Anda di halaman 1dari 11

GANGGUAN NATRIUM PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT JANTUNG

BAWAAN SIANOTIK

1. NATRIUM
Elektrolit adalah senyawa di dalam larutan yang berdisosiasi menjadi
partikel yang bermuatan (ion) positif atau negatif. Ion bermuatan positif disebut
kation dan ion bermuatan negatif disebut anion. Keseimbangan keduanya disebut
sebagai elektronetralitas. Sebagian besar proses metabolisme memerlukan dan
dipengaruhi oleh elektrolit. Konsentrasi elektrolit yang tidak normal dapat
menyebabkan banyak gangguan. Pemeliharaan homeostasis cairan tubuh adalah
penting bagi kelangsungan hidup semua organisme. Pemeliharaan tekanan
osmotik dan distribusi beberapa kompartemen cairan tubuh manusia adalah fungsi

+ + -
utama empat elektrolit mayor, yaitu natrium (Na ), kalium (K ), klorida (Cl ),

-
dan bikarbonat (HCO3 ). 1

Cairan tubuh terdiri dari air dan elektrolit. Cairan tubuh dibedakan atas
cairan ekstrasel dan intrasel. Cairan ekstrasel meliputi plasma dan cairan
interstisial. Distribusi elektrolit pada cairan intrasel dan ekstrasel dapat dilihat
pada gambar. 1

Gambar 1. Kation dan Anion Utama dalam Cairan Intrasel dan


Ekstrasel

A. Fisiologi Natrium
Natrium adalah kation terbanyak dalam cairan ekstrasel, jumlahnya bisa
mencapai 60 mEq per kilogram berat badan dan sebagian kecil (sekitar 10-
14 mEq/L) berada dalam cairan intrasel. Lebih dari 90% tekanan osmotik
di cairan ekstrasel ditentukan oleh garam yang mengandung natrium,
khususnya dalam bentuk natrium klorida (NaCl) dan natrium bikarbonat
(NaHCO3) sehingga perubahan tekanan osmotik pada cairan ekstrasel
menggambarkan perubahan konsentrasi natrium. 1
Perbedaan kadar natrium intravaskuler dan interstitial disebabkan oleh
keseimbangan Gibbs- Donnan, sedangkan perbedaan kadar natrium dalam
cairan ekstrasel dan intrasel disebabkan oleh adanya transpor aktif dari
natrium keluar sel yang bertukar dengan masuknya kalium ke dalam sel

+ +
(pompa Na K ). Kadar natrium dalam cairan ekstrasel dan cairan intrasel
dapat dilihat pada tabel . 1
Jumlah natrium dalam tubuh merupakan gambaran keseimbangan
antara natrium yang masuk dan natrium yang dikeluarkan. Pemasukan
natrium yang berasal dari diet melalui epitel mukosa saluran cerna dengan
proses difusi dan pengeluarannya melalui ginjal atau saluran cerna atau
keringat di kulit. Pemasukan dan pengeluaran natrium perhari mencapai
48-144 mEq. 1
Jumlah natrium yang keluar dari traktus gastrointestinal dan
kulit kurang dari 10%. Cairan yang berisi konsentrasi natrium yang
berada pada saluran cerna bagian atas hampir mendekati cairan
ekstrasel, namun natrium direabsorpsi sebagai cairan pada saluran
cerna bagian bawah, oleh karena itu konsentrasi natrium pada feses
hanya mencapai 40 mEq/L.

Keringat adalah cairan hipotonik yang berisi natrium dan


klorida. Kandungan natrium pada cairan keringat orang normal rerata
50 mEq/L. Jumlah pengeluaran keringat akan meningkat sebanding
dengan lamanya periode terpapar pada lingkungan yang panas, latihan
fisik dan demam.

Ekskresi natrium terutama dilakukan oleh ginjal. Pengaturan


eksresi ini dilakukan untuk mempertahankan homeostasis natrium,
yang sangat diperlukan untuk mempertahankan volume cairan tubuh.
Natrium difiltrasi bebas di glomerulus, direabsorpsi secara aktif 60-
65% di tubulus proksimal bersama dengan H2O dan klorida yang
direabsorpsi secara pasif, sisanya direabsorpsi di lengkung henle (25-
30%), tubulus distal (5%) dan duktus koligentes (4%). Sekresi natrium
di urine <1%. Aldosteron menstimulasi tubulus distal untuk
mereabsorpsi natrium bersama air secara pasif dan mensekresi kalium
pada sistem renin-angiotensin-aldosteron untuk mempertahankan
elektroneutralitas. 1

