarakat perlu dihadirkan bersama dengan
potensi dan sumber kesejahteraan sosial yang lain untuk
melakukan pencegahan. Masyarakat terutama komunitas
perlu diberikan kepercayaan dan didorong untuk lebih
bertanggung jawab. Komunitas memiliki berbagai
indikator keberhasilan pembangunan kesejahteraan
sosial sesuai dengan persepsi dan kepentingan komunitas.
Intervensi pemerintah lebih diarahkan dan ditekankan
pada peningkatan capacity building dan investasi sosial.
7. Merumuskan kembali sistem rekrutmen dan metode
pelatihan pendamping untuk mendapatkan pendamping
sosial yang kompeten sehingga bisa memberikan
pendampingan pada program pengentasan kemiskinan
dan PMKS yang lain.
1 Pernyataan serupa juga didapat dari hasil survey online, yang menyatakan
bahwa Kementerian Sosial RI perlu menangani permasalahan sosial baru
sehubungan dengan perkembangan teknologi. Dari 3.934 responden sebanyak
59,81% menjawab setuju dan 31,09% lainnya menjawab sangat setuju. Adapun
strategi dilakukan dengan mendayagunakan sebesar-besarnya sumber dan
potensi masyarakat (sektor publik, sektor swasta, sektor organisasi masyarakat
sipil)
2 Hasil FGD tersebut sesuai dengan hasil survey online yang telah dilakukan
yaitu dari 3.934 responden sebanyak 49,49% diantaranya menjawab setuju
dan 44,91% lainnya menjawab sangat setuju

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 187


8. Rekrutmen pendamping sosial dari orang-orang dengan
latar belakang pendidikan pekerjaan sosial dan/atau
non pekerjaan sosial. Rekruitmen pendamping sosial
melibatkan Dinas Sosial kabupaten/kota dengan
mengedepankan prinsip-prinsip transparansi dan
akuntabilitas.
9. Dalam rangka melakukan integrasi program, maka
diperlukan sinergitas antar pendamping sosial (PKH,
BPNT, Desa, dll) melalui Sistem Layanan dan Rujukan
Terpadu (SLRT)
10. Pilar-pilar partisipan masyarakat perlu diberikan
pengetahuan dan keterampilan serta teknologi dalam
rangka meningkatkan ketahanan sosial keluarga dan
komunitas dalam pembangunan kesejahteraan sosial.3
11. Diperlukan adanya penguatan nilai-nilai sosial budaya
lokal yang mendukung pencapaian tujuan pembangunan
kesejahteraan sosial yang disesuaikan dengan kondisi
setempat.
12. Pelatihan dan bimbingan teknis bagi pekerja sosial dan
penyuluh fungsional di Dinas Sosial provinsi dan Dinas
Sosial kabupaten/kota, sehingga mereka dapat terus
berkarier di jabatan fungsional tertentu.
13. Mengoptimalkan balai besar pendidikan dan pelatihan
(Diklat) kesejahteraan sosial sebagai pusat pengembangan
kapasitas sumber daya manusia kesejahteraan sosial
di daerah. Diklat melalui model e-learning dapat
dikembangkan dengan dukungan SDM dan peralatan yang
memadai. Melalui model ini setiap SDM kesos daerah akan
mendapatkan kemudahan mengakses pengetahun baru
3 Pernyataan ini diperkuat oleh hasil survey online yang menyatakan bahwa
dari 4.302 responden sebanyak 53,63% menyatakan setuju dan 42,91%
menyatakan sangat setuju mengenai pernyataan bahwa salah satu terobosan
baru tersebut adalah usaha untuk meningkatkan kapasitas individu, keluarga,
komunitas, masyarakat, dan lembaga kesejahteraan sosial

188 Laporan Hasil Penelitian


yang berkaitan dengan bidang kesejahteraan sosial. Selain
sebagai pusat diklat, balai besar diklat ke depan ditingkatkan
fungsinya sebagai penghubung antara Kementerian Sosial
dengan pemerintah daerah di wilayah regional.
14. Pembangunan kesejahteraan sosial perlu dilaksanakan
secara terpadu dengan prinsip ketuntasan. Keterpaduan
dimaksud, bahwa pada tahap perencanaan dan pelaksanaan
ditetapkan sasaran dan wilayah yang dikoordinasikan
bersama secara lintas program. Kemudian ketuntasan
dimaksud bahwa pada satu keluarga dapat diberikan
beberapa program bagi ayah, ibu dan anak disesuaikan
dengan kebutuhan.4
15. Sistem rehabilitasi sosial berbasis masyarakat dengan
mengedepankan peran kelembagaan adat dan agama.
Pendekatan developmental bisa dilakukan pada sistem
rehabilitasi sosial dengan melibatkan semua pihak,
keluarga selaku family support.
16. Program dan bantuan sosial dari pemerintah maupun dari
dunia usaha, berbasis pada keluarga, dengan melaksanakan
pembinaan dan penguatan keluarga menjadi fondasi dasar
dalam menanggulangi masalah sosial.
17. Pendekatan pemberdayaan mengutamakan
pengembangan kapasitas dan peningkatan pendapatan
penerima program. Oleh karena itu, Kementerian
Sosial RI perlu mengalokasikan sumber dayanya dalam
pengembangan kapasitas penerima program dalam bentuk
pelatihan, bimbingan teknis atau magang kerja.5