B. Nilai Rujukan natrium1


Nilai rujukan kadar natrium pada:
- serum bayi : 134-150 mmol/L
- serum anak dan dewasa : 135-145 mmol/L
- urine anak dan dewasa : 40-220 mmol/24 jam
- cairan serebrospinal : 136-150 mmol/L
- feses : kurang dari 10 mmol/hari

C. Gangguan Keseimbangan Natrium1


Seseorang dikatakan hiponatremia, bila konsentrasi natrium plasma
dalam tubuhnya turun lebih dari beberapa miliekuivalen dibawah nilai
normal (135-145 mEq/L) dan hipernatremia bila konsentrasi natrium
plasma meningkat di atas normal. Hiponatremia biasanya berkaitan dengan

hipo- osmolalitas dan hipernatremia berkaitan dengan hiper- osmolalitas.

Penyebab Hiponatremia 1

Kehilangan natrium klorida pada cairan ekstrasel atau penambahan air


yang berlebihan pada cairan ekstrasel akan menyebabkan penurunan
konsentrasi natrium plasma. Kehilangan natrium klorida primer biasanya
terjadi pada dehidrasi hipo- osmotik seperti pada keadaan berkeringat
selama aktivitas berat yang berkepanjangan, berhubungan dengan
penurunan volume cairan ekstrasel seperti diare, muntah-muntah, dan

penggunaan diuretik secara berlebihan.

Hiponatremia juga dapat disebabkan oleh beberapa penyakit ginjal


yang menyebabkan gangguan fungsi glomerulus dan tubulus pada ginjal,
penyakit addison, serta retensi air yang berlebihan (overhidrasi hipo-
osmotik) akibat hormon antidiuretik. Kepustakaan lain menyebutkan
bahwa respons fisiologis dari hiponatremia adalah tertekannya

pengeluaran ADH dari hipotalamus (osmolaritas urine rendah).

Pseudohiponatremia dapat dijumpai pada penurunan fraksi plasma,


yaitu pada kondisi hiperlipidemia dan hiperkolesterolemia,
hiperproteinemia dan hiperglikemia serta kelebihan pemberian manitol dan
glisin.

Penyebab Hipernatremia 1

Peningkatan konsentrasi natrium plasma karena kehilangan air dan


larutan ekstrasel (dehidrasi hiperosmotik pada diabetes insipidus) atau
karena kelebihan natrium dalam cairan ekstrasel seperti pada overhidrasi
osmotik atau retensi air oleh ginjal dapat menyebabkan peningkatan
osmolaritas & konsentrasi natrium klorida dalam cairan ekstrasel.

Kepustakaan lain menyebutkan bahwa hipernatremia dapat terjadi


bila ada defisit cairan tubuh akibat ekskresi air melebihi ekskresi natrium
atau asupan air yang kurang. Misalnya pada pengeluaran air tanpa
elektrolit melalui insensible water loss atau keringat, diare osmotik akibat
pemberian laktulose atau sorbitol, diabetes insipidus sentral maupun
nefrogenik, diuresis osmotik akibat glukosa atau manitol, gangguan pusat
rasa haus di hipotalamus akibat tumor atau gangguan vaskular.