4 Dari hasil survey online yang telah dilakukan kepada 4.302 responden,
sebanyak 58,81% menyatakan setuju dan 34,40% lainnya menyatakan sangat
setuju untuk menyatukan pembangunan ekonomi dan sosial yang diperlukan
suatu terobosan baru agar tidak membebani negara.
5 Dari hasil survey online yang telah dilakukan kepada 3.934 responden,
sebanyak 58,90% menyatakan setuju dan 37,11% lainnya menyatakan sangat
setuju dengan Peran Kementerian Sosial RI ke depan lebih berorientasi pada
penguatan masyarakat untuk menangani masalah sosial.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 189


18. Pendekatan pemberdayaan mengutamakan
pengembangan kapasitas dan peningkatan pendapatan
penerima program. Oleh karena itu, Kementerian
Sosial RI perlu mengalokasikan sumber dayanya dalam
pengembangan kapasitas penerima program dalam bentuk
pelatihan, bimbingan teknis atau magang kerja.6
19. Mengikuti alur pemikiran bahwa penetapan kebijakan
berbasis riset, maka penyusunan program ditetapkan
dari hasil assesmen. Selanjutnya pendanaan mengikuti
program, bukan sebaliknya. Pendanaan dari sebuah
program, dapat melibatkan dunia usaha dan masyarakat
pada umumnya. Badan pengelola zakat, infaq dan sodaqoh
bisa berpartisipasi dalam program bagi masyarakat.
Sedangkan bantuan keuangan dari pemerintah (dana desa/
kelurahan) sebaiknya dapat digunakan untuk mengatasi
masalah sosial.7
20. Meningkatkan aksesebilitas penerima manfaat program
pada layanan pendidikan, kesehatan, peluang usaha dan
kerja serta pelayanan sosial.
21. Optimalisasi peran potensi dan sumber kesejahteraan
sosial (Karang Taruna, Pekerja Sosial Masyarakat, Taruna
Siaga Bencana, dan Penyuluh Sosial Masyarakat) dalam
pembangunan kesejahteraan sosial.
22. Mengembangkan bisnis sosial dengan memanfaatkan
kemajuan teknologi komunikasi dan informasi membuka
peluang bagi masyarakat secara individu, keluarga dan
komunitas untuk berpartisipasi dan berkolaborasi dalam
pembangunan kesejahteraan sosial.
6 Dari hasil survey online yang telah dilakukan kepada 3.934 responden,
sebanyak 58,90% menyatakan setuju dan 37,11% lainnya menyatakan sangat
setuju dengan Peran Kementerian Sosial RI ke depan lebih berorientasi pada
penguatan masyarakat untuk menangani masalah sosial.
7 Menurut hasil survey online, dari 4.302 responden sebesar 51,93% menyatakan
setuju dan 37,54% menyatakan sangat setuju mengenai pernyataan bahwa
bantuan keuangan dari pemerintah (dana desa/kelurahan) sebaiknya dapat
digunakan untuk mengatasi masalah sosial.