2. PENYAKIT JANTUNG BAWAAN SIANOTIK


Sianosis terjadi akibat dari pirau atau pencampuran darah vena sistemik
ke sirkulasi arteri. Besarnya pirau dan pencampuran darah vena sistemik serta
jumlah aliran darah ke pulmonal akan menentukan tingkat keparahan kadar
darah yang tidak teroksigenasi. Lesi PJB yang menyebabkan sianosis dapat
dibagi menjadi dua kategori: 1. Lesi dengan peningkatan aliran darah paru, 2.
Lesi dengan penurunan aliran darah paru.3
2.1 Lesi dengan Aliran Darah ke Paru Berkurang
Pada PJB sianotik golongan ini biasanya terjadi akibat sebagian atau
seluruh aliran darah vena sistemik tidak dapat mencapai paru karena adanya
obstruksi sehingga mengalir ke jantung bagian kiri atau ke aliran sistemik
melalui lubang sekat yang ada. Obstruksi dapat terjadi dikatup tricuspid,
infundibulum ventrikel kanan ataupun katup pulmonal, dengankan pirau dapat
terjadi pada tingkat atrium (ASD/PFO), septum ventrikel (VSD) ataupun
melalui ductus diantara dua arteri utama (PDA).3
Penderita umumnya mengalami sianosis dan akan bertambah bila
menangis dan melakukan aktivitas fisik, keadaan yang akan menyebabkan
aliran darah ke paru makan berkurang. Pada keadaan yang berat sering terjadi
serangan spell hypoxia, yang ditandai dengan hiperpnea, geisha, menangis
berkepanjangan, bertambah biru, lemas atau tidak sadar dan kadang disertai
kejang. Pada kondisi ini bila tidak diatasi cengan cepat dan benar dapat
berakibat kematian. Serangan ini umumnya terjadi pada usia 3 bulan – 3 tahun
dan sering timbul saat bangun tifut pagi atau siang hari ketika resistensi
vascular sistemik rendah. Tahanan vascular sistemik yang rendah akan
menyebabkan peningkatan aliran darah R ro L shunt meningkat. Secara
relative menyebabkan penurunan aliran pulmonal.3
Serangan ini kembali pulih secara spontan dalam waktu kurang dari 15-
20 menit, tetapi dapat berkepanjangan atau berulang sehingga menyebabkan
komplikasi yang serius pada susunan sistem saraf pusat atau bahkan
menyebabkan kematian. Karen itu diperlukan pengenalan dan penanganannya
dengan segera dan tepat . pada anak yang lebih besar sering juga
memperlihatkan gejala squatting yaitu jongkok untuk beristirahat sebentar
setelah berjalan beberapa saat dengan tujuan meningkatkan resistensi vascular
sistemik sengingga R ro L shunt berkurang dan aliran darah ke paru
meningkat.3
2.1.1 Tetralogi of Fallot (TOF)
Tetralogy of Fallot (ToF) adalah golongan PJB sianotik yang terbanyak
ditemukan, sekitar sepertiga dari semua kasus PJB sianotik. Kelainan ToF
memiliki 4 ciri khas kelainan anatomis yaitu: VSD outlet, overriding aorta,
stenosis pulmonal infundibular dengan atau tanpa stenosis valvular dan
hipertrofi ventikel kanan. ToF terjadi pada 5 dari 10.000 kelahiran hidup,
sedikit lebih sering pada laki-laki dan seringkali dihubungkan dengan kelainan
jantung lainnya, sepertu arkus aorta sisi kanan (25%), ASD (10%), dan lebih
jarang terjadi anomalous origin of the left coronary artery.3
Dalam kebanyakan kasus, ToF merupakan keadaan non familial. ToF
bias menjadi kelainan suatu sindrom, sering dikaitkan dengan anomaly
kromosom dan sindrom monogenic. Anomali kromosomterjadi pada sekitar 12
persen kasus, misalnya trisomy 21.3
Peningkatan resistensi akibat adanya stenosis pulmonalis subvalvar
menyebabkan darah yang telah mengalami deoksigenasikembali dari vena
sistemik lalu dari RV, melalui VSD ke LV, dan kembali ke sirkulasi sistemik,
sehingga mengakibatkan hipoksemiasistemik dan sianosis.3
Gambar 2. Mekanisme spell hipoksia3

2.1.2 Atresia Pulmonal dengan Septum Ventrikel Utuh (Pulmonary


Atresia with Intact Ventricular Septum = PAIVS)
Angka kejadian atresia pulmonal dengan septum ventrikel utuh sekitar
1% dari seluruh penyakit jantung. PAIVS merupakan keadaan yang dapat
dideteksi dengan ekokardiografi janin dan merupakan salah satu penyebab
terminasi kehamilan yang paling umum.3
Pada atresia pulmonal, tidak terdapat hubungan langsung antara RV dan
PA. umumnya RV mengalami hipoplastik, ukuran annulus tricuspid yang kecil
dengan dinding ventrikel tebal, sehingga sering ditemukan regurgitasi
tricuspid. Aliran vena sistemik kemudian akan melalui defek interarterial
(PFO/ASD) menuju LA> bercampurna aliran balik vena sistemik dan
pulmonal di LA dan kemudian mengalir ke LV untuk menyuplai tubuh dan
paru-paru, dalam hal ini PDA merupakan sumber utama aliran darah dari aorta
menuju paru-paru. Oleh karena itu lesi ini juga disebut sebagai lesi dengan
sirkulasi pulmonal yang tergantung pada duktus.3
2.2 Lesi dengan Aliran Darah ke Paru Bertambah
Pada PJB sianotik golongan ini tidak terdapat hambatan pada aliran
darah ke paru bahkan berlebihan sehingga timbul gejala-gejala antara lain
tidak mampu mengisap susu dengan kuat dan banyak, takipnea, sering
terserang infeksi paru, gagal tumbuh kembang, dan gagal jantung kongestif.3
2.2.1 Transposition of The Great Arteries (TGA)
TGA adalah kelainan dimana dua pembuluh darah arteri besar tertukar
letaknya, yaitu aorta keluar dari ventrikel kanan dan artero pulmonal dari
ventrikel kiri. Anomaly ini terjadi pada sekitar 7% PJB, mengenai 40 dai
100.000 kelahiran hidup. Pada kelainan ini sirkulasi darah sistemik dan
sirkulasi darah paru terpisah dan berjalan parallel. Kelangsungan hiudp bayi
yang lahir dengan kelainan ini sangat tergantug dengan adanya percampuran
darah balik vena sistemik dan vena pulmonalis yang baik, melalui pirau baik
ditingkat atrium (ASD), ventrikel (VSD) ataupun arterial (PDA).3
TGA akan memisahkan sirkulasi paru dan sistemik dengandua sirkulasi
secara parallel, bukan secara serial. Pengaturan ini menyebabkan darah yang
terdesaturasi dari sistem vena sistemik melalui aorta tanpa mengalami
oksigenasi normal di paru. Darah balik aorta dari paru yang teroksigenasi akan
melewati ventrikel kiri dan kemudian ke arteri pulmonal dank e paru tanpa
melepaskan oksigen di sirkulasi sistemik. Hal ini menyebabkan neonates
dalam keadaan hipoksia dan sianosis berat. Tanpa intervensi, TGA merupakan
kondisi yang mematikan.3
TGA dapat ditoleransi pada masa in utero karena aliran darah melalui
duktus arteriosus dan formaen ovale. Setelah lahir, penutupan fisiologis duktus
arteriosus dan foramen ovale akan menghilangkan pirau antara kedua sirkluasi
parallel tersebut. Tanpa adanya intervensi (pemberian prostaglandin atau
bedah), hal ini akan berakhir dengan kematian.3
2.2.2 Double Outlet Right Ventricle (DORV)
DORV adalah sebuah kelainan ventrikuloarterial dimana kedua
pembuluh darah muncul seluruhnya atau sebagian besar dari ventrikel kanan.
Kejadian DORV adalah 1-3% dari seluruh kejadian PJB. DORV dihubungkan
dengan trisomy 13 dan 18. DORV hampir selalu dikaitkan dengan adanya
defek septum ventrikel (VSD). Klasifikasi DORV:
a. VSD subaortik, merupakan tipe paling umum. Darah teroksigenasi dari LV
mengalir ke aorta, dan darah vena sistemik mengarah ke PA, sehingga
keadaan tanpa sianosis dapat ditemukan, jika ada hanya sianosis ringan.
Gambaran klinis tipe ini mirip dengan VSD besar.3
b. Tipe fallot. Pada sekitar 50% pasien dengan VSD subaortik terjadi
obstruksi RVOT. Adanya stenosis pulmonal (atau obstruksi RVOT)
menyebabkan sebagian aliran darah vena sistemik akan menuju ke aorta.
Hal ini akan menyebabkan sianosis dan juga penuruna sirkulasi darah ke
pulmonal. Gambaran klinis menyerupai ToF.3
c. VSD subpulmoner (Anomali Taussig-Bing). Darah teroksigenasi dari LV
akan menuju ke PA sedangkan darah vena sistemik menuju ke aorta.
Keadaan ini secara hemodinamik menyerupai kedaanpada TGA.3
d. Doubly committed atau Non committed VSD. Dengan letak VSD yang
dekat dengan kedua katup semilunar (Doubly committee), atau terletak jauh
dari katup semilunar(Non committed), biasaynya terjadi peningkatan