190 Laporan Hasil Penelitian


23. Perlu ada jejaring kelembagaan lokal sehingga membentuk
sebuah sistem jaringan kerja dan mampu memberikan
kontribusi dalam pelayanan sosial di tingkat lokal. Kearifan
lokal akan sangat berperan dalam pemberdayaan sosial.
Pelibatan masyarakat seperti di Yogyakarta dengan
“sistem gandeng gendong”. Pelibatan banyak pihak dalam
pengentasan masalah dan pemberdayaan masyarakat.
Dalam prakteknya menggandeng pihak dunia usaha dan
masyarakat mampu untuk menggandeng masyarakat
lemah, akan dapat mewujudkan kesetiakawanan sosial
serta penguatan yang lemah.
24. Pembagian peran (sektor publik, sektor swasta, sektor
organisasi masyarakat sipil) sebagai delivery service system
untuk memberikan pelayanan sosial dengan cara-cara
lebih efisien, efektif, cepat, tepat, tanggap, transparan,
akuntabel dan berkelanjutan.
25. Kementerian Sosial perlu melakukan perubahan
mendasar pada arah kebijakan dan strategi, dari bertindak
reaktif, menuju kebijakan dan strategi yang responsif
terhadap dinamika yang berkembang di masyarakat
karena perubahan di tingkat nasional maupun global.
Peningkatan anggaran dalam bentuk Dana Alokasi
Khusus (DAK) sehingga Dinas Sosial memiliki keleluasaan
dalam mengelola program dan anggaran untuk program
kesejahteraan sosial. Memperkuat sistem koordinasi pusat
dengan daerah untuk mendorong respon daerah terhadap
kebijakan dan program Kementerian Sosial RI. Kementerian
Sosial perlu melakukan sosialisasi kepada daerah tentang
arah baru kesejahteraan sosial agar memiliki pemahaman
yang tepat terkait kebijakan dan program kesejahteraan
sosial.
26. Kementerian Sosial diharapkan mendorong
pemerintah daerah untuk menerbitkan regulasi tentang
penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Seiring dengan

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 191


terjadinya permasalahan kesejahteraan sosial yang
cenderung kompleks, maka Kementerian Sosial perlu
mengembangkan kebijakan (Peraturan Menteri Sosial
RI) dalam kerangka sinergitas antara instansi sosial,
badan usaha dan CSO, baik di pusat maupun di daerah.
Berdasarkan kebijakan itu, maka daerah juga sebaiknya
memiliki regulasi sebagai turunannya, yang mengatur
secara spesifik sesuai dengan kondisi daerah masing-
masing.
27. Kementerian Sosial RI sebagai penanggung jawab
pembangunan kesejahteraan sosial berperan sebagai
policy maker, regulator, pemantau dan evaluator dan
auditor. Sedangkan peran sebagai operator sebagian
besar diserahkan kepada pemerintah daerah, lembaga
kesejahteraan sosial, organisasi sosial kemasyarakatan,
dan unit pelayanan teknis. Pergeseran peran ini membawa
implikasi pada reorganisasi instansi bersangkutan. Adanya
peluang lebih besar bagi instansi penanggung jawab
pembangunan kesejahteraan sosial untuk meningkatkan
peranannya kepada kolaborasi dan negosiasi untuk
mendorong partisipasi lebih besar dari pemerintah daerah,
sektor swasta dan sektor ormasip.
28. Perubahan dari dua peran (regulator dan operator)
menjadi satu peran sebagai regulator, menghendaki
pelimpahan pembiayaan penyelenggaraan kesejahteraan
sosial. Sehubungan dengan itu, maka distribusi anggaran
melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) ke Dinas Sosial
Kabupaten/Kota merupakan konsekuensi yang harus
dipenuhi oleh Kementerian Sosial. Kementerian Sosial
juga dituntut untuk mengontrol pemerintah daerah dalam
pelaksanaaan pembangunan kesejahteraan sosial dengan
cara memberikan sanksi dan penghargaan kepada daerah.
29. Kementerian Sosial sudah menetapkan Peraturan Menteri
Sosial No 9 tahun 2018 tentang standar teknis pelayanan

192 Laporan Hasil Penelitian


dasar pada Standar Pelayanan Minimal Bidang Sosial di
daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota, namun untuk
penerapannya diperlukan asistensi ke daerah agar SPM
dapat dicapai.
30. Kementerian Sosial berkomitmen untuk melaksanakan
mandat peraturan perundang-undangan terkait dengan
PMKS yang menjadi sasaran program kesejahteraan
sosial. Struktur organisasi di Kementerian Sosial yang
menjadi rujukan penyusunan struktur organisasi di
daerah, sebaiknya mewadahi semua PMKS yang sudah
dimandatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Kesesuaian struktur organisasi pusat dengan daerah
ini merupakan salah satu komponen yang mendukung
pencapaian tujuan program kesejahteraan sosial secara
optimal.
31. kementerian Sosial bersama-sama dengan Badan Pusat
Statistik (BPS) merumuskan kembali indikator kemiskinan,
dengan mempertimbangkan karakterisitik wilayah dan
sosial budaya penduduk Indonesia di wilayah barat
dan timur. Indikator kemiskinan perlu mengakomodasi
indikator lokal, sehingga dapat memotret kemiskinan di
masyarakat. Indikator kemiskinan disesuaikan dengan
kondisi daerah masing-masing. Dalam mengatasi
permasalahan sosial agar tidak sentralistik, disesuaikan
dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat setempat.
32. Perlu dilakukan kajian tentang bagaimana mengidentifikasi
dan mendefinisikan ‘risiko sosial baru’ untuk mendukung
pelayanan pencegahan. Puslitbang kesejahteraan sosial
diharapkan mengambil peranan yang besar dalam
merumuskan kebijakan sosial ini. Perlunya interagency
meeting, agar bisa merumuskan kebijakan sosial yang
komprehensif dan partisipatif.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 193


IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
1. Terminologi bahasa dalam penulisan laporan harus
disesuaikan dengan bidang kesejahteraan sosial dan
tidak menggunakan bahasa yang biasa digunakan oleh
kementerian lain. Hal ini dikarenakan dapat terjadi klaim
bahasa yang mengakibatkan penyusunan biaya, regulasi
dan program dapat dialihkan kepada kementerian lain.
Misalnya kata “perawatan” yang sudah “diklaim” milik
kementerian kesehatan. Sehingga, apabila terdapat kalimat
perawatan harus disesuaikan dengan bidang kesejahteraan
sosial.
2. Harus dibuat naskah akademik yang dapat menjadi
landasan/dasar dari penelitian sehingga setiap orang dapat
memahami dasar/landasan bahwa penyusunan kebijakan
yang dibuat berdasarkan hasil riset/penelitian.
3. Kewenangan dari pihak ketiga baik berupa lembaga yang
dikelola pemerintah daerah tingkat propinsi, kabupaten
dan QUANGOs harus memiliki kekuatan hukum, jelas
namun tetap terbatas dari segi peran dan fungsinya sesuai
dengan bidang yang didalami/ditanganinya.
4. Perlu dipertimbangkan dan disepakati mengenai bentuk
lembaga pihak ketiga (QUANGOs) tersebut sesuai dengan
regulasi yang ada maupun jika ada perubahan regulasi.
5. Partisipasi lembaga masyarakat lainnya baik di bidang
agama, budaya, kelompok sosial (NGO) dan Civil Society
Organization (CSO) yang telah menyelenggarakan
pelayanan sosial sesuai dengan bidang yang dijalani,
diberikan ruang yang luas dan jelas sehingga dapat
mengurangi permasalahan sosial yang ada baik individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat.
6. Peran pemerintah sebagai regulator tidak hanya terbatas
kepada penyusunan regulasi saja, tetapi juga dapat
berperan sebagai pendukung terlaksananya penanganan

194 Laporan Hasil Penelitian


permasalahan sosial dengan pendekatan developmental.
7. Perlu dipertimbangkan “akreditasi” terhadap lembaga-
lembaga yang menyelenggarakan pelayanan sosial yang
dapat menjaga kualitas lembaga dan sekaligus sebagai
bentuk seleksi dan evaluasi terhadap lembaga-lembaga
pelayanan sosial tersebut.
8. Regulasi yang sudah ada perlu dikaji dan di perbaharui
untuk mendukung pelayanan sosial dengan pendekatan
developmental, sehingga penyelenggaraannya memiliki
landasan hukum yang kuat.

Arah Baru Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indonesia 2020-2024 195


P enyelenggaraan kesejahteraan sosial oleh pemerintah
telah menunjukkan hasilnya yang ditandai dengan
terjadinya penurunan angka kemiskinan dan
permasalahan sosial lainnya. Tetapi penurunan angka kemiskinan
yang dicapai pada lima tahun terakhir ini sesungguhnya bisa lebih
tinggi lagi dari penurunan angka yang dicapai saat ini. Kondisi yang
dinilai menyebabkan belum optimalnya kinerja pemerintah dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial terletak pada regulasi, sumber
daya manusia kesejahteraan sosial, kewenangan Pusat dan Daerah,
peran Pusat, pengelolaan data, pendekatan program, dan sinergitas.
Berbagai tantangan menyertai berbagai permasalahan dan tidak
bisa dihindari, baik dari internal, kawasan regional maupun
internasional, seperti struktur demografi, kondisi geografi, revolusi
industri (4.0), globalisasi dan Social Development Goals (SDGs) serta
berbagai deklarasi di tingkat ASEAN maupun Internasional terkait
dengan pembangunan sosial dan kemanusiaan.
Pendekatan developmental menawarkan sebuah arah untuk
mengoptimalkan kinerja penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Pendekatan ini menekankan pada pentingnya pemberdayaan,
pemerintah sebagai regulator, pengarusutamaan masyarakat dalam
pembangunan, investasi sosial, perencanaan dari bawah,
sinergi/kolaborasi, dan prevensi.
Pencegahan, pemberdayaan, ruang luas bagi badan usaha dan
organisasi masyarakat sipil, dan peran Pusat sebagai regulator dalam
kerangka penyelenggaraan kesejahteraan sosial, merupakan langkah
taktis yang bisa menyelesaikan berbagai masalah dan melewati
tantangan yang dinamis.

Anda mungkin juga menyukai