sirkulasi darah pulmonal dan sianosisnringan.3
3. HUBUNGAN GANGGUAN NATRIUM DENGAN PENYAKIT
JANTUNG BAWAAN SIANOTIK
Penyakit jantung bawaan sianotik menghasilkan hiperviskositas darah
akibat peningkatan hemoglobin. Hiperviskositas dapat mengubah
hemodinamik sirkulasi mikrovaskular ginjal dan dapat menyebabkan
kerusakan glomerulus dengan proteinuria dan gangguan tubulus yang
mengubah reabsorpsi natrium. Konsentrasi natrium tertinggi bertepatan
dengan konsentrasi hemoglobin maksimum dan dengan hipereritropoietinemia
yang signifikan. Reabsorpsi natrium yang diinduksi eritropoietin merupakan
etiologi hipernatremia pada pasien PJB sianotik.4,5
Hipoksemia akut mengurangi konsentrasi aldosteron dan hipoksemia
berkepanjangan mengurangi aktivitas renin plasma. Kita juga harus
mempertimbangkan efek peptida natriuretik atrium. Peptida ini sangat
meningkat pada pasien dengan penyakit jantung bawaan sianotik karena
hipoksia .5
Penyakit jantung bawaan sianotik menginduksi hipoksemia dan
merangsang produksi eritropoietin dengan peningkatan hematokrit dan
viskositas darah yang signifikan. Pemeriksaan hemoglobin dan hematocrit
secara serial pada anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik sangat
penting. Bila terlihat peningkatan kadar hemoglobin dan hematocrit, ini
merupakan petunjuk adanya penurunan aliran darah ke paru akibat stenosis
pulmonal infundibuler yang progresif, pirau antara arteri sistemik dan paru
yang tidak adekut atau penyakit pembuluh darah paru yang progresif. Di
ginjal, hiperviskositas meningkatkan resistensi pembuluh darah ginjal dengan
peningkatan tekanan darah intraglomerulus dan mempertahankan laju filtrasi
glomerulus. Namun, dengan perjalanan penyakit yang berkepanjangan,
penyakit jantung bawaan sianotik dapat menyebabkan kerusakan glomerulus,
proteinuria, dan gagal ginjal.2,3 Peningkatan tekanan onkotik postglomerulus
menginduksi peningkatan reabsorpsi air dan natrium di tubulus proksimal,
meskipun beberapa makalah menunjukkan bahwa pada pasien ini ekskresi
fraksional natrium meningkat, terutama pada fase awal. Selain efek
hiperviskositas darah pada fungsi tubulus, eritropoietin sendiri dapat
meningkatkan reabsorbsi air dan natrium. Bunke dkk memberikan 150 U/kg
eritropoietin intravena dan 2 l serum saline kepada enam subjek sehat.
Erythropoietin menginduksi penurunan ekskresi natrium terukur dalam empat
hari berikutnya. Efek yang sama juga telah diamati pada model hewan dengan
respon tergantung dosis. Efek ini dihilangkan dengan pemberian kaptopril atau
losartan secara bersamaan yang menunjukkan bahwa efek antinatriuretik dari
eritropoietin dimediasi oleh aksis renin-angiotensin-aldosteron. Kita harus
berasumsi bahwa aktivitas sumbu renin-angiotensin-aldosteron, bahkan
rendah, cukup untuk memungkinkan ekspresi antinatriuresis yang diinduksi
eritropoietin. Pengobatan eritropoietin pada pasien hemodialisis telah
dikaitkan dengan peningkatan natrium intraseluler dan tekanan darah sambil
mempertahankan natrium serum normal. Singkatnya, bahkan ketika banyak
faktor mempengaruhi regulasi natremia pada pasien dengan penyakit jantung
bawaan, dapat disimpulkan bahwa konsentrasi eritropoietin yang sangat tinggi
dapat bertanggung jawab atas kelainan natrium.5
DAFTAR PUSTAKA

1. Yaswir, Rismawati. 2012. Fisiologi dan gangguan keseimbangan natrium,


kalium, klorida serta pemeriksaan laboratorium. Jurnal Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas
2. Ismudiati, Lili. 2004. Buku Ajar Kardiologi. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
3. Mappangara, idar; Muzakkir. 2021. Mengenal Penyakit Kardiovaskular dan
Solusinya Untuk Dokter Umum. Bagian Kardiologi Fakultas Kedokteran
Unoversitas Hasanuddin, RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. FK UI.
4. Lui, George, et al. Diagnosis and Management of Noncardiac Complications
in Adults With Congenital Heart Disease: A Scientific Statement From the
American Heart Association. November 14, 2017, Volume 136, Issue 20.
5. Capel, Ismael. 2008. Hypernatremia in a patient with cyanotic congenital heart
disease. International journal of cardiology. Elsevier inc

Anda mungkin juga menyukai